You are on page 1of 2

Nama : Fatharani Kurniawati Lokal : 3a

Farmakovigilans
Menurut definisi yang tercantum dalam Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.03.1.23.12.11.10690 Tahun 2011 tentang Penerapan Farmakovigilans bagi Industri, yang dimaksud dengan Farmakovigilans adalah seluruh kegiatan tentang pendeteksian, penilaian (assessment), pemahaman, dan pencegahan efek samping atau masalah lainnya terkait dengan penggunaan obat. Farmakoepidemiologi seringkali dianggap sebagai sub-domain dari farmakovigilan. Dalam farmakoepidemiologi dilakukan kuantifikasi frekuensi kejadian adverse effect (efek obat yang merugikan) dan mengidentifikasi pada sub populasi dimana terjadi variasi terhadap besarnya efek tersebut. Hampir sebagian besar obat memiliki efek samping, karena jarang sekali obat yang beraksi cukup selektif pada target aksi tertentu. Efek samping obat bisa muncul dalam berbagai bentuk dan berbagai tingkatan. Ada yang ringan seperti mengantuk, batuk-batuk, mual, gatalgatal, sampai yang berat seperti syok anafilaksis, gangguan dalam sistem darah, sampai kematian. Efek samping mengantuk misalnya, mungkin tidak perlu pengatasan, bahkan seringkali dimanfaatkan pasien untuk bisa istirahat. Akan tetapi, jika efek samping suatu obat bisa mengancam jiwa, tentu obatnya harus dihentikan dan dicarikan alternatifnya yang lebih kecil efek sampingnya. Tidak sedikit kasus adverse effect yang sudah terjadi, sebagai contoh kasus yang sudah tidak asing lagi adalah kasus thalidomide. Obat ini awalnya dikatakan aman dan secara khusus diperuntukkan bagi pasien hamil, tetapi kemudian ternyata ditemukan bahwa thalidomide menyebabkan phocomelia bila dikonsumsi pada trimester pertama kehamilan. Pada tahun 1938 terungkap bahwa dietil glikol yang digunakan sebagai pelarut sulfanilamid menyebabkan kebutaan. Kejadian-kejadian ini membuat para pengambil kebijakan di beberapa negara mulai mengembangkan sebuah sistem untuk monitoring keamanan obat. Di Amerika FDA mulai mengumpulkan laporan kasus semua kejadian Adverse Drug Reaction (ADR) pada tahun 1960. Pada era 1960an, atas tragedi thalidomide dan sesudahnya atas penemuan bahwa kontrasepsi oral meningkatkan resiko penyakit thromboembolic, maka dibuatlah Committee on Safety of Medicine (CSM) di UK dan sistem-sistem pelaporan spontan yang serupa di Eropa. Pada era tahun 1990an ditemukan bahwa thalidomide dapat memberikan hasil yang menguntungkan pada pengobatan leprosy serta beberapa kasus pada pengobatan AIDS. Ini menunjukkan bahwa meskipun suatu obat adalah berbahaya bagi sebuah sub populasi tertentu (fetus) tapi pada subpopulasi yang lain obat tersebut dapat justru berguna (pasien terineksi HIV atau leprosy). Dengan adanya kasus-kasus yang serupa seperti contoh yang di atas, industri farmasi yang memiliki peran dalam pembuatan obat diwajibkan menerapkan kegiatan farmakovigilans

pada setiap proses produksi pembuatan obat. Farmakovigilans memiliki tujuan utama yang penting, yaitu: a. Deteksi dini adverse effect yang belum diketahui dan interaksi. b. Deteksi terhadap peningkatan frekuensi adverse effect yang telah diketahui. c. Identifikasi faktor resiko dan mekanisme yang mendasari sebuah adverse effect. d. Menetapkan aspek kuantitatif dari sebuah resiko. e. Analisis dan penyebaran informasi yang dibutuhkan bagi peresepan dan regulasi obat Adapun proses dalam farmakovigilans adalah sebagai berikut: 1. Pengumpulan 2. Analisis 3. Pelaporan informasi keamanan. Pelaporan informasi bisa didapat dari studi klinis, laporan dari tenaga medis, atau literatur medis/ilmiah. Farmakovigilans dilakukan dengan pemantauan dan pelaporan mengenai: a. Aspek keamanan obat dalam rangka deteksi, penilaian, pemahaman, dan pencegahan efek samping atau masalah lain terkait dengan penggunaan; b. Perubahan profil manfaat-risiko obat; dan/atau c. Aspek mutu yang berpengaruh terhadap keamanan obat. Keamanan obat merupakan salah satu peran pokok farmasis dimanapun mereka bekerja baik di pabrik maupun otoritas kesehatan. Farmasi harus menjadi advisor pada penggunaan obat, dalam memperkenalkan suatu obat, dalam kasus penarikan obat dari pasaran atau dalam menentukan apakah sebuah kejadian merupakan ADR atau bukan. Oleh karena itu, sudah selayaknya seorang farmasis terus memantau perkembangan obat dan memberikan penyuluhan tentang obat kepada masyarakat luas dimanapun kita berada. Dengan mengetahui farmakovigilans, kita dapat memastikan keamanan suatu obat bagi pasien. Lalu meningkatkan pengetahuan tentang produk dan cara penggunaan yang optimal. Begitu pula dapat meningkatkan kepercayaan konsumen serta kepatuhan pasien terhadap penggunaan obat.

Daftar pustaka: http://farklin.blogspot.com/2011_08_01_archive.html http://diagnostikindonesia.blogspot.com/2013/06/farmakovigilans-pharmacovigilance.html http://zulliesikawati.wordpress.com/tag/efek-samping-obat/ http://ladytulipe.wordpress.com/2011/08/25/farmakovigilans-pharmacovigilance/

You might also like