You are on page 1of 32

-Isme-isme, -Ologi-ologi, dan

Perkembangan-perkembangan lain
yang Mengkhawatirkan: Filsafat sejak
Abad Sembilan Belas
Utilitarianisme
“Kebahagiaan terbesar dari jumlah yang terbesar,” tulis orang Inggris,

Jeremy Bentham (1748-1832), “adalah pondasi dari moral-moral dan

legislasi” (pembuatan hukum dan undang-undang). Untuk mengatakan

bahwa tindakan-tindakan itu seharusnya diarahkan untuk

menghasilkan kebahagiaan: “Semua yang baik akan berakhir baik”

(All`s well that ends well) adalah esensi dari utilitarianisme. Atau, dari

satu sudut pandang yang kritis, “Tujuan menghalalkan segala cara.”

Dalam kenyataan, kaum utilitarian seperti Bentham dan John

Stuart Mill telah mempromosikan sejenis relativisme moral. Tindakan-

tindakan, dalam pandangan mereka, tidak dapat divonis secara

terpisah dari kondisi-kondisi dan akibat-akibat. Seorang yang

menganut moral absolut akan mengatakan bahwa tindak pembunuhan

itu adalah salah, tak peduli apapun situasinya. Namun, seorang

utilitarian, akan mengakatan bahwa pembunuhan itu benar jika ia

menyediakan kebaikan yang lebih besar. Anggaplah anda dapat

membunuh Hitler; seorang utilitarian akan menjelaskan kepada anda

untuk terus melangkah maju, karena adalah lebih baik bahwa satu

orang mati daripada banyak orang yang terbunuh.


Ketika dia menyamakan kebaikan dengan apa yang dapat

membuat banyak orang menjadi sangat bahagia, utilitarianisme versi

Bentham disebut “universal”. (Tidak semua utilitarian adalah

universalis; beberapa pihak mengatakan bahwa apa yang baik bagi

anda, hanya anda yang dapat memvonis demikian). Satu masalah

dengan pendekatan Bentham adalah bahwa anda tidak dapat selalu

memastikan akibat-akibat yang membahagiakan, dan wacana tindakan

terbaik mungkin hanya dapat dipahami setelah tindakan itu dilakukan.

Anda boleh jadi bermaksud untuk menyenangkan setiap orang dengan

memberikan kue coklat, tapi, ketika setiap orang sedang menjalankan

diet makan atau punya penyakit alergi, maka anda telah membuat

mereka menjadi tidak bahagia. Apakah kami memvonis tindakan anda

sebagai “salah” meskipun niat anda adalah untuk memberikan

kebahagiaan terbesar kepada sebanyak mungkin orang? Menurut

kaum utilitarian, jawabannya adalah “ya”.

Satu kesulitan yang dapat ditimbulkan adalah bahwa tidak setiap

orang bersikap setuju pada apa yang dimaksud dengan “kebaikan”.

Standar Bentham adalah kebahagiaan, tapi terdapat argumen-

argumen persuasif yang bertentangan. Misalnya, banyak orang akan

mengatakan bahwa sikap rendah hati itu adalah baik, meskipun ia

dapat menghasilkan penderitaan. Demikian pula, sikap tidak perhatian

(ignorance) adalah membahagiakan, tapi ia bukanlah ide dari setiap

orang tentang apa itu baik atau yang bermanfaat. Barangkali, adalah
lebih baik untuk menjadi tidak bahagia sekarang jika itu berarti bahwa

anda akan menjadi lebih bahagia di masa depan. Tapi, vonis-vonis

seperti itu yang bergantung pada akibat-akibat jangka panjang, dan

orang-orang mungkin berargumen di sekitar seberapa lama batasan

periode waktu tersebut. Apakah baik, misalnya, untuk melancarkan

perang dagang terhadap Jepang sekarang, dan dengan demikian

menghukum para konsumen amerika, jika akibat jangka panjangnya

adalah situasi ekonomi Amerika yang lebih kuat? Mungkin saja, tapi,

dalam waktu jangka panjang yang lebih lama lagi, keuntungan-

keuntungan bisa saja lenyap, sementara antara kedua negara masih

terus berlanjut.

Bentham telah membuat beberapa rencana jangka panjang yang

menarik, menurut versinya sendiri. Dia mewariskan perpustakaannya

dan harta bendanya kepada University College di London, tempat dia

mengajar filsafat. Hal yang tak terduga yang terjadi adalah bahwa

jasad Bentham masih terus hadir dalam pertemuan-pertemuan di

Fakultas. Tengkoraknya telah disangga dengan sangat baik dan sangat

terjaga dan bahkan masih tetap dipertontonkan di balik kaca di College

itu, meskipun bagian kepala Bentham telah diganti dengan bentuk

kepala yang terbuat dari lilin. (Bagian kepala yang asli, yang sudah

mulai membusuk, diletakkan di dalam sebuah kotak terbuat dari logam

di bawah kakinya). Bentham masih terus mengikuti pertemuan-


pertemuan, dimana dia, tak diragukan lagi, adalah seorang peserta

yang lebih hidup.

Manusia Super (Ubermensch)


Dan Zarasustra berbicara demikian kepada orang-orang:
“Aku mengajarkan kepadamu tentang manusia super. Manusia
adalah suatu hal yang akan ditaklukkan. Apa yang telah kamu lakukan
untuk menaklukkan dia?
Semua wujud sedemikian jauh telah menciptakan sesuatu yang
melampaui diri mereka sendiri; dan apakah engkau ingin menjadi
keadaan surut dari aliran yang sangat deras ini dan kembali lagi pada
binatang-binatang buas daripada menaklukkan manusia?”
Friedrich Nietzsche, “Prolog Zarathustra”, Thus Spoke
Zarathustra (1883)

Manusia super (Ubermensch) dari Friedrich Nietzsche ini telah melalui

pengalaman yang sangat menakjubkan dari transformasi-transformasi

budaya tinggi hingga budaya rendah---dari stoic, manusia tidak

konvensional hingga Manusia Baja. Serial komik ciptaan Siegel dan

Shuster hanya sedikit saja terkait dari sisi nama, dan bahkan sangat

kecil jika dibandingkan dengannya. Ubermensch secara harfiah berarti

“overman” (“melampaui manusia”), bukan “superman” (manusia

super), meskipun istilah terakhir ini digunakan dalam berbagai

terjemahan bahasa Inggris paling akhir dari karya Nietzsche Thus

Spoke Zarathustra, dan istilah ini telah diangkat oleh George Bernard

Shaw untuk buku Man and Superman.


Karakter yang mengkhotbahkan “Ubermensch” adalah

Zarathustra (yang juga dikenal dengan Zoroaster), seorang nabi Persia

dari abad ke enam SM yang menyediakan topeng puisi/ramalan

Nietzsche. Berbeda dengan apa yang anda mungkin pikirkan,

Zarathustra tidak berbicara tentang otot-otot baja yang sangat intelek

atau spesies manusia yang telah “dikembangkan”. Dalam kenyataan,

kita semua (mensch adalah bersifat netral) berpotensi untuk menjadi

Ubermensch. Yang diperlukan adalah tidak lagi berupa ujian-ujian atau

minuman suplemen yang dapat membuat cerdas, tapi keberanian dan

kehendak, karena rintangan-rintangan terbesar kita adalah rasa takut

dan tradisi.

Pada bagian paling dasar dari konsep Nietzsche adalah apa yang

dia rujuk sebagai “kehendak untuk berkuasa”, dimana dia melihat ini

sebagai kekuatan dasar yang memotivasi dari segala yang hidup.

“Kuasa” (Power) disini tidak berarti kekuatan brutal, atau dominasi

terhadap pihak lain, tapi sesuatu yang lebih mirip dengan “ketiadaan

rasa takut” (fearlessness). Ketika kita semua sangat termotivasi oleh

kehendak untuk berkuasa, apapun yang sangat kita kagumi atau ingin

kita samai harus menghadirkan kekuasaan. Seperti (afirmasi-afirmasi

Nietzsche) harmoni-diri, kontrol-diri, dan penyadaran-diri---yang

digambarkan dengan, misalnya, sikap tenang Socrates saat meminum

secangkir cairan hemlock yang sangat beracun.


Secara keseluruhan, kita berada sangat jauh dari ideal

Ubermensch ini. Jauh dari memiliki diri kita sendiri, kita dimotivasi,

terutama sekali, oleh rasa takut, kebiasaan, takhayul, kekecewaan,

dan segala sesuatu yang menciptakan “mentalitas budak”. Sejak lahir,

kita dilatih oleh keluarga, gereja, dan sekolah untuk tunduk pada

aturan-aturan dan hukum-hukum, bertindak secara normal, meyakini

takhayul-takhayul, dan memperbudak diri kita di hadapan para master.

Segala sesuatu yang dicatatkan pada “sifat manusia” adalah benar-

benar hanya tradisi. Kita tumbuh dalam suasana malas dan takut

menghadapi tantangan dan bahaya, mati rasa terhadap gerakan-

gerakan aktif dari kesadaran batin kita.

Sebuah dunia tanpa tradisi-tradisi atau tanpa keberadaan

master-master adalah hal yang menakutkan, tapi merupakan alternatif

dari perbudakan dan keterasingan. Kita boleh jadi menyerah pada

masyarakat, atau kita mungkin menaklukkan rasa takut kita dan

menjadi pencipta-pencipta daripada sekadar ciptaan-ciptaan.

Penciptaan adalah membuat pemaknaan sendiri terhadap kehidupan

dunia ini, yang dalam realitas bersifat chaos dan selalu berubah; untuk

menjadi makhluk ciptaan adalah dengan bersikap tunduk pada

pemaknaan-pemaknaan pihak lain. Semua bahasa, dalam pandangan

Nietzsche, sedikit banyaknya telah mengilhamkan penafsiran, sejenis

“kebohongan”. Jika bahasa berbohong, seseorang dapat

memperbaiki---lebih mengandalkan pada dirinya sendiri---dengan


menciptakan kepalsuan-kepalsuannya sendiri. inilah yang

dimaksudkan dengan menjadi “Ubermensch.”

Yang tidak ia maksudkan adalah untuk menjadi budak lain dari

seorang master. Tirani adalah bukan akibat dari penguasaan-diri, tapi

bersumber dari rasa frustrasi: ini merupakan ekspresi dari rasa kecewa

yang mendalam. Ubermensch, lebih mengarah pada, menjalani

kehidupan tanpa kekecewaan, dan selalu siap, jika situasi

mengharuskan, untuk melayani sama baiknya dengan saat memimpin.

(Bagi sebagian dari kita, melayani hanya tampak seperti perbudakan).

Dengan mengontrol nafsu-nafsunya dan mengarahkan kehendaknya,

sang Ubermensch ini dapat menciptakan seni dan filsafat, dengan

mengafirmasikan kehidupan dan keceriaan serta semua hal yang baik.

Ini akan menjadi sebuah peluang yang bagus untuk terlibat

dalam ide-ide besar Nietzsche yang lain, yaitu suatu persaingan antara

apa yang disebut dengan aliran “Apollonian” dan “Dionysian” dalam

seni Yunani, hubungan mereka terhadap rasio, nafsu, dan kehendak,

peran mereka dalam teori sublimasi-nya, dan lain sebagainya. Tapi, itu

akan membuat kita menjauh dari tujuan kita, sehingga sampai disini

saja saya tinggalkan anda untuk mencari informasi pada entry-entry

saya tentang topik-topik tersebut dalam By Jove: Brush Up Your

Mythology! (HarperCollins, 1992).

Pengulangan yang Abadi


Bagaimana, jika suatu hari, setan menyelinap ke dalam kesendirian
anda yang paling sepi dan berkata kepada anda: “Kehidupan ini
seperti yang sekarang anda jalani dan masih akan menjalaninya, anda
akan harus menjalani hidup sekali lagi dan tak terhitung banyaknya;
dan tidak akan ada sesuatu yang baru di dalamnya, tapi setiap
penderitaan dan setiap kebahagiaan dan setiap pemikiran dan setiap
keluh-kesah dan segala sesuatu yang remeh atau besar, yang tidak
mungkin dapat diukur, dalam kehidupan anda harus kembali kepada
anda---semua dalam rangkaian dan urut-urutan yang sama....”
Tidakkah anda akan menjatuhkan diri anda dan menggemeretakkan
gigi-gigi anda serta mengutuk setan yang telah berbicara demikian?
Atau anda pernah mengalami sebuah momen yang luar biasa hebat
ketika anda akan menjawab dia, “Anda adalah tuhan, dan tidak pernah
aku mendengar yang lebih bersifat tuhan.” ... Betapa baik itikad anda
terhadap diri anda dan terhadap kehidupan untuk sama sekali tidak
menginginkan sesuatu yang lebih bersemangat daripada penegasan
dan stempel abadi yang sangat mendasar ini?
Friedrich Nietzsche, The Gay Science (1882),
section 341

Ambillah sesuatu yang remeh, ucapkan kata-kata dalam sebuah

kalimat: “Inilah sebuah kalimat pendek.” (Here is a small sentence).

Masukkan kalimat ini ke dalam komputer untuk diolah dan

memerintahkannya untuk menyusun kembali kata-kata tersebut

secara acak---maka hasilnya akan menjadi seperti: “is sentence here

small a”. Sekarang, anggaplah komputer ini mengulangi proses ini

sekali lagi dan sekali lagi. Maka hasil pemrosesan komputer mungkin

akan terlihat seperti ini:

1) here is a small sentence

2) is sentence here small a

3) small here a is sentence

4) a here is sentence small

5) sentence a small here is


.... dan seterusnya dan seterusnya.

Sekarang, marilah kita katakan bahwa komputer di atas terus

mengolah kata-kata secara tak terbatas. Dapat dipahami bahwa pada

poin yang sama, ia akan mulai mengulangi dengan sendirinya, ketika

hanya terdapat 120 perubahan urut-urutan yang mungkin dari lima

kata ini. Selanjutnya, komputer yang diberi keleluasaan untuk

mengolah kata dalam proyek kecil ini, ia harus berupaya untuk

mengulangi proses mengolah perubahan urut-urutan dari kelima kata-

kata tersebut dalam tatanan yang persis sama. Yaitu, urutan 1-5 akan

terulang kembali atau “kembali lagi”, dan dalam kenyataan akan

melakukan yang demikian ini lagi dan lagi, selama kata-kata tersebut

tidak berubah dan proses seperti ini terus berlangsung abadi.

Permainan kta ini adalah sebuah versi memasak-hingga-kering

(boiled-down) dari apa yang diperoleh Nietzsche ketika dia

mengupayakan doktrin tentang “pengulangan yang abadi”, sebuah

istilah yang pertama kali muncul dalam The Gay Science, sebuah

koleksi alegoris dan aforisme. Dia sangat serius tentang ide ini

sebagaimana dia memperhatikan hal-hal yang lain, dengan

memikirkannya secara mendalam sebagai hipotes ilmiah yang paling

sempurna. Nietzsche beranggapan bahwa alam semesta ini tersusun

dari sejumlah terbatas dari “power quanta”, apapun mereka itu, diatur

dalam ruang yang terbatas. Namun, waktu bersifat tak terbatas, dan

oleh karena itu, logika dia dapat dipertahankan, “quanta” ini


seharusnya seperti kata-kata dalam kalimat kita di atas, akan terpilah

ke dalam pola-pola yang terus berulang secara abadi.

Nietzsche, dalam hal ini adalah materialis deterministik,

berpikiran bahwa semua materi dan setiap peristiwa dapat

diekspresikan dalam ungkapan hubungan-hubungan fisik, yaitu,

termasuk diantara “power quanta”-nya. Dunia ini sebagaimana yang

kita ketahui, hanyalah satu pengaturan quanta yang khusus dan

tersendiri, sebagaimana fakta-fakta seperti tanggal kelahiran anda dan

selera musik anda. Quanta ini terus mengkombinasikan dan

mengkombinasikan kembali untuk membentuk realitas-realitas baru,

yang pada akhirnya akan mencakup disintegrasi dari dunia ini. Tapi,

tidak pernah merasa takut: karena waktu adalah tak terbatas, quanta

ini seharusnya, suatu hari, akan mengatur kembali diri mereka ke

dalam dunia ini sebagaimana kita mengetahuinya. Bahkan, dengan

ketersediaan waktu yang cukup dan bersifat pasti, mereka akan

mengulangi kembali secara persis sama penyusunan-penyusunan

kembali yang telah menghasilkan sejarah manusia. Sejarah itu,

singkatnya, akan terulang kembali, lagi dan lagi dalam rangkaian yang

abadi.

Sekarang, bagi banyak orang, pemikiran seperti ini adalah

neraka, sebuah versi yang membuat depresi dari film yang berjudul

Groundhog Day. Tapi, poin sebenarnya dari Nietzsche adalah: dia

mengemukakan pengulangan kembali yang abadi ini untuk


menggerakkan kita guna memikirkan secara mendalam tentang

bagaimana kiranya seandainya kita harus melangsungkan kehidupan-

kehidupan kita secara persis sama sekali lagi dan lagi. Jika anda

mendapati gagasan ini sebagai tidak dapat ditanggung, maka itu

menyatakan sesuatu---yaitu, bahwa anda sedang berada dalam

cengkeraman “mentalitas budak.” Tapi, jika anda “sama sekali tidak

menginginkan sesuatu yang lebih bersemangat”, maka, selamat

kepada anda: anda telah menjadi seorang “Ubermensch”. (Untuk

instruksi-instruksi, lihat hal. 56).

Kaum ilmuwan, tentu saja, menerima pandangan Nietzsche yang

samar-samar ini. Menyemburkan perubahan susunan kata-kata dalam

tatanan yang linear adalah satu hal, tapi proses menyusun materi

secara tiga dimensional, ruang yang berurutan adalah hal lain---

bahkan jika anda menerima bahwa ruang itu terbatas dan waktu

bersifat tidak terbatas. Adalah sangat mungkin, misalnya, untuk

merancang sejumlah kecil obyek-obyek dalam gerak sehingga mereka

tidak pernah mengulang posisi mereka yang awal (atau posisi lain

apapun), bahkan jika membiarkan ini hingga hari kiamat dan masa

selanjutnya. Dan ini bukanlah untuk mempertanyakan konsep “power

quanta” yang sangat aneh ini, yang tidak disusun berdasarkan

penemuan-penemuan Fisika modern atau berdasarkan teori relativitas

Einstein.
Meskipun pengulangan abadi ini tampaknya seperti cerita fiksi

sains yang buruk bagi anda, ia sebenarnya mempunyai garis silsilah

yang sangat terhormat secara filosofis. Ide ini sudah sangat umum di

kalangan filosuf Yunani kuno; para pengikut Pythagoras, misalnya,

meyakini apa yang disebut dengan “Tahun Agung” setelah mana siklus

kosmik akan terulang dengan sendirinya kurang lebih secara persis

sama. (Heraklitus mengukur Tahun Agung ini dengan 10.800 tahun

bumi). Aristoteles tampaknya menyetujui gagasan dasar ini, yang juga

dianut oleh kaum Stoic. (Versi mereka bahkan sangat dekat dengan

gagasan Nietzsche). Keyakinan Yudeo-Kristiani tentang waktu satu-

arah, dengan Penciptaan pada awal masa dan Kiamat di akhirnya,

secara serius telah melumpuhkan doktrin ini, tapi tidak membunuhnya.

Para filosuf Abad Pertengahan dan Renaissance---bahkan Descartes

pun---sangat kuat meyakini kemungkinan siklus perulangan sejarah,

tanpa bermaksud untuk menolaknya begitu saja. Namun, Nietzsche

telah membuat teori ini menjadi ngetrend kembali, meskipun hanya

dalam waktu singkat saja. Jika perulangan kembali yang abadi ini

dianggap baik, saya yakin kita akan melihatnya sekali lagi.

Pragmatisme
Untuk mencapai kejernihan yang sempurna dalam pemikiran-
pemikiran kita tentang sebuah obyek, maka, kita hanya perlu
mempertimbangkan apa akibat-akibat dari suatu jenis praktis yang
dapat dibayangkan dari obyek yang dilibatkan. ... konsepsi kita
tentang akibat-akibat ini, kemudian, bagi kita adalah keseluruhan dari
konsepsi kita tentang obyek itu, selama konsepsi itu mempunyai
signifikansi yang sama sekali positif. Inilah prinsip dari Peirce, pinsip
tentang pragmatisme.
William James, “Philosophical Concepts and Practical
Results” (1898)

Filsafat mempunyai ironi-ironi kecilnya sendiri. charles S. Peirce (1839-

1914), dibuat terkenal oleh saudara Henry, William James, sebagai

penemu pragmatisme, sama sekali bukan sebuah kesuksesan yang

praktis. Dipecat dari Universitas Johns Hopkins dan ditolak secara

akademis karena perbuatan-perbuatan tidak bermoralnya, Profesor

Peirce turun derajatnya menjadi orang yang menggantungkan

hidupnya dari sumbangan dan pemberian orang lain, mati dalam

keadaan miskin dan dilupakan. (Namun, dia dapat tertawa untuk

terakhir kali saat berada dalam lingkungan akademis, dengan

menemukan semiotika secara bersama-sama---lihat hal. 183).

Peirce, meskipun mengalami kegagalan, adalah seorang jenius

dalam beberapa disiplin ilmu sekaligus, yang telah membuat

kontribusi-kontribusi nyata dalam disiplin ilmu matematika, filsafat,

ilmu kimia, psikologi, dan statistik. Meskipun, warisan peninggalannya

yang paling dapat bertahan lama adalah filsafat yang disokong oleh

James dan selanjutnya oleh John Dewey. Bersikap tidak menghargai

metafisika---studi tentang “realitas-realitas” yang tidak dapat dicerap

oleh indera atau yang bersifat abstrak---Peirce mendesak bahwa

makna dari sebuah ide hanya dapat disandarkan pada akibat-akibat

praktisnya. Jika sebuah ide tidak mempunyai akibat (pengaruh), maka


ia tidak berarti apa-apa---apakah itu “meracau” atau “benar-benar

absurd”, untuk menggunakan kata-katanya sendiri.

Hasil akhirnya adalah bahwa konsep-konsep semacam

“kebaikan” dan “kebenaran” tidak mempunyai realitas sebelum atau

terpisah dari apa yang kita lakukan dengan mereka---terpisah dari

bagaimana mereka mempengaruhi perilaku kita. Keyakinan, dalam

pandangan yang pragmatis, adalah sama seperti tindakan atau

setidaknya tindakan yang potensial. Jika ide kita tentang kebaikan

mencakup perbuatan membantu perempuan tua menyeberangi jalan,

maka, kebaikan, bagi kita, mencakup kecenderungan untuk

menampilkan tindakan-tindakan. Kebaikan, akhirnya, adalah jumlah

keseluruhan dari pengaruh-pengaruh dari ide ini. James, dalam

berbagai karyanya, mengembangkan gagasan ini bahkan hingga pada

konsep tentang Tuhan. Dia menulis dalam Pragmatism (1907),

misalnya, bahwa “Jika hipotesa tentang Tuhan bekerja secara

memuaskan dalam pengertian yang paling luas dari kata, ini adalah

benar” (penekanan saya).

Di era James, pragmatisme telah mengasumsikan aneka ragam

bentuk-bentuk, tidak semua bentuk itu patuh kepada para pencetus

pragmatisme. Namun, kaum pragmatis masih berbagi premis-premis

dasar yang sangat inti, seperti fleksibilitas dalam metode, tidak

menghargai dogma, dan suatu pandangan yang relatif tentang nilai-

nilai. (“Baik” dan “buruk” didefinisikan berdasarkan pada kebutuhan-


kebutuhan, hasrat-hasrat dan praktek-praktek yang tertentu dari

manusia). Meskipun Peirce sendiri tidak terlalu condong pada

relativisme. Dia meyakini bahwa alam semesta ini diatur oleh hukum-

hukum yang terus berkembang dan berproses, selalu bersifat lebih

tertata dan bersifat agak lebih pasti. Dia meyakini bahwa ilmu

pengetahuan, juga, terus berkembang dan berproses, dan bahwa para

pakar ilmu pengetahuan, secara bertahap dan stabil, sedang

mendekati “kebenaran” dari hukum-hukum universal. Para pragmatis

lain akan mengatakan bahwa “kebenaran” itu sendiri hanyalah sebuah

konsep relatif yang didefinisikan oleh kebutuhan-kebutuhan dan

perilaku manusia. “Kebenaran,” tulis James, “adalah nama dari apapun

yang membuktikan dirinya sendiri sebagai baik yang sejalan dengan

keyakinan yang dianut. Kebenaran adalah sesuatu yang bekerja dan

berfungsi.

Salah satu pendukung kuat yang lebih dikenal (atau dikenal

karena reputasi jeleknya) dari pandangan yang terakhir sekarang ini

adalah Stanley Fish, seorang profesor Bahasa Inggris dan Hukum di

Duke University. Fish menyukai untuk membahas relativitas dari

konsep-konsep tertentu yang dianggap benar, sebagaimana dalam

bukunya yang paling akhir (sebagaimana dalam tulisan ini), There`s

No Such Thing as Free Speech, and It’s a Good Thing, Too (1994).

Kebebasan berbicara, menurut Fish, adalah bukan sesuatu yang

diberikan begitu saja secara absolut, apakah itu melalui hak alami atau
yang berdasarkan hukum; ia hanyalah apa yang, secara komunal, kita

bersetuju untuk membiarkannya terjadi. Beberapa hal---seperti

“memerangi kata-kata” atau pornografi---akan selalu dicegah, dan

definisi-definisi tentang “kebebasan” dan “berbicara” itu secara terus-

menerus dimodifikasi untuk menyesuaikan dengan kebutuhan-

kebutuhan komunitas. Fish di masa lalu, sepanjang baris-baris kalimat

yang serupa, juga telah mengkritisi secara rinci teori-teori yang

berhubungan dengan sastra, gagasan-gagasan tentang “kualitas”, dan

doktrin-doktrin resmi.

Fish hanyalah salah salu dari kaum neo-pragmatis, yang paling

berpengaruh, yang pernah menjadi sahabat akrab dari filosuf Richard

Rorty. Rorty, menyadari bahwa pragmatisme, secara logis,

mengimplikasikan bahwa mempelajari filsafat itu tidak bersifat

inderawi (nonsensical), telah menempuh langkah yang mengagumkan

dari karir-karirnya yang terus berubah. (Dia sekarang adalah seorang

profesor Bahasa Inggris). Kontradiksi-kontradiksi semacam ini, ini

seharusnya dicatat, sama sekali bukan pemikiran pragmatis yang unik.

Contoh bagus yang lain adalah tentang Steven Knapp dan Walter Benn

Michaels, yang dipromosikan oleh Fish, yang telah menimbulkan

situasi yang menghebohkan di kalangan departemen-departemen

sastra dengan mempublikasikan sebuah esai teoritis yang berjudul

“Against Theory” (1982). Ide sentral dari artikel yang menakjubkan ini

adalah bahwa semua teori sastra adalah didasarkan pada pembedaan


antara apa yang “benar-benar” dimaksudkan oleh sebuah teks dan

apa yang dimaksudkan oleh penulisnya. Tapi, pembedaan ini adalah

tidak nyata, ketika dalam prakteknya, keduanya adalah satu dan

sama: kapan saja kita berbicara tentang “makna”, kita tidak dapat

memaksudkan sesuatu selain dari “maksud” (intention = maksud, arti,

tujuan). Oleh karena itu, untuk mengutip penulis esai ini, “seluruh

keberanian berusaha dari teori kritis ini,” menjadi “tidak koheren” dan

praktis tidak memberi pengaruh, “adalah sesat dan harus

ditinggalkan.” Tapi, tak seorangpun yang mendengarkan. Artikel ini

tidak mempunyai akibat yang praktis. Teori masih terus berkuasa. Jadi,

pragmatisme harus ditinggalkan.

“The World Is All That Is the

Case”

(Dunia Adalah Kumpulan Dari


Keadaan-keadaan yang sebenarnya)

Di antara filosuf yang paling dihormati dan dipuja di abad dua puluh ini

adalah sang aristokrat Wina, Ludwig [Josef Johann] Wittgenstein (1889-

1951), yang telah diklaim sebagai pendiri dari beberapa aliran filsafat.
Tapi, tidak semuanya setuju tentang apa yang telah dia maksudkan,

inilah ironisnya, ketika poin yang paling penting darinya, mungkin,

adalah bahwa filsafat itu harus berkonsentrasi pada bahasa sehari-

hari---dan dianggap benar begitu saja serta tidak rumit.

Wittgenstein, lebih dari siapapun, bertanggung jawab atas

pemfokusan filsafat mutakhir terhadap bahasa, secara khusus

terhadap hubungan antara pernyataan-pernyataan dan realitas-

realitas. Dia mendeklarasikan pandangannya sendiri dalam kalimat

pembukaan pada karya pertamanya, Tractatus Logico-philosophicus

(“Treatise in Logical Philosophy”, 1921): “The word is all that is the

case.” Yang artinya, dia menjelaskan, bahwa dunia ini “adalah totalitas

fakta-fakta, bukan sesuatu.” (things).

Jika anda tidak melakukan pembedaan, inilah dia: “fakta-fakta”

adalah pernyataan-pernyataan yang benar tentang sesuatu (things).

Sebuah kursi adalah sesuatu; pernyataan “Kursi ini merah” adalah

(atau mungkin) sebuah fakta. “Dunia” ini, sebagaimana yang kita

ketahui, hanyalah kumpulan dari fakta-fakta yang diketahui---tentang

“apa keadaan yang sebenarnya”---daripada sesuatu-sesuatu yang

terpisah dari apa yang dapat kita katakan tentang mereka. Ini adalah

bahasa yang mengkonstruk pemahaman kita tentang dunia ini,

tentang lingkungan-lingkungan di sekitar kita dan tentang

pengalaman-pengalaman kita. Apa yang tidak dapat kita katakan,


tidak dapat kita ketahui; “Apa yang tidak dapat kita bicarakan, kita

harus melewatkannya dalam keheningan.”

Proposisi-proposisi Wittgenstein, sangat dipengaruhi oleh

sekelompok filosuf muda yang dikenal sebagai “positivis yang logis”---

orang-orang yang meyakini (believers), sejalan dengan Hume, apapun

tanpa ada pembuktian diri, juga tanpa pendemonstrasian secara

empirik, hanyalah omong kosong belaka. (Omong kosong [Nonsense]

berdasarkan pada cahaya pemahaman mereka, mencakup sastra,

seni, dan gagasan metafisika. Tapi, meskipun mereka menerima

Wittgenstein, Wittgenstein tidak menerima mereka. Untuk sementara,

dia juga memikirkan filsafat harus membatasi dirinya sendiri pada “apa

yang menjadi keadaan yang sebenarnya”, (“what is the case”), dia

masih terus dihantui oleh keheningan-keheningan dan realitas-realitas

yang tak diketahui. Apa yang tidak faktual mungkin adalah hal-hal

yang remeh, tapi, sejauh yang dicermati oleh Wittgenstein, hal-hal

yang remeh (nonsense) adalah sangat menarik.

Pandangan Wittgenstein berkembang antara Tractatus dan karya

setelah dia meninggal, Philosophical Investigations (1953), yang

merekonstruksi kuliah-kuliah yang telah dia berikan di Cambridge.

Dalam kenyataan, dia hampir mengabaikan banyak dari pandangan-

pandangan dia sebelumnya, seperti klaim bahwa “batas-batas dari

bahasa saya adalah batas-batas dari dunia saya.” Seperti banyak

filosuf bahasa lain, Wittgenstein muda telah memperlakukan kata-kata


sebagai indikator-indikator atau wakil-wakil dari berbagai hal di dunia

ini. Tapi, Wittgenstein tua berpikir bahwa suatu penekanan (emphasis)

pada acuan adalah terlalu menyederhanakan masalah.

Dalam Philosophical Investigations, Wittgenstein menawarkan

sebuah pandangan baru: apa yang dimaksudkan oleh kata-kata, tidak

bergantung pada apa yang mereka acu, tapi pada bagaimana mereka

digunakan. Bahasa, kata dia, adalah sejenis game---seperangkat

“potongan-potongan” atau “peralatan” (kata-kata) yang digunakan

berdasarkan pada seperangkat aturan-aturan (konvensi-konvensi

linguistik). Sebagaimana dalam Tractatus, dunia kita dikonstruksi

berdasarkan pada pernyataan-pernyataan atau pernyataan-

pernyataan yang potensial, tapi sekarang ini, penekanannya tidak

didasarkan pada apa yang “dimaksudkan” (ditunjukkan) oleh

pernyataan-pernyataan, tapi lebih pada bagaimana pernyataan-

pernyataan itu digunakan berdasarkan pada aturan-aturan yang

berlaku dan konteks yang melingkupi.

Bersumber dari sini-lah bahwa pengetahuan itu tidak bersandar

pada proses penemuan beberapa “realitas” yang sesuai dengan

pembicaraan kita, tapi lebih berupa, mempelajari cara pembicaraan itu

bekerja (berfungsi). Dengan demikian, bahasa sehari-hari adalah

subyek yang layak bagi filsafat. Problem-problem filsafat tradisional,

yang melibatkan konsep-konsep seperti “ada” (being) dan

“kebenaran”, hanyalah sekadar kebingungan-kebingungan yang


muncul yang bersumber dari jargon dan upaya sesat untuk

menemukan “realitas” yang dianggap “mewakili.”

Fenomenologi
Bahwa kita harus menyingkirkan semua kebiasaan-kebiasaan berpikir
sebelumnya, mencoba mengerti dan membongkar rintangan-rintangan
mental dimana kebiasaan-kebiasaan ini telah menghiasi sepanjang
horizon-horizon berpikir kita, dan dalam kebebasan intelektual yang
penuh untuk terus menggenggam problem-problem filsafat yang
genuine (asli) ini, yang masih menunggu formulasi segar yang utuh
dimana horizon-horizon yang telah dibebaskan dari semua sisi,
menyingkap kepada kita---ini adalah tuntutan yang sulit. Ini tetap saja
bersifat mendesak. Apa yang membuat cocok dan sesuai dari sifat
esensial fenomenologi... dan hubungannya dengan semua ilmu
pengetahuan yang lain... luar biasa sulitnya, adalah bahwa sebagai
tambahan bagi semua penyelesaian-penyelesaian yang lain,
diperlukan sebuah cara baru dalam melihat sesuatu, yang kontras
pada setiap poin-nya dengan situasi alami pengalaman dan pikiran.
Edmund Husserl, Ideas (1913), Introduction

Banyak ajaran filsafat yang sangat sulit untuk dipahami, tapi tulisan-

tulisan dari Edmund Husserl (1859-1938) ini sangat layak

memenangkan beberapa penghargaan sekaligus. Penuh dengan jargon

dan obsesif, fenomenologi Husserl, bagaimanapun, telah mewariskan

pengaruh yang meluas pada filsafat abad dua puluh. Bahkan, karya-

karya filsafat yang sangat sulit dicerna dari Heidegger, Sartre, dan

Derrida, tidak mungkin dapat dipahami tanpa jasa Husserl.

Istilah-istilah phenomenon dan phenomenology, berasal dari

bahasa Yunani yang berarti “penampakan”, bukanlah hal baru bagi

Husserl. Sudah menjadi umum dalam tradisi filsafat Jerman,

phenomenon mengacu pada sesuatu atau peristiwa sebagaimana ia


menampak pada kesadaran manusia (yang dipertentangkan dengan

apa yang bersifat esensial, yang terpisah dari persepsi).

Phenomenology, dengan demikian, adalah studi tentang manifestasi-

manifestasi (tampak jelas pada penglihatan atau pemahaman; suatu

indikasi dari eksistensi atau kehadiran sesuatu, pent.). Husserl

meyakini bahwa sejauh pengetahuan kita tentang dunia ini terus

berlanjut, semua yang kita punyai adalah fenomena sehingga kita

harus berupaya untuk membuat yang terbaik tentangnya.

Untuk melakukan ini, kita harus mulai dengan mengosongkan

dan melucuti persepsi-persepsi kita hingga ke bentuk-bentuk mereka

yang paling sederhana, dengan menanggalkan dan menggugurkan

lapisan-lapisan kebiasaan dan anggapan kita. Kita dapat melatih diri

kita untuk melihat, katakanlah, sebuah kursi tanpa ada pemikiran

apapun tentang tujuannya (untuk duduk), tentang sejarahnya (siapa

yang membuatnya dan dimana kita membelinya), atau tentang

fungsinya (apakah ia nyaman atau sesuai dengan permadani lantai),

kita harus mencoba untuk hanya sekadar mengalami kursi ini dengan

cara yang paling langsung, sebagai sebuah obyek murni kesadaran.

Ketika melihat kursi dengan cara ini---memahami hanya feature-

feature-nya yang paling esensial---kursi ini telah menjadi sebuah

“fenomena” dalam pemahaman Husserl.

Husserl menyebut jenis persepsi ini sebagai “bracketing”

(memberi tanda kurung besar), atau, dalam istilah Yunani, epoche,


yang dia definisikan sebagai “keyakinan yang ditunda dan

ditangguhkan (untuk sementara waktu) dalam eksistensi obyek-

obyek.” Kasarnya, dia memaksudkan bahwa dalam mencari feature-

feature esensial dari sesuatu, kita harus menangguhkan kemelekatan

apapun pada eksistensi aktualnya. Kita kemudian menampilkan

sesuatu yang disebut “variasi imajinasi bebas”. Ambil contoh sebuah

kursi; bayangkan bagaimana ia mungkin menjadi berbeda---secara

mental memotong kaki-kakinya, memutar dan membalik sandaran

belakangnya, menambah sebuah modem fax. Apakah ia masih sebuah

kursi? Kapan saja kita merasa bahwa kita, tidak secara intuitif,

mengenali variasi yang dihasilkan ini sebagai sebuah “kursi”, kita tahu

bahwa kita telah mengubah sesuatu yang esensial. Jenis “penundaan”

(bracketing) ini, adalah sarana untuk memperoleh esensi dari sesuatu

yang terpisah dari bagaimana ia eksis disini dan sekarang ini.”Kembali

pada sesuatu itu sendiri” adalah moto Husserl, dan yang dia

maksudkan adalah “kembali pada intuisi-intuisi kita yang utama

tentang sesuatu dalam bentuknya yang esensial (sebagai fenomena)”.

Tapi, fenomenologi tidak berhenti disini, karena kita telah sampai

pada fenomena yang paling dasar. Tak peduli betapa bagus yang kita

peroleh pada proses menunda kursi, kita bahkan masih belum

memahami struktur dari pengalaman sadar yang sederhana. Untuk

menguji kesadaran, kita perlu, hingga kadar tertentu, melampaui atau

berada di atasnya dan mencapai apa yang disebut Husserl sebagai


“subyektivitas transendental”. (Orang-orang biasanya menyebut ini

sebagai “kesadaran-diri”, tapi saat kita memikirkan itu sebagai

sbersifat subyektif, maka “subyektivitas transendental” dari Husserl

diasumsikan untuk memberi kita suatu pandangan yang “obyektif”

tentang kesadaran).

Saya akan meninggalkan penjelasan teknis Husserl tentang

bagaimana persisnya kita meloloskan diri dari subyektivitas. Cukuplah

disini untuk mengatakan bahwa jika kita menguji kesadaran, hal

pertama yang kita perhatikan adalah bahwa ia bersifat “intensional.”

Dalam pengertian Husserl, “intensional” berarti seperti sesuatu yang

“diarahkan”; kita tidak pernah hanya sadar saja, tapi selalu dalam

keadaan sadar terhadap sesuatu. (“Sesuatu” ini dapat menjadi sebuah

obyek seperti kursi, atau suatu perasaan seperti rasa lapar, atau

sebuah ide, dan ia tidak harus “nyata”). Selanjutnya, ketika kesadaran

adalah sesuatu yang bersifat terarah (mengarah pada sesuatu), ia

tidak pernah kosong atau pasif, tapi selalu aktif. Kesadaran

menjangkau dan menangkap sesuatu secara tiba-tiba, dan cara dari

sesuatu itu menampak pada kita, bergantung pada karakter

(esensi)nya sendiri dan pada karakter dari “menangkap secara tiba-

tiba.” Kita mempunyai tangan untuk menciptakan obyek-obyek dari

dunia kita---misalnya, dengan memberi mereka makna.

Poin terakhir dari semua ini adalah agar dapat menggambarkan,

sepenuh dan setepat mungkin, cara-cara yang paling mendasar


dimana kita memahami dan memberi makna pada dunia dimana kita

hidup. Sebuah tujuan mulia, pastinya, tapi yang bersifat kontroversial.

Bahkan beberapa fenomenologis merasa terganggu dengan gagasan

tentang “ego transendental”, terutama di tahun-tahun selanjutnya,

Husserl mulai membuat klaim-klaim yang aneh tentangnya. (Misalnya,

dia berpandangan bahwa ego transendental sebagai suatu entitas

yang terpisah dari kesadaran seseorang dan hingga kadar tertentu

bersifat abadi). Apakah benar-benar terdapat poin dimana kita dapat

mencermati dan menggambarkan kegiatan-kegiatan normal dari

pikiran? Bagaimana mungkin kesadaran dapat mentransendensikan

dirinya sendiri? Saya tidak memberikan solusi-solusi, tapi sebuah teka-

teki untuk anda.

Eksistensialisme
Eksistensialisme? Mengapa, Jean-Paul Sartre, tentu saja. Kecuali bahwa

ide ini lebih lama satu abad ketimbang Sartre, Sartre adalah

pendukung ide ini yang paling terkenal.

Eksistensialisme---sebuah studi tentang pengalaman subyektif---

sebenarnya diawali oleh filosuf Denmark Soren Kierkegaard (1813-

1855). Kierkegaard menuduh filsafat kontemporer sebagai membuang-

buang banyak waktu percuma tentang “esensi-esensi”, yang dijadikan

asumsi yang mendasari realitas-realitas dan hukum-hukum universal


dari dunia ini. Bukan hanya semua ini bersifat tidak pasti dan

menimbulkan keraguan, dengan memfokuskan diri pada mereka

berarti telah membelokkan perhatian dari problem-problem yang riil,

seperti bagaimana kita sebagai individu-individu dapat membuat

keputusan-keputusan.

Yang paling pertama sekali, Kierkegaard menolak keyakinan

idealistik bahwa baik dan buruk itu mempunyai beberapa realitas

obyektif atau esensial. Mereka lebih merupakan “kebenaran-

kebenaran yang subyektif”---meskipun mereka tidak dapat dibuktikan

atau diperluas kepada yang lain---yang merupakan basis satu-satunya

dari tindakan-tindakan individu. Misalnya, kita tidak dapat mengatakan

bahwa membunuh itu adalah “buruk” dalam beberapa cara yang

obyektif atau yang logis; sungguh, terdapat situasi-situasi, ketika

perbuatan ini dianggap “baik” (dalam mempertahankan diri,

katakanlah demikian, atau dalam peperangan). Sangat sering bahwa

tidak ada cara untuk menentukan secara logis terhadap wacana

tindakan yang benar. Anda tidak dapat mengkalkulasikan bagaimana

merespon ketidakadilan, atau untuk meyakini Tuhan; tapi, kita juga

tidak dapat menghindar dari keputusan-keputusan atau keyakinan-

keyakinan.

Tentu saja, terdapat beberapa kebenaran yang obyektif: dua

ditambah dua sama dengan empat, dan Napoleon telah ditaklukkan di

Waterloo. Tapi, apa kemudian? Sejauh yang dicermati Kierkegaard,


kebenaran-kebenaran semacam ini---yang mungkin saja menarik---

tidak mempunyai kaitan dengan eksistensi sehari-hari seseorang atau

dengan keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan penting dari

seseorang. Hakikat diri kita, dia meyakini, adalah apa yang kita

lakukan. Jika kita benar-benar menjadi (to be), kita harus bertindak,

dan kita mendasarkan tindakan-tindakan kita pada nilai-nilai kita---

yang murni bersifat subyektif dan kebenaran-kebenaran individual,

keimanan, semua itu tidak dapat dibuktikan tapi sangat riil.

Bukan alam dan bukan pula masyarakat yang dapat

menawarkan kepada kita kepastian tentang baik dan buruk, benar dan

salah. Makna dan nilai paling mendasar dari tindakan-tindakan kita

selalu bersifat tidak pasti. Maknanya bagi manusia adalah untuk

bertindak di hadapan ketidakpastian ini. Laki-laki dan perempuan,

menurut pandangan seorang eksistensialis, bertindak secara tidak

otentik jika mereka berperilaku hanya sebagaimana yang

diperintahkan oleh masyarakat, atau hanya menerima pendiktean dari

pihak gereja atau institusi lain. Untuk melakukan yang demikian ini

adalah sikap melarikan diri dari tanggung jawab.

Masalah yang terdapat dalam pandangan eksistensial ini, yang

sangat memaksa sejauh pandangan ini diterapkan, adalah

penekanannya pada eksistensi individual dan pilihan tidak dapat

berbuat apa-apa dalam menghadapi dilema-dilema sosial yang


tersebar luas. Untuk pembahasan lebih lanjut tentang masalah ini dan

bagaimana pihak lain memberikan responnya, simaklah entry berikut.

“Saya Dihukum untuk Menjadi

Bebas”
Sungguh, berdasarkan pada fakta tunggal, bahwa saya sadar tentang
sebab-sebab yang mengilhami tindakan saya, sebab-sebab ini sudah
merupakan obyek-obyek transenden bagi kesadaran saya; mereka
berada di luar. Sia-sia saja saya berupaya untuk menangkap mereka;
saya terlepas dari mereka karena eksistensi saya. Saya dihukum untuk
eksis selamanya untuk melampaui esensi saya, melampaui sebab-
sebab dan motif-motif dari tindakan saya. Saya dihukum untuk
menjadi bebas. Ini berarti bahwa tidak ada batas-batas bagi kebebasan
saya, yang dapat ditemukan kecuali kebebasan itu sendiri atau, jika
anda lebih suka, bahwa kita tidak bebas untuk berhenti menjadi bebas.
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness (1943),
Part Four

Ketika seseorang mengingatkan anda “Ini adalah negara bebas,” anda

mengetahui apa yang dia maksudkan. Anda, pada dasarnya, bebas

untuk melakukan apa yang anda inginkan (ini disebut dengan

kebebasan “positif), dan, pada dasarnya, bebas dari siksaan

pandangan-pandangan anda (kebebasan “negatif). Kebebasan positif

melibatkan pilihan-pilihan; kebebasan negatif melibatkan akibat-

akibat.
Kedua kebebasan kembar ini cukup menakjubkan dan kita

beruntung mempunyai keduanya. Tapi, kata penting disini adalah

beruntung. Jika dalam sebuah peristiwa, yang bersifat mustahil, bahwa

seorang diktator akan memaksakan kehendak pribadinya suatu hari,

sehingga kebebasan-kebebasan kita yang sangat berharga itu hilang

dalam sekejap. Apa yang masih tersisa kemudian? Apakah ada jenis

kebebasan yang esensial yang tidak akan pernah dapat dirampas dari

kita?

Menurut Jean-Paul Sartre, seorang filosuf eksistensialis

terkemuka abad ini, jawabannya adalah “ya”. Tapi, jawaban “ya” ini

adalah berkah yang tercampur. Sartre mengatakan bahwa untuk

menjadi manusia adalah dengan menjadi bebas sepenuhnya, untuk

selalu mempunyai kuasa untuk memilih. Tapi satu-satunya hal yang

tidak dapat kita pilih adalah untuk menghentikan proses memilih ini,

atau, untuk mengutip paradoks Sartre, “Saya dihukum untuk menjadi

bebas.” Memilih untuk tidak bertindak masih tetap sebuah pilihan.

Inilah dilema eksistensial.

Filsafat kebebasan Sartre bersumber dari studinya tentang

fenomenologi, (yaitu) filsafat tentang kesadaran murni. Sebagaimana

Sartre memahaminya, apa yang membedakan kesadaran adalah

bahwa ia sekaligus tentang dunia ini dan bukan tentang dunia ini.

Ketika kita merefleksi pada bagaimana kita berpikir, ketika kita

menjadi sadar-diri, kita memperlakukan pemikiran kita seolah-olah ia


adalah sebuah obyek di dunia ini. Untuk mengatakan “Saya bingung

dengan penjelasan itu” adalah untuk mentransendensikan proses

berpikir kita sendiri dan bercermin (reflect) padanya. Tapi, dunia yang

kita kenal hanyalah kumpulan dari semua obyek yang bersifat

“transenden”: hal-hal yang kita pahami dan pikirkan.

Pada saat yang bersamaan, kesadaran adalah bukan bagian dari

dunia ini. Ketika kita bermimpi, kita terputus dari indera-indera luar.

Ketika kita membayangkan---katakanlah, ketika kita berfantasi

memenangkan lotre---kita memunculkan yang sekarang ini (dunia

sebagaimana ia adanya) dan memproyeksikan sebuah masa depan

yang lebih baik (dunia tidak sebagaimana adanya ia). Masa depan ini,

karena ia tidak aktual, adalah tidak eksis: ia adalah ketiadaan

(nothingness).

Menurut Sartre, semua tindakan muncul dari ketiadaan. Jika

anda selalu menyesuaikan diri secara langsung pada masa sekarang

ini, tidak mampu untuk melepaskan diri darinya, anda bukan hanya

tidak bisa membayangkan, (tapi) anda (juga) tidak bisa bertindak.

Masa sekarang ini adalah ia secara apa adanya, dan kecuali anda

mempertimbangkan pada bagaimana sesuatu itu dapat menjadi

berbeda, (maka ) tidak ada motif untuk melakukan apapun. Sartre

membawa tesis ini selangkah lebih jauh: semua tindakan-tindakan

kita, diarahkan pada sebuah tujuan yang tidak eksis disini-dan

sekarang ini (in the here-and-now). Tindakan-tindakan kita, kemudian,


menjadi tidak didasarkan pada apapun, juga tidak pernah bersifat

esensial (necessary). Tujuan-tujuan adalah sesuatu yang kita

kreasikan secara bebas untuk diri kita, dan sejalan dengan mereka,

kita mengkreasikan nilai-nilai kita sendiri. (Disini Sartre mengadaptasi

dari Kierkegaard).

Istilah “nausea” yang terkenal dari Sartre, muncul dari

kebebasan memilih yang absolut, kesadaran bahwa anda mampu

untuk melakukan tindakan apapun yang mungkin. Misalnya, pada

momen apa saja, anda mungkin memilih untuk membunuh diri anda

sendiri; dan pemikiran ini---yang membukakan jurang dalam yang

menganga lebar di dalam diri---menghasilkan rasa cemas (angst) dan

nausea. (anda dapat [could] melakukannya, dan anda merasa takut

sehingga anda mungkin [might] melakukannya). Untuk menjadi

“terhukum untuk menjadi bebas” adalah untuk bertanggung jawab

dalam menciptakan setiap situasi dari “dunia” kita sendiri---untuk

memilih tujuan-tujuan kita sendiri, metode-metode pengelolaan

masalah, respon-respon kita atas rasa cemas dalam memilih.

Barangkali, anda akan memilih untuk membunuh dirimu sendiri; jika

tidak, maka anda setidaknya memilih untuk terus memilih.

Mayoritas orang menolak untuk menghadapi fakta-fakta ini,

namun, karena mereka tidak dapat mengemban ide bahwa mereka

bertanggung jawab atas dunia mereka. Sebagaimana telah banyak

dikemukakan oleh para kritikus di era kita, bahwa kita lebih cenderung
untuk melihat diri kita sebagai korban daripada sebagai manusia

dewasa yang bertanggung jawab. Kita menyalahkan pilihan-pilihan

inferior kita atau kerja keras kita yang telah gagal sebagai akibat dari

masa kecil kita yang tidak bahagia, sebagai akibat dari penindasan

oleh budaya, akibat pembagian kelas (sosial), akibat prasangka, atau

akibat dari suasana masyarakat pada umumnya. Sartre tidak akan

mengingkari bahwa masa kecil yang tidak bahagia dan prasangka-

prasangka budaya eksis dan ini adalah buruk. Tapi, dia memberi label

sebagai “keyakinan yang buruk” pada sikap menolak untuk memiliki

pilihan-pilihan bebas kita sendiri dalam menginterpretasi sesuatu dan

merespon pada fakta-fakta kehidupan.

Sartre sangat bagus dalam mengekspos keyakinan yang buruk,

tapi kurang bagus pada membuka jalan menuju keotentikan;

eksistensialisme lebih bagus dalam deskripsi ketimbang dalam

membuat dirinya sebagai pegangan dan pedoman. Sartre sendiri, pada

akhirnya, menyadari keterbatasan-keterbatasan dari eksistensialisme

dan untuk selanjutnya lebih concern pada situasi-situasi yang

menindas. Pada akhir tahun 1950-an, dia menjadi sangat tertarik

dengan Marxisme, bukan sebagai sebuah sistem politik, tapi lebih

sebagai sebuah filsafat dari tindakan kolektif. Tentu saja, ideal kaum

Marxis tentang penciptaan-dunia yang terkoordinir, tidak berjalan

dengan mulus.

You might also like