You are on page 1of 142

DIKLAT TEKNIS SUBSTANTIF DASAR

KEPABEANAN DAN CUKAI

Disusun Oleh:

Drs. Arif Soerojo, M.Hum.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN PUSDIKLAT BEA DAN CUKAI 2011

DIKLAT TEKNIS SUBSTANTIF DASAR

KEPABEANAN DAN CUKAI

Disusun Oleh:

Drs. Arif Soerojo, M.Hum.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN PUSDIKLAT BEA DAN CUKAI 2011

Modul I - IV

PENGANTAR PAJAK
Diklat Teknis Substantif Dasar ( DTSD) Kepabeanan dan Cukai

Oleh : Drs. Arif Surojo, M Hum ( Widyaiswara Pusdiklat Pajak)

Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Bea dan Cukai Jakarta 2010

DAFTAR ISI

Daftar Isi PENGANTAR PAJAK 1. Pendahuluan ... 1.1 Deskripsi Singkat ... 1.2 Tujuan Instruksioan Umum ... 1.3 Tujuan Instruksional Khusus 2. Kegiatan Belajar (KB) 1 PERKEMBANGAN PERPAJAKAN DI INDONESIA HUKUM PAJAK MACAM-MACAM PUNGUTAN ASAS-ASAS PEMUNGUTAN PAJAK 2.1 Uraian, Contoh dan Non Contoh .......... A. Peraturan Perungang-undangan Perpajakan Yang Berlaku sejak Proklamasi Sampai dengan 1983 .................................................... B. Peraturan Perundang-undangan Perpajakan Yang Berlaku sejak 1983 yang Belum Diperbaharui ...................................................... 2.2 Latihan 1 2.3 Rangkuman 3. Kegiatan Belajar (KB) 2 HUKUM PAJAK 3.1 Uraian, Contoh dan Non Contoh ..

1 1 2 2

5 6 7

A. Pengertian Hukum Pajak . 8 B. Kedudukan Hukum, Pajak Dalam Sistem Hukum Di Indonesia C. Pembagian Hukum Pajak .... 9 10

D. Hubungan Hukum Pajak Dengan Hukum Perdata .. 11 E. Pengaruh Hukum Pajak Terhadap Hukum Perdata . 12 F. Hubungan Hukum Pajak Dengan Hukum Pidana ....................... G. Penafsiran Dalam Hukum Pajak . 3.2 Latihan 2 3.3 Rangkuman 13 17 20 20

4.

Kegiatan Belajar (KB) 3 BEBERAPA MACAM PUNGUTAN DI INDONESIA 4.1 Uraian, Contoh dan Skema A. Pajak ... B. Retribusi.. C. Sumbangan ...... 4.2 Latihan 3 4.3 Rangkuman 22 22 24 24 25 25

5.

Kegiatan Belajar (KB) 4 ASAS-ASAS PEMUNGUTAN PAJAK 5.1 Uraian, Contoh dan Non Contoh ... 26

A. Asas-asas Menurut Falsafah Hukum............ 27 B. Asaa Yuridis 31 C. Asas Ekonomis . D. Asaa Finansial . 5.2 Latihan 4 5.3 Rangkuman 6. 7. 8. 9. Test Formatif .. Kunci Jawaban Test Formatif Umpan Balik dan Tindak Lanjut Daftar Pustaka 32 32 33 33 34 36 36 37

ii

PENDAHULUAN

1. PENDAHULUAN

1.1. DESKRIPSI SINGKAT / RELEVANSI / PENGANTAR. Indonesia adalah Negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, pemungutan pajak di Indonesia harus berdasarkan Undang-Undang, tidak boleh dilakukan dengan sewenangwenang. Dasar pemungutan pajak ditetapkan dalam Pasal 23 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1946 yang berbunyi Segala Pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-Undang. Alinea keenam memori penjelasan menyatakan bahwa Oleh karena penetapan belanja mengenai hak Rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri, maka segala tindakan yang menempatkan beban kepada Rakyat, sebagai pajak dan lain-lainnya, harus ditetapkan dengan Undang-Undang yaitu dengan persetujuan DPR. Tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pajak, sebagai

pencerminan kewajiban di bidang perpajakan berada pada masyarakat wajib pajak sendiri. Pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian kewajiban dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersamasama melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk

pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Dalam melaksanakan kewajiban perpajakan tersebut, sudah

sepantasnya apabila masyarakat dan aparat perpajakan mengerti peraturan perundang-undangan perpajakan, sehingga masyarakat Wajib Pajak

mengerti dan sadar serta patuh melaksanakan kewajiban perpajakannya, aparat pajak mampu membina, meneliti dan mengawasi pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Aparatur pajak sebagai pembina, peneliti dan pengawas dan penerap sanksi perpajakan dituntut lebih mengerti dan memahami serta menguasai Hukum Pajak, agar dalam pelaksanaan tugasnya berjalan dengan baik, menjamin kepastian hukum kepada para Wajib Pajak. Dalam rangka mengantarkan para peserta diklat dilingkungan Direktorat Jendral Pajak maka disusunlah Modul Pengantar Hukum Pajak ini.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

1.2. TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM. Dengan mempelajari modul ini peserta diklat diharapkan dapat memahami Pengantar Hukum Pajak (PHP) sebagai pelajaran dasar (basic leervak) untuk mempelajari Hukum Pajak, baik Hukum Pajak Material maupun Hukum Pajak Formal atau dapat dikatakan bahwa PHP tersebut merupakan Pengetahuan Dasar yang mengantarkan kepada pembahasan hukum pajak.

1.3. TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS. Setelah selesai mempelajari modul ini para peserta diklat, diharapkan mampu: a. Menjelaskan perkembangan perpajakan di Indonesia; b. Menjelaskan arti beserta bagian-bagian dari Hukum Pajak; c. Menjelaskan arti Pajak beserta pembagian jenis pajak; d. Menjelaskan macam-macam asal pemungutan pajak; e. Menjelaskan macam-macam sistem pemungutan pajak; f. Menjelaskan macam-macam tarif pajak;

g. Menjalaskan macam-macam surat ketetapan pajak; h. Menjelaskan kapan timbul dan hapusnya hutang pajak; i. Menjelaskan keberatan dan banding dan menerangkan tata cara keberatan dan banding; j. Menjelaskan mengenai perjanjian perpajakan meliputi sebab-sebab timbulnya pajak berganda dan cara menghindarkannya. k. Menjelaskan tentang penagihan pajak, meliputi dasar penagihan, hak mendahulu dan kadaluarsa penagihan.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

MODUL I PERKEMBANGAN PERPAJAKAN DI INDONESIA HUKUM PAJAK MACAM-MACAM PUNGUTAN - ASAS-ASAS PEMUNGUTAN PAJAK

2. Kegiatan Belajar (KB) 1

PERKEMBANGAN PERPAJAKAN DI INDONESIA

2.1. Uraian, Contoh dan Non Contoh Zaman dahulu sebelum terdapat negara yang teratur masih bersifat sederhana, dikuasai oleh seorang raja yang bertugas memelihara keamanan di wilayah kekuasaannya serta mempertahankan wilayahnya dari serangan musuh, rumah tangga keuangannya belum sempurna dan masih sederhana. Namun pada zaman itu terasa juga kebutuhan akan uang membiyai pengeluaran umum negara seperti untuk membayar pegawai kerajaan, mengaji para prajurit, membangun gedung, jalan dan lain-lain. Pada waktu itu pemungutan pajak belum teratur, masih berupa setoran innatura seperti padi, ternak dan lain-lain atau melakukan pekerjaan guna kepentingan umum seperti mempelihara jalan, melaksanakan jaga bergiliran, rodi dan lain-lain. Dengan majunya suatu negara modern, maka tata cara pemungutan pajakpun menjadi teratur. Dalam modul ini penyusun akan mensajikan sepintas tentang perkembangan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku sejak kemerdekaan Republik Indonesia sampai sekarang.

A. PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN

PERPAJAKAN

YANG

BERLAKU SEJAK PROKLAMASI SAMPAI DENGAN 1983 Pada umumnya peraturan-peraturan perundang-undangan

perpajakan pada masa ini adalah peninggalan zaman belanda yang karena beberapa kesulitan belum dapat diganti, hanya mengalami

beberapa perubahan untuk disesuaikan dengan kemajuan perekonomian. Merujuk pada Pasal II (Aturan Peralihan) UUD. 1945 jo Undang-Undang No. 4 Tahun 1952 antara lain menyatakan bahwa sejak 1 Januari 1951, semua Undang-Undang, Undang-Undang Darurat dan Ordonasi tentang

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

Pajak yang dikeluarkan sebelum pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dinyatakan berlaku di seluruh Indonesia. Undang-undang yang menyatakan berlaku dalam Undang-Undang No.4 Tahun 1952 adalah : 1. Undang-undang Pajak Radio (U.U. No 12 Tahun 1947). 2. Undang-undang Pajak Pembangunan (U.U. No 14 Tahun 1947). 3. Undang-undang Darurat Pajak Peredaran (U.U. No. 12 Tahun 1952). 4. Ordonansi Pajak Peralihan 1944 (Stbl. 1994 No. 17) kemudian menjadi Ordonasi Pajak Pendapatan 1944. 5. Ordonansi Pajak Upah (Stbl. 1934 No. 611). 6. Ordonansi Pajak Rumah Tangga (Stbl. 1908 No. 13) 7. Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor (Stbl. 1934 No. 718). 8. Ordonansi Bea Balik Nama (Stbl. 1924 No. 291). 9. Ordonansi Pajak Potong (Stbl. 1936 No 671) 10. Aturan Bea Materai 1921 (Stbl. 1921 No. 498) 11. Ordonansi Successie 1901 (Stbl. 1901 No 471) 12. Ordonansi Pajak Kekayaan 1932 (Stbl. 1932 No 405)

Pajak-pajak negara lain yang tidak disebutkan dalam Undangundang No 4 Tahun 1952 diumumkan secara tersendiri seperti Pajak Perseroan 1925 (Lembaran Negara 1952 No. 83). Dalam perkembangan selanjutnya, sesuai dengan tuntutan masyarakat dan perkembangan ekonomi keuangan Negara, atas Undang-undang perpajakan tersebut mengalami berbagai perubahan, misalnya dengan penghapusan

peraturan, penggantian nama, perubahan status pajak negara menjadi pajak daerah dan lain-lain. Sejalan dengan perkembangan ekonomi di Indonesia, kemudian diundangkan beberapa Undang-undang perpajakan antara lain: 1. Undang-undang Pajak Penjualan 1951 (kemudian diperbarui dengan Undang-undang No. 2 Tahun 1968). 2. Undang-undang Pajak Deviden (U.U. No. 21 Tahun 1959 yang kemudian diperbaruhi dengan Undang-undang Pajak atas Bunga Dividen dan Royalty 1970 (U.U. No. 10 Tahun 1967). 3. Undang-undang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa (U.U. No. 19 Tahun 1959). 4. Pajak Bangsa Asing (U.U. No. 74 Tahun 1958)

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

5. Undang-undang Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (U.U. No. 27 Tahun Tahun 1959). 6. Undang-undang No. 8 Tahun 1967 tentang Tata Cara Pemungutan PPd. PKk dan PPs atau Tata Cara MPS-MPO. Perkembangan selanjutnya ada beberapa Pajak Negara diserahkan ke Pemerintah Daerah yaitu : 1. Berdasarkan Undang-undang No. 12 Tahun 1956 tentang

Perimbangan Keuangan Negara antara Pusat dan Daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri jo Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 1957 tentang penyerahan Pajak Negara kepada Daerah, telah diserahkan : a. Kepada Daerah Tingkat I : 1) Pajak Rumah Tangga 1908 2) Pajak Kendaraan Bermotor 1934 3) Verponding 1928 b. Kepada Daerah Tingkat II : 1) Pajak Jalan 1942 2) Pajak Kopra 3) Pajak potong 1936 4) Pajak pembangunan I 5) Verponding Indonesia 2. Berdasarkan Undang-undang No. 10 Tahun 1968 tentang Penyerahan Pajak-pajak Negara kepada : a. Daerah Tingkat I : Pajak Bangsa Asing 1958 b. Daerah Tingkat II Pajak Radio 1947 B. PERATURAN PERUNDANGAN-UNDANGAN PERPAJAKAN YANG BERLAKU SEJAK 1983 YANG BELUM DIPERBARUHI Menimbang bahwa peratran perundangan perpajakan yang merupakan landasan pemungutan pajak yang berlaku selama ini, sebagian besar merupakan warisan kolonial, yang pada saat itu dibuat semata-mata hanya untuk menghimpun dana bagi Pemerintah

Penjajahan dalam rangka memperbesar kekuasaannya di tanah air kita. Memasuki alam kemerdekaan, sejak Proklamasi 17 Agustus 1945, terhadap berbagai peraturan perundang di bidang perpajakan telah
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

dilakukan perubahan, tambahan dan penyesuaian terhadap keadaan dan tuntutan rakyat dari suatu negara yang telah merdeka. Namun perubahanperubahan tersebut belum menjawab secara fundamental tuntutan dan kebutuhan rakyat tentang perlunya seperangkat peraturan perundangundangan perpajakan yang secara mendasar. Peraturan tersebut harus dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, yang didalamnya tertuang ketentuan yang menjujung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan. Berdasarkan perkembangan serta alasan tersebut diatas maka Pemerintah mensahkan Peraturan Perundang-undangan perpajakan yang baru, yaitu : 1. Undang-undang No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) (L.N. No. 49 Tahun 1983, TLN No. 3262), yang telah berkali-kali diubah dengan Undang-undang No. 28 Tahun 2007. 2. Undang-undang No. 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan (PPh)(L.N. No. 50 Tahun 1983, TLN No. 3263), yang telah berkali-kali diubah terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008. 3. Undang-undang No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan PPn Barang Mewah (L.N. No. 51 Tahun 1983, TLN No. 3264) yang telah berkali-kali diubah, terakhir dengan UU No. 18 Tahun 2000. 4. Undang-undang No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) (L.N. No. 68 Tahun 1985, TLN No. 3312) yang telah berkali-kali diubah terakhir dengan UU No. 12 Tahun 1994. 5. Undang-undnag No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai (L.N. No. 69 Tahun 1983, TLN No. 3313). 2.2. LATIHAN 1 1. Apa yang dimaksud dengan Pengantar Hukum Pajak? 2. Sebutkan dasar hukum berlakunya undang-undang perpajakan hasil peninggalan Pemerintah Hindia Belanda pada awal kemerdekaan? Jawab : Pasal II (Aturan Peralihan) UUD 1945 jo Undang-Undang No. 4 Tahun 1952 3. Undang-undang pajak apa yang disahkan pada masa 17-8-1945 s/d 1983?
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

Jawab : a. UU Pajak Penjualan 1951 b. Undang-undang Pajak Dividen 1959 jo UU PBDR tahun 1967 c. Undang-undang Penagihan Pajak Negara No. 19/1959 d. Undang-undang Pajak Bangsa Asing 1958 e. Undang-undang Balik Nama Kendaraan Bermotor 1959 f. Undang-undang No. Tahun 1967 tentang tata cara MPS-MPO. 4. Sebutkan Pajak Negara yang diserahkan ke Pemda Tingkat I ! Jawab : Pajak Negara yang diserahkan ke Pemda Tingkat I adalah PRT, PKB, Verponding, BBN Kendaraan Bermotor 5. Pajak-pajak apa yang menjadi wewenang pengelolaan Direktorat Jenderal Pajak sekarang? Jawab : Pajak Negara yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak saat ini adalah PPh, PPN dan PPnBM, PBB, dan BM, BPHTB 2.3. RANGKUMAN 1. Berlakunya Kemerdekaan Undang-undang yang berasal Perpajakan dari setelah Proklamasi Belanda

Pemerintahan

Hindia

berdasarkan Pasal II (Aturan Peralihan) UUD 1945 jo Undang-undang No. 4 tahun 1952. 2. Dalam rangka perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah ada beberapa Pajak Negara diserahkan ke Pemerintah Daerah antara lain Pajak Rumah Tangga, Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Verponding, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor ke Pemda Tingkat I dan Pajak Jalan, Pajak Kopra, Pajak Potong, Pajak Pembangunan I, Pajak Bangsa Asing, Pajak Radio ke Pemda Tingkat II. 3. Pembaharuan perpajakan dengan disahkannya Undang-undang : a. UU No. 6 Tahun 1983 tentang KUP yang berkali-kali diubah terakhir dengan UU No. 28 Tahun 2007 b. UU No. 7 Tahun 1983 tentang PPh yang berkali-kali diubah terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008 c. UU No. 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPn BM yang berkali-kali diubah terakhir dengan UU No. 18 Tahun 2000 d. UU No. 12 Tahun 1985 tentang PBB yang berkali-kali diubah terakhir dengan UU No. 12 Tahun 1994 e. UU No. 13 Tahun 1985 tentang BM

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

3. Kegiatan Belajar (KB) 2

HUKUM PAJAK

3.1. Uraian, Contoh dan Non Contoh Pemungutan pajak di Indonesia tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang tetapi harus berdasarkan Undang-undang; hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 23A ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-Undang. Dalam modul ini akan diuraikan tentang pengertian Hukum Pajak, pembagian Hukum Pajak, Kedudukan Hukum Pajak, Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum lainnya serta penafsiran dalam Hukum Pajak. A. PENGERTIAN HUKUM PAJAK Apabila seseorang ingin mempelajari suatu ilmu, maka orang tersebut, perlu mengetahui apa arti atau definisi dari ilmu yang akan dipelajarinya itu agar mudah memahami apa yang terkandung dalam ilmu itu. Definisi dalam ilmu hukum seperti dalam ilmu sosial lainnya tidak ada yang pasti, tetapi bermacam-macam, sesuai dengan sudut pandang masing-masing sarjana yang membuat definisi tersebut. Namun dalam bermacam-macam bunyi definisi itu, intinya akan sama. R. Santoso Brotodihardjo, S.H., (1986 : 1) menyatakan bahwa Hukum Pajak yang disebut juga Hukum Fiskal, adalah keseluruhan dan peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah, untuk

mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui Kas Negara, sehingga ia merupakan bagian dari Hukum Publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antar negara dan orang-orang atau badan-badan (Hukum) yang berkewajiban membayar pajak (selanjutnya disebut Wajib Pajak). Di dalam Hukum Pajak memuat pula unsur-unsur Hukum Tata Negara, Hukum Pidana, Hukum Acara Pidana, Hukum Perdata dan lainlain. Prof. DR. H. Rochmat Soemitro, S.H., (1977 : 23) menyatakan bahwa Hukum Pajak ialah suatu kumpulan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak.
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

Hukum Pajak merupakan suatu bagian dari Hukum Tata Usaha Negara, yang didalamnya termuat juga anasir-anasir Hukum Tata Negara, Hukum Pidana, Hukum Perdata dan lain-lain. B. KEDUDUKAN INDONESIA Secara umum Hukum terbaggi atas Hukum Publik dan Hukum Perdata. Hukum Publik mencakup Hukum Pidana dan Hukum Tantra yang meliputi Hukum Tata Negara dan Hukum Tata Negara. Hukum Perdata mencakup Hukum Perdata arti sempit (B.W. = Burgelijke Wetboek) dan Hukum Dagang (W.v.K = Wetboek van Koophandel). Hukum Publik ialah hukum yang mengatur hubungan Hukum antara Pemerintah dengan warganya, sedangkan Hukum Perdata ialah Hukum yang mengatur hubungan Hukum antara perorangan di dalam masyarakat. Hukum Tata Usaha Negara atau Hukum Administrasi Negara ialah segenap peraturan hukum yang mengatur segala cara kerja dan pelaksanaan wewenang yang langsung dari lembaga-lembaga negara serta aparaturnya dalam melaksanakan tugasnya masing-masing. HUKUM, PAJAK DALAM SISTEM HUKUM DI

(Hukum Tata Usaha Negara Materil). Hukum pajak merupakan bagian dari Hukum Tata Usaha Negara, namun Prof. Adriani menghendaki bahwa Hukum Pajak berdiri sendiri merupakan suatu ilmu pengetahuan yang terlepas dari Hukum Tata Usaha Negara karena Hukum Pajak mempunyai tugas yang bersifat lain daripada hukum administratif pada umumnya, yaitu hukum pajak juga digunakan sebagai alat untuk menentukan politik perekonomian dan mempunyai istilah-istilah tersendiri di bidang perpajakan. Namun kemandirian Hukum Pajak, umumnya dirasakan kurang tepat karena seolah-olah menyatakan bahwa Hukum Pajak berdiri terlepas dari hukumhukum lainnya, padahal Hukum Pajak mempunyai hubungan dengan hukum lain seperti Hukum Perdata, Hukum Pudana, Prof. Adriani menyatakan bahwa Hukum Pajak mendasarkan tafsirannya atas bagianbagian lainnya dari Ilmu Hukum, tetapi ia tidak berdiri di bawah telapak kakinya.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

HUKUM

Hukum Perdata (Arti Luas)

Hukum Publik

Hukum Perdata (BW)

Hukum Tata Negara

Hukum Dagang (W.V.K)

Hukum Tata Usaha Negara

Hukum Pajak

Hukum Pidana

C. PEMBAGIAN HUKUM PAJAK Pembagian Hukum Pajak ke dalam Hukum Pajak Material dan Hukum Pajak Formal penting sekali, seperti halnya Hukum Pidana atau Hukum Perdata. Hukum Pidana terbagi ke dalam Hukum Pidana Material dan Hukum Pidan Formal (Hukum Acara Pidana) dan Hukum Perdata ke dalam Hukum Perdata dan Hukum Acara Perdata. Di dalam Undang-undang Pajak yang lama seperti Ordonansi PPd 1944, Ordonasi PKK 1932 dan Ordonansi PPs 1925, ketentuan Material dan Formal ada di dalam Undang-undang pajak itu sendiri. Dengan adanya pembaharuan perundang-undnagan perpajakan sejak awal 1984 Hukum Pajak Material dan Hukum Pajak Formal terpisah dan diatur dalam Undang-undang tersendiri. a). Hukum Pajak Material Hukum Pajak Material, ialah Hukum Pajak yang memuat norma-norma yang menerangkan keadaan-keadaan, perbuatanperbuatan dan peristiwa-peristiwa hukum yang harus dikenakan pajak, sisapa-siapa yang harus dikenakan pajak, berapa besarnya pajak atau dapat dikatakan pula segala sesuatu tentang timbulnya, besarnya, dan

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

10

hapusnya utang pajak dan hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak. Undang-undang pajak yang termasuk dalam Hukum Pajak Material ialah : a. Undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. b. Undang-undang No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah c. Undang-undang No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan d. Undang-undang No. 13 Taun 1985 tentang Bea Material. b). Hukum Pajak Formal Hukum Pajak Formal ialah Hukum Pajak yang memuat peraturan-peraturan mengenai cara-cara Hukum Pajak Material menjadi kenyataan. Hukum ini memuat cara-cara pendaftaran diri untuk

memperoleh NPWP, cara-cara pembukuan, cara-cara pemeriksaan, cara-cara penagihan, hak dan kewajiban Wajib Pajak, cara-cara penyidikan, macam-macam sanksi, dan lain-lain. Undang-undang Pajak yang termasuk Hukum Pajak Formal ialah : a. UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sebagaimana telah diubah terakhir dengan UNDANGUNDANG No. 16 Tahun 2000. b. UU No. 19 Tahun 1997 sebagaimana teah diubah dengan UNDANG-UNDANG No. 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. D. HUBUNGAN HUKUM PAJAK DENGAN HUKUM PERDATA Hukum Pajak banyak sekali hubungannya dengan Hukum Perdata, hal ini dapat dimengerti karena Hukum Pajak mencari dasar kemungkinan pemungutan pajak atas dasar peristiwa (kematian,

kelahiran), keadaan (kekayaan), perbuatan (jual beli, sewa menyewa) yang diatur dalam Hukum Perdata. Hal ini dijadikan Tesbestand yang dituangkan dalam Undang-undang pajak, dan bila dipenuhi syaratsyaratnya akan menyebabkan seseorang atau badan dikenakan pajak.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

11

Sebagian

Sarjana

mengatakan

bahwa

bukan

itu

yang

menyebabkan timbulnya hubungan yang erat antara Hukum Pajak dengan Hukum Perdata, melainkan suatu ajaran di bidang hukum yang menyatakan bahwa lex specialis derogat lex generale, yaitu hukum yang khusus menyimpangkan hukum yang umum. Prof. Mr. W.F. Prins dalam bukunya Het Belastingrescht van Indonesie, menyatakan bahwa hubungan erat ini sangat mungkin sekali timbul karena banyak dipergunakan istilah-istilah Hukum Perdata dalam Hukum Pajak walaupun sebagai prinsip harus di pegang teguh, bahwa pengertian-pengertian yang dianut oleh Hukum Perdata tidak selalu dianut dalam Hukum Pajak. Misalnya mengenai istilah tempat tinggal atau domisili, diatur baik dalam Hukum Perdata maupun dalam Hukum Pajak. Di dalam Hukum Perdata domisili diatur dalam Pasal 17 sampai denagn Pasal 25 BW., sedangkan dalam Hukum Pajak antara lain dama Undang-undang lama yaitu Pasal 1 ayat (2) Ordonansi PPh 1932 jo pasal 1 ayat (2) Ordonansi PPd 1944 dan dalam Undang-undang Pajak baru Pasal 2 ayat (5) dan ayat (6) UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Untuk jelasnya bunyi pasal-pasal tersebut adalah : 1. Pasal 17 B.W. : Setiap orang dianggap mempunyai tempat tinggalnya dimana ia menempatkan pusat kediamannya. Dalam hal tak adanya tempat tinggal yang demikian, maka tempat kediaman sewajarnya dianggap sebagai tempat tinggal. 2. Pasal 2 ayat (5) UU. No. 7 Tahun 1983 : Seseorang atau suatu badan berada, bertempat tinggal, atau berkedudukan di Indonesia ditentukan menurut keadaan sebenarnya. 3. Pasal 2 ayat (6) UU No. 7 Tahun 1983 : Direktur Jenderal Pajak berwenang menetapkan seseorang atau suatu badan berada, bertempat tinggal atau bertempat kedudukan. 4. Dengan adanya kedua ketentuan tersebut maka ketentuan yang ada dalam Hukum Pajak yang dianut oleh Fiskus, karena merupakan ketentuan yang khusus (lex spescialis).

E. PENGARUH HUKUM PAJAK TERHADAP HUKUM PERDATA Pengaruh Hukum Pajak terhadap hukum Perdata akibat dari Lex specialis derogat lex generale, maka dalam setiap Undang-undang,
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

12

penafsiran yang harus dianut pertama kali adalah yang ada di ketentuan yang khusus. Ketentuan dalam Hukum Pajak mengenyampingkan ketentuan dalam Hukum Perdata, antara lain : Hak majikan memotong Pajak. a. Di dalam Pasal 16025 B.W. menyatakan bahwa : Si majikan diwajibkan membayar kepada si buruh upahnya pada waktu yang telah ditentukan. b. Di dalam Hukum Pajak diatur baik dalam Undang-undang Pajak lama maupun yang baru. Pasal 23 Ordonansi Pajak Upah dan Pasal 17a Ordomamsi PPd 1944 menyatakan bahwa majikan diberi hak untuk memotong lebih dahulu Pajak Upaj/PPh Pasal 17a sebelumnya menerima gaji. Di dalam Pasal 21 UU No. 7 Tahun 1983 dinyatakan pada ayat (1) Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dan penyetorannya ke Kas Negara, wajib dilakukan oleh : a). Pemberi kerja yang membayar gaji, upah dan honorarium dengan nama apapun, sebagai imbalan atas pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau orang lain yang dilakukan di Indonesia. b). Dan seterusnya. Apabila mengamati ketentuan dalam B.W. dan Undang-undang Pajak sepintas seperti bertentangan, B.W. menyatakan majikan wajib membayar gaji kepada si buruh, padahal dalam Undangundang Pajak majikan diberi hak untuk memotong lebih dahulu pajak Upah/PPh 17a sebelum diterimakan gaji, maka dalam hal ini ketentuan dalam Undang-undang pajaknya yang dianut. F. HUBUNGAN HUKUM PAJAK DENGAN HUKUM PIDANA. 1) Umum Ancaman Hukuman Pidana tidak saja terdapat dalam

K.U.H.P., tetapi banyak juga tercantum dalam Undang-undang di luar K.U.H.P. hal ini disebabkan antara lain : a. Adanya perubahan sosial secara cepat sehingga perubahanperubahan itu perlu disertai dan diikuti peraturan-peraturan hukum dengan sanksi pidana b. Kehidupan moderen semakin kompleks, sehingga disamping adanya peraturan pidana berupa unifikasi yang bertahan lama
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

13

(KUHP) diperlukan pula peraturan-peraturan pidana yang bersifat temporer. c. Pada banyak peraturan hukum yang berupa Undang-undang di lapangan hukum administrasi Negara, perlu di kaitkan dengan

sanksi-sanksi pidana untuk mengawasi peraturan-peraturan itu agar ditaati. Sanksi-sanksi pidana terdapat dalam Undang-undang di luar KUHP antara lain dalam UU Tindak Pidana Ekonomi, UU Tindak Pidana Subversi, Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Pajak dan lain-lain. Antara K.U.H.P. dengan delik-delik/tindak pidana yang tersebar di luar K.U.H.P. ada pertalian yang terletak dalam Aturan Umum Buku I K.U.H.P. Berlakunya Ketentuan Umum dalam K.U.H.P. tercantum dalam Pasal 103 K.U.H.P. yang berbunyi : Ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII Buku I juga berlaku bagi tindak pidana yang oleh ketentuan perundangundangan lain diancam dengan pidana, kecuali jika oleh Undangundang ybs. Diatur lain. Ketentuan Pidana di dalam Undang-undang Perpajakan antara lain diatur dalam Bab VIII Pasal 38 sampai dengan Pasal 43 UNDANG-UNDANG KUP, Bab XIII Pasal 24 sampai dengan Pasal 27 UU PBB dan Bab V Pasal 13 dan Pasal 14 UU Bea Meterai. 2) Sanksi Pidana terhadap pelanggaran atau kejahatan di bidang perpajakan yang diancam baik dalam KUHP maupun dalam Undang-undang Pajak. a. Membuka rahasia / rahasia jabatan.. Pasal 322 KUHP : (1). Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pekerjaannya, sekarang maupun dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah. (2). Jika kejahatan dilakukan terhadap orang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut atas pengaduan orang lain.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

14

Pasal 41 Undang-undang KUP : (1). Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahu dan denda paling banyak Rp 4.000.000,- (empat juta rupiah). (2). Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya

kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah). (3). Penuntutan terhadap) ha tindak pidana sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) nya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.

b. Pemalsuan Surat. Pasal 263 KUHP. (1). Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan suatu hak atau pembebasan hutang atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari pada sesuatu hal, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar atau tidak dipalsukan, diancam, jika pemakaian tersebut dapat

menimbulkan kerugian karena pemalsuan surat dengan pidana penjara paling lama enam bulan. (2). Diancam dengan pidana yang sama, barang siap dengan sengaja memakai surat palsu atau dipalsukan, seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian. Pasal 39 ayat (1) huruf e U.U. KUP. Setiap orang yang dengan sengaja : a, b, c, dan seterusnya. e. Memperhatikan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar. f. Dan seterusnya. Sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

15

dan denda paling tinggi sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. 3) Ketentuan KUHP yang mengancam tindak pidana di bidang perpajakan . a. Menyuap Pasal 209 KUHP : (1). Dihukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500, Barang siapa memberi hadiah atau perjanjian kepada seorang pegawai negeri dengan maksud membujuk dia, supaya dalam pekerjaannyaia berbuat atau mengalpakan sesuatu apa, yang bertentangan dengan kewajibannya; Barang siapa memberikan hadiah kepada seorang pegawai negeri oleh sebab atau berhubungan dengan pegawai negeri itu sudah membuat atau mengalpakan sesuatu apa dalam menjalankan pekerjaannya yang bertentangan dengan kewajibannya. (2). Dapat dijatuhi hukuman Pencabutan hak-hak tertentu

(jabatan, ABRI) yang tersebut dalam Pasal 35 No. 1-4 (KUHP.92, 149, 210, 418a). Pasal ini oleh U. U. No. 3 Tahun 1971 dikategorikan sebagai Tindak Pidana Korupsi.

b. Menerima hadiah/pemberian. Pasal 418 KUHP : Pegawai negeri yang menerima hadiah atau perjanjian, sedang ia tahu atau patut dapat menyangka, bahwa apa yang dihadiahkan atau dijanjikan itu berhubungan dengan kekuasaan atau hak karena jabatannya, atau yang menurut pkiran orang yang menghadiahkan atau berjanji itu ada berhubungan dengan jabatan itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,(KUHP 35, 36, 92, 309, 419) pasal ini dikategorikan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 419 KUHP : Dengan hukuman selama-lamanya lima tahun dihukum pegawai negeri :

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

16

(1). Yang

menerima

pemberian

atau

perjanjian,

sedang

diketahuinya bahwa pemberian atau perjanjian itu diberikan kepadanya untuk membujuknya supaya dalam jabatannya melakukan atau mengalpakan sesuatu apa yang beerlawanan dengan kewajibannya; (2). Yang menerima pemberian, sedang diketahuinya, bahwa pemberian itu diberikan kepadanya oleh karena atau berhubungan dialpakan dengan apa yang yang telah dilakukan atau

dalam

jabatannya

berlawanan

dengan

kewajibannya. (KUHP 35, 36, 92, 209, 418, 420, 437). Pasal ini dikategorikan Tindak Pidana Korupsi. G. PENAFSIRAN DALAM HUKUM PAJAK Di dalam memahami suatu ketentuan Undang-undang agar jelas diperlukan suatu penafsiran. Penafsiran hukum ialah suatu upaya yang pada dasarnya menerangkan, menjelaskan, menegaskan baik dalam arti memperluas ataupun membatasi atau mempersempit pengertian hukum yang ada dalam rangka penggunaannya untuk memecahkan masalah atau persoalan yang sedang dihadapi. Cara-cara penafsiran hanya merupakan alat untuk mencoba mengetahui dan memahami arti kadah-kaedah hukum. Macam-macam penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum: a. Penafsiran tata bahasa (gramatika). Penafsiran tata bahasa, ialah cara penafsiran berdasarkan pada bunyi ketentuan undang-undang, dengan berpedomen pada arti perkataanperkataan dalam hubungannya satu sama lain dalam kalimat-kalimat yang dipakai oleh undang-undang, yang dianut ialah semat-mata arti perkataan menurut tata bahasa atau kebiasaan, yakni arti dalam pemakaiansehari-hari. b. Penafsiran sahih (resmi, autentik) ialah penafsiran yang pasti terhadap kata-kata itu sebagaimana yang diberikan oleh pembentuk Undangundang. Misalnya arti malam dalam Pasal 98 KUHP yang berarti waktu antara matahari terbenam dari matahari terbit. c. Penafsiran histories : 1). Sejarah hukumannya, yang diselidiki maksudnya berdasarkan sejarah terjadinya hukum tersebut.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

17

2). Sejarah Undang-undangnya, yang diselidiki maksud pembentuk undang-undang pada waktu membuat undang-undang itu,

misalnya didenda f 10, sekarang ditafsirkan dengan uang R.I., sebesar Rp.10,d. Penafsiran sistematis (dogmatis). Penafsiran sistematis ialah penafsiran memiliki susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam undangundang itu maupun dengan undang-undang yang lain. e. Penafsiran sosiologi. Penafsiran sosiologi yaitu penafsiran dengan mengingat maksud dan tujuan undang-undang. Hal ini penting karena kebutuhan-kebutuhan berubah menurut masa, sedangkan undang-undang tetap saja. f. Penafsiran ekstensip. Penafsiran ekstensip ialah penafsiran dengan memperluas arti, katakata dalam peraturan itu sehingga sesuatu peristiwa dapat

dimaksudkan dalam ketentuan itu. Misalnya aliran listrik termasuk benda. g. Penafsiran restriktif. Penafsiran restriktif ialah penafsiran dengan mempersempit arti katakata dalam suatu undang-undang, misalnya kerugian tidak termasuk kerugian yang tak berwujud seperti sakit, cacat dan lain-lain. h. Penafsiran analogis. Penafsiran analogis ialah penafsiran pada suatu hukum dengan memberi ibarat (kiyas) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, kemudian dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut. i. Penafsiran a contrario. Penafsiran a contrario ialah suatu cara penafsiran undang-undang yang didasarkan pada lawan dari ketentuan tersebut. Contoh Pasal 34 BW yang menyatakan bahwa seorang perempuan tidak diperkenankan menikah lagi sebelum lewat 300 hari setelah perkawinannya terdahulu diputuskan. Bagaimana hanya dengan laki-laki ? Tidak berlaku karena kata lakilaki tidak disebutkan. Cara-cara penafsiran sebagaimana telah diuraikan terdahulu pada umumnya berlaku dalam Hukum Pajak, namun penafsiran
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

18

Undang-undang pajak sering dilihat dengan kaca mata yang istimewa, sehingga sering para sarjana mengatakan sebagai masalah yang luar biasa. Alasannya banyak orang yang berbuat demikian, karena berdasarkan kenyataan, bahwa corak pemungutan pajak berpengaruh besar atas cara-cara penafsiran itu. Mr. Santoso Brotodihardjo, S.H. (1982 : 147), menyatakan bahwa hingga kini yang merupakan titik persengketaan di antara para sarjana adalah penafsiran analogi dalam Hukum Pajak, sekali pun pada gelagatnya pada akhir-akhir ini mereka cenderung kepada pendapat bawa penafsiran semacam ini harus tidak dipergunakan dalam penafsiran perundang-undangan pajak. Berdasarkan Pasal 23 Ayat (2) UUD 1945 bahwa segala pajak untuk keperluan Negara berdasarkan Undang-undang. Artinya bahwa tidaklah sekali-kali diperkenankan memungut pajak selain

berdasarkan Undang-undang. Maksud dari ketentuan ini agar wajib pajak tidak diperlakukan semena-mena oleh Fiskus.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

19

3.2. LATIHAN 2 a. Apakah yang dimaksud dengan Hukum Pajak Materil ? hukum Pajak Material ialah hukum pajak yang memuat norma-norma yang menerangkan keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan dan peristiwa hukum yang harus dikenakan pajak, berapa besarnya pajak atau dapat pula dikatakan segala sesuatu tentang timbulnya. Besarnya dan hapusnya utang pajak dan hubungan antara pemerintah dan Wajib Pajak. b. Berikan contoh U.U. Pajak yang termasuk Hukum Pajak Formil ! hukum Pajak Formil. Contohnya: U.U. KUP. U.U. PPSP. c. Dalam pasal berapa ketentuan yang menyangkut sanksi pidana dalam U.U. Pajak ? Pasal-pasal yang memuat sanksi-sanksi pidana : Pasal 38 s/d 43 U.U. KUP, Pasal 24 s/d 27 U.U. PBB dan Pasal 13 a/d 14 U.U. BM. d. Sebutkan macam-macam penafsiran dalam ilmu hukum ! Macam-macam penafsiran dalam ilmu hukum : a. Penafsiran menurut Tata Bahasa. b. Penafsiran autentik. c. Penafsiran historis. d. Penafsiran Sistematis. e. Penafsiran Sosiologis. f. Penafsiran eksensip.

g. Penafsiran restriktif. h. Penafsiran analogis. i. Penafsiran a contrario.

3.3. RANGKUMAN. 1. Hukum Pajak adalah keselruh dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat melalui Kas Negara, sehingga ia merupakan bagian dari hukum Publik yang mengatur hubungan hukum antara Negara dengan orang-orang atau badan hukum yang berkewajiban membayar pajak. 2. Hukum Pajak termasuk bagian Hukum Publik dalam hal ini Hukum Tata Usaha Negara (Hukum Administrasi Negara).
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

20

3. Hukum Pajak terbagi dalam Hukum Pajak Material dan Hukum Pajak Formal. 4. Adanya hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Perdata karena sebagian besar peristiwa, perbuatan atau keadaan yang menjadi dasar pengenaan pajak diatur dalam Hukum Perdata. 5. Hubungan Hukum Pajak dan Hukum Pidana, karena di dalam Hukum Pajak juga mengatur pelanggaran atau kejahatan yang diancam dengan hukuman pidana. 6. Penafsiran hukum ialah ialah suatu upaya yang pada dasarnya menerangkan, menjelaskan, menegaskan baik dalam arti memperluas atau membatasi atau mempersempit pengertian hukum yang ada dalam rangka penggunannya untuk memecahkan masalah atau persoalan yang dihadapi. 7. Analogi tidak dipergunakan dalam penafsiran Undang-undang pajak.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

21

4. Kegiatan Belajar (KB) 3

BEBERAPA MACAM PUNGUTAN DI INDONESIA

4.1. Uraian, Contoh dan Non Contoh. Negara dalam menjalankan pemerintahannya memerlukan dana yang tiak sedikit untuk membiyai pengeluaran umum Negara berupa biaya rutin dan biaya pembangunan. Sumber-sumber pendapatan Negara untuk masing-masing Negara berbeda-beda, tergantung dari sumber-sumber yang dimiliki di Negara yang bersangkutan. Modul ini menguraikan tentang beberapa macam pungutan yang menjadi sumber pendapatan Negara di Indonesia antara lain pajak, restibusi, sumbangan dan penerimaan Negara bukan pajak (PNPB).

A. PAJAK 1. Arti Pajak Pengertian pajak ada bermacam-macam, yang lain

dikemukakan oleh para sarjana, yang oleh Santoso Brotodhardjo, S.H. (1982 : 2) yaitu : a. Definisi Leroy Beaulieu yang berbunyi : Pajak adalah bantuan, baik secara langsung maupun tidak, yang dipaksakan oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang, untuk menutup belanja Pemerintah. b. Definisi Deutsche Reichs Abgaben Ordnung (RAO-1919) : Pajak adalah bantuan uang secara insidental atau secara periodik (dengan tidak ada kontraprestasinya), yang dipungut oleh Badan yang bersifat Umum (Negara), untuk mempeloreh pendapatan,

dimana terjadi suatu Tatbestand (sasaran pemajakan), yang karena undang-undang telah menimbulkan hutang pajak. c. Definisi Prof Edwin R.A. Seligman. Tax is a compulsory contribution from the person, to the government to defray the expenses incurred in the common interest of all, without reference to special benefit conferred. Banyak terdengar keberatan atas kalimat without reference karena bagaimana juga uang pajak tersebut digunakan untuk

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

22

produksi barang dan jasa benefit diberikan kepada masyarakat, hanya tidak mudah ditunjukkannya, apabila secara perorangan. d. Philip E Taylor, mengganti without reference menjadi With little reference. e. Defenisi Mr. Dr. N. J. Feldmann : Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terhutang kepada Penguasa (menurut norma-norma yang

ditetapkan secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum. f. Definisi Prof. Dr. M J. H. Smeets : Pajak adalah prestasi kepada Pemerintah yang terhutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan, tanpa adanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual, maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran Pemerintah. g. Definisi Dr. Soeparman Soemahamidjaja : Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh Penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum. h. Definisi Prof DR. Rochmat Soemitro, S.H. : Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Desinisnya yang lain (1974 : 8), menyatakan : Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplus-nya digunakan untuk Public Saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai Public Investment. i. Definisi Prof DR. P. J. A. Adriani : Pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturanperaturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

23

2. Ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak. Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan diatas, tersimpul ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak yaitu : a. Pajak dipungut berdasarkan dengan kekuatan Undang-undang serta aturan pelaksanaannya. b. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontra prestasi individual oleh pemerintah. c. Pajak dipungut oleh Negara (baik oleh Pemerintah Pusat maupun Daerah). d. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran Pemerintah, yang bila dari pemasukkannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment. e. Pajak dapat pula mempunyai tujuan yang tidak budgeter, yaitu mengatur. 3. Fungsi pajak. Fungsi pajak ada dua : a. Fungsi Anggaran (Fungsi Budgetair) ialah fungsi pajak disektor publik, merupakan suatu alat atau sumber untuk memasukkan uang dari masyarakat berasarkan undang-undang ke Kas Negara, hasilnya untuk membiayai pengeluaran umum Negara. b. Fungsi mengatur (Regulerend) ialah fungsi pajak yang

dipergunakan untuk mengatur atau untuk mencapai tujuan tertentu dibidang ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan keamanan misalnya dengan mengadakan perubahan-perubahan tarif,

memberikan pengecualian atau keringanan-keringanan. B. RETRIBUSI Retribusi ialah pembayaran-pembayaran kepada Negara yang dilakukan oleh mereka yang menggunakan jasa-jasa Negara. Dalam retribusi nyata-nyata bahwa atas pembayaran-pembayaran itu si

pembayar mendapat prestasi kembali yang langsung. Misalnya : pembayaran uang sekolah, uang kuliah, langganan PAM, retribusi pasar dan lain-lain.

C. SUMBANGAN Menurut Santoso Brotodihadjo, S.H. (1982 : 6), sumbangan mengandung pikiran, bahwa biaya-biaya yang dikeluarkan untuk prestasi
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

24

Pemerintah tertentu, tidak boleh dikeluarkan dari kas umum. Karena prestasi itu tidak ditunjukan kepada penduduk seluruhnya, melainkan hanya untuk sebagian tertentu saja. Oleh karena itu maka hanya golongan tertentu dari penduduk yang diwajibkan membayar sumbangan ini. Misalnya Sumbangan Wajib Pemeliharaan Prasarana Jalan, Pening Speda.

4.2. LATIHAN 3. 1. Apa yang dimaksud dengan pajak menurut Prof. DR. P.J.A. Adriani? Pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. 2. Berikan contoh retribusi ! Contoh retribusi : retribusi pasar, retribusi parker dan lain-lain. 3. Apa saja Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Departemen Kehakiman ? Penerimaan dari Departemen Kehakiman : - Penerimaan dari pendaftaran ciptaan. - Penerimaan dari permintaan hak paten. 4.3. RANGKUMAN. 1. Macam-macam pungutan yang termasuk pendapatan Negara antara lain pajak, retribusi, sumbangan dan penerimaan Negara bukan pajak. 2. Pajak ialah iuran rakyat kepada Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbale

(kontraprestasi) yang dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membiyai pengeluaran umum. 3. Retribusi ialah pembayaran-pembayaran kepada Negara yang dilakukan oleh mereka yang menggunakan jasa-jasa Negara. Para pembayar retribusi menerima prestasi kembali yang langsung. 4. Selain retribusi pendapatan Negara dapat berupa sumbangan. 5. Penerimaan Negara Bukan Pajak dapat berupa penerimaan yang dipeloreh Instansi Pemerintah (Departemen dan Lembaga Non-

Departemen).

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

25

5. Kegiatan Belajar (KB) 4

ASAS ASAS PEMUNGUTAN PAJAK

5.1. Uraian, Contoh dan Non Contoh. Berbagai ajaran yang dikemukakan para sarjana mengenai tujuan hukum antara lain dikemukakan oleh : a. Prof. Mr. L. J. van Apeldoorn dalam bukunya Inleiding tot de studie van het Nederlandsche recht menegaskan bahwa tujuan hukum ialah pengaturan kehidupan masyarakat secara adil dan damai dengan mengadakan keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang

dilindungi sehingga tiap-tiap orang mendaat apa yang menjadi haknya masing-masing sebagaimana mestinya. b. Drs. E. Utrecht, S.H. mengatakan bahwa tujuan hukum ialah untuk mencapai kepastian hukum. c. Aristoteles dalam karyanya Rhetorica mengatakan bahwa tujuan hukum ialah untuk menegakkan keadilan. Sesuai dengan tujuan hukum itu, kebanyakan para sarjana menganggap, bahwa tujuan hukum pajak pun adalah membuat adanya keadilan dalam soal pemungutan pajak. Asas keadilan ini harus senantiasa dipegang teguh, baik dalam prinsip mengenai perundang-undangannya maupun dalam prakteknya sehari-hari oleh aparatur pajak. Dalam mencari keadilan, salah satu jalan yang harus ditempuh ialah mengusahakan agar supaya pemungutan pajak diselenggarakan secara umum dan merata. Tentang syarat ini telah terdengar sejak Revolusi Perancis. Syarat ini baik dan luhur, namun mudah dicantumkan, tetapi sulit dipraktekkan, sebab bermacam-macam kesulitan harus dihadapi dalam penyelenggaraannya. Dalam abad ke- 18 Adam Smith ( 1723-1790 ) dalam bukunya An Inguiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (terkenal dengan nama Wealthof Nations) melancarkan ajarannya sebagai asas

pemungutan pajak yang dinamakan The Four Maxims. d. Pembagian tekanan pajak di antara subyek pajak masing-masing hendaknya dilakukan seimbang dengan kemampuannya, yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya masing-masing, di bawah perlindungan Pemerintah (asas pembagian asas kepentingan). Dalam asas equality ini tidak diperbolehkan suatu Negara mengadakan
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

26

diskriminasi di antara sesama wajib pajak. Dalam keadaan yang sama, para wajib pajak harus dikenakan pajak yang sama pula. e. Pajak yang harus dibayar seseorang harus terang (certain) dan tidak mengenal kompromis (not arbitrary). Dalam asas cerlainty ini, kepastian hukum yang dipentingkan adalah yang mengenai subyek, obyek, besarnya pajak, dan juga ketentuan mengenai waktu pembayarannya. f. Every tax ought to be levied at the time, or in the manner, in which it is most likely to be convenient for the contributor to pay it. Teknik pemungutan pajak yang dianjurkan ini (yang juga disebut convenience of payment, menetapkan bahwa pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi para wajib pajak, yaitu saat sedekat mungkin dengan detik diterimanya penghasilan yang bersangkutan. g. Every tax ought to be so contrived as both to take out and to keep out of the pockets of the people as little as possible over and above what it brings into to public treasury of the state. Asas efisiensi ini menetapkan bahwa pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat-hematnya, jangan sekali-kali biaya pemungutan melebihi pemasukkan pajaknya. ( Santoso Brrotodihardjo, S.H., 1982, hal 24-25 ). Dalam modul ini akan diuraikan tentang macam-macam asas

pemungutan pajak tersebut. A. ASAS-ASAS MENURUT FALSAFAH HUKUM. Asas pemungutan menurut falsafah hukum termasuk dalam maxim pertama The Four Maxim. Berikut ini akan dikemukakan teoriteori pajak yang menyatakan dasar keadilannya. (A). Teori Asuransi. Menurut teori ini Negara memungut pajak karena Negara bertugas untuk melindungi orang dan segala kepentingannya, keselamatan dan keamanan jiwa juga harta bendanya. Pembayaran pajak disamakan dengan pembayaran dengan pembayaran premi, seperti halnya perjanjian asuransi

(pertanggungan), maka untuk perlindungan diperlukan pembayaran berupa premi. Walaupun perbandingan dengan perusahaan asuransi tidak tepat karena :

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

27

a. Dalam hal timbul kerugian, tidak ada suatu penggantian dari Negara. b. Antara pembayaran jumlah-jumlah pajak dengan jasa-jasa yang diberikan oleh Negara, tidaklah terdapat hubungan yang langsung, namun teori ini tetap dipertahankan, sekadar untk memberi dasar hukum kepada pemungutan pajak saja. Karena pincangnya persamaan tadi, menimbulkan ketidak puasan, pula karena ajaran bahwa pajak bukan restibusi, maka makin lama makin berkuranglah penganut teori ini. (B). Teori kepentingan. Menurut teori ini Negara memungut pajak karena Negara melindungi kepentingan jiwa dan harta benda warganya, teori ini memperhatikan pembagian beban pajak yang harus dipungut dari seluruh penduduk. Pembagian beban ini harus didasarkan atas kepentingan orang masing-masing dalam tugas-tugas pemerintah (yang bermanfaat baginya), termasuk juga perlindungan atas jiwa beserta harta bendanya. Maka sudah selayaknya bahwa biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Negara untuk menunaikan kewajibannya, di bebankan kepada mereka. Terhadap teori ini banyak yang menyanggah. Karena dalam ajarannya pajak dikacaukan dengan restibusi. Untuk kepentingan yang lebih besar terhadap harta benda yang lebih banyak harganya daripada harta si miskin harus membayar pajak lebih besar dalam hal tertentu, misalnya dalam perlindungan yang termasuk jaminan sosial, sehingga sebagai konsekwensinya harus membayar pajak lebih banyak, dan inilah suatu hal yang bertentangan dengan kenyataan. Untuk mengambil kepentingan seseorang dalam usaha pemerintah sebagai ukuran, sejak dahulu belum ada alat

pengukurnya, sehingga sulit sekali dapat ditentukan dengan tegas. Makin lama teori ini pun ditinggalkan. (C). Teori kewajiban pajak mutlak atau Teori Bakti. Teori ini berdasarkan atas paham Organische Staatsleer, diajarkan bahwa justru karena sifat Negara inilah maka timbulah hak mutlak untuk memungut pajak. Orang-orang tidaklah berdiri sendiri, dengan tidak adanya persekutuan , tidaklah akan ada individu. Oleh
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

28

karena persekutuan itu (yang menjelma jadi Negara) berhak atas satu dan lain. Sejak berabad-abad hak ini telah diakui, dan orangorang selalu menginsafinya sebagai kewajiban asli untuk

membuktikan tanda baktinya terhadap Negara dalam bentuk pembayaran pajak.

(D). Teori asas Gaya Beli. Teori ini tidak mempersoalkan asal mula Negara memungut pajak, hanya melihat kepada efeknya, dan dapat memandang efek yang baik itu sebagai dasar keadilannya. Menurut teori ini fungsi pemungutan pajak jika dipandang sebagai gejala dalam masyarakat, dapat disamakan dengan pompa, yaitu mengambil gaya beli dari rumah-tangga dalam masyarakat untuk rumah tangga Negara, dan kemudian menyalurkannya kembali ke masyarakat dengan maksud untuk memelihara hidup masyarakat dan untuk membawanya kearah tertentu. Teori ini mengajarkan, bahwa penyelenggaraan kepentingan masyarakat inilah yang dapat dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak, bukan kepentingan individu, juga bukan kepentingan Negara, melainkan kepentingan masyarakat yang meliputi keduanya. Teori ini menitikberatkan ajarannya kepada fungsi kedua dari pemungutan pajak yaitu fungsi mengatur. (E). Teori Gaya Pikul. Teori ini menganut bahwa dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada jasa-jasa yang diberikan oleh Negara pada warganya, yaitu perlindungan atas jiwa dan harta bendanya. Untuk keperluan ini diperlukan biaya-biaya, biaya ini dipikul oleh orang yang menikmati perlindungan itu, berupa pajak. Pokok pangkal teori ini adalah asas keadilan, yaitu tekanan pajak haruslah sama beratnya untuk setiap orang. Pajak harus dipikul menurut gaya pikulnya dan sebagai ukurannya, dapat dipergunakan selain besarnya penghasilan dan kekayaan juga pengeluaran atau pembelanjaan seseorang. Teori ini sampai kini masih dipertahankan. Asas ini sangat terkenal, tetapi seluk beluknya sering kali timbul salah paham, bahkan diantara para sarjana hukum dan cerdik pandai lainnya.
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

29

a. Prof. W. J. de Langen, dalam bukunya, De Grondbeginselen van het Ned. Belastingrecht, Jilid I, 1954, bahwa gaya pikul sampai kini masih tetap merupakan asas yang terpenting dalam Hukum pajak, walaupun tidak dapat disangkal, bahwa ada asas-asas lain, yang semenjak tahun 1919 semakin menduduki tempat yang utama dan asas kenikmatan. Asas kenikmatan ialah asas, bahwa pajak dapat dipungut seimbang dengan jasa-jasa Pemerintah yang telah dinikmati oleh orang masing-masing seperti tercantum dalam teori kepentingan, dengan perkataan lain asas ini adalah asas umum yang terdapat dalam jual beli, membayar sesuatu seimbang dengan apa yang diperolehnya. Asas gaya pikul ini menjelmakan cita-cita untuk mendapatkan tekanan yang sama atas individu, seimbang dengan luasnya pemuasan kebutuhan yang dapat dicapai oleh seseorang. Dalam pada itu pemuasan kebutuhan yang diperlukan untuk kehidupan yang mutlak harus diabaikan, dan sisanya inilah yang disamakannya dengan gaya pikul seseorang. Karena perkataan dapat, maka tabungan-tabungan seseorang termasuk pula ke dalam pengertian gaya pikulnya (Santoso Brotodihardho, S.H., 1982, hal.29). Definisi gaya pikul menurut Prof de Langen, Gaya Pikul adalah besarnya kekuatan seseorang untuk dapat mencapai pemuasan kebutuhan setinggi-tingginya, setelah dikurangi dengan yang mutlak untuk kebutuhannya yang primer.

b. Ir. Mr. A. J. Cohen Stuart, sarjana yang telah memperdalam penyelidikannya mengenai gaya pikul ini, dalam desertasinya menyamakan gaya pikul dengan sebuah jembatan, yang pertama-tama harus dapat memikul bobotnya sendiri sebelum dicoba untuk dibebaninya, dan menyarankan ajaran, bahwa yang sangat diperlukan untuk kehidupan, harus tidak

dimasukkan uang kepada Negara barulah ada, jika kebutuhankebutuhan primer sudah tersedia untuk hidup. Maka hak pertama bagi setiap manusia yang dinamakan hak asas minimum kehidupan ini harus pertama-tama diperhatikan, seperti memang ternyata dengan pajak-pajak atas pendapatan dan kekayaan di hampir semua Negara.
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

30

c. Mr. Dr. J. H. R. Sinninghe Damste, pernah mencoba menguraikan segala sesuatu semata-mata dengan asas gaya pikul dalam bukunya mengenai Pajak Pendapatannya (pajak yang penting). Ia menyatakan pendapatannya (yang juga dikuatkan oleh sarjana-sarjana lain), bahwa gaya pikul ini adalah akibat dari bermacam-macam komponen, terutama (1) pendapatan, (2) kekayaan, dan (3) susunandari keluarga wajib pajak itu dengan mengingat faktor-faktor yang mempengaruhi keadaanya. B. ASAS YURIDIS. Hukum Pajak harus memberi jaminan hukum yang perlu untuk menyatakan keadilan yang tegas, baik untuk Negara maupun untuk warganya. Dasar hukum pemungutan pajak dalam pasal 23 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945.Segala pajak untuk kegunaan kas Negara berdasarkan undang-undang. Di Indonesia, Pasal 23 ayat (2) ini mempunyai arti yang sangat dalam, yaitu sangat menetukan nasib rakyat. Memori penjelasannya mengatakan : Betapa caranya rakyat, sebagai bangsa akan hidup dan dari mana didapatnya belanja untuk hidup, harus ditetapkan oleh rakyat itu sendiri, dengan perantaraan Dewan Perwakilan Rakyat. Rakyat menentukan nasibnya sendiri, karena itu juga cara hidupnya. Oleh karena penetapan belanja mengenai hak rakyat untuk menetukan nasibnya sendiri, maka segala tindakan yang menetapkan beban kepada rakyat, seperti pajak dan lain-lain, harus ditetapkan dengan undang-undang, yaitu dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Demikianlah halnya dengan yang sudah menjadi kelaziman (karena keharusan) di Negara hukum. Selain secara formal harus dipungut berdasarkan undang-undang, dalam menyusun undang-undangnya nyata-nyata harus diusahakan oleh pembuat undang-undang tercapainya keadilannya dalam pemungutan pajak dengan mengindahkan keempat unsur dari Adam Smiths Canon. Karenanya niscaya tidak lagi cara-cara lama akan terulang, yaitu untuk fiksus hanya dicantumkan haknya, dan untuk wajib pajak hanya kewajibannya saja. In concreto secara umum tidak boleh dilupakan halhal sebagai berikut :
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

31

Pertama : Hak-hak fiksus yang telah diberikan oleh pembuat undang-undang harus dijamin dapat terlaksananya dengan lancar; telah diketahui oleh umum, bahwa dalam praktek para wajib pajak suka mencoba dengan secara legal ataupun tidak, untuk menghindarkan diri dari yang telah ditentukan oleh undang-undang pajak; keadaan yang semacam ini harus diatasi dengan penyempurnaan peraturan-peraturan dalam undang-undang, lengkap dengan sanksi-sanksinya. Kedua : Sebaliknya para wajib pajak harus pula mendapat jaminan hukum, agar supaya ia tidak diperlakukan dengan sewenang-wenang oleh fiskus dengan aparaturnya. Segala sesuatu harus di atur dengan terang dan tegas, bukan hanya mengenai kewajiban-kewajiban, melainkan juga hak-hak wajib pajak, antara lain : untuk dalam tingkat pertama mengajukan keberatan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang menetapkan pajaknya, termasuk juga hak wajib pajak untuk mengajukan banding ke pengadilan Pajak bilamana ia telah ditolak keberatannya mengenai suatu penetapan pajaknya. Ketiga : Yang tidak kurang pentingnya adalah jaminan terhadap tersimpannya rahasia-rahasia mengenai diri atau perusahaan-perusahaan wajib pajak yang telah dituturkannya kepada instansi-instansi pajak, dan yang harus tidak disalahgunakan oleh para pejabatnya. C. ASAS EKONOMIS. Pajak selain mempunyai fungsi budgetair juga berfungsi mengatur, digunakan sebagai alat untuk menentukan politik perekonomian, maka politik pemungutan pajaknya harus : 1. Diusahakan supaya jangan sampai menghambat lancarnya produksi dan perdagangan. 2. Diusahakan, supaya jangan menghalang-halangi rakyat dalam

usahanya menuju ke bahagiaan dan jangan sampai merugikan kepentingan umum. D. ASAS FINANSIAL. Sesuai dengan fungsi budgetair, maka sudah tentu bahwa biayabiaya untuk mengenakan dan memungut pajak harus sekecil-kecilnya, di bandingkan dengan pendapatannya.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

32

5.2. LATIHAN 4 1. Apakah tujuan hukum menurut Aristoteles ? Tujuan hukum menurut Aristoteles ialah untuk menegakkan keadilan. 2. Sebutkan asas-asas menurut falsafah hukum ? Asas-asas menurut falsafah hukum mencakup teori-teori : a. Asuransi. b. Kepentingan. c. Kewajiban pajak mutlak. d. Asas haya beli. e. Asas gaya pikul. 5.3. RANGKUMAN. 1. Menurut Aristoteles dalam bukunya Rhetorica menyatakan bahwa tujuan hukum adalah untuk menegakkan keadilan. 2. Adam Smith (1723 1790) melancarkan ajarannya sebagai asas pemungutan pajak dengan nama The Four Maxims. 3. Dalam pemungutan pajak dikenal beberapa asas antara lain asas falsafah hukum yang terdiri dari beberapa teori yang melandasi mengapa Negara memungut pajak, yaitu : a. Teori asuransi b. Teori kepentingan c. Teori kewajiban pajak mutlak. d. Teori asas gaya beli. e. Teori asas gaya pikul.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

33

6. TES FORMATIF Nyatakan B (Benar), kalau pernyataan di bawah ini benar, dan nyatakan S (Salah), kalau pernyataan ini salah. a. B S Merujuk pada Pasal II (Aturan Peralihan) UUD 1945 jo Undang-undang No. 4 Tahun 1952 antara lain

menyatakan bahwa sejak 1 Januari 1951 semua Undang-undang, Undang-undang Darurat dan

Ordonansi tentang Pajak yang dikeluarkan sebelum pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dinyatakan berlaku diseluruh Indonesia. b. B S Perundang-undangan Perpajakan Nasional harus

dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, yang didalamnya tertuang ketentuan yang

menjujung tinggi hak warga Negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan. c. B S Hukum Publik ialah hukum yang mengatur hubungan Hukum antara orang-perorangan, sedangkan Hukum Perdata ialah Hukum yang mengatur hubungan Hukum antara Pemerintah dengan warganya. d. B S Hukum Tata Usaha Negara atau Hukum Administrasi Negara ialah segenap peraturan hukum yang mengatur segala cara kerja dan pelaksanaan wewenang yang langsung dari lembaga-lembaga Negara serta

aparaturnya dalam melaksanakan tugasnya masingmasing. (Hukum Tata Usaha Negara Materil). e. B S Di dalam Undang-undang Pajak yang lama seperti Ordonansi PPd 1944, Ordonansi PKK 1932 dan Ordonansi PPs 1925, ketentuan Material dan Formal dipisahkan di masing-masing Undang-undang ybs. f. B S Hukum Pajak Material, ialah Hukum Pajak yang memuat norma-norma yang menerangkan keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan dan peristiwa-peristiwa hukum

yang harus dikenakan pajak, siapa-siapa yang harus dikenakan pajak, berapa besarnya pajak atau dapat dikatakan pula segala sesuatu tentang timbulnya, dan hapusnya hutang pajak dan hubungan hukum antara

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

34

pemerintah dan wajib pajak. g. B S Hukum Pajak Formal ialah Hukum Pajak yang memuat peraturan-peraturan mengenai cara-cara Hukum Pajak Material menjadi kenyataan. h. B S Hukum Pajak tidak ada hubungannya dengan Hukum Perdata, hal ini dapat dimengerti karena Hukum Pajak mencari dasar kemungkinan pemungutan pajak atas dasar peristiwa (kematian, kelahiran), keadaan

(kekayaan), perbuatan (jual beli, sewa menyewa) yang tidak diatur dalam hukum perdata. i. B S Di dalam memahami suatu ketentuan Undang-undang agar jelas diperlukan suatu penafsiran. Penafsiran hukum ialah suatu upaya yang pada dasarnya

menerangkan, menjelaskan, menegaskan baik dalam arti memperluas pengertian atau hukum membatasi yang atau ada mempersempit dalam rangka

penggunaannya untuk B S

memecahkan masalah atau

persoalan yang sedang dihadapi. j. Penafsiran sahih (resmi, autentik) ialah penafsiran yang pasti terhadap arti kata-kata itu sebagaimana yang diberikan oleh pembentuk Undang-undang.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

35

7.

KUNCI JAWABAN A B C D E = = = = = B B S B S

TES FORMATIF f g h i j = = = = = B B S B B

8. UMPAN BALIK & TINDAK LANJUT Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif yang terdapat pada bagian akhir modul, dan hitunglah jumlah jawaban Anda yang benar. Kemudian gunakan rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda dalam materi Kegatan Belajar 1 / 2 / 3 / 4 Rumus : Jumlah jawaban Anda yang benar Tingkat penguasaan = 10 X 100%

Arti tingkat penguasaan yang Anda capai : 90% - 100% = 80% - 89% 70% - 79% 69% = = = Baik sekali Baik Cukup Kurang

Anda telah mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih? Bagus ! Anda harus mempelajari kembali Kegiatan Belajar 1 / 2 / 3 / 4 terutama bagian yang belum Anda kuasai.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

36

9. REFERENSI / DAFTAR PUSTAKA

a.

Rochmat Soemitro, H, Prof, DR, SH,

Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan 1994, P.Y. Eresco, Bandung, 1977.

b.

. ,

Hukum Indonesia

Pajak

Internasional dan

Perkembangan PT

pengaruhnya, Bandung 1977. c. . , Peradilan Hukum

Eresco,

Administrasi Pajak di

dalam

Indonesia,

PT Eresco, 1976. d. . , Asas dan Dasar Perpajakan I, PT Eresco, 1992. e. . , Asas dan Dasar Perpajakan II, PT Eresco, 1990. f. . , Asas dan Dasar Perpajakan II, PT Eresco, 1989. g. . , Pengantar Singkat Hukum Pajak, PT Eresco, 1987. h . , Pajak ditinjau dari segi hukum PT Eresco, 1990. i. . , Asas-asas Hukum Perpajakan, BPHN, Jakarta, 1991. j. Santoso Brotodihardjo, SH., Pengantar Ilmu Hukum,

PT Eresco, Bandung, 1986. k. Sindian I Djajadihardjo, SH., Prof, SH., Makna dari Hukum Fiskal Formal, Pidato pengukuhan GB,

Bandung, 1981. l. . , Hukum Pajak dan Keadilan, PT Eresco, Bandung, 1985 m. Jajat Djuhadiat SS. SH, Pengantar Hukum Pajak, BPLK, Jakarta, 1993.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

37

DAFTAR ISI

Daftar Isi MODUL 2 SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK PENGGOLONGAN PAJAK TARIF PAJAK 1. Pendahuluan ... 1.1 Deskripsi Singkat ... 2. Kegiatan Belajar (KB) 1 SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK 2.1 Uraian, Contoh dan Non Contoh ..........

1 1

A. Self Assessment ............................................................................... 1 B. Official Assessment ......................................................................... 1 C. Withholding System ........................................................................ 2 D. Stelsel Riil ....................................................................................... E. Stelsel Fiktif ................................................................................... F. Stelsel Campuran ........................................................................... 2.2 Latihan 1 2.3 Rangkuman 3. Kegiatan Belajar (KB) 2 PEMBEDAAN DAN PENGGOLONGAN PAJAK 3.1 Uraian, Contoh dan Non Contoh .. 4 2 2 2 3 3

A. Pajak Subyektif dan Pajak Obyektif 4 B. Pajak Langsung dan Pajak Tidak Langsung .............................. C. Pajak Pusat dan Pajak Negara dan Pajak Daerah 3.2 Latihan 2 3.3 Rangkuman 4. Kegiatan Belajar (KB) 3 MACAM-MACAM TARIF PAJAK 4.1 Uraian, Contoh dan Non Contoh ........... A. Tarif yang sepadan (Proporsionil) .. B. Tarif Pajak Yang meningkat (Progresif) ......................................... i 8 8 8 5 6 6 7

C. Tarif yang Menurun (Degresif) ... D. Tarif yang Tetap ...... 4.2 Latihan 3 4.3 Rangkuman 5. Kegiatan Belajar (KB) 4 PENETAPAN DAN KETETAPAN PAJAK 5.1 Uraian, Contoh dan Non Contoh ... A. Jenis Surat Ketetapan Pajak ............ B. Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) .......... C. Penerbitan Surat ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan

8 9 9 9

10 10 10

(SKPKBT) ....................................................................................... 14 D. Penerbit Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) ................................ 15 E. Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) .............. 16

F. Penerbitan Surat Tagihan Pajak (STP) ............................................ 16 5.2 Latihan 4 5.3 Rangkuman 6. 7. 8. 9. Test Formatif .. Kunci Jawaban Test Formatif Umpan Balik dan Tindak Lanjut Daftar Pustaka 18 18 20 22 22 23

ii

MODUL 2 SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK PENGGOLONGAN PAJAK TARIF PAJAK

1.

PENDAHULUAN I. DESKRIPSI SINGKAT / RELEVANSI / PENGANTAR Tiap-tiap negara mempunyai sistem pemungutan yang berbeda sesuai dengan kondisi yang bersangkutan. Di dalam Hukum Pajak dikenal beberapa sistem pemungutan pajak, maka dalam modul ini akan diuraikan bermacam-macam sistem pemungutan pajak.

2.

Kegiatan Belajar (KB) 1

SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK

2.1. Uraian, Contoh dan Non Contoh A. SELF ASSESSMENT. Self Assessment adalah suatu sistem pemungutan pajak dimana wajib pajak menetapkan sendiri jumlah pajak yang terhutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan perpajakan. Dalam sistem pemungutan ini, kegiatan pemungutan pajak diletakkan kepada aktivitas dari masyarakat wajib pajak sendiri, dimana wajib pajak diberi kepercayaan untuk : 1. Menghitung sendiri pajak yang terhutang 2. Memperhitungkan sendiri pajak yang terhutang 3. Membayar sendiri jumlah pajak yang terhutang 4. Melaporkan sendiri pajak yang terhutang Sistem ini antara lain dianut Undang-undang PPh.

B. OFFICIAL ASSESSMENT Official assessment adalah suatu sistem pemungutan pajak, diaman aparatur pajak menetapkan jumlah pajak yang terhutang dan wajib pajak.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

Dalam sistem ini inisiatif dan kegiatan dalam menghitung dan menetapkan pajak sepenuhnya berada pada aparatur pajak. Undang-undang yang menganut sistem ini adalah Undang-undang perpajakan lama seperti PPd 1944, PPs 1925, PKK 1932. C. WITHOLDING SYSTEM. Witholding system adalah suatu sistem pemungutan pajak, dimana perhitungan pemotongan dan pembayaran pajak serta pelaporan pajak dipercayakan kepada pihak ketiga oleh Negara. Pihak ketiga yang diberi kepercayaan pemerintah untuk memotong atau memungut pajak misalnya Badan-badan tertentu, Direktorat Jenderal Bea Cukai, Direktorat Jenderal Anggaran, Bendaharawan dan lain-lain. Contoh pajak yang menganut sistem ini misalnya PPh Pasal-pasal 21, 22, 23, 26.

D. STELSEL RIIL Stelsel Riil / stelsel nyata (Rieele stelsel) ialah suatu sistem pengenaan pajak, yang didasarkan pada penghasilan yang

sesungguhnya diperoleh dalam suatu tahun pajak. Karena penghasilan yang sesungguhnya diperoleh dalam suatu tahun pajak baru diketahui pada akhir tahun, maka pajak baru dikenakan sesudah akhir tahun pajak berakhir. Dan biasanya pajak ini dikenakan di belakang (naheffing). Contoh : Pajak Penghasilan.

E. STELSEL FIKTIF Stelsel Fiktif (Fictieve Stelsel) ialah suatu sistem pengenaan pajak yang didasarkan pada suatu fiktif / anggapan. Bunyi suatu fiksi tergantung dari ketentuan undang-undang perpajakan yang bersangkutan. Contoh : Dalam PPh Pasal 25, besarnya PPh Pasal 25 dengan rumus secara umum ialah 1/12 x PPh tahun yang lalu PPh Pasal Pasal 21, 22, 23, 24.

F.

STELSEL CAMPURAN Stelsel campuran ialah suatu sistem pengenaan pajak yang didasarkan baik pada stelsel riil maupun stelsel fiktif. Pada awal tahun

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

pajak menganut stelsel fiktif dan setelah akhir tahun pajak menganut stetsel riil. Contoh : Pajak Penghasilan. 2.2. LATIHAN 1 1. Apakah yang dimaksud dengan witholding sistem? Witholding sistem ialah suatu sistem pemungutan dan pajak dimana pajak

penghitungan,

pemotongan,

penyebaran

pelaporan

dipercayakan oleh Negara kepada pihak ketiga. 2. Apakah yang dimaksud dengan stelsel riil? Stelsel riil ialah suatu sistem pengenaan pajak yang didasarkan pada penghasilan yang sesungguhnya diperoleh dalam satu tahun pajak. 3. Berikan contoh pajak yang menganut witholding sistem? Contoh Witholding sistem : PPh Pasal-pasal 21, 22, 23, 26.

2.3. RANGKUMAN Dalam pemungutan pajak dikenal beberapa macam sistem, sistem mana yang dipergunakan tergantung kepada politik negara yang

bersangkutan. Sistem pemungutan yang dipergunakan di Indonesia adalah sistem self assessment dan stelsel campuran. Macam-macam sistem pemungutan pajak yaitu self assessment, official assessment, witholding system.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

3.

Kegiatan Belajar (KB) 2

PEMBEDAAN DAN PENGGOLONGAN PAJAK

3.1. Uraian, Contoh dan Non Contoh Dalam hukum pajak terdapat berbagai pembedaan jenis-jenis pajak, yang dibagi kedalam beberapa golongan besar. Cara membedakannya dapat didasarkan atas ditemukan sifat-sifat tertentu yang terdapat dalam masingmasing pajak, seperti : 1. Pajak atas kekayaan dan pendapatan; 2. Pajak atas lalu lintas, yaitu lalu lintas hukum, lalu lintas kekayaan, dan lalu lintas barang; 3. Pajak yang bersifat kebendaan; 4. Pajak atas pemakaian Pembagian lain didasarkan atas ditemukannya ciri-ciri tertentu pada setiap pajak, dan jenis pajak yang ciri tertentunya bersamaan dimasukkan dalam satu golongan, sehingga terjadilah pembagian pajak dalam : 1. Pajak subyektif dan pajak obyektif 2. Pajak langsung dan pajak tidak langsung 3. Pajak umum dan pajak daerah Modul ini akan menguraikan tentang pembagian pajak dalam beberapa golongan. A. PAJAK SUBYEKTIF DAN PAJAK OBYEKTIF (A) Pajak Subyektif Pajak subyektif ialah pajak yang memperhatikan pertamatama keadaan pribadi wajib pajak; untuk menetapkan pajaknya harus ditemukan alasan-alasan yang obyektif yang berhubungan dengan keadaan materialnya, yaitu yang disebut gaya pikulnya. Contoh : Pajak Penghasilan, (Orang Pribadi). Hubungan antara pajak dan wajib pajak (subyek pajak) adalah langsung oleh karena besarnya Pajak Penghasilan yang harus dibayar tergantung kepada gaya pikulnya, pada pajak-pajak subyektif ini keadaan pribadi wajib pajak sangat mempengaruhi besar kecilnya jumlah pajak yang terhutang.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

Mengenai keadaan diri wajib pajak sebagai dasar menghitung gaya pikul di atur dalam Pasal 7 Undang-undang PPh, yaitu dalam bentuk Penghasilan Tidak Kena Pajak (P.T.K.P.), sebagai berikut : a. b. c. Untuk diri Wajib Pajak Tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin Tambahan Rp. 2.880.000,Rp. 1.440.000,-

untuk seorang isteri yang Rp. 2.880.000,-

mempunyai penghasilan dari usaha atau dari pekerjaan yang tidak ada

hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lain d. Tambahan untuk setiap orang keluarga Rp. 1.440.000,sedarah dan semenda dalam garis

keturunan lurus, serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga. (B) Pajak Obyektif Pajak obyektif ialah pajak yang pertama-tama melihat obyeknya yang selain dari pada benda, dapat pula berupa keadaan, perbuatan atau peristiwa yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar, kemudian dicari subyeknya (orang atau badan hukum) yang bersangkutan langsung, dengan tidak mempersoalkan apakah subyek ini berkediaman di Indonesia atau tidak. Subyek yang mempunyai hubungan hukum tertentu dengan obyek itulah yang ditunjuk sebagai subyek yang harus membayar pajak. Contoh : Pajak Penghasilan Wajib Pajak luar negeri. B. PAJAK LANGSUNG DAN PAJAK TIDAK LANGSUNG Pembagian golongan pajak ini terjadi karena ditinjau dari sudut beban pajak dan administrasi pemungutan pajak. (A) Pajak Langsung Pajak langsung ialah pajak yang ditinjau dari : a. Segi Administratip, berkohir dan dikenakan secara berulang-ulang pada waktu tertentu (periodik) misalnya setiap tahun. b. Segi ekonomis, pajak harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Penghasilan

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

(B) Pajak Tidak Langsung Pajak Tidak Langsung, ialah pajak yang ditinjau dari segi : a. Administratip, tidak berkohir dan tidak dikenakan secara periodik (berulang-ulang), tetapi dikenakan hanya bila terjadi hal-hal, atau peristiwa-peristiwa yang dikenakan pajak. b. Ekonomis pajak dapat dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : PPN dan PPn BM C. PAJAK PUSAT DAN PAJAK NEGARA DAN PAJAK DAERAH (A) Pajak Negara / Pajak Pusat ialah pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat Yang termasuk Pajak Pusat adalah Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Meterai, BPHTB.

(B) Pajak Daerah / Pajak Lokal, ialah pajak yang dipungut oleh daerah Tingkat I, daerah Tingkat II (Kodya, Kabupaten) Yang termasuk Pajak Daerah seperti, PKB, PRO, PBA, Pajak Tontonan, Pajak Reklame dan lain-lain. 3.2. LATIHAN 2 1. Pajak apa saja yang termaswuk Pajak Pusat? Pajak Pusat : - Pajak Penghasilan - PPN dan PPn BM - PBB - Bea Meterai 2. Dapatkah Pajak Langsung dilimpahkan kepada orang lain? Jelaskan dan beri contoh pajak yang bersangkutan! Pajak langsung ditinjau dari segi ekonomis tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain, harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak. Contoh : Pajak Penghasilan. 3. Sebutkan beberapa macam Pajak Lokal (Pajak Daerah) : Pajak Lokal : - Pajak Reklame - Pajak Kendaraan Bermotor - Pajak Hotel dan Restoran - Pajak Hiburan - Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor.
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

3.3. RANGKUMAN Di dalam Hukum Pajak, Pajak-pajak dapat dibagi dalam beberapa golongan menjadi : 1. 2. 3. Pajak Subyektif dan Pajak Obyektif. Pajak Langsung dan Pajak Tidak Langsung. Pajak Negara / Pajak Pusat dan Pajak Daerah / Pajak Lokal.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

4.

Kegiatan Belajar (KB) 3

MACAM-MACAM TARIF PAJAK

4.1. Uraian, Contoh dan Non Contoh Seseorang yang menjadi subyek pajak dan mempunyai obyek pajak, untuk dapat menghitung besarnya jumlah pajak yang terhutang harus mengetahui tarif pajak yang bersangkutan. Tarif yang dianut dalam suatu Undang-undang pajak, tergantung dari ketentuan Undang-undang Pajak yang bersangkutan. Modul ini akan menguraikan tentang bermacam-macam tarif yang dikenal dalam Hukum Pajak, yaitu : 1. Tarif yang sepadan 2. Tarif yang meningkat 3. Tarif yang menurun 4. Tarif tetap A. Tarif yang sepadan (Proporsionil) Tarif yang sepadan ialah tarif pajak dengan persentase

pengenaan yang tidak berubah. Jumlah pajak yang harus dibayar berubah menurut jumlah yang dipakai sebagai dasar pengenaan pajak. Misalnya : Tarif pajak Hotel dan Restoran sebesar 10% Tarif PPN sebesar 10% B. Tarif Pajak yang Meningkat (Progresif) Tarif pajak yang progresif ialah tarif pajak yang persentase pengenaannya menaik semakin besar manakala jumlah yang harus dikenakan pajak meningkat. Misalnya : Tarif PPh Pasal 17 Penghasilan Kena Pajak (Badan d.n./BUT) s/d Rp. 50.000.000,Diatas Rp. 50.000.000,- s/d Rp.100.000.000,Diatas Rp. 100.000.000,C. Tarif yang Menurun (Degresif) Tarif pajak yang menurun ialah tarif pajak yang besar Tarif 10% 15% 30%

persentasenya menurun semakin besar manakala jumlah yang harus dikenakan pajak meningkat. Misalnya :
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

Dasar pengenaan pajak Rp. 1.000.000,- (Rp. 100.000,-) Rp. 2.000.000,- (Rp. 180.000,-) Rp. 3.000.000,- (Rp. 255.000,-) Rp. 4.000.000,- (Rp. 320.000,-)

Pajak 10% 9% 8.5% 8%

D. Tarif yang Tetap Tarif yang tetap ialah tarif pajak yang besarnya tetap dan tidak tergantung kepada nilai objek yang dikenakan pajak. Misalnya : Bea Meterai Rp. 3.000,- / Rp. 6.000,4.2. LATIHAN 3 1. Pajak Penghasilan menganut tarif apa? Pajak Penghasilan menganut tarif progresif sebagaimana di atur dalam Pasal 17 Undang Undang PPh. 2. Berikan contoh pajak-pajak yang menganut tarif sepandan! Pajak yang menganut tarif sepadan antara lain, PPN. 3. Apakah tarif menurun dianut dalam undang-undang pajak di Indonesia? Tarif menurun / degresif tidak dianut di Indonesia. 4.3. RANGKUMAN Di dalam Hukum Pajak dikenal beberapa macam tarif, tiap-tiap negara menganut macam tarif yang telah ditentukan dalam Undang-undang Pajak yang bersangkutan. Ada empat macam tarif yaitu Tarif Sepadan, Tarif Progresif, Tarif Menurun dan Tarif Tetap.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

5.

Kegiatan Belajar (KB) 4

PENETAPAN DAN KETETAPAN PAJAK

5.1. Uraian, Contoh dan Non Contoh Dalam sistem self assessment, untuk membayar pajak terutang tidak tergantung kepada adanya surat ketetapan pajak. Namun demikian, tidak berarti dalam sistem self assessment tidak dapat diterbitkan surat ketetapan pajak. Disamping surat ketetapan pajak, terdapat pula Surat Tagihan Pajak. Pada umumnya surat ketetapan pajak diterbitkan setelah dilaksanakan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak, sedangkan Surat Tagihan Pajak diterbitkan setelah diadakan penelitian. Sanksi administrasi yang tercantum dalam surat ketetapan pajak adalah sanksi administrasi berupa bunga dan /atau kenaikan, sedangkan sanksi administrasi yang tercantum dalam Surat Tagihan Pajak adalah sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda. Dilihar dari segi kepastian hukum, keduanya mempunyai kekuatan hukum yang sama. A. Jenis Surat Ketetapan Pajak Surat ketetapan pajak merupakan suatu bagian dari proses pemungutan pajak. Terdapat beberapa jenis surat ketetapan pajak, yaitu : Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) Surat Ketetapan Pajak Nilai (SKPN) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) B. Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah surat keputusan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi dan jumlah yang masih harus dibayar. Dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sesudah saat terutangnya pajak, atau berakhir masa pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, Kepala Kantor Pelayanan Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB). Walaupun fiscus berwenang untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak, tetapi tidak seluruh Surat Pemberitahuan Wajib Pajak diterbitkan ketetapan tetapi, hanya terhadap hal-hal tertentu atau terhadap Wajib Pajak tertentu yang
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

10

nyata-nyata atau berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan atau kewajiban materill. Hal-hal yang menyebabkan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah : a. Berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar. b. Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu

sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat 3 (Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Perpajakan) dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran. c. Berdasarkan hasil pemeriksaan mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenakan tarif 0% (nol persen). d. Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 dan pasal 29 (Undang-undang) tentang Ketentuan Umum dan Tata cara

Perpajakan) tidak dipenuhi, sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang.

Diketahui bahwa Wajib Pajak tidak atau kurang membayar pajak adalah karena dilakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang bersangkutan dan dari hasil pemeriksaan itu diketahui bahwa Wajib Pajak tidak membayar pajak sebagaimana mestinya menurut peraturan perundang-undangan perpajakan. Pemeriksaan dapat dilakukan ditempat tinggal, tempat kedudukan dan atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dapat juga diterbitkan dalam hal Kepala Kantor Pelayanan Pajak memiliki data lain di luar data yang disampaikan leh Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban pajak

sebagaimana mestinya. Untuk memastikan kebenaran data itu terhadap Wajib Pajak dapat dilakukan pemeriksaan. Wajib Pajak yang melanggar kewajiban perpajakan yaitu tidak atau kurang membayar sebagaimana mestinya menurut peraturan perundang-undangan perpajakan, yang diketahui setelah diadakan pemeriksaan, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan untuk selama-lamanya 24 bulan, terhitung sejak saat

terutangmya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

11

tahun pajak sampai diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar. Sanksi administrasi berupa bunga tersebut, dihitung dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar dan bagian dari bulan dihitung satu bulan. Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan pada waktunya, walaupun telah ditegut secara tertulis dan tidak juga disampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam Surat Teguran, Kepala Kantor Pelayanan Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar secara jabatan. Teguran antara lain dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada Wajib Pajak yang beritikad baik untuk menyampaikan alasan atau sebab-sebab tidak dapat disampaikannya Surat Pemberitahuan yang disebabkan karena sesuatu hal di luar kemampuannya. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang diterbitkan ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar : a. 50% dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar dalam satu Tahun Pajak. b. 100% dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetorkan.

Bagi Wajib Pajak yang tdak melaksanakan kewajiban perpajakan dibidang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, yang mengakibatkan pajak terutang tidak atau kurang dibayar yaitu berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata tidak seharusnya

dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenakan tarif 0%, maka Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang ditertibkan ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dari Pajak

Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang tidak atau kurang dibayar. Wajib Pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan menurut ketentuan pasal 28 atau pada saat diperiksa tidak memenuhi permintaan menurut pasal 29, sehingga tidak dapat dihitung jumlah pajak yang seharusnya terutang, maka Surat Ketetatapan Pajak Kurang Bayar yang ditertibkan ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar : a. 50% dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar. b. 100% dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dipotong atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetorkan.
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

12

c. 100% dari Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dari Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang tidak atau kurang dibayar.

Seperti halnya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang diterbitkan karena Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktunya walaupun sudah ditegur secara tertulis, maka Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang ditertibkan karena tidak menyelenggarakan pembukuan atau pada saat diperiksa tidak memenuhi permintaan menurut pasal 29, merupakan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang dihitung secara jabatan yaitu perhitungan pajaknya didasarkan pada data yang tidak hanya dipeloreh dari Wajib Pajak saja. Pembuktian atas uraian penghitungan yang dijadikan dasar penghitungan secara jabatan diletakkan pada Wajib Pajak, sebagai contoh dapat diberikan antara lain sebagai berkut : a. Pembuktian sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 tidak lengkap, sehingga penghitungan rugi-laba atau peredaran tidak jelas. b. Dokumen-dokumen pembukuan tidak lengkap sehingga angka-angka dalam pembukuan tidak dapat diuji. c. Dari rangkaian pemeriksaan dan atau fakta-fakta yang diketahui, besar dugaan disembunyikannya dokumen atau data pendukung lain disuatu tempat tertentu, sehingga dari sikap demikian jelas Wajib Pajak telah tidak menunjukkan itikad baiknya untuk membantu kelancaran jalannya pemeriksaan.

Dalam hal Wajib Pajak dipidana karena melakukan tindak pidana dibidang perpajakan berdasarkan Putusan Pengadilan yang telah mempeloreh kekuatan hukum tetap, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar masih dibenarkan untuk ditertibkan ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar meskipun jangka waktu 10 tahun dilampaui. Dengan adanya putusan Pengadilan yang telah mempeloreh kekuatan hukum yang tetap, dapat saja terungkap adanya data fiskal yang selama itu sengaja tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak. Oleh sebab itu wajar, walaupun jangka waktu 10 tahun telah lewat, fiscus masih dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

13

C. Penerbitan (SKPKBT)

Surat

Ketetapan

Pajak

Kurang

Bayar

Tambahan

Surat Ketetapan Pajak Tambahan adalah surat keputusan yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan. Dengan demikian maka Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan baru ditertibkan ketetapan pajak dan merupakan koreksi atas ketetapan pajak sebelumnya. Jadi, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan itu berguna untuk : a. Menampung kemungkinan terjadinya suatu Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang menyatakan telah ditetapkan lebih rendah, atau b. Telah dilakukan pengembalian pajak yang tidak seharusnya

sebagaimana telah ditetapkan dalam Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, atau c. Pajak yang terutang dalam suatu Surat Ketetapan Pajak Nihil ditetapkan lebih rendah.

Jangka waktu menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah 10 tahun sesudah saat terutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak dengan syarat adanya data baru (novum) dan atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak sebelumnya. Yang dimaksud dengan data baru adalah data yang belum dilaporkan oleh Wajib Pajak dalam Surat

Pemberitahuan, sedangkan data yang semula belum terungkap adalah data yang sudah dilaporkan oleh Wajib Pajak dalam SuratPemberitahuan namun tidak diungkapkan secara jelas. Sebagai contoh dari data yang semula belum terungkap antara lain adalah sumbangan yang

diperhitungkan sebagai biaya umum tanpa disertai rinciannya, sehingga tidak dapat diketahui bahwa sumbangan tersebut sebenarnya tidak dapat dikurangkan sebagai biaya. Jika sekiranya masih ditemukan lagi data yang semula belum terungkap pada saat diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dan/atau data baru yang diketahui kemudian, maka Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan masih dapat diterbitkan. Dengan ditemukannya data baru dan/atau ditemukannya data yang semula belum terungkap yang dalam sistem self asessment seharusnya tidak terjadi, sehingga dilakukan penerbitan Surat Ketetapan Pajak
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

14

Kurang Bayar Tambahan, maka jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dari jumlah kekurangan pajak tersebut. Namun demikian, sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% itu, tidak dikenakan apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan itu diterbitkan berdasarkan keterangan tertulis dari Wajib Pajak atas kehendak sendiri dengan syarat Direktur Jendral Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan. Dalam hal Wajib Pajak dipidana karena melakukan tindak pidana karena melakukan tindak pidana dibidang perpajakn Putusan Pengadilan yang telah mempeloreh kekuatan hukum tetap, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan masih dibenarkan untuk diterbitkan, ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, meskipun jangka waktu 10 tahun telah dilampaui.

D. Penerbit Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah surat keputusan yang menentukan jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. Untuk dapat menentukan apakah jumlah pajak terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak, maka sebelumnya dilakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak

berdasarkan hasil pemeriksaan itu, Surat Ketetapan Pajak Nihil diterbitkan apabila : a. Untuk Pajak Penghasilan, jumlah kredit pajak sama dengan pajak yang terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. b. Untuk Pajak Pertambahan Nilai, jumlah kredit pajak sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak terutang yang dipungut oleh pemungut Pajak Pertambahan Nilai, maka yang dimaksud dengan jumlah pajak yang terutang adalah jumlah pajak Keluaran setelah dikurangi dengan pajak Pertambahan Nilai tersebut. c. Untuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah, jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada pembayaran pajak. yang dipungut oleh pemungut Pajak

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

15

E. Penerbit Surat Ketatapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah surat keputusan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar dari pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang. Menurut ketentuan ini Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan apabila : a. Untuk Pajak Penghasilan, jumlah kredit pajak lebih besar dari jumlah pajak yang terutang, atau telah dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang; b. Untuk Pajak Pertambahan Nilai, jumlah kredit pajak lebih besar dari jumlah pajak yang terutang, atau telah dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang. Apabila terdapat pajak terutang yang dipungut oleh pemungut Pajak Pertambahan Nilai, maka yang dimaksud dengan jumah yang terhutang adalah jumlah Pajak Keluaran setelah dikurangi pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak

Pertambahan Nilai Tersebut; c. Untuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah, jumlah pajak yang dibayar lebih besar dari jumlah pajak yang terutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang.

Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar tersebut diterbitkan setelah dilakukan pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak yang menyatakan kurang bayar, nihil atau lebih bayar yang tidak disertai dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak (permohonan restitusi). Apabila Wajib Pajak setelah menerima Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dan menghendaki pengembalian kelebihan pembayaran pajak (restitusi), maka wajib mengajukan

permohonan tertulis. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar masih dapat diterbitkan lagi apabila berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata pajak yang lebih dibayar jumlahnya lebih besar dari kelebihan pembayaran pajak yang telah ditetapkan. F. Penerbitan Surat Tagihan Pajak (STP) Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda. Surat Tagihan Pajak diterbitkan apabila terdapat : a. Pajak penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar.
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

16

b. Dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan terdapat kekurangan pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung. c. Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasiberupa denda dan/atau bunga. d. Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 tetapi tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. e. Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi membuat Faktur Pajak atau Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi tidak membuat atau tidak mengisi selengkapnya Faktur Pajak.

Surat Tagihan Pajak mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak, sehingga dengan demikian dalam hal penagihan pajak yang tercantum dalam Surat Tagihan Pajak dapat juga dilakukan dengan Surat Paksa Di atas telah dikemukakan bahwa Surat Tagihan Pajak diterbitkan apabila terdapat : a. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar. b. Dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung. Pajak yang tidak atau kurang dibayar itu ditagih dengan Surat Tagihan Pajak, ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan untuk selama-lamanya 24 bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atas bagian tahun pajak atau tahun pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak. Surat Tagihan Pajak dapat pula diterbitkan apabila terdapat : a. Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 tetapi tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. b. Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagau pengusaha Kena Pajak tetapi membuat Faktur Pajak. c. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha Kena Pajak tetapi tidak mengisi selengkapnya Faktur Pajak Pengusaha tersebut di atas masing-masing diselesaikan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% dari Dasar Pengenaan Pajak dan hal tersebut dituangkan dalam Surat Tagihan Pajak. Sanksi tersebut dikenakan karena pengusaha telah melanggar kewajibannya (tidak
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

17

melaporkan kegiatan usahanya) dan melalaikan kepercayaan yang telah diberikan kepadanya untuk melaporkannya sendiri kegiatan usahanya. Oleh karena itu, selain harus menyetor pajak yang Kena Pajak juga dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% dari Dasar Pengenaan Pajak yang timbul sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Disamping itu berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan ditetapkan bahwa Faktur Pajak hanya boleh dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak. Larangan membuat Faktur Pajak oleh bukan Pengusaha Kena Pajak dimaksudkan untuk melindungi pembeli dari pemungutan pajak yang tidak semestinya, dan oleh karena itu terhadapnya dikenakan sanksi berupa denda administrasi. Demikian pula terhadap Pengusaha Kena Pajak yang wajib membuat Faktur Pajak tetapi tidak dilaksanakan atau tidak selengkapnya mengisi Faktur Pajak, atau membuat Faktur Pajak tetapi tidak tepat waktu dikenakan sanksi yang sama. 5.2. LATIHAN 4 a. Sebutkan jenis-jenis surat ketetapan pajak Jenis-jenis surat ketetapan pajak. 1. SKPKB 2. SKPKBT 3. SKPN 4. SKPLB b. Sebutkan Syarat-syarat diterbitkannya SKPKBT Syarat-syarat a.1. : 1. Ada data baru (usulan) dan/atau 2. Data yang semula bahan terungkap c. Sanksi-sanksi apa saja yang dapat dikenakan dalam SKPKB atau SKPKBT ? Sanksi-sanksi tersebut a.1. : a. Bunga dan/atau b. Kenaikan.

5.3. RANGKUMAN a. Jenis surat ketetapan pajak. Terdapat beberapa jenis surat ketetapan pajak, yaitu :
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

18

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) Surat Ketetapan Pajak Pajak Nilai (SKPN) Surat Ketetapan Pajak Lebih bayar (SKPLB) b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah surat keputusan yang menentukan tambahan atasjumlah pajak yang telah ditetapkan. Dengan demikian maka Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan baru diterbitkan ketetapan pajak dan merupakan koreksi ketetapan pajak sebelumnya. c. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan itu berguna untuk : a. Menampung kemungkinan terjadinya suatu Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang menyatakan telah ditetapkan lebih rendah, atau b. Telah dilakukan pengembalian pajak yang tidak seharusnya

sebagaimana telah ditetapkan dalam Surat Ketetapan dalam Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, atau c. Pajak yang terutang dalam suatu Surat Ketetapan Pajak Nihil ditetapkan lebih rendah.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

19

6.

TES FORMATIF Nyatakan B (Benar), kalau pernyataan di bawah ini benar, dan nyatakan S (Salah), kalau pernyataan ini salah. a. B S Dalam sistem pemungutan Sell Assessment, kegiatan pemungutan pajak diletakkan kepada aktivitas dari masyarakat wajib pajak sendiri, dimana wajib pajak diberi kepercayaan untuk : 1. Menghitung sendiri pajak yang terhutang 2. Memperhitungkan sendiri pajak yang terhutang 3. Membayar sendiri jumlah pajak yang terhutang 4. Melaporkan sendiri pajak yang terhutang. b. B S Witholding system adalah suatu sistem pemungutan pajak, dimana perhitungan pemotongan dan

pembayaran pajak serta pelaporan pajak dipercayakan kepada pihak ketiga oleh Negara.

c.

B -

Stelsel Riil / stelsel nyata (Rieele stelsel) ialah suatu sistem pengenaan pajak, yang didasarkan pada

penghasilan yang diperkirakan diperoleh dalam suatu tahun pajak. d. B S Pembedaan berdasarkan sifat-sifat tertentu yang

terdapat dalam masing-masing pajak, sehingga dapat digolongkan dalam : 1. Pajak atas kekayaan dan pendapatan; 2. Pajak atas lalu lintas, yaitu lalu lintas hukum, lalu lintas kekayaan, dan lalu lintas barang; 3. Pajak yang bersifat kebendaan; 4. Pajak atas pemakaian. e. B S Pembagian didasarkan atas ditemukannya ciri-ciri

tertentu pada setiap pajak, dan jenis pajak yang ciri tertentunya bersamaan dimasukkan dalam satu

golongan, sehingga terjadilah pembagian pajak dalam : 1. 2. 3. f. B S Pajak subyektif dan pajak obyektif Pajak langsung dan pajak tidak langsung Pajak umum dan pajak daerah subyektif ialah pajak yang tidak perlu

Pajak

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

20

memperhatikan pertama-tama keadaan pribadi wajib pajak; untuk menetapkan pajaknya. g. B S Pajak langsung ialah pajak yang ditinjau dari : a. Segi Administratip, berkohir dan dikenakan secara berulang-ulang pada waktu tertentu (periodik)

misalnya setiap tahun. b. Segi ekonomis, pajak harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain. h. B S Macam-macam tarif yang dikenal dalam Hukum Pajak, yaitu : 1. Tarif yang sepadan 2. Tarif yang meningkat 3. Tarif yang menurun 4. Tarif tetap i. B S Tarif yang sepadan ialah tarif pajak dengan persentase pengenaan yang tidak berubah. Jumlah pajak yang harus dibayar berubah menurut jumlah yang dipakai sebagai dasar pengenaan pajak. Misalnya : PPh j. B S Tarif pajak yang progresif ialah tarif pajak yang persentase pengenaannya menaik semakin besar

manakala jumlah yang harus dikenakan pajak tidak meningkat.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

21

7.

KUNCI JAWABAN a b c d e = = = = = B B S B B

TES FORMATIF f g h i j = = = = = S B B S S

8. UMPAN BALIK & TINDAK LANJUT Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif yang terdapat pada bagian akhir modul, dan hitunglah jumlah jawaban Anda yang benar. Kemudian gunakan rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda dalam materi Kegatan Belajar 1 / 2 / 3 / 4 Rumus : Jumlah jawaban Anda yang benar Tingkat penguasaan = 10 X 100%

Arti tingkat penguasaan yang Anda capai : 90% - 100% = 80% - 89% 70% - 79% - 69% = = = Baik sekali Baik Cukup Kurang

Anda telah mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih? Bagus ! Anda harus mempelajari kembali Kegiatan Belajar 1 / 2 / 3 / 4 terutama bagian yang belum Anda kuasai.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

22

9. REFERENSI / DAFTAR PUSTAKA

a.

Rochmat Soemitro, H, Prof, DR, SH,

Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan 1994, P.Y. Eresco, Bandung, 1977.

b.

. ,

Hukum Indonesia

Pajak

Internasional dan

Perkembangan PT

pengaruhnya, Bandung 1977. c. . , Peradilan Hukum

Eresco,

Administrasi Pajak di

dalam

Indonesia,

PT Eresco, 1976. d. . , Asas dan Dasar Perpajakan I, PT Eresco, 1992. e. . , Asas dan Dasar Perpajakan II, PT Eresco, 1990. f. . , Asas dan Dasar Perpajakan II, PT Eresco, 1989. g. . , Pengantar Singkat Hukum Pajak, PT Eresco, 1987. h . , Pajak ditinjau dari segi hukum PT Eresco, 1990. i. . , Asas-asas Hukum Perpajakan, BPHN, Jakarta, 1991. j. Santoso Brotodihardjo, SH., Pengantar Ilmu Hukum,

PT Eresco, Bandung, 1986. k. Sindian I Djajadihardjo, SH., Prof, SH., Makna dari Hukum Fiskal Formal, Pidato pengukuhan GB,

Bandung, 1981. l. . , Hukum Pajak dan Keadilan, PT Eresco, Bandung, 1985 m. Jajat Djuhadiat SS. SH, Pengantar Hukum Pajak, BPLK, Jakarta, 1993.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

23

DAFTAR ISI

Daftar Isi MODUL 3 TIMBULNYA DAN HAPUSNYA UTANG PAJAK KEBERATAN DAN BANDING 1. Pendahuluan ... 1.1 Deskripsi Singkat ... 2. Kegiatan Belajar (KB) 1 TIMBULNYA DAN HAPUSNYA UTANG PAJAK 2.1 Uraian, Contoh dan Non Contoh ..........

1 1

A. Ajaran Timbulnya Utang Pajak ....................................................... 2 B. Hapusnya Utang Pajak .................................................................... 2.2 Latihan 1 2.3 Rangkuman 3. Kegiatan Belajar (KB) 2 KEBERATAN DAN BANDING 3.1 Uraian, Contoh dan Non Contoh .. A. Keberatan yang Tidak memenuhi Persyaratan Formal .................. 5 8 3 3 4

B. Permohonan Banding Ke Pengadilan Pajak .............................. 10 C. Pengadilan Pajak . 4. 5. 6. 7. Test Formatif .. Kunci Jawaban Test Formatif Umpan Balik dan Tindak Lanjut Daftar Pustaka 11 37 39 39 40

MODUL 3 TIMBULNYA DAN HAPUSNYA UTANG PAJAK KEBERATAN DAN BANDING

1.

PENDAHULUAN I. DESKRIPSI SINGKAT / RELEVANSI / PENGANTAR Di dunia ini sudah kodrat alam bahwa bila ada sesuatu yang timbul, maka kemudian akan lenyap atau hapus, demikian pula halnya dengan utang pajak. Di dalam Hukum Pajak dikenal dua ajaran tentang timbulnya utang pajak. Di dalam modul ini akan diuraikan tentang pengertian utang pajak, timbulnya utang pajak, dan hapusnya utang pajak.

2.

Kegiatan Belajar (KB) 1

TIMBULNYA DAN HAPUSNYA UTANG PAJAK

2.1. Uraian, Contoh dan Non Contoh Menurut Hukum Perdata utang adalah merupakan suatu perikatan, yang mengandung kewajiban bagi salah satu pihak baik orang maupun badan sebagai subyek hukum, untukmelakukan suatu prestasi, yang menjadi hak pihak lainnya. Utang di dalam Hukum Perdata dapat mempunyai arti yang luas ialah segala sesuatu yang harus dilakukan oleh orang yang berkewajiban sebagai akibat perikatan, seperti menyerahkan barang, membuat lukisan, membayar harga barang dan lain-lain. Hutang dalam arti sempit, adalah perikatan sebagai akibat perjanjian khusus yang disebut utang-piutang, yang mewajibkan debitur membayar jumlah uang yang telah dipinjamnya dari kreditur. Menurut Prof. DR. H. Rochmat Soemitro, SH (1990 : 1) menyatakan : Utang dan tidak dapat memilih secara bebas, siapa yang akan dijadikan debiturnya, seperti dalam hukum perdata.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

A. AJARAN TIMBULNYA UTANG PAJAK Menurut pasal 1233 BW, perikatan timbul karena undang-undang dan karena perjanjian. Apakah ketentuan ini berlaku sepenuhnya untuk utang pajak? Jawabnya, tidak, utang pajak timbul karena undang-undang bukan karena perjanjian. Dalam Hukum Pajak dikenal ada dua ajaran tentang timbulnya utang pajak, yaitu : (A) Ajaran Material Ajaran Material adalah suatu ajaran timbulnya utang pajak yang menyatakan bahwa utang pajak timbul karena undang-undang, tanpa diperlukan suatu perbuatan manusia, asal dipenuhi syarat adanya suatu Tatbestand. Tatbestand ditentukan sendiri di dalam Undang-undang Pajak yang bersangkutan, terdiri dari keadaan, perbuatan atau peristiwa tertentu yang harus dikenakan pajak. Surat ketetapan pajak dalam ajaran ini tidak menimbulkan utang pajak, hanya diperlukan untuk menetapkan besarnya utang pajak dan untuk memberitahukan besarnya utang pajak. Berdasarkan ajaran ini maka meskipun surat ketetapan pajak belum memenuhi adanya Tatbestand, sudah memenuhi syarat kewajiban pajak subyektif dan obyektif, serta sudah mempunyai utang pajak dan kewajiban membayarnya.

(B) Ajaran Formal Ajaran Formal adalah suau ajaran timbulnya utang pajak, yang menyatakan bahwa utang pajak timbul tanpa melihat adanya. Tatbestand, tetapi menggantungkan adanya pada adanya surat ketetapan pajak. Jadi menurut ajaran ini utang pajak timbul pada saat dikeluarkannya surat ketetapan pajak. Walaupun Tatbestand telah dipenuhi, tetapi jika belum dikeluarkan surat ketetapan pajak, maka belum ada suatu utang pajak. Surat ketetapan pajak menurut ajaran formal berfungsi : a. Menimbulkan utang pajak b. Menentukan besarnya utang pajak c. Memberitahukan besarnya pajak kepada Wajib Pajak
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

B. HAPUSNYA UTANG PAJAK Setiap perikatan, termasuk pula utang pajak, pada suatu waktu akan hapus. Hapusnya utang pajak dapat terjadi karena : 1. Pembayaran Utang pajak hapus setelah dibayar oleh Penanggung Pajak / Wajib Pajak ke Kas Negara, atau tempat-tempat yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Pembayaran dilakukan dengan penyetoran uang, bukan dalam bentuk natura. 2. Kompensasi Utang pajak yang masih belum dibayar dapat hapus dengan dilakukannya kompensasi pembayaran antara kelebihan pembayaran pajak dengan utang pajak yang belum dibayar. Kompensasi pembayaran harus dimintakan kepada Kepala KPP, agar tidak timbul kesulitan di kemudian hari, dan secara administrasi telah diselesaikan di Kantor Pelayanan Pajak. 3. Daluwarsa Daluwarsa yang dimaksud disini adalah daluwarsa penagih, seperti yang tercantum dalam Pasal 22 Undang-undang KUP. Pajak yang penagihannya telah kedaluwarsa tidak dapat dilakukan tindakan penagihan, maka setelah dilakukan penelitian administrasi dapat diusulkan untuk dihapuskan. 4. Penghapusan Wajib Pajak yang menunggak pajak, dan setelah diadakan penelitian setempat dan diketahui Wajib Pajak telah meninggal dunia tidak meninggalkan ahli waris dan tanpa warisan, atau wajib pajak pailit, atau alamat wajib pajak tidak diketemukan lagi, tunggakan pajak dapat diusulkan untuk dihapuskan. 2.2. LATIHAN 1 a. Apakah yang dimaksud dengan ajaran material dalam Hukum Pajak mengenai timbulnya utang pajak ? Ajaran material adalah suatu ajaran mengenai timbulnya utang pajak yang menyatakan bahwa utang pajak timbul karena undang-undang, tanpa diperlukan suatu perbuatan manusia, asal dipenuhi syarat telah terdapatnya suatu Tatbestand.
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

b. Apakah fungsi surat ketetapan pajak dalam ajaran material ? Fungsi surat ketetapan pajak menurut ajaran material tidak menimbulkan utang pajak, hanya berfungsi untuk menetapkan besarnya utang pajakdan memberitahukan besarnya utang pajak. c. Sebutkan sebab-sebab timbulnya suatu perikatan menurut pasal 1233 BW ! Menurut pasal 1233 BW : Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, atau karena undang-undang. 2.3. RANGKUMAN 1. Utang pajak timbul karena Undang-undang. 2. Hukum Pajak mengenal dua ajaran tentang timbulnya utang pajak yaitu ajaran material dan ajaran formal. 3. Utang pajak hapus karena pembayaran, kompensasi, daluwarsa atau penghapusan.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

3.

Kegiatan Belajar (KB) 2

KEBERATAN DAN BANDING

3.1. Uraian, Contoh dan Non Contoh Yang dimaksud dengan keberatan disini adalah keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak kepada Dirjen Pajak berdasarkan pasal 25 ayat (1) UU KUP atas : a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB); b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT); c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB); d. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN); e. Pemotongan atau Pemungutan oleh pihak ke III berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan.

Dirjen Pajak harus mengambil keputusan atas keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama dua belas bulan (Pasal 26 ayat (1) UU KUP) sejak surat keberatan diterima. Apabila jangka waktu dua belas bulan itu telah lewat dan Dirjen Pajak tidak member sesuatu keputusan, maka keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak tersebut dianggap diterima (Pasal 26 atau (5) UU KUP). Tidak semua keberatan Wajib Pajak dapat dipertimbangkan untuk diambil keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) UU KUP. Surat keberatan yang dapat dipertimbangkan hanyalah keberatan yang memenuhi persyaratan formal yang ditentukan dalam UU KUP. Persyaratan dormal meliputi 2 (dua) hal : a. Batas waktu pengajuan keberatan yaitu 3 (tiga) bulan sejak tanggal : Surat Pemotongan Pemungutan

Sesuai Pasal 25 ayat (3) UU KUP kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya. b. Materi Surat Keberatan Persyaratan formal mengenai materi surat keberatan adalah : Keberatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan menyatakan alas an-alasan secara jelas (Pasal 25 ayat (2) UU KUP).
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

Wajib Pajak dalam keberatannya wajib menyebutkan jumlah pajak yang menurut perhitungannya seharusnya terhutang.

Kenyataan dalam praktek di lapangan Wajib Pajak pada umumnya mengajukan keberatan dalam 2 (dua) tahap : 1. Dalam tahap pertama surat keberatan yang diajukan masih belum memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) UU KUP, walaupun surat keberatan tersebut telah diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) UU KUP. 2. Surat keberatan tahap kedua yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) UU KUP diajukan beberapa bulan setelah surat keberatan yang pertama diajukan, sehingga melebihi jangka waktu yang telah ditentukan dalam Pasal 25 ayat (3) UU KUP.

Masalah lain yang sering dijumpai dalam praktek adalah bahwa Wajib Pajak dalam surat keberatannya tidak menyebutkan jumlah pajak yang seharusnya terhutang secara jelas menurut perhitungan Wajib Pajak, tetapi hanya menunjuk jumlah pajak terhutang menurut SPT Tahunan yang telah dimasukkan.

Penyelesaian keberatan merupakan suatu proses yang berlangsung dari sejak tanggal surat keberatan yang memenuhi ketentuan Pasal 25 ayat (2), ayat (3) UU KUP diterima sampai dengan tanggal keputusan Dirjen Pajak atas surat keberatan Wajib Pajak tersebut. Untuk mengambil keputusan atas surat keberatan Wajib Pajak Dirjen Pajak memerlukan data atau keterangan / penjelasan dari KPP yang berupa uraian pemandangan keberatan. Uraian pemandangan keberatan itu dalam garis besarnya disusun dengan sistematik sebagai berikut : a. UMUM Menguraikan identitas Wajib Pajak Surat Ketetapan / Kohir yang diajukan keberatan oleh Wajib Pajak Tanggal surat keberatan Wajib Pajak diterima.

b. PENELITIAN KETENTUAN FORMAL Tanggal Surat Ketetapan / Kohir yang berkenaan Tanggal dan nomor surat keberatan Wajib Pajak
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

Tanggal penerimaan surat keberatan Wajib Pajak.

c. URAIAN TENTANG PENETAPAN SEMULA Dasar penetapan Laporan Pemeriksaan Lapangan / Kantor Hitungan semula

d. KEBERATAN WAJIB PAJAK Diuraikan secara singkat alasan-alasan keberatan Wajib Pajak Bukti-bukti atau data baru yang dikemukakan Wajib Pajak Perhitungan pajak dan jumlah pajak yang terhutang menurut Wajib Pajak. e. URAIAN / PENDAPAT KPP f. Pendapat KPP mengenai penetapan pajak semula Pendapat KPP mengenai alasan-alasan dan bukti yang diajukan oleh Wajib Pajak. KESIMPULAN DAN USUL Kesimpulan KPP setelah mempelajari ketetapan semula, data-data dan keberatan Wajib Pajak Usul KPP mengenai penyelesaian keberatan Wajib Pajak Ditolak / diterima / seluruhnya / sebagian / ditambah.

Mengingat Pasal 26 ayat (1) UU KUP yang mengharuskan Dirjen Pajak mengambil keputusan atas surat keberatan Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak tanggal keberatan Wajib Pajak diterima, KPP dalam membuat uraian pemandangan keberatan harus memperhatikan SE-1!/PJ.22/1987 tanggal 26 Maret 1987 butir 4 yang menegaskan bahwa KPP harus sudah dapat menyelesaikan dan mengirimkan uraian pemandangan atas surat keberatan Wajib Pajak bersama-sama berkas Wajib Pajak bersangkutan kepada instansi yang berwenang mengambil keputusan dalam batas waktu 3 (tiga) bulan setelah diterimanya surat keberatan Wajib Pajak. Pengiriman uraian pandangan tersebut harus dilakukan dengan menggunakan Surat Pengantar Pengiriman Berkas Keberatan dengan tindasan kepada Kantor Pusat Dirjen Pajak (Dalam hal uraian pemandangan keberatan dikirim ke kantor wilayah DJP) atau kepada Kanwil DJP (dalam hal uraian pemandangan keberatan dikirim ke Kantor Pusat DJP). Selanjutnya dalam butir 5 SE tersebut ditegaskan bahwa pengiriman berkas keberatan Wajib Pajak tersebut harus dilakukan secara terpisah
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

per jenis pajak dan per tahun pajak (tidak boleh digabungkan menjadi satu). Jadi setiap Surat Pengantar Pengiriman Berkas Keberatan hanya digunakan untuk satu keberatan atau untuk satu jenis pajak dan satu tahun pajak.

Contoh : Pengiriman berkas keberatan PPh Pasal 21 tahun 2001 harus dipisahkan dengan pengiriman berkas keberatan PPh Pasal 26 Tahun 2001 karena jenis pajaknya berbeda. Pengiriman berkas keberatan PPh tahun 2000 harus dipisahkan dengan pengiriman berkas keberatan PPh tahun 2001 karena tahun pajaknya berbeda.

Untuk menyajikan uraian pemandangan yang kuat dan beralasan diperlukan data-data dan atau bukti-bukti akurat, yang antara lain dapat diperoleh melalui : a. Pemeriksaan Kantor / Sumir b. Pemeriksaan Lapangan / Lengkap

Penentuan apakah pemeriksaan akan dilakukan di lapangan / lengkap atau di kantor tergantung pada bobot permasalahan yang diperlukan dalam uraian pemandangan dan atau data dan bukti akurat yang perlu diperiksa kebenarannya, sesuai dengan pertimbangan KPP. Pelaksanaan pemeriksaan keberatan untuk uraian pemandangan atas keberatan Wajib Pajak harus selalu memperhatikan adanya batas waktu penyelesaian keberatan yaitu dua belas sejak tanggal surat keberatan Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan formal diterima. A. KEBERATAN YANG TIDAK MEMENUHI PERSYARATAN FORMAL Telah diuraikan di atas bahwa keberatan Wajib Pajak yang tidak memenuhi persyaratan formal tidak dipertimbangkan, karenanya tidak seharusnya dicatat dalam buku Register Penerimaan Surat Keberatan. Keberatan yang demikian tidak lebih dari surat biasa, oleh karena itu harus diperlakukan seperti surat biasa. Untuk meningkatkan pelayanan kita kepada masyarakat Wajib Pajak, maka apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) UU KUP yaitu 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat ketetapan masih memungkinkan bagi
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

Wajib Pajak untuk memperbaiki / melengkapi keberatan yang telah diajukan, Wajib Pajak harus diberitahu untuk segera memperbaiki surat keberatannya. Namun apabila batas waktu tersebut sudah tidak memungkinkan lagi, maka KPP hendaknya segera memberitahukan kepada Wajib Pajak bahwa keberatannya tidak memenuhi persyaratan Pasal 25 ayat (3) UU KUP. Pemberitahuan kepada Wajib Pajak, antara lain dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum kepada Wajib Pajak. Pemberitahuan dengan surat itu sesungguhnya sudah merupakan keputusan dari KPP yang memberi kepastian hukum. Kalau bagian akhir dari SE-

28/PJ.223/1987 tanggal 27 Agustus 1987 menyebutkan agar KPP segera menerbitkan Keputusan Penolakan Keberatan terhadap keberatan Wajib Pajak yang tidak memenuhi persyaratan Pasal 25 ayat (2), ayat (3) UU KUP, harus diartikan bahwa KPP segera memberitahu Wajib Pajak dengan surat. Kemungkinan yang terjadi dalam praktek, Wajib Pajak yang telah menerima surat dari KPP yang memberitahukan bahwa keberatannya tidak dipertimbangkan karena tidak memenuhi persyaratan formal masih tetap mengajukan keberatan terhadap ketetapan pajak yang diterimanya yang dirasakan tidak adil. Apabila keberatan Wajib Pajak berhasil mengungkapkan dengan nyata tentang adanya ketidakbenaran dalam ketetapan pajaknya, keberatan tersebut dapat dipertimbangkan dengan kuasa Pasal 36 ayat (1) huruf b UU KUP. Yang perlu mendapat perhatian KPP adalah bahwa menggunakan Pasal 36 ayat (1) huruf b UU KUP ini harus sangat hati-hati, hanya apabila ketidakbenaran ketetapan nyata dengan jelas tanpa meminta keterangan dari Wajib Pajak apalagi meminta buku / catatan Wajib Pajak Keberatan Wajib Pajak yang demikian itu bukan permohonan banding. Sesuai dengan ketentuan Pasal 25 ayat (1) KUP, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Dirjen Pajak dibatasi hanya atas suatu : a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPKB), d. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

e. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Keberatan terhadap STP tidak diatur, sehingga dengan demikian pengajuan keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak terhadap STP tidak akan ditanggapi dan tidak akan dikeluarkan keputusan (tidak

dipertimbangkan). Sesuai dengan Pasal 14 KUP, pengeluaran STP adalah untuk menagih jumlah kekurangan pembayaran pajak dan pengenaan sanksi administrasi sebagai akibat dari kelalaian Wajib Pajak (salah tulis dan/atau salah hitung) yang jumlahnya sudah pasti dan tidak menyangkut penagihan jumlah pajak yang berkenaan dengan juridis material, sehingga dengan demikian atas STP tidak dapat diajukan keberatan. Upaya yang dapat ditempuh oleh Wajib Pajak sehubungan dengan pengeluaran STP ini adalah mengajukan permohonan peninjauan kembali jumlah ketetapan pajak dan sanksi administrasi yang tercantum dalam STP. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 36 ayat (1) luruh a KUP dan Keputusan Menteri Keuangan No. 542/KMK.04/2000, Dirjen Pajak dapat menerbitkan atau keputusan peninjauan kembali dan dengan sanksi

mengurangkan

membatalkan

ketetapan

pajak

administrasi yang tidak benar, dan keputusan peninjauan kembali ini bukan merupakan keputusan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) KUP.

B. PERMOHONAN BANDING KE PENGADILAN PAJAK Sesuai Pasal 27 ayat (1) KUP, Wajib Pajak dapat mengajukan banding kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak mengenai keberatannya dalam jangka waktu tiga bulan sejak tanggal keputusan ditetapkan, dengan melampirkan salinan surat keputusan tersebut. Permohonan banding diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia. Sebelum mengambil keputusan badan peradilan pajak

memerlukan pendapat dari Dirjen Pajak. Pendapat dari Dirjen Pajak diberikan dalam bentuk uraian banding. Uraian banding pada tahap pertama dibuat oleh KPP setelah menerima permintaan uraian banding dari Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

10

Uraian banding yang diterima dari KPP akan dijadikan bahan untuk menyusun uraian banding Kantor Pusat DJP kepada badan peradilan pajak. Oleh karena itu surat permohonan banding ditujukan langsung kepada badan peradilan pajak. Dalam rangka pembinaan dan pemberian pelayanaan yang lebih baik kepada Wajib Pajak, serta untuk mencegah tidak diperiksanya yang disebabkan

permohonan keberatan / banding Wajb Pajak

ketidaktahuan Wajib Pajak, maka melalui SE-46/PJ.2/1986 tanggal 22 Oktober 1986 Kantor Pusat telah menginstruksikan kepada KPP untuk memberikan stempel / cap khusus pada surat ketetapan pajak serta pada keputusan surat-surat keberatan Wajib Pajak mengenai kepada siapa keberatan atau permohonan banding harus diajukan dan dalam jangka waktu berapa lama. C. PENGADILAN PAJAK (A) Pengertian a. Keputusan adalah suatu penetapan tertulis di bidang perpajakan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan dan dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. b. Sengketa Pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya

keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atau pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. c. Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung Pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan Banding, berdasarkan peraturan perundangundangan perpajakan yang berlaku. d. Gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung Pajak terhadap Pelaksanaan Penagihan Pajak atau terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

11

Gugatan

berdasarkan

peraturan

perundang-undangan

perpajakan yang berlaku. e. Surat Uraian Banding adalah surat terbanding kepada

Pengadilan Pajak yang berisi jawaban atas alasan Banding yang diajukan oleh pemohon Banding. f. Surat Tanggapan adalah surat dari tergugat kepada Pengadilan Pajak yang berisi jawaban atas Gugatan yang diajukan oleh penggugat. g. Surat Bantahan adalah surat dari pemohon Banding atau penggugat kepada Pengadilan Pajak yang berisi bantahan atas surat uraian Banding atau Surat Tanggapan. (B) SYARAT-SYARAT BANDING 1. Banding diajukan dengan Surat Banding dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak. 2. Banding diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima Keputusan yang disbanding, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. 3. Jangka waktu di atas tidak mengikat apabila jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan pemohon Banding. 4. Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1(satu) Surat Banding. 5. Banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas, dan dicantumkan tanggal diterima surat keputusan yang dibanding. 6. Pada Surat Banding dilampurkan salinan Keputusan yang disbanding. 7. Dalam hal Banding diajukan terhadap besarnya Jumlah Pajak yang terutang, Banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50% (lima puluh persen). 8. Pemohon Banding dapat melengkapi Surat Bandingnya untuk memenuhi ketentuan yang berlaku sepanjang masih dalam jangka waktunya.

(C) SIAPA YANG MENGAJUKAN BANDING (1) Banding dapat diajukan oleh Wajib Pajak, ahli warisnya, seorang pengurus atau kuasa hukumnya.
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

12

(2) Apabila selama proses Banding, pemohon Banding meninggal dunia, Banding dapat dilanjutkan ole ahli warisnya, kuasa hokum dari ahli warisnya, atau pengampunya dalam hal pemohon Banding pailit. (3) Apabila selama proses Banding pemohon Banding melakukan penggabungan, peleburan, pemecahan / pemekaran usaha, atau likuidasi, permohonan dimaksud dapat dilanjutkan oleh pihak yang menerima pertanggungjawaban karena penggabungan, peleburan, dimaksud. (D) PENCABUTAN BANDING (1) Terhadap Banding dapat diajukan surat pernyataan pencabutan kepada Pengadilan Pajak. (2) Banding yang dicabut dihapus dari daftar sengketa dengan : a. penetapan Ketua dalam hal surat pernyataan pencabutan diajukan sebelum sidang dilaksanakan; b. putusan Majelis / Hakim Tunggal melalui pemeriksaan dalam hal surat pernyataan pencabutan diajukan dalam sidang atas persetujuan terbanding. (3) Banding yang telah dicabut melalui penetapan atau putusan dimaksud, tidak dapat diajukan kembali. (E) GUGATAN (1) Gugatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak. (2) Jangka waktu untuk mengajukan Gugatan terhadap pelaksanaan penagihan Pajak adalah 14 (empat belas) hari sejak tanggal pelaksanaan penagihan. (3) Jangka waktu untuk mengajukan Gugutan terhadap Keputusan selama Gugatan dimaksud pada angka (2) adalah 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima Keputusan yang digugat. (4) Jangka waktu tersebut tidak mengikat apabila jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan penggugat. pemecahan/pemekaran usaha, atau likuidasi

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

13

(5) Perpanjangan jangka waktu pada angka (4) adalah 14 (empat belas) hari terhitung sejak berakhirnya keadaan di luar kekuasaan penggugat. (6) Terhadap 1 (satu) pelaksanaan penagihan atau 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Gugatan.

(F) SIAPA YANG MENGAJUKAN GUGATAN (1) Gugatan dapat diajukan oleh penggugat, ahli warisnya, seorang pengurusm atau kuasa hukumnya dengan disertai alasan-asalan yang jelas, mencantumkan tanggal diterima, pelaksanaan

penagihan, atau Keputusan yang digugat dan dilampiri salinan dokumen yang digugat. (2) Apabila selama proses Gugatan, penggugat meninggal dunia, Gugatan dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya, kuasa hukum dari ahli warisnya, atau pengampunya dalam hal penggugat pailit. (3) Apabila selama proses Gugatan, penggugat melakukan

penggabungan, peleburan, pemecahan / pemekaran usaha, atau likuidasi, permohonan dimaksud dapat dilanjutkan oleh pihak yang menerima pertanggungjawaban karena penggabungan, peleburan, pemecahan / pemekaran usaha, atau likuidasi dimaksud. (G) PENCABUTAN GUGATAN (1) Terhadap Gugatan, dapat diajukan surat pernyataan pencabutan kepada Pengadilan Pajak. (2) Gugatan yang dicabut dihapus dari daftar sengketa dengan : a. penetapan Ketua dalam hal surat pernyataan pencabutan diajukan sebelum sidang; b. putusan Majelis / Hakim Tunggal melalui pemeriksaan dalam hal surat pernyataan pencabutan diajukan setelah sidang atas persetujuan tergugat. (3) Gugatan yang telah dicabut melalui penetapan atau putusan dimaksud tidak dapat diajukan kembali.

(H) PERMOHONAN PENUNDAAN PELAKSANAAN PENAGIHAN (1) Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya penagihan Pajak atau kewajiban perusahaan.
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

14

(2) Penggugat dapat mengajukan permohonan agar tindak lanjut pelaksanaan penagihan Pajak ditunda selama pemeriksaan Sengketa Pajak sedang berjalan, sampai ada putusan Pengadilan Pajak. (3) Permohonan dimaksud dapat diajukan sekaligus dalam Gugatan dan dapat diputus terlebih dahulu dari pokok sengketanya. (4) Permohonan penundaan tersebut dapat dikabulkan hanya apabila terdapat keadaan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan jika pelaksanaan penagihan Pajak yang digugat itu dilaksanakan. (I) PERSIDANGAN DI PENGADILAN PAJAK A. PENGERTIAN (1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim adalah Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada Pengadilan Pajak. (2) Hakim Tunggal adalah Hakim yang ditunjuk oleh Ketua untuk memeriksa dan memutus Sengketa Pajak dengan cara cepat. (3) Hakim Anggota adalah Hakim dalam suatu Majelis yang ditunjuk oleh Ketua untuk menjadi anggota dalam Majelis. (4) Hakim Ketua adalah Hakim Anggota yang ditunjuk oleh Ketua untuk memimpin sidang. (5) Sekretaris, Wakil Sekretaris, dan Sekretaris Pengganti adalah Sekretaris, Wakil Sekretaris, dan Sekretaris Pengganti pada Pengadilan Pajak. (6) Panitera, Wakil Panitera, dan Panitera Pengganti adalah Sekretaris, Wakil Sekretaris, dan Sekretaris Pengganti Pengadilan Pajak yang melaksanakan fungsi kepaniteraan. B. PERSIAPAN PERSIDANGAN (1) Pengadilan Pajak meminta Surat Uraian Banding atau Surat Tanggapan atas Surat Banding atau Surat Gugatan kepada terbanding atau tergugat dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterima Surat banding atau Surat Gugatan. (2) Dalam hal pemohon Banding mengirimkan surat atau dokumen susulan kepada Pengadilan Pajak (Pasal 38) jangka

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

15

waktu (empat belas) hari diatas dihitung sejak tanggal diterima surat atau dokumen susulan dimaksud. (3) Terbanding atau tergugat menyerahkan Surat Uraian Banding atau Surat Tanggapan dalam jangka waktu : a. 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim permintaan Surat Uraian Banding, atau b. 1 (satu) bulan sejak tanggal dikirim permintaan Surat Tanggapan. (4) Salinan Surat Uraian Banding atau Surat Tanggapan dimaksud oleh Pengadilan Pajak dikirim kepada pemohon Banding atau penggugat dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterima. (5) Pemohon Banding atau penggugat dapat menyerahkan Surat Bantahan kepada Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima Salinan Surat Uraian Banding atau Surat Tanggapan. (6) Salinan Surat Bantahan dikirimkan kepada terbanding atau tergugat, dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterima Surat Bantahan. (7) Apabila terbanding atau tergugat, atau pemohon Banding atau penggugat tidak memenuhinya, Pengadilan Pajak tetap melanjutkan pemeriksaan Banding atau Gugatan. (8) Pemohon Banding atau penggugat dapat memberitahukan kepada Ketua untuk hadir dalam persidangan guna

memberikan keterangan lisan. Catatan a. Tanggal dikirim adalah stempel pos pengiriman, tanggal faksimile, atau dalam hal disampaikan secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau putusan disampaikan secara langsung. b. Tanggal diterima adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimile, atau dalam hal diterima secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau putusan disampaikan secara langsung

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

16

C. HARI SIDANG (1) Ketua menunjuk Majelis yang terdiri dari 3 (tiga) orang Hakim atau Hakim Tunggal untuk memeriksa dan memutus

Sengketa Pajak. (2) Dalam hal pemeriksaan dilakukan oleh Majelis, Ketua menunjuk salah seorang Hakim sebagai Hakim Ketua yang memimpin pemeriksaan Sengketa Pajak. (3) Majelis atau Hakim Tunggal bersidang pada hari yang ditentukan dan memberitahukan hari sidang dimaksud kepada pihak yang bersengketa. (4) Majelis / Hakim Tunggal dimaksud diatas sudah mulai bersidang dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Banding. (5) Dalam hal Gugatan, Majelis / Hakim Tunggal sudah memulai sidang dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima Surat Gugatan. D. PEMERIKSAAN DENGAN ACARA BIASA (1) Pemeriksaan dengan secara biasa dilakukan oleh Majelis (2) Untuk keperluan pemeriksaan, Hakim Ketua membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum. (3) Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, Majelis melakukan pemeriksaan mengenai kelengkapan dan/atau kejelasan Banding atau Gugatan. (4) Apabila Banding atau Gugatan tidak lengkap dan/atau tidak jelas sepanjang bukan merupakan persyaratan : Bahasa Indonesia / Banding (Pasal 35 (1)), 1 (satu) Keputusan diajukan 1 Surat Banding (Pasal 36 (1)), Telah dibayar sebesar 50% (Pasal 36 (4)), Bahasa Indonesia / Gugatan (Pasal 40 (1)), 1 (satu) Pelaksanaan penagihan atau 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Gugatan (Pasal 40 (6)), Kelengkapan dan /atau kejelasan dapat diberikan dalam persidangan.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

17

(5) Hakim Ketua memanggil terbanding atau tergugat dan dapat memanggil pemohon Banding atau penggugat untuk

memberikan keterangan lisan. (6) Dalam hal pemohon Banding atau penggugat

memberitahukan akan hadir dalam persidangan, Hakim Ketua memberitahukan tanggal dan hari sidang kepada pemohon Banding atau penggugat. (7) Hakim Ketua menjelaskan masalah yang disengketakan kepada pihak-pihak yang bersengketa. (8) Majelis menanyakan kepada terbanding atau tergugat

mengenai hal-hal yang dikemukakan pemohon Banding atau penggugat dalam Surat Banding atau Surat Gugatan dan dalam Surat Bantahan. (9) Apabila Majelis memandang perlu dan dalam hal pemohon Banding atau penggugat hadir dalam persidangan, Hakim Ketua dapat meminta pemohon Banding atau penggugat untuk memberikan keterangan yang diperlukan dalam

penyelesaian Sengketa Pajak. (10) Apabila suatu sengketa tidak dapat diselesaikan pada 1 (satu) hari persidangan, pemeriksaan dilanjutkan pada hari

persidangan berikutnya yang ditetapkan. (11) Hari persidangan berikutnya diberitahukan kepada terbanding atau tergugat dan dapat diberitahukan kepada pemohon Banding atau penggugat. (12) Dalam hal terbanding atau tergugat tidak hadir pada persidangan tanpa alasan yang dapat

dipertanggungjawabkan, sekalipun ia telah diberitahu secara patut, persidangan dapat dilanjutkan tanpa dihadiri oleh terbanding atau tergugat. E. PEMERIKSAAN DENGAN ACARA TEPAT (1) Pemeriksaan dengan acara tepay dilakukan oleh Majelis atau Hakim Tunggal. (2) Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan terhadap : a. Sengketa Pajak tertentu; b. Gugatan yang tidak dihapus dalam jangka waktu 6 bulan (Pasal 81 (2));
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

18

c. Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan dalam muatan (format) Putusan (Pasal 84 (1)) atau kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung, dalam putusan Pengadilan Pajak; d. Sengketa yang berdasarkan pertimbangan hokum bukan merupakan wewenang Pengadilan Pajak. (3) Sengketa Pajak tertentu adalah Sengketa Pajak yang Banding atau Gugatannya tidak memenuhi ketentuan : dalam Bahasan Indonesia / Banding (Pasal 35 (1)), dalam jangka waktu 3 bulan (Pasal 35 (2)), Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1 Surat Banding (Pasal 36 (1)), telah dibayar sebesar 50% (Pasal 36 (4)), diajukan oleh Wajib Pajak, ahli warisnya, seorang pengurus, atau kuasa hukumnya (Pasal 37 (1)), dalam Bahasa Indonesia / Gugatan (Pasal 40 (1)), terhadap 1 (satu) Pelaksanaan penagihan atau 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Gugatan (Pasal 40 (6)). (4) Pemeriksaan dengan acara cepat terhadap Sengketa Pajak tersebut dilakukan tanpa Surat Uraian Banding atau Surat Tanggapan dan tanpa Surat Bantahan. (5) Semua ketentuan mengenai pemeriksaan dengan acara biasa berlaku juga untuk pemeriksaan dengan acara cepat. F. KEWAJIBAN MENGUNDURKAN DIRI BAGI HAKIM KETUA, HAKIM ANGGOTA ATAU PANITERA (1) Hakim Ketua, Hakim Anggota, atau Panitera wajib

mengundurkan diri dari suatu persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami istri meskipun telah bercerai dengan salah seorang Hakim atau Panitera pada Majelis yang sama. (2) Hakim Ketua, Hakim Anggota, atau Panitera wajib

mengundurkan diri dari suatu persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami istri meskipun telah bercerai

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

19

dengan pemohon Banding atau penggugat atau kuasa hukum. (3) Hakim Ketua, Hakim Anggota, atau Panitera tersebut harus diganti, dan apabila tidak mengundurkan diri sedangkan sengketa telah diputus, putusan dimaksud tidak sah dan Ketua memerintahkan sengketa dimaksud segera

disidangkan kembali dengan susunan Majelis dan/atau Panitera yang berbeda. (4) Dalam hal hubungan keluarha sedarah, semenda, atau hubungan suami istri diatas diketahui sebelum melewati jangka waktu 1 (satu) tahun setelah sengketa diputus, sengketa dimaksud disidangkan kembali dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak diketahuinya hubungan dimaksud. (5) Hakim Ketua, Hakim Anggota, Panitera, Wakil Panitera, atau Panitera Pangganti wajib mengundurkan diri dari suatu persidangan apabila berkepentingan langsung atau tidak langsung atas satu sengketa yang ditanganinya. (6) Pengunduran diri dapat dilakukan atas permintaan salah satu atau pihak-pihak yang bersengketa. (7) Ketua berwenang menetapan pengunduran diri apabila ada keraguan perbedaan pendapat. (8) Hakim Ketua, Hakim Anggota, Panitera, Wakil Panitera, atau Panitera Pangganti tersebut harus diganti dan apabila tidak diganti atau tidak mengundurkan diri sedangkan sengketa telah diputus, putusan dimaksud tidak sah dan Ketua memerintahkan sengketa dimaksud segera disidangkan kembali dengan susunan Majelis dan Panitera, Wakil Panitera, atau Panitera Pengganti yang berbeda, kecuali putusan dimaksud telah melampaui jangka waktu 1 (satu) tahun. (9) Dalam hal kepentinagn langsung atau tidak langsung diketahui sebelum melewati jangka waktu 1 (satu) tahun setelah sengketa diputus, sengketa dimaksud disidangkan kembali dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak diketahuinya kepentingan dimaksud.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

20

(J) PEMBUKTIAN DAN SAKSI DALAM SIDANG PENGADILAN PAJAK A. (1) Alat bukti dapat berupa : surat atau tulisan; keterangan ahli; keterangan para saksi; pengakuan para pihak; dan /atau pengetahuan Hakim

(2) Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan.

B. 1. Surat atau Tulisan sebagai alat bukti terdiri dari : a. akta autentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum, yang menurut

peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hokum yang tercantum didalamnya. b. akta dibawah tangan yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum didalamnya; c. surat keputusan atau surat ketetapan yang diterbitkan oleh Pejabat yang berwenang; d. surat-surat lain atau tulisan yang tidak termasuk huruf a, huruf b, dan huruf c yang ada kaitannya dengan Banding atau Gugatan.

2. (1) Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan dibawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya. (2) Seorang yang tidak boleh didengar sebagai saksi tidak boleh memberikan keterangan ahli. (3) Atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau karena jabatannya, Hakim Ketua atau Hakim Tunggal dapat menunjuk seorang atau beberapa orang ahli.
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

21

(4) Seorang

ahli

dalam

persidangan

harus

memberi

keterangan baik tertulis maupun lisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji mengenai hal sebenarnya menurut pengalaman dan pengetahuannya.

3. Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenan dengan hal yang dialami, dilihat, atau didengar sendiri oleh saksi. 4. Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh Majelis atau Hakim Tunggal. 5. Pengetahuan Hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya. Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban

pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti. B. SAKSI (1) Atas permintaan salah satu pihak yang bersengketa, atau karena jabatan, Hakim Ketua dapat memerintahkan saksi untuk hadir dan didengar keterangannya dalam

persidangan. (2) Saksi yang diperintahkan oleh Hakim Ketua wajib datang di persidangan dan tidak diwakilkan. (3) Dalam hal saksi tidak dating meskipun telah dipanggil dengan patut dan Majelis dapat mengambil putusan tanpa mendengar keterangan saksi, Hakim Ketua melanjutkan persidangan. (4) Apabila saksi tidak datang tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan meskipun telah dipanggil dengan patut, dan Majelis mempunyai alasan yang cukup untuk menyangka bahwa saksi sengaja tidak datang, serta Majelis tidak dapat mengambil putusan tanpa keterangan dari saksi dimaksud, Hakim Ketua dapat meminta bantuan polisi untuk membawa saksi ke persidangan.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

22

(5)

Biaya untuk mendatangkan saksi ke persidangan yang diminta oleh pihak yang bersangkutan menjadi beban dari pihak yang meminta.

(6) (7)

Saksi dipanggil ke persidangan seorang demi seorang. Hakim Ketua menanyakan kepada saksi nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kewarganegaraan, tempat tinggal, agama , pekerjaan, derajat hubungan keluarga, dan hubungan kerja dengan pemohon Banding / penggugat atau dengan terbanding / tergugat.

(8)

Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaannya.

(9)

Yang tidak boleh didengar keterangannya sebagai saksi adalah: a. Keluarga sedarah atau semenda menurut garis

keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari salah satu pihak yang bersengketa; b. Istri atau suami dari pemohon Banding atau penggugat meskipun sudah bercerai; c. Anak yang belum berusia 17 (tujuh belas) tahun; atau d. Orang sakit ingatan (10) Apabila dipandang perlu, Hakim Ketua dapat meminta pihak yang tersebut pada huruf a, huruf b, dan huruf c untuk didengar keterangannya. (11) Pihak yang dimaksud dapat menolak permintaan Hakim Ketua untuk memberikan keterangan. (12) Setiap orang yang karena pekerjaan atau jabatannya wajib merahasiakan segala sesuatu sehubungan dengan

pekerjaan atau jabatannya, untuk keperluan persidangan kewajiban merahasiakan dimaksud ditiadakan. (13) Pertanyaan yang diajukan kepada saksi oleh salah satu pihak disampaikan melalui Hakim Ketua. (14) Apabila pertanyaan dimaksud menurut pertimbangan Hakim Ketua tidak ada kaitannya dengan sengketa, pertanyaan itu ditolak.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

23

(15)

Apabila pemohon Banding atau penggugat atau saksi tidak paham Bahasa Indonesia, Hakim Ketua menunjuk ahli alih bahasa.

(16)

Sebelum melaksanakan tugas mengalihbahasakan yang dipahami oleh pemohon Banding atau penggugat atau saksi ke dalam Bahasa Indonesia dan sebaliknya, ahli alih bahasa dimaksud diambil sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaannya.

(17)

Orang yang menjadi saksi dalam sengketa tidak boleh ditunjuk sebagai ahli alih bahasa dalam sengketa

dimaksud. (18) Dalam hal pemohon Banding atau penggugat atau saksi, ternyata bisu dan/atau tuli serta tidak dapat menulis, Hakim Ketua menunjuk orang yang pandai bergaul dengan pemohon Banding atau penggugat atau saksi, sebagai ahli alih bahasa. (19) Sebelum melaksanakan tugasnya, ahli alih bahasa diambil sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaannya. (20) Dalam hal pemohon Banding atau penggugat atau saksi, ternyata bisu dan/atau tuli tetapi dapat menulis, Hakim Ketua dapat memerintahkan Panitera menuliskan

pertanyaan atau teguran kepada pemohon Banding atau penggugat atau saksi, dan memerintahkan menyampaikan tulisan itu kepada pemohon Banding atau penggugat atau saksi dimaksud, agar ia menuliskan jawabannya, kemudian segala pertanyaan dan jawaban harus dibacakan. (21) Saksi diambil sumpah atau janji dan didengar

keterangannya dalam persidangan dengan dihadiri oleh terbanding atau tergugat. (22) Apabila terbanding atau tergugat telah dipanggil secara patut, tetapi tidak dapat dating tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, saksi diambil sumpah atau janji dan didengar keterangannya tanpa dihadiri oleh terbanding atau tergugat. (23) Dalam hal saksi yang akan didengat tidak dapat hadir di persidangan karena halangan yang dapat dibenarkan oleh hukum, Majelis dapat datang ke tempat tinggal saksi untuk
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

24

mengambil sumpah atau janji dan mendengar keterangan saksi dimaksud tanpa dihadiri oleh terbanding atau tergugat. (K) PUTUSAN PENGADILAN PAJAK A. (1) Putusan Pengadilan Pajak merupakan Putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap. (2) Pengadilan Pajak dapat mengeluarkan putus sela atas Gugatan berkenaan dengan permohonan agar tindak lanjut pelaksanaan Penagihan Pajak ditunda selama Pemeriksaan Sengketa Pajak sedang berjalan, sampai ada putusan Pengadilan Pajak (Pasal 43 (2)). (3) Pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung. (4) Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian dan berdasarkan peraturan perundangundangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim. (5) Dalam hal pemeriksaan dilakukan oleh Majelis, putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan musyawarah yang dipimpin oleh Hakim Ketua dan apabila dalam musyawarah tidk dapat dicapai kesepakatan, putusan diambil dengan suara terbanyak. (6) Apabila Majelis di dalam mengambil putusan dengan cara musyawarah tidak dapat dicapai kesepakatan sehingga putusan diambil dengan suara terbanyak, pendapat Hakim Anggota yang tidak sepakat dengan putusan tersebut dinyatakan dalam putusan Pengadilan Pajak. B. (1) Putusan Pengadilan Pajak dapat berupa : a. menolak; b. mengabulkan sebagian atau seluruhnya; c. menambah Pajak yang harus dibayar; d. tidak dapat diterima; e. membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung; dan/atau f. membatalkan

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

25

(2) Terhadap putusan tersebut tidak dapat lagi diajukan Gugatan, Banding, atau kasasi. C. (1) Putusan pemriksaan dengan acara biasa atas banding diambil dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak Surat Banding diterima. (2) Putusan pemeriksaan dengan acara biasa atas Gugatan diambil dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak Surat Gugatan diterima. (3) Dalam hal-hal khusus, jangka waktu pada angka (1) diperpanjang paling lama 3 (tiga) bulan. (4) Dalam hal-hal khusus, jngka waktu pada angka (2) diperpanjang paling lama 3 (tiga) bulan. (5) Dalam hal Gugatan yang diajukan selain atas keputusan pelaksanaan penagihan Pajak, tidak diputus dalam jangka waktu pada angka (2), Pengadilan Pajak wajib mengambil putusan melalui pemeriksaan dengan acara cepat dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak jangka waktu 6 (enam) bulan dimaksud melampaui.

D. (1) Putusan pemeriksaan dengan acara cepat terhadap Sengketa Pajak tertentu (lihat hal 92), dinyatakan tidak dapat diterima, diambil dalam jangka waktu sebagai berikut : a. 30 (tiga puluh) hari sejak batas waktu pengajuan Banding atau Gugatan dilampaui; b. 30 (tiga puluh) hari sejak Banding atau Gugatan diterima dalam hal diajukan setelah batas waktu pengajuan dilampaui. (2) Putusan / penetapan dengan acara cepat terhadap kekeliruan muatan Putusan Pengadilan Pajak (lihat V.2.c) berupa membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung, diambil dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak kekeliruan dimaksud diketahui atau sejak permohonan salah satu pihak diterima. (3) Putusan dengan acara cepat terhadap sengketa yang didasarkan pertimbangan hukum bukan merupakan

wewenang Pengadilan Pajak (lihat bagian C.9. bagian e), berupa tidak dapat diterima, diambil dalam jangka waktu 30
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

26

(tiga puluh) hari sejak Surat Banding atau Surat Gugatan diterima. (4) Dalam hal putusan Pengadilan Pajak diambil terhadap Sengketa Pajak pada angka (3), pemohon Banding atau penggugat dapat mengajukan Gugatan kepada peradilan yang berwenang. E. (1) Putusan Pengadilan Pajak harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. (2) Tidak terpenuhinya ketentuan diatas, putusan Pengadilan Pajak tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum dan karena itu putusan dimaksud harus diucapkan kembali dalam sidang terbuka untuk umum. F. (1) Putusan Pengadilan Pajak harus memuat : a. kepala putusan yang berbunyi DEMI KEADILAN

BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA b. nama, tempat tinggal atau tempat kediaman, dan/atau identitas lainnya dari pemohon Banding atau penggugat. c. nama jabatan dan alamat terbanding atau tergugat d. hari, tanggal diterimanya Banding atau Gugatan e. ringkasan Banding atau Gugatan, dan ringkasan Surat Uraian Banding atau Surat Tanggapan, atau Surat Bantahan, tang jelas f. pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa g. pokok sengketa h. alasan hukum yang menjadi dasar putusan i. j. amar putusan tentang sengketa, dan hari, tanggal putusan, nama Hakim yang memutusa, nama Panitera, dan keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak. (2) Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan diatas

menyebabkan putusan dimaksud tidak sah dan Ketua memerintahkan sengketa dimaksud segera disidangkan kembali dengan acara cepat, kecuali putusan dimaksud telah melampaui jangka waktu 1 (satu) tahun.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

27

(3) Ringkasan Banding / Gugatan / SUB / ST tidak diperlukan dalam hal putusan Pengadilan Pajak diambil terhadap Sengketa Pajak yang diperiksa dengan acara cepat karena putusan P.P. tidak memenuhi syarat muatan (lihat bagian C.9. bagian e) dan bukan wewenang P.P (lihat bagian C.9. bagian e) (4) Putusan Pengadilan Pajak harus ditandatangani oleh Hakim yang memutuskan dan Paniteraa. (5) Apabila Hakim Ketua atau Hakim Tunggal yang

menyidangkan

berhalangan

menandatangani,

putusan

ditandatangani oleh Ketua dengan menyatakan alasan berhalangannya Hakim Ketua atau Hakim Tunggal. (6) Apabila putusan Hakim Anggota berhalangan oleh Hakim menandatangani, Ketua dengan

ditandatangani

menyatakan alasan berhalangannya Hakim Aggota dimaksud. G. (1) Pada Berita Acara Sidang yang memuat segala sesuatu yang terjadi dalam persidangan. (2) Berita Acara Sidang ditandatangani oleh Hakim Ketua atau Hakim Tunggal dan Panitera dan apabila salah seorang dari mereka berhalangan, alasan berhalangannya itu dinyatakan dalam Berita Acara Sidang. (3) Apabila Hakim Ketua atau Hakim Tunggal dan Panitera berhalangan menandatangani, Berita Acara Sidang setiap pemeriksaan, Panitera harus membuat

ditandatangani oleh Ketua bersama salah seorang Panitera dengan menyatakan alasan berhalangannya Hakim Ketua atau Hakim Tunggal dan Panitera. H. PELAKSANAAN PUTUSAN (1). Putusan Pengadilan pajak langsung dapat dilaksanakan dengan tidak memerlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang kecuali peraturan perundang-undangan mengatur lain. (2). Apabila putusan Pengadilan pajak mnegabulkan sebagian atau seluruh Banding, kelebihan pembayaran Pajak

dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

28

empat) bulan, sesuai ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan yang berlaku. (3). a. Salinan putusan atau salinan penetapan Pengadilan Pajak dikirim kepada para pihak dengan surat oleh Sekretaris dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal putusan Pengadilan Pajak diucapkan, atau dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak tanggal putusan sela diucapkan. b. Putusan Pengadilan Pajak harus dilaksanakan oleh Pejabat yang berwenang dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterima putusan. c. Pejabat yang tidak melaksanakan putusan Pengadilan Pajak dalam jangka waktu dimaksud dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan kepegawaian yang berlaku.

(L) PENINJAUAN KEMBALI A. PK KE MAHKAMAH AGUNG (1) Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak. (2) Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak. (3) Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut sebelum diputus, dan dalam hal sudah dicabut permohonan

peninjauan kembali tersebut tidak dapat diajukan lagi. B. HUKUM ACARA P.K. Hukum acara yang berlaku pada pemeriksaan

peninjauan kembali adalah hukum acara pemeriksaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, kecuali yang diatur secara khusus dalam Undang-undang ini.

C. ALASAN PK Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut :

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

29

a. apabila putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.

b. apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan, yang apabila diketahui pada tahap persidangan di Pengadilan Pajak akan menghasilkan putusan yang berbeda. c. apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut, kecuali yang putusannya mengabulkan sebagian / seluruh / menambah Pajak yang harus dibayar (Pasal 80 (1), b, c) d. apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya, atau e. apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. D. JANGKA WAKTU PENGAJUAN PK (1) Pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan pada huruf a dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diketahuinya

kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan Hakim pengadilan pidana memperoleh kekuatan hukum tetap. (2) Pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan pada huruf b dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak ditemukan surat-surat bukti yang hari dan tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang. (3) Pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan pada huruf c, huruf d, dan huruf e dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak putusan dikirim.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

30

E. PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG (1) Mahkamah Agung memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali dengan ketentuan : a. dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak permohonan peninjauan kembali diterima oleh Mahkamah Agung telah mengambil putusan, dalam hal Pengadilan Pajak mengambil putusan melalui pemeriksaan acara biasa; b. dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak permohonan peninjauan kembali diterima oleh Mahkamah Agung telah mengambil putusan, dalam hal Pengadilan Pajak

mengambil putusan melalui pemeriksaan acara cepat. (2) Putusan atas permohonan peninjauan kembali tersebut harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. (M) KUASA HUKUM Kuasa Hukum adalah seseorang yang diberikan kuasa penuh untuk mewakili atau mendampingi para pihak yang bersengketa dengan kuasa tertulis untuk memutus dan memberikan informasi serta bukti-bukti yang diperlukan dalam persidangan Pengadilan Pajak (Surat Kuasa Khusus). Kuasa Hukum dimaksud terdiri dari : 1) Kuasa Hukum yang Pengacara, dan 2) Kuasa Hukum yang bukan Pengacara. 1. Kuasa Hukum Yang Pengacara a. Syarat-syarat menjadi Kuasa Hukum yang Pengacara : 1) Warga Negara Indonesia (WNI) 2) Pengacara (berlisensi) 3) Sebagai ahli pajak 4) Memiliki NPWP atau SPT PPh Pasal 21 Pemberi Kerja (Formulir 1721 A1) b. Tata Cara Mendapatkan Surat Keterangan Terdaftar Sebagai Kuasa Hukum yang Pengacara 1) Wajib mendaftarkan diri kepada Sekretariat Pengadilan Pajak; 2) Melampirkan copy / salinan dilegalisir :
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

dokumen yang telah

31

Kartu Tanda Penduduk (KTP) Surat Ijin Praktek Pengacara Ahli Pajak (Brevet Konsultan Pajak / Ijasah) NPWP atau SPT PPh Pasal 21 Pemberi Kerja (Formulir 1721 A1)

Pas Foto ukuran 2 x 3 cm, sebanyak 2 lembar

2. Kuasa Hukum Yang Bukan Pengacara a. Syarat-syarat Pengacara: 1) Warga Negara Indonesia (WNI) 2) Sebagai ahli pajak 3) Memiliki NPWP atau SPT PPh Pasal 21 Pemberi Kerja (Formulir 1721 A1) b. Tata Cara Mendapatkan Surat Keterangan Terdaftar Sebagai Kuasa Hukum yang bukan Pengacara 1) Mengajukan permohonan secara tertulis kepada menjadi Kuasa Hukum yang bukan

Sekretariat Pengadilan Pajak 2) Melampirkan copy / salinan dilegalisir : Kartu Tanda Penduduk (KTP) Ahli Pajak (Brevet Konsultan Pajak / Ijasah) NPWP atau SPT PPh Pasal 21 Pemberi Kerja (Formulir 1721 A1) Pas Foto ukuran 2 x 3 cm, sebanyak 2 lembar. dokumen yang telah

3. Pengecualian Persyaratan untuk menjadi Kuasa Hukum tidak diperlukan dalam hal yang mendampingi atau mewakili apemohon banding atau penggugat adalah keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua, pengurus, pegawai atau pengampu. Di samping itu, untuk seseorang yang baru pertama kali

mendampingi atau mewakili pemohon banding / penggugat, meskipun belum terdaftar atau memperoleh ijin sebagai Kuasa Hukum dapat bertindak sebagai Kuasa Hukum, namun dalam sidang berikutnya harus sudah terdaftar atau memperoleh ijin sebagai Kuasa Hukum dari Ketua Pengadilan Pajak.
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

32

4. Lain-lain a. Kuasa Hukum yang hadir dipersidangan diwajibkan : Menunjukkan Surat Keterangan Terdaftar atau Surat Izin sebagai Kuasa Hukum dari Pengadilan Pajak Menunjukkan Surat Kuasa Asli bermeterai dari pihak yang diwakili atau didampingi b. Surat Keterangan Terdaftar sebagai Kuasa Hukum dan Ijin Kuasa Hukum berlaku 12 (dua belas) bulan sejak tanggal ditetapkan. c. Surat Persetujuan dari Ketua Pengadilan Pajak untuk menjadi Kuasa Hukum diberikan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak persyaratan pendaftaran diri atau pemohonan ijin Kuasa Hukum lengkap diterima di Sekretariat Pengadilan Pajak. d. Kuasa Hukum dapat memberi kuasa untuk mewakilinya dalam suatu persidangan hanya kepada kuasa hukum lainnya, sepanjang dalam surat kuasa yang diterima dari Pemohon Banding jelas menyatakan adanya kuasa substitusi. 3.3. LATIHAN 2 a. Jelaskan Ajaran Formal tentang timbulnya Utang Pajak! Ajaran Formal adalah suatu ajaran timbulnya utang pajak, yang meyatakan bahwa utang pajak timbul tanpa melihat adanya Tatbestand, tetapi menggantungkan adanya pada adanya surat ketetapan pajak. Jadi menurut ajaran ini utang pajak timbul pada saat dikeluarkannya surat ketetapan pajak. Walaupun Tatbestand telah dipenuhi, tetapi jika belum dikeluarkan surat ketetapan pajak, maka belum ada suatu utang pajak. b. Apa dan terhadap apa keberatan dapat diajukan oleh Wajib Pajak ? Yang dimaksud dengan keberatan disini adalah keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak kepada Dirjen Pajak berdasarkan Pasal 25 ayat (1) UU KUP atas suatu : a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) d. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) e. Pemotongan atau Pemungutan oleh pihak ke III berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan. c. Apa yang dimaksud dengan Sengketa Pajak !
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

33

Sengketa Pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan Pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. 4.3. RANGKUMAN a. Syarat-syarat Banding adalah sebagai berikut : 1. Banding diajukan dengan Surat Banding dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak 2. Banding diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima Keputusan yang disbanding, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. 3. Jangka waktu di atas tidak mengikat apabila jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan pemohon Banding. 4. Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding. 5. Banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas, dan dicantumkan tanggal diterima surat keputusan yang dibanding. 6. Pada Surat Banding dilampirkan salinan Keputusan yang disbanding. 7. Dalam hal Banding diajukan terhadap besarnya jumlah Pajak yang terutang, Banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50% (lima puluh persen). 8. Pemohon Banding dapat melengkapi Surat Bandingnya untuk memenuhi ketentuan yang berlaku sepanjang masih dalam jangka waktunya. b. Syarat-syarat Gugatan adalah sebagai berikut : (1) Gugatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak. (2) Jangka waktu untuk mengajukan Gugatan terhadap pelaksanaan penagihan Pajak adalah 14 (empat belas) hari sejak tanggal pelaksanaan penagihan. (3) Jangka waktu untuk mengajukan Gugatan terhadap Keputusan selain Gugatan dimaksud pada angka (2) adalah 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima Keputusan yang digugat.
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

34

(4) Jangka waktu tersebut tidak mengikat apabila jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan penggugat. (5) Perpanjangan jangka waktu pada angka (4) adalah 14 (empat belas) hari terhitung sehjak berakhirnya keadaan di luar kekuasaan penggugat. (6) Terhadap 1 (satu) pelaksanaan penagihan atau 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Gugatan. c. Persiapan Persidangan di Pengadilan Pajak sebagai berikut : (1) Pengadilan Pajak meminta Surat Uraian Banding atau Surat Tanggapan atas Surat Banding atau Surat Gugatan kepada terbanding atau tergugat dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterima Surat Banding atau Surat Gugatan. (2) Dalam hal pemohon Banding mengirimkan surat atau dokumen susulan kepada Pengadilan Pajak (Pasal 38) jangka waktu 14 (empat belas) hari diatas dihitung sejak tanggal diterima surat atau dokumen susulan dimaksud. (3) Terbanding atau tergugat menyerahkan Surat Uraian Banding atau Surat Tanggapan dalam jangka waktu : a. 3 (tiga) bulan sejak yanggal dikirim permintaan Surat Uraian Banding; atau b. 1 (satu) bulan sejak tanggal dikirim permintaan Surat Tanggapan. (4) Salinan Surat Uraian Banding atau Surat Tanggapan dimaksud oleh Pengadilan Pajak dikirim kepada pemohon Banding atau penggugat dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterima. (5) Pemohon Banding atau penggugat dapat menyerahkan Surat Bantahan kepada Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima salinan Surat Uraian Banding atau Surat Tanggapan. (6) Salinan Surat Bantahan dikirimkan kepada terbanding atau tergugat, dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterima Surat Bantahan. (7) Apabila terbanding atau tergugat, atau pemohon Banding atau penggugat tidak memenuhinya, Pengadilan Pajak tetap melanjutkan pemeriksaan Banding atau Gugatan.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

35

Pemohon Banding atau penggugat dapat memberitahukan kepada Ketua untuk hadir dalam persidangan guna memberikan keterangan lisan.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

36

DAFTAR ISI

Daftar Isi MODUL 4 PERJANJIAN PERPAJAKAN PENAGIHAN PAJAK 1. Pendahuluan ... 1.1 Deskripsi Singkat ... 2. Kegiatan Belajar (KB) 1 PERJANJIAN PERPAJAKAN 2.1 Uraian, Contoh dan Non Contoh .......... 2.2 Latihan 1 2.3 Rangkuman 3. Kegiatan Belajar (KB) 2 PENAGIHAN PAJAK 3.1 Uraian, Contoh dan Non Contoh .. A. Pejabat dan Juru Sita Pajak ..................... B. Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Pajak .................................... C. Surat Paksa .. D. Penyitaan ..................... E. Pencegahan dan Penyanderaan ............................. F. Gugatan ... 3.2 Latihan 2 3.3 Rangkuman 4. 5. 6. 7. Test Formatif .. Kunci Jawaban Test Formatif Umpan Balik dan Tindak Lanjut Daftar Pustaka

1 1

1 5 6

7 9 13 14 17 25 30 31 32 34 36 36 37

MODUL 4 PERJANJIAN PERPAJAKAN PENAGIHAN PAJAK

1.

PENDAHULUAN 1.1. DESKRIPSI SINGKAT / RELEVANSI / PENGANTAR Tiap-tiap negar amempunyai ketentuan perundang-undangna

perpajakan sendiri berdasarkan falsafahnya yang dianut di negara yang bersangkutan. Dalam Hukum Pajak dikenal asas-asas pemungutan pajak antara lain asas domisli, asa sumber dan asas kebangsaan dan lain-lain. Wewenang negara memungut pajak didasarkan pada asas

pemungutan yang dianutnya, dapat saling tumpang tindih sehingga menimbulkan pajak ganda, dalam hal ini akan dirasakan Wajib pajak sebagai beban yang sangat memberatkan. Modul ini akan menguraikan sepitnas tentang perjanjian perpajakan sebagai salah satu cara untuk menghindarkan terjadinya pajak berganda. 2. Kegiatan Belajar (KB) 1

PERJANJIAN PERPAJAKAN

2.1. Uraian, Contoh dan Non Contoh Pajak berganda internasinal dapat terjadi karena adanya bentrokan juridiksi (conflict of juridiction), karena masing-masing negara yang berdaulat mempunyai kebebasan yang luas untuk memungut pajaknya masing-masing, termasuk juga atas jubyek dari objek pajak yang berada di luar wilayah negaranya. Pajak berganda dapat juga terjadi karena perbedaan peraturan hukum atau penjelasan yang berlainan dari peraturan. Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro, SH. (1977:79), membedakan kelompok-kelompok pajak berganda internasional

A. Subyek yang sama dikenalan pajak yang ada di beberapa negara, karena :

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

a. Domisili rangkap Wajib Pajak dianggap mempunyai domisili di masing-masing negara, ini juga disebut conflict of resident rules. Contoh: Wajib Pajak X dari negara A, berada 16 bulan di negara B. Jika menurut peraturan negara A, Wajib Pajak yang meninggalkan negara A tidak lebih dari 18 bulan masih dianggap sebagai wajib pajak dalam negari, sedangkan negara B menganggap lebih dari 12 bulan di negaranya sebagai wajib pajak negara B, maka X oleh dua negara a dan B akan dikenakan pajak baik di negara A, maupun di negara B untuk seluruh pendapatannya. (unbescrancnkter Steuerplicht). b. Kewarganegaraan rangkap Contoh: X oleh negara A dapat dianggap sebagai warga negaranya karena ia dilahirkan dari seorang warga negara A (ius sanguinis), sedangkan oleh negara B ia dianggap juga sebagai warga negara B karena dilahirkan di wilayah negara B (ius soli). c. Bentrokan asas domisili dengan asas kebangsaan Contoh: X karena bertempat tinggal di negara A, yang menganut asas domisili, dikenakan pajak oleh negara A untuk seluruh pendapatanny yang diperoleh di mana saja (world wide income), berdasarkan kewajiban pajak tak terbatas, sedangkan oleh negara B yang menganut asas kewarganegaraan juga dikenakan pajak untuk seluruh pendapatannya, karena X adalah warga negara di negara B.

B. Obyek yang sama yang merupakan bagian dari pendapatan yang diperoleh atau transaksi yang dilakukan di negara lain dikenakan pajak yang sama di lebih dari satu negara. Contoh: X yang bertempat tinggal di negara A melakukan usaha di negara B dengan suatu permanent establishment, dan dengan peraturan pendirian tetap itu memberikan know how kepada relasinya di negara C. Negara C dapat mengenakan pajak karena pendirian tetap itu ada di negara B. Disini terjadi bentrokan antara tempat pendirian tetap dengan tempat dilakukannya transaksi, ini disebut conflict of source rules.

C. Subjek yang sama dikenakan pajak di negara tempat tinggal berdasarkan world wide income, sedangkan di negara situs dikenakan pajak
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

berdasarkan asas sumber, karena mempunyai pendapatan yang berasal dari suatu sumber yang ada di negara itu. Disini terjadi bentrokan antara asas domisili dan asas sumber. Contoh: X yang bertempat tinggal di negara A, melakukan perusahaan di negara B dengan jalan permanent establishment. Negara A jika menganut asas domisili akan mengenakan pajak kepada X berdasarkan personal jurisdiction atas world wide income sedangkan negara B yang menganut asas sumber akan mengenakan pajak X yang ada di negara itu berdasarkan teritorial jurisdiction. Konflik semacam ini disebut juga conflict of personal and ad rem jurisdiction.

D. Cara-Cara Menghindarkan Pajak Berganda Di dalam praktek terdapat dua cara untuk menghindarkan pajak berganda, yaitu: a. Cara unilateral atau secara sepihak Cara unilateral ini merupakan cara satu-satunya untuk menghindarkan pajak berganda sebelum diterapkan traktat pajak. Negara yang menggunakan cara unilateral, memasukkan ketentuan-ketentuan yang dimaksudkan untuk menghindarkan pajak berganda dalam undangundangnya, sesuai dengan cara yang dianut pada pembuat undangundang di negaranya. Di dalam undang-undang PPh diatur dalam Pasal 24 tentang Kredit Pajak Luas Negeri, yang peraturan pelaksanaannya diatur dalam surat Keputusan Menteri Keuangan No 216/KMK.04/1986. b. Cara bilateral Disamping cara unilateral yang diatur dalam Undang-undang

perpajakan sendiri, dikenal pula cara bilateral antar negara yaitu dengan suatu traktat atau perjanjian penghindaran pajak berganda lazim dikenal dengan Tax Treaty. Secara sederhana dapat diuraikan cara penghindaran pajak berganda sebagai berikut:

Pembebasan Cara pembebasan meliputi dua, yaitu: 1) Pembebasan penuh.


Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

Cara ini menganut perhitungan pajak dengan mengabaikan sepenuhnya penghasilan yang diperoleh atau diterima di luar negeri. Contoh: PT. X memperoleh: Penghasilan di dalam negeri Penghasilan di luar negeri (Tarip di luar negeri 40%) Pajak penghasilan yang terutang di Indonesia, dihitung hanya dari jumlah penghasilan di Dalam Negeri saja yaitu dari jumlah Rp. 80.000.000,22.000.000,2) Pembebasan dengan progresi Cara ini menganut perhitungan dengan cara perhitungan pajak yang terutang hanya atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di Dalam Negeri, tetapi mentrapkan tarif rata-rata atas atas seluruh penghasilan Dalam Negeri dan luar Negeri. Contoh: PT. Y memperoleh penghasilan : Dalam Negeri Luar Negeri Rp. 80.000.000,Rp. 20.000.000,menurut tarip pasal 17 PPH sebesar Rp. Rp. 80.000.000,Rp. 20.000.000,-

(Tarif di luar negeri 40%) Penghasilan kena pajak seluruhnya Rp. 100.000.000,- dihitung dengan tarif 17 Undang-undang PPH Rp. 29.000.000,0 PPH terhutang oleh PT. Y adalah 29% x Rp. 80.000.000,- = Rp. 23.200.000,Kredit Penghindaran pajak berganda dengan cara kredit, meliputi dua cara yaitu: 1. Kredit Penuh Cara kredit penuh, dilakukan dengan menghitung pajak terutang dengan cara mengkreditkan seluruh pajak yang telah ibayar di Luar Negeri. Contoh: PT. Z memperoleh penghasila: Dalam Negeri Luar Negeri (Tarip 40%)
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

Rp. 80.000.000,Rp. 20.000.000,-

Contoh: Pajak yang terutang atas seluruh penghasilan dalam dan luar negeri menurut Pasal 17 Undang-undang PPh atas jumlah Rp. 100.000.000,adalah sebesar Pajak di luar negeri 40% x Rp. 20.000.000,Masih harus dibayar 2. Kredit terbatas atau kredit biasa Cara ini menganut perhitungna dengan cara menghitung pajak terhutang atas seluruh penghasilan diperoleh di Dalam Negeri dan di Luar Negeri berdasarkan tarip di Dalam Negeri dan Pajak yang dibayar di Luar Negeri dapat dikreditkan dengan syarat, misalnya paling tinggi sejumlah sebesar perbandingan antara penghasilan di Luar Negeri terhadap seluruh = Rp. 8.000.000,= Rp. 21.000.000,Rp. 29.000.000,-

penghasilan dikalikan pajak yang terhutang atas seluruh penghasilan. Cara ini dianut di Indonesia dengan Pasal 24 Undang-undang PPh disebut dengan kredit terbatas (ordinary credit methode). Contoh: PT. Girlan memperoleh penghasilan Dalam Negeri Luar Negeri (Tarip 40%) Pajak terhutang menurut tarip pasal 17 Undang-undang PPh atas seluruh penghasilan Rp. 100.000.000,- adalah sebesar Rp. 29.000.000,Yang dapat dikreditkan hanya : 20 / 100 x Rp. 29.000.000,- adalah Rp.5.800.000,Yang masih harus dibayar Rp. 23.200.000,2.2. LATIHAN 1 1) Mengapa terjadi pajak berganda? Pajak berganda terjadi karena adanya bentrokan jurisdiksi (conflict of jurisdiction). 2) Metode apa yang dikenal dalam penghindaran pajak berganda bilateral?
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

Rp. 80.000.000,Rp. 20.000.000,-

Metode yang dipakai dalam menghindar pajak berganda: a. Metode pembebasan b. Metode kredit

3) Menghindari pajak berganda unilatereal diatur dalam pasal berapa Undang-undang PPh? Penghindaran paak berganda secara unilateral diatur dalam Pasal 24 Undang-undang PPh yang peraturan pelaksanaannya dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan No.216/KMK.04/1986 2.3. RANGKUMAN a. Terjadinya pajak berganda karena conflict of jurisdiction, perbedaan wewenang pemajakan, misalnya: Subyek yang sama dikenakan pajak yang sama di beberapa negara, karena domisili rangkap, kewarganegaraan rangkap atau bentrok asas domisili dan asas kebangsaan. Obyek yang sama merupakan bagian dari pendapatan yang diperoleh atau transaksi yang dilakukan di negara lain di kenakan pajak yang sama di lebih dari satu negara. Subyek yang sama dikenakan pajak di negara tempat tinggal berdasarkan world wide income, sedang dinegara situs dikenakan berdasarkan asus sumber karena mempunyai pendapatan yang berasal dari sumber yang ada di negara itu.

b. Cara menghindarkan pajak berganda dapat ditempuh dengan cara: Cara unilateral atau sepihak, dengan pasal-pasal yang ditentukan dalam Undang-undang pajak yang bersangkutan. Cara perjanjian pajak berganda (Tax Treaty).

Metode yang digunakan antara lain: 1) Metode pembebasan Pembebasan penuh Pembebasan dengan progresi

2) Metode kredit Kredit Penuh Kredit biasa / kredit terbatas

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

3.

Kegiatan Belajar (KB) 2

PENAGIHAN PAJAK

3.1. Uraian, Contoh dan Non Contoh Dalam melaksanakan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa perlu dketahui dan dipahamibeberapa pengertian yang telah ditetapkan dalam Undangundang maupun peraturan pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Paksa, antara lain: a. Pajak adalah semua jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat, termasuk Bea masuk dan Cukai, dan pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah, menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu; c. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut peraturan perundangundangan perpajakan; d. Badan adalah suatu bentuk badan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya. Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi, koperasi, yayasan atau organisasi yang sejenis, lembaga, dana pensiun, bentuk usaha tetap, serta bentuk badan usaha lainnya; e. Pejabat adalah pejabat yang berwenang mengangkat dan

memberhentikan Jurusita Pajak, menerbitkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat Pemerintah Melaksanakan Penyitaan, Surat Pencabulan Sita, Pengumuman Lelang, Pembatalan Lelang, Surat Perintah Penyandraan dan surat lain yang diperlukan untuk penagihan pajak sehubungan dengan Penanggung pajak tidak melunasi sebagian atau seluruh utang pajak menurut peraturan perundangundangan yang berlaku; f. Juru Pajak adalah pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyandraan.
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

g. Pengadilan Negeri adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tindakan penagihan pajak dilaksanakan; h. Utang pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termask sanksi administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau suatu surat sejenisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan. i. Penagihan seketika dan sekaligus adalah tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari suatu jenis pajak, masa pajak, dan tahun pajak. j. Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak; k. Biaya penagihan Pajak adalah biaya pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Pengumuman Lelang, Pembatalan Lelang, dan biaya lainnya sehubungan dengan penagihan pajak; l. Penyitaan adalah tindakan Jurusita Pajak untuk menguasai, barang penanggung Pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; m. Objek sita adalah barang Penanggung Pajak yang dapat dijadikan jaminan utang pajak; n. Lelang adalah setiap penjuala barang dimuka umum dengan cara menawar harga secara lisan dan atau tertulis melalui usaha pengumpulan peminat atau calon pembeli; o. Kantor Lelang adalah kantor yang berwenang melakukan penjualan secara lelang; p. Risalah Lelang adalah Berita Acara Pelaksanaan Lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang atau kuasanya dalam bentuk yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku; q. Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap

Penanggung Pajak tertentu untuk ke luar dari wilayah Negara Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku; r. Penyandraan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan

Penanggung Pajak dengan menempatkan di tempat tertentu; s. Gugatan atau Sanggahan adalah upaya hukum terhadap pelaksanaan penagihan pajak atau kepemilikikan barang sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

t.

Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memeringatkan, melaksanakan penagihan seketika atau sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyandraan, menjualan barang yang telah disita;

u. Barang adalah tiap benda atau hak yang dapat dijadikan obyek sita; v. Kepala Daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota; w. Pemerintah Daerah adalah pemerintah daerah yang wilayah hukumnya meliputi tempat tindakan penagihan pajak dilaksanakan; x. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia. A. PEJABAT DAN JURUSITA PAJAK PEJABAT a. Pengertian Pejabat Pengertian mengenai pejabat diatur dalam Pasal 1 angka 5 UU No. 19 Tahun 1997, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 19 Tahun 2000. Pejabat adalah pejabat Jurusita yang Pajak, berwenang menerbitkan mengangkat Surat dan

memberhentikan

Perintah

Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat Pemerintah Melaksanakan Penyitaan, Surat Pencabulan Sita, Pengumuman Lelang, Pembatalan Lelang, Surat Perintah Penyandraan dan surat lain yang diperlukan untuk penagihan pajak sehubungan dengan Penanggung pajak tidak melunasi sebagian atau seluruh utang pajak menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan Pejabat yang ditunjuk untuk melaksanakan penagihan ialah: 1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak, sebagai pejabat untuk

penagihan: a) Pajak Penghasilan; b) Pajak Pertambahan nilai; c) Pajak Penjualan atas Barang Mewah. 2) Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, sebagai pejabat untuk penagihan: a) Pajak Bumi dan Bangunan; b) Bea Perolehan Hak atas tanah dan bangunan.
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

c. Wewenang Pejabat Wewenang Pejabat tersebut adalah: 1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan berwenang mengangkat dan

memberhentikan Jurusita Pajak. 2) Kepala Kantor Pelayanan Pajak melaksanakan tindakan

penagihan apabila pajak yang terutang sebagaiamana tercantum dalam Surat Tagihan Pajak(SPT), Surat Ketetapan Pajak Kurang Barang (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Keputusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo. 3) Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan

melaksanakan tindakan penagihan apabila pajak yang terutang sebagaimana tercantum dalam Surat Tagihan Pajak(STP), Surat Ketetapan Pajak SKP), Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (STB), Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, (SKPKB), Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT), dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo. 4) Kepala Kantor Pelayanan Pajak apabila diminta oleh Kepala Kantor Pelayanan pajak Bumi dan Bangunan dapat melaksanakan tindakan penagihan pajak untuk jenis pajak sebagaimana

dimaksudkan pada angka 3 (tiga), demikian pula sebaliknya Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan dapat melaksanakan tindakan penagihan pajak untuk jenis pajak sebagaimana dimaksudkan pada angka 2 (dua). JURU SITA PAJAK a. Pengertian Jurusita Pengertian jurusitas tercantum dalam Pasal 1 angkat 6 UU No. 19 Tahun 1997, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 19 Tahun 2000:
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

10

Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan Sura Paksa, penyitaan dan penyandraan.

b. Pejabat yang mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak Pejabat yang mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak ialah: 1) Pejabat yang ditunjuk Menteri Keuangan untuk penagihan pajak pusat. 2) Gubernur atau Bupati/Walikota untuk penagihan pajak daerah.

c. Syarat-syarat diangkat menjadi Jurusita Pajak Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk diangkat menjadi Jurusita Pajak adalah sebagai berikut: 1) Berijasah serendah-rendahnya Sekolah Menengah Umum atau yang setingkat dengan itu. 2) Berpangkat serendah-rendahnya Pengatur Muda / Golongan Iia. 3) Berbadan sehat dan tidak cacat phisik. 4) Lulus pendidikan dan latihan Jurusita Pajak. 5) Jujur, bertanggung jawab dan penuh pengabdian. Setelah memenuhi syarat-syarat, tersebut belum memangku jabatannya, Jurusita Pajak diambil sumpah dan janji menurut agama atau kepercayaannya oleh Pejabat.

d. Pemberhentian Jurusita Pajak Jurusita Pajak Diberhentikan apabila: 1) Meninggal dunia 2) Pensiun 3) Sakit jasmani atau rohani terus menerus 4) Ternyata lalai atau tidak cakap dalam menjalankan tugas 5) Melakukan perbuatan tercela 6) Melanggar sumpah atau janji jurusita pajak 7) Karena alih tugas atau kepentingan dinas lainnya

e. Tugas, Wewenang dan Kewajiban Jurusita Pajak 1) Tugas Jurusita Pajak Tugas Jurusita Pajak ialah:

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

11

a) Melaksanakan Sekaligus.

Surat

Perintah

Penagihan

Seketika

dan

b) Memberitahukan Surat Paksa (dilaksanakan dengan cara membacakan isi Surat Paksa dan kedua belah pihak menandatangani Berita Acara sebagai pernyataan bahwa Surat Paksa sudah diberitahukan dan selanjutnya salinan Surat Paksa diserahkan kepada Penanggung Pajak dan asli Surat Paksa disimpan di kantor Pejabat. c) Melaksanakan penyitaan berdasarkan Surat Perintah

Melaksanakan Penyitaan (SPMP). d) Melaksanakan Penyandraan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan. 2) Wewenang Jurusita Pajak Wewenang jurusita Pajak Meliputi: a) Meliputi dan memeriksa semua ruangan, termasuk membuka lemari, laci dan tempat lain untuk menemukan objek sita. b) Meminta bantuan Kepolisian, Kejaksaan, Departemen Kehakiman, Pemda setempat, BPN, Dirjen Perhubungan Laut, Pengadilan Negeri, Bank atau pihak lain dalam rangka pelaksanaan penagihan pajak. c) Menjelaskan tugasnya serta memberitahukan maksud dan tujuan penyitaan. 3) Kewajiban Jurusita Pajak Kewajiban Jurusita Pajak adalah: a) Memperlihatkan Tanda Pengenal Jurusita Pajak b) Memperlihatkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan. c) Membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita (BAPS) ditandatangani oleh jurusita, Saksi-saksi dan Penanggung Pajak. d) Menempelkan salinan BAPS pada barang yang disita atau tempat barang yang disita berada atau di tempat umum kecuali jika barang yang disita sesuai sifatnya tidak dapat ditempeli salinan BAPS. e) Menempelkan segel sita pada barang yang disita. f) Membuat pengumuman lelang.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

12

B. TATA CARA PELAKSANAAN PENAGIHAN PAJAK Dasar Penagihan Pajak Dasar penagihan pajak diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UU No. 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No. 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yaitu: a. Surat Tagihan Pajak (STP) b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) c. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) d. Surat Keputusan Pembetulan yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah e. Surat Keputusan Keberatan yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah f. Putusan banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah.

Tata cara dan jadwal waktu pelaksanaan penagihan pajak. Tata cara dan jadwal waktu pelaksanaan penagihan diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 561/KMK.04/2000 sebagai berikut: a. Tindakan pelaksanaan penagihan diawali dengan penerbitan Surat Teguran oleh Pejabat atau kuasa yang ditunju oleh Pejabat tersebut setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pembayaan. Surat Teguran tidak diterbitkan terhadap Penanggung Pajak yang telah disetujui untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajaknya. b. Apabila jumlah utang pajak yang masih harus dibayar tidak dilunasi oleh Penanggung Pajak setelah lewat waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak diterbitkannya Surat Teguran, Pejabat segera menerbitkan Surat Paksa. c. Apabila jumlah utang pajak yang masih harus dibayar tidak dilunasi oleh Penanggungan Pajak setelah lewat 2 x 24 (dua puluh empat) jam setelah Surat Paksa diberitahukan kepadanya, Pajabat segera menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan. d. Apabila utang pajak dan biaya penagihan yang masih harus dibaya tidak dilunasi oleh Penanggung Pajak setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal pelaksanaan penyitaan, Pejabat segera melaksanakan pengumuman lelang.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

13

e. Apabila utang pajak dan biaya pengihan yang masih harus dibayar tidak dilunasi oleh Penanggungan Pajak setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal pengumuman lelang, Pejabat segera melakukan penjualan barang sitaan Penanggung Pajak melalui Kantor Lelang. f. Surat Paksa dapat diterbitkan tanpa menunggu lewat tenggang waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak Surat Teguran diterbitkan apabila terhadap Penanggung Jawab dilakukan Penagihan Seketika dan Sekaligus.

Penagihan Seketika dan Sekaligus diperbitkan oleh Pejabat apabila: 1) Penanggungan pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selamalamanya atau berniat untuk itu. 2) Penangguhan Pajak menghentikan atau secara nyata mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukan di Indonesia, ataupun memindahtangankan barang yang dimiliki atau dikuasainya. 3) Terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usahanya dan berniat untuk itu. 4) Badan usaha akan dibubarkan oleh negara atau 5) Terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan. C. SURAT PAKSA Pengertian Surat Paksa Pengertian Surat Paksa tercantum dalam Pasal 1 angka 12 Undangundang No. 19 Tahun 1997, sebagaimana telah diubah dengan Undangundang No. 19 Tahun 2000. Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak. Isi dan karakter Surat Paksa. Surat Paksa dapat ditinjau dari dua segi yaitu: a. Surat Paksa ditinjau dari segi isinya. Surat Paksa ditinjau dari segi isinya, memuat : 1) Titel eksekusi tercemin dari Kepala Surat Paksa yang berkepala : DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA sesuai dengan Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

14

2) Nama NPWP, alamat Penanggung Pajak / Wajib Pajak. 3) Jenis Pajak, Tahun Pajak, No. Surat Ketetapan Pajak, dan Jumlah Tunggakan Pajak yang belum dilunasi. 4) Perintah kepada Penanggung Pajak untuk membayar jumlah tunggakan pajak ke Kantor Pos dan Giro / Bank Persepsi, ditambah dengan biaya penagihan Pajak dalam waktu 2 (dua) kali duapuluh empat jam sesudah pemberitahuan Surat Paksa. 5) Perintah kepada Jurusita yang melaksanakan Surat Paksa untuk melakukan penyitaan atas barang-barang milik Penanggung Pajak apabila dalam waktu 2 (dua) kali duapuluh empat jam Surat Paksa tidak dipenuhi. b. Surat Paksa ditinjau dari segi karakternya 1) Mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan Grosse Putusan hakim dalam perkara perdata. 2) Surat Paksa tidak dapat dimintakan banding lagi kepada Hakim atasan. 3) Surat Paksa mempunyai kekuatan hukum yang pasti (in kracht van gewijsde). 4) Mempunyai fungsi ganda yaitu menagih pajak (pokok, bunga, denda dan kenaikan) dan bukan pajak (biaya penagihan sseperti biaya penyimpanan SP, SPMP, pengumuman lelang, bea lelang dan lain-lain). c. Pemberitahuan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak Penyerahan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak diatur dalam Pasal Undang-undang tersebut di atas antara lain ditentukan : 1) Pemberitahuan Surat Paksa kepada orang pribadi. Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak kepada : a) Penanggung Pajak di tempat tinggal, tempat usaha atau di tempat lain yang memungkinkan. b) Orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun yang bekerja di tempat usaha Penanggung Pajak, apabila

Penanggung Pajak yang bersangkutan tidak dapat dijumpai. c) Salah seorang ahli waris atau pelaksana wasiat atau yang mengurus harta peninggalannya, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan belum dibagi, atau d) Para ahli waris, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan telah dibagi.
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

15

2) Pemberitahuan Surat Paksa kepada badan. Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak kepada : a) pengurus, kepala perwakilan, kepada cabang, penanggung jawab, pemilik modal baik di tempat kedudukan badan yang bersangkutan, di tempat tinggal mereka maupun di tempat lain yang memungkinkan, atau b) pegawai tetap di tempat kedudukan atau tempat usaha badan yang bersangkutan apabila-jurusita Pajak tidak dapat

menjumpai salah seorang sebagaimana dimaksud pada huruf a) c) dalam hal Wajib Pajak dinyatakan Pailit, Surat Paksa diberitahukan kepada Hakim Komisaris atau Balai Harta Peninggalan, dan dalam hal Wajib Pajak dinyatakan bubar atau dalam likuidasi, Surat Paksa diberitahukan kepada orang atau badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan, atau likuidator. d) Dalam hal Wajib Pajak menunjuk seorang kuasa dengan Surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan kewajiban

perpajakan, Surat Paksa dapat diberitahukan kepada penerima kuasa dimaksud. e) Apabila pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud padda angka 1) ddan 2) huruf a) dan b) tidak dapat dilaksanakan, Surat Paksa disampaikan melalui Pemerintah Daerah setempat. 3) Pemberitahuan Surat Paksa dalam hal Penanggung Pajak tidak diketahui tempat tinggalnya, tempat usaha, atau tempat

kedudukannya. Penyampaian Surat Paksa dilaksanakan dengan cara menempelkan Surat Paksa pada papan pengumuman kantor Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa, mengumumkan melalui media massa, atau cara lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri atau Kepala Daerah. 4) Pemberitahuan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak di wilayah Kantor Pelayanan Pajak lain / diluar wilayah kerja Pejabat. Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa meminta bantuan, kepada Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat pelaksanaan Surat Paksa, kecuali ditetapkan oleh Menteri atau Kepala Daerah. 5) Dalam hal Penanggung Pajak, menolak menerima Surat Paksa.
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

16

Dalam hal Penanggung Pajak menolak menerima Surat Paksa, Jurusita Pajak meninggalkan Surat Paksa di tempat kediaman / tempat kedudukan Penanggung Pajak atau wakilnya dan

mencatatnya dalam Berita Acara bahwa Penanggung Pajak tidak mau menerima Surat Paksa, dan Paksa dianggap telah

diberitahukan.

D. PENYITAAN Pengertian Penyitaan Pengertian penyitaan dicantumlan dalam Pasal 1 angka Undang-undang No. 19 Tahun 1997, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 19 Tahun 2000 : Tahun 2000 : Penyitaan adalah tindakan Jurusita Pajak untuk menguasai barang Penanggung Pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang Pajak menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Proses Penyitaan barang milik Penanggung Pajak Proses penyitaan barang milik Penanggung Pajak dilaksanakan sebagai berikut : a. Penyitaan terhadap barang milik Penanggung Pajak dilaksanakan oleh Jurusita Pajak berdasarkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak / PBB. b. Penyitaan dilakukan dalam jangka waktu 2 x 24 Jam sejak tanggal SP diberitahukan bila utang pajak tidak dilunasi. c. Pelaksanaan dilakukan oleh Jurusita Pajak dengan 2 orang saksi (dewasa, penduduk Indonesia, dikenal dan dapat dipercaya). d. Dalam melaksanakan penyitaan, Jurusita Pajak harus terlebih dahulu : 1) Memperkenalkan diri 2) Memerlihatkan Kartu Pengenal Jurusita 3) Memperlihatkan Surat Perintah Melaksanakan Pernyitaan 4) Memberitahukan maksud dan tujuan penyitaan e. Barang yang dapat disita terlebih dahulu adalah barang bergerak, bila tidak mencukupi baru disita barang tidak bergerak kecuali apabila tidak ada obyek sita untuk barang bergerak langsung barang tidak bergerak. Barang yang dapat disita adalah barang yang berada di
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

17

tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan atau tempat lain termauk yang penguasaannya berada di tangan pihak lain atau yang dibebani dengan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu. f. Penyitaan barang dimaksud meliputi: a. Barang bergerak (mobil, perhiasan, uang tunai dan deposito

berjangka, tabungan, saldo rekening, giro atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, obligai, saham atau surat berharga lainnya, piutang dan penyertaan modal pada perusahaan lain). b. Barang Tidak Bergerak (tanah, bangunan dan kapal dengan isi tertentu). g. Barang Bergerak milik Penanggung Pajak yang dikecualikan dari penyitaan adalah : 1) Pakaian dan tempat tidur beserta perlengkapannya yang

digunakan oleh Penanggung Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya. 2) Persediaan makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan beserta peralatan memasak yang berada dirumah. 3) Perlengkapan Penanggung Pajak yang bersifat dinas. 4) Buku-buku yang bertalian dengan jabatan atau pekerjaan Penanggung Pajak dan alat-alat yang dipergunakan untuk pendidikan, kebudayaan dan keilmuan. 5) Peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk melaksanakan pekerjaan atau usaha sehari-hari dengan jumlah seluruhnya tidak lebih dari rupiah), dan 6) Peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh Penanggung Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya. h. Jurusita harus membuat Berita Acara P\elaksanaan Sita yang ditanda tangani oleh Jurusita, Penanggung Pajak dan Saksi-saksi. i. Apabila Penanggung Pajak menolak untuk menanda tangani BAPS, Jurusita harus mencantumkan penolakan tersebut dalam BAPS dan ditandatangani oleh Jurusita dan saksi-saksi, BAPS tetap sah dan mempunyai kekuatan mengikat. j. Sekalipun Penanggung Pajak tidak hadir, penyitaan dapat Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta

dilaksanakan dengan syarat salah seorang saksi berasal dari Pemda


Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

18

setempat, sekurang-kurangnya setingkat Kepala Kelurahan / Kepala Desa dan BAPS ditandatangani oleh Jurusita dan saksi-saksi, BAPS tetap sah dan mengikat. k. Salinan BAPS dapat ditempel pada Barang Bergerak atau Barang Tidak Bergerak yang disita atau di tempat barang tersebut berada atau ditempat-tempat umum. l. Salinana BAPS disampaikan kepada : 1) Penanggung Pajak 2) Polisi untuk Barang Bergerak yang kepemilikannya terdaftar 3) BPN untuk tanah yang sudah terdaftar 4) Pemda dan Pengadilan Negeri setempat untuk tanah yang kepemilikannya belum terdaftar. 5) Dirjen Perhubungan Laut untuk kapal m. Penyitaan terhadap barang Penanggung Pajak dilaksanakan sampai dengan jumlah yang disita diperkirakan cukup untuk melunasi utang pajak dan biaya penagihan. Pengajuan keberatan tidak

mengakibatkan penundaan pelaksanaan penyitaan. n. Barang yang disita dapat dititipkan pada : 1) Penanggung Pajak 2) Dititipkan di kantor Pejabat apabila dipandang perlu 3) Ditempat lain antara lain Kantor Pegadaian, Bank atau Kantor Pos dan Giro o. Penyitaan tambahan dapat dilakukan apabila barang yang, disita tidak mencukupi untuk melunasi utang pajak dan biaya penagihan berdasarkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan yang sama. p. Atas Barang Yang disita dapat ditempel atau diberi segel SITA. Penempelan Segel Sita dilaksanakan dengan memperhatikan jenis, sifat dan bentuk barang sitaan. Segel sita memuat sekurang-kurangnya : 1) Kata DISITA 2) Nomor dan tanggal BAPS 3) Larangan untuk memindahtangankan, memindahkan hak,

meminjamkan, merusak barang yang disita dengan ancaman hukuman penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun sesuai dengan Pasal 231 KUHP.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

19

q. Penyitaan terhadap barang yang telah disita oleh Kejaksaan atau Kepolisian sebagai barang bukti dalam kasus pidana adalah sebagai berikut : 1) Jurusita Pajak akan menyita barang bukti tersebut bila proses pembuktian telah selesai setelah terlebih dahulu menyampaikan Surat Paksa dengan dilampiri surat pemberitahuan bahwa barang tersebut merupakan obyek sita. 2) Sebelum obyek sita dikembalikan kepada Penanggung Pajak, Kejaksaan atau Kepolisian memberitahukan kepada Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa. 3) Walaupun barang yang disita telah dikembalikan kepada

Penanggung Pajak penyitaan tetap dapat dilaksanakan. r. Semua jenis barang yang telah disita oleh Pengadilan Negeri atau instansi lain misalnya Panitia Urusan Piutang Negara tidak boleh dilakukan penyitaan kembali oleh Jurusita Pajak. Upaya Jurusita adalah : 1) Menyampaikan salinan Surat Paksa kepada Pengadilan Negeri atau instansi yang berwenang. 2) Barang yang disita sebagai jaminan untuk pelunasan utang pajak. 3) Pengadilan Negeri atau Instansi lain yang berwenang menentukan hak pembagian hasil penjualan barang tersebut berdasarkan hak mendahulu. 4) Putusan Pengadilan Negeri yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap disampaikan kepada Kantor Lelang untuk

dipergunakan sebagai dasar pembagian hasil lelang. s. Pencabutan sita dilaksanakan apabila : 1) Telah melunasi biaya penagihan dan utang pajak. 2) Berdasarkan putusan Pengadilan. 3) Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak. 4) Ditetapkan oleh Menteri Keuangan, Gubernur atau Bupati / Walikota. Pencabutan Sita dilaksanakan berdasarkan Surat Pencabutan Sita yang diterbitkan oleh Pejabat sekaligus berfungsi sebagai pencabutan BAPS dan disampaikan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak dan Instansi terkait diikuti dengan pengembalian penguasaan barang yang disita kepada Penanggung Pajak.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

20

Tata Cara Penyitaan terhadap barang Bergerak Tata cara penyitaan terhadap Barang Bergerak dilaksanakan sebagai berikut : a. Penyitaan terhadap perhiasan emas, permata dan sejenisnya : Penyitaan terhadap perhiasan emas, permata dan sejenisnya dilaksanakan sebagai berikut : 1) Membuat rincian tentang jenis, jumlah dan harga perhiasan yang disita dalam satu daftar merupakan lampiran BAPS. 2) Membuat BAPS. b. Penyitaan terhadap uang tunai / mata uang asing Penyitaan terhadap uang tunai / mata uang asing dilaksankan sebagai berikut : 1) Menghitung uang tunai terebut dan membuat rinciannya dalam suatu daftar yang merupakan lampiran BAPS. 2) Membuat BAPS. 3) Menyimpan uang tersebut pada tempat penyimpanan dan ditempeli dengan segel sita kemudian menitipkannya pada Penanggung Pajak atau pada Bank. c. Penyitaan terhadap kekayaan yang tersimpan di bank. Penyitaan terhadap kekayaan yang tersimpan di bank, berupa deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro atau bentuk lainnya yang dipersamakan, dilaksanakan sebagai berikut : 1) Penyitaan terhadap kekayaan tersebut diatas dilaksanakan dengan pemblokiran terlebih dahulu. 2) Pemblokiran diajukan oleh Pejabat (Kepala Kantor Pelayanan Pajak / PBB) kepada pimpinan Bank tempat kekayaan

Penanggung Pajak disimpan disertai salinan Surat Paksa dan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan. 3) Pimpinan Bank yang bersangkutan wajib melaksanakan

pemblokiran seketika setelah menerima permintaan pemblokiran dari pejabat yang membuat Berita acara pemblokiran yang tindasannya disampaikan kepada Penanggung meminta pemblokiran. 4) Penyitaan dilaksanakan : a) Jurusita setelah menerima berita acara pemblokiran, Pajak yang

memerintahkan kepada Penanggung Pajak untuk memberi

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

21

kuasa kepada Bank agar memberitahukan saldo kekayaannya yang tersimpan pada Bank tersebut kepada Jurusita. b) Dalam hal Penanggung Pajak tidak memberi kuasa kepada Bank, Pejabat meminta kepada Menteri Keuangan untuk memerintahkan Bank yang bersangkutan untuk

memberitahukan saldo kekayaan Penanggung Pajak kepada Pejabat. c) Setelah saldo kekayaan Penanggung Pajak diketahui, maka Jurusita Pajak melakukan penyitaan. d) Jurusita membuat BAPS, ditanda tangani oleh Jurusita, Saksisaksi dan pimpinan Bank atau pejabat Bank yang ditunjuk. e) Jurusita Pajak menyampaikan salinan BAPS kepada

Penanggung Pajak dan pimpinan Bank yang bersangkutan. 5) Pejabat mengajukan permintaan pencabutan pemblokiran kepada Bank, setelah Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan, atau 6) Pejabat mengajukan permintaan pencabutan pemblokiran atas kekayaan Penanggung Pahaj setelah dikurangi dengan jumlah yang disita, apabila Penanggung Pajak belum melunasi utang pajak dan biaya penagihan meskipun telah dilakukan pemblokiran. 7) Dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak pelaksanaan sita, Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan biaya penyitaan, pejabat segera meminta kepada pimpinan Bank untuk memindahbukukan harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan di Bank ke kas Negara atau ke Kas Daerah sejumlah yang tercantum dalam BAPS. 8) Sebelum jangka waktu 14 hari berakhir, Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Pejabat untuk menggunakan barang sitaan dimaksud untuk melunasi biaya penagihan dan utang pajak. 9) Pencabutan sita dilaksanakan oleh Jurusita berdasarkan Surat Pencabutan Sita yang diterbitkan oleh Pejabat dan tembusannya disampaikan kepada pimpinan Bank yang bersangkutan. d. Penyitaan terhadap Surat Berharga berupa Obligasi, Saham dan sejenisnya yang diperdagangkan di bursa efek.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

22

Penyitaan terhadap Surat Berharga berupa Obligasi, Saham dan sejenisnya yang diperdagangkan di bursa efek dilaksanakan sebagai berikut : 1) Pemblokiran Rekening Efek pada Kustodian dilaksanakan

berdasarkan permintaan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak atau Pejabat yang ditunjuk kepada Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dengan menyebutkan nama Pemegang Rekening, nomor Pemegang Rekening sebagai Penanggung Pajak, sebab dan alasan perlunya pemblokiran. 2) Berdasar permintaan tersebut, Ketua Badan Pengawas Pasar Modal menyampaikan perintah tertulis kepada Kustodian untuk melakukan pemblokiran terhadap Rekening Efek Penanggung Pajak. 3) Berdasar perintah Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Kustodian melakukan pemblokiran. 4) Dalam hal permintaan pemblokiran tersebut disertai dengan permintaan keterangan tentang Rekening Efek pada Kustodian, maka permintaan tertulis Direktorat Jenderal Pajak harus memuat nama pejabat yang berwenang mendapatkan keterangan tersebut. 5) Kustodian yang melakukan pemblokiran dan memberikan

keterangan tentang Rekening Efek Pemegang Rekening membuat Berita Acara Pemblokiran dan Berita Acara Pemberian

Keterangan. Berita acara disampaikan : a) Kepada Direktur Jenderal Pajak b) Salinan diberikan kepada : Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Pemegang Rekening sebagai Penanggung Pajak

Berita Acaranya dikirimkan selambat-lambatnya 2 (dua) hari kerja setelah pemblokiran dan pemberian keterangan tersebut. 6) Setelah menerima Berita acara tersebut Jurusita melakukan : a) Penyitaan atas Efek dan atau dana dalam Rekening Efek pada Kustodian b) Membuat BAPS, ditandatangani Jurusita, Penanggung Pajak dan saksi-saksi. Apabila Penanggung Pajak tidak hadir cukup ditandatangani oleh Jurusita dan saksi-saksi saja.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

23

c) BAPS disampaikan kepada Penanggung Pajak dan salinannya disampaikan kepada Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Kustodian. d) Apabila Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan biaya penagihan, maka permintaan pencabutan pemblokiran tersebut dikurangi dengan jumlah barang yang disita. e) Efek yang diperdagangkan di bursa yang telah disita, dijual di bursa melalui Perantara Pedagang Efek Anggota Bursa atas permintaan Pejabat. e. Penyitaan terhadap piutang Penyitaan terhadap piutang dilaksanakan sebagai berikut : 1) Melakukan inventarisasi dan membuat daftar rincian tentang jenis dan jumlah piutang yang disita yang merupakan lampiran BAPS. 2) Membuat BAPS. 3) Membuat berita acara persetujuan pengalihan hak menagih piutang dari Penanggung Pajak kepada pejabat dan salinannya disampaikan kepada Penanggung Pajak dan pihak yang

berkewajiban membayar hutang. f. Penyitaan terhadap surat berharga berupa obligai, saham dan sejenisnya yang tidak diperdagangkan di bursa efek. Penyitaan dilaksanakan sebagai berikut : 1) Melakukan inventarisasi dan membuat daftar rincian tentang jenis, jumlah dan nilai nominal atau perkiraan nilai lainnya dari surat berharga yang disita yang merupakan lampiran BAPS. 2) Membuat BAPS. 3) Membuat Berita Acara pengalihan hak surat berharga atas nama dari Penanggung Pajak kepada Pejabat. g. Penyitaan terhadap penyertaan Modal pada perusahaan lain yang tidak ada surat sahamnya. Penyitaan terhadap penyertaan modal pada perusahaan lain yang tidak ada surat sahamnya dilaksanakan sebagai berikut : 1) Melakukan inventarisasi dan membuat daftar rincian tentang jumlah penyertaan modal pada perusahaan lain yang merupakan lampiran BAPS. 2) Membuat BAPS 3) Membuat akte persetujuan pengalihan hak penyertaan modal pada perusahaan lain dari Penanggung Pajak kepada Pejabat,
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

24

dan

salinannya

disampaikan

kepada

perusahaan

tempat

penyertaan modal. E. PENCEGAHAN DAN PENYANDERAAN Pencegahan terhadap Penanggung Pajak a. Arti Pencegahan Arti pencegahan diatur dalam Pasal 1 angka 20 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997, sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang nomor. 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap Penanggung Pajak tertentu untuk ke luar dari wilayah Negara Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan. b. Tata Cara Pencegahan Tata cara pencegahan diatur dalam Pasal 29 sampai dengan Pasal 32 Undang-undang tersebut di atas. Tata cara Pencegahan terhadap Penanggung Pajak dilaksanakan sebagai berikut : 1) Tndakan pencegahan hanya dapat ddilakukan terhadap

Penanggung Pajak yang : a) Mempunyai jumlah utang pajak sekurang-kurangnya sebesar Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) b) Diragukan itikad baiknya dalam melunasi pajak c) Berdasarkan Keputusn Menteri Keuangan atas permintaan Pejabata atau atasan Pejabat yang bersangkutan. 2) Jangka waktu pencegahan paing lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang untuk sselama-lamanya 6 (enam) bulan. 3) Keputusan pencegahan disampaikan kepada : a) Penanggung Pajak yang bersangkutan b) Menteri Kehakiman c) Pejabat yang memohon pencegahan dan atasan Pejabat yang bersangkutan 4) Pencegahan dapat dilaksanakan terhadap beberapa orang sebagai Penanggung Pajak Wajib Pajak Badan atau ahli waris.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

25

5) Pencegahan terhadap Penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya utang pajak dan terhentinya pelaksanaan penagihan pajak. Penyanderaan Penanggung Pajak a. Pengertian Penyanderaan Pengertian penyanderaan di atur dalam Pasal 1 angka 21 UndangUndang No. 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubag dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. b. Tata Cara dan Tempat Penyanderaan Penanggung Pajak Masalah penyanderaan diatur dalam Pasal 33 sampai dengan Pasal 36 Undnag-undang tersebut diatas. Tata Cara Penyanderaan dilaksanakan sebagai berikut : 1) Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak yang : a) Mempunyai utang pajk sekurang-kurangnya sebesar Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah); dan b) Diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak 2) Penyanderaan dilaksanakan berdasarkan Surat Perintah

Penyanderaan yang diterbitkan oleh Pejabat setelah memperoleh izzin tertulis dari Menteri Keuangan untuk penagihan Pajak Pust dan dari Gubernur untuk penagihan Pajak Daerah. 3) Permohonan izin penyanderaan diajukan oleh Pejabat atau atasan Pejabat kepada Menteri Keuangan untuk penagihan Pajak Pusat dan kepada Gubernur untuk penagihan pajak daerah. 4) Permohonan izin penyanderaan memuat sekurang-kurangnya: a) identitas Penanggung Pajak b) jumlah utang pajak yang belum dilunasi c) tindakan penagihan pajak yang telah dilaksanakan d) uraian tentang adanya petunjuk bahwa Penanggung Pajak diragukan itikad baiknya dalam melunai utang pajak. 5) Surat Perintah Penyanderaan diterbitkan oleh Pejabat seketika setelah diterima izin tertulis dari Menteri Keuangan untuk

penagihan Pajak Pusat atau dari Gubernur untuk penagihan Pajak Daerah. 6) Surat Perintah Penyanderaan memuat sekurang-kurangnya :
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

26

a) identitas Penanggung Pajak b) alasan penyanderaan c) izin penyanderaan d) lama penyanderaan e) tempat penyanderaan 7) Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak yang tidak melunasi utang pajak setelah lewat jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal Surat Paksa diberitahukan kepada Penanggung Pajak. 8) Penyanderaan tidak boleh dilaksanakan dalam hal Penanggung Pajak : a) Sedang beribadah b) Sedang mengikuti sidang resmi c) Sedang mengikuti pemilihan umum 9) Penanggung Pajak yang disander ditempatkan di tempat tertentu sebagai tempat penyanderaan dengan syarat-syarat sebagai berikut : a) tertutup dan terasing dari masyarakat b) mempunyai fasilitas terbatas c) mempunyai sistem pengamanan dan pengawasan yang memadai. Sebelum tempat penyanderaan sebagaimana dimaksud diatas dibentu, Penanggung Pajak yang disandera, dititipkan di rumah tahanan negara dan terpisah dari tahanan lain. 10) Jangka wkatu penyanderaan paling lam 6 (enam) bulan terhitung sejak Penanggung Pajak ditempatkan ditempat penyanderaan dan dapat diperpanjang untuk selama-lamanya 6 (enam) bulan. 11) Jurusita Pajak harus menyampaikan Surat Perintah Penyanderaan langsung kepada Penanggung Pajak dan salinannya disampaikan kepada Kepala tempat penyanderaan. 12) Dalam hal Penanggung Pajak yang akan disandera tidak dapat ditemukan, Jurusita Pajak melalui Pejabat atau atasan Pejabat dapat meminta bantuan Kepolisian atau Kejaksaan untuk

menghadirkan Penanggung Pajak yang tidak dapat ditermukan tersebut.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

27

13) Penyanderaan Penyanderaan bersangkutan.

dilaksanakan diterima oleh

pada

saat

Surat

Perintah yang

Penanggung

Pajak

14) Penyanderaan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi penduduk Indonesia yang telah dewasa, dikenal oleh Jurusita Pajak yang dapat dipercaya. Dalam melaksanakan penyanderaan Jurusita Pajak dapat meminta bantuan Kepolisian atau Kejaksaan. 15) Jurusita Pajak membuat Berita Acara Penyanderaan pada saat Penanggung Pajak ditempatkan di tempat penyanderaan, dan Berita Acara Penyanderaan ditanda tangani oleh Jurusita Pajak, Kepala tempat penyanderaan dan saksi-saksi. 16) Berita Acara Penyanderaan sekurang-kurangnya memuat : a) nomor dan tanggal Surat Perintah Penyanderaan b) izin tertulis Menteri Keuangan atau Gubernur c) identitas Penanggung Pajak d) tempat penyanderaan e) lamanya penyanderaan f) identitas saksi penyanderaan

17) Salinan Berita Acara Penyanderaan dimaksud disampaikan kepada Kepala tempat penyanderaan, Penanggung Pajak yang disandera, dan Gubernur. 18) Penanggung Pajak yang disandera dapat dilepaskan : a) apabila utang pajak dan biaya penagihan pajak telah dibayar lunas. b) apabila jangka waktu yang ditetapkan dalam Surat Perintah Penyanderaan telah dipenuhi. c) berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, atau d) berdasarkan pertimbangan tertentu dari Menteri Keuangan atau Gubernur. 19) Pejabat memberitahukan secara tertulis kepada kepala tempat penyanderaan apabila Penanggung Pajak akan dilepas dari penyanderaan. 20) Kepala tempat penyanderaan segera memberitahukan secara tertulis kepada Pejabat apabila Penanggung Pajak telah dilepas dari tempat penyanderaan.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

28

21) Penanggung Pajak yang melarikan diri dari tempat penyanderaan menurut Surat Peruntah Penyanderaan yang dahulu diterbitkan terhadapnya dengan memperhitungkan masa penyanderaan yang telah dijalani sebelum Penanggung Pajak melarikan diri. 22) Masa penyanderaan kembali adalah sama dengan masa

penyanderaan menurut Surat Perintah Penyanderaan yang dahulu diterbitkan terhadapnya dengan memperhitungkan masa

penyanderaan yang telah dijalani sebelum Penanggung Pajak melarikan diri. 23) Penyanderaan tetap dapat dilakasanakan terhadap Penanggung Pajak yang telah dilakukan pencegahan. Penyanderaan tidak mengakibatkan hapusnya utang pajak dan terhentinya

pelaksanaan penagihan pajak. 24) Biaya penyanderaan dibebankan kepada Penanggung Pajak yang disandera dan diperhitungkan sebagai biaya penagihan. 25) Selama masa penyanderaan Penanggung Pajak berhak untuk : a) melakukan ibadah di tempat penyanderaan sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing, b) memperoleh pelayanan kesehatan yang layak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, c) mendapat makanan yang layak termasuk menerima kiriman dari keluarga, d) menyampaikan keluhan tentang perlakukan petugas, e) memperoleh bahan bacaan dan informasi lainnya atas biaya Penanggung pajak yang disandera, f) menerima kunjungan dari : keluarga dan sahabat dokter pribadi atas biaya sendiri rohaniwan

26) Penanggung Pajak yang disandera dapat mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan penyanderaan hanya kepada Pengadilan Negeri. Gugatan Penanggung Pajak tidak dapat diajukan setelah masa penyanderaan terakhir. 27) Dlam hal gugatan Penanggung Pajak dikabulkan oleh pengadilan dan putusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Penanggung Pajak dapat mengajukan pemohonan rehabilitasi nama baik dan ganti rugi. Permohonan Penanggung Pajak
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

29

diajukan kepada Pejabat yang menerbitkan Surat Perintah Penyanderaan. 28) Rehabilitasi nama baik dilaksanakan oleh Pejabat dalam bentuk 1 (satu) kali pengumuman pada media cetak harian yang berskala nasional dengan ukuran yang memadai, yang dilakukan paling lambat 30 hari sejak diterimanya permohonan Penanggung Pajak. 29) Besarnya ganti rugi yang diberikan Pejabat kepada Penanggung Pajak adalah sebesar Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) setiap hari selama masa penyanderaan yang telah dijalaninya. F. GUGATAN Arti Gugatan Arti gugatan diatur dalam Pasal 1 angka 22 Undang-undang no. 1 Tahun 1997, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undnag Nomor 19 Tahun 2000 tentang Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Gugatan atau sanggahan adalah upaya hukum terhadap pelaksanan penagihan pajak atau kepemilikan barang sebagaiman diatur dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Sanggahan a) Sanggahan ke Pengadilan Negeri Sanggahan pihak ketiga terhadap kepemilikan barang yang disita diatur dalam Pasal 38 Undang-undang No. 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa : 1) Sanggahan pihak ketiga terhadap kepemilikan barang yang disita hanya dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri. 2) Pengadilan Negeri yang menerima surat gugatan memberitahukan kepada Pejabat. 3) Pejabat menangguhkan pelaksanaan penagihan pajak hanya terhadap barang yang digugat kepemilikannya sejak menerima pemebritahuan dari Pengadilan Negeri. 4) Sanggahan pihak ketiga terhadap kepemilikan barang yang disita tidak dapat diajukan setelah lelang dilaksanakan. b) Gugatan Penanggung Pajak ke Pengadilan Negeri

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

30

Gugatan Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan penagihan diatur dalam Pasal 23 (2) Undang-undang KUP dan Pasal 37 Undangundang No. 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubag dengan Undang-undang No. 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Gugatan Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan Surat Paksa, SPMP atau Pengumuman lelang hanya dapat diajukan ke Pengadilan Pajak. 3.2. LATIHAN 2 a. Sebutkan pejabat yang ditunjuk untuk melaksanakan penagihan dan terhadap jenis-jenis pajak apa saja? Pejabat yang ditunjuk untuk melaksanakan penagihan ialah 1) Pejabat Kantor Pelayanan Pajak, sebagai pejabat untuk penagihan: a) Pajak Penghasilan; b) Pajak Pertambahan Nlai; c) Pajak Penjualan atas Barang Mewah; 2) Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, sebagai pejabat untuk penagihan: a) Pajak Bumi dan Bangunan b) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan b. Siapa yang disebut dengan Juru Sita Pajak? Pengertian Jurusita tercantum dalam Pasal 1 angka 6 UU No. 19 Tahun 1997, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000: Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi penagihan seketika dan sekaligus, Pemberitahuan Surat Paksa,

Penyitaan dan Penyandraan. c. Sebutkan yang menjadi dasar Penagihan Pajak! Dasar Penagihan pajak diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UU No. 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yaitu: a. Surat Tagihan Pajak (STP). b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB). c. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT).

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

31

d. Surat Keputusan Pembetulan yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah. e. Surat Keputusan Keberatan yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah. f. Putusan banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah.

3.3. RANGKUMAN a. Penagihan Seketika dan Sekaligus diterbitkan oleh Pejabat apabila: 1) Penanggung pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selamalamanya atau berniat untuk itu. 2) Penangguhan Pajak menghentikan atau secara nyata mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukan di Indonesia, ataupun memindahtangankan barang yang dimiliki atau dikuasainya. 3) Terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usahanya dan berniat untuk itu. 4) Badan usaha akan dibubarkan oleh negara atau 5) Terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan. b. Pemberitahuan Surat Paksa kepada orang pribadi. Surat paksa diberiahukan oleh Jurusita Pajak kepada: a) Penanggung Pajak di tempat tinggal, tempat usaha atau di tempat lain yang memungkinkan. b) Orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun yang bekerja di tempat usaha Penanggung Pajak, apabila Penanggung Pajak yang bersangkutan tidak dapat dijumpai. c) Salah seorang ahli waris atau pelaksana wasiat atau yang mengurus harta peninggalannya, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan belum dibagi, atau d) Para ahli waris, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan telah dibagi. c. Pemberitahuan Surat Paksa kepada badan Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak kepada: a) Pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal baik di tempat keduduka badan yang bersangkutan, di tempat tinggal mereka maupun di tempat lain yang memungkinkan atau
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

32

b) Pegawai tetap di tempat kedudukan atau tempat usaha badan usaha yang bersangkutan apabila-jurusita Pajak tidak dapat menjumpai salah seorang sebagaimana dimaksud pada huruf (a).

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

33

4. TES NORMATIF Nyatakan B(Benar), kalau pernyatan di bawah ini benar, dan nyatakan S(Salah), kalau pernyataan ini salah.

a.

B -

Penyitaan adalah tindakaj Jurusita Pajak untuk menguasai, barang Penanggung pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundang undangan yang berlaku.

b.

B -

Penyitaan dilakukan dalam jangka waktu 2 x 2 hari sejak tanggal SP diberitahukan bila utang pajak tidak dilunasi.

c.

B -

Barang yang dapat disita terlebih dahulu adalah barang bergerak, bila tidak mencukupi baru disita barang tidak bergerak kecuali apabila tidak ada obyek sita untuk barang bergerak langsung barang tidak bergerak. Barang yang dapat disita adalah barang yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan atau tempat lain termasuk

penguasaannya berada di tangan pihak lain atau yang dibebani dengan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu. d. B S Penyitaan barang meliputi: a. Barang bergerak (mobil, perhiasan, uang tunai dan deposito berjangka, tabungan, saldo rekening, giro atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, obligasi, saham atau surat berharga lainnya, piutang dan penyertaan modal pada perusahaan lain. b. Barang tidak bergerak (tanah, bangunan, dan kapal dengan isi tertentu). e. B S Penyitaan tambahan dapat dilakukan apabila barang yang disita dan tidak mencukupi untuk melunasi utang pajak dan biaya penagihan berdasarkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan yang sama. f. B S Penyitaan terhadap barang yang telah disita oleh Kejaksaan atau Kepolisian sebagai barang bukti dalam kasus pidana adalah sebagai berikut: 1) Jurusita Pajak akan menyita barang bukti tersebut bila proses pembuktian telah selesai setelah terlebih dahulu

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

34

meyampaikan

surat

paksa

dengan

dilampiri

surat

pemberitahuan bahwa barang tersebut merupakan obyek sita. 2) Sebelum obyek sita dikembalikan kepada Penanggung Pajak, Kejaksaan atau Kepolisian memberitahukan kepada Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa. 3) Walaupun barang yang disita telah dikembalikan kepada Penanggung Pajak penyitaaan tetap dapat dilaksanakan. g. B S Pencegahan adalah larangan yang bersifat tetap terhadap Penanggung Pajak tertentu untuk ke luar dari wilayah Negara Republik Indonesia berdasarkan alas an tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan. h. B S Tindakan pencegahan hanya dapat dilakukan terhadap

Penanggung Pajak yang: a. Mempunyai jumlah utang pajak dibawah Rp. 100.000.000,(seratus juta rupiah). b. Diragukan itikad baiknya dalam melunasi pajak. c. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan atas permintaan Pejabat atau atasan Pejabat yang bersangkutan. i. B S 1) Penyandraan hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung Jawab yang: a. Mempunyai utang pajak sekurang-kurangnya sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan b. Diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak. 2) Penyandraan dilaksanakan berdasarkan Surat Perintah Penyandraan yang diterbitkan oleh Pejabat setelah

memperoleh izin tertulis dari Menteri Keuangan untuk penagihan Pajak Pusat dan dari Gubernur untuk penagihan Pajak Daerah. j. B S Sanggahan pihak ketiga terhadap kepemilikan barang yang disita hanya dapat diajukan kepada Pengadilan Pajak.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

35

5.

KUNCI JAWABAN a b c d e = = = = = B S B B B

TES FORMATIF f g h i j = = = = = B S S B S

6. UMPAN BALIK & TINDAK LANJUT Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif yang terdapat pada bagian akhir modul, dan hitunglah jumlah jawaban Anda yang benar. Kemudian gunakan rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda dalam materi Kegatan Belajar 1 / 2 Rumus : Jumlah jawaban Anda yang benar Tingkat penguasaan = 10 X 100%

Arti tingkat penguasaan yang Anda capai : 90% - 100% = 80% - 89% 70% - 79% 69% = = = Baik sekali Baik Cukup Kurang

Anda telah mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih? Bagus ! Anda harus mempelajari kembali Kegiatan Belajar 1 / 2 terutama bagian yang belum Anda kuasai.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

36

7. REFERENSI / DAFTAR PUSTAKA

a.

Rochmat Soemitro, H, Prof, DR, SH,

Dasar-Dasar Pajak

Hukum

Pajak 1994,

dan P.Y.

Pendapatan

Eresco, Bandung, 1977. b. . , Hukum Indonesia Pajak Internasional dan

Perkembangan

pengaruhnya, PT Eresco, Bandung 1977. c. . , Peradilan Hukum Administrasi Pajak di dalam Indonesia,

PT Eresco, 1976. d. . , Asas dan Dasar Perpajakan I,

PT Eresco, 1992. e. . , Asas dan Dasar Perpajakan II, PT Eresco, 1990. f. . , Asas dan Dasar Perpajakan II, PT Eresco, 1989. g. . , Pengantar Singkat Hukum Pajak, PT Eresco, 1987. h . , Pajak ditinjau dari segi hukum

PT Eresco, 1990. i. . , Asas-asas Hukum Perpajakan,

BPHN, Jakarta, 1991. j. Santoso Brotodihardjo, SH., Pengantar Ilmu Hukum,

PT Eresco, Bandung, 1986. k. Sindian I Djajadihardjo, SH., Prof, SH., Makna dari Hukum Fiskal Formal, Pidato pengukuhan GB, Bandung, 1981. l. . , Hukum Pajak dan Keadilan, PT Eresco, Bandung, 1985 m. Jajat Djuhadiat SS. SH, Pengantar Hukum Pajak, BPLK, Jakarta, 1993.

Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP

37

You might also like