You are on page 1of 12

FILSAFAT ARAB KLASIK Lia Dessy Kurniawati

1. Latar Belakang Filsafat Islam merupakan salah satu bidang studi Islam yang keberadaannya telah menimbulkan pro dan kontra. Sebagian mereka yang berfikir maju dan bersifat liberal cenderung mau menerima pemikiran filsafat Islam. Sedangkan bagi mereka yang bersifat tradisional yakni berpegang teguh pada dokrin ajaran Al-Quran dan Al-Hadits tekstual, cenderung kurang mau menerima filsafat bahkan menolaknya. Barangkali kita sepakat bahwa dengan mengkaji metodologi penelitian filsafat yang dilakukan para ahli, kita ingin meraih kembali kejayaan Islam di Bidang Ilmu pengetahuan sebagaimana yang pernah dialami di Zaman klasik. Filsafat islam atau yang disebut dengan filsafat arab adalah hasil karya para pemikir arab yang tidak hanya mengadopsi filsafat Yunani, tetapi juga mempunyai makna esensial tersendiri karena di dalam filsafat arab terkandung masalah ketuhanan, kenabian, manusia, dan alam semesta yang bersumber pada Al-Qur'an dan Hadis. Semua masalah yang dibahas dalam filsafat arab mempunyai dasar yang sangat rasional karena kedudukan akal di dalam ajaran agama Islam menempati posisi yang sangat tinggi. Filsafat arab adalah filsafat Islam karena bersumber pada kedua ajaran agama Islam yaitu Al-Qur'an dan Hadis. Filsafat arab lahir jauh sebelum munculnya filsafat barat. Sejarah perkembangan filsafat arab sangat panjang. Islam telah menghadirkan banyak tokoh filsafat yang berjasa di bidangnya, antara lain Al-Kindi, Al-Razi, Al-Ghazali, Ibnu Rusyd, dll. Di Indonesia sendiri terdapat seorang tokoh filsafat Islam yang sangat kontroversial yaitu Nurcholis Madjid atau Cak Nur. [1]

2. Pengertian pemikiran Filsafat Arab Banyak dikalangan para ahli berbeda dalam menamakan Filsafat arab. Apakah ia merupakan Filsafat Islam atau Filsafat Arab atau ada nama lain dari keduanya. Sebelum

sampai pada definisi Filsafat Arab, terebih dahulu kakan kta bahas mengenai makna filsafat. Dari segi bahasa, filsafat Islam terdiri dari gabungan kata filsafat dan Islam. Kata filsafat dari kata philo yang berarti cintaa, dan katasophos yang berarti ilmu atau hikmah. Dengan demikian secara bahasa filsafat berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah. Dalam hubungan ini, Al-Syaibani berpendapat bahwa filsafat bukanlah hikmah itu sendiri, melainkan cinta terhadap hikmah dan berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya dan menciptakan sikap positif terhadapnya. Untuk ini ia mengatakan bahwa filsafat berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat dan berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. Selanjutnya kata Islam berasal dari kata bahasa Arab aslama, yuslimu islaman yang berarti patuh, tunduk, pasrah, serta memohon selamat dan sentosa. Kata tersebut berasal dari salima yang berarti selamat, sentosa, aman dan damai. Selanjutnya Islam menjadi suatu istilah atau nama bagi agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad Saw. Sebagai Rasul. Islam pada hakikatnya membawa ajaran ajaran yang bukan hanya mengenai satu segi, tetapi mengenai berbagai segi kehidupan manusia. Sumber dari ajaran-ajaran yang mengambil berbagai aspek itu ialah Al-Quran dan Al-Hadits. Definisi lain mengenai filsafat Islam menurut para penulis Islam adalah sebagai berikut : Ibrahim Madkur, filsafat Islam adalah pemikiran yang lahir dalam dunia Islam unutk menjawab tantangan zaman, yang meliputi Allah dan alam semesta, wahyu dan akal, agama dan filsafat. Ahmad Fu'ad Al-Ahwany, filsafat Islam adalah pembahsan tentang alam dan manusia yang disinari ajaran Islam Muhammad 'Athif Al-'Iraqy, filsafat Islam secara umum di dalamnya tercakup ilmu kalam, ilmu ushul fiqih, ilmu tasawuf, dan ilmu pengetahuan lainnya yang diciptakan oleh intelektual Islam. Pengertiannya secara khusus, ialah pokok-pokok atau dasardasar pemikiran filosofis yang dikemukakan para filosof Muslim. Berdasarkan beberapa pemikiran tersebut, filsafat Islam dapat diketahui melalui 5 cirinya:

1. Dilihat dari segi sifat dan coraknya 2. Dilihat dari segi ruang lingkup pembahasannya 3. Dilihat dari segi Datangnya 4. Dilihat dari segi yang mengembangkannya 5. Dilihat dari segi kedudukannya Jadi, filsafat Islam adalah hasil karya pemikiran umat Islam dalam masalah ketuhanan, kenabian, manusia, alam semesta, dan ilmu pengetahuan lainnya yang berdasarkan atas ajaran Islam yang bersumber pada Al-Qur'an dan Hadis. Dari golongan yang memakai istilah Filsafat Islam, mereka beralasan karena kebanyakan tokoh-tokohnya bukan dari keturunan Semit, jelasnya bukan dari umat Arab. Oleh karena itu maka filsafat tersebut dipertalikan kepada islam, karena agama Islam mempunyai pengaruh kuat, dan juga karena filsafat tersebut berkembang di negeri-negeri Islam dibawah naungan Islam.[2] Prof. Tohir Abdul Muin, menyatakan Apabila Filsafat tersebut disebut dengan Filsafat Arab, berarti mengeluarkan orang Iran, orang Afganistan, orang Pakistan dan orang India. Dengan menyebut Arab,berarti seharusnya mengecualikan Ibnu Sina dan alGhazali yang berasal dari Persia dan al-Farabi yang berasal dari Turki. Dan bukankah juga motif para filsuf ini lebih didorong oleh motif dan semangat peradaban Islam dibandingkan semangat ke Araban.[3]Oleh karenanya beliau memilih memakai istilah Filsafat Islam. Sedangkan seperti Lutfi As Sayyid dan Emik Brehier memakai istilah Filsafat Arab dengan alasan bahwa filsafat tersebut ditulis dalam bahasa Arab atau ia diterjemahkan kedalam bahasa Arab dengan menambah unsur-unsur baru dalam bahasa Arab juga.[4] Sebenarnya perbedaaan istilah tersebut hanya perbedaan nama saja, sebab bagaimanapun juga hidup dan suburnya pemikiran fllsafat tersebut adalah dibawah naungan Islam dan kebanyakan ditulis dalam bahasa Arab. Kalau yang dimaksud dengan Filsafat Arab ialah bahwa filsafat tersebut adalah hasil orang Arab semata tidak benar. Sebab kenyataan menunjukkan bahwa Islam telah mempersatukan berbagai umat, dan kesemuanya telah ikut serta dalam memberikan sunmbangannya dalam filsafat tersebut. Sebaliknya kalau yang dimaksud dengan Filsafat Islam adalah hasil pemikiran kaum muslimin semata-mata, juga berlawanan dengan sejarah karena mereka pertam-

tama berguru dengan orang Yahudi dari kegiatan mereka dalam berilmu dan berfilsafat selalu dengan orang-orang Yahudi pada masanya.

3. Sejarah pemikiraan Filsafat Arab klasik Filsafat Islam lahir sebelum munculnya filsafat barat, karena kelahirannya setelah filasafat Yunani dan mengadopsi filsafat Yunani. Filsafat ini tidak meninggalkan ajaranajaran agama Islam, tetapi banyak mengkaji ajaran agama Islam. Filsafat Islam ini disebut juga dengan filsafat Arab karena tokoh-tokohnya merupakan para muslim baik yang lahir di Arab maupun yang berasal dari Arab tapi hidup di wilayah Barat. Filsafat Islam bersumber pada ajaran Al-Qur'an dan Hadis. Pengertian Filsafat Islam yang dikemukakan oleh Amin Abdullah. Dimana ia mengatakan: meskipun saya tidak setuju untuk mengatakan bahwa filsafat Islam tidak lain dan tidak bukan adalah rumusan pemikiran Muslim yang ditempeli begitu saja dengan konsep filsafat Yunani, namun sejarah mencatat bahwa mata rantai yang menghubungkan gerakan pemikiran filsafat Islam era kerajaan Abbasiyah dan dunia luar di wilayah Islam, tidak lain adalah proses panjang asimilasi dan akulturasi kebudayaan Islam dan kebudayaan Yunani lewat karya karya filosof Muslim, seperti Alkindi ( 185 H/801 M. 260 H/ 873 M), Al-Farabi ( 258 H/ 870 M 339 H/ 950 M), Ibn Miskawaih ( 320 H./ 923 M 421 H./ 1030 M.) Ibn Sina ( 370 H/ 980 M. 428 H/ 1037 M), AlGhazali (450 H/1058 M. -505 H/ 1111 M) dan Ibnu Rusyd ( 520H/ 1126 M- 595 H/1198 M) dn lain lain.[5] Berikut sejarah singkat mengenai pemikiran Filsafat Arab : Pemikiran Arab Klasik Pada awal perkembangan Islam, ketika Rasul SAW masih hidup. Semua persoalan bisa diselesaikan dengan cara ditanyakan langsung kepada beliau, atau diatasi dengan jalan kesepakatakan diantara para orang yang memiliki ilmu. Akan tetapi, hal itu tidak bisa lagi dilakukan setelah Rasul wafat dan persoalan-persoalan semakin banyak dan rumit seiring dengan perkembangan Islam yang demikian cepat. Jalan satu-satunya adalah kembali kepada sumber ajaran Islam yaitu Al-Qur`an dan Hadis lewat berbagai pemahaman. Bersamaan dengan itu, dalam teologi, masyarakat Islam juga dituntut untuk menyelaraskan pandangan-pandangan yang tampaknya

kontradiktif dan rumit, untuk selanjutnya mensistematisasikannya dalam suatu gagasan metafisika yang utuh. Pemikiran Yunani dalam Pemikiran Arab atau Islam Peradaban dan filsafat Yunani telah mulai dikenal dan dipelajari oleh kaum sarjana di kota Antioch, Haran, Edessa dan Qinnesrin (wilayah Syiria utara), juga di Nisibis dan Ras`aina (wilayah dataran tinggi Iraq) sejak abad ke IV M. Kegiatan akademik ini tetap berjalan baik dan tidak terganggu oleh penaklukan tentara muslim ke wilayah tersebut yang terjadi pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab (634-644 M). Buku-buku dan ilmu-ilmu pengetahuan Yunani di terjemahkan ke dalam bahasa Arab dalam masa kekhalifahan Bani Ummayah (661-750 M). Pemikiran filsafat Yunani benar-benar mulai bertemu dan dikenal dalam pemikiran Arab-Islam setelah masa pemerintahan Bani Abass, khususnya sejak dilakukan program penterjemahan buku-buku filsafat yang gencar dilakukan pada masa kekuasaan al-Makmun (811-833 M). Saat itu muncul banyak doktrin yang kurang lebih hiterodok yang datang dari Iran, India, Persia atau daerah lain dari pinggiran Islam, seperti Mazdiah, Manikian, materialisme, atau bahkan dari pusat Islam sendiri sebagai akibat dari pencarian bebas yang berubah bentuk menjadi pemikiran bebas seperti penolakan terhadap wahyu dan lainnya yang dikategorikan dalam istilah zindiq. Untuk menjawab serangan doktrin-doktrin ini, para ulama merasa perlu untuk mencari sistem berfikir rasional dan argumen-argumen yang masuk akal, karena metode sebelumnya sudah tidak memadai lagi untuk menjawab persoalan-persoalan baru yang sangat beragam. Metode rasional filsafat Yunani semakin masuk sebagai salah satu sistem pemikiran Arab-Islam. Akal atau rasiolah yang menjadi hakekat kemanusiaan, dan akal adalah satu-satunya alat untuk memperoleh pengetahuan tentang dunia fisik dan tentang konsep baik dan buruk; setiap sumber pengetahuan lain yang bukan akal hanya omong kosong, dugaan belaka, dan kebohongan. Filsafat Yunani menduduki posisi puncak pada masa Ibnu Sina ( 980-1037 M). Akan tetapi, segera setelah Ibn Sina, filsafat Yunani kembali mengalami kemunduran. Filsafat Yunani, khususnya Aristotelian, kemudian muncul lagi dalam arena pemikiran Islam pada masa Ibn Rusyd. Pemikiran Arab Kontemporer

Usaha-usaha menghidupkan kembali tradisi filsafat telah dilakukan sejak kurang dari satu abad setelah kembalinya Tahtawi dari Paris. Dimulai oleh Mushthafa 'Abd al-Raziq (1885-1946). Para filsuf Arab modern berusaha menciptakan madzhab-madzhab dan kelompok pemikiran sendiri. Pada masa kini penggunan akal dan rasio semakin ditingkatkan. Selain itu, pemikiran arab kontemporer juga mendapat pengaruh dari filsafat barat.

4. Tokoh- tokoh Filsafat Arab klasik 1. Al-Kindi Nama lengkapnya Abu Yusuf Ya'cub ibnu Ishaq ibnu Al-Shabbah ibnu 'Imran ibnu Muhammad ibnu Al-Asy'as ibnu Qais Al Kindi. Ia dilahirkan di Kufah sekitar tahun 185 H (801 M). Ayahnya, Ishaq Ash- Shabbah, adalah Gubernur Kuffah pada masa pemerintahan Al- Mahdi dan Harun Al- Rasyid dari Bani Abbas. Ayahnya meninggal beberapa tahun setelah Al- Kindi lahir. Dengan demikian Al- Kindi dibesarkan dalam keadaan yatim. Memperhatikan tahun lahirnya, dapat diketahui bahwa Al- Kindi hidup pada masa keemasan kekeuasaan Bani Abbas. Pada masa kecilnya,Al- Kindi memperoleh pendidikan di Bashrah dan sempat merasakan masa pemerintahan Khalifah Harun Al Rasyid dimana perkembangan lmu pengetahuan bagi kaum Muslim sangat di utamakan.Al- Kindi menguasai banyak sekali ilmu pengetahuan seperti ilmu astronomi, ilmu ukur, ilmu alam, astrologi, ilmu pasti, ilmu seni musik, optika, ilmu kedokteran, filsafat, dan politik. Jumlah karangan Al- Kindi sangat sukar ditentukan karena beberapa sebab. Karya Al- Kindi berupa makalah misalnya yang berjudul Rasail Al-kindi AlFalasifah yang berisi 29 makalah.[6]Karangan-karangan Al- Kindi mengenai Filsafat menunjukan ketelitian dan kecermatannya dalam memberikan batasan- batasan makna istilah-istilah yang dipergunakan dalam terminologi ilmu filsafat. Masalahmasalah filsafat yang dibahas mencakup epistimologi, metafisika, etika dan sebagainya. Al- Kindi menyebutkan adanya tiga macam pengetahuan manusia, yaitu: a. Pengetahuan inderawi.

b. Pengetahuan yang diperoleh dengan jalan menggunakan akal yang disebut pengetahuan rasional. c. Pengetahuan yang diperoleh langsung dari Tuhan yang disebut

pengetahuan isyraqi. Al-Kindi membagi filsafat kepada tiga bagian, yaitu: (1) thibiyyat (ilmu fisika), sebagai tingkatan yang paling bawah; (2) al-ilm-ur-riyadli (matematika), sebagai tingkatan tengah-tengah; (3) ilm-ur-Rububyyah (ilmu ketuhanan), sebagai tingakatan yang paling tinggi. Alasan pembagian tersebut ialah karena ilmu adakalanya berhubungan dengan sesuatu yang dapat diindra, yaitu sesuatu yang ber-benda, yaitu fisika; atau adakalanya berhubungan dengan benda tetapi mempunyai wujud sendiri, yaitu matematika, yang terdiri dari ilmu hitung, tehnik, astronomi dan music; atau tidak berhubungan dengan benda tetapi mempunyai wujud sendiri, yaitu matematika yang terdiri dari ilmu hitung, tehnik, astronomi dan music; atau tidak berhubungan dengan benda sama sekali, yaitu ilmu Ketuhanan. Sebagai seorang pelopor yang dengan sadar berusaha mempertemukan agama dan Filsafat Yunani. Al-kindi banyak menghadapi tantangan para ahli agama. AlKindi mengatakan bahwa filsafat adalah semulia-mulia ilmu yang tertinggi martabatnya, dan filsafat menjadi kewajiban setiap ahli fikir untuk memiliki filsafat itu. Al- Kindi sendiri sebagai filosof muslim tidak kehilangan kepribadiannya berhadapan dengan pendapat filosof yang dianutnya. Misalnya dalam membcarakan masalah kejadian alam, beliau tidak sependapat dengan Aristoteles yang mengatakan bahwa alam itu abadi. Ia tetap berpegang pada keyakinanya bahwa alam adalah ciptaan Allah, yang diciptakan dari tiada dan akan berakhir menjadi tiada pula. Mengenai hakikat Tuhan, Al-Kindi mengatakan bahwa Tuhan adalah Wujud Yang Haq (sebenarnya), yang ada sejak awal dan akan senantiasa ada selamalamanya. Tuhan adalah Wujud yang sempurna yang tidak pernah didahului yang lain, dan wujud-Nya tidak akan pernah berakhir serta tidak ada wujud lain melainkan dengan perantaranya.[7]

2. Al-Razi Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad ibnu Zakaria ibnu Yahya AlRazi. Dia dilahirkan di Rayy, Iran pada tanggal 1 Sya'ban 251 M/ 865 M. Pada masa mudanya beliau tidak hanya respek terhadap ilmu kimia teteapi beliau juga mempelajari ilmu kedokteran(obat-obatan) pada seorang dokter yang sekaligus filosof yang bernama Ali Ibn Roban. Kemungkinan beliau pula yang menumbuhkan minat Al razi untuk bergelut dengan filsafat agama.[8] Al-Razi termasuk orang yang aktif berkarya. AdaPun buku-bukunya mencakup ilmu kedokteran, ilmu fisika, logika, matematika dan astronmi dan lain-lain. Bukubuku yang diciptakannya antara lain: Al Tibb al Ruhani, Al Shirath al Falsafiyah, Amarat Iqbal al Daulah, Kitab al Ladzdzah, Kitab al idn al Ilahi. Al-Razi di kenal sebagai orang yang ekstrim dalam teologi dan dikenal sebagai seorang rasionalis murni yang hanya mempercayai akal. Menurut al-Razi, semua pengetahuan, pada prinsipnya dapat diperoleh manusia selama ia menjadi manusia. Akal atau rasiolah yang menjadi hakekat kemanusiaan, dan akal adalah satu-satunya alat untuk memperoleh pengetahuan tentang dunia fisik dan tentang konsep baik dan buruk; setiap sumber pengetahuan lain yang bukan akal hanya omong kosong, dugaan belaka, dan kebohongan. Al-Razi juga menolak kenabian dengan tiga alasan: Bahwa akal telah memadai untuk membedakan baik dan buruk, berguna dan tidak berguna. Dengan rasio manusia telah mampu mengenal Tuhan dan mengatur kehidupannya sendiri dengan baik, sehingga tidak ada gunanya seorang nabi. Tidak ada pembenaran untuk pengistemewaan beberapa orang untuk membimbing yang lain, karena semua orang lahir dengan tingkat kecerdasan yang sama, hanya pengembangan dan pendidikan yang membedakan mereka. bahwa ajaran para nabi ternyata berbeda. Jika benar bahwa mereka berbicara atas nama Tuhan yang sama, mestinya tidak ada perbedaan.

Al-Razi sebenarnya filosuf yang hidup pada masa pendewaan akal secara berlebihan. Hal ini sebagaimana Mutazillah yang merupakan aliran theology dalam Islam. Apabila ia seorang muslim, maka ia muslim yang tidak senpurna (tidak

kaffah), karena tidak mempercayai adanya wahyu dan kenabian. Pemikiran filsafatnya tidak sistematis dan tidak teratur. Namun pada masanya ia dipandang sebagai pemikir ulung yang tegar dan liberal di dalam Islam. Bahkan dalam sejarah dialah satu-satunya pemikir rasional murni sangat mempercayai kekuatan akal, bebas dari segala prasangka, dan terlalu berani dalam mengemukakan gagasan-gagasan filosufinya. Beliau seorang yang bertuhan, dan mengaku Tuhan Maha Bijak, tetapi ia tidak mengakui wahyu-Nya/ajaran-Nya (agama). Sebaliknya mempercayai kemajuan dan pemikiran manusia. Kami mengakui tentang keberaniannya dalam penggunaan akal sebagai ukuran untuk menilai baik dan buruk, benar dan jahat atau berguna dan tidak berguna. Sehubungan dengan penolakan terhadap wahyu dan kenabian serta tidak mengakui adanya semua agama, maka dipandang dari segi theologi Islam adalah belum muslim karena keimanan yang dipeluknya tidak konsekuen dalam pengertian tidak utuh. Selebihnya wallahu alam bis shawab.

3. Al- Ghazali Nama lengkapnya adalah Muhammad ibnu Ahmad Al-Ghazali Al-Thusi. Ia dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M di Thus, suatu kota di Khurasan. Ayahnya seorang pekerja pembuat kain bulu(wol). Setelah ayahnya meningggal, AL Ghazali diasuh oleh seorang ahli tasawuf.Al-Ghozali pertama-tama belajar agama di kota Thus, kemudian di Jurjan dan akhirnya di Naisabur pada Imam Al- Juwaini. Semakin lama ia beranjak dewasa dan belajar berbagai ilmu maka mulai kelihatanlah tanda-tanda ketajaman otaknya yang luar biasa. Beliau dapat menguasai beberapa pokok ilmu pengetahuan pada masa itu, seperti ilmu mantiq (logika), falsafah dan Fiqh. Al-Ghozali adalah seorang ahli pikir Islam yang dalam ilmunya, dan mempunyai nafas panjang dalam karangan-karangannya. Puluhan buku yang telah ditulisnya yang meliputi berbagai lapangan ilmu, antara lain Teologi Islam, Hukum Islam(fiqh), Tasawuf, Tafsir dan lain-lain. Kitab-kitab karangannya seperti halnya Ihya Ulumuddin dan al-Maqidz min ad-Dlalal.[9]

Filsafat Yunani mengalami kemunduran karena serangan al-Ghazali, meski alGhazali sendiri sebenarnya tidak menyerang inti filsafat. Lewat tulisannya dalam Tahfut al-Falsifah yang kemudian diulangi lagi dalam al-Munqid min al-Dlalil, alGhazali, sebenarnya hanya menyerang persoalan metafisika, khususnya pemikiran filsafat al-Farabi (870-950) dan Ibn Sina (980-1037), meski serangan pada kedua tokoh ini sebenarnya tidak tepat, juga pada pemikiran para filosof Yunani purba, seperti Thales (545 SM), Anaximandros (547 SM), Anaximenes (528 SM) dan Heraklitos (480 SM) yang dengan mudah bisa dinilai posisinya dalam aqidah oleh orang awam, bukan ilmu logika atau epistimologinya, karena al-Ghazali sendiri mengakui pentingnya logika dalam pemahaman dan penjabaran ajaran-ajaran agama. Bahkan, dalam al-Mustashffi `ulm al-fiqh, sebuah kitab tentang kajian hukum, alGhazali menggunakan epistemologi filsafat, yakni burhani. Akan tetapi, kebesaran al-Ghazali sebagai Hujjat al-Islam setelah begitu mengungkung kesadaran masyarakat muslim, sehingga tanpa mengkaji kembali persoalan tersebut dengan teliti mereka telah ikut menyatakan perang dan antipati terhadap filsafat. Al-Ghazali menghantam pendapat-pendapat filsafat Yunani di antaranya : Al Ghazali menyerang dalil-dalil filsafat (Aristoteles) tentang azalinya alam dan dunia. Al Ghazali menyerang kaum filsafat (Aristoteles) tentang pastinya kejadian alam. Al Ghazali menyerang pendapat kaum filsafat bahwa Tuhan hanya mengetahui soal-soal yang besar saja, tetapi tidak mengetahui soal-soal yang kecil. Al Ghazali juga menentang pendapat filsafat bahwa segala sesuatu terjadi dengan kepastian hukum sebab dan akibat semata-mata mustahil ada penyelewengan dari hukum itu.[10]

5. Kesimpulan Pengertian filsafat Islam adalah pembahasan meliputi berbagai soal alam semesta dan bermcam-macam masalah manusia atas dasar ajaran-ajaran keagamaan yang turun

bersama lahirnya agama Islam. Berdasarkan beberapa pemikiran, filsafat Islam dapat diketahui melalui 5 cirinya : 1. Dilihat dari segi sifat dan coraknya 2. Dilihat dari segi ruang lingkup pembahasannya 3. Dilihat dari segi Datangnya 4. Dilihat dari segi yang mengembangkannya 5. Dilihat dari segi kedudukannya . Banyak dikalangan para ahli berbeda dalam menamakan Filsafat arab. Apakah ia merupakan Filsafat Islam atau Filsafat Arab, dan dari kedua pendapat itu pun mempunyai alasan masing-masing. Sejarah singkat mengenai pemikiran Filsafat Arab dimulaiPemikiran Arab Klasik. Pada awal perkembangan Islam, ketika RasulSAW masih hidup. Semua persoalan bisa diselesaikan dengan cara ditanyakan langsung kepada beliau, atau diatasi dengan jalan kesepakatakan diantara para orang yang memiliki ilmu. Akan tetapi, hal itu tidak bisa lagi dilakukan setelah Rasul wafat dan persoalan-persoalan semakin banyak dan rumit seiring dengan perkembangan Islam yang demikian cepat. Jalan satu-satunya adalah kembali kepada sumber ajaran Islam yaitu Al-Qur`an dan Hadis lewat berbagai pemahaman. Bersamaan dengan itu, dalam teologi, masyarakat Islam juga dituntut untuk menyelaraskan pandangan-pandangan yang tampaknya kontradiktif dan rumit, untuk selanjutnya mensistematisasikannya dalam suatu gagasan metafisika yang utuh. Kemudian dilanjutkan pemikiran ffilsafat arab kontemporer. Tokoh-tokoh filsafat arab klasik seperti Alkindi ( 185 H/801 M. 260 H/ 873 M), AlRazi ( 251 H/ 865 M 313 H/ 925 M), Al-Ghazali (450 H/1058 M. -505 H/ 1111 M) dan lain lain. Al kindi adalah filusuf Ilsam yang mula-mula secara sadar berupaya ajaranajaran Islam dengan filsafat Yunani. Sangat percaya kepada kemampuan akal untuk memperoleh pengetahuan yang benar tentang realitas. Tetapi dalam waktu yang sama diakuinya pula keterbatasan akal untuk mencapai pengetahuan metafisis. Oleh karenanya menurut al Kindi diperlukan adanya Nabi yang mengajarkan hal-hal di luar jangkuan akal manusia yang diperoleh dari wahyu Tuhan. Sehingga Al Kindi tidak sependapat dengan para filusuf Yunani dalm hal-hal yang dirasakan bertentangan dengan ajaran Islam yang diyakininya.

Al-Razi sebenarnya filosuf yang hidup pada masa pendewaan akal secara berlebihan. Hal ini sebagaimana Mutazillah yang merupakan aliran theology dalam Islam. Apabila ia seorang muslim, maka ia muslim yang tidak senpurna (tidak kaffah), karena tidak mempercayai adanya wahyu dan kenabian. Pemikiran filsafatnya tidak sistematis dan tidak teratur. Namun pada masanya ia dipandang sebagai pemikir ulung yang tegar dan liberal di dalam Islam. Bahkan dalam sejarah dialah satu-satunya pemikir rasional murni sangat mempercayai kekuatan akal, bebas dari segala prasangka, dan terlalu berani dalam mengemukakan gagasan-gagasan filosufinya. Al-Ghazali menghantam pendapat-pendapat filsafat Yunani di antaranya : Al Ghazali menyerang dalil-dalil filsafat (Aristoteles) tentang azalinya alam dan dunia. Al Ghazali menyerang kaum filsafat (Aristoteles) tentang pastinya kejadian alam. Al Ghazali menyerang pendapat kaum filsafat bahwa Tuhan hanya mengetahui soal-soal yang besar saja, tetapi tidak mengetahui soal-soal yang kecil. Al Ghazali juga menentang pendapat filsafat bahwa segala sesuatu terjadi dengan kepastian hukum sebab dan akibat semata-mata mustahil ada penyelewengan dari hukum itu.

You might also like