You are on page 1of 3

PENGALAMAN PAK UMAR

MENGANTARKAN ANAKNYA KE UNIT GAWAT DARURAT SEBUAH RUMAH


SAKIT KARENA KAKINYA PATAH
Oleh: Mohammad Abdullah
Dipakai sebagai studi kasus materi manajemen mutu pada DHM Course
Unair Surabaya, 25-05-2009 s/d 29-05-2009

Sore itu Pak Umar tekejut luar biasa, pasalnya anak laki laki semata wayangnya dipapah
oleh tetangga pulang ke rumah dengan kondisi kaki patah terbuka. Namun demikian, Pak
Umar masih memiliki akal sehat dan mampu mengambil keputusan dengan tepat untuk
langsung membawa anaknya ke unit gawat darurat rumah sakit yang jaraknya sekitar 7
kilometer dari rumahnya. Pada Saat itu tetangga Pak Umar memiliki inisiatif untuk
menelepon ambulans rumah sakit, namun dari resepsionis diperoleh jawaban bahwa
pihak rumah sakit tidak bisa mengirimkan ambulans karena sopir yang biasanya
membawa ambulans sedang cuti, sementara sopir pengganti baru saja minta ijin untuk
pulang sebentar karena menghadiri acara resepsi perkawinan tetangganya. Akhirnya
diputuskan untuk minta tolong tetangganya mencari mobil angkutan ke jalan raya yang
berjarak sekitar 1 kilo dari kampung Pak Umar. Setelah menunggu 35 menit, akhirnya
Pak Umar mendapatkan kendaraan untuk membawa anaknya ke Rumah sakit.
Sesampainya di UGD rumah sakit, anak Pak Umar langsung ditangani oleh 2 orang
perawat yang pada saat itu sedang piket. Petugas segera menangani pasien untuk
memberikan pertolongan pertama, namun sampai sekitar 1 jam belum ada dokter yang
menanganinya karena dokternya saat itu sedang melakukan visite ke poli rawat inap
akibat keterbatasan jumlah dokter di rumah sakit tersebut. Sementara itu salah seorang
perawat menginformasikan ke Pak Umar agar melakukan registrasi dahulu ke bagian
administrasi untuk mengurus jaminan pembiayaan atas pengobatan anaknya. Sebetulnya
Pak Umar adalah seorang Pegawai Negeri Sipil golongan II/d yang memiliki kartu
anggota asuransi kesehatan PNS, namun karena situasi yang kalut sehingga tidak
terfikir untuk membawa kartu tersebut pada saat berangkat ke rumah sakit. Pihak
administrasi tidak mau tahu alasan yang dikemukakan oleh pak Umar dan tetap meminta
uang DP senilai 1,5 juta rupiah bila tidak bisa menunjukkan kartu anggota asuransi
kesehatan saat itu juga. Bahkan pihak Rumah Sakit sempat mengancam kalau tidak dapat
memberikan uang DP, si pasien tidak akan dilayani. Bagi pak Umar tidak ada pilihan lain
selain kembali ke rumah untuk mengambil kartu Asuransi saat itu juga.
Sementara itu, si anak menangis karena tidak kuasa menahan sakit. Bu Umar melapor ke
perawat yang pada saat itu sedang asyik membaca sebuah tabloid wanita bahwa anaknya
kesakitan dan tidak kuasa menahan rasa sakit. Si perawat menyarankan kepada Bu Umar

untuk membantu menenangkan anaknya sambil menunggu dokter datang. Perawat bilang
bahwa pihak UGD sedang kehabisan obat penghilang rasa sakit dan masih menunggu
dokter datang agar dapat memberikan resep untuk membeli obat dimaksud. Si ibu juga
diperingatkan oleh perawat agar menyiapkan sejumlah uang untuk menebus obat yang
nanti harus dibeli setelah dokter datang dan membuatkan resep. Sekitar 2 jam kemudian
baru sang dokter datang dan memeriksa anak pak Umar. Sang dokter menanyakan kepada
perawat tentang tindakan apa yang telah dilakukan untuk menolong pasien. Sang dokter
marah-marah karena si perawat melapor bahwa si pasien belum diberikan suntikan
penghilang rasa sakit dengan alasan kehabisan obat. Disamping itu, kartu rekam medik
juga belum diisi oleh perawat. Dalam kemarahannya sang dokter mengeluhkan buruknya
administrasi penggunaan obat serta sempat melontarkan tuduhan adanya pihak-pihak
yang ditengarai sering mengambil obat rumah sakit untuk dibawa pulang. Sang dokter
juga complain kepada perawat yang dianggap tidak bisa bekerja dengan baik.
Sementara itu si perawat berbisik kepada temannya, bahwa enak saja si dokter
menyalahkan orang lain, tapi tidak pernah mau tahu perasaan orang. Dari pagi si perawat
sudah merasa capek karena sift jaga bagi perawat adalah dari jam 7 pagi sampai jam 7
malam. Si perawat juga merasa pihak manajemen rumah sakit kurang memperhatikan
kesejahteraan karyawan. Bagi si perawat, pasien sedikit ataupun banyak tidak ada
efeknya bagi kesejahteraan karyawan.
Si ibu berinisiatif untuk menanyakan ke dokter tentang bagaimana penanganan
selanjutnya untuk anaknya. Si dokter hanya bilang bahwa anaknya harus dioperasi. Si ibu
menanyakan kapan anaknya akan dioperasi dan dokter hanya menjawab tunggu informasi
labih lanjut karena besuk paginya masih menunggu informasi dan jadwal dari dokter
bedah. Sementara itu juga tidak ada inisiatif dari perawat untuk calling dokter bedah
meskipun sebetulnya harus dilakukan operasi cito.
Pada pagi harinya, Bu Umar akhirnya agak sedikit lega karena sudah mendapatkan
kepastian bahwa anaknya akan dioperasi pada jam 09.30. Namun, rasa lega tersebut
mendadak menjadi sirna lantaran operasi yang telah siap dilakukan, terpaksa harus
tertunda gara-gara listrik padam. Sementara genset rumah sakit tidak bisa dinyalakan
akibat kerusakan sejak 3 hari yang lalu. Sehingga pelaksanaan operasi harus menunggu
listrak menyala dengan tanpa ada kepastian kapan listrik akan menyala.
Setelah operasi dilakukan, anak Pak Umar kemudian dirawat di ruang perawatan kelas III
sesuai dengan aturan asuransi bagi keluarga PNS golongan II. Lagi-lagi rasa tidak
nyaman harus dialami oleh keluarga Pak Umar karena di ruang tersebut tidak tersedia

kamar mandi di dalam ruangan. Sehingga bila ada pasien yang akan buang air harus
keluar ruangan dengan jarak sekitar 25 meter, padahal hanya tersedia sebuah kursi roda
untuk 2 ruang perawatan kelas tiga yang berkapasitas 8 orang per ruangan. Dalam
ruangan tersebut juga tidak ada penyekat antar tempat tidur sehingga sangat mengganggu
privasi pasien.
Setelah 20 hari dirawat, akhirnya anak Pak Umar diperbolehkan pulang namun harus
rutin kontrol ke pelayanan rawat jalan rumah sakit. Dengan hati yang gembira, Pak Umar
menuju bagian administrasi untuk menyelesaikan segala urusan terkait dengan
kepulangan anaknya. Alangkah terkejutnya Pak Umar karena oleh bagian administrasi
disodori kwitansi senilai 6 juta rupiah sebagai pembayaran tambahan dengan alasan
tidak semua biaya perawatan anaknya ditanggung oleh asuransi. Dengan suara terbatabata Pak Umar menanyakan rincian biaya senilai 6 juta tersebut. Namun dengan suara
agak keras petugas mengatakan bahwa biaya tambahan tersebut sudah sesuai dengan
ketentuan pihak manajemen rumah sakit dan kalau Pak Umar membutuhkan rincian biaya
tersebut harus minta ijin kepada direktur rumah sakit dan itu tidak gampang. Akhirnya
dengan langkah lunglai Pak Umar meninggalkan bagian administrasi tersebut sambil
mengelus dada dengan perasaan sedih dan kalut karena tidak tahu harus kepada siapa Ia
akan pinjam uang untuk melunasinya.

Note: Pada kasus ini baik setting, pelaku, lokasi maupun unsur-unsur lainnya adalah fiktif
semata dan hanya diperuntukkan untuk studi kasus dalam pembelajaran.

You might also like