You are on page 1of 13

Seminar Nasional Sustainability dalam Bidang Material, Rekayasa dan Konstruksi Beton

213

KONSTRUKSI RAMPING UNTUK MENCAPAI KONSTRUKSI YANG
BERKELANJUTAN
1


Muhamad Abduh
2



Abstrak:
Konstruksi yang berkelanjutan (sustainable construction) sudah menjadi tema yang populer dan selalu
menjadi rujukan dalam menilai sejauh mana kinerja produk jasa konstruksi saat ini terutama di negara
yang sudah maju. Spesifikasi umum dan teknis yang harus dipenuhi dalam suatu proyek konstruksi akan
ditambahkan dengan beberapa kriteria yang terkait dengan pencapaian konstruksi yang berkelanjutan ini.
Terdapat konsekuensi dari kebutuhan ini berupa peningkatan biaya proyek yang berkisar antara 5%
hingga 10%. Pada makalah ini akan disampaikan mengenai konsep konstruksi yang berkelanjutan serta
konsekuensinya. Selain itu akan didiskusikan pula konsep konstruksi ramping (lean construction) yang
merupakan bagian penting untuk mencapai konstruksi yang berkelanjutan dengan usaha pengurangan
pemborosan (waste) sebagai trade-off dari kecenderungan biaya yang relatif lebih tinggi untuk
mencapai spesifkasi konstruksi yang berkelanjutan.

Kata Kunci: konstruksi yang berkelanjutan, konstruksi ramping, production control, supply chain
management, work structuring


1. Pendahuluan

Saat ini kebutuhan akan fasilitas fisik atau sarana dan prasarana untuk mendukung kehidupan
manusia tidak hanya ditujukan untuk kehidupan sesaat dan terbatas, tetapi harus juga ditujukan
untuk kehidupan yang akan datang. Hal ini merupakan suatu kesadaran yang terlambat namun
penting untuk segera dilakukan akan pentingnya pembangunan fasilitas fisik yang
memperhatikan aspek keberlanjutan atau sustainable development. Terkait dengan kebutuhan
akan hal tersebut pada industri konstruksi, maka konsep kontruksi yang berkelanjutan
(sustainable development) menjadi penting karena industri konstruksi merupakan mata rantai
signifikan untuk mendukung pengembangan fasilitas fisik. Manfaat dari konsep konstruksi yang
berkelanjutan adalah nyata dan besar untuk dan menciptakan kehidupan yang berkualitas,
seperti penghematan energi, kualitas lingkungan yang baik, fasilitas fisik yang sehat,
peningkatan produktivitas, dan penggunaan sumber daya yang minimal.

Namun demikian, pemenuhan terhadap konsep konstruksi yang berkelanjutan ini memberikan
konsekuensi kepada industri konstruksi untuk menambah syarat atau spesifikasi yang pada
akhirnya membutuhkan peningkatan jumlah serta kualitas sumber daya yang lebih, seperti
kebutuhan akan tenaga profesional multidisiplin, tingkat analisa yang lebih dalam dan
kompleks, pemilihan material dan metoda yang lebih hati-hati, kebutuhan sertifikasi, dan lain-

1
Disampaikan pada Seminar Nasional: Sustainability dalam Bidang Material, Rekayasa, dan Konstruksi Beton,
Kelompok Keahlian Rekayasa Struktur, FTSL, ITB, 4 Desember 2007
2
Staf Pengajar, Kelompok Keahlian Manajemen dan Rekayasa Konstruksi, FTSL, ITB
Back to Table of Contents
Seminar Nasional Sustainability dalam Bidang Material, Rekayasa dan Konstruksi Beton




214
lain. Pada akhirnya, semua konsekuensi dari konstruksi yang berkelanjutan akan meningkatkan
biaya konstruksi cukup signifikan mulai 5% hingga 10% (Smith, A dalam Lapinski 2006). Hal
ini tentunya akan membuat konsep konstruksi yang berkelanjutan ini tidak menarik untuk
diimplementasikan.

Di lain pihak, secara umum, industri konstruksi masih bergelut dengan permasalahan
ketidakefisienan dalam pelaksanaan proses konstruksinya. Masih terlalu banyak pemborosan
(waste) berupa kegiatan yang menggunakan sumber daya tetapi tidak menghasilkan nilai yang
diharapkan (value). Berdasarkan pada data yang disampaikan oleh Lean Construction Institute,
pemborosan pada industri konstruksi sekitar 57% sedangkan kegiatan yang memberikan nilai
tambah hanya sebesar 10%. J ika dibandingkan dengan industri manufaktur, maka industri
konstruksi harus belajar banyak dari industri manufaktur dalam mengelola proses produksinya
sehingga jumlah waste dapat dikurangi dengan sekaligus meningkatkan value yang didapat.
Industri konstruksi telah mengadopsi dan belajar dari industri manufaktur dengan melakukan
adopsi teori produksi yang dinamakan Lean Production kapada proses konstruksi, yang
selanjutnya disebut Konstruksi Ramping (Lean Construction) (Koskela 1992).

Konstruksi ramping, dalam hal ini, tentunya akan signifikan untuk diterapkan pada konstruksi
pada umumunya, dan seperti gayung yang bersambut untuk menjawab tantangan terhadap
permasalahan implementasi konstruksi yang berkelanjutan.

2. Konstruksi yang Berkelanjutan
Konstruksi yang berkelanjutan adalah suatu konsep yang ditawarkan oleh pelaku di industri
konstruksi untuk menjawab tantangan akan kebutuhan pengembangan yang berkelanjutan
(sustainable development) (Huovila dan Koskela 1998). Pengembangan yang berkelanjutan
sendiri adalah konsep pembangunan yang ditujukan untuk menyediakan kualitas kehidupan
yang lebih baik untuk semua orang saat ini dan untuk generasi yang akan datang. Dalam hal ini
pengembangan yang berkelanjutan melingkupi tiga tema penting, yaitu sosial, lingkungan dan
ekonomi (Khalfan 2002) seperti terlihat dalam Gambar 1. Pengembangan yang berkelanjutan
dengan demikian harus memenuhi tujuan sosial, tujuan lingkungan serta ekonomi sekaligus.
Back to Table of Contents
Seminar Nasional Sustainability dalam Bidang Material, Rekayasa dan Konstruksi Beton




215

Gambar 1: Tema Pengembangan yang Berkelanjutan (Khaflan 2002)

Pengembangan yang berkelanjutan sering diartikan hanya pada tema pelestarian lingkungan
semata. Namun sebenarnya, sebagaimana tergambar pada gambar di atas, permasalahan
keberlanjutan (sustainability) tidak hanya masalah lingkungan. Masalah lingkungan akan sangat
terkait dengan isu-isu lain, seperti kemiskinan, kependudukan, pengangguran dll., dan kadang
merupakan akar permasalahan dari masalah lingkungan. Tantangan-tantangan yang dihadapi
setiap negara akan berbeda tergantung sejauh mana negara tersebut telah berkembang (Hart
1997).

Praktek konsep konstruksi yang berkelanjutan saat telah dilakukan dengan tingkat yang
berbeda-beda untuk setiap industri konstruksi di berbagai negara sesuai dengan sejauh mana
perkembangan atau kemajuan masing-masing negara. Untuk negara-negara berkembang seperti
di Indonesia, tema sosial-ekonomi yaitu penyediaan lapangan kerja lebih tinggi dibandingkan
dengan tema lingkungan. Sebaliknya negara-negara maju telah dengan sangat cepat menerapkan
spesifikasi ketat pada industri konstruksi pada tema lingkungan, seperti negara Belanda,
Finlandia, Amerika, Inggris, Irlandia, Belgia, J epang, Afrika Selatan, Romania, Italia, Perancis
dan Spanyol (Huovila dan Koskela 1998). Sebagai catatan di sini, untuk Indonesia, konsep
konstruksi yang berkelanjutan ini masih sebatas slogan semata, belum masuk kepada ranah
implementasi yang terkonsepsi dan teroganisasi dengan baik oleh berbagai pihak yang ada di
industri konstruksi.
Ada terdapat enam prinsip dalam konstruksi yang berkelanjutan (Kibert 1994):
1. Meminimalkan konsumsi sumber daya
2. Maksumalkan pemanfaatan kembali (re-use) sumber daya
3. Menggunakan sumber daya yang terbarukan (renewable) dan didaur ulang (recycleable)
4. Melestarikan lingkungan alam
5. Menciptakan lingkungan yang sehat dan tidak berbahaya
6. Menjadikan kualitas sebagai tujuan dalam membangun

Back to Table of Contents
Seminar Nasional Sustainability dalam Bidang Material, Rekayasa dan Konstruksi Beton




216
Berdasarkan hal tersebut, telah berkembang beberapa inisiatif dan strategi pelaksanaan
konstruksi yang berkelanjutan pada beberapa industri di beberapa negera, seperti:
1. Green Buildings yang merupakan kombinasi tata ruang, perancangan bangunan, proses
konstruksi yang dapat mengurangi dampak negatif pada lingkungan sekitarnya.
2. Sustainable Design yang merupakan langkah awal dan paling menentukan dalam
menciptakan spesifikasi untuk konstruksi yang berkelanjutan.
3. Environmental Assessment sebagai alat untuk mereview dan meningkatkan kinerja
rencana atau rancangan terhadap lingkungannya.
4. Lyfe Cycle Cost (LCC) dan Life Cycle Assessment (LCA) merupakan alat untuk
menilai sejauh mana dampak ekonomi dan juga lingkungan dari suatu rancangan dan
pelaksanaan konstruksi.
5. Standards yang merupakan spesifikasi untuk perusahaan menerapkan pengelolaan
lingkungan yang baik, seperti keluarga ISO 14000.

Masih terlihat pada contoh inisiatif dan strategi di atas, bahwa konstruksi yang berkelanjutan
masih terfokus kepada lingkungan dan sedikit ekonomi. Belum ada strategi yang fokus kepada
tema ekonomi secara lengkap, begitu pula kepada tema sosial, apa lagi yang fokus kepada
semua tema secara terpadu.

3. Konsep Konstruksi Ramping
Pada intinya, konstruksi ramping merupakan penerapan lean principles yang diterapkan pada
industri manufaktur kepada industri konstruksi dengan tujuan untuk meningkatkan value dan
mengurangi waste. Prinsip-prinsip lean adalah sebagai berikut (Womack dan J ones, 1996):
1. Value. Pendefinisian nilai harus sangat spesifik dan dilakukan oleh customer akhir.
2. The Value Stream. Harus didesain sedemikian rupa sehingga terdapat perpindahan nilai
yang terdefinisi dari suatu kegiatan ke kegiatan yang lain, mulai dari kegiatan problem-
solving di awal, kemudian ke kegiatan pengelolaan informasi, dan kepada kegiatan
transformasi dari material mentah hingga produk akhir.
3. Flow. Perpindahan nilai tersebut harus dilakukan secara mengalir, tidak ada hambatan.
4. Pull. Untuk menghindari produk yang tidak terpakai, dan mengurangi waste, maka
produk sebaiknya diproduksi ketika diminta oleh pengguna.
5. Perfection. Kegiatan memperbaiki semua proses dengan terus menerus harus dilakukan
untuk mencapai kesempurnaan.

Untuk melaksanakan konstruksi ramping pada setiap tahap, terdapat alat (tools) yang
dibutuhkan untuk menciptakan rangkaian value dan flow yang baik dengan alat Work
Structuring dan Production Control. Beberapa alat lain yang dibutuhkan dalam konstruksi
Back to Table of Contents
Seminar Nasional Sustainability dalam Bidang Material, Rekayasa dan Konstruksi Beton




217
ramping merupakan alat manajemen yang sudah ada sejak lama di dunia manufaktur dan telah
diterapkan dengan berhasil, seperti supply chain management, pre-fabrication, pre-assembly,
standardization, constructability, just in time dan lain-lain. Selanjutnya akan dijelaskan secara
singkat beberapa alat tersebut, yaitu work structuring, supply chain management dan production
control.

3.1. Work Structuring
Work Structuring (WS) adalah terminologi yang diciptakan oleh Lean Construction Institute
(LCI) untuk kegiatan pengembangan rancangan proses dan operasi yang dilakukan bersamaan
seiring dengan perancangan produk, penentuan struktur supply chain, pengalokasian sumber
daya dan usaha perancangan untuk pelaksanaan. Tujuan dari WS ini adalah untuk membuat
aliran kegiatan yang lebih andal dan cepat tanpa mengurangi value kepada customer. Dalam
perancangan proses tersebut, variasi produktivitas antar pekerjaan dan juga interaksi antar
pekerjaan harus dipertimbangkan. Dengan demikian akan diharapkan dapat meminimalkan
waste baik berupa inventory maupun work in process.

WS ini merupakan hal yang biasanya tidak banyak dilakukan pada saat tahapan perancangan
(design) berlangsung. Karena biasanya perancang (designer) hanya melakukan perancangan
produk (product design) saja yang harus sesuai dengan kebutuhan customer atau owner, namun
tidak merancang bagaimana proses produksinya. Biasanya diasumsikan bahwa pihak kontraktor
yang akan melakukannya. Ini merupakan praktek dan permasalahan fragmentasi di dunia
konstruksi yang terpecah belah menjadi banyak pihak yang terlibat pada seluruh daur hidup
proyek konstruksi. Waste banyak terjadi karena hasil rancangan tidak dapat dilaksanakan oleh
pihak pelaksana karena terjadinya miskomunikasi.

Sebenarnya terdapat praktek yang telah dilakukan saat ini bahwa perancang melakukan juga
kajian kemampu-laksanaan suatu proyek konstruksi yang biasa disebut constructability dan
usulan metoda pelaksanaan dari perancang untuk rancangan yang dibuatnya. Tetapi hal ini
terkadang masih belum memadai, karena tidak dibarengi dengan antisipasi hal-hal penting
lainnya seperti perancanaan sumber daya serta struktur supply chain-nya. Pada konsep
konstruksi ramping hal tersebut menjadi kunci untuk mengurangi variasi dan tentunya
ketidakpastian yang mungkin terjadi pada saat pelaksanaan di lapangan.

J ika tahapan pelaksanaan konstruksi diasumsikan telah ditetapkan dengan tahapan yang telah
disampaikan pada bagian pendahuluan dan constructability telah dilakukan pada saat design,
maka Gambar 2 berikut ini adalah jadwal yang disusun dengan menggunakan metoda linear
scheduling (hanya terbatas 3 pekerjaan awal) yang dapat menggambarkan perlunya WS
Back to Table of Contents
Seminar Nasional Sustainability dalam Bidang Material, Rekayasa dan Konstruksi Beton




218
dilakukan. Pada gambar ini, WS merupakan usaha perubahan penjadwalan dengan
memperhatikan keseimbangan produktivitas antar pekerjaan untuk menciptakan aliran yang
baik.




Gambar 2: Penyeimbangan Pekerjaan dengan WS

Garis yang solid pada Gambar 2 menunjukkan jadwal awal yang hanya direncanakan dengan
menggunakan perkiraan produktivitas masing-masing pekerjaan tanpa melihat keterkaitannya
dengan pekerjaan lain dan keseimbangan antar pekerjaan. Terlihat bahwa terdapat pemborosan
karena sumber daya yang akan melakukan pekerjaan Pekerjaan 2 pada Seksi 2 harus menunggu
lahan selesai digunakan oleh sumber daya yang mengerjakan pekerjaan Pekerjaan 1 yang belum
selesai. Di lain pihak, pekerjaan Pekerjaan 2 meninggalkan tempat kerja yang kosong untuk
beberapa lama sebelum Pekerjaan 3 dapat dilaksanakan di Seksi 2. Konsep penyeimbangan
dilakukan untuk mengurangi pemborosan tersebut di atas yang digambarkan dengan
penyeimbangan produktivitas seluruh pekerjaan. Tentunya penyeimbangan ini tidak hanya ada
di atas kertas dalam bentuk perencanaan jadwal, tetapi juga harus dibarengi dengan pembagian
tim kerja yang baik, mempertimbangkan kondisi lapangan, perencanaan produktivitas yang
ditentukan serta supply chain yang baik.

3.2. Supply Chain Management
Waktu
Seksi
Seksi 1
Seksi 2
Pekerjaan 1
Pekerjaan 2 Pekerjaan 3
Waktu Pelaksanaan dengan Balancing
Waktu Pelaksanaan Awal
Back to Table of Contents
Seminar Nasional Sustainability dalam Bidang Material, Rekayasa dan Konstruksi Beton




219
Supply Chain Management (SCM) dalam konteks proyek konstruksi adalah kegiatan mengatur,
mengkoordinasikan, dan mengintegrasikan aliran material dengan aliran informasi di antara
seluruh pihak yang terlibat dalam proyek konstruksi. Kondisi konstruksi ramping dalam SCM
dicapai bila setiap stakeholder telah memiliki kesamaan visi dalam mencapai tujuan proyek.
Pada kondisi ini terlihat bahwa waste yang berhubungan dengan aliran material dan aliran
informasi dapat diminimalkan bahkan dihilangkan. Hubungan antar stakeholder diikat dalam
bentuk relational contract sehingga koordinasi antar stakeholder baik secara horizontal maupun
secara vertical dapat berlangsung dengan lebih baik lagi.

Dengan demikian SCM merupakan pengelolaan seluruh pihak yang terlibat dalam mensuplai
sumberdaya mulai dari hulu hingga hilir rantai kegiatan. Pengelolaan tersebut ditekankan agar
dapat menghindari penumpukan sumber daya yang tidak berguna (waste) dan terjadi flow antara
kegiatan yang memerlukan sumber daya tersebut. Sehingga SCM akan sangat erat kaitannya
dengan sistem outsourcing dan procurement serta hubungan antar pihak yang terkait.

Pada Gambar 3 yang dikembangkan oleh OBrien et. al. (2002), terlihat keterlibatan beberapa
pihak dalam proses produksi yang terjadi di dalam site (in site production), juga menunjukkan
adanya rangkaian pihak yang menunjukkan proses produksi yang terjadi luar site (off site
production). Rangkaian aktifitas subkontraktor sebagai pihak yang memberikan input pada site
konstruksi dipahami sebagai pihak yang dapat melakukan proses produksinya diluar site.

Pada intinya, SCM harus dilaksanakan untuk menjamin value yang sudah ditetapkan tidak akan
berkurang sehubungan dengan terdapatnya banyak pihak yang terkait yang terkadang berada di
luar pengendalian. Pihak-pihak yang berada dalam pengendalian, tetap memerlukan pengelolaan
yang baik agar terdapat kesamaan tujuan dalam penciptaan rangkaian value dan terjadi aliran
yang diharapkan sebagaimana yang telah dirancang dalam work structuring. Bagi pihak-pihak
yang berada di luar kendali, yang tidak ada ikatan kerja sama, memang berat untuk dikelola,
tetapi seharusnya lewat pihak yang ada ikatan kerja sama, pesan kebutuhan pemenuhan prinsip
lean harus dapat dilakukan, misalnya dengan pendekatan partnering maupun kontrak relational.
Terdapat banyak kasus, owner ataupun kontraktor melakukan kontrak kerjasama jangka panjang
dengan supplier (seperti material beton ready-mix dan material semen) untuk mendukung
logistik proyek meskipun suatu pekerjaan yang dipasok logistiknya tersebut dilakukan oleh sub-
kontraktor. Dengan semakin dapat dikendalikannya pihak-pihak yang terlibat dalam supply
chain proyek maka work structuring yang dibuat dapat lebih andal untuk dilaksanakan dan
pencapaian tujuan konstruksi ramping dapat terlaksana.
Back to Table of Contents
Seminar Nasional Sustainability dalam Bidang Material, Rekayasa dan Konstruksi Beton




220

Gambar 3: Konseptual Rantai Pasok Proyek Konstruksi (OBrien et al., 2002)


3.3. Production Control
Pada praktek yang sering dilakukan pengendalian hanya berupa penilaian pelaksanaan pekerjaan
dan membandingkanya dengan perencanaan yang dilakukan. Padahal terkadang perencanaan
yang dilakukan, misalnya dengan work structuring, belum tentu dapat diandalkan. Sehingga ada
kemungkinan deviasi yang terjadi bukan karena kinerja pelaksanaan yang buruk, tetapi lebih
kepada perencanaan yang tidak realistis. Dalam sistem pengendalian produksi dengan konsep
konstruksi ramping, praktek tersebut dapat diperbaiki dengan menggunakan sistem the Last
Planner (Ballard, 2000b).

Sistem the Last Planner ini merupakan usaha melihat kembali apa yang telah direncanakan
sebelum dieksekusi oleh personil yang paling kompeten akan pekerjaan yang direncanakan dan
akan melaksanakan pekerjaan tersebut. Personil tersebut selanjutnya sebagai the last planner.
Dengan adanya sistem ini, akan terdapat penilaian kondisi lapangan yang ada baik sumber daya
maupun lokasi yang akan memberikan input untuk evaluasi perencanaan yang sudah ada
sebelum perencanaan tersebut dilaksanakan. Hasil koreksi tersebut kemudian yang akan
dilaksanakan di lapangan. Dengan adanya sistem the Last Planner, maka prinsip push (di mana
pekerja lapangan harus melaksanakan apa yang direncanakan) yang biasa dilakukan akan
digantikan dengan sistem pull sesuai dengan konsep konstruksi ramping.

Dalam sistem ini, terdapat indicator kinerja yang digunakan untuk mengukur sejauh mana aliran
pekerjaan dapat tercapai dengan baik, yaitu Percent Planned Completed (PPC). PPC merupakan
ukuran sejauh mana flow yang direncanakan dapat berjalan. Sistem the Last Planner akan
berhasil jika PPCnya tinggi. Untuk mendukung sistem ini terdapat penambahan detail
perencanaan sebagai alat untuk dapat mendeteksi keandalan rencana dan kemungkinan
terjadinya aliran yang diharapkan di lapangan. J adwal detail mingguan, jadwal bulanan (look
Back to Table of Contents
Seminar Nasional Sustainability dalam Bidang Material, Rekayasa dan Konstruksi Beton




221
ahead plan), dan jadwal utama (master schedule) menjadi kombinasi yang dinamis dan penting
dalam sistem ini.



Gambar 4: Sistem Push (kiri) dan Pull (kanan) pada Production Control (Ballard 2000b)

4. Konstruksi Ramping untuk Mencapai Konstruksi yang Berkelanjutan
Sebagaimana telah disampaikan pada awal makalah ini, terdapat permasalahan implementasi
pada awal konsep konstruksi yang berkalanjutan dilakukan, yaitu terdapatnya peningkatan biaya
untuk memenuhi spesifikasi yang ditentukan. Dalam hal ini konstruksi ramping menjadi
jawaban yang dibutuhkan untuk menjadi trade-off antar biaya tambahan yang muncul untuk
mengakomodasi spesifikasi konstruksi yang berkelanjutan dengan pengurangan pemborosan
yang terjadi dengan melakukan konstruksi ramping. Namun tidak hanya itu saja, konstruksi
ramping dapat juga digunakan untuk memaksimalkan nilai (value) yang diperlukan. Dalam
rangka pengurangan pemborosan yang terjadi ketika pelaksanaan proyek konstruksi, maka alat-
alat konstruksi ramping dapat diterapkan untuk mengurangi kegiatan yang tidak memberikan
nilai tambah, mengurangi variasi, meningkatkan waktu siklus, serta untuk mencegah terjadinya
pemborosan lainnya di lapangan. Selanjutnya, dalam rangka memaksimalkan nilai, maka analisa
nilai dalam prinsip lean perlu dilakukan, yang akan menganalisa rantai nilai (value chain) yang
terjadi di proyek konstruksi. Dalam hal ini nilai tambahan yang harus disampaikan kepada
pengguna adalah keberlanjutan atau sustainability.

Back to Table of Contents
Seminar Nasional Sustainability dalam Bidang Material, Rekayasa dan Konstruksi Beton




222
J ika dilihat lebih luas dari sisi daur hidup produk konstruksi, yang biasa disebut sebagai daur
hidup proyek karena produksi konstruksi selalu dilaksanakan berbasis proyek, maka konsep
rantai nilai ini menjadi apa yang disebut lean project delivery system (Ballard 200a). Hal ini
perlu diperhatikan karena proses produksi di konstruksi terkait dengan berbagai tahapan dan
juga terkait dengan berbagai pihak yang mungkin terlibat tergantung kepada project delivery
system digunakan.

Tahapan-tahapan dalam suatu daur hidup proyek tersebut akan membentuk suatu rantai yang
saling berkaitan erat untuk mencapai suatu tujuan tertentu, yaitu nilai yang diharapkan oleh
pengguna akhir (Gambar 5). Tujuan tersebut harus dapat diakomodir oleh tiap-tiap tahapan agar
proses yang akan dilakukan di dalam setiap tahapan dapat mencapai nilai yang sama seperti
yang diharapkan pada awalnya. Nilai tersebut dapat menjadi pengendali (control) kegiatan-
kegiatan yang dilakukan di dalam setiap tahapan. Untuk dapat mencapai nilai yang diharapkan,
maka perlu dilakukan suatu rancangan terhadap kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan pada
tiap-tiap tahapan. Kegiatan-kegiatan tersebut selanjutnya dapat dijadikan sebagai acuan dan
mengidentifikasi apakah suatu tahapan serta proyek tersebut telah mencapai tujuannya atau
tidak.




Gambar 6: Rantai Nilai pada suatu Daur Hidup Proyek Konstruksi

Dengan menggunakan analisa nilai pada rantai nilai suatu daur hidup proyek konstruksi, maka
akan didapatkan suatu aksi-aksi yang perlu dilakukan pada setiap tahap, terutama tahapan
perencanaan, perancangan dan pelaksanaan, untuk mencapai nilai keberlanjutan sebagaimana
tergabar pada tabel berikut ini.


Tabel 1. Aksi-aksi Menuju Konstruksi yang Berkelanjutan pada Tahapan Proyek
Project Phases Stakeholder Themes for Action
Re-use of existing built assets
Preserve and enhance bio-diversity
Respect people and their local environment
Planning Owner
Designer
Set targets
Perencanaan Perancangan Pengadaan Pelaksanaan Pengoperasian
Back to Table of Contents
Seminar Nasional Sustainability dalam Bidang Material, Rekayasa dan Konstruksi Beton




223
Design for minimum waste
Preserve and enhance bio-diversity
Conserve water resources
Design Owner
Designer
Set targets
Aim for lean construction
Minimize energy in construction
Minimize energy in use
Do not pollute
Preserve and enhance bio-diversity
Conserve water resources
Respect people and their local environment
Construction Owner
Contractor
Set targets


Aksi-aksi tersebut telah juga dilakukan oleh beberapa negara dalam suatu strategi implementasi
konstruksi yang berkelanjutan. Departemen Lingkungan, Transportasi dan Wilayah di Inggris,
sebagai contoh telah menetapkan suatu best practice untuk menerapkan konsep konstruksi yang
berkelanjutan dengan menetapkan 10 aksi praktis untuk perusahaan konstruksi lakukan (DETR
2000). Salah satu yang penting dari aksi-aksi tersebut adalah usaha untuk mencapai konstruksi
ramping (aim for lean construction).

Aksi-aksi untuk menuju konstruksi yang berkelanjutan dengan menggunakan pendekatan
konstruksi ramping ini telah banyak dilakukan dan telah berhasil mengurangi kesan bahwa
konstruksi yang berkelanjutan tidak bisa dicapai tanpa penambahan biaya. Cerita sukses adalah
pelaksanaan proyek pembangunan beberapa fasilitas oleh Toyota dan General Services
Administration (GSA) di Amerika Serikat (Lapinski et al 2006). Toyota daalam membangun
fasilias fisiknya telah memenuhi konsep konstruksi yang berkelanjutan dengan mendapatkan
sertfikat tingkat emas dari US Green Building Councils Leadership in Energy and
Enviromental Design (LEED) tanpa ada tambahan biaya, karena menerapkan konsep konstruksi
ramping dalam proses pelaksanaan proyeknya. Sedangkan GSA mendapatkan pula sertifikat
tingkat perak dari LEED untuk fasilitas yang dibangunnya dengan hanya ada tambahan biaya
2.5% karena menerapkan prinsip lean dalam pelaksanaan proyek konstruksinya.

5. Penutup
Sudah menjadi kebutuhan di industri konstruksi bahwa konstruksi yang berkelanjutan harus
dilakukan meskipun konsekuensi tambahan yang ada menjadikan pilihan yang sulit bagi pemilik
Back to Table of Contents
Seminar Nasional Sustainability dalam Bidang Material, Rekayasa dan Konstruksi Beton




224
fasilitas fisik maupun pelaksana konstruksinya. Konstruksi ramping, sebagai sebuah inovasi,
telah menyediakan suatu trade-off antara peningkatan biaya karena spesifikasi yang meningkat
untuk pemenuhan prinsip keberlanjutan dengan pengurangan pemborosan saat pelaksanaan
proses konstruksi dari tahap awal hingga akhir. Selain itu, konstruksi ramping, menyediakan
kepastian capaian nilai keberlanjutan dari awal tahapan hingga akhir serta oleh semua pihak
yang terkait dalam daur hidup proyek konstruksi. Dengan demikian, konstruksi ramping dapat
memberikan kepastian capaian konsep keberlanjutan, terutama tema ekonomi dan lingkungan,
dapat tercapai dalam implementasi konstruksi yang berkelanjutan.



















6. Referensi
Abduh, M., dan Roza, H.A. Indonesian Contractor Readiness towards Lean Construction,
Prosiding the 14th Annual Conference of the International Group of Lean Construction
(IGLC-14), Santiago, Chile, J uly 2006.
Ballard, G., Lean Project Delivery System, White Paper 8, Lean Construction Institute,
2000a.
Ballard, G., The Last Planner System of Production Control. Ph.D. Dissertation, School of
Civil Engineering, Faculty of Engineering, the University of Birmingham, 2000b.
Back to Table of Contents
Seminar Nasional Sustainability dalam Bidang Material, Rekayasa dan Konstruksi Beton




225
DETR. Building for Better Quality of Life: A Strategy fo more Sustainable Construction.
Department of the Environment, the Transport and the Regions (DETR), Report, United
Kingdom, 2000.
Khalfan, M.M.A. Sustainable Development and Sustainable Construction. Work in Progress,
A Literature Review fo C-SanD, Date: 21/1/2002
Kibert, C.J . Establishing Principles and a Model for Sustainable Construction. Proceedings of
the 1
st
International Conference on Sustainable Construcition, Tampa, Florida, USA,
November 1994.
Koskela, L. Application of the New Production Philosophy to the Construction Industry, CIFE
Technical Report No. 72, CIFE, Stanford University, 1992.
Lapinski, A.R., Horman, M.J ., and Riley, D.R. Lean Processes for Sustainable Project
Delivery. ASCE J ournal of Construction Engineering and Management, October,
2006.
Hart, S. Beyond Greening. Harvard Business Review, J anuary-February, 1997.
Huovila, P., dan Koskela, L. Contribution of the Principles of Lean Construction to Meet the
Challenges of Sustainable Development. Proceedings of the 6 th Annual Conference
on Lean Construction, Brazil, August 1998.
OBrien, London, dan Vrijhoef. Construction Supply Chain Modeling: A Research Review and
Interdisciplinary Research Agenda, Proc.10th Annual Conf. of the International Group
for Lean Construction, 2002.
Smith
Womack, J .P., J ones, D.T. Lean Thinking, Prentice Hall, USA, 1996.

Back to Table of Contents

You might also like