You are on page 1of 4

HUKUM ASAL IBADAH ADALAH TERLARANG

Rabu, 26 Juli 2006 10:05:17 WIB


HUKUM ASAL IBADAH ADALAH TERLARANG

Oleh
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Al-Halabi Al-Atsary

Banyak orang yang mencampuradukkan antara ibadah dengan yang lainnya, dimana
mereka berupaya membenarkan bidah yang dilakukan dengan memnggunakan dalil kaidah,
hukum asal dalam segala sesuatu adalah boleh !

Kaidah tersebut adalah kaidah ilmiah yang benar. Tapi penempatannya bukan dalam
masalah ibadah. Sesungguhnya kaidah tersebut berkaitan dengan keduniawian dan bentuk-
bentuk manfaat yang diciptakan Allah padanya. Bahwa hukum asal dari perkara tersebut adalah
halal dan mubah kecuali jika terdapat dalil yang mengharamkan atau melarangnya.

Yusuf Al-Qaradhawi berkata dalam bukunya Al-Halal wal Haram fil Islam (hal.21)
setelah menjelaskan sisi yang benar dalam memahami kaidah tersebut. Demikian itu tidak
berlaku dalam ibadah. Sebab ibadah merupakan masalah agama murni yang tidak diambil
kecuali dengan cara wahyu. Dan dalam hal ini terdapat hadits, Barangsiapa yang mebuat hal
yang baru dalam urusan (agama) kami ini apa yang bukan darinya, maka dia di tolak.

Demikian itu karena sesungguhnya hakikat agama terdiri dari dua hal, yaitu tidak ada
ibadah kecuali kepada Allah, dan tidak boleh beribadah kepada Allah kecuali dengan syariat
yang ditentukanNya. Maka siapa yang membuat cara ibadah dari idenya sendiri, siapa pun
orangnya, maka ibadah itu sesat dan ditolak.. Sebab hanya Allah yang berhak menentukan
ibadah untuk taqarrub kepadaNya.

Oleh karena itu cara menggunakan kaidah ilmiah yang benar adalah seperti yang
dikatakan oleh Al-Alamah Ibnul Qayyim dalam kitabnya yang menakjubkan, Ilam al-
Muwaqqiin (I/344) : Dan telah maklum bahwa tidak ada yang haram melainkan sesuatu yang
diharamkan Allah dan RasulNya, dan tidak dosa melainkan apa yang dinyatakan dosa oleh Allah
dan RasulNya bagi orang yang melakukannya. Sebagaimana tidak ada yang wajib kecuali, apa
yang diwajibkan Allah, dan tidak ada yang haram melainkan yang diharamkan Allah, dan juga
tidak ada agama kecuali yang telah disyariatkan Allah. Maka hukum asal dalam ibadah adalah
batil hingga terdapat dalil yang memerintahkan. Sedang hukum asal dalam akad dan muamalah
adalah shahih [1] hingga terdapat dalil yang melarang. Adapun perbedaan keduanya adalah,
bahwa Allah tidak disembah kecuali dengan apa yang telah disyariatkanNya melalui lisan para
rasulNya. Sebab ibadah adalah hak Allah atas hamba-hambaNya dan hak yang Dia paling berhak
menentukan, meridhai dan mensyariatkannya

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Al-Qawaid An-Nuraniyyah Al-
Fiqhiyyah (hal 112) berkata, Dengan mencermati syariat, maka kita akan mengetahui bahwa
ibadah-ibadah yang diwajibkan Allah atau yang disukaiNya, maka penempatannya hanya
melalui syariat

Dalam Majmu Al-Fatawa (XXXI/35), beliau berkata, Semua ibadah, ketaatan dan
taqarrub adalah berdasarkan dalil dari Allah dan RasulNya, dan tidak boleh seorang pun yang
menjadikan sesuatu sebagai ibadah atau taqarrub kepada Allah kecuai dengan dalil syari.

Demikian yang menjadi pedoman generasi Salafus Shalih, baik sahabat maupun tabiin,
semoga Allah meridhai mereka.

Diriwayatkan oleh Nafi Radhiyallahu anhu, Seseorang bersin di samping Ibnu Umar
Radhiyallahu anhu, lalu ia berkata, Alhamdulillah wassalamu ala Rasulih (segala puji bagi
Allah dan kesejahteraan kepada RasulNya). Maka Ibnu Umar berkata, Dan saya mengatakan,
Alhamdulillah wassalamu ala Rasulillah. Tetapi tidak demikian Rasulullah Shallallahu alaihi
wa sallam mengajarkan kami. Beliau mengajarkan agar kami mengatakan, Alhamdulillah ala
kulli hal (segala puji bagi Allah dalam segala hal) [2]

Dari Said bin Musayyab Radhiyallahu anhu, bahwa dia melihat seseorang mengerjakan
lebih dari dua rakaat shalat setelah terbit fajar. Lalu beliau melarangnya. Maka orang tersebut
berkata, Wahai Abu Muhammad (nama panggilan Said bin Musayyab), apakah Allah akan
menyiksa saya karena shalat? Ia menjawab : Tidak, tetapi Allah akan menyiksa kamu karena
menyalahi Sunnah [3]

Al-Alamah Syaikh Al-Albani dalam Irwa Al-Ghalil (II/236) berkata setelah menyebutkan
riwayat tersebut, Ini adalah jawaban yang kuat untuk mematahkan argument ahlu bidah yang
menganggap baik tumbuh suburnya bidah dengan alasan demi menghidupkan dzikir dan shalat.
Mereka tidak senang kepada Ahlus Sunnah yang mengkritik perbuatan mereka dengan
menganggap bahwa Ahlus Sunnah anti dzikir dan shalat!. Padahal hakikatnya Ahlus Sunnah
mengingkari mereka itu adalah karena mereka menyalahi Sunnah dalam dzikir, shalat dan yang
lainnya

Sufyan bin Uyainah berkata, Saya mendengar bahwa seseorang datang kepada Malik bin
Anas Radhiyallahu anhu lalu berkata, Wahai Abu Abdullah (nama panggilan Malik), dari mana
saya ihram? Ia berkata, Dari Dzulhulaifah, tempat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam
ihram Ia berkata, Saya ingin ihram dari masjid dari samping makam (nabi Shallallahu alaihi
wa sallam), Ia berkata, Jangan kamu lakukan. Sebab saya mengkhawatirkan engkau tertimpa
fitnah, Ia berkata, Fitnah apakah dalam hal ini? Karena aku hanya menambahkan beberapa mil
saja! Ia berkata, Fitnah manakah yang lebih besar daripada kamu melihat bahwa kamu
mendahului keutamaan yang ditinggalkan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam?
Sesungguhnya Allah berfirman, Maka hendaklah orang orang yang menyalahi perintah Rasul
takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih [4], [5]

Dan betapa indahnya apa yang ditulis Imam Umar bin Abdul Aziz rahimahullah kepada
sebagian gubernurnya ketika mewasiatkan mereka untuk menghidupkan sunnah dan mematikan
bidah. Saya mewasiatkan kepdamu agar bertakwa kepada Allah, sederhana dalam melaksanakan
perintahNya serta mengikuti sunnah RasulNya dan meninggalkan hal-hal baru yang dibuat
orang-orang yang setelahnya dalam sesuatu yang telah berlaku sunnahnya dan cukupkanlah
dengannya.

Ketahuilah, bahwa tidaklah seorang melakukan bidah melainkan telah datang
sebelumnya dalil yang menyalahkannya dan telah datang pula pelajaran yang menunjukkan
kebidahan perbuatan tersebut. Maka hendaklah kamu memegang teguh sunnah. Sebab
sesungguhnya sunnah itu akan melindungimu dengan izin Allah.

Ketahuilah, bahwa orang yang melakukan sunnah akan mengetahui bahwa melanggarnya
akan mengakibatkan kesalahan, tergelincir dan kedunguan. Sebab orang-orang yang dahulu
menyikapinya dengan ilmu, dan dengan pandangan yang tajam, mereka menganggap cukup.
Mereka adalah orang yang paling kuat dalam mengkaji, namun mereka tidak mencari-cari. [6]

Kesimpulannya, dalam pemahaman syariat adalah bahwa segala sesuatu yang berkaitan
dengan ibadah harus semata-mata berdasarkan perintah (tauqifiyah), dan tidak disyariatkan
kecuali dengan nash yang ditentukan Allah sebagai hukumnya. Karena terjaminnya ittiba dari
membuat bidah dan menolak kekeliruan dan hal yang baru diadakan. [7]

Diantara contoh amaliah yang menguatkan kaidah ini adalah pendapat Imam Ibnu Katsir
Ad-Dimasyqi rahimahullah dalam tafsirnya (IV/401) ketika mendiskusikan tentang
menghadiahkan pahala bacaan Al-Quran kepada orang-orang yang telah meninggal. Beliau
meyakini bahwa pahalanya tidak sampai, kemudian beliau berkata dalam menjelaskan alasan
larangan tersebut, Sebab demikian itu bukan amal mereka dan juga bukan usaha mereka.
Karena itu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam tidak memerintahkan kepada umatnya, tidak
menganjurkannya dan tidak membimbing kepadanya dengan dalil maupun dengan isyarat. Dan
tidak terdapat dalil tentang hal itu dari seorang sahabatpun, semoga Allah meridhai mereka. Jika
hal itu baik niscaya mereka mendahului kita dengan amalan itu. Sesungguhnya masalah ibadah
hanya terbatas pada nash dan tidak berlaku qiyas maupun pendapat.

[Disalin dari kitab Al Ilmu Ushul Bida Dirasah Taklimiyyah Muhimmah Fi Ilmi Ushul Fiqh,
Penulis Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, edisi Indonesia Membedah
Akar Bidah, Penerjemah Asmuji Solihan Zamakhsyari, Penerbit Pustaka Al-Kautsar]
_________
Foote Note
[1]. Inilah yang diungkapkan oleh sebagian ulama fiqih dengan istilah, hukum asal dalam segala
sesuatu adalah mubah.
[2]. HR Tirmidzi 2738, Hakim IV/265-266, Harits bin Usamah Al-Baghdadi dalam Musnadnya
200 (Bughiyyah Al-Bahits dan Al-Mazzi dalam Tahdzib Al-Kamal VI/553 dengan sanad Hasan.
[3]. HR Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra II/466, Khatib Al-Baghdadi dalam Al-Faqih wal
Mutafaqqih I/147, Abdurrazzaq III/52, Ad-Darimi I/116 dan Ibnu Nashr : 84 dengan sanad
Shahih.
[4]. Quran surat An-Nuur : 63
[5]. HR Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Al-Faqih wal Mutafaqih I/148, Abu Nuaim dalam Al-
hilyah VI/326, Al-Baihaqi dalam Al-Madhal : 236, Ibnu Baththah dalam Al-Ibanah : 98 dan Abu
Syamah dalam Al-Baits : 90 yang disandarkan kepada Khallal
[6]. Al-Ibanah No. 163 dan Syarah Ushul As-Sunnah No. 16
[7]. Marwiyyat Dua Khatmil Quran 11-12 Syaikh Bakr Abu Zaid

http://almanhaj.or.id/content/1895/slash/0/hukum-asal-ibadah-adalah-terlarang/

You might also like