Periode 10 Februari 2014 2 Maret 2014 (Kelompok XXIV K) MIKOSIS
Oleh: Arini Muliana I1A010024
Pembimbing: dr. Sani Widjaja, Sp.KK
BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FK UNLAM RSUD ULIN BANJARMASIN 2014 PERTANYAN
a. Sebutkan pembagian dermatomikologi b. Apa beda dermatofita dengan nondermatofita c. Sebutkan jenis-jenis pemeriksaan penunjang yang digunakan untuk menegakkan diagnosis penyakit d. Sebutkan pembagian nondermatofita dan sebutkan jenis tatalaksana untuk masing-masing penyakit e. Apa saja penyebab kegagalan tatalaksana jamur f. Sebutkan jenis-jenis tatalaksana topikal untuk penyakit jamur g. Apa gambaran klinis yang khas dari tinea capitis h. Sebutkan gambaran klinis tinea imbrikata i. Sebutkan faktor pencetus timbulnya penyakit golongan dermatifita
JAWABAN a. Dermatomikologi dibagi menjadi 2 klasifikasi yaitu (1): - Mikosis profunda - Mikosis superfisialis (dermatofitosis, nondermatofitosis, intermediate)
b. Perbedaan dermatofita dan nondermatofita (1,2): Dermatofita adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur dermatofita yang terjadi pada jaringan yang mengandung zat tanduk. Dermatofita bisa menginvasi ke dalam lapisan epidermis sehingga gangguan dapat ditemukan mulai dari stratum basal sampai stratum korneum. Jamur dermatofit ini mengeluarkan zat tertentu (lipofilik dan proteofilik) untuk membuat epidermis ruptur. Jamur yang menyebabkan terbagi menjadi 3 species yaitu Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophton. Nondermatofita adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infeksi non- dermatofitosis biasanya terjadi pada kulit yang paling luar, hal ini disebabkan jenis jamur ini tidak dapat mengeluarkan zat yang dapat mencerna keratin kulit dan tetap hanya menyerang lapisan kulit yang paling luar. Penyakit ini disebabkan oleh species jamur yang berkembang Pityrosporum, Clasdoporium, Piedraia, dan Trichosporon.
c. Jenis-jenis pemeriksaan penunjang untuk penyakit jamur adalah (3): Sediaan langsung dengan larutan KOH 10% Woods light (T.kapitis, T.kruris, P.versicolor) Biakan pada agar Sabouraud spesies penyebabnya Bahan klinis pada pemeriksaan mikologik dapat berupa kerokan kulit, rambut, dan kuku. Pemeriksaan langsung sediaan basah pada sediaan kulit dan kuku didapatkan hifa yang terlihat sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh sekat dan bercabang ataupun spora yang berderet (artospora). Sedangkan pada sediaan rambut didapatkan spora kecil (mikrospora) atau spora besar (makrospora) dan kadang juga didapatkan hifa.
d. Pembagian nondermatofita dan jenis tatalaksananya (4,5): 1. Pitiriasis Versikolor Definisi : penyakit jamur superfisial yang kronik berupa bercak berskuama halus berwarna putih sampai coklat hitam, yang biasa disebut panu. Penyakit ini disebabkan oleh Pityrosporum orbiculare (Malasezia furfur) Tatalaksana : suspense selenium sulfide (selsun), dipakai sebagai sampo 2-3 kali/minggu salisil spiritus 10% derivate azol (mikonazol, klotrimazol, isokonazol) sulfur presipitatum, bedak kocok 4-20% ketokonazol 100 mg, digunakan bila tidak ada respon dengan pengunaan topikal. 2. Pitirosporum Folikulitis Definisi : penyakit kulit kronis folikel polisebasea yang disebabkan spesies Pitirosporum, berupa papul dan pustul folikular Tatalaksana : antimikotik topikal biasanya kurang menolong antimikotik oral : ketokonazol 200 mg, itrakonazol 200 mg, flukonazol 150 mg 3. Piedra Definisi : infeksi jamur pada rambut ditandai dengan adanya nodul di sepanjang rambut yang disebabkan oleh Piedraia hortai (black piedra) atau Trichosporon beigelii (white piedra). Tatalaksana : memotong rambut yang terinfeksi atau dicuci rambut dengan larutan sublimat setiap hari 4. Tinea Nigra Palmaris Definisi : infeksi jamur superfisial yang asimtomatik pada stratum korneum yang disebabkan Cladosporium wermeckii. Tatalaksana : salep salisil sulfus whifield 5. Otomikosis Definisi : infeksi jamur kronik pada liang telinga luar dan lubang telinga luar yan ditandai dengan inflamasi eksudatif dan gatal. Tatalaksana : irigasi untuk membersihkan serumen/kotoran 6. Keratomikosis Definisi : infeksi jamur pada kornea mata yan menyebabkan ulserasi dan inflamasi setelah trauma pada bagian tersebut diobati dengan obat-obat antibiotik dan kortikoteroid. Tatalaksana : - larutan nistatin dan amfoterisin B tiap jam
e. Penyebab kegagalan tatalaksana jamur adalah (1,2) kebersihan kulit penderita yang kurang baik sehingga jamur mudah berkembang biak diagnosis yang kurang akurat sehingga pemberian obat tidak tepat keadaan penderita yang mengalami imunokompromais
f. Jenis-jenis tatalaksana topikal untuk penyakit jamur (6): Poliene : Nistatin Azole-Imidazol : Klotrimazol, Ekonazol, Mikonazol, Ketokenazol, Sulkonazol, Oksikonazol Terkonazol, Tiokonazol, Sertakonazol. Alilamin/benzilamin : Naftifin, Terbinafin, Butenafin Obat anti jamur topikal lain : Amorolfin, Siklopiroks, Haloprogin
g. Gambaran klinis yang khas dari tinea capitis adalah didapatkannya alopesia pada daerah berambut dengan lesi bersisik, kemerah-merahan bahkan kerion (5,7).
h. Gambaran klinis tinea imbrikata adalah skuama kasar yang tersusun konsentris (melingkar-lingkar), yang disebabkan oleh infeksi Trichophyton concentricum (5).
i. Faktor pencetus timbulnya penyakit golongan dermatifita adalah (1,2): udara yang lembab lingkungan yang padat, sosial ekonomi yang rendah adanya sumber penularan di sekitarnya obesitas penyakit sistemik pengunaan obat yang tidak terkendali (antibiotik, steroid, sitostatika).
DAPTAR PUSTAKA
1. 2. Leite DP, Martins A, Anzai MC, Hahn RC. Dermatophytosis in military in the central-west region of Brazil: literature review. National Institutes of Health 2012; 177(1-2): 65-74. 3. Wolff. K, Johnson. R.A, Suurmond. D. Fitzpatricks, The Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology, fifth edition. E-book : The McGraw-Hill Companies. 2007. 4. KJ, McClellan. Terbinafine. An update of its use in superficial mycoses. NCBI. New Zealand 1999; 58(1):179-202. 5. The Center of Public Health and Food Security. Dermatophytosis: ringworm, tinea, dermatomycosis. IOWA State University: May 2005. 6. Dias MF, Bernardes F. Treatment of superficial mycoses. US National Library of Medicine 2013; 88(6): 937-44. 7. Anane S, Chtourou O. Tinea capitis favosa misdiagnosed as tinea amiantacea. US National Library of Medicine 2012; 28(2): 29-31.