You are on page 1of 20

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

HUKUM, DEMOKRASI, HAM DALAM ISLAM, DAN KONTRIBUSI UMAT


ISLAM DALAM PRUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA



Oleh Kelompok 2 :
Elvrado Wega Senturi 125040201111016
Rini Agustin 125040201111045
Rakhma Novianita 125040207111034

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Agama Islam adalah agama/ajaran bersifat universal, dan agama Islam diturunkan
Allah karena untuk mengatur manusia agar kehidupannya sesuai dengan fitrahnya.
Keuniversalan Islam bermakna Islam ditujukan untuk semua aspek yaitu semua manusia,
bangsa dan setiap tingkatan di dunia ini serta lintas waktu maupun tempat hingga sampai
datangnya yaum al-Qiyamah kelak. Dengan demikian agama Islam diperuntukkan untuk
semua manusia di atas bumi ini agar mereka dapat menjalani kehidupan ini dengan baik,
sehingga mendapatkan kehidupan dunia akhirat yang diridhai oleh Allah.
Islam sebagai ajaran mengandung berbagai ajaran yang dapat diklasifikasikan
menjadi tiga ajaran inti bagi umat manusia untuk dapat mencapi tujuan dalam hidupnya di
dunia dan akhirat. Tiga ajaran tersebut adalah pertama, Tauhid yaitu ajaran yang berkaitan
dengan ketuhanan dan keimanan, yang hal ini terdapat dalam ilmu tauhid atau ilmu kalam.
Kedua, Syariah (fiqh) yaitu ajaran-ajaran yang menjelaskan tentang hukum-hukum Islam
atau legalitas ibadah, hal ini terangkum dalam ilmu fiqh. Dan ketiga, akhlak, yaitu ajaran
yang membahas tentang baik dan buruknya suatu tingkah laku manusia, hal ini
penjelasannya terdapat dalam ilmu akhlak atau adab. Kemudian ketiga ajaran inti tersebut
akan melahirkan aturan-aturan dan pedoman yang tidak hanya saja mengatur kehidupan
manusia dalam hal yang berkaitan dengan pribadi dan keluarga saja, melainkan juga dalam
hal bermasyarakat dan bernegara.
Islam mengatur hubungan tiga dimensi yaitu hubungan antara manusia dengan
Tuhannya, hubungan manusia dengan sesama manusia, dan hubungan manusia dengan alam.
Hubungan manusia dengan Tuhannya telah di atur dalam al-Qur'an dan al-Hadis, sedangkan
hubungan manusia dengan sesamanya yang disebut mu'amalah, Allah telah menetapkan
aturan-aturan yang bersifat dan berlaku umum. Selain dari pada itu Islam juga mengatur
hubungan antara masyarakat dengan pemerintah, antara orang-orang Islam dan bukan orang
Islam dan hubungan negara dengan negara. Semua hubungan-hubungan tersebut selalu
berkaitan dengan adanya hubungan kehidupan dunia yang fana dan kehidupan akhirat yang
kekal abadi. Ini berarti semua aktivitas manusia di dunia ini telah di atur oleh Islam.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam pembuatan makalah ini, penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apakah hukum islam, sumber hukum Islam, prinsip hukum Islam, dan fungsi hukum
Islam?
2. Bagaimanakah demokrasi dalam Islam?
3. Bagaimanakah HAM dalam pandangan islam?
4. Bagaimana kontribusi umat Islam dalam perundang-undangan Indonesia?



















2. ISI
2.1 Hukum Islam
2.1.1 Pengertian Hukum Islam
Ada beberapa istilah penting yang bisa digunakan untuk memahami
pengertian hukum Islam. Istilah-istilah tersebut adalah syariah, fikih, dan hukum
Islam sendiri. Ketiga istilah ini sering dipahami secara tidak tepat, sehingga terkadang
ketiganya saling tertukar. Untuk itu, perlu dijelaskan dulu masing-masing dari ketiga
istilah tersebut dan hubungan antara ketiganya, terutama hubungan antara syariah dan
fikih.
Syariah berasal dari kata al-syariah yang berarti jalan ke sumber air atau
jalan yang harus diikuti, yakni jalan ke arah sumber pokok bagi kehidupan (Al-
Fairuzabadiy, 1995). Syariah disamakan dengan jalan air mengingat bahwa barang
siapa yang mengikuti syariah, ia akan mengalir dan bersih jiwanya (Amir
Syarifuddin, 1999). Secara terminologis, syariah didefinisikan dengan sebagai aturan-
aturan yang ditetapkan oleh Allah agar digunakan oleh manusia dalam hubungannya
dengan Tuhannya, dengan saudaranya sesama Muslim, dengan saudaranya sesama
manusia, dengan alam, dan dalam kaitannya dengan kehidupannya (Syaltut, 1966).
Muhammad Yusuf Musa mengartikan syariah sebagai semua peraturan agama yang
ditetapkan oleh Allah untuk kaum Muslim baik yang ditetapkan dengan Al-Quran
maupun dengan Sunnah Rasul (Musa, 1988). Dari dua definisi syariah di atas dapat
dipahami bahwa syariah adalah aturan-aturan Allah dan Rasulullah yang mengatur
manusia dalam berhubungan dengan Tuhannya maupun dengan sesamanya.
Adapun kata fikih berasal dari kata al-fiqh yang berarti pemahaman atau
pengetahuan tentang sesuatu (Al-Fairuzabadiy, 1995). Secara terminologis fikih
didefinisikan sebagai ilmu tentang hukum-hukum syara yang bersifat amaliyah
(praktis) yang digali dari dalil-dalil terperinci (Khallaf, 1978 dalam Zahrah, 1958).
Dari definisi ini dapat diambil beberapa pengertian bahwa fikih merupakan suatu ilmu
yang membahas hukum-hukum syara terutama yang bersifat amaliyah dengan
mendasarkan pada dalil-dalil terperinci dari Al-Quran dan hadits. Dengan demikian
jelaslah bahwa pengertian fikih berbeda dengan syariah baik dari segi etimologis
maupun terminologis. Syariah merupakan seperangkat aturan yang bersumber dari
Allah SWT dan Rasulullah SAW untuk mengatur tingkah laku manusia baik dalam
rangka berhubungan dengan Tuhannya (beribadah) maupun dalam rangka
berhubungan dengan sesamanya (bermuamalah). Sedangkan fikih merupakan
penjelasan atau uraian yang lebih rinci dari apa yang sudah ditetapkan oleh syariah.
Adapun istilah hukum Islam berasal dari dua kata dasar, yaitu hukum dan
Islam. Hukum bisa diartikan dengan peraturan dan undang-undang (Tim Penyusun,
2001). Secara sederhana hukum dapat dipahami sebagai peraturan-peraturan atau
norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik
peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan
ditegakkan oleh penguasa (Ali, 1996). Adapun kata yang kedua, yaitu Islam, adalah
agama Allah yang diamanatkan kepada Nabi Muhammad SAW. Untuk mengajarkan
dasar-dasar dan syariatnya dan juga mendakwahkannya kepada semua manusia serta
mengajak mereka untuk memeluknya (Syaltut, 1966). Dengan pengertian yang
sederhana, Islam berarti agama Allah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW
untuk disampaikan kepada umat manusia untuk mencapai kesejahteraan hidupnya
baik di dunia maupun di akhirat kelak. Dari gabungan dua kata hukum dan Islam
itulah muncul istilah hukum Islam. Dengan kalimat yang lebih singkat, hukum Islam
dapat diartikan sebagai hukum yang bersumber dari ajaran Islam.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa kata hukum Islam yang sering
ditemukan pada literatur hukum yang berbahasa Indonesia secara umum mencakup
syariah dan fikih, bahkan terkadang juga mencakup ushul fikih (dasar-dasar fikih).
Namun, harus dipahami pula bahwa hukum Islam itu tidak sama persis dengan
syariah dan sekaligus tidak sama persis dengan fikih. Tetapi juga tidak berarti bahwa
hukum Islam itu berbeda sama sekali dengan syariah dan fikih. Yang dapat dikatakan
adalah pengertian hukum Islam itu mencakup pengertian syariah dan fikih, karena
hukum Islam yang dipahami di Indonesia ini terkadang dalam bentuk syariah
dan terkadang dalam bentuk fikih, sehingga kalau seseorang mengatakan hukum
Islam, harus dicari dulu kepastian maksudnya, apakah yang berbentuk syariah
ataukah yang berbentuk fikih. Hal inilah yang tidak dipahami oleh sebagian besar
bangsa Indonesia, termasuk sebagian besar kaum Muslim, sehingga hukum Islam
terkadang dipahami dengan kurang tepat, bahkan salah.
Hubungan antara syariah dan fikih sangat erat dan tidak dapat dipisahkan. Syariah
merupakan sumber atau landasan fikih, sedangkan fikih merupakan pemahaman
terhadap syariah. Secara umum syariah adalah hukum Islam yang bersumber dari Al-
Quran dan Sunnah yang belum dicampuri daya nalar (ijtihad), sedangkan fikih adalah
hukum Islam yang bersumber dari pemahaman terhadap syariah atau pemahaman
terhadap nash, baik Al-Quran maupun Sunnah. Asaf A.A. Fyzee membedakan kedua
istilah tersebut dengan mengatakan bahwa syariah adalah sebuah lingkaran yang besar
yang wilayahnya meliputi semua perilaku dan perbuatan manusia sedang fikih adalah
lingkaran kecil yang mengurusi apa yang umumnya dipahami sebagai tindakan
umum. Syariah selalu mengingatkan kita akan wahyu, ilmu (pengetahuan) yang tidak
akan pernah diperoleh seandainya tidak ada Al-Quran dan Sunnah, dalam fikih
ditekankan penalaran dan deduksi yang dilandaskan pada ilmu terus-menerus dikutip
dengan persetujuan. Jalan syariah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya, bangunan
fikih ditegakkan oleh usaha manusia. Dalam fikih satu tindakan dapat digolongkan
pada sah atau tidak sah, yajuzu wa ma la yajuzu (boleh atau tidak boleh). Dalam
syariah terdapat berbagai tingkat pembolehan atau pelarangan. Fikih adalah
istilah yang digunakan bagi hukum sebagai suatu ilmu, sedang syariah bagi
hukum sebagai jalan kesalehan yang dikaruniakan dari langit (Fyzee, 1974: 21).
2.1.2 Sumber Hukum Islam
Secara umum, sumber-sumber materi pokok hukum Islam adalah Al-Quran dan
Sunnah Nabi Muhammad SAW. Otoritas keduanya tidak berubah dalam setiap waktu
dan keadaan. Ijtihad dengan rayu (akal) sesungguhnya adalah alat atau jalan untuk
menyusun legislasi mengenai masalah-masalah baru yang tidak ditemukan bimbingan
langsung dari Al-Quran dan Sunnah untuk menyelesaikannya. Oleh karena itu,
jelaslah bahwa ijtihad dengan berbagai metodenya dipandang sebagai sumber hukum
yang berkewenangan dengan kedudukan di bawah Al-Quran dan Sunnah.
Keotentikan sumber-sumber pembantu yang merupakan penjabaran dari ijtihad
hanyalah ditentukan dengan derajat kecocokannya dengan dua sumber utama hukum
yang mula-mula dan tidak ditentang otoritasnya. Jika dirinci lebih khusus, yakni
dalam arti syariah dan fikih sebagai dua konsep yang berbeda, maka sumber hukum
bagi masing-masing berbeda. Syariah, secara khusus bersumber kepada Al-Quran
dan Sunnah semata, sedang fikih bersumber kepada pemahaman (ijtihad) manusia
(mujtahid) dengan tetap mendasarkan pada dalil-dalil terperinci dari Al-Quran dan
Sunnah.
Menurut Ahmad Hasan (1984), Al-Quran bukanlah suatu undang-undang hukum
dalam pengertian modern ataupun sebuah kumpulan etika. Tujuan utama Al-Quran
adalah meletakkan suatu way of life yang mengatur hubungan manusia dengan
manusia dan hubungan manusia dengan Allah. Al-Quran memberikan arahan bagi
kehidupan sosial manusia maupun tuntunan berkomunikasi dengan penciptanya.
Hukum perkawinan dan perceraian, hukum waris, ketentuan perang dan damai,
hukuman bagi pencurian, pelacuran, dan pembunuhan, semuanya dimaksudkan untuk
mengatur hubungan antara manusia dengan sesamnya. Selain aturan-aturan hukum
yang khusus itu Al-Quran juga mengandung ajaran moral yang cukup banyak. Oleh
karena itu, tidaklah benar kalau N. J. Coulson mengatakan bahwa tujuan utama
Alquran bukanlah mengatur hubungan manusia dengan sesamnya, tetap hubungan
manusia dengan penciptanya saja (Coulson, 1964).
Sumber hukum Islam yang kedua adalah sunnah. Secara etimologis, kata sunnah
berasal dari kata berbahasa Arab al-sunnah yang berarti cara, adat istiadat
(kebiasaan), dan perjalanan hidup (sirah) yang tidak dibedakan antara yang baik dan
yang buruk. Ini bisa dipahami dari sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Muslim,
Barang siapa yang membuat cara (kebiasaan) yang baik dalam Islam, maka dia akan
memeroleh pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya, dan barang siapa yang
membuat cara yang buruk dalam Islam, maka dia akan memeroleh dosanya dan dosa
orang yang mengikutinya (Al-Zabidiy, Munawwir, 1984 dalam Al-Khathib, 1989).
Sunnah pada dasarnya berarti perilaku teladan dari seseorang. Dalam konteks
hukum Islam, Sunnah merujuk kepada model perilaku Nabi Muhammad SAW.
Karena Al-Quran memerintahkan kaum Muslim untuk menyontoh perilaku
Rasulullah, yang dinyatakan sebagai teladan yang agung, maka perilaku Nabi
menjadi ideal bagi umat Islam (QS. al-Ahzab (33): 21 dan QS. al-Qalam (68): 4).
Sumber hukum Islam yang ketiga adalah ijtihad. Secara etimologis, kata ijtihad
berasal dari kata al-ijtihad yang berarti penumpahan segala upaya dan kemampuan
atau berusaha dengan sungguh-sungguh (Munawwir, 1984). Secara terminologis
ijtihad berarti mencurahkan kesanggupan dalam mengeluarkan hukum syara
yang bersifat amaliyyah dari dalil-dalilnya yang terperinci baik dalam Al-Quran
maupun Sunnah (Khallaf, 1978 dalam Zahrah, 1958). Dasar hukum dibolehkannya
ijtihad adalah Al-Quran, Sunnah dan logika. Nash Al-Quran dan Sunnah sangat
terbatas jika dibandingkan dengan banyaknya peristiwa yang dihadapi oleh umat
manusia, sehingga perlu ditetapkannya aturan baru untuk menghukumi semua
permasalahan yang muncul dan belum diatur oleh Al-Quran dan Sunnah.


2.1.3 Prinsip Hukum Islam
Prinsip-prinsip kepemimpinan Islam sebagai agama yang sesuai dengan fitrah
manusia, Islam memberikan prinsip-prinsip dasar dan tata nilai dalam mengelola
organisasi atau pemerintahan. Al-Qur'an dan As-sunnah dalam permasalahan ini telah
mengisyaratkan beberapa prinsip pokok dan tata nilai yang berkaitan dengan
kepemimpinan, kehidupan bermasyarakat, berorganisasi, bernegara (baca: berpolitik)
termasuk di dalamnya ada sistem pemerintahan yang notabenenya merupakan kontrak
sosial. Prinsip-prinsip atau nilai-nilai tersebut antara lain prinsip Tauhid, As-syura
(bermusyawarah) adalah (berkeadilan) Hurriyah Ma'a Mas'uliyah (kebebasan disertai
tanggung jawab) Kepastian Hukum, Jaminan Haq al Ibad (HAM) dan lain sebagainya.
1. Prinsip Tauhid
Prinsip tauhid merupakan salah satu prinsip dasar dalam kepemimpinan Islam
(baca: pemerintahan Islam). Sebab perbedaan akidah yang fundamental dapat
menjadi pemicu dan pemacu kekacauan suatu umat. Oleh sebab itu, Islam mengajak
ke arah satu kesatuan akidah di atas dasar yang dapat diterima oleh semua lapisan
masyarakat, yaitu tauhid. Dalam Al-Qur'an sendiri dapat ditemukan dalam surat An-
nisa' 48, Ali imron 64 dan surat al Ikhlas.
2. Prinsip Amar Maruf Nahi Munkar
Amar maruf berarti hukum Islam digerakkan untuk merekayasa manusia menuju
tujuan yang baik dan benar yang dikehendaki dan diridhai Allah. Nahi munkar berarti
fungsi kontrol sosialnya. Atas dasar prinsip inilah, dalam hukum Islam dikenal adanya
perintah dan larangan, wajib dan haram, pilihan antara melakukan dan tidak
melakukan perbuatan yang kemudian dikenal dengan istilah hukum yang lima, yakni:
wajib, sunnat, mubah, makruh, dan haram.
3. Prinsip Keadilan (Al-'adalah)
Dalam memanage pemerintahan, keadilan menjadi suatau keniscayaan, sebab
pemerintah dibentuk antara lain agar tercipta masyarakat yang adil dan makmur.
Tidaklah berlebihan kiranya jika Al-Mawardi dalam Al-Ahkam Al-Sulthoniyah-Nya
memasukkan syarat yang pertama seorang pemimpin negara adalah punya sifat adil.
Dalam Al-Qur'an, kata Al-'Adl dalam berbagai bentuknya terulang dua puluh delapan
kali. Paling tidak ada empat makna keadilan yang dikemukakan oleh ulama. Pertama:
adil dalam arti sama. Artinya tidak menbedambedakan satu sama lain. Persamaan
yang dimaksud adalah persamaan hak. Ini dilakukan dalam memutuskan hukum.
Sebagaimana dalam Al-Qur'an surat an-Nisa' 58 "Apabila kamu memutuskan suatu
perkara diantaramanusia maka hendaklah engkau memutuskan dengan adil". Kedua:
adil dalam arti seimbang. Disini keadilan identik dengan kesesuaian. Dalam hal ini
kesesuaian dan keseimbangan tidak mengharuskan persamaan kadar yang besar dan
kecilnya ditentukan oleh fungsi yang diharapkan darinya. Ini sesuai dengan Al-Qur'an
dalam surat Al-Infithar 6-7 dan Al-Mulk 3. Ketiga: adil dalam arti perhatian terhadap
hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada pemiliknya. Keempat: keadilan
yang dinisbatkan kepada Allah SWT. Adil disini berarti memelihara kewajaran atas
berlanjutnya eksistensi. Dalam hal ini Allah memiliki hak atas semuanya yang ada
sedangkan semua yang ada tidak memiliki sesuatau disisinya. Jadi, sistem
pemerintahan Islam yang ideal adalah sistem yang mencerminkan keadilan yang
meliputi persamaan hak di depan umum, keseimbangan (keproposionalan) dalam
memanage kekayaan alam misalnya, distribusi pembangunan, adanya balancing
power antara pihak pemerintah dengan rakyatnya.
4. Prinsip Kebebasan (Al-Hurriyah)
Kebebasan dalam pandangan Al-Qur'an sangat dijunjung tinggi termasuk dalam
menentukan pilihan agama sekaligus. Namun demikian, kebebasan yang dituntut oleh
Islam adalah kebebasan yang bertanggungjawab. Kebebasan disini juga kebebasan
yang dibatasi oleh kebebasan orang lain. Dalam konteks kehidupan politik, setiap
individu dan bangsa mempunyai hak yang tak terpisahkan dari kebebasan dalam
segala bentuk fisik, budaya, ekonomi dan politik serta berjuang dengan segala cara
asal konstitusional untuk melawan atas semua bentuk pelanggaran.
5. Prinsip Persamaan atau Egaliter
Kemuliaan manusia bukan terletak pada ras dan warna kulit. Kemuliaan
manusia adalah karena zat manusianya itu sendiri dan pada tinggi rendahnya
ketaqwaan seseorang. Maka dari itu Islam menentang perbudakan.
6. Prinsip Taawun
Prinsip taawun berarti tolong-menolong antara sesama manusia. Tolong-
menolong ini diarahkan sesuai dengan prinsip tauhid, terutama dalam upaya
meningkatkan kebaikan dan ketaqwaan kepada Allah. Prinsip ini menghendaki kaum
muslim saling membantu/menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan.
7. Prinsip Toleransi
Hukum Islam mengharuskan umatnya hidup rukun dan damai di muka bumi
ini tanpa memandang ras dan warna kulit. Toleransi yang dikehendaki Islam adalah
toleransi yang menjamin tidak terlanggarnya hak-hak Islam dan umatnya. Toleransi
hanya dapat diterima apabila tidak merugikan agama Islam.
2.1.4 Fungsi Hukum Islam
a. Memelihara Agama
Pemeliharan agama merupakan tujuan pertama hukum Islam. Sebabnya adalah
karena agama merupakan pedoman hidup manusia, dan didalam Agama Islam selain
komponen-komponen akidah yang merupakan sikap hidup seorang muslim, terdapat
juga syariat yang merupakan sikap hidup seorang muslim baik dalam berrhubungan
dengan Tuhannya maupun dalam berhubungan dengan manusia lain dan benda dalam
masyarakat. Karena itulah maka hukum Islam wajib melindungi agama yang dianut
oleh seseorang dan menjamin kemerdekaan setiap orang untuk beribadah menurut
keyakinannya.
Beragama merupakan kekhususan bagi manusia, merupakan kebutuhan utama yang
harus dipenuhi karena agamalah yang dapat menyentuh nurani manusia.
b. Memelihara jiwa
Untuk tujuan ini, Islam melarang pembunuhan dan pelaku pembunuhan
diancam dengan hukuman Qisas (pembalasan yang setimbang), sehingga dengan
demikian diharapkan agar orang sebelum melakukan pembunuhan, berpikir panjang
karena apabila orang yang dibunuh itu mati, maka si pembunuh juga akan mati atau
jika orang yang dibunih itu tidak mati tetap hanya cedera, maka si pelakunya juga
akan cedera.
c. Memelihara akal
Manusia adalah makhluk Allah Swt. Ada dua hal yang membedakan manusia
dengan makhluk lain. Pertama, Allah Swt telah menjadikan manusia dalam bentuk
yang paling baik, di bandingkan dengan bentuk makhluk-makhluk lain dari berbagai
makhluk lain. Akan tetapi bentuk yang indah itu tidak ada gunanya, kalau tidak ada
hal yang kedua, yaitu akal. Jadi, akal paling penting dalam pandangan Islam. Oleh
karena itu Allah Swt selalu memuji orang yang berakal.
d. Memelihara Keturunan
Untuk ini islam mengatur pernikahan dan mengharamkan zina, menetapkan
siapa-siapa yang tidak boleh dikawini, bagaimana cara-cara perkawinan itu dilakukan
dan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi, sehingga perkawinan itu dianggap sah dan
pencampuran antara dua manusia yang belainan jenis itu tidak dianggap sah dan
menjadi keturunan sah dari ayahnya. Malahan tidak melarang itu saja, tetapi juga
melarang hal-hal yang dapat membawa kepada zina.
e. Memilihara Harta Benda dan Kehormatan
Meskipun pada hakekatnya semua harta benda itu kepunyaan Allah, namun
Islam juga mengakui hak pribadi seseorang. Oleh karena manusia itu manusia snagt
tamak kepada harta benda, sehingga mau mengusahakannya dengan jalan apapun,
maka Islam mengatur supaya jangan sampai terjadi bentrokan antara satu sama lain.
Untuk ini Islam mensyariatkan peraturan-peraturan mengenai muamalah seperti jual
beli, sewa-menyewa, gadai menggadai, dan sebagainya, serta melarang penipuan, riba
dan mewajibkan kepada orang yang merusak barang orang lain untuk membayarnya,
harta yang dirusak oleh anak-anak yang dibawah tanggungannya, bahkan yang
dirusak oleh binatang peliharaannya sekalipun.
2.2 Demokrasi dalam Islam
Secara etimologi (lughawi), kata Demokrasi yaitu Democratie berasal dari
bahasa Yunani, yang terdiri dari kata: demos yang berarti rakyat dan cratos yang
berarti kekuasaan. Lebih dikenal dengan istilah Kedaulatan Rakyat, rakyatlah yang
berkuasa dan berhak mengatur dirinya sendiri. Makna kata Kedaulatan itu sendiri
ialah sesuatu yang mengendalikan dan melaksanakan aspirasi.
Secara terminologi (ishtilaahi), Demokrasi secara lugas ialah Sistem
Pemerintahan yang secara konseptual memiliki prinsip dari rakyat, oleh rakyat dan
untuk rakyat. Maka, dikenal istilah vox populi vox dei (suara rakyat suara Tuhan).
Demokrasi menurut Islam dapat diartikan seperti musyawarah (syura), mendengarkan
pendapat orang banyak untuk mencapai keputusan dengan mengedepankan nilai
nilai keagamaan. Konsep demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dan tidak
sepenuhnya sejalan dengan Islam
1. Demokrasi tersebut harus berada di bawah payung agama.
2. Rakyat diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya.
3. Pengambilan keputusan senantiasa dilakukan dengan musyawarah.
4. Suara mayoritas tidaklah bersifat mutlak meskipun tetap menjadi pertimbangan
utama dalam musyawarah.
5. Musyawarah atau voting hanya berlaku pada persoalan ijtihadi; bukan pada
persoalan yang sudah ditetapkan secara jelas oleh Alquran dan Sunah.
6. Produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari nilai-nilai
agama.
7. Hukum dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua warga
Dan secara terminologis, syura bermakna memunculkan pendapat-pendapat
dari orang-orang yang berkompeten untuk sampai pada kesimpulan yang paling
tepat. (Nizhamul-Hukmi Fil-Islam, Dr. Arif Khalil, hal. 236). Meminta pendapat
dan mencari kebenaran adalah salah satu prinsip dalam demokrasi yang dianut
sebagian besar bangsa di dunia. Di dalam Islam bermusyawarah untuk mencapai
mufakat adalah hal yang disyariatkan. Dan orang-orang yang menerima (mematuhi)
seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka diputuskan dengan
musyawarah antara mereka dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami
berikan kepada mereka. (QS. Asy-syura: 36)
Dengan ayat itu, kita memahami bahwa Islam telah memposisikan
musyawarah pada tempat yang agung. Syariat Islam yang lapang ini telah
memberinya tempat yang besar dalam dasar-dasar tasyri (yurisprudensi). Ayat itu
memandang sikap komitmen kepada hukum-hukum syura dan menghiasi diri dengan
adab syura sebagai salah satu faktor pembentuk kepribadian Islam, dan termasuk
sifat-sifat mukmin sejati. Dan lebih menegaskan urgensi syura, ayat di atas
menyebutkannya secara berdampingan dengan satu ibadah fardhu ain yang tidaklah
Islam sempurna dan tidak pula iman lengkap kecuali dengan ibadah itu, yakni shalat,
infak, dan menjauhi perbuatan keji.
Hal tersebut menunjukan bahwa, Islam secara langsung menerapkan prinsip
pengambilan keputusan, musyawarah yang menjadi sendi utama dalam demokrasi
modern (dari, oleh dan untuk kepentingan rakyat). Yang menjadi poin penting dalam
demokrasi bukan sistem trias politiknya, yang membagi pemerintahan kedalam tiga
lembaga (eksekutif, yudikatif dan legislatif), melainkan sisitem checks and balances
yang berlangsung dalam pemerintahan itu. Tentunya agar bisa berjalan maka, harus
ada keterbukaan dari masing-masing elemen dalam pemerintahan itu. Dan
keterbukaan itu dapat diwujudkan dalam sebuah bentuk musyawarah yang efisien,
efektif dan egaliter. Tentu saja tujuan adalah kesejahteraan rakyat.
Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya kedaulatan
memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung, tetapi dalam arti
yang lebih luas. Suatu pemilihan presiden atau anggota-anggota parlemen secara
langsung tidak menjamin negara tersebut sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan
rakyat memilih sendiri secara langsung presiden hanyalah sedikit dari sekian banyak
kedaulatan rakyat. Walapun perannya dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu
pemilihan umum sering dijuluki pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir lama
dari sebagian masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola, bukan
sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal sebaik apa
pun seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek daripada masa
hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun negara. Banyak negara
demokrasi hanya memberikan hak pilih kepada warga yang telah melewati umur
tertentu, misalnya umur 18 tahun, dan yang tak memliki catatan kriminal (misal,
narapidana atau bekas narapidana).

Secara umum demokrasi itu kompatibel dengan nilai-nilai universal Islam
seperti persamaan, kebebasan, permusyawaratan dan keadilan. Akan tetapi dalam
dataran implementatif hal ini tidak terlepas dari problematika. Sebagai contoh adalah
ketika nilai-nilai demokrasi berseberangan dengan hasil ijtihad para ulama. Contoh
kecil adalah kasus tentang orang yang pindah agama dari Islam (baca: murtad).
Menurut pandangan Islam berdasarkan hadits: "Man baddala dinahu faqtuluhu"
mereka disuruh taubat dahulu, jika mereka tidak mau maka dia boleh dibunuh atau
diperangi. Dalam sistem demokrasi hal ini tidak boleh terjadi, sebab membunuh
berarti melanggar kebebasan mereka dan melanggar hak asasi manusia (HAM).
Kemudian dalam demokrasi ada prinsip kesamaan antara warga Negara. Namun
dalam Islam ada beberapa hal yang sangat tegas disebut dalam Al-Qur'an bahwa ada
perbedaan antara laki-laki dan perempuan, misalnya tentang poligame. (QS. An-Nisa'
33) tentang hukum waris (QS. An-nisa' 11) tentang kesaksian (QS. Al-Baqarah 282).
Disamping itu, demokrasi sangat menghargai toleransi dalam kehidupan sosial,
termasuk dalam ma'siat sekalipun. Seperti pacaran perzinaan. Sedangkan dalam Islam
hal ini jelas-jelas dilarang dalam Al-qur'an.
Demikian juga dalamIslam dibedakan antara hak dan kewajiban kafir dzimmi
dengan yang muslim. Hal ini dalam demokrasi tidak boleh terjadi, sebab tidak lagi
menjunjung nilai persamaan. Melihat adanya problem diatas, berarti tidak semuanya
demokrasi kompatibel dengan ajaran Islam dalam dataran prinsip, ide-ide demokrasi
ada yang sesuai dan selaras dengan Islam, namun pada tingkat implementatif sering
kali nilai-nilai demokrasi berseberangan dengan ajaran Islam dalam Al-Qur'an,
Assunnah dan ijtihad para ulama.
2.3 Hak dan Kewajiban Asasi dalam Islam
Hak asasi manusia dalam Islam tertuang secara jelas untuk kepentingan
manusia, lewat syariah Islam yang diturunkan melalui wahyu. Menurut syariah,
manusia adalah makhluk bebas yang mempunyai tugas dan tanggung jawab, dan
karenanya ia juga mempunyai hak dan kebebasan. Dasarnya adalah keadilan yang
ditegakkan atas dasar persamaan atau egaliter, tanpa pandang bulu. Artinya, tugas
yang diemban tidak akan terwujud tanpa adanya kebebasan, sementara kebebasan
secara eksistensial tidak terwujud tanpa adanya tanggung jawab itu sendiri. Sistem
HAM Islam mengandung prinsip-prinsip dasar tentang persamaan, kebebasan dan
penghormatan terhadap sesama manusia. Persamaan, artinya Islam memandang
semua manusia sama dan mempunyai kedudukan yang sama, satu-satunya
keunggulan yang dinikmati seorang manusia atas manusia lainya hanya ditentukan
oleh tingkat ketakwaannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-
Hujarat ayat 13, yang artinya sebagai berikut : Hai manusia, sesungguhnya Kami
ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling
mulia di antara kaum adalah yang paling takwa.
Pada dasarnya HAM dalam Islam terpusat pada lima hal pokok yang
terangkum dalam al-dloruriyat al-khomsah atau yang disebut juga al-huquq al-
insaniyah fi al-islam (hak-hak asasi manusia dalam Islam). Konsep ini mengandung
lima hal pokok yang harus dijaga oleh setiap individu, yaitu hifdzu al-din
(penghormatan atas kebebasan beragama), hifdzu al-mal (penghormatan atas harta
benda), hifdzu al-nafs wa al-ird (penghormatan atas jiwa, hak hidup dan kehormatan
individu) hifdzu al-aql (penghormatan atas kebebasan berpikir) dan hifdzu al-nasl
(keharusan untuk menjaga keturunan). Kelima hal pokok inilah yang harus dijaga oleh
setiap umat Islam supaya menghasilkan tatanan kehidupan yang lebih manusiawi,
berdasarkan atas penghormatan individu atas individu, individu dengan masyarakat,
masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan negara dan komunitas agama
dengan komunitas agama lainnya.
2.3.1 Pengaturan HAM dalam Hukum Islam
Al-Quran dan Sunnah sebagai sumber hukum dalam Islam memberikan
penghargaan yang tinggi terhadap hak asasi manusia. Al-Quran sebagai sumber
hukum pertama bagi umat Islam telah meletakkan dasar-dasar HAM serta
kebenaran dan keadilan, jauh sebelum timbul pemikiran mengenai hal tersebut
pada masyarakat dunia. Ini dapat dilihat pada ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam Al-Quran, antara lain : 1.) Dalam Al-Quran terdapat sekitar 80 ayat
tentang hidup, pemeliharaan hidup dan penyediaan sarana kehidupan, misalnya
dalam Surat Al-Maidah ayat 32. Di samping itu, Al-Quran juga berbicara tentang
kehormatan dalam 20 ayat. 2.) Al-Quran juga menjelaskan dalam sekitas 150 ayat
tentang ciptaan dan makhluk-makhluk, serta tentang persamaan dalam penciptaan,
misalnya dalam Surat Al-Hujarat ayat 13. 3.) Al-Quran telah mengetengahkan
sikap menentang kezaliman dan orang-orang yang berbuat zalim dalam sekitar 320
ayat, dan memerintahkan berbuat adil dalam 50 ayat yang diungkapkan dengan
kata-kata : adl, qisth dan qishash. 4.) Dalam Al-Quran terdapat sekitar 10 ayat
yang berbicara mengenai larangan memaksa untuk menjamin kebebasan berpikir,
berkeyakinan dan mengutarakan aspirasi. Misalnya yang dikemukakan oleh Surat
Al-Kahfi ayat 29.
Begitu juga halnya dengan Sunnah Nabi. Nabi Muhammad saw telah
memberikan tuntunan dan contoh dalam penegakkan dan perlindungan terhadap
HAM. Hal ini misalnya terlihat dalam perintah Nabi yang menyuruh untuk
memelihara hak-hak manusia dan hak-hak kemuliaan, walaupun terhadap orang
yang berbeda agama, melalui sabda beliau : Barang siapa yang menzalimi
seseorang muahid (seorang yang telah dilindungi oleh perjanjian damai) atau
mengurangi haknya atau membebaninya di luar batas kesanggupannya atau
mengambil sesuatu dari padanya dengan tidak rela hatinya, maka aku lawannya di
hari kiamat.
2.4 Kontribusi Umat Islam dalam Perundang-undangan di Indonesia
Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang penduduknya sangat beragam dari
segi etnik, budaya dan agama. Mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Hukum
agama datang ke Indonesia bersamaan dengan hadirnya agama. Oleh karena itu sebagai
mayoritas beragama Islam, maka hukum Islam merupakan salah satu sistem yang berlaku
di tengah-tengah masyarakat Indonesia. (A.Qodri Azizy. 2004 : 138)
2.4.1 UUD 1945
Dilihat dari sketsa historis, hukumislam masuk ke indonesia bersama
masuknya islam ke Indonesia pada abad ke 1 hijriyah atau 7/8 masehi. Sedangkan
hukum barat bary diperkenalkan VOC awal abad 17 masehi. Sebalum islam masuk
indonesia, rakyat indonesia menganut hukum adat yang bermacam-macam sistemnya
dan sangat majemuk sifatnya. Namun setelah islam datang dan menjadi agama resmi
di berbagai kerajaan nusantara, maka hukum islam pun munjadi hukum resmi
kerajaan-kerajaan tersebut dan tersebar manjadi hukum yang berlaku dal;am
masyarakat.
Secara yuridis formal, keberadaan negara kesatuan indonesia adalah diawali
pada saat proklamasi 17 Agustus 1945. Pada tanggal 18 Agustus 1945 kemudian
diakui berlakunya Undang-Undang Dasar 1945. Pada saat itulah keinginan para
pemimpin islam untuk kembali menjalankan hukum islam baggi umat islam berkobar,
setelah seacra tidak langsung hukum islam dikebiri melalui teori receptie.
Dalam pembentukan hukum islam di indonesia, kesadarn berhukum islam
untuk pertama kali pada zaman kemeerdekaan adalah di dalam Piagam Jakarta 22 juni
1945 , yang di dalam dasar ketuhanan diikuti dengan pernyataan dengan kewajiban
menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya. Tetapi dengan pertimbangan
untuk persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia akhirnya mengalami perubahan pada
tanggal 18 Agustus 1945 yang rumusan sila pertamanya menjadi ketuhanan yang
maha esa.
Meskipun demikian, dalam berbagai macam peraturan perundang-undangan,
hukumislam telah benar-benar memperoleh tempat yang wajar secara kontitusional
yuridik.
Dengan demikian kontribusi umat islam dalam petrumusan dan penegakan
hukum sangat besar. Ada pun upaya yang harus dilakukan untuk penegakan hukum
dalam praktek bermasyarakat dan bernegara yaitu melalui proses kultural dan
dakwah. Apabila islam telah menjadikan suatu keebijakan sebagai kultur dalam
masyarakat, maka sebagai konsekuensinya hukum harus ditegakkan. Bila perlu law
inforcement dalam penegakkan hukum islam dengan hukum positif yaitu melalui
perjuangan legislasi. Sehingga dalam perjaalananya suatu ketentuan yang wajib
menurut islam menjadi waajib pula menurut perundangan.

2.4.2 Perundangan Lainnya
Ada beberapa peraturan baik berupa undang-undang peraturan pemerintah,
keputusan presiden yang didalamnya berisi tentang hukum Islam, diataranya adalah :
1. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Banyak pasal dalam
undang-udang ini berasal dari hukum Islam.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang perwakafan dan tanah milik.
3. Instruksi presiden No 13 tahun 1980 tentang perjanjian bagi hasil.
4. Undang-undang No 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama merupakan salah satu
perundang-undangan pelaksanaan dari undang-undang No 14 tahun 1970 tentang
pokok-pokok kekuasaan hakim.
5. Instruksi Presiden No 1 tahun 1991 tentang Komplikasi Hukum Islam (KHI). KHI
berisi tentang himpunan hukum Islam yang berkenaan dengan perkawinan, waris
dan wakaf.
6. Undang-undang No 7 tahun 1992 dan peraturan pemerintah No 70 dan 72 tentang
Bag bagi hasil.
7. Undang-undang No 38 tahun 1999 tentang penyelenggaran ibadah haji.






3. PENUTUP

1. Hukum Islam secara singkat adalah hukum yang bersumber dari ajaran agama Islam
seperti Al-Quran, Assunnah, dan Ijtihad.
2. Demokrasi menurut Islam adalah berlandskan atas dasar musyawarah bersama.
Tentunya pada masalah ini harus ada saling keterbukaan antar elemen yang
4. Demokrasi menurut Islam dapat diartikan seperti musyawarah, mendengarkan
pendapat orang banyak untuk mencapai keputusan dengan mengedepankan nilai
nilai keagamaan.
5. HAM adalah hak yang telah dimiliki seseorang sejak ia ada di dalam kandungan.
6. HAM dalam Islam didefinisikan sebagai hak yang dimiliki oleh individu dan kew
ajiban bagi negara dan individu tersebut untuk menjaganya
7. Hukum menurut Islam dapat diartikan sebagai hukum yang terdapat dalam sumber-
sumber seperti Al-Quran dan Al-Hadist.
8. Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme pemerintahan negara yang menjunjung
tinggi kedaulatan rakyat.
9. Kontribusi umat Islam sangat besar terhadap pembangunan negara Indonesia, itu bisa
dibuktikan dengan adanya peran umat Islam dalam perumusan perundang-undangan.
















DAFTAR PUSTAKA

Al-Fairuzabadiy, Muhammad Ibn Yaqub. 1995. Al-Qamus al-Muhith. Beirut: Dar al-
Fikr. Cet. I.
Ali, Muhammad Daud. 1996. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. Edisi 5. Cet. V.
Amir Syarifuddin. 1999. Ushul Fiqh. Jilid 1. Jakarta: Logos. Cet. I.
Coulson, N.J. 1964. A History of Islamic Law. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Fyzee, Asaf A. A. 1974. Outlines of Muhammadan Law (Forth Edition). Delhi
Bombay-Calcutta-Madras: Oxford University Press.
Izzudin, Ahmad. 2009. Problematika Implementasi Hukum Islam Di Indonesia. Studi
Kasus Pernikahan Pujiono dan Lutfiana Ulfa. Fakultas Syariah. UIN
Maulana Malik Ibrahim. Malang.
Khallaf , Abd al-Wahhab. 1978. Ilm Ushul al-Fiqh. Kairo: Dar al-Qalam li al-
Tibaah wa al-Nasyr wa al-Tauzi. Cet. VII.
Meraih Puncak Islam. 2014. Banyaknya Kasus Pelanggaran HAM pada Umat Islam
Tak Jelas Penyelesaiannya. (Online) http//: voa-islam.com. diakses 26 Maret
2014.
Musa, Muhammad Yusuf. 1988. Al-Islam wa al-Hajah al-Insaniyyah Ilaih. Terj. oleh
A. Malik Madani dan Hamim Ilyas dengan judul Islam Suatu Kajian
Komprehensif. Jakarta: Rajawali Pers, Cet. I.
Prof. H. Mohammad Daud Ali. S.H., Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001) , hal 54
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2001. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Ed. III. Cet. I.
Syaltut, Mahmud. 1966. Al-Islam Aqidah wa Syariah. Kairo: Dar al-Qalam. Cet. III.
Wisena, Yogabrata W. dkk. 2009. HAM dalam Perspektif Islam. Politeknik Elektronika
Negeri Surabaya. Institut Teknologi 10 Nopember. Surabaya.
Zahrah, Muhammad Abu. 1958. Ushul al-Fiqh. Kairo: Dar al-Fikr al-Arabiy.

You might also like