You are on page 1of 47

filsafat ilmu Apa pengertian epistimologi islam bayani,burhani dan irfani

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang

Epistemologi berasal dari bahasa Yunani terdiri dari dua kata yakni episteme dan logos Episteme
berarti pengetahuan sedangkan logos bermakna pengetahuan, Oleh karena itu epistemologi itu
disebut teori pengetahuan (theory of knowledge) , di mana dalam bahasa Arab disebut Nazhriyah
al-Marifah. Robert Audi dalam The Cambridge Dictionary of Philosophy menyatakan epistemologi
sebagai studi tentang pengetahuan dan kebenaran , paling tidak secara khusus mempelajari tentang
tiga bagian penting : pertama ; penegasan ciri-ciri pengetahuan, kedua ; kondisi sumber-sumber
pengetahuan yang sesungguhnya dan ketiga ; batasan-batasan pengetahuan dan kebenaran.
Apa yang dapat kita ketahui ?dan bagaimana kita dapat mengetahui itu ? adalah pertanyaan-
pertanyaan filosofis dan bentuk-bentuk pengetahuan menjadi topik utama epistemologi, secara
bersamaan dihubungkan kepada gagasan kesadaran lain seperti kepercayaan (belief), pemahaman
(understanding), akal Budi (reason), keputusan (judgement), perasaan (sensation), penglihatan atau
tanggapan daya memahami/menanggapi sesuatu (perception), intuisi/gerak hati (intuition), dugaan
(guessing) dan pengetahuan/pelajaran (learning).
Epistemologi membahas tentang hakikat pengetahuan dan dalam hal ini terbagi kepada dua
aliran yakni, realisme dan idealisme. Namun ada beberapa penjelasan tentang hakikat pengetahuan
ini sendiri Realisme menyatakan hakikat pengetahuan adalah apa yang ada dalam gambar atau kopi
yang sebenarnya dari alam nyata. Gambaran atau pengetahuan yang ada dalam akal adalah kopi asli
yang terdapat di luar akal.Pengetahuan menurut teori ini sesuai dengan kenyataan. Sedangkan
idealisme menganggap pengetahuan itu adalah gambar menurut pendapat atau penglihatan.
Pengetahuan tidak menggambarkan yang sebenarnya karena pengetahuan yang sesuai dengan
kenyataan adalah mustahil. Sehubungan dengan itu perbedaan pokok antara teori-teori
pengetahuan adalah perbedaan antara metode rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme
berpendapat bahwa pengetahuan diperoleh dengan perantaraan akal, ia berfungsi untuk
menghubungkan data dari luar atau menerjemahkan peristiwa dengan peristiwa yang lain. Adapun
empirisme menegaskan pengetahuan diperoleh melalui panca indra, kesan-kesan berkumpul pada
manusia kemudian disusun dan diatur sedemikian rupa menjadi pengetahuan. Jika
dihubungkan dengan uraian-uraian tersebut diatas, maka bagaimanakah dengan filsafat Islam,
berada di kelompok manakah yang mungkin diikuti oleh para filosof muslim dan metode apa
yang mereka gunakan?
Adapun pengertian Islam itu sendiri secara bahasa (etimologi), berasal dari bahasa Arab, dari kata
salima yang berarti selamat sentosa.Dari kata ini dibentuk kata aslama yang artinya memeliharakan
diri dalam keadaan selamat sentosa dan berarti juga menyerahkan diri, tunduk, patuh dan taat.
Seseorang yang bersikap sebagaimana dimaksud oleh pengertian Islam tersebut disebut muslim,
yaitu orang yang telah menyatakan dirinya taat, menyerahkan diri, patuh dan tunduk kepada Allah.
Secara istilah (terminologi), Islam berarti ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia
melalui seorang Rasul atau lebih tegas lagi Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan
Tuhan kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW. S. Chander mengutarakan The Islam is
derived from the arabic salima which means peace, purity, submission and obedience. In the religion
sense, Islam means submission to the will of God and obedience to his law, founded by prophet
Muhammad. Islam is religion, the way of the muslim of the world (Islam adalah derivasi dari
bahasa Arab salima yang berarti kedamaian, kemurnian, ketundukan dan kepatuhan. Dalam
pengertian agama, Islam adalah ketundukan kepada kehendak Tuhan dan tunduk kepada aturan-
aturannya yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. Islam adalah agama, jalan hidup kaum
muslim di dalam dunia.

1.2 Rumusan masalah

Apa pengertian epistimologi islam bayani,burhani dan irfani ?
Sebutkan sumber,metode pencapaian, verifikasi dari epistimologi islam ?
Jelaskan sumber, metode pencapaian, verifikasi dari epistimologi islam ?
1.3 tujuan
Menjelaskan pengertian epistimologi islam bayani, burhani, dan irfani
Menyebutkan sumber, metode pencapaian, verifikasi dari epistimologi islam
Menjelaskan sumber, metode pencapaian, verifikasi dari epistimologi islam


BAB II
PEMBAHASAN
2.1Epistemologi Bayani
A. Pengertian
Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang didasarkan atas otoritas teks (nash), secara
langsung atau tidak langsung. Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan
langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran.Secara tidak langsung berarti memahami teks
sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini bukan
berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar
pada teks.
B. Sumber Pengetahuan Bayani
Meski menggunakan metode rasional filsafat seperti digagas Syathibi, epistemologi bayani tetap
berpijak pada teks (nash). Dalam ushl al-fiqh, yang dimaksud nash sebagai sumber pengetahuan
bayani adalah al-Qur`an dan As-Sunnah.[1] Karena itulah, epistemology bayani menaruh perhatian
besar dan teliti pada proses transmisi teks dari generasi ke generasi.[2]Ini penting bagi bayani,
karena sebagai sumber pengetahuan benar tidaknya transmisi teks menentukan benar salahnya
ketentuan hukum yang diambil.Jika transmisi teks bisa dipertanggung jawabkan berarti teks tersebut
benar dan bisa dijadikan dasar hukum. Sebaliknya, jika transmisinya diragukan, maka kebenaran teks
tidak bisa dipertanggung jawabkan dan itu berarti ia tidak bisa dijadikan landasan hukum. Karena itu
pula, mengapa pada masa tadwn (kodifikasi), khususnya kodifikasi hadis, para ilmuan begitu ketat
dalam menyeleksi sebuah teks yang diterima. Bukhari, misalnya, menggariskan syarat yang tegas
bagi diterimanya sebuah teks hadis adalah sebagai berikut :
1. Bahwa perawi harus memenuhi tingkat kriteria yang paling tinggi dalam hal watak pribadi,
keilmuan dan standar akademis.
2. Harus ada informasi positif tentang para perawi yang menerangkan bahwa mereka saling
bertemu muka dan para murid belajar langsung pada gurunya. Dari upaya-upaya seleksi tersebut
kemudian lahir ilmu-ilmu tertentu untuk mendeteksi dan memastikan keaslian teks,
seperti Mushthalah al-Hadits, Rijal al-Hadits, dan sebagainya.

Selanjutnya, tentang nash al-Qur`an, meski sebagai sumber utama, tetapi ia tidak selalu
memberikan ketentuan pasti. Dari segi penunjukkan hukumnya (dillah al-hukm), nash al-Qur`an
bisa dibagi dua bagian, qath`i dan zhanni. Nash yang qath`i dillah adalah nash-nash yang
menunjukkan adanya makna yang dapat difahami dengan pemahaman tertentu, atau nash yang
tidak mungkin menerima tafsir dan takwil, atau sebuah teks yang tidak mempunyai arti lain kecuali
arti yang satu itu. Dalam konsep asy-Syafi`i, ini yang disebut Bayan yang tidak butuh penjelasan
lanjut. Nash yang zhanni dilalah adalah nash-nash yang menunjukkan atas makna tapi masih
memungkinkan adanya takwil, atau dirubah dari makna asalnya menjadi makna yang lain.
Kenyataan tersebut juga terjadi pada al-sunnah, bahkan lebih luas. Jika dalam al-Qur`an,
konsep qathi dan zhanni hanya berkaitan dengan dillah-nya, dalam sunnah hal itu berlaku pada
riwayat dan dillah-nya. Dari segi riwayat berarti bahwa teks hadis tersebut diyakini benar-benar
dari Nabi atau tidak, atau bahwa aspek ini akan menentukan sah tidaknya proses transmisi teks
hadis, yang dari sana kemudian lahir berbagai macam kualitas hadis, sepertimutawatir, ahad,
shahh, hasan, gharb, dan sebagainya. Dari segi dillah berarti bahwa makna teks hadis tersebut
telah memberikan makna yang pasti atau masih bisa ditakwil.
C. Metode dan Pendekatan yang Digunakan dalam Bayani
1. Metode Qiyas
Untuk memperoleh pengetahuan, epistemologi bayani menempuh dua jalan, diantaranya adalah :
1. Berpegang pada redaksi (lafazh) teks dengan menggunakan kaidah bahasa
Arab, seperti nahw dan sharf sebagai alat analisa.
2. Menggunakan metode qiyas (analogi) dan inilah prinsip utama epistemologi bayani.Dalam
kajian ushul al-fiqh, qiyas diartikan sebagai memberikan keputusan hukum suatu masalah
berdasarkan masalah lain yang telah ada kepastian hukumnya dalam teks, karena adanya kesamaan
illah. Ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam melakukan qiyas, yaitu :
a. Adanya al-ashl, yakni nas suci yang memberikan hukum dan
dipakai sebagai ukuran.
b. Al-far`, sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nas.
c. Hukm al-ashl, ketetapan hukum yang diberikan oleh ashl.
d. Illah, keadaan tertentu yang dipakai sebagai dasar penetapan
hukum ashl.
Contoh qiyas a dalah soal hukum meminum arak dari kurma. Arak dari perasan kurma
disebut far` (cabang) karena tidak ada ketentuan hukumnya dalam nash, dan ia akan diqiyaskan
pada khamer. Khamer adalah ashl (pokok) sebab terdapat dalam teks (nash) dan hukumnya haram,
alasannya (illah) karena memabukkan. Hasilnya, arak adalah haram karena ada persamaan antara
arak dan khamr, yakni sama-sama memabukkan.Menurut Al-Jabiri, metode qiyas sebagai cara
mendapatkan pengetahuan dalam epistemologi bayani tersebut digunakan dalam tiga aspek,
yaitu[3]:
1. Qiyas dalam kaitannya dengan status dan derajat hukum yang ada pada ashl maupunfur` (al-
qiys bi i`tibr madiy istihqq kullin min al-ashl wa al-far`i li al-hukm).
2. Qiyas berkaitan dengan potensi atau kecenderungan untuk menyatukan antara ashl dan far`
(qiys bi i`tibr quwwah al-jmi` bain al-ashl wa al-far` fayumkin tashnifuh) yang oleh al-Ghazali
dibagi dalam empat tingkat, yaitu :
(1) Adanya perubahan hukum baru.
(2) Keserasian
(3) Keserupaan
(4) Menjauhkan
Menurut Abd al-Jabbar, seorang pemikir teologi Muktazilah, metode qiyas bayani diatas tidak hanya
untuk menggali pengetahuan dari teks tetapi juga bisa dikembangkan dan digunakan untuk
mengungkap persoalan-persoalan non-fisik (ghaib). Disini ada empat cara, yaitu :
1) Berdasarkan kesamaan petunjuk (dillah) yang ada.
2) Berdasarkan kesamaan illah
3) Berdasarkan kesamaan yang berlaku paada tempat illah
4) Berdasarkan pemahaman bahwa yang ghaib mempunyai derajat lebih dibanding yang empirik

2. Metode Istibath/ Istdlal
Istibath hukum-hukum dari an-nusush ad-diniyyah dan al-Quran khususnya. Dalam bahasa
filsafat yang disederhanakan, pendekatan bayani dapat diartikan sebagai model metodologi berpikir
yang didasarkan atas teks (nash). Dalam hal ini teks sucilah yang memilki otoritas penuh
menentukan arah kebenaran sebuah khitab.Fungsi akal hanya sebagai pengawal makna yang
terkandung di dalamnya.Makna yang dikandung dalam, dikehendaki oleh, dan diekspresikan melalui
teks dapat diketahui dengan mencermati hubungan antara al-mana danal-lafzh.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pendekatan bayani adalah lingustik, karena dalam hal ini
pendekatan bayani menggunakan alat bantu (instrumen) berupa ilmu-ilmu kebahasaan dan uslub-
uslubnya serta asbab an-nuzul, dan qiyas serta istinbath atau istidlal sebagai metodenya.

D. Pendukung dan Validitas Keilmuan Bayani
1.Pendukung Keilmuan Bayani
Corak epistemologi bayani didukung oleh pola pikir kaum teolog/ahli kalam, ahli fiqih dan ahli
bahasa.Pola pikir tekstual bayani lebih dominan secara politis dan membentuk corak pemikiran
keislaman yang hegemonik.Sebagai akibatnya, maka pola pemikiran keagamaan Islam model bayani
menjadi kaku.Menurut al-Jabiri, tidak dapat dipungkiri lagi, jika faktor politik dan sosial
mempengaruhi kejumudan pemikiran bayani.
2.Validitas Keilmuan Bayani
Validitas keilmuan bayani tergantung pada kedekatan dan keserupaan teks atau nash dan
realitas. Otoritas teks dan otoritas salaf yang dibakukan dalam kaidah-kaidah metodologi ushul fiqih
klasik lebih diunggulkan daripada sumber otoritas keilmuan yang lain seperti ilmu-ilmu kealaman
(kauniyah), akal (aqliyah), dan intuisi (wijdaniyah). Dominasi pola pikir tekstual ijtihadiyah
menjadikan sistem epistemologi keagamaan Islam kurang begitu peduli terhada isu-isu keagamaan
yang bersifat kontekstual-bahtsiyyah.Pola pikir bayani lebih mendahulukanqiyas (qiyas al-illah untuk
fiqih, dan qiyas dalalah untuk kalam). Epistemologi tekstuallughawiyyah (al-ashl wa al-far; al-lafzh
wa al-mana) lebih diutamakan daripada epistemologi konstekstual-bahtsiyyah maupun spiritual-
irfaniyyah-bathiniyyah. Di samping itu, nalar epistemologi bayani selalu mencurigai akal pikiran,
karena dianggap akan menjauhi kebenaran tekstual. Sampai-sampai pada kesimpulan bahwa wilayah
kerja akal pikiran perlu dibatasi sedemikian rupa perannya dialihkan menjadi pengatur dan
pengekang hawa nafsu, bukannya untuk mencari sebab dan akibat lewat analisis keilmuan yang
akurat.

2.2 Epistemologi Burhani

Al-Burhani (demonstrative), secara sederhana, bisa diartikan sebagai suatu aktivitas berpikir untuk
menetapkan kebenaran proposisi(qadliyah)melalui pendekatan deduktif(al-istintaj) dengan
mengaitkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain yang telah terbukti kebenarannya secara
aksiomatik(badhihi).

Menurut al-Jabiri, prinsip-prinsip burhani pertama kali dibangun oleh Aristoteles(384-322 SM) yang
dikenal dengan istilah metode analitik(tahlili); suatu cara piker (pengambilan keputusan) yang
disasarkan atas proposisi tertentu,proposisi hamliyah(categorical proposition) atau proposisi
syarthiyah(hypothetical proposition) dengan mengambil 10 kategori, sebagai objek
kajiannya;kuantitas,kualitas,ruang atau tempat,wakyu,dan seterusnya. Pada masa Alexander
Aphrodisi,murid, murid komentator Aristoteles, digunakan istilah logika dan ketika masuk dalam
khazanah pemikiran islam berganti nama menjadi Burhani.

Cara berpikir analitik Aristoteles ini masuk dalam pemikiran islam pertama kali lewat program
penterjemahan buku-buku filsafat yanggencar dilakukan pada masa kekuasaan al-Makmun(811-833
M); sesuatu program yang dianggap sebagai tonggak sejarah pertemuan pemikiran rasional Yunani
dengan pemikiran keagamaan arab, pertemuan epistemologi burhani Yunani dengan epistemologi
bayani Arab. Program penterjemahan dan kebutuhan akan penggunaan metode burhani ini sendiri,
didasarkan atas tuntutan kebutuhan yang ada; bahwa saaat itu muncul banyak doktrin yang kurang
lebih hiterodok yang dating dari Iran,India,Persia atau daerah lain dari pinggiran Islam,seperti
Madinah,Manikian,materialisme,atau bahkan dari pusat islam sendiri sebagai akibat dari pencarian
bebas yang berubah bentuk menjadi pemikiran bebas seperti penolakan terhadap wahyu dan
lainnya yang dikategorikan dalam istilah zindiq. Untuk menjawab serangan doktrin-doktrin ini, para
sarjana muslim(ulama) merasa perlu untuk mencari system rasional dan argument argumen yang
masuk akal, karena metode sebelumnya, bayani, tidak lagi memadai untuk menjawab persoalan-
persoalan baru yang sangat beragam yang dikenal sebelumnya.

Sarjana pertama yang mengenalkan dan menggunakan metode burhani adalah al-Kindi (806-
875M).Dalam kata pengantar buku filsafat pertama (al-falsafat al-Ula),yang dipersembahkan untuk
al-Mutashim (833-842), al-Kindi menulis tentang objek bahasan dan kedudukan filsafat, serta
ketidak-senangannya pada orang-orang yang anti filsafat, yakni para pendukung bayani. Namun,
karena masih begitu dominannya kaum bayani(burhani)yang diperlukan al-kindi tidak begitu
bergema. Meski demikian al-Kindi telah memperkenalkan persoalan baru dalam pemikiran
Islam;Kesejajaran antara pengetahuan manusia dan Tuhan, dan mewariskan persoalan filsafat yang
terus hidup sampai sekarang;(1)Penciptaan alam semesta, bagaiman terjadinya,(2) keabadian jiwa,
apa artinya dan bagaimana pembuktiannya,(3)pengetahuan Tuhan yang particular,apa ada
hubungannya dengan astrologi dan bagaimana terjadi.

Metode rasional atau burhani ini semakin masuk sebagai salah satu sistem pemikiran islam Arab
adalah setelah masa AL-Razi(865-925 M). Ia lebih ekstrim dalam teologi dan dikenal sebagai
seseorang rasionalis murni yang hanya mempercayai akal. Menurut al-Razi ,semua pengetahuan
pada prinsipnya dapat diperoleh manusia selama ia menjadi manusia. Akal yang menjadi hakekat
kemanusiaan, dan akal adalah satu-satunya alat untuk memperoleh pengetahuan tentang dunia fisik
dan tentang konsep baik dan buruk;setiap sumber pengetahuan lain yang bukan akal hanya omong
kosong, dugaaan belaka dan kebohongan.

Metode burhani akhirnya benar-benarb mendapat tempat dalam system pemikiran islam setelah
masa Al-Farabi(870-950 M). Filosof paripatetik yang dikenal sebagai guru kedua(al-muallim al-
tsani) setelah Aristoteles sebagai guru pertama(muallim awwal) karenjaq pengaruhnya yang besar
dalam peletakan dasar-dasar filsafat islam setelah Aristoteles, tidak hanya mempergunakan
epistemology burhani dan filsafatnya, bahkan menempatkannya sebagai metode paling baik dan
unggul, sebagai ilmu-ilmu filsafat yang memakai metode burhani dinilai lebih tinggi kedudukannya
disbanding ilmu-ilmu agama;
Ilm al-kalam(teologi) dan fiqh(yurisprudensi),yang tidak mempergunakan metode burhani. Hal yang
sama juga dilakukan oleh Ibnu Rusyd(1126-1198 M) ketika secara jelas menyatakan bahwa metode
burhani(demonstrative)untuk kalangan elite terpelajar, metode dialektika(jadal)untuk kalangan
menengah dan metode retorik(khithabi) untuk kalangan awam.

A. Pengertian Burhani

Dalam bahasa Arab, al-burhan berarti argument (al-hujjah) yang jelas (al-bayyinah; clear) dan distinc
(al-fashl), yang dalam bahasa inggris adalah demonstration, yang mempunyai akar bahasa
Latin: demonstration (berarti member isyarat, sifat, keterangan, dan penjelasan). Dalam perspektif
logika (al-mantiq), burhani adalah aktivitas berpikir untuk menetapkan kebenaran suatu premis
melalui metode penyimpulan (al-istintaj), dengan menghubungkan premis tersebut dengan premis
yang lain yang oleh nalar dibenarkan atau telah terbukti kebenarannya (badlihiyyah). Sedang dalam
pengertian umum, burhani adalah aktivitas nalar yang menetapkan kebenaran suatu premis.

Istilah burhani yang mempunyai akar pemikiran dalam filsafat Aristoteles ini, digunakan oleh al-Jabiri
sebagai sebutan terhadap sebuah system pengetahuan (nidlam marifi) yang menggunakan metode
tersendiri di dalam pemikiran dan memiliki pandangan dunia tertentu, tanpa bersandar kepada
otoritas pengetahuan lain.

Jika dibandingkan dengan kedua epistemology yang lain; bayani dan irfani, dimana bayani
menjadikan teks (nash), ijma, dan ijtihad sebagai otoritas dasar dan bertujuan untuk meembangun
konsepsi tentang alam untuk memperkuat akidah agama, yang dalam hal ini Islam.
Sedang irfani menjadikan al-kasyf sebagai satu-satunya jalan di dalam memperoleh pengetahuan
dan sekaligus bertujuan mencapai maqam bersatu dengan Tuhan. Maka burhani lebih bersandar
pada kekuatan natural manusia berupa indra, pengalaman, dan akal di dalam mencapai
pengetahuan.

Burhani, baik sebagai metodologi maupun sebagai pandangan dunia, lahir dalam alam pikiran
Yunani, tepatnya dibawa oleh Aristoteles yang kemudian terbahas secara sistematis dalam
karyanya Organon, meskipun terminology yang digunakan berbeda. Aristoteles menyebutkan
dengan metode analitis (tahlili) yakni metode yang menguraikan pengetahuan sampai ditemukan
dasar dan asal-usulnya, sedangkan muridnya sekaligus komentator utamanya yang bernama
Alexander Aphrodisi memakai istilah logika (mantiq), dan ketika masuk ke dunia Arab Islam berganti
nama menjadi burhani.




B. Karakteristik Epistemologi Burhani

Dalam memandang proses keilmuan, kaum Burhaniyun bertolak dari cara piker filsafat di mana
hakikat sebenarnya adalah universal. Hal ini akan menempatkan makna dari realitas pada posisi
otoritatif, sedangkan bahasa yang bersifat particular hanya sebagai penegasan atau ekspresinya.
Hal ini nampak sejalan dengan penjelasan al-Farabi bahwa makna/ dating lebih dahulu daripada
kata, sebab makna datang dari sebuah pengkopsesian intelektual yang berada dalam tataran
pemikiran atau rasio yang diaktualisasikan dalam kata-kata. Al-Farabi memberikan pengandaian
bahwa seandainya konsepsi intelektual itu letaknya dalam kata-kata itu sendiri maka yang lahir
selanjutnya bukanlah makna-makna dan pemikiran-pemikiran baru tetapi kata-kata yang baru.

Jadi setiap ilmu burhani berpola dari nalar burhani dan nalar burhan bermula dari proses abstraksi
yang bersifat akali terhadap realitas sehingga muncul makna, sedang makna sendiri butuh aktualisasi
sebagai upaya untuk bisa dipahami dan dimengerti, sehingga di sinilah ditempatkan kata-kata;
dengan redaksi lain, kata-kata adalah sebagai alat komunikasi dan sarana berpikir di samping sebagai
sibol pernyataan makna.

mayor (al-hadd al-akbar) untuk premis yang pertama dan premis minor (al-hadd al-ashghar)untuk
premis yang kedua, yang kedua-duanya saling berhubungan dan darinya ditarik kesimpulan logis.

Mengikuti Aristoteles, Al-Jabiri dalam hal ini menegaskan bahwa setiap yang burhanipasti
silogisme, tetapi belum tentu yang silogisme itu burhani. Silogisme yang burhani (silogisme
demonstrative atau qiyah burhani) selalu bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan, bukan untuk
tujuan tertentu seperti yang dilakukan oleh kaum sufistaiyah (sophis).Silogisme (al-qiyas) dapat
disebut sebagai burhani, jika memenuhi tiga syarat:pertama, mengetahui sebab yang Secara
structural, proses yang dimaksud di atas terdiri dari tiga hal, pertama proses eksperimentasi yakni
pengamatan terhadap realitas; kedua proses abstraksi, yakni terjadinya gambaran atas realitas
tersebut dalam pikiran; ketiga, ekspresi yaitu mengungkapkan realitas dalam kata-kata.

Berkaitan dengan cara ketiga untuk mendapatkan ilmu burhani di atas, pembahasan tentang
silogisme demonstrative atau qiyas burhani menjadi sangat signifikan. Silogisme berasal dari bahasa
Yunani, yaitu sullogismos yang merupakan bentukan dari kata sulleginyang artinya mengumpulkan,
yang menunjukkan pada kelompok, penghitungan dan penarikan kesimpulan.Kata tersebut
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi qiyas atau tepatnya adalah qiyas jamai yang
karakternya mengumpulkan dua proposisi-proposisi (qadliyah) yang kemudian disebut premis,
kemudian dirumuskan hubungannya hubungannya dengan bantuan terminus medius atau term
tengah atau menuju kepada sebuah konklusi yang meyakinkan.Metode ini paling popular di
kalangan filsuf Peripatetik. Sementara Ibn Rusyd mendefinisikan demonstrasi dengan ketentuan dari
satu argument yang konsisten, tidak diragukan lagi kebenarannya yang diperoleh dari premis yang
pasti sehingga kesimpulan yang akan diperoleh juga pasti, sementara bentuk dari argument harus
diliputi oleh fakta akali. Jadi silogisme demonstratif atau qiyas burhani yang dimaksud adalah
silogisme yang premis-premisnya terbentuk dari konsep-konsep yang benar, yang meyakinkan,
sesuai dengan realitas (bukan nash) dan diterima oleh akal.

Aplikasi dari bentukan silogisme ini haruslah melewati tiga tahapan yaitu tahap pengertian
(maqulat), tahap pernyataan (ibarat) dan tahap penalaran (tahlilat).

Tahapan pengertian merupakan proses awal yang letaknya dalam pikiran sehingga di sinilah
sebenarnya terjadi pengabstraksian, yaitu merupakan aktivitas berpikir atas realitas hasil
pengalaman, pengindraan, dan penalaran untuk mendapatkan suatu gambaran. Sebagaimana
Aristoteles, pengertian ini selale merujuk pada sepuluh kategori yaitu satu substansi (jauhar)yang
menopang berdirinya Sembilan aksidensi (ard) yang meliputi kuantitas, kualitas, aksi, passi, relasi,
tempat, waktu, sikap dan keadaan.

Tahapan pernyataan adalah dalam rangka mengekspresikan pengertian tersebut dalam
kalimat yang disebut proposisi (qadliyah).Dalam proposisi ini haruslah memuat unsure subyek
(maudlu) dan predikat (muhmal) serta adanya relasi antara keduanya, yang darinya harus hanya
mempunyai satu pengertian dan mengandung kebenaran yaitu adanya kesesuaian dengan realitas
dan tiadanya keragu-raguan dan persangkaan.

Untuk mendapatkan satu pengertian dan tiadanya keraguan dan persangkaan, maka
pembuatan pernyataan harus mempertimbangan al-alfadz al-khamsah yang ada
dalamisagoge Aristoteles atau yang biasa disebut dengan lima konsep universal yang terdiri darijenis
(genus) yakni konsep universal yang mengandung suatu pengertian yang masing-masing sama
hakikatnya, nau (spises) yaitu konsep universal yang mengandung satu pengertian tetapi masing-
masing hakikatnya berbeda, fasl (differentia) yaitu sifat yang membedakan secara mutlak, khas
(propirum) atau sifat khusus yang dimiliki oleh suatu benda tetapi hilangnya sifat ini tidak akan
menghilangkan eksistensi benda tersebut dan ard (aksidensi) atau sifat khusus yang tidak
bisa diterapkan pada semua benda.

Tahapan penalaran; ini dilakukan dengan perangkat silogisme. Sebuah silogisme harus terdiri
dari dua proposisi (al-muqaddimatani) yang kemudian disebut premismenjadi alasan dalam
penyusunan premis; kedua, adanya hubungan yang logis antara sebab dan kesimpulan;
dan ketiga, kesimpulan yang dihasilkan harus bersifat pasti (dlaruriyyah), sehingga tidak ada
kesimpulan lain selain itu. Syarat pertama dan kedua adalah yang terkait dengan silogisme (al-
qiyas). Sedang syarat ketiga merupakan karakteristik silogisme burhani, dimana kesimpulan
(natijah) bersifat pasti, yang tak mungkin menimbulkan kebenaran atau kepastian yang lain. Hal ini
dapat terjadi, jika premis-premis tersebut benar dan kebenarannya telah terbukti lebih dulu
ketimbang kesimpulannya, tanpa adanya premis penengah (al-hadd al-awsath).

Dalam perspektif tiga teori kebenaran, maka kebenaran yang dihasilkan oleh pola
piker burhani tampak ada kedekatannya dengan teori kebenaran koherensi atau
konsistensi.Dalam burhani menuntut penalaran yang sistematis, logis, saling berhubungan dan
konsisten antara premis-premisnya, juga secara benar koheren dengan pengalaman yang ada, begitu
pula tesis kebenaran konsistensi atau koherensi. Kebenaran tidak akan terbentuk atas hubungan
antara putusan dengan sesuatu yang lain, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri.
Dengan perkataan lain bahwa kebenaran ditegakkan atas dasar hubungan antara putusan baru
dengan putusan lain yang telah ada dan diakui kebenarannya dan kepastiannya sehingga kebenaran
identik dengan konsistensi, kecocokan dan saling berhubungan secara sistematis.

STRUKTUR FUNDAMENTAL EPISTEMOLOGI BURHANI
1. Origin (sumber)
Nash/ Teks/ Wahyu (Otoritas Teks) Al-Akhbar, al-
Ijma (Otoritas Salaf) Al-Ilm al-Tauqifi
2. Methode (proses dan
prosedur)
Ijtihadiyyah Istinbathiyyah/ Istintajiyyah/
Istidlaliyyah/ qiyasQiyas (Qiyas al-ghahib ala al-
syahid)
3. Approach Lughawiyyah (bahasa), Dalalah Lughawiyyah
4. Theoretical Framework
Al-Ashl-al-far, Istinbathiyyah (pola piker deduktif
yang berpangkal pada teks), Qiyas al-Ilah (Fi-kih),
Qiyas al-dalalah (ka-lam), Al-Lafdz-al-Makna, Am-
khash, Mustarak, Haqiqah, Majaz, Muhkam,
Mufassar, Zahir, Khafi, Musykil, Muj-mal,
Mutasyabih
5. Fungsi dan Peran Akal
Akal sebagai pengekang / pengatur hawa nafsu
(lihat Lisan al-Arab Ibn Man-dzur), Justifikasi-
Repeetitif-Taqlidi (pengukuh kebenaran/ otoritas
teks), Al-Aql al-Diniy
6. Type of Argument
Dialektik (Jadaliyyah); al-Uqul al Mtanafisah
Defensif Apologetik Polemik Dogmatik
Pengaruh pola Logika Stonic (bukan logika
Aristoteles)
7. Tolok Ukur Validitas Keilmuan
Keserupaan/ kedekatan antara teks (nash) dengan
realitas
8. Prinsip-Prinsip Dasar
Infishal (discontinue) = Atomistik
Tajwiz (keserbabolehan) = tidak ada hokum
kausalitas, Muqarabah (kedekatan, keserupaan),
Analogi deduktif; Qiyas
9. Kelompok Ilmu-ilmu
Pendukung
Kalam (Teologi), Fiqih (Jurisprudensi)/ Fuqaha;
Ushuliyyun, Nahwu (Grammar); Balaghah
10. Hubungan Subjek dan Objek Subjective (Theistic atau Fideistic Subjectivism)

C. Logika Dalam Epistemologi Burhani

Menurut sejarah munculnya metode pemikiran burhani. dasar logika yang paling berpengaruh di
dalamnya adalah logika Aristoteles. Istilah logika ini sebenarnya muncul belakangan dan tidak
pernah disebut oleh Aristoteles.

Aristoteles sendiri memperkenalkan metode berpikirnya ini sebagai metode berpikir analitik. Logika
Aristoteles sering disebut sebagai logika tradisionalis, logika formal, atau logika deduktif. Salah satu
ajaran penting dalam logika Aristoteles adalah silogisme.

Aristoteles menjelaskan silogisme dengan cara yang berbeda dengan metode silogisme yang telah
disebutkan sebelumnya. Model silogisme yang disebutkan pada penjelasan metode-metode
inferensi sebelumnya adalah silogisme yang dikenalkan oleh logika Stoik.

Model silogisme Aristoteles serins disebut sebagai silogisme katagorik karena semua proposisinya
katagorik. Silogisme terdiri dari beberapa komponen, yaitu premis mayor, premis minor, dan
kesimpulan. Di dalam istilah yang digunakan oleh Skolastik, terdapat beberapa bentuk silogisme :
a. Bentuk pertama, term tengah (middle term) menjadi subyek pada premis mayor dan menjadi
predikat pada premis minor.
Contoh:
1. Semua manusia fana, (premis mayor). Sokrates adalah seorang manusia, (premis minor)
Sokrates fana. (kesimpulan)
- Model ini disebut Barbara.

2. Tak ada ikan yang rasional. Semua hiu adalah ikan. Tak ada hiu yang rasional.
- Model ini disebut Calerent.

3. Semua manusia rasional.
Sebagian makhluk hidup adalah manusia. Sebagian makhluk hidup rasional.
- Model ini disebut Dani.

4. Tak ada orang Yunani berkulit hitam. Sebagian manusia adalah orang Yunani. Sebagian manusia
tak berkulit hitam.
- Model ini disebut Ferio.

b. Bentuk kedua, term tengah (middle term) menjadi predikat pada premis mayor dan premis minor.
Contoh :
Semua tumbuhan membutuhkan air.
Tidak sarupun benda mati membutuhkan air.
Tidak sarupun benda mati adalah tumbuhan.

c. Bentuk ketiga, term tengah {middle term) menjadi subyek pada premis mayor dan premis minor.
Contoh :
Setiap manusia mempunyai rasa takut. Tetapi setiap manusia adalah makhluk hidup. Sebagian
makhluk hidup mempunyai rasa takut.

Dengan landasan logika Aristoteles, beberapa metode yang dipakai dalam epistemologi burhani
adalah metode deduksi (istintaj, qiyasjami), induksi (istiqrd), konsep universalisme (al-
kulli). universalitas-universalitas induktif, prinsip kausalitas dan historitas. serta tujuan syariah (al-
maqashid).

Perbedaan mendasar antara penalaran dengan epistemologi bayam dan burhani adalah inferensi
pada bayani didasarkan atas lafal, sedangkan pada epistemologi burhani didasarkan pada makna.
Dalam perkembangan selanjitnya,metode burhani yang dianggap lebih unggul dibanding dua
epistemologi yang lain ternyata mengandung kekurangan,bahwa ia tidak bisa sampai seluruh realitas
wujud. Ada sesuatu yang tidak bisa dicapai oleh penalaran rasional,meski rasio telah mengklaim
sesuai dengan prinsip-prinsip segala sesuatu,bahkan silogisme rasional sendiri pada saat tertentu
tidak bisa mejelaskan atau mendefinisikan sesuatu yang diketahuinya.

Menurut Suhrawardi(1154-1192 M),kekurangan rasionalisme burhani antara lain,(1) Bahwa ada
kebenaran-kebenaran yang tidak bisa dicapai oleh rasio atau didekati lewat burhani,(2) Ada
eksistensi diluar pikiran yang bisa dicapai nalar tetapi tidak bisa dijelaskan burhani,seperti soal
warna,bau,rasa,atau bayangan,(3) prinsip burhani yang mengatakan bahwa atribut sesuatu harus
didefinisikan oleh atribut yang lain akan mengiring pada proses tanpa akhir,ad infinitum,yang itu
berarti tidak ada absurditas yang bisa diketahui. Jelasnya,deduksi rasional (burhani) dan demonstrasi
belaka tidak bisa menyingkap seluruh kebenaran dan realitas yang mendasari semesta.

Karena itu,muncul metode baru yang disebut iluminasi (isyraqi) yang memadukan metode burhani
yang mengandalkan kekuatan rasio dengan metode irfani yang mengandalkan kekuatan hati
lewat kasyf atau intuisi. Metode ini berusaha menggapai kebenaran yang tidak dicapai lewat jalan
intuitif,dengan cara membersihkan hati kemudian menganalisa dan melandasinya dengan argumen-
argumen rasional.

Namu demikian,pada masa berikutnya,metode isyraqi dirasa juga mengandung kelemahan,bahwa
pengetahuan iluminatif hanya berputar pada kalangan elite terpelajar,tidak bisab disosialisasikan
sampai masyarakat bawah,dan tidak bisa diterima bahkan tidakjarang malah bertentangan dengan
apa yang dipahami kalanga eksoteris(Fiqh) sehingga tidak jarang justru menimbulkan
kontraversial.Muncul metode kelima, filsafat transenden(hikmah al-mutaaliyah),yang dicetuskan
Mulla Sandra(1571-1640 M) dengan memadukan tiga metode dasar sekaligus;metode bayani yang
tekstual,metode burhani yang rasional dan metode irfani yang intuitif.

Dengan metode terakhir ini, pengetahuan atau hikmah yang diperoleh tidak hanya yang dihasilkan
oleh kekuatan akal tetapi juga lewat pencerahan ruhaniah,dan semua itu disajikan dalam bentuk
rasional dengan menggunakan argumen-argumen rasional.Bagi kaum Mutaaliyah ,pengetahuan
atau hikmah tidak hanya untuk memberikan pencerahan kognisi tetapi juga realisasi;mengubah
wujud penerima pencerahan itu sendiri dan merealisasikan pengetahuan yang diperoleh sehingga
terjadi transformasi wujud.Semua itu tidak bisa dicapai kecuali dengan mengikuti syariat,sehingga
sebuah pemikiran harus menggaet metode bayani dalam sistemnya.

Dengan mengambil berbagai basis epistemologi seperti diatas,menurut Muthahhari,perselisihan
yang terjadi antara paripatetik dengan iluminasi, antara filsafat dengan irfan,atau antara filsafat
dengan teologi bisa diselesaikan dengan baik. Namun demikian ,hikmah al-mutaaliyah bukan
merupakan singkritisme dari epistemologi sebelumnya,tetapi sebuah epistemologi filsafat yang unit
dan merupakan epistemologi yang berdiri sendiri.

Dibandingkan prinsip isyraqiyah Suhrawardi yang berusaha mengintegrasikan paripatetis ke
dalam epitemologinya,menurut Jalaludin Rahmat, hikmah al-mutaaliyah Mulla Sadra tidak berbeda
dengan itu, bahkan ia bisa dikatakan melanjutkan upaya Sahrawardi tersebut dan menjawab lebih
banyak persoalan secara lebih mendalam. Perbedaan diantara keduanya terjadi pada basis
ontologisnya, meliputi ashalat al-wujud(Fundamental eksistensi),Tasykik(gradasi eksistensi) dan
barakat al-jauhariyah(gerakan substansial).

Secara garis besar, hubungan antara metode burhani dengan yang lainnya bisa dipetakan sebagai
berikut;

2.3 Epistemologi Irfani
A. Pengertian Epistemologi Irfani
Irfan dari kata dasar bahasa Arab semakna dengan makrifat, berarti pengetahuan. Tetapi ia
berbeda dengan ilmu (`ilm). Irfan atau makrifat berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh
secara langsung lewat pengalaman (experience), sedang ilmu menunjuk pada pengetahuan yang
diperoleh lewat transformasi (naql) atau rasionalitas (aql).Karena itu, irfan bisa diartikan sebagai
pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada
hamba-Nya setelah adanya olah ruhani yang dilakukan atas dasar cinta. Kebalikan dari epistemologi
bayani, sasaran bidik irfani adalah aspek esoterik syareat, apa yang ada dibalik teks. Sedangkan
secara epistemologis, irfani merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan cara pengolahan
batin/ruhani, yang kemudian diung-kapkan secara logis

B. Sumber Asal Irfani
Para ahli berbeda pendapat tentang asal sumber irfan.Pertama, kelompok yang menganggap
bahwa irfan Islam berasal dari sumber Persia dan Majusi, seperti yang disampaikan Dozy dan Thoulk.
Alasannya, sejumlah besar orang-orang Majusi di Iran utara tetap memeluk agama mereka setelah
penaklukan Islam dan banyak tokoh sufi yang berasal dari daerah Khurasan. Di samping itu, sebagian
pendiri aliran-aliran sufi berasal dari keturunan orang Majusi, seperti Ma`ruf al-Kharki dan Bayazid
Busthami.
Kedua, kelompok yang beranggapan bahwa irfan berasal dari sumber-sumber Kristen,
seperti dikatakan Von Kramer, Ignaz Goldziher, Nicholson, Asin Palacios dan O'lery. Alasannya, (1)
adanya interaksi antara orang-orang Arab dan kaum Nasrani pada masa jahiliyah maupun zaman
Islam; (2) adanya segi-segi kesamaan antara kehidupan para Sufi, dalam soal ajaran, tata cara
melatih jiwa (riydlah) dan mengasingkan diri (khalwt), dengan kehidupan Yesus dan ajarannya,
juga dengan para rahib dalam soal pakaian dan cara bersembahyang.
Ketiga, kelompok yang beranggapan bahwa irfan ditimba dari India, seperti pendapat
Horten dan Hartman. Alasannya, kemunculan dan penyebaran irfan (tasawuf) pertama kali adalah di
Khurasan, kebanyakan dari para sufi angkatan pertama bukan dari kalangan Arab, seperti Ibrahim
ibn Adham , Syaqiq al-Balkh dan Yahya ibn Muadz. Pada masa sebelum Islam, Turkistan adalah pusat
agama dan kebudayaan Timur serta Barat.Mereka memberi warna mistisisme lama ketika memeluk
Islam.Konsep dan metode tasauf seperti keluasan hati dan pemakaian tasbih adalah praktek-praktek
dari India.
Keempat, kelompok yang menganggap irfan berasal dari sumber-sumber Yunani, khususnya
Neo-Platonisme dan Hermes, seperti disampaikan O'leary dan Nicholson.Alasannya, Theologi
Aristoteles' yang merupakan paduan antara sistem Porphiry dan Proclus telah dikenal baik dalam
filsafat Islam.Kenyataannya, Dzun al-Nun al-Misri (796-861 M), seorang tokoh sufisme dikenal
sebagai filosof dan pengikut sains Hellenistik.Jabiri agaknya termasuk kelompok ini. Menurutnya,
irfan diadopsi dari ajaran Hermes, sedang pengambilan dari teks-teks al-Qur`an lebih dikarenakan
tendensi politik. Sebagai contoh, istilah maqmat yang secara lafzi dan maknawi diambil dari al-
Qur`an (QS.Al-Fusilat 164), identik dengan konsep Hermes tentang mi`raj, yakni kenaikan jiwa
manusia setelah berpisah dengan raga untuk menyatu dengan Tuhan. Memang ada
kata maqmat dalam al-Qur`an tetapi dimaksudkan sebagai ungkapan tentang pelaksanaan hak-hak
Tuhan dengan segenap usaha dan niat yang benar, bukan dalam arti tingkatan atau tahapan seperti
dalam istilah al-Hujwiri.

C. Konsep Epistemologi Irfani
Pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks seperti halnya bayani, tidak juga didasarkan
pada rasio seperti halnya burhani, tetapi pada kasyf, yakni tersingkapnya rahasia-rahasia realitas
oleh Tuhan.Disebutkan juga bahwa Irfani ini erat kaitannya dengan konsep tasawuf. Karena itu,
pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani, di mana
dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya.
Masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan
demikian pengetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan.

a. Persiapan
Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang harus menempuh jenjang-
jenjang kehidupan spiritual. Setidaknya ada tujuh tahapan yang harus dijalani, mulai dari bawah
menuju puncak; Taubat, Wara` (menjauhkan diri dari segala sesuatu yang subhat),Zuhud (tidak
tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia), Faqir (mengosongkan seluruh pikiran, tidak
menghendaki apapun kecuali Tuhan SWT), Sabar, Tawakkal, Ridla (hilangnya rasa ketidaksenangan
dalam hati sehingga yang tersisa hanya gembira dan suka cita).

b. Penerimaan
Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan mendapatkan limpahan
pengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif (pencerahan). Pada tahap ini seseorang akan
mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf), sehingga dengan kesadaran itu ia
mampu melihat realitas dirinya sendiri (musyhadah) sebagai objek yang diketahui. Namun, realitas
kesadaran dan realitas yang disadari tersebut, keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi
merupakan eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah kesadaran yang
mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya, yang dalam kajian Mehdi Yazdi disebut Ilmu Huduri'
atau pengetahuan swaobjek (self object knowledge).
Menemukan kebenaran dengan cara ini juga diakui John S. Brubacher dalam bukunya,
Modern Philosophies of Education, bahwa salah satu dari teori tentang kebenaran adalah Teori
Religius (Religious), yaitu kebenaran adalah kebenaran Ilahi (divine truth), kebenaran yang
bersumber dari Tuhan, kebenaran disampaikan melalui wahyu (ilham). Kebenaran tidak cukup
diukur dengan interes dan rasio individu, akan tetapi harus bisa menjawab kebutuhan dan memberi
keyakinan pada seluruh umat. Karena itu kebenaran haruslah mutlak, berlaku sepanjang sejarah
manusia.
Pengetahuan semacam ini di dunia islam sering disebut dengan ilham, seperti yang dikatakan
Ali Issa Othman, bahwa Pengetahuan yang diperoleh di dalam "kebangkitan" disebut ilham. Tetapi
ilham bukan merupakan wahyu atau kenabian. Wahyu merupakan kata-kata yang menggambarkan
hal-hal yang tidak dapat dilihat secara umum, yang diurunkan Allah dengan maksud supaya
disampakan kepada orang-orang lain sebagai petunjuk-petunjuk dari Allah, sedangkan ilham hanya
merupakan "pengungkapan" kepada manusia pribadi yang disampaikan melalui batinnya. Wahyu
hanya diberikan kepada nabi-nabi, sedang ilham diberikan kepada siapa saja yang diperkenankan
Allah.

c. Pengungkapan
Yakni pengalaman mistik diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan
atau tulisan. Namun, karena pengetahuan irfani bukan masuk tatanan konsepsi dan representasi
tetapi terkait dengan kesatuan simpleks kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam Tuhan,
sehingga tidak bisa dikomunikasikan, maka tidak semua pengalaman ini bisa diungkapkan.Hal ini
dibenarkan pula oleh Ali Issa Othman.
"Pengetahuan tentang kebenaran tidak dapat diungkapkan secara umum dan hanya dapat
diketahui secara pribadi. Usaha-usaha untuk merumuskannya ke dalam kata-kata hanya akan
menyesatkan. Kata-kata tidak dapat melukiskan kenyataan, karena kata-kata hanya diciptakan untuk
mengutarakan hal-hal secara sepakat, dan kebenaran itu tidak dikenal secara sepakat".
Kemudian beberapa cara pengungkapan makna atau dimensi batin yang diperoleh dari hasil
kasyf tersebut adalah : Pertama, dapat diungkapkan dengan cara i`tibr atau qiyas irfani. Yakni
analogi makna batin yang ditangkap dalam kasyf kepada makna zahir yang ada dalam teks.Kedua,
diungkapkan lewat syathaht, suatu ungkapan lisan tentang perasaan (al-wijdn) karena limpahan
pengetahuan langsung dari sumbernya dan dibarengi dengan pengakuan, seperti ungkapan Maha
Besar Aku' dari Abu Yazid Bustami (w. 877 M), atau Ana al-Haqq' dari al-Hallaj (w. 913 M).
Ungkapan-ungkapan seperti itu menjadi tidak beraturan dan diluar kesadaran, karena keluar saat
seseorang mengalami suatu pengalaman intuitif yang sangat mendalam, sehingga sering tidak sesuai
dengan kaidah teologis maupun epistemologis tertentu, sehingga karena itu pula ia sering dihujat
dan dinilai menyimpang dari ajaran islam yang baku. Meski demikian, secara umum, syathahat
sebenarnya diterima dikalangan sufisme, meskipun dikalangan sufisme sunni yang membatasi diri
pada aturan syariat, dengan syarat bahwa syathaht tersebut harus ditakwilkan, yakni ungkapannya
harus terlebih dahulu dikembalikan pada makna zahir teks. Artinya, syathahat tidak boleh
diungkapkan secara liar' dan berseberangan dengan ketentuan syariat yang ada.
Metode analogi seperti di atas, menurut al-Jabiri, juga dikenal dalam pemikiran di Barat,
yakni dalam aliran filsafat esoterik, yang disebut analogi intuitif.Namun, dalam analogi filsafat
esoterik, perbandingan (qiyas) bukan dialakukan atas dasar kesamaan tetapi karena adanya
keterpengaruhan.Bagi al-Jabiri, dengan tidak adanya kesetaraan atau kesamaan diantara dua hal
yang dianalogikan berarti analogi (qiyas) tersebut telah jatuh. Karena itu, dan ini merupakan
kesalahan al-Jabiri, ia menggunakan metode analogi Barat tersebut untuk menganalisa irfani Islam,
sehingga menganggap bahwa pengetahuan irfani yang dibangun diatas dasar qiyas bukan sesuatu
yang luar biasa tetapi hanya kreatifitas akal yang didasarkan atas imajinasi. Lebih lanjut, irfani
akhirnya hanya merupakan filsafatisasi mitos-mitos, yang tidak memberikan kontribusi apapun
terhadap pembangunan masyarakat. Padahal, irfani islam sama sekali berbeda dengan mistik di
barat, meski di beberapa bagian ada kesamaan. Irfani lebih berkaitan dengan kebersihan jiwa, rasa
dan kayakinan hati, sementara mistik barat kurang berkaitan dengan semua itu tetapi lebih bersifat
positivistik.
Epistemologi Irfani merupakan sebuah cabang ilmu filsafat Islam yang kemudian membentuk
disiplin ilmu secara otonom. Irfani (bentuk infinitif dari kata arafa yang berarti tahu/mengetahui) ini
erat kaitannya dengan konsep tasawuf: ma'rifat. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh
berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani, yang setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan;
Persiapan, Penerimaan (ilham), dan Pengungkapan. Ungkapan-ungkapan yang dihasilkan oleh
pemikiran secara irfani sering kali menjadi tidak beraturan dan di luar kesadaran, karena keluar saat
seseorang mengalami suatu pengalaman intuitif yang sangat mendalam yang disebut gnosis,
sehingga sering tidak sesuai dengan kaidah teologis maupun epistemologis tertentu, sehingga
karena itu cenderung pula ia sering dihujat dan dinilai menyimpang. Pendekatan irfani secara
epistemologis, menjadikan pengalaman ruhani bisa dijelaskan secara rasional dan masuk akal.





















BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tiga epistemologi Islam ini mempunyai basis dan karakter yang berbeda.Pengetahuan bayani
didasarkan atas teks suci, irfani pada intuisi sedang burhani pada rasio.Masing-masing mempunyai
kelebihan dan kekurangan. Untuk bayani, karena hanya mendasarkan diri pada teks, ia menjadi
terfokus pada hal-hal yang bersifat aksidental bukan substansial, sehingga kurang bisa dinamis
mengikuti perkembangan sejarah dan sosial masyarakat yang begitu cepat. Kenyataannya, pemikiran
Islam saat ini yang masih banyak didominasi pemikiran bayani fiqhiyah kurang bisa merespon dan
mengimbangi perkembangan peradaban dunia. Tentang burhani, ia tidak mampu mengungkap
seluruh kebenaran dan realitas yang mendasari semesta. Misalnya, burhani tidak mampu
menjelaskan seluruh eksistensi diluar pikiran seperti soal warna, bau, rasa atau
bayangan.memadukan metode burhani yang mengandalkan kekuatan rasio dengan metode irfani
yang mengandalkan kekuatan hati lewat kashaf atau intuisi. Metode ini berusaha menggapai
kebenaran yang tidak dicapai rasional.
Tabel 1. Perbandingan Epistemologi Bayani. Irfani.
dan Burhani
Bayani Irfani Burhani
Sumber Teks
Keagamaan/
Nash
Ilham/ Intuisi Rasio
Metode Istinbat/
Istidlal
Kasyf Talilili
(analitik).
Diskursus
Pendekatan Linguistik Psikho- Loaika
Gnostik i-
Tema
Sentral
Ashl-Furu*
Kata - Makna
Zahir - Batin
Wilayah -
Nubuwah
Essensi -
Aksistensi
Bahasa
Loaika
Validitas
Kebenaran
Korespondensi Intersubjektif Koherensi
Konsistensi
Pendukung Kaum Teolos.
ahli Fiqli.
ahli Bahasa
Kaum Sufi Para
Filosof
BAB IV
Daftar Pustaka

Sholih, Ahmad Khudori,2004,Wacana baru Filsafat Islam.Penerbit Pustaka Pelajar.Celeban
Timur UH III /548: Yogyakarta

Muslih, Muhammad, 2005, Filsafat Ilmu, Penerbit belukar: yogyakarta

Diakses dari Ahmad,Hujair Sanaky, pada 11 maret 2009, Pemikiran dan peradaban
islamDosen UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA website:http://islamlib.com

Diakses dariRusydi,Muhammad pada 20 maret 2009,Epistemologi Bayani Muhammad 'Abid al-
Jabiri,Alumni Magister Filsafat Islam, UlNSunan Kalijaga Yogyakarta,website:http://digilib.sunan-
ampel.ac.id
Syifak (http://akcaya2.blogspot.sg/2013/09/filsafat-ilmu-apa-pengertian.html)





SUMBER-SUMBER
EPISTEMOLOGI ISLAM (BAYANI)
Posted on November 13, 2013 by alkautsarkalebbi
A.PENDAHULUAN
Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks (nash), secara
langsung atau tidak lansung, dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi
(istidlal). Secara langsung arti memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung
mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran; secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai
pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meskipun demikian, hal ini tidak
berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap bersandar
pada teks. Dalam bayani, rasio dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali
disandarkan pada teks. Dalam perspektif keagamaan,sasaran bidik metode bayani adalah aspek
eksoterik (syariat)
Sebagai epistemologi paling awal dalam pemikiran Islam, epistemologi bayani tidak muncul
secara tiba-tiba. Tetapi, epistemologi ini memiliki akar sejarah panjang dalam budaya dan tradisi
pemikiran Arab. Epistemologi ini menjadikan wahyu (teks) sebagai sumber pengetahuan dan
kebenaran dalam Islam. Konstruksi berpikir bayani adalah deduktif dengan menjadikan
nash atau wahyu sebagai sumber pengetahuan.
Menurut Imam as-Syafii, tiga asas epistemologi bayani adalah al-Quran, as-Sunnah dan al-
Qiyas. Kemudian, beliau juga menyandarkan pada satu asas lagi, yaitu al-Ijma. Berdasarkan
suatu penelitian, ulama telah menetapkan bahwa dalil-dalil sebagai dasar acuan hukum syariah
tentang perbuatan manusia dikembalikan kepada empat sumber, yaitu al-Quran, as-Sunnah, al-
Ijma dan al-Qiyas. Kemudian, yang dijadikan dalil pokok dan sumber dari hukum syariah adalah
al-Quran dan as-Sunnah, dimana as-Sunnah berfungsi sebagai interpretasi bagi keglobalan al-
Quran, dan sebagai penjelas serta pelengkap al-Quran.
B. PEMBAHASAN

1.Pengertian Bayani
Dari kata-kata bahasa Arab, bayan berarti penjelasan. Al-Jabiri, berdasarkan beberapa makna
yang diambil dari kamus Lisan al-Arab, suatu kamus karya Ibn Mandzur dan dianggap sebagai
karya pertama yang belum tercemari pengertian lain tentang kata ini, memberikan arti sebagai
al-fashl wa infishal (memisahkan dan terpisah) dan al-dhuhr wa al-idhhar (jelas dan
penjelasan). Makna al-fashl wa al-idhhr dalam kaitannya dengan metodologi, sedang infishal
wa dhuhr berkaitan dengan visi (ru`y) dari metode bayani.[1]
Secara terminologi, bayan mempunyai dua arti (1) sebagai aturan-aturan penafsiran wacana
(qawanin tafsr al-khithabi), (2) syarat-syarat memproduksi wacana (syurt intaj al-khithab).
Berbeda dengan makna etimologi yang telah ada sejak awal peradaban Islam, makna-makna
terminologis ini baru lahir belakangan, yakni pada masa kodifikasi (tadwn). Antara lain ditandai
dengan lahirnya Al-Asybah wa al-Nazhir f al-Qur`n al-Karm karya Muqatil ibn Sulaiman (w.
767 M) dan Ma`n al-Qur`n karya Ibn Ziyad al-Farra (w. 823 M) yang keduanya sama-sama
berusaha menjelaskan makna atas kata-kata dan ibarat-ibarat yang ada dalam al-Qur`an.
Menurut Ahmad Khudori Soleh, Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan
otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan
yang digali lewat istidlal. Adapun Teks yang di maksud disini adalah secara umum dapat
dikelompokkan menjadi dua yaitu (1) teks nash (Al Quran dan Sunnah Nabi), Al-Quran
mempunyai otoritas penuh untuk memberikan arah tujuan dan arti kebenaran. Secara singkat
dapat dikatakan bahwa epistemologi bayani mendasarkan otoritas pengetahuan langsung dari
teks (nash) yang kemudian diimplementasikan pada wilayah praktris tanpa harus melalui
pemikiran. Akal tidak dibiarkan bebas mengembara, tetapi akal harus berlandaskan teks. (2)
teks non nash, yakni karya para ulama.

2.Perkembangan Bayani
Pengertian tentang bayani diatas kemudian berkembang sejalan dengan perkembangan
pemikiran Islam. Begitu pula aturan-aturan metode yang ada di dalamnya. Pada masa Syafii
(767-820 M) yang dianggap sebagai peletak dasar yurisprudensi Islam, bayani berarti nama
yang mencakup makna-makna yang mengandung persoalan ushl (pokok) dan yang
berkembang hingga ke cabang (fur`). Sedang dari segi metodologi, Syafii membagi bayan ini
dalam lima bagian dan tingkatan.
(1) Bayan yang tidak butuh penjelasan lanjut, berkenaan dengan sesuatu yang telah dijelaskan
Tuhan dalam al-Qur`an sebagai ketentuan bagi makhluk-Nya.
(2) Bayan yang beberapa bagiannya masih global sehingga butuh penjelasan Sunnah.
(3) Bayan yang keseluruhannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah.
(4) Bayan Sunnah, sebagai uraian atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al-Qur`an.
(5) Bayan Ijtihad, yang dilakukan dengan qiyas atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al-Qur`an
maupun Sunnah.
Dari lima derajat bayan tersebut al-Syafii kemudian menyatakan bahwa yang pokok (ushl) ada
tiga, yakni al-Qur`an, Sunnah dan Qiyas, kemudian ditambah ijma.
Al-Jahizh (w. 868 M) yang datang berikutnya mengkritik konsep bayan Syafii di atas.
Menurutnya, apa yang dilakukan Syafii baru pada tahap bagaimana memahami teks, belum
pada tahap bagaimana memberikan pemahaman pada pendengar atas pemahaman yang
diperoleh. Padahal, menurutnya, inilah yang terpenting dari proses bayani. Karena itu, sesuai
dengan asumsinya bahwa bayan adalah syarat-syarat untuk memproduksi wacana (syurut intj
al-khithab) dan bukan sekedar aturan-aturan penafsiran wacana (qawnin tafsr al-khithabi),
Jahizh menetapkan syarat bagi bayani. Yaitu :
(1) Syarat kefasihan ucapan.
(2) Seleksi huruf dan lafat, sehingga apa yang disampaikan bisa menjadi tepat guna.
(3) Adanya keterbukaan makna, yakni bahwa makna harus bisa diungkap dengan salah satu dari
lima bentuk penjelas, yakni lafat, isyarat, tulisan, keyakinan dan nisbah.
(4) Adanya kesesuaian antara kata dan makna.
(5) Adanya kekuatan kalimat untuk memaksa lawan mengakui kebenaran yang disampaikan dan
mengakui kelemahan serta kesalahan konsepnya sendiri.[2]
Sampai di sini, bayani telah berkembang jauh. Ia tidak lagi sebagai sekedar penjelas atas kata-
kata sulit dalam al-Qur`an tetapi telah berubah menjadi sebuah metode bagaimana memahami
sebuah teks (nash), membuat kesimpulan dan keputusan atasnya, kemudian memberikan uraian
secara sistematis atas pemahaman tersebut kepada pendengar, bahkan telah ditarik sebagai
alat untuk memenangkan perdebatan. Namun, apa yang ditetapkan al-Jahizh dalam rangka
memberikan uraian pada pendengar tersebut, pada masa berikutnya, dianggap kurang tepat dan
sistematis. Menurut Ibn Wahhab , bayani bukan diarahkan untuk mendidik pendengar tetapi
sebuah metode untuk membangun konsep diatas dasar ashul-furu`; caranya dengan
menggunakan paduan pola yang dipakai ulama fiqh dan kalm (teologi).
Paduan antara metode fiqh yang eksplanatoris (keterangan yang bersifat menjelaskan) dan
teologi yang dialektik dalam rangka membangun epistemologi bayani baru ini sangat penting,
karena menurutnya, apa yang perlu penjelasan (bayan) tidak hanya teks suci tetapi mencakup
empat hal. Yaitu :
(1) Wujud materi yang mengandung aksiden dan substansi.
(2) Rahasia hati yang memberi keputusan bahwa sesuatu itu benar-salah dan subhat, saat
terjadi proses perenungan.
(3) Teks suci dan ucapan yang mengandung banyak dimensi.
(4) Teks-teks yang merupakan representasi pemikiran dan konsep.
Dari empat macam objek ini, Ibn Wahhab menawarkan empat macam bayani :
(1) Bayn al-I`tibar untuk menjelaskan sesuatu yang berkaitan dengan materi.
(2) Bayan al-I`tiqad berkaitan dengan hati (qalb).
(3) Bayan al-`ibarah berkaitan dengan teks dan bahasa.
(4) Bayan al-kitab berkaitan dengan konsep-konsep tertulis.
Pada periode terakhir muncul al-Syathibi (w. 1388 M). Sampai sejauh itu, menurutnya, bayani
belum bisa memberikan pengetahuan yang pasti (qath`I) tapi baru derajat dugaan (zhan),
sehingga tidak bisa dipertanggungjawabkan secara rasional. Dua teori utama dalam bayani,
istimbath dan qiyas, yang dikembangkan bayani hanya berpijak pada sesuatu yang masih
bersifat dugaan. Padahal, penetapan hukum tidak bisa didasarkan pada sesuatu yang bersifat
dugaan.
Karena itu, Syathibi lantas menawarkan tiga teori untuk memperbarui bayani, yakni al-istintaj, al-
istiqra dan maqshid al-syari`, yang dieleminir dari pemikiran Ibn Rusyd dan Ibn Hazm. Al-
Istintaj sama dengan silogisme, menarik kesimpulan berdasarkan dua premis yang mendahului,
berbeda dengan qiyas bayani yang dilakukan dengan cara menyandarkan furu` pada ashl, yang
oleh Syathibi dianggap tidak menghasilkan pengetahuan baru. Pengetahuan bayani harus
dihasilkan melalui proses silogisme ini, sebab menurut al-Sythibi, semua dalil syara` telah
mengandung dua premis, nazhariyah (teoritis) dan naqliyah (transmisif). Nazhariyah berbasis
pada indera, rasio, penelitian dan penalaran, sementara naqliyah berbasis pada proses
transmisif (naql/ khabar). Nazhariyah merujuk pada tahqq al-manth al-hukm (uji empiris suatu
sebab hukum) dalam setiap kasus, sedang naqliyah merujuk pada hukum itu sendiri dan
mencakup pada semua kasus yang sejenis, sehingga ia merupakan kelaziman yang tidak
terbantah dan sesuatu yang mesti diterima. Nazhariyah merupakan premis minor sedang
naqliyah menjadi premis mayor. Istiqra adalah penelitian terhadap teks-teks yang setema
kemudian di ambil tema pokoknya, tidak berbeda dengan tematic induction. Sedang maqshid
al-syar`iyah berarti bahwa diturunkannya syariah ini mempunyai tujuan-tujuan tertentu, yang
menurut Syathibi terbagi dalam tiga macam; dlarriyah (primer), hajiyah (sekunder) dan
tahsniyah (tersier).
Pada tahap ini, metode bayani telah lebih sempurna dan sitematis, dimana proses pengambilan
hukum atau pengetahuan tidak sekedar mengqiyaskan furu` pada ashl tetapi juga lewat proses
silogisme seperti dalam filsafat.

3.Bayani Sebagai Sumber Pengetahuan
Meski menggunakan metode rasional filsafat seperti digagas Syathibi, epistemology bayani tetap
berpijak pada teks (nash). Dalam ushl al-fiqh, yang dimaksud nash sebagai sumber
pengetahuan bayani adalah al-Qur`an dan hadis. Ini berbeda dengan pengetahuan burhani yang
mendasarkan diri pada rasio dan irfani pada intuisi. Karena itu, epistemolog bayani menaruh
perhatian besar dan teliti pada proses transmisi teks dari generasi ke generasi.
Persoalan di atas sangat penting bagi bayani, karena sebagai sumber pengetahuan benar
tidaknya transmisi teks menentukan benar salahnya ketentuan hukum yang diambil. Jika
transmisi teks bisa di pertanggungjawabkan berarti teks tersebut benar dan bisa dijadikan dasar
hukum. Sebaliknya, jika transmisinya diragukan, maka kebenaran teks tidak bisa
dipertanggungjawabkan dan itu berarti ia tidak bisa dijadikan landasan hukum.
Karena itu, mengapa pada masa tadwn (kodifikasi), khususnya kodifikasi hadis, para ilmuan
begitu ketat dalam menyeleksi sebuah teks yang diterima. Bukhari, misalnya, menggariskan
syarat yang tegas bagi diterimanya sebuah teks hadis; (1) Bahwa perowi harus memenuhi
tingkat kriteria yang paling tinggi dalam hal watak pribadi, keilmuan dan standar akademis, (2)
Harus ada informasi positif tentang para perowi yang menerangkan bahwa mereka saling
bertemu muka dan para murid belajar langsung pada gurunya. Dari upaya-upaya seleksi
tersebut kemudian lahir ilmu-ilmu tertentu untuk mendeteksi dan memastikan keaslian teks,
seperti al-Jarh wa al-Ta`dl, Mushthalah al-Hadits, Rijal al-Hadits dan seterusnya. [3]
Selanjutnya, tentang nash al-Qur`an, meski sebagai sumber utama, tetapi ia tidak selalu
memberikan ketentuan pasti. Dari segi penunjukkan hukumnya (dillah al-hukm), nash al-Qur`an
bisa dibagi dua bagian, qath`I dan zhanni. Nash yang qath`I dillah adalah nash-nash yang
menunjukkan adanya makna yang dapat difahami dengan pemahaman tertentu, atau nash yang
tidak mungkin menerima tafsir dan takwil, atau sebuah teks yang tidak mempunyai arti lain
kecuali arti yang satu itu. Dalam konsep Syafi`i, ini yang disebut bayan yang tidak butuh
penjelasan lanjut. Nash yang dzanni dillah adalah nash-nash yang menunjukkan atas makna
tapi masih memungkinkan adanya takwil, atau dirubah dari makna asalnya menjadi makna yang
lain.
Kenyataan tersebut juga terjadi pada al-sunnah, bahkan lebih luas. Jika dalam al-Qur`an, konsep
qathI dan dzanni hanya berkaitan dengan dillah-nya, dalam sunnah hal itu berlaku pada
riwayat dan dillah-nya. Dari segi riwayat berarti bahwa teks hadis tersebut diyakini benar-benar
dari Nabi atau tidak, atau bahwa aspek ini akan menentukan sah tidaknya proses transmisi teks
hadis, yang dari sana kemudian lahir berbagai macam kualitas hadis, seperti mutawatir, ahad,
shahh, hasan, gharb, ma`rf, maqt` dan seterusnya. Dari segi dillah berarti bahwa makna
teks hadis tersebut telah memberikan makna yang pasti atau masih bisa ditakwil.
4. Tema Sentral Bayani
a. Al-Lafzh wa al-Mana (Signifier and Signified )
1) Berdasarkan kenyataan bahwa bayani berkaitan dengan teks dan hubungannya dengan
realitas, maka persoalan pokok (tool of analysis) yang ada di dalamnya adalah sekitar masalah
lafazh-makna, dan ushul-furu`.[4] Menurut al-Jabiri, permasalahan pokok tentang hubungan
antara lafazh dan makna mengandung dua aspek, yaitu teoritis (nazhariyyah) dan praktis
(tathbiqiyyah). Dari aspek teori, terdapat tiga permasalahan pokok, yaitu :
a) Asal bahasa (ashl al-lughah), apakah ini merupakan makna aslinya (tauqif), atau makna
konteksnya (ishthilahi) ?
b) Analogi bahasa (boleh atau tidak boleh qiyas dalam bahasa.
c) Pemaknaan al-asma asy-syar`iyyah, seperti kata shalat, shiyam, zakat dan lainnya.[5]
2) Pada masalah pertama, pemberian makna atas sebuah kata, muncul akibat adanya
perdebatan antara kaum rasionalis dengan ahli hadis, antara Muktazilah dengan Ahli Sunnah.
Menurut Muktazilah yang rasionalis, suatu kata harus diberi makna berdasarkan konteks dan
istilahnya, sementara bagi ahli sunnah, suatu kata harus dimaknai sesuai dengan makna
asalnya. Sebab, menurut ahli sunnah, bahasa atau kata pada awalnya berasal dari Tuhan yang
diberikan kepada Rasul-Nya untuk disebarkan kepada umatnya, sedang bagi Muktazilah, suatu
lafat pada dasarnya bersifat mutlak. Karena itu, bagi ahli sunnah, kata per kata dari sebuah teks
harus tetap dijaga seperti aslinya, sebab perubahan redaksi teks berarti perubahan makna.[6]
Ini sesuai dengan asumsi dasar pengetahuan Arab bahwa makna dan sistem berfikir lahir dari
kata (teks) bukan teks yang lahir dari makna dan sistem berfikir. Ilmu nahwu (gramatika arab)
yang lahir dari asumsi ini bertugas menjaga teks dari kemungkinan terjadinya penyimpangan
makna. Pada perkembangan selanjutnya, diskursus nahwu bukan lagi sekedar berisi kaidah-
kaidah bahasa yang mengatur ucapan dan tulisan secara benar tetapi sekaligus juga berisi
aturan-aturan berfikir, yang kemudian melahirkan pengetahuan bayani.
3) Masalah kedua, tentang analogi bahasa, seperti kata nabdz(perasan gandum)
dengan khamr (perasan anggur, atau kata sriq(pencuri benda) dengan nabsy (pencuri mayat
di kubur). Di sini ulama sepakat bahwa analogi diperbolehkan, tapi hanya dari sisi logika
bahasanya, bukan pada lafat atau redaksinya. Sebab, masing-masing bahasa mempunyai istilah
sendiri yang mempunyai kedalaman makna yang berbeda, sehingga jika dianalogikan akan bisa
merusak bahasa yang ada diantaranya.
4) Masalah ketiga, pemaknaan atas asm al-syariyah. Menurut al-Baqilani (w. 1012 M),
karena al-Qur`an diturunkan dalam tradisi dan bahasa Arab, maka ia harus dimaknai sesuai
dengan kebudayaan Arab, tidak bisa didekati dengan budaya dan bahasa lain. Sebaliknya,
menurut Muktazilah, pada beberapa hal tertentu, ia bisa dimaknai dengan pengertian lain, sebab
al-Qur`an sendiri tidak jarang menggunakan istilah Arab tetapi dengan makna tersendiri yang
berbeda dengan makna asalnya.[7]
Adapun tentang hubungan kata-makna dalam tataran praktis, ia berkaitan dengan penafsiran
atas wacana (khithb) syara`. Ulama fiqh banyak mengembangkan masalah ini, baik dari aspek
kedudukan sebuah kata, penggunaan, tingkat kejelasan maupun metodenya.
b. Ushul al-Furu`
1) Selanjutnya, soal ushul al-furu`. Menurut Jabiri, ushul disini tidak menunjuk pada dasar-
dasar hukum fiqh, seperti al-Qur`an, sunnah, ijma dan qiyas, tetapi pada pengertian umum
bahwa ia adalah pangkal (asas) dari proses pengalian pengetahuan.
2) Ushul adalah ujung rantai dari hubungan timbal balik dengan furu`. Dari sini, al-Jabiri
kemudian melihat tiga macam posisi dan peran ashl dalam hubungannya dengan furu`.
a) Ushul sebagai sumber pengetahuan yang cara mendapatkannya dengan istinbt.
Berbeda dengan istintj (deduksi) yang dilakukan berdasarkan proposisi yang ada, istimbat
menggali untuk mendapat sesuatu yang sama sekali baru, sehingga nash berkedudukan
sebagai sumber pengetahuan, sebagaimana bumi mengeluarkan air dari perutnya.
b) Ushul sebagai sandaran bagi pengetahuan yang lain, yang cara penggunaannya dengan
qiyas, baik dengan qiyas illat seperti yang dipakai ahli fiqh atau qiyas dalalah seperti yang
digunakan kaum teolog.
c) Ushul sebagai pangkal dari proses pembentukan pengetahuan, yang caranya dengan
menggunakan kaidah-kaidah ushul al-fiqh.[8]
5. Pendukung dan Validitas Keilmuan Bayani
a. Pendukung Bayani
Corak epistemologi bayani didukung oleh pola pikir kaum teolog/ahli kalam, ahli fiqih dan ahli
bahasa. Pola pikir tekstual bayani lebih dominan secara politis dan membentuk corak pemikiran
keislaman yang hegemonik. Sebagai akibatnya, maka pola pemikiran keagamaan Islam model
bayani menjadi kaku. Menurut al-Jabiri, tidak dapat dipungkiri lagi, jika faktor politik dan sosial
mempengaruhi kejumudan pemikiran bayani.
b. Validitas Keilmuan Bayani
Validitas keilmuan bayani tergantung pada kedekatan dan keserupaan teks atau nash dan
realitas. Otoritas teks dan otoritas salaf yang dibakukan dalam kaidah-kaidah metodologi ushul
fiqih klasik lebih diunggulkan daripada sumber otoritas keilmuan yang lain seperti ilmu-ilmu
kealaman (kauniyah), akal (aqliyah), dan intuisi (wijdaniyah). Dominasi pola pikir tekstual
ijtihadiyah menjadikan sistem epistemologi keagamaan Islam kurang begitu peduli terhada isu-
isu keagamaan yang bersifat kontekstual-bahtsiyyah. Pola pikir bayani lebih
mendahulukan qiyas (qiyas al-illah untuk fiqih, dan qiyas dalalah untuk kalam).
Epistemologi tekstual lughawiyyah (al-ashl wa al-far; al-lafzh wa al-mana)lebih diutamakan
daripada epistemologi konstekstual-bahtsiyyah maupun spiritual-irfaniyyah-bathiniyyah. Di
samping itu, nalar epistemologi bayaniselalu mencurigai akal pikiran, karena dianggap akan
menjauhi kebenaran tekstual. Sampai-sampai pada kesimpulan bahwa wilayah kerja akal pikiran
perlu dibatasi sedemikian rupa perannya dialihkan menjadi pengatur dan pengekang hawa
nafsu, bukannya untuk mencari sebab dan akibat lewat analisis keilmuan yang akurat.
6.Cara Bayani Mendapatkan Pengetahuan
Untuk mendapatkan pengetahuan, epistemologi bayani menempuh dua jalan. Pertama,
berpegang pada redaksi (lafat) teks dengan menggunakan kaidah bahasa Arab, seperti nahwu
dan sharf sebagai alat analisa. Kedua, menggunakan metode qiys (analogi) dan inilah prinsip
utama epistemologi bayani.
Dalam kajian ushl al-fiqh, qiyas diartikan sebagai memberikan keputusan hukum suatu masalah
berdasarkan masalah lain yang telah ada kepastian hukumnya dalam teks, karena adanya
kesamaan illah. Ada beberapa hal atau ruku-rukun yang harus dipenuhi dalam melakukan qiyas
:
(1) Al-ashl, yakni masalah yang telah ditetapkan hukumnya baik dalam Al-Quan atau dalam
sunnah rasulullah. Ashal disebut juga al-maqis alaih (tempat mengiaskan sesuatu).
(2) Al-far`, sesuatu yang tidak ada ketegasan hukumnya dalam Al-Quran, Sunnah, atau ijma.
(3) Hukm al-ashl, yakni hukum syara yang terdapat pada ashal yang hendak ditetapkan pada
far dengan jalan qiyas.
(4) Illah, rukun yang satu ini merupakn inti dari praktik qiyas. Karena berdasarkan illah itulah
hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah Rasulullah dapat di kembangkan.
Illah menurut bahasa berarti sesuatu yang mengubah keadaan, misalnya penyakit disebut illah
karena sifatnya mengubah kondisi seseorang yang terkena penyakit itu.
Contoh qiyas adalah soal hukum meminum arak dari kurma. Arak dari perasan kurma disebut
far` (cabang) karena tidak ada ketentuan hukumnya dalam nash, dan ia akan diqiyaskan pada
khamer. Khamer adalah ashl (pokok) sebab terdapat dalam teks (nash) dan hukumnya haram,
alasannya (illah) karena memabukkan. Hasilnya, arak adalah haram karena ada persamaan
antara arak dan khamer, yakni sama-sama memabukkan.[9]
Menurut Jabiri, metode qiyas sebagai cara mendapatkan pengetahuan dalam epistemologi
bayani tersebut digunakan dalam tiga aspek.
Pertama, qiyas dalam kaitannya dengan status dan derajat hukum yang ada pada ashl
maupun fur` (al-qiys bi i`tibr madiy istihqq kullin min al-ashl wa al-far`i li al-hukm). Bagian
ini mencakup tiga hal:
1. Qiyas jal, dimana far` mempunyai persoalan hukum yang kuat dibanding ashl.
2. Qiyas f ma`na al-nash, dimana ashl dan far` mempunyai derajat hukum yang sama.
3. Qiyas al-khaf, dimana illat ashl tidak diketahui secara jelas dan hanya menurut perkiraan
mujtahid. Contoh qiys jal adalah seperti hukum memukul orang tua (far`). Masalah ini tidak ada
hukumnya dalam nash, sedang yang ada adalah larangan berkata Ah (ashl). Perbuatan
memukul lebih berat hukumnya dibanding berkata ah.
Kedua, berkaitan dengan illat yang ada pada ashl dan far`, atau yang menunjukkan kearah
situ (qiys bi i`tibr bin al-hukm al dzikr al-illah au bi i`tibr dzikr m yadull `alaih). Bagian
ini meliputi dua hal:
1. Qiys al-illat, yaitu menetapkan ilat yang ada ashl kepada far.
2. Qiys al-dillah, yaitu menetapkan petunjuk (dillah) yang ada pada ashl kepada far`, bukan
illahnya.[10]
Ketiga, qiyas berkaitan dengan potensi atau kecenderungan untuk menyatukan antara ashl
dan far` (qiys bi i`tibr quwwah al-jmi` bain al-ashl wa al-far` fayumkin tashnifuh) yang
oleh al-Ghazali dibagi dalam empat tingkat: (1) adanya perubahan hukum baru, (2)
keserasian, (3) keserupaan (syibh), (4) menjauhkan (thard).
Menurut Abd al-Jabbar, seorang pemikir teologi Muktazilah, metode qiyas bayani diatas tidak
hanya untuk menggali pengetahuan dari teks tetapi juga bisa dikembangkan dan digunakan
untuk mengungkap persoalan-persoalan non-fisik (ghaib). Disini ada empat cara.
1. Berdasarkan kesamaan petunjuk (dillah) yang ada (istidll bi al-syhid al al-ghib li
isytirkihim f al-dillah). Contoh, untuk mengetahui bahwa Tuhan Maha Berkehendak.
Kehendak Tuhan (ghaib) diqiyaskan pada kondisi empirik manusia (syahid). Hasilnya, ketika
dalam realitas empirik manusia mempunyai kehendak dan tindakan berarti Tuhan juga demikian.
2. Berdasarkan kesamaan illah (istidll bi al-syhid al al-ghib li isytirkihim f al-illah). Contoh,
Tuhan tidak mungkin berlaku jahat karena pengetahuan-Nya tentang hal tersebut. Ini didasarkan
atas kenyataan yang terjadi pada manusia, yaitu ketika manusia tidak akan berbuat jahat karena
mengetahui tentang kejelekan sikap tersebut, berarti Tuhan juga demikian.
3. Berdasarkan kesamaan yang berlaku pada tempat ilah (istidll bi al-syhid al al-ghib li
isytirkihim fm yajr majra al-illah).
4. Berdasarkan pemahaman bahwa yang ghaib mempunyai derajat lebih dibanding yang empirik
(istidll bi al-syhid al al-ghib li kaun al-hukm f al-ghib ablagh minh f al-syhid). Contoh,
ketika mengetahui bahwa kita (syahid) harus berlaku baik karena hal tersebut adalah kebaikan,
maka apalagi Tuhan yang maha mengetahui bahwa sesuatu adalah baik.

C.PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas. Pertama, Bayani adalah sebuah motodologi berpikir yang
didasarkan atas teks. Dalam Bayani Al-Quran mempunyai otoritas penuh untuk memberikan
arah tujuan dan arti kebenaran. Sedangkan rasio menurut metodologi ini hanya berperan-fungsi
sebagai pengawal bagi keamanan otoritas teks tersebut.
Kedua, bahwa secara historis, bayani berkembang dari bawah, dari sekedar upaya
memisahkan kata-kata al-Qur`an dari pengaruh kata-kata asing dan menjelaskan kata-katanya
yang sulit sampai menjadi metode berfikir yang sistematis untuk menggali pengetahuan dan
menyampaikannya kepada pendengar.
Ketiga, bahwa sumber pengetahuan bayani, al-Qur`an dan sunnah, tidak senantiasa bersifat
pasti (qath`I) tetapi terkadang juga samar (zhanni), bahkan sunnah bersifat qath`I dan zhanni
dari segi materi maupun transmisi teksnya. Persoalan pokok yang diangkat mencakup dua hal,
lafat-makna dan ushl-fur`. Segi lafat-makna, bahwa lafat atau kata muncul lebih dahulu dan
menentukan makna yang dimaksud, bahkan juga menentukan sistem berfikir selanjutnya.
Sedang segi ushl-fur`, bahwa ashl bisa berkedudukan sebagai sumber, sandaran atau
pangkal dari proses penbentukan pengetahuan.
Keempat, pengetahuan bayani diperoleh lewat dua cara atau tahapan, (1) berdasarkan susunan
redaksi teks yang dikaji lewat analisa linguistik, (2) berdasarkan metode qiyas atau analogi yang
dilihat dari salah satu dari tiga aspek, yaitu hubungan antara ashl dan far, illat yang ada pada
ashl dan far`, dan kecenderungan yang menyatukan antara ashl dan far`.
Kelima, analogi bayani tidak hanya digunakan untuk menggali pengetahuan dari teks melainkan
juga dipakai untuk memahami realitas-realitas non-fisik. Pengetahuan dan teori-teori metafisik-
teologis Islam klasik didasarkan atas metode qiyas bayani ini.
Keenam, karena hanya mendasarkan diri pada teks, pemikiran bayani menjadi terbatas dan
terfokus pada hal-hal yang bersifat aksidental bukan substansial, sehingga kurang bisa dinamis
mengikuti perkembangan sejarah dan sosial masyarakat yang begini cepat. Kenyataannya,
pemikiran Islam saat ini yang masih banyak didominasi bayani fiqhiyah kurang bisa merespon
dan mengimbangi perkembangan peradaban dunia. Yang semestinya kajian model ini diperkuat
dengan analisis konteks, bahkan kontekstualisasi (relevansi).







DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, , Beirut, Markaz Dirasat al-Wihdah al-
Arabiyyah, 2009
Soleh,A.Khudari, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2012
Azami ,M.Mustafa, Metodologi Kritik Hadits, terj. Yamin, Bandung, Pustaka hidayah,1996
A. Khudori Soleh, Epistemology Bayani, khudorisoleh.blogspot.com

[1] Al-Jabiri, 1991. Bunyah al-Aql al-Arabi. Beirut, al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi.h 38

[2] Ibid,25-30
[3] M.Mustafa Azami, metodologi kritik hadits terjam, Yamin, hlm, 134
[4] A. Khudori Soleh, Epistemology Bayani, khudorisoleh.blogspot.com
[5] Muhammad Abid al-Jabiri,Op.Cit, h. 56
[6] Ibid,42
[7] A.Khudari Soleh,Wacana baru Filsafat Islam, cet ke-2 ,h 185
[8] Al-jabiri, Op.Cit ,133-16
[9] A.Khudari Soleh,Op.Cit ,h 188
[10] Ibid, 189

alkautsarkalebbi
(http://alkautsarkalebbi.wordpress.com/2013/11/13/sumber-sumber-epistemologi-islam-bayani-
2/)

Epistimologi Bayani


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat limpahan karunia, rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyusun makalah ini sehingga selesai pada waktunya.
Makalah yang berjudul Epistimologi Bayani ini disusun dan dibuat berdasarkan materi yang sudah
ada. Selain untuk memenuhi tugas mata kuliah pengantar filsafat ilmu, pembuatan makalah ini
bertujuan agar dapat menambah pengetahuan bagi para pembaca. Penulis mengharapkan semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat untuk kita semua.
Ucapan terima kasih tak lupa penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah mendukung dalam
penyusunan makalah ini. Akhir kata, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Oleh karena itu, diharapkan kritik
dan saran dari para pembaca untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.












DAFTAR ISI
halaman
Kata Pengantar.. 1
Daftar Isi2
BAB I Pendahuluan
Latar Belakang... 3
Maksud dan Tujuan4
Rumusan masalah...4

BAB II Pembahasan
pengertian dan perkembangan epistimologi bayani.. 5
sumber-sumber epistimologi bayani 11
metode dan pendekatan yang digunakan dalam bayani 12

BAB III Penutup
Kesimpulan.. 16
Daftar Pustaka18













BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Epistemologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membahas teori ilmu pengetahuan.
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme, yang berarti pengetahuan.[1] Epistemologi
menjangkau permasalahan-permasalahan yang membentang seluas jangkauan metafisika, selain itu
ia merupakan hal yang sangat abstrak dan jarang dijadikan permasalahan ilmiah di dalam kehidupan
sehari-hari. Namun ia diperlukan sebagai upaya untuk mendasarkan pembicaraan sehari-hari pada
pertangungjawaban ilmiah.[2]
Dalam dunia pemikiran, epistemologi menempati posisi penting, sebab ia menentukan corak
pemikiran dan pernyataan kebenaran yang dihasilkannya. Bangunan dasar epistemologi berbeda
dari satu peradaban dengan yang lain.[3] Perbedaan titik tekan dalam epistemologi memang besar
sekali pengaruhnya dalam konstruksi bangunan pemikiran manusia secara utuh. Oleh karena itu
perlu pengembangan empirisme dalam satu keutuhan dimensi yang bermuatan spiritualitas dan
moralitas.[4]
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka di sini akan dibahas tentang salah satu epistemologi
Islam, yaitu epistemologi bayani. Sebagai epistemologi paling awal dalam pemikiran Islam,
epistemologi bayani tidak muncul secara tiba-tiba. Tetapi, epistemologi ini memiliki akar sejarah
panjang dalam budaya dan tradisi pemikiran Arab. Epistemologi ini menjadikan wahyu (teks) sebagai
sumber pengetahuan dan kebenaran dalam Islam.





B. Maksud dan Tujuan
Dengan ditulisnya makalah ini, penulis berharap dapat membantu memberikan pengetahuan
mengenai Epistimologi Bayani sehingga dapat bermanfaat bagi para pembaca.


C. Rumusan Masalah

Banyak persoalan yang perlu dibahas mengenai Epistimologi Bayani. Namun untuk membatasi ruang
lingkup dalam pembahasan masalah, penulis hanya membatasi pada masalah :
1. Seperti apa pengertian dan perkembangan dari Epistimologi Bayani ?
2. Apa saja sumber acuan Epistimologi Bayani ?
3. Apa saja metode dan pendekatan yang digunakan dalam Epistimologi Bayani ?



















BAB 2
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan perkembangan Epistimologi Bayani.
Kata bayani berasal dari bahasa Arab yaitu al-bayani yang secara harfiyah bermakna sesuatu yang
jauh atau sesuatu yang terbuka.[5] Namun secara termenologi, ulama berbeda pendapat dalam
mendefinisikan al-bayani, ulama ilmu al-balagah misalnya, mendefinisikan al-bayan sebagai sebuah
ilmu yang dapat mengetahui satu arti dengan melalui beberapa cara atau metode
seperti tasybih (penyerupaan), majaz dan kinayah.[6] Ulama kalam (theology) mengatakan bahwa
al-bayan adalah dalil yang dapat menjelaskan hukum. Sebagian yang lain mengatakan bahwa al-
bayan adalah ilmu baru yang dapat menjelaskan sesuatu atau ilmu yang dapat mengeluarkan
sesuatu dari kondisi samar kepada kondisi jelas.[7]
Sedangkan menurut Al-Jabiri, ada lima pengertian yang paling tepat untuk arti Bayan, yaitu : al-
washal, al-fashl, azh-zhuhur wa al-wudhuh, al-fashahah wa al-qudrah, dan al-insan hayawan mubin.
1) Al-washal (sambungan, pertalian).[8] Keterangan tentang al-washal ini sebagaimana firman
Allah SWT kepada kaum musyrikin dalam QS. Al-Anam, 6 : 94 :


2) Al-fashl (pemisah). Banyak sekali penjelasan tentang keterangan materi kebahasaan yang
berkaitan dengan lafazh al-fashl ini, dengan bentuk padanan kata yang bermacam-macam,
diantaranya al-bud (jauh), al-firqah (kelompok), al-mubayinah / al-mufariqah (memisahkan), al-
firaq (berpisah, cerai).
3) Azh-zhuhur wa al-wudhuh (jelas, nyata). Makna kata ini sama juga dengan makna yang
sebelumnya, yaitu pemisah, berpisah/cerai dan jauh. Pengertian bayan yang disamakan dengan
pengertian azh-zhuhur wa al-wudhuh ini merupakan kesimpulan dari pengertian sebelumnya yang
menunjukkan pada arti pemisah, berpisah/cerai dan jauh. Pengertian ini menunjukkan pada
kedudukan sesuatu pada pengertian lainnya yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya.
Sedangkan pada pengertian selanjutnya (azh-zhuhur wa al-wudhuh), adalah mengisyaratkan pada
suatu kondisi yang dinisbatkan bagi orang yang memandangnya dari aspek kemanusiaan. Dengan
kata lain, pada pengertian awal berhubungan dengan wujud ontologi atas suatu materi, sedangkan
pengertian selanjutnya adalah berhubungan dengan wujud epistemologi.
4) Al-fashahah wa al-qudrah ala at-tabligh wa al-iqna (kefasihan dan kemampuan dalam
menyampaikan pemahaman kepada orang lain).[9]
A. Dalam hal ini, Bayan diartikan sebagai kefasihan lisan dalam menyampaikan hal yang dimaksud,
atau kemampuan yang membuat orang mau menerima atas apa-apa yang disampaikan hingga
tingkatan yang menjadikan orang yang mendengar seolah-olah tersihir, meyakini yang benar
menjadi salah, atau meyakini yang salah menjadi benar.
B. Diriwayatkan dari Ibn Abbas dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda : Inna min al-bayan lasihran
wa inna min asy-syiir lahikman (Sesungguhnya dari Bayan bisa menjadi sihir, dan dari syair bisa
memperoleh hikmah). Menurut Ibn Abbas, Bayan adalah mengungkapkan maksud melalui kata-kata
yang fasih.
5) Al-insan hayawan mubin (manusia adalah hewan yang bisa menjelaskan). Ini adalah kemampuan
untuk berbicara dengan ucapan yang fasih, dan hanya dimiliki oleh manusia.


Dan Secara terminologi, Bayan mempunyai dua arti, yaitu :
1) Sebagai aturan-aturan penafsiran wacana (qawnin at-tafsr al-khithbi)
2) Syarat-syarat memproduksi wacana (syurth intj al-khithb). Berbeda dengan makna etimologi
yang telah ada sejak awal peradaban Islam, makna-makna terminologis ini baru lahir belakangan,
yakni pada masa kodifikasi. Antara lain ditandai dengan lahirnya al-Asybah wa al-Nazhir f al-Qur`n
al-Karm karya Muqatil ibn Sulaiman (wafat tahun 767 M) dan Ma`n al-Qur`n karya Ibn Ziyad al-
Farra (wafat tahun 823 M), yang keduanya sama-sama berusaha menjelaskan makna atas kata-kata
dan ibarat-ibarat yang ada dalam al-Qur`an.[10]

Pengertian tentang bayani tersebut kemudian berkembang sejalan dengan perkembangan
pemikiran Islam. Begitu pula aturan-aturan metode yang ada di dalamnya. Pada masa asy-Syafii
(767-820 M) yang dianggap sebagai peletak dasar yurisprudensi Islam, bayani berarti nama yang
mencakup makna-makna yang mengandung persoalan ushl (pokok) dan yang berkembang hingga
ke cabang (fur`). Sedang dari segi metodologi, asy-Syafii membagi Bayan ini dalam lima bagian dan
tingkatan, yaitu :
1) Bayan yang tidak butuh penjelasan lanjut, berkenaan dengan sesuatu yang telah dijelaskan
Tuhan dalam al-Qur`an sebagai ketentuan bagi makhluk-Nya.
2) Bayan yang beberapa bagiannya masih global sehingga butuh penjelasan as-Sunnah.
3) Bayan yang keseluruhannya masih global sehingga butuh penjelasan as-Sunnah.
4) Bayan sunnah, sebagai uraian atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al-Qur`an.
5) Bayan ijtihad, yang dilakukan dengan qiyas atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al-Qur`an
maupun as-Sunnah.
Dari lima derajat bayan tersebut, asy-Syafii kemudian menyatakan bahwa yang pokok (ushl) ada
tiga, yakni al-Qur`an, as-Sunnah dan al-Qiyas, kemudian ditambah al-Ijma.[11]
Al-Jahizh (wafat tahun 868 M) mengkritik konsep Bayan asy-Syafii di atas. Menurutnya, apa yang
dilakukan asy-Syafii baru pada tahap bagaimana memahami teks, belum pada tahap bagaimana
memberikan pemahaman pada pendengar atas pemahaman yang diperoleh. Padahal, menurutnya,
inilah yang terpenting dari proses bayani. Karena itu, sesuai dengan asumsinya bahwa Bayan adalah
syarat-syarat untuk membuat wacana (syuruth intaj al-khithab) dan bukan sekedar aturan-aturan
penafsiran wacana (qawanin at-tafsir al-khitabi). Dari sinilah, pendengar masuk sebagai unsur utama
dalam proses bayani. Al-Jahizh menetapkan syarat-syarat membuat wacana bayani adalah sebagai
berikut :
1) Al-Bayan wa Thalaqah al-Lisan (Retorika dan Kelancaran Berbicara)
Dalam hal ini, al-Jahizh bermaksud untuk menguatkan hubungan antara retorika dan kelancaran
berbicara sebagaimana doa Nabi Musa dalam al-Quran yang diutus Allah untuk menyampaikan
risalah-Nya kepada Firaun. Doanya adalah :
Artinya : Berkata Musa: Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku
urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku (QS. Thaha, 20 : 25-27))
2) Al-Bayan wa Husn Ikhtiyar al-Alfazh (Retorika dan Kecerdasan dalam Menyeleksi Kata-Kata)
Sebagaimana Bayan berada pada kebenaran ucapan dan kefasihan lisan, sehingga apa yang
disampaikan sesuai dengan keadaan dan terlepas dari kata-kata yang rancu.
3) Al-Bayan wa Kasyf al-Mana (Retorika dan Menyingkap Makna)
Dalam hal ini. Al-Jahizh memulai dengan analisa proses bayani atas dasar kesetaraan, keterikatan
dan saling mengisi antara huruf dan kata-kata. Makna harus bisa diungkap dengan kejelasan
petunjuk, kebenaran isyarat, kesimpulan yang baik, dan kesesuaian pendekatan yang dapat
mengungkapkan makna. Selanjutnya disandarkan pada teori : wa ad-dilalah azh-zhahirah ala al-
mana al-khafi huwa al-bayan (petunjuk yang jelas terhadap makna yang sembunyi adalah al-Bayan).
4) Al-Bayan wa al-Balaghah (Rerorika dan Balaghah)
Yang dimaksud dengan bayan dan balaghah di sini adalah adanya kesesuaian antara kata dan
makna.
5) Al-Bayan Sulthah (Retorika adalah Kekuasaan)
Dalam hal ini, Bayan ditinjau dari sudut fungsinya, yaitu adanya kemampuan memperlihatkan
sesuatu yang samar dari kebenaran, dan menggambarkan kebatilan dalam bentuk
kebenaran.[12] Dengan kata lain, kekuatan kata-kata untuk memaksa lawan mengakui kebenaran
yang disampaikan dan mengakui kelemahan serta kesalahan konsepnya sendiri.[13]

Sampai di sini, bayani telah berkembang jauh. Ia tidak lagi sebagai sekedar penjelas atas kata-kata
sulit dalam al-Qur`an tetapi telah berubah menjadi sebuah metode bagaimana memahami sebuah
teks (nash), membuat kesimpulan dan keputusan atasnya, kemudian memberikan uraian secara
sistematis atas pemahaman tersebut kepada pendengar, bahkan telah ditarik sebagai alat untuk
memenangkan perdebatan. Namun, apa yang ditetapkan al-Jahizh dalam rangka memberikan uraian
pada pendengar tersebut, pada masa berikutnya, dianggap kurang tepat dan sistematis. Menurut
Ibn Wahb, bayani bukan diarahkan untuk mendidik pendengar tetapi sebuah metode untuk
membangun konsep diatas dasar ushul al-furu. Caranya adalah dengan menggunakan paduan pola
yang dipakai ulama fiqh dan kalam (teologi).[14] Paduan antara metode fiqh yang eksplanatoris dan
teologi yang dialektik sangat penting dalam rangka membangun epistemologi bayani, karena apa
yang perlu penjelasan tidak hanya teks suci tetapi mencakup empat hal, yaitu :
1) Wujud materi yang mengandung aksiden dan substansi.
2) Rahasia hati yang memberi keputusan pada saat terjadi proses perenungan.
3) Teks suci dan ucapan yang mengandung banyak dimensi.
4) Teks-teks yang merupakan representasi pemikiran dan konsep.
Dari empat macam objek tersebut di atas, Ibn Wahb menawarkan empat macam bayani, yaitu :
1) Bayn al-i`tibr , untuk menjelaskan sesuatu yang berhubungan dengan materi.
2) Bayn al-i`tiqd , berhubungan dengan hati.
3) Bayn al-`ibrah, berhubungan dengan teks dan bahasa.
4) Bayn al-khithb berkaitan dengan konsep-konsep tertulis.[15]

Pada periode terakhir muncul asy-Syathibi (wafat tahun 1388 M). Sampai sejauh itu, menurutnya,
bayani belum bisa memberikan pengetahuan yang pasti (qath`i) tapi baru derajat dugaan (zhan),
sehingga tidak bisa dipertanggung-jawabkan secara rasional. Dua teori utama dalam
bayani, istimbth dan qiys, yang dikembangkan bayani hanya berpijak pada sesuatu yang masih
bersifat dugaan. Padahal, penetapan hukum tidak bisa didasarkan pada sesuatu yang bersifat
dugaan.[16]
Karena itu, Syathibi lantas menawarkan tiga teori untuk memperbarui bayani, yakni al-istintaj, al-
istiqra dan maqshid asy-syari, yang dieleminir dari pemikiran Ibn Rusyd dan Ibn Hazm. Al-
Istintaj sama dengan silogisme, menarik kesimpulan berdasarkan dua premis yang mendahului,
berbeda dengan qiyas bayani yang dilakukan dengan cara menyandarkan furu` pada ashl, yang oleh
Syathibi dianggap tidak menghasilkan pengetahuan baru.
Pengetahuan bayani harus dihasilkan melalui proses silogisme ini, sebab menurut asy-Sythibi,
semua dalil syara` telah mengandung dua premis, nazhariyah (teoritis)
dan naqliyah (transmisif). Nazhariyah berbasis pada indera, rasio, penelitian dan penalaran,
sementara naqliyah berbasis pada proses transmisif (naql/ khabar). Nazhariyah merujuk pada tahqq
al-manth al-hukm (uji empiris suatu sebab hukum) dalam setiap kasus, sedang naqliyah merujuk
pada hukum itu sendiri dan mencakup pada semua kasus yang sejenis, sehingga ia merupakan
kelaziman yang tidak terbantah dan sesuatu yang mesti diterima. Nazhariyah merupakan premis
minor sedangnaqliyah menjadi premis mayor. Istiqra adalah penelitian terhadap teks-teks yang
setema kemudian di ambil tema pokoknya, tidak berbeda dengan tematic induction;
sedang maqshid asy-syar`iyah berarti bahwa diturunkannya syariah ini mempunyai tujuan-tujuan
tertentu, yang menurut Syathibi terbagi dalam
tiga macam; dharriyah (primer), hjiyah (sekunder) dan tahsniyah (tersier).[17]Pada tahap ini,
metode bayani telah lebih sempurna dan sitematis, dimana proses pengambilan hukum atau
pengetahuan tidak sekedar mengqiyaskan furu` pada ashl tetapi juga lewat proses silogisme seperti
dalam filsafat.

B. Sumber Epistimologi Bayani.
Meski menggunakan metode rasional filsafat seperti digagas Syathibi, epistemologi bayani tetap
berpijak pada teks (nash). Dalam ushl al-fiqh, yang dimaksud nash sebagai sumber pengetahuan
bayani adalah al-Qur`an dan As-Sunnah. Ini berbeda dengan pengetahuan Burhani yang
mendasarkan diri pada rasio dan irfani pada intuisi. Karena itu, epistemologi bayani menaruh
perhatian besar dan teliti pada proses transmisi teks dari generasi ke generasi.[18]
Ini penting bagi bayani, karena sebagai sumber pengetahuan, di dalam bayani, benar tidaknya
transmisi teks menentukan benar salahnya ketentuan hukum yang diambil. Jika transmisi teks bisa
dipertanggungjawabkan, berarti teks tersebut benar dan bisa dijadikan dasar hukum. Sebaliknya, jika
transmisinya diragukan, maka kebenaran teks tidak bisa dipertanggungjawabkan, dan itu berarti ia
tidak bisa dijadikan landasan hukum. Karena itu pula, mengapa pada masa tadwn (kodifikasi),
khususnya kodifikasi hadis, para ilmuwan begitu ketat dalam menyeleksi sebuah teks yang
diterima.[19] Bukhari, misalnya, menggariskan syarat yang tegas bagi diterimanya sebuah teks hadis
adalah sebagai berikut :
1) Bahwa perawi harus memenuhi tingkat kriteria yang paling tinggi dalam hal watak pribadi,
keilmuan dan standar akademis.
2) Harus ada informasi positif tentang para perawi yang menerangkan bahwa mereka saling
bertemu muka dan para murid belajar langsung pada gurunya. Dari upaya-upaya seleksi tersebut
kemudian lahir ilmu-ilmu tertentu untuk mendeteksi dan memastikan keaslian teks,
sepertiMushthalah al-Hadits, Rijal al-Hadits, dan sebagainya.[20]

Selanjutnya, tentang nash al-Qur`an, meski sebagai sumber utama, tetapi ia tidak selalu memberikan
ketentuan pasti. Dari segi penunjukkan hukumnya (dillah al-hukm), nash al-Qur`an bisa dibagi dua
bagian, qath`i dan zhanni. Nash yang qath`i dillah adalah nash-nash yang menunjukkan adanya
makna yang dapat difahami dengan pemahaman tertentu, atau nash yang tidak mungkin menerima
tafsir dan takwil, atau sebuah teks yang tidak mempunyai arti lain kecuali arti yang satu itu. Dalam
konsep asy-Syafi`i, ini yang disebut Bayan yang tidak butuh penjelasan lanjut. Nash yang zhanni
dilalah adalah nash-nash yang menunjukkan atas makna tapi masih memungkinkan adanya takwil,
atau dirubah dari makna asalnya menjadi makna yang lain.
Kenyataan tersebut juga terjadi pada al-sunnah, bahkan lebih luas. Jika dalam al-Qur`an,
konsep qathi dan zhanni hanya berkaitan dengan dillah-nya, dalam sunnah hal itu berlaku pada
riwayat dan dillah-nya. Dari segi riwayat berarti bahwa teks hadis tersebut diyakini benar-benar
dari Nabi atau tidak, atau bahwa aspek ini akan menentukan sah tidaknya proses transmisi teks
hadis, yang dari sana kemudian lahir berbagai macam kualitas hadis, sepertimutawatir, ahad,
shahh, hasan, gharb, dan sebagainya. Dari segi dillah berarti bahwa makna teks hadis tersebut
telah memberikan makna yang pasti atau masih bisa ditakwil.

C. Metode dan Pendekatan yang Digunakan dalam Bayani

a. Metode Qiyas.
1) Untuk memperoleh pengetahuan, epistemologi bayani menempuh dua jalan, diantaranya adalah
:
a) Berpegang pada redaksi (lafazh) teks dengan menggunakan kaidah bahasa Arab,
seperti nahw dan sharf sebagai alat analisa.
b) Menggunakan metode qiyas (analogi) dan inilah prinsip utama epistemologi bayani.[21]
2) Dalam kajian ushul al-fiqh, qiyas diartikan sebagai memberikan keputusan hukum suatu masalah
berdasarkan masalah lain yang telah ada kepastian hukumnya dalam teks, karena adanya kesamaan
illah. Ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam melakukan qiyas, yaitu :
a) Adanya al-ashl, yakni nas suci yang memberikan hukum dan dipakai sebagai ukuran.
b) Al-far`, sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nas.
c) Hukm al-ashl, ketetapan hukum yang diberikan oleh ashl.
d) Illah, keadaan tertentu yang dipakai sebagai dasar penetapan hukum ashl.[22]
3) Contoh qiyas adalah soal hukum meminum arak dari kurma. Arak dari perasan kurma
disebut far` (cabang) karena tidak ada ketentuan hukumnya dalam nash, dan ia akan diqiyaskan
pada khamer. Khamer adalah ashl (pokok) sebab terdapat dalam teks (nash) dan hukumnya haram,
alasannya (illah) karena memabukkan. Hasilnya, arak adalah haram karena ada persamaan antara
arak dan khamr, yakni sama-sama memabukkan.[23]
4) Menurut Al-Jabiri, metode qiyas sebagai cara mendapatkan pengetahuan dalam epistemologi
bayani tersebut digunakan dalam tiga aspek, yaitu :
a) Qiyas dalam kaitannya dengan status dan derajat hukum yang ada pada ashl maupun fur` (al-
qiys bi i`tibr madiy istihqq kullin min al-ashl wa al-far`i li al-hukm). Bagian ini mencakup tiga hal,
yaitu :
(1) Qiys jal, dimana far` mempunyai persoalan hukum yang kuat dibanding ashl.
(2) Qiys f ma`na al-nash, dimana ashl dan far` mempunyai derajat hukum yang sama.
(3) Qiys al-khaf, dimana illat ashl tidak diketahui secara jelas dan hanya menurut perkiraan
mujtahid. Contoh qiys jal adalah seperti hukum memukul orang tua (far`). Masalah ini tidak ada
hukumnya dalam nash, sedang yang ada adalah larangan berkata Ah (ashl). Perbuatan memukul
lebih berat hukumnya dibanding berkata ah.[24]
b) Berkaitan dengan illat yang ada pada ashl dan far`, atau yang menunjukkan kearah situ (qiys bi
i`tibr bin al-hukm al dzikr al-illah au bi i`tibr dzikr m yadull `alaih). Bagian ini meliputi dua hal,
yaitu :
(1) Qiys al-illat, yaitu menetapkan ilat yang ada ashlkepada far`.
(2) Qiys al-dillah, yaitu menetapkan petunjuk (dillah) yang ada pada ashl kepada far`, bukan
illahnya.
c) Qiyas berkaitan dengan potensi atau kecenderungan untuk menyatukan antara ashl dan far`
(qiys bi i`tibr quwwah al-jmi` bain al-ashl wa al-far` fayumkin tashnifuh) yang oleh al-Ghazali
dibagi dalam empat tingkat, yaitu :
(1) Adanya perubahan hukum baru.
(2) Keserasian.
(3) Keserupaan (syibh).
(4) Menjauhkan (thard).[25]

b. Metode Istinbath/Istidlal
Istinbath hukum-hukum dari an-nusush ad-diniyyah dan al-Quran khususnya. Dalam bahasa filsafat
yang disederhanakan, pendekatan bayani dapat diartikan sebagai model metodologi berpikir yang
didasarkan atas teks (nash). Dalam hal ini teks sucilah yang memilki otoritas penuh menentukan arah
kebenaran sebuah khitab. Fungsi akal hanya sebagai pengawal makna yang terkandung di dalamnya.
Makna yang dikandung dalam, dikehendaki oleh, dan diekspresikan melalui teks dapat diketahui
dengan mencermati hubungan antara al-mana dan al-lafzh. Hubungan antara makna dan lafadz
dapat dilihat dari segi :
1) Al-Mana al-Wadhi, untuk apa makna teks itu dirumuskan, meliputi makna khas, am dan
musytaraq.
2) Al-Mana al-Istimali, makna apa yang digunakan oleh teks, meliputi al-mana al-
haqiqi (sharihah dan muniyah) dan al-manaal-majazi (sharih dan kinayah).
3) Darajah al-wudhuh, sifat dan kualitas lafazh, meliputi muhkam, mufassar, nash, zhahir, khafi,
musykil, mujmal, dan mutasyabih.
4) Thuruq ad-Dhalalah, penunjukan lafazh terhadap makna, meliputi dilalah al-ibarah, dilalah al-
isyarah, dilalah an-nash dandilalah al-iqtida (menurut Khanafiyah), atau dilalah al-
manzhumdan dilalah al-mafhum baik mafhum al-muwafaqah maupunmafhum al-
mukhalafah (menurut asy-Syafiiyyah).

c. Pendekatan Bayani
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pendekatan bayani adalah lingustik, karena dalam hal ini
pendekatan bayani menggunakan alat bantu (instrumen) berupa ilmu-ilmu kebahasaan dan uslub-
uslubnya serta asbab an-nuzul, dan qiyas serta istinbath atau istidlal sebagai metodenya.




















BAB 3
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1.A) Kata bayani berasal dari bahasa Arab yaitu al-bayani yang secara harfiyah bermakna sesuatu
yang jauh atau sesuatu yang terbuka. Namun secara termenologi bermakna sebuah ilmu yang dapat
mengetahui satu arti dengan melalui beberapa cara atau metode
seperti tasybih (penyerupaan), majazdan kinayah.
B) Perkembangan
Di awali oleh Al-Jabiri yang mengemukakan pendapatnya tentang al-washal, al-fashl, azh-zhuhur wa
al-wudhuh, al-fashahah wa al-qudrah, dan al-insan hayawan mubin dan kemudian Asy-SyafiI yang
membagi tingkatan bayan menjadi 5 yaitu:
a) Bayan yang tidak butuh penjelasan lanjut, berkenaan dengan sesuatu yang telah dijelaskan
Tuhan dalam al-Qur`an sebagai ketentuan bagi makhluk-Nya.
b) Bayan yang beberapa bagiannya masih global sehingga butuh penjelasan as-Sunnah.
c) Bayan yang keseluruhannya masih global sehingga butuh penjelasan as-Sunnah.
d) Bayan sunnah, sebagai uraian atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al-Qur`an.
e) Bayan ijtihad, yang dilakukan dengan qiyas atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al-Qur`an
maupun as-Sunnah.
Dari lima derajat bayan tersebut, asy-Syafii kemudian menyatakan bahwa yang pokok (ushl) ada
tiga, yakni al-Qur`an, as-Sunnah dan al-Qiyas, kemudian ditambah al-Ijma. Kemudian dilanjutkan
oleh Al-Jahizh yang awalnya mengkritik konsep Bayan asy-Syafii di atas. Menurutnya, apa yang
dilakukan asy-Syafii baru pada tahap bagaimana memahami teks, belum pada tahap bagaimana
memberikan pemahaman pada pendengar atas pemahaman yang diperoleh. Akhirnya Al-Jahizh
menetapkan syarat-syarat membuat wacana bayani adalah sebagai berikut:
a) Al-Bayan wa Thalaqah al-Lisan (Retorika dan Kelancaran Berbicara)
b) Al-Bayan wa Husn Ikhtiyar al-Alfazh (Retorika dan Kecerdasan dalam Menyeleksi Kata-Kata)
c) Al-Bayan wa Kasyf al-Mana (Retorika dan Menyingkap Makna)
d) Al-Bayan wa al-Balaghah (Rerorika dan Balaghah)
e) Al-Bayan Sulthah (Retorika adalah Kekuasaan)
Di periode selanjutnya dilanjutkan oleh Ibn Wahb menurutnya wacana bayani yang ditetapkan oleh
Al-Jahizh dianggap kurang tepat dan sistematis karena menurut Ibn Wahb, bayani bukan diarahkan
untuk mendidik pendengar tetapi sebuah metode untuk membangun konsep diatas dasar ushul al-
furu. Dan akhirnya Ibn Wahb menawarkan empat macam bayani, yaitu :
1) Bayn al-i`tibr , untuk menjelaskan sesuatu yang berhubungan dengan materi.
2) Bayn al-i`tiqd , berhubungan dengan hati.
3) Bayn al-`ibrah, berhubungan dengan teks dan bahasa.
4) Bayn al-khithb berkaitan dengan konsep-konsep tertulis
Dan Pada periode terakhir muncul asy-Syathibi (wafat tahun 1388 M). Sampai sejauh itu,
menurutnya, bayani belum bisa memberikan pengetahuan yang pasti (qath`i) tapi baru derajat
dugaan (zhan), sehingga tidak bisa dipertanggung-jawabkan secara rasional, oleh Karena itu, Syathibi
lantas menawarkan tiga teori untuk memperbarui bayani, yakni al-istintaj, al-istiqra dan maqshid
asy-syari, yang dieleminir dari pemikiran Ibn Rusyd dan Ibn Hazm.
2. Sumber acuan pengetahuan bayani adalah al-Qur`an dan As-Sunnah.
3. Metode Qiyas, Metode Istinbath/Istidlal, dan Pendekatan Bayani



DAFTAR PUSTAKA

1. A. Khudori Soleh, Epistemology Bayani, khudorisoleh.blogspot.com
2. Abd al-Wahab Khalaf, Ilm Ushul al-Fiqh, 1978, Kuwait, Dar al-Qalam.
3. Abd al-Wahab Khalaf, Ilm Ushul al-Fiqh, Masdar Helmy, penerjemah, 1996, Bandung, Gema
Risalah Press, 1996.
4. Abu al-Husain Ahmad ibn Faris ibn Zakariya, Maqayis al-Lugah,Bairut: Ittihad al-Kitab al-
Arabi, 1423 H./2002 M.
5. Abu Hilal al-Askari, al-Furuq al-Lugawiyah, CD-ROM al-Maktabah al-Syamilah.
6. Amin Abdullah, Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi, 2007, Yogyakarta, Suka
Press.
7. Ibrahim Mustafa, dkk., al-Mujam al-Wasit, CD-ROM al-Maktabah al-Syamilah.
8. M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas?, 2002 Yogyakarta, Pustaka
Pelajar.
9. Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, 2009, Beirut, Markaz Dirasat al-Wihdah al-
Arabiyyah.
10. Muhammad Abid al-Jabiri, Takwin al-Aql al-Arabi, 1991, Beirut, al-Markaz ats-Tsaqafi al-
Arabi
11. P. Hardono Hadi, Epistemologi (Filsafat Pengetahuan), 1994, Yogyakarta, Kanisius.
12. http://www.scribd.com/doc/3972679/ModelModel-Epistemologi-Islam






[1] M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas?, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2002), h. 243
[2] P. Hardono Hadi, Epistemologi (Filsafat Pengetahuan), (Yogyakarta : Kanisius, 1994), h. 6-7
[3] Nirwan Syafrin, Kritik terhadap Kritik Akal Islam al-Jabiri, (Islamia, Tahun I No.2/Juni-Agustus
2004), h. 43
[4] M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas?, h. 261
[5] Abu al-Husain Ahmad ibn Faris ibn Zakariya, Maqayis al-Lugah, Juz. I (Bairut: Ittihad al-Kitab al-
Arabi, 1423 H./2002 M.), h. 303.
[6] Ibrahim Mustafa, dkk., al-Mujam al-Wasit, Juz. I (CD-ROM al-Maktabah al-Syamilah), h. 167.
[7] Abu Hilal al-Askari, al-Furuq al-Lugawiyah, (CD-ROM al-Maktabah al-Syamilah), h. 360.
[8] Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, h. 16

[9] Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, h. 17-18
[10] A. Khudori Soleh, Epistemology Bayani, khudorisoleh.blogspot.com

[11] Muhammad Abid Al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, h. 23

[12] Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, h. 25-30
[13] A. Khudori Soleh, Epistemology Bayani, khudorisoleh.blogspot.com
[14] Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, h. 32
[15] Muhammab Abid al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, h. 34-36
[16] A. Khudori Soleh, Epistemology Bayani, khudorisoleh.blogspot.com
[17] Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, h. 539-540
[18] A. Khudori Soleh, Epistemologi Bayani, khudorisoleh.blogspot.com
[19] http://www.scribd.com/doc/3972679/ModelModel-Epistemologi-Islam
[20] Abd al-Wahab Khalaf, Ilm Ushul al-Fiqh, (Kuwait : Dar al-Qalam, 1978) h. 34
[21] Muhammad Abid Al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, h. 530
[22] Abd al-Wahab Khalaf, Ilm Ushul al-Fiqh, h. 60
[23] http://khudorisoleh.blogspot.com/2009/11/epistemology-of-bayani.html
[24] Muhammad Abid Al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, h. 146
[25] Muhammad Abid Al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, h. 147








[1]Abd Wahab Khalaf, Ilm Ushul Fiqh, terj. Madar Helmi, (Bandung, Gema Risalah Pres, 1996), 22.
[2] Al-Jabiri, Bunyah, 116
[3]http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=100:bayani-irfani-dan-
burhani&catid=11:nirwan-syafrin

Nur Muhammad Roziqin (http://mahasiswauinmalang.blogspot.sg/2013/07/epistimologi-
bayani_6565.html)

You might also like