You are on page 1of 29

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Perawat medikal bedah sering tidak memperhatikan tentang pasien
dengan cidera spinal akut, padahal pasien dimungkinkan masuk ke unit
medikal bedah karena komplikasi cidera atau kondisi medis lain. Merawat
pasien dengan cidera medula spinalis mengharuskan perawatan dengan
pendekatan kolaboratif dengan tiap anggota tim bersama menolong pasien
demi mendapatkan hasil yang diharapkan. (ignatavicius, 200?)
Cedera medulla spinalis merupakan keadaan patologi akut pada
medula spinalis yang diakibatkan terputusnya komunikasi sensori dan
motorik dengan susunan saraf pusat dan saraf perifer. Tingkat kerusakan pada
medula spinalis tergantung dari keadaan komplit atau inkomplit. (Tarwoto &
Wartonah, 2007)
Kecelakaan yang menyebabkan lesi medula spinalis (LMS) terutama
yang bersifat akut berdasarkan suatu penelitian di Amerika serikat ditemukan
sebesar 2,6 % dari seluruh pasien trauma. Banyak studi menyebutkan bahwa
lesi medula spinalis (LMS) sering terjadi pada laki-laki dan berumur kurang
dari 30-40 tahun. Secara umum penyebabnya pada orang dewasa antara lain:
kecelakaan kendaraan bermotor (40%), jatuh (20%), dan luka tembak (14%).
Pada anak-anak kecelakaan kendaraan bermotor mendominasi penyebab lesi
medula spinalis (30-52%) sedangkan pada usia tua (lebih dari 65 tahun), jatuh
adalah penyebab utama lesi medula spinalis (53%). Kebanyakan level lesi
medula spinalis antara lain: servikal (55%), toraks (30%), dan lumbal (15%).
Sekitar 95% lesi medula spinalis hanya terjadi pada suatu daerah spinal.
Sekitar 80% lesi medula spinalis berhubungan dengan trauma multiple
(Mahadewa, tjokorda G.B., 2009 ).
Lebih dari satu setengah semua cedera baru mengenai spinal servikal
(Gallo & Hudak, 2006). Cedera servikal adalah cedera tulang belakang yang
paling ditakuti, terdapat korelasi antara level cedera dengan
2

morbiditas/mortalitas, dimana level semakin tinggi pula
morbiditas/mortalitasnya. Sekitar 10% tidak sadar yang dikirim ke instalasi
rawat darurat akibat kecelakaan lalu lintas mendapatkan kelainan diservikal.
Kecelakaan lalu lintas dan terjatuh adalah penyebab sebagian besar.
Pada cedera servikal dengan lesi C1-C4, otot trapezius, sternomastoid
dan otot platisma masih berfungsi. Otot diafragma dan otot interkostal
mengalami paralisis dan tidak ada gerakan volunter ( baik fisik maupun
fungsional) dibawah transeksi spinal tersebut sehingga bisa menimbulkan
inkontinensia urine dan alvi. Quadriplegia pada C4 biasanya juga
memerlukan ventilator mekanis tetapi mungkin dapat dilepaskan dari
ventilator secara intermiten.
Penanganan yang tepat oleh tenaga yang ahli dan terampil terhadap
pasien dengan cedera medula spinalis dapat mencegah kematian dan trauma
lebih lanjut yaitu dalam imobilisasi dan pemberian. Philadelpia collar
maupun Miami-J collar. Pencegahan tersier juga dapat terjadi selama
perawatan trauma pasien diterima. Ini dapat dilakukan oleh perawat dan
orang lain selama rehabilitasi yaitu kateterisasi untuk mencegah komplikasi
seperti luka tekan atau infeksi perkemihan. Karena sebab-sebab itulah, maka
penyusun membuat makalah berjudul Asuhan Keperawatan pada Tn.X
dengan Cidera Medula Spinalis (Fraktur Dislokasi C4)

B. Tujuan
1. Menjelaskan pengertian cidera medula spinalis.
2. Menjelaskan etiologi cidera medula spinalis.
3. Menyebutkan manifestasi dari cidera medula spinalis.
4. Menjabarkan komplikasi dari cidera medula spinalis.
5. Menjelaskan pemeriksaan penunjang pada cidera medula spinalis.
6. Menjelaskan penatalaksanaan pada kasus cidera medula spinalis.
7. Membahas asuhan keperawatan pada Tn. X dengan cidera medula
spinalis.


3

C. Manfaat
1. Manfaat teoritis
Mendapatkan informasi tentang cidera medula spinalis.
2. Manfaat Praktis
Sebagai dasar untuk melakukan asuhan keperawatan pada Tn. X
dengan cidera medula spinalis (fraktur dislokasi C4)
.






















4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Anatomi
1. Kolumna Vertebralis

Gambar 2.1 Anatomi tulang belakan
( http://sanirahman.blogspot.com/2009/11/penatalaksanaan-trauma-spinal-dan.html )

Kolumna vertebralis atau rangkaian tulang belakang adalah
sebuah struktur lentur yang dibentuk oleh sejumlah tulang yang
disebut vertebra atau ruas tulang belakang. Diantara tiap dua ruas
tulang pada tulang belakang terdapat bantalan tulang rawan. Fungsi
ruas tulang belakang meliputi:
a. Menahan kepala dan alat-alat tubuh yang lain
b. Melindungi alat halus yang ada didalamnya (sum-sum tulang
belakang)
c. Tempat melekatnya tulang iga dan tulang panggul
d. Menentukan sikap tubuh
Menurut Syaifudin (1997), bagian-bagian dari ruas tulang
belakang terdiri dari:
a. Vertebra servikalis 7 ruas, mempunyai badan ruas kecil dan
lubang ruasnya besar. Pada taju sayapnya terdapat lubang tempat
5

lalunya saraf yang disebut foramen transversalis (foramen
tranversorium). Ruas pertama vertebra servikalis disebut atlas
yang memungkinkan kepala mengangguk. Ruas kedua disebut
prosesus odontoid (aksis) yang memungkinkan kepala berputar
kekiri-kekanan.
b. Vertebra torakalis (tulang punggung) terdiri darin12 ruas. Badan
ruasnya besar dan kuat, taju durinya panjang dan melengkung.
c. Vertebra lumbalis (tulang pinggang)terdiri dari 5 ruas. Badan
ruasnya besar, tebal dan kuat, taju durinya agak picak. Bagian
ruas dari ke 5 agak menonjol disebut promontorium.
d. Vertebra sakralis (tulang kelangkang) terdiri dari 5 ruas. ruas-
ruasnya menjaddi satu, sehingga menyerupai sebuah tulang.
disamping kiri/kananya terdapat lubag-lubang kecil 5 buah yang
disebut foramen sakralis.
e. Vertebra koksigialis (tulang ekor) terdiri dari 4 ruas, ruas-ruasnya
kecil dan menjadi sebuah tulang yang disebut juga os. koksigialis.
Dapat bergerak sedikit dan membentuk sacrum.
Menurut Mahadewa, tjokorda G.B. (2009) pergerakan pada
vertebra thorakalis lebih terbatas dibandingkan dengan vertebra
servikalis dan lumbalis. Bagian Vertebrae ini mendapat tambahan
penahanan dari sangkar kosta. Karena itu insiden dari fraktur vertebra
thoracalis lebih rendah, dan kebanyakan merupakan fraktur kompresi
tidak mengakibatkan cedera medulla spinalis. Akan tetapi bilamana
terjadi fraktur dislokasi, maka biasanya selalu terdapat deficit
neurologis lengkap. Hal ini disebabkan karena pada vertebra
thorakalis, canalis spinalis relative lebih sempit. Daerah vertebra
thorakolumbal adalah titik tumpu antara daerah vertebra thorakalis
yang tidak fleksibel dengan daerah lumbalyang lebih kuat hal ini
mudahnaya terjadi trauma.



6

2. Medula Spinalis
Medula spinalis berfungsi sebagai pusat reflex spinal dan
juga sebagai jaras jaras konduksi impuls dari atau ke otak. Terdiri dari
substansia alba (serabut saraf bermielin) dengan bagian dalam terdiri
dari substansia grisea (jaringan saraf tak bermielin). Substansia alba
berfungsi sebagai jaras konduksi impuls aferen dan eferen antara
berbagai tingkat medula spinalis dan otak. Substansia grisea
merupakan tempat integrasi reflex-refleks spinal (Sylvia A. price,
1995). Dalam medula spinalis keluar 31 pasang saraf terdiri dari:
servikal 8 pasang, torakal 12 pasang, lumbal 5 pasang, sakral 5
pasang, koksigeal 1 pasang. (Syaifudin, 1997).
Gambar 2.2. Penampang Melintang Medulla Spinalis.
( http://sanirahman.blogspot.com/2009/11/penatalaksanaan-trauma-spinal-dan.html )

Sebuah irisan melintang, substansi grisea tampak menyerupai
huruf H Kapital. Kanalis spinalis berikut isinya yaitu cairan serebro
spinal, melintas persis di tengah tengah huruf H tersebut. Kedua
kaki huruf H menjulur ke bagian depan tubuh disebut kornu anterior
atau kornu ventralis. Sedangkan kaki belakang dinamakan kornu
posterior, atau kornu dorsalis. Sumsum belakang dibungkus oleh 3
selaput yaitu, durameter, arakhnoid, dan piameter. Diantara
durameter dan arakhnoid terdapat lubang disebut kandung
durameter.
7

B. Pemeriksaan Sensibilitas
Dermatom adalah daerah pada kulit yang dipersarafi oleh akson
sensoris didalam radiks saraf segmental. level sensoris adalah dermatom
terendah dengan fungsi sensoris yang normal dan dapat dibedakan pada
kedua sisi tubuh.
Kunci untuk menentukan titik sensasi adalah :
1. C5 : Area diatas deltoid
2. C6 : Jempol tangan
3. C7 : Jari tengah tangan
4. C8 : Kelingking
5. T4 : Papilla mamae
6. T8 : Xiphisternum
7. T10 : Umbilicus
8. T12 : Simphisis pubis
9. L4 : Bagian medial betis
10. L5 : Ruang antara jari kaki pertama-kedua
11. S1 : Batas lateral padis
12. S3 : Daerah tuberositas ischii
13. S4-5 : Daerah perianal

C. Myotom
Setiap saraf segmental (radiks) mempersarafi lebih dari satu otot
dan kebanyakan otot dipersarafi oleh lebih dari satu saraf (biasanya 2).
untuk memudahkan, beberapa otot atau kelompok otot diidentifikasi
sebagai satu segmen saraf spinal.
Otot-otot yang terpenting adalah :
1. C-5 : Deltoid
2. C-6 : Ekstensor pergelangan (extensor carpi radialis longus et brevis
3. C-7 : Ekstensor siku (m triceps)
4. C-8 : Fleksor jari-jari tangan 1-3 (flexor digitorum profundus)
5. T-1 : Abductor jari kelingking (abductor digiti minimi)
6. L-2 : Fleksor panggul (iliopsoas)
8

7. L-3 : Ekstensor lutut (m quadriceps)
8. L-4 : Dorsofleksi pergelangan kaki (m tibialis anterior)
9. L-5 : Ekstensor jari kaki II (ekstensor halucis longus)
10. S-1 : Fleksi pergelangan kaki (m gastrocnemius, soleus)

Sebagai tambahan dari tes otot bilateral, sfingter ani eksternal
harus diperiksa dengan pemeriksaan colok dubur.
Setiap otot dilakukan gradiasi menjadi 6 tingkat/derajat kekuatan
otot. dokumentasi kekuatan kelompok otot kunci membantu mengetahui
perbaikan atau memburuknya keadaan neurologist.
Derajat kekuatan otot :
0 : kelumpuhan total
1 : teraba atau terasanya kontraksi
2 : gerakan tanpa menahan gaya berat
3 : gerakan melawan gaya berat
4 : gerakan kesegala arah, tapi kekuatan kurang
5 : kekuatan normal

D. Definisi
Trauma medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis
yang disebabkan oleh benturan pada daerah medula spinalis (Brunner &
Suddarth, 2001). Trauma medula spinalis adalah terutama yang terjadi
pada jaringan medula spinalis yang dapat menyebabkan fraktur atau
pergeseran satu atau lebih tulang vertebra atau kerusakan jaringan
medula spinalis lainnya termasuk akar-akar saraf yang berada sepanjang
medula spinalis sehingga mengakibatkan defisit neurologi ( Mansjoer, A.
2000). Sedangkan menurut Mahadewa, Tjokorda G.B.(2009) cedera
servikal adalah cedera tulang belakang yang paling ditakuti, terdapat
korelasi antara level cedera dengan morbiditas/mortalitas, dimana
semakin tinggi level cedera semakin tinggi pula morbiditas dan
mortalitasnya.
9

E. Etiologi
1. Kecelakaan lalu lintas : kecelakaan yang mengenai tulang belakang
seperti kecelakaan sepeda motor.
2. Injury atau jatuh dari ketinggian : jatuh yang mengenai tulang
belakang seperti: jatuh dari tower, tangga pohon kelapa.
3. Kecelakaan sebab olah raga : Olah raga yang resiko injurinya tinggi
seperti : jatuh dari panjat tebing, menyelam, terjun paying, panjat
pinang.
4. Luka jejas, tajam, tembak pada daerah vertebra atau tulang belakang.

F. Mekanisme Cidera
Perawat perlu mengenal mekanisme trauma yang terjadi pada
tulang belakang yang memungkinkan gangguan pada medulla spinalis:
1) Fleksi
Trauma terjadi akibat fleksi dan disertai dengan sedikit kompresi pada
vertebra. Vertebra mengalami tekanan berbentuk remuk yang dapat
menyebabkan kerusakan atau tanpa kerusakan ligament posterior.
Apabila terdapat kerusakan ligament posterior, maka fraktur bersifat
tidak stabil dan dapat terjadi sublukasi.
2) Fleksi dan rotasi
Trauma jenis ini merupakan suatu trauma fleksi yang bersama-sama
dengan rotasi. Terdapat strain dari ligament dan kapsul, juga
ditemukan fraktur faset. Pada keadaan ini terjadi pergerakan ke
depan/dislokasi vertebra diatasnya. Semua fraktur dislokasi bersifat
tidak stabil.
3) Kompresi vertikal (aksial)
Suatu trauma vertikal yang secara langsung mengenai vertebra yang
akan menyebabkan kompresi aksial. Nukleus pulposus akan
memecahkan permukaan serta badan vertebra secara vertical. Material
diskus akan masuk dalam badan vertebra menjadi rekah (pecah). Pada
truma ini elemen posterior masih intak sehingga fraktur yang terjadi
bersifat stabil.
10

4) Hiperekstensi atau retrofleksi
Biasanya terjadi hiperekstensi sehingga terjadi kombinasi distraksi
dan ekstensi. Keadaan ini sering ditemukan pada vertebra servikal dan
jarang pada vertebra torako-lumbal. Ligamen anterior dan diskus
dapat mengalami kerusakan atau terjadi fraktur pada arkus neuralis.
Fraktur ini biasanya bersifat stabil.
5) Fleksi lateral
Kompresi atau trauma distraksi yang menimbulkan fleksi lateral akan
menyebabkan fraktur pada komponen lateral, yaitu pedikel, foramen
vertebra, dan sendi faset.
6) Fraktur-dislokasi
Suatu trauma menyebabkan terjadinya fraktur tulang belakang dan
terjadi dislokasi pada ruas tulang belakang.

G. Manifestasi klinis spinal syok
Trauma konkusi sum-sum tulang belakang (Neuropraksia, spinal
syok) biasanya akibat adanya keregangan sum-sum tulang belakang
disertai fleksi. Gambaran klinisnya adalah: hilangnya sensibilitas yang
bersifat sementara, paralisis yang bersifat layu, ileus paralitik, kencing
yang tertahan (retensio urin), hilangnya reflex-refleks bersifat sementara,
hilangnya reflex anus sementara.(Chairudin Rasjad, 1998).

H. Patogenesis
Efek trauma terhadap tulang belakang bisa berupa fraktur
dislokasi, fraktur, dan dislokasi. Frekuensi relative ketiga jenis tersebut
adalah 3:1:1.
Fraktur tidak mempunyai tempat predileksi, tetapi dislokasi
cenderung terjadi pada tempat-tempat antara bagian yang sangat mobil
dan bagian yang terfiksasi, seperti Vertebrae C1-2, C5-6, dan T11-12.
Dislokasi bisa bersifat ringan dan bersifat sementara atau berat dan
menetap. Efek traumatiknya bisa bisa mengakibatkan lesi yang nyata
pada medulla spinalis.
11

Trauma pada servikal bisa menyebabkan bisa menyebabkan
cedera spinal stabil dan tidak stabil. pada trauma medulla spinalis
biasanya diakibatkan cedera yang tidak stabil yaitu cedera cedera yang
dapat mengalami pergeseran lebih jauh dimana terjadi perubahan struktur
dari oseoligamentosa posterior (pedikulus, sendi-sendi permukaan, arkus
tulang posterior, ligament interspinosa dan supraspinosa), komponen
pertengahan (sepertiga bagian posterior badan vertebral, bagian posterior
dari diskus invertebralis dan ligamen longitudinal posterior), dan
kolumna anterior (dua pertiga bagian anteriorkorpus vertebra, bagian
anterior diskus invertebralis, dan ligament longitudinal anterior).
Prinsip prinsip penentuan pathogenesis berdasarkan letak lesi.
1. Lesi komplit versus inkoplit
Penampilan fungsional yang berarti pada setiap pasien tergantung
pada apakah lesi itu komplit atau inkomplit. Lesi inkomplit berarti
penyelamatan serabut motorik dan sensorik (atau keduanya) dibawah
tingkat lesi, sedangkan lesi komplit berarti kehilangan total
pengendalian otot volunter dan sensasi dibawah tingkat cedera
tersebut. Bila cedera medulla spinalis inkomplit, segmen distal dari
lesi masih baik walaupun tingkat kerusakan tulang terjadi pada daerah
yang lebih tinggi. Sebagai contoh, cedera tingkat ortopedik, mungkin
fraktur C5, tetapi pasien secara neurologis utuh pada C6.
2. Cedera Sevikal
a. Lesi C1 C4
Pada lesi C1 C4, otot trapezius, sternomastoid dan otot
platisma masih brerfungsi. Otot diafragma dan otot interkostal
mengalami paralisis dan tidak ada gerakan volunter (baik secara
fisik maupun fungsional) di bawah transeksi spinal tersebut.
kehilangan sensori pada tingkat C1 melalui C3 meliputi daerah
oksipital, telinga dan beberapa daerah wajah.
Pasien dengan quadraplegi pada C1, C2, atau C3 membutuhkan
perhatian penuh karena ketergantungan terhadap ventilator
12

mekanis. Semua aktivitas kebutuhan sehari-hari seperti makan,
mandi, dan berpakaian bergantung kepada orang lain.
Sedangkan pada C4 biasanya juga memerlukan ventilator
mekanis tetapi mungkin dapat dilepaskan dari ventilator secara
intermiten. Pasien ini juga masih bergantung kepada orang lain
dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, meskipun dia
mungkin dapat makan sendiri dengan alat khusus.
b. Lesi C5
Bila segmen C5 medulla spinalis mengalami kerusakan,
fungsi diafragma rusak sekunder terhadap edema pascatrauma
akut. Paralisis intestinal dan dilatasi lambung dapat disertai
dengan depresi pernafasan. Ekstremitas atas mengalami rotasi
kearah luar sebagai akibat dari kerusakan otot supraspinosus dan
infraspinosus. Bahu dapat diangkat karena tidak ada penghambat
dari levator scapula dan otot trapezius. Setelah fase akut, reflex
dibawah tingkat lesi menjadi berlebihan. Sensasi ada pada daerah
leher dan triangular anterior dari daerah lengan atas.
Quadraplegi pada C5 biasanya mengalami ketergantungan
terhadap aktivitas seperti mandi, menyisir rambut, mencukur,
tetapi pasien mempunyai koordinasi tangan dan mulut yang lebih
baik, yang memungkinkan untuk makan sendiri dengan alat
makan atau penyokong.
c. Lesi C6
Pada lesi segmen C6, distress pernafasan terjadi karena
paralisis intestinal dan edema asenden dari medulla spinalis. Bahu
biasanya naik, dengan lengan abduksi dan lengan bawah fleksi. Ini
karena aktifitas takterhambat dari deltoid, bisep, dan otot
brakhioradialis. Pemulihan fungsi dari trisep tergantung pada
perbaikan posisi lengan ( lengan bawah ekstensi dan lengan bawah
abduksi).
Quadraplegi C6 tetap mandiri dalam banyak kebutuhan
hygiene dan kadang kadang berhasil dalam memakai dan
13

melepaskan pakaian melalui eksteremitas bawah. Pasien mandiri
dalam makan, mampu berkerja ringan dirumah, dan
mengemudikan mobil dengan control tangan.
d. Lesi C7
Lesi medulla pada tingkat C7 memungkinkan otot
diafragma dan aksesori untuk mengkompensasi otot abdomen dan
interkostal. Ekstremitas atas mengambil posisi yang sama seperti
pada lesi C6. Quadraplegi C7 mempunyai potensi hidup mandiri
tanpa perawatan dan perhatian khusus. Pemindahan mandiri,
seperti berpakaian dan melepas pakaian melalui ekstremitas atas
dan bawah, makan, mandi, pekerjaan rumah yang ringan dan
memasak.
e. Lesi C8
Posisi abnormal dari ekstremitas atas tidak terjadi pada
lesi C8 karena adductor dan rotator internal mampu meniadakan
antagonis. Otot latisimus dorsi dan trapezius cukup kuat untuk
menyokong posisi duduk. Hipotensi postural dapat terjadi bila
pasien ditinggikan pada posisi duduk karena kehilangan control
vasomotor. Hipotensi ini dapat diminimalkan dengan pasien
berubah secara bertahap dari berbaring keposisi duduk. Jari tangan
pasien biasanya pada posisi mencengkram.
Quadraplegi C8 harus mampu untuk hidup mandiri. Orang
ini mandiri dalam hal berpakaian, mengemudikan mobil, merawat
rumah, dan perawatan mandiri.
f. Cedera Torakal
1) Lesi T1 T5
Lesi pada region T1 T5 dapat menyebabkan pernafasan
dengan diafragmatik. Fungsi inspirasi paru paru meningkat
sesuai dengan penurunan lesi pada thoraks. Hipotensi postural
biasanya muncul. Timbul paralisis parsial dari otot adductor
pollici, interoseus, dan otot lumbrikal tangan, seperti kehilangan
sensori sentuhan, nyeri, dan suhu.
14

2) Lesi T6 T12
Lesi pada tingkat T6 menghilangkan semua reflex
abdomen. Dari tingkat T6 ke bawah, segmen segmen individual
berfungsi, dan pada tingkat T12, semua reflex abdominal ada. Ada
paralisis spastic pada tubuh bagian bawah. Pasien dengan lesi
pada tingkat torakal harus berfungsi secara mandiri.
Batas atas kehilangan sensori pada lesi torakal adalah:
T2: Seluruh tubuh sampai sisi dalam dari lengan atas
T3: Aksila
T5: Putting susu
T6: Prosesus xifoid
T7,T8: Margin kostal bawah
T10: Umbilikus
T12: Lipat paha
Fungsi usus dan kandung kemih dapat kembali dengan
reflex otomatisme.
g. Cedera lumbal
Lesi L1 L5
Kehilangan sensori meliputi lesi pada L1 L5 yaitu:
L1: Semua area ekstremitas bawah, menyebar sampai lipat paha
dan bagian belakang dari bokong.
L2: Ekstremitas bagian bawah, kecuali sepertiga atas aspek
anterior paha.
L3: Ekstremitas bagian bawah dan daerah sadel.
L4: Sama dengan pada lesi L3, kecuali aspek anterior paha.
L5: Aspek luar kaki dan pergelangan kaki serta ekstremitas
bawah dan area sadel.
h. Cedera Sakral
Lesi S1 S6
Pada lesi yang mengenai S1 S5, mungkin terdapat beberapa
perubahan posisi dari telapak kaki. Dari S3 sampai S5, tidak
15

terdapat paralisis dari otot kaki. Kehilangan sensasi meliputi area
sadel, skrotum, dan glands penis, perineum, area anal, dan
sepertiga atas aspek posterior paha.

I. Komplikasi :
1. Kematian karena gangguan organ vital
2. Pneumonia hipostatik
3. Infeksi saluran kemih
4. Dekubitus
5. Kaku sendi
6. Spasme dan atrofi otot
7. Kecacatan permanent yang menyebabkan ketergantungan pada
keluarga dan masyarakat.

J. Pemeriksaan Diagnostik
1) Radiologik
Foto polos posisi antero-posterior dan lateral pada daerah yang
diperkirakan mengalami trauma akan mempelihatkan adanya fraktur
dan mungkin disertai dengan dislokasi. Pada ruang gawat darurat, foto
lateral daerah vertebra yang diperkirakan mendapat trauma harus
dikerjakan segera, meskipun penderita telah membawa foto dari
rumah sakit sebelumnya (khusus pada trauma daerah servikal). Tujuan
tindakan ini adalah untuk memastikan bahwa tidak terjadi perubahan
jajaran vertebra (alignment) sewaktu diangkat/dipindahkan. pada
trauma daerah servikal foto dengan posisi mulut terbuka dapat
membantu dalam memeriksa adanya kemungkinan fraktur vertebra
C1-C2.
2) Pungsi lumbal
Berguna pada fase akut trauma medulla spinalis. Sedikit
peningkatan tekanan liquor serebrospinalis dan adanya blockade pada
Queckenstedt menggambarkan beratnya derajat edema medulla
spinalis. tetapi perlu diingat tindakan pungsi lumbal ini harus
16

dilakukan dengan hati-hati, karena posisi fleksi tulang belakang dapat
memperberat dislokasi yang telah terjadi. Dan antefleksi pada vertebra
servikal harus dihindari bila diperkirakan terjadi trauma pada daerah
servikalis tersebut.
3) Mielografi
Mielografi tampaknya tidak mempunyai indikasi pada fase
akut trauma medula spinalis. Tetapi mielografi dianjurkan pada
penderita yang telah sembuh dari trauma pada daerah lumbal, sebab
sering terjadi herniasi diskus intervertebralis.

K. Penatalaksanaan
Pada umumnya pengobatan trauma medula spinalis adalah
konservatif dan simtomatik. Manajemen mempunyai tujuan
mempertahankan fungsi medula spinalis yang masih ada dan
memperbaiki kondisi untuk penyembuhan jaringan untuk
penyembuhan jaringan medula spinalis yang mengalami trauma
tersebut.
Prinsip tatalaksana dapat diringkas sebagai berikut:
1) Segera imobilisasi dan diagnosis dini
2) Stabilisasi daerah tulang yang mengalami trauma
3) pencegahan progresivitas gangguan medula spinalis
4) Rehabilitasi dini
Penderita yang diperkirakan mengalami trauma pada daerah
servikal harus difiksasi dengan kerah servikal (cervical collar). Bila
tidak tersedia maka dapat diganti dengan bantal pasir pada sisi kanan
kiri kepala serta leher, sedang penderita dibaringkan dalam posisi
terlentang pada alas yang keras (papan). Sewaktu penanggulangan
awal dimulai, oksigenasi dan aliran darah yang adekuat pada medula
spinalis dipertahankan. Pemberian cairan intravena dibutuhkan untuk
mencegah terjadinya hipotensi bila aliran darah dan oksigen ke
medula spinalis berkurang yang dapat memperparah lesi pasien.
17

Pipa nasogastrik dipasang untuk mencegah distensi abdomen
akibat dilatasi gaster akut. Pemasangan kateter foley juga diperlukan
untuk mengatasi retensio urin. Pada stadium awal dimana terjadi
dilatasi gastrointestinal, diperlukan pemberian enema. Bila peristaltik
timbul dapat diberikan obat pelunak feses. Untuk mencegah dikubitus
perlu dilakukan alih baring tiap 2 jam.
Penatalaksanaan medis juga bisa dengan pemberian
kortikosteroid untuk mengurangi edema medula spinalis tapi masih
kontroversial. Bila terjadi spastisitas dapat digunakan diazepam,
baklofen dan dantrolen sodium untuk mengatasinya. Dan tindakan
medis akhir adalah operasi laminektomi dekompresif jika ada indikasi:
1) Reduksi terbuka dislokasi dengan atau tanpa disertai fraktur pada
daerah servikal, bilamana traksi dan manipulasi gagal.
2) Adanya fraktur servikal dengan lesi parsial medula spinalis
dengan fragmen tulang tetap menekan permukaan anterior medula
spinalis walaupun telah dilakukan traksi yang adekuat.
3) Trauma servikal dengan lesi parsial medula spinalis, dimana tidak
tampak adanya fragmen tulang dan diduga terdapat penekanan
medula spinalis oleh herniasi diskus intervertebralis.
4) Fragmen yang menekan lengkung saraf
5) Adanya benda asing atau fragmen tulang dalam kanalis spinalis
6) Lesi parsial medula spinalis yang berangsur-angsur memburuk
setelah pada mulanya dengan cara konservatif yang maksimal
menunjukkan perbaikan, harus dicuragai hematoma.








18

L. Web Of Cousation




































Kecelakaan, injuri, trauma tajam, tumpul
Trauma servikal tipe ekstensi dan fleksi
Fraktur dislokasi C4 : kompresi pada
radiks C4
Cedera stabil
Cedera tidak stabil
imobilisasi
MK : Gangguan
Integritas Kulit
Quadrip plegia
Paralisis otot
pernafasan
Ekspansi paru tidak
maksimal
MK: gangguan pola
nafas
Sensoris
Hilangnya sensibilitas
pada bokong,
perineum, anus
Sfingter ani relaksasi
Inkontinensia alvi
MK: Gangguan
eliminasi alvi
Otonom
Kandung kemih
Paralisis flaksid dan
spastik
Gangguan volunter
Inkontinensia
urine
Retensio urine
MK: Gangguan
eliminasi urine
MK : Bersihan jalan
napas tidak efektif
19

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Biodata
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Adanya riwayat trauma
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Adanya korban CMS adalah sebagian besar anak muda. Yang tidak menutup
kemungkinan terlibat dalam pengunaan penyalahgunaan obat dan alcohol.
Adanya riwayat depresi.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
5. Pemeriksaan Fisik
1) Sistem Pernafasan
Gangguan pernafasan, menurunnya vital kapasitas mengguanakan otot otot
tambahan pernafasan
2) Sistem Kardiovaskuler
Bradikardi, Hipotensi, Disritmia, Ortostatik Hipotensi
3) Status Neurologi
Nilai GCS karena 20 % cedera medulla spinalis disertai cedera kepala
4) Fungsi Motorik
Kehilangan sebagian atau seluruh gerakan motorik dibawah garis
kerusakan, adanya quadriplegia, paraplegia.
5) Reflek Tendon
Adanya spinal schok seperti hilangnya reflek dibawah garis kerusakan,
post spinal shock seperti adanya hiperefleksia (ada gangguan upper motor
neuron / UMN) dan flaccid pada gangguan lower motor neuron / LMN
6) Fungsi Sensorik
Hilangnya sensasi sebagian atau seluruh bagian dibawah garis kerusakan
7) Fungsi Otonom
Hilangnya tonus fasomotor, kerusakan termolegulator
8) Autonomik Hiperefleksia (Kerusakan pada T6 keatas)
20

Adanya nyeri kepala, peningkatan TD, Bradikardia, hidung tersumbat,
pucat dibawah garis kerusakan, cemas dan gangguan penglihatan
9) Sistem Gastrointestinal
Pengosongan lambung yang lama, iliues paralitik, tidak ada bising usus,
stress ulcer, feses keras atau inkontinensia
10) Sistem Urinaria
Retensi urin, inkontinensia
11) Sistem Muskuluskeletal
Atrofi otot, kontraktur, menurunnya gerak sendi (ROM)
12) Kulit
Adanya kemerahan pada daerah yang tertekan (tanda awal dekubitus)
13) Fungsi Seksual
Impoten, gangguan ereksi, ejakulasi. Menstruasi tidak teratur
14) Psikososial
Reaksi pasien dan keluarga, masalah keuagan, hubungan dengan
masyarakat

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan tidak efektifnya
reflex batuk, immobilisasi
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan paralisis otot pernafasan
3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi, defisit sensasi /
motorik, gangguan sirkulasi, penggunaan traksi
4. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan ketidak mampuan mengontrol
sphingter untuk berkemih
5. Gangguan eliminasi bowel berhubungan dengan menurunnya kontrol
spinghter bowel

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan tidak efektifnya
reflex batuk, immobilisasi
Kriteria Hasil :
21

Batuk efektif
Pasien mampu mengeluarkan secret
Bunyi napas normal
Jalan napas bersih
Respirasi normal : Irama dan jumlah pernafasan
Pasien mampu melakukan reposisi
Nilai AGD : PaO2 > 80 mmHg, PaCO2 : 35 45 mmHg, pH : 7,35
7,45
Intervensi :
1) Kaji kemampuan batuk dan produksi secret
2) Pertahankan jalan nafas (hindari fleksi leher, bersihan sekret)
3) Monitor warna, jumlah dan konsistensi sekret, lakukan kultur
4) Lakukan suction jika perlu
5) Auskultasi bunyi nafas
6) Lakukan latihan nafas
7) Berikan minum hangat jika tidak kontraindikasi
8) Berikan oksigen dan monitor analisa gas darah
9) Monitor tanda vital setiap 2 jam dan status neurologi

2. Tidak pola nafas berhubungan dengan paralisis otot penafasan
Kriteria Hasil :
Pasien dapat menunjukkan adanya peningkatan tidal volume > 7-10
ml/kg
RR < 25 x / menit
Pasien menyatakan mudah bernafas
Intervensi :
1) Auskultasi bunyi nafas setiap 2 jam
2) Suction jika perlu
3) Berikan oksigen 100% selama 1 menit sebelum dan sesudah
4) Pertahankan kepatenan jalan nafas
5) Monitor ventilator jika pasien di pasang
6) Monitor analisis gas darah
22

7) Monitor tanda-tanda vital setiap 2 jam
8) Lakukan posisi semiflower, jika tidak ada kontraindikasi

3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi, defisit sensasi /
motorik, gangguan sirkulasi, penggunaan traksi
Kriteria Hasil :
Keadaan kulit pasien utuh, bebas dari kemerahan
Bebas dari infeksi pada lokasi yang tertekan
Integritas :
1) Kaji faktor resiko terjadinya gangguan integritas kulit
2) Kaji keadaan kulit pasien setiap 8 jam
3) Gunakan tempat tidur khusus (dengan busa)
4) Ganti posisi setiap 2 jam dengan sikap anatomis
5) Pertahankan kebersihan dan kekeringan tempat tidur dan tubuh pasien
6) Lakukan pemijatan lembut diatas daerah tulang yang menonjol setiap 2
jam dengan gerakan memutar
7) Kaji status nutrisi pasien dan berikan makanan dengan tinggi-tinggi
protein
8) Lakukan perawatan kulit pada daerah yang lecet / rusak setiap hari

4. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan ketidakmampuan mengontrol
sphingter untuk berkemih
Kriteria Hasil :
Pasien dapat mempertahankan pengosongan bladder tanpa residu dan
distensi
Keadaan urine jernih, kultur urine negative
Intake dan output cairan seimbang
Intervensi :
(1) Kaji tanda tanda infeksi saluran kemih
R/ Efek dari tidak efektifnya bleder adalah adanya infeksi saluran
kemih
(2) Kaji intake dan output cairan
23

R/ Mengetahui adekuatnya fungsi ginjal dan efektifnya bladder
(3) Lakukan pemasangan kateter sesuai program
R/ Efek trauma medulla spinalis adalah adanya gangguan reflex
berkemih sehingga perlu bantuan dalam pengeluaran urin
(4) Penuhi kebutuhan cairan pasien 2-3 liter setiap hari
R/ Mencegah urine lebih pekat yang berakibat timbulnya batu
(5) Cek blader pasien setiap 2 jam
R/ Mengetahui adanya residu sebagai akibat autonomic
hyperrefleksia
(6) Lakukan pemeriksaan urinalisa, kultur dan sensibilitas
R/ Mengetahui adanya infeksi
(7) Monitor temperature tubuh setiap 8 jam
R/ Temperature yang meningkat indikasi adanya infeksi

5. Gangguan eliminasi bowel berhubungan dengan menurunnya kontrol
spinghter bowel
Kriteria Hasil :
Pasien bebas konstipasi
Keadaan feses yang lembek, berbentuk
Intervensi :
(1) Kaji pola eliminasi bowel
R/ Menentukan adanya perubahan eliminasi
(2) Berikan diet tinggi serat
R/ Serat meningkatkan konsistensi feses
(3) Berikan minum 1800-2000 ml/hari jika tidak kontraindikasi
R/ Mencegah konstipasi
(4) Auskultasi bising usus, kaji adanya distensi abdomen
R/ Bising usus menentukan pergerakan peristaltik
(5) Hindari penggunaan laksatif oral
R/ Kebiasaan menggunakan laksative akan terjadi ketergantungan
(6) Lakukan mobilisasi jika memungkinkan
R/ Meningkatkan pergerakan peristaltik
24

(7) Berikan suppositoria sesuai program
R/ Pelunakan feses sehingga memudahkan eliminasi
(8) Evaluasi dan catat adanya perdarahan pada saat eliminasi
R/ Kemungkinan perdarahan akibat iritasi penggunaan suppositoria




























25

BAB IV
TINJAUAN KASUS

A. PENGKAJIAN
1. Identitas
Nama : Tn X
Umur : 35 Tahun
Pekerjaan : kuli bangunan
Agama : Islam
2. Pengkajian
Data subyektif:
Keluarga mengatakan : klien jatuh pada ketinggian 50 meter, kemudian kedua
tungkai dan tanggan tidak dapat digerakkan, pada saat kejadian pasien masih
sadar.
Data Obyktif
Kedua tungkai dan tangan tidak dapat digerakkan
TTV TD : 90/40 mmHg N : 70x/menit RR : 32X/menit S : 38 C
3. RPD : Sebelumnya pasien tidak pernah mengalami sakit.
4. ROS (Review of System)
B1 : RR: 32x/mnt, tidak ada suara nafas tambahan (stridor, ronchie, whezing)
B2 : 90/40 mmHg, S: 38 C, N: 70x/mnt, akral hangat, kulit kering
B3 : GCS : 2-3-X, tidak ada reflek muntah
B4 : Terpasang kateter dengan produksi 200 cc/5 jam, warna urine pekat,
inkontinensia urin
B5 : Tidak ada rangsang perianal, dipasang selang nasogastrik untuk nutrisi,
inkontinensia alvi
B6 : Kedua tungkai dan tanggan tidak dapat digerakkan
5. Pemerikasaan Diagnostik
CT Scan menunjukkan fraktur dislokasi C4



26

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan ketidak mampuan mengontrol
sphingter untuk berkemih
2. Gangguan eliminasi bowel berhubungan dengan menurunnya kontrol
spinghter bowel

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan ketidakmampuan mengontrol
sphingter untuk berkemih
Kriteria Hasil :
Pasien dapat mempertahankan pengosongan bladder tanpa residu dan
distensi
Keadaan urine jernih, kultur urine negative
Intake dan output cairan seimbang
Intervensi :
(1) Kaji tanda tanda infeksi saluran kemih
R/ Efek dari tidak efektifnya bleder adalah adanya infeksi saluran
kemih
(2) Kaji intake dan output cairan
R/Mengetahui adekuatnya fungsi ginjal dan efektifnya bladder
(3) Lakukan pemasangan kateter sesuai program
R/ efek trauma medulla spinalis adalah adanya gangguan reflex
berkemih sehingga perlu bantuan dalam pengeluaran urin
(4) Penuhi kebutuhan cairan pasien 2-3 liter setiap hari
R/ mencegah urine lebih pekat yang berakibat timbulnya batu
(5) Cek blader pasien setiap 2 jam
R/ mengetahui adanya residu sebagai akibat autonomic hyperrefleksia
(6) Lakukan pemeriksaan urinalisa, kultur dan sensibilitas
R/ mengetahui adanya infeksi
(7) Monitor temperature tubuh setiap 8 jam
R/ temperature yang meningkat indikasi adanya infeksi
27

2. Gangguan eliminasi bowel berhubungan dengan menurunnya kontrol
spinghter bowel
Kriteria Hasil :
Pasien bebas konstipasi
Keadaan feses yang lembek, berbentuk
Intervensi :
(1) Kaji pola eliminasi bowel
R/ menentukan adanya perubahan eliminasi
(2) Berikan diet tinggi serat
R/ serat meningkatkan konsistensi feses
(3) Berikan minum 1800-2000 ml/hari jika tidak kontraindikasi
R/ mencegah konstipasi
(4) Auskultasi bising usus, kaji adanya distensi abdomen
R/ bising usus menentukan pergerakan peristaltik
(5) Hindari penggunaan laksatif oral
R/ kebiasaan menggunakan laksative akan terjadi ketergantungan
(6) Lakukan mobilisasi jika memungkinkan
R/ meningkatkan pergerakan peristaltik
(7) Berikan suppositoria sesuai program
R/ pelunakan feses sehingga memudahkan eliminasi
(8) Evaluasi dan catat adanya perdarahan pada saat eliminasi
R/ kemungkinan perdarahan akibat iritasi penggunaan suppositoria










28

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Cedera medulla spinalis merupakan keadaan patologi akut pada
medula spinalis yang diakibatkan terputusnya komunikasi sensori dan
motorik dengan susunan saraf pusat dan saraf perifer. Tingkat kerusakan
pada medula spinalis tergantung dari keadaan komplit atau inkomplit.
(Tarwoto & Wartonah, 2007)
Dari berbagai tanda dan gejala yang ditimbulkan, pasin dengan
cidera spinal dapat mengalami masalah keperawatan yang komplek dan
memerlukan penatalaksanaan yang intensif dan komprehensif. Masalah
keperawatan yang sering muncul pada kasus cidera medula spinalis antara
lain gangguan integritas kulit, bersihan jalan napas tidak efektif,
gangguan eliminasi urin, gangguan eliminasi alvi, dan gangguan pola
napas.

B. Saran
Perawat perlu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan cedera
medulla spinalis. Ketepatan penanganan akan sangat menentukan
prognosis kesembuhan dan meminimalisir komplikasi yang ditimbulkan.









29

DAFTAR PUSTAKA


Hudak & Gallo. 2010. Keperawatan Kritis. Volume 2 Edisi 6. Jakarta:EGC

Ignatavius & Workman. 2009. Medical Surgical Nursing: Patient Centered
Collaborative Care. Philadelphia: Saunders Elsevier

Muttaqin, Arif. 2010. Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Satyanegara. 2010. Ilmu Bedah Saraf. Edisi IV. Jakarta: Kompas Gramedia.

Tarwoto & Wartonah. 2007. Keperawatan Medikal Bedah: Gangguan
Sistem Persyarafan. Jakarta: Agung Seto

You might also like