You are on page 1of 172

EDISI KEDUA

WWWWWWWWWWWWWWWWWWWWWWWWWWWWWW
Buku ini mungkin tidak dapat memenuhi harapan
Anda terhadap kurikulum tarbiyah yang praktis
serta instan. Para pemula pun belum tentu dapat
mencerna maknanya bagi kemajuan tarbiyah
ruhiyah maupun tsaqafiyah yang mereka harapkan
Namun, buku ini menawarkan rujukan yang
bermanfaat bagi Anda yang sering berjibaku
dengan pertanyaanpertanyaan kritis dan acapkali
sangat membingungkan
M Ma an nh ha aj j
S SI IS ST TE EM MA AT TI IK KA A N NU UZ ZU UL LN NY YA A W WA AH HY YU U
K Ko on ns se ep p d da an n L La an nd da as sa an n I I l lm mi i a ah h
Ditujukan terutama untuk kaderkader
Hidayatullah, yang ingin memahami secara
layak sumbersumber asasi pemikiran Manhaj
Sistematika Nuzulnya Wahyu
Disini insyaAllah Anda akan temukan secara
ilmiah bahwa sesungguhnya Manhaj ini bukan
suatu bid'ah yang mengadaada, akan tetapi
merupakan ijtihad serius untuk menggali serta
menampilkan kembali khazanah pemikiran
Islam yang lama tak banyak dilirik orang:
"Tartibu Nuzulil Wahyi"
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
M. Alimin Mukhtar.
Judul
Manhaj Sistematika Nuzulnya Wahyu
Konsep dan Landasan Ilmiah
Penyusun
M. Alimin Mukhtar
Edisi Kedua
Ramadhan 1427 H Oktober 2006 M
Korespondensi, Kritik & Saran
Jl. Raya Apel 61 Sumbersekar Dau Malang 65151 Jawa Timur
Telp. (0341) 461231 HP: 081 555 874 028

BENIH
ini adalah benih
ambil dan tanamlah
seperti sebutir gabah
yang darinya terbit seribu butir
ambil dan tanamlah
semoga anda memanen kelak
ini bukan hidangan siap saji
seperti sepiring nasi
yang darinya bangkit energi
namun
tak lama kan punah
dan anda harus makan lagi
atau merana dan futur
habis perbekalan
ya!
ini adalah benih
ambil dan tanamlah
rawat dan panenlah
biidznillah
sumbersekar
ramadhan 1427 hijriyah
1
P
PENGANTAR EDISI KEDUA
Naskah ini adalah hasil serangkaian studi lanjutan dari edisi sebelumnya
yang telah dipublikasikan secara terbatas, menjelang dan setelah Munas
II Hidayatullah, Juni 2005 silam. Sebagai edisi kedua, tentu saja kami
menambahkan berbagai hal di dalamnya, walau publikasi kali ini
bukanlah sebuah upaya revisi besarbesaran. Bahkan, boleh dikata, tidak
ada perubahan dalam pokokpokok pikirannya. Yang baru dalam edisi ini
adalah perluasan muatannya. Setelah edisi pertama terpublikasikan,
banyak informasi, data dan pemikiran baru yang kami dapatkan,
sehingga perlu untuk disertakan disini sebagai upaya pematangan dan
pemantapan. Selaras dengan semangat itu pulalah sehingga judul edisi
ini kami ubah, menjadi Manhaj Sistematika Nuzulnya Wahyu Konsep dan
Landasan Ilmiah, setelah pada edisi sebelumnya kami beri judul
Membangun Kembali "Tsiqah" kepada Manhaj Sistematika Nuzulnya
Wahyu.
Sistematika penyajian edisi ini kami ubah sedemikian rupa,
menyesuaikan dengan tuntutan perluasan studi pada sebagian segmen,
terutama pada babbab yang dalam edisi pertama disebut "Bagian IV".
Perubahan pertama ada pada Muqaddimah, yang merupakan pemandu
bagaimana memahami buku ini. Meski demikian, tidak seluruh materi
edisi perdana kami singkirkan. Sebagian besar masih disuguhkan seperti
aslinya, atau paling jauh "disesuaikan kembali", agar spiritnya masih
dapat dikenali dan dipertahankan.
Kami menyederhanakan buku ini menjadi empat bagian saja semula
enam dengan cara menggabungkan bagianbagian yang sejenis. Dengan
memberi judul baru, kami mengubah apa yang dulu disebut "bagian"
menjadi "bab". Kami pun memisahkan pembahasan untuk setiap surah,
sekaligus menambahkan datadata baru yang berhasil dihimpun. Kami
juga menyertakan pembahasan tentang surah al'Alaq, dimana hal ini
tidak dibicarakan pada edisi sebelumnya. Selain mengganti juduljudul
bab, kami juga menambahkan subsub bab baru serta sebuah Ringkasan
di akhir bagian, yang sekaligus diperlengkapi dengan apendiks "Saran
Bahan Bacaan Lanjut" (additional resources). Dalam edisi ini, Bagian III
sepenuhnya merupakan naskah tambahan yang belum ada pada edisi
pertama. Lampiran terakhir buku ini, yang membahas makna Marhalah
Wahyu dan ternyata cukup panjang, juga merupakan tambahan spesifik,
meski sesungguhnya merupakan teks yang dikembangkan dari salah satu
subbab pada edisi sebelumnya.
Dalam hal alur penyajian, edisi ini juga diubah dari sebuah kritik
menjadi semacam buku pegangan dan kutipan referensi. Sebab, itulah
yang lebih bermanfaat bagi para kader. Namun, perlu diingat, buku ini
tidak menyajikan sesuatu yang benarbenar matang dan siap pakai.
Bagaimanapun, ini adalah benih, bukan hidangan matang dan siap
dikonsumsi. Secara khusus, kami terinspirasi oleh sejarah hidup Allahu
yarham Ustadz Abdullah Said sendiri, yang sebelum mencetuskan ide
2
Manhaj SNW diketahui membaca sangat banyak literatur. Buku ini secara
imajiner dan inabsentia berusaha menelusuri jejakjejak literatur yang
kemungkinan juga beliau telaah, atau setidaknya menjadi referensi dari
literatur yang beliau baca itu. Demikianlah keadilan ilmiah harus
ditegakkan, yakni dengan mengenali sumber dan asalusul sebenarnya.
Sebab, menurut kami, banyak bagian dari spirit Manhaj SNW yang
mengalami reduksi dan gagal dikenali landasan syarinya, hanya karena
kita gagal mengenali sumber asasi dari nilainilai yang terkandung dalam
Manhaj SNW itu sendiri. Studi ini berusaha membawa pembaca ke
samudera luas yang darinya Ustadz Abdullah Said pernah menciduk
energi dan mengahadirkannya dalam sejarah kita.
Karena itu pula, dua bagian terakhir edisi awal risalah ini, yang dulu
berisi esaiesai atau tanggapan pribadi kami, kini dipangkas hampir
seluruhnya. Sebab, edisi ini tidak lagi terfokus sebagai kritik, namun
referensi, sehingga diharapkan dengan penghapusan itu tidak ada lagi
campuraduk antara halhal yang bersifat tekstual dengan opini pribadi.
Kami juga berharap, penghapusan ini akan mengurangi dampak
psikologis dari sebuah kritik, dan dengan demikian dapat difahami serta
diterima secara lebih arif. Bagaimana pun, esaiesai bebas tersebut
tidaklah selalu terikat langsung dengan bagianbagian lain di depannya.
Artinya, dengan bermodalkan datadata yang kami sajikan, setiap
pembaca berhak mengembangkan perspektifnya sendiri dan kemudian
bertanggung jawab penuh atas hal itu.
Kami juga melakukan perbaikan seperlunya pada ejaan maupun setting:
penataan halaman, standar kertas, jenis dan ukuran huruf, perwajahan
sampul, hiasan, dsb. Dalam hal bahasa, kami tetap berupaya untuk
menggunakan bahasa yang sederhana, tanpa penyertaan istilahistilah
ilmiah yang sukar maupun struktur pemikiran yang rumit serta filosofis.
Perkecualian ada pada tinjauantinjauan berbasis disiplin Ulumul Hadits,
yang terpaksa menghadirkan berbagai istilah ilmiah apa adanya, demi
orisinalitas dan menghindari kesalahpahaman. Meski demikian, tidak
lupa kami sertakan sebuah glossary di bagian awal buku ini yang akan
membantu pembaca memahami maknamakna istilah dimaksud dengan
baik dan benar. Demikianlah, buku ini memang ditujukan bagi orang
orang biasa seperti penulis sendiri; yakni kaum muslimin kebanyakan
yang ingin mengkaji isi kandungan alQur'an secara lebih baik melalui
jalan yang telah dirintis para ulama' terpercaya.
Perubahan lain adalah mengenai catatan kaki (footnotes). Catatan kaki
catatan kaki panjang yang mendeskripsikan identitas buku atau
referensi, kami potong dan naikkan menjadi bagian dari teks utama. Hal
ini demi mempermudah pembaca dalam menyerap informasinya, dimana
tidak perlu memindahkan perhatian ke bagian bawah halaman sekedar
mengecek catatan kaki yang terkadang tidak selalu penting untuk
diketahui. Jika ada sebuah kutipan, kami langsung menyebutkan
sumbernya, termasuk judul rujukan tersebut lengkap dengan juz dan
halamannya. Perkecualian dalam catatan kaki memang ada, yakni jika
ada konsep atau bagian teks yang harus dijelaskan secara tersendiri di
luar naskah utama. Atau, karena rentetan kutipan pendekpendek yang
3
berasal dari banyak referensi yang akan mengganggu bila ditulis nama
sumbernya dalam teks utama. Hal terakhir ini biasanya berkenaan
dengan penelusuran biografi seorang perawi hadits.
Kami berusaha menjaga amanah ilmiah seakurat mungkin dengan
menyajikan kutipan yang jelas dan valid. InsyaAllah, seluruh pernyataan
ilmiah dalam buku ini dapat dipertanggungjawabkan keakuratannya.
Apabila pembaca ingin menelaah secara lebih dalam atau melakukan
pengecekan atas sebuah kutipan, silakan periksa referensi dimaksud
dalam Daftar Pustaka di akhir buku ini, atau paling tidak dalam
additional resources yang disarankan untuk setiap Bagian. Perlu dicatat,
sebagian rujukan merupakan edisi cetak biasa (kertas), dan sebagian
lainnya adalah edisi yang telah disalin ke dalam software komputer.
Kami menandai jenis kedua ini dengan keterangan "edisi CD". Akan
tetapi, seluruh salinan digital itu pun mempunyai rujukan cetak biasa
yang dikeluarkan oleh penerbitpenerbit tertentu, yang sebagian besar
didahului dengan proses tahqiq (editing) oleh para sarjana muslim yang
kredibel. Kami juga mencantumkan namanama mereka.
Dan, sebegitu jauh upaya kami, disadari sepenuhnya masih ada banyak
kekurangan dalam risalah ini. Bagaimanapun, ini adalah karya cipta
manusia biasa. Hanya saja, semua itu tidak menghalangi kami untuk
bergembira dan bersyukur atas ma'unah Allah yang luar biasa di dalam
seluruh proses pengerjaannya yang memakan waktu cukup panjang. Di
masa mendatang, kami berharap dapat melakukan perbaikan dan
pembenahan berkelanjutan, seiring kemajuan studi yang mungkin
dicapai.
Terkait dengan rasa syukur itu, dan atas semua hasil kerja yang berhasil
diraih, setelah mengucapkan alhamdulillah, kami ingin menghaturkan
ribuan terima kasih kepada segenap Asatidz senior Lembaga dan ikhwan
lain yang berkenan membaca edisi pertama risalah ini serta memberikan
apresiasinya. Sepengetahuan kami, jumlah pembaca risalah ini masih
sangat sedikit. Dan, memang sudah seperti itulah sejak semula niat
penulisannya. Bagaimanapun, ada halhal tertentu dalam naskah ini yang
terlihat hendak membongkar bangunan sebuah manhaj yang telah sekian
dasawarsa "disepakati", sehingga naskah ini tidak layak untuk
disebarluaskan secara serampangan sebelum memperoleh konfirmasi,
rekomendasi dan penelaahan lebih serius dari pihakpihak yang
"berwenang". Dalam konteks Lembaga, pihak yang berwenang tersebut
adalah Majelis Syuro.
Akhirnya, silakan meniti halaman demi halaman risalah ini. Bagi Anda
yang belum pernah membaca edisi perdananya, insyaAllah Anda tidak
ketinggalan informasi apa pun. Anda hanya tidak membaca secara penuh
esaiesai sarat 'keluhkesah' pada edisi terdahulu, dan itu lebih baik.
Sebab, Anda tidak akan tertulari kecemasan dan kegamangan yang ada
di dalamnya. Kami akui, esai itu subyektif, dan sebaiknya dieliminir
demi kemaslahatan bersama. Ada juga fragmenfragmen tertentu yang
kami hapus karena ditemukan bukti baru yang meralatnya. Dan secara
umum, naskah yang kini Anda pegang memiliki kelebihan dalam banyak
hal yang tidak ada pada edisi sebelumnya.
4
Kritik, saran, dan masukan lain sangat berharga bagi kami. Sebab,
risalah ini tidak didedikasikan bagi proyek pribadi, namun sebagai
sumbangsih bagi ikatan kebersamaan kita di bawah naungan Islam.
Bukan pula demi 'ashabiyah haraki, dimana saudara kami di harakah
yang lain dilarang membaca atau mengkritisinya. Silakan memberikan
tanggapan secara tertulis, dilengkapi dengan daftar bibliografi (maraaji')
yang dapat diperiksa ulang validitasnya.
Semoga Allah senantiasa menolong kita dalam menegakkan dienNya,
memberi kita hidayah dalam memahami dan mengamalkan KitabNya
serta Sunnah NabiNya. Kami berharap amal ini dijadikan sebagai
persembahan yang tulus dalam mengabdi di jalanNya, bermanfaat dan
memberi berkah. Shalawat dan salam bagi Muhammad Rasulillah, ahlul
bait, ummahatul mu'minin serta para Sahabat. []
Sumbersekar, Ramadhan 1427 H
Penulis
5
P
MUQADDIMAH
Di suatu shubuh yang khidmat, 09 Juni 2005, di tengahtengah
berlangsungnya Musyawarah Nasional (Munas) II Hidayatullah, di masjid
Asrama Haji Pondok Gede Jakarta Pimpinan Umum Ustadz 'Abdurrahman
Muhammad sempat menyampaikan taushiyahnya. Di awal kesempatan
kuliah shubuh tersebut, beberapa kali beliau mengulang agar kita para
kader Hidayatullah selanjutnya disebut Lembaga melakukan dua hal
terkait dengan manhaj kita, Sistematika Nuzulnya Wahyu. Pertama,
meningkatkan upaya untuk memperdalam pemahaman terhadap konsep
manhaj itu sendiri. Dan kedua, merumuskan jalan (thariqah) untuk
menerapkannya dalam kehidupan.
Edisi pertama risalah ini sesungguhnya telah selesai ditulis saat itu, dan
disebarkan secara terbatas. Namun, taushiyah beliau secara khusus
telah menambah spirit kami dalam penulisan edisi kedua ini. Sebagai
upaya penajaman edisi sebelumnya, tentu saja disini kami melakukan
penataan seperlunya. Disamping apa yang telah kami jelaskan dalam
Pengantar, secara utuh kami membagi studi ini dalam empat bagian.
Dua bagian pertama mengupas topiktopik spesifik yang dicirikan oleh
identitas (istilah, musthalahat) SNW sendiri, yakni sistematika nuzul
dan wahyu. Bagian III merupakan draft awal untuk sebuah pendekatan
unik dalam kajian sirah nabawiyah. Sedang, satu bagian selanjutnya
memuat bentuk praktis dari uraian 3 bagian sebelumnya. Lebih rinci,
keempat bagian tersebut adalah, sbb:
Bagian Pertama, kami membahas landasan ilmiah untuk memahami
konsepkonsep kunci dalam Manhaj ini, yang mencakup konsep tartib
nuzuli, marhalah wahyu, dan tarikh ayatayat alQur'an. Bagian ini
mendeskripsikan pemahaman dasar atas apa yang disebut sebagai
Sistematika Nuzulnya Wahyu secara ilmiah. Versiversi tartib nuzuli
yang kami sajikan, walau terlihat saling tidak cocok, merupakan bagian
penting untuk memahami bagaimana sebenarnya pemikiran dalam
Manhaj ini dibangun dan dikembangkan. Disini, tidak ada diskusi yang
detail tentang versiversi tersebut, sebab bukan itu tujuan bagian ini.
Secara sederhana, bagian ini bertujuan memberi pijakan dasar yang
jelas dan ilmiah. Sebab, versi mana pun yang kelak dipilih, adalah
penting bagi kita untuk memiliki pijakan yang jelas dan ilmiah, agar baik
dalam training maupun diskusi, kita tidak sekedar menukil tataurutan
turunnya surah tanpa referensi.
Bagian Kedua, kami mengupas lebih luas dan mendalam pilarpilar
utama Manhaj ini, yakni kedudukan masingmasing surah pertama dalam
tartib nuzuli. Menentukan secara ilmiah dan valid atas posisi sebuah
surah, menurut hemat kami, sama pentingnya dengan tahap
implementasi praktis atas Manhaj ini. Sebab, kedudukan sebuah surah
terkait secara langsung dengan catatan sirah nabawiyah yang sezaman
dengannya. Penelusuran atas faktafakta sirah sangat bermanfaat untuk
memahami bagaimana wahyu diimplementasikan sebagai bagian dari
6
komponen pembentukan kader dakwah (rijaal adda'wah). Di sisi lain,
memahami posisi sebuah surah dalam suatu urutan tertentu dapat
membimbing para murabbi untuk memberi dosis tarbiyah yang tepat
bagi murabbanya. Bagaimanapun, sirah merekam dengan lugas
bagaimana para kader awal umat ini (assabiqun alawwalun) menerima
gemblengan dan kemudian tampil memikul beban dakwah sebagai
perintis pertama. Kisah hidup mereka, baik di era nubuwwah maupun
jauh setelah itu, tetap menampakkan jejak yang jelas dari tarbiyah al
Qur'an dalam periode pertama.
Bagian Ketiga, kami menyajikan sebuah ulasan umum atas sirah
nabawiyah, dari perspektif yang dikembangkan buku ini, yaitu tartib
nuzulil wahyi (tata urutan penurunan wahyu). Meskipun masih sangat
dini, minimal Anda akan melihat sketsa awal yang cukup jelas mengenai
"gambaran" seperti apa yang kelak dibangun oleh studi ini.
Bagian Keempat, merupakan "penutup" berisi rincian lebih matang yang
bisa diterapkan dalam kajian untuk tujuan pengkaderan yang
sesungguhnya. Kami memulai dengan asumsiasumsi dasar dari manhaj
tarbawi (kurikulum pengkaderan) yang ditawarkan, bentuk pelevelan
yang bisa dikembangkan lebih lanjut, dan contohcontoh pemaknaan
atau alur tematik yang sementara ini mengingat berbagai keterbatasan
yang ada dapat kami berikan untuk pendalaman.
Sebagai tambahan, di penghujung setiap Bagian selalu kami berikan
apendiks Saran Bahan Bacaan Lanjut berisi literatur yang kami
sarankan untuk ditelaah (additional resources). Kebanyakan masih
berbahasa Arab, dan sebagian juga sudah diterjemahkan. Referens
dalam juz maupun halaman yang kami berikan mungkin berbeda dengan
yang Anda miliki, tergantung penerbit dan edisinya. Namun, pada pokok
intinya adalah sama. Disitu, terdapat review singkat mengenai tema apa
saja yang terdapat dalam literaturliteratur tersebut, sehingga pembaca
dapat menentukan sendiri apakah perlu untuk mengkajinya sendiri atau
tidak.
Kami juga melengkapi buku ini dengan Lampiran pendukung, yang
terdiri dari 6 bagian, dimana masingmasing berisi:
(1) Daftar lengkap versiversi tartib nuzuli, tepatnya 5 versi.
(2) Tabel perbandingan diantara kelima versi diatas.
(3) Tabel jumlah ayat dalam 114 surah menurut tartib mushhafi.
(4) Tabel jumlah ayat dalam 86 surah Makkiyah menurut salah satu versi
tartib nuzuli (sebagai bahan pembanding untuk memahami versi
lainnya).
(5) Tabel jumlah ayat dalam 28 surah Madaniyah menurut salah satu
versi tartib nuzuli (sebagai bahan pembanding untuk memahami
versi lainnya).
(6) Kutipan lengkap "makna marhalah wahyu", sebuah naskah cukup
panjang yang kami alihbahasakan dari buku Mabahits fi 'Ulumil
Qur'an, sebagai contoh dan model untuk memahami bagaimana
7
wahyu mendampingi perjalanan dakwah Rasulullah dan mentarbiyah
beliau bersama para Sahabat. Naskah ini memuat uraian ringkas atas
19 surah Makkiyah yang terbagi dalam 3 marhalah (fase), dan 3 surah
Madaniyah yang mewakili 3 marhalah berbeda dalam perjalanan
dakwah beliau. Disajikan sebagai saduran/terjemahan utuh, tanpa
interpretasi atau tanggapan dari kami. Jika pun terpaksa ada catatan
dari kami, kami menandainya dengan kode Pen. atau Penerjemah.
Sumbersumber yang kami pakai mengacu kepada disiplin ilmu attafsir
wa ulumuhu, alhadits wa ulumuhu, serta sirah nabawiyyah. Dalam
banyak kasus, kami menggunakan rujukan asli berbahasa Arab, dengan
bantuan software komputer yang memang ditujukan untuk itu. Sebagian
lain referensi berupa buku, majalah, jurnal, buletin, makalah, dokumen
(intern), catatancatatan pribadi, brosur/booklet, kaset, CD, dan lain
lain yang ada dalam perpustakaan pribadi kami atau ikhwanikhwan di
Malang dan Surabaya.
Mengenai sumber acuan dari Allahuyarham Ustadz Abdullah Said atau
buku yang ditulis kader Lembaga, kami memang jarang menyinggungnya,
bahkan nyaris tidak mengutipnya samasekali. Selain faktor kelangkaan
sumber ilmiah yang tertulis dalam masalah ini, secara faktual kami
sendiri belum pernah bertemu muka dengan beliau. Di sisi lain, dengan
mengurangi pengutipan dari sumbersumber internal, kami berusaha
menghindari pengulangan yang tidak perlu, dan mencoba mengisi celah
celah pembahasan yang belum terisi. Bagaimanapun, sebagai kader
muda yang belum terlalu lama bergelut dalam Lembaga, bagi kami
pribadi, merupakan sesuatu yang tidak etis untuk menggurui para senior
dengan mengungkap apaapa yang sudah sangat akrab dikenal.
Seharusnya, untuk masalah semacam itu, kamilah yang mesti berguru
dan menimba ilmu dari mereka.
Buku ini secara khusus disusun sebagai jembatan komunikasi dengan
para Ustadz dan ikhwan lain di Hidayatullah, membangun budaya
menulis, serta meneguhkan kembali tsiqah kita kepada manhaj SNW.
Karenanya, sebelum siapapun di luar Lembaga ini membacanya, adalah
penting bagi 'orangorang dalam' untuk lebih dulu mengkritisinya.
Kami berharap upaya ini tidak disalahfahami, dan tegursapa serta
diskusi yang konstruktif sangat kami tunggu. Sebab, latar belakang studi
ini amatlah bersahaja. Sebagai kader muda yang baru bergabung pada
bulan Agustus 1996, sebenarnya lewat SNW kami menemukan kegairahan
baru untuk mengkaji alQuran dan melihat relevansinya dengan
kehidupan nyata. Sayangnya, referensi yang mengulas masalah ini secara
spesifik hampir tidak bisa ditemukan. Sehingga, setiap usaha
pendalaman maupun peneguhan pribadi juga hampir tidak mungkin.
Komunikasi tentang manhaj ini berjalan searah dan sangat lambat.
Dengan minimnya referensi maka manhaj ini nyaris tidak bisa diwariskan
kepada generasi berikutnya di Lembaga. Adalah suatu fenomena yang
menyedihkan, bahwa di level para kader muda, manhaj ini nyaris tidak
dapat lagi dimengerti dengan utuh.
8
Ironis memang, bahwa dalam 33 tahun perjalanan Lembaga, ternyata
belum lahir studi yang semarak dan berskala luas terhadap manhajnya
sendiri, atau sisisisi lain yang terkait. Padahal, potensi ilmiah maupun
operasional dalam konsep dasar ini sangat besar. Materi yang terkait
sesungguhnya juga banyak, walau belum spesifik dan tersistematisir
dalam referensi mandiri. Saat ini, mungkin tidak lebih dari 3 judul buku
yang secara khusus sudah ditulis untuknya, oleh kader Lembaga. Itupun
masih dalam kerangka filosofis yang umum, belum menyentuh aspek
aspek lain yang lebih mendalam, baik dari segi teoritik maupun aplikatif.
Pewarisan (tawrits) nilai yang biasanya berlangsung secara lisan dan
kontak langsung antarpribadi, belakangan juga mengalami penurunan
drastis. Padahal, secara nyata kita tidak memiliki tradisi lisan yang kuat
seperti di zaman Sahabat dalam menyikapi sunnah Rasulullah SAW.
Semasa hidup Allahuyarham Ustadz Abdullah Said, kondisi semacam itu
dapat dimengerti karena bagaimanapun otoritas tentang SNW berada
di tangan beliau sebagai penemu. Namun, setelah beliau wafat, maka
adalah tugas generasi berikutnya untuk melestarikan manhaj ini,
mengembangkan dan mewariskannya kepada generasi penerus. Jika
kultur lisan tidak dapat dipertahankan, maka harus dicari upaya lain
untuk menjamin kelangsungan pewarisan nilai. Meski kita mengakui
bahwa usaha ini sulit dan menghadapi banyak kendala, kita tidak boleh
larut untuk menerima dan menyaksikan keruntuhan yang lebih parah.
Walau kita tidak bisa menilai keberlangsungan tarbiyah sematamata
dari jumlah buku, namun menafikannya dalam konteks kekinian bagi
Lembaga ini adalah kekeliruan besar. Tarbiyah memerlukan sarana,
dan buku atau penulisan adalah salah satunya. Dalam berbagai tafsir,
surah alQalam sendiri senantiasa dimulai dengan bahasan tentang
kekuatan pena dalam mengubah sejarah. Dalam manhaj SNW sendiri,
sejak awal surah alAlaq sudah membicaakan alqalam sebagai simbol
ilmu dan pengajaran. Untuk surah alQalam, namanya saja sudah sangat
jelas mengindikasikan pentingnya alqalam. Artinya, sangat
disayangkan bila belum ada kultur pena (alqalam) yang sengaja
dibangun dan dikembangkan sebagai simbol ilmu dan pengajaran (ramz
alilmi wa attalim), atau senjata menghadapi wa ma yasthurun,
yakni apaapa yang mereka tulis dan goreskan dalam sejarah dunia.
Tampaknya, kesadaran kolektif kita tentang makna alqalam
terlewatkan begitu saja. Kita lebih banyak berbicara serta mencari
penerapan riil dari halhal lain. Padahal, berbagai tafsir mutabar
(kredibel) yang kita miliki hampir bisa dipastikan akan menyebutkan
secara rinci riwayatriwayat tentang alqalam (pena) dalam
penafsirannya atas kedua surah ini. Sirah juga memperlihatkan
bagaimana Rasulullah memperhatikan masalah ini, dimana para tawanan
Perang Badar yang tidak mampu menebus dirinya dengan harta bisa
bebas setelah mengajari bacatulis 10 orang anak kecil kaum muslimin di
Madinah.
Tulisan diperlukan untuk memelihara serta menjamin keotentikan
maupun keutuhan manhaj, dan kemudian sebagai pijakan valid untuk
pengembangan (tathwir). Tanpa sebuah landasan yang jelas, seluruh
9
generasi akan kehilangan arah, dan Jamaah akan kehabisan vitalitasnya
dalam waktu singkat. Bagaimanapun, pewarisan lisan tidak sepi dari
kemungkinan reduksi dan penyimpangan, baik karena faktor
penyampaian, penerimaan, atau motifmotif tersembunyi yang buruk.
Karena alasan pewarisan nilai pula para Sahabat merasa perlu
membukukan alQuran dalam satu mushhaf tersendiri, dan para ulama
pun bersusah payah mengumpulkan serta menyeleksi haditshadits Nabi
dari berbagai penjuru Dunia Islam. Dalam konteks ini pulalah, Barat tak
pernah meninggalkan filsafat Yunani Kuno, karena di sanalah ruh
peradaban mereka.
Di sisi lain, tulisan dari pena (alqalam) kita sendiri sangat diperlukan
untuk melawan penyesatan dan tuduhan bohong dari musuh maupun
pihakpihak lain yang tidak simpatik. Kita menyaksikan bahwa kaum Ahli
Kitab secara literal berarti pemilik bukubuku atau people of books
telah mengembangkan tradisi penulisan dengan sangat kuat. Dewasa ini,
hampir tidak ada celah yang tidak mereka bahas dengan berbagai
tulisan. Bahkan, masalahmasalah yang mereka kaji sudah melampaui
tradisi agama mereka sendiri, yakni merambah doktrin dan tradisi agama
lain. Terlihat betapa bernafsunya para penulis yang notabene kafir
itu dalam mengkaji tematema besar Islam, yang sebetulnya tidak
bernilai apaapa menurut mereka.
Sudah saatnya kita semua memanggil diri sendiri untuk merawat
manhaj ini dan meneguhkannya kembali, lewat upaya apapun yang
memungkinkan bagi diri kita masingmasing. Jika tidak, mungkin kita
juga harus bersepakat untuk merumuskan penggantinya. Sebab, Jamaah
ini tidak mungkin berjalan tanpa panduan. Dalam risalah ini, kami
mencoba mengerjakan apa yang kami bisa. Serangkaian studi telah kami
lakukan sejak 1999 bersama penulisan skripsi untuk S1 di STAIL
Surabaya. Banyak hal yang kami temukan, seperti pembuktian
pembuktian ilmiah dari para ahli yang bisa jadi akan meneguhkan,
meruntuhkan atau mengisi celahcelah dalam kajian SNW. Risalah ini
merekam datadata yang kami maksudkan, agar dapat dimanfaatkan
atau dikritisi oleh para Ustadz dan kader yang lain.
Sebagai sebuah penelitian, sejujurnya buku ini memuat beberapa materi
yang belum sepenuhnya final. Di masa depan, adakalanya diperlukan
revisi dan bahkan mungkin pencabutan sebagian kesimpulannya. Di
sisi lain, buku ini tidak secara sangat terperinci memuat halhal yang
aplikatif dan matang, sehingga dapat diambil buah serta manfaatnya
secara langsung. Para pembaca akan disuguhi beragam data,
kontroversi, pemilahan, atau kebingungan. Diperlukan konsentrasi dan
keseriusan tersendiri untuk mencernanya. Kami mengajak segenap
pembaca untuk aktif mengkaji dan menerapkan, mendalami dan
memperluas, bersamasama.
Buku ini, pertamatama, ditujukan bagi sebagian orang mungkin di
tingkat pemikir dan murabbi dalam Lembaga yang membutuhkan
pijakan dasar bagi sebuah rumusan operasional yang lebih
menentramkan hati. Kedua, bagi seluruh kader yang memiliki kepedulian
10
maupun minat besar untuk mewarisi manhaj ini dan meneguhkan
kembali kebersamaan kita dengan ikatan yang lebih jelas serta kukuh.
Seperti dalam edisi pertama, kali ini kami pun belum berani
menyarankan penyebarluasan buku ini secara bebas kepada masyarakat
umum, kecuali ada izin resmi dari Pimpinan Umum dan Majelis Syuro.
Pilihan ini bukan karena menyembunyikan ilmu, namun demi
menghindari fitnah dan kerusakan yang diakibatkan bergabungnya
sembarang orang dalam mendiskusikan masalah yang diperlukan
prasyarat tertentu di dalamnya. Dalam buku Kiat Istimewa Agar Nasihat
Diterima, hal. 152153, Muhammad bin Ibrahim alHamd menukil:
Ali bin Thalib berkata, Berbicaralah kepada orang lain dengan apa yang
mereka ketahui. Apakah kamu ingin jika Allah dan RasulNya
didustakan? (HR alBukhari).
Abdullah bin Masud juga berkata, Tidaklah kamu berbicara kepada
suatu kaum dengan pembicaraan yang tidak dapat dipahami oleh akal
mereka melainkan akan terjadi fitnah pada sebagian dari mereka. (HR
Muslim dalam muqaddimah kitab Shahihnya).
Ibnul Jauzi berkata, Diantara kekhawatiran terbesar adalah berbicara
kepada orang awam dengan sesuatu yang tidak dapat dipahami oleh
akal mereka atau dengan sesuatu yang meresap ke dalam jiwa yang
berlawanan dengannya.
Tentu saja, kami juga belum merekomendasikan buku ini sebagai bahan
tarbiyah bagi para kader pemula, tanpa didampingi atau diberi
penjelasan oleh narasumber yang hidup dan hadir. Dalam konteks ini,
mereka adalah kaum awam. Sangat berbahaya menyajikan esai semacam
ini kepada para kader muda yang sedang dilunakkan hatinya (muallafah
qulubihim) agar bergabung dalam barisan kafilah perjuangan, dan
bersamasama berLembaga.
Namun, menurut hemat kami, buku ini sematamata tidaklah
menyimpan bahaya, sepanjang dikaji dengan motivasi yang lurus dan
jujur. Pendampingan dari seseorang yang lebih memahami spirit
Lembaga diperlukan sebatas menjelaskan halhal tertentu yang bersifat
intrinsik dan hanya dapat difahami setelah bergelut dengan Lembaga ini
sekian waktu lamanya. Dengan demikian, rekomendasi manhaj tarbawi
yang ditulis dalam bagian terakhir buku ini masih dapat diterapkan
kepada siapapun, asal dipandu oleh kader Lembaga sendiri.
Akhirnya, untuk semua pihak yang telah memberikan sumbangsih dalam
penulisan risalah ini, kami sampaikan terima kasih. Jazaakumullah
khairan katsiraa. Walau tanpa harus menyebutkan nama mereka satu
persatu sebagaimana dalam edisi pertama kiranya tidak mengurangi
ta'zhim serta penghargaan kami yang tulus atas segenap peran sertanya
yang luar biasa. Sebab, sungguh dalam setiap bagian dari risalah ini,
kecil atau besar, terdapat amal dari sekian banyak pribadi, yang hanya
Allah saja yang Maha Meliputi perincian detailnya. Semoga Dia yang
Maha Tahu lagi Maha Pemurah kelak membalasnya dengan yang lebih
baik. Amin.[]
Wallahu alam.
11
DAFTAR ISTILAH ILMU HADITS
[ GLOSSARY ]
Sanad adalah rangkaian namanama orang yang menjadi perantara
sampainya suatu hadits, mulai dari Sahabat sampai kepada orang
terakhir yang kemudian mencatatnya dalam suatu kitab himpunan hadits
tertentu. Sanad adalah matarantai periwayatan (the chain of
transmission) dari suatu hadits. Sanad artinya sandaran.
Rawi atau perawi adalah seseorang yang menceritakan suatu hadits.
Matn atau matan adalah teks hadits yang menjadi inti berita dari suatu
rangkaian sanad tertentu.
Adalah atau adil adalah suatu kriteria kepribadian yang akan terpenuhi
jika seseorang itu muslim, baligh, berakal, bukan pelaku dosa besar atau
suka melakukan halhal kecil yang dapat merusak sifat muruah
(kehormatan diri).
Dhabith adalah suatu kriteria hafalan yang akan terpenuhi jika
seseorang mempunyai ingatan yang kuat dan sempurna, tidak mudah
lupa atau tercampur aduk. Dhabith berarti tepat, kuat, mantap, cermat,
detail.
Jarh secara bahasa berarti luka. Istilah ini dalam Ilmu Hadits berati
suatu penilaian buruk atas diri seorang perawi. Biasanya berisi
pernyataanpernyataan para pakar biografi perawi hadits (rijaal al
hadits) tentang seseorang yang tidak bisa diterima periwayatannya.
Kadang penilaian tersebut dijelaskan alasannya, kadang juga tidak
disebutkan. Kebalikannya adalah tadil, dan biasanya digabung menjadi
satu aljarh wattadil, yang merupakan cabang khusus dalam Ulumul
Hadits, populer disebut Ilmu Kritik Hadits. Banyak buku telah ditulis
berisi rincian namanama perawi dan biografi mereka, baik yang bisa
diterima maupun ditolak periwayatannya. Biografi tersebut biasanya
menyertakan deretan namanama guru dan murid setiap perawi, yang
berguna untuk memastikan bersambung atau tidaknya suatu sanad.
Komponen lain yang sering disertakan dalam biografi adalah nasab,
qabilah, kota/negeri asal, tempat tinggal, tempat wafat, tahun
kelahiran dan tahun wafat. Kadang juga disertakan contoh hadits yang
diriwayatkannya.
Hadits Shahih adalah hadits yang sanadnya bersambung dimana seluruh
perawinya mulai dari awal sampai akhir memenuhi sifat adalah dan
dhabith, dengan tanpa kejanggalan (syadz) maupun cacat (illat) yang
merusak. Shahih berarti benar, sehat, tidak cacat, valid.
Hadits Hasan adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang
memenuhi sifat adalah akan tetapi sifat dhabithnya kurang sempurna,
dengan tanpa ada cacat maupun kejanggalan di dalamnya. Hasan berarti
bagus atau baik.
Hadits Dhaif adalah hadits yang tidak dapat memenuhi satu atau lebih
diantara beberapa persyaratan dapat diterimanya suatu hadits. Ada
12
banyak cabang dan jenis hadits dhaif, dan tingkatannya pun berlain
lainan tergantung ringan atau beratnya kelemahan yang ada, baik dari
segi sanad maupun matannya. Ada hadits dhaif yang bisa diterima dan
diamalkan, ada yang harus diberi catatan sebelum dipakai, ada pula
yang harus disingkirkan jauhjauh. Semua hadits yang tidak bisa diterima
berarti mengandung cacat atau kelemahan tertentu di dalamnya, atau
termasuk jenis hadits dhaif. Kata dhaif sendiri berarti lemah.
Hadits Marfu adalah sesuatu yang dinyatakan berasal dari Nabi shallah
llahu alaihi wa sallam, berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat,
secara de facto maupun de jure; baik bersambung maupun tidak sanad
nya; baik yang menyatakan hal itu dari kalangan Sahabat, Tabiin atau
lainnya. Marfu berarti terangkat, yakni terangkat sampai kepada Nabi.
Hadits Mauquf adalah sesuatu yang dinyatakan berasal dari generasi
Sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan; baik
bersambung maupun tidak sanadnya; dengan syarat tidak mengandung
bukti serta indikasi (qarinah) adanya ketersambungan dengan Rasulullah.
Mauquf berarti terhenti, yakni terhenti hanya sampai kepada Sahabat.
Hadits Maqthu adalah sesuatu yang dinyatakan berasal dari generasi
Tabiin atau sesudahnya, berupa perkataan, perbuatan maupun
ketetapan; baik sanadnya bersambung maupun tidak; dengan syarat
tidak mengandung bukti serta indikasi (qarinah) adanya ketersambungan
dengan generasi Sahabat atau Rasulullah sendiri. Maqthu berarti
terputus, yakni putus hanya sampai kepada Tabiin.
Hadits Muttashil adalah hadits yang bersambung sanadnya sampai
kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam atau salah seorang
Sahabatnya, dimana masingmasing perawi di dalamnya mendengar
langsung hadits tersebut dari perawi sebelumnya. Disebut juga riwayat
yang maushul, kebalikan dari munqathi. Istilah muttashil dan maushul
secara harfiah samasama berarti tersambung.
Hadits Munqathi adalah hadits yang dalam jajaran perawinya ada satu
nama yang gugur [tidak disebutkan namanya], selain Sahabat. Bisa jadi
jumlah perawi yang gugur lebih dari satu, akan tetapi tidak boleh secara
berurutan. Dengan kata lain, hadits ini adalah hadits yang tidak
bersambung sanadnya, sama saja pada bagian mana pun keterputusan
itu terjadi. Munqathi artinya putus.
Hadits Muallaq adalah hadits yang dalam sanadnya ada dua orang
perawi yang gugur [tidak disebutkan namanya] secara berurutan, di awal
sanadnya; baik setelah itu ada lagi perawi yang gugur maupun tidak.
Muallaq artinya tergantung.
Hadits Mursal adalah hadits yang dinyatakan oleh generasi Tabiin
sebagai berasal dari Nabi, meski hanya secara de jure. Biasanya berupa
perkataan dari Tabiin bahwa Rasulullah bersabda begini begitu, dengan
tanpa menyebutkan Sahabat mana yang menjadi sumbernya. Mursal
artinya terlepas.
Hadits Mudhal adalah hadits yang yang dalam sanadnya ada dua orang
perawi yang gugur [tidak disebutkan namanya] secara berurutan, baik di
13
awal, tengah maupun penghujung sanadnya. Jenis ini lebih lemah
statusnya dibanding hadits muallaq. Kata mudhal bisa juga dibaca
muadhdhal yang berarti terhalang.
Hadits Mudallas terbagi dua: mudallas isnad dan mudallas syuyukh.
Yang pertama berarti hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari
seseorang yang sempat ditemuinya [dari segi usia dan generasi] akan
tetapi ia sebenarnya belum pernah mendengar (simaa) hadits darinya,
seakanakan ia pernah mendengar riwayatnya secara langsung; atau ia
meriwayatkan sesuatu dari seseorang yang sempat ia dengar riwayatnya,
akan tetapi dalam hal ini ia tidak mendengar apa yang sedang ia
riwayatkan itu dari orang tersebut, seolaholah ia pernah
mendengarnya. Adapun yang kedua berarti seorang perawi yang
menyebut secara terus terang nama gurunya, akan tetapi ia melekatkan
kepadanya suatu nama, gelar, julukan, atau nasab qabilah, negeri,
maupun profesi, dengan tujuan supaya tidak diketahui jatidiri aslinya.
Mudallas artinya disembunyikan cacatnya.
Hadits Mudhtharib adalah hadits yang saling bertentangan dalam hal
sanad, matan atau keduanya sekaligus, bisa berupa penambahan
maupun pengurangan dimana perbedaannya tak mungkin dikompromikan
(aljamu) maupun dipilih yang terkuat (attarjih). Mudhtharib berarti
tidak mantap atau berguncangguncang.
Hadits Maqlub adalah hadits yang tertukar satu sama lain, yakni suatu
hadits yang dikenal sebagai berasal dari seorang perawi tertentu
kemudian ditukar kepada perawi lain, atau sanad dari suatu matan
hadits dipasang kepada matan hadits lainnya. Maqlub artinya terbalik
atau tertukar.
Hadits Gharib adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi
saja, tidak ada duanya, baik dalam segi sanad, matan maupun keduanya
sekaligus; baik pada sebagian saja atau keseluruhannya. Gharib berarti
asing atau sendirian.
Hadits Syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi
tsiqah (terpercaya), tetapi berlainan dengan perawi lain yang lebih kuat
darinya, baik karena lebih baik sifat dhabithnya, lebih banyak
jumlahnya, atau halhal lain yang lebih unggul. Syadz berarti janggal
atau nylnh (bahasa Jawa, maksudnya: berbeda sekali dengan yang lain
pada umumnya).
Hadits Syahid adalah hadits yang bersesuaian maknanya dengan hadits
lain, akan tetapi lafalnya berlainan. Secara harfiah syahid artinya saksi,
dan ia bisa menguatkan hadits lain yang semakna dengannya.
Hadits Munkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi dhaif
(lemah), tetapi berlainan dengan perawi lain yang lebih dhaif darinya.
Menurut definisi lain, hadits munkar adalah hadits yang diriwayatkan
oleh perawi yang banyak bermaksiat (fasiq), sering melakukan
kekeliruan (katsir alghalath), pelupa atau sangat buruk kualitas
hafalannya. Dalam buku ini, jika disebut munkar maka yang dimaksud
adalah definisi yang kedua. Ini termasuk jenis hadits yang sangat lemah
(dhaif syadid) dan tidak bisa dijadikan sandaran hukum (la yuhtajja
14
bihi), bersama hadits matruk dan maudhu. Munkar artinya tidak diakui
kebenarannya.
Hadits Matruk adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang
dituduh berdusta (muttaham bilkadzib) atau ada indikasi ke arah itu,
karena perilaku sehariharinya dusta. Populer disebut sebagai hadits
semi palsu. Matruk berarti ditinggalkan.
Hadits Maudhu adalah hadits yang secara dusta dan sengaja dibuat
buat dengan disandarkan kepada Rasulullah, berupa ucapan, perbuatan,
ketetapan atau halhal lain yang serupa. Kepalsuan suatu hadits bisa
dilacak dari pengakuan perawi ybs; atau buktibukti lain yang diambil
dari dirinya, misalnya demi menyenangkan sebagian penguasa; atau dari
teks yang diriwayatkannya, seperti lafal serta maknanya yang rapuh dan
tidak bermutu; atau isinya bertentangan dengan kandungan alQuran,
hadits mutawatir, ijma yang qathie, atau akal sehat yang jelas. Bisa
jadi pemalsuan berasal dari perawi ybs atau orang lain yang dia ambil
riwayatnya. Motif pemalsuan bisa karena ingin menyesatkan, mencari
pahala, fanatisme, menyenangkan penguasa, dll. Hadits ini haram
diriwayatkan bagi orang yang mengetahuinya, kecuali jika disertai
penjelasan tentang kepalsuannya. Maudhu berarti dibuatbuat, yakni
dipalsukan secara sengaja.
15
DAFTAR ISI
Pengantar Edisi Kedua 1
Muqaddimah 5
Daftar Istilah Ilmu Hadits (Glossary) 11
BAGIAN I
KONSEPKONSEP KUNCI
MANHAJ SISTEMATIKA NUZULNYA WAHYU
Bab I
Pemaknaan Tartib Nuzuli dalam Manhaj SNW 20
Pola Dasar Pendidikan Hidayatullah (Tinjauan Umum) 20
Menggugah Kesadaran dengan al'Alaq 21
Meniti Jalan dengan alQalam 21
Membentuk Watak dan Kepribadian dengan alMuzzamil 22
Menyatukan Langkah dengan alMuddatsir 22
Berislam Kaffah dengan alFatihah 23
Kedudukan Studi Ini terhadap SNW 24
Bab II
Landasan Ilmiah Manhaj SNW 25
Bab III
Memahamai Konsep "Tartib Nuzuli" 28
Tartib Nuzuli dalam Ulumul Quran 29
Tartib Nuzuli dalam Sirah Nabawiyah 33
Tartib Nuzuli dalam SNW 34
Versiversi Tartib Nuzuli 35
Versiversi Lain [tidak lengkap] 38
Bab IV
Memaknai Marhalah Wahyu 41
Sumber Marhalah Nuzulnya Wahyu 41
Enam Marhalah Nuzulnya Wahyu 42
Marhalah Wahyu Makkiyah dan Madaniyah 44
Manfaat dan Fungsi Marhalah Wahyu 46
Sebuah Model Pemaknaan 46
Bab V
Tarikh Nuzul Ayatayat AlQur'an 48
Ayatayat Wahyu Pertama 48
Ayatayat dalam SNW 52
Riwayat Ayatayat Pertama al'Alaq 54
Riwayat Ayatayat Pertama alQalam 54
Riwayat Ayatayat Pertama alMuzzamil 56
Riwayat Ayatayat Pertama alMuddatsir 57
Tujuh Ayat alFatihah 58
16
Ringkasan 60
Saran Bahan Bacaan Lanjut 61
BAGIAN II
PILARPILAR POKOK
MANHAJ SISTEMATIKA NUZULNYA WAHYU
Bab I
Ijma' atas al'Alaq 69
Riwayat 'Aisyah tentang Wahyu Pertama 70
Riwayat Jabir tentang Wahyu Pertama 72
Bab II
Memahami Kontroversi alQalam 75
Kontroversi Wahyu Kedua 75
Riwayat Masa "Fatrah" dan Kaitannya dengan alQalam 78
Kedudukan alQalam dalam Tartib Nuzuli 83
Riwayat "alQalam Sebagai Wahyu Kedua" 86
Riwayat Lain Asbabun Nuzul alQalam 90
Tinjauan Langsung terhadap Kandungan Surah alQalam 92
AlQalam Bukan Wahyu Kedua 95
Kemungkinan Kompromi Seputar Kedudukan alQalam 97
Bab III
Menjernihkan Kekaburan Riwayat alMuzzammil 100
Riwayat Asbabun Nuzul alMuzzamil 101
AlMuzzamil Turun Setelah alMuddatsir 104
Bab IV
AlMuddatstsir Sebagai Wahyu Kedua 109
Riwayat Lemah Asbabun Nuzul alMuddatsir 109
AlMuddatsir: Wahyu Penegas Kerasulan 111
Bab V
Kedudukan alFatihah dalam Tartib Nuzuli 113
AlFatihah: Diperselisihkan Tarikh Nuzulnya 114
Riwayat Asbabun Nuzul alFatihah 116
AlFatihah Turun di Makkah 120
Bab VI
AlLahab Sebagai Surah Penanda Da'wah Jahriyah 121
Riwayat Asbabun Nuzul alLahab 122
Status Riwayat Asbabun Nuzul alLahab 124
Ringkasan 130
Saran Bahan Bacaan Lanjut 133
17
BAGIAN III
MEMBACA SIRAH NABAWIYAH
DALAM TINJAUAN TARTIB NUZULNYA WAHYU
Bab I
AlQur'an dan Sirah Nabawiyah 135
Bab II
Sumber Rujukan 137
Literatur Pilihan 139
Bab III
Mengidentifikasi Kronologi Sirah Nabawiyah Lewat Tartib Nuzuli 141
Dua Langkah Pendahuluan 141
Menggabungkan Versi Tartib Nuzuli 142
Kronologi Sirah dan Tartib Nuzuli 146
Ringkasan 148
Saran Bahan Bacaan Lanjut 149
BAGIAN IV
MANHAJ SISTEMATIKA NUZULNYA WAHYU
DALAM PRAKTEK
Bab I
Memperbaharui Tartib Nuzuli dalam SNW 154
Bab II
Qira'ah, Tartil dan Tilwah 156
Tiga Sarana Pokok 156
Makna Qira'ah 156
Makna Tartil 158
Makna Tilawah 159
Membaca alQur'an 160
Bab III
Manhaj Tarbawi 162
Ramburambu Kajian 162
Pengkajian Berkelompok 163
Marhalah Materi 164
Marhalah Makkiyah Ula 165
Marhalah Makkiyah Wasath 165
Marhalah Makkiyah Intiha' 165
Marhalah Madaniyah Ula 165
Marhalah Madaniyah Wasath 165
Marhalah Madaniyah Intiha' 165
Tema Surah dalam Marhalah 165
Bagaimana Memulai Kajian? 167
Model Kajian Surah 167
18
Model Kajian Tematis 167
Penutup 169
Lampiran 1. Daftar Lengkap 5 Versi Tartib Nuzuli 173
Lampiran 2. Tabel Perbandingan 5 Versi Tartib Nuzuli 180
Lampiran 3. Tabel Jumlah Ayat dari 114 Surah alQuran dalam
Tartib Mushafi 185
Lampiran 4. Tabel Jumlah Ayat dari 86 Surah Makkiyah Versi
alBiqai dan Abul Qasim 188
Lampiran 5. Tabel Jumlah Ayat dari 86 Surah Madaniyah Versi
alBiqai dan Abul Qasim 190
Lampiran 6. Kutipan Lengkap Makna Marhalah Wahyu 191
Marhalah Makkiyah Pertama 191
Marhalah Makkiyah Kedua 200
Marhalah Makkiyah Ketiga 217
Marhalah Madaniyah 240
Daftar Pustaka 244
Riwayat Hidup Penulis 252
19
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
BAGIAN I
KONSEPKONSEP KUNCI
MANHAJ
SISTEMATIKA NUZULNYA WAHYU
Bagian ini mengetengahkan rujukan atas dasar
dasar pemikiran Manhaj Sistematika Nuzulnya
Wahyu secara umum, dengan lebih
mengedepankan metodologi penelusuran
sumbersumber asal sebuah riwayat tentang
berbagai hal yang selama ini dianggap sebagai
bagian integral dari Manhaj SNW. Diupayakan,
sumbersumber tersebut berasal dari ulama'
salaf, atau paling tidak dapat dirujukkan
kepada mereka walaupun melalui pengutipan
oleh ulama' khalaf.
Seluruhnya terangkum dalam 5 bab.
Pemaknaan Tartib Nuzuli dalam Manhaj
SNW
Landasan Ilmiah Manhaj SNW
Memahami Konsep "Tartib Nuzuli"
Memaknai "Marhalah Wahyu"
Tarikh Ayatayat alQur'an
Ringkasan
Saran Bahan Bacaan Lanjut
wwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwww
20
BAB I
PEMAKNAAN TARTIB NUZULI DALAM MANHAJ SNW
Buku ini, sejak awal sampai penutup, ditujukan sebagai sebuah kajian
yang merujukkan konsepkonsep dalam manhaj Sistematika Nuzulnya
Wahyu (SNW) kepada khazanah salaf. Dengan demikian, materi buku ini
secara khusus akan memandu setiap pembaca untuk menelusuri akar
akar pemikiran manhaj ini yang melimpah dalam berbagai literatur
klasik yang terpercaya (mu'tabar dan mu'tamad) selama berbilang abad.
Dan, sebelum kami memulai seluruh rangkaian studi ini, adalah
bijaksana untuk menyajikan secara ringkas konsep asli manhaj ini,
menurut perspektif tradisi Lembaga. Apa yang kami muat pada bagian
ini merupakan kutipan dari profil Sekolah Tinggi Agama Islam Luqman
alHakim (STAIL) Pesantren Hidayatullah Surabaya yang diterbitkan pada
tahun 1999, hal. 26. Naskah ini sebetulnya merupakan reproduksi dan
hasil editing sebagian dari isi buku profil Sewindu Pesantren
Hidayatullah Surabaya, terbit tahun 1996, hal. 68. Ada beberapa
perbedaan kecil dalam kedua naskah ini, terutama dalam hal
penggunaan istilah tertentu yang diperhalus, namun pada intinya sejalan
dan merujuk kepada fakta yang sama.
Pola Dasar Pendidikan Hidayatullah (Tinjauan Umum)
Sebagai lembaga perjuangan, Hidayatullah menjadikan pendidikan
sebagai prioritas program. Namun demikian, lembaga ini tidak sekedar
lembaga pendidikan, dalam pengertian bukan sekedar sekolah yang
tugas utamanya mentransfer ilmu kepada para mahasiswanya.
Kongkritnya Hidayatullah dihrapkan menjadi embrio dari proses
pembangunan masyarakat Islam. Seluruh jamaahnya diantarkan untuk
menyatukan iman, ilmu sekaligus amal dalam kehidupan keseharian.
Secara singkat dapat dikatakan, Hidayatullah adalah Lembaga Islam,
bukan sekedar Lembaga Pendidikan Islam.
Sebagai Lembaga Islam, visi dan misi Hidayatullah sangat luas. Lahan
garapannya bukan hanya sekedar santri yang ada di dalam asrama, tapi
juga masyarakat umum. Cakupannya tidak sekedar pendidikan agama,
tapi juga menyentuh soalsoal ekonomi, politik, sosial, budaya, teknologi
dan segala aspek kehidupan umat yang vital.
Agar pengembangan visi ini tetap istiqamah, diperlukan pola dasar,
sebagai acuan terhadap langkah perjuangan menuju pulau harapan. Pola
dasar ini diilhami oleh tarbiyah Allah kepada RasulNya, kemudian
tarbiyah Rasul kepada para Sahabat, berikut umatnya.
Pola dasar inilah yang lebih dikenal dengan istilah Sistematika Nuzulnya
Wahyu, disebut demikian karena tahapantahapan pembinaannya
didasarkan atas urutanurutan turunnya wahyu kepada Rasulullah. Mulai
dari surat alAlaq, alQalam, alMuzzamil, alMuddatsir dan alFatihah.
21
Menggugah Kesadaran dengan alAlaq
BerIqra', membaca, adalah perintah Allah yang pertama, sebelum
perintah shalat, puasa, zakat. Allah memerintahkan hambaNya agar
membaca dan membaca.
Membaca dalam cakupan Iqra' dapatlah diartikan seluasluasnya, bukan
hanya tekstual, karena mencakup pilihan jalan hidup. Di samping itu,
Islam bukanlah dogma, melainkan konsep yang harus dihayati dengan
penuh kesadaran. Islam tidak menghendaki umatnya menjalankan
agamanya secara taqlid, membabi buta. Islam adalah agama kesadaran,
addiinu 'aqlun la diina liman la 'aqla lahu. Agama adalah kesadaran,
tidak sempurna agama seseorang yang tidak memiliki kesadaran.
Proses Iqra' itu diharapkan sampai kesadaran akan eksistensi pencipta
(alKhaliq) da eksistensi manusia. Upaya manusia untuk mengenal Allah
secara baik begitupula mengenal dirinya di hadapan Allah akan
melahirkan suatu sikap penyerahan diri secara total kepada Allah, bahwa
hidup ini hanya pengabdian diri kepada Allah, lewat suatu pengakuan
syahadat la ilaha illallah. Selanjutnya ayat 4 dan 5 menyatakan bahwa
Muhammad adalah manusia yang secara langsung dibimbing oleh Allah
dengan diturunkannya wahyu kepadanya. Karena itu ayat ini
mengantarkan kita untuk bersyahadat dengan Muhammad Rasulullah.
Inilah makna surat pertama, al'Alaq: 15, "Bacalah dengan (menyebut)
nama Rabbmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang
mengajar (manusia) dengan perantaraan qalam. Dia mengajarkan
kepada manusia apa yang tidak diketahuinya."
Meniti Jalan dengan alQalam
Setelah bersyahadat, tentunya citacita seseorang tiada lain kecuali
menegakkan kalimatullah yang alulya. Keinginannya, adalah
menyaksikan kehidupan yang harmoni dalam tat aturan Allah, karenanya
perlu disiapkan metode untuk mencapai obsesi itu. Maka diturunkanlah
konsep sebagaimana tercakup dalam surat alQalam 17.
"Nuun, demi qalam dan apa yang mereka tulis. Berkat nikmat Tuhanmu,
kamu (Muhammad) sekalikali bukan orang gila. Dan sesungguhnya bagi
kamu benarbenar pahala yang tiada putusputusnya. Da sesungguhnya
kamu benarbenar berbudi pekerti yang agung. Maka kelak kamu akan
melihat dan mereka (orangorang kafir) pun akan melihat. Siapa
diantara kalian yang gila. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia lah yang paling
mengetahui siapa yang sesat dari jalanNya, dan Dia lah yang paling
Mengetahui orangorang yang mendapat petunjuk."
Yang ingin dicapai dari tahap ini adalah kuatnya keyakinan akan
kebenaran laa ilaha illallah. Ini perlu untuk memberi kekuatan moral di
tengah runyamnya kehidupan. Sebagaimana diketahui, pada masa ini
suatu kebenaran bisa menjadi olokan, sementara tindakan kemungkaran
justru diagungagungkan.
22
Pernyataan bahwa pembawa kebenaran bukanlah termasuk kelompok
orang gila, dengan banyak pengertian akan memberikan semangat juang
yang luar biasa. Mereka yang telah menghayatinya akan mendapatkan
motivasi hingga rela mengorbankan apapun demi terwujudnya citacita
menegakkan kalimat Allah.
Membentuk Watak dan Kepribadian dengan alMuzzammil
Semua pekerjaan menuntut persyaratan pribadi. Untuk melanggengkan
citacita menegakkan laa ilaha illallah perlu keutuhan dalam
menampilkan diri sebagai seorang muslim sejati. Identitas ini bahkan
harus melekat di manapun berada, bukan hanya bila di muka umum.
Islam menyiapkan konsep selanjutnya demi menjaga kualitas diri, yakni
dengan memotivasi umatnya agar memperhatikan ibadahnya.
Persyaratan inilah yang dituntut dalam hadapan selanjutnya
sebagaimana terangkum dalam wahyu yang ke3, alMuzzammil 110.
"Hai orang yang berselimut (Muhammad). Bangunlah (untuk
mengerjakan shalat) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya).
(Yaitu) setengahnya atau kurangilah dari setengah itu sedikit. Atau
lebih dari setengah itu, dan bacalah alQur'an itu dengan tartil
(perlahanlahan). Sesungguhnya kami akan menurunkan kepadamu
perkataan yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah
lebih tepat (untuk khusyu') dan bacaan di waktu malam itu lebih
berkesan. Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang
panjang (banyak). Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadahlah kepada
Nya dengan penuh ketekunan. (Dia lah) Tuhan masyriq dan maghrib,
tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, maka ambillah dia
sebagai pelindung. Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan
dan jauhilah mereka dengan cara yang baik."
Yang paling ditekankan dalam alMuzzammil adalah shalat malam,
sebagai ibadah tambahan. Hal ini menyiratkan asumsi bahwa ibadah
ibadah wajib dengan sendirinya sudah dilaksanakan. Shalat malam juga
menjadi persyaratan akhlaq pejuang kebenaran karena di balik itu Allah
menjanjikan banyak kelebihan yang tidak akan dimiliki orang biasa.
Tuntutan kedua adalah memperbanyak membaca dan mempelajari al
Qur'an. Kemudian memperbanyak dzikir dalam arti menjalin hubungan
kontinyu dengan Allah subhanahu wa ta'ala. Selanjutnya memiliki sifat
sabar dan tawakkal, yang menggambarkan sosok pribadi tenang penuh
perhitungan, serta memiliki kesiapan menanggung resiko apapun juga.
Sikap terakhir sebagai penyempurna adalah hijrah, sebagai bukti
keberanian dan kesungguhan untuk meninggalkan yang buruk dan
memilih yang baik, sekalipun harus banyak berkorban.
Menyatukan Langkah dengan alMuddatstsir
Dengan citacita dan kekuatan pribadi seperti itu, tahapan lanjut yang
mesti dilalui adalah menyatukan berbagai potensi. Pertama berupa
23
pribadipribadi dengan kualitas yang setara. Penyeragaman kualitas
perlu dilakukan agar langkah bisa serentak. Inilah yang disiratkan dalam
surat keempat, alMuddatsir 17.
"Hai orang yang berselimut. Bangunlah, lalu berilah peringatan. Dan
Tuhanmu agungkanlah. Dan pakaianmu bersihkanlah. Dan perbuatan
dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah. Dan janganlah kamu memberi
dengan maksud memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk
(memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah."
Dalam tahapan ini, selain umat Islam dituntut untuk bisa berorganisasi
secara rapi, juga harus bisa mengajak kepada kebaikan, baik ke dalam
maupun ke luar. Dengan adanya perintah untuk memberi peringatan,
berarti seseorang dipersilakan untuk menyebarkan dakwah tanpa batas.
Tetapi ini semua bisa akan dilakukan dengan sukses bila persyaratan
sejak tahap pertama hingga ketiga tetap terpenuhi.
Berislam Kaffah dengan alFatihah
Dengan dimasukinya tahap alFatihah, tersirat keberhasilan perjuangan
yang telah mengarah kepada terwujudnya masyarakat yang penuh
dengan rahmat. Tetapi hal ini tergantung kepada keputusan Allah, tidak
dipaksakan, yang bisa dilakukan hanyalah upaya, sabar, istiqamah meniti
jalanNya. Dan bila Allah berkenan karena melihat hambaNya
memenuhi persyaratan dan kemampuan, maka kelanjutannya akan
mudah saja.
Namun sebelumnya perlu ada pembuktian kemampuan berupa prestasi
prestasi bahkan hingga yang tak masuk akal sekalipun. Ini tidak ringan,
sebagaimana perjalanan Nabi yang penuh onak dan duri.
Bila prestasi itu belum nampak, berarti ada yang kurang dari serangkaian
perjalanan dari tahap ke tahap. Mungkin persyaratan pribadi belum
terpenuhi. Atau ada anggota jamaah yang masih suka bikin dosa. Atau
istri dan anggota keluarga masih belum mau mengenakan jilbabnya dan
sebagainya. Itu semua perlu koreksi agar keberhasilan yang dicita
citakan bisa terwujudkan, dan umat Islam bisa mengelola dunia dengan
kasih sayang sebagaimana tersirat dalam satu surah, alFatihah 17.
"Dengan menyebut asma Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang. Yang Menguasai hari pembalasan. Hanya kepada Engkaulah
kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon
pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Yaitu) jalan orang
orang yang telah Engkau anugerahi nikmat kepada mereka, bukan
(jalan) mereka yang dimurkai (Yahudi), dan bukan (pula jalan) mereka
yang sesat (Nasrani)." ***
Demikianlah, pemaknaan ringkas atas rangkaian penurunan wahyu
wahyu pertama yang unik tersebut dalam konsep asli manhaj SNW.
Kutipan ini sebetulnya sangat global, dan tentunya tak bisa menjelaskan
secara memadai, namun setidaknya akan memudahkan pembaca
24
memahami bagaimana kedudukan maupun urutan suatu surah dalam
tartib nuzuli menjadi sangat penting menurut perspektif SNW.
Kedudukan Studi ini Terhadap SNW
Kiranya penting dimaklumi, bahwa apa yang senantiasa disebut sebagai
SNW (Sistematika Nuzulnya Wahyu) dalam risalah ini adalah tata urutan
penurunan alQur'an yang merujuk kepada konsep orisinalnya dalam
tradisi Lembaga. Menurut konsep aslinya, pembahasan ditekankan
kepada 5 wahyu pertama, sebagaimana sudah dirinci sebelum ini, yaitu
(berturutturut):
Al'Alaq ayat 15
AlQalam ayat 17
AlMuzzammil ayat 110
AlMuddatstsir ayat 17
AlFatihah ayat 17
Pemaknaan dan penerapan nilainilai yang terkandung di dalam kelima
surah ini, sekaligus hikmah di balik urutannya yang unik tersebut,
dikenal sebagai "Sistematika Nuzulnya Wahyu". Kadangkala, istilah ini
disingkat dengan SNW, Sistematika Wahyu, atau Siswa.
Meskipun kajian dalam buku ini tidak sepakat dengan tata urutan
tersebut, dan memiliki buktibukti ilmiah yang menunjukkan adanya
tartib nuzuli lain yang lebih mu'tamad (dapat dipegangi), namun asumsi
awal kami tentang SNW adalah konsep asli tersebut.
Seluruh alur pemikiran studi ini pun dilandaskan kepada SNW menurut
konsep aslinya, dengan berbagai kritik maupun peneguhan di dalamnya.
Kami menelusuri satu demi satu konsepkonsep utama yang membentuk
fikrah dalam manhaj ini dari khazanah salaf. Penting dicatat, bahwa
kami tidak berhenti sebatas mengetahui sumber tata urutan tersebut,
namun sekaligus berusaha memverifikasi keshahihan penempatan suatu
surah pada urutan tertentu, sepanjang dapat kami temukan data dan
sumber rujukannya yang pasti.
Tentu saja, pada akhirnya kesimpulan dalam studi ini akan
memperlihatkan warnawarni khazanah pemikiran kaum muslimin yang
sangat kaya, disamping potensial melahirkan kontroversi. Namun,
selama kita jujur dalam menelaah dan berpegang kepada amanah
ilmiah, semua itu tidak mengapa.
Dan, kepadaNya jua kita berpegang.[]
Wallahu a'lam.
25
BAB II
LANDASAN ILMIAH MANHAJ SNW
Bagi sementara kalangan yang baru mengenal manhaj Sistematika
Nuzulnya Wahyu, (SNW) sangat boleh jadi cukup sukar menangkap apa
hubungan antara berbagai komponen yang dibahas dalam buku ini. Oleh
karena itu, kami merasa perlu untuk menulis satu bab khusus yang akan
menjelaskan bagaimana pembaca bisa menghubungkan, mencerna dan
memahami isi buku ini secara utuh. Dengan kata lain, bab ini kami
tujukan sebagai pengantar konsepsional atas diskusidiskusi mendalam
yang akan kami paparkan di belakangnya, insyaAllah. Adapun pengantar
yang lebih global telah kami berikan dalam Muqaddimah.
Sebagian orang juga menilai SNW sebagai bid'ah alias mengadaada,
tidak berdasar, atau bertentangan dengan manhaj salaf ashshalih. Cap
cap negatif semacam ini terhadap SNW kemungkinan besar lahir dari
ketidakmengertian terhadap khazanah ulama' salaf itu sendiri. Sebab,
jika kita memiliki pemahaman yang cukup, sikap ilmiah yang konsisten,
dan kearifan yang dilandasi husnuzhzhann serta keinginan ber
tabayyun, maka kita akan menemukan banyak "mutiara tercecer" dalam
khazanah salaf tersebut, yang kemudian dirangkai menjadi kalung
eksklusif bernama SNW. Menurut kami, antara SNW dan khazanah salaf
hanya berbeda pada kemasan, bukan isi.
Selain itu, pandangan miring terhadap SNW juga didasari oleh fakta
bahwa ilmu ini tergolong jarang disentuh para ulama'. Meskipun ada
tafsir yang ditulis menurut motode tartib nuzuli, namun karyakarya
tersebut tidak populer. Jika dewasa ini SNW dikesankan sebagai
mengadaada, sebetulnya itu bukanlah tanggapan pertama. Sudah sejak
lama ilmu ini dirasa asing dan tidak akrab di kalangan pelajar maupun
peneliti.
Disini, secara ringkas kami akan menjelaskan bagaimana kita dapat
merangkai bagian demi bagian dari buku ini, juga fragmenfragmen
berharga yang disebut sebagai khazanah salaf, sehingga tercipta sebuah
pemahaman yang utuh tentang apa yang dikehendaki oleh "penemu"
manhaj SNW.
1
Secara umum, alur pemikiran manhaj ini dapat dirunut dari 6 fakta serta
konsep yang sudah sangat dikenal dalam khazanah pemikiran Islam,
terutama yang berkenaan dengan alQur'an, hadits dan sirah, yakni:
1. Konsep tartib nuzuli dan tartib mushhafi
2. Konsep marhalah wahyu
1
Sebetulnya, istilah "penemu SNW" tidak sepenuhnya tepat untuk disandangkan
kepada Ust. Abdullah Said. Kami mendengar berbagai uraian yang intinya
menegaskan, bahwa peran beliau hanyalah memperkenalkan serta menghidupkan
kembali ilmu tentang tata urutan wahyu, bukan menemukan sesuatu yang
samasekali baru. Sebagaimana akan kami paparkan dalam babbab selanjutnya,
konsepkonsep dasar dalam manhaj ini berakar sepenuhnya kepada khazanah
intelektual ulama' salaf.
26
3. Riwayat asbabun nuzul dan penelusuran kualitas sanadnya
4. Fakta surahsurah Makkiyyah dan Madaniyyah
5. Konsep annasikh wal mansukh
6. Periodeperiode dakwah Rasulullah dalam sirah nabawiyah
Konsep pertama berangkat dari adanya perbedaan antara susunan surah
dalam mushhaf alQur'an yang kita kenal sebagai Mushhaf 'Utsmani
dengan catatan riwayat tentang tarikh nuzulnya surahsurah tersebut.
Yang pertama disebut tartib mushhafi, sedang yang terakhir disebut
tartib nuzuli. Menurut para ulama', masingmasing mengandung hikmah
tersendiri. Hikmah dan uraian ringkas tentang tartib mushhafi dapat kita
temukan misalnya pada pembukaan dan penutup terjemah setiap
surah alQur'an, sebagaimana diterbitkan Departemen Agama Republik
Indonesia. Namun, tentang hikmah tartib nuzuli, masih sangat jarang
disentuh serta dibahas secara spesifik. Pada konteks ini, manhaj
Sistematika Nuzulnya Wahyu adalah pemikiran dalam gerakan dakwah
yang mengambil peran menggali hikmahhikmah di balik tata urutan
penurunan alQur'an yang unik tersebut, serta berusaha menerapkannya
dalam tarbiyah pribadi dan umat.
Konsep kedua, yakni marhalah wahyu, merujuk kepada penahapan
tertentu dalam tarikh nuzulnya surahsurah alQur'an, dimana
Rasulullah dan para Sahabat dipandu tahap demi tahap, langkah demi
langkah, sampai mantap dan siap tampil sebagai pribadi unggul yang
layak menyandang amanah Allah sebagai khalifah di muka bumi.
Berbagai literatur klasik membahas masalah penahapan dalam alQur'an
dan menyimpulkan hikmahhikmah besar yang ada di dalamnya, sebagai
strategi dakwah yang jitu menghadapi realitas masyarakat tertentu.
Dalam beberapa hal, konsep marhalah wahyu atau penahapan turunnya
alQur'an ini berkaitan erat dengan konsep kelima, yakni masalah an
nasikh wal mansukh, walau tidak selamanya demikian. Konsep ini juga
dapat digabungkan dengan catatan sirah secara lebih rinci, misalnya
antara fase da'wah sirriyyah dan jahriyyah; atau pengelompokan global
lewat surahsurah fase Makkiyyah dan Madaniyyah. Bila konsepkonsep
ini dirangkaikan sedemikian rupa, maka penahapan yang dimaksud oleh
manhaj ini akan semakin mudah dipotret panoramanya.
Adapun asbabun nuzul, hal ini sangat bermanfaat dalam usaha
memahami makna suatu ayat atau surah, yang jika keshahihan
riwayatnya dapat dijamin, maka akan lebih memudahkan kita untuk
meletakkannya dalam bingkai sirah nabawiyah. Apabila tahap ini dapat
diselesaikan secara ilmiah, maka makna surah atau ayat tersebut dapat
ditemukan fakta penerapannya menurut catatan sirah. Manhaj ini cukup
berkepentingan terhadap penempatan makna tersebut, sebagai bahan
untuk meracik resep tarbiyah pribadi maupun umat.
Dengan demikian, pada prinsipnya, manhaj Sistematika Nuzulnya Wahyu
adalah pemikiran tentang metodologi dakwah dan tarbiyah dalam upaya
menegakkan kembali 'izzul Islam wal muslimin, lewat penerapan
hikmahhikmah yang terkandung dalam tahaptahap penurunan alQur'an
selama 23 tahun kepada Rasulullah dan para Sahabat.
27
Walau pengertian diatas belum sangat definitif, paling tidak konsep
konsep dasar yang termuat di dalamnya telah tercakup secara
menyeluruh. Adapun untuk mendapatkan pengertian yang lebih lengkap
tentang konsepkonsep tersebut, silakan mengkaji babbab
selanjutnya.[]
Wallahu a'lam.
28
BAB III
MEMAHAMI KONSEP TARTIB NUZULI
Mushhaf alQur'an yang sekarang kita kenal, dimana ia dimulai dari
surah alFatihah dan ditutup dengan surah anNaas, pada kenyataannya
tidak mencerminkan urutan penurunan surahsurah yang terkandung di
dalamnya. Antara urutan surah dalam mushhaf dengan tarikh nuzulnya
tidak selalu paralel. Bagi kita kaum muslimin, masalah ini tidaklah
musykil atau membingungkan, karena memang alQur'an bukan sebuah
dokumen yang terikat kepada sejarah atau perubahan waktu. Namun,
bagi sementara kalangan Orientalis, perbedaan ini merupakan celah
nyata untuk menggugat keotentikan Mushhaf 'Utsmani. Bagi kita,
persoalan otentisitas mushhaf hasil kodifikasi resmi di zaman Khalifah
'Utsman bin 'Affan radhiyallahu 'anhu telah selesai. Tidak ada yang
perlu dirisaukan. Dan, risalah ini pun tidaklah berkepentingan untuk
mendiskusikannya.
2
Apa yang kita saksikan dalam Mushhaf 'Utsmani, dimana alFatihah
menjadi preambule bagi Kitab Suci kita, dan diakhiri dengan surah an
Naas, disebut dengan tartib mushhafi. Secara harfiah, istilah ini berarti
"tata urutan alQur'an sesuai dengan isi mushhaf". Dengan demikian,
surah pertama adalah alFatihah, disusul alBaqarah di posisi kedua, lalu
surahsurah selanjutnya: Ali 'Imran, anNisaa', alMaidah, demikiran
seterusnya sampai anNaas di urutan ke114. Penomoran surahsurah ini
sudah menjadi standar resmi yang disepakati oleh seluruh kaum
muslimin.
Akan tetapi, dalam sejarahnya alQur'an tidaklah diturunkan dalam
urutan seperti itu. Tidak pula diturunkan secara lengkap surah demi
surah. Banyak diantaranya yang turun dalam kelompokkelompok kecil,
berisi 5 ayat, kurang atau lebih. Memang ada pula yang turun satu surah
sekaligus, namun kasus semacam ini tidak banyak. Ada lagi yang
diturunkan cuma sepotong dari satu ayat yang panjang, sehingga
terkesan seperti disisipkan ke dalamnya.
Maka, yang pertama diturunkan adalah surah al'Alaq, itupun hanya 5
ayat pertama dari keseluruhannya yang 19 ayat. Ayat ke6 sampai akhir
diturunkan dalam kesempatan yang lain. Demikianlah surahsurah
berikutnya turun sepotong demi sepotong, yang dimaksudkan untuk
meneguhkan Rasulullah dan kaum muslimin, meringankan pengamalan
serta mempermudahkan dalam penghafalan. Kelak, surah yang terakhir
turun menurut suatu pendapat adalah anNashr. Sedangkan ayat yang
terakhir turun dalam suatu pendapat adalah alyauma akmaltu lakum
diinakaum yang terkenal itu. Banyak perincian yang cermat untuk
masingmasing kategori, baik yang awal mula atau terakhir turun dari
2
Akan tetapi, jika pembaca ingin memperoleh perspektif lebih lengkap tentang
masalah ini, silakan mengkaji buku Syekh Muhammad Mushthafa alAzhami, The
History of the Quranic Text from Revelation to Compilation. Edisi bahasa
Indonesianya diterbitkan oleh Gema Insani Press, Jakarta.
29
ayatayat alQur'an. Misalnya, ayat apa yang pertama atau terakhir turun
dalam masalah halalharam, hukum perang, waris, keluarga, khamr,
shalat, dsb. Kita dapat menemukan kajian semacam ini dalam berbagai
literatur klasik.
Urutan wahyu atau surah yang riwayatnya dicatat serta direkam secara
detail oleh para Sahabat tersebut dikenal sebagai tartib nuzuli, artinya
"tata urutan alQur'an sesuai dengan tarikh penurunannya". Pencapaian
generasi salaf dalam mendalami masalah ini sungguh sangat
mengagumkan. Berbagai dokumen manuskrip maupun khazanah
pemikiran klasik yang tercetak dan sampai kepada generasi kita
melaporkan adanya riwayat ayat mana yang diturunkan siang hari
(nahaaran), malam hari (laylan), musim dingin (syitaa'an), musim panas
(shaifan), ketika bepergian (safaran), saat bermukim (hadharan),
bahkan di angkasa antara langit dan bumi dalam peristiwa Isra'Mi'raj.
Sesuatu yang lebih dari itu pun dapat kita temukan, misalnya, di rumah
istri Rasulullah yang mana suatu surah diturunkan!
Dalam mushhaf yang kita pergunakan sekarang, al'Alaq adalah surah ke
96, sedangkan surah anNashr ada di nomor ke110. Surah alMaidah
sendiri, yang di dalamnya mengandung ayat yang terakhir turun, adalah
surah ke5 dalam mushhaf. Letak surahsurah ini saling berjauhan dan
tidak mencerminkan keterkaitan urutan sejarah penurunannya.
Mengingat bahwa alQur'an adalah kitab petunjuk yang bagian
bagiannya, baik secara mandiri maupun keseluruhan, merupakah kaidah
pokok dalam agama, maka susunan semacam ini tidaklah merusak isinya.
Kita dapat mengutip suatu ayat di suatu tempat, dan melihatnya sebagai
kaidah yang utuh. Boleh jadi ia terkait dengan ayatayat lain, di
dekatnya atau di lain tempat, atau saling berhubungan berdasar asbabun
nuzul, atau saling terkait lewat kaidah yang dirumuskan dengan sibaaq
(ayat sebelumnya), siyaaq (konteks ayat itu sendiri) dan lihaaq (ayat
setelahnya), sehingga satu sama lain akan menguatkan. Boleh jadi pula,
ia mandiri dan tidak menunjukkan hubungan sebabakibat dengan ayat
ayat lain di sekitarnya.
Namun, adalah benar bahwa alQur'an saling menafsirkan satu sama lain,
sehingga mencari penjelasan dari ayat lain bukan hanya dibenarkan,
namun merupakan salah satu cara terbaik untuk memperoleh
pemahaman yang tepat. Tidak ada pertentangan di dalam alQur'an,
meski turun terpisahpisah dan dikodifikasikan dalam model berbeda
pula dengan tarikh nuzulnya, karena pada dasarnya ia berasal dari
sumber yang sama. Menurut para ulama', fakta ini juga merupakan salah
satu bukti kemukjizatan alQur'an. Demikian antara lain yang dikatakan
oleh alQadhi Abu Bakr alBaqillani dalam kitab I'jazul Qur'an, hal. 4 dst.
Tartib Nuzuli dalam Ulumul Quran
Apa yang dewasa ini kita sebut sebagai SNW (Sitematika Nuzulnya
Wahyu) sesungguhnya tidaklah baru dalam kacamata ulumul Quran.
Hikmah tata urutan ini juga bukannya samasekali belum pernah dibahas
atau ditemukan. Beberapa literatur otoritatif telah mengupasnya dengan
30
lugas, dan tugas buku ini adalah merangkumnya bagi kita semua. Dengan
sendirinya, ilmu tentang hikmah tata urutan penurunan wahyu ini
bukanlah bidah.
Secara umum, diskusi mengenai urutan surah termaktub dalam bahasan
surah Makkiyah dan Madaniyah, bab Munasabah baina alAyat wasSuwar
(persesuaian antara ayatayat dan surah alQuran), turunnya alQuran
secara berangsurangsur, atau asbabun nuzul dan annasikh wal
mansukh. Ada juga beberapa literatur tafsir, klasik maupun
kontemporer, yang disusun berdasar tartib nuzuli ini, disertai kajian
terhadap makna dan hikmahnya. Tafsir karya Imam Fakhruddin arRazi,
menurut Imam asSuyuthi, banyak mengulas masalah ini. Belakangan,
terbit kitab AtTafsir alHadits asSuwar alMurattabatu Hasba an
Nuzuuli, oleh Syekh Muhammad Izzah Darwazah. Di Indonesia, Prof. Dr.
Quraish Shihab juga punya karya semacam itu, Tafsir alQur'an alKarim
Tafsir atas Suratsurat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu,
yang menafsirkan surahsurah wahyu permulaan mulai al'Alaq sampai
athThariq.
Para ulama biasanya akan mempertimbangkan riwayat apa saja yang
berkenaan dengan suatu ayat atau surat, kemudian menentukan posisi
tataurutan penurunannya. Tataurutan seperti itu disebut tartib nuzuli,
untuk membedakannya dengan tataurutan penulisan Mushhaf 'Utsmani,
yang disebut tartib mushhafi. Penelusuran mencakup 114 surah dalam
alQuran. Karena cakupan yang luas ini, maka sering terjadi ikhtilaf.
Versiversi tartib nuzuli hanya bersepakat tidak lebih dari alAlaq
sebagai wahyu pertama saja. Setelah itu, perbedaan pendapat tidak
dapat dihindarkan. Demikian pula untuk rincian tartib nuzuli surahsurah
Madaniyah. Kesepakatan biasanya hanya terjadi pada pendapat bahwa
alBaqarah adalah surah pertama yang turun di Madinah. Setelahnya,
ada beragam versi.
Menurut Ibnu Hajar dalam Fathul Bari IX/8, para perawi hadits telah
menetapkan tartib nuzuli untuk surahsurah alQur'an, namun hanya
sedikit sekali yang mereka riwayatkan tentang tartib nuzuli ayat
ayatnya. Fakta ini mendorong kita untuk meneliti lebih jauh tartib
nuzuli surah secara global, kecuali jika memang dapat ditemukan
perincian yang jelas dalam hal tartib nuzuli ayatayatnya. Masalah yang
terakhir ini berkaitan erat dengan annasikh walmansukh.
Meski demikian, memang harus diakui bahwa ilmu tentang tartib nuzuli
tidak mendapat perhatian yang semestinya. Dalam pengantar tahqiqnya
atas kitab asSuyuthi, Asraaru Tartibi alQuran,
3
hal. 5860, Abdul Qadir
Ahmad Atha (muhaqqiq) mengeluh:
Sejak dulu rahasia tertib alQuran telah diketahui melalui ilmu
munasabah. Akan tetapi yang diketahui tersebut tidak lain hanyalah apa
yang tertera dalam tartib mushafi. Adapun mengenai rahasia tartib
nuzuli, kami tidak mengetahui seorangpun menyajikan dalam kitabnya
3
Dalam pengutipan ini, kami mempergunakan edisi terjemahnya, berjudul Rahasia
Susunan Surah alQuran Menurut Tertib Mushhaf.
31
dari dulu sampai sekarang selain hanya sedikit ditemukan dalam kitab
kitab ushul.
Sekalipun banyak kitab tafsir klasik, namun para penyusun kitab tentang
rahasia alQuran atau ilmu munasabah sedikit sekali. Dari kitabkitab
tersebut kami ketahui kitab alBiqai Nadzmud Durar, yang
diantaranya terdapat tulisan tangan yang sempurna yang ada di
perpustakaan alAzhar Mesir, dalam 6 jilid; kitab alBurhan fi
Munasabah Tartib Suwaril Quran karya Abi Jafar bin Zubair, guru dari
Abu Hayyan pemilik kitab alBahru alMuhith; kitab asSuyuthi yang
kami sajikan kepada para pembaca ini (Asraru Tartibil Quran) dan
kitab lainnya yang bernama Marashidul Mathali fil Maqathi wal
Mathali, juga sebuah kitab yang diakui beliau telah menyajikan
pembahasan tartib alQuran yang disebut dengan Asrar atTanzil.
Tidak adanya perhatian terhadap ilmu munasabah telah dicermati
ulama dari sejak dulu dan mereka memandang bahwa ilmu tersebut
mengandung kehalusan dan keindahan alQuran. Bahkan, alFakhr ar
Razy mengatakan, Barangsiapa yang memperhatikan kehalusan dan
keteraturan ayatayat alQuran dan tertibtertibnya, ia akan
mengetahui bahwa alQuran memiliki keijazan disebabkan segi diatas
sebagaimana kefashahahan lafallafalnya itu sendiri. Barangkali
pernyataan seperti ini dikehendaki pula oleh orangorang yang
berpendapat bahwa kei'jazan alQuran disebabkan oleh uslubnya.
Tetapi kami lihat umumnya mufassirin tidak memperhatikan segi
tersebut dismaping pula tidak tertarik untuk mengetahui rahasia
rahasianya.
Ibnul Arabi merasa putus asa terhadap para mahasiswa dan ulama yang
tidak memperhatikan ilmu besar tersebut, baik secara total maupun
sebagiannya. Sikap beliau tersebut terlihat dalam pendapatnya,
Hubungan ayatayat alQuran satu sama lainnya seperti satu kalimat
yang tersusun ilmu yang hebat, tidak dapat ditemukan kecuali oleh
seorang yang alim yang telah menguraikan hubungan diatas dalam
surah alBaqarah. Selanjutnya Allah membukakan untuk kami, namun
ketika kami tida menemukan kandungannya dan melihat adanya
gambaran yang batil, maka berhenti dari hal itu dan dijadikan sebagai
masalah yang berlangsung antara kami dengan Allah, dan kami serahkan
masalah tersebut sepenuhnya kepadaNya.
Syekh Abu Bakar anNisabury telah bekerja keras dalam menyebarkan
ilmu munasabah dan kajian tafsirnya pun berdasarkan penjelasan
munasabah. Juga ia telah meyatakan kekeliruan ulama Baghdad karena
mereka tidak mengetahui almunasabah.
Yang sangat mengherankan adalah tidak adanya perhatian terhadap
studi Qurani yang sangat penting, bahkan berlangsung tidak selangkah
pun dicapai kemajuan. Badan penerbit nasional dan swasta juga hanya
menyebarkan kitabkitab tafsir klasik (taqlidi). Satusatunya penerbit
yang menerbitkan kitab tafsir yang berorientasi segi munasabah seperti
tafsir Nadzmud Durar karya alBiqai juga telah menghentikan
penerbitan pertamakali kitab tersebut.
Tidak perlu alasan lain bahwa kitab Nadzmud Durar merupakan kitab
yang laris di pasaran karena tidak ada kitab lain (yang serupa) yang
32
sampai ke tangan pembaca, juga karena kualitasnya yang
mengagumkan. Begitu pula, tidak ada alasan bahwa para pembesar
ulama tidak mengetahui kitab tersebut. Yang kami tahu, kitab tersebut
masih ada dalam bentuk yang utuh direferensi Syaikh alMaraghi.
Beberapa kalimat kitab tersebut dipetik oleh sebagian besar ulama dan
dijadikan sebuah tafsir yang menjadi acuannya.
Buruk sekali tindakan yang menghentikan penerbitan kitab tersebut
dengan maksud agar menjadi sumber keributan. Sebab sudah merupakan
tujuan penulisnya untuk menaungi kaum muslimin dari hirukpikuknya
pengulangan yang membosankan terhadap ilmuilmu tafsir.
Kesulitan menemukan referensi tartib nuzuli masih harus diperparah
dengan komentarkomentar sebagian ulama yang pesimistik. Abdul
Qadir Ahmad Atha, pada hal. 71, menyitir adanya keinginan sebagian
ulama salaf untuk mengetahui rahasia tartib nuzuli. Qatadah pernah
mengusulkan kepada Ikrimah agar alQuran disusun menurut tartib
nuzuli, ayat demi ayat, yang pertama dilanjutkan yang datang
setelahnya. Akan tetapi, hal ini tidak mungkin, atau dalam katakata
Ikrimah:
Seandainya jin dan manusia berkumpul untuk menyusun alQuran persis
menurut tartib nuzuli, niscaya mereka tidak akan mampu. Jika mereka
mampu tentu hal itu akan menjadi sebuah susunan yang bersifat tauqifi
(berdasar petunjuk Allah dan RasulNya) yang menyegarkan.
Imam asSuyuthi, dalam Zubdatul Itqan fi Ulumil Quran hal. 116,
menyatakan bahwa ilmu ini sangat sedikit mendapat perhatian dari para
mufassirin, dan menilai hanya alFakhr arRazi yang membahasnya
secara luas dalam tafsirnya. Keengganan para mufassirin ini, menurut
asSuyuthi, dikarenakan rumit dan sulitnya ilmu munasabah. Beliau juga
mengutip pernyataan Syekh Izzuddin bin Abdis Salam:
AlMunasabah adalah ilmu yang baik, namun untuk menyambung suatu
perkataan dipersyaratkan terjadinya hal itu dalam suatu masalah yang
sama, dimana bagian awalnya akan bertaut dengan bagian akhirnya.
Jika perkataan itu terjadi dalam sebabsebab yang berlainan, maka
tidak akan terjadi pertautan di dalamnya. Orang yang mencoba
mengaitkannya berarti memaksakan diri melakukan sesuatu yang berada
di luar batas kemampuannya, kecuali hanya (memperoleh) pertautan
lemah dimana perkataan yang baik pun akan menghindarinya, apalagi
perkataan yang paling baik. Sesungguhnya alQuran diturunkan dalam
tempo duapuluh tahun lebih, memuat hukumhukum yang beraneka
ragam, dan disyariatkan oleh sebabsebab yang berlainan. Kalimat yang
semacam ini kondisinya tentu tidak mungkin ditautkan antara yang satu
dengan lainnya.
Pada periode ulama alQuran kontemporer, ilmu munasabah kembali
mendapat perhatian serius. Hal ini terutama karena adanya serangan
luar biasa melalui celah ini oleh para Orientalis dan muridmuridnya
dari dalam Dunia Islam sendiri. Secara luas, Dr. Muhammad Mushthafa
alA'zhami telah mengupas persoalan ini dalam salah satu karya
utamanya. Majalah Islamia, jurnal alInsan dan rubrik tsaqafah dalam
majalah Suara Hidayatullah berkalikali mengulas tematema sekitar
33
ilmu munasabah ini, atau ulumul Quran secara umum. Celah yang
kami maksud adalah adanya perbedaan mencolok antara tataurutan
surah dalam Mushaf Utsmani dengan tataurutan penurunan surahsurah
menurut riwayat. Menurut mereka, ini merupakan salah satu bukti
ketidakotentikan alQuran. Dalam Mabahits fi 'Ulumil Qur'an hal. 177
178, setelah memaparkan kesalahan para Orientalis dalam memahami
masalah surah Makkiyah dan Madaniyah, Dr. Subhi asShalih
4
menulis:
Adapun kami, samasekali tidak ragu setelah apa yang kami paparkan
seputar ketatnya para ulama kita dalam membahas secara detil semua
yang berkenaan dengan Makkiyah dan Madaniyah bahwasanya hanya
melalui riwayat yang shahih sajalah satusatunya metode untuk
mengurutkan alQuran dalam tataurutan kronologis yang paling baik
dan cermat. Dan, riwayat dalam masalah ini tidak mungkin bersumber
selain dari para Sahabat yang menyaksikan tempat serta waktu
diturunkannya wahyu, atau dari Tabiin yang mendengar penuturan
serta perinciannya dari para Sahabat. Adapun (dari) Rasulullah SAW
sendiri, maka tidak satupun riwayat yang berasal dari beliau tentang
aspek (tartib nuzuli) ini, karena beliau meminjam perkataan alQadhi
Abu Bakr alBaqillani dalam kitab alIntishar tidaklah diperintahkan
untuk ini, dan Allah tidak menjadikan pengetahuan tentang (tartib
nuzuli) sebagai kewajiban bagi umat Islam. Tidak diragukan lagi bahwa
banyak Sahabat yang memiliki pengetahuan sangat lengkap tentang
Makkiyah dan Madaniyyah ini, (sehingga) mereka mampu membahas
secara detil bagianbagian yang kecil (dari alQuran) yang (kemudian)
dimuat dalam berbagai kitab tafsir bil matsur dan banyak karya lainnya
mengenai ulumul Quran.
Artinya, di tengah beragam kesulitan yang ada, ilmu munasabah bukan
tidak memiliki dasar pijakan yang shahih. Piranti paling memungkinkan
yang ada dalam khazanah intelektual Islam untuk meneliti kualitas
suatu riwayat adalah metodologi para ahli hadits (muhadditsin).
Di masa depan, jika kita ingin mengembangkan potensi besar dalam
konsep dasar SNW, maka penggunaan ulumul hadits adalah keharusan
mutlak. Sedang untuk pemantapan metodologi, kita harus menyertakan
ulumul Quran dalam menyajikan materinya. Ini adalah pilihan yang
adil, seimbang dan setara dengan bobot materi dalam SNW sendiri, yang
jelasjelas mengkaji alQuran dan sejarahnya. Sementara untuk
mendapatkan perluasan makna, kita harus merujuk kepada tafsir,
kamuskamus alQuran atau bahasa Arab, disertai penjelasan faktual
latar belakangnya dalam sirah maupun asbabun nuzul.
Tartib Nuzuli dalam Sirah Nabawiyah
Ulama sirah nabawiyah kontemporer giat meneliti kualitas riwayat
suatu peristiwa dalam sirah. Meski tidak secara spesifik ditujukan men
tarjih riwayat asbabun nuzul maupun tartib nuzuli, akan tetapi hasil
studi mereka memperlihatkan hal itu. Sebab, sirah tidak mungkin
4
Profesor (kajiankajian) keislaman dan fiqhullughah di Fakultas Sastra,
Universitas Libanon.
34
terpisah dari wahyu. Sejarah hidup Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam sendiri adalah perjuangan penegakan isi alQuran. Dengan
menerapkan metodologi muhadditsin dalam menulis sirah, beberapa
kerancuan dan pertentangan riwayat tentang suatu ayat atau surah,
berhasil diselesaikan. Kasus ini misalnya berkenaan dengan surah al
Muddatsir dan alQalam.
Penelitian di bidang ini, menurut Dr. Akram Dhiya alUmuri,
5
sudah
menghasilkan bahanbahan terpisah yang sangat berkualitas. Dalam
Muqaddimah buku yang beliau tulis, Seleksi Sirah Nabawiyah: Studi
Kritis Muhadditsin terhadap Riwayat Dhaif, hal. xxviixxviii, pada
catatan kaki no. 17, beliau menyebutkan judul dari 16 karya spesifik
dalam masalah ini, semuanya adalah disertasi atau thesis program
doktoral dan magister, yang mayoritas belum diterbitkan, masih
tersimpan rapi di rakrak perpustakaan Universitas Madinah al
Munawwarah.
Di lain pihak, sejak beberapa tahun silam, tepatnya bersamaan
penelitian skripsi, kami sudah mencoba melakukan penyambungan
antara data dalam tartib nuzuli, riwayat asbabun nuzul surah atau ayat,
maupun catatan sirah nabawiyah. Percobaan ini masih dalam tingkat
yang sangat dini, dan dari segi kualitas riwayat masih belum
tersentuh. Kami baru menyambungkannya begitu saja. Meski
demikian, karena catatan sirah nabawiyah yang kita kenal sebagian
besar peristiwa intinya tidak terbantah kejadiannya, maka alur
penyambungan yang kami temukan sangat mungkin dikembangkan.
Salah satu studi kasus yang kami lakukan adalah catatan sirah tentang
Hijrah Pertama ke Abbyssinia. Peristiwa hijrah tersebut kami kaitkan
dengan surah Maryam, karena dalam catatan sirah disebutkan bahwa
Jafar bin Abi Thalib membacakan pembukaan surah ini kepada Najasyi
(Negus). Dengan meneliti peristiwaperistiwa tertentu dalam sirah yang
menyebutkan sebuah surah atau ayat, kemudian membandingkannya
dengan salah satu versi tartib nuzuli, disertai kajian yang bertanggung
jawab terhadap kesesuaian antara keduanya, insyaAllah sebagian besar
dari apa yang kita cari akan ditemukan.
Tartib Nuzuli dalam SNW
Menurut kami, tartib nuzuli dalam pengertian SNW adalah fenomena
unik, karena mengalami penyempitan jangkauan. Bahan utama kajian
SNW sepanjang yang kami ketahui dan alami takkan beranjak jauh
dari batasan 5 wahyu pertama. Dimulai dengan surah pertama yang
turun, alAlaq ayat 15, kemudian alQalam ayat 17, disusul al
Muzzammil ayat 110, lalu alMuddatstsir 17. Rangkaian ini diakhiri
dengan alFatihah 17. Buku Panduan Berislam yang diterbitkan Dewan
Pimpinan Pusat Hidayatullah pada tahun 2001, terdiri dari 6 jilid, juga
5
Pakar sirah nabawiyah kontemporer yang telah menekuni bidangnya selama 20
tahun di Fakultas Sastra Universitas Baghdad, kemudian melanjutkan penelitiannya
di Universitas Madinah.
35
hanya memuat pembahasan dalam batasan ini. Demikian pula, batasan
seperti ini tidak berubah, sebagaimana dipergunakan dalam edisi
lengkap buku Panduan Dakwah Menyongsong Fajar Islam yang
diterbitkan bertepatan dengan Musyawarah Nasional II Hidayatullah
bulan Juni 2005 silam.
Baik secara ilmiah maupun praktis, pembahasan SNW kebanyakan
berhenti pada alFatihah sebagai wahyu ke5. Jarang terdengar kajian di
luar batasan ini. Bahkan, kajian di luar ayatayat yang ditetapkan
sebagai potongan wahyu pertama dalam suatu surah, juga hampir tidak
ada, kecuali ayat 67 dari alAlaq, yakni dalam konsep thagha. Menurut
kami, cara ini terkesan tidak adil dan pilihpilih. Misalnya, kita tidak
pernah membahas watak universalitas dakwah Islam yang sudah
diproklamirkan sejak awal, yakni dalam ayat 52 surah alQalam. Atau,
keringanan dalam masalah qiyamul lail yang dibicarakan ayat 20 surah
alMuzzammil, yang menurut riwayat turun setahun setelah ayatayat
pembuka surah ini. Dalam pembinaan kader, masalah terakhir ini tentu
akan menyulitkan jika penjelasannya tidak diberikan secara bijak dan
berhatihati.
Sebaliknya, bila kita tidak ingin membatasi kajian ayat dalam sebuah
surah, maka kita harus memutlakkan semua bagiannya sebagai materi
kajian. Pilihan ini dapat dibenarkan juga, karena bagaimanapun
sekarang ini alQuran sudah turun seluruhnya. Akan tetapi, jika kita
konsisten dengan pembatasan ini, maka harus berlandaskan kepada
riwayat yang shahih, bukan sekedar memotongnya begitu saja.
Versiversi Tartib Nuzuli
Ada lebih dari satu versi tartib nuzuli yang dapat ditemukan dalam
kitabkitab induk. Masingmasing dengan berbagai kelebihan dan
kekurangannya. Paling tidak, kami menemukan daftar lengkap 5 versi
tartib nuzuli. Daftar ini tidak termasuk tartib mushhafi yang ada dalam
mushhafmushhaf yang disusun oleh 'Ali, Ibnu Mas'ud, dan Ubayy bin
Ka'ab radhiyallahu 'anhum, serta satu versi resmi yang sekarang kita
kenal sebagai Mushhaf 'Utsmani. Kami hanya memasukkan urutan surah
dalam dua mushhaf sebagai bagian dari 5 versi tartib nuzuli tersebut,
yakni Mushhaf Ibnu 'Abbas dan Mushhaf Ja'far ashShadiq radhiyallahu
'anhuma, karena keduanya mempunyai kemiripan yang besar dengan
riwayatriwayat lain tentang tartib nuzuli.
Kita juga sudah maklum, bahwa dalam training, ceramah lepas maupun
halaqah, sebagian kader senior Lembaga beberapa kali menyinggung
dengan jelas bahwa versi yang kita pergunakan bukanlah satusatunya.
Hanya saja, tampaknya memang sudah ada semacam kesepakatan
bahwa seperti itulah tataurutan SNW, yang artinya kita percaya bahwa
seperti itu pulalah tataurutan penurunan wahyu di zaman Nabi. Namun,
pada saat bersamaan, mayoritas kader juga belum pernah tahu versi
versi lain yang dimaksud, baik sebagian maupun seutuhnya. Bahkan,
versi lengkap dari tataurutan yang dipakai dalam SNW sendiri pun tidak
36
banyak diketahui. Juga, entah darimana asalnya, ada keyakinan bahwa
tataurutan SNW bersumber dari Ibnu Abbas.
Benarkah demikian?
Abu Abdullah AzZanjani,
6
penulis buku Wawasan Baru Tarikh AlQuran,
dalam hal. 101102, ketika membicarakan susunan surah dalam Mushaf
Ibnu Abbas, menulis:
Berikut ini kami kutip susunan mushafnya seperti disebut oleh
Syahrastani dalam pendahuluan tafsirnya. Dalam hal ini dia
(Syahrastani) adalah seorang yang dipercaya: (1) Iqra, (2) Nuun, (3)
Waddhuha, (4) alMuzzammil, (5) alMuddatsir, (6) alFatihah, (7)
Tabbat Yada, (8) Kuwwirat, (9) alAla, (10) Wallaili, (11) Walfajri,
(12) Alam Nasyrah, (13) arRahman, (14) Walashri, (15) alKautsar.
Riwayat ini dengan jelas mencantumkan adhDhuha sebagai surah ketiga
dalam tartib nuzuli, setelah Nuun (alQalam). Jika kita konsisten dengan
keyakinan tentang sumber tataurutan yang kita pergunakan dalam
SNW adalah Ibnu Abbas, maka harus ada penyisipan adhDhuha dalam
kajian SNW kita.
7
Pilihan ini jelas dilematis. Disamping tidak akrab
dengan kultur kita, ditinjau dari riwayatnya juga kontroversial. Kami
akan menguraikan sumber kontroversinya pada tempatnya nanti, insya
Allah. Kami menyebut bentuk tataurutan ini sebagai Versi Pertama.
Agaknya, riwayat tentang tataurutan yang benarbenar sesuai dengan
SNW harus dikutip dari sumber lain. Masih dalam buku yang sama, hal.
7076, AzZanjani menyebutkan:
Dalam masalah ini saya menggunakan rujukan buku Nazhmud Durar fi
Tanasubil Aayi was Suwar
8
yang disusun oleh Ibrahim bin Umar alBiqai,
terbitan Mesir; kitab alFihrist yang disusun oleh Ibnu Nadim, terbitan
Mesir; dan kitab yang ditulis oleh Abu alQasim Umar bin Muhammad
bin Abdul Kafi seperti telah disebutkan diatas yang kemudian dikutip
oleh Noldeke dalam bukunya des Chefte der Qeran (Sejarah alQuran)
6
Seorang profesor, pemikir dan mujtahid Syiah terbesar di masanya. Buku yang
kami kutip ini, dalam edisi aslinya diterbitkan di Teheran (Iran) pada tahun 1984.
Kata pengantarnya ditulis oleh Dr. Ahmad Amin, penulis trilogi Fajrul Islam,
Dhuhal Islam dan Ayyamul Islam, yang pernah bertemu dengan Prof. Az Zanjani
pada tahun 1935. Dalam kata pengantarnya untuk buku azZanjani tersebut,
Ahmad Amin menulis, Saya menilai beliau memiliki wawasan ilmu yang luas,
pemikirannya mendalam tentang ilmu filsafat dengan segala selukbeluk dan
perkembangannya, berjiwa bersih dan berakhlak mulia ... (dalam buku ini) beliau
berhasil menghimpun sejumlah pendapat yang ada di berbagai buku karangan
tokohtokoh dari kalangan Sunni maupun Syii.
Meski mengutip dari sumber Syi'ah kemungkinan besar akan memicu keheranan,
namun kami melihat bahwa isi buku tersebut cukup obyektif dan banyak merujuk
kepada sumbersumber Sunni. Tidak tampak 'ashabiyah kepada madzhab tertentu,
sehingga pengutipan ini tidak perlu dipermasalahkan dari segi keabsahannya.
7
Disini, dan juga versiversi lain, sengaja kami kutip sebagian kecil saja, agar
tampak jelas perbedaannya satu sama lain. Untuk selengkapnya, silakan merujuk
Lampiran di akhir risalah ini.
8
Pembetulan dari Zubdatul Itqan. Aslinya tertulis: Nadzmud Durar wa Tanasuqul
Ayat wasSuar. Penyusun.
37
yang oleh Noldeke dikatakan, bahwa buku Abu alQasim tersebut
terdapat di perpustakaan Cod Lugd 647 Warn.
Sejarah turunnya surahsurah: (1) alAlaq, (2) alQalam, kecuali ayat
1733 dan 4850, (3) alMuzzammil, kecuali ayat 10, 11 dan 20, (4) al
Muddatsir, (5) alFatihah, (6) alMasad, (7) atTakwir, (8) alAla, (9) al
Lail, (10) alFajr, (11) adDhuha, (12) Alam Nasyrah, (13) alAshr, (14)
alAdiyat, (15) alKautsar.
9
Tataurutan ini, kami menyebutnya Versi Kedua, persis dengan SNW.
Kami tidak tahu apakah Allahuyarham Ustadz Abdullah Said merujuk
sumber yang sama dengan AzZanjani, yakni alBiqai dan Abul Qasim.
Setidaknya, apakah Buya Malik juga merujuk versi ini dalam menulis
Tafsir Sinarnya? Sebab, menurut informasi yang kami dapatkan, buku
beliau ini merupakan rujukan yang berpengaruh kuat kepada Ustadz
Abdullah Said dalam merumuskan konsepkonsep dasar SNW.
Di tempat lain, Muhammad Izzah Darwazah menulis atTafsir alHadits
yang secara jelas menafsiri surah demi surah dalam tataurutan seperti
SNW. Kitab ini diterbitkan oleh Dar Ihya' alKutub al'Arabiyyah 'Isa al
Baabi alHalabi wa Syurkaahu, Mesir, pada tahun 1381 H (1962 M).
Bahkan, tataurutan yang dipergunakan dalam tafsir beliau tidak
berbeda satu huruf pun dengan Versi Kedua ini. Tata urutan ini juga
merupakan rujukan yang dipergunakan Quraish Shihab dalam menulis
karya tafsirnya yang berdasar tartib nuzuli. Tampaknya, versi inilah yang
paling populer dan banyak diterima.
Namun, sebagai catatan, juga perlu diketahui bahwa riwayat sepersis
SNW ini bukanlah ijma para ulama alQuran. Sebab, di dalam hal. 76
77, AzZanjani justru mengutip versi lain yang tidak menguatkan versi
sebelumnya. Ada perbedaan tataurutan yang cukup mencolok, baik
dalam urutannya maupun jumlah surahnya.
Berdasarkan susunan yang disebut oleh Ibnu Nadim (alFihrist, hal. 37
cetakan Mesir), dengan sanad Muhammad bin Numan bin Basyir, di
bawah ini kami tampilkan urutan ayatayat yang turun karena sanadnya
dapat diandalkan. Antara yang disebut dalam kitab Ibrahim bin Umar al
Biqai dan kitab AbilQasim Umar bin Muhammad bin Abdul Kafi, seperti
dikutip Noldeke, terdapat sedikit perbedaan.
Ia berkata, Ayat yang pertamatama turun kepada Nabi SAW di Makkah
adalah: (1) Iqra s/d ma lam yalam, (2) Nun walqalam, (3) Ya ayyuhal
muzzammil, (4) alMuddatsir, (5) Tabbat (menurut riwayat Mujahid), (6)
Idzassyamsu kuwwirat, (7) Sabbihisma rabbikal ala, (8) Alam nasyrah,
(9) alAshr, (10) Walfajr, (11), Waddhuha, (12) Wallaili, (13) Wal
adiyat, (14) Inna athaina, (15) Alhaakumut takatsur.
Dalam Versi Ketiga ini, bahkan tidak dicantumkan dimana posisi al
Fatihah, baik sebagai surah Makkiyah maupun Madaniyah. Versi ini
memuat halhal yang membingungkan, dan hanya sampai pada surah
Makkiyah saja, sebab untuk tataurutan surah Madaniyah diambil dari
sumber yang berbeda oleh Ibnu Nadim.
9
Daftar ini kami sederhanakan dari aslinya yang berbentuk tabel.
38
Versi lain yang hampir senada dengan versi Ibnu Abbas adalah Versi
Keempat, yakni susunan surahsurah alQuran menurut Imam Jafar
ashShadiq radhiyallahu 'anhu, salah seorang pemuka Ahlul Bait. Jika
diperhatikan dengan seksama, maka ada kemiripan yang jelas diantara
keduanya. Perbedaan terjadi pada variasivariasi kecil, dalam posisi
surahsurah tertentu. Disini, surah alFatihah juga tidak ada, dan
daftarnya hanya berisi 113 surah. Abu Abdullah azZanjani menyebutkan
dalam bukunya, hal. 103:
Susunan surahsurah alQuran menurut Imam Jafar asShadiq r.a.
sebagaimana tersebut dalam pendahuluan tafsir Syahrastani: (1) Iqra,
(2) Nuun, (3) alMuzzammil, (4) alMuddatsir, (5) Tabbat, (6) Kuwwirat,
(7) alAla, (8) Wallaili, (9) Walfajri, (10) Waddhuha, (11) Alam
Nasyrah, (12) Walashri, (13) Waladiyat, (14) alKautsar, (15) at
Takatsur.
Ada satu sumber lagi yang kami sebut Versi Kelima, yang dinukil Imam
azZarkasyi dalam alBurhan fi Ulumil Quran I/193194. Sekilas versi
ini mirip dengan Versi Kedua, kecuali dalam kedudukan beberapa
surahnya, seperti alFatihah dan anNashr. Beliau menyebutkan alLahab
setelah alMuzzammil, bukan alFatihah dan tidak memastikan al
Fatihah sebagai surah Makkiyah atau Madaniyah. Surah ini
diperselisihkan kapan penurunannya. Untuk surah anNashr (idza jaa'a
nashrullahi), ada di urutan ke101 dan bukan surah terakhir turun
seperti disebutkan Versi Kedua. Jika dibandingkan secara utuh, versi ini
justru persis dengan Versi Keempat atau susunan surah dalam Mushhaf
Ja'far ashShadiq.
Versi Keenam atau Versi Alternatif adalah hasil penelitian pakar sirah.
Kami juga mendalami penelitian ini dalam buku yang sekarang Anda
baca. Dari hasil penelusuran tersebut, ditemukan susunan yang berbeda
lagi, yaitu:
AlAlaq 15.
AlMuddatsir 15.
AlMuzzammil 19.
Setelah itu, masih melibatkan tanda tanya. Sebab, pembahasannya
belum spesifik tentang alQuran; masih berbaur dengan pentarjihan
atas riwayatriwayat sirah. Kemungkinan besar, sebagimana akan
dibahas secara tersendiri nanti, alFatihah ayat 17 ada di urutan ke4
diiringi alLahab ayat 15 di urutan ke5. Kami sendiri cenderung
memilih versi ini, dengan pertimbanganpertimbangan yang akan kami
kemukakan pada tempatnya nanti. Selengkapnya kami akan
menguraikannya dalam Bagian II, insyaAllah. Sedangkan daftar lengkap
seluruh surah menurut versiversi tersebut dapat diperiksa dalam
Lampiran di penghujung buku ini.
Versiversi Lain
Sebetulnya, kami juga menemukan dua versi lagi, yang keduanya
dinisbatkan kepada 'Ali bin Abi Thalib. Pertama, dinukil Ibnu Hajar
39
dalam Fathul Bari IX/42. Hanya saja, karena tidak lengkap sehingga tak
kami cantumkan sebagai satu versi khusus. Ibnu Hajar menulis:
Konon katanya Mushhaf 'Ali disusun menurut tata urutan penurunan (al
Qur'an). Awalnya adalah (1) Iqra', kemudian (2) adDatsr (alMuddatsir),
kemudian (3) Nun walQalami, kemudian (4) alMuzzammil, kemudian
(5) Tabbat, kemudian (6) atTakwir, kemudian (7) Sabbih, demikian
sampai akhir surahsurah Makkiyah, kemudian (dilanjutkan) dengan
surahsurah Madaniyah.
Versi ini lebih unik lagi, dan memuat penguat bahwa wahyu kedua
adalah alMuddatsir. Selain itu, penempatan alQalam tampak tidak
lazim dibanding versi lainnya. Antara alMuddatsir dan alMuzzamil
dipisah, padahal dalam versi lainnya diseiringkan atau bahkan urutannya
saling tertukar. Surah Sabbih yang disebutkan Ibnu Hajar diatas,
maksudnya surah alA'la yang dimulai dengan kata sabbihisma rabbikal
a'la. Hal ini dapat diketahui dengan memperbandingkannya dengan versi
versi lain. Setelah apa yang disebutkan Ibnu Hajar itu, sayangnya tidak
ada penjelasan lagi.
Kedua, sebuah versi yang diungkap secara sepintas oleh Syekh 'Abdul
Fattah Abu Ghaddah dalam surat yang dinukil oleh Syekh Muhammad
'Izzah Darwazah. Versi ini juga dinisbatkan kepada 'Ali, dan dikatakan
bersumber dari alItqan fi 'Ulumil Qur'an karya asSuyuthi. Hanya saja,
saat ini kami tidak memiliki naskah alItqan sehingga belum sempat
melakukan verifikasi.
Syekh Darwazah sendiri menyatakan bahwa sekurangkurangnya ada 7
versi yang dapat beliau temukan, sebagaimana diungkap dalam
pengantar tafsirnya, atTafsir alHadits. Menurut beliau, tiga versi
dimuat asSuyuthi dalam alItqan, yang dinisbatkan kepada Jabir bin
Zaid, alHusain, 'Ikrimah, Ibnu 'Abbas dan ditambah satu versi lagi yang
tidak disebutkan pemiliknya. Ada satu versi lain lagi juga ditemukan
dalam Tafsir alKhazin, kemudian satu versi lain dalam muqaddimah
Tafsir Majma'ul Bayan.
10
Kemudian terdapat versi lain yang tercantum
dalam mushaf manuskrip (tulisan tangan) oleh kaligrafer terkenal,
Bagdarugali (dicetak di bawah pengawasan Kementerian Dalam Negeri
Mesir atas izin dari sesepuh qari' Mesir, 'Abdul Hamid Ahmad Hanafi).
Demikianlah, masalah tata urutan ini merupakan sesuatu yang tidak
terdapat kesepakatan bulat. Atau, meminjam penjelasan Syekh
Darwazah dalam atTafsir alHadits I/12:
10
Karya Imam athThibrisi, seorang ahli tafsir otoritatif di kalangan Syi'ah. Beliau
termasuk ulama' moderat dan pendapatpendapatnya dekat dengan Ahlus Sunnah.
Dalam tafsirnya, beliau membantah banyak keyakinan kaum Syi'ah ekstrem,
seperti keyakinan sebagian sekte yang mendakwakan bahwa alQur'an yang
beredar sekarang telah dikorupsi sampai duapertiga bagiannya. Konon, kelompok
ekstrem ini mempunyai mushaf sendiri yang disebut Mushaf Fathimah, yang tiga
kali lebih banyak dibanding mushaf yang ada. Ini adalah kebohongan dan fitnah
belaka. Lihat: Riwayat Sembilan Imam Fiqh, karya Syekh Abdurrahman asy
Syarqawi yang diperkaya oleh H.M.H. alHamid alHusaini, hal. 9698. Penjelasan
ini menarik, sebab dimuat dalam bab yang justru menguraikan biografi Imam Zayd
bin 'Ali Zaynal 'Abidin, salah seorang Imam Ahlul Bait yang sangat berpengaruh.
40
Diantara ketujuh tata urutan ini, terdapat beberapa perbedaan dari sisi
mana yang didulukan dan diakhirkan, serta mana yang Madaniyah dan
Makkiyah. Hanya saja, disini dapat kami ungkapkan bahwa: tidak
mungkin untuk memastikan posisi urutan yang benar untuk turunnya
surahsurah alQur'an secara keseluruhan, sebagaimana tidak ada pula
satu tata urutan pun yang dapat bertahan terhadap kritik atau
bersandarkan kepada sanadsanad yang kuat lagi terpercaya. Sebagai
tambahan atas masalah ini, bahwasanya pendapat mengenai tata urutan
surahsurah menurut penurunannya merupakan sesuatu yang
mengizinkan adanya sedikit kelonggaran. Disana terdapat banyak surah
Makkiyah dan Madaniyah yang terlihat jelas dari isi kandungannya,
bahwa bagianbagiannya tidaklah diturunkan sekaligus atau saling
mengiringi. Akan tetapi, sebagian penggalannya diturunkan terlebih
dahulu, kemudian turun sebagian penggalan surahsurah lainnya,
kemudian penggalan selebihnya diturunkan setelah jeda waktu tertentu.
Penggalanpenggalan surah (yang termasuk) urutan awal terkadang
diturunkan sesudah penggalanpenggalan surah (yang termasuk) urutan
lebih belakangan, atau sebaliknya. Penggalanpenggalan surah ini
dirangkaikan setelah penurunannya lengkap. Posisi tata urutannya pun
acap terpengaruh oleh satu atau beberapa penggalan pertama surah ini.
Sebagian surah yang diletakkan di bagian permulaan tata urutan lebih
tepat jika diletakkan di posisi lebih akhir, atau sebaliknya. Sebagian
surah yang diriwayatkan sebagai Madaniyah lebih pas jika digolongkan
sebagai Makkiyah, atau sebaliknya. Hal ini akan kami ingatkan dalam
konteks penafsiran setiap surah, insyaAllah.
Meskipun demikian, hal ini tidaklah bermakna bahwa berbagai tata
urutan yang disandarkan kepada riwayatriwayat klasik, atau kepada
para tokoh Sahabat maupun Tabi'in menjadi tidak shahih seluruhnya,
atau tidak bisa dijadikan sebagai rujukan. Sebab, mayoritas surahsurah
Makkiyah diturunkan sekaligus lengkap atau dalam penggalanpenggalan
yang saling beriringan. Sebuah surah yang baru tidak dimulai
(penurunannya) sampai surah sebelumnya lengkap. Isi kandungan banyak
surah Makkiyah dan Madaniyah pun mengindikasikan bahwa apa yang
diriwayatkan terkait asbabun nuzul tersebut adalah benar atau
mendekati benar. Sementara itu, ada pula yang kami anggap bahwa di
dalamnya mengandung sesuatu yang mengharuskan sikap abstain (tidak
menentukan sikap). Juga, semua itu masih dalam batasbatas
"mendekati" dan pentarjihan belaka.
Demikianlah, diskusi tentang tartib nuzuli ini harus berakhir dengan
sebuah kesimpulan bahwa kita hanya mampu untuk melakukan suatu
analisa perbandingan, tarjih, serta memberi toleransi yang cukup
leluasa kepada adanya celahcelah kecil yang tidak mungkin ditambal.
Kasus ini terutama sangat terlihat pada saat harus menganilisis tata
urutan surah secara lengkap atau memastikan sebuah surah sebagai
urutan kesekian dengan hanya bersandar kepada analisis bagian
pembukanya, mengabaikan bagian selebihnya.[]
Wallahu a'lam bishshawab.
41
BAB IV
MEMAKNAI MARHALAH WAHYU
Pada kenyataannya, selain mempunyai tartib nuzuli atau tataurutan
penurunan, alQuran memang mempunyai marhalah nuzul atau
marhalah wahyu, yakni fasefase penurunan wahyu. Sebab, dengan
kenyataan bahwa ia turun bagian demi bagian, maka setiap bagiannya
pun memiliki kaitan khusus dengan konteks di sekitarnya dalam sirah
nabawiyah. Dan, mengingat sirah sendiri mempunyai tahapan, maka
wahyu yang turun di dalamnya pun mesti merekam secara tidak
langsung ciriciri tahapan yang dilaluinya.
Jika tartib nuzuli membahas urutan kronologis, maka marhalah wahyu
berfokus pada makna dan isi kandungan wahyuwahyu yang serupa satu
sama lain sehingga dapat dikelompokkan dalam satu tahapan. Kedua
topik ini saling berkaitan dan tak dapat dipisahkan, karena dengan
mengetahui tartib nuzuli maka akan dapat pula dikaji marhalah wahyu,
sementara dengan memahami marhalah wahyu maka tartib nuzuli pun
akan menjadi data yang hidup dan bergerak mengikuti irama ayat
ayat yang ada di dalamnya.
Sumber Marhalah Nuzulnya Wahyu
Tidak mungkin memahami marhalah wahyu tanpa dilandasi penguasaan
yang baik terhadap sirah nabawiyah dan asbabun nuzul. Pimpinan Umum
Ustadz 'Abdurrahman Muhammad sendiri pernah menyatakan, bahwa
jalan terbaik untuk memahami penerapan alQur'an adalah penelusuran
terhadap sirah.
11
Menurut hemat kami, itu dapat berarti pula keharusan
meneliti sanad dan matan dalam sirah sekaligus asbabun nuzul. Proyek
ini cukup ambisius, namun bukannya mustahil karena bahanbahannya
relatif melimpah.
Dalam muqaddimah untuk kitabnya, Lubabun Nuqul fi Asbabin Nuzul,
yang dicetak bersama Tafsir alJalalain I/3, Imam asSuyuthi menulis:
Pengetahuan tentang asbabun nuzul memiliki banyak faidah. Adalah
tidak benar orang yang menyatakan bahwa ilmu ini tidak berguna, sebab
asbabun nuzul (adalah sebuah rekaman fakta) yang bergulir seiring
perjalanan sejarah (turunnya alQur'an). Diantara faidahnya adalah
memastikan makna atau menghilangkan kemusykilan (dalam memahami
alQur'an).
Imam alWahidi menyatakan bahwa tidak mungkin untuk mengetahui
penafsiran suatu ayat tanpa memastikan kisah (di baliknya) serta
asbabun nuzulnya. Menurut Ibnu Daqiiqil 'Ied, penjelasan asbabun nuzul
adalah cara yang kuat untuk memahami maknamakna alQur'an. Dalam
pandangan Ibnu Taimiyyah, mengetahui asbabun nuzul sangat
membantu untuk memahami suatu ayat. Sebab, mengetahui sabab akan
mendorong pengertian terhadap musabbabnya. Sebagian kalangan salaf
11
Kuliah Subuh, 09 Juni 2005 di masjid Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta.
42
pernah merasa sangat kesulitan dalam memahami maknamakna ayat
tertentu, sampai akhirnya mereka menemukan asbabun nuzulnya
sehingga kesulitan itupun teratasi.
Imam asSuyuthi juga melanjutkan, bahwa:
Menurut alWahidi, tidak dibenarkan berbicara tentang asbabun nuzul
kecuali berdasarkan riwayat dan mendengar langsung (kisahnya) dari
orangorang yang menyaksikan penurunannya, tidak mengarangngarang
sendiri terhadap asbabun nuzul tersebut, dan berusaha menelitinya.
Muhammad bin Sirin bercerita, bahwa beliau pernah bertanya kepada
'Ubaidah tentang (maksud) suatu ayat alQur'an, maka dijawab,
"Bertaqwalah kamu kepada Allah, dan katakanlah yang benar lagi tepat
(sadaad), sungguh telah pergi orangorang yang mengetahui dalam
masalah apa suatu ayat alQur'an itu diturunkan."
Ringkasnya, asbabun nuzul dan juga marhalah nuzul hanya mungkin
diperoleh dengan penelitian yang sungguhsungguh terhadap warisan
intelektual generasi Sahabat yang direkam oleh para penerusnya dalam
kitabkitab mu'tabar. Bagian ini tidak mungkin menerima ijtihad, sebab
etika dan kejujuran ilmiah menuntut bahwa faktafakta sejarah di masa
silam pada dasarnya hanya bisa dibaca dan diinterpretasi, bukannya
dibuat sendiri sesuai dengan keinginan.
Enam Marhalah Nuzulnya Wahyu
Sebuah kajian yang menarik telah dilakukan oleh Syekh Abul Qasim an
Nisabury.
12
Menurut penelitian beliau, wahyuwahyu Makkiyah turun
dalam tiga marhalah, sebagaimana wahyuwahyu Madaniyah yang juga
turun dalam tiga marhalah.
Diantara ulumul Quran yang paling mulia adalah pengetahuan tentang
penurunan dan tempattempatnya, serta tataurutan wahyu yang
diturunkan di Makkah pada fase permulaan (ibtida), pertengahan
(wasath), dan penutup (intiha); demikian pula tataurutan wahyu yang
diturunkan di Madinah pada fase permulaan, pertengahan, dan
penutup; kemudian wahyu yang diturunkan di Makkah dan hukumnya
bersifat Madaniyah, wahyu yang diturunkan di Madinah dan hukumnya
bersifat Makkiyah.
13
Bila kita membiarkan datadata ini seperti adanya, enam marhalah
wahyu memang terkesan tidaklah terlalu penting dan relevan dengan
dakwah. Bagian ini hanya akan memperlihatkan urgensinya jika
diterapkan terhadap wahyuwahyu yang dimaksud secara langsung,
lantas kita coba membandingkan pengertian yang didapat dari wahyu
wahyu tersebut dengan catatan sirah.
12
Abul Qasim alHasan bin Muhammad bin Habib anNisabury, seorang ahli nahwu,
ahli tafsir, dan imam qiraat di masanya, wafat tahun 406 H.
13
Lihat: AlBurhan fi Ulumil Quran I/192; AlItqan fi Ulumil Quran I/1213;
Mabahits fi Ulumil Quran, hal. 169. catatan kaki ini dari buku aslinya
[Penerjemah].
43
Untuk tujuan ini pula, Dr. Subhi asShalih telah memberikan sebuah
analisa yang lebih luas terhadap marhalahmarhalah tersebut, dengan
menyajikan pembahasan terhadap surahsurah yang disepakati oleh para
ahli sejarah (muarrikhun) maupun mufassirun sebagai bagian dari fase
pertama, kedua dan ketiga dalam periode Makkiyah. Pada hal. 185, buku
Mabahits, beliau menulis:
Seandainya kita meminjam pemikiran Abul Qasim anNisabury yang
menerapkan metode historiskronologis dalam mengurutkan (surah)
Makkiyah dan Madaniyah, niscaya tewujud bagi kita sebagai penerapan
dan pengaruh dari teorinya pembagian masingmasing dari surahsurah
Makkiyah maupun Madaniyah dalam tiga marhalah: permulaan
(ibtidaiyah), pertengahan (mutawassithah) dan penutup (khitamiyah).
Dan tidaklah terlalu sukar untuk menentukan marhalahmarhalah
tersebut jika kita kembalikan kepada isnadisnad yang paling shahih,
disertai penerapan standarstandar para kritikus hadits. Keraguan kita
dalam (membahas) bagian Madaniyah akan sangat sedikit, bahkan tidak
perlu disebutkan. Sebab, Islam telah tersebar luas di Madinah, alQuran
sudah dihafalkan, banyak terdapat qurra (pembaca) dan katib (penulis)
wahyu, mudahnya saranasarana untuk menyalin (naskah), menukil,
meriwayatkan serta tafaqquh fiddien. Adapun bagian Makkiyah, maka
logika peristiwanya sendiri sudah menyebabkan munculnya kebingungan
dalam menggambarkan marhalahmarhalah di dalamnya, terlebih pada
masa permulaan (dakwah). Sebab, Islam berawal di Makkah sebagai
sesuatu yang asing (gharib), tidak ada yang mengimani Rasulullah SAW
pada tahuntahun pertama (turunnya) wahyu kecuali sedikit sekali,
maka tidak mudah bagi orang di luar para pendahulu diantara mereka
untuk memeriksa secara cermat tahaptahap turunnya (wahyu), disertai
menentukan permulaanpermulaannya dengan pasti.
Meskipun demikian, jika kita dapat mengabaikan sisisisi yang
diperselisihkan para peneliti dalam (menentukan) tataurutan kronologis
(turunnya wahyu), dimana mereka sendiri tidak bisa menentukan mana
yang turun lebih dulu dan mana yang lebih belakangan, (sebenarnya)
tiada halangan bagi kita untuk meletakkan tangan diatas sekelompok
(wahyu) yang serupa satu sama lain, juga penggalan (wahyu) yang
seirama antara yang satu dengan lainnya, yang akan tampak jelas di
dalamnya warna wajah tertentu (sehingga) membuat kita dapat
memastikannya sebagai (bagian) dari marhalah pertama, pertengahan,
atau penutup dalam (surahsurah) Makkiyah maupun Madaniyah.
Diantara surahsurah yang disepakati oleh muarrikhun dan mufassirun
bahwa ia termasuk diantara wahyuwahyu permulaan, atau dalam istilah
modern kita sebut almarhalah makkiyah alula (fase Makkah pertama),
adalah: alAlaq, alMuddatstsir, atTakwir, alAla, alLail, asySyarh,
alAdiyat, atTakatsur, serta anNajm. Dan diantara (wahyu) yang
termasuk almarhalah almutawassithah (fase pertengahan) di Makkah
adalah: Abasa, atTiin, alQariah, alQiyamah, alMursalat, alBalad,
serta alHijr. Sedangkan diantara (wahyu) yang termasuk almarhalah
alkhitamiyah (fase penutup) di Makkah adalah: ashShaffat, az
Zukhruf, adDukhan, adzDzariyat, alKahfi, Ibrahim, serta asSajdah.
Di akhir bab ini, insyaAllah akan kami sajikan secara lengkap
terjemahan dari analisa ringkas yang dibuat oleh Dr. Subhi ashShalih
44
tentang tiga marhalah wahyu Makkiyah. Adapun mengenai tiga marhalah
wahyu Madaniyah setelah itu, beliau menulis di hal. 230231, sbb:
Tidak diragukan lagi, bahwa kami telah berpanjang lebar membicarakan
surahsurah Makkiyah dalam 3 marhalahnya. Tujuan kami dalam hal ini
sangat jelas, yakni menelusuri tahaptahap penurunan wahyu untuk
menentukan mana yang (turun) terlebih dahulu dan mana yang lebih
belakangan, juga untuk menunjukkan secara lebih jelas pertanda
pertanda yang kami maksudkan sebagai (dasar) perntarjihan batasan
waktu yang di dalamnya diturunkan sekelompok surah dan ayat. Kami
pun telah menyinggung sukarnya memastikan (batasan) dalam
menggambarkan marhalahmarhalah (wahyu) Makkiyah, terlebih dalam
masa permulaan (turunnya) wahyu; juga (kami telah singgung)
mudahnya pemastian semacam itu dalam menentukan marhalah
marhalah (wahyu) Madaniyah sampai wahyu yang terakhir diturunkan.
Kami menjelaskan sebabsebab keadaan itu dikarenakan telah
menyebarnya Islam dan lebih mudahnya (untuk ditemukan) piranti
piranti pencatatan, penulisan dan periwayatan selama di Madinah.
Dan jika kita mengesampingkan jumlah sangat sedikit dari surahsurah
yang diperselisihkan status keMadaniyahannya, atau adanya berbagai
riwayat yang (berlainan) tentang urutannya apakah lebih awal atau lebih
akhir; maka cukup leluasa bagi kami untuk bersepakat dengan para
peneliti di kalangan ahli tafsir yang menyimpulkan bahwa Marhalah
Madaniyah Ula dimulai dari surah alBaqarah, disusul alAnfal, kemudian
Ali 'Imran, alAhzab, alMumtahinah, anNisa', dan alHadid. Untuk
Marhalah Madaniyah Mutawassithah diawali dari surah Muhammad,
diikuti athThalaq, alHasyr, anNuur, alMunafiqun, alMujadilah dan al
Hujurat. Sementara untuk Marhalah Madaniyah Tsalitsah Niha'iyah
dibuka dengan surah atTahrim, dilanjutkan alJumu'ah, alMa'idah, at
Taubah dan anNashr.
Hanya saja, karena pertimbangan panjangnya surah, maka beliau hanya
menyertakan analisa atas tiga surah yang masingmasing mewakili satu
fase, yakni alBaqarah dari marhalah ula, anNuur dari marhalah
tsaniyah, dan alMaidah dari marhalah tsalitsah. Kami juga menyajikan
tulisan beliau mengenai masalah ini, insyaAllah.
Marhalah Wahyu Makkiyah dan Madaniyah
Jika kita mempergunakan tartib nuzuli Versi Kedua (alBiqai dan Abul
Qasim), misalnya, maka untuk wahyu Makkiyah kita akan memperoleh
datadata, sbb:
Marhalah Ula dimulai dari al'Alaq sampai anNajm, yakni surah
urutan ke23. Dengan kata lain, marhalah pertama di Makkah berisi
23 surah.
Marhalah Wasath dimulai dari Abasa (24) dan berakhir pada alHijr
(54), yang di dalamnya memuat 31 surah.
Marhalah Intiha', terkandung 32 surah selebihnya dari 86 surah
Makkiyah, mulai dari alAnam sampai alMuthaffifin.
45
Sedangkan untuk wahyuwahyu Madaniyah, juga dengan mempergunakan
tartib nuzuli Versi Kedua (alBiqai dan Abul Qasim), maka tata urutan
dan marhalah yang beliau rinci adalah, sbb:
Marhalah Ula dimulai dari alBaqarah (87) sampai alHadid (94), yang
terdiri dari 8 surah.
Marhalah Wasath dimulai dari Muhammad (95) dan berakhir pada al
Hujurat (106), yang di dalamnya memuat 12 surah.
Marhalah Intiha', terkandung 8 surah selebihnya dari 28 surah
Madaniyah, mulai dari atTahrim (107) sampai anNashr (114).
Dari pengelompokan tersebut, dan dengan merujuk kepada catatan
sirah, kita akan memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang situasi
pada saat wahyu diturunkan, kemudian menarik benang merah faktanya
ke masa kini. Dalam konteks SNW, penjenjangan tarbiyah kader dapat
pula didasarkan kepada marhalah wahyu ini.
14
Sebenarnya, para ulama alQuran menaruh perhatian yang sangat besar
terhadap marhalah wahyu ini, dimana mereka nyaris tidak menyisakan
satu ruang pun yang terlewat dari perincian dan pendalaman.
Pembahasan yang ada telah mencapai sesuatu yang luar biasa, dimana
terdapat riwayat tentang wahyu yang diturunkan siang hari, malam hari,
di perjalanan, dalam kondisi muqim, di musim dingin, di musim panas,
bahkan di rumah siapa dari para istri Rasul SAW, sebagaimana telah kami
singgung sebelum ini.
Akan tetapi, bila sebuah pengkajian yang berkesinambungan dirasa
sukar, mengingat sebagian surah tersebut ada yang panjang, maka dapat
dicoba untuk melihat ayatayat pembuka setiap surah, antara 5 sampai
10 ayat. Menurut riwayat, kebanyakan alQur'an diturunkan dalam
jumlah ini. Namun, hal itu tidak mutlak dan terus menerus dilakukan
seperti ini, karena memang sukarnya menemukan riwayat tentang
kepastian kapan ayatayat selanjutnya diturunkan, yakni setelah bagian
pembukanya tersebut turun. Sebagai misal, ayat ke6 sampai penutup
surah al'Alaq saja, yang pembukaannya adalah wahyu pertama,
14
Perincian tentang surahsurah apa saja yang terdapat dalam setiap marhalah
dapat dilihat dalam Lampiran, sementara pertimbanganpertimbangan ilmiah yang
menjadi landasannya dapat dibaca pada Bagian III dari buku ini, khususnya tentang
penggabungan antar versi tartib nuzuli. Untuk pembahasan yang lebih luas dan
rinci, sebenarnya ada beberapa literatur dengan pokokpokok pikiran yang sejalan
dengan ide diatas, yang ditulis Syekh Muhammad Izzat Darwazah. Berdasarkan
informasi sementara, bukubuku tersebut adalah: (1) Ashr anNabiy shallallahu
alaihi wa sallam, (2) Siirotu arRasul shallallahu alaihi wa sallam min alQuran,
(3) AlQuran alMajiid, dan (4) adDustur alQurani fi Syuuni alHayat. Kitab
kitab ini diterbitkan di Syiria dan Mesir pada tahuntahun 1940 dan 1950an.
Sayang, kami belum pernah mendapatkan naskah kitabkitab ini, baik dalam edisi
asli maupun terjemahnya. Untuk penafsiran lengkap menurut tartib nuzuli, beliau
juga menulis satu kitab yang terdiri dari 12 jilid, masingmasing sekitar 280
halaman, berjudul atTafsir alHadits. Kitab ini diterbitkan di Mesir pada tahun
1962. Tampaknya, hampir semua perpustakaan induk di Kampus IAIN seluruh
Indonesia memiliki kitab yang disebut terakhir ini; setidaknya di Jakarta,
Yogyakarta, Surabaya dan Malang, sebagaimana yang kami ketahui.
46
diturunkan jauh setelah zaman da'wah jahriyah. Surahsurah yang lain
pun mengalami hal yang kurang lebih serupa, kecuali sebagian surah
yang pendek dimana ia turun sekaligus lengkap. Pemaparan atas hal ini
dapat dilihat dalam Bab IV Tarikh Ayatayat alQur'an di Bagian I ini
juga.
Manfaat dan Fungsi Marhalah Wahyu
Dalam konteks manhaj SNW, kajian ini sangat penting, karena
setidaknya ia memiliki dua manfaat langsung.
Pertama, dengan mengetahui adanya fasefase ini, maka jalan untuk
melakukan sebuah pelevelan tarbiyah menjadi terbuka lebar. Paling
kurang, fasefase ini bisa menjawab pertanyaan para kader yang telah
berkalikali mengikuti dan membahas SNW sampai akhirnya merasa
terhenti pada titik tertentu, Setelah alFatihah, lalu apa lagi?
Sebuah pertanyaan yang sederhana, dengan jawaban yang masih
menggantung.
Kedua, fasefase ini memperjelas pemaknaan maupun penjelasan kita
terhadap setiap surah. Sebab, setiap fase wahyu senantiasa terkait
dengan periode tertentu dalam sirah nabawiyah yang catatan
peristiwanya, baik secara global maupun terperinci, diketahui dengan
jelas. Sudah menjadi kaidah dalam penafsiran alQuran, bahwa diantara
sarana ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan untuk mengetahui
makna suatu ayat atau surah adalah dengan mengenali asbabun nuzul
atau konteks peristiwa penurunannya.
Metode ini akan membantu penguatan kajian maupun penyampaian
materi SNW dari sisi ilmiah, sehingga lebih dapat diterima oleh kalangan
yang beragam. Secara internal, adanya pendasaran yang benar akan
meningkatkan spirit dan ketenangan dalam mengamalkannya, bi
idznillah.
Sebuah Model Pemaknaan
Marhalah wahyu tidaklah bermakna apaapa tanpa usaha yang jelas
untuk memahami setiap wahyu yang ada di dalamnya, ayat demi ayat,
penggal demi penggal, dan kemudian membangun perspektif yang utuh
terhadap fungsi masingmasingnya dalam menyusun suatu kepribadian
baru, yang tercermin tahap demi tahap dalam diri Rasulullah dan para
Sahabatnya. Bagaimanapun, wahyu ibarat palu penempa, untuk
mengeluarkan sifat asli serta keunggulan baja, agar lenyap darinya kerak
maupun karat, sehingga kelak tampil penuh wibawa dan kekuatan dalam
menegakkan serta menjaga kehormatan agama Allah.
Sebagai model yang dapat dikembangkan, dianut metodenya, serta
diambil sebagai sumber inspirasi, kami akan menyertakan kutipan
lengkap dari hasil analisa Dr. Subhi ashShalih terhadap marhalah
wahyu, yang beliau tulis dalam Mabahits hal. 186233. Selengkapnya
dapat dilihat dalam Lampiran 6.
47
Teks ini memuat berbagai penjelasan yang sangat bermanfaat, yang bagi
kita sayang jika dilewatkan. Kami menerjemahkan dan memuatnya
secara utuh disini, mengingat tidak semua pembaca dapat dengan
mudah menemukan buku asli maupun edisi terjemahannya. Seluruh
catatan kaki maupun referensi yang dirujuk pada lampiran tersebut
adalah asli dari buku tersebut, kecuali jika diberikan isyarat khusus
sebagai tambahan dari kami sendiri.[]
Wallahu a'lam.
48
BAB V
TARIKH NUZUL AYATAYAT ALQUR'AN
Tarikh nuzul ayatayat alQur'an memperlihatkan dengan jelas,
sebagaimana dilaporkan dalam kitabkitab tafsir, hadits maupun sirah,
bahwa alQur'an tidaklah diturunkan sekaligus lengkap sebagaimana
kitabkitab terdahulu. Tentang masalah ini, Ibnu Hajar menulis dalam
Fathul Bari IX/8:
Sesungguhnya terlambatnya penurunan wahyu kadangkadang adalah
karena adanya suatu hikmah yang mengharuskan hal itu, bukannya
hendak meninggalkan beliau samasekali. Penurunan wahyu berlangsung
dalam cara yang berlainlainan, adakalanya berturutturut dan sesekali
dengan ada jeda waktu diantaranya. Ada banyak hikmah dalam
penurunan alQur'an secara terpisah dan bertahap. Diantaranya, untuk
memudahkan penghafalan. Sebab, jika saja alQur'an diturunkan
sekaligus kepada umat yang buta huruf (ummatun ummiyah) dimana
mayoritas mereka tidak bisa bacatulis, pasti mereka akan sangat
kesulitan untuk menghafalnya.
Selanjutnya, beliau mengutip surah alFurqan: 32 dan alIsra': 106, dan
meneruskan penjelasannya:
Diantara hikmahnya juga adalah pasti timbul kesan pemuliaan dan
perhatian yang besar (dari Allah) kepada beliau (dalam cara penurunan
alQur'an tersebut). Yakni, karena berulangulangnya utusan Rabb beliau
turun untuk mengajarkan hukumhukum segala sesuatu yang terjadi,
juga jawaban atas berbagai pertanyaan tentang hukum maupun
peristiwa.
Diantara hikmahnya juga adalah diturunkannya alQur'an dalam tujuh
dialek (sab'atu ahruf), sehingga cocok sekali bila diturunkan secara
terpisah. Andai ia diturunkan sekaligus lengkap, pasti akan sukar untuk
dijelaskan pada suatu ketika nanti.
Diantara hikmah lainnya adalah Allah berkehendak untuk menghapus
(nasakh) apa yang Dia kehendaki dari hukumhukumnya. Maka,
penurunan secara terpisah lebih baik dibanding sekaligus, supaya al
mahmud (yang menghapus, annasikh) bisa terpisah dari almansukh
(yang dihapus).
Penjelasan ini diamini oleh Dr. Subhi ashShalih dalam Mabahits, hal. 49
62. Beliau mengupas panjang lebar masalah ini dalam satu bab
tersendiri. Silakan merujuk kesana untuk memperoleh wawasan yang
lebih utuh.
Ayatayat Wahyu Pertama
Ayatayat alQuran diturunkan secara bertahap dalam kelompok
kelompok kecil, memuat sekitar 5 ayat. Ada juga yang turun sekaligus 10
ayat, 3 ayat yang merupakan satu surah utuh, atau satu ayat saja,
49
bahkan sepotong pendek yang kemudian disisipkan pada ayat yang
panjang.
Dalam Mabahits, hal. 4950, Dr. Subhi asShalih menulis:
Hikmah ilahiyah menghendaki wahyu berdialog dengan Rasulullah SAW,
seraya mengajari beliau sesuatu yang baru setiap hari, membimbing dan
memandu, meneguhkan dan menambahkan ketenangan; sekaligus
berdialog dengan para Sahabat, seraya mentarbiyah, membenahi adat
kebiasaan, menanggapai peristiwa yang mereka alami, serta tidak
mengajari dan menurunkan syariah secara tibatiba (tanpa proses
persiapan sebelumnya); maka fenomena yang tampak dari sini adalah
turunnya alQuran secara berangsurangsur sesuai kebutuhan: lima
ayat, sepuluh ayat, lebih banyak atau lebih sedikit. Adalah shahih
(riwayat tentang) turunnya 10 ayat sekaligus dalam kisah Berita
Bohong,
15
10 ayat permulaan surah alMuminun sekaligus, juga
turunnya ghairu ulidhdharari saja padahal ini hanya bagian dari
suatu ayat (yang panjang).
16
Demikian juga firman Allah wa in khiftum
aylatan sampai akhir, diturunkan setelah (bagian) awal ayat (ini
sendiri).
17
Penjelasan dan dasar dari pernyataan Dr. Subhi asShalih adalah apa
yang beliau sertakan sendiri dalam catatan kaki untuk bab ini.
Sebagian ulama alQuran membatasi sebagaimana dapat dimengerti
dari berbagai riwayat turunnya alQuran secara berangsurangsur lima
ayat demi lima ayat, untuk memudahkan penghafalan oleh kaum
muminin dalam setiap kesempatan. Imam Bayhaqi meriwayatkan dari
Khalid bin Dinar: Abu Aliyah berkata kepada kami, Pelajarilah al
Quran lima ayat demi lima ayat, karena sesungguhnya Nabi Muhammad
SAW mengambilnya dari Jibril lima lima. Yang dekat dengan ini adalah
riwayat yang diriwayatkan Ibnu Asakir dari jalur Abu Nadhrah. Namun,
(perkataan) ini disandarkan kepada Ali (bin Abi Thalib) karramallahu
wajhahu, beliau berkata, AlQuran diturunkan lima lima, kecuali
surah alAnam. Barangsiapa yang menghafalkan lima lima niscaya tidak
akan lupa. Hanya saja, asSuyuthi mengidentifikasi riwayat terakhir
sebagai dhaif (lemah) jalurnya, dan berpendapat bahwa, Maknanya
jika memang riwayat ini shahih penerimaan Rasulullah SAW (sebatas)
ukuran ini sampai beliau hafal, kemudian disampaikan kepada beliau
sisanya, bukannya penurunan alQuran hanya dengan ukuran ini saja.
AlItqan, 1/73.
Senada dengan diatas, Abu Abdullah azZanjani, pada hal. 5051,
menulis:
Penelitian atas haditshadits menunjukkan, kebanyakan (suratsurat) al
Quran diturunkan secara sepotongsepotong; misalnya, dari surat qishar
(pendek), Iqra yang pertamakali turun sampai dengan ma lam yalam,
surat Wadhdhuha ayatayat pertamanya turun sampai dengan fa tardha
(HR athThabrani). Ada pula yang turun satu surah sekaligus, seperti al
15
Ayat tentang haditsul ifki yang menyatakan bersihnya Aisyah dari fitnah, surah
anNuur: 1121.
16
Surah anNisa: 95.
17
Surah atTaubah: 28.
50
Fatihah, alIkhlash, alKautsar, Tabbat, Lam yakunil dan anNashr.
Diantara surat thiwal (panjang) yang turun sekaligus adalah alMursalat.
Penelitian menunjukkan adanya ayat yang turun lima sampai sepuluh
ayat sekaligus, seperti awal surah alMumin. Ada pula yang hanya uuli
adhdharari saja. Kalimat ini merupakan bagian dari ayat la yastawil
qaiduna minal muminina. Demikian pula wa in khiftum ailatan fa
saufa yughnikumullahu min fadhlihi in syaa innallaha alimun hakim.
Kalimat ini turun sesudha awal ayat, padahal masih merupakan bagian
dari ayat tersebut.
Tentang asbabun nuzul alMursalat diatas, azZanjani mengutip riwayat
alHakim dalam alMustadrak, dari Ibnu Masud, ia berkata, Kami
bersama Nabi SAW di suatu gua ketika turun wal musalaati urfaa. Aku
segera menghafalnya langsung dari mulut Rasulullah. Aku tidak tahu
dengan ayat mana surah itu ditutup, dengan fabiayyi hadiitsin badahu
yuminuun (ayat 48) atau wa idzaa qiila lahumurkauu laa yarkauun
(ayat terakhir, 50). Menurut yang kami ketahui, hadits ini dicantumkan
alHakim pada no. 2994, dalam alMustadrak II/276, dan beliau men
shahihkannya.
Kami sudah mencoba menghitung sendiri ayatayat dalam alQuran
dengan menggunakan Mushhaf Utsmani edisi kontemporer (terbitan
Timur Tengah) yang banyak beredar di Indonesia dewasa ini. Di
dalamnya kami menemukan 6236 ayat. Jumlah ini sama dengan versi
Departeman Agama RI dalam Muqaddimah untuk AlQuran dan
Terjemahnya dalam Bahasa Indonesia. Disini bahkan dirinci dengan baik,
dimana untuk 86 surah Makkiyah berjumlah 4780 ayat, sedang untuk 28
surah Madaniyah berjumlah 1456 ayat.
Beberapa sumber lain menyatakan jumlah berbeda, dan biasanya
perbedaan itu berpangkal kepada cara menghitung. Sebab, dalam
Mushaf Utsmani edisi kontemporer, adakalanya hurufhuruf muqathaah
di awal sebagian surah dihitung satu ayat, dan ada pula yang tidak. Jika
sumber lain menghitung hurufhuruf tersebut sebagai satu ayat, maka
jumlahnya jelas akan lain. Misalnya, dalam Mushaf Utsmani yang kami
pergunakan, Kaf Ha Ya Ain Shad (surah Maryam), Tha Ha dan Ya Sin
dihitung satu ayat, sedangkan Alif Lam Ra (surah Yunus, Hud, Yusuf,
Ibrahim, dan alHijr), Shaad, Qaaf, dan Nuun (surah alQalam) tidak
dihitung satu ayat. Ada juga perbedaan jumlah ayat karena perbedaan
pemotongan ayat. Namun, masalah ini terlalu rumit dan tidak berkaitan
langsung dengan studi ini, sehingga tidak pada tempatnya untuk dibahas.
Jika mayoritas dari 6236 ayat tersebut turun dalam kelompokkelompok
kecil, sepanjang 23 tahun perjuangan Rasulullah SAW, atau lebih dari
8.200 hari, maka sudah terlihat jelas bagaimana intensifnya perhatian
Allah terhadap Rasulullah dan kaum muslimin saat itu. Berbagai kitab
tafsir dan asbabun nuzul banyak mengungkap satu atau dua ayat saja
yang diturunkan berkenaan dengan suatu peristiwa, bahkan ada juga
yang berupa potongan pendek yang kemudian disisipkan atau
disambungkan kepada ayat lain sehingga menjadi satu kesatuan yang
utuh. Hebatnya, kita sering tidak menyadari bahwa ayat tersebut
51
sebenarnya tidak diturunkan sekaligus lengkap. Inilah salah satu sisi
Ijazul Quran.
Dalam konteks seringnya wahyu turun, kiranya tidak berlebihan apa yang
ditulis oleh Sayyid Quthb dalam terjemah Tafsir Fi Zhilalil Quran
XII/303:
Sejak saat itu, hiduplah penghuni bumi yang hakikat ini telah mantap di
dalam jiwanya. Mereka berada di dalam perlindungan dan pemeliharaan
Allah secara langsung dan jelas. Mereka hidup dengan dapat melihat
(mengingat) Allah dalam semua urusannya secara langsung, baik dalam
urusan besar maupun kecil. Mereka merasa dan bergerak di bawah
pengawasan Allah. Mereka mengharapkan uluran tanganNya untuk
membimbing langkah mereka di jalan selangkah demi selangkah,
mengembalikan dari kesalahan dan membimbing mereka kepada
kebenaran. Setiap malam mereka menunggu datangnya wahyu dari Allah
kepada mereka. Wahyu yang berbicara kepada mereka tentang diri
mereka, memcahkan problematika mereka, dan berkata kepada
mereka, Ambillah ini, dan tinggalkanlah itu.
Sungguh ini merupakan masa yang menakjubkan. Hanya selama 23
tahun, berlangsung hubungan secara langsung antara manusia dan alam
tertinggi. Masa yang tidak dapat dibayangkan hakikatnya kecuali oleh
orangorang yang hidup pada zaman itu. Yakni, mereka yang
merasakannya, menyaksikan permulaan dan kesudahannya, dan
merasakan manisnya hubungan ini. Juga merasakan adanya tangan Allah
yang membimbing langkah mereka di jalan kehidupan, dan melihat dari
mana mereka memulai dan kemana tujuannya.
Kembali ke masalah pembatasan ayat wahyuwahyu pertama. Dalam
ulumul Quran sudah dimaklumi bahwa suatu surah tertentu
mendapatkan namanya sebagai Makkiyah atau Madaniyah karena bagian
awalnya saja. Pembagian surah Makkiyah dan Madaniyah dalam risalah
ini adalah pembatasan berdasar waktu, bukan tempat. Dalam bukunya,
hal. 179, Dr. Subhi asShalih menulis:
AnNahhas
18
mengklaim bahwa surah anNisa adalah Makkiyah,
berdasarkan kepada firman Allah Sesungguhnya Allah memerintahkan
kalian untuk menunaikan amanat kepada orang yang berhak
19
yang
diturunkan di Makkah menurut kesepakatan (ulama) berkenaan dengan
kunci Kabah. AsSuyuthi membantah argumen anNahhas dan
menganggapnya sebagai pendapat yang lemah, beliau berkata: Itu
adalah sandaran pendapat yang lemah sekali, karena turunnya satu
atau beberapa ayat (di Makkah) dari suatu surah panjang yang sebagian
besarnya diturunkan di Madinah, tidaklah mengharuskan surah tersebut
menjadi Makkiyah. Terlebih, berpegang kepada pendapat yang paling
kuat bahwasanya apa yang diturunkan setelah hijrah adalah (termasuk)
Madaniyah. Dan, siapapun yang mencermati asbabun nuzul ayatayatnya
akan mengetahui sanggahan (atas pendapat anNahhas tersebut).
Diantara yang menolak pendapat tersebut adalah riwayat yang
18
Abu Jafar anNahhas Ahmad bin Muhammad bin Ismail bin Yunus alMuradi, tokoh
rujukan dalam ilmu dan bahasa di Mesir, wafat tahun 338 H, penulis kitab an
Nasikh wal Mansukh.
19
Surah anNisa: 58.
52
dikeluarkan alBukhari dari Aisyah, Tidaklah surah alBaqarah dan an
Nisa diturunkan melainkan saya berada di sisi beliau (Rasulullah). Dan
Rasulullah baru tinggal serumah dengan Aisyah setelah hijrah,
berdasarkan kesepakatan (ulama). AlItqan, I/19.
Jika dalam masingmasing surah Makkiyah dan Madaniyah ada ayatayat
perkecualian, maka sebagian ulama ada yang dalam pengecualiannya
bersandar kepada ijtihad, bukan riwayat. Hal ini tidak bertentangan
dengan apa yang disampaikan oleh Ibnu Abbas, Jika pembukaan suatu
surah turun di Makkah maka ia ditulis di Makkah, kemudian Allah
menambahkan di dalamnya apa yang dikehendakiNya.
Dalam konteks Lembaga, ada citacita untuk mentarbiyah para kader
seperti yang diterima para Sahabat di masa silam. Dengan sendirinya,
diperlukan kecermatan tinggi untuk menentukan batasan ayat dari suatu
surah yang sudah diyakini atau, terbukti secara ilmiah sebagai wahyu
wahyu permulaan. Dengan kenyataan adanya ayatayat Madaniyah dalam
surah Makkiyah, atau sebaliknya, maka mencampurkan materimateri
yang memiliki latar persoalan sangat berbeda dalam suatu tahap
tarbiyah jelas menyimpan bahaya. Menurut kami, potensi bahaya paling
cepat muncul adalah futur dan kekalahan, karena tidak tepatnya materi
tarbiyah dengan tantangan yang harus dihadapi.
Sebagai contoh, ada ayatayat dalam surah alMuzzammil, yang dianggap
kelompok wahyu pertama dan menjadi materi tarbiyah penting dalam
manhaj SNW, ternyata justru turun di Madinah. Dalam tinjauan ini,
penafsiran maupun penerapannya tidak dapat disandarkan kepada fakta
yang shahih dalam sirah nabawiyah. Sebab, apa yang dikandung ayat itu
bukan materi tarbiyah periode awal kenabian. Akan tetapi, jika kita
hendak mengkaji secara utuh setiap surah, maka kita harus
melakukannya dengan pendasaran dari tafsir yang mutabar,
pengamatan yang jeli terhadap sirah, serta kehatihatian ekstra dalam
menerapkan fiqh dawah.
Ayatayat dalam SNW
Dalam kajian SNW, kita biasa diyakinkan atau, diberi wawasan
bahwa wahyuwahyu pertama alQuran berisi sekian ayat. Wahyu
pertama yang turun, yaitu alAlaq berisi 5 ayat. Kemudian, untuk al
Qalam kita mencantumkannya hanya sampai ayat ke7. Mengenai al
Muzzammil, pembahasan berhenti pada ayat ke10. Setelah itu, al
Muddatstsir 17, dan diakhiri dengan alFatihah 17.
Diskusi tentang pembatasan ayat ini menjadi menarik, mengingat konsep
dasar manhaj SNW menempatkan istilah wahyu sebagai salah satu
pilarnya, disamping pilar lain yakni sistematika nuzul (tartib nuzuli
atau tataurutan penurunan). Konsekuensi dari pilar ini adalah
pembatasan terhadap ayatayat yang secara ilmiah dapat
dipertanggungjawabkan sebagai bagian dari wahyu pertama.
Bagaimanapun, ketika menyebut surah alAlaq sebagai wahyu
pertama, dalam tinjauan riwayat hadits, sirah maupun ulumul Quran,
maksud dari pernyataan ini adalah surah alAlaq ayat 15. Tidak
53
seorangpun yang akan berbicara bahwa wahyu pertama berarti
keseluruhan alAlaq, yang totalnya berisi 19 ayat.
Bagaimanapun juga, istilah wahyu tidaklah sama dengan surah.
Dalam sebagian kasus memang ada surah yang turun sekaligus, sehingga
ia bisa disebut secara bersamaan sebagai wahyu kesekian maupun surah
kesekian dalam tartib nuzuli. Misalnya, alFatihah, alKautsar, an
Nashr, atau alMuddatstsir menurut sebagian pendapat. Dengan
demikian, konsep dasar tarbiyah kader dalam SNW semestinya melihat
aspek ini secara lebih cermat. Maksud kami, pembatasan ayat yang
disertakan dalam kajian masingmasing surah 5 wahyu pertama harus
bersandar kepada riwayat yang shahih. Ini adalah manhaj, bukan bahan
ceramah yang boleh dipakai atau tidak oleh para pendengarnya.
Apa yang biasa disertakan di belakang setiap surah dalam SNW memang
memperlihatkan tematema tertentu yang berada pada ayatayat
tersebut. Berbagai dokumen resmi yang dikeluarkan oleh institusi di
bawah naungan Hidayatullah memajang juduljudul apik untuk setiap
surah. Untuk alAlaq, diberi judul Menggugah Kesadaran dengan al
Alaq. Pemaparan alQalam diberi kop Meniti Jalan dengan alQalam.
Surah alMuzzammil dibingkai dengan Membentuk Watak dan
Kepribadian dengan alMuzzammil. Sedangkan alMuddatsir biasa
dibahasakan dengan Menyatukan Langkah dengan alMuddatstsir.
Terakhir, alFatihah dirumuskan dalam kalimat Berislam Kaffah dengan
alFatihah.
Pemberian judul semacam ini sebetulnya tidak menimbulkan masalah,
selain kemungkinan tema yang tidak tercakup dalam judul tersebut.
Masalah sebenarnya ada pada pembatasan ayatayatnya. Untuk alAlaq,
tidak timbul pertentangan. Surah ini disepakati turun pertamakali
dengan 5 ayat saja, sedangkan 14 ayat sisanya turun lebih kemudian.
Namun, pembatasan ayat dalam alQalam, alMuzzammil dan al
Muddatstsir, dengan berbagai pertimbangan, harus diverifikasi ulang.
Menilik riwayat asbabun nuzul yang ada, juga catatan dalam sirah
sendiri, kita harus memberanikan diri melihat susunan surah maupun
pembatasan ayat di dalam SNW menurut versi berbeda. Atau, dengan
kata lain, pembatasan ayatayat di dalamnya sebagaimana yang lazim
dipergunakan dalam tarbiyah kader selama ini mesti berlandaskan
riwayat yang shahih, agar materi tarbiyah tidak menemui jalan buntu.
Sebab, dengan adanya acuan yang tepat, maka akan lebih mudah
diberikan penjelasan berdasar sirah. Bagaimanapun, tarbiyah ini dicita
citakan untuk mengulang sukses generasi pertama kaum muslimin.
Dengan sendirinya, diperlukan ketelitian tersendiri untuk memilah
kurikulum, agar tepat dosis seperti yang diterima para Sahabat, di
masa silam.
Sebaliknya, jika kita secara sadar memilih untuk memutlakkan seluruh
ayat dari sebuah surah dalam kedudukannya menurut tartib nuzuli,
maka persoalannya menjadi mudah. Kesannya, memang tidak adil
membicarakan sebagian ayat namun melewatkan sebagian lainnya.
Bagaimanapun juga, alQuran sudah lengkap diturunkan sekarang.
54
Disini, tidak diperlukan landasan riwayat atau logika yang rumit. Untuk
diingat kembali, seperti sudah pernah dikutip sebelumnya, Ibnu Hajar
menyatakan bahwa tartib nuzuli yang menyangkut ayatayat suatu surah
tidak banyak ditemukan riwayatnya. Perincian yang paling lengkap
adalah tartib nuzuli surah secara global. Jelas, lebih mudah
membicarakan suatu surah secara utuh dibanding berusaha memilah
milahnya, kecuali pada sebagian kasus surah yang memang disebutkan
riwayat tartib nuzuli ayatayatnya secara sharih dan shahih.
Hanya saja, kita juga harus konsekuen dan ekstra waspada. Misalnya,
kepada para kader, kita mesti menyiapkan penjelasan yang memuaskan,
hatihati dan bertanggung jawab terhadap adanya keringanan qiyamul
lail dalam ayat ke20 surah alMuzzammil, termasuk bagaimana
mengaplikasikannya dalam tarbiyah.
Riwayat Ayatayat Pertama al'Alaq
Jumhur ulama sepakat bahwa yang turun pertamakali dari surah ini
adalah sampai ma lam yalam, yakni 5 ayat. Meskipun ada juga
pendapat yang berbeda, namun kebanyakan dapat ditawil kepada
pendapat lain, atau dibuktikan bahwa ia tidak benar.
Riwayat ini dapat kita temukan dalam Shahih Bukhari, Shahih Muslim,
kitabkitab hadits yang lain, berbagai kitab sirah nabawiyah, tafsir, dan
ulumul Quran. Disini tidak kami sebutkan, untuk menghindari
pengulangan yang tidak perlu, karena akan ada perincian lebih lengkap
pada tempatnya nanti, insyaAllah.
Riwayat Ayatayat Pertama alQalam
Imam alQurthuby dalam Tafsirnya XVIII/222, untuk pembukaan
penafsiran surah alQalam menulis:
Surah Nun walQalam adalah Makkiyah, menurut pendapat alHasan (al
Bashri), Ikrimah (maula Ibnu Abbas), Atha (bin Abi Rabah), dan Jabir
(bin Abdullah). Menurut Ibnu Abbas dan Qatadah, mulai dari awal al
Qalam sampai firman Allah sanasimuhu alal khurthum (ayat ke16)
adalah Makkiyah, sedangkan setelah itu sampai firman Allah akbar lau
kanu yalamun (ayat ke33) adalah Madaniyah, lalu sesudahnya sampai
firman Allah yaktubun (ayat ke47) adalah Makkiyah, kemudian setelah
itu sampai firman Allah minashshalihin (ayat ke50) adalah Madaniyah,
dan sisanya adalah Makkiyah. Demikian seperti dikatakan oleh al
Mawardi.
Penyimpulan dari riwayat yang umum seperti ini memang sukar. Jika kita
mengambil bentuk mutlak riwayat, maka pembatasan wahyu pertama
untuk surah alQalam adalah ayat 116. Jadi, mulai kisah para pemilik
kebun (ashhabul jannah), sudah tidak termasuk kelompok ayat yang
turun pertama kali. Kelompok ayat ini tentu saja berbeda dengan apa
yang ada dalam SNW, dimana alQalam biasanya dicantumkan sampai
ayat ke7, yakni sampai firman Allah wa huwa alamu bil muhtadin.
Kesimpulan dari riwayat yang umum seperti dalam Tafsir alQurthubi
55
diatas juga belum tentu valid. Sebab, riwayat itu hanya menyebut ayat
ke1 sampai ke16 sebagai Makkiyah, bukannya pembatasan wahyu
pertama sejelas riwayat untuk alAlaq. Tidak menutup kemungkinan
pula ayatayat sebanyak ini diturunkan secara bertahap.
AsySyahid Sayyid Quthb pernah mengungkap keraguannya bahwa surah
alQalam yang berisi 52 ayat ini turun sebagiannya dan terpisah satu
sama lain. Menurut beliau, zhahir ayatayat dalam surah ini
membicarakan satu tema yang sama dan berada dalam suasana dakwah
yang sama, yakni dakwah umum yang terbuka (jahiriyyah), bukan
dakwah individu yang diamdiam (sirriyah). Dalam terjemah Tafsir Fi
Zhilalil Quran XI/377, beliau menulis:
tidak mungkinnya dipastikan bahwa bagian permulaan lebih dahulu
diturunkan, kemudian disusul bagianbagian berikutnya. Jiga tidak
mungkin dapat ditarjihkan kemungkinankemungkinan ini. Karena bagian
permulaan dan bagian akhir surah membicarakan hal yang sama, yaitu
terusmenerusnya orangorang kafir mengatangatai Nabi Muhammad
SAW dan mengatakannya gila.
Artinya, menurut beliau, ayatayat dalam surah ini turun secara lengkap,
dan itupun dalam periode dakwah yang lebih belakangan. Sebagai
catatan, kritik ini tak berlandaskan kepada satu riwayat (annaql),
namun berlandaskan nalar (arrayu) semata. Ada sisi lemah tertentu
dalam kritik ini. Hanya saja, ternyata beliau tidak sendiri. Sebagaimana
akan kami paparkan nanti, kami justru menemukan banyak kritik yang
senada dengan beliau dari berbagai sudut pandang. Adapun tentang
riwayat detail pembatasan ayatayat yang termasuk wahyu pertama
dalam alQalam itu sendiri, belum kami temukan.
Oleh karenanya, faktafakta ini merupakan catatan penting bagi kami
yang semakin memperkuat dugaan bahwa alQalam bukanlah wahyu yang
turun dalam periodeperiode pertama. Perlu juga diketahui, Sayyid
Quthb tidak yakin alQalam sebagai wahyu kedua setelah alAlaq.
Berbagai riwayat yang akan kami paparkan pada Bagian II, insyaAllah,
akan mengungkap masalah ini lebih terinci.
Kemungkinan kompromi yang paling baik diberikan oleh Syekh
Muhammad 'Izzah Darwazah, dalam atTafsir alHadits I/40:
Isi kandungan 4 ayat permulaan dan yang mengiringinya memungkinkan
bahwa empat ayat tersebut diturunkan secara terpisah, dan bahwasanya
ayatayat selebihnya diturunkan sesudah itu dengan jarak waktu
tertentu; tidak menutup kemungkinan pula bahwa seluruh surah ini
diturunkan sekaligus. Penempatan urutan surah ini sebagai yang kedua
adalah berdasar pada kemungkinan turunnya empat ayat permulaan
tersebut secara terpisah, di belakang lima ayat pertama surah alAlaq.
Inti argumen beliau adalah, bahwa bagian pertama yang darinya surah
alQalam berhak menduduki posisi di urutan kedua hanya diri dari 4
ayat, mulai Nuun sampai la'alaa khuluqin 'azhiim. Sehingga, masalahnya
terlihat lebih sederhana dan paralel dengan catatan sirah maupun
riwayatriwayat asbabun nuzul lainnya. Sebab, sampai ayat ke4 ini
memang belum terlihat adanya perintah dakwah.
56
Riwayat Ayatayat Pertama alMuzzammil
Riwayat yang kami temukan jelas menunjukkan sebuah pemotongan dan
penyisipan yang unik. Kami pernah meneliti masalah ini beberapa tahun
silam (lihat: Sistem Pergerakan Dakwah Rasulullah SAW dalam Periode
Makkah, hal. 119122). Kami menulis:
Sebenarnya, agak janggal menempatkan surah ini pada posisi demikian
awal. Masalahnya, jika teguh pada pilihan tersebut, studi ini dihadapkan
pada kenyataan dawah sirriyah yang tidak memungkinkan adanya
konfrontasi langsung dengan kekuatan musuh, dalam kadar dan bentuk
apapun. Padahal, salah satu ayatnya justru memberikan kutipan lain
yang mengejutkan, Dan bersabarlah atas apa yang mereka ucapkan dan
jauhilah mereka dengan cara yang baik. (ayat ke10).
Siapakah disini yang ditunjuk dengan kata mereka? Menilik
konteksnya, jelas adalah kafir Quraisy, seperti juga dikatakan Ibnu
Katsir. Ayat ini mesti turun dalam fase dawah jahriyah, karena
mustahil Nabi diminta bersabar atas ucapan mereka jika beliau belum
berdakwah secara terbuka dimana reaksi masyarakat juga belum
terungkap terangterangan. Lebih dari itu, kosa kata hajara bermakna
mendiamkan, tak menanggapi, atau tidak saling bertegur sapa.
Tidak halal bagi seorang muslim untuk mendiamkan (yahjura)
saudaranya lebih dari tiga malam. Keduanya saling berpapasan, maka
yang satu berpaling, demikian juga yang lainnya. Dan, yang terbaik
diantara mereka adalah yang pertamakali memberi salam. (Shahih
Muslim, no. 25/2560; Sunan Abi Dawud, no. 48894894; Sunan Ibnu
Majah, no. 46).
Dalam Lisanul Arab, entri kata hajara adalah lawan dari alwashl
(menyambungkan hubungan), atau semakna dengan sharama
(memutuskan), attarku (meninggalkan), ali'radh (melengos), dan
aghfala (melupakan). Diantara derivasinya, attahajuur berarti at
taqaathu (saling memutuskan). Jika seseorang berhijrah, berarti dia
menjauh (tabaaada) serta menyingkirkan diri (naaa). Menurut alLaits,
alhajru berasal dari alhijraan, yakni meninggalkan apa yang mestinya
diteguhi. (Ibnu Manzhur, juz 5, hal. 250252).
Penelitian lebih lanjut ternyata membuktikan bahwa bagian yang
menjadi pembuka surah ini buat pertamakali hanya sampai ayat ke9
saja, seperti disinggung dalam Tafsir AlQurthubi (jilid X, juz 19, hal.
30). Ayat ke10 dan selanjutnya turun lebih belakangan, di masa dawah
jahriyah sudah bergulir. Bahkan, menurut Ibnu Abbas dan Qatadah,
ayat tersebut turun di Madinah. Jadi, 9 ayat pertama memang turun di
masa dawah sirriyah, sementara kelanjutannya hadir jauh sesudah itu.
Aisyah r.a. menyatakan bahwa tak lama setelah ayat wa mahhilhum
qaliilaa (ayat ke11) turun, Perang Badar pun meletus (ibid, hal. 43).
Qatadah sendiri mengatakan bahwa ayat ke10 dan seterusnya itu
berkenaan dengan belum adanya izin berperang, dan belakangan di
nasakh oleh ayatayat qital (ibid). Maka, kutipankutipan yang sering
dilansir dalam Sistematika Nuzulnya Wahyu sebagai tujuh azimat al
Muzzammil jika merujuk pada tartib nuzuli ternyata harus direvisi.
57
Materi penyiapan diri itu tidak menyangkut ashshabr dan alhijrah,
tetapi: qiyamul lail, tartilul Quran, dzikir, tabattul, dan tawakkal.
Sebagai penguat, berdasarkan riwayat dari Aisyah, yang dikutip Tafsir
Ibnu Katsir IV/434, disebutsebut bahwa Rasulullah dan segelintir
Sahabat beliau melakukan qiyamul lail sebagai realisasi perintah Allah
dalam surah alMuzzammil ini, sampai telapak kaki mereka bengkak
bengkak. Maka, Allah kemudian memberi keringanan yang termuat
dalam ayat ke20 dari surah ini, yang turun setelah berjalan selama 12
bulan.
Ayatayat alMuzzammil ini disusun secara unik. Jika riwayatriwayat
tersebut shahih, maka bagian pertamanya (ayat 19) turun lebih dulu di
awal kenabian, yang disusul ayat penutupnya (ayat 20) setahun
kemudian. Kelak, menjelang Perang Badar, justru bagian tengah surah
ini (ayat 1019) yang turun, atau dalam periode Madaniyah, karena
Perang Badar sendiri pecah pada bulan Ramadhan tahun 2 H.
Riwayat Ayatayat Pertama alMuddatstsir
Secara lengkap kami akan sajikan riwayat tentang surah ini pada Bagian
II, bersamaan pembahasan pilarpilar utama manhaj SNW, dari sisi tartib
nuzuli. Disini, dikutip salah satu teks paling eksplisit yang menunjukkan
pokok bahasan kita sekarang, yang berasal dari buku Seleksi Sirah
Nabawiyah, hal. 109110:
Tidak diketahui secara pasti berapa lama wahyu sempat terhenti. Akan
tetapi, yang jelas hal itu tidak berlangsung terlalu lama sehingga jiwa
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kembali merasa tenang untuk
siap menyambut turunnya wahyu secara berturutturut. Setelah
berhenti beberapa waktu, wahyu pertama yang turun ialah surah al
Muddatstsir ayat 15.
Dalam konsep asli SNW, bagian wahyu pertama untuk alMuddatstsir
adalah ayat 17. Dengan riwayat ini, kita harus menerima bahwa riwayat
yang ada berbicara lain; yakni hanya terhenti sampai warrujza fahjur
(ayat 5), tidak mencakup wa la tamnun tastaktsir (ayat 6) maupun
wa li rabbika fashbir (ayat 7). Perlu diketahui, kekuatan hujjah dari
riwayat ini tidak diragukan, sebab bersumber dari ashShahihain.
Memang ada riwayat yang menyebutkan sampai ayat ke7, namun jika
sumbernya adalah Ibnu 'Abbas, maka sanadnya lemah karena ada
seorang perawi dha'if bahkan matruk di dalamnya. Kami akan
menunjukkan hal ini pada tempatnya nanti, insyaAllah.
Tentang 5 ayat pertama alMuddatsir ini, sebenarnya riwayat yang
disebutkan alBukhari dan Muslim cukup banyak, dan seluruhnya sama.
Imam alBukhari mencantumkanya sebagai hadits no. 5, 3066, 4641,
4642 dan 4671, semuanya dari Jabir bin 'Abdillah alAnshari radhiya
llahu 'anhuma. Sedang Imam Muslim meriwayatkannya di satu tempat
saja, yakni hadits no. 161, juga dari Jabir.
58
Sebagai tambahan keterangan, Ibnu Hajar menulis dalam Fathul Bari
IX/40, tentang sebagian ayat alMuddatsir dalam kaitannya dengan
sebagian ayat dalam al'Alaq.
Pernyataan (dalam riwayat yang dikutip alBukhari) bahwa yang
pertamakali diturunkan dari alQur'an (minhu) adalah surah yang di
dalamnya menyebutkan tentang surga dan neraka. Lahiriah pernyataan
ini berseberangan dengan apa yang telah dibahas sebelumnya bahwa
yang pertamakali diturunkan adalah iqra' bismirabbika, padahal di
dalamnya tidak disebutsebut surga dan neraka. Maka, boleh jadi "min"
dalam riwayat ini adalah "min muqaddarah" yakni kata "min" yang
mengharuskan adanya frase tertentu yang dibuang karena sudah umum
dimengerti dari pola kalimat seperti itu. Maksudnya, "termasuk diantara
wahyu yang pertamakali diturunkan adalah". Yang ditunjuk oleh riwayat
ini adalah surah alMuddatsir, dimana ia adalah yang pertamakali
diturunkan setelah berlalunya masa fatrah wahyu serta pada
penghujungnya disebutsebut tentang surga dan neraka. Sangat
mungkin, akhir surah alMuddatsir ini turun sebelum sisa surah Iqra'
yakni ayat 619 sebab yang diturunkan pertamakali dari surah ini
hanyalah 5 ayat, seperti sudah diuraikan sebelumnya.
Masalah semacam ini adalah umum dalam penurunan ayatayat suatu
surah, sehingga cukup sukar memastikan pemilahannya. Wallahu a'lam.
Tujuh Ayat alFatihah
Ada ikhtilaf di kalangan ulama mengenai kapan surah ini diturunkan,
namun disepakati ayatnya berjumlah tujuh. Memang ada ikhtilaf lain,
yakni apakah lafazh basmalah termasuk ayat atau bukan, tapi
pendapat yang paling luas disepakati adalah lafazh itu termasuk salah
satunya.
Orang yang menyatakan lafazh itu bukan ayat tetap menghitung al
Fatihah berisi tujuh ayat, karena ayat ke6 selesai pada kata anamta
alaihim, sedang ayat ketujuh dimulai dari ghairil maghdhubi
alaihim. Dengan demikian mana pun pendapat yang dipilih, alFatihah
tetap berisi tujuh ayat. Perbedaan ini hanya dalam masalah pembagian
fashilah (pemisah) diantara ayatayatnya. Demikian menurut Imam az
Zarkasyi dalam alBurhan fi 'Ulumil Qur'an I/75.
Ada pendapatpendapat lain lagi tentang jumlah ayat dalam surah ini,
tergantung riwayat yang diunggulkan oleh para ulama' dalam memotong
ayatnya. Untuk memahami masalah ini, ada disiplin ilmu tersendiri yang
merupakan cabang 'ulumul Qur'an.
Adapun pendapat yang menyatakan bahwa surah ini turun setengahnya
di Makkah, lalu setengah sisanya turun belakangan di Madinah, adalah
pendapat yang sangat aneh (gharib jiddan). Jelasnya, surah ini turun 7
ayat sekaligus. Dalam Tafsir Ibnu Katsir I/78, dinyatakan:
Abul Laits asSamarqandi mengungkapkan bahwa separoh alFatihah
diturunkan di Makkah sedangkan separoh lainnya di Madinah. Ini adalah
59
pendapat yang sangat asing sekali (gharib jiddan). Pendapat ini dinukil
oleh alQurthubi dari Abul Laits.
AlFatihah itu terdiri dari tujuh ayat, dengan tidak ada perselisihan
(tentangnya). Amr bin Ubaid berpendapat, AlFatihah (terdiri dari)
delapan ayat, sedang Husain alJufi berpendapat, AlFatihah (terdiri
dari) enam ayat. Kedua pendapat ini janggal (syadz). Hanya saja, para
ulama memang berselisih pendapat tentang basmalah, apakah lafal ini
ayat tersendiri dari awal alFatihah sebagaimana pendapat mayoritas
qurra Kufah, sejumlah Sahabat, tabiin, dan beberapa ulama dari
generasi yang lebih akhir ataukah (lafal itu) sebagian dari ayat, atau
tidak termasuk awal alFatihah secara total sebagaimana pendapat
Ahli Madinah dari kalangan qurra dan fuqaha, (demikianlah) menurut
tiga pendapat yang akan kami tetapkan pada temptanya nanti, insya
Allah, dan kepadaNya (kami) percaya.
AlHafizh Abu Bakar Ahmad bin Musa bin Mardawaih dalam tafsirnya
menyatakan kami tidak sebutkan sanadnya karena terlalu panjang
dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, Alhamdulillahi
rabbil alamin (terdiri dari) tujuh ayat. Bismillahirrahmanirrahim
salah satu darinya. Dia adalah assabul matsani dan alQuran al
azhim. Dia adalah ummul kitab dan fatihatul kitab. Imam Ad
Daruquthni juga meriwayatkan hadits seperti ini atau yang serupa
dengannya, dari Abu Hurairah secara marfu. Menurutnya, semua
(perawinya) adalah tsiqah.
Di tempat lain, Imam azZarkasyi menganggap bahwa alFatihah
termasuk salah satu surah atau ayat yang diturunkan dua kali, demi
menunjukkan keagungan maknanya. Hal ini terjadi ketika sebuah
asbabun nuzul yang sama terulang dalam kesempatan lain, sehingga
perlu diturunkan kembali wahyu yang berkenaan dengannya agar umat
tetap mengingat hukumnya (lihat: alBurhan fi 'Ulumil Qur'an I/29).[]
Wallahu alam bishshawab.
60
RINGKASAN
Manhaj Sistematika Nuzulnya Wahyu (SNW), secara konsepsional,
berakar kepada pencapaianpencapaian gemilang para ulama' terpercaya
dalam studi ulumul Qur'an, ulumul hadits dan sirah nabawiyah. Apa
yang kemudian dikembangkan sebagai sebuah metode dakwah dan
tarbiyah oleh Allahuyarham Ustadz Abdullah Said sesungguhnya
merupakan bentuk praktis dari kaidahkaidah yang terpancar dari
khazanah salaf tersebut. Jika dewasa ini apa yang disebut sebagai SNW
terdengar asing dan bahkan dianggap bid'ah atau bertentangan dengan
manhaj salafus shalih, maka penilaian seperti itu tidak berdasar. Buku
ini akan memperlihatkan kepada pembaca dimana letak kesalahan
anggapan miring tersebut terhadap SNW.
Sebagai sebuah manhaj, tentu saja ada landasanlandasan ilmiah yang
menjadi pijakan bangunannya. Secara ringkas, bagian pertama buku ini
berusaha memetakan konsepkonsep tersebut, dan memberikan kepada
pembaca daftar pustaka yang bisa dirujuk untuk pendalaman lebih
lanjut.
Konsep dasar manhaj ini, jika disederhanakan, merupakan ramuan dari
sirah nabawiyah, 'ulumul Qur'an dan 'ulumul hadits, termasuk di
dalamnya tafsir dan hadits itu sendiri. Bahkan, sesungguhnya manhaj ini
bertumpu kepada hadits wa 'ulumuhu secara mutlak. Sebab, dalam
tradisi ilmiah kaum muslimin yang paling otentik, seluruh ilmu berhutang
kepada metodologi yang dikembangkan oleh para ulama' hadits. Para
pakar sirah dan tafsir mempergunakan metodologi ahli hadits dalam
menelusuri keakuratan riwayat yang beredar, dan dari sini lahir karya
karya kredibelotoritatif. Dalam bagian pertama buku ini, sekilas telah
kami tunjukkan pentingnya kaidahkaidah Ilmu Hadits dalam pengkajian
SNW. Bagianbagian selanjutnya akan berusaha semaksimal mungkin
untuk konsisten pada batasan ini, yakni mengedepankan kaidahkaidah
Ilmu Hadits, insyaAllah.
Manhaj ini adalah ramuan yang diracik dalam upaya menapaktilasi
tahaptahap tarbiyah Allah kepada Rasulullah shallallahu 'alaihiwa
sallam dan para Sahabat radhiyallahu 'anhum. Dengan memperhatikan
fenomena sirah, manhaj SNW mengambil kesimpulan bahwa
kemenangankemenangan besar yang dicapai Rasulullah dan para
Sahabat hanya mungkin bersumber dari alQur'an. Lebih jauh, manhaj ini
merumuskan bahwa tahaptahap perjalanan generasi terbaik tersebut
menuju kesempurnaan berdiri diatas tahaptahap turunnya alQur'an.
Pada titik inilah, pemahaman terhadap tartib nuzulnya wahyu menjadi
sesuatu yang amat penting.[]
Wallahu a'lam bishshawab.
61
SARAN BAHAN BACAAN LANJUT
[Bab I dan IV]
Topik utama kedua bab ini adalah pemaknaan marhalah wahyu, atau
hikmah di balik tata urutan penurunan wahyu yang unik. Untuk
memahami landasan ilmiah konsep ini, sekaligus contoh praktis
penerapannya dalam tafsir, silakan merujuk ke:
1. Rahasia Susunan Surah alQuran Menurut Tertib Mushhaf, karya
Imam asSuyuthi. Kitab ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia, diterbitkan oleh Pustaka Amani Jakarta (1996). Secara
umum, materi buku ini tidak terkait langsung dengan diskusi makna
marhalah wahyu, karena memang lebih berfokus kepada hikmah tata
urutan surah dalam Mushaf 'Utsmani. Namun, kata pengantar yang
ditulis editor edisi aslinya ('Abdul Qadir Ahmad 'Atha) sangat
berharga. Kata pengantarnya sendiri cukup panjang dan sebenarnya
layak untuk dibukukan dalam judul terpisah. Disana, Anda akan
temukan ulasan sejarah perkembangan ilmu munasabah, baik dalam
kaitannya dengan tartib mushafi maupun tartib nuzuli. Jika kita
cermati, tampak bahwa ilmu ini termasuk jarang disentuh para
sarjana sejak zaman dulu karena tergolong rumit dan susah,
setidaknya demikian seperti yang disimpulkan oleh asSuyuthi
sendiri. Naskah ini memberi penjelasan yang cukup memadai tentang
konsep, sejarah, para perintis, daftar rujukan, dilema dan kesulitan,
sekaligus contohcontoh ringkas penerapannya.
2. AtTafsir alHadits asSuwar alMurattabah hasba anNuzuul, karya
Syekh Muhammad 'Izzah Darwazah. Belum ada edisi terjemahnya,
terdiri dari 12 jilid sedang yang masingmasing berisi sekitar 800
halaman. Jilid I kitab ini memuat pengantar yang bagus tentang
konsep marhalah wahyu, rujukanrujukan ilmiah yang lebih luas,
juga daftar versi tata urutan wahyu yang lebih banyak. Tafsir ini
menjadi istimewa karena ditulis berdasar tata urutan penurunan
wahyu, bukan menurut urutan peletakan surah dalam mushaf yang
ada. Ditulis dalam bahasa yang sederhana dengan mengurangi
sesedikit mungkin diskusidiskusi berlebih dan berat. Fokus buku ini
lebih kepada makna wahyu, bukan konsep 'Ulumul Qur'an dan ilmu
ilmu lainnya yang terkait dengan ayatayat yang sedang dibahas.
Cocok untuk kajian tafsir yang ingin berkonsentrasi kepada
pemahaman isi alQur'an, dan bukan aspekaspek eksternalnya.
Penulis buku ini juga membahas dengan ringkas status riwayat
maupun kedudukan suatu surah dalam tartib nuzuli. Referens yang
dipergunakan dalam menyusun buku ini sangat luas, mencakup
karyakarya ahli tafsir, hadits, dan sirah yang terpercaya,
sebagaimana yang tampak dari catatan kaki yang diberikan.
3. Mabaahits fi 'Ulumil Qur'an, karya Dr. Subhi ashShalih, hal. 164233,
Pasal III 'Ilmu alMakkiy walMadaniy. Bagian menarik pasal ini
adalah esai sepanjang 49 halaman mengenai Marhalah Wahyu, yakni
mulai hal. 183 dan seterusnya. Salinan lengkapnya yang sudah
62
diterjemahkan kami sertakan dalam Lampiran 6. Analisis yang beliau
tulis memberi sketsa menarik tentang bagaimana membangun
keselarasan antara tafsir, hadits dan sirah nabawiyah. Ulasan ini
dimaksudkan sebagai contoh dan model untuk memahami bagaimana
wahyu mendampingi perjalanan dakwah Rasulullah dan mentarbiyah
beliau bersama para Sahabat. Naskah ini memuat uraian ringkas atas
19 surah Makkiyah yang terbagi dalam 3 marhalah (fase), dan 3 surah
Madaniyah yang mewakili 3 marhalah berbeda dalam perjalanan
dakwah beliau.
[Bab II, III dan V]
Untuk topik tartib nuzuli, marhalah wahyu, masalah Makkiyah dan
Madaniyah (baik secara konsepsional maupun rincian praktis), serta
diskusi seputar kodifikasi alQur'an dan Mushaf 'Utsmani, silakan merujuk
ke:
1. AlBurhan fi 'Ulumil Qur'an, karya Imam azZarkasyi, I/187210,
Bagian IX Ma'rifatu alMakkiy walMadaniy. Terdapat penjelasan
klasik atas masalah ini, disertai rujukan kepada para ulama' salaf
berikut contohcontoh yang bagus. Dimulai dengan diskusi seputar
definisi Makkiyah dan Madaniyah, dilanjutkan dengan pemaparan
ciriciri umum yang biasa terdapat pada masingmasing kelompok
surah. Imam azZarkasyi selalu menyertakan siapa pembela suatu
pendapat dan terkadang memberikan kritik, tarjih maupun ulasan
singkat. Beliau juga merinci surah apa saja yang termasuk Makkiyah
dan Madaniyah dalam suatu tata urutan yang jelas. Disini, beliau
juga merinci surahsurah yang masih menjadi bahan perdebatan
tentang posisi urutan (tartib) maupun penurunannya (nuzul). Ada
pula pembahasan tentang surah yang berstatus Makkiyah namun
memuat hukumhukum Madaniyah, juga sebaliknya. Perincian yang
bermuara pada dua masalah ini dapat ditemukan sangat luas.
Terdapat pula rincian atas surah atau ayat yang diturunkan secara
faktual di luar teritori Makkah maupun Madinah, seperti di Juhfah,
Baitul Maqdis, Thaif dan Hudaibiyyah. Ada pula contohcontoh unik
dari ayatayat yang turun malam hari dan yang diiring malaikat. Bila
berharap mengetahui bagian wahyu mana yang pertama atau
terakhir turun, baik secara mutlak atau dalam topik tertentu, maka
disini Anda akan menemukannya.
Kami juga menyarankan Anda menelaah Bagian XIII, hal. 233243,
yang membahas sejarah pengumpulan dan kodifikasi alQur'an, sejak
zaman Nabi sampai periode kontemporer. Ada riwayat asalmula
yang mendorong pembukuan alQur'an di zaman kekhilafahan Abu
Bakar, serta kerja keras Zaid bin Tsabit untuk menyalinnya ke dalam
satu naskah utuh. Peristiwaperistiwa lain yang mengiringi
perjalanan naskah AlQur'an sejak zaman Abu Bakar, 'Umar sampai
'Utsman diuraikan pula. Beliau juga memastikan bahwa jumlah
salinan Mushaf 'Utsmani ada 4 buah. Termasuk dalam bab ini adalah
pemaparan tentang pengumpulan alQur'an dalam bentuk hafalan.
63
Sangat baik jika Anda juga membaca Bagian II, hal. 3552, yang
membahas ilmu munasabah (keselarasan antara ayat dan surah).
Informasi utama yang dibahas disini adalah menemukan hikmah tata
letak ayat maupun surah dalam susunan alQur'an yang kita kenal
sekarang. Ilmu ini mengajak Anda bertanya, "Mengapa ayat ini
diletakkan disini? Apa kaitannya dengan ayat sebelumnya dan
sesudahnya? Apa hikmah di balik semua itu?" Dalam bahasa modern,
hal ini diistilahkan dengan sibaaq (pendahulu, previous), siyaaq
(konteks langsung, current) dan lihaaq (pengiring, next). Pertanyaan
serupa dapat diajukan kepada tata letak surahsurah alQur'an.
Biasanya, seperti yang dicontohkan Imam asSuyuthi dalam kitabnya,
Anda akan diajak menyelami hikmah yang akan merangkai penutup
suatu surah dengan pembuka surah berikutnya, juga sebaliknya.
2. Mabaahits fi 'Ulumil Qur'an, karya Dr. Subhi ashShalih, hal. 4962,
Pasal III Tanjiim alQur'an wa Asraaruhu. Bab ini mengulas hikmah
penurunan alQur'an secara berangsurangsur, yang merupakan esai
berjangkauan luas terhadap berbagai materi menarik dalam tema
ini. Tampaknya, hanya cocok sebagai bacaan tingkat lanjut, karena
memuat banyak sekali persoalan yang biasanya hanya akrab bagi
kalangan yang menekuni Ulumul Qur'an. Bagus juga dibaca oleh para
mahasiswa pemula yang ingin memahami bagaimana berbagai kaidah
maupun disiplin keilmuan yang tercakup dalam Ulumul Qur'an
diterapkan dalam sebuah diskusi.
Periksa pula hal. 164233, Pasal III 'Ilmu alMakkiy walMadaniy.
Penulis mendiskusikan tematema sentral tentang surah Makkiyah
dan Madaniyah, termasuk kritiknya terhadap hasil studi Orientalis
dalam bidang ini. Disertai analisis tajam terhadap surahsurah
tertentu, yang ditujukan sebagai contoh dari argumenargumennya.
Esai ini diakhiri dengan uraian mengenai Marhalah Wahyu
sebagaimana sudah kami singgung dimuka.
Bab II Taarikhu alQur'an, terutama Pasal I dan II, hal. 63100.
Ulasan yang cukup ringkas dan baik tentang sejarah kodifikasi Al
Qur'an, Mushaf 'Utsmani, rasm dan khath. Seperti biasa, penulis juga
membahas kesalahan Orientalis dalam bidang ini. Dikutip pula
kesaksian Ibnu Katsir yang masih sempat melihat secara fisik
eksistensi salah satu naskah asli Mushaf 'Utsmani yang disimpan di
Masjid Jami' Damaskus. Menurut beliau naskah itu besar, tebal,
khathnya bagus, jelas dan kuat, tintanya masih terang, dan
kemungkinan terbuat dari lembaran kulit unta. Menarik, sebab
beliau adalah ulama' abad ke8 H, yang berarti terdapat selang
waktu tidak kurang dari 700 tahun sejak Mushaf itu ditulis oleh tim
bentukan Khalifah 'Utsman sekitar tahun 30an Hijriyah. Naskah ini
akhirnya hangus saat Masjid tersebut terbakar pada tahun 1310 H.
3. Zubdatul Itqan fi 'Ulumil Qur'an, karya Dr. Muhammad bin 'Alawi al
Maliki alHusaini, hal. 710, pasal Awwalu maa nuzila. Buku ini
sebenarnya merupakan edisi ringkas karya asSuyuthi, sehingga
kurang mendalam. Sayang kami tidak memiliki edisi aslinya. Disana
64
tertuang poinpoin ringkas tentang wahyu yang pertama maupun
terakhir turun, baik secara umum atau khusus.
Periksa pula pasal Fii munaasabati alaayaat wassuwar hal. 116
118. Materi pasal ini dapat melengkapi pemahaman kita tentang
hikmah tartib nuzuli.
4. The History of the Qur'anic Text from Revelation to Compilation,
karya Prof. Dr. Musthafa Muhammad A'zhami. Edisi Indonesia buku ini
diterbitkan oleh Gema Insani Press Jakarta dan sering dibedah dalam
berbagai pertemuan ilmiah. Analisis buku ini tajam, dan hampir
secara khusus diarahkan sebagai sebuah kumpulan argumen yang
membantah teori maupun kesimpulan Orientalis juga pengagum
mereka dalam studi AlQur'an. Buku ini mencakup pengenalan
ringkas tentang sejarah AlQur'an dari segi penulisan dan koleksinya.
Sepertiga isi buku ini juga mengupas sisikmelik Kitab Perjanjian
Lama dan Perjanjian Baru, sebagai sebuah perbandingan.
Untuk topik asbabun nuzul, konsep dan rincian per surah atau ayat, teks
lengkap riwayat, sanad berikut derajatnya, silakan merujuk ke:
1. Lubabun Nuqul fi Asbabin Nuzul, karya asSuyuthi, yang dicetak
bersama Tafsir AlJalalain. Bagian awal kitab ini memuat pengantar
ringkas mengenai konsep asbabun nuzul, kaidah ilmiah, dan sumber
sumber pengambilannya. Setelah itu, asSuyuthi menyebutkan satu
demi satu riwayat yang dapat beliau temukan. Kadang beliau
memberi penilaian kualitasnya, kadang didiamkan. Secara konsisten
beliau merujukkan sumber periwayatannya kepada kitabkitab
terkenal, yang memudahkan kita menelusuri teks asli maupun
sanadnya. Dalam kitab itu sendiri memang hanya disebutkan nama
perawi terakhir dari kalangan Sahabat, Tabi'in atau lainnya, tanpa
menyertakan rangkaian sanad.
2. AdDurrul Mantsur fitTafsir bil Ma'tsur, juga karya asSuyuthi. Meski
judul dan maksud penulisannya lebih terfokus kepada tafsir, namun
riwayat asbabun nuzul hampir tidak bisa terlewatkan dari sini.
Maklum, pengetahun tentang asbabun nuzul sendiri sangat
membantu penafsiran. Disini, metode penulisan maupun gaya beliau
dalam menyikapi kualitas sanad mirip dengan yang ada dalam
Lubabun Nuqul. Kitab ini terdiri dari 8 juz yang merangkum
penafsiran seluruh alQur'an berdasarkan atsar, baik dari Nabi,
Sahabat maupun Tabi'in.
3. Untuk memperoleh gambaran konseptual lebih memadai, silakan
merujuk bab asbabun nuzul dalam AlBurhan, Mabahits maupun
Zubdatul Itqan. Untuk literatur pertama, silakan periksa I/2234.
Anda dapat pula melanjutkannya dengan beberapa pasal terpisah
yang masih terkait. Untuk rujukan kedua, silakan kaji halaman 127
163. Bab ini cukup panjang. Sedang untuk kitab ketiga, lihat hal. 11
16.
65
Mengenai konsep annasikh walmansukh, mayoritas rujukan otoritatif
dalam bidang ushul fiqh senantiasa membahas masalah ini, karena
dampaknya dalam bidang hukum sangat jelas. Pembahasan terbatas
untuk konsep ini dapat ditemukan pula dalam kitabkitab 'Ulumul Qur'an.
Untuk itu, silakan menelaah:
1. ArRisalah, salah satu karya utama Imam asySyafii (w. 204 H). Buku
ini terdiri dari satu juz saja, berisi sekitar 600 halaman. Dipandang
sebagai perintis awal sistematika filsafat hukum Islam, dengan
komitmen yang tidak diragukan lagi untuk senantiasa merujuk
kepada alQur'an dan Sunnah Rasul. Nilai ilmiah buku ini dan
kejeniusan penulisnya diakui bahkan oleh pakarpakar hukum Eropa
modern. Silakan mengkaji hal. 106146 untuk memperoleh uraian
seputar annasikh walmansukh. Di dalamnya beliau mengulas
konsep dasar, argumen, contoh, jenis dan daftar kasus untuk masing
masing bagian dimaksud.
2. AlIhkam, karya Imam Abul Hasan alAmidi (w. 631 H). Pembahasan
tentang annasikh walmansukh berada dalam III/111200. Buku ini
membahas dengan sangat detil konsep ini berikut berbagai implikasi
maupun contoh kasusnya. Perincian yang diberikan disertai pendapat
yang pro maupun kontra, juga pemaparan argumen yang dipilih oleh
penulisnya. Setelah membaca bab ini, Anda akan semakin memahami
bahwa fiqh Islam bukan produk hukum primitif dan lemah, melainkan
hasil sebuah kajian serius yang ditopang oleh ratusan sarjana handal
dalam beberapa abad proses pematangannya. Rujukan wajib bagi
mahasiswa Fakultas Syariah atau mereka yang menekuni penegakan
syariat Islam.
3. Selain itu, masih ada banyak buku ushul fiqh lain yang dapat dirujuk,
seperti: [a] AlMustashfa fi 'Ilmilushul, hal. 86107, karya Hujjatul
Islam Abu Hamid alGhazali (w. 505 H); [b] AlMankhul, juga karya
alGhazali, hal. 288303; [c] AlMahshul fi 'Ilmi Ushulifiqh III/417
567, karya Imam arRazy (w. 606 H); [d] Rawdhatun Nazhir wa
Jannatul Manazhir, bagian II, hal. 6989, karya Imam Ibnu Qudamah
alMaqdisi (w. 620 H); [e] Irsyadul Fukhul fi Tahqiiqi 'Ilmilushul,
hal. 311336, karya Imam asySyaukani (w. 1250 H). Karyakarya
kontemporer dalam ushul fiqh di Indonesia juga sudah banyak
beredar, seperti milik Syekh 'Abdul Wahhab Khallaf, Syekh
Muhammad Abu Zahrah, atau A. Qadir Hassan (Bangil) dan 'Abdul
Hamid Hakim (Padangpanjang). Di lingkungan pesantren salaf,
rujukan standar dapat dilihat dalam AlAsybah wanNazhair (Imam
asSuyuthi) atau alLuma' fi Ushulil Fiqh (Imam Abu Ishaq Ibrahim bin
Ali bin Yusuf asySyairazi alFayruzabadi asySyafii, w. 476 H).
4. Dalam bidang 'Ulumul Qur'an, silakan merujuk bab terkait dalam
bukubuku yang sudah kami sebutkan sebelum ini. Karyakarya
standar 'Ulumul Qur'an pasti membahas konsep ini, baik secara
ringkas maupun detail. Disini, tentu saja hanya dikemukakan aspek
teoritis disertai contohcontoh klasik yang nyaris sama dalam semua
literatur. Maka, jika Anda menghendaki contoh lebih banyak dan
66
gambaran lebih aplikatif, silakan mencarinya dalam kitabkitab ushul
fiqh.
Daftar ini masih dapat Anda lanjutkan dengan melengkapi studi sirah
nabawiyah. Kami menyarankan Anda membaca tuntas sekurang
kurangnya tentang periode Makkah, agar memiliki gambaran lengkap
tentang sirah berikut hubungannya dengan tartib nuzuli serta marhalah
wahyu. Silakan merujuk ke:
1. AsSirah anNabawiyah, karya Ibnu Hisyam. Karya ini menjadi
rujukan paling terkenal dan otoritatif dalam studi sirah. Tidak ada
buku sirah yang disusun belakangan yang tidak menoleh kepada
sumber ini. Hanya saja, terdapat sisi tertentu dari kitab ini yang bagi
pembaca sekarang terkesan tidak praktis dan membingungkan,
diantaranya penyebutan sanad yang panjang, rincian nama atau
kejadian yang diulang berdasar riwayat dari jalur berbeda, juga tata
urutan kronologisnya yang acapkali berputarbalik maupun tumpang
tindih. Tetapi jangan khawatir, sudah ada edisi ringkas yang ditulis
oleh Syekh Abdus Salam Harun. Edisi Indonesianya diterbitkan
Pustaka AlKautsar dalam satu jilid sedang. Seluruh persoalan yang
memberatkan pembaca awam telah dipangkas, kronologinya disusun
secara urut, dan rinciannya disederhanakan, sehingga enak dibaca.
2. Tarikh alUmam wal Muluk, karya Ibnu Jarir athThabari. Edisi
aslinya terdiri dari 5 juz tebal, yang merupakan karya sejarah
bersifat ensiklopedis. Isinya menuturkan sejarah alam semesta sejak
era 'antah berantah' sampai permulaan abad IV Hijriyah, yakni
periode historis yang sezaman dengan penulisnya. Masa ini adalah
masa pemerintahan AlMuqtadir Billah, khalifah ke18 dari Bani
'Abbas, yang berkuasa antara tahun 295320 H. Adapun sirah nabi
sendiri merupakan salah satu bagian darinya, yang dimulai dengan
kisah kelahiran beliau dalam I/453, dan diakhiri dengan cerita
Saqifah Bani Sa'idah dalam II/234.
3. AlBidayah wanNihayah, karya Ibnu Katsir. Karya ini lebih
spekakuler lagi, karena terdiri dari 14 juz. Dimulai sejak sebelum
penciptaan alam semesta sampai sekitar seperempat terakhir abad
ke8 Hijriyah. Artinya, jauh setelah Baghdad diluluhlantakkan oleh
balatentara Mongol pimpinan Hulagu Khan pada pertengahan abad
ke7 Hijriyah (abad ke13 Masehi), dan kekhilafahan 'Abbasiyah
sendiri telah berpindah ke Mesir. Sirah nabawiyah dituturkan sejak
permulaan juz 2 sampai juz 5 hal. 245 (Saqifah Bani Sa'idah).
Sebetulnya bagianbagian selanjutnya masih membahas seputar
Rasulullah, namun dalam fragmenfragmen yang tidak sepenuhnya
dapat diurutkan secara kronologis.
4. Masih ada beberapa karya klasik maupun kontemporer yang dapat
dirujuk, dan akan kami sebutkan nanti pada apendiks Bagian III,
insyaAllah. Tentu saja, literaturliteratur ini tebal dan penuh
perincian yang detail. Beberapa diantaranya memuat studi intensif
seputar kualitas sanadnya, sehingga memiliki bobot ilmiah yang
67
tinggi. Dan, bagi Anda yang tidak punya cukup waktu menelaah,
tersedia karya Syekh Muhammad Khudhary Bek, yakni Nurul Yaqin fi
Siirati Sayyidil Mursalin. Hanya satu jilid sedang, dengan gaya
bahasa sederhana dan mudah dimengerti. Tetapi, kalau Anda juga
masih segan melahap buku ini, versi ringkasannya pun tersedia.
Silakan baca Khulashoh Nurul Yaqin fi Siirati Sayyidil Mursalin,
ditulis Syekh 'Umar 'Abdul Jabbar dalam 3 juz mini, hanya ratusan
halaman buku tulis. Masingmasing membahas sirah periode Makkah,
periode Madinah dan satu bagian terakhir mengulas sejarah 4
khulafa' arrasyidun. Bahasanya sederhana, poinpoinnya mudah
diingat, dan satu lagi: tidak ada perdebatan teoritis maupun
penyebutan sanad yang membingungkan. Cocok bagi pemula atau
mereka yang enggan memelototi bukubuku tebal!
Demikian sebagian literatur yang sudah sempat kami kaji sepintaskilas,
dan semoga dapat menjadi inspirasi bagi ikhwan sekalian. Bila Anda
tidak memilikinya, dan karena kebanyakan merupakan kitabkitab tebal
yang mahal, kami sarankan untuk mengakses perpustakaan milik
perguruan tinggi negeri di bawah naungan Departemen Agama. Buku
buku tersebut bukan buku langka, dan biasanya termasuk literatur
standar yang disarankan dalam studistudi lanjut untuk matakuliah
terkait.[]
Wallahu a'lam bishshawab.
68
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
BAGIAN II
PILARPILAR POKOK
MANHAJ
SISTEMATIKA NUZULNYA WAHYU
Bagian ini mengetengahkan rujukan yang
terinci atas pilarpilar pokok Manhaj
Sistematika Nuzulnya Wahyu, yakni
kedudukan masingmasing surah dalam
tartib nuzuli; yang juga merekam polemik,
jawaban, penelitian dan takhrij atas
riwayatriwayat yang ada.
Seluruhnya terangkum dalam 6 bab.
Ijma' atas al'Alaq
Memahami Kontroversi alQalam
Menjernihkan Kekaburan Riwayat al
Muzzammil
AlMuddatstsir Sebagai Wahyu Kedua
Kedudukan alFatihah dalam Tartib
Nuzuli
AlLahab Sebagai Surah Penanda Da'wah
Jahriyah
Ringkasan
Saran Bahan Bacaan Lanjut
wwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwww
69
BAB I
IJMA' ATAS AL'ALAQ
Mayoritas ulama sepakat (ijma) bahwa wahyu pertama yang turun
kepada Rasulullah adalah surah alAlaq ayat 15, yakni sampai ma lam
yalam. Memang ada pendapat lain, namun bisa dibuktikan
kelemahannya atau ditawil kepada pendapat lain sehingga tepat
selaras dengan ijma diatas.
Kitab ashShahihain sendiri menjadi sumber dua versi riwayat yang
zhahirnya bertentangan, walau berasal dari sumber yang satu, yakni
Jabir bin Abdillah. Dalam riwayat itu beliau membantah bahwa Iqra'
adalah wahyu pertama, dan menegaskan bahwa alMuddatsir lah yang
turun lebih dahulu. Namun, dalam riwayat satunya ada "kejanggalan",
yang akan dibahas secara tersendiri pada tempatnya.
Satu lagi riwayat yang juga disebutkan dalam ashShahihain tentang
wahyu pertama, bersumber dari 'Aisyah, dan ini yang dinilai paling kuat.
Mengenai surah ini, Syekh Muhammad Izzah Darwazah menulis dalam
atTafsir alHadits I/2223:
Seluruh tataurutan surah yang diriwayatkan, meletakkan surah alAlaq
ini di urutan pertama. Mudah dipahami dari fakta ini karena lima ayat
pertamanya merupakan ayatayat alQuran yang mulamula diturunkan,
menurut mayoritas ulama. Sebab, isi kandungan ayat selebihnya dan
juga uslubnya menunjukkan bahwa ia diturunkan setelah jeda waktu
tertentu pasca penurunan lima ayat permulaannya. Hanya saja, jeda
waktu ini tidaklah terlalu lama berdasar pada apa yang diisyaratkan oleh
ayatayat surah itu sendiri.
Dalam lima ayat pertama terdapat perintah kepada Nabi shallallahu
alaihi wa sallam untuk membaca (qiraah) dan pujian terhadap ilmu
yang diilhamkan oleh Allah kepada manusia. Dalam ayat selebihnya
terdapat serangan sengit kepada orang yang melampaui batas, yang
terperdaya oleh hartabenda dan kedudukannya, yang menentang Nabi
shallallahu alaihi wa sallam; peneguhan kepada Nabi dalam dakwah
dan sikapnya, dan agar beliau tidak memperdulikannya.
Setelah menyebutkan 5 ayat pertama surah alAlaq, disertai sedikit
catatan kaki atas mufradat yang sukar, beliau melanjutkan:
Ayatayat ini berdasar hadits yang diriwayatkan Imam alBukhari dari
Aisyah radhiyallahu anha yang akan kami sebutkan sebentar lagi
merupakan ayat alQuran yang permulaan turun. Meskipun ada riwayat
riwayat yang menyebutkan bahwa ayatayat permulaan dari surah yang
lain seperti alQalam, alMuddatsir, dan alMuzzammil, dan (ada
riwayat) bahwasanya surah alFatihah dan adhDhuha merupakan bagian
alQuran yang diturunkan pertamakali, namun haditshadits yang
mengutarakan bahwa ayatayat permulaan alAlaq ini lebih kuat
sanadnya, sebagaimana isi kandungannya pun mengisyaratkan kuatnya
riwayat ini.
70
Dalam ayatayat yang ungkapannya sangat jelas ini tidak terdapat
perintah berdakwah. Di dalamnya hanya ada peringatan dan penyiapan.
Bilamana ayatayat berikutnya mengandung pemandangan berupa
tentangan dari orangorang yang melampaui batas kepada Nabi shalla
llahu alaihi wa sallam tatkala memulai dakwah dan shalatnya, maka
yang logis adalah ayatayat (permulaan alAlaq) ini diturunkan sebagai
satu kesatuan tersendiri, kemudian turun setelah itu beberapa ayat atau
surah alQuran lainnya yang di dalamnya berisi perintah dakwah dan
dasardasarnya. Bahwa kedudukan surah ini sebagai yang nomor
pertama dalam tartib nuzuli adalah disebabkan turunnya ayatayat
pembukaannya.
Riwayat 'Aisyah tentang Wahyu Pertama
Riwayat paling terkenal tentang awal mula turunnya wahyu adalah
hadits yang bersumber dari 'Urwah bin azZubair, yang menceritakannya
dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha. Teks (matan) hadits ini sangat panjang,
dan dicantumkan oleh Imam alBukhari dalam kitabnya I/4 hadits no. 3.
Riwayat inilah yang paling shahih dan dijadikan sandaran oleh para
ulama'.
Yahya bin Bukair menyampaikan hadits kepada kami, katanya: alLaits
menyampaikan hadits kepada kami, dari 'Aqil, dari Ibnu Syihab, dari
'Urwah bin azZubair, dari 'Aisyah Ummul Mu'minin, bahwa beliau
berkata: Yang mulamula datang kepada Rasulullah dari wahyu adalah
mimpi yang bagus (arru'ya ashshalihah) dalam tidurnya. Beliau tidak
pernah bermimpi kecuali ia pasti datang (terjadi), seperti halnya
terbitnya subuh (yang pasti terjadi). Beliau kemudian terdorong untuk
menyendiri (berkhalwat). Beliau menyendiri di Gua Gira', dan ber
tahannuts di dalamnya, yakni beribadah selama beberapa malam yang
dapat dihitung, sebelum akhirnya kembali pulang menemui istrinya dan
mengambil perbekalan untuk melanjutkan tahannutsnya. Beliau
kemudian pulang kepada Khadijah serta mengambil bekal sejumlah yang
sama. Sampai (akhirnya di suatu saat) datang kepada beliau kebenaran
(alhaqq) pada saat beliau berada dalam Gua Hira'. Malaikat mendatangi
beliau dan berkata, "Bacalah (iqra')". Beliau menyahut, "Aku tidak bisa
membaca." Ia (malaikat) merengkuh dan mendekapku sampai aku
merasa sangat payah (sesak). Ia kemudian melepaskan aku dan berkata
(lagi), "Bacalah". Aku menjawab, "Aku tidak bisa membaca." Ia
merengkuh dan mendekapku untuk kedua kalinya sampai aku merasa
sangat payah (sesak). Ia kemudian melepaskan aku dan berkata (lagi),
"Bacalah". Aku menjawab, "Aku tidak bisa membaca." Ia merengkuh dan
mendekapku untuk ketiga kalinya kemudian melepaskanku, dan
berkata, "Iqra' bismi rabbikalladzi khalaq, khalaqal insana min 'alaq,
iqra' wa rabbukal akram." Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun
kembali dalam keadaan terguncang hatinya (yarjufu fu'aduhu). Beliau
masuk menemui Khadijah binti Khuwailid radhiyallahu 'anha, dan
berkata, "Selimuti aku, selimuti aku (zammiluuni, zammiluuni)." Mereka
kemudian menyelimuti beliau sampai rasa takutnya hilang. Beliau
kemudian berkata kepada Khadijah dan beliau telah menceritakan apa
yang terjadi, "Sungguh aku sangat mengkhawatirkan diriku sendiri."
Khadijah berkata, "Jangan begitu. Demi Allah, Dia tidak akan
71
menghinakanmu untuk selamanya. Engkau senantiasa menyambung tali
persaudaraan, menanggung beban (orang lain), memberi pekerjaan
kepada orang yang tidak berpunya, memuliakan tamu, menolong para
pembela kebenaran." Maka Khadijah berangkat bersama beliau untuk
menemui Waraqah bin Naufal bin Asad bin 'Abdil 'Uzza, putra pamannya.
Dia adalah seorang penganut Nasrani di zaman jahiliyah. Dia juga bisa
menulis kitab dalam bahasa Ibrani, sehingga dia dengan izin Allah
menulis sebagian dari Injil dengan bahasa Ibrani. Dia adalah seorang
yang sudah sangat tua lagi telah buta. Khadijah berkata kepadanya, "Hai
anak pamanku, dengarkan (kisah) dari anak saudaramu (maksudnya,
Muhammad) ini." Waraqah pun bertanya kepada beliau, "Hai anak
saudaraku, apa yang telah engkau lihat?" Maka Rasulullah pun
meberitahunya apa yang telah beliau lihat. Waraqah menanggapi, "Ini
adalah anNaamuus (malaikat Jibril) yang telah Allah turunkan kepada
Musa. Duh, seadainya aku masih muda dan perkasa. Seandainya aku
masih hidup pada saat kaummu mengusirmu." Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam balik bertanya, "Apakah mereka akan mengusir saya?"
Dia menjawab, "Ya, tak seorangpun yang pernah datang membawa
seperti apa yang engkau bawa ini melainkan pasti dimusuhi. Jika aku
mendapati hariharimu (itu), niscaya aku akan menolongmu dengan
sekuat tenaga." Tidak lama kemudian Waraqah meninggal dan wahyu
mengalami fatrah."
Demikianlah riwayat panjang dan paling diakui dalam masalah wahyu
pertama. Meski lahiriah ayat surah al'Alaq yang dikutip dalam riwayat
ini hanya sampai ayat ke3, bukan berarti hanya sampai penggalan ini
saja yang diturunkan pertamakali. Karena sudah masyhur, riwayat ini
cukup meringkasnya dan tidak menyebutkan secara utuh. Banyak riwayat
lain yang melengkapi dan menunjukkan bahwa wahyu pertama turun
sampai ayat kelima.
Riwayat serupa ini dikutip para ulama' lainnya di dalam kitabkitab
mereka. Hampir seluruhnya berpangkal kepada Ummul Mu'minin 'Aisyah
radhiyallahu 'anha, sbb:
Riwayat alBukhari selain yang sudah dikutip, dengan tambahan
keterangan pada riwayat ini dalam ashShahih IV/1894 hadits no.
4670. Juga pada VI/2561 hadits no. 6581. Kata arru'ya asshalihah
kadang diganti arru'ya ashshadiqah (mimpi yang benar). Baik dalam
Sahih alBukhari sendiri maupun kitabkitab lainnya, kedua istilah ini
saling menggantikan.
Riwayat Muslim dalam ashShahih I/139142 hadits no. 160.
Riwayat Ibnu Hibban dalam ashShahih I/216219 hadits no. 33.
Riwayat atBaihaqi dalam asSunan alKubra VII/51 hadits no. 13112
dan 13113, dari Muhammad bin anNu'man bin Basyir yang kemudian
dirangkai dengan riwayat dari 'Aisyah. Disebutkan juga dalam IX/5
dst, bab mabtada'ul ba'tsi.
Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam alMushannaf VI/147 hadits no.
30218, dari Mujahid. Kemudian pada VII/254 hadits no. 35813, dari
'Ubaid bin 'Umair. Tiga riwayat setelahnya juga menyebutkan
72
masalah yang sama, bersumber dari 'Ubaid bin 'Umair, Abu Musa al
Asy'ari dan Mujahid.
Riwayat Abu Dawud athThayalisi dalam alMusnad I/215 hadits no.
1539. Kisah dalam hadits yang bersumber dari 'Aisyah ini cukup unik
dan redaksinya berbeda dengan riwayatriwayat yang lain.
Sebuah riwayat yang dikemukakan dalam Musnad alHarits dan
Zawa'id alHaitsami, karya alHarits bin Abi Usamah dan alHafizh
Nuruddin alHaitsami, II/867 hadits no. 928. Kisah di dalamnya
serupa dengan riwayat Abu Dawud athThayalisi.
Riwayat Ahmad bin Hanbal dalam alMusnad VI/232 hadits no. 26001.
Riwayat alHakim dalam alMustadrak 'ala ashShahihain II/240
hadits no. 2872, dari Abu Musa alAsy'ari. Hadits no. 2873 juga berisi
perihal yang sama. Juga dalam II/576 hadits no. 3953 dari 'Aisyah.
Dua riwayat setelahnya juga menyebutkan masalah yang sama.
Inilah sebagian dari yang dapat kami temukan. Keterangan tambahan
bisa dicari secara lebih luas dan rinci dalam syarah untuk masingmasing
kitab hadits yang telah disebutkan, jika ada, seperti Fathul Baari karya
Ibnu Hajar dan penjelasan Imam anNawawi untuk Shahih Muslim.
Riwayat Jabir tentang Wahyu Pertama
Kedua penulis ashShahihain sendiri meletakkan riwayat Jabir ini setelah
riwayat 'Aisyah diatas. Riwayat 'Aisyah memang mengungkap kisah yang
jauh lebih jelas dan eksplisit tentang turunnya wahyu pertama,
sementara riwayat Jabir mengandung sedikit kontroversi karena di
dalamnya ada semacam sanggahan terhadap riwayat 'Aisyah, dan
mengunggulkan bahwa wahyu pertama adalah alMuddatsir, bukannya
Iqra'. Disini, kami mengutip salah satu dari riwayat alBukhari yang
bersumber dari Jabir (lihat: IV/1874 hadits no. 4638).
Yahya menyampaikan hadits kepada kami: Waki' menyampaikan hadits
kepada kami, dari 'Ali bin alMubarak, dari Yahya bin Abi Katsir: Saya
bertanya kepada Abu Salmah bin 'Abdurrahman [bin 'Auf] tentang wahyu
yang pertamakali diturunkan dari alQur'an. Dia menjawab, "Ya ayyuhal
muddatsir." Saya katakan, "Mereka bilang (yang pertamakali turun
adalah) Iqra' bismi rabbikalladzi khalaq"? Abu Salmah berkata, "Saya
telah bertanya kepada Jabir bin 'Abdillah radhiyallahu 'anhu tentang
hal itu, dengan berharap seperti yang engkau katakan tadi. Maka Jabir
pun berkata, 'Aku tidak menceritakan kepadamu kecuali apa yang telah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ceritakan kepadaku: "Aku
berdiam (untuk berkhalwat) di Gua Hira', setelah aku
menyelesaikannya maka aku pun turun. (Saat itu) ada suara
memanggilku, lalu aku menoleh ke kanan dan aku tidak melihat apa
pun. Aku tengok ke sebelah kiri, dan aku pun tidak melihat apaapa.
Aku lihat di depanku, tidak kulihat apaapa. Kulihat ke belakang, juga
tidak kulihat apa pun. Lalu aku tengadahkan kepalaku (ke atas), dan
kulihat sesuatu. Aku segera menemui Khadijah dan kukatakan, 'Selimuti
aku (datstsaruuni), dan siramkan air dingin kepadaku." Mereka pun
73
menyelimuti aku dan menyiramku dengan air dingin. Maka, turunlah "Ya
ayyuhal muddatsir qum fa andzir wa rabbaka fa kabbir."
Merujuk kepada riwayatriwayat lain, "sesuatu" yang beliau lihat di langit
adalah malaikat Jibril 'alaihis salam. Bahkan, diceritakan pula betapa
terkejutnya Rasulullah ketika itu sehingga langsung jatuh berlutut dan
ambruk ke tanah, saat melihat Jibril yang "tengah duduk di atas kursi,
melayang di angkasa". Beberapa saat beliau tercenung di tempat itu
sebelum akhirnya dapat mengumpulkan kembali kekuatannya dan pulang
ke rumah. Tambahan keterangan seperti ini dapat dibaca dalam riwayat
riwayat yang seluruhnya berpangkal kepada Jabir bin 'Abdillah, sbb:
Riwayat alBukhari dalam asShahih III/1182 hadits no. 3066;
IV/18751876 hadits no. 46414642.
Riwayat Muslim dalam asShahih I/143 hadits no. 161.
Riwayat Ibnu Hibban dalam asShahih I/220 hadits no. 34.
Riwayat anNasai dalam asSunan alKubra VI/502 hadits no. 11631
11633.
Riwayat atBaihaqi dalam asSunan alKubra VII/51 hadits no. 13113.
Riwayat 'Abdurrazzaq ashShan'ani dalam alMushannaf V/232.
Riwayat Abu Dawud athThayalisi dalam alMusnad I/235 hadits no.
1688.
Riwayat Abu Ya'la alMaushili dalam alMusnad III/451452 hadits no.
1948.
Riwayat Ahmad dalam alMusnad III/325 hadits no. 14523; hal. 377
hadits no. 15075; dan hal. 392 hadits no. 15251.
Ketakutan semacam ini memang terjadi beberapa kali pada masa awal
perjumpaan beliau dengan Jibril. Banyak riwayat yang menguatkannya.
Bagaimana pun, beliau adalah manusia biasa yang tidak pernah berpikir
untuk memperoleh anugerah kenabian dan bertemu dengan makhluk
Allah yang perkasa bernama Jibril itu. AlQur'an pun mengisahkan
ketakutan yang sama pernah dialami Musa 'alaihis salam saat menerima
wahyu pertamakali. Bahkan, saat melihat tongkat yang selama ini beliau
pegang mendadak berubah menjadi ular sungguhan yang bergerak sangat
gesit, beliau langsung lari berbalik tanpa menengok (QS anNaml: 10 dan
alQashash: 31).
Riwayat Jabir yang kontroversial ini juga dikutip oleh banyak ulama',
yang dapat ditelusuri dalam referensi yang sudah kami sebutkan di atas.
Namun, masalahnya sudah jelas. Sebab, jika disatukan antara satu
riwayat dengan lainnya, tampak bahwa "sesuatu" telah terjadi pada teks
yang berasal dari Jabir tersebut. Seperti disinyalir Ibnu Hajar, sebagian
fragmen penting dalam kisah wahyu pertama ini kemungkinan besar
hilang atau terlewatkan. Menurut para peneliti, memang ada keanehan
dalam riwayat Jabir ini. Berdasarkan kepada riwayat dari Jabir juga,
namun lewat jalur lain, ditemukan penyebutan kisah yang menyatakan
ketakutan Nabi melihat malaikat yang pernah beliau temui di Gua Hira'.
74
Riwayat yang menyatakan tambahan teks semacam ini, misalnya,
disebutkan oleh alBukhari sendiri di tempat lain (lihat: IV/1895 hadits
no. 4671).
Indikasi ini jelas menunjukkan bahwa Iqra' telah turun dan Nabi agak
trauma karena saat wahyu pertama turun beliau sempat didekap sangat
erat oleh Jibril, sehingga beliau merasa sangat payah dan menyangka
nyaris saja mati. Menurut Ibnu Hajar, yang menukil penilaian alKirmani,
bahwa pernyataan Jabir tentang alMuddatsir sebagai wahyu pertama
sebelum Iqra' adalah hasil ijtihadnya sendiri, bukan berasal dari
riwayatnya yang marfu' kepada Rasulullah. Yang shahih adalah riwayat
'Aisyah diatas (lihat: Fathul Bari VIII/678).
Ibnu Hajar menengarai adanya fragmen yang hilang (saqatha) dari
riwayat awal mula turunnya wahyu menurut Jabir, lewat salah satu jalur
periwayatannya, yakni Yahya bin Abi Katsir. Sebab, dalam salah satu
matan riwayat disebutkan cerita Rasulullah, "saya berdiam di Gua Hira'
selama sebulan, maka tatkala saya telah menyelesaikannya saya turun
ke lembah, dan saya (mendengar) panggilan sampai cerita saya
kemudian mendongakkan kepala, tibatiba saya melihat dia (yaitu
Jibril) di atas 'Arsy maksudnya: di angkasa maka saya mendatangi
Khadijah dan berujar, 'Selimuti aku, selimuti aku!!" Kemungkinan, masih
menurut Ibnu Hajar, kisah tentang kedatangan Jibril kepada Rasulullah
di Gua Hira' dengan membawa Iqra' hilang dari riwayat ini, sebagaimana
cerita selengkapnya dapat dilihat dalam riwayat lain dari 'Aisyah lewat
'Urwah atau riwayat Jabir sendiri menurut jalur lain. Atau, ada
kemungkinan lainnya, dimana dalam riwayat mursal dari 'Ubaid bin
'Umair yang dinukil alBaihaqi dinyatakan bahwa Rasulullah kembali ber
tahannuts di Gua Hira' selama sebulan penuh, yaitu di bulan Ramadhan,
yang berlangsung dalam masa fatrah wahyu. Mungkin, kisah dari Jabir ini
berkaitan dengan kembalinya Jibril setelah sekian lama wahyu terhenti
(fatrah). Disini, kita bertemu dengan riwayat mursal, dan karenanya
pula tidak begitu yakin.
Di lain pihak, Imam alBukhari sendiri juga mengutip riwayat bahwa
Jabir saat menyampaikan hadits tentang alMuddatsir sebenarnya sedang
berbicara tentang masa fatrah wahyu (lihat: I/5 hadits no. 4; dan
IV/1895 hadits no. 4671). Itu berarti, telah ada wahyu yang turun
sebelumnya. Sudah dimaklumi bahwa setelah Iqra' turun sempat terjadi
kevakuman beberapa saat dimana alQur'an tidak turun kepada beliau.
Menurut hemat kami, jumhur ulama' lebih puas untuk menyepakati
bahwa al'Alaq adalah wahyu pertama secara mutlak, dan setelah itu
disusul alMuddatsir, atau alQalam menurut pendapat lainnya.[]
Wallahu a'lam.
75
BAB II
MEMAHAMI KONTROVERSI ALQALAM
Dalam khazanah literatur tafsir, 'ulumul Qur'an, hadits, maupun sirah
nabawiyah, perbedaan pendapat yang menajam dimulai dari wahyu
kedua, yakni surah apa yang diturunkan kepada Rasulullah setelah Iqra'?
Sebagian pendapat menguatkan alQalam, sebagaimana yang tampak
jelas dalam berbagai versi tartib nuzuli yang telah kami sebutkan
maupun dalam susunan mushhafmushhaf yang ada. Di sisi lain, ada yang
menguatkan surah alMuddatsir sebagai wahyu kedua setelah Iqra'.
Perbedaan pendapat ini dipicu oleh beberapa hal, diantaranya adalah
perbedaan diantara sebagian riwayat yang samasama shahih tentang
masalah ini, dan juga tidak disepakatinya berapa lama masa fatrah
berlangsung kepada Rasulullah setelah turunnya wahyu pertama. Pilihan
terhadap salah satu pendapat tentang masa fatrah akan berimplikasi
kepada pilihan surah kedua yang turun, demikian pula sebaliknya.
Di sisi lain, sebagian perawi agaknya juga dibingungkan oleh riwayat
tentang masa fatrah yang konon tidak hanya sekali. Pembaca yang tidak
cermat akan menyangka bahwa masa fatrah yang disebutkan untuk
asbabun nuzul surah adhDhuha adalah sama dengan masa fatrah setelah
wahyu pertama. Jika perawi tidak bisa memilah hal ini, boleh jadi ia
akan mencampuradukkan keduanya, sehingga wahyu kedua yang turun
setelah Iqra' pun menjadi adhDhuha. Contoh kasus dari kebingungan
semacam ini dapat ditemukan dalam Sirah Ibnu Hisyam (lihat: II/8082
edisi Arab), yang itu berarti merupakan riwayat yang dipilih oleh Ibnu
Ishaq.
Kontroversi Wahyu Kedua
Sebenarnya, polemik seputar surah atau bagian wahyu mana yang turun
di urutan kedua sangat luas. Perbedaan pendapat tidak hanya
memunculkan alQalam dan alMuddatsir di urutan kedua. Setidaknya,
rekaman berikut ini akan memberi gambaran lebih jauh bahwa
sesungguhnya kebanyakan riwayat tentang tata urutan penurunan adalah
ijtihadi.
Disini, perbedaan pendapat pun tak terelakkan, tergantung riwayat yang
diterima masingmasing ulama' maupun kekuatan ijtihadnya. Hanya satu
hal yang pasti, bahwa tidak ada satupun versi tataurutan yang benar
benar mampu bertahan dari kritik yang melemahkan dan menolak
keabsahannya. Semua mengandung kontroversi dan kelemahan, terlebih
pada saat harus mengemukakan daftar lengkap tata urutan penurunan
dari 114 surah alQur'an. Boleh dikata, tidak ada yang benarbenar kukuh
sistem pengurutannya jika dikritik secara detail.
Faktafakta berikut ini kami cuplik dari AlBurhan fi 'Ulumil Qur'an
I/206208, yang menggambarkan dengan gamblang spektrum ikhtilaf
dalam masalah wahyu kedua:
76
Adapun yang pertama turun, maka dalam Shahih alBukhari dalam
hadits tentang awal mula wahyu terdapat riwayat yang memastikan
bahwa yang pertamakali diturunkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam adalah Iqra' bismi rabbika, kemudian alMuddatsir. Imam al
Hakim mentakhrij sebuah hadits dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha secara
eksplisit dan menurut beliau itu shahih sanadnya. Dalam redaksi Imam
Muslim disebutkan, "Bagian alQur'an yang pertamakali diturunkan
adalah Iqra' bismi rabbika sampai ayat 'allamalinsaana ma lam ya'lam."
Dalam Shahih alBukhari sendiri terdapat pula bahwa (wahyu pertama
hanya sampai ayat) wa rabbukalakram. Riwayat terakhir ini diringkas,
sedang dalam riwayat yang pertama tadi ada tambahan. Tambahan ini
berasal dari perawi tsiqah (terpercaya) dan bisa diterima.
Ada pula riwayat yang membantah hal ini. Dalam Shahih Muslim, dari
Jabir radhiyallahu 'anhu, "Bagian alQur'an yang pertamakali diturunkan
adalah surah alMuddatsir." Sebagian ulama' mengkompromikan kedua
riwayat ini, bahwa Jabir sendiri mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam yang menuturkan kisah awal mula turunnya wahyu, sedang ia
hanya mendengar bagian terakhirnya dan tidak mendengar bagian
depannya, sehingga ia mengira bahwa itulah yang pertamakali turun,
padahal bukan demikian sebenarnya. Ya, memang benar bahwa itu
adalah wahyu yang pertamakali turun setelah surah Iqra' dan terjadinya
masa fatrah.
Hal itu berdasar riwayat lain yang juga berasal dari Jabir yang terdapat
dalam ashShahihain, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah
bertutur tentang masa kosong dari wahyu (fatrah). Dalam cerita itu
beliau menyebutkan, "Saat aku berjalan, aku mendengar suara dari arah
langit, sehingga kudongakkan kepalaku. Tibatiba kulihat malaikat yang
pernah mendatangiku di Gua Hira' sedang duduk diatas kursi (melayang)
diantara langit dan bumi. Akupun jatuh berlutut karena sangat kaget
melihatnya. Aku pulang dan kukatakan, 'Selimuti aku! Selimuti aku!'
Maka, Allah pun menurunkan yaa ayyuhal muddatsir qum faandzir.
Dalam hadits ini beliau menyebutsebut malaikat yang pernah
mendatangi beliau di Gua Hira' pada kesempatan sebelumnya. Dalam
hadits 'Aisyah, beliau mengabarkan bahwa turunnya Iqra' adalah di Gua
Hira', dan inilah wahyu pertama. Kemudian, wahyu sempat terhenti
sementara waktu setelahnya. Dalam hadits Jabir, beliau mengabarkan
bahwa wahyu kemudian turun berturutturut setelah turunnya al
Muddatsir. Dari sini dapat diketahui bahwa Iqra' adalah wahyu yang
turun pertama secara mutlak, dan bahwa surah alMuddatsir turun
setelahnya. Demikian pula yang dikatakan Ibnu Hibban dalam Shahih
nya. Tidak ada pertentangan diantara kedua hadits tersebut. Bahkan,
jelas yang pertama turun adalah Iqra' bismi rabbikalladzi khalaq di Gua
Hira', kemudian saat beliau kembali menemui Khadijah rahiyallahu
'anha dan beliau mengguyur Nabi dengan air dingin, maka Allah
menurunkan yaa ayyuhal muddatsir di rumah Khadijah. Terlihat jelas
bahwa setelah beliau menerima Iqra', beliau pulang ke rumah dan
menyelimuti dirinya, sehingga Allah menurunkan yaa ayyuhal muddatsir.
Ada pendapat lain bahwa yang pertamakali diturunkan adalah surah al
Fatihah. Hal ini diriwayatkan dari jalur Abu Ishaq, bersumber dari Abu
Maysarah. Disebutkan, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
77
saat mendengar suara bergegas lari, disebutkan pula tentang turunnya
malaikat menemui beliau, dan juga pesan, "Katakanlah: 'Alhamdu lillahi
rabbil'alamin', sampai akhir surah."
Qadhi Abu Bakr [alBaqillani] menyatakan dalam alIntishar, khabar ini
sendiri munqathi (terputus sanadnya). Pendapat yang paling kuat
(atsbat) sebagai wahyu pertama adalah Iqra' bismi rabbika, dan disusul
Yaa ayyuhal muddatsir di posisi kedua kekuatannya. Cara menyatukan
pendapatpendapat ini adalah, "Ayat yang pertamakali diturunkan
adalah Iqra' bismi rabbika. Perintah dakwah yang pertamakali
diturunkan adalah yaa ayyuhal muddatsir. Sementara, surah yang
pertamakali diturunkan adalah alFatihah."
Kasus ini sama dengan hadits, bahwa yang pertamakali dihisab dari
seorang hamba adalah shalat, sedangkan yang pertamakali diputuskan
perkaranya adalah persoalan darah. Cara menyatukan keduanya bahwa
yang pertamakali diputuskan hukumnya dari urusan mazhalim
(penganiayaan) yang terjadi diantara sesama hamba Allah adalah urusan
darah, sedangkan yang mulamula dihisab dari fara'idh (perkara yang
diwajibkan Allah) badaniyah adalah shalat.
Ada yang berpendapat bahwa yang pertamakali diturunkan untuk urusan
kerasulan adalah yaa ayyuhal muddatsir, sedang untuk urusan kenabian
adalah iqra' bismi rabbika. Para ulama' menyatakan bahwa firman Allah
iqra' bismi rabbika menunjukkan kenabian Muhammad shllallahu 'alaihi
wa sallam, karena kenabian adalah ungkapan yang menyatakan
diturunkannya wahyu kepada seorang pribadi melalui lisan malaikat
dengan membawa beban kewajiban (taklif) khusus [bagi dirinya sendiri].
Sementara itu, firman Allah yaa ayyuhal muddatsir qum faandzir
menunjukkan kerasulan beliau, karena risalah adalah ungkapan yang
menyatakan diturunkannya wahyu melalui lisan malaikat dengan
membawa taklif umum [untuk semua orang].
Qadhi Abu Bakr [alBaqillani] meneyebutkan dalam alIntishar satu
riwayat, "Kemudian sesudah surah Iqra' diturunkan tiga ayat permulaan
surah Nuh dan tiga ayat permulaan surah alMuddatsir."
Bersumber dari Mujahid, beliau berkata, "Surah pertama yang
diturunkan adalah Iqra', kemudian Nuh."
Imam alHakim menyebutkan dalam alIkliil, bahwa ayat pertama yang
diturunkan untuk masalah izin berperang adalah firman Allah,
"Sesungguhnya Allah membeli harta dan jiwa kaum mukminin dengan
imbalan surga bagi mereka." [QS atTaubah: 111]
Dalam alMustadrak diriwayatkan bersumber dari Ibnu 'Abbas bahwa
ayat yang mulamula turun dalam masalah tersebut adalah, "Telah
diizinkan (berperang) bagi orangorang yang diperangi dst." [QS al
Hajj: 39]
Demikianlah, yang mencerminkan bahwa masalah ini termasuk topik
'Ulumul Qur'an yang luas diperselisihkan. Banyak peneliti yang bahkan
sampai pada kesimpulan pesimistik, atau mendiamkannya samasekali,
karena riwayat tentangnya memang sangat beragam. Wallahu a'lam.
78
Riwayat Masa "Fatrah" dan Kaitannya dengan alQalam
Sebagaimana telah kami singgung di muka, ada kaitan yang sangat erat
antara riwayat masa fatrah dengan sejarah turunnya surah alQalam
maupun surahsurah lainnya yang dianggap sebagai wahyu kedua dalam
tartib nuzuli. Sangat boleh jadi, pilihan maupun upaya tarjih terhadap
salah satu riwayat masa fatrah akan mendorong seorang perawi untuk
menempatkan suatu surah sebagai wahyu kedua. Jika hal ini tidak secara
sengaja dilakukan, maka kekeliruan mempersepsi riwayat masa fatrah
pun akan berakibat kepada pilihan yang invalid atas suatu surah sebagai
wahyu kedua.
Secara umum, dalam konteks kajian ini, "fatrah" bermakna terhentinya
wahyu selama periode tertentu. Menurut Ibnu Hajar, dalam Fathul Bari
I/27, hal ini tidaklah bermakna menghilangnya Jibril samasekali, namun
lebih merupakan periode dimana alQur'an terlambat atau bahkan tidak
turun.
Dalam Tarikh milik Ahmad bin Hanbal, sebagaimana dikutip Ibnu Hajar,
memang terdapat riwayat yang paling masyhur mengenai masa fatrah,
yakni 3 tahun. Tentang ini, Ibnu Hajar menulis:
Dapat ditemukan dalan Tarikh karya Ahmad bin Hanbal, yang bersumber
dari asySya'bi, bahwa lamanya masa fatrah adalah 3 tahun, dan ini yang
ditetapkan oleh Ibnu Ishaq. Imam alBaihaqi menceritakan bahwa
lamanya masa bermimpi yakni, mimpi yang benar sebelum kenabian
adalah 6 bulan. Berdasar riwayat ini, (dapat dihitung) bahwa permulaan
kenabian dengan datangnya mimpi adalah di bulan kelahiran beliau,
yaitu Rabi'ul Awwal, setelah usia beliau genap 40 tahun; sedangkan awal
mula (turunnya) wahyu dalam keadaan sadar adalah pada bulan
Ramadhan.
Ibnu Hajar sendiri tidak memberikan penilaian atas riwayatriwayat
tersebut. Boleh jadi, beliau setuju bahwa masa fatrah memang
berlangsung selama 3 tahun, seperti yang tampak dalam uraian beliau di
bagian selanjutnya:
Saya telah mengecek langsung riwayat yang dinukil dari asySya'bi dalam
Tarikh Imam Ahmad, yang redaksiya berasal dari jalur Dawud bin Abi
Hind, dari asySya'bi: "Diturunkan kepada beliau kenabian dalam usia 40
tahun. Kemudian (malaikat) Israfil mendampingi kenabian itu selama 3
tahun. Israfil mengajari beliau alkalimah dan segala sesuatu, (namun)
tidak ada alQur'an yang diturunkan lewat lisannya. Setelah 3 tahun
berlalu, (malaikat) Jibril mendampingi kenabian beliau dan alQur'an
diturunkan lewat lisannya selama 20 tahun".
Ibnu Abi Khaytsamah mengeluarkan riwayat ini lewat jalur lain secara
ringkas, masih dari Dawud juga, dengan redaksi: "Beliau diutus dalam
usia 40 tahun, kemudian diwakilkan kepadanya Israfil selama 3 tahun,
kemudian diwakilkan kepadanya Jibril (setelah itu)."
Maka, berdasar atas (pendapat) ini, dan bagus sekali. Dan, sanggahan
atas hal ini jika memang dapat dikuatkan kompromi atas dua pendapat
tentang berapa lamanya Rasulullah tinggal di Makkah setelah kenabian,
79
sebab ada yang mengatakan 13 tahun dan ada yang mengatakan 10
tahun.
Namun, alWaqidi menolak riwayat mursal ini, katanya: "Tidak
mendampingi beliau satu malaikat pun selain Jibril," (Namun),
masalahnya sudah jelas, bahwa (suatu pendapat) yang menetapkan
(adanya sesuatu) harus diutamakan diatas pendapat yang menyatakan
sebaliknya, kecuali jika orang yang berpendapat sebaliknya tersebut
punya dalil atas penolakannya. Wallahu a'lam.
Namun, boleh jadi beliau malah berpendapat sebaliknya, yakni masa
fatrah tersebut tidak mungkin berlangsung lama. Beliau melanjutkan:
AsSuhaili menerima riwayat ini dan mengkompromikan halhal yang
dipertentangkan di dalam masalah berapa lama Rasulullah berdiam di
Makkah. Dia mengatakan, "Ada sebagian riwayat yang musannadah
jelas sanadnya bahwasannya lama masa fatrah adalah dua setengah
tahun, dan dalam riwayat lain bahwasannya masa datangnya mimpi
adalah enam bulan. Maka, orang yang berpendapat bahwa Rasulullah
berdiam di Makkah 10 tahun, berarti membuang masa fatrah dan
datangnya mimpi. Sedangkan orang yang berpendapat masa berdiam
beliau 13 tahun, berarti memasukkan kedua masa itu ke dalamnya."
Namun, yang dijadikan pegangan oleh asSuhaili dalam hujjahnya ini,
yakni riwayat mursal asySya'bi, tidak tetap (la yatsbut). Sebab,
dibantah oleh riwayat lain dari Ibnu 'Abbas bahwa lamanya masa fatrah
tersebut hanyalah dalam hitungan hari.
Syekh Muhammad alKhudhary Bek, penulis Nurul Yaqin fi Siirati Sayyidil
Mursalin pada hal. 3435 (edisi terjemah), menyitir "pendapat yang
paling kuat menyatakan bahwa tenggang masa tidak turunnya wahyu
lamanya empat puluh hari". Ini serupa dengan apa yang disinggung
penulis Seleksi Sirah Nabawiyah hal. 109110, yang bersumber dari Ibnu
'Abbas. Sementara itu, Dr. Mushthafa asSiba'iy menyatakan dalam Sirah
Nabawi hal. 54, bahwa lamanya masa fatrah wahyu tersebut "paling
maksimal adalah tiga tahun, dan paling minimal adalah enam bulan,
dan itulah yang benar". Ketiga penulis sirah ini samasama menguatkan
bahwa masa fatrah tidaklah berlangsung sangat lama, maksimal enam
bulan.
Tentang masa fatrah ini, Ibnu Katsir juga menyinggungnya. Beliau
menulis satu risalah penutup untuk karya tafsir beliau berjudul
Fadhailul Quran, yang dicetak pada penghujung juz 4 tafsir tersebut.
Pada halaman 6, beliau menulis:
(Hadits Keempat) AlBukhari berkata: haddatsana (menceritakan hadits
kepada kami) Amr bin Muhammad: haddatsana Yaqub bin Ibrahim:
hadatsana ayahku (Ibrahim bin Saad azZuhri): an (bersumber dari)
Shalih bin Kaysan: an Ibnu Syihab, dia berkata: akhbarani
(membawakan khabar kepadaku) Anas bin Malik: Sesungguhnya Allah
menurunkan wahyu secara berturutturut kepada Rasulullah SAW
sebelum beliau wafat, sehingga beliau diwafatkan ketika wahyu sudah
sangat banyak (diturunkan), kemudian beliau wafat setelah itu.
80
Demikian pula yang diriwayatkan Muslim dari Amr bin Muhammad
20
ini
dia adalah anNaqid dan Hasan alHulwani serta Abd bin Humaid; dan
anNasai (meriwayatkan juga) dari Ishaq bin Manshur alKawsaj, dimana
keempat orang perawi ini samasama meriwayatkan dari Yaqub bin
Ibrahim bin Saad aZuhri, berupa hadits ini juga.
Artinya, sesungguhnya Allah menurunkan wahyu berturutturut kepada
Rasulullah sedikit demi sedikit, setiap saat, sesuai dengan apa yang
dibutuhkan. Dan tidak terjadi lagi masa fatrah (senggang dari wahyu)
setelah masa fatrah yang pertama, (yaitu) setelah turunnya malaikat
untuk pertamakalinya dengan membawa firman Allah taala (iqra bismi
rabbika). Maka, dalam hal ini memang wahyu tertahan sesudahnya
untuk sementara waktu, yang konon (yuqaalu) mendekati dua tahun
atau lebih. Kemudian, wahyu kembali aktif dan turun kembali
berturutturut, dan yang pertamakali turun setelah masa fatrah
tersebut adalah (ya ayyuhal muddatstsir, qum fa andzir).
Ibnu Katsir memang menyebut dua tahun atau lebih untuk lama masa
fatrah, namun katakata beliau sendiri meragukan. Beliau tidak jelas
menyatakan sumbernya, dan hanya menuliskan yuqaalu (dikatakan,
konon). Secara literal, kata berbentuk mabni lilmaful seperti ini
mengindikasikan tidak jelasnya siapa yang menjadi fail (subyek) atau
narasumber berita, sehingga tidak bisa ditelusuri lebih jauh. Dalam
disiplin Ilmu Hadits, riwayat yang menggunakan kalimat seperti ini
mengindikasikan kelemahan (dha'if), sebagaimana dibahas anNawawi
dalam atTaqrib watTaysir hal. 2728. Katakata seperti dzukira
(disebutkan), ruwiya (diriwayatkan), hukiya (dikisahkan) dan sejenisnya
yang mabni majhul, baik dalam bentuk fi'il madhi maupun mudhari',
disebut shighat tamridh (lihat: Otentisitas Hadis, hal. 2425; 5860).
Kebalikannya disebut shighat jazm. Konotasi shighat tamridh memang
negatif, karena secara harfiah bermakna "pernyataan adanya penyakit".
Perawi yang menggunakan kalimat ini biasanya tidak yakin akan ke
shahihan apa yang diceritakan, atau ia mencurigai "sesuatu" di
dalamnya. Jadi, masalahnya sudah jelas.
Dalam penafsiran Ibnu Katsir atas surah alMuddatstsir sendiri, masa
fatrah ini memang disinggungsinggung dalam sejumlah riwayat yang
beliau sebut, terutama dari alBukhari. Hanya saja, tentang mendekati
dua tahun atau lebih ini, kami tidak menemukannya. Mungkin, dengan
pengutipan yang mengambang seperti itu Ibnu Katsir ingin menghindari
kritik atau bergelut dalam kontroversi berkepanjangan. Sebagai seorang
ahli hadits di zamannya, beliau pasti mengetahui bahwa riwayat masa
fatrah ini beraneka ragam. Apakah beliau juga tidak yakin dengan masa
dua tahun lebih yang kosong dari wahyu? Wallahu alam.
20
Lengkapnya: Abu 'Utsman 'Amr anNaqid bin Muhammad bin Bukair bin Syabur al
Baghdadi, seorang faqih dan hafizh yang langka, menetap di arRiqqah dan
termasuk diantara deretan perawi alBukhari, Muslim dan Abu Dawud. Wafat pada
bulan Dzulhijjah 232 H. Dinilai sebagai perawi yang tsiqah, amiin dan shaduuq oleh
Abu Hatim (lihat: atTarikh alKabir VI/375; alJarh watTadil VI/262; Taqribu at
Tahdzib I/426; alKasyif II/87; Tarikh Baghdad XII/205).
81
Di tempat lain, dalam penafsiran beliau untuk surah alAlaq, memang
dicantumkan riwayat masa fatrah dan juga kondisi Rasulullah yang
sempat bersedih, sampaisampai terpikir untuk bunuh diri dengan terjun
dari puncak gunung. Namun, sebagaimana akan kita lihat nanti, riwayat
yang memuat tambahan semacam ini dinilai mursal dan dha'if oleh para
ahli hadits.
Sumber yang menjadi rujukan Ibnu Katsir sendiri, yakni Shahih al
Bukhari, hanya menyatakan masa fatrah secara mutlak, tanpa
penjelasan bilangan waktu. Kami menemukan teks haditsnya dalam
Jawahirul Bukhari, hal. 25, hadits no. 2, bab badul wahyi li Rasulillah
shallallahu alaihi wa sallam. Pada edisi asli Shahih alBukhari, riwayat
ini ditempatkan pada I/4 hadits no. 3. Teks riwayat yang bersumber dari
'Aisyah ini sangat panjang, berkisah tentang awal mula turunnya wahyu.
Setelah menyebutnyebut pertemuan Rasulullah SAW dengan Waraqah
bin Naufal, Aisyah berkata:
tidak lama kemudian Waraqah meninggal dan wahyu mengalami masa
fatrah.
Penjelasan tentang batasan waktu ada dalam catatan kaki, tertahan
selama tiga tahun. Artinya, bukan dari teks asli alBukhari, alias
penjelasan dari peringkasnya sendiri (Dr. Mushthafa Muhammad
Imarah), seorang pakar hadits kontemporer dari Timur Tengah. Sumber
ini tidak cukup kuat sebagai dalil tentang masa fatrah.
Penjelasan yang lebih memadai kami temukan dalam Seleksi Sirah
Nabawiyah, hal. 109110, dimana Dr. Akram Dhiya alUmuri menulis:
Tidak diketahui secara pasti berapa lama wahyu sempat terhenti. Akan
tetapi, yang jelas hal itu tidak berlangsung terlalu lama sehingga jiwa
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kembali merasa tenang untuk
siap menyambut turunnya wahyu secara berturutturut. Setelah
berhenti beberapa waktu, wahyu pertama yang turun ialah surah al
Muddatstsir ayat 15. Pernah, beberapa kali wahyu turun terlambat
selama dua atau tiga malam sehingga orangorang musyrik dengan sinis
mengatakan, Muhammad sudah ditinggalkan oleh Tuhannya. Akan
tetapi, kemudian Allah yang Mahamulia lagi Mahaagung menurunkan
firmanNya, Demi waktu matahari sepenggalahan naik, dan demi
malam apabila telah sunyi. Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan
tiada (pula) benci kepadamu. Ada beberapa perawi yang keliru. Mereka
mengira bahwa ayat tersebut turun setelah wahyu terhenti cukup lama,
yakni setelah turunnya ayat bacalah.
Pada catatan kaki untuk pernyataan beliau yang jelas hal itu tidak
berlangsung terlalu lama, Dr. Akram Dhiya menjelaskan:
Ada riwayat yang menyebutkan, selama dua setengah tahun (arRaudh
alAnfi oleh asSuhaili, II/433434). Bahkan menurut riwayat yang
bersumber dari Ibnu Abbas, hal itu hanya berlangsung selama empat
puluh hari saja (Syarah alMawahib alLaduniyah, I/236).
Artinya, beliau tak mengunggulkan pendapat tentang masa fatrah yang
berlangsung sangat lama: 2 atau 3 tahun. Sebelum mengulas masa fatrah
ini beliau sendiri sudah mengetengahkan berbagai hal yang meragukan
82
tentang apa saja yang terjadi sepanjang masa fatrah tersebut. Riwayat
riwayat yang masyhur menyebutkan bahwa Rasulullah sempat hampir
putus asa dan berniat menjatuhkan dirinya dari puncak gunung. Cerita
ini memang termaktub dalam ashShahihain, namun merupakan riwayat
mursal yang dha'if dari azZuhri, sementara jika ditelusuri dari jalur
lainnya terdapat perawi yang hafalannya sangat buruk. Bahkan, sudah
menjadi kaidah dalam disiplin Ilmu Hadits, bahwa riwayat mursal az
Zuhri tidak bisa dijadikan hujjah.
Maka, terkait semua hal ini, menurut Dr. Dhiya':
Kata alBukhari, Salah seorang tokoh isnad riwayat ini adalah
Muammar yang mengatakan bahwa azZuhri mendapatkan riwayat
tersebut dari Urwah, dan Urwah dari Aisyah. Seandainya tidak ada
selingan kalimat menurut yang kami dengar, mungkin riwayat ini
shahih. Lagi pula, menurut Ibnu Hajar, riwayat azZuhri tersebut
mursal, dan tidak maushul dari riwayat Urwah, dari Aisyah (Fath al
Bari, XII/359360). Riwayatriwayat mursal azZuhri adalah dhaif.
Riwayat mursal azZuhri tersebut juga diketengahkan oleh athThabari
(Tarikh athThabari, II/305). Menurut pendapat adzDzahabi, riwayat az
Zuhri tersebut maushul (asSirah anNabawiyah, hal. 64). Demikian pula
riwayat yang dikutip athThabari dari Numan bin Rasyid alJazri dari az
Zuhri. Menurut athThabari, itu adalah riwayat yang maushul (Tarikh
athThabari, II/298299). Akan tetapi, kendatipun Numan seorang
perawi yang jujur, sayang hafalannya sangat buruk, seperti yang
dikemukakan dalam Taqrib atTahdzib, hal. 564. Numan bahkan secara
tunggal sering memberikan tambahantambahan yang dhaif dalam
riwayat tadi, terlebih yang terkait dengan ayat alQuran yang
pertamakali diturunkan, yakni firman Allah bacalah.
Dan menurut alAlbani, tambahan seperti itu mengandung dua illat
(cacat) sekaligus. Pertama, Muammar meriwayatkannya sendirian
tampa Yunus dan Aqil. Riwayat seperti ini jelas kontorversial. Kedua,
riwayat itu mursal dan tidak maushul sehingga tida bisa dijadikan
sebagai hujjah. Secara makna, tambahan tersebut dianggap kabur
karena bagi Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallama yang
berpredikat mashum, tidak layak menjatuhkan diri dari atas gunung,
apa pun persoalan yang beliau hadapi (alAlbani, Difa min alHadits an
Nabawi wa asSirah, hal. 41; dan Silisalah alAhadits adhDhaifah, no.
4858).
Maka, menurut hemat kami, masa fatrah tidaklah berlangsung terlalu
lama.
Di luar hirukpikuk masalah masa fatrah ini, sebenarnya kaitan yang
kami maksud dengan surah alQalam adalah isi surah ini yang sudah
bernada mengancam sejak awalawal ayatnya. Jika masa fatrah hanya
beberapa hari, atau maksimal dalam hitungan bulan, maka isi surah al
Qalam menjadi sukar dimengerti logika sejarahnya. Catatancatatan
sirah nabawiyah sendiri membuktikan bahwa sampai 3 tahun setelah
turunnya Iqra' adalah periode da'wah sirriyyah (dakwah tersembunyi).
Rasulullah hanya menyeru orangorang yang sudah sangat beliau kenal
dan diperkirakan tidak akan menolak atau menimbulkan gejolak besar di
tengahtengah masyarakat Quraisy. Pada masa ini, beliau dan para
83
Sahabat mengerjakan shalat secara sembunyisembunyi di celahcelah
bukit (syiib) di sekitar Makkah, menjauh dari pemukiman penduduk.
Kisah terpergoknya beliau yang sedang shalat bersama 'Ali oleh Abu
Thalib, sudah terkenal. Demikian pula kisah Saad bin Abi Waqqash yang
memukul kepala salah seorang kafir Quraisy dengan rahang bangkai
keledai sehingga membunuhnya.
21
Walau berita masalah dakwah beliau
ini sudah mulai menyebar, dan sebagian masyarakat Quraisy mengetahui
kegiatan beliau, mereka tidak menentang dan hanya menganggapnya
sebagai pengikut kaum hanif atau kaum shabi'ah (murtad dari agama
leluhur) menurut mereka sebagaimana Zaid bin 'Amr bin Nufail dan
kawankawannya. Dakwah beliau baru dimusuhi setelah ada kecaman
terhadap berhalaberhala Quraisy serta keyakinan leluhurnya, dan itu
tidak mungkin terjadi sebelum tahun ke3 kenabian.
Jika kita memilih masa fatrah berlangsung hanya sebentar, maka
demikianlah konsekuensinya. Yakni, alQalam tidak mungkin sebagai
wahyu kedua setelah al'Alaq 15. Sebaliknya, jika kita menguatkan 3
tahun masa fatrah, maka konteks ayatayat yang keras dalam alQalam
pun menemukan tempatnya yang jelas dalam perspektif sirah
nabawiyah. Setelah masa tiga tahun pertama itu memang suasana
dakwah menjadi semakin keras dan penuh permusuhan. Wallahu a'lam.
Kedudukan alQalam dalam Tartib Nuzuli
Posisi surah alQalam ini sepanjang yang kami temukan memang
mendapatkan kritik paling luas dan rinci. Kami sendiri menangkap kesan
bahwa surah ini tidak benarbenar "sah" dalam kedudukannya sebagai
wahyu kedua. Kritik yang luas ini menunjukkan banyaknya
ketidaksepakatan, minimal mengindikasikan adanya celah nyata yang
sukar diterima. Dalam konteks alQalam ini, baik secara naqli (riwayat)
maupun aqli (penalaran), terkesan banyak kelemahan di dalam
penempatannya. Untuk dimaklumi, menurut Dr. Subhi asShalih, dalam
Mabahits fi Ulumil Quran, hal. 180181, bahwa penentuan tartib
nuzuli lebih banyak berdasar ijtihad aqli, bukan dalil naqli.
Para ulama menentukan berlandaskan kepada berbagai riwayat dan
isnad surahsurah Makkiyah dan Madaniyah, kemudian meletakkannya
sesuai dengan urutan turunnya dalam halhal semacam inilah para
ulama saling berlomba untuk menunjukkan dalil dan argumen, dimana
argumenargumen tersebut lebih merupakan ijtihad dibanding menukil
riwayat (dalil) bukan kepentingan para ulama untuk memutuskan
secara pasti dan yakin dalam masalah yang sangat penting seperti yang
terkait dengan tataurutan wahyu alQuran. Akan tetapi, sudah cukup
bagi mereka untuk berusaha sebagaimana yang dilakukan alWahidi
melakukan tarjih suatu (riwayat) atas (riwayat) yang lain. (Dan ketika)
ketidaktahuan tidaklah selalu menyelesaikan secara pasti segala urusan,
maka tarjih saja sudah cukup untuk menghasilkan suatu ilmu dan
pengetahuan. Tidaklah menjadi tujuan kami untuk membela alWahidi,
21
Silakan periksa uraian peristiwanya dalam Sirah Ibnu Hisyam II/86; Tarikh ath
Thabari I/541 dan asSirah alHalabiyyah I/456.
84
namun untuk mengingatkan bahwa sebagian besar pengetahuan kita
terhadap bagianbagian Makkiyah dan Madaniyah pada akhirnya harus
bersandar kepada ijtihad.
Dalam terjemah Tafsir Fi Zhilalil Quran XI/377378, pada Pengantar
tasir surah alQalam, Sayyid Quthb menulis argumen panjang, yang
intinya meragukan posisi tartib nuzuli surah ini.
Rasanya tidak mungkin menentukan tanggal turunnya surah ini, baik
bagian permulaannya saja maupun keseluruhannya. Sebagaimana tidak
mungkinnya dipastikan bahwa bagian permulaan lebih dahulu
diturunkan, kemudian disusul bagianbagian berikutnya. Jiga tidak
mungkin dapat ditarjihkan kemungkinankemungkinan ini. Karena bagian
permulaan dan bagian akhir surah membicarakan hal yang sama, yaitu
terusmenerusnya orangorang kafir mengatangatai Nabi Muhammad
SAW dan mengatakannya gila.
Riwayatriwayat yang mengatakan bahwa surah ini merupakan surah
yang turunnya menempati urutan kedua sesudah surah alAlaq memang
banyak jumlahnya, dan diantara yang disepakati di dalam urutan mushaf
yang berbedabeda bahwa ia adalah surah kedua. Akan tetapi, konteks
surah, temanya dan metode penyampaiannya menjadikan kami
menguatkan pendapat lain. Sehingga, hampir jelas bahwa ia turun
setelah masa senggangnya dakwah umum, yang datang setelah sekitar
tiga belas tahun dakwah fardiyah secara individual, yang pada waktu
itu kaum Quraisy menolak dan memerangi dakwah ini. Sehingga, mereka
mengatangatai Rasulullah dengan perkataan yang buruk itu. Lalu, al
Quran menolak dan menyanggahnya, dan mengancam orangorang yang
memusuhi dakwah dengan ancaman yang disebutkan dalam surah ini.
Kemungkinan, permulaan surah ini turun lebih awal secara tersendiri
sesudah turunnya surah alAlaq. Adapun kegilaan yang ditiadakan di
dalamnya (ayat 2), Berkat nikmat Tuhanmu, kamu (Muhammad) sekali
kali bukan orang gila, itu datang sesuai dengan apa yang dikhawatirkan
Nabi SAW atas dirinya pada awal turunnya wahyu semoga yang demikian
itu bukan kegilaan yang menimpanya maka kemungkinan ini sangat
lemah.
Pasalnya, mengenai kekhawatiran seperti ini sendiri tidak terdapat
riwayatnya yang jelas. Karena konteks surah menunjukkan bahwa
penyanggahan ini adalah terhadap apa yang disebutkan dalam firman
Allah pada bagian akhir surah ini. Sesungguhnya orangorang kafir itu
benarbenar hampir menggelincirkan kamu dengan pandangan mereka,
tatkala mereka mendengar alQuran dan mereka berkata,
Sesungguhnya ia (Muhammad) benarbenar orang yang gila. (al
Qalam: 51).
Maka, hal inilah yang dinafikan (ditiadakan) di dalam pembukaan surah
ini, sebagaimana yang akan segera ditangkap oleh orang yang membaca
seluruh rangkaian surah ini.
Demikian pula dengan riwayatriwayat yang menyebutkan bahwa di
dalam surah ini terdapat beberapa ayat Madaniyah dari ayat 17 hingga
ayat 33. Yaitu, ayatayat yang membicarakan kisah para pemilik kebun
beserta cobaan yang menimpa mereka. Juga ayat 42 hingga ayat 50 yang
membicarakan kisah Nabi Yunus yang berada di dalam perut ikan kami
85
menganggap kemungkinan ini sebagai kemungkinan yang jauh, dan kami
berkeyakinan bahwa surah ini secara keseluruhan adalah Makkiyah,
karena ciri kemakkiyahan ayatayatnya sangat mendalam. Hal ini sangat
relevan karena kesesuaian tematemanya dengan kondisi yang
dihadapinya saat surah ini turun.
Menurut hemat kami, surah ini bukanlah surah kedua dalam urutan
turunnya. Ia turun sesudah masa diutusnya Nabi SAW dan
diperintahkannya beliau melakukan dakwah secara umum, dan sesudah
turunnya firman Allah. Dan berilah peringatan kepada kerabat
kerabatmu yang terdekat. (asSyuara: 214).
Juga setelah turunnya sebagian alQuran yang memuat kisahkisah dan
informasiinformasi orangorang dahulu yang mereka komentari dengan
mengatakan. (Ini adalah) dongengdongengan orangorang dahulu
kala. (alQalam: 15).
Dan, juga setelah kaum Quraisy secara keseluruhan diseru kepada Islam,
lantas mereka menolak seruan ini dengan melontarkan tuduhantuduhan
batil dan peperangan yang sengit. Sehingga, diperlukan sikap yang tegas
terhadap orangorang yang mendustakan ayatayat Allah sebagaimana
disebutkan di dalam surah ini, juga ancaman yang berat pada bagian
permulaan dan bagian akhir surah ini pula. Pemandangan di bagian akhir
surah ini juga mengesankan hal itu. Sesungguhnya orangorang kafir itu
benarbenar hampir menggelincirkan kamu dengan pandangan mereka,
tatkala mereka mendengar alQuran dan mereka berkata,
Sesungguhnya ia (Muhammad) benarbenar orang yang gila. (al
Qalam: 51).
Nah, ini adalah pemandangan tentang dakwah umum terhadap
kelompokkelompok besar, sedang pada permulaan dakwah keadaan
tidak demikian. Karena, dakwah pada permulaan itu hanya ditujukan
kepada individu dengan metode yang sesuai dengan masingmasing
individu pula, dan tidak disampaikan kepada orangorang kafir secara
keseluruhan. Hal ini tidak pernah terjadi, sebagaimana disebutkan
dalam riwayatriwayat yang kuat, melainkan sesudah tiga tahun sejak
dimulainya dakwah.
Surah ini juga mengisyaratkan bagaimana kaum musyrikin berusaha
menemui Nabi SAW di tengah jalan dan berlunaklunak untuk saling
merelakan dalam persoalan yang mereka bertentangan dengan beliau
dalam hal ini, yaitu persoalan akidah. Mereka menginginkan supaya
kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu). (al
Qalam: 9).
Jelaslah bahwa usaha semacam ini tidak mungkin terjadi kalau dakwah
itu dilakukan secara individual (orang perorang), dan tidak ada
urgensinya. Maka, usaha semacam ini dilakukan setelah dakwah
dilakukan secara terangterangan dan kaum musyrikin merasa terancam
olehnya.
Demikianlah banyaknya saksi atau bukti yang menunjukkan bahwa surah
ini turun pada masa belakangan sesudah masamasa permulaan dakwah,
yaitu terdapat tenggang waktu sekitar tiga tahun atau lebih antara
permulaan dakwah dengan turunnya surah ini. Tidak masuk akal selama
tiga tahun tidak ayat alQuran yang turun. Sudah tentu pada masamasa
86
itu terdapat banyak surah alQuran yang turun, dan ada beberapa
bagian dari surahsurah itu yang turun pada masa tersebut, yang
membicarakan masalah akidah dengan tanpa ada serangan yang sengit
dari orangorang yang mendustakannya seperti yang disebutkan dalam
surah ini sejak bagian permulaan.
Akan tetapi, hal ini tidak menutup kemungkinan surah ini dan surah al
Muddatstsir serta alMuzzammil turun pada masamasa permulaan
dakwah, meskipun bukan yang pertama kali turun sebagaimana
disebutkan dalam mushafmushaf, dengan alasanalasan yang sudah
kami sebutkan disini. Hal ini juga hampir berlaku bagi surah al
Muzzammil dan alMuddatstsir.
Kritik Sayyid Quthb demikian jelas, sehingga tak diperlukan ulasan dan
penjelasan. Keberatan diatas berlandaskan pertimbangan rasional, dan
tidak karena adanya riwayat tertentu.
Sejauh ini, kita telah mendapati dua fakta sekaligus. Pertama,
diragukannya riwayat dua atau tiga tahun masa fatrah. Kedua,
diragukannya kedudukan surah alQalam sebagai wahyu kedua setelah
alAlaq. Dalam catatan kaki untuk pernyataan setelah berhenti
beberapa waktu, wahyu pertama yang turun ialah surah alMuddatstsir
ayat 15, penulis buku Seleksi Sirah Nabawiyah menunjukkan sumber
acuannya:
Muttafaq alaih (Fathu alBari, VIII/678679, I/27 dan II/433434) dan
Shahih Muslim, I/143.
Sebagaimana dimaklumi, kualitas riwayat dalam kedua kitab itu
menempati peringkat tertinggi, dimana tingkat keotentikannya diakui
setingkat di bawah alQuran. Hanya dengan dimuat pada salah satunya
saja sudah cukup untuk meyakinkan kita tentang kekuatan hujjahnya,
apalagi jika berstatus muttafaq alaih (disepakati oleh kedua Imam
tersebut).
Namun, sebelum kami lanjutkan, dan demi memperoleh penilaian yang
adil serta berimbang, ada baiknya kami paparkan riwayat yang
menyatakan "alQalam sebagai wahyu kedua", juga datadata lain yang
sejalan dengannya.
Riwayat "AlQalam sebagai Wahyu Kedua"
Terdapat beberapa riwayat yang intinya mendukung posisi alQalam
sebagai wahyu kedua. Dalam kitab adDurrul Mantsur fit Tafsir bil
Matsur, karya asSuyuthi VIII/580 dst, ada tiga riwayat yang disebutkan
penulisnya. Sayang, beliau samasekali tak memberi keterangan lebih
lanjut tentang kualitas isnadnya.
(Riwayat pertama) Ibnu Abi Syaibah, Abd bin Humaid, Ibnu Jarir (ath
Thabari), dan Ibnul Mundzir yang mengeluarkan hadits dari Mujahid, dia
berkata: Wahyu yang pertama kali diturunkan dari alQuran adalah
Iqra bismi rabbika, kemudian Nun wal qalami.
87
(Riwayat kedua) Ibnu Abi Syaibah mengeluarkan hadits dari Ubaid bin
Umair, dia berkata: Wahyu yang pertama kali diturunkan dari al
Quran adalah Iqra bismi rabbikalladzi khalaq, kemudian Nun.
(Riwayat ketiga) Ibnu adDaf mengeluarkan hadits dalam kitabnya al
Mashahif, bersumber dari Aisyah, dia berkata: Wahyu yang
pertamakali diturunkan kepada beliau (Rasulullah SAW) setelah Iqra
bismi rabbika adalah Nun wal Qalam, lalu Ya ayyuhal muddatstsir, dan
adhDhuha.
Kami mencoba menelusuri secara langsung kepada sumbersumber yang
beliau rujuk, yakni Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, Musnad 'Abd bin
Humaid dan Tafsir athThabari. Riwayatriwayat tersebut dapat
ditemukan dalam Tafsir athThabari dan Mushannaf Ibnu Abi Syaibah,
namun tidak kami dapati dalam Musnad 'Abd bin Humaid. Mungkin
penelusuran kami yang kurang cermat, atau beliau mengutipnya dari
sumber lain yang tidak kami ketahui. Kami juga mencoba menganalisa
sanadnya.
Riwayat pertama tersebut dicantumkan dalam Tafsir athThabari
XXX/251252 dalam penafsiran surah al'Alaq, dengan sanad: Ahmad bin
'Utsman alBashry, dari Wahb bin Jarir, dari ayahnya (Jarir bin Hazim),
dari anNu'man bin Rasyid, dari azZuhri, dari 'Urwah, dari 'Aisyah: dia
berkata, dst.
22
Teks haditsnya sangat panjang, sehingga tidak kami
cantumkan disini. Secara umum, riwayat ini berbicara tentang
bagaimana awal mula turunnya wahyu kepada Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam, dan meneguhkan bahwa al'Alaq 15 adalah wahyu
pertama. Di dalamnya ada juga uraian tentang dukungan Khadijah
radhiyallahu 'anha kepada Nabi yang mengkhawatirkan dirinya sendiri di
awalawal pertemuan beliau dengan Jibril. Ada pula riwayat tentang
keinginan beliau untuk menjatuhkan diri dari gunung, karena nyaris
putus asa.
23
Di akhir kisah, setelah menyebutnyebut pertemuan beliau
dengan Waraqah bin Naufal, ada tambahan:
" kemudian wahyu yang pertamakali diturunkan kepadaku setelah Iqra'
adalah Nuun wal Qalami beliau menyebutkan sampai fasatubshiru
wa yubshiruun (ayat ke5), dan Ya ayyuhal muddatstsir qum fa andzir,
dan wadhdhuha wallaili idza sajaa."
Imam Ibnu Jarir athThabari juga mencantumkan kembali riwayat ini
dalam Tarikh I/531. Secara umum teks utamanya serupa dengan apa
yang ada dalam tafsir beliau, disamping sumbernya yang juga sama.
Melihat redaksinya, tambahan diatas masih dinisbatkan kepada
22
Sebagai informasi tambahan, Ahmad bin Utsman bin Abi Utsman alBashry adalah
perawi tsiqah, termasuk jajaran perawi Muslim, atTirmidzi dan anNasai (Tahdzib
alKamaal I/406407). Wahb bin Jarir bin Hazim alAzdy adalah perawi tsiqah,
shaduuq dan shaalihul hadits (alJarh watTadil IX/28), demikian juga ayahnya,
Jarir bin Hazim (Siyaru Alami anNubala VII/98103). Adapun anNuman bin
Rasyid, dia dikritik banyak pakar dan menjadi sumber kelemahan sanad riwayat
ini. Sedangkan tiga orang selebihnya, yakni Ibnu Syihab azZuhri, Urwah bin az
Zubair dan ummul muminin Aisyah, kiranya tidak perlu diperkenalkan secara
khusus karena sudah tidak asing lagi.
23
Tambahan semacam inilah yang dinilai mursal dan dha'if atau mengandung 'illat
(cacat) menurut para ahli hadits, sebagaimana akan kita saksikan nanti.
88
Rasulullah sendiri, sehingga tampak jelas bahwa urutan wahyu adalah:
al'Alaq, disusul alQalam, kemudian alMuddatstsir dan adhDhuha.
Namun, tambahan diatas tidak dikuatkan oleh riwayat lain yang
disebutkan Ibnu Jarir sendiri setelah riwayat ini, baik dalam kitab Tafsir
maupun Tarikhnya, meskipun samasama bersumber dari 'Aisyah lewat
jalur lain, yakni: Yunus, dari Ibnu Wahb, dari Yunus, dari Ibnu Syihab,
dari 'Urwah, dari 'Aisyah.
24
Matan (teks) riwayat ini sama dengan
sebelumnya, hanya saja "dia tidak mengatakan 'kemudian yang
pertamakali turun kepadaku dari alQur'an (setelah itu)' dan
seterusnya". Dengan kata lain, tambahan tersebut hanya diriwayatkan
oleh anNu'man bin Rasyid dari azZuhri, karena muridmurid azZuhri
yang lain tidak menyebutkannya. Dalam disiplin Ilmu Hadits (lihat: at
Taqrib watTaysir, hal. 86), ini disebut gharib (asing) dari segi tambahan
(ziyadah) atas matannya. Riwayat gharib adakalanya shahih, hasan,
atau dha'if, tergantung perawi maupun isi matannya. Dalam kasus
diatas, statusnya adalah dha'if, baik karena perawinya yang kurang
kredibel maupun tambahan matannya yang mengandung 'illat (cacat),
sebagaimana dikatakan Syekh alAlbani dimuka.
AnNu'man bin Rasyid yang disebutkan dalam riwayat Ibnu Jarir ini
adalah perawi yang tidak dipercaya oleh para kritikus hadits. Meskipun
menurut sebagian riwayat ia sebenarnya jujur (shaduuq), namun
hafalannya sangat buruk. Dia bekas budak Bani Umayyah dan salah
seorang murid azZuhri. Tentang dirinya, Yahya bin Sa'id alQaththan
menilainya sangat lemah (fadha'afahu jiddan), sedang Ahmad bin
Hanbal melihat haditshaditsnya mudhtharib dan ia banyak
meriwayatkan hadits munkar. Yahya bin Ma'in menganggapnya perawi
lemah (dha'if) dan tidak dianggap apaapa (laisa bisyai'in). Sementara
itu, anNasai menilainya lemah (dha'if) banyak keliru (katsirul ghalath),
dan haditshaditsnya acap terbolakbalik atau saling tertukar
(maqluubah).
25
Dalam disiplin Ilmu Hadits (alKifayah, hal. 105107), jika penilaian yang
melemahkan kredibilitas (aljarh) atas seorang perawi disebutkan sebab
sebabnya, maka penilaian itu lebih kuat dibanding orang yang
menguatkan kredibilitasnya (atta'dil). Untuk kasus anNu'man ini,
kiranya sudah sangat jelas mengapa ia dilemahkan oleh para kritikus
hadits. Terlebih, perawi ini pun dinilai banyak salahnya (katsirul
ghalath) dalam menyampaikan riwayat, hingga makin memperparah
kelemahannya. Hadits dari perawi yang banyak salahnya semacam ini
disebut matruk (lihat: Minhatul Mughits, hal. 26).
Kesimpulannya, sanad riwayat Ibnu Jarir athThabari ini lemah (dha'if),
demikian juga matan tambahan di dalamnya yang berasal dari perawi
24
Keseluruhan perawi dalam rangkaian sanad ini terpercaya (tsiqah). Yunus yang
disebut pertama adalah Yunus bin Abdil Ala (alJarh watTadil IX/243). Yang
dimaksud Ibnu Wahb adalah Abdullah bin Wahb alMishry (alJarh watTadil
V/189). Sedang Yunus kedua adalah Yunus bin Yazid bin Abi anNajjad (Siyaru
Alami anNubala VI/297301).
25
Disarikan dari: Taqrib atTahdzib I/564; alJarh watTa'dil VIII/448; alKamil fi
Dhu'afa' arRijal VII/13; alKasyif II/323; Tahdzibul Kamal XXIX/445448.
89
kontroversial. Adapun matan sebelum itu adalah shahih yang dapat
dirujukkan kepada riwayatriwayat shahih lainnya, seperti dalam ash
Shahihain. Jika riwayat dha'if tentang "alQalam sebagai wahyu kedua"
ini dipersandingkan dengan riwayat shahih tentang "alMuddatsir sebagai
wahyu kedua", tentu saja yang dha'if tidak bisa mengalahkan hujjah dari
yang shahih. Dengan kata lain, riwayat penurunan alQalam yang seperti
ini dianggap "gugur". Riwayat ini tidak berhasil melampaui standar kritik
hadits yang lebih ketat, disebabkan rangkaian sanad yang
mentransmisikannya mengandung cacat yang tidak bisa ditolelir. Jalan
untuk menguatkannya dengan menggunakan pendukung (syawahid) dari
riwayat lain juga kurang meyakinkan, sebab riwayatriwayat lain
tersebut juga mengandung masalahnya sendirisendiri, sebagaimana
yang akan kita kupas satu persatu.
Selain riwayat diatas, Ibnu Jarir juga mengutip tiga riwayat lain tentang
"alQalam sebagai wahyu kedua setelah al'Alaq", yang seluruhnya
bersumber dari Mujahid. Artinya, ini merupakan ijtihad generasi Tabi'in
yang tidak akan lebih kuat dibanding hadits yang marfu' dari Rasulullah
atau para Sahabat. Statusnya adalah mursal. Sebagaimana sudah sering
kami singgung, bahwa masalah tartib nuzuli kebanyakan merupakan
ijtihad, dan Mujahid adalah ulama' generasi Tabi'in yang menukil
pendapat tersebut dari ijtihadnya sendiri, walau ada kemungkinan
beliau menukilnya dari gurunya, Ibnu Abbas.
Dalam bagian selanjutnya kami akan memaparkan bahwa ijtihad Mujahid
ini dapat dikesampingkan oleh adanya riwayat yang lebih kuat dari
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Riwayat yang bersumber dari
Mujahid juga disebutkan Ibnu Abi Syaibah (w. 235 H), dalam al
Mushannaf VI/147 hadits no. 30217, dengan sanad: Waki', dari Sufyan,
dari Ibnu Abi Najih, dari Mujahid.
26
Riwayat kedua diatas, dicantumkan Ibnu Abi Syaibah sebagai hadits no.
30219 dalam alMushannaf VI/147; juga dalam VII/254 hadits no. 35814,
dengan sanad: Waki', dari Syu'bah, dari 'Amr bin Dinar, dari 'Ubaid bin
'Umair.
27
Di tempat yang sama, pada hadits no. 35813, riwayat ini
26
Untuk dipertimbangkan, Waki bin alJarrah adalah perawi tsiqah dan tsabat (Al
Jarh watTadil IX/3738; Tahdzib atTahdzib XI/109114). Yang dimaksud Sufyan
disini adalah Sufyan bin Said bin Masruq atsTsauri, seorang ulama besar dan
terpercaya. Antara Waki dan Sufyan, keduanya saling meriwayatkan satu sama
lain, walau Sufyan sendiri lebih senior dan merupakan guru dari Waki (AlJarh
watTadil IV/222224). Ibnu Abi Najih, namanya sendiri adalah Abdullah,
sedangkan nama asli ayahnya adalah Yasar. Keduanya dinilai tsiqah. Yasar adalah
bekas budak alAkhnas bin Syariq dari Bani Tsaqif (Siyaru Alami anNubala
VI/125126; atTarikh alKabir VIII/420; alJarh watTadil IX/306). Sedangkan
Mujahid, beliau adalah murid Ibnu Abbas, dan riwayatnya sudah sangat dikenal.
27
Sebagai tambahan informasi, Syubah bin alHajjaj bin alWard adalah ulama
Bashrah yang digelari amirul muminin filhadits, sehingga kredibilitasnya tidak
perlu diragukan lagi (Siyaru Alami anNubala VII/202228). Untuk Waki, sudah
disebutkan pada catatan kaki sebelum ini. Amr bin Dinar adalah seorang hafizh
dan imam besar, lahir tahun 45 atau 46 hijriyah di zaman kekhilafahan Muawiyah
bin Abi Sufyan (Siyaru Alami anNubala V/300307).
90
diulang dengan awal sanad Hasyim bin alQasim
28
sebagai ganti Waki',
yang juga bersumber dari 'Ubaid bin 'Umair.
'Ubaid bin 'Umair adalah seorang Tabi'in Senior yang dilahirkan pada
zaman Nabi masih hidup, bahkan kemungkinan besar pernah bertemu
sebelum Nabi wafat. Beliau belajar dari 'Umar bin alKhaththab dan
putranya 'Abdullah bin 'Umar, 'Ali bin Abi Thalib, dari ayahnya sendiri
('Umair bin Qatadah alLaitsi), dan banyak Sahabat lainnya radhiyallahu
'anhum. Namun, beliau lebih dulu wafat sebelum Ibnu 'Umar, yakni
tahun 68 H. Ada yang mengatakan wafatnya tahun 74 H. Menurut Yahya
bin Ma'in dan Abu Zur'ah, 'Ubaid adalah bisa dipercaya (tsiqah). Menurut
al'Ajali, beliau adalah seorang Tabi'in Makkah yang tsiqah, termasuk
Tabi'in Senior (kibaru attabi'in). Bahkan menurut Ibnu Hajar, beliau
disepakati (ijma') atas ketsiqahannya. Kata Mujahid, beliau adalah satu
diantara 4 tokoh Tabi'in yang patut dibanggakan. Beliau adalah pembawa
kisah di tengahtengah penduduk Makkah.
29
Hanya saja, sebagaimana halnya dengan pendapat Mujahid diatas,
riwayat ini pun ijtihad generasi Tabi'in. Statusnya mursal, terhenti hanya
sampai generasi mereka, tanpa penjelasan nama Sahabat yang menjadi
narasumber berita. Tentu saja kami tidak memilihnya. Disamping karena
Imam asSuyuthi sendiri tidak berkomentar apaapa terhadap riwayat
yang dinukilnya, ternyata ada sumber lain yang lebih kuat yang berbeda
dengannya, yakni ashShahihain.
Riwayat Lain Asbabun Nuzul alQalam
Ada sebuah riwayat lain yang unik, dimana di dalamnya dituturkan kisah
awal mula turunnya wahyu, terutama terkait suasana hati Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam yang belum tenang. Namun, kisah ini
menyebutkan sesuatu yang tidak lazim, yang terdapat dalam asSirah al
Halabiyyah I/393394.
Dalam sebagian riwayat disebutkan, bahwa sebelum Khadijah pergi
bersama Rasulullah menemui Waraqah bin Naufal, dia terlebih dahulu
telah pergi menemui 'Addas, seorang Nasrani yang berasal dari Niniveh,
kampung halaman Nabi Yunus 'alaihis salam. Khadijah berkata
kepadanya, "Wahai 'Addas, aku ingatkan engkau terhadap Allah
(maksudnya, jangan bohong), kecuali apaapa yang engkau beritahukan
kepadaku. Adakah engkau punya sesuatu pengetahuan tentang Jibril?"
Maksudnya, sesungguhnya nama (Jibril) ini tidak dikenal di Makkah,
demikian juga di tempattempat lainnya di tanah Arab, sebagaimana
sudah dibahas di muka.
28
Hasyim bin alQasim Abu anNadhr, yang digelari Qayshar (Kaisar), adalah perawi
tsiqah dan termasuk perawi yang mutatsabbit di Baghdad pada zamannya.
Termasuk deretan guru dari para ulama ahli hadits terkenal, seperti Ahmad bin
Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, Ali bin alMadini, Yahya bin Main, Abu Khaytsamah
dan Abu Bakr bin Abi Syaibah (perawi hadits diatas). Lahir tahun 134 H di Khurasan
dan wafat tahun 207 H di Baghdad (atTarikh alKabir VIII/235; alJarh watTadil
IX/105; Tahdzibu atTahdzib XI/18).
29
Disarikan dari: Taqribut Tahdzib I/377; alKasyif I/691; Tahdzibul Kamal XIX/223
224; atTarikh alKabir V/455; alJarh watTa'dil V/409; Tahdzibut Tahdzib VII/65.
91
Maka, 'Addas pun berkata, "Qudduus! Qudduus! Ada urusan apa (nama)
Jibril disebutsebut di negeri ini, padahal penghuninya adalah para
penyembah berhala?" Maksudnya, demi Dzat Maha Suci yang terbebas
dari segala aib. Kalimat ini diucapkan sebagai ekspresi keheranan,
seperti sudah disebutkan sebelumnya.
Khadijah melanjutkan, "Beritahu saya, apa yang engkau ketahui tentang
dia?" 'Addas menjawab, "Dia (Jibril) adalah Amiinullah (kepercayaan
Allah), (sebagai perantara) antara Dia dan para Nabi, dan dia adalah
pendamping Musa 'alaihis salam."
Dalam hal ini, akan ada pembahasan tentang kepergian Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam ke Thaif pasca kematian Abu Thalib untuk
mengusahakan keislaman kaum Tsaqif, dimana di dalamnya disebutkan
pertemua beliau dengan 'Addas yang sudah disebutkan ini. Akan tetapi,
('Addas yang disebutkan) dalam kisah itu sangat amat jauh (yab'udu
ma'ahu kulla albu'di) dengan 'Addas yang ada disini. Coba Anda
renungkan juga.
Saya lihat, 'Addas yang disebutkan disini adalah seorang rahib (pendeta)
yang sudah sangat tua, bahkan sebegitu tuanya dia sampai bulu alisnya
tumbuh memanjang hingga menutupi kedua matanya. Khadijah
menyapanya, "Pagi yang indah, hai 'Addas!" dan dia menyahut,
"Sepertinya ini ucapan dari Khadijah, tokoh terhormat dari kalangan
wanita Quraisy?" "Ya, benar," jawab Khadijah. 'Addas kemudian berkata,
"Mendekatlah kemari, karena pendengaranku sudah payah (faqad
tsaqula sam'ie)." Maka Khadijah pun mendekat, dan menceritakan
perihal yang telah kami kutipkan sebelum ini.
Hal ini akan tampak lebih jelas dalam masalah 'Addas yang akan kami
tuturkan sebentar lagi, bahwa keduanya hanyalah dua individu
(berbeda) namun memiliki nama yang sama, dan bahwasannya mereka
berdua samasama budak milik 'Utbah bin Rabi'ah.
Dalam riwayat (kalam) yang disebutkan Ibnu Dihyah, 'Addas adalah
seorang budak milik 'Utbah bin Rabi'ah yang berasal dari Niniveh dan
mengetahui sesuatu dari AlKitab. Khadijah mengirim seorang utusan
kepadanya untuk bertanya tentang Jibril, yang kemudian 'Addas
berkata, "Qudduus! Qudduus!", dan seterusnya seperti dalam hadits.
Jelas bahwa ini adalah kesalahpahaman serta kerancuan (isytibaah) dari
sebagian perawi, tidak diragukan lagi.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa 'Addas yang ini berkata kepada
Khadijah, "Wahai Khadijah, sangat boleh jadi syetan menampakkan
dirinya kepada seseorang kemudian memperlihatkan kepadanya perkara
perkara (ajaib). Maka dari itu, ambil Kitabku ini dan pulanglah menemui
suamimu. Jika dia gila (majnun, kesurupan jin), niscaya akan hilang
darinya. Jika itu dari Allah, maka "
Khadijah pun pulang dengan membawa Kitab itu. Tatkala masuk
rumahnya, didapatinya Rasulullah tengah bersama Jibril yang
membacakan ayatayat ini, "Nuun. Wal qalami wa ma yasthurun. Ma
anta bini'mati Rabbika bi majnun. Wa inna laka (laajran ghaira)
mamnun. Wa innaka la'ala khuluqin 'azhim. Fasatubshiru wa
yubshirun. Biayyikumul maftun." Ketika Khadijah mendengar
bacaannya, dia pun sangat melonjak kegirangan, dan berkata kepada
92
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, "Ayah ibuku menjadi tebusanmu! Ayo
ikut denganku menemui 'Addas!" Saat 'Addas melihat beliau, maka dia
segera menyingkap punggung beliau dan mendapati stempel kenabian
(khatam annubuwwah) tertera diantara dua tulang belikat beliau.
'Addas pun tersungkur sujud demi melihat tanda kenabian itu, seraya
berkata, "Qudduus! Qudduus! Engkau ini, demi Allah, sungguh Nabi yang
diberitakan oleh Musa!" dan seterusnya hadits itu.
Dalam hal ini, jika benar terjadi sebelum kepergian Khadijah bersama
Rasulullah kepada (Waraqah), maka turunnya surah Nuun adalah
sebelum surah Iqra'. Itu tidak sejalan dengan jawaban Rasulullah kepada
Jibril (di Gua Hira'), "ma ana biqaari' (saya tidak bisa membaca)", sebab
dari sini tampak jelas bahwa beliau belum pernah membaca apapun
sebelumnya. Dari situ pula diketahui bahwa yang paling masyhur adalah
Iqra' turun sebagai wahyu pertama. Fakta bahwa surah Nuun diturunkan
oleh asbabub nuzul ini juga bertentangan dengan apa yang disebutkan
bahwa ia turun berkenaan dengan kaum musyrikin yang menyifati beliau
sebagai gila (majnun), kecuali jika ada pendapat lain bahwa tidak ada
salahnya (surah ini) termasuk turun lebih dari sekali.
Menurut kami, riwayatriwayat ini memuat sangat banyak kontradiksi
dan ketidakjelasan di dalam dirinya sendiri. Faktafakta yang
diuraikannya saling bertentangan dan tidak konsisten, sehingga
penulisnya nyaris kesulitan memastikan apapun selain menyebutkan
deretan riwayat yang saling kontradiktif itu. Jika riwayat ini harus
diterima dan kemudian dirangkai dengan sirah, maka akan ditemukan
banyak dilema pelik. Unsurunsur sejenis ini dekat dengan apa yang
diistilahkan sebagai idhthirab atau mudhtharib dalam Ilmu Hadits.
Secara harfiah, istilah itu berarti "bergoyang terus" atau "tidak mantap",
yang dalam praktiknya mengacu kepada suatu riwayat yang tidak
mungkin diterima apalagi dijadikan hujjah (dasar argumen) disebabkan
adanya kontradiksi parah yang tidak mungkin dikompromikan.
Tinjauan Langsung terhadap Kandungan Surah alQalam
Hampir seluruh kritik dan pemaparan di muka, berpijak kepada fakta
fakta eksternal, yakni analisis atas riwayatriwayat asbab nuzul maupun
masalah lain yang berkaitan dengan penurunan surah alQalam.
Sebagaimana dimaklumi, ada cara lain untuk menentukan kekuatan
sebuah riwayat selain kritik terhadap sanadnya. Disini, kami tidak
hendak mengkritik matan (teks) riwayatriwayat tersebut, akan tetapi
meneliti secara langsung isi kandungan surah alQalam sendiri,
dilengkapi dengan uraian dari tafsirtafsir yang mu'tabar (kredibel).
Menurut kami, isi alQalam sangat berbeda dengan alAlaq. Dalam
sirah, masa setelah alAlaq adalah periode dakwah tersembunyi,
dimana tidak ada penentangan terbuka dari Quraisy. Padahal, sejak awal
surah ini sudah berbicara tentang dahsyatnya pendiskreditan Quraisy
terhadap pribadi Rasulullah, yang menurut Sirah, baru muncul setelah
beliau berdakwah terangterangan dan mengecam kepercayaan maupun
berhala kaumnya.
93
Pada ayat kedua, dengan jelas turun bantahan Allah terhadap gelar yang
berusaha disematkan musyrikin Quraisy kepada beliau, "Berkat nikmat
Tuhanmu, engkau samasekali bukan orang gila." Penelusuran kami
terhadap catatan sirah nabawiyah menunjukkan bahwa gelar seperti ini
hanya muncul dalam periode da'wah jahriyah, dan pernah benarbenar
berusaha disepakati justru menjelang akhir periode Makkah. Saat itu,
ketika Rasulullah tidak melihat adanya harapan baik dari kaumnya, maka
beliau mulai menawarkan dakwahnya kepada sukusuku lain yang
mendatangi Baitullah di musim haji. Untuk mencegah simpati sukusuku
lain tersebut kepada beliau, maka kaum kafir Quraisy bermusyawarah
untuk menyepakati gelar buruk apa yang secara bersamasama akan
mereka kenakan kepada beliau. Ada yang mengusulkan majnuun (gila,
dihinggapi jin, akalnya tertutup), kaahin (dukun), atau saahir (penyihir).
Mungkin, ayat dalam alQalam ini berkaitan dengan peristiwa
musyawarah pemuka Quraisy di Darun Nadwah tersebut. Sayangnya,
riwayat yang ada justru menyebut peristiwa ini sebagai asbab nuzul
surah alMuzzammil, bukan alQalam. Namun, riwayat yang bersumber
dari Jabir serta dinukil oleh alBazzar dan athThabrani ini sanadnya
dha'if, sebagaimana disebutkan dalam Asbabun Nuzul: Latar Belakang
Historis Turunnya Ayatayat alQur'an, hal. 606.
Menurut Zhafir alQasimi, dalam Nizhamul Hukmi fisySyariah wat
Tarikh alIslami I/26, beragam bentuk tawarmenawar oleh Quraisy
dalam hal akidah baru terjadi pada tahun ke3 kenabian dan berkalikali
setelah itu. Pada masa ini, beberapa kali Rasulullah mendapat tawaran
menarik agar beliau bersedia menghentikan dakwahnya. Abu Thalib juga
ditawari beberapa alternatif agar mencegah Rasulullah berdakwah, atau
melepas perlindungannya kepada beliau. Uraian lengkap atas masalah ini
dapat dipelajari, misalnya dari Sirah Ibnu Hisyam [arab] II/383; atau
edisi terjemahnya I/219225 dan 246251.
Padahal, pada ayat 9 dinyatakan, "Mereka menginginkan supaya kamu
bersikap lunak dan mereka pun bersikap lunak (pula kepadamu)."
Bersikap lunak disini adalah saling bertoleransi dalam hal akidah dan
penyembahan kepada Allah. Asbabun nuzul surah alKafirun merekam
peristiwaperistiwa ini dengan jelas (lihat: Asbabun Nuzul hal. 683684).
Menurut semua versi tartib nuzuli yang kami temukan daftar
lengkapnya, surah ini turun pada urutan antara 1719, dan itu jelas jauh
setelah alLahab (urutan antara 57) yang merupakan penanda awal
da'wah jahriyah. Tentunya, alQalam turun dalam periode dakwah
semacam ini, yakni ketika mulai muncul tawarmenawar dari tokoh
tokoh kafir Quraisy.
Ibnu Hisyam mencatat bahwa kedatangan mereka dengan membawa
penawaran semacam itu berlangsung beberapa kali, dan terakhir terjadi
menjelang wafatnya Abu Thalib. Ini bermakna pula, bahwa tawaran
tawaran kompromi masih terus diajukan kafir Quraisy sampai tahun ke
10 kenabian, sebab diketahui bahwa Abu Thalib dan Khadijah wafat pada
tahun sama, yakni tahun ke10 kenabian (lihat: Sirah Ibnu Hisyam [arab]
II/263266).
94
Penawaran semacam itu tidak mungkin ada dalam periode dawah
sirriyah. Saat itu, beliau mengajak orangorang tertentu yang terbatas
dan sudah dikenalnya. Kaum Quraisy jelas belum menganggap beliau
sebagai ancaman, dan sekedar mendudukkan keyakinan beliau sejajar
dengan beberapa gelintir orang hanif mereka menyebutnya shabiah
alias murtad seperti Zaid bin Amr bin Nufail, Utsman bin al
Huwayrits, Waraqah bin Naufal, dan Ubaidillah bin Jahsy. Mereka
memang mengetahui kegiatan beliau, namun tidak bereaksi apaapa.
Saat itu, dakwah beliau bukan masalah serius bagi Quraisy. Bahkan,
perintah pertama untuk memulai dakwah terbuka pun dibatasi mulai
dari keluarga terdekat, wa andzir asyirataka alaqrabin, bukan
khalayak umum yang beraneka ragam latar belakangnya (lihat: Seleksi
Sirah Nabawiyah hal. 126).
Kemungkinan, ada semacam kebingungan di kalangan perawi hadits
tentang masamasa ini, yang berimbas kepada posisi alQalam dalam
tartib nuzuli. Sebagaimana sudah kita bahas sebelum ini, ada riwayat
yang menyebutkan masa fatrah setelah alAlaq berlangsung paling tidak
2 tahun. Dengan berpegang pada riwayat ini, memang memungkinkan
bahwa alQalam turun pada tahun ke3 kenabian, bersamaan dengan
mulai meningkatnya serangan Quraisy terhadap kepribadian Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun sayang sekali, sejauh ini, riwayat
masa fatrah yang sangat lama itu sendiri cenderung kontroversial dan
tidak bisa diandalkan, kecuali bahwa ia berlangsung singkat sebagaimana
pendapat penulis buku Seleksi Sirah Nabawiyah.
30
Kebingungan semacam
ini memang bisa muncul, terutama jika riwayat yang ada tidak tegas,
atau ada beberapa versi yang saling bertentangan.
Gaya bahasa alQalam yang lantang dan terbuka juga berbeda dengan
alAlaq yang berbisikbisik dan tertutup. Banyak dhamir (kata ganti)
dalam alQalam 116 yang berbentuk jama (plural, banyak) yang
ditujukan kepada sekelompok orang tertentu. Kitabkitab tafsir
mengidentifikasi dengan jelas bahwa orang yang ditunjuk oleh ayatayat
itu adalah alWalid bin Mughirah, atau tokoh mana saja yang sesuai
dengannya. Dalam Sirah Nabi, Sejarah Kehidupan Muhammad SAW, hal.
109117, Imam adzDzahabi merinci makar dari 5 tokoh Quraiys dalam
kaitannya dengan dakwah terbuka,
31
yang menurut kami cocok
sebagai sasaran dari ayatayat alQalam. Figur terkenal lainnya adalah
Abu Jahal 'Amr bin Hisyam alMakhzumi.
Tentang alWalid bin alMughirah, cukup banyak ayat lain dalam surah
surah yang turun dalam periode Makkah membicarakannya. Namanya
terekam secara eksplisit dalam sejumlah tafsir. Misalnya, dalam Tafsir
alQurthubi saja, kami menemukan namanya di banyak tempat berbeda.
Pertama, berkaitan dengan surah alAn'am 124 (lihat: VII/7980). Kedua,
berkenaan ayat 164 surah alAn'am (lihat: VII/155157). Ketiga, dalam
30
Lihat pembahasan penulisnya tentang kualitas tambahan keterangan tertentu
mengenai masa fatrah ini dalam bukunya, hal. 107110, serta catatan kaki no. 19
24.
31
Mereka adalah: alWalid bin alMughirah, anNadhr bin alHarits bin Kaldah, Utbah
bin Rabiah, alAkhnas bin Syariq, dan Abu Jahal Amr bin Hisyam.
95
asbab nuzul ayat 911 surah Hud (lihat: IX/1011). Keempat, dalam
kaitannya dengan orangorang yang memperolok dakwah, yakni ayat 95
surah alHijr (lihat: X/62). Jika masih kurang, silakan buka penafsiran
ayatayat berikut ini dalam Tafsir alQurthubi.
AlQalam ayat 1016
AlMuzzammil ayat 1011
AlMuddatstsir ayat 1125
AlLail ayat 1516
AnNahl ayat 9092
AlIsra' ayat 8384
Maryam ayat 7780.
Penting pula untuk diingat, seluruh surah ini adalah Makkiyah.
Sebenarnya, masih banyak lagi yang lainnya, namun kami cukupkan
disini agar tidak berteletele.
Adapun tentang Abu Jahal, berbagai riwayat yang shahih menyebutkan
namanya dalam asbab nuzul ayat 619 surah al'Alaq. Ayatayat ini pun
jelas bukan bagian dari kelompok wahyuwahyu pertama. Ia turun di
masa dakwah terbuka, sebagaimana dapat dibaca secara eksplisit dari
kisahnya. Untuk keterangan lain, dapat ditemukan dalam terjemah Sirah
Ibnu Hisyam I/226227.
Sebaliknya, semua dhamir dalam alAlaq 15 berbentuk mufrad
(singular, tunggal), yang ditujukan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam secara pribadi. Tidak ada musuh, tidak ada cemoohan dan
kritik. Gaya ini diulangulang kembali dalam wahyuwahyu berikutnya.
Perhatikan surah alMuddatstsir dan alMuzzammil, dimana dhamir yang
ada selalu mufrad: qum, zid, unqush, rattil, andzir, kabbir, thahhir,
dst. Juga, diulangulangnya kata ganti milik ka dalam ayatayat al
Muddatsir: rabbaka, tsiyabaka. Ini adalah bentuk turunan dari kata ganti
kedua tunggal anta. Dengan kata lain, jika diurutkan di nomor dua, al
Qalam seperti dijepit oleh surahsurah lain yang tidak senada
dengannya.
AlQalam Bukan Wahyu Kedua
Wahyu kedua sesudah alAlaq 15 bukanlah surah alQalam
sebagaimana dalam versiversi tartib nuzuli maupun konsep dasar SNW
melainkan surah alMuddatsir ayat 15. Dalam Mabahits hal. 186, Dr.
Subhi asShalih juga berpendapat seperti ini. Keterangan serupa dapat
pula ditemukan dalam Faidhul Khabir wa Khulashatu atTaqrir, hal. 57
58, atau Tafsir alQur'an alKarim karya Dr. Quraish Shihab, hal. 216
217.
Lalu, dimana posisi alQalam sendiri setelah digugurkan dari urutan
kedua?
Menurut Mabahits hal. 40, secara implisit penulisnya menunjuk bahwa
surah ini turun setelah meningkatnya perlawanan kaum Quraisy, yang
ditandai dengan banyaknya cemoohan yang berusaha mendiskreditkan
96
dan menjatuhkan kepribadian Rasulullah SAW. Hal ini sejalan dengan
analisa Sayyid Quthb tentang karakter pesanpesan yang ada di dalam al
Qalam. Analisis serupa dikemukakan Dr. Quraish Shihab yang bahkan
"tidak menudukung penempatan surah alQalam pada urutan kedua"
(lihat: Tafsir alQur'an alKarim hal. 218). Menurut catatan sirah
nabawiyah sendiri, peristiwaperistiwa semacam ini tidak terjadi lebih
awal dari tahun ke3 atau ke4 kenabian,
32
dimana fase dakwah tertutup
telah berakhir dan beliau mulai tampil mengecam kepercayaan maupun
berhalaberhala Quraisy secara terbuka. Dalam bukunya tersebut, Dr.
Subhi asShalih menulis:
Dan, boleh jadi bangsa Arab tidaklah menilai gangguangangguan mimpi
selain sebagai gejala kegilaan. Oleh karena itu mereka mengatakan:
Dia (Muhammad) itu seseorang yang menerima ajaran (dari orang lain)
lagi pula seorang yang gila.
33
Dan, mereka berkata: Sesungguhnya
Rasul yang diutus kepada kalian sungguhsungguh gila.
34
Dan Allah
menolak tuduhan bohong mereka dengan menghibur NabiNya, dimana
Dia berfirman: Nuun, wal qalami wa ma yasthurun, ma anta bi nimati
rabbika bi majnun.
Hanya saja, patut dicatat, uraian diatas bukanlah cuplikan riwayat
asbabun nuzul, dan karenanya harus ditemukan sumbernya yang jelas.
Sebagaimana disepakati, kita tidak boleh mengarang sendiri dalam
masalah ini, dan harus berpegang kepada riwayat yang shahih dari Nabi
atau Sahabat yang menyaksikannya.
Jika diperiksa dengan cermat, ayat kedua yang disitir Dr. Shubhi ash
Shalih QS asSyu'ara': 27 ternyata berkaitan dengan kisah Nabi Musa.
Katakata cemoohan bahwa Rasul gila dalam ayat tersebut bukan
rekaman ucapan kafir Quraisy kepada Rasulullah Muhammad shallallahu
'alaihi wa sallam, namun ucapan Fir'aun dan pengikutnya kepada Nabi
Musa 'alaihis salam. Dengan kata lain, tidak ada kaitan langsung dengan
persoalan yang kita bahas disini.
Adapun ayat pertama QS adDukhan: 14 memang berkaitan dengan
kaum kafir Quraisy. Konteks peristiwanya jelas ada dalam sirah, tatkala
Rasulullah mendoakan mereka yang memusuhi beliau agar tertimpa
kemarau seperti di zaman Nabi Yusuf 'alaihis salam. Riwayat ini
disebutkan asSuyuthi dalam Lubabun Nuqul (lihat: Tafsir alJalalain
II/308), yang bersumber dari alBukhari, dari Ibnu Mas'ud. Namun,
ternyata tidak jelas juga apa kaitan langsungnya dengan alQalam.
Jikapun harus dipersandingkan, maka jelas sekali peristiwa yang
dimaksud sebagai latar belakang ayat ini terjadi belakangan, di masa
dakwah jahriyah, dan dalam situasi puncak ketegangan antara Rasulullah
dengan kaumnya.
32
Ini menurut Sirah Ibnu Hisyam, dengan tanpa menyebut sanadnya. Dalam
Thabaqah Ibnu Saad, disebutkan sanadnya, tapi sumbernya adalah alWaqidi yang
matruk dan gurunya majhul (tidak dikenal identitasnya). AlBaladziri, dalam
Ansabul Asyraf menyebut batasan 4 tahun. Lihat: Seleksi Sirah Nabawiyah, hal.
115, catatan kaki no. 4344.
33
Surah adDukhan: 14.
34
Surah asySyuara: 27.
97
Dalam Tafsir Zhilal jilid 11, hal. 377378, Sayyid Quthb menyinggung
bahwa selayaknya surah alQalam turun setelah banyak kisahkisah
tentang umat terdahulu diberitakan kepada kaum Quraisy. Hal ini dapat
dilihat dari salah satu ayatnya yang menyatakan bahwa mereka
menganggap alQur'an cuma dongeng dari kaum purbakala. Dalam ayat
ke15, alQur'an merekam komentar mereka, "(Ini adalah) dongeng
dongengan orangorang dahulu kala. Tentu saja, jika argumen ini
benar, maka harus ada sekian banyak surah lain yang turun sebelum al
Qalam, yang di dalamnya memuat kisahkisah dan pelajaran dari umat
terdahulu. Jika alQalam adalah wahyu kedua, maka kisah semacam ini
tidak ada dalam al'Alaq. Sayyid Quthb sendiri menilai bahwa 52 ayat
dari surah alQalam tidak turun secara terpisahpisah. Menurut beliau,
seluruhnya Makkiyah dan turun sekaligus lengkap. Atau, paling tidak,
turun dalam periode tertentu yang berdekatan tanpa pemisah wahyu
lainnya. Wallahu a'lam.
Sementara ini, kami berkesimpulan bahwa tidak mudah memastikan
posisi urutan surah ini. Sejauh hasil penelusuran yang lebih berhatihati,
kami baru mencatat tiga poin penting yang dapat dijadikan pegangan.
Pertama, surah alQalam adalah Makkiyah. Kedua, surah ini tidak turun
sesudah alAlaq, lebih jelasnya "alQalam bukan wahyu kedua". Ketiga,
surah ini turun dalam periode dakwah terbuka, dan mungkin sekali turun
dalam periode yang lebih belakangan.
Dengan demikian, kami meralat beberapa argumen yang pada edisi
pertama naskah buku ini berusaha meyakinkan posisi urutan surah al
Qalam sebagai wahyu di belakang adDukhan dan asySyu'ara'. Walau
kami cenderung menilai surah alQalam turun dalam periode yang lebih
akhir dakwah terbuka, tetapi memastikannya sebagai urutan kesekian
adalah suatu keberanian yang berlebihan. Seharusnya, tak semudah itu
menetapkan posisi urutannya. Semoga Allah mengampuni ketergesa
gesaan kami, dan memberi petunjuk kepada yang lebih baik. Amin.
Kemungkinan Kompromi Seputar Kedudukan alQalam
Sebagaimana pernah kami singgung pada dalam Bab V Tarikh Nuzul
Ayatayat AlQur'an, memang ada kemungkinan kompromi. Ulasan yang
cukup panjang diberikan oleh Syekh Darwazah di selasela penafsirannya
terhadap alQalam, dalam I/40. Berikut ini kami paparkan uraian beliau,
sebagai bahan pertimbangan dan penjelasan untuk memahami duduk
perkaranya.
Isi kandungan 4 ayat permulaan dan yang mengiringinya memungkinkan
bahwa empat ayat tersebut diturunkan secara terpisah, dan bahwasanya
ayatayat selebihnya diturunkan sesudah itu dengan jarak waktu
tertentu; tidak menutup kemungkinan pula bahwa seluruh surah ini
diturunkan sekaligus. Penempatan urutan surah ini sebagai yang kedua
adalah berdasar pada kemungkinan turunnya empat ayat permulaan
tersebut secara terpisah, di belakang lima ayat pertama surah alAlaq.
Akan tetapi, jika kemungkinan ini tidak benar sehingga empat ayat
pertama tersebut dan ayatayat seterusnya diturunkan secara
98
bersamaan, maka penempatan tata urutannya (sebagai yang ke2)
tentunya tidak benar. Demikianlah kondisi sebenarnya. Hal itu berarti
mengharuskan (surah ini) diturunkan lebih belakangan setelah tempo
tertentu. Mushaf yang kami jadikan pegangan juga menyebutkan bahwa
ayat 1733 dan ayat 4850, adalah Madaniyah. Namun, baik uslub
maupun isi kandungannya mengisyaratkan tidak benarnya pernyataan
itu.
Ayatayat dalam surah ini terangkai sedemikian rupa, baik dalam tema,
untaian maupun jaringannya. Hal ini melapangkan jalan bagi pendapat
bahwasanya surah alQalam termasuk diantara surahsurah yang
diturunkan sekaligus atau (terpisah) dalam bagianbagian yang saling
beriringan (waktu penurunannya), dengan satu catatan terkait empat
ayat pertamanya yang sudah kami sebutkan dimuka.
Dalam halaman 4344, ketika membahas keterkaitan pembukaan surah
ini dengan 5 ayat pertama surah al'Alaq, beliau menulis:
Diriwayatkan bahwa ayatayat ini merupakan ayat yang turun mengikuti
permulaan surah al'Alaq. Peletakan surah alQalam sebagai urutan
kedua dalam penurunan surahsurah alQur'an adalah dikarenakan hal
ini. Jika riwayat tersebut shahih, maka ayatayat itu pastilah diturunkan
secara terpisah sementara bagian surah selebihnya diturunkan setelah
itu dengan jeda waktu tertentu; yang kemudian dirangkai sehingga
dengan demikian sempurnalah penyusunan dan sosoknya. Surah inipun
diturunkan dalam rangka menenangkan dan meneguhkan Nabi 'alaihis
salam, menafikan apa yang beliau sangka dan takutkan, yakni
(kekhawatiran beliau) bahwa apa yang beliau lihat dan dengar saat
pertamakali diberi wahyu hanyalah (bentuk) kesurupan jin sehingga
beliau sempat berkeinginan menjatuhkan dirinya dari puncak gunung,
sebagaimana yang diriwayatkan oleh athThabari dalam sebuah hadits
yang disandarkan kepada 'Abdullah bin azZubair, bersumber dari Nabi
'alaihis salam. Jika riwayat ini tidak shahih, maka dari satu sisi ayatayat
ini merupakan penenang dan peneguh bagi beliau, sekaligus bantahan
atas penyifatan kaum kafir kepada beliau sebagai orang gila dari sisi
lain. AlQur'an sendiri telah mengisahkan tentang orangorang ini dalam
banyak ayat, misalnya dalam surah alHijr:
#q9$%r $k' %!# AhR m= .e%!# 7R) bqZfJ9
"Mereka berkata: "Hai orang yang diturunkan AlQuran kepadanya,
sesungguhnya kamu benarbenar orang yang gila." (QS 15: 6)
Sama halnya dengan yang ada dalam surah alMu'minun berikut:
Q& bq9q) m/ pZ_ 4 @/ Nd%` d,s9$/ LeY2&r d,s=9 bqd.
"Atau (apakah patut) mereka berkata: "Padanya (Muhammad) ada
penyakit gila." Sebenarnya dia telah membawa kebenaran kepada
mereka, dan kebanyakan mereka benci kepada kebenaran itu." (QS 23:
70)
Juga dalam ayat terakhir surah alQalam itu sendiri:
99
b)r %3 %!# #r. 7Rq)99 Od/'/ $J9 #q .e%!# bq9q)r mR) bqZfRQ
$Br qd w) . H>=j9
"Dan sesungguhnya orangorang kafir itu benarbenar hampir
menggelincirkan kamu dengan pandangan mereka, tatkala mereka
mendengar AlQuran dan mereka berkata: "Sesungguhnya ia
(Muhammad) benarbenar orang yang gila". Dan AlQuran itu tidak lain
hanyalah peringatan bagi seluruh umat." (QS 68: 5152)
Patut digarisbawahi, (bahwa) adanya kecocokan dan kesatuan rangkaian
diantara ayatayat ini dengan ayatayat sesudahnya, bisa melemahkan
riwayat pertama diatas, dan layak dikatakan bahwa ayatayat tersebut
beserta ayatayat sesudahnya diturunkan dalam satu rangkaian (tak
terpisah) atau saling beriringan. Dan, peletakannya sebagai surah urutan
kedua pun tidak benar, karena ayatayat selanjutnya memuat
pemandangan pendustaan dan perdebatan, serangan kritis dan
penuturan mengenai katakata para pendusta bahwasanya AlQur'an
hanyalah dongengan kaum terdahulu; dimana hal ini tidak mungkin
terjadi kecuali setelah turunnya sejumlah besar ayatayat alQur'an,
juga setelah Nabi 'alaihis salam berhubungan dengan orang banyak
disertai pembacaan beliau akan ayatayat tersebut kepada mereka, juga
setelah keterlibatan beliau dalam perdebatan dan adu argumen dengan
mereka.
Hanya saja, menurut hemat kami, uraian inipun mengandung keragu
raguan implisit, sehingga nilai hujjahnya justru sama dengan sikap yang
diambil Sayyid Quthb dalam Tafsir Zhilal.[]
Wallahu alam bishshawab.
100
BAB III
MENJERNIHKAN KEKABURAN RIWAYAT ALMUZZAMMIL
Antara alMuzzammil dan alMuddatsir, riwayat asbabun nuzul keduanya
memang sering bertumpang tindih. Bahkan, menurut riwayat yang
disebutkan asSuyuthi dalam Lubabun Nuqul, kedua surah ini disatukan
begitu saja tanpa dijelaskan mana yang turun dalam kaitannya dengan
latar belakang peristiwa yang disebutkan. Di lain tempat, dalam
pengantar penafsirannya untuk surah alMuzzammil dan alMuddatstsir,
Sayyid Quthb bahkan mengakui bahwa sukar untuk membedakan mana
dari kedua surah ini yang turun lebih dahulu. Demikianlah, riwayat yang
ada sering tertukar satu sama lain. Kekaburan semacam ini berulang
dalam hampir semua tafsir, yang artinya diperlukan penjernihan
memadai atas segenap kekeruhan riwayat yang berkenaan dengan
keduanya.
Perlu diketahui, bahwa dengan adanya riwayat yang sering saling
tertukar tersebut, tampak bahwa kedua surah ini turun beriringan dan
saling berdekatan. Kalimat pembuka kedua surah ini, meski bunyi
lafazhnya berlainan almuddatstsir dan almuzzammil namun sama
sama menunjuk kepada kondisi Rasulullah yang berselimut, entah
menggigil akibat rasa takut setelah melihat Jibril lagi atau karena sedih
mendengar tuduhan keji dari kaumnya. Dengan membaca berbagai
riwayat tersebut apa adanya, jelasnya kedua lafazh berselimut ini
bersifat haqiqi dan zhahiri, bukan manawi dan bathini. Berbagai
riwayat tentang awal mula turunnya wahyu memang sering menyitir
bahwa Rasulullah menggigil ketakutan sepulang dari Gua Hira', bergegas
pulang menemui Khadijah dan minta diselimuti serta diguyur air dingin,
sampai tenang kembali.
Riwayatriwayat bagaimana cara wahyu turun juga mendeskripsikan
bahwa kondisi Rasulullah saat itu bukannya kedinginan, namun
sebaliknya suhu tubuh beliau meningkat, wajahnya memerah, tubuhnya
menjadi berat, keringat mengucur dari pelipisnya meski wahyu turun di
malam yang sangat dingin. Jika beliau sedang berkendara, maka unta
yang ditungganginya seketika jatuh terduduk. Sementara itu, pada suatu
saat Zaid bin Tsabit yang duduk berhimpit dengan Rasulullah merasakan
pahanya nyaris patah tertindih paha beliau yang sedang menerima
wahyu. Jelasnya, beliau minta diselimuti bukan karena menggigil
kedinginan, sebagaimana tampak dari permintaan beliau untuk disiram
dengan air dingin. Awalnya beliau menggigil takut, cemas dan
mengkhawatirkan dirinya. Setelah terbiasa, maka beratnya wahyu itu
tetap saja memberikan pengaruh dan tekanan yang jelas kepada fisik
beliau. Bila kita meneliti teksteks hadits tentang turunnya wahyu, maka
penggambaran seperti itu sangat umum disebutkan. Para Sahabat sering
101
menyaksikan kondisi Rasulullah semacam ini, dan menyadari bahwa
beliau tengah menerima wahyu.
35
Riwayat Asbabun Nuzul alMuzzammil
Imam asSuyuthi menukil dalam Lubabun Nuqul fi Asbabin Nuzul, yang
termaktub dalam II/360 dari Tafsir alJalalain, tiga buah riwayat
asbabun nuzul untuk surah ini. Salah satu riwayatnya memuat
kebingungan, disamping derajat sanadnya yang menurut beliau sangat
lemah atau semi palsu (waahin). Malangnya, justru riwayat inilah yang
paling pokok dari ketiganya.
Imam alBazzar dan athThabrani mengeluarkan hadits dengan sanad
yang semi palsu atau sangat lemah (waahin), bersumber dari Jabir, ia
berkata: Orangorang Quraisy berkumpul di Darun Nadwah, kemudian
berkata, "Beri nama orang ini maksudnya, Rasulullah dengan suatu
sebutan yang membuat orangorang akan berpaling darinya." Ada yang
berkata, "Dukun (kaahin)." Ditanggapi oleh lainnya, "Dia bukan dukun."
Ada yang usul lagi, "Gila (majnuun)." Yang lain menyahut, "Dia bukan
orang gila." Ada lagi saran, "Tukang sihir (saahir)." Ditanggapi pula, "Dia
bukan tukang sihir."
Cerita tentang pertemuan ini sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam, sehingga beliau sangat bersedih lalu menudungi diri
(tazammala) dengan pakainnya dan berselimut (tadatstsara) dengannya.
Maka, Jibril mendatangi beliau dan berkata, "Ya ayyuhal muzzammil ya
ayyuhal muddatstsir."
Jika riwayat ini sanadnya waahin, berarti di dalamnya ada perawi
yang waahiyah (semi palsu, lemah sekali), yang nilainya sejajar
dengan matrukul hadits dan kadzdzab (pembohong), sebagaimana
dinyatakan anNawawi dalam atTaqrib watTaysir hal. 53. Kualitas
riwayat seperti ini berarti tidak bisa dijadikan pegangan (hujjah),
karena kurang lebih setaraf dengan hadits matruk dan maudhu'.
36
35
Untuk keterangan lebih lengkap silakan periksa: Tafsir alQurthubi XIX/3940;
Tafsir Ibnu Katsir IV/107, 436; Shahih alBukhari I/4 hadits no. 2; Shahih Ibnu
Hibban I/225 hadits no. 38; anNasai dalam asSunan alKubra I/323324 hadits no.
10051006; juga VI/330 hadits no. 11128; Sunan atTirmidzi V/597 hadits no. 3634;
Sunan alBayhaqi alKubra VII/5253 hadits no. 1312013122; Musnad Ahmad
VI/256 hadits no. 26241; athThabrani dalam alMujam alKabir III/259260 hadits
no. 33443346; dan Malik bin Anas dalam alMuwatha I/202 hadits no. 475.
Berbagai sumber lain mencatat hal yang sama, dan hampir seluruhnya bersumber
dari Aisyah yang melaporkan jawaban Rasulullah atas pertanyaan alHarits bin
Hisyam tentang bagaimana beliau menerima wahyu.
36
Imam anNawawi mengurutkan empat peringkat aljarh atau pernyataan yang
melemahkan seorang perawi, yakni (secara urut): (1) Layyinul hadits, (2) Laysa bi
qawiy, (3) Dha'iful hadits, yang ketiganya masih boleh ditulis serta diriwayatkan
haditsnya; dan (4) Matrukul hadits, atau waahiyah, atau kadzdzab, yang sudah
tidak boleh diriwayatkan haditsnya. Tentu saja, kecuali jika disertai dengan
penjelasan akan derajatnya, seperti yang dilakukan asSuyuthi dalam kitabnya
tersebut.
102
Meskipun asSuyuthi menempatkan riwayat ini dalam bab surah al
Muzzammil, tetapi tampak bahwa dari segi sanad maupun matannya
tidak meyakinkan. Tidak jelas, apakah alMuzzammil atau alMuddatsir
yang turun dalam kaitannya dengan riwayat ini. Dalam bab surah al
Muddatsir sendiri, beliau mengutip riwayat lain yang di dalamnya secara
jelas menyebut surah alMuddatsir, masih dalam kitab yang sama, hal.
361. Kisahnya mirip dengan asbabun nuzul alMuzzammil diatas, yang
berbeda adalah tokoh utamanya. Akan tetapi, sanad riwayat yang beliau
kutip dari athThabrani ini juga lemah (dha'if).
Dr. Quraish Shihab dalam Tafsir alQur'an alKarim yang disusun menurut
tartib nuzuli, hal. 161162, tampaknya terkecoh dengan riwayat diatas
sehingga berpendapat bahwa "sulit untuk diterima pendapat yang
menyatakan bahwa wahyu ini (alMuzzammil, pen.) adalah wahyu ke3
atau ke4". Dengan kata lain, beliau yakin surah ini turun dalam periode
dakwah terbuka, sebagaimana tampak jelas dalam asbabun nuzul
tersebut. Beliau sepertinya tidak menyadari bahwa riwayat ini
mengandung masalah dalam hal sanadnya.
Riwayat yang disebutkan asSuyuthi tentang alMuzzammil diatas
dicantumkan oleh athThabrani dalam alMu'jam alAusath II/319 hadits
no. 2096. Redaksinya sedikit berbeda dengan apa yang dinukil asSuyuthi
tersebut, namun intinya sama. Sanadnya memuat dua orang perawi
yang dipermasalahkan oleh para ahli biografi rijalul hadits, yakni
'Abdullah bin Muhammad bin 'Aqil alHasyimi dan Ma'la bin 'Abdirrahman
alWasithy.
Figur pertama, 'Abdullah bin Muhammad bin 'Aqil bin Abi Thalib al
Hasyimi dikenal dengan Ibnu 'Aqil adalah cucu 'Ali bin Abi Thalib
karramallahu wajhahu dari jalur putrinya Zainab ashShughra. Pada
dasarnya, ia perawi yang jujur (shaduuq), tetapi hafalannya buruk atau
berubah di usia senjanya. Sufyan bin 'Uyainah tidak memuji hafalannya,
dan beliau cenderung menghindarinya karena kecurigaan beliau kepada
hafalannya ini. Yahya bin Ma'in tidak menyukainya dalam hal
periwayatan hadits, dimana statusnya beliau samakan dengan 'Ashim bin
'Ubaidillah, seorang perawi yang lemah dan bahkan haditshaditsnya
munkar. Masih menurut beliau, Ibnu 'Aqil ini lemah dalam segala hal.
Menurut Ibnu Hibban, "Lemah haditsnya (layyinul hadits), tidak kuat
(laysa bil qawiy), tidak termasuk orang yang haditshaditsnya bisa
dijadikan pegangan (wa la mimman yuhtajju bi haditsihi), walau
haditsnya masih boleh ditulis." Dalam sebagian buku biografi rijalul
hadits, disamping terdapat pujian atau daftar panjang guru dan
muridnya, ada pula kecamankecaman pedas dari para kritikus, yang
intinya melemahkan dan menolak berhujjah dengan haditshaditsnya.
Ibnu Hibban memasukkan namanya dalam kitab alMajruuhin, yang
berarti ia adalah perawi yang tidak kredibel (majruh) atau lemah
(dha'if).
37
Kitab Ibnu Hibban sendiri diberi judul AlMajruuhin min al
Muhadditsin wa adhDhu'afa' wa alMatrukin, yakni "Orangorang yang
37
Disarikan dari: Taqribut Tahdzib I/321; alJarh wat Ta'dil V/153; alKamil fi
Dhu'afa' arRijaal IV/127; Tahdzibul Kamal XVI/7884; alKasyif I/594; al
Majruuhin II/3.
103
tidak kredibel di kalangan ahli hadits, juga mereka yang lemah dan
ditinggalkan riwayatnya." Maka, masalahnya sudah jelas.
Sebetulnya, menurut anNawawi dan atTaqrib watTaysir hal. 53,
perawi yang berpredikat layyinul hadits masih dapat ditulis haditsnya
untuk diperiksa dan ditelusuri lebih lanjut, apakah ada jalur periwayatan
lain yang menguatkannya (hadits mutabi' dan syawahid). Menurut ad
Daruquthni, perawi semacam ini tidak digugurkan dan hanya cacat oleh
sesuatu hal yang tak merusak 'adalahnya. Sedang predikat laysa bi
qawiy sedikit di bawah layyinul hadits, yang juga masih boleh ditulis
haditshaditsnya. Tampaknya, kelemahan sanad ini bukan sematamata
berasal dari Ibnu 'Aqil, namun dari tokoh lainnya, yakni Ma'la bin
'Abdirrahman.
Ma'la bin 'Abdirrahman alWasithy ini, menurut Ibnu Hibban, adalah
perawi yang dha'if (lemah), haditshaditsnya tidak ada sumber aslinya
(la ashla lahu) dan ia adalah perawi yang matruk. Demikian seperti
disebutkan dalam alJarh wat Ta'dil VIII/334. Bahkan, dalam Taqribut
Tahdzib X/214, ada pengakuan darinya yang sangat mengejutkan.
Abu Dawud berkata: Saya mendengar Yahya bin Ma'in ditanya tentang
Ma'la bin 'Abdirrahman, maka beliau menjawab, "Menurut saya, laporan
tentang kondisinya yang terbaik adalah: Menjelang kematiannya,
dikatakan kepadanya, 'Tidakkah engkau memohon ampun kepada Allah?'
Maka ia menjawab, 'Bagaimana aku tidak berharap Allah mengampuniku,
sedangkan aku telah memalsukan 70 hadits tentang keutamaan (fadha'il)
'Ali?"
Jadi, perawi ini adalah pemalsu hadits, menurut pengakuannya sendiri.
Dalam disiplin Ilmu Hadits, perawi semacam ini samasekali tidak boleh
diambil riwayatnya karena ia adalah pendusta. Menurut alKhathib al
Baghdadi dalam alKifayah fi 'Ilmi arRiwayah hal. 101, seseorang yang
sudah dipastikan berdusta harus ditolak periwayatan (khabar) dan
persaksiannya, terlebih ia berdusta atas nama Rasulullah. Sebagaimana
dimaklumi, salah satu cara mengetahui pemalsuan hadits adalah
pengakuan (iqrar) dari perawinya (lihat: atTaqrib watTaysir hal. 46
47). Dan, ini adalah salah satu contoh pengakuan tersebut.
Jika catatan dalam Taqribut Tahdzib dibaca lebih lanjut, kita akan ngeri
menerima haditshadits yang diriwayatkan Ma'la.
'Abdullah bin 'Ali bin alMadini berkata, yang bersumber dari ayahnya:
"(Ma'la) adalah lemah haditsnya, dan beliau meyakini bahwa Ma'la
pernah memalsukan hadits. Beliau juga berkata, 'Saya membuang
haditsnya.' Beliau pun menilainya sebagai sangat lemah. Di tempat lain,
beliau berkata, '(Ma'la) mengambil haditshaditsnya dari Abul Haitsam,
dari alLaits, dan beliau meyakininya telah berbohong."
Abu Zur'ah berkata: Dia adalah perawi yang haditsnya dibuang
(dzaahibul hadits)
Ibnu Hibban berkata: Dia meriwayatkan dari 'Abdul Hamid bin Ja'far
haditshadits yang terbalik atau tertukar (almaqluubaat). Tidak boleh
berhujjah dengannya jika hanya ia sendirian yang meriwayatkan suatu
hadits.
104
AdDaruquthni berkata: Dia lemah (dha'if) dan pembohong (kadzdzab).
Memang ada sebagian kritikus yang memuji Ma'la, seperti adDaqiqy,
atau Ibnu 'Adiy yang berkata, "Saya berharap ia tidak apaapa (la ba'sa
bihi)." Komentar terakhir ini termasuk lafal ta'dil (pernyataan tentang
kredibilitas perawi). Namun, dengan adanya pengakuan memalsu hadits,
ditambah penyebutan sebabsebab yang jelas atas aljarh (inkredibilitas)
perawi ini, maka status Ma'la tidak bisa berubah menjadi kuat. Lebih
parah lagi, dalam Taqribut Tahdzib I/541, Ibnu Hajar menyatakannya
sebagai perawi yang tertuduh memalsukan hadits, bahkan dicurigai
menganut ajaran Rafidhah (salah satu sekte Syi'ah ekstrim). Dalam at
Taqrib watTaysir hal. 53, anNawawi menyatakan bahwa perawi yang
dicap kadzdzab oleh kritikus hadits berarti dibuang segala riwayatnya
dan tidak perlu ditulis. Ini peringkat terburuk dalam aljarh (kritik yang
melemahkan kredibilitas perawi), bersama predikat matrukul hadits dan
waahiyah (sangat lemah).
Memang ada perbedaan pendapat tentang diterima atau tidaknya
riwayat dari seorang perawi yang diketahui menganut aliran bid'ah. Al
Khathib alBaghdadi membahasnya panjang lebar (lihat: alKifayah hal.
120132). Akan tetapi, patut diingat, bahwa penolakan terhadap Ma'la
bukan sematamata karena ia penganut Rafidhah. Faktor ini hanya
menambah cacatcacat lain yang sudah disebutkan sebelumnya.
Tampaknya, kecurigaan sebagai penganut Syi'ah ini benar, sebab Ma'la
sendiri mengakui telah memalsukan haditshadits tentang keutamaan 'Ali
bin Thalib radhiyallahu 'anhu. Kedudukan menantu Rasulullah ini di
dalam akidah Syi'ah sudah masyhur, sementara beliau sendiri berlepas
diri dari kesesatan mereka. Catatan keterlibatan seorang perawi dengan
Rafidhah memang tergolong cacat yang hampir pasti merusak
kredibilitasnya, sebab mereka diketahui memperbolehkan berbohong
untuk membela madzhabnya dan terbukti mengkafirkan mayoritas
Sahabat. Padahal, kebohongan adalah aib besar, terlebih berbohong atas
nama Rasulullah; sementara menuduh Sahabat sebagai kafir adalah dosa
yang tidak bisa dianggap enteng. Ulasan atas masalah ini dapat dilihat
dalam bukubuku ulumul hadits.
AlMuzzammil Turun setelah alMuddatsir
Penting dicatat bahwa dalam konsep asli SNW yang selama ini
dipergunakan, surah alMuzzammil merupakan wahyu ketiga setelah al
Qalam. Dengan sendirinya kini timbul pertanyaan tentang kedudukan
surah ini dalam tartib nuzuli. Jika kedudukan alQalam digugurkan dari
urutan kedua, dan sebagai gantinya alMuddatstsir yang biasanya
menempati urutan keempat justru menjadi wahyu kedua, maka
dimanakah surah alMuzzammil berada?
Sebetulnya, pijakan dasar untuk memahami argumen dalam pasal ini
adalah apa yang sudah kami jabarkan dalam bab sebelumnya, yakni
tentang kedudukan surah alQalam. Telah jelas bahwa alQalam bukan
wahyu kedua sesudah Iqra'. Sebagai gantinya, berlandaskan kepada
riwayat yang shahih, alMuddatsir adalah wahyu kedua. Dengan
105
sendirinya, alMuzzammil tak mungkin turun mendahului alMuddatsir.
Surah ini sudah pasti turun setelahnya. Sebagai penjelas, dapat kami
kemukakan empat argumen tambahan, sbb:
Pertama, sekilas Dr. Subhi asShalih membicarakan posisi surah al
Muzzammil ini. Sayangnya, tanpa disertai ulasan yang lengkap dan
komprehensif. Dalam bukunya, hal. 40, ketika membahas keadaan
Rasulullah yang menggigil serta kebingungan setelah menerima wahyu
pertama, beliau menulis:
Penting untuk diingat disini, bahwa goncangnya hati beliau
menunjukkan kepada adanya rasa takut yang meliputi beliau karena
wahyu turun secara tibatiba tanpa diharapkan terjadinya, sebagaimana
firman Allah: Dan tidaklah engkau mengharapharap diberikan suatu
kitab kepadamu, melainkan (turunnya kitab itu) adalah rahmat dari
Tuhanmu.
38
Dan juga firmanNya: Dan demikianlah kami wahyukan
kepadamu wahyu (alQuran) kepadamu. Sebelumnya kamu tidaklah
mengetahui apakah alKitab (alQuran) itu (dan tidak pula mengerti)
apakah iman itu. Namun Kami jadikah alQuran itu sebagai cahaya,
yang Kami beri petunjuk dengannya siapa saja yang Kami kehendaki.
39
Dan tidak pula dalam kegoncangan pikiran beliau gejala apa pun yang
menunjukkan menurunnya suhu anggotaanggota tubuh, yang biasanya
diiringi dengan wajah yang pucat dan gigi gemerutuk menggigil. Yang
terjadi justru sebaliknya, dimana suhu tubuh beliau meninggi, wajahnya
memerah, sampaisampai keringat mengalir dari pelipis beliau,
badannya menjadi berat seperti sudah kita saksikan sehingga hampir
hampir saja mematahkan paha orang yang duduk di sebelahnya. Dan
permintaan beliau kepada Khadijah: selimuti aku!, tidaklah berarti
seringnya beliau berbaring di ranjang untuk menghangatkan diri di
bawah selimut dan rehat dari (trauma setelah) menyaksikan
pemandangan ghaib yang menakutkannya, juga perkataan berat (alqaul
atstsaqil) yang keras, dan karenanya Allah (merasa perlu)
memerintahkan beliau untuk melompat dan bangkit yakni setelah
kembalinya wahyu pasca masa terputusnya untuk memikul beban
beban dakwah ke jalan Allah. Disini, Allah berfirman: Ya ayyuhal
muddatstsir qum fa andzir, kemudian berfirman setelah itu: Ya
ayyuhal muzzammil qumil laila illa qaliilaa.
Jelas terlihat, beliau menyatakan bahwa alMuzzammil merupakan
wahyu yang turun setelah alMuddatstsir.
Kedua, jika menilik berbagai tartib nuzuli yang dikemukakan oleh para
ulama', mulai dari Versi Pertama sampai Kelima sebagaimana sudah kami
singgung di Bagian I, juga dalam konsep asli SNW, memang tampak jelas
bahwa alMuzzammil selalu ditempatkan sebelum alMuddatsir.
Penempatan semacam ini konsisten dalam semua tartib nuzuli.
Pertanyaannya, apakah hal ini sudah bisa diterima sebagai dalil bahwa
tata urutannya memang seperti itu?
Dalam Fathul Bari VIII/678, Ibnu Hajar mengemukakan:
38
Surah alQashash: 86.
39
Surah asySyura: 52.
106
Pendapat lainnya dinukil dari 'Atha alKhurasani, "AlMuzzammil
diturunkan sebelum alMuddatsir." (Akan tetapi), 'Atha ini lemah
(dha'if), dan riwayatnya adalah mu'dhal, karena tidak ditemukan bukti
yang pasti tentang pertemuannya dengan seorang pun Sahabat tertentu.
Lahiriah dari haditshadits yang shahih (menyatakan) lebih akhirnya
penurunan alMuzzamil, sebab di dalamnya disebutkan (perintah)
qiyamullail dan lain sebagainya yang (jelasnya) ada jeda waktu (antara
hal itu) dengan awal mula turunnya wahyu; berbeda dengan al
Muddatsir dimana di dalamnya ada (perintah) qum faandzir.
Riwayat mu'dhal adalah riwayat yang dalam sanadnya gugur (baca: tak
disebutkan) dua orang perawi atau lebih, baik di awal, tengah maupun
akhirnya. Tentu saja riwayat semacam ini termasuk dha'if dan tidak bisa
dijadikan sandaran utama. Yang mirip dengan ini adalah riwayat
mu'allaq, yang juga dha'if.
'Atha' alKhurasani yang dilemahkan oleh Ibnu Hajar diatas, nama
lengkapnya adalah 'Atha' bin Abi Muslim 'Abdullah, yang meriwayatkan
dari Ibnu 'Abbas dan beberapa Sahabat lainnya secara mursal. Dalam
kitabnya Ta'jilul Manfa'ah, Ibnu Hajar sendiri tidak mengomentari 'Atha
ketika menyebutkan biografinya. Dia dinyatakan tsiqah oleh Yahya bin
Ma'in dan Ahmad bin Hanbal. Sedangkan menurut Ibnu Hibban beliau
tidak bermasalah (la ba'sa bihi), jujur (shaduuq) dan haditshaditsnya
bisa dijadikan pegangan (yuhtajju bihi). Menurut Abdurrahman bin Zaid
bin Aslam, beliau adalah faqih Khurasan sepeninggal al'Abadilah.
40
Menurut Ya'qub bin Syaibah, beliau adalah tokoh yang termasyhur di
masanya, memiliki keutamaan dan ilmu, serta dikenal banyak berfatwa
dan pergi berjihad. Imam Malik mau mengambil riwayat darinya, padahal
beliau termasuk sangat berhatihati dalam menyeleksi para perawi.
Secara umum, 'Atha adalah perawi yang tsiqahtsabat (terpercaya lagi
kuat).
41
Dan, menurut penelusuran kami, paling tidak Imam Muslim telah
meriwayatkan satu hadits yang dalam sanadnya mencantumkan nama
'Atha alKhurasani ini, pada II/672 hadits no. 977 tentang ziarah kubur.
Penilaian Ibnu Hajar dengan para ulama' lainnya ini tampak
bertentangan. Namun, sebenarnya tidak demikian. Kelemahan 'Atha
dalam periwayatan hadits adalah sematamata berdasar
ketidaktersambungan sanadnya, bukan dari segi kredibilitas kepribadian
(adalah) maupun kualitas hafalan (dhabith). Sebab, bagaimanapun 'Atha
adalah seorang ulama' besar yang fatwafatwanya dirujuk secara luas
oleh masyarakat Khurasan di masanya. Dalam disiplin Ilmu Hadits,
keterputusan sanad merupakan jenis hadits dha'if. Keterputusan sanad
itu terutama jika yang diriwayatkan oleh Atha adalah haditshadits
40
Maksudnya, tokoh ulama dari kalangan Sahabat yang namanya samasama
Abdullah, yakni Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ibnu azZubair dan Ibnu Amr bin al
Ash. Sebetulnya masih ada seorang Abdullah lagi, yakni Ibnu Masud, namun
beliau lebih senior dan tidak dimasukkan menjadi alAbadilah alArbaah (empat
orang Abdullah). Akan tetapi, dalam periwayatan hadits, jika disebut secara
mutlak bahwa suatu hadits bersumber dari Abdullah, maka biasanya yang
dimaksud adalah Ibnu Masud ini.
41
Disarikan dari: Ta'jilul Manfa'ah hal. 545; alJarh watTa'dil VI/334; Mu'jamul
Buldan II/354.
107
seputar masalah tafsir. Sebab, menurut Ibnu Hajar, nama 'Atha al
Khurasani ini sering tertukar dengan 'Atha bin Abi Rabah, salah seorang
murid Ibnu 'Abbas. Riwayatriwayat yang berkaitan dengan tafsir dan
ulumul Qur'an yang bersambung kepada Ibnu 'Abbas adalah yang berasal
dari 'Atha bin Abi Rabah, bukan 'Atha alKhurasani. Menurut Ibnu Hajar,
para sekretaris ulama' (warraaq) saat itu sering jenuh harus mengulang
ulang penulisan nisbat alKhurasani, sehingga hanya ditulis nama
depannya 'Atha saja. Belakangan orang mengira bahwa itu adalah 'Atha
bin Abi Rabah. Kasus ini terutama menyangkut riwayatriwayat tafsir
Ibnu Juraij dari 'Atha alKhurasani, dari Ibnu 'Abbas. Rangkaian sanad ini
jelasjelas dha'if karena terputus, dimana ada satu perawi diantara 'Atha
dan Ibnu 'Abbas yang tidak disebutkan namanya (lihat: Fathul Bari
VIII/667).
Sebagaimana pula dimaklumi, riwayat tentang asbabun nuzul tidak
mungkin berasal dari selain Sahabat, sementara 'Atha alKhurasani
sendiri tidak terbukti pernah bertemu dengan seorang Sahabat pun.
Wallahu a'lam.
Ketiga, di tempat lain dari kitabnya, VIII/722, Ibnu Hajar juga menulis:
Dapat diketahui dari penyatuan dua hadits ini (yang membicarakan)
tentang turunnya ya ayyuhal muddatsir setelah katakata Rasulullah
"datstsaruuni wa zammiluuni", bahwa yang dimaksud dengan
"zammiluuni" disini adalah "datstsaruuni" juga, dan tidak bisa
disimpulkan begitu saja dari katakata beliau tersebut bahwa (ini
merupakan sebab) turunnya ya ayyuhal muzzammil pada saat itu.
Sebab, turunnya ya ayyuhal muzzammil disepakati lebih akhir dibanding
ya ayyuhal muddatsir. Sebab lain, dalam ya ayyuhal muddatsir ada
perintah untuk memberi peringatan (indzar) dan ini merupakan awal
mula bi'tsah (pengutusan beliau sebagai rasul), sementara awal al
Muzzammil adalah perintah mengerjakan qiyamullail dan mentartil al
Qur'an dimana hal ini mengharuskan telah diturunkannya banyak ayat
ayat alQur'an sebelum itu.
Keempat, ketika Imam alBukhari (lihat: IV/1875 hadits no. 4641) dan
Imam Muslim (lihat: I/143 hadits no. 161) meriwayatkan hadits tentang
asbabun nuzul surah alMuddatsir, keduanya samasama mengutip
sepotong pendek penjelasan tambahan dari perawinya. Setelah
mengisahkan ketakutan Rasulullah saat melihat kembali Jibril dan
kemudian alMuddatsir 15 turun, ada keterangan, "sebelum
diwajibkannya shalat." Riwayat ini bersumber dari Jabir, lewat jalur Abu
Salmah bin 'Abdirrahman bin 'Auf, kemudian azZuhri. Menurut Ibnu
Hajar dalam Fathul Bari VIII/679, kalimat ini seolah mengisyaratkan
bahwa mensucikan baju adalah sesuatu yang diperintahkan sebelum
diwajibkannya shalat. Yang dimaksud perintah "mensucikan baju" adalah
bunyi ayat ke4 surah alMuddatsir, wa tsiyabaka fathahhir.
Menurut kami, yang dimaksud "sebelum diwajibkannya shalat" adalah
kandungan alMuzzammil tentang kewajiban qiyamul lail. Maka, ini
adalah dalil yang jelas tentang lebih dahulunya penurunan alMuddatsir
dibanding alMuzzamil. Sebab, sebagaimana disebutkan oleh para
mufassirin, qiyamul lail adalah wajib sebelum turunnya perintah shalat
108
lima waktu sehari semalam. Perintah ini kemudian diringankan kurang
lebih setahun kemudian dan dijadikan sebagai shalat sunnah setelah
turunnya perintah shalat lima waktu. Riwayat tentang keringanan ini
banyak disebutkan para penulis hadits dan tafsir, bersumber dari 'Aisyah,
Ibnu 'Abbas dan selainnya.
42
Dengan demikian, dapat disimpulkan secara meyakinkan bahwa al
Muzzammil turun setelah alMuddatsir, bukan sebelumnya.[]
Wallahu a'lam.
42
Lihat pembahasannya, misalnya, dalam: Tafsir alQurthubi XIV/211; XIX/3437,
55. Tafsir athThabari XXIX/124126, 225. Tafsir Ibnu Katsir IV/437438. Uraian
senada insyaAllah dapat ditemukan dalam penafsiran surah alMuzzammil pada
kitabkitab tafsir lainnya.
109
BAB IV
ALMUDDATSTSIR SEBAGAI WAHYU KEDUA
Sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan surah alQalam, kita
sampai pada kesimpulan bahwa surah alMuddatstsir merupakan wahyu
kedua sesudah alAlaq. Dalam bab alMuzzammil, kami juga sudah
mengutip penjelasan Ibnu Hajar bahwa tidak mungkin surah al
Muzzammil turun mendahului alMuddatsir.
Kiranya kami tidak perlu mengulang kembali penjelasanpenjelasan yang
sudah ada. Disini, kami akan menyajikan sisi lain yang belum dibahas.
Misalnya, adanya sebabsebab 'tersembunyi' yang mendorong peletakan
kedua surah ini dalam urutan ke3 dan 4, serta halhal lain yang
berkenaan dengan kontroversinya.
Pada pokoknya, paparan yang disajikan dalam bab ini merupakan bukti
tambahan atas kesimpulan bahwa alMuddatsir adalah wahyu kedua.
Kami juga membahas bahwa riwayat asbabun nuzul surah alMuddatsir
yang banyak dikenal ternyata lemah kualitasnya, sehingga tidak bisa
dijadikan hujjah.
Riwayat Lemah Asbabun Nuzul alMuddatsir
Ada dua versi riwayat asbabun nuzul surah ini. Satu versi disebutkan
dalam kaitannya dengan masa fatrah, dan ini yang shahih, sebagaimana
sudah pernah dikupas detail sebelum ini. Kami menjadikan riwayat ini
sebagai pegangan, sehingga alMuddatsir bukan wahyu keempat seperti
dalam konsep asli SNW dan versiversi tartib nuzuli yang ada namun
wahyu kedua. Sementara satu versi lainnya disebutkan secara terpisah
sebagai peristiwa khusus yang berkenaan dengan alMuddatsir. Disini,
latar belakangnya memperlihatkan suasana dakwah terbuka. Agaknya,
kecenderungan meletakkan alMuzzammil dan alMuddatsir sebagai
wahyu ketiga dan keempat juga berawal dari sini. Sebab, jika masa
fatrah berlangsung 3 tahun dan kemudian dakwah terbuka dimulai, maka
logis jika keduanya turun dalam suasana dakwah terbuka. Sebelum ini
kita telah melihat bahwa riwayat penurunan alMuzzamil yang
menyebutkan latar belakang dakwah terbuka adalah waahin (lemah
sekali), cenderung palsu. Sayangnya, riwayat untuk alMuddatsir yang
sejenis ini juga dinilai dha'if (lemah) oleh asSuyuthi dalam Lubabun
Nuqul, dicetak bersama Tafsir alJalalain II/361.
AthThabrani mengeluarkan hadits dengan sanad lemah (dha'if) yang
bersumber dari Ibnu 'Abbas: bahwasanya alWalid bin alMughirah
menyiapkan jamuan makan untuk kaum Quraisy. Setelah mereka selesai
menyantapnya, ia berkata, "Apa yang kalian katakan tentang tentang
orang ini?" maksudnya, Rasulullah Sebagian mereka menjawab,
"Penyihir." Ada yang menyahut, "Dia bukan penyihir." Ada lagi yang
berkata, "Dukun." Ditanggapi oleh kawannya, "Dia bukan dukun." Ada
yang usul lagi, "Penyair." Dikomentari oleh lainnya, "Dia bukan penyair."
110
Ada yang berujar lagi, "Itu adalah sihir yang dipelajari dari nenek
moyang (sihrun yu'tsar)."
Cerita ini sampai kepada Nabi, sehingga beliau bersedih, menundukkan
mukanya dan berselimut (tadatstsara). Maka turunlah firman Allah: ya
ayyuhal muddatstsir qum faandzir sampai ayat wa li rabbika fa
shbir.
Lahiriah kisah ini justru lebih cocok dengan ayat 1130 surah al
Muddatsir, yang di dalamnya merekam katakata alWalid sendiri: in
haadzaa illaa sihrun yu'tsar, in haadzaa illaa qaulul basyar. Dengan kata
lain, peristiwa yang diceritakan riwayat diatas lebih pas menjadi
asbabun nuzul ayat 1130, bukan ayat pembukanya. Ayatayat ini
merupkan satu kesatuan yang mencela perilaku tokoh kafir tersebut.
Peristiwa yang menjadi asbabun nuzulnya berbeda, seperti disebutkan
Ibnu Jarir athThabari dalam Tafsirnya XXIX/156157. Sayang, sanadnya
munqathi' (terputus) karena hanya sampai 'Ikrimah, seorang ulama'
generasi Tabi'in, dan tidak disebutkan nama Sahabat yang menjadi
narasumbernya.
Riwayat yang dinukil asSuyuthi diatas dimuat athThabrani dalam al
Mu'jam alKabir XI/125 hadits no. 11250. Teks riwayatnya sama, dengan
tambahan, "Maka mereka pun menyepakati pendapat bahwa beliau
(membawa) sihir yang dipelajari dari nenek moyang."
43
Sanad riwayat ini
adalah: Muhammad bin 'Ali bin Syu'aib asSimsar, dari alHasan bin Bisyr
alBajalli, dari alMu'afi bin 'Imran, dari Ibrahim bin Yazid, dari Ibnu Abi
Malikah, dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma.
44
Kelemahan sanad ini ada pada Ibrahim bin Yazid, yakni Abu Isma'il al
Khauzy, bekas budak 'Umar bin 'Abdul 'Aziz yang kemudiaan tinggal di
Makkah dan meninggal tahun 150 atau 151 H. Menurut Ibnu Hibban, ia
meriwayatkan banyak sekali hadits munkar dan sangat tidak jelas dari
'Umar bin Dinar, Abu azZubair dan Muhammad bin 'Abbad bin Ja'far,
sehingga seolaholah riwayatnya dapat dijadikan pegangan (padahal
tidak demikian). Ahmad bin Hanbal memiliki penilaian yang buruk
terhadap perawi ini, yakni haditsnya matruuk. 'Abdullah bin alMubarak
menolak meriwayatkan hadits darinya. Yahya bin Ma'in menilainya tidak
bisa dipercaya (laysa bitsiqah) dan bukan apaapa (laysa bisyai'in).
43
Pada sebagian literatur, frase "sihrun yu'tsar" diterjemahkan dengan "sihir yang
berpengaruh", yakni memiliki pengaruh kuat kepada orang yang dikenainya.
44
Selain Ibrahim bin Yazid alKhauzy yang dilemahkan oleh banyak pakar biografi,
namanama lain dalam sanad ini adalah perawi yang bisa diterima haditsnya.
Tentang Muhammad bin Ali bin Syuaib asSimsar yang wafat tahun 290 H, tidak
kami temukan komentar apapun tentang dirinya (lihat: Tarikh Baghdad III/66; ).
AlHasan bin Bisyr bin Salm bin alMusayyib alBajalli adalah perawi yang shaduuq,
meskipun menurut anNasai tidak kuat [laysa biqawiy]. Hanya meriwayatkan
sedikit hadits yang satu sama lain nyaris serupa, dan bukannya munkar. AlBukhari
termasuk yang mengambil riwayat darinya, sedang Ibnu Hibban memasukkan
namanya dalam daftar perawi tsiqah. Wafat tahun 221 H (lihat: atTarikh alKabir
II/287; alJarh watTadil III/3; alKamil fi Dhuafa arRijal II/320; Tahdzibu at
Tahdzib II/223; Tahdzibu alKamal VI/5862). Sedang alMuafi bin Imran al
Maushili dan Abdullah bin Abi Malikah adalah dua imam besar yang sudah sangat
dikenal dalam studi hadits.
111
Imam alBukhari menyatakan bahwa para kritikus hadits mendiamkannya
(sakatuu 'anhu), sebagai isyarat "kecurigaan" atas dirinya. Dalam catatan
Ibnu Abi Hatim, ia adalah perawi lemah (dha'iful hadits) dan para ahli
hadits sendiri menghindari periwayatan darinya.
45
Andai ia hanya berpredikat dha'iful hadits, mungkin berguna jika kita
menelusuri riwayatnya dari jalur lain. Sebab, perawi dengan predikat ini
menempati peringkat ketiga dalam kelemahannya, dan haditsnya tidak
perlu dibuang serta bisa dicoba memeriksanya dari periwayatan lain (lil
i'tibar). Namun, Imam Ahmad justru menvonisnya sebagai matrukul
hadits, yang berarti mendekati palsu atau maudhu' (lihat juga: atTaqrib
watTaysir hal. 53).
Kesimpulannya, riwayat ini tidak bisa dijadikan hujjah, dan dengan
sendirinya pembatasan ayat sampai ayat ke7 tidak sah, jika bersumber
dari sini. Yang benar adalah alMuddatsir diturunkan hanya sampai ayat
ke5. Hal ini dinyatakan oleh riwayatriwayat yang ada dalam ash
Shahihain.
AlMuddatstsir: Wahyu Penegas Kerasulan
Dalam Zubdatul Itqan fi Ulumil Quran, hal. 78, Imam asSuyuthi
membahas masalah kedudukan alMuddatstsir ini, dan dari zhahirnya
beliau menguatkan pendapat bahwa surah ini memang wahyu kedua.
Setelah mengutip pendapat yang paling shahih tentang alAlaq 15
sebagai wahyu pertama, beliau kemudian mengutip pendapat lain:
Pendapat kedua: (wahyu yang pertama turun adalah) Ya ayyuhal
muddatstsir. AsySyaikhaini (alBukhari dan Muslim) meriwayatkan dari
Abu Salmah bin Abdirrahman [bin 'Auf], dia berkata, Saya bertanya
kepada Jabir bin Abdillah (surah) alQuran manakah yang diturunkan
pertamakali? Dia menjawab: Ya ayyuhal muddatstsir. Saya bertanya
lagi, Atau iqra bismirabbika? Dia menjawab: Saya beritahu kamu
apa yang disampaikan Rasulullah SAW kepada kami: Sesungguhnya aku
berdiam di Gua Hira, maka tatkala aku menyelesaikan diamku disana,
aku turun dan di tengahtengah lembah akau melihat ke kiri dan kanan,
kemudian aku melihat ke atas. Tibatiba aku melihat dia yakni
malaikat Jibril sehingga aku gemetar. Aku kemudian menemui
Khadijah dan menyuruhnya menyelimuti aku, kemudian Allah
menurunkan ya ayyuhal muddatstsir qum fa andzir.
Akan tetapi, para ulama menyanggah pertentangan diantara dua
riwayat ini dengan berbagai jawaban, yang paling masyhur adalah:
maksud dari yang pertama turun (alawwaliyah) dalam hadits Jabir ini
adalah awwaliyah makhshushah (yang pertama turun dalam kriteria
tertentu), yakni yang pertama turun dalam masalah perintah untuk
memberi peringatan. Maksudnya, wahyu yang pertamakali diturunkan
untuk (tugas) kerasulan adalah ya ayyuhal muddatstsir, sedangkan
wahyu yang pertamakali diturunkan untuk (pengangkatan) kenabian
45
Disarikan dari: alMajruuhin I/100102; atTarikh alKabir I/336; alJarh watTa'dil
II/146.
112
adalah iqra bismirabbika. Ini adalah sebuah jawaban yang baik dan
tepat sekali.
Pernyataan senada dapat kita jumpai dalam Sirah Nabi, karya Imam adz
Dzahabi, hal. 84. Setelah menyebutkan riwayat dari Abu Salmah, dari
Jabir, seperti yang juga disebutkan asSuyuthi diatas, beliau menulis:
Riwayat diatas merupakan bukti bahwa ayat ya ayyuhal muddatstsir
diturunkan setelah turunnya wahyu pertama, yaitu iqra bismi rabbikal
ladzi khalaq. Jadi, wahyu pertama adalah pengangkatan beliau sebagai
Nabi, sedang wahyu kedua adalah pengangkatannya sebagai Rasul.
Imam azZarkasyi menyatakan (alBurhan I/207), bahwa pendapat
terkuat tentang wahyu pertama adalah al'Alaq. Menurutnya, pendapat
bahwa alMuddatsir adalah wahyu kedua juga menjadi kesepakatan yang
kekuatannya setingkat dibawah ijma' untuk al'Alaq. Kompromi yang
beliau tawarkan pun sama, bahwa al'Alaq adalah wahyu pelantikan
Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai Nabi, sedang al
Muddatsir adalah wahyu pengangkatan sebagai Rasul. Pendeknya, wahyu
pertama berkaitan dengan tugas nubuwwah, sedang yang kedua
berkenaan dengan misi risalah. Pada halaman selanjutnya, azZarkasyi
menulis:
Ada yang berpendapat, wahyu yang pertamakali diturunkan untuk (misi)
risalah adalah ya ayyuhal muddatsir sedangkan untuk (tugas) nubuwwah
adalah iqra' bismi rabbika. Para ulama' menyatakan bahwa firman Allah
iqra' bismi rabbika menunjukkan kepada kenabian Muhammad shalla
llahu 'alaihi wa sallam, sebab kenabian adalah ungkapan untuk
(menamai fenomena dimana) wahyu (yang diturunkan) kepada seseorang
lewat lisan malaikat dengan membawa beban tugas (taklif) khusus (bagi
dirinya sendiri). Sedang firman Allah ya ayyuhal muddatsir qum fa
andzir merupakan petunjuk atas kerasulan beliau karena kerasulan
adalah ungkapan untuk wahyu (yang diturunkan) kepada seseorang
dengan membawa taklif umum (bagi semua orang).
Bila riwayatriwayat asbabun nuzul surah al'Alaq sebagaimana
dipaparkan dalam Bab I dimuka dibaca ulang, kita akan menemukan
bahwa memang demikianlah tata urutan penurunan wahyu berdasar
pada riwayatriwayat yang shahih.[]
Wallahu a'lam.
113
BAB V
KEDUDUKAN ALFATIHAH DALAM TARTIB NUZULI
Selain dalam tartib nuzuli seperti diuraikan pada Bagian I, cukup sukar
menemukan riwayat tentang urutan penurunan surah ini. Para penulis
tafsir maupun ulama alQuran tidak sepakat tentangnya. Referensi
referensi utama dalam 'ulumul Qur'an yang kami miliki selalu
menyertakan catatan khusus untuk alFatihah, dimana semua
menegaskan adanya ikhtilaf yang luas dan sulitnya memberi kata putus.
Hanya ada indikasiindikasi tertentu yang dipegangi para ulama', walau
semua kemudian berpulang kepada keyakinan masingmasing untuk
menerima maupun menolaknya.
Riwayat asbabun nuzul surah alFatihah sebenarnya ada, namun tidak
banyak dikutip para ahli tafsir. Akibatnya, surah ini terkesan turun tanpa
asbabun nuzul. Para ulama' sendiri berbeda pendapat tentang kapan
diturunkannya. Kebanyakan mufassirun berkonsentrasi menjelaskan
keagungan surah ini, bukan asbabun nuzulnya.
Memang, tidak semua ayat alQur'an memiliki asbabun nuzul. Jika
dibandingkan dengan jumlah ayatnya yang ribuan, maka jumlah riwayat
tentang latar belakang penurunannya tidaklah seberapa. Bahkan, ada
surahsurah yang dilewati begitu saja oleh Imam asSuyuthi dalam kitab
Lubabun Nuqul fi Asbabin Nuzul, dengan tanpa menyebutkan sepotong
pun riwayat tentangnya. Malangnya, alFatihah adalah surah pertama
dalam deretan yang tidak disinggung sedikitpun riwayatnya dalam kitab
itu. Setelahnya, ada 11 surah lain yang juga tidak disebutkan riwayat
asbabun nuzulnya, yaitu: anNaml (27), alMulk (68), Nuh (71), al
Insyiqaq (84), alBuruuj (85), alBalad (90), asySyams (91), alBayyinah
(98), alQari'ah (101), al'Ashr (103), dan alFiil (105). Hanya saja, fakta
ini tidak sertamerta menyatakan bahwa dalam kitabkitab yang lain
tidak disebutkan riwayatnya.
Menurut pengakuan asSuyuthi dalam muqaddimahnya, kitab beliau
disusun berdasarkan salah satu referensi asbabun nuzul yang paling
masyhur di masanya, yakni karya Imam alWahidi. Itu pun sudah disertai
berbagai tambahan yang membuatnya "bernilai lebih", sehingga
seharusnya lebih lengkap dan komprehensif. Kami tidak tahu, apakah
surahsurah yang dilewati tanpa asbabun nuzul tersebut memang
demikian adanya, atau ada riwayat tertentu namun tidak bisa dipercaya?
Kebanyakan kitab tafsir hanya mengutip pendapat ulama' salaf tentang
kapan surah ini turun. Sebagaimana akan kita lihat sebentar lagi,
riwayatnya saling menafikan satu sama lain. Ada yang mengatakan turun
di Makkah, ada pula yang bersikukuh ia turun di Madinah. Bahkan, ada
yang mengompromikannya sebagai diturunkan dua kali atau diturunkan
setengah disini dan sisanya disana. Dengan sendirinya, nyaris tiada yang
bisa diselidiki maupun dipastikan kekuatannya, selain berpegang pada
keyakinan kita tentang ketokohan ulama' yang memiliki pendapat
tersebut. Masalahnya, dalam kasus alFatihah ini, keyakinan tentang
ketokohan ini pun tidak benarbenar membantu memastikan mana yang
114
paling shahih, sebab mereka yang saling berbeda pendapat adalah para
Sahabat sendiri, juga ulama'ulama' besar yang tsiqah.
Kami juga berusaha melacak ke dalam kitab asSuyuthi yang lain, yang
banyak memuat atsar tentang penafsiran ayatayat alQur'an, yakni ad
Durrul Mantsur fit Tafsir bil Ma'tsur. Sayang, hasilnya juga nyaris
"buntu", karena sanad riwayat yang ada ternyata munqathi' (terputus)
hanya sampai generasi Tabi'in saja.
AlFatihah: Diperselisihkan Tarikh Nuzulnya
Demikianlah, diskusi tentang surah ini selalu memuat banyak
kebingungan, yang pada akhirnya harus berakhir dengan kompromi dalil
(aljamu bainal adillah), bukan penguatan atas salah satu dalil (at
tarjih bainal adillah), sebagaimana dikatakan Dr. Subhi asShalih, hal.
180:
Para ulama menentukan berlandaskan kepada berbagai riwayat dan
isnad surahsurah Makkiyah dan Madaniyah, kemudian meletakkannya
sesuai dengan urutan turunnya. Bila mereka meragukan awal atau akhir
yang diturunkan dari suatu surah mereka sampai pada ikhtilaf
mengenai surah alFatihah yang dibaca kaum muslimin setiap rakaat
shalat maka sebagian dari mereka berpandangan bahwa surah ini
Makkiyah sedang menurut sebagian lainnya Madaniyah. Ada lagi
kelompok ketiga yang berpendapat surah ini turun dua kali. Sebagian
ulama menegaskan bahwa surah ini adalah wahyu yang pertamakali
diturunkan di Makkah, sehingga ia menjadi surah yang pertamakali turun
secara mutlak. Sebagian ulama lain menegaskan bahwa ada beberapa
surah lain yang turun terlebih dahulu (sebelumnya). Dalam halhal
semacam inilah para ulama saling berlomba untuk menunjukkan dalil
dan argumen, dimana argumenargumen tersebut lebih merupakan
ijtihad dibanding menukil riwayat (dalil). Salah seorang ulama, Al
Wahidi misalnya, menganggap tak mungkin Rasulullah berdiri
mengerjakan shalat selama 10 tahun lebih dengan tanpa membaca al
Fatihah.
Dalam catatan kaki, beliau menyatakan bahwa diantara sekian banyak
surah yang masih diperselisihkan adalah alFatihah ini.
AlHasan bin alHishar menyusun nazham dalam kitabnya anNasikh wal
Mansukh yang memuat beberapa bait, dimana darinya dapat difahami
bahwa ulama bersepakat 20 surah sebagai Madaniyah,
46
yaitu: (1) al
Baqarah, (2) Ali Imran, (3) anNisa, (4) alMaidah, (5) alAnfal, (6) at
Taubah, (7) aNuur, (8) alAhzab, (9) Muhammad, (10) alFath, (11) al
Hujurat, (12) alHadid, (13) alMujadalah, (14) alHasyr, (15) al
Mumtahanah, (16) alJumuah, (17) alMunafiqun, (18) athThalaq, (19)
atTahrim, dan (20) anNashr.
Mereka berbeda pendapat mengenai 12 surah lainnya, karena banyaknya
riwayat (yang saling bertentangan) tentang surahsurah tersebut, yakni:
(1) alFatihah, (2) arRad, (3) arRahman, (4) ashShaff, (5) at
46
Agaknya, surahsurah ini disebutkan begitu saja, bukan dengan urutan tartib
nuzuli. Penomoran berasal dari kami sendiri untuk memudahkan. Penulis.
115
Taghabun, (6) atTathfif, (7) alQadr, (8) Lam Yakun, (9) Idza Zulzilat,
(10) alIkhlash, (11) alFalaq, dan (12) anNaas.
Adapun surahsurah selain (yang sudah disebutkan diatas), disepakati
sebagai surah Makkiyah (Lihat: alItqan 1/1718, disini asSuyuthi
menyebutkan secara lengkap bait yang dibuat Ibnul Hishar).
Berdasarkan ini dapat ditentukan bahwa jumlah surah Makkiyah adalah
82, karena jumlah (surah) alQuran selengkapnya adalah 114.
Riwayat dan pendapat tentang posisi surah alFatihah dalam tartib
nuzuli memang saling bertentangan, sebagaimana ditulis Ibnu Katsir
dalam tafsirnya, I/89:
(Surah) ini adalah Makkiyah, menurut pendapat Ibnu Abbas, Qatadah
dan Abul Aliyah. Menurut pendapat lain, surah ini Madaniyah, yakni
dari Abu Hurairah, Mujahid, Atha bin Yasar, dan azZuhri. Menurut
yang lain, konon surah ini diturunkan dua kali, sekali di Makkah dan
sekali di Madinah. Pendapat yang pertama lebih sesuai dengan firman
Allah wa laqad atainaka saban minalmatsani (dan sungguh telah
Kami berikan kepadamu tujuh ayat yang diulangulang), wallahu taala
alam.
Abul Laits asSamarqandi mengungkapkan bahwa separoh alFatihah
diturunkan di Makkah sedangkan separoh lainnya di Madinah. Ini adalah
pendapat yang sangat asing sekali (gharib jiddan). Pendapat ini dinukil
oleh alQurthubi dari Abul Laits.
Setelah menyebutkan beberapa riwayat yang berkaitan dengan
basmalah, Ibnu Katsir mengutip sebuah pernyataan berkenaan dengan
Ibnu Masud, juga riwayat lain yang intinya senada dengan apa yang
sudah dikutip oleh Dr. Subhi asShalih dimuka.
AlAmasy meriwayatkan dari Ibrahim, dia berkata: Pernah ditanyakan
kepada Ibnu Masud, mengapa Anda tidak menuliskan alFatihah dalam
mushaf Anda? Beliau menjawab, Andai saya menuliskannya, tentu
saya akan menuliskannya di awal setiap surah.
Dalam Mushaf Ibnu Masud, konon, memang tidak dicantumkan surah al
Fatihah.
Bahkan, azZarkasyi mengutip pernyatan alQadhi Abu Bakr alBaqillani
yang menurut kami terkesan pesimistis (lihat: alBurhan I/260).
Siapa yang menyusun alQur'an berdasarkan (kriteria surahsurah)
Makkiyah dan Madaniyah, niscaya tidak mengerti harus dimana
meletakkan surah alFatihah, mengingat perbedaan pendapat para
ulama' tentang tempat penurunannya.
Kemungkinan yang bisa dilakukan adalah menilai tokoh yang
mengemukakan pendapat tersebut, walau hasilnya boleh jadi tidak
memuaskan. Kami memilih bahwa surah alFatihah adalah Makkiyah,
mengingat ini berasal dari Ibnu 'Abbas. Dalam hal pentarjihan ini, kami
berpegang pada Lubabun Nuqul (lihat: Tafsir alJalalain I/6), dimana as
Suyuthi menulis:
Diantara yang bisa dijadikan sandaran dalam pentarjihan adalah
dengan memeriksa isnadnya, juga status perawi yang menjadi salah
116
seorang penyebab (turunnya wahyu dimaksud) yang hadir menyaksikan
sendiri dalam kisahnya itu, atau dia termasuk salah seorang ulama'
tafsir seperti Ibnu 'Abbas dan Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhum.
Dalam dua pendapat diatas, ada dua kubu: Ibnu Abbas, Qatadah dan
Abul Aliyah di satu pihak; dan Abu Hurairah, Mujahid, Atha bin Yasar
serta azZuhri di pihak lain. Ada dua Sahabat dan selebihnya adalah
ulama' besar Tabi'in yang berguru kepada mereka. Kita sudah samasama
mengerti kedudukan Ibnu 'Abbas dalam tafsir. Untuk Abu Hurairah,
hadits yang beliau riwayatkan memang banyak, namun beliau tidak
dikenal sebagai ulama' tafsir. Sebagaimana kaidah pentarjihan
pendapat dalam masalah asbabun nuzul yang dikatakan asSuyuthi
diatas, kiranya kami tidak layak mengakhirkan Ibnu 'Abbas disini.
Wallahu a'lam.
Riwayat Asbabun Nuzul alFatihah
Imam asSuyuthi menukil dalam adDurrul Mantsur I/1011, sebuah
riwayat panjang tentang latar belakang penurunan surah ini, juga
keterangan lainnya yang menegaskan kapan surah ini diturunkan.
AlWahidi mengeluarkan hadits (dalam kitab Asbabun) Nuzul, juga ats
Tsa'labi dalam kitab tafsirnya, yang bersumber dari 'Ali, bahwa beliau
berkata, "Surah alFatihah diturunkan di Makkah dari gudang
perbendaharaan di bawah 'Arsy."
Ibnu Abi Syaibah mengeluarkan hadits dalam kitab alMushannaf, juga
Abu Nu'aim dan alBaihaqi yang keduanya mengeluarkan hadits dalam
kitab Dala'ilun Nubuwwah, juga alWahidi dan atsTsa'labi, yang
bersumber dari Abu Maysarah 'Amr bin Syurahbil: Sesungguhnya
Rasulullah berkata kepada Khadijah, "Sesungguhnya aku, jika sedang
menyepi sendirian, (sering) mendengar suara panggilan. Sungguh, demi
Allah, aku sangat takut jika ini adalah sesuatu (gangguan jin)!" Khadijah
pun menjawab, "Aku berlindung kepada Allah. Tidak mungkin Allah
melakukan hal itu kepadamu. Demi Allah, engkau sungguh senantiasa
menunaikan amanah, menyambung tali persaudaraan, dan berkata
benar."
Saat Abu Bakar masuk ke rumah Nabi dan beliau sedang tidak ada di
dalamnya, Khadijah pun menceritakan hal itu kepadanya. Khadijah juga
berkata, "Pergilah engkau dengan Muhammad menemui Waraqah." Maka,
tatkala Rasulullah datang, Abu Bakar meraih tangan beliau dan berkata,
"Ayo kita bersamasama pergi menemui Waraqah." Rasulullah bertanya,
"Siapa yang memberitahumu (tentang apa yang kualami)?" Abu Bakar
menjawab, "Khadijah."
Maka keduanya pun pergi menemuinya, dan menceritakan padanya kisah
itu. Rasulullah menuturkan, "Jika aku sedang menyepi sendirian, aku
mendengar suara panggilan dari belakangku, 'Hai Muhammad! Hai
Muhammad!' Maka, akupun segera melarikan diri (ke tempat lain) di
muka bumi." Waraqah menyahut, "Jangan begitu. Jika (nanti) dia datang
lagi, tetaplah diam di tempat, sehingga engkau mendengar apa yang
dikatakannya, setelah itu datang lagi temui aku."
117
Kemudian beliau memberitahu saya, bahwa tatkala beliau sedang
sendirian, sebuah suara memanggilnya, "Hai Muhammad! Katakanlah:
bismillahirrahmaanirrahim alhamdu lillahi rabbil'alamin sampai
ayat wa ladhdhaalliin." Dia juga berkata, "Katakanlah: laa ilaaha illa
llaah."
Beliau pun mendatangi Waraqah lagi dan menceritakan padanya
peristiwa itu. Maka, dia pun berkata, "Bergembiralah! Sekali lagi,
bergembiralah! Sungguh, aku bersaksi bahwa sesungguhnya engkaulah
(orang) yang diberitakan dalam kabar gembira ('Isa) putra Maryam.
Sungguh, engkau mengalami seperti Namusnya Musa. Dan, sungguh
engkau adalah seorang Nabi yang diutus."
Lahiriah kisah ini menampilkan periode yang sangat awal dalam
penurunan wahyu kepada Rasulullah, yang agaknya dari sini dipahami
oleh sebagian ulama' bahwa alFatihah adalah wahyu pertama secara
mutlak. Ada beberapa kompromi yang ditawarkan, bersamaan dengan
riwayat lain tentang alMuddatsir. Dalam berbagai sumber klasik,
disebutkan bahwa "al'Alaq adalah wahyu pertama secara mutlak,
kemudian alMuddatsir adalah wahyu pertama yang didahului sebab
tertentu, sedang alFatihah adalah wahyu pertama yang diturunkan satu
surah secara utuh". Jadinya, ketiganya memang tetap wahyu pertama,
dalam konteksnya masingmasing.
Dalam kaitannya dengan riwayat alFatihah diatas, sebagaimana
disebutkan dalam berbagai riwayat lain, seperti dalam Shahih alBukhari
yang bersumber dari 'Aisyah, tokoh Waraqah bin Naufal meninggal tidak
lama setelah turunnya wahyu pertama. Dan, kondisi gemetar serta
ketakutan setiap kali didatangi Jibril hanya terjadi pada masamasa awal
pertemuan beliau dengan malaikat ini. Sebab, setelah beliau yakin tidak
dirasuki jin dan bahwa yang dilihatnya adalah makhluk lain, tidak ada
lagi riwayat yang menyebutkan kekhawatiran beliau. Bahkan, setelah itu
adalah masamasa kemesraan panjang antara beliau dengan Jibril,
dimana malaikat pembawa wahyu tersebut sering mendatangi beliau
atas perintah Allah, baik untuk tujuan menyampaikan alQur'an atau
lainnya.
Riwayat yang dikutip asSuyuthi tersebut dicantumkan oleh Ibnu Abi
Syaibah dalam kitab alMushannaf VII/329330, dengan teks yang bahkan
lebih panjang dan dengan tambahan keterangan lain yang tidak
disebutkan asSuyuthi. Inti kisahnya sama. Sanadnya adalah: 'Ubaidullah,
dari Israil, dari Abu Ishaq, dari Abu Maysarah.
Abu Maysarah nama aslinya adalah 'Amr bin Syurahbil alKufi al
Hamadani, seorang perawi yang dinilai tsiqah oleh Yahya bin Ma'in, dan
sempat ikut bertempur bersama 'Ali bin Abi Thalib 'alaihissalam di
Shiffin. Menurut Ibnu Hajar, Abu Maysarah seorang yang tsiqah, ahli
ibadah dan muhadhram yang wafat pada tahun 63 H. Syuraih alQadhi
memimpin shalat jenazahnya. Menurut adzDzahabi, perawi ini adalah
ahli ibadah yang riwayatnya dapat dijadikan pegangan ('aabid hujjah).
Jika kita perhatikan gurugurunya, maka beliau sempat berjumpa dan
menerima riwayat dari banyak Sahabat senior, yakni 'Umar, 'Ali,
Hudzaifah bin alYaman, Salman bin Rabi'ah, 'Abdullah bin Mas'ud, Qays
118
bin Sa'ad bin 'Ubadah, 'Aisyah, Ma'qil bin Muqrin alMuzanni, dan an
Nu'man bin Basyir radhiyallahu 'anhum.
47
Hanya saja, menurut alQadhi Abu Bakar alBaqillani dalam kitab al
Intishar, seperti dikutip azZarkasyi dalam alBurhan I/207, sebagaimana
juga dapat kita lihat secara jelas dari rangkaian sanadnya, khabar ini
terputus (munqathi') karena Abu Maysarah adalah generasi Tabi'in, dan
beliau tidak menyebutkan siapa Sahabat yang menjadi sumbernya. Perlu
diingat, berita tentang nuzulnya alQur'an tidak mungkin bersumber
dari selain Rasulullah atau Sahabat. Sebab, masa pewahyuan terhenti
setelah wafatnya Rasulullah. Walau, memang benar bahwa dalam hal
semisal asbabun nuzul hampir tak mungkin generasi Tabi'in membuatnya
sendiri. Yang lebih mungkin adalah mereka mendasarkannya dari salah
seorang Sahabat. Hanya saja, dalam kasus Abu Maysarah ini, persisnya
siapa Sahabat yang dirujuknya?
Bila kita perhatikan lebih teliti riwayat itu, lahirnya memang terkesan
agak aneh. Seharusnya, jika alFatihah turun jauh setelah al'Alaq, saat
itu Waraqah bin Naufal sudah wafat. Dalam matan riwayat yang
dikeluarkan Ibnu Abi Syaibah juga terdapat berbagai hal yang menurut
riwayat 'Aisyah dalam Shahih alBukhari diucapkan Waraqah berkenaan
dengan turunnya Iqra' (wahyu pertama). Pertanyaannya, bagaimana
mempertemukan keduanya?
Ibnu Hajar al'Asqalani pernah mengulas masalah Waraqah bin Naufal ini
dalam kaitannya dengan dakwah Rasulullah (lihat: Fathul Baari I/27).
Disini, beliau sedang menjelaskan teks hadits riwayat alBukhari yang
menyatakan bahwa setelah turunnya wahyu pertama, Waraqah tidak
memiliki kaitan apaapa lagi yang bisa diceritakan, sampai meninggalnya
(lam yata'allaq bisyai'in minalumuuri hatta maata). Menurut beliau:
Hal ini berbeda dengan apa yang disebutkan Sirah Ibnu Ishaq,
bahwasannya Waraqah pernah lewat di dekat Bilal yang sedang disiksa.
Kisah ini mengharuskan masih hidupnya Waraqah sampai zaman dakwah
dan juga sampai masuk Islamnya sebagian orang. Jika kita menahan diri
dari mentarjih riwayat ini, maka sebenarnya apa yang disebutkan
dalam Shahih (alBukhari) lebih shahih. Dan, jika kita melakukan
kompromi (aljam'u), mungkin dapat dikatakan bahwa wawu dalam
katakata wafatara alwahyu (dan wahyu pun mengalami masa fatrah),
tidak bermakna tartib (urutan kejadian). Boleh jadi, perawi tidak
mengingat kisah lain tentang Waraqah setelah (turunnya wahyu) itu,
yang berkenaan dengan sesuatu perkara (yang dapat diceritakan
berkenaan dengan dakwah Nabi). Alhasil, perawi pun menjadikan kisah
(awal mula turunnya wahyu) ini sebagai akhir urusan Waraqah, sebatas
apa yang diketahuinya dan bukan menurut fakta yang sesungguhnya
terjadi.
Cerita tentang melintasnya Waraqah di dekat Bilal yang tengah disiksa
memang ada dalam Sirah Ibnu Hisyam, yang merupakan ringkasan
sekaligus saringan dari Sirah Ibnu Ishaq yang sudah hilang. Kisah ini ada
47
Disarikan dari: alKasyif II/78; Taqribut Tahdzib I/422; alJarh wat Ta'dil VI/237;
Tahdzibul Kamaal XXII/6061.
119
pada II/159160 dari Sirah Ibnu Hisyam, yang diterbitkan oleh Darul Jayl,
Beirut.
Bilal adalah maula (bekas budak yang dimerdekakan) oleh Abu Bakar,
asalnya milik sebagian anggota Bani Jumah dan merupakan salah
seorang keturunan budakbudak mereka. Dia bernama Bilal, putra
Rabah, dimana ibunya bernama Hamamah. Bilal termasuk orang yang
benar dalam berIslam dan bersih hatinya.
Umayyah bin Wahb bin Hudzafah bin Jumah menyeretnya keluar ke
sebuah tanah lapang di lembah Makkah ketika matahari tengah panas
menyengat, kemudian menyuruh orang meletakkan batu besar diatas
dadanya. Ia berkata kepada Bilal, "Kau akan terus seperti ini sampai
mati, atau kau mengkufuri Muhammad serta mau menyembah alLatta
dan al'Uzza!" Ditengahtengah siksaan itu, Bilal hanya mengucapkan,
"Ahad. Ahad" (artinya: ilah yang esa, ilah yang esa, yakni Allah).
Ibnu Ishaq berkata: Hisyam bin 'Urwah bercerita kepadaku: bersumber
dari ayahnya 'Urwah bin azZubair dia berkata: Waraqah bin Naufal
pernah lewat di dekat Bilal yang sedang disiksa seperti itu, sementara
dia tetap mengucapkan "Ahad, Ahad". Maka, Waraqah pun berkata,
"(Terus ucapkan) katakata ahad ahad itu, demi Allah, wahai Bilal." Ia
kemudian berbalik menghadap ke arah Umayyah bin Khalaf dan orang
orang yang menyiksanya dari Bani Jumah, seraya berkata, "Aku
bersumpah demi Allah, jika kalian membunuhnya dalam keadaan tetap
seperti ini, pasti aku akan menjadikan dia sebagai hanaan." Yakni, orang
yang dicari berkahnya.
Hanya saja, riwayat Ibnu Ishaq dari Hisyam yang bersumber dari 'Urwah
ini mursal, dimana tidak disebutkan sumber aslinya dari kalangan
Sahabat. Sebab, 'Urwah sendiri adalah generasi Tabi'in yang tidak
menyaksikan peristiwa tersebut. 'Urwah adalah putra azZubair bin al
'Awwam radhiyallahu 'anhu, yang menurut Ibnu Sa'ad termasuk generasi
kedua penduduk Madinah. 'Urwah lahir pada tahun 23 H, di penghujung
kekhilafahan 'Umar radhiyallahu 'anhu. Saat pecah Perang Jamal tahun
36 H, beliau masih dianggap anak kecil sehingga tidak dilibatkan (lihat:
Tahdzibut Tahdzib VII/165). Sedang peristiwa penyiksaan Bilal terjadi di
Makkah pada tahuntahun awal dakwah Rasulullah. Ada jarak waktu tak
kurang dari setengah abad antara peristiwa itu dengan usia baligh
'Urwah, yang dalam etika periwayatan hadits merupakan batas
diterimanya riwayat. Darimana sumber cerita 'Urwah ini? Apakah dari
bibi dan gurunya, ummul muminin Aisyah? Kalaupun benar, tetap saja
mursal, karena saat peristiwa itu berlangsung Aisyah tentu belum lahir
atau masih balita. Sebab, beliau lahir sekitar tahun ke4 kenabian.
Dalam asbabun nuzul surah alLahab kita akan membahas topik ini lebih
mendalam, insyaAllah.
Alhasil, riwayat asbabun nuzul alFatihah diatas tidak bersambung
(muttashil) ke generasi Sahabat. Logika peristiwanya juga kurang
meyakinkan dari sisi sirah, meskipun boleh jadi hal itu benar
sebagaimana disinggung Ibnu Hajar. Lagi pula, menurut anNawawi
dalam Syarah Shahih Muslim II/108, pendapat bahwa alFatihah sebagai
wahyu pertama adalah dha'if, bahkan bathil. Letak kekeliruannya, masih
menurut beliau, sudah sangat jelas sehingga tidak usah disebutkan
120
(buthlaanuhu azhharu min an yudzkar). Lebih disayangkan lagi, ternyata
riwayat sirah yang berkaitan dengan masih hidupnya Waraqah setelah
zaman dakwah diatas juga tidak bersambung. Jadi, rangkaian logikanya
pun tidak bisa diandalkan dari berbagai segi.
AlFatihah Turun di Makkah
Menurut kami, selain berpegang kepada pendapat Ibnu 'Abbas diatas,
kedudukan alFatihah dalam tartib nuzuli dapat diluruskan dengan
meneliti konteks peristiwanya dalam Sirah. Kita sudah menyaksikan
bahwa ketika surah alMuzzammil turun dan memuat perintah
menegakkan qiyamul lail, maka Rasulullah dan para Sahabat
mengerjakan selama setahun penuh, sebelum akhirnya diberi keringanan
oleh Allah. Catatancatatan sirah juga menyebutkan bahwa para Sahabat
sudah mengerjakan shalat sejak awal dakwah di Makkah. Peristiwa
perkelahian Sa'ad bin Abi Waqqash dengan beberapa orang kafir yang
mengejek shalatnya di sebuah lembah memperlihatkan hal ini. Saat itu,
Sa'ad yang masih remaja sekitar 18 tahun memukul lawannya dengan
tulang bekas bangkai kepala keledai. Inilah darah pertama yang
ditumpahkan di jalan Allah. Tentu saja, shalat ini di siang hari, sebagai
keringanan dari Allah.
Menurut berbagai hadits shahih, shalat tidak sah tanpa membaca al
Fatihah di dalamnya. Kami sudah mengutip pernyataan alWahidi yang
menganggap mustahil Rasulullah mengerjakan qiyamul lail sepuluh
tahun lebih tanpa membaca alFatihah. Perlu diingat, bahwa sebelum
diwajibkannya shalat 5 waktu di akhir periode Makkah menjelang
peristiwa hijrah selama 10 tahun qiyamul lail adalah wajib. Syekh
Muhammad 'Izzah Darwazah memberikan sebuah catatan panjang
mengenai masalah shalat ini dalam kaitannya dengan dakwah Rasulullah
dalam periode awal. Pada intinya beliau menyimpulkan bahwa shalat,
sebagaimana yang sudah dikenal dewasa ini, telah dikerjakan sejak awal
sekali, mungkin dimulai dengan tanpa batasan waktu dan jumlah rakaat.
Pembatasan yang tegas tentang waktu dan jumlah rakaat baru turun
setelah peristiwa Mi'raj, yang menurut pendapat terkuat berlangsung di
penghujung periode Makkah, atau paling cepat pada tahun ke4
kenabian. Silakan merujuk kepada kitab beliau, AtTafsir alHadits I/28
34.
Dengan demikian, anggapan bahwa alFatihah turun di Madinah sukar
diterima. Bahkan, selazimnya surah ini turun tidak jauh setelah al
Muzzammil, sebagai semacam jawaban atas pertanyaan tertentu yang
timbul ketika turun kewajiban qiyamul lail.[]
Wallahu alam bishshawab.
121
BAB VI
ALLAHAB SEBAGAI SURAH PENANDA DA'WAH JAHRIYAH
Diterangkan bahwa, wahyu pertama yang diturunkan berkenaan dengan
dimulainya dakwah terbuka adalah surah asySyu'ara': 214 dan alHijr:
94. Ayat pertama menyuruh Rasulullah memberi peringatan (indzar)
kepada keluarga beliau yang terdekat, sedang ayat kedua
memerintahkan beliau untuk berdakwah secara terangterangan dan
tidak memperdulikan tanggapan orangorang musyrik. Peristiwa ini
terjadi setelah kenabian berjalan 3 tahun, sebagaimana dikatakan Ibnu
Jarir athThabari dalam Tarikhnya I/541, 543.
Mungkin timbul pertanyaan, jika keduanya adalah wahyu yang lebih
dahulu turun menjelang dakwah terbuka, mengapa bukan surah asy
Syu'ara' dan alHijr saja yang dianggap sebagai urutan ke5 setelah al
Fatihah? Jawabnya, dikemukakan Dr. Subhi ashShalih dalam Mabahits,
hal. 179.
disampaikan oleh Ibnu Abbas, Jika pembukaan suatu surah turun di
Makkah maka ia ditulis di Makkah, kemudian Allah menambahkan di
dalamnya apa yang dikehendakiNya.
Artinya, sebuah surah panjang tidak serta merta disebut Makkiyah atau
Madaniyah hanya karena tempat dan tarikh nuzul sebagian ayat yang
ada di tengahtengahnya. Sebuah surah memperoleh status itu karena
tarikh nuzul bagian permulaannya jelasjelas berkaitan dengan salah
satu dari kedua periode tersebut. Demikian juga posisi suatu surah
dalam tartib nuzuli sangat bergantung kapan bagian permulaannya
diturunkan. Masalah ini pernah kami contohkan dalam kasus surah al
Muzzammil, dimana urutan penurunan ayatayatnya yang unik, yakni
ujungnya diturunkan lebih dahulu daripada tengahtengahnya.
48
Kaidah
yang sama berlaku pula untuk surah asySyuara' dan alHijr. Menurut
versiversi tartib nuzuli yang ada, keduanya turun di urutan 40an dan
50an. Itu artinya, kemungkinan bagian awalnya turun setelah tahun ke
5 kenabian, di belakang surah Maryam dan Thaha. Kedudukan ini tidak
menghalangi untuk turunnya ayatayat lain dari surahsurah tersebut,
yang bukan bagian permulaannya. Adapun alLahab, surah ini cukup
pendek dan hanya memuat 5 ayat, yang semuanya turun sekaligus dalam
satu kesempatan saja.
Lebih jelasnya, turunnya alLahab sebagai wahyu ke5 tidak serta merta
bermakna bahwa sebelum itu tidak ada wahyuwahyu lain yang
diturunkan. Kita telah melihat bahwa ayat ke20 surah alMuzzammil
turun setahun setelah bagian pembukanya, yang berarti masih dalam
fase da'wah sirriyah sebelum turunnya ayatayat dalam surah asy
Syu'ara', alHijr maupun alLahab. Jika kita melihat jumlah total ayat
ayat surah Makkiyah, maka wajar jika turun dalam periode sangat rapat,
48
Lihat kembali Bagian I, Bab III Tarikh Nuzul Ayatayat alQur'an, pada pembahasan
pembatasan ayat yang pertamakali turun dari surah alMuzzammil.
122
atau mirip kuliah harian yang terusmenerus ditambahkan materi baru
setelah yang lama usai diterima, dimengerti dan diamalkan.
Dari sini kami beranggapan bahwa selama 3 tahun da'wah sirriyyah, ada
ayatayat lain yang turun kepada Rasulullah, walau bukan merupakan
bagian permulaan suatu surah tertentu, sehingga tidak menyebabkan
perubahan urutan tartib nuzuli. Sayyid Quthb melontarkan kritik keras
atas pendapat bahwa selama 3 tahun masa fatrah tidak ada wahyu yang
turun samasekali, sebagaimana terlihat dalam pembukaan penafsiran
beliau atas surah alQalam.
49
Syekh Darwazah juga cenderung meyakini
indikasi semacam ini, mengingat beberapa penggal permulaan surah
yang diriwayatkan turun dalam periode awal kenabian, seperti alQalam,
justru menyitir olokolok kaum kafir Quraisy terhadap isi alQur'an
sebagai cerita purbakala. Olokolok mereka setidaknya mengindikasikan
telah adanya ayatayat yang turun dan berbicara tentang kisah umat
umat terdahulu, yang mungkin sebagian besar mirip dengan isi kitab
kitab milik kaum Yahudi dan Nasrani, sehingga mereka menuduh Nabi
cuma menjiplak.
50
Riwayat Asbabun Nuzul alLahab
Latar belakang historis turunnya surah ini shahih, sebagaimana yang
diriwayatkan Imam alBukhari dalam Shahihnya IV/1902 hadits no.
4687.
Yusuf bin Musa menceritakan hadits kepada kami: Abu Usamah
menceritakan hadits kepada kami: alA'masy menceritakan hadits
kepada kami: 'Amr bin Murrah menceritakan hadits kepada kami:
bersumber dari Sa'id bin Jubair: bersumber dari Ibnu 'Abbas radhiya
llahu 'anhuma, beliau berkata: Tatkala diturunkan (wahyu) "wa andzir
'asyiratak alaqrabiin" wa rahthaka minhum almukhlashiin, Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam keluar sampai berada di puncak bukit
Shafa. Beliau kemudian berseru nyaring, "Yaa shabahaah!! (Serangan
pagi! Serangan pagi!)" Orangorang pun saling bertanya, "Siapa gerangan
orang (yang memanggilmanggil) ini?" Mereka pun berkumpul mendekati
beliau. "Apa pendapat kalian," kata beliau, "jika aku kabarkan bahwa
sepasukan tentara berkuda akan keluar (menyerbu kalian) dari celah
gunung ini, adakah kalian percaya padaku?" Mereka menjawab, "Kami
belum pernah melihatmu berbohong." Beliau pun bersabda, "Aku ini
sungguhsungguh pemberi peringatan kepada kalian dari ancaman siksa
yang sangat pedih." Maka Abu Lahab pun menyahut, "Celaka besar
engkau ini! Engkau mengumpulkan kami hanya untuk ini?" Dia segera
bangkit pergi, dan kemudian turunlah "tabbat yadaa abi lahabin wa
tabba", dan ia benarbenar telah celaka. Demikianlah alA'masy
membacanya pada saat itu.
Dua riwayat setelahnya menceritakan hal yang sama, namun berasal dari
jalur sanad berbeda. Potongan riwayat ini maupun matan lengkapnya
49
Lihat kembali Bab II Memahami Kontroversi alQalam diatas, terutama kritik
panjang Sayyid Quthb yang kami kutip dari Tafsir Zhilal.
50
Silakan periksa penafsiran beliau terhadap surah alQalam.
123
dicantumkan juga oleh alBukhari pada I/470 hadits no. 1330; IV/1787
hadits no. 44924493, hal. 1804 hadits no. 4523, hal. 1902 hadits no.
4687.
Riwayat yang serupa juga dituturkan oleh Imamimam lainnya, yakni:
Imam Muslim dalam Shahihnya I/193194 hadits no. 208, dari Ibnu
'Abbas.
Imam Ibnu Hibban dalam Shahihnya XIV/485488 yakni hadits no.
6548 dari 'Aisyah, berupa potongan matan; no. 6549 dari Abu
Hurairah; no. 6550 dari Ibnu 'Abbas; no. 6551 dari (Abu Musa) al
Asy'ari, berupa potongan matan.
Imam atTirmidzi dalam Sunannya V/451 hadits no. 3363, dari Ibnu
'Abbas. Menurutnya, hadits ini hasanshahih. Juga dalam V/339
hadits no. 3186, dari Abu Musa alAsyari. Namun menurut beliau,
hadits yang ini gharib, karena riwayat yang lebih shahih adalah
mursal dari Qasamah bin Zuhair alMazini alBashri, tanpa
menyebutkan nama Abu Musa. Qasamah sendiri adalah perawi tsiqah
dari generasi Tabiin, wafat pada tahun 80an hijriyah di zaman al
Hajjaj bin Yusuf.
51
Imam anNasai, di beberapa tempat dalam asSunan alKubra VI/243
244 hadits no. 1081510817 dari Qubaishah bin Mukhariq dan Zuhair
bin 'Amr; hal. 244 hadits no. 1081810819; hal. 437, hadits no.
11426; dan hal. 526 hadits no. 11714. Semua riwayat yang terakhir
ini dari Ibnu 'Abbas.
Imam Ahmad bin Hanbal dalam alMusnad I/281 hadits no. 2544; hal.
307 hadits no. 2807, keduanya dari Ibnu 'Abbas. Juga dalam III/476
dari Qubaishah bin Amr.
Imam Ibnu Jarir athThabari dalam atTarikh I/541543, bersumber
dari Ibnu 'Abbas, 'Ali bin Abi Thalib, dan alHasan bin Abi alHasan.
Ada beberapa riwayat yang beliau muat disini, termasuk salah
satunya yang di dalam sanadnya mencantumkan nama 'Ali bin Abi
Thalib sebelum Ibnu 'Abbas. Artinya, sumber pertama kisah ini bukan
dimutlakkan kepada Ibnu 'Abbas seperti dalam riwayatriwayat yang
lain, namun dapat ditelusuri lebih jauh lagi kepada 'Ali bin Abi
Thalib.
Imam alBaihaqi dalam asSunan alKubra IX/7. Selain menyebutkan
banyak riwayat di dalamnya, baik secara rinci maupun global, beliau
juga memiliki sanad yang serupa dengan milik Ibnu Jarir diatas.
Imam Muhammad bin Ishaq alFakihy dalam Akhbaaru Makkkah
II/213216, hadits no. 13791381 dan 1384, dari Ibnu 'Abbas dan Abu
Hurairah.
51
Disarikan dari: alJarh watTadil VII/147; Tahdzib atTahdzib VIII/338; Taqrib at
Tahdzib I/455; alKasyif II/137; Tahdzibu alKamal XXIII/602.
124
Imam Ibnu Katsir dalam alBidayah wanNihayah III/3840; VI/111
112 dari Ibnu 'Abbas, Abu Hurairah, 'Ali bin Abi Thalib [lewat Ibnu
'Abbas dan Rabi'ah bin Majid].
Imam alMundziri dalam atTarghib watTarhib IV/244245, dari Abu
Hurairah.
Imam Abu Bakr asySyaibani dalam alAahad walMatsaani III/124
hadits no. 1446 dari Zuhair bin Amr.
Imam athThabrani dalam alMujam alKabir V/272 hadits no. 5305,
dari Zuhair bin Amr alHilali.
Selain dalam kitabkitab hadits, pada umumnya kitab tafsir juga
menuturkan riwayat ini dari sumbernya masingmasing. Sebagai misal,
salah satu riwayat Imam alQurthubi dikutip dalam Tafsir XIV/312 dari
Ibnu Abbas. Untuk Imam athThabari, salah satunya tercantum dalam
Tafsir XIX/120121, dari beberapa sumber. Untuk Imam Ibnu Katsir
beliau menukilnya dalam Tafsir III/350351, juga dari beberapa sumber.
Demikianlah, terlihat bahwa riwayat ini tidak asing, walau kita harus
menyadari bahwa tidak seluruhnya shahih dan muttashil, sebagaimana
yang akan kita lihat sebagian darinya dalam analisa berikut.
Status Riwayat Asbabun Nuzul alLahab
Menurut kami, ada beberapa catatan yang perlu diberikan terkait
dengan riwayatriwayat diatas, terutama dari segi perawi terakhirnya
dari kalangan Sahabat. Sebab, seluruh perawi yang disebutkan diatas
hampir pasti tidak menyaksikan secara langsung peristiwa yang
diceritakannya. Dengan kata lain, enam Sahabat tersebut bukan saksi
sejarah, hanya pengutip berita: Aisyah, Ibnu Abbas, Abu Musa al
Asyari, Abu Hurairah, Qubaishah bin Mukhariq, dan Zuhair bin Amr
radhiyallahu anhum. Pasti ada sumber tertentu dari kalangan Sahabat
sendiri yang lebih senior dan menjadi saksi sejarahnya. Siapakah dia?
Ibnu 'Abbas sudah pasti tidak mungkin menyaksikannya. Ketika
Rasulullah naik ke bukit Shafa dan memanggil kaumnya, Ibnu 'Abbas
bahkan belum lahir. Menurut catatan, beliau lahir 3 tahun sebelum
hijrah, padahal peristiwa tersebut terjadi sekitar 10 tahun sebelum
hijrah.
52
Satu riwayat lain yang disebutkan oleh alBukhari bersumber
dari Abu Hurairah, dan ini juga musykil, karena beliau pasti tidak
menyaksikannya. Sebagaimana dimaklumi, Abu Hurairah masuk Islam di
Madinah pada bulan Muharram 7 H, bertepatan dengan Perang Khaibar.
53
Jelas timbul pertanyaan, darimana sumber riwayat ini sebenarnya? Siapa
saksi sejarah yang darinya kedua Sahabat diatas mengutip riwayat? Oleh
karenanya, wajar jika Ibnu Hajar menggolongkan riwayat ini sebagai
52
Silakan periksa: Taqribu atTahdzib I/309; atTarikh alKabir V/34; alJarh wa
atTa'dil V/116; Tahdzibu atTahdzib V/242244; alKasyif I/565; Tahdzibu al
Kamal XV/154 dst.
53
Disarikan dari: Siyaru A'lami anNubala' II/578 dst.; Tahdzibu alKamal XXXIV/366
dst.; atTarikh alKabir VI/132; alJarh wa atTa'dil VI/49; Tahdzibu atTahdzib
XII/288291; Taqribu atTahdzib I/680; alKasyif II/469.
125
hadits mursal di kalangan sesama Sahabat (baca: mursal shahabi, lihat:
Fathul Bari VIII/502504).
Kasus serupa terjadi dalam riwayat yang disebutkan athThabrani, yang
walaupun bersumber dari empat orang Sahabat terkenal, namun
seluruhnya tidak mungkin menyaksikan peristiwa tersebut. Ummul
mu'minin 'Aisyah pada saat kejadian itu tentu masih belum dilahirkan.
Kita mengetahui bahwa pada saat dinikahi Rasulullah di bulan Syawal
tahun ke10 kenabian, usia 'Aisyah baru 6 tahun, yang darinya dapat
difahami bahwa beliau lahir tahun ke4 atau 5 kenabian,
54
padahal
peristiwa da'wah jahriyah pertama itu terjadi pada tahun ke3 kenabian.
Jika pun peristiwanya diundur beberapa tahun ke belakang, tentunya
beliau tetap masih balita. Untuk Ibnu 'Abbas dan Abu Hurairah
masalahnya sudah jelas.
Sementara itu, Abu Musa alAsy'ari sudah masuk Islam sejak Rasulullah
masih di Makkah, ikut berhijrah ke Abbyssinia (Habasyah), dan baru
bergabung dengan beliau di Madinah pada saat Perang Khaibar, bersama
rombongan muhajirin Abbyssinia lainnya. Akan tetapi, Abu Musa al
Asy'ari atau nama aslinya 'Abdullah bin Qays, menurut Ibnul Qayyim tidak
terbukti berangkat berhijrah ke Abbyssinia dari Makkah. Beliau memang
masuk Islam di Makkah namun segera kembali ke negerinya (Yaman)
setelah itu. Ketika mendengar adanya rombongan Jafar bin Abi Thalib
yang menumpang kapal dagang ke seberang Laut Merah, beliau segera
menyusul dan bergabung. Hijrah ke Abbyssinia yang pertama sendiri
terjadi di bulan Rajab tahun ke5 kenabian, yakni setelah bergulirnya
dawah jahriyah dan tekanan kaum kafir Quraisy semakin tak
tertahankan. Padahal, rombongan Jafar adalah gelombang kedua
Sahabat yang berhijrah, yang berlangsung beberapa bulan setelah yang
pertama. Demikianlah, Rasulullah sering menyuruh orang yang masuk
Islam dari luar Makkah dan bukan anggota Quraisy atau sekutunya untuk
pulang dulu ke negerinya, dan meminta mereka untuk bergabung dengan
beliau jika mendengar Islam telah berjaya. Kasus serupa dialami oleh
Abu Dzar alGhifari. Suku Asyari sendiri tidak punya hubungan apapun
dengan Quraisy, sehingga posisi Abu Musa di Makkah sangat rawan
sementara Rasulullah tak mampu memberi jaminan perlindungan
kepadanya.
55
Jika memang demikian, maka hampir pasti Abu Musa bukan
saksi sejarah dari peristiwa yang sedang kita bicarakan.
Sumber lain yang menyebutkan nama Sahabat berbeda adalah anNasai,
yang mencantumkan dua nama: Qubaishah bin Mukhariq dan Zuhair bin
'Amr. Menurut alBukhari dalam atTarikh alKabir, Qubaishah ini
seorang suku Hilal, cabang Qays 'Ailan. Ada juga yang berpendapat ia
berasal dari suku 'Ajali. AlBukhari menyebutkan satu hadits yang
diriwayatkannya dari Nabi, oleh anaknya Quthn, dalam masalah
thiyarah. Kami belum mendapat keterangan lebih banyak, sebab perawi
ini hanya disebutsebut berstatus Sahabat. Itu saja. Namun, nama
Qubaishah ini kembali disebut oleh alBukhari ketika menuturkan
54
Disarikan dari: Siyaru A'lami anNubala' II/135; asSirah alHalabiyyah II/42.
55
Disarikan dari: atTarikh alKabir V/22; Siyaru A'lami anNubala' II/380 dst.; al
Jarh wa atTa'dil V/138; alKasyif I/586; Zaadul Maad III/2328.
126
biografi Zuhair bin 'Amr Musaddad alBashri alHilali, yang juga salah
satu perawi anNasai diatas. Hadits yang dicontohkan alBukhari sendiri
tepat dalam masalah da'wah jahriyah pertama. Meski demikian, menurut
Ibnu Hajar, alBukhari sebenarnya tidak mengabsahkan status Sahabat
untuk Qubaishah, sebab beliau tidak memakai lafal simaa' (mendengar
hadits). Sedangkan menurut alBaghawi, Zuhair tidak diketahui
meriwayatkan hadits kecuali tentang waandzir 'asyiirataka alaqrabiin
ini, itupun bersamasama dengan Qubaishah. Tampaknya, kedua orang
ini akrab, sebab keduaduanya diindikasikan berasal dari suku Hilal.
Keduanya merupakan perawi Muslim dan anNasai, dalam hadits
peristiwa dakwah diatas Bukit Shafa itu.
56
Sedangkan alHasan bin Abil Hasan yang disebut dalam sumber Tarikh
athThabari adalah tokoh yang lebih dikenal sebagai alHasan alBashri.
Kredibilitasnya memang tidak diragukan, hanya saja beliau termasuk
generasi Tabi'in yang jelas tidak menyaksikan peristiwa yang
diceritakannya. Beliau seorang faqih yang sangat wara' dan termasyhur,
deretan awal generasi Tabi'in. Lahir pada dua tahun di penghujung
kekhilafahan 'Umar, dan di usia remajanya sempat menghadiri khuthbah
Jum'at yang disampaikan khalifah 'Utsman. Ayah beliau, Yasar, adalah
maula (bekas budak) Zaid bin Tsabit yang kemudian menikahi Khayrah,
mantan budak ummul mu'minin Ummu Salamah radhiyallahu 'anhum.
Hanya saja, para pakar biografi menyatakan alHasan tidak mendengar
hadits dari sebagian besar Sahabat seperti 'Ali, Abu Musa, Ubay bin
Ka'ab, 'Aisyah, 'Abdullah bin 'Amr bin al'Ash, Ummu Salamah, dan Abu
Hurairah radhiyallahu 'anhum. Riwayatnya dari Sahabat kebanyakan
mursal serta mudallas, dan beliau termasuk longgar dalam masalah ini.
AlHasan wafat di bulan Rajab 110 H, dalam usia 90an tahun.
57
Hanya saja, sebagaimana kita lihat, riwayatriwayat alBaihaqi, Ibnu
Jarir dan salah satu jalur Ibnu Katsir, memiliki sanad lebih "lengkap",
karena di dalamnya disebutkan satu orang lagi sebelum Ibnu 'Abbas,
yakni 'Ali bin Abi Thalib, sebagai sumber kisahkisah ini. Jika memang
demikian halnya, dan bila sanadnya shahih, maka riwayatnya menjadi
logis, dan terangkat statusnya dari mursal menjadi maushul atau
muttashil. Saat itu, usia 'Ali tak mungkin kurang dari 10 tahun. Sebab,
berbagai riwayat menuturkan bahwa beliau berusia antara 8 sampai 18
tahun saat Rasulullah menerima wahyu,
58
sedangkan peristiwa da'wah
jahriyah pertama tersebut terjadi sekitar 3 tahun kemudian.
Akan tetapi, kisah yang bersumber dari Ali ini bukan tidak mengandung
masalah jika dikaitkan secara langsung dengan asbabun nuzul surah al
Lahab, sebab inti kisahnya menyangkut undangan Rasulullah kepada para
56
Disarikan dari: atTarikh alKabir III/424, VII/173; alJarh wa atTa'dil III/585,
VII/124; Tahdzibu atTahdzib III/300; Taqribu atTahdzib I/217; alKasyif I/407;
Tahdzibu alKamal IX/410.
57
Disarikan dari: Siyaru A'lami anNubala' IV/563 dst; atTarikh alKabir II/289; al
Jarh wa atTa'dil III/4041; Tahdzibu atTahdzib II/230235; Taqrib atTahdzib
I/160; alKasyif I/322; Tahdzibu alKamal VI/95 dst.
58
Disarikan dari: Tarikh Khulafa' hal. 193; Tarikh athThabari I/538539; Fadha'ilu
ashShahabat liIbni Hanbal II/589; atTarikh alKabir VI/259; Tahdzibu atTahdzib
VII/296.
127
pamannya untuk suatu jamuan di rumah beliau, dan kemudian beliau
mendakwahi mereka. Tidak ada penyebutan surah alLahab disini.
Dakwah Nabi di dalam jamuan makan kekeluargaan dan seruan diatas
bukit Shafa adalah dua peristiwa berbeda. Keterkaitan antara keduanya
hanya diasumsikan, mengingat kedekatannya secara kronologis di satu
sisi, dan catatan sejarah bahwa keduanya merupakan pengamalan dari
wahyu yang sama (QS asySyu'ara': 214 dan alHijr: 94) di sisi lain. Dalam
kitabkitab sirah sendiri, kedua peristiwa ini sering dituturkan secara
berurutan, sehingga logika peristiwa diantara keduanya pun tidak jauh
menyimpang.
Adapun rangkaian sanad riwayat alBaihaqi tersebut, adalah sbb:
Abu 'Abdullah alHafizh memberitahu kami: Abu al'Abbas Muhammad
bin Ya'qub menceritakan hadits kepada kami: Ahmad bin 'Abdul Jabbar
menceritakan hadits kepada kami: Yunus bin Bukair menceritakan hadits
kepada kami, bersumber dari Muhammad bin Ishaq, dia berkata:
seseorang yang mendengar dari 'Abdullah bin alHarits bin Naufal
menceritakan hadits kepadaku, bersumber dari Ibnu 'Abbas, bersumber
dari 'Ali bin Abi Thalib, dia berkata: dst.
Dua nama pertama dalam jajaran perawi diatas, yakni matarantai
terdekat dengan alBaihaqi: gurunya (Abu Abdillah alHafizh)
59
dan guru
dari gurunya (Abul Abbas Muhammad bin Yaqub), tampaknya tidak
perlu dipersoalkan. Adapun para perawi selanjutnya, seluruhnya dapat
diterima riwayatnya walaupun ada yang kontroversial (Muhammad bin
Ishaq) atau tidak kuat (Ahmad bin Abdul Jabbar). Matarantai
periwayatannya pun terlihat bersambung runtut. Masingmasing perawi
tercatat pernah bertemu dan mengambil riwayat dari generasi yang
lebih senior.
Demikianlah, sejauh ini sanadnya memang terlihat baikbaik saja. Akan
tetapi, yang menjadi masalah berat justru seseorang yang disebutkan
secara anonim oleh Ibnu Ishaq, sebagai sumber riwayat yang diambilnya
dari Abdullah bin alHarits bin Naufal. Siapakah orang ini? Tidak jelas.
Artinya, sanad ini mengandung unsurunsur tadlis (penyamaran identitas
perawi), jahalah (tidak bisa diverifikasi), atau inqitha (keterputusan
sanad). Menurut para pengkritiknya, Ibnu Ishaq sering berbuat seperti ini
dalam menyalurkan riwayat, atau mudallis. Secara logika, Ibnu Ishaq
memang tak mungkin mendengar hadits langsung dari Abdullah bin al
Harits. Sebab, pada saat Ibnu alHarits wafat tahun 84 H di Oman, Ibnu
Ishaq masih kanakkanak. Ibnu Ishaq sendiri dilahirkan di Madinah tahun
80 H. Secara geografis, Oman dan Madinah terpisah jarak yang tidak
sedikit. Jadi, sanad alBaihaqi ini tak dapat dipegangi karena terputus
(munqathi).
Riwayat alBaihaqi ini juga dikutip Ibnu Katsir dalam alBidayah wan
Nihayah, dengan sanad yang sama yang beliau ambil dari Dalail an
59
Ketika mengutip riwayat alBaihaqi ini, yang diambil dari kitab Dalail an
Nubuwwah, Imam Ibnu Katsir menyebut nama lengkap guru alBaihaqi ini sebagai
Muhammad bin Abdul Hafizh. Sayang, kami tidak menemukan biografinya dalam
literatur yang kami miliki. Lihat: alBidayah wanNihayah III/39.
128
Nubuwwah. Ada penjelasan unik dalam rangkaian sanadnya, yakni
dalam katakata Yunus bin Bukair tentang nama perawi yang menjadi
narasumber Ibnu Ishaq. Menurut Yunus, Ibnu Ishaq berkata:
Telah menceritakan hadits kepada kami (haddatsani) seseorang yang
mendengar (samia) Abdullah bin alHarits bin Naufal, dan dia
menyembunyikan namanya dariku (wastaktamanii ismahu), bersumber
dari Ibnu Abbas, bersumber dari Ali bin Abi Thalib, dia berkata, ketika
diturunkan ayat dst.
Kalimat dan dia menyembunyikan namanya dariku adalah katakata
Yunus, yang merekam kondisi saat ia menerima periwayatan dari Ibnu
Ishaq. Terlihat ada kesengajaan dari Ibnu Ishaq untuk menyembunyikan
identitas syaikh (guru yang menjadi sumber riwayatnya), sehingga tidak
dapat dilacak lebih jauh. Menurut Ibnu Katsir, syaikh Ibnu Ishaq ini
mubham (tidak jelas identitasnya). Tentu saja kualitas sanadnya
menjadi tidak dapat diandalkan.
Hanya saja, masih menurut Ibnu Katsir, riwayat seperti ini juga dikutip
Ibnu Jarir athThabari dalam Tarikhnya.
60
Didalamnya tercantum dua
orang perawi lain yang menjadi perantara antara Ibnu Ishaq dengan
Abdullah bin alHarits, yakni Abdul Ghaffar Abu Maryam bin alQasim
dan alMinhal bin Amr. Siapa mereka berdua ini?
Nama pertama, Abdul Ghaffar Abu Maryam bin alQasim alKufi al
Anshari, menurut alBukhari tidak kuat (laysa bilqawiy) di mata ulama
Ahli Hadits. Bahkan menurut Ahmad bin Hanbal, Perawi ini tidak bisa
dipercaya (laysa bitsiqah), dia menceritakan tentang kejadiankejadian
tragis (di masa pemerintahan) Utsman sementara mayoritas haditsnya
adalah bathil (tidak benar). Menurut Yahya bin Main, Abdul Ghaffar
Abu Maryam ini bukan apaapa (laysa bisyaiin) dan tidak bisa dipercaya
(laysa bitsiqah). Menurut Abu Zurah, dia itu lemah (layyin). Menurut
Abu Hatim, dia termasuk gembong Syiah yang haditshaditsnya matruk
dan tidak boleh ditulis. AnNasai juga menilainya matruk. Menurut Ibnu
alMadini dan Abu Dawud, dia pemalsu hadits (kaana yadhau alhadits).
Sementara itu, Syubah bin alHajjaj meninggalkan riwayatnya karena ia
terbukti mendukung Rafidhah, salah satu sekte Syiah ekstrim.
61
Bukti ini
sekaligus menguatkan pernyataan Ahmad bin Hanbal diatas yang menilai
mayoritas hadits Abdul Ghaffar seputar kejadian tragis di zaman
khalifah Utsman adalah bathil. Sebagaimana diketahui, pemikiran
Syiah tidak akan lepas dari opini seputar kekhilafahan Utsman, karena
memang banyak hal yang bermula dari masa pemerintahan beliau.
Perawi lain dalam sanad Ibnu Jarir, yakni alMinhal bin Amr, meski
dinilai tsiqah oleh Ibnu Main dan anNasai, perawi ini tidak lepas dari
kontroversi. Dia tak disukai karena suka memperdengarkan qiraah
dengan diiringi rebana. AlMinhal memang memiliki suara yang bagus
dan bahkan mempunyai suatu lahn (semacam notasi acuan irama
bacaan) yang disebut wazan sabah. Selain itu, menurut alJauzjani,
60
Tepatnya, dalam Tarikh athThabari I/542.
61
Disarikan dari: atTarikh alKabir VI/122; alJarh watTadil VI/55; alKamil fi
Dhuafa arRijal V/327; Tajilu alManfaah I/263.
129
perawi ini menganut madzhab yang buruk (sayyiul madzhab). Syubah
semula mau mengambil riwayatnya, akan tetapi kemudian sengaja
meninggalkannya karena suatu alasan tertentu, yakni kesenangannya
mendengar nyanyian dan musik.
62
Di zaman itu, kasus sejenis ini
merupakan cacat kepribadian yang sudah cukup untuk meruntuhkan
kredibilitas seorang perawi hadits.
Kembali ke riwayat Ibnu Ishaq, terlihat bahwa siapapun diantara kedua
orang diatas yang menjadi narasumbernya, atau bahkan keduaduanya
sekaligus, hasilnya samasama tidak meyakinkan. Jika benar bahwa
mereka merupakan matarantai yang menyambungkan Ibnu Ishaq dengan
Abdullah bin alHarits bin Naufal, maka bisa diduga bahwa kesengajaan
Ibnu Ishaq menutupi identitas syaikhnya bermula dari status syaikh
tersebut yang tidak diterima para ulama Ahli Hadits. Ini juga
membuktikan satu hal, bahwa Ibnu Ishaq memang sering tidak berhati
hati memilih perawinya. Jadi, kesimpulan akhir yang dapat ditarik
adalah, riwayat peristiwa dakwah terbuka di atas bukit Shafa status
maksimalnya mursal shahabi, yakni hadits yang sanadnya tidak
bersambung kepada saksi sejarahnya secara langsung di kalangan sesama
Sahabat, sebagaimana pernah dinyatakan oleh Ibnu Hajar alAsqalani. []
Wallahu 'alam.
62
Disarikan dari: Tahdzibu atTahdzib X/283; Taqribu atTahdzib I/547; alKasyif
II/298; Tahdzibu alKamal XXVIII/568.
130
RINGKASAN
Para ulama' sepakat bahwa wahyu yang pertamakali diturunkan kepada
Rasulullah adalah surah al'Alaq ayat 15. Wahyu ini merupakan
penegasan pertama tentang pengangkatan Muhammad dalam konteks
kenabian (nubuwwah). Allah berfirman:
&%# O$/ 7n/ %!# ,={ ,={ `S}# `B @,= &%# 7/r P.{# %!# O=
O=)9$/ O= `S}# $B O9 L>
Wahyu ini meneguhkan rububiyyah Allah dan bahwa Dia lah satusatunya
Pencipta. Secara eksplisit, surah ini juga menyatakan kemakhlukan
manusia. Kemudian ayatayat ini berusaha menunjukkan jatidiri manusia
serta asalusulnya. Diakhiri dengan penegasan bahwa Allah sajalah
sumber ilmu, yang mengajari manusia lewat pena (alqalam). Dengan
demikian, segenap proses perjalanan manusia maupun peradaban yang
mereka bangun harus merujuk kepada pengajaran dariNya, agar
tercapai kemaslahatan bagi diri mereka sendiri. Surah ini merupakan
pelantikan Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai seorang
Nabi.
Setelah sempat terjadi masa fatrah selama beberapa saat, dan yang
jelas tidak terlalu lama, turunlah surah alMuddatstsir ayat 15. Wahyu
ini diinterpretasikan oleh para ulama' sebagai penegasan pertama untuk
tugas kerasulan (risalah). Allah berfirman:
$k' oOJ9# O% R' 7-/r i93 7/$Or dg _9#r fd$
Allah memerintahkan beliau untuk bangkit, mulai bekerja memberikan
peringatan. Dalam penggunaan alQur'an, indzar biasanya berkaitan
dengan akhirat. Beliau juga disuruh untuk mengagungkan Allah,
membersihkan pakaian, dan meninggalkan segala dosa maupun
penyembahan berhala. Ini adalah prinsipprinsip fundamental seorang
da'i: berfokus kepada kehidupan akhirat, bekerja hanya untuk
membesarkan nama Allah, tampil bersih dalam seluruh aspek
kepribadiannya, dan menjauhi perbuatan dosa maupun syirik.
Dalam kesempatan yang tidak berjauhan, Allah kemudian menurunkan
surah alMuzzammil, sebagai bekal mental spiritual bagi Rasulullah dan
para Sahabat dalam keyakinannya, membangun kedekatan dengan Allah,
mengimani alQur'an, dan lain sebagainya. Allah berfirman:
$k' @iBJ9# O% @9# w) Wx=% moR r& )R# mZB x=% r& m= @o?r
b#)9# x?? $R) +=Z = Zwq% x)O b) p$R @9# d & $\r Pq%&r
131
x% b) 79 $k]9# $[s7 Wxq .#r N# 7n/ @-G;?r m9) WxF;? >
-J9# >RQ#r w m9) w) qd nB$ Wx.r
Dalam suasana yang senyap dari gangguan dan permusuhan, dimana
iman dibangun secara intens secara sembunyisembunyi, kepribadian
Rasulullah dan para Sahabat terbentuk dengan sangat kokoh. Dengan
racikan resep qiyamullail, tartil alQur'an, dzikir, tabattul, serta
tawakkal, mereka melangkah tahap demi tahap menyongsong
kemenangan yang dijanjikan.
Disinilah, Allah menurunkan alFatihah sebagai bacaan yang harus
mereka lafalkan dalam shalatshalat mereka di malam hari, juga di siang
hari sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat.
O0 !# `Hq9# Om9# Js9# ! _U J=9# `Hq9# Om9# 7=B
Qq e$!# $-) 7R $-)r GS $Rd# _9# L)GJ9#
%!# MJR& Ng= UqJ9# Og= wr j9$9#
Walau sebagian warga Quraisy mulai mengetahui munculnya sebuah
keyakinan baru, namun mereka mendiamkannya. Palingpaling mereka
hanya menunjuk kepada Rasulullah dengan sikap tidak perduli, "Inilah
pemuda Bani Hasyim yang katanya mendapat berita dari langit."
Keadaan ini bergulir tenang selama tiga tahun, sampai akhirnya Allah
menyuruh beliau untuk memberi peringatan secara lebih terbuka. Allah
berfirman:
$ $J/ Bs? &r ` .J9#
Dalam kaitan ini pula, turun perintah lainnya.
R&r 7? /%{#
Catatancatatan yang ada kadang membalik kedua ayat ini, mana yang
lebih dulu. Ada yang mendahulukan tindakan beliau berdakwah di atas
bukit Shafa, ada pula yang memulai dari seruan beliau kepada kerabat
dekatnya sendiri dalam jamuan makan yang beliau adakan di rumah Abu
Thalib. Hal ini mengindikasikan keduanya terjadi dalam waktu yang
berdekatan. Hanya saja, jelas bahwa periode da'wah jahriyah telah
dimulai.
Beliau pun mulai bergerak dan bangkit memberi peringatan. Dengan
berdiri diatas bukit Shafa pada suatu pagi, dipanggilnyalah kabilah
kabilah Quraisy seluruhnya, lalu beliau sisihkan satu demi satu sampai
tinggal keluargakeluarga terdekat beliau. Beliau menyeru mereka untuk
mengimani serta membela risalah yang diembannya, dan
memperingatkan mereka akan datangnya siksa yang pedih di balik alam
132
kematian. Tanggapan pertama dan paling sinis datang dari Abu Lahab,
paman beliau sendiri. Merespon penolakan ini, Allah menurunkan
kembali firmanNya:
M7? # 1& 5=g9 =?r $B _& mY &!$B $Br =2 ? #Y$R N# 5=l;
m?&B#r '!$Jm =s9# $d_ @7m `iB _B
Setelahnya, wahyu bergulir mengikuti peristiwa, meneguhkan dan
membimbing, menghibur dan menyemangati, juga mengkritik dan
merendahkan musuhmusuhnya, mengancam serta meramalkan
kehancuran mereka. Di lain kesempatan, wahyu turun tanpa didahului
oleh sebabsebab tertentu, sesuai kehendak Allah.
Dengan demikian, sebagai kesimpulan atas Bagian II ini, kita telah
mendapatkan tataurutan (tartib nuzuli) baru yang berbeda dengan
berbagai versiversi yang sudah dikutip sebelumnya. Konsekuensinya,
versi ini juga tidak sejalan dengan tata urutan wahyu yang dipegangi
dalam konsep asli SNW.
Secara lebih jelas, tata urutan ini adalah, sbb:
AlAlaq ayat 15
AlMuddatstsir ayat 15
AlMuzzammil ayat 19
AlFatihah ayat 17
AlLahab atau alMasad ayat 15
Pembatasan ayatayat yang termasuk 'rombongan pertama' yang turun
dari surahsurah tersebut adalah seperti apa yang kami cantumkan itu.
Untuk surah alMuddatsir dan alMuzzammil, jumlah ayatnya berbeda
dengan konsep asli SNW. Sedangkan untuk al'Alaq dan alFatihah masih
sama. Tentang alLahab, ini masih baru dan tidak ada padanannya dalam
konsep asli SNW.
Kemungkinan, surah alQalam terdesak sampai posisi ke6, di belakang
alLahab. Dalam perspektif sirah, posisi ini lebih logis, selaras dengan isi
kandungan maupun gaya bahasa alQalam sendiri. Atau, jika kita bisa
menerima kompromi yang ditawarkan oleh Syekh Darwazah, maka al
Qalam tetap di posisi ke2, namun yang turun sebagai penggal
pertamanya hanya sampai ayat ke4, bukan 7 ayat seperti yang biasa
dicantumkan dalam konsep SNW.
c 4 O=)9#r $Br br $B MR& pJZ/ 7n/ 5bqZfJ/ b)r 79 #_{ 5bqZJB
7R)r ?9 @,=z 5O
Demikianlah, semoga Allah mengampuni kekeliruan dan ketergesaan
kami. Dialah sebaikbaik pelindung dan penolong.[]
Wallahu a'lam bishshawab.
133
SARAN BAHAN BACAAN LANJUT
Secara umum, Bagian II ini membahas derajat riwayat hadits yang
menjadi sumber posisi tata urutan wahyu. Tidak banyak lagi yang dapat
kami sarankan bagi Anda untuk dikaji lebih lanjut, sebab hampir seluruh
literatur terkait yang kami miliki telah dikutip. Disini, sekedar memberi
garis besar dan panduan untuk melakukan penelitian lebih mendalam,
maka kami sarankan Anda menelaah jenisjenis referensi berikut:
1. Asbabun nuzul, terutama yang memang menyertakan penilaian
terhadap kualitas sanadnya. Ada sebuah kitab dalam kualifikasi ini
yang dapat dirujuk, yakni AshShahih alMusnad fi Asbabin Nuzul,
karya Syekh Muqbil bin Hadi alWadi'iy.
2. Untuk kritik perawi, silakan meneliti kitabkitab yang telah kami
sertakan sepintas dalam catatan kaki topik terkait dalam halaman
halaman terdahulu. Sebagai pedoman untuk memahami bagaimana
menggunakan data biografi yang melimpah tersebut, silakan merujuk
kitabkitab disiplin Ilmu Hadits, terutama dalam topik aljarh wa at
ta'dil. Karya alKhathib alBaghdadi alKifayah fi 'Ilmi arRiwayah
dan karya asSuyuthi Tadribu arRaawi merupakan dua karya yang
dapat dirujuk. Dalam kasus khusus, Anda dapat pula menelaah
Muqaddimah Shahih Muslim dan Hadyu asSaari yang merupakan
mukaddimah Fathul Baari. Di Indonesia, juga sudah ada beberapa
literatur ringkas yang dapat dibaca.
3. Sebagian besar pembukaan Tafsir athThabari menyertakan
pembahasan ringkas tentang masalah kedudukan surah yang akan
dibahas. Dan, karya asSuyuthi AdDurrul Mantsur fitTafsir bil
Ma'tsur merupakan daftar riwayat seputar masalah ini, juga atTafsir
alHadits karya Syekh Darwazah. Tafsir karya Imam Fakhr arRaazy
konon memuat materi sejenis. Di Indonesia, karya Dr. Quraish Shihab
yang disusun berdasar tartib nuzuli pun cukup bagus. Silakan
merujuknya.
4. Sebagai penyempurna, Anda dapat melakukan pemeriksaan langsung
kepada karyakarya otoritatif dalam bidang hadits, karena disinilah
sebenarnya sumber utama riwayat. Jika Anda dapat menemukan
lokasi asli sebuah riwayat, maka langkah selanjutnya untuk
menentukan kekuatan maupun kelemahan sanad berikut matannya
semakin terbuka. Banyak pengumpul hadits yang menyertakan teks
teks tambahan, penelusuran riwayat dari jalur lain, catatancatatan
tertentu tentang riwayat tersebut, juga isyarat tentang sumber lain
yang menguatkan atau melemahkannya. Keterangan lebih detail
dapat ditemukan dalam kitabkitab syarah seperti Fathul Baari karya
Ibnu Hajar, Syarah Shahih Muslim oleh anNawawi, atau Syarh
Ma'aani alAtsar oleh athThahawi.[]
Wallahu a'lam bishshawab.
134
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
BAGIAN III
MEMBACA
SIRAH NABAWIYAH DALAM TINJAUAN
TARTIB NUZULNYA WAHYU
Bagian ini mengetengahkan rancangan studi
untuk penelusuran rangkaian peristiwa dalam
sirah nabawiyah yang dipandu dengan tata
urutan wahyu, yakni bagaimana wahyu
dipraktekkan oleh generasi Sahabat.
Sebelum itu, kami mencoba merangkum seluruh
kesimpulan diskusi dalam dua bagian terdahulu
dengan memetakan kelompokkelompok wahyu
Makkiyah sesuai dengan periodenya masing
masing, serta usaha awal dalam penggabungan
versiversi tartib nuzuli.
Seluruhnya terangkum dalam 3 bab.
AlQur'an dan Sirah Nabawiyah
Sumber Rujukan
Mengidentifikasi Kronologi Sirah Nabawiyah
Lewat Tartib Nuzuli
Ringkasan
Saran Bahan Bacaan Lanjut
wwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwww
135
BAB I
ALQUR'AN DAN SIRAH NABAWIYAH
Sirah nabawiyah adalah refleksi paling gamblang dari alQur'an, dimana
di dalamnya firman Allah diaplikasikan dalam bentuk yang paling
sempurna sepanjang sejarah. Kehidupan Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam sendiri jelasjelas didedikasikan untuk menerapkan alQur'an,
tahap demi tahap, hingga sempurna dan layak dijadikan contoh bagi
generasi setelahnya. Maka, membaca sirah pada hakikatnya serupa
dengan membaca alQur'an yang telah ditransformasikan dalam
kehidupan nyata. Hal seperti ini tidak dapat ditemukan dalam periode
sejarah lain setelahnya, kecuali dalam figurfigur tertentu yang tidak
banyak.
Dalam 'Ulumul Qur'an serta tafsir, catatancatatan peristiwa sirah
nabawiyah menyebar di berbagai topik. Diantara bank data terbanyak
dalam masalah ini adalah riwayatriwayat asbabun nuzul dan annasikh
wal mansukh. Hanya saja, karena kedua jenis riwayat ini ditransmisikan
bukan untuk tujuan sejarah semata, maka kita tidak bisa secara mudah
menemukan relevansinya dengan sirah dalam pengertiannya sebagai
sejarah suatu umat pada periode tertentu.
Menurut para ulama', adanya datadata ini menunjukkan bahwa
pengertian kita tentang suatu ayat dapat tertolong oleh penjelasan
tentang bagaimana ia turun, kapan, dimana, dalam masalah apa, siapa
yang ditunjuk olehnya, dsb. Sebaliknya, penghayatan kita kepada sirah
pun akan lebih tercerahkan dengan adanya rujukan ayat atau surah al
Qur'an yang turun terkait atau di sekitar suatu peristiwa. Misalnya,
peristiwa perang Uhud dapat dinilai secara adil dan tepat dengan
melibatkan ayatayat yang turun berkenaan dengannya. Begitu pula
seharusnya dalam peristiwaperistiwa yang lain.
Di muka kita telah membahas bahwa alQur'an tidaklah turun sekaligus,
namun bertahap dan perlahanlahan. Setelah wahyu pertama diterima
Rasulullah di Gua Hira', potonganpotongan dari rangkaian keseluruhan
alQur'an berturutturut turun membimbing perjalanan beliau dan para
Sahabatnya, dalam rentang waktu kurang lebih 23 tahun. Hal ini tentu
saja berakibat adanya kesejajaran tertentu antara peristiwaperistiwa
dalam sirah dengan tahapantahapan turunnya wahyu. Begitu juga
sebaliknya.
Oleh karenanya, bagian ini akan berusaha membaca serta menyajikan
sirah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dalam tinjauan
tartib nuzuli, marhalah wahyu, atau tarikh nuzulnya wahyu. Dengan
kata lain, jika biasanya disajikan kronologi sirah terlebih dahulu, dan
ayatayat yang turun disebutkan secara tidak teratur di dalamnya, maka
kali ini kami sengaja melihat sirah dalam bingkai ayatayat dan surah al
Qur'an yang turun secara bertahap sepanjang 'jalan kehidupan' beliau.
Tidak ada yang baru disini, sebab yang terjadi hanyalah mengubah cara
penyajian, disertai upaya menonjolkan satu aspek yang biasanya
136
disinggung sekilaslintas belaka dalam penulisan sirah. Aspek yang kami
maksud adalah ayat dan surah alQur'an berikut perannya dalam sebuah
peristiwa sirah.
Sebagai catatan, kami tidak bermaksud merekonstruksi sejarah
penurunan alQur'an secara radikal, sebagaimana yang sering
diagendakan oleh para Orientalis dan pengagumnya. Kami menyadari
sepenuhnya, bahwa apa yang kami lakukan ini memiliki titiksinggung
tertentu dengan isuisu sentral mereka, namun sedikit pun kami tidak
meniatkan kesana. Dari segi motivasi, metodologi dan juga hasil yang
ingin diraih, kajian ini tidak sejalan dengan keinginan mereka. Semoga
Allah membimbing jalan kami dalam studi ini, dan sebaliknya semoga Dia
meruntuhkan upaya para musuh Islam itu.
Kami tidak tahu apakah sudah ada yang melakukan hal ini sebelumnya.
Terus terang, kami sadar bahwa upaya ini masih sangatlah mentah,
terutama disebabkan oleh keterbatasan kapasitas penulis pribadi dan
khazanah literatur yang telah kami telaah. Kami memang mendengar
ada karyakarya Syekh Darwazah yang didesain dalam pola ini. Akan
tetapi, sayang sekali kami tidak memilikinya.[]
Wallahu a'lam.
137
BAB II
SUMBER RUJUKAN
Sebagai fakta sejarah, sirah adalah refleksi hidup dari Kitabullah, tanpa
terkecuali. Kita meyakini bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
telah selesai melaksanakan tugasnya, tanpa meninggalkan satu perkara
pun menggantung dan kehilangan contoh yang dapat dirujuk. Inilah
periode emas sejarah umat manusia, dimana Allah berkenan
menyempurnakan bimbinganNya kepada umat manusia, sampai akhir
zaman.
Namun, seperti dikatakan oleh azZain al'Iraqi (dikutip dari asSirah al
Halabiyah juz 1 hal. 34), sebagai disiplin ilmu, sirah tidak lepas dari
catatancatatan yang shahih, lemah, mursal, munqathi', bahkan
munkar. Disinilah diperlukan kecermatan, kewaspadaan, konsistensi dan
keluasan metodologis maupun referensi di dalam menyajikannya.
Dimulai dari pelurusan niat, pemilihan referensi, dan pemilahan bahan
secara bertanggung jawab.
Sebetulnya, ada sangat banyak sumber rujukan bagi kajian kita di bidang
ini, baik yang klasik maupun kontemporer. Para ulama' telah mencoba
menyajikannya dalam beragam cara, baik menurut kronologi utuh
maupun dengan memilih pendalaman atas sebuah segmen atau tema
spesifik. Pokokpokok persoalan yang dibahas pun sangat beragam.
Karyakarya seperti Sirah Ibnu Hisyam, asSirah alHalabiyyah ('Ali bin
Burhanuddin alHalabi), arRahiiq alMakhtum (Syekh Shafiyurrahman al
Mubarakfuri), Hayatu Muhammad (Dr. Muhammad Husain Haekal), dan
Nurul Yaqin fi Sirati Sayyidil Mursalin (Syekh Khudhari Bek), adalah
diantara literatur populer yang bercorak kronologis. Edisi ringkas Nurul
Yaqin yang terdiri dari 3 juz tipis sampai saat ini masih banyak
dipergunakan di berbagai pesantren Salaf di Indonesia, khusunya pulau
Jawa.
Ada pula dua karya besar di bidang tarikh, yang sebenarnya membahas
kronologi sejarah secara umum, namun menyertakan periode kehidupan
Rasulullah di dalamnya. Keduanya adalah alBidayah wa anNihayah
karya Imam Ibnu Katsir dan Tarikh alUmam wa alMuluk karya Imam
Ibnu Jarir athThabari. Masingmasing terdiri dari 14 dan 5 juz tebal.
Ada pula jenis karya sirah yang menitikberatkan pada aspek dakwah
dan pergerakan, seperti buku: Sirah Nabawiyah (Dr. Muhammad Sa'id
Ramadhan alButhi), Manhaj Haraki (Syekh Munir Muhammad al
Ghadhban), atau Sirah Nabawi (Dr. Musthafa asSiba'ie).
Ada pula yang memilih tema spesifik dalam sirah, seperti bukubuku
yang membahas aspek militer, misalnya Ensiklopedi Peperangan
Rasulullah SAW oleh Syaikh Mahmud Syakir. Berbagai kitab maghazi
(peperangan Rasulullah) yang ditulis para ulama' Salaf termasuk jenis ini,
seperti milik azZuhri dan 'Urwah bin azZubair. Tema yang berdekatan
dengan peperangan adalah politik, dan ada beberapa judul seperti ini
yang dapat ditemukan.
138
Sebagian ulama' juga menulis fragmen biografi Rasulullah, seperti
Kitabul Wafaat (Imam Ahmad bin Syu'aib anNasai) yang khusus
menguraikan saatsaat terakhir kehidupan Rasulullah di dunia; Tirkatu
anNabiy (Abu Isma'il Hammad bin Ishaq alBaghdadi) yang mencatat
polemik seputar harta peninggalan Rasulullah, yang sekaligus
menginventarisir bentuk fisik hartaharta peninggalan dimaksud. Imam
atTirmidzi menulis buku asySyama'il alMuhammadiyah wa alKhasha'il
alMushthafawiyah yang menyoroti perilaku, ciri fisik dan halhal 'remeh'
dalam diri Rasulullah. Karya Dr. 'Aidh 'Abdullah alQarni, Muhammad Ka
annaka Tara, menurut kami dapat dikelompokkan disini. Ada buku
tulisan Syekh Fethullah Gulen dari Turki yang isinya nyaris serupa dengan
buku Dr. alQarni.
Untuk versiversi yang menelaah secara kritis sirah nabawiyah, baik yang
berkonotasi negatif maupun positif, dapat ditemukan pula dalam
beragam sudut pandang. Ada karya M.A. Shaban berjudul Sejarah Islam
(Penafsiran Baru): 600700 M, yang membahas sirah dari sisi dinamika
ekonomi komunitas Quraisy saat itu. Karya sejenis ini dibuat Asghar Ali
Engineer, berjudul Asalusul Perkembangan Islam, juga buku lainnya
Devolusi Negara Islam. Dalam kedua buku ini, pendekatannya lebih
radikal, karena mengulas sirah lewat teori Marxisme. Ini mengherankan,
tentu saja, namun itulah yang terjadi. Syekh Muhammad alGhazali
punya buku Fiqh asSirah, yang sebagian isinya kontroversial dan menuai
kritik dari banyak ulama'. Yang sejenis karya alGhazali adalah milik Dr.
Husein Mu'nis, berjudul AlSirah alNabawiyah: Upaya Reformulasi
Sejarah Perjuangan Nabi Muhammad SAW. Ali Syari'ati, pemikir Iran
kontemporer, menulis buku tipis tentang sirah nabawiyah periode
Madinah, yang disajikan dengan gaya bahasa memikat. Untuk periode
Makkah, ada karya Fuad Hashem, yang disesaki rujukan silang namun
diwarnai opiniopini khas pengikut Syi'ah. Buku karya Dr. Akram Dhiya'
alUmuri berjudul Studi Kritis Muhadditsin, melakukan penyaringan
ketat terhadap kualitas riwayat sirah, bukan sematamata kronologi
peristiwanya.
Tentu saja, masih ada banyak karya lainnya, misalnya yang ditulis oleh
para Orientalis, baik klasik maupun kontemporer. Disini, ada penulis
penulis berkaliber internasional seperti W. Montgomery Watt, Phillip K.
Hitti, atau Karen Armstrong. Hanya saja, kami tidak menjadikannya
sebagai rujukan, karena kajian mereka yang cenderung bias dan ambigu.
Tema sirah nabawiyah memang selalu menarik untuk dikaji dan ditulis
ulang. Apa yang kami sebutkan diatas tidak seluruhnya karya otoritatif
dan standar. Daftar ini hanya ingin menggambarkan kepada pembaca
bahwa kita tidak kekurangan referensi untuk mengenal, mendalami dan
meneladani kehidupan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Jika
dilandasi niat yang tulus, metodologi yang shahih, dan referensi standar
otoritatif (mu'tamadmu'tabar), insyaAllah kita akan memperoleh
secercah cahaya terang dari kehidupan beliau yang agung.
139
Literatur Pilihan
Sebagai pegangan utama studi ini, kami memilih, mempergunakan serta
memperbandingkan 5 (lima) literatur sirah dan tarikh, sbb:
AsSirah Nabawiyyah, atau dikenal sebagai Sirah Ibnu Hisyam, karya
Abu Muhammad 'Abdul Malik bin Hisyam bin Ayyub alHimyari al
Mu'afiri. Beliau wafat tahun 213 H. Karya ini merupakan rujukan yang
cukup lengkap dalam sirah yang sampai kepada generasi kita. Terdiri
dari 2 juz, dan merupakan ringkasan serta perbaikan yang dilakukan
oleh penyusunnya atas karya serupa dari Ibnu Ishaq. Nama yang
terakhir ini merupakan sedikit diantara penulis sirah periode awal.
Tarikh athThabari, karya Imam Abu Ja'far Muhammad bin Jarir ath
Thabari. Beliau lahir tahun 224 H dan wafat tahun 310 H. Merupakan
karya sejarah yang mencatat peristiwa sejak sebelum diciptakannya
dunia sampai periode historis yang dekat dengan kewafatan
penulisnya. Terdiri dari 5 juz.
Zaadul Ma'ad fi Hadyi Khairil 'Ibaad, karya besar Syekh Abu 'Abdillah
Muhammad bin Abi Bakr Ayyub azZar'iy, terkenal sebagai Ibnul
Qayyim alJauziyyah. Beliau lahir tahun 691 H dan wafat tahun 751
H. Karya ini tidak hanya berbicara sirah dalam bentuk catatan
sejarah, namun sekaligus menyajikan bimbingan yang bisa diraih dari
selasela kehidupan agung Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dalam edisi Arabnya, kitab ini termasuk banyak dicari pembaca. Hal
ini terlihat, misalnya, dari fakta bahwa edisi yang kami rujuk adalah
cetakan ke14. Terdiri dari 5 juz.
AsSirah alHalabiyyah, karya 'Ali bin Burhanuddin alHalabi. Beliau
lahir tahun 975 H dan wafat tahun 1044 H. Karya ini merupakan
ringkasan dari kitab 'Uyunul Atsar karya alHafizh Abul Fath Ibnu
Sayyidinnas, salah seorang ulama' ahli hadits yang wafat pada tahun
734 H. Kitab ini terdiri dari 3 juz, masingmasing berisi antara 500
800 halaman.
Seleksi Sirah Nabawiyah Studi Kritis Muhadditsin terhadap Riwayat
Dhaif, edisi terjemahan, karya Dr. Akram Dhiya alUmuri.
Penulisnya adalah pakar sirah yang telah 20 tahun mendalami
bidangnya di Universitas Baghdad, sebelum akhirnya pindah ke
Universitas Madinah alMunawwarah. Karya kontemporer ini memiliki
kelebihan tersendiri dalam hal tarjihnya atas berbagai riwayat
sirah, sebagaimana tercermin dari judulnya. Terdiri dari 1 jilid
tebal.
Sedangkan sebagai peta kasar peristiwa dan tokoh, kami
mempergunakan buku tipis Khulashatu Nuril Yaqin fi Siirati Sayyidil
Mursalin, sebuah karya populer yang meringkas kitab Syekh Khudhori
Bek menjadi 3 juz mungil. Peringkasnya, yakni alUstadz 'Umar 'Abdul
Jabbar, dikenal oleh kalangan santri pondok salaf sebagai ulama' yang
cukup produktif. Edisi ringkas itu biasanya dipergunakan oleh murid
murid kelas ibtida'iyah (dasar) untuk memulai studi mereka dalam
mengenal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
140
Untuk rujukan lebih lengkap studi ini ke depan, silakan periksa Saran
Bahan Bacaan Lanjut di belakang Bagian III ini, yang sengaja kami
kutipkan dari daftar literatur yang telah disiapkan oleh Dr. Akram Dhiya'
alUmuri dalam bukunya, Seleksi Sirah Nabawiyah: Studi Kritis
Muhadditsin terhadap Riwayat Dhaif, hal. 4346.
Namun, terus terang saat ini kami belum sanggup menyuguhkan hasil
penyelidikan yang lebih terinci dan nyata. Pencapaian sejauh ini pun
bahkan nyaris tak terduga, walau sudah pernah kami "ramalkan"
sebelumnya. Perlu studi terpisah dan spesifik atas tema besar sirah
nabawiyah tersebut, dan semoga kami diberi taufiq oleh Allah untuk
menuntaskannya setelah ini. Secara khusus, studi kami saat sekarang
pun hanya menyangkut manhaj SNW, yang lebih berfokus pada
penyelidikan tafsir dan 'ulumul Qur'an disertai hadits dan 'ulumul hadits.
Untuk tema sirah, mengingat besarnya jangkauan, kami ingin
memisahkannya dalam buku tersendiri, biidznillah, dengan tidak
menafikan hasilhasil yang telah diraih disini. Meski demikian, dalam
buku ini kami sertakan asumsiasumsi awal yang dapat dikembangkan
oleh siapa saja yang sependapat dan memiliki kemampuan untuk itu.[]
Wallahu a'lam.
141
BAB III
MENGIDENTIFIKASI KRONOLOGI SIRAH NABAWIYAH LEWAT TARTIB
NUZULI
Sudah dimaklumi, bahwa karir bi'tsah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam membentang selama 23 tahun, kurang atau lebih. Sepanjang
periode itu, alQur'an tidak hentihentinya turun, membimbing dan
menyemangati, menegur dan memberi arahan, mendorong dan
menahan, membangun dan meruntuhkan. Pendeknya, firman Allah selalu
menyertai Rasulullah dan umat yang beliau asuh itu langkah demi
langkah, sehingga sempurna dan mempersembahkan buahnya. Dengan
sendirinya, menurut pengamatan kami, seharusnya ada sisi yang paralel
diantara keduanya; antara sirah nabawiyah dan tartib nuzuli.
Bagi para pengkaji sirah dan 'ulumul Qur'an, untuk sampai kepada
kesimpulan tersebut cukup beralasan. Data dan fenomenanya sangat
melimpah. Masalahnya adalah, bagaimana kita dapat mengaitkannya
secara total, ayat demi ayat? Proyek ini, seperti pernah disinggung
'Ikrimah, adalah sesuatu yang tidak mungkin. Menurut kami, keinginan
tersebut juga berlebihan dan hampirhampir tidak bisa dirasakan
manfaatnya. Kepayahan yang harus dibayar takkan sebanding dengan
hasil yang diraih.
Maka, yang masih bisa kita lakukan adalah membaca seluruhnya secara
global, dan mencoba melihat tahapantahapan dalam keduanya secara
umum. Dalam batasan tertentu, banyak potongan surah yang dilaporkan
secara jelas latar belakang historisnya lewat asbabun nuzul, sehingga
masih mungkin untuk disalinghubungkan. Ibarat puzzle (mainan bongkar
pasang), banyak surah atau bagianbagian tertentu darinya yang bisa
dipasang pada segmen tertentu dalam gambaran besar sirah nabawiyah.
Sebaliknya, kita pun dapat mempergunakan riwayat shahih dalam sirah
untuk menilai validitas laporan tentang posisi urutan suatu surah dalam
tartib nuzuli. Para ahli hadits banyak menggunakan metodologi
semacam ini untuk mengecek keakuratan contents riwayat (almatn)
yang mereka terima dan transmisikan, atau ketersambungan sanad
riwayat (the chain of transmission) yang mereka temui. Bukubuku
rijalul hadits (biografi para perawi) banyak membantu kita untuk
memastikan hal ini secara ilmiah dan bertanggung jawab.
Dua Langkah Pendahuluan
Studi ini berusaha mengembangkan pendekatan unik dalam memahami
sirah nabawiyah, dengan cara memasang tata urutan wahyu (tartibu
nuzulil wahyi) sebagai guide (pemandu). Untuk memenuhi tujuan
tersebut, terlebih dahulu kita harus memastikan dua hal; pertama
menyangkut kronologi sirah nabawiyah yang disepakati jumhur ulama',
dan kedua kronologi turunnya surahsurah alQur'an yang paling dapat
diterima keakuratannya.
142
Mengenai sirah, kami berpegang kepada rujukanrujukan utama yang
telah kami sebutkan dalam Bab II di muka. Dalam hal peristiwaperistiwa
besar dan masyhur, apa yang ada dalam sirah tidaklah "gelap" atau
misterius. Sumbersumber maupun urutan waktunya cukup jelas dan
konsisten. Tidak banyak kesukaran yang kita temui disini. Perbedaan
pendapat biasanya menyangkut halhal partikular (juz'iyyah), bukan
universal (kulliyyah). Misalnya, siapa yang lebih dulu dinikahi Rasulullah
sepeninggal Ummul mu'minin Khadijah alKubra: 'Aisyah atau Saudah,
radhiyallahu 'anhunna?
Sedang untuk masalah kronologi turunnya surah secara lengkap, kami
terpaksa harus melakukan penggabungan versiversi yang ada. Hal ini
dikarenakan tidak selarasnya hasil studi atas riwayat dalam hadits dan
sirah dengan laporan utuh tentang tartib nuzuli menurut sebagian
ulama' alQur'an. Meskipun ketidakselarasan itu dalam studi ini masih
sangat dini dan baru menyangkut surahsurah yang turun pada periode
awal bi'tsah Rasulullah, namun bukan berarti tidak ada kemungkinan
yang sama pada surahsurah lain yang turun dalam periode lebih akhir.
Menggabungkan Versi Tartib Nuzuli
Ada dua versi paling lengkap yang potensial untuk tujuan ini, yakni Versi
Pertama (Ibnu Abbas) dan Versi Kedua (alBiqai dan Abul Qasim),
karena memuat 114 surah. Tata urutannya terlihat jelas, utuh dan tidak
memuat kebingungan. Bila Versi Keenam kita gabungkan dengan salah
satu dari dua versi tersebut, bentuknya mungkin juga harus sedikit
berlainan pada bagian pembukaan saja. Selebihnya, kita bisa mengikuti
apa yang ada sambil terus melakukan upaya penelusuran lebih lengkap.
Kami sendiri lebih memilih versi alBiqai dan Abul Qasim untuk
dijadikan pegangan penggabungan ini, bukan versi Ibnu Abbas, dengan 4
pertimbangan, sbb:
Pertama, versi Ibnu Abbas tidak dengan jelas dinyatakan bahwa
mushhafnya disusun menurut tartib nuzuli. Penguatnya hanya dengan
merujuk versi Jafar asShadiq yang jelas disebut sebagai susunan
surahsurah alQuran, dan juga bentuk diantara kedua susunan ini
yang mirip, sehingga mungkin benar bahwa Mushhaf Ibnu Abbas disusun
berlandaskan kepada tartib nuzuli. Sekali lagi, ini baru kemungkinan,
belum bisa kami pastikan. Secara ilmiah, kekurangan ini cukup
mengganggu.
Kedua, sekalipun berhasil dikukuhkan bahwa versi Ibnu Abbas
berlandaskan tartib nuzuli, kami melihat versi ini diwarnai kerancuan
dalam mempersepsi riwayat masa fatrah. Pendapat kami ini merujuk
kepada buku Seleksi Sirah Nabawiyah, hal. 109110 (perhatikan kutipan
yang diberi penebalan):
Tidak diketahui secara pasti berapa lama wahyu sempat terhenti. Akan
tetapi, yang jelas hal itu tidak berlangsung terlalu lama sehingga jiwa
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kembali merasa tenang untuk
siap menyambut turunnya wahyu secara berturutturut. Setelah
berhenti beberapa waktu, wahyu pertama yang turun ialah surah al
143
Muddatstsir ayat 15. Pernah, beberapa kali wahyu turun terlambat
selama dua atau tiga malam sehingga orangorang musyrik dengan
sinis mengatakan, Muhammad sudah ditinggalkan oleh Tuhannya.
Akan tetapi, kemudian Allah yang Mahamulia lagi Mahaagung
menurunkan firmanNya, Demi waktu matahari sepenggalahan naik,
dan demi malam apabila telah sunyi. Tuhanmu tiada meninggalkan
kamu dan tiada (pula) benci kepadamu.
63
Ada beberapa perawi yang
keliru. Mereka mengira bahwa ayat tersebut turun setelah wahyu
terhenti cukup lama, yakni setelah turunnya ayat bacalah. (catatan:
penebalan berasal dari kami, penulis).
Tartib nuzuli versi Ibnu Abbas menyebutkan bahwa, setelah alAlaq
turun berturutturut alQalam, adhDhuha, alMuzzammil, al
Muddatstsir, alFatihah, dst. Sebelum ini kita telah membahas bahwa
wahyu kedua adalah alMuddatstsir, bukan alQalam. Dengan demikian,
penempatan alQalam setelah alAlaq gugur menurut riwayat sirah dan
hadits. Di lain pihak, terlihat bahwa versi Ibnu Abbas meletakkan adh
Dhuha kemungkinan berpegang para riwayat tentang masa fatrah
tentang surah ini yang dipersepsikan sebagai masa fatrah setelah al
Alaq. Ini jelas tidak tepat.
Ketiga, dengan memperhatikan asbabun nuzul surah adhDhuha, sangat
jelas bahwa tanggapan sinis terhadap Rasulullah berasal dari kaum
musyrikin, dimana tidak mungkin terjadi hal semacam ini kecuali setelah
dimulainya dawah jahriyah. Sirah menyebutkan bahwa dakwah terbuka
baru dimulai setelah 3 atau 4 tahun kenabian. Setelah turunnya alAlaq,
beliau belum memaklumkan seruan apa pun, bahkan masih diwarnai
kebingungan dan ketidakpastian.
Riwayat shahih tentang asbabun nuzul alMuddatstsir sendiri juga masih
memperlihatkan suasana hati beliau yang gemetar dan bingung. Artinya,
beliau masih belum terbiasa melihat Jibril dan kecemasan yang timbul
setelah menerima wahyu pertama belum benarbenar hilang. Ibnu
Hisyam meriwayatkan berbagai upaya Nabi untuk meyakinkan diri
bersama Khadijah radhiyallahu anha bahwa yang mendatanginya
adalah malaikat, bukan jin atau syetan (lihat: terjemah Sirah Ibnu
Hisyam, jilid 1, hal. 199200). Dengan sendirinya, surah adhDhuha tidak
mungkin turun lebih awal dari alMuddatsir atau alMuzzammil. Menurut
hemat kami, surah ini justru turun pada masa dawah jahriyah, dimana
ketika wahyu agak terlambat turun beberapa malam, sertamerta kaum
musyrikin seakan mendapat celah memperolok beliau. Hal ini sesuai
dengan konteks riwayat asbabun nuzulnya yang memuat cemoohan sinis
kaum musyrikin, dalam hal ini Ummu Jamil (istri Abu Lahab) atau figur
historis lainnya. Seruan umum baru beliau mulai setelah menerima
wahyu dalam surah alHijr 94, "fashda' bima tu'maru wa a'ridh 'anil
mursyrikin". Reaksi penolakan Abu Lahab terhadap dakwah ini sangat
terkenal. Lalu beliau mengumpulkan karib kerabatnya sendiri di rumah
Abu Thalib, setelah turun surah asySyuara: 214, wa andzir
asyiratakal aqrabin.
63
Surah adhDhuha: 13.
144
Keempat, saat ini kami menemukan dua literatur tafsir yang memakai
tata urutan tersebut, padahal keduanya secara tegas menyatakan
sebagai disusun berdasarkan tartib nuzuli. Kedua karya itu adalah tafsir
yang disusun oleh Syekh Muhammad 'Izzat Darwazah dan Prof. Dr.
Quraish Shihab. Konon, Tafsir Sinar yang disusun Buya Malik juga
memakai tata urutan ini. Namun, sayang sekali kami belum sempat
menelaahnya. Artinya, tata urutan ini dikenal baik dan banyak diterima
oleh kalangan yang otoritatif di bidangnya. Menurut kami, hal ini
penting, sebab dalam masalah yang berkaitan dengan alQur'an juga
ilmuilmu lainnya kita dianjurkan untuk memilih satu pendapat yang
banyak dianut oleh ulama'. Dan, sejauh yang kami ketahui, versi tartib
nuzuli tersebut memang yang paling banyak diterima. Wallahu a'lam.
Empat hal inilah yang membuat kami menjatuhkan pilihan pada tartib
nuzuli versi alBiqai dan Abul Qasim. Ketiga pertimbangan dan kritik
diatas, bila diterapkan kepada versi ini, seluruhnya terjawab dengan
cukup memuaskan. Dari sisi penukilan riwayat, versi ini jelas disebut
sebagai sejarah turunnya surahsurah, atau tarikh nuzul, yang secara
eksplisit dapat dimaknai sebagai urutan kronologis. Dari sisi riwayat adh
Dhuha, tidak timbul pertentangan dengan fakta sirah nabawiyah, sebab
dalam versi ini surah tersebut berada pada urutan ke11, jauh setelah
alLahab. Jarak antara keduanya diisi oleh empat surah lain, yakni at
Takwir, alAla, alLail, dan alFajr. Dengan sendirinya riwayat asbabun
nuzul surah adhDhuha yang menyebutnyebut ejekan seorang musyrik
kepada Rasulullah menjadi logis, karena berlangsung dalam masa dawah
jahriyah, yang salah satu penanda terpentingnya adalah surah alLahab.
Argumen tambahan yang memperkuat Versi Kedua adalah kedudukan
surah alFatihah. Disini, alFatihah turun sesudah alMuddatstsir sebelum
alLahab. Mengenai mana yang lebih dulu antara alMuzzammil dan al
Muddatstsir, persoalannya sudah jelas. Tampaknya, versi alBiqai dan
Abul Qasim terjebak pada kebingungan yang sama akibat riwayat
asbabun nuzul kedua surah ini yang sering tertukar. Kedua surah ini
terlihat jelas turun berdekatan waktunya. Kita sudah memaparkan
bahwa yang benar adalah alMuddatstsir turun terlebih dahulu.
Sementara itu, masalah alQalam yang ditempatkan sebagai surah kedua
setelah alAlaq, kritik kami sama dengan apa yang kami tujukan kepada
Versi Pertama (Ibnu Abbas) diatas. Surah yang lebih memungkinkan
pada posisi ke4 adalah alFatihah, kemudian diiringi alLahab pada
posisi ke5. Di lain pihak, kitab atTafsir alHadits yang ditulis oleh
Muhammad Izzat Darwazah mempergunakan versi alBiqai dan Abul
Qasim ini, surah demi surah, baik Makkiyah maupun Madaniyah, tanpa
perbedaan sedikit pun; yang pada gilirannya semakin menambah
kekuatan versi ini.
Penggabungan menjadi alternatif paling memungkinkan. Sebab, studi
terhadap manhaj ini tidaklah mungkin berjalan terus tanpa pegangan
tertentu, meski bersifat sementara. Bagi sebagian kalangan yang ingin
mendapat ramuan instan, yang bermanfaat untuk studi lebih
komprehensif terhadap makna surahsurah alQuran dalam tinjauan
tartib nuzuli, saran kami tersebut dapat dipertimbangkan. Dengan tetap
145
berpegang pada hasil studi kita, perubahan hanya akan berdampak
kepada sebagian kecil surah di bagian awal, yakni mengubah awal tata
urutan dalam versi tersebut menjadi:
(1) alAlaq ayat 15.
(2) alMuddatstsir ayat 15.
(3) alMuzzammil ayat 19.
(4) alFatihah ayat 17.
(5) alLahab ayat 15.
Tataurutan ini menurut kami cukup sesuai dengan catatan sirah
nabawiyah, juga riwayat tentang wahyuwahyu pertama yang turun
dalam kelompokkelompok kecil. Titik terang lain adalah adanya
kesejajaran tertentu bagi posisi sebagian besar surah setelah alLahab.
Dengan merujuk Tabel Perbandingan 5 Versi Tartib Nuzuli dalam
Lampiran di penghujung risalah ini, pembaca akan melihat dengan jelas
kesejajaran yang kami maksudkan. Kami menyebut tataurutan hasil
studi ini sebagai Versi Alternatif. Uraian yang dipaparkan pada bab
berikutnya akan memberikan verifikasi lebih lanjut terhadap masalah
ini, insyaAllah.
Selengkapnya, kronologi 114 surah hasil penggabungan tersebut adalah,
sbb:
(1) AlAlaq, (2) AlMuddatsir, (3) AlMuzzammil, (4) alFatihah, (5) Al
Masad, (6) AlQalam, (7) AtTakwir, (8) AlAla, (9) AlLail, (10) AlFajr,
(11) AdhDhuha, (12) Alam nasyrah, (13) AlAshr, (14) AlAdiyat, (15)
AlKautsar, (16) AtTakatsur, (17) AlMaun, (18) AlKafirun, (19) AlFiil,
(20) AlFalaq, (21) AnNaas, (22) AlIkhlash, (23) AnNajm, (24) Abasa,
(25) AlQadr, (26) AsySyams, (27) AlBuruj, (28) AtTiin, (29) Quraisy,
(30) AlQariah, (31) AlQiyamah, (32) AlHumazah, (33) AlMurasalat,
(34) Qaaf, (35) AlBalad, (36) AthThariq, (37) AlQamar, (38) Shaad,
(39) AlAraf, (40) AlJinn, (41) Yaasin, (42) AlFurqan, (43) Fathir, (44)
Maryam, (45) Thaha, (46) AlWaqiah, (47) AsySyuara, (48) AnNaml,
(49) AlQashash, (50) AlIsra, (51) Yunus, (52) Huud, (53) Yusuf, (54) Al
Hijr, (55) AlAnam, (56) AshShaffat, (57) Luqman, (58) Saba, (59) Az
Zumar, (60) Ghafir (alMumin), (61) Fushshilat, (62) AsySyuura, (63)
AzZukhruf, (64) AdDukhan, (65) AlJatsiyah, (66) AlAhqaf, (67) Adz
Dzariyat, (68) AlGhasyiyah, (69) AlKahfi, (70) AnNahl, (71) Nuuh, (72)
Ibrahim, (73) AlAnbiya, (74) AlMuminun, (75) AsSajdah, (76) Ath
Thuur, (77) AlMulk, (78) AlHaaqqah, (79) AlMaarij, (80) AnNaba,
(81) AnNaziat, (82) AlInfithar, (83) AlInsyiqaq, (84) ArRuum, (85) Al
Ankabut, (86) AlMuthaffifin, (87) AlBaqarah, (88) AlAnfal, (89) Ali
Imran, (90) AlAhzab, (91) AlMumtahanah, (92) AnNisa, (93) Az
Zalzalah, (94) AlHadid, (95) Muhammad, (96) ArRadu, (97) Ar
Rahman, (98) AlInsan, (99) AthThalaq, (100) AlBayyinah, (101) Al
Hasyr, (102) AnNuur, (103) AlHajj, (104) AlMunafiqun, (105) Al
Mujadilah, (106) AlHujurat, (107) AtTahrim, (108) AtTaghabun, (109)
AshShaff, (110) AlJumuah, (111) AlFath, (112) AlMaidah, (113) At
Taubah, (114) AnNashr.
Khusus surah alQalam, perlu diberi catatan tersendiri. Sebab, jika
mengikuti versiversi yang ada, harusnya ia berada pada jajaran wahyu
wahyu pertama. Namun, ini musykil berdasarkan riwayatriwayat yang
146
sudah kita bahas sebelum ini. Yang dapat diyakini dari surah ini adalah,
bahwa ia turun dalam periode dakwah terbuka yang lebih akhir, melihat
konteks isinya yang keras dan tajam. Paling kurang, dengan tetap
menerima riwayatriwayat tartib nuzuli, maka posisi surah ini harus
digeser setelah alLahab, yakni sesudah dakwah terbuka benarbenar
bergulir. Wallahu a'lam.
Kronologi Sirah dan Tartib Nuzuli
Data yang dapat dipergunakan untuk studi ini adalah marhalah wahyu,
seperti pernah kami uraikan pada permulaan buku ini. Paling kurang,
kita telah memperoleh gambaran yang cukup terang tentang surah apa
saja yang ada dalam masingmasing periode dakwah di Makah.
Sedangkan untuk periode dakwah di Madinah, kami belum memperoleh
datanya yang pasti.
Dengan mengacu kepada Versi Alternatif diatas, sekaligus merujuk
kepada apa yang kami sebut marhalah wahyu, maka kronologi sirah
dalam tinjauan tarib nuzuli adalah, sbb:
1) Tahun pertama sampai ketiga, dimulai dari surah al'Alaq sampai
turunnya alLahab. Pada masa ini juga turun ayatayat dari surah
lain, atau kelengkapan wahyu yang bagian pembukaannya sudah
turun terlebih dahulu. Disinilah masuk Islamnya tokohtokoh utama
para Sahabat berlangsung, seperti Khadijah, Abu Bakar, 'Ali, Zaid bin
alHaristah, 'Utsman, Thalhah, azZubair, Sa'ad bin Abi Waqqash, Abu
'Ubaidah bin alJarrah, dan lainlain yang dikenal sebagai asSabiqun
alAwwalun.
2) Tahun ketiga sampai keenam, dimulai dari peristiwa terkenal yang
melatarbelakangi turunnya surah alLahab sampai saat surah Maryam
dan Thaha sudah turun. Peristiwa penting yang menandai periode ini
adalah meningkatnya siksaan kafir Quraisy kepada kaum muslimin,
hijrah ke Habasyah (Abbyssinia), serta masuk Islamnya Hamzah dan
'Umar bin alKhaththab radhiyallahu 'anhuma.
3) Tahun keenam sampai kesepuluh, secara global diawali dari surah al
Waqi'ah. Periode ini diawali dengan meningkatnya kekuatan kaum
muslimin berkat masuk Islam Hamzah dan 'Umar, dan diakhiri dengan
wafatnya Khadijah radhiyallahu 'anha dan Abu Thalib. Pada rentang
waktu ini pula Bani Hasyim diboikot di Syi'ib Abu Thalib, Rasulullah
mulai giat menawarkan diri kepada kabilahkabilah yang mendatangi
Baitullah di musim haji, juga peristiwa tragis yang beliau alami
dalam perjalanan ke Thaif. Jika menilik riwayat sirah, peristiwa
kelaparan dahsyat yang menimpa Quraisy juga berlangsung pada
tahuntahun ini, yang sepintas disinggung oleh permulaan surah ad
Dukhan.
4) Tahuntahun terakhir di Makkah, sampai menjelang hijrah ke
Madinah. Peristiwa penting yang patut dicatat adalah pertemuan
beliau dengan rombongan jamaah haji dari Madinah. Bukubuku sirah
menyebutkan bahwa terjadi beberapa kali pertemuan rahasia, dan
147
dalam kesempatankesempatan tersebut berlangsunglah Bai'at
'Aqabah yang terkenal itu.
Inilah empat titik penting bagi kami untuk menandai periodeperiode
sirah nabawiyah yang dikaitkan dengan tartib nuzuli. Sekilas tampak
berbeda dengan apa yang dirinci oleh Dr. Shubhi ashShalih sebagai tiga
Marhalah Wahyu Makkiyah, berdasar kajian dari Abul Qasim anNisaburi.
Namun, jika dibaca lebih teliti, sebetulnya tidak ada yang berbeda.
Untuk penjelasan lebih terinci, saat ini belum dapat diberikan, termasuk
seperti apa merangkai sirah periode Madinah dengan tartib nuzuli. Kami
berencana menuliskannya dalam buku tersendiri, insyaAlllah.[]
Wallahu a'lam.
148
RINGKASAN
Sirah nabawiyah adalah alQur'an hidup, yang potretnya terabadikan
dalam bingkai sejarah umat manusia. AlQur'an hidup dalam jiwa
manusiamanusia terbaik, yang lewat mereka "energi langit" terekspose
keluar, dalam bentukbentuk spektakuler yang dapat disaksikan dunia.
Tentu saja, ekspresi jiwa alQur'an tidak tercermin dari pencapaian fisik
dan luasnya penaklukan, namun dari lapangnya pondasi peradaban yang
ditegakkan diatas kepatuhan tauhid.
Sirah tidak berbicara tentang orangorang yang merumuskan kaidah
kaidah filosofi abadi, bukan pula mereka yang memancangkan landasan
hukum peradaban, semua atas namanya sendiri. Sirah hanya bercerita
tentang orangorang bersahaja, di tengah jazirah tandus, yang sepenuh
hati mematuhi otoritas Tuhannya, bersungguhsungguh mewujudkan
kehendakNya di dalam kehidupan, serta tidak meragukan kebenaran
janjiNya.
Namun, sebagai disiplin ilmu, sirah kadang tercampuri riwayatriwayat
yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Sebagai generasi yang
berkomitmen untuk meneladani jejak langkah Rasulullah, adalah penting
untuk bersikap cermat, waspada, konsisten dan menguasai metodologi
maupun referensi di dalam mengkajinya.
Ada sangat banyak sumber rujukan bagi kajian kita di bidang ini, baik
yang klasik maupun kontemporer. Para ulama' telah mencoba
menyajikannya dalam beragam cara, baik menurut kronologi utuh
maupun dengan memilih pendalaman atas sebuah segmen atau tema
spesifik. Pokokpokok persoalan yang dibahas pun sangat beragam.
Buku ini berusaha menemukan jalan untuk melakukan suatu studi sirah
dengan menggabungkan kepadanya kajian atas tartib nuzulnya wahyu.
Meski pencapaian dari upaya ini masih "kasar" dan minimal, namun kami
optimis bahwa pekerjaan ini memiliki masa depannya sendiri.
Dengan niat tulus, kekuatan metodologis, kecermatan kinerja ilmiah,
keluasan referensi, serta kesediaan untuk melakukan diskusi dalam skala
luas, insyaAllah apa yang kita cari akan ditemukan. Semoga.[]
Wallahu a'lam bishshowab.
149
SARAN BAHAN BACAAN LANJUT
Berikut adalah daftar 17 kitab sirah paling menonjol yang naskah
lengkapnya sampai kepada kita di zaman ini. Kami mengutip daftarnya
dari buku Seleksi Sirah Nabawiyah: Studi Kritis Muhadditsin terhadap
Riwayat Dhaif hal. 4346, karya Dr. Akram Dhiya alUmuri. Kutipan
dibuat sesuai dengan tujuan penulisan buku ini, yakni memberikan
semacam pedoman dan daftar referensi yang dapat dirujuk lebih lanjut
untuk melakukan studi pendalaman.
1. Sirah Ibnu Hisyam. Sirah ini mengoreksi Sirah Ibnu Ishaq. Selain
membuang riwayatriwayat israiliyat dan syairsyair yang menjiplak,
Ibnu Hisyam juga menambahkan datadata bahasa dan silsilah
sehingga menjadikan Sirah Ibnu Hisyam sebagai kitab yang
mengundang simpati mayoritas ulama. Tulisantulisan senada yang
muncul belakangan juga mengacu kepada Sirah Ibnu Hisyam ini.
Sebenarnya gaya penulisan Ibnu Hisyam tentang kehidupan
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dari aspekaspek
peperangan sangat mirip dengan yang ditulis dalam kitabkitab
hadits yang shahih. Itulah yang membuat Sirah Ibnu Hisyam menjadi
sangat terkenal dan mempunyai nilai tersendiri. Sirah Ibnu Hisyam
ini diulas oleh alHafizh asSuhaili (w. 581 H) dalam kitabnya ar
Raudh alUnuf yang sudah dicetak.
2. AthThabaqat alKubra. Jilid pertama dan kedua dari kitab karya
Muhammad bin Saad (w. 230 H) ini khusus menerangkan tentang
sirah. Harus diakui bahwa Ibnu Saad memang seorang ulama tsiqah
yang sangat teliti terhadap riwayatriwayatnya, seperti yang
diungkapkan oleh Abdurrahman alKhathib alBaghdadi dan Ibnu
Hajar alAsqalani. Akan tetapi, ia juga mengutip dari beberapa
pewari yang dhaif; seperti alWaqidi yang kutipankutipannya
banyak dicurigai oleh Ibnu Nadim mencuri dari tulisantulisannya.
Namun, berdasarkan pengamatan yang cermat, Ibnu Saad adalah
seorang penulis yang memiliki metode tersendiri. Selain sering
mengutip dari alWaqidi, ia juga sering mengutip dari guruguru lain
yang cukup terkanal; seperti Affan bin Muslim, Ubaidillah bin Musa
dan alFadhal bin Dakin. Ketiganya adalah ulama ahli hadits yang
tsiqah.
AlHafizh adzDzahabi mengatakan, Menurut para ulama, apa yang
diriwayatkan Ibnu Saad dari alWaqidi, lalu ia tulis dalam kitan Ath
Thabaqah cenderung menggambarkan riwayat ulama lain yang
dikutip darinya.
3. Tarikh Khalifat alKhayyath. Khalifat alKhayyath (w. 240 H) adalah
seorang ulama ahli hadits yang tsiqah. Ia adalah salah seorang guru
Imam alBukhari dalam menulis Shahih alBukhari. Kitab tersebut
adalah sejarah umum yang pada bagian pertama membahas
potonganpotongan peristiwa sirah, dan menempatkan Ibnu Ishaq
sebagai referensi utamanya.
150
4. Ansab alAsyraf. Kitab karya Ahmad bin Yahya bin Jabir alBaladziri
(w. 279 H) ini berisi sejarah umum yang cukup sistematik. Pada
bagian awal kitab ini, alBaladziri khusus membahas tentang sirah.
Menurut para ulama ahli hadits, alBaladziri adalah seorang perawi
yang dhaif. Ibnu Hajar alAsqalani menuturkan data biografi al
Baladziri dalam kitabnya, Lisan alMizan, yang memang membahas
para perawi dhaif.
5. Tarikh arRusul walMuluk. Bagian pertama kitab karya Muhammad
bin Jarir athThabari (w. 310 H) ini khusus membahas tentang sirah.
AthThabari adalah perawi tsiqah yang menempatkan Ibnu Ishaq
sebagai referensi utamanya. Metode yang digunakan athThabari
tidak menganggap penting kritik yang menyoroti riwayat dari aspek
shahih dan dhaifnya. Ia mengemukakan riwayat berikut sanad
sanadnya begitu saja, dan menyerahkan tugas untuk meneliti serta
mentarjih kepada pembaca.
6. AdDurar fi Ikhtshari alMaghazi wasSiyar. Kitab ini ditulis oleh Ibnu
Abdil Barr alQurthubi (w. 463 H), seorang ulama ahli hadits
terkemuka pada zamannya. Kitab ini berorientasi kepada Sirah Ibnu
Hisyam, Sirah Musa bin Uqbah, Tarikh Ibnu Khaytsamah, dan
beberapa kitab hadits. Ia tidak menegaskan telah mengutip dari al
Waqidi, kecuali hanya dalam satu bagian saja. Akan tetapi, ia
mengaku mengutip riwayat alMaghazi milik alWaqidi. Dalam
menulis kitabnya, ia menyatakan secara umum mengikuti pola Ibnu
Ishaq. Dan ia tidak terikat dengan menyebutkan sanad.
7. Jawami asSirah. Kitab karya Ibnu Hazm azhZhahiri (w. 456 H) ini
samasekali tidak menyinggung cara penyebutan sanad, dan juga
tidak menunjukkan sumbersumbernya. Ia juga mengadakan
unggulan diantara riwayatriwayat, menetapkan riwayat unggulan
dalam kitabnya, dan mengadakan penelitian terhadap peristiwa
peristiwa sejarah. Ia menggunakan pola penyimpulan untuk
memebersihkan sirah dari syair dan kisahkisah.
Dalam catatan kaki, Dr. Akram Dhiya memberi tambahan informasi,
bahwa Ibnu Hazm sendiri mengaku mengutip sirahnya dari Khalifat
bin Khayyath dalam tiga bagian, dari Tarikh Abu Hassan azZiyadi
dalam tiga bagian pula, dan juga mengutip dari adDurar fi Ikhtishari
alMaghazi wasSiyar karya Ibnu Abdil Barr dalam satu bagian saja.
Menurut para muhaqqiq kitab tersebut, Ibnu Hazm banyak mengutip
dari adDurar.
8. AlKamil fitTarikh. Kitab sejarah umum yang ditulis oleh Ibnu al
Atsir alJazri (w. 632 H), seorang ulama ahli sejarah yang tsiqah ini,
beberapa bagiannya khusus tentang sirah.
9. Uyun alAtsar fi Funun alMaghazi wasSyamail wasSiyar. Kitab ini
ditulis oleh Ibnu Sayyidinnas (w. 743 H), seorang ulama ahli hadits
yang tsiqah. AlHafizh adzDzahabi dan alHafizh Ibnu Katsir juga
menganggapnya tsiqah. Dalam kitabnya itu ia banyak mengutip dari
kitabkitab hadits dan juga kitabkitab tentang peperangan yang
151
sebelumnya. Ia juga menyebutkan sumbersumbernya pada bagian
muqaddimah kitabnya.
10. Zaad alMaaad fi Hadyi Khairi alIbaad. Kitab ini ditulis oleh Ibnu
Qayyim alJauziyyah (w. 751 H), seorang ulama terkemuka pada
zamannya. Kitab ini sangat penting karena isi materinya mencakup
tentang perilaku, akhlak, adab, fiqh dan ceritacerita peperangan.
11. AsSirah anNabawiyah. Kitab ini ditulis oleh alHafizh adzDzahabi
(w. 748 H), seorang penulis yang tsiqah dan memiliki kekuatan
intelektual yang tajam, terutama dalam menggunakan kaidahkaidah
ulama ahli hadits. Dalam kitab ini ia hanya mengkritik sebagian
riwayat saja.
12. AlBidayah wanNihayah. Kitab yang ditulis oleh alHafizh Ibnu Katsir
(w. 774 H) ini merupakan kitab sejarah umum yang beberapa
bagiannya khusus membahas tentang sirah. Ibnu Katsir adalah
termasuk imam tsiqah yang mutahaqqiq. AdzDzahabi, Ibnu Hajar al
Asqalani dan Ibnu alAmmad alHanbali juga menganggapnya
sebagai ulama yang tsiqah.
13. Imta alAsma. Kitab ini ditulis dengan ringkas tanpa menyebutkan
sanad oleh alMuqrizi, seorang ulama yang tsiqah. Akan tetapi,
menurut asSakhawi, kitab ini banyak mendapat kritikan.
14. AlMawahib alLaduniyyah bilManhi alMuhammadiyah, oleh Ahmad
bin Muhammad alQasthalani (w. 923 H).
15. Syarh alMawahib alLaduniyyah, oleh Muhammad bin Abdul Baqi
azZarqani (w. 1122 H). Kedua kitab tadi termasuk kitabkitab yang
secara lengkap membahas tentang perilaku, akhlak dan sirah Nabi.
16. AsSirah alHalabiyyah. Kitab karya Burhanuddin alHalabi (w. 841 H)
ini berisi sisipansisipan dan cerita israiliyat. Ia sengaja membuang
sanad riwayatriwayatnya. Ia cukup menyebutkan perawi hadits,
mengulas riwayatriwayat yang gharib, dan memberikan tambahan
komentarkomentar lain.
17. Subul alHadyi warRasyad fi Siirati Khairi alIbaad. Kitab tulisan
Muhammad bin Yusuf adDimasyqi asySyami (w. 942 H) ini telah
dipilih oleh lebih dari dua ribu orang penulis.
Selain daftar diatas, ada 3 judul buku yang ditulis oleh seorang ulama
kontemporer kelahiran Palestina, Syekh Muhammad Izzah Darwazah,
yang secara khusus disusun berdasar asumsi tataurutan wahyu.
Ketiganya adalah:
1. Ashr anNabi shallallahu alaihi wa sallam (Era Kehidupan Nabi
SAW). Menurut informasi, kitab ini sudah dicetak di Damaskus tahun
1365 H (1946 M).
2. Siratu arRasul shallallahu alahi wa sallam min alQuran (Sejarah
Hidup Rasul SAW yang Diambil dari alQuran). Kitab ini dicetak pada
tahun 1367 H (1948 M) di Kairo, Mesir.
152
3. AdDustur alQurani fi Syuuni alHayat (Undangundang Qurani
dalam Masalahmasalah Kehidupan). Kitab ini juga dicetak di Kairo,
tahun 1376 H (1956 M).
Secara pribadi, dari ke20 referensi diatas, hanya enam diantaranya
yang kami miliki dan sudah kami telaah sebagiannya. Satu referensi lagi,
yakni atTafsir alHadits yang terdiri dari 12 jilid, karya Syekh Darwazah
juga, saat ini tengah kami kaji bersamasama sebagai salah satu rujukan
utama pembinaan dalam halaqah mingguan di lingkungan kader/warga
Hidayatullah di Malang.
Demikian semoga daftar ini bermanfaat dan dapat membuka jalan untuk
lebih mengenal dan meneladani kepribadian serta kehidupan Nabi kita,
Muhammad shallallahu alaihi wa sallam bersama generasi pertama
umat ini yang beliau bina.[]
Wallahu a'lam bishshowab.
153
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
BAGIAN IV
MANHAJ
SISTEMATIKA NUZULNYA WAHYU
DALAM PRAKTEK
Bagian ini mengetengahkan usulan
model kajian atas apa yang sudah
didiskusikan pada bagian sebelumnya.
Dengan kata lain, berkenaan dengan
penerapan Manhaj.
Seluruhnya terangkum dalam 3 bab,
ditambah Penutup.
Memperbaharui Tartib Nuzuli dalam
SNW
Qira'ah, Tartil dan Tilawah
Manhaj Tarbawi
Penutup
wwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwww
154
BAB I
MEMPERBAHARUI TARTIB NUZULI DALAM SNW
Sebagian orang bisa jadi merasa enggan membicarakan masalah ini,
demi menghormati Allahuyarham Ustadz Abdullah Said dan memelihara
orisinalitas gagasan yang beliau wariskan. Akan tetapi, menurut kami,
perasaaan seperti itu sangat subyektif dan tidak pada tempatnya. Sebab,
justru dengan mencoba membangun landasan ilmiah yang jelas bagi
SNW, kita telah menghormati warisan beliau dan mengembangkannya
secara lebih bertanggung jawab. Sisi yang akan kita coba benahi adalah
tartib nuzuli atau tataurutan penurunan wahyu dalam konsep dasar
SNW, bukan spiritnya.
Perlu diingat, bahwa dalam kajian ilmiah semacam ini, acapkali tidak
dapat ditemukan spirit yang nyata. Namun, adalah naif jika kita
membangun spirit tanpa landasan ilmu. Dalam tradisi para ulama' besar
di masa silam, kritik pedas yang mereka arahkan kepada kaum Sufi
adalah disebabkan ketiadaan ilmu yang melandasi spirit dalam
peribadatan. Imam Ibnul Jauzi, seorang ulama' abad ke5 H,
mengkhusukan satu bab panjang dalam buku Talbis Iblisnya hanya untuk
"menelanjangi" kebohongan dan kebodohan kaum Sufi. Tentu saja yang
dimaksud adalah kalangan Sufi yang mengadaadakan sendiri beragam
ajaran yang tidak dikenal sebelumnya dalam Sunnah Rasulullah dan
tradisi para penerusnya yang shalih.
64
Agar jamaah dalam kapal Lembaga ini selamat dari fakta maupun
tuduhan semacam itu, maka adalah penting untuk menelusuri serta
melandaskan manhajnya kepada Sunnah dan tradisi Salaf.
Di masa depan, SNW harus dikaji dan diterapkan berlandaskan kepada
spirit "tradisional" kita, dengan peneguhan ilmiah yang valid. Artinya,
mencoba mendiskusikan dan kemudian memilih versi lain bagi SNW
adalah sesuatu yang wajar bagi perjalanan kita, sepanjang berlandaskan
metode serta sumber acuan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pilihan paling praktis memang berada pada "ruang aman" bagi konsep
dasar SNW selama ini, yang dengan demikian tidak ada perubahan apa
apa terhadapnya. Namun, dengan membaca seluruh sumber acuan yang
telah kami paparkan sebelum ini, mau tidak mau memang harus ada
perubahan.
Permasalahannya, sejauh ini hasil studi kami masih sebatas wahyu
kelima saja. Perlu usaha keras sekali lagi untuk melanjutkannya sehingga
lebih sempurna. Membatasi pembahasan hanya sampai lima surah
menurut hemat kami hanya akan mengulang kegamangan serupa dalam
kajian SNW selama ini. Yang paling memungkinkan adalah
menggabungkan hasil studi ini dengan satu versi lainnya, dengan cara
64
Lihat: Talbis Iblis, hal. 189313. Ini merujuk kepada edisi terjemahan bahasa
Indonesia, yang sebetulnya sudah mengalami pemendekan.
155
menganalisa materi tartib nuzuli yang ada di dalamnya. Secara lebih
rinci kami telah membahasnya dalam Bagian III.
Walau pilihan manapun tidak akan lepas dari kontroversi, akan tetapi
jika sebuah pilihan dapat dirujukkan kepada suatu landasan ilmiah yang
valid dan akurat, maka kritik serta keberatan pun dapat dieliminir
seminimal mungkin. Selama ini, menurut pengamatan kami, aspek
mendasar di balik tata urutan surah SNW itu sendiri hampir tidak pernah
disentuh. Dengan membaca sumbersumber yang memuat tata urutan
sejenis itu, terlihat jelas bahwa semuanya disajikan secara lafzhiyah dan
apa adanya, tanpa penjelasan apapun. Maksud kami, tidak ada uraian
rinci mengenai mengapa surah ini ada di urutan ke sekian, apa dasarnya,
bagaimana relevansinya dengan fakta sirah, dsb. Jika pun ada
penjelasan, itu bersifat tafsiriyah, yakni uraian hikmah yang dapat
diambil dari posisi surah tersebut dalam kaitannya dengan dakwah dan
tarbiyah. Kami belum melihat adanya penilaian yang mendalam
terhadap kualitas riwayatnya.
Studi dalam buku ini, dengan segala keterbatasannya, berusaha merintis
jalan untuk menutup celah itu. Kami tidak bermaksud menggugat dan
mengahancurkan, namun membenahi dan meneguhkan. Apa yang ada
dalam buku ini sepenuhnya diniatkan bagi pemurnian manhaj kita dari
unsurunsur ketidakakuratan, prasangka tanpa ilmu, penjelasan
subyektif, atau tafsirtafsir individual yang tidak otoritatif.
Bagaimanapun, kita tengah membahas alQur'an. Adalah naif jika kita
berbicara tanpa dasar. Dan tentu saja, lancang jika dalam memahami al
Qur'an, kita dengan berani meletakkan kerangka berfikir yang berasal
dari pengalaman pribadi kita sendiri, namun pada saat bersamaan tidak
berusaha meletakkan kerangka berfikir yang berlandaskan kepada
haditshadits shahih, warisan generasi Salaf, serta ulasanulasan
berharga dari para ulama' terpercaya.
Bukan berarti kita tidak boleh memahami alQur'an menurut kemampuan
kita, namun untuk boleh menyebarkan hasil pemahaman itu jelas
diperlukan prasyarat. Seseorang yang menguraikan alQur'an tanpa
dilandasi oleh metodologi maupun bekalbekal lain yang baik,
kemungkinan untuk salah baginya akan semakin besar. Padahal, kita
tidak boleh salah dalam memahami Kitab Suci. Kesalahan pada tahap ini
bisa berdampak pada kekeliruan amaliah. Bahaya besar jelas menanti.
Untuk kasus SNW, kita telah sampai pada taraf menyebarkan
pemahaman. Sebab, SNW adalah manhaj, dan setiap manhaj pasti
ditujukan untuk disebarkan, diikuti, diamalkan. Oleh karenanya,
memberi rincian akurat atas manhaj ini merupakan kebutuhan
mendesak. Tidak bisa ditundatunda lagi.[]
Wallahu a'lam.
156
BAB II
QIRA'AH, TARTIL DAN TILAWAH
Tiga Sarana Pokok
Berinteraksi dengan alQuran tak bisa lepas dari tiga sarana pokok:
qiraah, tilawah, dan tartil. Masingmasing merupakan thariqah yang
berbeda, namun bersinggungan satu sama lain pada titiktitik tertentu,
sehingga tidak bisa dilepaskan atau dipergunakan secara mandiri tanpa
melibatkan lainnya.
Tiga kosakata alQuran diatas biasanya diterjemahkan dengan
"membaca" dalam bahasa Indonesia. Untuk membuktikannya, Anda bisa
melihat bagaimana terjemahan 3 kata ini dalam surah alAlaq (iqra
bismi rabbika), alJumuah (yatlu alaihim ayatina), dan alMuzzammil
(wa rattilil Qurana tartiila). Ketiga surah ini sudah sangat dikenal
dalam kajian SNW.
Secara umum, menerjemahkan ketiganya sebagai "membaca" adalah
benar, namun tidak lengkap. Dalam penggunaan bahasa Arab maupun al
Qur'an sendiri, ketiganya terkadang bisa saling menggantikan. Namun,
dengan meneliti kamuskamus dan kitabkitab tafsir, tampak jelas
kosakata bahasa Indonesia tidak mampu menangkap secara sempurna
makna aslinya. Kita mesti memberi penjelasan lebih jika ingin
memahami maksudnya secara utuh.
Makna Qiraah
Asalnya, kata ini berarti menyatukan (jamaa) huruf atau kalimat dengan
yang semisalnya dalam suatu tartil, yakni melafalkan hurufhurufnya
secara terpadu (dalam suatu kalimat). Derivasi (bentuk turunan) kata
dasar ini bisa memiliki maknamakna: berusaha memahami (tafahhama),
terus mempelajari (daarasa), berupaya mengerti secara mendalam
(tafaqqaha), dan beribadah dengan tekun (tanassaka). Dalam hal ini,
hafalan adalah salah satu dari bentuk yang menjadi maknanya. Karena,
menghafal (hafizha) juga berarti mengumpulkan (jama'a) dan
menyatukan (dhamma). Makna lain yang juga muncul adalah haid dan
suci darinya, pemisah bait sya'ir (qawafi), dsb.
65
Alfiqh sendiri makna
asalnya adalah pemahaman yang lebih cermat dan mendalam, tidak
sekedar tahu.
66
Tentu saja, jika aspekaspek makna kata ini dirangkai maka akan terlihat
jelas bahwa tujuan penyatuan berbagai huruf dan kalimat adalah untuk
mencipta serta mengungkap makna, yang darinya akan terlahir
pemahaman, pengertian dan pelajaran. Hafalan (tahfizh) merupakan
satu tahap pengumpulan ide dan kaidah, untuk kemudian secara
65
Lihat: Mu'jam Mufradat Alfazhil Qur'an hal. 413414; Mukhtaru ashShihah I/220;
alFaa'iq III/177; anNihayah fi Gharibil Hadits IV/3031; Lisanul 'Arab I/128133.
66
Lihat: Mu'jam Mufradat Alfazhil Qur'an hal. 398.
157
intelektual diproses lewat dirasah, tafaqquh dan tafahhum. Oleh karena
itu, dalam penggunaan kontemporer, kata ini diderivasi menjadi istiqra'
yang berarti eksplorasi, investigasi, analisa, penelitian dan pengujian.
67
Sebuah hadits menyebut kata aqrauhum li kitabillah, sebagai syarat
pertama imam shalat.
68
Para ulama' memaknai kata ini dengan
aktsaruhum hifzhan (yang memiliki hafalan terbanyak), afqahuhum li
kitabillah (yang paling faqih terhadap kitab Allah), aktsaru qira'atan
(paling banyak membaca), atau atqanu wa ahfazhu lilQur'an (lebih
menguasai dan hafal alQur'an).
69
Sebuah hadits lain yang bersumber dari
'Amr bin Salamah menggunakan kalimat aktsaruhum qur'aanan (yang
terbanyak hafalan/bacaan Qur'annya), dalam membahas masalah yang
sama, sebagaimana disitir Ibnu Hajar dalam Fathul Bari juz 2 hal. 186.
Maka, seperti sudah kita singgung, kata qira'ah lebih menekankan aspek
intelektual dari membaca. Dalam bahasa Inggris, terjemahan yang tepat
adalah "to read" (membaca, yakni memahami content atau isi bacaan).
Pilihan terjemah ini pula yang dipergunakan dalam The Noble Qur'an:
English Translation of the meaning and commentary, untuk pembuka
surah al'Alaq.
Oleh karenanya, Dr. Quraish Shihab menulis dalam Tafsir alQur'an al
Karim hal. 7778, terkait ayat pertama wahyu pertama, bahwa:
arti asal kata ini menunjukkan bahwa iqra' yang diterjemahkan dengan
bacalah!, tidak mengharuskan adanya suatu teks tertulis sebagai obyek
baca, tidak pula harus diucapkan sehingga terdengar oleh orang lain.
Karenanya, dalam kamus, Anda dapat menemukan beraneka ragam arti
kata tersebut. Antara lain menyampaikan, menelaah, membaca,
mendalami, meneliti, mengetahui ciriciri sesuatu, dan sebagainya, yang
kesemuanya bermuara pada arti "menghimpun". Selain itu, kata qira'ah,
berikut bentukbentuk yang seakar dengannya, dalam alQur'an dipakai
mengungkapkan aktifitas membaca yang umum, mencakup teks apa saja
yang bisa dijangkau.
Dengan kata lain, kata ini mencirikan sebuah aktifitas intelektual yang
terus menerus, mendalam, intensif. Meskipun tetap bermakna membaca
atau melafalkan hurufhuruf sehingga tercipta suatu makna, namun titik
67
Lihat: A Dictionary of Modern Written Arabic hal. 753; Kamus Kontemporer
"Krapyak" hal. 108109; Kamus AlBisri hal. 589; Kamus AlMunawwir hal. 1101
1102.
68
Lihat: Shahih alBukhari I/245246, juga di beberapa tempat lainnya; Shahih
Muslim I/465 hadits no. 673; Shahih Ibnu Hibban V/500501 hadits no. 2127; hal.
505 hadits no. 2033; hal. 516 hadits no. 2144; Shahih Ibnu Khuzaimah III/4 hadits
no. 1507; hal. 6 bab ke33; Sunan Abu Dawud I/159 hadits no. 582, dst; Sunan Ibnu
Majah I/313 hadits no. 980; AsSunan alKubra li anNasai I/279 hadits no. 855;
Musnad alHumaydi I/217, hadits no. 457; atTamhid liIbni 'Abdil Barr XXII/124;
alMuntaqa liIbnil Jaarud hal. 85, hadits no. 308. Hadits ini juga diriwayatkan
oleh atTirmidzi, alBaihaqi, 'Abdurrazzaq, Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Abu Dawud
athThayalisi, athThabrani, dan Ibnul Ja'di dalam kitab mereka masingmasing.
Hadits ini bersumber dari satu orang Sahabat saja, yakni Abu Mas'ud alAnshari al
Badri radhiyallahu 'anhu.
69
Lihat: Lisanul 'Arab I/129. Silakan lihat pula penjelasan dalam kitabkitab fiqh
yang membahas masalah ini secara lebih detail.
158
tekannya bukan pada pembacaan bersuara. Fokus qira'ah adalah meraih
makna atau pengertian dari apa yang dibaca tersebut. Jika dikaitkan
dengan alQur'an, yang mana nama kitab suci ini sendiri juga berasal dari
kata qira'ah, maka membaca disini harus disertai tadabbur, tafakkur,
dan tadzakkur. Tidak disebut qira'ah jika hanya menekankan pelafalan
lisan dan mengeraskan suara. Qira'ah adalah aktifitas yang sistematis,
terstruktur, disengaja, sadar dan memiliki tujuan jelas. Dalam hal ini,
adalah demi memperoleh hidayah Allah.
Makna Tartil
Arti dasar tartil adalah sesuatu terpadu (ittisaq) dan tersistem
(intizham) secara konsisten (istiqamah), yakni melepaskan katakata
dari mulut dengan mudah dan konsisten. Titik tekannya ada pada
pengucapan secara lisan, atau pembacaan verbal dan bersuara. Dalam
Bahasa Inggris, padanan tepatnya adalah "to recite" (mengucapkan,
melafalkan dengan lisan). Tepatnya, slow recitation, membaca secara
perlahanlahan dengan bersuara.
70
The Noble Qur'an menerjemahkan frase "wa rattilil Qur'aana tartiila"
dalam surah alMuzzammil dengan "and recite the Qur'an (aloud) in a
slow (pleasant tone and style)", yakni bacalah alQur'an dengan suara
keras secara perlahanlahan (dalam nada serta cara yang tenang).
Secara teknis, tartil berkaitan erat dengan pelaksanaan kaidahkaidah
Ilmu Tajwid. Imam anNawawi menulis dalam atTibyan fi Adabi
Hamalati alQur'an, hal. 4546:
Sebaiknya tartil ketika membaca alQur'an. Para ulama' telah
bersepakat tentang dianjurkannya tartil (membaca perlahanlahan).
Allah berfirman, "wa rattilil Qur'aana tartiila".
Ada sebuah hadits bersumber dari Ummu Salamah radhiyallahu 'anha
bahwa beliau menjelaskan sifat bacaan alQur'an Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam, yakni qira'ah muffassirah (bacaan disertai
menafsirkan), huruf demi huruf. (Riwayat Abu Dawud, atTirmidzi dan
anNasai. Menurut atTirmidzi, hadits ini hasanshahih).
Bersumber dari Mu'awiyah bin Qurrah radhiyallahu 'anhu, bersumber
dari 'Abdullah bin Mughaffal radhiyallahu 'anhu, bahwasanya dia
berkata, "Saya melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada
hari Penaklukan Kota Makkah, beliau tengah berada di atas untanya
membaca surah alFath, dan beliau mengulangulang bacaannya."
(Riwayat alBukhari dan Muslim).
Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata, "Sungguh, membaca satu
surah dengan tartil lebih saya sukai daripada membaca alQur'an
seluruhnya."
70
Lihat: Mujam Mufradat li Alfazhil Quran hal. 192; A Dictionary of Modern
Written Arabic hal. 325; Kamus "Krapyak", hal. 958, 456; Kamus AlBisri, hal. 234
235.
159
Mujahid pernah ditanya tentang dua orang (yang mengerjakan shalat),
yang satu membaca surah alBaqarah dan Ali 'Imron, sedang lainnya
membaca surah alBaqarah saja, sementara waktu (yang mereka
gunakan), lamanya ruku', sujud dan dan duduk diantara dua sujud,
adalah satu serta sama? Maka, Mujahid menjawab bahwa yang membaca
surah alBaqarah saja, itu lebih utama.
Dilarang keras berlebihan dalam kecepatan (membaca alQur'an), yang
disebut dengan istilah alhadzramah. Ada sebuah riwayat bersumber
dari 'Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu bahwa ada seseorang
berkata kepada beliau, "Saya membaca surahsurah alMufashshal dalam
satu rakaat." Maka, beliau berkomentar begini begitu, "Itu adalah syair.
Sungguh banyak orang membaca alQur'an, namun alQur'an tidak
melewati tenggorokan mereka. Akan tetapi, jika (bacaan itu) jatuh ke
hati dan meresap ke dalamnya, itu pasti bermanfaat." (Riwayat al
Bukhari dan Muslim. Lafazh ini dari Muslim menurut salah satu riwayat
yang dikemukakannya).
Para ulama' menyatakan, bahwa tartil dianjurkan untuk proses tadabbur
atau tujuan lainnya. Mereka juga mengatakan bahwa tartil dianjurkan
terutama bagi orangorang nonArab ('ajam), yang tidak memahami
maknanya, karena hal lebih mendekatkan kepada sikap pengagungan
serta penghormatan terhadap alQur'an, serta lebih kuat pengaruhnya
ke hati.
Oleh karenanya, dalam alMuzzammil, tartil adalah membaca alQur'an
secara bersuara, perlahan dan dengan menerapkan hukumhukum
bacaan secara tepat. Secara khusus, aktifitas ini dilakukan dalam shalat
dan di malam hari, yakni qiyamullail. Dari sini, diharapkan lahir kesan
ke dalam jiwa, sebagaimana dijelaskan dalam rangkaian ayatayat al
Muzzammil itu sendiri.
Makna Tilawah
Makna awalnya adalah mengikuti (tabia) secara langsung dengan tanpa
pemisah, yang secara khusus berarti mengikuti kitabkitab Allah, baik
dengan cara qiraah (intelektual) atau menjalankan apa yang digariskan
di dalamnya (ittiba').
Dengan jelas kita melihat bahwa kata ini mengungkapkan aspek praktis
dari 'membaca', yakni sebuah tindakan yang terpadu, baik secara verbal,
intelektual maupun fisik dalam mengikuti serta mengamalkan isi
Kitabullah. Kata ini berbicara bahwa dalam membaca alQur'an tidak
boleh sekedar secara intelektual atau lisan. Harus ada tindak lanjutnya
yang nyata. Terjemah Inggris untuk tilawah adalah "to follow"
(mengikuti), atau menurut Khurram Murad dalam buku Generasi Qur'ani
hal. 1011:
tilawah pada dasarnya berarti "bergerak maju", mengikuti urutan,
pergi mengejar, mengambil sebagai pembimbing, pemimpin, model,
menerima wewenang, mendukung penyebabnya, bertindak,
mempraktekkan jalan hidup, memahami, mengikuti latihan berpikir
atau mengikuti membaca, memahami dan mengikuti (petunjuk) al
160
Quran adalah tugas mereka yang mengaku beriman pada kitab suci
ini.
Dengan demikian, tilawah merupakan upaya intensif untuk mengikatkan
diri kepada firmanfirman Allah satu demi satu, selangkah demi
selangkah, hingga mencapai taraf tertentu yang dipersyaratkan untuk
siap memasuki tingkatan selanjutnya.
Hal ini sejalan dengan pengamatan Dr. Quraish Shihab (Tafsir alQur'an
alKarim, hal. 79), bahwa obyek baca kata tilawah dalam alQur'an
adalah teks suci dan pasti benar. Tentu saja harus demikian, sebab
implikasi aktifitas tilawah adalah mengikuti dan menerapkan jalan hidup
(way of life) yang digariskan di dalam teks yang dibaca. Jika saja al
Qur'an mengizinkan manusia untuk mengikuti dan menerapkan jalan
hidup dari selainnya, maka obyek kata tilawah dalam alQur'an akan
beraneka ragam. Ternyata tidak demikian. Faktanya, justru kata qira'ah
saja yang dalam alQur'an dipakai untuk obyek baca beragam,
adakalanya yang berasal dari Allah, ada juga yang dari selainNya,
sebagaiman sudah dibahas di muka.
Kami berkesimpulan, bahwa proses intelektual (qira'ah) bisa berlangsung
dengan mempergunakan banyak sumber, baik yang berasal dari Allah
maupun selainNya. Namun, untuk tartil dan tilawah tidak demikian.
Hanya alQur'an yang layak mendapat perlakuan itu.
Membaca alQur'an
Sederhananya, kita tetap bisa menerjemahkan ketiga kosakata diatas
dengan "membaca", sebagaimana yang biasa digunakan dalam bahasa
Arab. Akan tetapi, dalam praktek tarbiyah, harus ada penekanan dan
fokus yang jelas. Tujuannya, agar kita tidak terjebak pada salah satu
aspek membaca dan merasa cukup. Kesulitan dalam berinteraksi dengan
alQur'an berawal dari tidak lengkapnya thariqah. Boleh jadi, sebagian
orang telah berulangulang menyelesaikan tartil, namun ia melupakan
qira'ah dan tilawah. Atau hanya mengintensifkan qira'ah, tanpa disertai
tilawah dan tartil. Pun, bisa jadi ada yang telah menjalankan tilawah,
namun tidak ditemukan aktifitas qira'ah dan tartil dalam kesehariannya.
Masingmasing dari ketiga thariqah membaca diatas memiliki fungsi
khas. Fungsifungsi tersebut harus diseimbangkan sedemikian rupa agar
atsar ayatayat Allah betulbetul nyata dalam karakter iman kita.
Dengan kata lain, dalam berinteraksi dengan alQuran, kita harus
melibatkan tiga hal sekaligus.
Pertama, adanya proses qiraah, berupa pemahaman mendalam, studi
intensif, analisa, perenungan, dst. Termasuk dalam cakupan ini adalah
hafalan (tahfizh). Aktifitas qira'ah merupakan upaya untuk merawat
iman dari sisi intelektual, yakni dengan berdasar ilmu yang benar.
Hujjatul Islam Abu Hamid alGhazali menulis kitab alArba'in fi
Ushuliddin, yang dari struktur pembahasannya terungkap bahwa
161
landasan semua perkara dalam Islam (ushuluddin) adalah ilmu, dimana
secara sepesifik dirinci sebagai prinsipprinsip akidah Islam.
71
Kedua, sekaligus ada upaya tilawah, yakni aktifitas riil untuk mengikuti
isinya, mengamalkan, menerapkan, mengikuti tahapan, mematuhi
ramburambu, memenuhi haknya sebagai Kitab Suci, menjadikan al
Qur'an sebagai "imam yang diikuti", dst. Aktifitas ini merupakan usaha
merawat iman dengan terusmenerus menambah ketaatan, menjauhi
kemaksiatan, menjaga adab dan akhlaq baik lahir maupun batin. Iman
adalah amal, dan setiap amal pasti memiliki pengaruh kepada keimanan
seseorang. Jika baik, maka baiklah pengaruhnya. Demikian pula
sebaliknya. Ada cukup banyak hadits shahih tentang masalah ini. Dalam
jangakauan yang luas dan rinci, Anda dapat temukan spirit tersebut
dalam dua kitab karya Imam anNawawi, yaitu Riyadhus Shalihin dan al
Adzkar anNawawiyyah.
Ketiga, di sepanjang waktu ini, seseorang tidak boleh lepas dari amaliah
lisan, yakni tartil, berupa bacaanbacaan yang teratur, menerapkan
hukumhukum tajwid, khusyu, tidak bosan, tidak pula berlebihan, dst.
Aktifitas ini bertujuan untuk tetap merawat kedekatan serta keakraban
spiritual kita dengan Allah. Ada haditshadits yang menyatakan bahwa
alQur'an adalah tali Allah yang menghubungkan Dia dengan hambaNya.
Dengan membaca alQur'an, seolah kita sendiri yang diajak berbicara
olehNya. Masalah ini sudah cukup luas dirinci dalam bukubuku ulumul
Qur'an maupun kitab hadits, utamanya babbab yang berkaitan dengan
fadha'il alQur'an. Imam anNawawi punya satu karya yang khusus
membahas etika berinteraksi dengan alQur'an, atTibyaan fi Adabi
Hamalati alQur'an. Silakan merujuknya kesana.[]
Wallahu alam.
71
Lihat: Arba'in AlGhazali, hal. 3 dan seterusnya. Beliau mengawali kitabnya
dengan menyebutkan bahwa dasar ilmu yang pertama adalah ilmu (mengetahui)
Dzat Allah, yang dilanjutkan dengan prinsipprinsip mendasar dalam memahami
asma', shifat maupun af'al Allah lainnya, kemudian ilmu tentang Hari Akhir dan
ilmu tentang Kenabian.
162
BAB III
MANHAJ TARBAWI
Ramburambu Kajian
AlQur'an adalah kitab berbahasa Arab. Ketika ia pertamakali diturunkan
di tengahtengah umat yang berbahasa Arab, maka wajar bagi mereka
untuk mampu memahaminya secara langsung. Sebab, kitab itu
diungkapkan dalam bahasa mereka sendiri. Namun, juga merupakan
fakta bahwa tingkat kekuatan pemahaman mereka tidaklah sama. Di
kalangan mereka ada para ulama' yang mampu memahaminya dengan
sangat mendalam, seperti Abu Bakar, 'Umar bin Khaththab, 'Ali bin Abi
Thalib, 'Abdullah bin Mas'ud, Ubay bin Ka'ab, atau 'Abdullah bin 'Abbas.
Boleh dikata, manusia silakan bertanya apa saja kepada mereka tentang
alQur'an dan mereka akan menjawabnya dengan memuaskan.
Namun, ada juga orangorang biasa yang berpikiran sangat bersahaja,
seperti kisah seorang Sahabat yang mengikat dua utas tali putih dan
hitam di kakinya pada malam hari bulan Ramadhan. Ketika itu turun
ayat alBaqarah surah 187, "Makan dan minumlah sampai tampak jelas
benang hitam dari benang putih". Dengan sangat sederhana, ia terus
(membolehkan dirinya) makanminum selama belum bisa membedakan
warna hitam dan putih kedua tali itu, karena malam yang begitu gelap.
Ketika ia bercerita tentang hal ini kepada Rasulullah SAW, beliau
tertawa dan menegurnya, "Duh, Anda ini memang bertengkuk lebar.
Yang dimaksud ayat itu adalah hitamnya malam dan putihnya siang."
Turunlah kelanjutan ayat tersebut, "yakni fajar."
Maksudnya, mustahil bagi bangsa Arab saat itu tidak faham ungkapan al
Qur'an ketika mendengarnya. Namun, akibat keterbatasan ilmu, mereka
tetap bisa salah paham juga. Disinilah diperlukan otoritas ulama',
disamping keterbukaan untuk mencari yang benar dengan meminta
fatwa. Sahabat diatas tidak salah ketika berusaha memahami ayat dan
mengamalkan pemahamannya. Namun, ia menyadari kekurangannya
sehingga mendatangi Rasulullah dan meminta klarifikasi atas kesimpulan
pribadinya tersebut. Maka, ia pun selamat dan mendapat petunjuk yang
benar.
Di setiap zaman, dari segala bangsa dan latar belakang, setiap muslim
tidak dilarang untuk berusaha memahami makna ayatayat alQur'an
secara pribadi dan langsung. Bahkan, ini merupakan kewajiban asasi bagi
mereka. Jelasnya, akan ada pemahaman tertentu yang diberikan oleh
Allah, kepada setiap pengkaji alQur'an. Hanya saja, untuk mendapat
pemahaman yang benar dan lurus, apalagi jika ingin menyebarkannya
kepada orang lain, sudah selayaknya mereka "mengenali" dirinya sendiri.
Jika belum mencukupi secara ilmu, silakan merujuk kepada para ulama'
yang otoritatif. Seorang muslim wajib menuntut ilmu sepanjang hayat.
Haram bersandar kepada kemalasan dan berbangga sebagai orang awam
dalam masalah agamanya sendiri. Jika memang merasa awam, sebaiknya
konsekuen. Diamlah dan cari ilmu. Itu lebih selamat.
163
Betapa banyak orang malas yang berlindung di balik kedok, "Agar ilmu
tidak jumud (beku), maka tidak boleh ada pembatasan dalam penafsiran
atau penetapan syaratsyarat mufassir." Atau, mereka berargumen, "Ini
hasil renungan dan pencarian spiritual. Allah telah menganugerahkannya
kepada setiap orang yang bersungguhsungguh mengkaji kitabNya."
Sikap ini adalah kesombongan tersembunyi yang menjangkiti banyak
tokoh, yang sesungguhnya kekurangan ilmu namun tidak kekurangan
pendengar dan murid. Ketika mereka harus berbicara dan berfatwa, tak
pelak mereka lebih mempercayai dirinya sendiri dan enggan menambah
ilmunya. Dalam sejarah, kesesatan para pengukit jalan Sufi generasi
belakangan adalah karena kebodohan dan meninggikan derajat dirinya
sendiri, melebihi keadaan yang sesungguhnya. Al'Allamah Ibnul Jauzi
mengkhususkan puluhan halaman di dalam kitab Talbis Iblis untuk
mengupas akarakar kesesatan kelompok ini. Silakan merujuknya.
Pengajian Berkelompok
Sebaiknya dilakukan pengkajian berkelompok, karena lebih menjamin
adanya kontrol satu sama lain, memperluas cakrawala, dan dengan
demikian dapat diambil sebuah kesimpulan yang disepakati untuk
diusahakan sebagai amaliah bersama. Tidak dianjurkan mengkaji secara
individual, kecuali jika telah memenuhi prasyarat intelektual dan
spiritual yang memadai. Ingat, kajian ini adalah pendalaman alQuran,
bukan sebuah diskusi biasa. Luruskanlah niat, dan awali dengan doa
permohonan kepada Allah agar memberi kita ilham pemahaman yang
benar. Jangan mengkaji demi alasan intelektual sematamata.
Usahakan setiap anggota kajian telah mendapatkan kurikulum yang jelas
tentang arah kajian yang diselenggarakan, dimana ia dapat memikirkan
dan mendalaminya secara mandiri di selasela kesibukan pribadinya.
Pertemuan kelompok ditujukan sebagai ajang pematangan dan kontrol
terhadap penyimpangan yang mungkin timbul. Oleh karenanya, harus
ada seorang pemimpin kajian yang mempunyai pemahaman dan ilmu
lebih baik.
Dalam pengkajian kelompok, setiap orang harus memegang minimal satu
mushaf alQuran standar, disertai terjemahannya dalam bahasa
Indonesia. Ini prasyarat mutlak. Akan lebih baik jika ada penafsiran
singkat, atau penjelasan lain dari hadits dan asbabun nuzul. Jauh lebih
baik jika diketengahkan juga kitab tafsir yang mutabar, seperti Tafsir
Ibnu Katsir atau Tafsir athThabari. Perspektif yang lengkap dapat
diperoleh dengan tambahan dari kitab asbabun nuzul atau terjemahan
dalam bahasa lain, misalnya Inggris. Khusus terjemahan, akan lebih baik
jika kelompok kajian tersebut memiliki lebih dari satu versi.
Bila memungkinkan, silakan mengkaji dengan bantuan maknamakna asli
dari setiap kata kunci. Pembahasan ini memang tidak selalu menarik,
sangat teoritik, berat, sehingga sebaiknya hanya sesekali saja
dilakukan. Untuk mengatasi kejenuhan, tugaskan salah satu anggota
yang kompeten untuk mencari makna asli ini, dan menyampaikan
hasilnya pada pertemuan rutin. Untuk mencapainya, dapat dirujuk kitab
164
kamus standar Arab ke Arab, seperti alMujam Mufahras li Alfazhil
Quran karya arRaghib alAsfahani; alMunjid fil Alam wal Lughah
karya Louis Maluf; atau Lisanul Arab karya Ibnu Manzhur.
Hindarkan pembicaraan yang menyentuh ikhtilaf dan menguraikannya
panjang lebar, karena bisa menyeret anggota kepada masalah yang tidak
penting lalu melupakan pokok persoalan sebenarnya. Maka, masalah
yang berkenaan dengan fiqh atau halhal ghaib, sebaiknya dibicarakan
sekedarnya. Jika ada ayat yang mutasyabihat, jangan dipertanykan
karena tidak akan memberi manfaat yang berarti. Serahkan kepada Allah
maknanya. Pembahasan yang luas tentang fiqh dapat dilakukan dalam
majelis kajian lain yang memang sejak awal dirancang untuk tujuan itu.
Makna yang paling dapat dipegang dalam alQuran adalah yang paling
dekat dengan pemahaman langsung, berdasarkan konteks yang ada,
bukan penafsiran yang jauh dengan mengandalkan maknamakna
simbolik. AlQuran telah dimudahkan Allah agar dapat dipahami dengan
akal yang bersahaja, bukan dengan struktur logika yang rumit seperti
dalam filsafat. Bahasa alQuran adalah bahasa percakapan, yakni teks
yang berbicara secara langsung dengan pembacanya. Biarkan alQuran
mengungkapkan dirinya, bukan kita yang mendiktenya dengan akal dan
logika kita.
Namun, bagaimanapun juga, apa yang digambarkan dalam tulisan ini
adalah alternatif, bukan satusatunya metode. Setiap kelompok dapat
mengembangkan sendiri metode yang paling sesuai dengan kebutuhan
maupun kondisinya. Jika tidak memungkinkan untuk memakai tafsir,
hadits, atau kamus bahasa, maka minimal harus ada terjemahan literal
yang dipegang oleh setiap anggota.
Marhalah Materi
Materi pokok kajian kita adalah ayatayat alQuran, dengan materi
penyerta berupa tartibnuzuli dan marhalah wahyu. Dua istilah terakhir
ini adalah metodologi, bukan pembatasan makna ayat dan surah. Setiap
pemahaman terhadap alQuran tergantung kepada kondisi riil
pengkajinya. Metodologi hanyalah alat bantu yang menjamin terjaganya
alur berpikir serta memudahkan komunikasi antar pribadi bahkan antar
generasi karena adanya bahasa pikiran yang terstruktur secara
konsisten.
Sebenarnya, pelevelan dalam materi tidak otomatis identik dengan
tingkat kekaderan, namun lebih berkait dengan pengorganisasian materi
dalam sebuah kurikulum yang mudah dimengerti dan dibahas.
Di bawah ini kami kemukakan 3 marhalah wahyu Makkiyah, sekaligus 3
marhalah wahyu Madaniyah, yang dapat dijadikan sebagai pedoman
pengkajian. Jika sebuah kelompok kajian ingin menjadikan marhalah ini
sekaligus sebagai pembatasan untuk level pengkaderan, hal itu tidak ada
salahnya.
165
a) Marhalah Makkiyah Ula
(1) AlAlaq, (2) AlMuddatsir, (3) AlMuzzammil, (4) alFatihah, (5)
AlMasad, (6) AlQalam, (7) AtTakwir, (8) AlAla, (9) AlLail, (10)
AlFajr, (11) AdhDhuha, (12) Alam nasyrah, (13) AlAshr, (14) Al
Adiyat, (15) AlKautsar, (16) AtTakatsur, (17) AlMaun, (18) Al
Kafirun, (19) AlFiil, (20) AlFalaq, (21) AnNaas, (22) AlIkhlash, (23)
AnNajm.
b) Marhalah Makkiyah Wasath
(24) Abasa, (25) AlQadr, (26) AsySyams, (27) AlBuruj, (28) AtTiin,
(29) Quraisy, (30) AlQariah, (31) AlQiyamah, (32) AlHumazah, (33)
AlMurasalat, (34) Qaaf, (35) AlBalad, (36) AthThariq, (37) Al
Qamar, (38) Shaad, (39) AlAraf, (40) AlJinn, (41) Yaasin, (42) Al
Furqan, (43) Fathir, (44) Maryam, (45) Thaha, (46) AlWaqiah, (47)
AsySyuara, (48) AnNaml, (49) AlQashash, (50) AlIsra, (51)
Yunus, (52) Huud, (53) Yusuf, (54) AlHijr.
c) Marhalah Makkiyah Intiha
(55) AlAnam, (56) AshShaffat, (57) Luqman, (58) Saba, (59) Az
Zumar, (60) Ghafir (alMumin), (61) Fushshilat, (62) AsySyuura, (63)
AzZukhruf, (64) AdDukhan, (65) AlJatsiyah, (66) AlAhqaf, (67)
AdzDzariyat, (68) AlGhasyiyah, (69) AlKahfi, (70) AnNahl, (71)
Nuuh, (72) Ibrahim, (73) AlAnbiya, (74) AlMuminun, (75) As
Sajdah, (76) AthThuur, (77) AlMulk, (78) AlHaaqqah, (79) Al
Maarij, (80) AnNaba, (81) AnNaziat, (82) AlInfithar, (83) Al
Insyiqaq, (84) ArRuum, (85) AlAnkabut, (86) AlMuthaffifin.
d) Marhalah Madaniyah Ula
(87) AlBaqarah, (88) AlAnfal, (89) Ali 'Imran, (90) AlAhzab, (91) Al
Mumtahinah, (92) AnNisa', (93) AzZalzalah, (94) AlHadid.
e) Marhalah Madaniyah Wasath
(95) Muhammad, (96) ArRa'du, (97) ArRahman, (98) AlInsan, (99)
AthThalaq, (100) AlBayyinah, (101) AlHasyr, (102) AnNuur, (103)
AlHajj, (104) AlMunafiqun, (105) AlMujadilah, (106) AlHujurat.
f) Marhalah Madaniyah Intiha
(107) AtTahrim, (108) AtTaghabun, (109) AshShaff, (110) Al
Jumu'ah, (111) AlFath, (112) AlMaidah, (113) AtTaubah, (114) An
Nashr.
Tema Surah dalam Marhalah
Mungkin saja dapat dicoba melakukan pembatasan ketat dalam ayat
ayat. Namun, riwayat yang dikumpulkan harus sangat luas dan
menyulitkan. Kepentingan kita tidak akan segera terlaksana jika
menunggu selesainya proyek ambisius ini. Di sisi lain, ini sangat tidak
praktis, dan secara jelas tidak pernah diperintahkan Rasulullah maupun
dicontohkan generesi terdahulu. Kita sudah memperbincangkan masalah
ini panjang lebar dalam Bagian III. Pilihan yang paling aman dan adil,
166
mengingat wahyu yang sudah turun lengkap di masa kita sekarang,
adalah membahas secara utuh sebuah surah.
Namun, jika memang dapat ditemukan riwayat yang jelas (sharih) dan
benar (shahih) tentang suatu ayat, maka ia dapat dipegangi.
Perkecualian pembahasan terhadap ayat dalam suatu surah harus
berlandaskan kepada riwayat, bukan pilihan asalasalan. Jika ada ayat
yang jelasjelas disebut oleh riwayat sebagai Madaniyah padahal surah
tersebut dipastikan Makkiyah, maka sebaiknya kita meletakkan ayat
tersebut dalam konteksnya. Memang ia tetap dibahas dan dikaji, sebagai
bagian integral dari sebuah surah. Sebab, selalu ada hikmah disini.
Namun, penjelasan maupun kesimpulan yang ditarik darinya harus
memperhatikan konteks asli, walau dalam hal penerapan hukum dapat
saja bersifat berkelanjutan dan universal.
Untuk memperoleh pemahaman yang terstruktur, setiap surah dalam
suatu marhalah harus dibagi secara tematis (maudhui). Jalan yang
cukup mudah dan dapat diterima adalah mengikuti tematema yang
dicantukan dalam terjemahan alQuran. Oleh karena itulah, mempunyai
sebuah mushaf alQuran disertai terjemahan adalah prasyarat mutlak.
Biasanya, sebelum terjemahan setiap surah selalu disertai dengan
Muqaddimah yang menjelaskan pokokpokok isinya, asal penamaannya,
jumlah ayat, posisinya dalam tartib nuzuli, juga klasifikasinya sebagai
Makkiyah atau Madaniyah. Sebelum mengkaji suatu surah, adalah bijak
untuk membacakan bagian ini sebagai pendasaran global, sebelum
akhirnya memasuki tahap perincian ayat demi ayat. Jika telah selesai
dan ingin berpindah kepada surah selanjutnya, baca juga bagian Penutup
dalam terjemahannya. Ada halhal bermanfaat yang dapat dipetik dari
sini. Jika dapat ditemukan wajhul munasabah (aspek persesuaian)
antara suatu surah dengan surah berikutnya menurut tartib nuzuli, akan
lebih baik. Acuan untuk masalah ini bisa didapat dari tafsir yang secara
khusus membahasnya atau sirah nabawiyah. Pada Pentutup terjemahan
setiap surah memang ada pembahasan ringkas tentang hal ini, namun
dari sisi tartib mushafi (tataurutan surah menurut mushaf alQuran),
bukan tartib nuzuli.
Bagi pengkaji yang lebih mahir serta menguasai bahasa Arab, pemilahan
tematis dapat dicari dengan melihat bagaimana cara para mufassirin
mengelompokkan ayatayat sebelum menafsirkannya.
Perhatian. Tentu saja, tematema tersebut masih sangat umum, dan
terkadang tidak bisa mencakup seluruh pesan penting yang ada.
Bagaimanapun, alQuran mengandung pesan yang padat bahkan dalam
setiap huruf dan kata yang menyusunnya, yang tidak mudah diglobalkan
begitu saja. Perluasan dan pendalaman sangat tergantung kepada
kemampuan maupun referensi pendukung yang dimiliki para pengkaji
sendiri. Dianjurkan untuk memulai penelaahan langsung kepada teks
teks alQuran, ayat demi ayat, dengan pendampingan pembimbing dan
tafsir mutabar. Jangan membatasi diri dengan topik yang ada dalam
edisi terjemahan tersebut, tapi jangan pula bereksplorasi melebihi
kemampuan.
167
Maksudnya, jika Anda tidak menguasai bahasa Arab, jangan mencoba
membicarakan segi ini. Jika Anda tidak memahami fiqih dan kaidah
kaidah pengambilan hukum, jangan membebankan diri untuk berijtihad.
Jika Anda tidak mengerti Sirah dan tarikh alQuran, maka jangan
berfatwa tanpa ilmu. Bila Anda melanggar ramburambu ini, maka yang
muncul adalah bidah dan rayu (rasio) semata. Naudzu billah.
Bagaimana Memulai Kajian?
Ada dua pendekatan yang dapat dipergunakan, yakni model kajian surah
dan model kajian tematis. Mana pun yang dipilih, tergantung tingkat
kebutuhan dan bekal diri yang ada.
Model Kajian Surah. Disini, Anda akan mengkaji suatu surah secara
utuh, lalu melanjutkan dengan surah berikutnya menurut tartibnuzuli,
demikian seterusnya sampai selesai. Dalam setiap pembahasan,
sebaiknya dicatat tematema penting yang muncul, sebagai pengingat
bahwa tema tersebut pasti mendapatkan penjelasan lebih lanjut pada
surah berikutnya. Misalnya, dalam surah alAlaq dijelaskan tentang
shifat wa afal Rabb yang haqq, yaitu (1) alladzi khalaq, (2) alakram,
(3) allama bil qalam, (4) allamal insana ma lam yalam. Surah ini
bukan satusatunya yang menyinggung masalah tersebut. Pastikan
penjelasan yang lebih luas ditemukan dalam wahyuwahyu selanjutnya.
Misalnya, dalam surah alFatihah, ada rabbul alamin. Dalam alAla ada
(1) rabbikal ala, (2) alladzi khalaqa fa sawwa, (3) walladzi qaddara fa
hadaa, (4) walladzi akhrajal maraa, (5) fa jaalahu ghutsaan ahwaa,
(6) yalamul jahra wa ma yakhfa.
Contoh lain, dalam alAlaq dibicarakan penyebab penolakan manusia
kepada kebenaran, yakni an raahustaghna. Ini adalah tipologi para
musuh dakwah, di mana pun, sejak dulu sampai hari kiamat. Jelas, Anda
akan menemukan karakter para musuh Allah dijelaskan secara lebih
nyata dalam wahyuwahyu berikutnya, apalagi yang turun dalam periode
dakwah terbuka.
Di tengah pengkajian ini, Anda akan menemukan tematema baru yang
belum disinggung dalam wahyuwahyu sebelumnya. Misalnya, tentang
hari kiamat dan kedahsyatannya yang ditampilkan buat pertamakali
dalam surah atTakwir. Tema ini akan dijelaskan secara lebih lengkap
dalam wahyuwahyu setelahnya, termasuk apa saja yang ada disana
seperti surga, neraka, perhitungan amal, dsb. Atau, tema tentang
kemewahan hidup yang membawa manusia untuk melalaikan akhirat,
yang baru disinggung untuk pertamakalinya dalam surah atTakatsur.
Atau, surah adhDhuha yang mulai membicarakan situasi sosial di sekitar
kita, seperti anakanak yatim dan para pemintaminta. Tema ini akan
dipertegas lagi dalam alMaun. Atau, tema kesatuan pokokpokok
akidah diantara agamaagama samawi, yang disinggung dalam
penghujung surah alAla.
Model Kajian Tematis. Anda hanya perlu mengubah pola pertama diatas
dengan menelusuri tematema dalam setiap surah. Diperlukan studi yang
teliti untuk ini. Secara praktis, jelas penerapannya lebih sukar, karena
168
Anda harus lebih dulu mempunyai kurikulum yang baik, dan kemudian
harus meloncatloncat dari satu surah ke surah lainnya dalam rentang
yang tidak selalu berdekatan.
Bagi para pengkaji yang mahir dan tekun, pilihan ini dapat menghasilkan
satu buku tersendiri untuk satu tema saja. Misalnya, Anda ingin
menelusuri bagaimana alQuran memperkenalkan kembali Rabb yang
haqq kepada bangsa Arab yang sudah tidak mengenali lagi siapa
Tuhannya, lalu menerapkannya dalam tarbiyah di zaman sekarang.
Tahaptahap yang dipakai alQuran dengan menyebutkan shifat, afal,
dan asma Rabb yang dimaksudkannya membuat kita tidak menemukan
celah bahwa memang Allah lah yang dimaksud oleh alQuran sebagai
Rabb yang haqq, Ilah yang haqq. Tapi, bagaimana tahaptahap itu
dilalaui satu persatu? Dari titik mana alQuran memulai, dan sampai
tahap mana kemudian ia merasa cukup? Apa media yang dipergunakan
dalam menjelaskan semua itu? Anda harus menjawabnya sendiri dengan
studi yang cermat dan tekun.
Contoh lain, ketika alQuran hendak menanamkan keyakinan tentang
hal ghaib kepada bangsa Arab yang buta huruf tersebut. Misalnya,
tentang hakikat malaikat, surga, neraka, hari kiamat, dsb. Tidak ada
referensi yang dapat dipergunakan dari panca indera untuk
menggambarkan sesuatu yang memang tidak bisa dilihat dengan mata.
Namun, bukankah fakta dalam Sirah menunjukkan keyakinan para
Sahabat yang demikian kukuh tentang segala hal ghaib, tanpa
penyelewengan dan kesesatan di dalamnya? Bagaimana alQuran
mengenalkan sesuatu yang tidak ada disini, namun berada di balik tabir
kegaiban, dimana hanya Allah saja yang tahu? Cara apa yang
dipergunakannya? Anda harus menjawabnya sendiri dengan
memperhatikan ayatayat yang membicarakannya.
Menurut hemat kami, bagi pembaca awam, sebaiknya memakai model
pertama. Tidak diperlukan energi berlebih, dan manfaatnya segera
terasa. Model kedua hanya cocok bagi sebuah studi intensif yang
ditujukan untuk merancang materi tarbiyah yang secara spesifik
membahas tema tertentu.[]
Wallahu alam.
169
PENUTUP
Sebuah manhaj, sebaik apapun, tidaklah memiliki daya kekuatan apa
apa, jika tidak digerakkan oleh jiwajiwa yang sepenuhnya yakin dan
percaya. Dan, kadangkala kepercayaan yang kuat sudah mencukupi
untuk membangkitkan kemenangankemenangan besar.
Namun, jika sebuah manhaj tidak memiliki nilai kebenaran intrinsik
dalam dirinya, cepat atau lambat ia akan runtuh. Ia akan dikalahkan dan
tidak lagi dibela. Jika pun masih ada yang berada di belakangnya, maka
hanya demi ashabiyah dan hawa nafsu. Ikatan seperti ini akan
melonggar satu demi satu, sebelum akhirnya pecah berantakan, tak
terselamatkan lagi. Kehancuran ini sudah pasti dapat diramalkan. Sebab,
segala yang diyakini sebatas taqlid dan warisan para leluhur, tanpa asas
yang bersumber dari Allah yang Mahakekal dan tidak pernah berubah,
pada akhirnya harus berhadapan dengan usianya sendiri yang menua
serta lapuk.
Segala uraian dalam buku ini bisa jadi hanya akan menjadi bahan
diskusi, atau sekadar pajangan ilmiah yang mentereng, tanpa manfaat
lebih jauh. Apalah daya setumpuk kertas dan sekian baris huruf? Namun
bisa juga menjadi sebaliknya; penuh inspirasi dan membawa perubahan
perubahan besar. Hanya jiwa para pembacanya yang dapat mentransfer
semua ini ke alam nyata. Meneriakkannya, membangunnya, mengutip
darinya kekuatan, dan berjaya, dengan izin Allah.
Kekuatan para Nabi dan pengikutnya terletak pada perjuangan mereka
yang sungguhsungguh. Dan, kelemahan umat mereka pun terletak pada
jalan sebaliknya. Ingatlah pesan Allah dalam surah Maryam, ayat 5861:
Mereka itulah orangorang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu
para Nabi dari keturunan Adam, dan dari orangorang yang kami angkat
bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang
orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila
dibacakan ayatayat Allah yang Mahapemurah kepada mereka, maka
mereka tersungkur bersujud dan menangis. Lalu, datanglah sesudah
mereka, generasi pengganti (yang buruk) yang menyianyiakan shalat
dan mempertuhankan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan
menemui kesesatan. Kecuali orangorang yang bertaubat, beriman dan
beramal shalih, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak dizhalimi
sedikit pun. Yaitu, surga Adn yang telah dijanjikan oleh Tuhan yang
Maha Pemurah kepda hambahambaNya, sekalipun (surga itu) tidak
nampak. Sesungguhnya janji Allah itu pasti akan ditepati.
Dalam surah alAraf ayat 169171, Allah mencela Bani Israil yang
meninggalkan Taurat, sesudah mereka berjanji dengan sungguhsungguh
untuk mengamalkan dan menjaganya. Para pendahulu mereka mampu
memikul beban itu dan menegakkan tanggung jawab atasnya, namun
anakanak mereka tidak lagi.
Maka datanglah sesudah mereka generasi pengganti (yang jahat) yang
mewarisi Taurat, yang mengambil harta benda dunia yang rendah ini,
dan berkata: Kami akan diberi ampun. Dan kelak jika datang kepada
mereka harta benda dunia sebanyak itu (pula), niscaya mereka akan
170
mengambilnya (juga). Bukankah perjanjian Taurat sudah diambil dari
mereka, yaitu bahwa mereka tidak akan mengatakan terhadap Allah
kecuali yang haqq, padahal mereka telah mempelajari apa yang
tersebut di dalamnya? Dan negeri akhirat itu lebih baik bagi mereka
yang bertaqwa. Maka, apakah kamu tidak mengerti? Dan orangorang
yang berpegang teguh kepada alKitab (Taurat) serta mendirikan
shalat, (akan diberi pahala) karena sesungguhnya Kami takkan menyia
nyiakan pahala orangorang yang mengadakan perbaikan. Dan
(ingatlah), tatkala Kami mengangkat bukit ke atas mereka sekanakan
bukit itu naungan awan dan mereka yakin bahwa bukit itu akan jatuh
menimpa mereka. (Dan Kami katakan kepada mereka): Peganglah
dengan teguh apa yang telah Kami berikan kepadamu, serta ingatlah
(amalkanlah) selalu apa yang tersebut di dalamnya, supaya kamu
menjadi orangorang yang bertaqwa.
Sebagai penguat dan penambah spirit, kami sarankan Anda menelaah
serial Kajian Utama majalah Suara Hidayatullah tahuntahun awal.
Tulisantulisan tersebut secara jelas melukiskan penafsiran yang lebih
kontekstual terhadap manhaj Sistematika Nuzulnya Wahyu. Secara
pribadi, kami memang belum membaca keseluruhannya, namun sudah
menyelesaikan penelaahan artikel utama beberapa edisi tersebut.
Sebagai kader Hidayatullah, penelaahan naskahnaskah tersebut sangat
penting, mengingat itulah satusatunya warisan tertulis Allahuyarham
Ustadz Abdullah Said yang secara nyata masih terpelihara dengan baik
hingga saat ini. Bagi para pemula, tentu akan memudahkan mereka
mengenal spirit Lembaga ini, sekaligus mengenal tokoh pencetusnya.
Akhirnya, semoga Allah membimbing, melindungi dan menolong kita
semua. Tiada daya dan kekuatan kecuali atas izinNya jua. Shalawat
serta salam bagi junjungan mulia, Muhammad Rasulillah, ahli bait
beliau, ummahatul mu'minin, dan para Sahabat.[]
Wallahu alam bishshawab.

You might also like