You are on page 1of 17

Virus Kapitalisme dalam Keberagamaan

Adam, seorang guru sekolah menengah pertama, yang berwajah lugu, santun, dan sederhana, membawa sepeda
onthel diiringi murid-muridnya yang berjilbab ke tengah panggung "mencari jodoh" Take Me Out, yang disiarkan
Indosiar, di malam awal Ramadan. Murid-muridnya bersaksi, Pak Adam adalah seorang guru yang baik, ikhlas, dan
penuh perhatian kepada murid-muridnya.

Tapi apa yang terjadi? Semua wanita cantik yang ada di panggung tak ada satu pun yang memilihnya. Semua lampu
mati. Pedih rasanya hati ini. Kita semua, sebagai orang yang dibesarkan dan dididik oleh guru, rasanya terenyuh
melihat kejadian itu. Betapa tak berharganya profesi guru di mata para wanita cantik tersebut.

Di malam harinya, sebuah ulasan berita yang lebih memilukan umat Islam ditayangkan televisi: bungkusan heroin
seberat 60 gram seharga Rp 600 juta diselipkan dalam paket berisi Al-Quran. Betapa hebatnya taktik para
penyelundup narkoba dalam melakukan aksinya. Tega-teganya barang haram dan menjijikkan itu diselipkan dalam
Al-Quran, kitab suci yang amat dihargai umat Islam, untuk mengecoh para petugas Bea-Cukai di Bandar Udara
Soekarno-Hatta.

Dua kasus ini, secara koinsidensi, muncul menjelang dan awal bulan Ramadan. Apakah kasus ini datang secara
kebetulan? Albert Einstein menyatakan, tak ada sesuatu yang datang secara kebetulan di jagat raya. Sekecil apa
pun, tulis Einstein, setiap kejadian bukanlah muncul dari hasil permainan dadu. Meminjam istilah Al-Quran, dalam
setiap kejadian, niscaya ada ibarat, ada kritik, ada peringatan. Bahkan dalam penciptaan lalat pun Tuhan
berfirman, di sana ada "pelajaran" yang bisa diambil manusia (Al-Haj 73).

Jebakan kapitalisme

Dunia kapitalis yang menilai "kekuatan, kedigdayaan, kehormatan, dan kemuliaan" dari aspek materi ternyata telah
menyentuh semua aspek kehidupan manusia. Pengabdian, pengorbanan, keimanan, dan ketulusan yang menghiasi
kehidupan orang-orang suci di dunia telah tercampakkan di kehidupan modern yang kapitalistik. Seorang guru,
seperti Adam, yang hidup di desa untuk mengabdi kepada bangsa dan tanah airnya dengan mendidik anak-anak
manusia agar "berilmu, berakhlak, dan beriman", ternyata tak ada harganya di panggung jodoh Take Me Out.
Semua wanita cantik yang menginginkan jodoh tampaknya tak sudi mendampingi sang guru yang lugu itu. Apa
makna semua itu?

Penolakan wanita cantik terhadap Adam di Take Me Out mungkin adalah cermin kita semua; cermin manusia
modern yang telah terjebak dunia kapitalisme. Apalah arti pengabdian dan pengorbanan seorang guru jika apa
yang didapat dari hasil kerjanya bukanlah uang yang bisa menaikkan derajat fisik kehidupannya? Bandingkan,
misalnya, kalau sang pria yang lajang itu seorang direktur utama atau pemilik perusahaan. Semua wanita cantik itu
nyaris tak ada yang mematikan lampu. Semuanya memberikan peluang untuk pria tajir tersebut. Materi telah jadi
ukuran kesuksesan, kegemilangan masa depan, dan kebahagiaan. Semua kriteria lelaki yang baik menurut ajaran
agama--berakhlak mulia, saleh, dan berilmu--tersingkir oleh pilihan harta dan uang.

Idealisme tanpa uang, nonsense. Itulah moto hidup para pengikut kapitalisme. Dan Adam adalah orang yang masih
percaya kepada idealisme. Kepercayaannya yang masih tinggi terhadap idealisme itulah yang membuat Adam
masih tetap tersenyum setelah keluar dari panggung Take Me Out tanpa hasil. Adam tampaknya yakin bahwa
idealisme adalah kehormatan yang tetap harus didekapnya meski para epigon kapitalis tetap menolaknya.

Puasa adalah sebuah idealisme. Umat Islam melaksanakan puasa di bulan Ramadan untuk sebuah cita-cita yang
amat idealistis: menambah takwa dan rasa cinta terhadap sesamanya. Dengan puasa yang menimbulkan lapar dan
dahaga, setiap pribadi muslim diajarkan merasakan derita orang-orang lapar dan dahaga agar nanti bisa merasakan
kesengsaraan kaum miskin yang terpinggirkan. Begitulah cara Tuhan mendidik manusia agar tidak terjebak pada
hedonisme dan materialisme yang picik.

Tapi betulkah puasa kita benar-benar idealistis? Melihat kenaikan harga sandang-pangan menjelang dan di bulan
puasa, bisa kita duga, puasa justru membuat orang makin konsumtif. Kenaikan harga barang-barang itu niscaya
mengikuti hukum pasar, antara permintaan dan penawaran. Makin besar permintaannya, makin tinggi harganya.
Inilah indikasi bahwa, di bulan puasa, masyarakat Islam makin konsumtif, makin membutuhkan banyak sandang dan
pangan. Semua itu menunjukkan bahwa puasa kita telah gagal menerapkan idealisme Al-Quran.

Kasus yang nyaris sama terjadi ketika kita melihat penyelundupan heroin melalui paket kitab suci Al-Quran. Demi
sebuah "kemuliaan" uang--dari mana pun hasilnya--mereka tega menyelundupkan heroin yang diselipkan pada
paket Al-Quran. Mungkin kita sedih dan terenyuh, kenapa mereka tega menjadikan Al-Quran sebagai "media" untuk
mendapatkan uang dengan cara haram itu?

Namun, jika fakta kriminal penyelundupan heroin dengan mendompleng paket Al-Quran itu kita renungkan,
bukankah tidak sedikit umat Islam melakukan hal yang nyaris sama dengan modus yang berbeda? Bukan rahasia
lagi, sebagian dari kita, umat Islam, sering menjual ayat-ayat Al-Quran untuk kepentingan politik, kepentingan
jabatan, dan kepentingan pribadi. Sekian banyak partai politik yang "berjubah" Islam, misalnya, ternyata kader-
kadernya melakukan perbuatan nista, seperti korupsi dan manipulasi--yang bertentangan dengan Islam.

Ayat-ayat Al-Quran berkumandang di mana-mana--apalagi di bulan Ramadan. Namun, faktanya: kejahatan
mengatasnamakan perintah Al-Quran--seperti terorisme--terus menghantui bangsa Indonesia. Mana yang lebih
berbahaya, ideologi dan aktivitas terorisme yang mengacu pada Al-Quran dibandingkan dengan heroin dan narkoba
dalam paket Al-Quran?

Perjalanan Adam di Take Me Out dan heroin dalam Al-Quran di Indonesia tampaknya bukan sekadar fakta--tapi
juga simbol kekacauan paradigma pemikiran yang yang menjadikan materi adalah segala-galanya. Padahal Allah
melalui perintah puasa Ramadan menepis itu semua. Lantas mampukah umat Islam mengambil intisari puasa
Ramadan tersebut? Jawabannya ada di hati kita masing-masing.

M. Bambang Pranowo, Guru Besar Sosiologi Agama UIN, Jakarta
Terjajah Kemiskinan
Bangsa Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya pada 64 tahun yang lalu, namun sebagian rakyat Indonesia
belum benar-benar merdeka dari kemiskinan. Persentase penduduk miskin di Indonesia pada 2008 (15,42 persen)
menurun sekitar 2 persen dibanding persentase pada 1996 (17,47 persen). Jika dilihat dari jumlah absolut, jumlah
penduduk miskin meningkat dari 34,01 juta (1996) menjadi 34,96 juta (2008) (Badan Pusat Statistik, 2008).

Presiden sudah berganti empat kali sejak Soeharto lengser dan setiap pemerintahan mengaku sudah berusaha keras
mengentaskan masyarakat dari kemiskinan dengan mengalokasikan triliunan rupiah untuk membiayai berbagai
program kemiskinan, namun angka kemiskinan tidak menurun secara berarti. Selama kurun waktu 2006-2008,
pemerintah SBY telah mengalokasikan dana APBN sebesar Rp 142 triliun untuk pos bantuan sosial yang digunakan
untuk program-program pengentasan masyarakat miskin.

Ratusan triliun rupiah dan berbagai macam program seolah-olah tidak efektif mengentaskan masyarakat miskin.
Melihat kondisi ini, tentu ada sesuatu yang salah dari sisi kebijakan atau bahkan paradigma pengentasan
masyarakat miskin itu sendiri yang salah. Terdapat dua paradigma yang perlu diluruskan dalam pengentasan
masyarakat dari kemiskinan. Pertama, pemerintah selama ini memandang kemiskinan hanyalah angka-angka
statistik bisu yang harus diturunkan persentasenya dari tahun ke tahun sebagai salah satu indikator kesuksesan
dalam menjalankan roda pemerintahan. Konsekuensi dari paradigma ini, pemerintah berusaha keras menurunkan
angka kemiskinan secara instan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Hal ini dilakukan dengan jalan
mengimplementasikan kebijakan-kebijakan populis, seragam, dan mengabaikan kearifan lokal yang bertujuan
mengurangi angka kemiskinan sekaligus menarik simpati masyarakat. Kebijakan ini hanya akan menurunkan
kemiskinan secara semu, di mana ketika program-program pemerintah berhenti, kelompok miskin akan kembali
menjadi miskin.

Sudah seharusnya kemiskinan tidak hanya dipandang sebatas angka, melainkan sebagai entitas yang hidup dan
berkembang menurut dimensi ruang dan waktu. Kemiskinan yang bersifat hidup dan berkembang dalam dimensi
waktu mengharuskan pemerintah memutus lingkaran hidup/rantai kemiskinan. Sudah menjadi pengetahuan umum
bahwa orang kaya mati meninggalkan kekayaan dan pendidikan bagi anak-anaknya, sedangkan orang miskin mati
mewariskan kemiskinan dan kebodohan bagi anak-anaknya.

Keluarga miskin tidak mampu memberikan asupan gizi dan fasilitas pendidikan yang memadai bagi anak-anaknya.
Kombinasi kekurangan gizi dan pendidikan yang rendah akan menghasilkan generasi kurang berkualitas, serta
tenaga kerja tidak produktif, bergaji rendah, dan tidak kompetitif. Karena itu, anak dari keluarga miskin akan
terjebak dalam kemiskinan kembali. Di sisi lain, anak dari keluarga kaya memperoleh asupan gizi, fasilitas
pendidikan, jaringan, dan akses pengetahuan yang prima. Kombinasi berbagai hal tersebut, serta tambahan
warisan dalam jumlah besar, menjadikan anak-anak dari keluarga kaya generasi berkualitas, bergaji tinggi, dan
kompetitif, sehingga mereka sulit jatuh dalam jurang kemiskinan. Karena itu, untuk mewujudkan masyarakat yang
berkeadilan dan memutus lingkaran kemiskinan, pemerintah dapat mengimplementasikan kebijakan "Robin Hood":
mengambil sedikit kesenangan/harta dari kelompok kaya melalui pajak barang warisan (selain BPHTB), dan
hasilnya digunakan untuk mendukung kegiatan pendidikan dan perbaikan gizi bagi kelompok miskin.

Paradigma kedua yang perlu diluruskan adalah, paradigma pengentasan masyarakat miskin dengan memberikan
''ikan'' atau ''kail''. Sudah selayaknya perdebatan kebijakan memberikan ikan atau kail diberhentikan karena
keduanya bersifat saling melengkapi. Kebijakan memberikan "ikan", seperti BLT, yang akan sangat menolong
golongan tidak produktif, misalnya kelompok lanjut usia, perlu diteruskan. Sedangkan kebijakan memberikan
"kail", seperti kredit usaha dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), sangat cocok bagi kelompok
usia produktif. Paradigma pengentasan masyarakat miskin seharusnya tidak hanya memberikan ''ikan'' dan/atau
''kail'', tetapi harus ditambah dengan paradigma "pencipta", di mana kelompok miskin dibekali pengetahuan agar
bisa membuat kail untuk mencari ikan sendiri. Kebijakan ini bersifat jangka panjang dan hanya bisa dilakukan
dengan investasi di bidang pendidikan dan kesehatan yang hasilnya baru terasa 15-20 tahun mendatang. Alokasi 20
persen APBN seharusnya tidak hanya digunakan untuk pendidikan formal, tetapi digunakan juga untuk program
makanan tambahan/gizi bagi anak-anak usia SD melalui program makan siang di sekolah.

Kebijakan ala Robin Hood tidaklah menguntungkan secara politik, sedangkan investasi di sektor
pendidikan/kesehatan hasilnya tidak bisa dilihat secara instan selama lima tahun berkuasa. Karena itu, pemerintah
akan setengah hati untuk menjalankan dua kebijakan di atas. Tetapi, tanpa keberanian dan kebijakan radikal,
mungkin kita akan dijajah oleh kemiskinan selamanya.

Teguh Dartanto,
MAHASISWA DOKTORAL UNIVERSITAS NAGOYA, JEPANG
Zero Terror, Mungkinkah?
Melihat serangkaian peristiwa pengeboman yang terjadi di Tanah Air sejak 2000 menegaskan bahwa kita masih
tidak berdaya menghadapi man-made disaster yang satu ini. Bom bunuh diri memenuhi karakteristik angsa hitam,
suatu peristiwa outlier yang mustahil dilakukan oleh orang kebanyakan, berdampak luar biasa, dan kita berupaya
merasionalisasinya.

Mengingat kehadirannya yang tak terduga, masihkah ada oportunitas untuk mencegahnya? Mungkinkah dibangun
suatu early warning system untuk mendeteksi kehadirannya? Menihilkannya mungkin sebuah elusive goal. Negara
adidaya seperti Amerika Serikat saja kecolongan, apalagi kita. Mereka yang selama ini terjebak pada praktek face
and appearance profiling akan teperdaya. Kenyataannya, sistem pendeteksi konvensional tidak lagi mampu
mengenali sang aktor berikut peralatannya.

Jebakan kebolehjadian Posterior
Berbagai liputan tentang pelaku aksi teroris selalu menyampaikan tipikal karakteristik umum pelakunya, di
antaranya: (1) berkelakuan baik, (2) cenderung pendiam, (3) taat beragama, (4) cinta keluarga. Berdasarkan
populasi dengan karakteristik di atas, kita bisa tuliskan kebolehjadian posterior (posterior probability), P(T|K) yang
menjelaskan kebolehjadian terjadinya aksi teror, T jika diberikan kebolehjadian hadirnya orang-orang
berkarakteristik di atas, K. Melihat kenyataan karakteristik umum tersebut di atas ada di sekitar kita dan memang
melekat pada pelaku teror, maka P(T|K) selalu positif, seberapa pun kecilnya.

Sekarang tengoklah apa yang terjadi jika K adalah kebolehjadian hadirnya orang-orang berkarakteristik berikut: (1)
penjahat, (2) pemabuk, (3) perampok dan seterusnya. Yang mengejutkan adalah P(T|K)-nya adalah nol. Apa yang
salah dengan dua kebolehjadian di atas? Kita justru mencurigai orang-orang berperilaku baik sebagai pelaku teror.
Di sinilah diperlukan kehatian-hatian ketika ingin mendeteksi peristiwa teror berdasarkan kebolehjadian posterior.

Untuk mengatasinya, karakteristik pemicu teror harus diubah. Sekarang tetapkan karakteristik pelaku teror adalah
(1) memiliki kebencian, (2) berpandangan sempit, (3) tidak menghargai kehidupan. Contoh ketiga karakteristik ini
cukup menjelaskan alasan melakukan bom bunuh diri. Di dalam diri pelaku dipenuhi oleh rasa kebencian yang
mendalam; berpandangan sempit dalam berideologi. Sehingga untuk meniadakan kebolehjadian P(T|K) yang perlu
dilakukan adalah bagaimana menciptakan kondisi yang mampu meredam karakteristik di atas. Tidak mudah
memang. Tapi coba bayangkan jika masyarakat di sekitar kita adalah para pengapresiasi kehidupan, menghargai
keragaman, sepertinya ancaman teror akan padam dengan sendirinya.

Peristiwa teror bom bunuh diri adalah suatu outlier. Memahaminya tidak bisa dengan menggunakan kerangka
kenormalan. Tidak akan ada orang normal dalam kriteria kenormalan yang mau melakukannya. Mendeteksinya
tidak bisa hanya menggunakan kriteria yang menyimpulkan mereka adalah bukanlah kita. Membangun sistem
pendeteksi dini lebih merupakan qualifier. Untuk menghadapinya diperlukan pendekatan sistem; mengenali sistem
pendestruksi nilai yang dijalankan oleh para aktor di balik kejadian teror.

Pendestruksi nilai
Aksi terorisme dalam bentuk apa pun dapat dilihat sebagai suatu proses transformasi yang mendestruksi nilai.
Tidak ada satu pun dari kita yang bersedia menjadi pengkonsumsi output yang dihasilkan. Berbeda dengan proses
pertambahan nilai yang dijalankan pelaku bisnis: menghasilkan sesuatu dari yang tidak bernilai menjadi suatu yang
bernilai di mata konsumen.

Meskipun demikian, seperti halnya proses pertambahan nilai, proses pendestruksi nilai yang dilakukan oleh teroris
juga melibatkan input-proses-output. Input dapat berupa sesuatu yang ditransformasi dan yang diperlukan untuk
mentransformasi. Dalam aksi bom bunuh diri, input yang ditransformasi meliputi segala bahan, item, komponen
yang diperlukan untuk merakit bom. Untuk mentransformasikan input tersebut diperlukan ahli pembuat bom,
fasilitas, dan segala peralatan yang menunjang. Proses transformasi baru berlangsung jika aktor pendesain teror
menjalankan tahapan desain, perencanaan dan pengendalian, serta perbaikan. Tahapan desain membicarakan
lokasi perakitan, kapasitas bom, jejaring pasokan, teknologi bom. Setelah tahapan desain disiapkan, berikutnya
pelaku teror merencanakan kapan waktu yang tepat untuk melakukan aksinya, membeli dan mengorder segala
keperluannya. Berbeda dengan proses pertambahan nilai yang melibatkan pengendalian, dalam arti melakukan
pengendalian kualitas selagi proses transformasi berlangsung, pelaku teror tidak melakukannya. Kualitas
pengeboman diketahui setelah aksi teror. Pemimpin teroris akan mengetahui baik-tidaknya kualitas pengeboman
setelah kejadian. Jika dianggap tidak baik, mereka akan melakukan proses perbaikan kualitas untuk aksi
berikutnya.

Sebagai sebuah proses transformasi, keberhasilannya akan ditentukan oleh seberapa besar kemampuannya untuk
mengatasi berbagai gangguan (noises) dalam menghasilkan output yang diinginkan. Sementara dalam proses
pertambahan nilai kita berupaya meminimalkan terjadinya gangguan, sebaliknya menghadapi proses pendestruksi
nilai ini kita justru harus menghadirkan banyak gangguan dan ketidaknyamanan kepada teroris. Untuk
menggagalkan keluarnya output yang diinginkan teroris, pertama kita harus mencegah mereka dalam mendapatkan
input yang diperlukan. Putus segala akses untuk mendapatkan bahan baku bom. Awasi segala pemain yang terlibat
dalam rantai pasokan pembuatan bom. Juga hadirkan atmosfer di sekitar kita yang tidak akan menyuburkan
keluarnya segala ide bom bunuh diri, apa pun insentifnya. Mungkin yang terakhir inilah yang terpenting. Tidak
mudah memang, namun bukan suatu yang mustahil dilakukan.

Menghadapi aksi terorisme memerlukan pendekatan layaknya seorang ibu yang tidak akan pernah membiarkan
bayinya jatuh dari dekapan. Zero terror harus menjadi target pencapaian dalam upaya menangani aksi terorisme.
Itu dimungkinkan selama kita semua menjunjung tinggi nilai-nilai kehidupan.

Ade Febransyah,
Pengajar di Prasetiya Mulya Business School dan Penulis buku Menikmati Ketidakpastian
Belajar Hidup dari Mbah Surip
SOSOK bersahaja itu telah meninggal dunia. Dia meninggalkan kesan yang sungguh membanggakan. Semua orang
mengenang kebaikan-kebaikannya, pun humor dan semangat hidupnya yang tak pernah padam. Mbah Surip menjadi
oase di tengah kerontang kejernihan pikir dan sikap yang saat ini begitu kentara ada di sekitar kita.

Mbah Surip adalah sosok yang pantang menyerah menghadapi kesulitan hidup. Pantang menyerah dengan ejekan
orang lain. Pantang mundur atas identitas diri yang dianggap sebagai orang bodoh, meski sejatinya dia terpelajar.


Komitmen dan Ketekunan

Kalau kita membaca kisah para orang sukses dan orang yang mendapatkan kebahagiaan, akan kita temukan sebuah
simpulan bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki ketekunan dan komitmen di atas manusia kebanyakan.
Inilah yang dimiliki dan dipraktikkan Mbah Surip.

Mbah Surip mengajari kita tentang betapa fundamentalnya ketekunan dan komitmen ini. Kesuksesan yang dia
peroleh adalah di antara hasil ketekunan dan komitmen itu. Ketekunan dan komitmen bagi orang-orang sukses
ibarat makanan yang bisa meningkatkan semangat, vitalitas, dan kerja keras. Dengan demikian, mereka tidak akan
pernah tidak melakukannya. Artinya, ketekunan dan komitmen akan terus mereka praktikkan dan proklamasikan.

Sebaliknya, orang yang gagal adalah orang yang tidak memiliki ketekunan dan komitmen tersebut. Mereka mudah
sekali mengeluh dan putus asa. Ada aral kecil saja, cita-cita yang tadinya bertengger di puncak rasionalitas
langsung menyusut-habis. Langkah yang tadinya begitu semangat, dengan sedikit masalah menghadang, seketika
itu pula limbung.

Para orang sukses dan orang yang berhasil memeluk kebahagiaan begitu memegang teguh komitmen untuk maju
dan berubah. Bagi mereka, komitmen untuk sukses dan bahagia harus diperjuangkan dengan sekuat tenaga.
Pasalnya, bagi mereka, komitmen adalah "janji" dalam diri dan kepada diri sendiri. Karena sudah berjanji, mereka
pun akan berusaha menepatinya. Janji ini disikapi dengan senang ceria dan riang hati. Eksesnya, mereka dengan
mantap menjalani kehidupan ini, meski pelbagai cobaan dan badai penghalang selalu merongrong.

Sama hal dengan ketekunan, mereka pun menjadikannya kekasih ketika menjalani, menyapa, dan menyambut
hidup dan kehidupan. Ketekunan selalu mereka sandang setiap menjejakkan kaki, di mana pun dan kapan pun.
Pada kehidupan sehari-hari, misalnya, ketekunan dipraktikkan dengan anggun. Dalam kehidupan berkeluarga,
entah sebagai anak, orang tua, atau bagian keluarga yang lain, ketekunan juga diamalkan. Begitu pula dalam
kehidupan bermasyarakat.

Mbah Surip berkomitmen untuk memberikan yang terbaik kepada orang lain, siapa pun itu. Dia memiliki niat mulia,
yaitu agar semua rakyat Indonesia senang dan bahagia. Sikap inilah yang seharusnya dimiliki para pemimpin bangsa
ini, sebab mereka adalah wakil rakyat: mereka bertanggung jawab atas kehidupan rakyat.

Rendah Hati

Banyak yang memberikan simpulan bahwa orang yang kelihatan seperti orang pasif dan terkesan menunggu, atau
bahkan suka mengalah, adalah orang yang lemah. Pertanyaannya, apa memang demikian? Jawabannya adalah
belum tentu dan bahkan tidak.

Bahkan, pada momentum-momentum tertentu, mereka yang terkesan diam dan lemah adalah mereka yang sukses
dan mereka yang berhasil hidup dalam gelimang kebahagiaan. Atau pula, merekalah orang yang sebenarnya sukses
dan besar itu, yang menyembunyikan keberhasilannya dalam baju kebersahajaan.

Sikap rendah hati yang tecermin dalam sikap diam dan lebih cenderung wait dan see, merupakan indikasi
kebesaran jiwa. Itu pula yang dipraktikkan Mbah Surip, walaupun dia mendapatkan kesuksesan. Meski pula
memiliki pengetahuan yang tidak kalah dengan parah aktivis, mahasiswa, dan juga dosen -apalagi Mbah Surip pun
telah melanglang buana ke banyak tempat di dunia, yang belum tentu pengalaman ini dimiliki orang-orang di atas-
Mbah Surip tidak menunjukkan itu.

Dia lebih asyik dalam kerendahan hati. Ketika banyak orang yang sebenarnya tidak memiliki ilmu namun mengaku-
aku berilmu, hal itu pantang dilakukan oleh Mbak Surip. Dia merendahkan hati dan senantiasa berusaha
memberikan kebahagiaan bagi orang lain, tanpa pernah mengatakan bahwa dia adalah orang terpelajar. Dia tahu,
tapi tidak ingin orang lain tahu ketahuannya itu.

Alangkah indah jika semua rakyat bangsa ini, khususnya para pemimpin, politikus, dan akademisi (orang-orang
terpelajar) mempraktikkan sikap rendah hati ini. Sebab, sikap rendah hati membimbing untuk bersikap jujur, baik
kepada diri sendiri maupun kepada orang lain.

Sikap koruptif dan anarkis yang banyak kita temukan pada banyak orang di negeri ini menunjukkan bahwa mereka
tidak memiliki kerendahan hati, sehingga mereka tidak jujur dan melakukan hal-hal tidak manusiawi. Mbah Surip
mengajari kita bagaimana memakni, memahami, dan menjalani hidup.

Maka dari itu, jika kita ingin merengkuh kesuksesan dan kebahagiaan, bersikap rendah hati merupakan keharusan.
Sebab, sikap itu tidaklah merupakan sebuah kelemahan, apalagi kesalahan dan kekalahan. Sebaliknya, sikap
rendah hati membuat kita memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan dan langkah sendiri.

Semua orang sukses dan bahagia adalah mereka yang bebas. Artinya, mereka bisa menentukan sendiri apa yang
harus dipikirkan, apa yang harus dipilih, dan apa yang harus dilakukan. Ketika kita bersikap demikian, semua arah
pikiran dan sikap kita akan bermuara pada kreativitas dan orisinalitas.

Selain itu, sikap rendah hati mampu mengatasi rasa tidak tahu. Alhasil, semua hal akan kita pahami maksudnya,
yang kemudian kita pun mampu memberikan pengaruh positif di dalamnya.

Mbah Surip, apa yang engkau pahat akan selalu menjadi pengingat bagi generasi setelahmu. Kebijaksanaan dan
kearifan yang engkau tunjamkan akan terus mengabadi. Terima kasih dan selamat jalan, Mbah Surip. (*)

*) Asef Umar Fakhruddin , peneliti di Center for Developing Islamic Education (CDIE) UIN Sunan Kalijaga,
Jogjakarta.
Sepuluh Bahaya Laten Arus Mudik Lebaran
Tradisi pulang kampung (mudik) pada hari Lebaran tampaknya sudah jadi kohesi sosial yang amat kuat bagi
sebagian besar masyarakat (perkotaan) di Indonesia. Sekalipun berbekal ala kadarnya, tak menjadi kendala untuk
meretas kembali tali kekerabatan. Diperkirakan tahun ini jumlah pemudik mengalami lonjakan 6,14 persen (sekitar
15,8 juta), tahun lalu hanya 14,9 juta. Jumlah arus kendaraan, minus sepeda motor, menurut Departemen
Perhubungan, mengalami peningkatan sebesar 4,61 persen dari tahun sebelumnya, yakni dari 1.808.150 kendaraan
menjadi 1.891.523 kendaraan. Memindahkan jutaan manusia pada waktu bersamaan tentu bukan pekerjaan
mudah. Banyak pihak dibuat pusing tujuh keliling oleh tradisi tahunan ini (selain juga diuntungkan).

Ironisnya, kendati hajatan rutin ini terjadi setiap tahun, toh berbagai permasalahan yang mengiringi tidak pernah
terselesaikan secara tuntas. Pemerintah, juga masyarakat, justru semakin berkelon dengan multidistorsi yang
amat klasik. Setidaknya, "10 bahaya laten" akan menyerimpung arus mudik kali ini, yang jika tidak dikelola dengan
kecerdasan tinggi akan menjadi instrumen untuk memporandakan prosesi mudik. Berikut 10 bahaya laten itu.

Pertama, paradigma safety first. Aspek keselamatan dalam sistem manajemen transportasi menjadi prasyarat
pertama. Tapi, dalam realitas keseharian--apalagi pada arus mudik--aspek safety acap dipinggirkan, kalah oleh
aspek aksesibilitas dan mobilitas. Yang penting penumpangnya terangkut; keselamatan mah nomor buntut. Apalagi
transportasi darat, yang terbukti menjadi instrumen efektif pencabut nyawa. Masih digunakannya kereta api sapu
jagat--yang bertiwikrama menjadi "kereta komunitas"--adalah bukti bahwa aspek keselamatan bukan menjadi
urgensi. Kereta sapu jagat ("kereta komunitas") prinsipnya sami mawon, ya kereta barang yang tidak layak menjadi
alat angkut manusia.

Kedua, minimnya keandalan moda transportasi publik. Pemerintah boleh menepuk dada bahwa, dari sisi
ketersediaan, sarana transportasi publik cukup memadai. Tapi, pertanyaannya, bagaimana tingkat keandalan
sarana transportasi publik itu. Untuk mengatasi kondisi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak, mayoritas
pengusaha angkutan bermanuver dengan menggunakan suku cadang kelas dua (palsu) untuk solusinya. Apa lagi
yang menjadi pertaruhan atas maraknya penggunaan suku cadang palsu ini selain aspek keselamatan? Bahkan tidak
hanya perusahaan bus, moda kereta api pun tidak luput dari fenomena ini. Wajar jika lima tahun terakhir tingkat
keandalan moda kereta api menyusut drastis hingga menjadi 80 persen saja. Anehnya, ketika keandalan turun, eh,
anggaran biaya perawatan malah dikurangi. Kecelakaan kereta api yang terjadi bertubi-tubi akhir-akhir ini adalah
akibat fenomena ini.

Ketiga, pelanggaran tarif batas atas. Kenaikan tarif tuslah pada bus umum memang tidak ada lagi. Pemerintah
menggunakan model tarif batas atas (ceiling price) dan batas bawah (floor price). Namun, prakteknya, konsumen
bus umum tetap mengalami kenaikan tarif. Sebab, dalam suasana peak season seperti ini, nyaris tidak ada
perusahaan bus yang menggunakan floor price. Persoalan tidak berhenti di sini saja, karena banyak awak angkutan
yang meminta tarif tambahan, entah untuk membayar tol, uang timer, bahkan untuk "THR". Sialnya, tangan kuasa
petugas tidak mampu menertibkan aksi nakal ini. Sanksi yang diberikan terbukti tidak cukup ampuh untuk
menimbulkan efek jera.

Keempat, maraknya penggunaan sepeda motor. Mudik dengan sepeda motor kini menjadi tren tak terhindarkan.
Departemen Perhubungan mengestimasi jumlah pemudik sepeda motor tahun ini mencapai 2,5 juta unit, naik
18,08 persen (pada 2007 sebanyak 2,1 juta sepeda motor). Tapi yang sangat merisaukan dari maraknya penggunaan
sepeda motor adalah aspek keselamatannya. Betapapun efisiennya (secara ekonomi), sepeda motor bukan tipe
kendaraan yang layak untuk perjalanan jarak jauh. Tidak aneh jika selama 14 hari arus mudik pada 2007 lalu, di
wilayah Jawa-Bali dan Sumatera saja 256 nyawa tercerabut akibat kecelakaan sepeda motor (data resmi Mabes
Polri).

Kelima, minimnya akses informasi. Pelanggaran hak-hak publik (konsumen) terjadi tak hanya pada pelanggaran
tarif. Umumnya situasi mudik menciptakan suasana semrawut, crowded, dan panik. Namun, di tengah kondisi
semacam ini nyaris tidak ada informasi yang bisa diakses oleh konsumen secara utuh: tak ada tempat bagi
konsumen untuk bertanya dan mengadu. Posko yang disediakan pemerintah terlihat kurang efektif karena
ditempatkan pada posisi terpojok, kalah oleh ingar-bingar iklan rokok, yang kini marak di terminal dan stasiun.
Posko partai politik pun hanya menjadi pajangan tak berfungsi. Tak pelak, banyak pemudik yang menjadi santapan
empuk calo, preman terminal, atau oknum lain yang nyaru.

Keenam, titik rawan kemacetan. Nyaris tidak ada mudik tanpa bumbu kemacetan. Selain volume kendaraan
meningkat tajam, fenomena macet juga dipicu oleh masalah klasik, seperti jalan rusak dan bottle neck, atau pasar
tumpah (kondisi ini sepertinya sudah given). Berkaitan dengan jalan rusak, sungguh aneh jika perbaikannya selalu
dilakukan saat menjelang mudik Lebaran tiba.

Ketujuh, tidak optimalnya fungsi jalur alternatif. Untuk menghindari titik rawan kemacetan, jalur alternatif bisa
menjadi solusi. Tapi, faktanya, jalur alternatif ini terbukti tidak efektif mengatasi kemacetan, karena mayoritas
tidak berminat menggunakannya. Selain kontur jalannya tidak rata dan berkelok-kelok, tidak ada petunjuk arah
yang jelas. Akibatnya, jalan alternatif justru sering menyesatkan pemudik. Biasanya pada jalur alternatif tidak ada
petugas resmi yang berjaga (yang ada hanya pak ogah, yang tak jarang memasok informasi keliru).

Kedelapan, bencana alam. Tidak jarang arus mudik mengalami kekacauan karena faktor bencana alam, khususnya
banjir atau tanah longsor. Memang, menurut laporan BMG, hujan deras tidak akan terjadi selama arus mudik kali
ini. Artinya, ancaman banjir dan tanah longsor bukanlah hantu yang menakutkan. Meski demikian, titik rawan yang
acap menjadi langganan banjir dan tanah longsor (seperti Banyumas) tetap harus diwaspadai.

Kesembilan, perilaku nakal pemudik. Perilaku pemudik memberikan kontribusi signifikan terhadap lancar-tidaknya
arus mudik. Salah satunya adalah menyerobot jalur yang bukan miliknya. Perilaku ini biasanya akan menyumbat
arus dari arah sebaliknya. Perilaku nakal semacam ini akan menimbulkan kemacetan berjam-jam. Tidak mudah
bagi petugas untuk mengurai kembali jika terjadi kenakalan semacam ini. Tindakan tegas petugas kepolisian layak
ditimpakan kepada pemudik berkarakter semacam ini.

Kesepuluh, lemahnya law enforcement. Arus mudik adalah sikon tidak normal. Banyak aturan dilanggar, tapi
dibiarkan saja oleh petugas. Misalnya, banyak pemudik yang menggunakan mobil bak terbuka (hanya ditutup terpal
plastik) dan melewati jalan tol pula. Ini jelas pelanggaran, tapi toh petugas hanya bengong melompong.
Sebagaimana pengguna sepeda motor, mobil bak terbuka tidak memenuhi standar keselamatan untuk mudik.

Pemerintah tidak bisa mengklaim berhasil mengelola arus mudik jika parameternya hanya mampu memindahkan
15,8 juta pemudik. Akan lebih fair kalau parameter keberhasilannya adalah minimnya kecelakaan yang merenggut
nyawa, termasuk pengguna sepeda motor. Petugas harus lebih sigap, tegas, dan proaktif dalam mengendalikan
arus lalu lintas yang memiliki potensi crowded sangat tinggi. Juga bagi para pemudik, apa pun moda transportasi
yang digunakan, seharusnya lebih rasional dan bijak. Jangan mengedepankan perilaku egoistis, serakah, dan mau
menang sendiri (sok raja jalanan!), yang justru akan memperluas tingkat kesemrawutan lalu lintas di jalan raya.
Seharusnya 10 bahaya laten itu tidak akan terjadi jika ada sinergi yang kuat antara petugas, operator, dan awak
angkutan moda transportasi publik, plus pemudik itu sendiri. Betapapun, perbaikan sarana transportasi publik, baik
dari sisi akses, mobilitas, maupun keandalan, adalah prasyarat utama untuk merombak karut-marut mudik
Lebaran.

Tulus Abadi,
Anggota Pengurus Harian YLKI
Saatnya Sinetronisasi Agama Tiba
Besok bulan suci Ramadan kembali menyapa kita. Keberadaannya selalu menghadirkan fenomena menarik. Bulan
inilah yang akan dijadikan "pertaruhan keimanan", karena yang tahu akan kehadiran puasa hanya kita dan Allah.
Kalau sukses mempertaruhkan keimanan, berarti kita akan naik tangga menuju pribadi muttaqin, yakni manusia
yang melandaskan prinsip hidupnya berdasarkan kehadiran Allah untuk menerangi dan mencerahkan kehidupan.

Di sisi lain, Ramadan juga menjadi pertaruhan "bisnis keimanan" yang begitu bergemuruh di berbagai stasiun
televisi. Ramadan dijadikan bulan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dengan menampilkan berbagai acara
keagamaan, yang secara substansi kadang tidak berkaitan dengan Ramadan.

Yang paling menyedihkan adalah hadirnya berbagai sinetron religius yang waktu siarnya berbarengan dengan waktu
ibadah Ramadan. Sudah barang tentu, banyak umat Islam yang menghabiskan waktu di hadapan para artis sinetron
daripada untuk tafakur, mujahadah, membaca Alquran, zikir, dan ibadah lain.

Di sinilah terjadi sinetronisasi agama. Agama tidak lagi hadir dengan perenungan dan penghayatan mendalam,
namun "pesta pora" merayakan nafsu menonton sinetron, yang secara ekonomis tidak mencerdaskan dan tidak
produktif.

Tragedi sinetronisasi agama merupakan malapetaka serius nan krusial dalam keberagamaan kita pada Ramadan.
Sebab, sinetronisasi agama tidak hanya membuat pendangkalan nalar keberagamaan, namun juga menciptakan
pribadi-pribadi pemalas, tidak produktif, dan terbukti korban industrialisasi.

Tragedi ini disebabkan dua hal. Pertama, puasa yang dijalankan umat Islam telah keluar dari pusat orbitnya, yakni
hati nurani. Manusia sebagai master peace ciptaan Tuhan yang seindah-indahnya dan sesempurna-sempurnanya
ciptaan (ahsani taqwim), bahkan ditamsilkan sebagai gambaran Tuhan (Imago Dei), tidak lagi menggunakan
pemberian primordial dari Tuhan berupa hati nurani untuk memaknai ibadahnya.

Menurut almarhum Cak Nur (2005), ada tiga pemberian Tuhan yang paling esensial dalam kehidupan; a) hati
nurani. Hati ini disebut nurani karena merupakan modal pertama dari Allah untuk menerangi kehidupan. Tidak
salah kalau Nabi ketika ditanyai Wabisoh tentang kebenaran, beliau menjawab, "Mintalah fatwa pada hatimu",
sebanyak tiga kali; b) agama. Karena itu, agama disebut juga dengan hati nurani yang diturunkan Allah atau fitrah
yang diturunkan kepada manusia (fithrah munazzalah). Agama adalah fitrah yang diturunkan untuk memperkuat
fitrah alami (hati nurani); c) mu'ahadah al-uqul, yakni perjanjian-perjanjian antarsesama manusia. Perjanjian
inilah yang dicontohkan Nabi ketika mendirikan negara Madinah. Madinah artinya suatu tempat yang di dalamnya
kehidupan itu teratur, karena orang-orangnya tunduk dan patuh kepada aturan.

***

Puasa yang spiritnya berdasarkan hati nurani tidak akan tergoda oleh iming-iming keduniaan yang pragmatis. Hati
nurani akan selalu membimbing manusia menangkap pesan substantif dari serangkaian perilaku kehidupan yang
dijalani. Hati nurani menurut Jalaluddin Rumi mempunyai kemampuan 70 kali lebih besar untuk melihat kebenaran
daripada dua indra penglihatan.

Puasa inilah yang oleh Al-Ghazali dikategorikan sebagai khawasu al-khawas. Yakni, mereka yang seluruh perilaku
dan tindak tanduk anggota badan (termasuk hati sendiri) ikut berpuasa menggapai ketakwaan Allah. Pribadi inilah
yang dalam sabda Nabi akan diampuni dosanya masa lalu dan akan dibalas menurut kehendak Allah sendiri.

Sebaliknya, puasa yang mengabaikan spirit nurani hanya akan menghadirkan berbagai kemunkaran sosial berupa
KKN, narkoba, dan kejahatan lain. Para koruptor, dengan demikian, adalah mereka yang setiap saat, bahkan tidak
dalam kondisi puasa, selalu mencabik-cabik hati nuraninya sendiri. Hati nurani dibanting-banting, hancur, sehingga
harta negara yang sangat dibutuhkan rakyat ditelan habis tanpa beban apa pun.

Kedua, sinetronisasi agama terjadi karena ketidaksiapan dan ketidakmampuan kita menghadapi arus informasi
global. Abad ke-21, menurut Alvin Toffler, adalah milik mereka yang menguasai informasi. Mereka yang
mengendalikan media, baik cetak maupun elektronik, akan menjadi "dewa" yang dipuja-puja manusia.

Tidak salah kemudian kalau puasa yang tadinya merupakan media berkomtemplasi dengan Tuhan berubah menjadi
berkontemplasi dengan artis sinetron di berbagai layar televisi. Perenungan setiap detik berpuasa bukannya
mengantarkan menuju pribadi muttaqin, melainkan mengantarkan menuju pribadi khosirin. Yakni, pribadi yang
setiap detik puasanya terus merugi, karena semakin jauh dari ke-Mahahadiran Allah. Mereka inilah yang dalam
bahasa Heideggar sedang mengalami kejatuhan menuju inautentisitas, dan oleh Nabi dikatakan sebagai orang yang
hanya mendapatkan lapar dan dahaga dalam puasa.

Lalu, bagaimana agar puasa kita mampu melibas "lubang hitam" sinetronisasi agama sehingga Ramadan benar-
benar menjadi bulan penyucian dan penjernihan jiwa? Dibutuhkan keteguhan seorang muslim dengan menjadikan
puasa sebagai momentum reformasi, baik vertikal maupun horizontal.

Dalam tataran vertikal, puasa harus membangkitkan keimanan kita menuju kesadaran ketuhanan (God
conciousnees) yang kemudian ditransformasikan menuju kesadaran kemanusiaan. Pembuktian bahwa Allah itu
Mahahadir (omnipresent) harus kita buktikan dengan melakukan kesadaran bumi, yakni dengan menjadikan hati
nurani sebagai pusat orbit manusia yang memimpin seluruh potensi spiritualitas kita yang terdiri atas potensi akal
(fu'ad), potensi kesadaran emosi (shadr), dan potensi dorongan (hawaa).

Hati akan menuntun puasa kita pada kebermaknaan yang paling tinggi (the ultimate meaning). Menjadi shaim
(orang yang berpuasa) bukan tujuan, namun sebuah misi suci (sacred mission) menebarkan benih-benih cinta dan
kebajikan universal (rahmatan lil'alamin), yang melahirkan kebahagiaan, kesejahteraan, dan kedamaian di alam
semesta. (*)

Muhammadun AS , peneliti Center for Pesantren and Democracy Studies (CePDeS) Jakarta.
Negara Saja Mengemis
FATWA yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pamekasan, Madura, bahwa hukum mengemis adalah
haram tidak saja dapat dibantah dari sisi hukum negara, tapi juga hukum agama. Apa dasarnya? Fatwa tersebut
menunjukkan bahwa MUI selama ini tidak "kreatif" dalam mengeluarkan fatwa. Sebab, umumnya, objek fatwa
hanya orang-orang kecil.

Sebut saja mulai fatwa haram golput, merokok, Facebook, tayangan The Master, hingga terakhir fatwa mengemis
(jangan-jangan silet juga haram karena sering digunakan untuk menjambret). Namun, kita tidak pernah mendengar
MUI mengeluarkan fatwa yang mengharamkan DPR membolos, partai besar membohongi rakyat dari oposisi
menjadi koalisi (padahal, rakyat ketika memilih berharap peran oposisi dijalankan misalnya), mengharamkan saling
menjelekkan antarelite, dst. Singkatnya, orang-orang elite bebas dari fatwa haram.

Kembali ke soal mengemis itu haram. Pertanyaannya, apakah ada hukum agama dan hukum negara yang
melarangnya? Justru, kalau tidak salah, negara wajib menyantuni orang-orang miskin serta anak-anak telantar dan
yatim piatu, juga menjamin pekerjaan dan hak asasi, dst. Pertanyaan selanjutnya, kok tidak ada fatwa haram jika
negara menelantarkan mereka?

Siapa pun orangnya kalau ditanya pasti tidak mau menjadi pengemis. Jadi, kalau dikenakan "pasal" haram, sang
pengemis bisa saja mengelak, "Lho, memang siapa yang mau jadi pengemis? Kalau boleh, saya minta dilahirkan
menjadi anak konglomerat." Bahkan, pengemis yang "cerdas" bisa saja membela diri, "Negara saja mengemis,
kenapa tidak diharamkan?" Lihat saja proposal-proposal yang diajukan negara-negara berkembang kepada negara-
negara maju kepada IMF, Bank Dunia, lembaga-lembaga donor internasional, dst. Bukankah pada dasarnya itu juga
mengemis atau minta bantuan tanpa kerja kreatif?

Bahkan, kalau dirunut lebih jauh, faktanya makin mengentak. Sebab, banyak pula panitia pembangunan masjid
yang juga "mengemis" lewat proposal atau mengedarkan kotak amal di bus kota, bahkan mempekerjakan orang
dengan cara membeli stempel panitia pembangunan dan sebagainya. Bukankah itu juga "mengemis" meski niatnya
baik untuk ibadah? Kenapa tidak ada fatwa haram? Para pengemis juga menjalankan "ibadah" untuk menghidupi
anak istri.

Orang-Orang Kalah?

Memang ada orang yang mengemis karena didorong rasa malas, bahkan ada yang menipu (misalnya pura-pura
berkaki buntung). Pekerjaan mengemis juga "enak". Sebab, hanya menadahkan tangan, konon uang puluhan ribu
masuk ke kantong. Bahkan, TV swasta pernah menayangkan reality show seorang pengemis yang pulang ke rumah
langsung bikin kopi susu dan nonton video (hasil mengemis) di rumah yang layak huni (juga hasil mengemis).
Pengemis itu mengatakan, paling sial dirinya bisa memperoleh uang 50 ribu rupiah dalam sehari.

Namun, secara umum para pengemis adalah masyarakat menengah ke bawah yang sehari-hari sudah kalah, stres,
dan susah mencari penghidupan. Dalam logika Prof Satjipto Rahardjo, guru besar hukum Undip Semarang, orang
yang memiliki pekerjaan layak, sejelek apa pun wataknya, tidak akan terangsang untuk mengemis, begitu juga
sebaliknya. Hal senada dikatakan oleh Barington Moore (1978). Dia menjelaskan bahwa kepatuhan atau perlawanan
kaum muda (termasuk pengemis) sangat dipengaruhi kondisi sosial atau kekuasaan serta pembagian barang dan
jasa.

Para pengemis adalah orang miskin yang terbentuk akibat pembangunan yang timpang. Lalu, terbentuk kelompok
marginal yang tidak mampu berperan dalam proses itu sehingga mengancam stabilitas sosial. Dalam masyarakat
industri, nasib manusia seolah-olah tidak ditentukan oleh Tuhan, melainkan tertib sosial buatan manusia. Dalam
sastra Eropa, alienasi psikologis senantiasa digambarkan manusia yang jiwanya terpecah, mengalami keputusasaan
terhadap kemungkinan kelestariannya (Murchland, 1971).

Dalam metanarasi postmodernisme, akan terlihat bahwa keseluruhan sistem sosial terus berubah dan berujung
kesia-siaan masyarakat modern untuk membangun "sangkar" yang aman. Orang terus tenggelam dalam perasaan
krisis (entzauberung). Pertama, kosmos yang nyaman berubah makna oleh otonomisasi dan sekularisasi. Sehingga,
rasa aman lenyap. Kedua, masyarakat yang nyaman dirobek-robek karena individu mendesakkan diri sebagai pusat
semesta. Ketiga, kebersamaan nilai goyah karena liberalisasi atau protes individual. Keempat, jarum jam atau
waktu menggantikan tokoh mistis. Lalu, kelima, di atas segalanya, pribadi menemukan diri sendiri secara amat
kuat sehingga Peter L. Berger menyebutnya lonely crowd (Subangun, 1993).

Dalam karya sastra Eropa, sering digambarkan orang dengan jiwa terpecah akibat keputusasaan, sampai lahir
beberapa tirani fasisme.

Jiwa manusia pengemis sungguhan akan terpecah, mengalami keterasingan. Mereka tidak takut menerjang siapa
saja karena memiliki logika sederhana saja: Tidak akan kehilangan apa-apa jika dia mati. Mungkin itulah gambaran
para pengemis. Mereka kalah di mana saja. Jangankan untuk hidup, sekadar untuk makan sehari-hari saja dia harus
berpanas-panas di bawah terik matahari, berjalan puluhan kilometer dari rumah ke rumah, harus berkelahi dengan
satpol PP dan rasa malu, serta kini harus "berkelahi" dengan panutan mereka, yakni MUI.

MUI memang tidak salah. Namun, tolong keluarkan juga banyak fatwa haram tentang perilaku para elite agar
rakyat aman. Bukankah amirul mukminin itu berarti amanlah kita jika ada dia, baik harta maupun nyawanya?
Artinya, muslim adalah orang yang mampu menyelamatkan orang lain. (*)

Saratri Wilonoyudho , peneliti dan dosen Universitas Negeri Semarang

You might also like