Professional Documents
Culture Documents
+ Z
a
)
2
}/d
2
n = ukuran sampel
s = standar deviasi (SD) hemoglobin (1,0 g/dL)
Z
=
sebaran normal dengan kekuatan 80% (0,84)
Z
a
=
sebaran normal dengan selang kepercayaan 95% (1,96).
d = perbedaan rerata kadar hemoglobin antara dua kelompok
(0.7 g/dL)
n = {(2 x 1
2
x (0,84 + 1,96)
2
}/0,7
2
n = 32
39
Dari rumus tersebut diperoleh jumlah minimal 32 orang (untuk masing-
masing kelompok perlakuan dan plasebo), sehingga jumlah total contoh intervensi
biskuit adalah 64 anak.
Untuk menghindari kehilangan contoh sampai 10%, maka jumlah contoh
yang diperlukan setiap kelompok adalah 32 + (32 x 0.1) = 35 anak. Dengan
demikian, jumlah total contoh intervensi biskuit adalah 70 contoh, 35 contoh
kelompok perlakuan dan 35 contoh kelompok plasebo (Gambar 9)
Gambar 9. Jumlah Contoh Anak Usia 18-38 bulan yang Diintervensi
Biskuit Fortifikasi.
Unit contoh yang dipilih untuk pemberian biskuit adalah anak usia 18-38
bulan yang terdaftar pada Posyandu di Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor
yang dipilih berdasarkan kriteria: (1) memiliki jumlah keluarga miskin terbanyak,
yang menunjukkan bahwa di kecamatan tersebut terdapat anak-anak balita yang
dapat dipilih dan berasal dari keluarga miskin; (2) memperoleh distribusi program
pemberian kapsul besi dan vitamin A dalam jumlah kecil; dan (3) kemudahan
dalam logistik saat pelaksanaan intervensi.
Untuk mengetahui perubahan hemoglobin, pemberian biskuit fortifikasi
dilakukan selama 16 minggu (WHO, 1996), mengingat pembentukan dan
degradasi sel darah merah setiap hari di dalam tubuh memiliki jangka waktu hidup
120 hari (Linder, 1992). Waktu pemberian intervensi dimulai dari bulan Oktober
2004 sampai dengan Februari 2005.
Pasca intervensi diambil sampel darah contoh sebanyak 2 cc, kemudian
contoh diberikan Booster DPT sebanyak 0,5 cc. Setelah dua minggu sejak
pemberian booster selanjutnya contoh diambil darahnya kembali dan sampai
pemberian booster kepada contoh tetap diberikan biskuit. Pelaksanaan
pengambilan darah dan pemberian booster DPT dilakukan pada bulan Juni 2005.
Besaran contoh pengambilan darah untuk analisis Imunoglobulin G menggunakan
Anak 18-38 bulan (n=70)
Kelompok Perlakuan (n=35) Kelompok Plasebo (n=35)
40
uji klinis, yakni apabila selisih imunoglobulin G Total anak antara 2 kelompok 0,8
IU/mL dengan simpang baku selisih rata-rata 1,0 IU/mL dan a = 0.05 dengan taraf
kepercayaan 90% dan tingkat kegagalan 10% (Sastroasmoro dan Ismael, 2002),
dengan rumus:
(Z
+ Z
) x S
2
n = --------------------
d
Dimana,
Z
= 1.96
Z
= 0.842
2
(1.96 + 0.842) x 1,0
n = -------------------------
0,8
n = 12,3. = 13
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut diperlukan 13 anak. Untuk
menghindari kegagalan analisis sampai 10%, maka contoh yang diperlukan
menjadi 13 + (13 x 0.1) = 14,3 dibulatkan menjadi 15 anak. Contoh dipilih dengan
mempertimbangkan usia (24 bulan) dan mengingat interval pemberian imunisasi
DPT terakhir. Pertimbangan usia dimaksudkan untuk mempermudah managemen
pengambilan darah dan berdasarkan Depkes (1997), pemberian booster DPT
sebaiknya kepada anak balita yang telah mendapatkan imunisasi DPT terakhir
enam bulan yang lalu dan tidak pernah memiliki riwayat kejang di waktu bayi.
Menurut kriteria tersebut, maka ukuran contoh anak yang dianalisis
Imunoglobin G-nya didapat sebesar 30 sampel yang terdiri dari 15 contoh
kelompok perlakuan dan 15 contoh kelompok plasebo (Gambar 10)..
Gambar 10. Jumlah Contoh Anak yang Dianalisis Imunoglobolin G- nya
Anak 24-42 bulan (n=30)
Fortifikasi Biskuit (n=15) Biskuit Plasebo (n=15)
41
Kerangka dan Cara Penarikan Contoh
Kerangka penarikan contoh disajikan pada Gambar 11.
Gambar 11. Kerangka dan Cara Penarikan Contoh Anak-anak
Kriteria :
* Tingkat pendapatan rendah
* Tidak menderita penyakit keras
dan gizi kurang parah
* Menandatangani surat penjanjian
dan bersedia mengikuti penelitian
Wilayah Penelitian
(Kecamatan Dramaga. di pinggiran Bogor)
Daftar Anak Usia 24-38 bulan
(disensus oleh kader) Kelompok Miskin
Daftar anak terpilih
24-38 bulan
Anak usia 24-38 bulan (n = 35) Anak usia 24-38 bulan (n= 35)
Hasil
pengacakan
Daftar anak yang dipilih 24-38 bulan (70 anak)
Anak usia 28-42 bulan (n = 35)
Anak usia 28-42 bulan (n = 35)
Pemberian biskuit 16 minggu
Kelompok perlakuan Kelompok plasebo
Anak 28-42 bulan
(n = 15)
Anak usia 28-42 bulan
(n = 15)
Anak usia 28-42 bulan
(n = 15)
Booster DPT 0,5 mg
2-3 minggu 2-3 minggu
Kriteria :
Mendapatkan imunisasi DPT
terakhir sebelum 1 tahun
Tidak mempunyai riwayat
kejang waktu bayi
Tidak sedang menderita
penyakit serius
Tidak sedang sakit saat di
booster DPT
Anak 28-42 bulan
(n = 15)
Hasil Pengacakan
42
Kerangka sampling anak-anak dibuat berdasarkan data sekunder di
posyandu yang dicatat oleh kader Posyandu. Apabila posyandu tidak memiliki
data terbaru (karena kader-kadernya tidak aktif), maka dilakukan sens us ulang
oleh peneliti, dibantu dengan kader dan enumerator terlatih. Sensus pada awal
pelaksanaan penelitian ini diperlukan untuk mendapatkan data terbaru mengenai
contoh berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.
Data hasil sensus dengan kriteria yang telah sesuai kemudian dientri ke
dalam komputer, kemudian contoh anak yang memenuhi syarat dipilih karena
adanya kriteria inklusif untuk dijadikan contoh penelitian. Dari data anak usia 18-
38 bulan yang memenuhi syarat, dipilih 70 anak secara acak dengan
menggunakan program komputer. Dari 70 anak yang terpilih, dibagi lagi menjadi
dua kelompok secara acak dan proporsional sebanyak 35 anak pada masing-
masing kelompok Kemudian, dari 70 anak yang telah diberi intervensi dari
biskuit dipilih secara purposive menjadi 30 anak terpilih yang masing- masing
kelompok sebanyak 15 anak untuk diambil darahnya untuk keperluan analisis
imunoglobulin.
Bahan Penelitian
Bahan utama yang dipakai dalam penelitian ini adalah biskuit fortifikasi
yang pengembangan produk dan produksi skala besar dilakukan di laboratorium
PT. Biskuit Danone Indonesia dengan formula khusus atas permintaan WFP.
Analisis
Analisis konsentrasi hemoglobin (Hb), kadar ferritin dan retinol dilakukan
di laboratorium Puslitbang Gizi Bogor. Metode yang digunakan unuk analisis Hb
adalah metode Drabkins (Dawiesah, 1989) dan kadar ferritin dengan metode
Imunometric Assay (IRMA) (Dawiesah, 1989). Sedangkan kadar retinol dianalisis
secara ekstraksi dengan kromatografi (Dawiesah, 1989).
Analisis Imunoglobulin dilakukan di Laboratorium terakreditasi, yakni
Makmal Terpadu FKUI, Jakarta. Metode yang digunakan dalam analisis IgG
adalah metode Enzyme Linked Immunosorbent Assay ELISA (Kresno, 2001).
Metode ELISA cukup sensitif dan reagennya mempunyai half life yang lebih
43
panjang dibandingkan dengan metode yang lainnya. Selain itu, tidak mengandung
bahaya radioaktif. Sebelum dilakukan analisa, serum disimpan dalam refrigerator
pada suhu 80
0
C selama dua bulan.
Biskuit Fortifikasi
Formula biskuit dirancang oleh WFP dan dibuat oleh industri makanan
komersial di Indonesia. Biskuit fortifikasi diperkaya dengan vitamin A dan zat
besi (Fe). Kandungan vitamin A dan zat besi yang ditambahkan pada biskuit
fortifikasi per 10 keping (54 g), masing- masing sebesar 243g dan 4,32 mg atau
setara dengan 2/3 RDA. Komposisi biskuit terdiri dari bahan dasar utama tepung
terigu, gula, dan minyak nabati. Bahan pelengkap lain: sirup glukosa dan fruktosa,
susu bubuk skim, margarin, garam, soda kue, lesitin kedelai, dan pencita rasa
(vanilla).
Biskuit yang difortifikasi dengan vitamin dan mineral tersebut, diproduksi
secara khusus untuk United Nations-World Food Programme (UN-WFP) sebagai
program bantuan perbaikan gizi anak balita. Tujuannya untuk menurunkan
prevalensi defisiensi zat gizi mikro pada anak-anak balita.
Komposisi Biskuit
Kandungan vitamin A dan zat besi yang ditambahkan pada biskuit
fortifikasi dan plasebo untuk setiap 100 gram biskuit adalah sebagai berikut:
A. Biskuit Fortifikasi:
Vitamin A: 235,65 g (109,1% AKG)
Zat Besi: 4,17 mg (96,5% AKG)
B. Biskuit Plasebo:
Vitamin A: 99,96 g (25% AKG)
Zat Besi: 0,64 mg (8% AKG)
Kandungan gizi biskuit A (biskuit fortifikasi) jauh lebih banyak muatan
vitamin dan mineralnya jika dibandingkan dengan biskuit B (biskuit plasebo).
Foto biskuit fortifikasi dan non fortifikasi disajikan pada Gambar 12.
44
Gambar 12. A. Biskuit Fortifikasi dan B. Biskuit Non Fortifikasi
Untuk menghindari kerusakan biskuit maka biskuit dikemas dalam
kemasan aluminium yang kedap udara, dan dimasukkan dalam kardus untuk
selanjutnya didistribusikan kepada kelompok penelitian. Biskuit untuk contoh
diberikan dalam kantong plastik berisi lima bungkus plastik yang berisi 14 keping
(76 gram). Pada kantong plastik ditempel kode identitas contoh dan kode desa
untuk menghindari kesalahan pengiriman.
Pelaksanaan Intervensi dan Pendistribusian Biskuit
Sebelum pelaksanaan intervensi, dilakukan sosialisasi mengenai
pemberian makanan tambahan (PMT) di wilayah penelitian dan penandatanganan
surat penjanjian (informed consent) oleh seluruh orang tua contoh dan
pengumpulan data dasar. Kemudian, terhadap masing- masing contoh diberikan
obat cacing berupa sirup anti cacing (Combantrin).
Intervensi terhadap contoh, yaitu pemberian biskuit yang difortifikasi zat
gizi mikro dan plasebo dilakukan dengan pemberian 10 keping (54 gram) biskuit
setiap hari kepada ibunya dari kedua kelompok perlakuan. Biskuit diberikan
setiap satu minggu pada kelompok sasaran, sekaligus mengumpulkan data
konsumsi biskuit tersebut. Masing- masing contoh diberi biskuit untuk 1 minggu
konsumsi (5 bungkus @ 14 keping atau 76 gram) yang diberikan oleh kader
posyandu terlatih. Pemberian biskuit diantar langsung oleh kader ke rumah
45
masing- masing contoh pada hari distribusi selama 4 bulan intervensi. Gambar
selengkapnya mengenai tahapan penelitian disajikan pada Gambar 13.
Gambar 13. Bagan Alir Tahapan Penelitian
Daftar Anak usia 24-38 bulan
Di Kecamatan Dramaga
Dikelompokkan menjadi (2):
Diberi Biskuit Fortifikasi (n=35) & Non
Fortifikasi (n=35) selama 16 minggu
Anak terpilih (n=70 anak),
informed consent, sosialisasi,
pemberian obat cacing
Pemberian Biskuit Fortifikasi dan Plasebo
selama tiga bulan dilanjutkan Pemeriksaan
Kesehatan dan Pemberian Booster DPT
Pengukuran TB, Penimbangan BB,
Pemeriksaan Kesehatan &
Pengambilan Sampel Darah
Pengukuran TB, Penimbangan BB,
Pemeriksaan Kesehatan &
Pengambilan Sampel darah
Pengukuran TB, Penimbangan BB,
Pemeriksaan Kesehatan &
Pengambilan Sampel darah
46
Selain itu, terhadap ibu contoh juga diberikan pengarahan mengenai: (1)
cara pemberian biskuit kepada anaknya, yaitu 2-3 kali per hari, tergantung pada
umur anak (maksimal pemberian 10 keping biskuit/hari); (2) contoh tetap
diberikan makanan seperti biasanya; (3) pemberian biskuit bukan sebagai
pengganti makanan tetapi sebagai tambahan makanan (suplemen), serta (4) biskuit
tersebut tidak boleh diberikan kepada orang/anak lain selain contoh yang
bersangkutan.
Pada saat pembagian biskuit, kader melakukan wawancara terhadap
ibu/pengasuh contoh mengenai konsumsi biskuit dan manfaat yang dirasakan
serta masalah dan keluhan yang mungkin timbul selama intervensi. Untuk
kegiatan membagikan biskuit kepada anak-anak (melalui ibunya) setiap minggu,
diperlukan sekitar 16 orang kader (1 kader menangani 5-7 anak). Pengawasan
pembagian biskuit dilakukan dengan cara mengecek ulang langsung ke rumah
contoh oleh peneliti terhadap sekitar 20% contoh untuk memastikan bahwa
pembagian biskuit telah dilakukan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan.
Untuk itu, dilakukan pertemuan dengan kader di ruang pertemuan Balai
Desa (di rumah kader) setiap minggu, satu hari sebelum kader membagikan
biskuit fortifikasi kepada anak-anak. Pertemuan mingguan dengan para kader
dilakukan untuk koordinasi kegiatan di lapang, perencanaan, pengawasan dan
pemecahan masalah yang muncul di lapang saat pembagian biskuit serta
memantau kesehatan contoh. Berdasarkan disain penelitian, pemberian biskuit
plasebo terhadap kelompok kontrol juga dilakukan dengan mekanisme yang sama.
47
Pengumpulan dan Pengukuran Data
Jenis dan cara pengambilan data disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Jenis Data dan Frekuensi Pengumpulan Data
No Data Frekuensi Waktu
Pengumpulan
Metode Pengukuran
1. Keadaan umum
Wilayah penelitian
1 kali Awal Catatan tertulis
2. Status sosial-
ekonomi Keluarga
1 kali Awal Wawancara
* Jumlah pengeluaran
/bulan
* Jenis pekerjaan
* Kepemilikan barang
3. Umur anak 1 kali Awal Wawancara & pencatatan
4. Riwayat Penyakit
Anak
1 kali Awal Wawancara & pencatatan
5. Imunisasi 1 kali Awal Wawancara & pencatatan
(dirujuk dengan KMS)
6. Konsumsi pangan
Anak
4 kali Setiap bulan
Selama 4 bulan
Pencatatan dan observasi
7 Konsumsi biskuit
Fortifikasi
16 kali Setiap minggu
Selama 4 bulan
Pencatatan dan observasi
8. Penerimaan biskuit
Fortifikasi
16 kali Setiap minggu
Selama 4 bulan
Wawancara, Pencatatan
& observasi
9. Konsumsi vitamin
Dan mineral
2 kali Awal dan akhir Wawancara & pencatatan
10. Keadaan Sanitasi
Higiene
1 kali Awal Wawancara dan observasi
* kondisi fasilitas air
minum
* kondisi fasilitas MCK
* kondisi higiene
Perorangan
11. Keadaan
Kesehatan anak
2 kali Awal dan Akhir Pemeriksaan oleh dokter
12. Status gizi anak 2 kali Awal dan Akhir Penimbangan &
pencattan
13. Imunitas 2 kali Awal dan Akhir Pemeriksaan IgG Total
terhadap tetanus dengan
metode ELISA di Lab
Makmal Terpadu Imuno-
endokrinologi FKUI
Pengolahan dan Pengendalian Kualitas Data
Data-data yang telah terkumpul dari kuesioner, wawancara, pemeriksaan,
pengukuran langsung, dan hasil analisis laboratorium diolah dan dianalisis dengan
menggunakan program Microsoft Excel XP, SPSS versi 12.00 dan Food
Processor Program.
48
Data status gizi ditentukan secara antropometri dengan menggunakan
indeks pengukuran BB/TB. Indeks BB/TB lebih menggambarkan status gizi anak
balita saat ini (current nutritional status) dan indeks BB/TB merupakan indeks
yang dapat membedakan proporsi badan dan independen terhadap umur (Suhardjo
dan Riyadi, 1990). Data berat badan dan tinggi badan digunakan untuk
menentukan Z-skor.
Baku antropometri yang digunakan untuk menentukan status gizi adalah
WHO-NCHS (1983) dan sesuai anjuran PERSAGI (Persatuan Ahli Gizi) pada
tahu 2000 tentang penggunaan baku antropometri status gizi. Ambang batas (cut
off point) kurang gizi anjuran WHO yaitu 2 SD. Klasifikasi status gizi indeks
BB/TB baku WHO-NCHS dengan Z-score adalah:
1. Gemuk : > 2,0 SD baku WHO-NCHS
2. Normal : - 2,0 SD s/d + 2,0 SD
3. Kurus/Wasted : < - 2,0 SD
4. Sangat kurus : < - 3,0 SD
Status gizi mikro dalam penelitian ini meliputi status anemia, status zat
besi, dan status vitamin A. Data status gizi mikro digali dengan cara pengambilan
serum intravena anak sebanyak 2,5 ml dengan mengacu ketentuan ethical
clearence Depkes RI.
Parameter status anemia dengan melihat konsentrasi hemoglobin. Status
anemia dikelompokkan berdasarkan WHO (1982) menjadi dua kelompok:
1. Normal (tidak anemia) jika konsentrasi Hb > 11 g/dL
2. Anemia jika konsentrasi Hb < 11 g/dL
Analisa Hb dilakukan di Laboratorium Puslitbang Gizi Bogor dengan
menggunakan metode DRABKINS, yakni menggunakan reagen Drabkins dan
alkohol 70% untuk desinfektan. Prinsip kerja metode Drabkins adalah hemoglobin
akan diubah menjadi methemoglobin sianida. Methemoglobin sianida sangat
stabil dan mampu mengabsorsi sinar 540 nm sehingga Sianmet-Hb yang terbentuk
dapat diukur.
Status besi dilihat dari tingkat konsentrasi ferritin dalam serum (Fs) dan
dikelompokkan menjadi dua (Cook, 1994), yaitu :
49
1. Normal jika konsentrasi Fs > 12 g/L
2. Defisiensi jika konsentrasi Fs < 12 g/L
Analisis ferritin dengan menggunakan metode Immunometric Assay
(IRMA), yakni ferritin merupakan suatu antigen yang dapat bereaksi dengan
antiserum dari antibodi. Analisis tersebut dilakukan di Laboratorium Puslitbang
Gizi Bogor.
Status vitamin A dilihat dari retinol dalam serum (Rs) dan
dikelompnokkan menjadi 4 kelompok (WHO, 1994), yaitu:
1. Defisiensi jika konsentrasi Rs < 10g/dl;
2. Rendah (defisiensi vitamin A subklinis) jika konsentrasi Rs < 20 - 10g/dl;
3. Marginal jika konsentrasi Rs 20 - 30 g/dl;
4. Baik jika konsentrasi Rs > 30 g/dL.
Analisis vitamin A dilakukan di Laboratorium Puslitbang Gizi Bogor
dengan metode ekstraksi menggunakan HPLC. Standar yang digunakan untuk
analisis retinol adalah Concurrent Liquid-Chromatographic Assay of Retinol
(Thurnham, Smith, dan Flora, 1988).
Data konsumsi pangan digali dengan metode recall 24 jam , yang diambil
saat awal penelitian dan akhir penelitian. Recall konsumsi dilakukan secara
berulang, yakni 4 (empat) kali pengambilan data konsumsi dengan tujuan untuk
memperoleh data yang representatif dan dapat menggambarkan kebiasaan makan
anak balita. Menurut Sanjur (1997), recall konsumsi minimal dilakukan 2 kali dan
tanpa berturut-turut dapat menggambarkan asupan zat gizi lebih optimal dan
memberikan variasi yang lebih besar tentang intik harian individu. Data konsumsi
diolah dengan microsoft excel yang dikonversikan ke dalam satuan zat gizi
dengan berpedoman pada kandungan zat gizi dari daftar komposisi bahan
makanan (DKBM) tahun 1995 sebagai rujukan. Khusus makanan jajanan yang
tidak tercantum dalam DKBM, digunakan DKGJ yang disusun oleh Hardinsyah
dan Briawan (1990). Jumlah total masing- masing zat gizi dirata-ratakan untuk
memperoleh besarnya komposisi rata-rata zat gizi per orang per hari dan tingkat
kecukupan per hari. Tingkat kecukupan zat gizi diperoleh dengan
membandingkan data riil konsumsi dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan
50
(AKG) 2004. Penggolongan tingkat konsumsi dilakukan berdasarkan Depkes RI
(1996), dimana tingkat konsumsi dibagi menjadi dua dengan cut off point 70%,
yakni:
1. Cukup jika konsumsi > 70% AKG
2. Kurang jika konsumsi < 70% AKG
Data imunoglobulin G (IgG) diperoleh melalui pengambilan serum
intravena sebanyak 0,5 mg oleh petugas ahli medis. Data pengukuran titer IgG
dengan metode ELISA di laboratorium Makmal Terpadu Imunoendokrinologi
FKUI. Serum dalam darah memenuhi syarat atau protektif bilamana diperoleh
titer antibodi minimal > 0, 1 IU/ml. Titer IgG diklasifikasikan menjadi tiga
kelompok (Kunarti, 2004) yakni:
1. Titer IgG rendah jika titer antibodi 0,0 1,0 IU/ml
2. Titer IgG cukup jika titer antibodi >1,0 1,5 IU/ml
3. Titer IgG tinggi jika titer antibodi > 1,5 IU/ml
Untuk mengendalikan dan menjamin kualitas data yang digali oleh para
enumerator, maka dilakukan pelatihan terhadap enumerator dengan cara
mengujicoba kemampuan enumerator dalam penggalian data, yakni try out
kuesioner. Tujuan pelatihan adalah untuk menstandarisasi pemahaman kualitas
data yang dikumpulkan. Langkah- langkah yang dilakukan adalah:
1. Melakukan seleksi dan pelatihan enumerator; termasuk mengidentifikasi dan
mengatasi masalah yang mungkin muncul selama pengambilan data di
lapangan;
2. Melakukan kalibrasi alat ukur timbangan dan tinggi badan;
3. Memakai tenaga profesional untuk pengambilan darah anak balita dan sampel
darah dikirim ke laboratorium yang sudah terakreditasi, yakni Laboratorium
Makmal Terpadu FKUI;
4. Memakai tenaga profesinal untuk pengambilan vaksin DPT di Biofarma
Bandung, untuk menjaga vaksin tetap berkualitas bagus;
5. Memakai tenaga profesional untuk pemberian booster DPT kepada contoh;
6. Verifikasi data melalui pemantauan dan observasi, melakukan pemantauan
faktor bias penelitian antara lain konsumsi pangan, imunisasi, dan morbiditas.
51
Observasi dilakukan dengan wawancara ulang 10% oleh peneliti untuk
memeriksa kembali (re-check) data yang dikumpulkan oleh enumerator;
7. Melakukan supervisi untuk mengatasi semua masalah yang muncul selama
pengumpulan data di lapangan, dan mengetahui efektivitas wawancara serta
kelengkapan data.
Data yang telah terkumpul diberi kode berdasarkan code book yang
disusun menurut pertanyaan dalam kuesioner. Kemudian dilakukan pembuatan
file data base yang berbentuk tabel yang terdiri dari beberapa kolom antara lain
no, peubah, arti peubah, dan nilai. Kemudian dilakukan editing data. Semua data
yang terkumpul kemudian dientri ke dalam komputer Microsoft Excel. Entri data
dilakukan oleh peneliti setelah dilakukan pemeriksaan atas kelengkapan dan
realibilitas data.
Untuk memastikan bahwa tidak ada kesalahan selama proses entri data
dilakukan cleaning data, untuk memeriksa kelengkapan dan kons istensi data yang
telah dientri ke dalam komputer. Cleaning data dilakukan dengan verifikasi data
oleh orang yang berbeda, yaitu dilakukan entri ulang (re-entry) atas 10% dari data
yang telah dientri. Entri ulang data dilakukan untuk membandingkan antara data
yang dientri pertama dan yang kemudian.
Analisis data dilakukan secara deskriptif dan statistik. Untuk mengetahui
perbedaan antara perlakuan dan kontrol dilakukan dengan uji pembeda yaitu Uji-t
dan untuk mengetahui peningkatan status gizi antropometri, konsentrasi Hb, status
besi, dan status vitamin A, serta IgG Total digunakan uji perbandingan rata-rata
(dengan membandingkan peningkatan delta dari kelompok perlakuan dan
plasebo).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Biskuit Fortifikasi
Formula biskuit dirancang oleh WFP (World Food Programme) dan
diproduksi oleh PT Danone Biscuits Indonesia, salah satu industri terkenal yang
memproduksi makanan dan minuman komersial. Biskuit yang difortifikasi
bermerk BISKUAT ENERGI yang diperkaya dengan vitamin A dan zat besi.
Jumlah vitamin A dan zat besi (Fe) yang ditambahkan pada biskuit fortifikasi per
100 gram masing- masing sebesar 235,65 g (109,1% AKG) dan 4,17 mg (96,5%
AKG).
Kandungan vitamin A dan zat besi biskuit fortifikasi, jika dibandingkan
dengan biskuat plasebo, muatan vitamin dan mineral biskuit fortifikasi jauh lebih
besar. Pemberian biskuit fortifikasi sebanyak 54 gram (10 keping biskuit) dapat
mencukupi hampir 2/3 AKG. Vitamin A pada 100 gram biskuit fortifikasi dapat
mencukupi 109,1% AKG anak balita dibandingkan dengan biskuit plasebo hanya
dapat mencukupi 25% AKG. Kandungan zat besi biskuit fortifikasi pun juga jauh
lebih besar, yakni 96,5% AKG dibandingkan dengan 8% AKG untuk tiap 100
gram biskuit tersebut.
Biskuat fortifikasi tersebut, diproduksi secara khusus untuk United
Nations-World Food Programme (UN-WFP) sebagai program bantuan perbaikan
gizi anak balita dan anak sekolah dasar dengan tujuan untuk menurunkan
prevalensi defisiensi zat gizi mikro pada kelompok usia tersebut.
Keadaan Demografi Wilayah Penelitian
Kondisi wilayah Bogor berbukit-bukit, terletak pada ketinggian 500 m di
atas permukaan air laut. Kecamatan Dramaga merupakan salah satu kecamatan
dari 33 kecamatan di Kota Bogor, Propinsi Jawa Barat. Luas wilayah Kecamatan
Dramaga 3743 ha, memiliki 10 desa, yakni: Desa Cikarawang, Desa Babakan,
Desa Dramaga, Desa Sukawening, Desa Ciherang, Desa Sinarsari, Desa
Neglasari, Desa Petir, Desa Purwasari, dan Desa Sukadamai. Secara lengkap
gambaran wilayah Kecamatan Dramaga disajikan pada Tabel 3.
53
Tabel 3. Gambaran Wilayah Kecamatan Dramaga
Kondisi Wilayah Kecamatan Jumlah
1. Sebaran Penduduk menurut Tingkat Pendidikan (orang)
a. Belum sekolah
b. Tidak tamat SD
c. Tamat SD/Sederajat
d. Tamat SLTP/Sederajat
e. Tamat SLTA/Sederajat
f. Tamat Akademi/Sederajat
g. Tamat Perguruan Tinggi/Sederajat
h. Buta Huruf
10.484
34.908
26.564
10.515
8.402
673
1.377
272
2. Sebaran Penduduk menurut Jenis Pekerjaan (orang)
a. Pertanian
b. Pengusaha
c. Pengrajin
d. Industri Kecil
e. Buruh Industri
f. Pertukangan
g. Pedagang
h. Pengemudi
i. Pegawai Negeri Sipil
j. TNI/POLRI
k. Pensiunan
l. Lain-lain
9.782
8
189
185
1.620
308
4.785
1.785
946
51
193
709
3. Sarana dan Prasarana Kesehatan
a. Rumah Bersalin/BKIA (buah)
b. Poliklinik (buah)
c. Puskesmas dengan Tempat Perawatan (buah)
d. Puskesmas (buah)
e. Puskesmas Pembantu (buah)
f. Jumlah Dokter (orang)
g. Jumlah Paramedis (orang)
h. Praktek Dokter (orang)
i. Bidan Praktek (orang)
j. Bidan Desa (orang)
k. Dukun Sunat (orang)
l. Dukun Bayi/Paraji (orang)
m. Apotek (buah)
n. Toko Obat (buah)
4
1
1
4
3
33
80
9
6
10
2
7
2
11
Sumber: Data Monografi Kecamatan Tahun 2005.
Tidak semua desa dipakai sebagai lokasi penelitian, ada dua desa yang
sulit sekali dijangkau dan atas dasar kemudahan dalam logistik maka kedua desa
tersebut tidak diikutkan dalam penelitian. Kedua desa yang tidak digunakan
adalah Desa Purwasari dan Desa Sukadamai.
54
Sebagian besar tanah di kecamatan Dramaga dimanfaatkan untuk
persawahan kering (pekarangan, kebun, dan ladang), yakni sebesar 1.145 ha.
Sebelah Utara Kecamatan Dramaga terletak Desa Cikarawang yang berbatasan
dengan Kecamatan Rancabungur. Sebelah Selatan terdapat Desa Purwasari
berbatasan dengan Kecamatan Tamansari. Sebelah Barat terdapat Desa Babakan
yang berbatasan dengan IPB, Desa Neglasari dengan Kecamatan Ciampea, dan
Desa Purwasari dengan Kecamatan Tenjojaya. Sebalah Timur terdapat Desa
Sukawening yang berbatasan dengan Kecamatan Ciomas serta Desa Babakan dan
Desa Cikarawang berbatasan dengan Kodya Bogor.
Jumlah penduduk wilayah Dramaga 82.471 orang, terdiri dari 19.393
kepala rumah tangga. Kecamatan Dramaga memiliki 18.028 (46,7%) rumah
tangga miskin dengan jumlah anak balita sebesar 7.295 anak. Sebagian besar
penduduknya tidak tamat SD dan mata pencaharian penduduknya cukup
bervariasi mulai dari sektor pertanian, perdagangan, pegawai negeri, dan lain- lain.
Sebagian besar penduduk wilayah Kecamatan Dramaga bekerja sebagai petani
dan pedagang. Sebagian besar keluarga contoh berpenghasilan dibawah kebutuhan
fisik minimum.
Sarana dan prasarana kesehatan di Kecamatan Dramaga pada Tabel 3
tersebut tersedia cukup memadai, yang dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh
penduduk setempat dan cukup baik dalam melayani kebutuhan masyarakatnya.
Kondisi Tempat Tinggal Rumah Tangga Contoh
Pada umumnya keluarga contoh memiliki anggota keluarga berjumlah
lima orang. Baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok plasebo, sebagian
besar jumlah anggota keluarga termasuk pada kelompok 3-5 orang. Ada beberapa
keluarga yang memiliki anggota keluarga 6-8 orang. Banyaknya anggota keluarga
contoh disajikan pada Tabel 4.
Kepemilikan rumah keluarga contoh disajikan pada Tabel 5. Sebagian
besar status rumah adalah milik sendiri, baik pada kelompok perlakuan maupun
plasebo dan hanya sebagian kecil masing- masing (5,7%) keluarga contoh dari
kelompok perlakuan dan plasebo menempati rumah milik orang lain
55
(sewa/kontrak rumah). Sebagian lagi keluarga contoh menempati rumah milik
orang tuanya.
Tabel 4. Besar Keluarga Contoh menurut Jumlah Anggota Keluarga
Kelompok
Perlakuan Plasebo
Besar Keluarga
Contoh (Orang)
n % n %
3-5 21 60,0 22 62,9
6-8 14 40,0 11 31,4
> 9 0 0 2 5,7
Total 35 100,0 35 100,0
Tabel 5. Kepemilikan Rumah dari Keluarga Contoh
Kelompok
Perlakuan Plasebo
Kepemilikan Rumah
n % n %
Milik Sendiri 17 48,6 19 64,3
Milik Orang Tua 16 45,7 14 40,0
Milik Orang Lain 2 5,7 2 5,7
Total 35 100,0 35 100,0
Kondisi bangunan rumah dan penerangan ditampilkan pada Tabel 6.
Kondisi bangunan rumah pada kelompok perlakuan dan plasebo tidak berbeda.
Rata-rata rumah tangga contoh baik kelompok perlakuan maupun plasebo
menempati rumah dengan keadaan bangunan yang permanen atau semi permanen.
Tabel 6. Keadaan Bangunan dan Penerangan Rumah Keluarga Contoh
Kelompok
Perlakuan Plasebo
Kondisi Rumah dan
Penerangan
n % n %
1. Kondisi Bangunan:
- Permanen 23 65,7 17 48,7
- Semi Permanen 11 31,4 14 40,0
- Tidak Permanen 1 2,9 5 14,3
Total 35 100,0 35 100,0
2. Penerangan Rumah:
- Listrik 35 100,0 33 94,3
- Lampu minyak 0 0 2 5,7
Total 35 100,0 35 100,0
Sebagian besar rumah tangga contoh menggunakan listrik untuk
penerangan sehari- hari. Pada kelompok perlakuan 100% penerangan sehari- hari
56
dengan menggunakan listrik. Pada kelompok plasebo masih ada sekitar 5,7%
rumah tangga contoh yang penerangannya menggunakan lampu minyak.
Ventilasi rumah keluarga contoh ditunjukkan pada Tabel 7. Ventilasi
dicerminkan dari sirkulasi udara sehari- hari, yakni dari perlakuan keluarga contoh
untuk membuka jendela pada pagi hari. Nampaknya sebagian besar keluarga
contoh kadang-kadang membuka jendela pada pagi hari kalau ingat, tetapi sering
kali lupa membuka jendela rumah. Bahkan ada jendela rumah keluarga contoh
yang susah untuk dibuka (ditutup mati) sehingga tidak bisa dibuka sama sekali.
Tabel 7. Keadaan Ventilasi Rumah Tangga Contoh
Kelompok
Perlakuan Plasebo
Keadaan
Ventilasi
n % n %
Baik 11 31,4 2 5,7
Cukup Baik 20 57,2 19 54,3
Tidak Baik 4 11,4 14 40,0
Total 35 100,0 35 100,0
Kondisi ventilasi rumah pada kelompok perlakuan jauh lebih bagus
dibandingkan dengan kelompok plasebo. Pada kelompok plasebo masih ada
sekitar 40% keluarga yang ventilasi rumahnya tidak bagus, artinya masih banyak
warga yang tidak mau membuka jendela rumahnya. Hanya ada 5,7% rumah
tangga contoh kelompok plasebo yang selalu membuka jendela pada pagi hari
sehingga ventilasi rumah mernjadi baik.
Sarana kebersihan pada kelompok perlakuan lebih baik daripada kelompok
plasebo. Kepemilikan septiktank dan bak sampah sendiri di wilayah penelitian
belum menjadi prioritas utama (Tabel 8).
Sebagian besar keluarga contoh baik dari kelompok perlakuan maupun
plasebo tidak memiliki sarana septiktank di rumah sendiri. Mereka selalu pergi ke
sungai atau jamban umum untuk keperluan buang air besar (BAB). Hanya
sebagian kecil saja keluarga contoh dari kelompok perlakuan dan plasebo yang
memiliki septiktank sendiri. Demikian pula kepemilikan bak sampah, sebagian
besar rumah tangga contoh baik dari kelompok perlakuan maupun plasebo tidak
mempunyai bak penampungan sampah sendiri. Hanya sebagian kecil saja (17,2%)
57
dari kelompok perlakuan dan 8,6% dari kelompok plasebo, yang memiliki bak
sampah sendiri. Rata-rata mereka membuang sampah di pekarangan rumah dan
sebagian kecil yang membuang sampah di sungai. Ketersediaan tempat sampah
lebih banyak dimiliki oleh kelompok perlakuan.
Tabel 8. Sarana Septiktank Rumah Tangga Contoh
Kelompok
Perlakuan Plasebo
Sarana
Kebersihan
n % n %
1. Septiktank :
- Ada 13 37,2 6 17,2
- Tidak ada 22 62,8 29 82,8
Total 35 100,0 35 100,0
2. Bak (tempat) Sampah:
- Ada 6 17,2 3 8,6
- Tidak ada 29 82,8 32 91,4
Total 35 100,0 35 100,0
Sumber air yang digunakan (Tabel 9) oleh rumah tangga contoh sebagian
besar dari mata air, yakni 71,5% dari kelompok perlakuan dan hanya 34,3% dari
kelompok plasebo. Sebagian kecil saja yang menggunakan air sungai masing-
masing 5,7% dari kelompok perlakuan dan plasebo.
Tabel 9. Sumber Air Rumah Tangga Contoh
Kelompok
Perlakuan Plasebo
Sumber Air yang
Digunakan
n % n %
PAM 4 11,4 9 25,7
Sumur 4 11,4 12 34,3
Mata Air 25 71,5 12 34,3
Sungai 2 5,7 2 5,7
Total 35 100,0 35 100,0
Hanya sedikit warga yang menggunakan air PAM ataupun sumur baik dari
kelompok perlakuan maupun kelompok plasebo. Sumber air dari mata air
dimanfaatkan secara bersama-sama oleh penduduk setempat di tempat-tempat
tertentu yang sudah mereka bangun secara gotong-royong. Namun ada sebagian
rumah tangga yang sudah mampu membuat saluran dari mata air ke masing-
masing rumah.
58
Kepemilikan Kartu Sehat
Kepemilikan kartu sehat dan kartu berobat ditampilkan pada Tabel 10.
Rata-rata rumah tangga contoh baik dari kelompok perlakuan maupun plasebo
tidak memiliki kartu sehat ataupun kartu miskin/berobat. Padahal keadaan rumah
tangga contoh sebagian besar termasuk dalam kategori rumah tangga miskin.
Hanya sebagian kecil saja rumah tangga contoh dari kelompok perlakuan dan
plasebo yang memiliki kartu sehat dan kartu miskin tersebut. Kartu sehat sebagian
besar dimiliki sejak tahun 2004. Hanya ada sebagian kecil saja yang telah
memiliki kartu sehat dari tahun 2000, 2002, dan 2003.
Demikian juga kepemilikan kartu berobat pada rumah tangga contoh tidak
merata. Sebagian besar mereka tidak memiliki kartu berobat, dan hanya masing-
masing 28,6% rumah tangga contoh yang memiliki kartu berobat dari kedua
kelompok..
Tabel 10. Kepemilikan Kartu Sehat dan Kartu Berobat
Kelompok
Perlakuan Plasebo Kepemilikan Kartu
n % n %
1. Kartu Sehat
- Ada 13 37,2 17 48,6
- Tidak ada 22 62,8 18 51,4
Total 35 100 35 100
2. Kartu Berobat
- Ada 10 28,6 10 28,6
- Tidak ada 25 71,4 25 71,4
Total 35 100,0 35 100,0
Pengetahuan Gizi Ibu
Pengetahuan gizi ibu dinilai dari banyaknya skor yang didapatkan ibu atas
jawaban pertanyaan tentang masalah gizi. Sebanyak 40 pertanyaan diberikan
kepada ibu balita yang berkaitan dengan pengetahuan gizi melalui kuesioner yang
dapat diisi sendiri oleh ibu ataupun dibacakan oleh enumerator berdasarkan
pedoman wawancara (protokol). Jawaban benar diberi nilai 1 dan jawaban salah 0.
Hasil jawaban ibu dikonversi menjadi skor pengetahuan gizi. Kategori
pengetahuan gizi dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bagian, yakni rendah (skor <
60%) dengan batasan nilai < 24, skor sedang (skor 60% 80%) yang bekisar dari
59
nilai 24 sampai dengan 32, dan skor tinggi (skor > 80%) yang skornya > 32.
Skor pengetahuan ibu balita contoh pada awal intervensi berada dalam
taraf sedang (60%80%) dengan skor rata-rata 30,3+3,9. Pada kelompok plasebo
skor rata-rata berkisar pada kategori sedang dan sedikit lebih tinggi daripada
kelompok perlakuan, yakni 30,5+3,5. Sedangkan pada kelompok perlakuan
sedikit lebih rendah, namun pengetahuan gizi ibu masih dalam kategori sedang
pula, dengan skor rata-rata 30,2+4,3. Penyebaran pengetahuan gizi ibu
ditampilkan pada Tabel 11.
Tabel 11. Pengelompokan Pengetahuan Gizi Ibu pada Awal Intervensi
Menurut Kategori
Kelompok
Perlakuan Plasebo
Pengetahuan Gizi Ibu
Balita Contoh
n % n %
Rendah (< 60%) 1 2,8 3 8,4
Sedang (60% - 80%) 22 62,8 20 57,2
Tinggi (> 80%) 12 34,4 12 34,4
Jumlah 35 100,0 35 100,0
Sebagian besar pengetahuan gizi ibu balita dalam kategori sedang dan
hanya sebagian kecil saja ibu balita contoh baik dari kelompok perlakuan maupun
plasebo yang mempunyai pengetahuan gizi tinggi. Sebagian kecil lagi ibu balita
contoh memiliki pengetahuan gizi yang rendah, (2,8%) dari kelompok perlakuan
dan (8,4%) dari kelompok plasebo. Pertanyaan yang tidak bisa dijawab benar oleh
ibu balita adalah masalah zat gizi mikro, meliputi sumber pangan dan manfaatnya.
Semakin rendah pengetahuan gizi ibu, dimungkinkan semakin tidak tahu
ibu balita untuk memberikan, mempersiapkan, dan menyajikan makanan yang
bergizi pada anak balitanya. Pengetahuan gizi ibu berpengaruh terhadap kualitas
gizi anak (Wachs, 2005). Kurangnya pengetahuan gizi atau kemampuan untuk
menerapkan informasi gizi dalam kehidupan sehari- hari akan berakibat kurang
gizi (Suhardjo, 1989). Tiga puluh persen anak berstatus gizi buruk di Indonesia
dikarenakan rendahnya pengetahuan gizi ibu dan kesehatan (Azwar, 2000). Grafik
penyebaran pengetahuan gizi ibu menurut skor disajikan pada Gambar 14.
60
Keterangan:
PGI Plasebo = Pengetahuan Gizi Ibu Kelompok Plasebo
PGI Perlakuan = Pengetahuan Gizi Ibu Kelompok Perlakuan
Gambar 14. Grafik Penyebaran Pengetahuan Gizi Ibu Menurut Skor
Karakteristik Contoh
Karakteristik balita contoh disajikan pada Tabel 12. Balita contoh dalam
penelitian ini 51,4% berjenis kelamin perempuan dan 48,6% berjenis kelamin
laki- laki. Proporsi anak balita menurut jenis kelamin disajikan pada Gambar 15.
48.6
51.4
Laki-laki Perempuan
Gambar 15. Proporsi Anak Balita Contoh Menurut Jenis Kelamin
Pada kelompok perlakuan anak laki- laki lebih banyak (57,2%) daripada
anak perempuan (42,8%). Sebaliknya pada kelompok plasebo anak perempuan
lebih banyak (60%) dari pada laki- laki (40%). Namun kondisi gender yang
demikian tidak berpengaruh terhadap hasil penelitian.
61
Tabel 12. Karakteristik Balita Contoh menurut Jenis Kelamin, Umur,
Urutan dalam Keluarga, Riwayat Lahir, Riwayat Penyakit,
Imunisasi, dan Kedatangan di Posyandu.
Kelompok
Perlakuan Plasebo Karakteristik Balita Contoh
n % n %
1. Jenis Kelamin
- Laki-laki
- Perempuan
20
15
57,2
42,8
14
21
40,0
60,0
Total 35 100,0 35 100,0
2. Umur dalam Bulan
- < 30
- > 30
18
17
51,4
48,6
25
10
71,4
28,6
Total 35 100,0 35 100,0
2. Urutan Dalam Keluarga
- Pertama
- Kedua
- Ketiga
- > 3
12
8
8
7
34,2
22,9
22,9
20,0
14
12
7
2
40,0
34,3
20,0
5,7
Total 35 100,0 35 100,0
3. Riwayat Lahir
- Normal
- Tidak Normal/kelainan
35
0
100,0
0
34
1
97,2
2,8
Total 35 100,0 35 100,0
4. Tempat Lahir
- Rumah Sakit
- Rumah
- Dukun Bayi (Bidan)
0
22
13
0
62,8
37,2
1
30
4
2,8
85,2
12,0
Total 35 100,0 35 100,0
5. Imunisasi
- Ya, lengkap
- Ya, tidak lengkap
29
6
82,8
17,2
32
3
91,4
8,6
Total 35 100,0 35 100,0
6. Kehadiran di Posyandu
- Selalu/rutin
- Kadang-kadang
30
5
85,7
14,3
32
3
91,4
8,6
Total 35 100,0 35 100,0
Umur anak balita contoh dikelompokkan menjadi dua bagian, yakni balita
contoh berumur < 30 bulan dan balita yang umurnya > 30 bulan. Banyaknya anak
menurut kelompok umur dari kedua kelompok tidak berbeda jauh, dengan
komposisi anak yang dalam kelompok umur < 30 lebih besar dibandingkan
dengan anak kelompoki umur > 30 bulan. Anak balita contoh yang berumur lebih
dari 30 bulan sebesar 51,4% dari kelompok perlakuan dan 71,4% dari kelompok
plasebo.
62
Rata-rata urutan anak dalam keluarga sebagai anak pertama baik pada
kelompok perlakuan maupun plasebo. Besarnya persentase urutan anak dalam
keluarga untuk kedua kelompok sama, berturut-turut yakni: sebagian besar balita
contoh merupakan anak pertama, kedua, dan ketiga. Sebagian lagi mereka
merupakan anak yang urutanya lebih dari ketiga, yakni anak keempat, kelima dan
kesembilan.
Kondisi balita contoh saat dilahirkan sebagian besar berbadan normal,
97,2% dari kelompok plasebo dan bahkan 100% dari kelompok perlakuan. Hanya
2,8% balita contoh dari kelompok plasebo yang mengalami kelainan saat
kelahiran, yakni leher terlilit plasenta (kalung usus). Riwayat kelahiran balita
contoh sebagian besar normal dan pertolongan persalinan semuanya dilakukan
oleh dukun bayi pada masing- masing desa (paraji istilah setempat). Namun ada
2,8% kelahiran balita contoh yang akhirnya di bawa ke rumah sakit dan ditolong
oleh dokter karena kelainan. Adapun tempat kelahiran balita contoh sebagian
besar dilahirkan di rumah baik dari kelompok plasebo maupun kelompok
perlakuan. Pada kelompok plasebo hanya ada 2,8% balita contoh yang dilahirkan
di rumah sakit dikarenakan ada kelainan terlilit tali pusat saat kelahiran.
Semua balita contoh (100%) telah mendapatkan imunisasi pada waktu
bayi, baik dari kelompok perlakuan maupun plasebo. Namun ada beberapa anak
balita contoh baik kelompok perlakuan maupun plasebo yang imunisasinya tidak
lengkap. Hal tersebut tidak berpengaruh terhadap hasil penelitian, karena semua
anak balita contoh telah mendapatkan imunisasi DPT seperti yang disyaratkan
pada pengambilan contoh. Sebagian besar (90,0%) balita contoh tidak pernah
merasakan panas yang berkelanjutan setelah diimunisasi BCG, Polio dan Campak,
dan hanya 10,0% balita contoh yang menderita demam setelah diimunisasi. Tetapi
panas yang dirasakan setelah diimunisasi paling lama sekitar dua hari saja. Pada
imunisasi DPT 100% anak balita merasakan panas tetapi panas yang dirasakan
tidak berkelanjutan (normal). Berarti balita contoh tersebut tergolong dalam
kondisi yang masih normal dan sehat. Jenis imunisasi yang sudah didapatkan
diantaranya: imunisasi BCG, Hepatitis, DPT, Polio, dan Campak.
63
Untuk memantau pertumbuhan berat badan (BB) anak balita, kegiatan
posyandu dilakukan setiap satu bulan sekali dengan kegiatan utama berupa
penimbangan. Sebagian besar ibu balita contoh membawa anaknya ke posyandu
untuk penimbangan, baik dari kelompok perlakuan maupun plasebo. Hanya
sebagian kecil saja (8,6%) ibu balita contoh dari kelompok plasebo yang tidak
selalu datang ke posyandu dan 14,3% dari kelompok perlakuan.
Riwayat Penyakit Anak Balita
Untuk menggambarkan derajat kesehatan anak balita di wilayah penelitian
dilakukan studi morbiditas, yakni wawancara dan pemeriksaan kesehatan anak
sebelum intervensi dimulai dan setelah intervensi biskuit. Wawancara dan
pemeriksaan kesehaan dilakukan oleh peneliti dan dokter untuk menggali data
tentang penyakit yang diderita anak sebulan sebelum intervensi dan sesudah
pemberian biskuit. Menurut hasil laporan profil kesehatan Indonesia 2004,
penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dan diare merupakan penyakit
yang banyak diderita anak balita dan menempati urutan pertama dan kedua, yakni
berturutan sebesar 22,8% dan 13,2% (Depkes RI, 2006). Sedangkan jenis penyakit
yang diderita anak balita sebelum dan setelah penelitian disajikan pada Tabel 13.
Tabel 13. Riwayat Penyakit Anak Balita Sebelum dan Sesudah Intervensi
Kelompok Perlakuan Kelompok Plasebo
Jenis Penyakit
n % n %
Awal intervensi
1. ISPA
2. Diare
3. Demam
4. Demam dan Pilek
5. Kulit (gatal)
5
3
4
6
2
14,3
8,6
11,4
17,1
5,8
6
4
4
5
1
17,1
11,4
11,4
14,3
2,9
Akhir intervensi
1. ISPA
2. Diare
3. Demam
4. Demam dan Pilek
5. Kulit (gatal)
0
1
0
2
1
0
2,9
0
5,8
2,9
1
2
1
4
1
2,9
5,8
2,9
11,4
2,9
Diare dan ISPA merupakan penyakit yang sering menjangkiti anak-anak
balita di wilayah penelitian. Kedua penyakit tersebut dikarenakan kondisi
lingkungan dan pengasuhan (caring) ibu terhadap anak kurang memperhatikan
64
kebersihan sehingga tidak higienis. Penyakit lain yang sering menyertai ISPA dan
diare adalah demam.
Defisiensi vitamin A dan anemia dilaporkan berhubungan dengan infeksi
parasit yang dapat menyebabkan anak diare (Motarjemi, et al., 1993). Penyakit
diare mempunyai dampak besar setelah ISPA terhadap pertumbuhan anak-anak,
bahkan penyebab 13 juta kasus kematian anak-anak balita setiap tahunnya
(Motarjemi, et al., 1993).
Hasil studi meta-analisis dari 15 studi mengungkapkan bahwa defisiensi
vitamin A berpengaruh terhadap morbiditas dan kelangsungan hidup anak
(Thurnham, et al., 2003), dan defisiensi vitamin A berpengaruh terhadap ISPA
(Mahalanabis, et al., 2004), dan terhadap saluran pencernaan (Thurnham, et al.,
2000).
Secara umum kondisi kesehatan anak balita sebulan sebelum intervensi
adalah baik, sebagian besar anak balita sehat, baik pada kelompok perlakuan
maupun plasebo. Keterangan mengenai penyakit anak-anak sebulan sebelum
dilakukan penelitian pada anak-anak balita yang diperiksa oleh tim dokter,
terdapat 14,3% dari kelompok perlakuan dan 17,1 % kelompok plasebo
menunjukkan gejala infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), yakni batuk disertai
nafas yang cepat dan pendek.
Sebelum intervensi ada 11,4% anak balita dari masing- masing kelompok
yang sakit panas (demam). Demam yang disertai pilek terjadi pada anak
kelompok perlakuan sebesar 17,1% dan 14,3% pada kelompok plasebo, serta
penyakit gatal sebesar 5,8% pada kelompok perlakuan dan 2,9% dari plasebo.
Kedua kelompok mendapat pengobatan sebagian besar dari Puskesmas
setempat untuk anak dengan gejala ISPA dan atau panas. Dua pertiga dari anak
yang menderita panas dibawa ke Puskesmas oleh orang tuanya dan semuanya
diberi parasetamol. Sepertiganya dibiarkan saja oleh orang tuanya dan diberi obat
dari warung.
Selain ISPA, penyakit diare sering dialami anak balita di daerah penelitian.
Sebulan sebelum intervensi, terdapat 8,6 % anak balita yang menderita diare pada
kelompok perlakuan dan 11,4 % pada kelompok plasebo. Dua pertiga anak balita,
65
baik dari kelompok perlakuan maupun plasebo, yang menderita diare dibawa ke
Puskesmas oleh orang tuanya dan diobati dengan garam oralit. Sepertiga lagi
dirawat sendiri oleh ibu balita dan diobati dengan larutan gula dan garam (LGG).
Setelah pemberian biskuit selama 16 minggu, ada 2,9 % anak balita
kelompok plasebo yang masih menderita ISPA. Beberapa anak balita pada
kelompok perlakuan dan plasebo berturut-turut menderita penyakit diare 2,9 dan
5,8 %, dan demam disertai pilek sebesar 5,8 % dan 11,4 %, serta penyakit kulit
(gatal) masing- masing 2,9 %. Semua anak yang sakit gatal dibawa ke Puskesmas
oleh orang tuanya dan semuanya diberi salep hidrocortison.
Untuk melihat pengaruh efikasi biskuit fortifikasi terhadap morbiditas
anak balita, dicari skor morbiditas. Skor morbiditas dihitung berdasarkan skor
penyakit dikalikan dengan lama penyakit dengan memberi skor yang tinggi pada
penyakit infeksi yang berdampak fatal. Untuk mengetahui besaran resiko suatu
penyakit digunakan skor yang dibuat berdasarkan hasil wawancara dengan dokter.
Skor 10 untuk penyakit yang tidak beresiko fatal seperti penyakit kulit, sariawan,
dan mata. Skor 50 untuk penyakit bronchitis, asma, dan ISPA. Skor 70 untuk
penyakit campak serta 80 untuk diare dan muntaber yang dinilai beresiko fatal.
Rata-rata skor morbiditas anak balita ditampilkan pada Tabel 14.
Tabel 14. Rata-rata Skor Morbiditas Anak Balita Sebelum dan Sesudah
Intervensi
Rata-rata
Morbiditas
Perlakuan Plasebo
P
Awal 77,29
a
55,0
ab
0,08
Akhir 9,80
b
41,89
b
0,01*
Delta 67,49
b
13,11
b
0,00*
* p<0,05
Keterangan: huruf superscript yang sama pada kolom yang sama menunjukkan berbeda
nyata pada uji t (p<0,05)
Berdasarkan tabel 14, skor morbiditas yang tinggi sebelum intervensi
cukup tinggi dan menurun setelah intervensi. Hal ini menandakan adanya dampak
positif dari pemberian biskuit fortifikasi terhadap kesehatan anak balita. Pada
kelompok perlakuan skor morbiditas nyata- nyata lebih tinggi penurunanya
dibandingkan dengan kelompok plasebo, delta penurunan pada kelompok
66
perlakuan sebesar 67,49 dibanding 13,11 pada kelompok plasebo. Hasil uji-t
menunjukkan bahwa skor morbiditas kelompok perlakuan berbeda nyata (p<0,05)
dengan kelompok plasebo. Uji beda delta kelompok perlakuan dan plasebo
menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p<0,05) pula.
Konsumsi Biskuit Fortifikasi pada Balita Contoh
Konsumsi biskuit oleh balita contoh disajikan pada Tabel 15. Biskuit
merupakan salah satu makanan yang sudah merakyat, acceptable dan disukai
anak-anak balita. Dari hasil wawancara dan pengamatan, sekitar 97,2 % balita
contoh menyukai biskuit baik pada kelompok perlakuan maupun plasebo. Hanya
2,8 % (1 anak balita contoh) yang tidak menyukai biskuit baik pada kelompok
perlakuan maupun dari kelompok plasebo.
Tabel 15. Konsumsi Biskuit pada Balita Contoh
Kelompok
Perlakuan Plasebo Konsumsi Biskuit oleh Balita
n % n %
1. Kesukaan
- Ya
- Tidak
34
1
97,2
2,8
34
1
97,2
2,8
Total 35 100,0 35 100,0
2. Cara Makan
- Dimakan Biasa
- Dicelupkan ke air susu
- Dicelupkan ke air putih
- Dicelupkan ke air teh
- Dimakan biasa +
dicelupkan ke air putih
23
6
1
2
3
65,6
17,3
2,8
5,7
8,6
25
4
2
1
3
71,5
11,4
5,7
2,8
8,6
Total 35 100,0 35 100,0
3. Banyaknya Konsumsi
- < 70%
- > 70%
1
34
2,9%
97,1
5
30
14,3%
85,7%
Total 35 100,0 35 100,0
Ketidaksukaan anak terhadap biskuit dikarenakan biskuit berasa manis,
sedangkan balita contoh tersebut tidak menyukai rasa manis. Anak-anak tersebut
cenderung menyukai rasa asin gurih. Untuk menghilangkan/menetralkan rasa
manis biskuit, setiap balita contoh yang tidak menyukai biskuit selalu
mengkonsumsi biskuit dengan cara biskuit dicelupkan ke air putih (cai herang).
67
Sehingga ketidaksukaan balita contoh terhadap biskuit tersebut tidak
mempengaruhi konsumsi biskuit selanjutnya.
Cara anak balita contoh dalam mengkonsumsi biskuit cukup bervariasi,
antara lain: biskuit dimakan biasa/langsung dimakan, biskuit terlebih dahulu
dicelupkan ke air putih, dicelupkan ke air susu, ataupun dicelupkan ke air teh. Ada
juga balita contoh yang mengkonsumsi biskuit dengan cara kombinasi, yakni
kadang biskuit dicelupkan ke air putih, kadangkala biskuit dimakan biasa secara
langsung.
Persentase cara makan biskuit baik pada kelompok perlakuan maupun
plasebo sama. Sebagian besar anak balita contoh mengkonsumsi biskuit secara
langsung/biskuit dimakan biasa (digado menurut bahasa setempat), baik pada
kelompok perlakuan (65,6%) maupun kelompok plasebo (71,5%). Sebagian lagi
mengkonsumsi biskuit dengan dicelupkan ke air susu (17,3% pada kelompok
perlakuan dan 11,4% pada kelompok plasebo). Sisanya, 2,8% (kelompok
perlakuan) dan 5,7% (plasebo) biskuit dicelupkan ke air putih hanya 2,8% dan
8,6% dengan cara kombinasi.
Biskuit fortifikasi yang diberikan kepada anak-anak balita dianjurkan
dikonsumsi 54 gram (10 keping) setiap harinya Menurut hasil wawancara,
pantauan, dan catatan konsumsi biskuit harian, rata-rata konsumsi biskuit
fortifikasi harian sebesar 9,8 keping. Persentase banyaknya konsumsi biskuit
dikelompokkan menjadi dua kelompok, yakni konsumsi yang baik (> 70%), dan
kurang apabila konsumsi biskuit < 70%. Sebagian besar anak balita contoh, baik
pada kelompok perlakuan maupun kelompok plasebo telah mengkonsumsi biskuit
sesuai dengan anjuran. Hanya ada 2,9% (1 anak balita) dari kelompok perlakuan
dan 14,3% (5 anak balita) dari kelompok plasebo yang konsumsinya kurang,
dikarenakan rasa biskuit kurang enak (tidak gurih) dan tekstur biskuit tidak renyah
serta cenderung menempel di gigi bila biskuit dikunyah.
Sejumlah biskuit yang dikonsumsi oleh anak balita memberikan tambahan
energi dan zat gizi mikro. Tambahan rata-rata energi dan zat gizi mikro dari
biskuit fortifikasi yang dikonsumsi anak balita per hari (dengan anjuran 54g
biskuit/10 keping) diperlihatkan pada Tabel 16.
68
Berdasarkan tabel perhitungan gizi tersebut, rata-rata biskuit fortifikasi
yang dikonsumsi anak balita contoh per hari mengandung zat besi dan vitamin A
yang cukup tinggi berdasarkan persentase AKG Tahun 2004. Sumbangan vitamin
A dan zat besi (Fe) harian dari biskuit fortifikasi kepada anak balita contoh
berturut-turut sebesar 109,1% dan 96,5% AKG.
Tabel 16. Tambahan Energi dan Zat Gizi Mikro Harian dari Biskuit
Fortifikasi Setiap 100 gram terhadap Kecukupan Gizi Balita
Jenis Zat Gizi Mikro Banyaknya % AKG
Energi (kkal)
Besi (mg)
Vitamin A (g)
209,48+ 19,51
4,17 + 0,38
235,65 + 21, 94
14,4
96,5
109,1
Kalau diperhatikan lebih teliti bahwa persentase konsumsi biskuit pada
kelompok perlakuan lebih banyak apabila dibandingkan dengan kelompok
plasebo. Hal tersebut diakibatkan karena kandungan vitamin A pada biskuit
fortifikasi dapat meningkatkan dan memacu nafsu makan anak balita, disamping
biskuit fortifikasi rasanya lebih enak daripada biskuit plasebo. Konsumsi rata-rata
biskuit mingguan disajikan pada Gambar 16.
Gambar 16. Rata-rata Konsumsi Biskuit Anak (Gram/Hari) Menurut
Minggu
Rata-rata konsumsi biskuit harian per gram menurut mingguan yang
nampak pada gambar 16 tidak banyak perbedaan dari minggu pertama sampai
69
minggu terakhir intervensi. Perbedaan mencolok terjadi pada minggu ketiga
sampai minggu kelima. Pada kelompok perlakuan rata-rata konsumsi biskuit
mencapai 52,9 gram (9,8 keping), sementara pada kelompok plasebo rata-rata
konsumsi biskuit hanya mencapai 45,6 gram (8,4 keping).
Kalau dikaji lebih mendalam bahwa grafik rata-rata konsumsi biskuit pada
kedua kelompok sedikit ada perbedaan rata-rata konsumsinya. Pada kelompok
perlakuan rata-rata konsumsi biskuit hampir sesuai dengan yang dianjurkan dan
pada kelompok plasebo kurang dari anjuran. Namun keduanya mempunyai alur
yang sama dalam mengkonsumsi biskuit. Konsumsi biskuit semakin meningkat
walaupun pada minggu- minggu tertentu selalu terjadi penurunan konsumsi, tetapi
setelah terjadi penurunan konsumsi selalu diikuti peningkatan konsumsi pada
minggu- minggu berikutnya. Pada kelompok perlakuan, rata-rata konsumsi biskuit
tidak banyak mengalami perubahan, setelah terjadi peningkatan konsumsi,
diminggu- minggu berikutnya selalu stagnan konsumsinya.
Penurunan konsumsi diakibatkan karena anak bosan, yang diharuskan
mengkonsumsi biskuit setiap hari sebanyak 10 keping (54 gram). Selain itu,
karena biskuit juga dimakan oleh anggota keluarga yang lain (1,72%). Sedangkan
peningkatan konsumsi biskuit dikarenakan sebagian besar anak balita termasuk
kelompok miskin, yang tidak banyak memiliki makanan pilihan di rumahnya.
Selain itu, sebagian besar orang tua berpendapat, daripada perut anaknya lapar,
akhirnya orang tua berusaha sekeras mungkin dengan cara merayu dan membujuk
anaknya agar mau mengkonsumsi biskuit.
Rata-rata alasan menurunannya konsumsi biskuit pada anak balita contoh
yang dikarenakan bosan sekitar 2,23%. Alasan lain yang tidak dapat dihindarkan
adalah biskuit contoh dimakan oleh anggota keluarga yang lain, seperti kakak,
saudara (kakek, atau nenek bahkan juga bapak dari anak balita) sebesar 1,72%.
Sekitar 2,01% alasan anak tidak mau mengkonsumsi biskuit dikarenakan sakit,
seperti diare (10%), influenza (20%) dan gatal- gatal (2,8%), batuk (1,4%). Hanya
sebagian kecil saja (0,16%) balita contoh yang konsumsi biskuitnya kurang
dikarenakan orang tuanya lupa ataupun tidak sempat memberikan biskuit kepada
anaknya. Kelupaan orang tua memberikan biskuit kepada anaknya dikarenakan
70
mereka sedang bepergian/di perjalanan ataupun sedang menginap di rumah
saudaranya. Ada 0,65% balita contoh yang tidak mengkonsumsi biskuit karena
bosan dengan rasa manis. Kebosanan balita contoh terhadap biskuit pada saat
harus mengkonsumsi, biasanya disebabkan karena di rumah ada makanan lain
ataupun karena saudara/tetangganya sedang hajatan. Rata-rata untuk alasan
kurang mengkonsumsi biskuit pada kelompok perlakuan dan plasebo disajikan
pada Gambar 17.
Gambar 17. Grafik Batang Alasan Balita Contoh Kurang Mengkonsumsi
Biskuit
Berdasarkan hasil wawancara dan rekapitulasi data kons umsi biskuit,
bahwa anak merasa bosan mengkonsumsi biskuit setiap hari merupakan alasan
tertinggi dalam penelitian ini. Kebosanan anak sebagian besar disebabkan ada
makanan lain di rumah (5,7%) dan anak terbiasa jajan (32,3%) sehingga perut
anak sudah terasa kenyang dan tidak mau lagi mengkonsumsi biskuit intervensi.
Frekuensi bosan yang dirasakan oleh anak selama pemberian hanya sebesar 18,3%
saja. Alasan berikutnya berturut-turut kalau anak berkurang dalam mengkonsumsi
biskuit karena sakit, biskuit dimakan kakak/anggota keluarga lain atau saudara,
dan orang tua lupa. Alasan paling sedikit dan hampir dapat diabaikan adalah anak
mulai tidak menyukai biskuit.
Pada minggu pertama pemberian biskuit ada 20,0% anak yang tidak mau
mengkonsumsi biskuit karena bosan 10%, biskuitnya dimakan kakaknya 4,3%,
71
dan karena sakit 3,3%. Alasan lain sebab anak tidak mengkonsumsi biskuit karena
orang tua lupa sebesar 1,6% dan karena anak tidak suka sebesar 0,8%. Pada
minggu pertama pemberian biskuit merupakan masa tersulit atau masa awal
mengajak anak untuk mengenal dan menyukai biskuit sehingga anak mau
mengkonsumsi pada hari- hari berikutnya selama 4 bulan penelitian. Terbukti dari
hasil rekapitulasi data konsumsi biskuit bahwa persentase tertinggi anak kurang
mengkonsumsi biskuit jatuh pada minggu pertama.
Minggu kedua persentase balita contoh mengkonsumsi biskuit turun
menjadi 7,3% karena dimakan kakaknya sebesar 5,7% dan karena bosan 1,6%.
Pada minggu ketiga dan keempat persentase ketidakmauan mengkonsumsi biskuit
meningkat kembali sebesar 13,3% dan 15,0%. Penyebab tertinggi ketidakmauan
tersebut adalah anak sakit (6,7%) pada minggu keempat dan biskuit dimakan
kakak sebesar 5,0% pada minggu ketiga. Penyebab lain adalah balita contoh
merasa bosan masing- masing 4,3%. Pada minggu ketiga sampai minggu keenam
terjadi keterlambatan pengiriman dari kader masing- masing sebesar 1,6% dan
berikutnya hanya 0,8%. Namun pada minggu ketujuh sampai minggu terakhir
pengiriman, masalah logistik tersebut dapat ditangani dengan baik sehingga tidak
terjadi lagi keterlambatan pengiriman biskuit.
Minggu-minggu berikutnya persentase ketidakmauan mengkonsumsi
biskuit semakin menurun dan penyebab utama adalah anak bosan mengkonsumsi
biskuit. Tingkat kebosanan tertinggi jatuh pada minggu keenam, sebesar 5,8%.
Pada minggu- minggu berikutnya, tingkat kebosanan konsumsi biskuit dapat
diturunkan/diatasi dengan mengubah cara makan dan waktu pemberian serta
meningkatkan ketelatenan ibu balita contoh dalam memberikan biskuit kepada
anaknya. Ketidakmauan mengkons umsi biskuit karena anak sakit terjadi pada
minggu pertama sampai minggu kesebelas. Minggu keduabelas sampai selesai
penelitian kondisi anak semakin sehat, tidak ada satu pun balita contoh yang sakit.
Rata-rata persentase sakit sebesar 2,9%. Persentase sakit tertinggi penyebab anak
kurang mengkonsumsi biskuit terjadi pada minggu keempat (6,7%).
Di akhir intervensi dilakukan wawancara terhadap ibu balita untuk
membangun opini tentang manfaat mengkonsumsi biskuit. Dari 70 balita contoh,
72
hanya 3,3% ibu balita contoh yang mengatakan tidak tahu apakah biskuit tersebut
bermanfaat untuk anak. Sekitar 7,5% mereka mengatakan bahwa biskuit tersebut
tidak bermanfaat. Sebagian besar (89,2%) mengatakan bahwa biskuit penelitian
bermanfaat bagi balita contoh. Opini ibu balita contoh tentang biskuit disajikan
pada Tabel 17.
Tabel 17. Opini Ibu- ibu Balita tentang Biskuit Penelitian
No. Pendapat Ibu Balita Jumlah (n) %
1. Apakah anak ibu menyukai biskuit penelitian?
a. Ya
b. Tidak
68
2
97,2
2,8
2. Bagaimana pendapat ibu tentang biskuit tersebut?
a. Baik
b. Buruk
c. Tidak Tahu
70
-
-
100
-
-
3. Bagaimana rasa dan aroma biskuit tersebut?
a. Enak
b. Tidak enak
68
2
97,2
2,8
4. Alasan ibu mengatakan biskuit penelitian baik
a. Karena tambahan kandungan zat gizi
b. Dapat meningkatkan selera makan
c. Merangsang pertumbuhan anak
d. Membuat anak sehat/jarang sakit
e. Alasan lain? anak jadi jarang jajan
70
63
33
40
25
100
90,0
47,1
57,1
35,7
5. Apakah ibu setuju jika anaknya dianjurkan makan
biskuit penelitian 10 keping perhari
a. Ya
b. Tidak
70
-
100
-
6. Alasan setuju:
a. Baik untuk kesehatan
b. Terkandung vitamin dan mineral
c. Karena anaknya menyukai biskuit
d. Tidak ada efek samping
70
70
68
30
100
100
97,2
42,9
7. Apakah ada manfaat yang dirasakan pada anak
setelah mengkonsumsi biskuit
a. Nafsu makan anak meningkat
b. Anak menjadi lebih pinter
c. Anak menjadi aktif dan lincah
d. Anak menjadi jarang sakit
e. Kulit anak menjadi halus (tidak gatal/kudis)
60
20
25
64
10
85,7
28,6
35,7
91,4
14,3
8. Apakah ada manfaat yang dirasakan bagi keluarga
dengan adanya pemberian biskuit tersebut?
a. Menghemat uang jajan
b. Menghemat biaya kesehatan
c. Makan menjadi lebih teratur
d. Menjadi lebih peduli pada kesehatan anak
e. Menjadi lebih tahu kebersihan anak
65
58
22
30
25
92,6
82,9
31,4
42,9
35,7
73
Manfaat mengkonsumsi biskuit menurut ibu balita adalah dapat
meningkatkan nafsu makan sebesar 21,5%; meningkatkan berat badan 7,5%, serta
masing- masing sebesar 8,4% anak jarang sakit dan kulit menjadi lebih halus. Ada
pula yang berpendapat bahwa biskuit bermanfaat ganda sebesar 11,2%, yakni
untuk meningkatkan nafsu makan dan berat badan cepat bertambah. Sebagian lagi
29,9% dikatakan bahwa biskuit bermanfaat untuk meningkatkan nafsu makan,
berat badan cepat bertambah dan balita contoh jarang sakit. Hal ini sesuai dengan
dugaan bahwa kandungan vitamin A dan Fe dapat meningkatkan nafsu makan.
Sebagian besar (97,2%) mengatakan anak balitanya menyukai dan hanya
2,8% balita contoh yang tidak menyukai biskuit tersebut. Semua ibu balita (100%)
menerima baik biskuit tersebut dan setuju anak balitanya menjadi contoh
penelitian. Rasa biskuit sebagian besar balita contoh (97,2%) mengatakan enak
dan hanya 2,8% yang mengatakan tidak enak. Dari 2,8% yang mengatakan tidak
enak karena tidak menyukai rasa manis.
Ibu balita contoh mengatakan biskuit penelitian baik dan mau menerima
dengan alasan 100% mengatakan ada tambahan kandungan zat gizi, 90%
mengatakan dapat meningkatkan selera makan; dan 47,1% dapat merangsang
pertumbuhan anak; serta membuat anak sehat/jarang sakit sebesar 57,1%.
Pendapat ibu balita tentang pilihan biskuit penelitian, lebih baik daripada
biskuit lain, !00% menyatakan memilih biskuit penelitian sebab menghemat uang
jajan. Karena sebagian besar balita contoh terbiasa jajan di warung dari bangun
tidur. Semua ibu balita menyatakan setuju jika dianjurkan makan biskuit sebanyak
10 keping perhari. Alasan ibu- ibu setuju dengan anjuran tersebut 100%
mengatakan baik untuk kesehatan dan biskuit terkandung vitamin dan mineral;
97,2% anaknya menyukai biskuit, dan 42,9% menjawab tidak ada efek samping.
Banyak manfaat yang dirasakan oleh keluarga terutama ibu balita dengan
adanya pemberian biskuit penelitian. Sebagian besar ibu balita (92,6%)
menyatakan menghemat uang jajan dan 82,9% menyatakan menghemat biaya
kesehatan; 31,4% anak balita menjadi lebih teratur makan.
Alasan lain, orang tua lebih peduli pada kesehatan anak sebesar 42,9% dan
orang tua menjadi lebih tahu kebersihan anak 35,7%. Pemberian biskuit forifikasi
74
membantu ibu untuk berhemat, maksudnya alokasi uang jajan anak dapat
dikumpulkan untuk menambah alokasi keperluan lain, misalkan biaya kesehatan,
biaya makan harian, ataupun ditabung.
Jika dikaji lebih mendalam, semua ibu balita contoh sangat menyukai
adanya intervensi gizi di wilayahnya, sebab sangat membantu sekali untuk
peningkatan makanan tambahan bagi anak balitanya. Dengan adanya/tersedianya
biskuit tersebut setiap hari di rumah mampu menurunkan minat jajan anak balita
di warung-warung terdekat.
Biasanya kondisi sebelum ada intervensi biskuit, anak selalu jajan setiap
bangun tidur, bahkan ada anak yang langsung lari ke warung setiap kali bangun
pagi. Kebiasaan jajan anak sangat dikeluhkan orang tua dan tidak bisa dihindari,
karena di rumah sering tidak tersedia makanan kecil. Karenanya ibu balita contoh
sering berharap agar anaknya selalu mendapatkan bantuan pangan yang serupa
untuk menghilangkan kebiasaan jajan anak.
Dengan adanya intervensi biskuit, sebagian ibu balita merasa gembira,
alokasi uang jajan anak dapat dimanfaatkan untuk menambah konsumsi harian
pangan keluarga, sehingga anak lebih teratur makan dan kualitas makanannya
juga lebih baik (bergizi). Selain itu, uang jajan juga dialokasikan untuk uang
kesehatan. Dengan adanya intervensi gizi tersebut anak dan anggota keluarga
menjadi lebih sehat.
Konsumsi Zat Gizi Anak Balita
Konsumsi zat gizi anak balita contoh digali dengan metode recall 24 jam
sebanyak empat kali dengan hari tidak berurutan. Tingkat konsumsi dikategorikan
baik jika konsumsi > 70% kecukupan dan konsumsi kurang jika < 70% kecukupan
(Depkes, 1996). Tingkat konsumsi zat gizi diperoleh dengan membandingkan data
konsumsi riil dengan angka kecukupan zat gizi.
Konsumsi zat gizi anak (pangan) pada tingkat individu dapat
diterjemahkan ke dalam bentuk energi, protein, lemak, vitamin, dan mineral
perorang perhari (Hardinsyah dan Martianto, 1992). Anak balita memerlukan
sejumlah zat gizi yang diperoleh melalui konsumsi pangan yang harus mencukupi
75
kebutuhan tubuh untuk melakukan aktivitas sehari- hari, pemeliharaan tubuh, dan
pertumbuhan tubuh.
Rata-rata konsumsi gizi anak balita menggambarkan konsumsi harian
anak-anak balita contoh di Kecamatan Dramaga. Sebagian besar anak-anak balita
mengkonsumsi makanan pokok (nasi) sebanyak dua kali sehari, yakni makan
siang dan makan sore (sebelum magrib). Makan pagi (sarapan) anak balita di
Kecamatan Dramaga pada umumnya berupa jajan dari warung atau tukang dagang
keliling, seperti lontong dan gorengan (bala-bala dan tempe goreng tepung) serta
bubur ayam atau pun lontong kacang (doclang). Rata-rata konsumsi gizi harian
disajikan pada Tabel 18 di bawah ini.
Tabel 18. Rata-rata Konsumsi Total Harian Anak Balita Contoh
Rata-rata Zat Gizi Kelompok
Kandungan Zat Gizi Perlakuan (n=35) Plasebo (n=35)
a. Awal Intervensi
1. Energi (kkal)
2. Protein (g)
3. Lemak (g)
4. Karbohidrat (g)
5. Kalsium (mg)
6. Phosfor (mg)
7. Besi (mg)
8. Vitamin A (g)
9. Vitamin B (mg)
10. Vitamin C (mg)
11. Zink (mg)
931,43 + 183,73
26,85 + 9,77
29,33 + 12,56
128,52 + 32,79
285,4 + 241,36
252,23 + 142,83
9,07 + 4,34
176,49 + 125,6
0,74 + 0,51
4,87 + 4,41
1,55 + 0,75
864,90 + 239,70
25,60 + 11,21
26,20 + 14,91
116,60 + 25,85
303,10 + 168,31
254,2 + 126,68
7,50 + 4,4
240,80 + 195,73
0,60 + 0,65
6,70 + 6,56
1,90 + 0,81
b. Akhir Intervensi
1. Energi (kkal)
2. Protein (g)
3. Lemak (g)
4. Karbohidrat (g)
5. Kalsium (mg)
6. Phosfor (mg)
7. Besi (mg)
8. Vitamin A (g)
9. Vitamin B (mg)
10. Vitamin C (mg)
11. Zink (mg)
980,69 + 154,49
27,01 + 6,67
38,61+12,49
123,41+24,87
190,84 + 133,59
285,17 + 191,19
13,72 + 3,91
521,06 + 196,63
1,18 + 0,76
9,79 + 10,91
1,90 + 0,73
970,42 + 166,65
29,57 + 9,05
34,14+12,74
123,95+24,78
249,07 + 191,39
293,32 + 163,19
10,21 + 3,95
246,96 + 171,99
0,99 + 0,76
12,26 + 15,39
1,84 + 0,83
Konsumsi zat gizi pada akhir intervensi menunjukkan adanya peningkatan
intik energi, protein, lemak, dan karbohidrat, serta beberapa zat gizi mikro,
76
seperti: phosfor, besi, vitamin A, B, dan C, serta zink. Konsumsi pada kelompok
perlakuan dan plasebo hampir berimbang, artinya ada sebagian zat gizi yang lebih
besar pada kelompok plasebo dan ada sebagian zat gizi yang lebih besar pada
kelompok perlakuan.
Untuk mengetahui kecukupan gizi terhadap anak balita maka konsumsi
gizi anak tersebut diterjemahkan ke dalam tingkat kecukupan gizi dengan acuan
angka kecukupan gizi yang dianjurkan (AKG tahun 2004). Tingkat kecukupan
gizi anak batita contoh ditampilkan pada Gambar 18.
.
Gambar 18. Grafik Batang Rata-rata Tingkat Konsumsi Gizi Awal dan
Akhir intervensi
Grafik batang pada Gambar 18, menunjukkan adanya peningkatan
konsumsi gizi pada akhir intervensi baik pada kelompok perlakuan maupun
plasebo.
Di awal intervensi, ada beberapa jenis konsumsi zat gizi yang kurang dari
70% AKG antara lain konsumsi vitamin A, vitamin C, kalsium, serta zink pada
kelompok perlakuan dan plasebo. Tingkat konsumsi energi pun kurang dari 70%
pada kelompok plasebo Tingkat konsumsi energi dan zat gizi secara lengkap
disajikan pada Tabel 19..
77
Tabel 19. Rata-rata Tingkat Kecukupan Konsumsi Gizi Anak Balita
Contoh Menurut AKG 2004
Kelompok
Perlakuan (n=35) Plasebo (n=35) Jenis
Zat Gizi <70%
AKG
>70%
AKG
Rata-rata
(%)+ SD
<70%
AKG
>70%
AKG
Rata-rata
(%)+ SD
a. Awal
1.Energi (kkal)
2.Protein (g)
3.Vitamin A (g)
4.Vitamin B (mg)
5.Vitamin C (mg)
6.Kalsium (mg)
7.Phosfor (mg)
8.Besi (mg)
9. Zink (mg)
13
(18,6)
3
(4,3)
24
(34,3)
9
(12,9)
35
(50,0)
28
(40,0)
11
(15,7)
8
(11,4)
35
(50,0)
22
(31,4)
32
(45,7)
11
(15,7)
26
(37,1)
0
(0,0)
7
(10,0)
24
(34,3)
27
(38,6)
0
(0,0)
74,8 + 14,9
116,8+ 43,1
51,2+ 36,2
145,9+102,6
12,4+ 11,1
56,3+ 48,8
100,1+ 57,8
112,9+ 54,9
15,7+ 7,5
20
(28,6)
9
(12,6)
21
(30,0)
19
(27,1)
34
(48,6)
20
(28,6)
10
(14,3)
13
(37,1)
35
(50,0)
15
(21,4)
26
(37,1)
14
(20,0)
16
(22,9)
1
(1,4)
15
(21,4)
25
(35,7)
22
(31,4)
0
(0,0)
69,1+ 18,9
111,6+ 48,1
67,6+ 55,6
130,5+116,1
16,3+ 16,3
61,3+ 33,4
102,4+ 50,1
93,7+ 50,7
18,9+ 8,2
b. Akhir
1.Energi (kkal)
2.Protein (g)
3.Vitamin A (g)
4.Vitamin B (mg)
5.Vitamin C (mg)
6.Kalsium (mg)
7.Phosfor (mg)
8.Besi (mg)
9. Zink (mg)
6
(8,6)
2
(2,6)
15
(21,4)
3
(4,3)
32
(45,7)
31
(44,3)
11
(15,7)
5
(7,1)
35
(50,0)
29
(41,4)
33
(47,1)
20
(28,6)
32
(45,7)
3
(4,3)
4
(5,7)
24
(34,3)
30
(42,9)
0
(0,0)
78,5+ 12,4
117,4+ 28,9
83,0+ 54,7
236,6+ 152
27,3+ 24,5
38,2+ 26,7
114,5+ 76,2
171,2+ 47,8
18,9+ 7,3
9
(12,6)
2
(2,6)
20
(28,6)
7
(10,0)
31
(44,3)
28
(40,0)
8
(11,4)
6
(8,6)
35
(50,0)
26
(37,1)
33
(47,1)
15
(21,4)
28
(40,0)
4
(5,7)
7
(10,0)
27
(38,6)
29
(41,4)
0
(0,0)
77,6 + 13,3
128,6+ 39,4
70,6+ 49,1
198,9+151,5
30,7+ 38,5
49,8+ 38,3
117,3+ 65,3
127,6+ 49,3
18,4+ 8,3
Hanya ada beberapa zat gizi yang tingkat konsumsinya cukup (lebih dari
70% AKG), yakni fosfor, besi, vitamin B, dan protein pada kelompok perlakuan
dan plasebo serta energi pada kelompok perlakuan. Persentase tingkat kecukupan
78
konsumsi energi dan protein lebih besar pada kelompok perlakuan daripada
kelompok plasebo.
Tingkat konsumsi gizi di akhir intervensi tidak jauh berbeda kondisinya
dengan awal intervensi. Pada kelompok perlakuan tingkat konsumsi gizinya lebih
baik daripada kelompok plasebo. Menurut hasil uji statistik ada perbedaan yang
signifikan (p<0,05) rata-rata tingkat kecukupan kalori, vitamin A dan zat besi
pada kelompok perlakuan dan plasebo.
Konsumsi Vitamin A
Jika dikaji lebih mendalam bahwa peningkatan zat gizi pada kelompok
perlakuan lebih tinggi daripada kelompok plasebo. Peningkatan konsumsi vitamin
A pada kelompok perlakuan secara nyata lebih tinggi jika dibandingkan dengan
kelompok plasebo. Menurut hasil uji beda, konsumsi vitamin A di awal intervensi
tidak berbeda nyata (p>0,05) antara kelompok perlakuan dan plasebo. Hal tersebut
dapat dikatakan bahwa konsumsi vitamin A pada awal intervensi antara kelompok
perlakuan dan plasebo dianggap sama menurut statistik, walaupun besarnya angka
berbeda. Pada akhir intervensi terjadi peningkatan konsumsi vitamin A pada
kelompok perlakuan secara nyata lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok
plasebo.
Hasil uji beda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p<0,05)
konsumsi vitamin A diakhir intervensi pada kelompok perlakuan dan plasebo.
Konsumsi vitamin A pada kelompok perlakuan secara nyata lebih tinggi jika
dibandingkan dengan kelompok plasebo. Hasil uji perbedaan rata-rata, bahwa
delta peningkatan konsumsi vitamin A secara nyata lebih tinggi pada kelompok
perlakuan daripada kelompok plasebo, yakni 343,31+210,22 terhadap
6,17+260,04 (Tabel 20)
Biskuit fortifikasi secara nyata dapat meningkatkan konsumsi vitamin A
anak balita di wilayah Kecamatan Dramaga. Dengan adanya penambahan vitamin
A melalui biskuit fortifikasi diharapkan dapat meningkatkan status vitamin A
pada anak-anak balita di daerah penelitian.
79
Tabel 20. Hasil Uji Perbandingan Rata-rata Konsumsi Vitamin A
Konsumsi Vitamin A (g) Perlakuan (n=35) Plasebo (n=35) p
Awal 176,49 +125,60
a
240,80+195,73
ab
0,148
Akhir 521,06+196,63
a
246,96+171,99
a
0,000*
Delta 343,31+210,22
b
6,17+260,04
b
0,000*
* p<0,05
Keterangan: huruf superscript yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan
berbeda nyata pada uji t (p<0,05)
Konsumsi Zat Besi (Fe)
Kalau diperhatikan Tabel 19 di atas tentang rata-rata konsumsi gizi harian,
konsumsi zat besi (Fe) juga terjadi peningkatan di akhir intervensi. Konsumsi Fe
pada kelompok perlakuan lebih tinggi daripada kelompok plasebo.
Menurut hasil uji beda, konsumsi Fe di awal intervensi tidak berbeda nyata
(p>0,05) antara kelompok plasebo dan perlakuan. Hal tersebut dapat dikatakan
bahwa konsumsi Fe pada awal intervensi antara kelompok plasebo dan perlakuan
dianggap sama menurut statistik, walaupun besarnya angka berbeda. Di akhir
intervensi terjadi peningkatan konsumsi Fe pada kelompok perlakuan secara nyata
lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok plasebo.
Hasil uji beda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p<0,05)
konsumsi Fe di akhir intervensi pada kelompok plasebo dan perlakuan. Konsumsi
Fe secara nyata lebih tinggi pada kelompok perlakuan apabila dibandingkan
dengan kelompok plasebo. Hasil uji perbedaan rata-rata, bahwa delta peningkatan
konsumsi Fe secara nyata lebih tinggi pada kelompok perlakuan daripada
kelompok plasebo yakni: 4,65+5,79 terhadap 2,80+5,34. (Tabel 21).
Tabel 21. Hasil Uji Perbandingan Rata-rata Konsumsi Zat Besi (Fe)
Konsumsi Fe
(mg)
Kelompok
Perlakuan (n=35)
Kelompok Plasebo
(n=35)
p
Awal 9,07+4,34
a
7,50+4,4
ab
0,092
Akhir 13,72+3,91
a
10,21+3,95
a
0,001*
Delta 4,65+5,79
b
2,80+5,34
b
0,000*
Keterangan: huruf superscript yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan
berbeda nyata pada uji t (p<0,05)
80
Delta peningkatan konsumsi Fe pada kelompok perlakuan berbeda nyata
(p<0,05), perbedaan secara nyata lebih tinggi terjadi pada kelompok perlakuan
dibandingkan dengan plasebo. Dari hasil uji statistik dapat disimpulkan bahwa
peningkatan konsumsi Fe pada anak balita kelompok perlakuan tersebut akibat
adanya penambahan Fe dari mengkonsumsi biskuit fortifikasi. Tambahan
konsumsi Fe harian dari biskuit sebesar 96,5% AKG. Biskuit fortifikasi ternyata
dapat meningkatkan konsumsi Fe anak balita di wilayah Kecamatan Dramaga.
Dengan adanya penambahan Fe melalui biskuit fortifikasi diharapkan dapat
meningkatkan konsentrasi Hb dan status besi (konsentrasi ferritin) pada anak-
anak balita di daerah penelitian.
Status Gizi Antropometri
Pengukuran status gizi dilakukan secara antropometri, artinya mengguna-
kan ukuran tubuh manusia. Parameter antropometri merupakan dasar penilaian
status gizi. Indeks antropometri yang digunakan adalah BB/TB. Data hasil
pengukuran berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) diolah untuk menentukan
Z-skor. Penentuan Z-skor berdasarkan pada referensi WHO/NCHS untuk
menentukan status gizi anak balita contoh dengan cut-off point -2 Z-skor. Status
gizi indeks BB/TB untuk mengkonversi indeks BB/U dan TB/U dengan referensi
Z-skor, anak dikatakan pendek dan kurang gizi jika Z-skor nya kurang dari 2 SD
(Solon, et al., 2000). Sebaran rata-rata tinggi dan berat badan disajikan pada
Tabel 22.
Pada Tabel 22, menunjukkan bahwa hasil pengukuran berat badan anak
balita contoh berkisar 8,414,5 kg dengan rata-rata 11,3+1,4 kg sebelum
intervensi dan meningkat menjadi 12,0+1,5 kg diakhir pengukuran dengan kisaran
9,5 sampai dengan 14,5 kg pada kelompok perlakuan. Tinggi badan anak balita
contoh kelompok perlakuan berkisar dari 75,0 sampai dengan 93,2 cm dengan
rata-rata 85,8+4,1 cm diawal intervensi. Pada akhir intervensi terjadi peningkatan
tinggi badan meningkat menjadi 89,2+4,0 cm dengan kisaran tinggi badan dari
78,5 sampai dengan 95,5 cm.
81
Tabel 22. Sebaran Rata-rata BB dan TB Anak Balita
Berat Badan (Kg) Tinggi Badan (Cm) Waktu
Intervensi
Rata-rata Kisaran Rata-rata Kisaran
1. Awal
- perlakuan
- plasebo
11,3+1,4
10,8+1,3
8,414,5
9,014,1
85,8+4,1
84,9+3,9
75,093,2
75,693,6
2. Akhir
- perlakuan
- plasebo
12,0+1,5
11,6+1,3
9,514,5
8,815,5
89,2+4,0
88,5+3,9
78,595,5
80,194,0
Menurut perhitungan Z-skor, rata-rata status gizi antropometri dengan
indeks BB/TB pada kelompok perlakuan didapatkan sebesar -0,5+1,0 diawal
intervensi dan stagnan diakhir intervensi, artinya tidak ada peningkatan status gizi
anak balita, namun status gizi tersebut masih dalam kategori baik/normal. Artinya
rata-rata proporsi badan anak normal, tidak kurus dan tidak gemuk. Demikian juga
status gizi antropometri pada kelompok plasebo juga kecil sekali peningkatannya.
Sebaran status gizi disajikan pada Tabel 23.
Tabel 23. Sebaran Rata-rata Status Gizi Anak Balita Indeks BB/TB
(WHO-NCHS, 1983)
Kelompok
Perlakuan Plasebo Status Gizi Anak Balita
n % n %
1. Awal
- Gemuk
- Normal
- Kurus/Wasted
- Sangat Kurus
-
33
2
-
-
94,3
5,7
-
-
33
2
-
-
94,3
5,7
-
Total 35 100,0 35 100,0
2. Akhir
- Gemuk
- Normal
- Kurus/Wasted
- Sangat Kurus
-
33
2
-
-
94,3
5,7
-
-
30
5
-
-
85,7
14,3
-
Total 35 100,0 35 100,0
Secara umum status gizi antropometri dengan indeks BB/TB pada awal
intervensi didapatkan 5,7% anak balita contoh yang kurus (wasted), baik pada
kelompok perlakuan maupun kelompok plasebo.
82
Kondisi status gizi anak balita dari kedua kelompok sama, sebagian besar
(94,3%) berbadan normal. Tidak terdapat satu pun anak balita yang gemuk dan
sangat kurus. Menurut hasil statistik bahwa kondisi awal anak balita di kedua
kelompok sama, tidak berbeda nyata (p>0,05). Masing- masing hanya 5,7%; yakni
2 anak balita dari kelompok perlakuan dan plasebo yang berbadan kurus.
Di akhir intervensi, walaupun masih ada beberapa anak balita yang
termasuk kurus (wasted) tetapi rata-rata status gizi anak balita contoh tersebut
dalam kategori normal atau baik. Kondisi wasted yang terjadi pada anak
dikarenakan tubuh kekurangan sejumlah (satu atau beberapa) jenis zat gizi yang
dibutuhkan tubuh. Menurut Winarno (1995) tiga penyebab tubuh kekurangan zat
gizi karena: (1) jumlah zat gizi yang dikonsumsi kurang, (2) kualitas gizi rendah,
dan (3) gangguan penyerapan zat gizi oleh tubuh. Akar penyebab dari kekurangan
gizi karena faktor sosial ekonomi, seperti kebiasaan makan, kepercayaan,
kemiskinan (daya beli rendah), dan gangguan fungsi alat pencernaan.
Berdasarkan hasil uji statistik dengan uji beda berpasangan (t-test) pada
Tabel 24, setelah 16 minggu pemberian biskuit kepada anak balita contoh ternyata
status gizi akhir berbeda tidak nyata (p>0,05) antara kelompok perlakuan dan
plasebo. Dengan demikian pemberian biskuit fortifikasi tidak dapat meningkatan
status gizi anak pada indeks BB/TB.
Tabel 24. Hasil Uji Perbandingan Rata-rata Z-Skor Status Gizi
Kelompok Z-Skor Awal Z-Skor Akhir
Delta
p
Perlakuan (n=35) -0,51 +0,97 -0,50+1,13 -0,01+1,07 0,512
Plasebo (n=35) -0,92 +0,90
-0,80+0,93 -0,07+0,66 1,000
Keterangan: p>0,05
Hasil penelitian tersebut sejalan dengan hasil penelitian Rahman et.al.,
(2001), pemberian intervensi gizi tidak memberikan sumbangan yang signifikan
terhadap peningkatan status gizi. Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat
disimpulkan bahwa intervensi biskuit fortifikasi kurang dapat memberikan
sumbangan yang signifikan terhadap peningkatan status gizi secara antropometri,
kareana.pemberian biskuit di daerah miskin ada kecenderungan menggantikan
83
konsumsi harian sehingga konsumsi pangan anak menjadi berkurang. Disisi lain
pemberian biskuit sumbangannya sangat kecil terhadap peningkatan berat badan
anak karena muatan kalorinya kecil.
Status Zat Gizi Mikro
Zat gizi mikro terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit di dalam tubuh,
namun mempunyai peran yang sangat esensial untuk kesehatan tubuh. Zat yang
esensial tersebut wajib hadir dalam tubuh setiap hari. Apabila jumlah yang kecil
tersebut tidak terpenuhi, maka akan berpengaruh terhadap kesehatan. Zat gizi
mikro yang dikaji dalam penelitian ini adalah zat besi (Fe) dan vitamin A yang
ada kaitannya dengan respons imun. Kehadiran Fe dan viamin A akan berpengauh
terhadap keberadaan hemoglobin (Hb), ferritin serum (Fs) dan retinol serum (Rs)
anak.
Hemoglobin (Hb)
Zat besi (Fe) merupakan mineral mikro yang esensial bagi tubuh. Besi
terdapat dalam semua sel tubuh dan memegang peranan penting pada beragam
reaksi biokimia. Fungsi besi dalam tubuh untuk pembentukan sel darah merah,
pengangkutan O
2
dan CO
2
, yang berperan dalam metabolisme energi. Apabila
tubuh kekurangan zat besi akan berakibat pada kerusakan fungsi imun, terutama
pada proses fagositosis dan sel mediate respons imun (Ahluwalia, et al., 2004),
serta penurunan kadar hemoglobin (Hb) dan Ferritin serum (Fs).
Pengelompokan Hb didasarkan pada kriteria anemia dan tidak anemia
(normal), yakni Hb <11 g/dL menunjukkan anemia dan Hb >11 g/dL
menunjukkan tidak anemia (WHO, 1996). Anemia adalah sebuah kondisi tidak
cukup sel darah merah dalam darah. Sel darah merah mengandung hemoglobin
yang membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh. Jika kadar Hb sangat
rendah, jaringan tubuh tidak memperoleh cukup oksigen. Pengukuran anemia
(status besi) pada anak balita dilakukan secara biokimiawi dengan pengambilan
darah intravena untuk diketahui konsentrasi Hb-nya.
Hasil pengukuran status Hb diawal intervensi terdapat 31,4% anak balita
contoh dari kelompok perlakuan yang anemia (Hb <11 g/L), sedangkan pada
84
kelompok plasebo lebih tinggi persentase anak yang Hb-nya <11 g/L yakni
51,4%. Pada akhir intervensi, konsentrasi Hb anak berubah membaik, hanya
terdapat 8,6% pada kelompok perlakuan dan 31,4% pada kelompok plasebo yang
Hb-nya < 11 g/L. Sebaran Hb awal dan akhir diperlihatkan pada Gambar 19.
Gambar 19. Sebaran Hemoglobin (Hb) pada Awal dan Akhir intervensi
Tingginya angka anemia mengindikasikan masih relatif banyak anak balita
yang terancam anemia. Hal ini sesuai dengan perolehan data konsumsi Fe
sebelum intervensi yang kurang memadai terutama pada kelompok plasebo,
sehingga menyebabkan sebagian contoh termasuk dalam kelompok anemia. Intik
konsumsi besi yang memadai pun ada kemungkinan contoh terkena anemia
apabila terjadi gangguan penyerapan. Kondisi anemia pada anak akan
berpengaruh terhadap pembentukan imunoglobulin. Kondisi kadar Hb darah
85
kurang dari normal menyebabkan kurangnya oksigen yang ditransportasi ke
beberapa sel tubuh maupun otak. Mengingat fungsi Hb adalah mengangkut
oksigen dari paru-paru ke seluruh sel tubuh (Sukirman, 2000; Djikhuizen dan
Wieringa, 2001).
Kekurangan Hb atau anemia menyebabkan kerusakan fungsional beberapa
jaringan tubuh. Kondisi yang demikian dapat menimbulkan gejala 5L, yakni
lemah, letih, lesu, lunglai, lelah. Akibatnya dapat menurunkan daya tubuh anak
yang rentan terhadap penyakit. Zat besi berperan penting dalam sistem imun dan
anemia menyebabkan kerusakan fungsi imun, khususnya sel mediate respons
imunologik (Weiss et al., 1995). Anemia penyebab sejumlah ketidaknormalan
biologis dan merusak sel mediate imunitas dengan peningkatan infeksi (Terlouw
et al., 2004).
Anemia bagi anak balita akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
perkembangannya. Kebutuhan zat besi pada anak balita meningkat besar untuk
keseimbangan zat besi dalam tubuh sebagai pemeliharaan kesehatan, juga untuk
kebutuhan pertumbuhan dan ekspansi masa sel darah merah dan untuk mengcover
kehilangan zat besi dari kulit, genitourinary dan saluran gastrointestinal
(Zimmermann et al., 2005). Defisiensi besi dapat menurunkan performan fisik
yang dapat berpengaruh terhadap konsumsi oksigen (Kang dan Matsuo, 2004).
Tingginya angka anemia anak balita contoh diakibatkan kandungan dan
bioavalabilitas Fe pada konsumsi harian sangat rendah, biasanya dari sumber
sereal dan kacang-kacangan (Zimmermann et al., 2005). Bioavailabilitas sangat
berperan terhadap kejadian anemia di beberapa negara berkembang (WHO, 2001).
Berdasarkan hasil pengolahan data konsumsi pangan bahwa sumber zat
besi sebagian besar berasal dari kacang-kacangan dan sayuran hijau sehingga
penyerapan zat besi menjadi rendah. Namun status besi dapat meningkat setelah
pemberian biskuit fortifikasi. Hal ini sejalan dengan penelitian Stuijvenberg et.
al., (1999), bahwa pemberian biskuit fortifikasi dengan zat gizi mikro dapat
menurunkan kejadian anemia sebesar 29,6% menjadi 15,6%.
Pemberian
suplementasi besi selama empat bulan dapat meningkatkan status hematologik dan
imunologik (Kang dan Matsuo, 2004).
86
Penelitian pemberian zat besi pada biskuit fortifikasi selama 16 minggu
ternyata dapat meningkatkan konsentrasi Hb anak balita contoh. Kondisi anak
balita contoh yang anemia berubah, yakni terjadi adanya peningkatan konsentrasi
Hb, sehingga sebagian yang Hb- nya rendah menjadi meningkat. Hasil analisis Hb
disajikan pada Tabel 25.
Tabel 25. Rata-rata Hb dan Hasil Uji Perbandingan Rata-rata
Hemoglobin
(g/dL)
Kelompok
Perlakuan (n=35)
Kelompok Plasebo
(n=35)
p
Awal 11,4 + 1,10
a
11,1+1,11
ab
0,331
Akhir 12,2 + 0,94
a
11,3+0,87
a
0,001*
Delta 0,67+1,11
b
0,17+1,05
b
0,000*
* p<0,05
Keterangan: huruf superscript yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan
berbeda nyata pada uji t (p<0,05)
Data pada Tabel 25 menggambarkan rata-rata nilai Hb pada awal
intervensi pada kelompok perlakuan 11,4+1,10 g/dL dan untuk kelompok plasebo
11,1+1,11 g/dL. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara nilai Hb kelompok
perlakuan dan plasebo pada awal intervensi (p = 0,331)
Pada akhir intervensi rata-rata nilai Hb kelompok perlakuan naik menjadi
12,2+0,94 g/dL, sedangkan kelompok plasebo menjadi 11,3+0,87 g/dL. Ada
perbedaan signifikan antara nilai Hb kelompok perlakuan dengan nilai Hb
kelompok plasebo pada akhir intervensi (p = 0,001).
Pada kelompok perlakuan terjadi kenaikan nilai Hb sebesar 0,67+1,11
g/dL sedangkan pada kelompok plasebo terjadi kenaikan nilai Hb sebesar
0,17+1,05 g/dL. Kenaikan delta nilai Hb kelompok perlakuan secara signifikan
lebih tinggi dari kelompok plasebo.
Kenaikan nilai Hb ini karena kenaikan asupan Fe dan vitamin A, yakni
kenaikan Fe dari 9,07+4,34 mg menjadi 13,72 +3,91 mg. Lebih tingginya
konsumsi vitamin A menurut Suharno et al. (1993) mempunyai kontribusi
terhadap naiknya nilai Hb. Penambahan konsumsi Fe dapat meningkatkan
konsentrasi Hb (Sari et al., 2001).
87
Ferritin Serum (Fs)
Di dalam sel, zat besi berikatan kompleks dengan ferritin yang mudah
larut (soluble complex), khususnya di dalam limpa, hati, dan sumsum tulang.
Penyimpanan zat besi terbesar terdapat dalam eritrosit. Mobilisasi zat besi dari
penyimpanan intraseluler termasuk transfer zat besi dari ferritin ke transferrin.
Apabila tubuh kekurangan zat besi (deplesi) maka transpor besi dalam plasma
terganggu, terutama untuk pembentukan sel darah merah berkurang, sehingga
eritrosit menurun dan selanjutnya konsentrasi Hb akan menurun pula.
Kadar ferritin serum ada hubungannya dengan besi (Fe) cadangan dalam
tubuh. Ferritin serum merupakan indeks sensitif dari penurunan simpanan zat besi
(Ahluwalia et al., 2002). Defisiensi zat besi terjadi apabila konsentrasi ferritin
serum <12 g/l (Ahluwalia, 2002). Pengelompokan kadar ferritin didasarkan pada
kriteria WHO (1994), berturut-turut yakni <12 g/l untuk yang defisien Fe
(deplesi zat besi) dan >12 g/l untuk yang normal. Berdasarkan pengelompokkan
tersebut sebaran ferritin serum (Fs) diperlihatkan pada Gambar 20.
Gambar 20. Sebaran Ferritin Serum (Fs) pada Awal dan Akhir intervensi
88
Berdasarkan hasil analisis laboratorium, anak balita contoh dengan kadar
ferritin <12 g/L (deplesi besi) sebesar 34,3% pada kelompok perlakuan dan
28,6% pada kelompok plasebo pada awal intervensi. Hal tersebut menandakan
masih relatif banyak anak-anak balita yang mengalami deplesi penyimpanan zat
besi. Defisiensi zat besi sebagian besar terjadi karena ketidakhadiran zat besi di
dalam sumsum tulang. Selama infeksi terjadi penurunan konsentrasi ferritin dan
Hb. Defisiensi besi dapat menurunkan kapasitas bakterisidal neutrofil dan
limfosit, kerusakan respons proliferasi limfosit dan antigen, dan respons yang
lambat terhadap antigen (Chandra, 1997). Hal tersebut membawa resiko besar
pada pertumbuhan dan perkembangan anak balita apabila tidak segera
mendapatkan perbaikan gizi besi (Fe). Anak yang deplesi besi rentan terhadap
anemia defisiensi besi. Secara klinis anak yang defisiensi besi sebagai manifestasi
dari anemia (Kang dan Matsuo, 2004)
Kondisi deplesi besi menurun pada akhir intervensi menjadi 17,1% pada
kelompok perlakuan dan 25,7% pada kelompok plasebo. Penurunan deplesi besi
lebih besar terjadi pada kelompok perlakuan daripada kelompok plasebo, yakni
17,2% terhadap 2,9%. Hasil analisis Fs disajikan pada Tabel 26.
Tabel 26. Rata-rata Ferritin Serum dan Hasil Uji Perbandingan Rata-rata
Kadar Ferritin
(g/L)
Kelompok
Perlakuan (n=35)
Kelompok
Plasebo (n=35)
p
Awal 17,23 +8,83
a
18,21+9,36
ab
0,106
Akhir 28,66+15,89
a
26,48 +21,05
a
0,003*
Delta 11,43+4,47
b
8,27+4,55
b
0,000*
* p<0,05
Keterangan: huruf superscript yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan
berbeda bermakna pada uji t (p<0,05)
Data pada Tabel 26 menggambarkan rata-rata nilai Fs pada awal intervensi
pada kelompok perlakuan 17,23+8,83g/L dan untuk kelompok plasebo
18,21+9,36g/L. Tidak ada perbedaan yang nyata antara nilai Fs kelompok
perlakuan dan plasebo pada awal intervensi (p = 0,106).
Pada akhir intervensi rata-rata nilai Fs kelompbok perlakuan naik menjadi
28,66 + 15,89 g/L, sedangkan kelompok plasebo menjadi 26,48 +21,05 g/L.
89
Ada perbedaan signifikan antara nilai Fs kelompok perlakuan dengan nilai Fs
kelompok plasebo pada akhir intervensi (p = 0,003).
Pada kelompok perlakuan terjadi kenaikan nilai Fs sebesar 11,43+4,47
g/L sedangkan pada kelompok plasebo terjadi kenaikan nilai Fs sebesar
8,27+4,55 g/L. Kenaikan delta nilai Fs kelompok perlakuan secara signifikan
lebih tinggi dari kelompok plasebo (p = 0,000). Kenaikan nilai Fs ini karena intik
zat besi yang dapat diserap oleh anak. Pemberian suplementasi besi dapat
meningkatkan ferritin serum (Suharno et al., 1993).
Dari hasil pengamatan di lapangan bahwa anak balita contoh kelompok
perlakuan cenderung lebih sehat daripada kelompok plasebo. Fakta membuktikan,
defisiensi besi memainkan peranan dalam kemampuan individu terhadap resisten
infeksi (Kang dan Matsuo, 2004). Beberapa studi mengindikasikan bahwa dalam
kondisi normal, status gizi besi berperan dalam maintenance respons imun.
Dengan demikian, anak yang defisiensi besi secara langsung memiliki respons
imun yang kurang, karena defisiensi besi, infeksi, dan respons imun saling
berkaitan.
Anemia karena defisiensi besi yang tidak segera mendapatkan terapi akan
meningkatkan keparahan anemia (severe). Anemia yang parah dapat
menyebabkan berkembangnya plasmodium falciparum malaria karena sumsum
tulang berlarut- larut tertindas oleh residu parasit (Helleberg et al., 2005). Sesuai
dengan pendapat tersebut, Oppenheimer (2001) menggeneralisasikan angka
kesakitan dan kematian akibat penyakit infeksi lebih besar terjadi pada anak yang
menderita defisiensi besi dibandingkan dengan anak yang normal. Menurutnya,
defisiensi besi saling berkaitan dengan ketidaknormalan fungsi imun, namun sulit
digambarkan relevansi dan tingkat keparahannya dalam studi observasi. Insiden
infeksi pada anak yang defisien zat besi menurun ketika anak diberikan suplemen
zat gizi besi (Oppenheimer, 2001).
Retinol Serum (Rs)
Defisiensi vitamin A merupakan masalah serius dan masih terus
berlangsung di beberapa negara berkembang. Defisiensi vitamin A pada anak-
90
anak berhubungan dengan peningkatan keparahan infeksi dan peningkatan angka
kematian. Indikator defisiensi vitamin A antara lain dapat dilihat dari konsentrasi
retinol dalam serum (Sommer dan West, 1996; Baeten et al., 2004). Retinol serum
diukur secara intra vena untuk mengetahui keadaan defisiensi vitamin A pada
balita contoh. Kategori retinol serum (Rs) menurut WHO (1994), yakni
konsentrasi retinol serum anak balita berturut-turut <0,35 mol/l (<10 g/dl)
untuk defisiensi vitamin A dan <0,70 mol/l (<20 g/dl) untuk status vitamin A
rendah. Menurut Gamble et al., (2004), dikatakan defisien vitamin Ajika retinol
serum <0,70 mol/l.
Berdasarkan ketentuan WHO, maka pengelompokan kadar Rs
dikategorikan menjadi empat kelompok, yakni (1) <10 g/dl, defisiensi vitamin
A; (2) <20-10 g/dl, status vitamin A rendah (defisiensi vitamin A subklinis); (3)
20 - 30 g/dl, status vitamin A marginal; dan (4) >30 g/dL, status vitamin A
baik. Sebaran Rs anak balita contoh ditampilkan pada Gambar 21.
Gambar 21. Sebaran Retinol Serum (Rs) Anak Balita Contoh di Awal
dan Akhir intervensi
91
Sebaran nilai kadar retinol serum anak balita contoh berkisar antara (10,9-
47,2) g/dl. Hanya terdapat 1,4% pada awal intervensi balita contoh yang
memiliki retinol 10,9 g/dL dan hanya 1,4% pula yang memiliki Rs tinggi, yakni
42,7 g/dl. Terdapat 5,6% anak balita contoh yang memiliki kadar Rs 11 g/dL.
Berdasarkan kondisi tersebut dapat diasumsikan bahwa pada awal intervensi
sebagian besar anak balita memiliki kadar serum retinol yang rendah. Apabila
konsumsi anak balita khususnya intik vitamin A tidak diperhatikan dan tidak
tertangani dengan baik maka status vitamin A anak-anak tersebut akan terjatuh
pada defisiensi vitamin A, dan kecenderungan akan mengakibatkan buta senja
apabila konsentrasi retinolnya berkisar 11 g/dl (Paracha et al, 2000).
Estimasi vitamin A didekati dengan plasma retinol (de Pee dan West,
1996), dan konsentrasi plasma retinol menurun bersamaan dengan penyakit
infeksi (Reddy et al., 1986; Thurnham dan Singkamani, 1991). Konsentrasi zat
gizi yang berkaitan dengan penyakit dapat dinilai dengan vitamin A (Filteau,
Morris, dan Abbott., 1993) dan status besi (Witte, 1991). Perbaikan status vitamin
A terhadap kelompok defisiensi dapat menurunkan mortalitas anak balita sebesar
23% (Beaten et al., 1992; Solon et al., 2000).
Sebaran Rs pada awal intervensi berdasarkan sebaran pada Gambar 21
tidak terdapat satupun anak balita yang serum retinolnya <10 g/dL (defisien),
baik dari kelompok perlakuan maupun plasebo. Demikian pula pada akhir
intervensi, tidak ada satupun terdapat anak yang defisiensi vitamin A. Namun
demikian sebagian besar anak balita memiliki serum retinol antara 10-< 20 g/dL
(sub defisien), baik dari kelompok perlakuan maupun plasebo pada awal
intervensi. Artinya sebagian besar anak balita mempunyai status vitamin A rendah
(52,9% pada kelompok perlakuan dan 31,4% pada plasebo). Terdapat 28,6% anak
balita yang memiliki vitamin A yang baik.
Vitamin A berperan penting dalam beberapa proses metabolik. Retinol
merupakan komponen esensial dari rodopsin, pigmen retina khususnya dalam
penglihatan. Vitamin A berfungsi dalam beberapa sel dan jaringan tubuh,
termasuk sel epithel dan sel-sel sistem imun (Blomhoff, 1994), berperan dalam
pengaturan diferensiasi dan proliferasi sel (Napoli, 1996).
92
Berdasarkan hasil pemeriksaan status vitamin A secara klinis, bahwa anak
balita contoh di wilayah penelitian dapat diindikasikan memiliki masalah
defisiensi subklinis vitamin A. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan WHO bahwa
suatu masyarakat dikatakan memiliki masalah defisiensi vitamin A subklinis
apabila prevalensi serum retinol <0,70 mol/L (<20 g/dL) lebih dari 20%.
Masyarakat dikatakan bebas masalah KVA apabila status vitamin A pada anak
cukup dan prevalensinya <20% dengan serum retinol <0,70 mol/L (Blomhoff et
al.,1992).
Setelah intervensi selama empat bulan, status vitamin A anak balita contoh
mengalami perbaikan. Sebagian besar anak balita contoh memiliki status vitamin
A marginal (retinol: 20 - 30 g/dL) yakni 47,1% pada kelompok perlakuan dan
48,6% pada plasebo yang sebelumnya adalah defisiensi subklinis. Sebagian lagi
memiliki status vitamin A yang baik, yakni 44,1% pada perlakuan dan 42,8%
pada plasebo. Namun masih terdapat masing- masing 8,8% anak balita contoh
pada kelompok perlakuan dan plasebo yang memiliki status vitamin A rendah
(defisien). Dengan kondisi yang demikian, berdasarkan WHO (1994) berarti
wilayah penelitian telah terbebas dari masalah vitamin A. Meskipun demikian hal
tersebut masih tetap perlu pengawasan yang serius dari orang tua atua pengasuh
serta pihak-pihak terkait, seperti kader, bidan desa, Puskesmas, dan dinas
kesehatan wilayah setempat untuk tetap memantau kesehatan anak terutama suplai
kebutuhan vitamin A terhadap anak. Hal tersebut dimaksudkan agar status vitamin
A anak balita tetap baik, tidak jatuh pada kondisi defisiensi vitamin A.
Berdasarkan laporan WHO (1995) ada 254 juta anak sekolah beresiko
defisiensi vitamin A, dan 50%- nya dari Asia Tenggara. Defisiensi vitamin A di
beberapa negara turut bertanggung-jawab terhadap 1-2,5 juta kematian anak setiap
tahunnya dan lebih 500.000 kebutaan (Somer, 1982).
Nilai rata-rata retinol dan hasil uji disajikan pada Tabel 27. Data pada
Tabel ini menggambarkan rata-rata nilai Rs pada awal intervensi pada kelompok
perlakuan 19,13+4,87 g/dL dan untuk kelompok plasebo 24,96+9,35 g/dL.
Tidak ada perbedaan yang signifikan antara nilai Rs kelompok perlakuan dan
plasebo pada awal intervensi (p = 0,051).
93
Tabel 27. Rata-rata Retinol Serum dan Hasil Uji Perbandingan Rata-Rata
Kadar Retinol
(g/dL)
Kelompok
Perlakuan (n=35)
Kelompok
Plasebo (n=35)
P
Awal 19,13 +4,87
a
24,96+9,35
ab
0,051
Akhir 29,26+7,63
a
29,35+7,70
ba
0,176
Delta 10,12+7,84
b
4,38+7,72
b
0,00*
* p<0,05
Keterangan: huruf superscript yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan
berbeda nyata pada uji t (p<0,05).
Pada akhir intervensi rata-rata kadar Rs kelompok perlakuan meningkat
menjadi 29,26+7,63 g/dL, sedangkan kelompok plasebo menjadi 29,35+7,70
g/dL. Tidak ada perbedaan signifikan antara nilai Rs kelompok perlakuan
dengan nilai Rs kelompok plasebo pada akhir intervensi (p = 0,176).
Pada kelompok perlakuan terjadi kenaikan kadar Rs sebesar 10,12+7,84
g/dL sedangkan pada kelompok plasebo terjadi kenaikan nilai Rs sebesar
4,38+7,72 g/dL. Kenaikan delta nilai Rs kelompok perlakuan secara signifikan
lebih tinggi dari kelompok plasebo (p = 0,00). Kenaikan nilai Rs ini karena
kenaikan asupan vitamin Ahasil dari biskuit fortifikasi. Karenanya pemeliharaan
status vitamin A sangat perlu bagi anak balita (kelompok beresiko) sebab
defisiensi vitamin A sangat berpengaruh terhadap percepatan terjadinya infeksi
Respons Imun (Immunoglobulin G)
Respons imun diukur dengan menganalisis titer IgG total terhadap tetanus
pada sampel darah anak setelah pemberian booster DPT. Pengukuran titer IgG
total terhadap tetanus dianalisis dengan metode ELISA di laboratorium
terakreditasi, Laboratorium Endokrinologi Makmal Terpadu FKUI.
Hasil pengukuran titer imunoglobulin G (IgG) total terhadap tetanus dalam
darah yang dilakukan pada anak balita sebanyak 30 anak memberikan hasil yang
bervariasi. Titer IgG total terhadap tetanus berkisar antara 1,00 IU/ml sampai
1,725 IU/ml. Kriteria IgG total terhadap tetanus dikelompokkan menjadi tiga
(Kunarti, 2004) yakni: (1) 0,0 1,0 IU/ml adalah kadar titer IgG rendah, (2) >1,0
1,5 IU/ml adalah kadar titer IgG cukup, dan (3) >1,5 IU/ml adalah kadar titer
IgG tinggi.
94
Pada Gambar 22 disajikan sebaran rata-rata titer IgG Total. Pada awal
intervensi, sebagian besar anak balita telah mempunyai titer yang cukup, hanya
ada 1(6,67%) pada kelompok perlakuan dan 2 (13,33%) pada kelompok plasebo
yang titernya IgG Totalnya rendah. Sebagian lagi anak balita telah memiliki titer
IgG Total yang tinggi.
Gambar 22. Sebaran Titer IgG Total (IU/mL) Awal dan Akhir intervensi
Pada akhir intervensi terjadi peningkatan titer IgG baik pada kelompok
perlakuan maupun kelompok plasebo. Tidak ada satupun anak balita contoh yang
memiliki kadar titer IgG yang rendah di akhir intervensi. Sebagian besar anak
balita contoh (86,67%) pada kelompok perlakuan dan 66,67% pada kelompok
plasebo memiliki titer IgG tinggi, dan hanya 13,33% saja anak balita dari
kelompok perlakuan memiliki titer IgG cukup. Namun pada kelompok plasebo,
anak balita yang memiliki titer IgG cukup masih relatif tinggi, yakni ada 33,33%
Peningkatan titer IgG disajikan pada Tabel 28.
95
Pada Tabel 28, tampak bahwa titer IgG pada kelompok perlakuan di akhir
intervensi terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok plasebo, artinya
peningkatan titer IgG pada kelompok perlakuan lebih besar daripada kelompok
plasebo. Titer IgG yang telah dimiliki anak pada awal intervensi sebagian besar
(90,0%) lebih dari 1,00 IU/ml, dan diakhir intervensi semua anak balita contoh
(100%) titer IgG- nya >1,00 IU/ml. Dengan memiliki titer IgG tersebut, mereka
telah cukup terlindungi sampai beberapa tahun mendatang dan ini perlu penelitian
lanjutan. Menurut Kunarti (2004) bahwa titer IgG yang tinggi mampu melindungi
anak selama kurang lebih lima tahun kedepan. Tingginya pembentukan titer IgG
diakibatkan karena semua anak balita contoh telah terpapar oleh imunisasi. Studi
yang dilakukan oleh Nelson (1978), Cellist, et al., (1989), Galazka dan
Kardymowitcz (1989) disebutkan titer tingkat 0,1 IU/ml adalah sangat protektif
dalam perlindungan terhadap penyakit infeksi.
Tabel 28. Rata-rata Titer IgG Total dan Hasil Uji Perbandingan Rata-rata
IgG Total
(IU/mL)
Kelompok
Perlakuan (n=35)
Kelompok
Plasebo (n=35)
p
Awal 1,4+0,2
a
1,4+0,2
ab
0,142
Akhir 1,6+0,1
a
1,5+0,1
a
0,006*
Delta 0,2+0,2
b
0,1+0,2
b
0,000*
* p<0,05
Keterangan: huruf superscript yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan
berbeda bermakna pada uji t (p<0,05)
Hasil penelitian di Rusia pada tahun 2000an yang dilakukan oleh Markina
et al., (2000), Nekrassova et al., (2000), Filonov et al., (2000), dan Magdei et al.,
(2000) diungkapkan bahwa status imunisasi merupakan faktor yang berperan
untuk terbentuknya titer imunoglobulin. Penelitian Setiawan et al., (1993) di
Jakarta, bahwa kadar protektif anak akan terbentuk setelah diimunisasi tiga kali
berkisar antara 68,3-81%.
Rata-rata dan hasil uji IgG yang disajikan pada Tabel 28 menggambarkan
rata-rata nilai IgG pada awal intervensi pada kelompok perlakuan 1,4+0,1 IU/mL
dan untuk kelompok plasebo 1,4+0,1 IU/mL. Tidak ada perbedaan yang
signifikan antara nilai IgG kelompok perlakuan dan plasebo pada awal intervensi
96
(p = 0,142). Sedangkan pada akhir intervensi rata-rata nilai IgG kelompok
perlakuan naik menjadi 1,6+0,1 IU/mL, sedangkan kelompok plasebo menjadi
1,5+0,1 IU/mL. Ada perbedaan signifikan antara nilai IgG kelompok perlakuan
dengan nilai IgG kelompok plasebo pada akhir intervensi (p = 0,006).
Pada kelompok perlakuan terjadi kenaikan nilai IgG sebesar 0,2+0,2
IU/mL sedangkan pada kelompok plasebo terjadi kenaikan nilai IgG sebesar
0,1+0,2 IU/mL.
Kenaikan delta nilai IgG kelompok perlakuan secara signifikan lebih
tinggi dari kelompok plasebo (p = 0,000). Kenaikan nilai IgG ini diduga karena
kenaikan status vitamin A dan besi anak balita .
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa peningkatan titer IgG pada
anak balita kelompok perlakuan tersebut diduga akibat adanya penambahan
vitamin A dan Fe dari mengkonsumsi biskuit fortifikasi. Kandungan vitamin A
dan Fe mampu meningkatkan antibodi anak, khususnya imunoglobulin G Total.
Mengingat sinergisme vitamin A dan zat besi dapat meningkatkan Hb, ferritin dan
retinol anak. Dengan peningkatan status gizi mikro anak dapat meningkatkan
respons imun anak. Dengan memiliki respons imun yang baik, anak menjadi tidak
mudah terinfeksi, sebab tubuh anak mampu merespons antigen yang menghampiri
tubuhnya. Kalaupun anak terpapar, kecenderungan kondisi anak tidak mudah
menjadi parah.
Morbiditas, Hemoglobin, Ferritin, Retinol,
dan Respons Imun
Faktor yang Berpengaruh terhadap Pembentukkan Titer Imunoglobulin G
Pemberian imunogen/antigenis, baik dari imunisasi maupun booster akan
menimbulkan respons imun yang diawali pembentukkan serokonversi antibodi.
Banyaknya antibodi yang dihasilkan tergantung dari morbiditas dan status gizi
mikro anak. Respons imun dalm hal ini dinampakkan sebagai kekebalan tubuh
terhadap penyakit. Terjadinya respons imun melibatkan antibodi, antara lain
imunoglobulin G. Konsep pembentukkan titer IgG dari hasil studi pustaka
disajikan pada Gambar 23.
97
Gambar 23. Faktor- faktor yang Berpengaruh terhadap Pembentukkan Titer
Imunoglobulin G
Berdasarkan penjelasan tersebut, meskipun anak telah mendapatkan
pemberian booster, akan menghasilkan titer IgG yang berlainan sejalan dengan
faktor yang berpengaruh antara lain: (1) kualitas potensi vaksin, (2) imunisasi, (3)
interval waktu pemberian booster, (4) infeksi, (5) status vitamin A dan besi.
Kualitas potensi vaksin, iminisasi, dan interval waktu pemberian booster
kepada responden pada saat penelitian kondisinya disamakan. Vaksin DPT yang
diberikan kepada anak balita diambil dari PT. Biofarma Bandung yang memiliki
kualitas potensi yang baik. Pemeliharaan terhadap potensi vaksin dapat dilakukan
dengan cara pengelolaan yang baik dari vaksin didistribusi selama perjalanan dan
penyimpanan hingga vaksin sampai kepada sasaran. Vaksin yang diberikan
kepada anak dikenal sebagai antigen sehingga pertahanan awal akan terbentuk,
Respons Imun
(Pembentukkan Titer Imunoglobulin G)
Interval
Pemberian
Serokonversi
Antibodi
Imunisasi dan
Maternal antibodi
Infeksi dan
penyakit
Intik Vitamin A
dan Fe
Revaksinasi
(Booster)
Status Vitamin A
dan Besi (Fe)
Potensi vaksin,
Rantai dingin
98
yakni timbulnya respons imun non-spesifik humoral. Kekebalan yang terbentuk
akan mudah diukur.
Dosis booster yang diberikan kepada anak sama, yakni 0,5 mg. Pemberian
imunisasi berpengaruh terhadap pembentukkan antibodi anak. Pembentukkan
antibodi dengan imunisasi bersifat humoral maka jumlah dan dosis sangat
berperan untuk mempertahankan sampai titer yang terbentuk protektif.
Interval waktu pemberian booster berpengaruh terhadap terbentuknya
titer IgG. Interval yang terlalu pendek akan menyebabkan terjadinya proses
fagositosis. Sebaliknya, interval terlalu panjang dapat menyebabkan terjadinya
kelemahan sel yang memungkinkan terganggunya pembentukkan antibodi.
Interval pemberian dosis booster sampai dengan analisis imunoglobulin yakni 12
hari, dengan pertimbangan tepat pada pertengahan pembentukan IgG terbesar
pada interval waktu 10-14 hari setelah pemberian antigen.
Infeksi dapat muncul cepat apabila tubuh anak terjadi defisiensi zat gizi,
khususnya zat gizi mikro seperti defisiensi vitamin A dan za besi (Fe) diyakini
berpengaruh terhadap pertahanan tubuh anak. Anak yang defisiensi zat gizi akan
lebih mudah terpapar bila terkena penyakit.
Defisiensi vitamin A dan zat besi diyakini dapat berpengaruh terhadap
respons imun, namun bagian mana dari tubuh yang secara langsung dipengaruhi
perlu penelitian imunitas yang biayanya sangat mahal. Sampai saat ini belum
banyak penelitian ke arah tersebut. Pada penelitian yang dilakukan hanya sebatas
akibat dari penambahan vitamin A dan zat besi terhadap peningkatan titer
imunoglobulin G. Defisiensi vitamin A dan zat besi diyakini dapat menurunkan
respons terhadap infeksi. Defisiensi vitamin A dapat merubah permukaan
membran glikoprotein yang dapat mengganggu pengikatan antigen.
Hubungan Infeksi, Kadar Hemoglobin, Ferritin, Retinol, dan Respons Imun
Infeksi
Infeksi dapat diakibatkan oleh lingkungan yang padat dan kumuh, yang
memberikan kontribusi personal higiene yang kurang sehingga dapat berpengaruh
terhadap tingginya angka infeksi. Infeksi dan defisiensi zat gizi merupakan
99
problem yang umum dijumpai pada anak-anak. Defisiensi zat gizi memberi
peluang tubuh terhadap mudahnya terkena penyakit infeksi. Pada saat tubuh
terinfeksi, sistem imun sel menurun dan respons antibodi tidak memadai.
Hemoglobin (Hb)
Kadar rata-rata Hb dari kedua kelompok berkisar antara 8,9-13,6 g/L.
Kadar rata-rata Hb pada kelompok perlakuan secara nyata lebih tinggi daripada
rata-rata Hb kelompok plasebo. Perbedaan kadar rata-rata Hb dari kedua
kelompok tersebut signifikan (p = 0,00).
Kondisi anemia pada anak akan berpengaruh terhadap pembentukan
imunoglobulin. Kondisi kadar Hb darah yang kurang dari normal dapat
menyebabkan kurangnya oksigen yang ditransportasikan ke beberapa sel tubuh
maupun otak, mengingat fungsi Hb adalah mengangkut oksigen dari paru-paru ke
seluruh sel tubuh (Sukirman, 2000; Djikhuizen dan Wieringa, 2001). Kekurangan
Hb atau anemia menyebabkan kerusakan fungsional beberapa jaringan tubuh.
Kondisi yang demikian dapat menimbulkan gejala 5L, yakni lemah, letih, lesu,
lunglai, lelah. Akibatnya dapat menurunkan daya tahan tubuh anak balita sehingga
rentan terhadap penyakit. Zat besi berperan penting dalam sistem imun dan
anemia dapat menyebabkan kerusakan fungsi imun, khususnya sel mediate
respons imunologik (Weiss et al., 1995). Anemia penyebab sejumlah
ketidaknormalan biologis dan merusak sel mediate imunitas dengan terjadinya
peningkatan infeksi (Terlouw et al., 2004).
Ferritin Serum (Fs)
Delta Rata-rata konsentrasi ferritin pada kelompok perlakuan lebih tinggi
dibandingkan plasebo (11,43+4,47 terhadap 8,27+4,55) g/L. Artinya intervensi
biskuit fortifikasi mampu meningkatkan status besi anak balita. Hal tersebut
terbukti secara statistik adanya peningkatan kadar ferritin anak balita. Zat besi
esensial untuk pertumbuhan/proliferasi bakteri dan mikroorganisme. Kehadiran
zat besi harus ada setiap hari dalam sumsum tulang untuk pembentukan Hb.
Penurunan kadar Fe plasma secara tiba-tiba dapat menyebabkan infeksi akut.
Artinya, banyak bakteri yang mempunyai kesanggupan mensekresi siderofore.
100
Siderofore merupakan suatu sekret mikroorganisme yang sifatnya suka terhadap
Fe dari hemoglobin. Siderofore tersebut dapat mengikat Fe dalam media
sekitarnya sehingga meningkatkan dayaguna untuk bakteri/jamur, seperti escheria
coli, basilus subtilis, v. Cholera, pseudomanas B 10, streptomyces pilosus, dan
lain- lain.
Tubuh yang defisiensi Fe (deplesi) menyebabkan transport besi dalam
plasma terganggu, terutama untuk keperluan pembentukan darah merah (eritrosit)
berkurang. Apabila eritrosit berkurang/ menurun maka konsentrasi Hb akan
menurun pula. Defisiensi zat besi sebagian besar terjadi karena ketidakhadiran zat
besi dalam makrofag di dalam sumsum tulang. Selama infeksi terjadi penurunan
konsentrasi Hb dan kadar ferritin. Defisiensi besi dapat menurunkan kapasitas
bakterisidal neutrofil dan limfosit, kerusakan respons proliferasi limfosit dan
antigen, serta respons yang lambat terhadap antigen (Chandra, 1997).
Serum Retinol (Rs)
Delta peningkatan kadar retinol dalam serum kelompok perlakuan secara
nyata lebih tinggi dibandingkan dengan plasebo (10,12+7,84 terhadap 4,38+7,72)
g/dL. Perbedaan delta tersebut secara statistik signifikan (p<0,05), artinya
intervensi biskuit fortifikasi dapat meningkatkan status vitamin A anak balita,
terbukti secara statistik adanya peningkatan kadar retinol. Vit amin A berperan
penting dalam beberapa proses metabolik tubuh. Retinol merupakan komponen
esensial dari rodopsin, pigmen retina khususnya dalam penglihatan. Vitamin A
berfungsi dalam beberapa sel dan jaringan tubuh, termasuk sel epithel dan sel-sel
sistem imun (Blomhoff, 1994), serta berperan dalam pengaturan diferensiasi dan
proliferasi sel (Napoli, 1996).
Vitamin A (retinaldehida) pada tingkat sel berfungsi dalam penglihatan
dan vitamin A (asam retinoat) dalam inti sel sangat diperlukan untuk membantu
ekspresi gen dan bersamaan dengan messenger RNA (mRNA) berfungsi dalam
pembentukan imunoglobulin (Wiedermann et al., 1993).
101
Imunoglobulin G (IgG)
Hubungan antara defisiensi vitamin A dan zat besi (Fe) serta status
vitamin A dan besi (status gizi mikro), infeksi, dan respons imun bersifat
sinergisme. Kondisi defisiensi vitamin A dan Fe akan menyebabkan peluang
terhadap penyakit infeksi meningkat dan akan memperberat jalannya penyakit
karena adanya penekanan respons imun. Interaksi antara infeksi, status gizi mikro,
dan respons imun terilustrasikan dalam: (1) Pada kondisi defisiensi: vitamin A
maka terjadi penurunan konsentrasi retinol serum yang dapat mengganggu
ekspresi gen dalam fungsinya membantu pembentukan imunoglobulin, demikian
juga pada kondisi defisiensi zat besi akan menyebabkan anemia yang dapat
mengganggu terbentuknya hemoglobin; (2) Pada kondisi infeksi: terjadi anemia
dan defisiensi vitamin A sehingga terjadi percepatan infeksi; (3) Pada respons
imun terjadi penurunan imunitas mukosa, gangguan fungsi fagosit, dan respons
antibodi (imunoglobulin G) tidak memadai (Suyitno, 1985).
Dalam interaksi terdapat hubungan yang erat antara status vitamin A dan
besi, infeksi, serta respons imun. Pada defisiensi vitamin A dan Fe maka respons
imun akan menurun serta frekuensi dan beratnya infeksi akan meningkat. Pada
infeksi akan memperberat defisiensi vitamin A dan Fe serta menurunkan respons
imun. Pada defisiensi respons imun penyebab kerentanan tubuh inang terhadap
penyakit. Apabila defisiensi vitamin A dan Fe terjadi bersamaan akan saling
memperberat dan kompeten respons imun juga dapat terganggu. Status gizi besi
berperan dalam maintenance respons imun. Dengan demikian, anak yang
defisiensi besi secara langsung memiliki respon imun yang tidak baik, karena
defisiensi besi, infeksi, dan respons imun saling berkaitan.
Anak yang IgGnya bagus, ternyata memiliki konsentrasi Hb yang baik,
kadar ferritin dan retinol yang baik juga. Dan anak tersebut selalu sehat serta
jarang terpapar infeksi. Sebaliknya anak yang sering sakit (terpapar infeksi)
ternyata memiliki konsentrasi Hb yang rendah dan kadar ferritin serta retinolnya
juga rendah dan imunoglobolinnya juga tidak tinggi.
Sesuai dengan pendapat tersebut, Oppenheimer (2001) menggeneralisasi-
kan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit infeksi lebih besar terjadi pada
102
anak yang menderita defisiensi besi dibandingkan dengan anak yang normal.
Menurutnya, defisiensi besi saling berkaitan dengan ketidaknormalan fungsi
imun, namun sulit digambarkan relevansi dan tingkat keparahannya dalam studi
observasi. Insiden infeksi pada anak yang defisien zat besi menurun ketika anak
diberikan suplemen zat gizi (Oppenheimer, 2001).
Betapa besar pentingnya pengaruh vitamin A dan Fe terhadap
kesanggupan tubuh untuk menangkis mikroorganisme penyebab timbulnya
infeksi. Fungsi imunologi sangat penting, namun penelitian imunitas belum
banyak dilakukan, artinya belum sistematik dan komprehensif. Masih banyak
penelitian yang harus dilakukan dalam bidang ini.
1.4 1.4
1.6
1.5
1.3
1.35
1.4
1.45
1.5
1.55
1.6
1.65
Perlakuan Plasebo
K
a
d
a
r
I
g
G
T
o
t
a
l
(
I
U
/
m
L
)
Awal Akhir
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Pemberian vitamin A dan zat besi (Fe) dosis rendah harian dapat
meningkatkan status vitamin A, status besi, dan respons imun anak balita. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa pemberian biskuit fortifikasi kepada anak
balita selama 16 minggu (4 bulan) di wilayah Kecamatan Dramaga Kabupaten
Bogor memberikan dampak sebagai berikut:
1. Intik konsumsi vitamin A dan zat besi (Fe) secara nyata meningkat lebih
tinggi (p<0,05).
2. Pasca intervensi, kadar hemoglobin dan ferritin secara nyata lebih tinggi
(p<0,05) pada kelompok perlakuan daripada plasebo. Peningkatan tersebut
dampak dari fortifikan vitamin A dan zat besi (Fe) yang dapat diserap oleh
anak.
3. Kadar retinol lebih tinggi peningkatannya (p<0,05) setelah pemberian biskuit
fortifikasi, yang dapat menunjukkan penyerapan vitamin A yang baik.
4. Tidak terdapat peningkatan status gizi anak secara antropometri (p>0,05) baik
pada kelompok perlakuan maupun plasebo.
5. Pada kelompok perlakuan terjadi peningkatan respons imun anak balita yang
lebih tinggi (p<0,05) setelah pemberian biskuit fortifikasi.
Saran
1. Biskuit fortifikasi dapat digunakan sebagai makanan alternatif bagi anak balita
untuk meningkatkan status gizi mikro.
2. Untuk menghindari kebosanan anak terhadap biskuit maka perlu divariasikan
bentuk dan cita rasanya.
3. Perlu dilakukan penelitian efektifitas biskuit fortifikasi.
4. Perlunya dilakukan penelitian imunitas pada program-program bantuan
pangan pemerintah untuk anak balita.
DAFTAR PUSTAKA
ACC/SCN. 2000. Fourth Report on the World Nutrition Situation. Geneva:
ACC/SCN in collaboration with the International Food Policy Research
Institute.
ACC/SCN. 2002. Ending Malnutrition by 2020: an Agenda for Change in the
Mellinium. Final Report of the ACC/SCNs Commission on Nutrition.
Geneva.
Aguayo VM, Baker SK, Crespin X, Hamani H, dan Taibou AM. 2005.
Maintaining High Vitamin A Supplementation Coverage in Children:
Lessons from Niger. Aguayo et al. 2005. Food and Nutrition Bulletin;
26(1):26-31.
Ahluwalia N, Sun J, Krause D, Mastro A, dan Handte G. 2004. Immune Fuction is
Impaired in Iro-deficient, Homebound, Older Women. Am J Clin Nutr;
79:516-21.
Ahmed F, Jones DB, dan Jackson AA. 1990. The Interaction of Vitamin A
Deficiency and Rotavirus Infection in The Mouse. Brit J Nutr 63: 363-373.
Allen LH, Gillespie SR. 2001. What Works? A Review of the Efficacy and
Effectiveness of Nutrition Interventions. UN. ACC/SCN. ADB
Almatsier S. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Baratawidjaja, Karnen dan Garna. 2002. Imunologi. Balai Penerbit FKUI, edisi 5.
Jakarta
Beaton GH, Martorell R, LAbbe KA, Edmonston B, McCabe G, Ross AC, dan
Harvey B. 1993. Effectiveness of Vitamin A Supplementation in The
Control of Young Child Morbidity and Mortality in Developing Countries.
ACC/SCN State of the Art Series: Nutrition Policy Discussion Paper No.
13. United Nations. Geneva.
Beaten JM, Richardson BA, Bankson DD, Wener MH, Kreiss JK, Lavreys L,
Mandaliya K, Bwayo JJ, dan McClelland RS. 2004. Use of Serum Retinol-
binding Protein for Prediction of Vitamin A Deficiency: Effects of HIV-1
Infection, Protein Malnutrition, and The Acute Phase Response. Am J Clin
Nutr; 79:218-25
Beisel WR. 1988. Nutrition, Infection, Specific Host Defense: A Complex
Interaction in Nutrition, Disease Resistance and Immune Function. Marcel
Dekker Inc, New York.
105
Bellanti JA dan Joseph VK. 1993. Prinsip-prinsip Imunologi dalam Imunologi.
Penyunting Noerhayati Soeripto. Gajah Mada University Press, h 1-17.
Yogyakarta.
Bernier GM. 1993. Antibodi dan Imunoglobulin, Struktur dan Fungsi. Penyunting
Noerhayati Soeripto. Gajah Mada University Press, h 96-113. Yogyakarta.
Blomhoff R, Green MH, dan Norum KR. 1992. Vitamin A: Physiological and
biochemical processing. Ann Rev Nutr 12: 37-57.
Bowman TA, Goonewardene IM, Pasatiempo AMG, Ross AC, and Taylor CE.
1990. Vitamin A deficiency decreases natural killer cell activity and
interferon production in rats. J Nutr 120: 1264-1273.
Brody T. 1999. Nutritional Biochemistry, Second Edition. Academic Press. New
York.
Brown KH, Rajan MM, Chakraborty J, Aziz KMA, dan Phil M. 1980 Failure of a
Large Dose of Vitamin A to Enhance The Antibody Response To Tetanus
Toxoid in Children. Am J Clin Nutr 33: 212-217.
Brune M, Rossander L, Hallberg L. 1989. Iron Absorption and Phenolic
Compounds: Importance of Different Phenolic Structure. Eur J Clin Nutr.
43: 547-58.
Chandra RK. 1997. Nutrition and The Immune System: an Introduction.
American Journal of Clinical Nutrition, 66: 460S 463S.
Chandra RK. 1999. Nutrition and Immune Responses: What do we Know?.
Nutrition and Immune Function. National Academy Press, p: 205-220.
Washington DC
Chandra R.K. 1973. Reduced Bactericidal Capacity of Polymorphs in Iron
Deficiency. Arch. Dis. Child, 48:863-866.
Chandra R.K. 1992. Effect Vitamin and Trace-element Supplementation on
Immune Response and Infection in Elderly Subjects. Lancet; 340:1124:7.
Cochran, WG. 1977. Sampling Techniques, 3rd edition. Wiley. New York.
Cohen BE, dan Elin RJ. 1974. Vitamin A-Induced Nonspecific Resistance To
Infection. J Infect Dis 129: 597-600.
Cohen BE, Cohen IK. Vitamin A: adjuvant and steroid antagonist in the immune
response. J Immunol 1973; 111:1376-80.
106
Cook JD. 1994. Iron Deficiency Anaemia. Baillieres Clin Haematol. 7:787-804.
Coutsoudis A, Kiepiela P, Coovadia HM, dan Broughton M. 1992. Vitamin A
Supplementation Enhances Specific IgG Antibody Levels and Total
Lymphocyte Numbers While Improving Morbidity in Measles. Pediatr.
Infect. Dis. J. 11(3): 203-209.
Cusick SE, Tielsch JM, Ramsan M, Jape JK, Sazawal S, Black RE, dan Stolfzfuz
R. 2005 Short-term Effects of Vitamin A and Antimalarial Treatment on
Erythropoiesis in Severely Anemic Zanzibari Preschool Children. Am J
Clin Nutr; 82:406-12.
Dawiesah SI. 1989. Petunjuk Laboratorium Penentuan Nutrient dalam Jaringan
dan Plasma Tubuh. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta
DeLuca LM. 1991. Retinoids and Their Receptors in Differentiation, Embryo-
genesis, and Neoplasia. FASEP J5: 2924-2933.
De Pee S, Dary O. 2002. Biochemical indicators of vitamin A deficiency: serum
retinol and serum retinol binding protein. J Nutr, 132(9 suppl):2895S-
2901S
[Depkes] Departemen Kesehatan RI. 2006. Profil Kesehatan Indonesia 2004
Menuju Indonesia Sehat 2010. Depkes RI. Jakarta.
[Depkes] Departemen Kesehatan RI. 2003. Gizi dalam Angka. Dirjen Kesehatan
Masyarakat. Direktorat Gizi Masyarakat. Jakarta.
[Depkes] Departemen Kesehatan RI. 1997. Pedoman dan Petunjuk Pelaksanaan
Pemberian Vaksin. Dirjen Kesehatan Masyarakat. Direktorat Gizi
Masyarakat. Jakarta.
[Depkes] Departemen Kesehatan RI.1996. Pedoman Pemantauan Status Gizi
melalui Posyandu. Jakarta.
Dijkhuizen MA dan Wieringa FT. 2001. Vitamin A, Iron and Zinc Deficiency in
Indonesia, Micronutrient Interactions and Effects of Supplementation.
Thesis Wageningen University,-With References-With Summaries in
Dutch and Indonesian.
Erdman JW 1988. Nutrient interactions. Bodwell (Ed).dalam Koessler, et al.,1926.
The relation of anemia primary and secondary, to vitamin A deficiency. J.
Am. Med. Assoc. 87:476. Marcel Dekker, Inc. New York and Basel.
107
Filonov VP, Zakharenko DF, Vitek CR, Romanovsky AA, Zukhovski VG. 2000.
Epidemic Dhiphtheria in Belarus, 1992-1997. J Infect. Dis; 181 (suppl):
S41-46.
Finkelman FD, Holmes J, Katona IM, Urban Jr JF, Beckmann MP, Park LS,
Schooley KA, Coffman RL, Mosmann TR, dan Paul WE. 1990.
Lymphokine Control of In Vivo Immunoglobulin Isotype Selection. Annu
Rev Immunol 8: 303-332.
Galazka AM. 1993. Modul I General Immunology. WHO. Genewa.
Gershwin ME, German JB, dan Keen CL.1984. Nutrition and Immunology.
Principles and Practice. Humana Press. Totowa. New Jersey.
Gibson R. 1990. Principles of Nutritional Assessment. Oxford University Press.
Oxford.
Gillespie SR. 2000. Strengthening Capacity to Improve Nutrition. Paper prepared
for the Asian Development Bank-IFPRI Regional Technical Assistance
Project 5824 Nutrition Trends, Policies and Strategies in Asia and the
Pacific. International Food Policy Research Institute. Washington DC.
Gillespie SR. 1997. Malnutrition in South Asia: A Regional Profile. UNICEF,
Regional Office for South Asia.
Gillespie SR, Haddad L. 2001. Attacking the Double Burden of Malnutrition in
Asia and the Pacific. Synthesis of the Regional Technical Assistance
Project 5824 on Nutrition Trends, Policies and Strategies in Asia and the
Pacific. Asian Development Bank. Manila.
Goodhart RS dan ME Shils. 1980. Modern Nutrition in Health and Disease. Lea &
Febiger. Philadelphia.
Gopaldas T. 2005. Improved Effect of School Meals with Micronutrient
Supplementation and deworming.
Grantham MS dan Ani C. 2001. A Review of Studies on The Effect of Iron
Deficiency on Cognitive Development in Children. Journal of Nutrition
131 (2S-2): 649S-666S; Discussion 666S-668S.
Griffin DE, Ward BJ, Lauregui E, Johnson RT, dan Vaisberg A. 1990. Natural
Killer Cell Activity During Measles. Clin exp Immunol 81: 218-224.
Goldenberg IR. 2003. The Plausibility of Micronutrient Deficiency in
Relationship to Perinatal Infection. The American Society for Nutritional
Sciences J. Nutr. 133:1645S-1648S.
108
Hardinsyah dan Briawan.1990. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan.
Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Hardinsyah, Amalia L dan Setiawan B. 2002. Fortifikasi Tepung dan Minyak
Goreng. Bogor: Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi (PSKPG) IPB,
Komisi Fortifikasi Nasional (KFN), ADB-Manila & Keystone Center-
USA.
Helleberg M, Goka BQ, Akanmori BD, Obeng-Adjei G, Rodriques O, Kurtzhals
JAL. 2005. Bone marrow suppression and severe anaemia associated with
persistent Plasmodium falciparum infection in African children with
microscopically undetectable parasitaemia. Malar J. 2005; 4: 56. Published
online 2005 December 1. doi: 10.1186/1475-2875-4-56. (http://www.
pubmedcentral.gov/redirect3.cgi?&&reftype=extlink&artid=1315355&iid
=18191&jid=98&&http://creativecommons.org/licenses/by/2.0 [18/09/06].
High KP, Legault C, Sinclair JA, Cruz J, Hill K, dan Hurd D. 2002. Low Plasma
Concentrations of Retinol and -Tokopherol in Hematopoietic Stem Cell
transplant Recipients: The Effect of Mucositis and The Risk of Infection.
Am J Clin Nutr; 76:1358-66.
Hoa PT, Khan NC, Beusekom CV, Gross R, Conde Wl, dan Khoi HD. 2005. Milk
Fortified with Iron or Iron Supplementation to Improve Nutrition Status of
Pregnant Women: An Intervention Trial from Rural Vietnam. Food and
Nutrition Bulletin; 26(1):32-38.
Hodges RE. Sauberlich RE, Canham J.E. 1978. Haematopoietic studies in
Vitamin A Deficiency. Am J Clin Nutr, 31: 876-85.
IDGR/IAC. 1996. Micronutrient Fortification of Foods; Current Practices,
Research, and Opportunities. The Micronutrient Initiative, International
Agricultural Centre. Netherlands.
IFPRI, UNSSCN. 2000. The World Nutrition Situation: Nutrition Throughout the
Life Cycle. 4th Report P: 136
INACG. 2002. Anemia, Iron Deficiency, & Iron Deficiency Anemia. US.
America
Jahari AB, Sandjaya, Sudiman, Soekirman, Jussat, Latief, Atmarita. 2000. Status
Gizi Balita di Indonesia Sebelum dan Selama Krisis (Analisis Data
Antropometri Susenas 1989-1999). Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi
VIII. Jakarta.
109
Jiang R, Ma J, Ascherio A, Stampfer MJ, Willett WC, dan Hu FB. 2004. Dietary
Iron Intake and Blood Donations in Relation to Risk of Type 2 Diabetes in
Men: A Prospective Cohort Study. Jiang et al. 2004. Am J Clin Nutr;
79:70-5.
Kang dan Matsuo 2004. Effects of 4 weeks Iron Supplementation on
Haematological and Immunological Status in Elite Female Soccer Players.
Asia Pac J Clin Nutr; 13(4):353-358.
Kinoshita M, Pasatiempo AMG, Taylor CE, dan Ross AC. 1991. Immunological
Memory to Tetanus Toxoid is Established and Maintained In The Vitamin
A-Depleted Rat. FASEB J 5: 2473-2481.
Kodyat, BA., Djokomoelyanto, D. Karyadi, Tarwotjo, Muhilal, Husaini, dan A.
Sukaton. 1991. Micronutrient Malnutrition Intervention Program An
Indonesia Experience. Ministry of Health. Directorate General of
Community Health. Directorate of Community nutrition.
Kresno SB. 2001. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Krishnan S, Bhuyan UN, Talwar GP, dan Ramalingaswami V. 1974. Effect of
Vitamin A and Protein-Calorie Undernutrition on Immune Responses.
Immunol 27: 383-392.
Kunarti U. 2004. Pembentukan Titer Imunoglobulin G Difteri pada Anak Sekolah
(Studi Kasus di Kota Semarang). Tesis pada Program Pascasarjana
Universitas Diponegoro semarang.
Kusmiyati DK dan Muis F. 2001. Pengaruh Gizi Terhadap Daya Tahan Tubuh.
Media Medika Indonesia. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Semarang. Vol 36:1.
Kuvibidila S.R, 1980. Effect of Iron Deficiency Anemia on the Immune
Function (Ph,D. thesis, Massachusetts Institute of Technology, Mass.,
USA).
Lartey A, Manu A, Brown KH, Peerson JM, Dewey KG. 1999. A randomized,
community based trial of the effect of improved, centrally proccessed
complementary foods on growth and micronutrient status of Ghanaian
infants from 6 to 12 mo of age. American Journal of Clinical Nutrition, 70:
391-404.
Lavasa S, Kumar L, Chakravarti RN, dan Kumar M. 1988. Early Humoral
Immune Response In Vitamin A Deficiency - An Experimental Study.
Indian J exp Biol 26: 431-435.
110
Linder MC. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. UI. Press. Jakarta.
Ma A, Chen X, Zheng M, Wang Y, Xu R, Li J. 2002. Iron Status and Dietary
Intake of Chinese Rregnant Women with Anaemia in the Third Trimester.
11(3): 171-175.
Mahalanabis et al. 2004 Randomized, Double-blind, Placebo-Controlled Clinical
Trial of The Efficacy of Treatment with Zinc or Vitamin A in Infants and
Young Children with Severe Acute Respiratory Infection. Am J Clin Nutr;
79:430-6.
Malaba LC, Illif PJ, Nathoo KJ, Marinda E, Moulton LH, Zijenah LS, Zvandasara
P, Ward BJ, Zvitambo SG, dan Humphrey JH. 2005. Effect of Postpartum
Maternal or Neonatal Vitamin A Supplementation on Infant Mortality
among Infants Born to HIV-negatif Mothers in Zimbabwe. Am J Clin
Nutr; 81:454-60.
Maqsood M, Dancheck B, Gamble MV, Palafox NA, Ricks MO, Briand K dan
Semba RD. 2004. Vitamin A deficiency and inflammatory markers among
preschool children in the Republic of the Marshall Islands. Nutrition
Journal, 3; 21:10.1186/1475-2891-3-21.
Magdei M, Melnic A, Benes O, Bukova V, Chicu V, Sohotski V. 2000.
Epidemiology and Control of Diptheria in the Republic of Moldova, 1946-
1997. J Infect. Dis; 181 (suppl): S47-54.
Markina SS, Maksimova NM, Vitek CK, Bogatireva EY, Monisov AA. 2000.
Diptheria in the Russian Federation in the 1990s. J Infect. Dis; 181
(suppl): S27-34.
Martorrel R, 1995. Promoting Healthy Growth: Rational and Benefits. Dalam
Child Growth and Nutrition in Developing Countries. Andersen PP,
Pelletier D, dan Alderman H. Cornell University Press. Ithaca and London.
Motarjemi Y, Kaferstein F, Moy G, dan Quevedo F. 1993. Contaminated
Weaning Food: a Major Risk Factor for Diarrhoea and Associated
Malnutrition. WHO Bulletin OMS. Volume: 77: 79-92.
Muhilal, Murdiana A, Azis I, Saidin S, Jahari AB, Karyadi, D. 1988. Vitamin A
fortified monosodium glutamate and vitamin A status: A controlled field
trial. American Journal of Clinical Nutrition 48: 1265-70.
Muhilal. 2001. The Consequences of Vitamin A Deficiency in Children. Gizi
Indonesia 25: 30-36.
111
Natakusuma S. 1998. Strategi Fortifikasi Pangan. Makalah pada WKNPG VI
tanggal 19 Februari. Jakarta: LIPI.
Nauss KM dan Newberne PM. 1985 Local and Regional Immune Function of
Vitamin A-Deficient Rats With Ocular Herpes Simplex Virus (HSV)
Infections. J Nutr 115: 1316-1324.
Nauss KM. 1986. Influence of Vitamin A Status on The Immune System. In
Bauernfeind CJ, ed. Vitamin A Deficiency and its Control. NY: Academic
Press, Inc., pp. 207-243.
Nekrassova LS, Chudnaya LM, Marievski VF, Oksiuk VG, Gladkaya E,
Bortnitska II. 2000. Epidemic Diphtheria in Ukraina. J Infect. Dis; 181
(suppl): S35-40.
Olson JA, 1991. Vitamin A. Di dalam: Machlin LJ, editor. Handbook of vitamin.
Ed ke-2. Dekker.
Oppenheimer SJ. 2001. Iron and Its Relation to Immunity and Infectious Disease.
Journal of Nutrition; 131:616S-635S
Panth M, Shatrugna V, Yasodhara P, Sivakumar B. 1990. Effect of vitamin A
supplementation on haemoglobin and vitamin A levels during pregnancy.
Brit. J. Nutr: 64; 2; 351-8.
Paracha PI, Jamil A, Northrop-Clewes CA, Thurnham DI. 2000. Interpretation of
Vitamin A Status in Apparently Healthy Pakistani Children by Using
Markers of Subclinical Infection.. Am J Clin Nutr;72:1164-9.
Pasatiempo AMG, Kinoshita M, Taylor CE, dan Ross AC. 1990. Antibody
Production In Vitamin A-Depleted Rats Is Impaired After Immunization
With Bacterial Polysaccharide or Protein Antigens. FASEB J 4: 2518-
2527.
Pasatiempo AMG, Taylor CE, dan Ross AC. 1991. Vitamin A Status and The
Immune Response to Pneumococcal Polysaccharide: Effects of Age and
Early Stages of Retinol Deficiency In The Rat. J Nutr 121: 556-562.
Phillips M dan Sanghvi TG. 1996. The Economic Analysis of Nutrition Projects:
Guiding Principle and Examples. HDD. World Bank.
Ravaglia G, Forti P, Maioli F, Bastagli L, Facchini A, Mariani E, Savarino L,
Sassi Simonetta, Cucinotta D, dan Lenaz G. 2000. Effect of Micronutrien
Status on Natural Killer Cell Immune Function in Healthy Free-living
Subjects Aged 90 y. Am J Clin Nutr; 71:590-8.
112
Rencana Aksi. 2000. Rencana Aksi Pangan dan Gizi Nasional 2001-2005.
Pemerintah Republik Indonesia Bekerjasama dengan World Health
Organization.
Riuwpassa F. 2005. Formulasi Biskuit Konsentrat Protein Ikan dan Probiotik
Sebagai Makanan Tambahan untuk Meningkatkan Antibodi IgA dan
Pertumbuhan Anak Balita. Disertasi pada Sekolah Pascasarjana. IPB.
Riyadi H. 2001. Metode Penilaian Status Gizi secara Antropometri. Jurusan Gizi
Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian. Institut
Pertanian Bogor..
Robert AB, Sporn MB. 1984. Cellular Biology and Biochemistry of The
Retinoids. Dalam Sporn MB, Roberts AB, Goodman DS. Eds. The
Retinoids, Vol.2 Orlando, FL: Academic Press, Inc., pp. 209-286.
Roedjito D. 1989. Kajian Penelitian Gizi. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Roitt IM. 1991. Essential Immunology. Blackwell Scientific Publication. Oxford
Ross AC. 1992. Vitamin A Status: Relationship to Immunity and The Antibody
Response. Proc Soc Exp Biol Med 200: 303-330.
Ross AC dan Hammerling U G. 1994. Retinoids and The Immune System. Dalam
Sporn MB, Roberts AB, Goodman DS. The Retinoids: Biology,
Chemistry, and Medicine. 2
ed
ed. Raven Press. New York.
Sanjur D. 1997. Assessing Food Consumption-Selected Issues in Data Collection
and Analysis. Cornell University.
Sari M, Bloem MW, Pee SD, Schultink WJ, Sastroamidjojo S. (2001). Effect of
Iron Fortified Candies on the Iron Status of Children Aged 4-6 y in East
Jakarta, Indonesia. Am. J. Clin. Nutr. 73:1034-1039.
Sastroasmoro S dan Ismail S. 2002. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Ed
2. CV. Sagung Seto. Jakarta
Scrimshaw NS, Taylor CE, Gordon JE. 1968. Interactions of Nutrition and
Infection. Geneva: WHO
Semba RD, Muhilal , West KP Jr, Natadisastra G, Eisinger W, Lan Y, Sommer A.
2000. Hyporetinolemia and Acute Phase Proteins in Children with and
without Xerophthalmia. Am J Clin Nutr; 72:146-53
Semba RD, Muhilal, Scott AL, Natadisastra G, Wirasasmita S, Mele L, Ridwan E,
West KP, dan Sommer A. 1992. Depressed Immune Response to Tetanus
in Children with Vitamin A Deficiency. J. Nutr. 122: 101-107
113
Semba RD. 1994. Vitamin A, Immunity, and Infection. Clin Infect Dis.; 19:489-
499.
. 1998. The Role of Vitamin A and Related Retinoids in Immune
Function. Nuitrition Reviews; 56(1):S38-S48.
.2002 Vit amin A, infection, and immune function.
In Nutrition and Immune Function. Edited by: Calder PC, Field CJ, Gill
HS. CABI. Publishing, New York NY :151-169
Semba RD, Bloem MW. 2002. The anemia of vitamin A deficiency:
epidemiology and pathogenesis. Eur J Clin Nutr, 56:271-281.
Seshadri S, Gopaldas T (1989) Impact of iron supplementation on cognitive
functions in preschool and school-aged children: the Indian experience.
American Journal of Clinical Nutrition 50: 675-686.
Setiawan MS, Almusa D, dan Prijanto M. 1993. Kadar Antibodi Bayi yang
Mendapat Imunisasi Difteri, Pertusis, dan Tetanus di RSCM. Puskesmas
dan Posyandu Bulletin Penelitian Kesehatan, 21(2):40-52.
Sharma JB, Jain S, Mallika V, Singh T, Kumar A, Arora R, Murthy N. 2004. A
Prospective, Partially Randomized Study of Pregnancy outcomes and
Hematologic responses to oral and Intramuscular Iron Treatment in
Moderately Anemic Pregnant Women. Am J Clin Nutr; 79:116-22.
Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya Untuk Keluarga dan masyarakat.
Dirjen Pendidikan Tinggi, Depdiknas.
Solon FS, Klemm RDW, Sanches L, Darnton-Hill I, Craft NE, Christian P, dan
West KP. 2000. Efficacy of Vitamin A-Fortified Wheat Flour Bun on The
Vitamin A status of Filipino Schoolchildren. Am Soc Clin Nutr; 72; 3:738-44
Sommer A, Tarwotjo Ig, Muhilal, Djunaedi E, dan Glover J. 1980. Oral Versus
Intramuscular Vitamin A in The Treatment of Xeropthalmia. The Lancet.
3 : 557-560.
Sommer A. 1982. Field Guide to the Detection and Control of Xerophthalmia. Ed.
World Health Organization. World Health Organization. Geneva.
Spears, Cheney C, dan Zerzan J. 2004. Low Plasma Retinol Concentrations
Increase The Risk of Developing Bronchopulmonary Dysplasia and Long-
term respiratory Disability in Very- low-birth-weight Infants. Am J Clin
Nutr; 80:1589-94.
114
Staab DB, Hodges RE, Metkalf W, Smith JL. 1984. Relationship Between
Vitamin A and Iron in Liver. J. Nutr. 114: 840-4
Stipanuk M. 2000. Biochemical and Physiological Aspects of Human Nutrition.
Saunders Company. New York.
Stuijvenberg M E, Kvalsvig JD, Faber M, Kruger M, Kenoyer DG dan Benad
AJS. 1999. Effect of Iron-, Iodine-, and -carotenefortified Biscuits on
the Micronutrient Status of Primary School Children: A Randomized
Controlled Trial. American Society for Clinical Nutrition: 69, No. 3, 497-
503. http://www.ajcn.org/cgi/content/full/69/3/497 [29/01/07]
Suhardjo dan Riyadi H. 1990. Penilaian Keadaan Gizi Masyarakat. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat
Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Peranian Bogor.
Suharno D, West CE, Muhilal, Karyadi D, Hautvast JGAJ. 1993. Supplementation
with Vitamin A and Iron for Nutritional Anaemia in Pregnant Women in
West Java, Indonesia. Lancet; 342:1325-1328.
Sulabha, V. 1999. Anaemia and Pregnancy. IJM Diet & Nutrition. Nov-Dec
1999.26(6).p 25-29. http://www.Hsph.Harvard.edu/Organizations/health
net/Sasia/forums/ Nutrition/S015.HTML-13k.[12/05/05]
Sunaryo ES. 2004. Pengaruh Pemberian L-Glutamin pada MPASI Pemulih
terhadap Mutu Protein, Profil Imunitas Seluler dan Pertumbuhan Bayi 6
Bulan yang Mengalami Berat Badan kurang. Disertasi pada Sekolah
Pascasarjana. IPB. Bogor.
Supariasa IDN, Bachtiar B, dan Ibnu F. 2002. Penilaian Status Gizi. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Surono IS. 2004. Probiotik. Susu Fermentasi dan Kesehatan. YAPMMI. Jakarta.
Suskind R. 1984. The Immune Response In The Malnourished Child. In Watson
RR. Ed. Nutrition, Disease Resistance and Immune Function. NY: Marcel
Dekkar, Inc., pp. 149-163.
Suyitno H. 1985. Pengamatan Vaksinasi dalam Hubungannya dengan Berbagai
Tingkat Gizi. Depdikbud Dirjen Dikti. Direktorat Pembinaan Penelitian
dan Pengabdian Pada Masyarakat. Jakarta.
Terlouw DJ, Desai MR, Wannemuehler KA, Kariuki SK, Pfeiffer CM, Kager PA,
Shi YPKuile FO. 2004. Relation Between The Response to Iron
Supplementation and Sickle Cell Hemoglobin Phenetype in Preshool
Children in Western Kenya.. Am J Clin Nutr ;79:466-72.
115
Tizard I. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Airlangga University Press.
Surabaya.
Tomkins A dan Watson F. 1993. Malnutrition and Infection. A Review.
Discussion by NS Scrimshaw. ACC/SCN
Thibault H, Galan P, Selz F, et al. 1993. The Immune Response in Iron Deficient
Young Children: Effect of Iron Supplementation on Cell-Mediated
Immunity. Eur J Pediatr; 152: 120-4.
Thurnham DI, McCabe GP, Northrop-Clewes CA, Nestel P.2003. Effects of
subclinical infection on plasma retinol concentrations and assessment of
prevalence of vitamin A deficiency: meta-analysis. The Lancet, 362:2052-
2058.
Thurnham DI, Smith E, dan Flora PS. 1988. Extraction Method for Soluble
Vitamins in Serum/Plasma Samples and Controls. Clinical Chemistry;
34(2):377-381.
Trihendradi C. 2005. Step by Step SPSS 13 Analisis Data Statistik. Andi
Yogyakarta.
Underwood BA. 1984. Vitamin A in animal and human nutrition. Dalam Sporn
MB, Roberts AB, Goodman DS. eds. The Retinoids, Vol. 2. Orlando:
Academic Press Inc., pp. 281-392.
UNICEF. 1990. Strategy for Improve Nutrition of Children and Women in
Developing Countries. New York. Unicef.
Valentine S dan Tanumihardjo SA. 2005. One-time Vitamin A Supplementation
of Lactating Sows Enhances Hepatic Retinol in their Offspring
Independent of Dose Size. Am J Clin Nutr; 81:427-33.
Villamor E, Msamanga G, Spiegelman D, Antelman G, Peterson KE, Hunter DJ,
dan Fawzi WW. 2002. Effect of Multivitamin and Vitamin A Supplements
on Weight Gain During Pregnancy Among HIV-1-Infected Women. Am J
Clin Nutr; 76:1082-90.
Villamor E dan Fawzi WW. 2005. Effects of Vitamin A Supplementation on
Immune Responses and Correlation with Clinical Outcomes Clinical.
American Society for Microbiology, Vol. 18, No. 3, p. 446-464.
[WHO] World Health Organization. 1982. WHO Technical Report Series.
Geneva.
116
[WHO] World Health Organization. 1983. Measuring Change in Nutritional
Status. Geneva.
[WHO] World Health Organization. 1994. Antropometrics Measuerements.
WHO. Geneva.
[WHO] World Health Organization. 1996. Indicators for assessing vitamin A
deficiency and their application in monitoring and evaluating intervention
programmes. WHO/ NUT/96.10. Geneva.
Wibawan IWT, Soejoedono RD, Damayanti CS, dan Tauffani TB. 2003. Diktat
Imunologi. Lab Imunologi Dept Kitwan Kesmavet Fakultas Kedokteran
Hewan. Institut Pertanian Bogor.
Wiedermann U, Hanson LA, Kahu H, Dahlgren UI.1993. Aberrant T-Cell
Functional in Vitro and Impaired T-Cell Dependent Antibody Respons in
Vivo in Vitamin A Deficient Rats. Immunol; 80:581-86.
Williams L dan Wilkins. 2006. Modern Nutrition in Health and Disease. Tenth
Edition. A Wolker Kluwer Company. New York.
Winarno FG. 1995. Makanan Bayi dan Anak. PT Gramedia. Jakarta.
World Bank. 1994. Enriching Lives: Overcoming Vitamin and Mineral
Malnutrition in Developing Countries. Washington D.C.
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Analisis Darah
1. Pemeriksaan Kadar Hemoglobin
a. Metode : Drabkins
b. Prinsip kerja : Hemoglobin oleh K
3
Fe(CN)
6
dan KCN akan diubah menjadi
methemoglobin sianida (HiCN). Penambahan KH
2
PO
4
untuk
mengatur pH larutan. Penambahan non ionic detergen untuk
mempercepat lisis eritrosit dan mengurangi kekeruhan HiCN.
c. Alat-alat : Spektrofotometer, Blood lancet/spuilt, disposibel, torniquet,
tabung reaksi, kapas, pipet sahli, dan pipet volumetrik 5 ml
d. Bahan : Sampel berupa darah EDTA atau darah kapiler reagent drabkins
dan alkohol 70%
e. Cara kerja
1. Ke dalam tabung kolorimeter dimasukkan 5,0 ml larutan Drabkins.
2. Dengan pipet hemoglobin diambil 20 ul darah (kapiler, EDTA atau oxalat),
sebelah luar ujung pipet dibersihkan, lalu darah itu dimasukkan ke dalam
tabung kolorimeter dengan membilasnya beberapa kali
3. Campurlah isi tabung dengan membalikkannya beberapa kali sehingga
hemoglobin berubah menjadi sianmethemoglobin
4. Baca dalam spektrofotometer pada gelombang 540 nm; sebagai blanko
digunakan larutan Drabkins
5. Kadar hemoglobin ditentukan dari perbandingan absorbansinya dengan
absorbansi standar sianmethemoglobin atau dibaca dari kurva tera.
f. Nilai Rujukan : 11-16 g/dl
118
2. Pemeriksaan Kadar Ferritin Serum
a. Metode : IRMA (Immunometric Assay)
b. Prinsip : Adanya ferritin dalam contoh maupun standar merupakan suatu
antigen yang dapat bereaksi dengan antiserum dari antibodi dengan
membentuk reaksi antigen antibodi (Ag-Ab) dengan
menambahkan antigen perunut (
125
I Ferritin) akan t erjadi reaksi
kompetisi dan membentuk ikatan Ag-Ab yang dibebaskan yang
berarti kadar ferritin dalam darah dapat ditentukan
c.Alat-alat : Gamma counter, rack shaker, spuilt disposible 5ml, tabung
sentrifuse, sentrifuse, mikropipet (10 ul, 100 ul, dan 200 ul),
dispenser
d. Bahan : Serum, ferritin assay buffer, buffer wash solution
e. Cara kerja :
1. Sediakan tabung ferritin Ab-coated yang berlabel A dan B untuk sampel
2. Masukn 10 ul serum pada tabung
3. Tambahkn 200 ul buffer ferritin dan dkocok pada rak pengocok selama 30
menit
4. Dekantasi secara menyeluruh dan tambahkan 2 ml buffer wash solution dan
tunggu 1-2 menit
5. Dekantasikan kembali secara menyeluruh dan biarkan selama 2-3 menit
6. Tambahkan 100 ul radioaktif ferritin (
125
I Ferritin Ab) pada semua tabung
7. Homogenkan selama 30 menit pada rack shaker
8. Dekantasi secara menyeluruh, kemudian tambahkan 2 ml buffer was solution
dan tunggu 1-2 menit
9. Dekantasi secara menyeluruh dan tambahkan 2 ml buffer wash solution
kembali dan tunggu selama 1-2 menit dan dekantasikan secara menyeluruh
10. Dekantasikan kembali dan biarkan selama 2-3 menit.
11. Hitung dengan menggunakan Gamma counter
f. Nilai Rujukan : 5-143 ug/ml
119
3. Pemeriksaan Kadar Retinol Serum
a. Metode : Ekstraksi (Concurrent Liquid-Chromatographic Assay of Retinol)
b. Bahan : serum, sodium dodecyl sulphate (SDS), alkohol, Butylated
hydroxytoluene (BHT)
c. Prosedur :
1. Masukkan 100 L serum plasma dan tambahkan 100 L SDS dan campur
sampai homogen
2. Tambahkan internal standar sebanyak 200 L dan campur beberapa sampel
dalam tabung tertutup pada mixer vortex selama 1 menit
3. Tambahkan 1000 L heptane yang mengandung 0,5 g/L BHT
4. Campur secara merata dalam tabung tertutup pada mixer vortex 3 menit
5. Senrifuse selama 10 menit pada 1000 rpm (2500 x g) pada suhu 10
0
C
6. Pindahkan 700 L pada tabung ukuran 100 x 17mm dari lapisan heptane paling
atas dan keringkan dengan dialiri cairan nitrogen pada suhu 40
0
C
7. Setelah semuanya kering, susun kembali dengan fase aktif 100 L yang
mengandung 0,01 g/L BHT
8. Campur dalam mixer vortex selama 15 detik
9. Masukkan sampel dalam botol kecil yang hampa udara dan tempatkan
sampling dalam korosel untuk dianalisis
10. Analisis selama 24 jam dan simpan dalam ruang gelap pada suhu 4
0
C sampai
semua sampel siap dianalisis
11. Masukkan dalam HPLC dengan cara diinjeksikan sampel secara terpisah
sebanyak 50 L dengan fase aktif 100 x 4,6 mm yang mengandung 0,01 g/L
BHT pada kolom cartridge 3 L secara urut.
12. Deteksi retinol pada program monitor 325 nm dan 292 nm dan baca output
data kromatografi.
120
4. Pemeriksaan Kadar Imunoglobulin G (IgG)
a. Metode : ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay)
b. Prinsip : Pengujian kadar IgG dengan menggunakan format mikrowell
c. Bahan : Anti- human IgG, IgG Standar, TMB, IgG speciment diluent,
Reagen asam sulfur terminasi (0,5N), wash buffer
d. Pengenceran : Masing- masing serum diencerkan dengan BPS (1:10.000)
kemudian diencerkan lagi dengan IgG (1:10)
e. Prosedur :
1. Semua reagen disimpan dalam suhu ruang sebelum digunakan
2. Masukkan 100 uL serum dalam masing-masing mikrowell
3. Inkubasi pada suhu ruangan selama 45 menit
4. Tuang dan bilas masing- masing mikrowell sebanyak 4 kali dengan wash
buffer dan reagen grade dengan perbandingan (1:15)
5. Inkubasi kembali pada suhu ruangan selama 45 menit
6. Tuang dan bilas masing- masing mikrowell sebanyak 4 kali dengan wash
buffer dan reagen grade dengan perbandingan (1:15)
7. Tambahkan 100 uL TMB dan inkubasi pada suhu ruang selama 15 menit
8. Terakhir reaksikan dengan 100uL dari 0,5 N asam sulfur
9. Baca dalam mikrowell reader pada gelombang 450 nm
121
Lampiran 2. Daftar Makanan yang Dikonsumsi Anak Balita
No Kode Pangan Jenis Pangan Berat (Gram)
A. Kelompok Makanan Pokok
1 2 Nasi putih 50
2 585 Nasi uduk 200
3 583 Nasi goreng 100
4 534 Bubur ayam 50
5 583 Mie goreng 80
6 790 Mie goreng 20
7 54 Roti 30
B. Kelompok Lauk-pauk
8 615 tempe goreng 20
9 616 oreg tempe 25
10 614 tahu goreng 30
11 616 Tempe sayur 30
12 593 Oncom Merah Goreng Tepung 30
13 591 Oncom Hitam Goreng Tepung 20
14 594 Tumis Oncom Merah 30
15 592 Goreng Oncom Merah 30
16 677 Perkedel 20
17 634 ayam goreng 20
18 194 telur dadar 30
19 193 telur ceplok 50
20 221 Teri 10
21 242 ikan tongkol 25
22 241 ikan cue 25
23 216 japuh ikan asin 25
24 223 emas ikan goreng 50
25 639 mujaer goreng 30
26 160 Abon 5
C. Kelompok Sayur
27 693 sayur sup 50
28 274 sayur bayam 20
29 340 tumis kangkung 20
30 694 asam sayur 30
31 533 Bakso 20
32 129 Jengkol 10
33 349 Ketimun 50
34 547 gado-gado 50
122
D. Kelompok Makanan Kecil
35 739 Tango 17
36 737 Biskuit warung 19
37 699 Chiki 18
38 697 Chitato 10
39 698 Chitos 18
40 601 Permen 10
41 574 mie remes 15
42 554 Sukro 17
43 46 Krupuk 10
44 543 es mambo 20
45 88 kacang bogor, rebus 25
46 587 agar-agar 5
47 577 Lopis 60
48 523 top coklat 15
49 46 kerupuk udang 25
50 528 Buras 70
51 523 Coklat 15
52 607 Siomay 50
53 532 Bakwan 50
54 549 ketan goreng 50
55 600 pisang goreng 50
E. Kelompok Buah
56 437 Mangga 100
57 452 pisang oli 50
58 446 Pepaya 50
F. Lain- lain
59 123 Kecap 15
60 471 Susu 20
61 519 The 50
62 473 kopi susu 100
123
Lampiran 3. Photo-photo Kegiatan Penelitian
(a) (b)
Photo 1. (a) Peneliti dan (b) Enumerator Mewawancarai Ibu Balita Untuk
Penyeleksian Contoh
(a) (b)
Photo 2. (a) Peneliti dan (b) Enumerator Melakukan Recall Konsumsi Pangan
terhadap Ibu Balita
124
(a) (b)
Photo 3. (a) Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS dan (b) Dr. Ir. Budi Setiawan, MS
Mensosialisasikan Biskuit Fortifikasi kepada Kader Posyandu di Kecamatan
Dramaga
(a) (b)
Photo 4. (a) Sosialisasi Biskuit dan (b) Perserta Sosialisasi Biskuit di Wilayah
Kecamatan Dramaga.
(a) (b)
Photo 5. (a) dan (b) Pendistribusian Biskuit Fortifikasi dan non Fortifikasi di
Pusatkan di Balai Desa Petir Kecamatan Dramaga
125
(a) (b)
Photo 6. (a) Penimbangan Anak Balita Contoh (berani ditimbang sendiri) dan
(b) Ditimbang dengan Digendong Ibunya (tidak berani ditimbang sendiri)
(a) (b)
Photo 7. (a) dan (b) Pengukuran Tinggi Badan Anak Balita Contoh
(a) (b)
Photo 8. (a) Dr. Ir. Budi Setiawan, MS dan (b) Bapak Lurah Meninjau Kegiatan
Penelitian pada saat Pengambilan Sampel Darah Anak Balita
126
(a) (b)
Photo 9. (a) dr. Deasy dan (b) dr. Egy Memeriksa Kesehatan Anak Balita sebelum
Pengambilan Sampel Darah dan Pemberian Booster DPT.
(a) (b)
Photo 10. (a) dan (b) Pengambilan Sampel Darah Anak Balita oleh Tenaga Medis
(a) (b)
Photo 11. (a) Bidan Nike dan (b) Bidan Nunik Memberikan Booster DPT kepada
Anak Balita
127
(a) (b)
Photo 12. (a) Contoh Alat Sentrifuse untuk Mendapatkan Serum (b) Tenaga Medis
Menganalisis Sampel Darah Anak Balita
(a) (b)
Photo 13. (a) Pemusingan Sampel Darah Anak untuk Mendapatkan Serum
(b) Serum siap Dianalisis
Photo 14. HPLC, Alat dan Bahan untuk Menganalisis Vitamin A
128
(a) (b)
Photo 15. (a) Bahan dan (b) Peralatan untuk Menganalisis Imonoglobulin G
(a) (b)
Photo 16. (a) Serum yang akan Dianalisis Imonoglobulin G-nya (b) Bahan-bahan
(enzim) yang Digunakan untuk Analisis Imonoglobulin G
(a) (b)
Photo 17. (a) Peneliti dan (b) Analis sedang Menganalisis IgG Total di Laboratorium
Makmal Terpadu FKUI