You are on page 1of 44

LAPORAN KASUS

KOLANGIOKARSINOMA
Di Susun Oleh :
Riana Suwarni (I 11108049)
Rudy Kaprisyah (I11108011)
Pembimbing :
dr. Yustar Mulyadi, SpPD, KGEH, FINASIM
SMF PENYAKIT DALAMRSUD DR.SOEDARSO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA PONTIANAK
2014
LEMBAR PENGESAHAN
Sebagai salah satu syarat menyelesaiknan Kepaniteraan Klinik Madya
di SMF Penyakit Dalam RSUD dr.Soedarso
Pembimbing
dr. Yustar Mulyadi, Sp.PD, KGEH, FINASIM
Mahasiswa
Riana Suwarni & Rudy Kaprisyah
1
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pendahuluan
Kanker duktus biliaris lebih jarang dibandingkan kanker kandung empedu.
Pada studi otopsi, insiden 0.01-0.2 % telah di laporkan. Diperkirakan ada kira-kira
500 kasus baru per tahun di amerika. Ada beberapa bukti bahwa insiden mungkin
meningkat; bagaimanapun hal ini mungkin berkaitan dengan aplikasi duktus biliaris
imaging dengan ERCP. Tumor duktus biliaris proksimal lebih sering dibandingkan
bagian distal. Tumor duktus biliaris jinak lebih jarang, kurang dari 150 kasus
dilaporkan. Kebanyakan pasien mengalami jaundice akibat obstruksi biliaris oleh
tumor tersebut. Umumnya tumor berukuran kecil dan sukar untuk dideskripsikan
pada pemeriksaan radiologi, seperti ultrasonography dan CT-Scan, tetapi teknik
tersebut berguna untuk mendeteksi adanya obstruksi dan membantu menentukan
metastase. Penatalaksanaan pada kebanyakan kasus tumor kandung empedu
meliputi pencegahan obstruksi biliaris rekuren dengan komplikasi infeksi,
penyebaran lokal, dan kematian dalam 6-12 bulan. Terapi tergantung pada luas dan
lokasi dari luka dan reseksi pembedahan dapat meningkatkan prognosis dan
survival (Zieve et al., 2013).
Cholangiocarcinoma merupakan penyakit mematikan kedua setelah karsinoma
hepatoseluler. Pasien dengan intrahepatic cholangio carcinomas (cholangiocellular
carcinoma) mempunyai prognosis yang buruk pada tumor metastase awal.
Penggunaan thorotrast (suatu medium kontras yang dimasukan kedalam pembuluh
darah) pada tahun sebelumnya menjadi satu-satunya kemungkinan terapi. Kanker
saluran empedu berbeda dengan kanker kantong empedu. Kanker ini distribusinya
sama pada pria dan wanita. Semua cholangiocarcinomas pertumbuhannya lambat,
infiltratif lokal, dan metastasenya lambat (Darwin, 2014).
Keganasan primer yang paling sering terjadi pada saluran empedu adalah
kolangikarsinoma. Kolangiokarsinoma adalah suatu kegansan dari sistem duktus
biliaris yang berasal dari hati dan berakhir pada ampulla vateri. Jadi proses
2
keganasan ini dapat terjadi sepanjang system saluran biliaris, baik intrahepatik atau
ekstrahepatik.
Kolangiokarsinoma adalah tumor yang jarang terjadi dengan bentuk patologi
dan manifestasi klinis yang luas sehingga memberikan gambaran klinis dan
radiologi yang bermacam-macam. Penyakit ini merupakan jenis tumor hati
terbanyak kedua di Indonesia setelah karsinoma hepatoseluler. Penyakit ini
biasanya ditemukan pada orang-orang berusia diatas 60 tahun dan lebih banyak
terjadi pada pria. Tumor ganas ini biasanya tumbuh secara perlahan dan lambat
menyebar, sehingga pada saat diagnosis ditegakan banyak diantaranya yang sudah
terlalu parah untuk dilakukan tindakan operasi. Oleh karena itu peranan
pemeriksaan radiologi sebagai salah satu komponen penunjang diagnosis sangatlah
penting. Beberapa teknik yang seringdigunakan adalah kolangiografi, USG
abdomen, CT-scan dan ERCP. Dengan teknik pemeriksaan radiologi yang semakin
berkembang, diharapkan diagnosa untuk kolangiokarsinoma dapat ditegakkan
secara dini, sehingga dapat meningkatkan derajat keberhasilan terapi dan
menurunkan angka mortalitas pada pasien-pasien dengan kolangiokarsinoma.
B. Anatomi
Sistem bilier terdiri dari kandung empedu dan saluran yang berasal dari hepar
dan vesica fellea. Fungsi primernya adalah sebagai organ yang memproduksi,
menyimpan empedu dan mengalirkan ke duodenum melalui saluran-saluran
empedu. Kandung empedu berbentuk bulat lonjong seperti buah alpukat dengan
ukuran 5 x 7 cm dan berisi 30-60 ml empedu. Bagian fundus umumnya menonjol
sedikit keluar tepi hati, di bawah lengkung iga kanan, di tepi lateral M. rektus
abdominis. Sebagian besar korpus menempel dan tertanam di dalam jaringan hati.
Masing-masing sel hati juga terletak dekat dengan beberapa kanalikulus mengalir
ke dalam duktus biliaris intralobulus dan duktus-duktus ini bergabung melalui
duktus biliaris antar lobulus membentuk duktus hepatikus kanan dan kiri. Diluar
hati duktus ini bersatu dan membentuk duktus hepatikus komunis. Panjang duktus
hepatikus kanan dan kiri masing-masing antara 1-4 cm, sedangkan panjang duktus
hepatikus komunis sangat bervariasi bergantung pada letak muara duktus sistikus.
3
Duktus sistikus berjalan keluar dari kandung empedu. Panjangnya 30-37mm
dengan diameter 2-3 mm. Dinding lumennya mengandung katup berbentuk spiral
Heister, yang memudahkan cairan empedu mengalir masuk ke dalam kandung
empedu tapi menahan aliran keluarnya. Duktus hepatikus komunis akan bersatu
dengan duktus sistikus dan membentuk duktus koledokus yang panjangnnya 7,5 cm
dengan diameter 6 mm. Duktus koledokus berjalan di belakang duodenum
menembus pankreas, bergabung dengan duktus pankreatikus mayor wisungi dan
bersatu pada bagian medial dinding duodenum desenden membentuk papila vateri.
Ujung distalnya dikelilingi oleh otot sfingter oddi. Dinding duktus biliaris
ekstrahepatik dan kandung empedu mengandung jaringan fibrosa dan otot polos.
Membran mukosa mengandung kelenjat-kelenjar mukosa dan dilapisi oleh selapis
sel kolumnar.
Anatomi sistem biliaris
C. Fisiologi
Fungsi utama dari sistem bilier adalah sebagai tempat penyimpanan dan
saluran cairan empedu. Empedu di produksi oleh sel hepatosit sebanyak 500-1500
ml/hari. Empedu terdiri dari garam empedu, lesitin dan kolesterol merupakan
4
komponen terbesar (90%) cairan empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak dan
garam anorganik. Di luar waktu makan, empedu disimpan sementara di dalam
kandung empedu dan di sini mengalami pemekatan sekitar 50%. Pengaliran cairan
empedu diatur oleh 3 faktor , yaitu sekresi empedu oleh hati, kontraksi kandung
empedu dan tahanan sfingter koledokus. Dalam keadaan puasa produksi akan
dialih-alirkan ke dalam kandung empedu. Setelah makan, kandung empedu
berkontraksi, sfingter relaksasi dan empedu mengalir ke dalam duodenum. Aliran
tersebut sewaktu-waktu seperti disemprotkan karena secara intermiten tekanan
saluran empedu akan lebih tinggi daripada tahanan sfingter. Hormon kolesistokinin
(CCK) dari selaput lendir usus halus yang disekresi karena rangsang makanan
berlemak atau produk lipolitik di dalam lumen usus, merangsang nervus vagus,
sehingga terjadi kontraksi kandung empedu. Demikian CCK berperan besar
terhadap terjadinya kontraksi kandung empedu setelah makan, Empedu yang
dikeluarkan dari kandung empedu akan dialirkan ke duktus koledokus yang
merupakan lanjutan dari duktus sistikus dan duktus hepatikus. Duktus koledokus
kemudian membawa empedu ke bagian atas dari duodenum, dimana empedu mulai
membantu proses pemecahan lemak di dalam makanan. Sebagian komponen
empedu diserap ulang dalam usus kemudian dieksresikan kembali oleh hati.
D. Ikterus
Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya
(membran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang
meningkat konsentrasinya dalam sirkulasi darah. Bilirubin dibentuk sebagai
akibat pemecahan cincin hem, biasanya sebagai akibat metabolisme sel darah
merah. Ikterus sebaiknya diperiksa di bawah cahaya terang siang hari, dengan
melihat sklera mata. Ikterus yang ringan dapat dilihat paling awal pada sklera
mata, dan kalau ini terjadi konsentrasi bilirubin sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dl.
(34 sampai 43 umol/L). Jika ikterus sudah jelas dapat dilihat dengan nyata maka
bilirubin mungkin sebenarnya sudah mencapai angka 7 mg/dl (Sudoyo, 2007).
D.1. Patofisiologi
5
Tahapan metabolisme bilirubin dibagi menjadi menjadi 5 fase yaitu fase : 1).
Pembentukan bilirubin, 2). Transpor plasma, 3). Liver uptake, 4). Konjugasi, dan
5). Ekskresi bilier (Sudoyo, 2007).
Fase Prahepatik
1. Pembentukan Bilirubin. 70-80% bilirubin berasal dari pemecahan sel darah
merah yang matang, sisanya 20-30% dari protein hem lainnya yang berada
terutama di dalam sumsum tulang dan hati. Sebagian dari protein hem dipecah
menjadi besi dan produk antara biliverdin dengan perantaraan enzim
hemeoksigenase. Enzim lain, biliverdin reduktase, mengubah biliverdin
menjadi bilirubin. Tahapan ini terjadi terutama dalam sel sistem
retikuloendotelial (mononuklear fagositosis). Peningkatan hemolisis sel darah
merah merupakan penyebab utama peningkatan pembentukan bilirubin
(Sudoyo, 2007).
2. Transport plasma. Bilirubin tidak larut dalam air, karenanya bilirubin tak
terkonjugasi ini transportnya dalam plasma terikat dengan albumin dan tidak
dapat melalui membran glomerulus, karenanya tidak muncul dalam air seni.
Ikatan melemah dalam beberapa keadaan seperti asidosis, dan beberapa bahan
seperti antibiotika tertentu, salisilat berlomba pada tempat ikatan dengan
albumin (Sudoyo, 2007).
Fase Intrahepatik.
3. Liver uptake. Proses pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hati secara
rinci dan pentingnya protein pengikat seperti ligandin atau protein Y, belum
jelas. Pengambilan bilirubin melalui transport yang aktif dan berjalan cepat,
namun tidak termasuk pengambilan albumin (Sudoyo, 2007).
4. Konjugasi. Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami
konjugasi dengan asam glukuronik membentuk bilirubin diglukuronida atau
bilirubin konjugasi atau bilirubin direk. Reaksi ini yang dikatalisasi oleh enzim
mikrosomal glukuronil-transferase menghasilkan bilirubin yang larut air.
Dalam beberapa keadaan reaksi ini hanya menghasilkan bilirubin
monoglukuronida, dengan bagian asam glukuronik kedua ditambahkan dalam
saluran empedu melalui sistem enzim yang berbeda, namun reaksi ini tidak
6
dianggap fisiologik. Bilirubin konjugasi lainnya selain diglukuronid juga
terbentuk namun kegunaannya tidak jelas (Sudoyo, 2007).
Fase Pascahepatik
5. Ekskresi Bilirubin. Bilirubin konjugasi dikeluarkan ke dalam kanalikulus
bersama bahan lainnya. Anion organik lainnya atau obat dapat mempengaruhi
proses yang kompleks ini. Di dalam usus flora bakteri men''dekonjugasi'' dan
mereduksi bilirubin menjadi sterkobilinogen dan mengeluarkannya sebagian
besar ke dalam tinja yang memberi warna cokelat. Sebagian diserap dan
dikeluarkan kembali dalam jumlah kecil mencapai air seni sebagai
urobilinogen. Ginjal dapat mengeluarkan diglukuronida tetapi tidak bilirubin
unkonjugasi. Hal ini menerangkan warna air seni yang gelap yang khas pada
gangguan hepatoselular atau kolestasis intrahepatik. Bilirubin tak terkonjugasi
bersifat tidak larut dalam air namun larut dalam lemak. Karenanya bilirubin tak
terkonjugasi dapat melewati barier darah-otak atau masuk ke dalam plasenta.
Dalam sel hati, bilirubin tak terkonjugasi mengalami proses konjugasi dengan
gula melalui enzim glukuroniltransferase dan larut dalam empedu cair (Sudoyo,
2007).
D.2. Penyakit Gangguan Metabolisme Bilirubin
Penyakit akibat gangguan metabolisme bilirubin dibedakan menjadi dua
yakni:
1. Hiperbilirubiemia Tak Terkonjugasi
Hemolisis. Peningkatan konsentrasi bilirubin pada keadaan hemolisis dapat
melampaui kemampuan hati memetabolisme kelebihan bilirubin (Sudoyo, 2007).
Sindrom Gilbert. Gangguan yang bermakna adalah hiperbilirubinemia indirek
(tak terkonjugasi). Patogenesisnya belum dapat dipastikan. Adanya gangguan
(defek) yang kompleks dalam proses pengambilan bilirubin dari plasma akibat
keaktifan enzim glukuroniltransferase rendah. Bilirubin indirek berfluktuasi antara
2-5 mg/dL (34-86 umol/L) yang cenderung naik dengan berpuasa dan keadaan
stres lainnya. Sindrom Gilbert dapat dengan mudah dibedakan dengan hepatitis
7
dengan tes faal hati yang normal, tidak terdapatnya empedu dalam urin, dan fraksi
bilirubin indirek yang dominan (Sudoyo, 2007).
Sindrom Crigler-Najjar. Penyakit ini disebabkan keadaan kekurangan
glukuroniltransferase, dan terdapat dalam 2 bentuk. Autosom resesif tipe 1
(lengkap=komplit) mempunyai hiperbilirubinemia yang berat dan biasanya
meninggal pada umur 1 tahun. Autosom resesif tipe II (sebagian=parsial)
mempunyai hiperbilirubinemia yang kurang berat (< 20 mg/dL, < 342 umol/L) dan
biasanya bisa hidup sampai masa dewasa tanpa kerusakan neurologic (Sudoyo,
2007).
2. Hiperbilirubiemia Konjugasi
Hiperbilirubinemia Konjugasi Non-kolestasis
Sindrom Dubin-Johnson. Penyakit autosom resesif ditandai dengan ikterus
yang ringan dan tanpa keluhan. Kerusakan dasar terjadinya gangguan ekskresi
berbagai anion organik seperti juga bilirubin, namun ekskresi garam empedu tidak
terganggu. Hiperbilirubinemia yang terjadi adalah bilirubin konjugasi dan empedu
terdapat dalam urin. Hati mengandung pigmen, namun gambaran histologi normal.
Penyebab deposisi pigmen belum diketahui. Nilai aminotransferase dan fosfatase
alkali normal (Sudoyo, 2007).
Sindrom Rotor. Penyakit yang jarang ini menyerupai sindrom Dubin- Johnson,
tetapi hati tidak mengalami pigmentasi dan perbedaan metabolik lain yang nyata
ditemukan (Sudoyo, 2007).
Hiperbilirubinemia Konjugasi Kolestasis
1. Kolestasis intrahepatik
2. kolestasis ekstrahepatik (sumbatan pada duktus bilier, di mana terjadi
hambatan masuknya bilirubin ke dalam usus).
Kolestasis Intrahepatik. Istilah kolestasis lebih disukai untuk pengertian
ikterus obstruktif sebab obstruksi yang bersifat mekanis tidak perlu selalu ada.
Aliran empedu dapat terganggu pada tingkat mana saja dari mulai sel hati
8
(kanalikulus), sampai ampula Vater. Untuk kepentingan klinis, membedakan
penyebab sumbatan intrahepatik atau ekstrahepatik sangat penting. Penyebab
paling sering kolestatik intrahepatik adalah hepatitis, keracunan obat, penyakit hati
karena alkohol dan penyakit hepatitis autoimun. Penyebab yang kurang sering
adalah sirosis hati bilier primer, kolestasis pada kehamilan, karsinoma metastatik
dan penyakit- penyakit lain yang jarang (Sudoyo, 2007).
Virus hepatitis, alkohol, keracunan obat (drug induced hepatitis), dan kelainan
autoimun merupakan penyebab yang tersering. Peradangan intrahepatik
mengganggu transport bilirubin konjugasi dan menyebabkan ikterus (Sudoyo,
2007).
Alkohol bisa mempengaruhi gangguan pengambilan empedu dan sekresinya,
dan mengakibatkan kolestasis. Pemakaian alkohol secara terus rnenerus bisa
menimbulkan perlemakan (steatosis), hepatitis, dan sirosis dengan berbagai tingkat
ikterus. Perlemakan hati merupakan penemuan yang sering, biasanya dengan
manifestasi yang ringan tanpa ikterus, tetapi kadang-kadang bisa menjurus ke
sirosis. Hepatitis karena alkohol biasanya memberi gejala ikterus sering timbul akut
dan dengan keluhan dan gejala yang lebih berat. Jika ada nekrosis sel hati ditandai
dengan peningkatan transaminase yang tinggi (Sudoyo, 2007).
Kolangitis sklerosis primer (Primary sclerosing Cholangitis/ PSG) merupakan
penyakit kolestatik lain, lebih sering dijumpai pada laki-laki, dan sekitar 70%
menderita penyakit peradangan usus. PSG bisa menjurus ke kolangiokarsinoma.
Banyak obat mempunyai efek dalam kejadian ikterus kolestatik, seperti
asetaminofen, penisilin, obat kontrasepsi oral, klorpromazin (Torazin) dan steroid
estrogenik atau anabolik (Sudoyo, 2007).
Kolestasis Ekstrahepatik. Penyebab paling sering pada kolestasis
ekstrahepatik adalah batu duktus koledokus dan kanker pankreas. Penyebab lainnya
yang relatif lebih jarang adalah striktur jinak (operasi terdahulu) pada duktus
koledokus, karsinoma duktus koledokus, Pankreatitis atau pseudocyst pankreas dan
kolangitis sklerosing. Kolestasis mencerminkan kegagalan sekresi empedu.
9
Mekanismenya sangat kompleks, bahkan juga pada obstruksi mekanis empedu
(Sudoyo, 2007).
Efek patofisiologi mencerminkan efek backup konstituen empedu (yang
terpenting bilirubin, garam empedu dan lipid) ke dalam sirkulasi sistemik dan
kegagalannya untuk masuk usus halus untuk ekskresi. Retensi bilirubin
menghasilkan campuran hiperbilirubiemia dengan kelebihan bilirubin konjugasi
masuk ke dalam urin. Tinja sering berwarna pucat karena lebih sedikit yang bisa
mencapai saluran cerna usus halus. Peningkatan garam empedu dalam sirkulasi
selalu diperkirakan sebagai penyebab keluhan gatal (pruritus), walaupun
sebenarnya hubungannya belum jelas sehingga patogenesis gatal masih belum bisa
diketahui dengan pasti (Sudoyo, 2007).
Garam empedu dibutuhkan untuk penyerapan lemak, dan vitamin K, gangguan
ekskresi garam empedu dapat berakibat steatorrhea dan hiprotrombinemia. Pada
kolestasis yang berlangsung lama (primary biliary cirrhosis), gangguan
penyerapan Ca dan vitamin D dan vitamin lain yang larut lemak dapat terjadi dan
dapat menyebabkan osteoporosis atau osteomalasia. Retensi kolesterol dan
fosfolipid mengakibatkan hiperlipidemia, walaupun sintesis kolesterol di hati dan
esterifikasi yang berkurang dalam darah turut berperan; Konsentrasi trigliserida
tidak terpengaruh. Lemak beredar dalam darah sebagai lipoprotein densitas rendah
yang unik dan abnormal yang disebut sebagai lipoprotein X (Sudoyo, 2007).
Manifestasi Klinis Kolestasis Intrahepatik dan Ekstrahepatik
Gejala awal terjadinya perubahan warna urin yang menjadi lebih kuning, gelap,
tinja pucat, dan gatal (pruritus) yang menyeluruh adalah tanda klinis adanya
kolestasis. Kolestasis kronik bisa menimbulkan pigmentasi kulit kehitaman,
ekskoriasi karena pruritus, perdarahan diatesis, sakit tulang, dan endapan lemak
kulit (xantelasma atau xantoma). Gambaran seperti di atas tidak tergantung
penyebabnya. Keluhan sakit perut, gejala sistemik (seperti, anoreksia, muntah,
demam atau tambahan tanda gejala mencerminkan penyebab penyakit dasarnya
daripada kolestasisnya dan karenanya dapat memberi petunjuk etiologinya
(Sudoyo, 2007).
10
E. Definisi Kolangiokarsinoma
Kolangiokarsinoma adalah suatu tumor ganas dari epitelium duktus biliaris
intrahepatik atau ekstrahepatik. Tumor keras dan berwarna putih, dan sel-sel tumor
mirip dengan epitel saluran empedu. Lebih dari 90% kasus merupakan
adenokarsinoma dan sisanya adalah tumor sel squamosa. Sekitar 2/3
kolangiokarsinoma berlokasi di regio perihilar, dan 1/4 lainnya berlokasi di duktus
ektrahepatik dan sisanya berlokasi di duktus intrahepatik (Dahnert, 2007; Boris
2008).
s
Lokasi kolangiokarsinoma
F. Etiologi
Faktor predisposisi kanker saluran empedu ,meliputi : (Darwin, 2014)
Primary Sclerosing Cholangitis ( PSC)
Primary Sclerosing Cholangitis dengan atau tanpa kolitis ulseratif
merupakan faktor predisposisi utama terjadinya kolangiokarsinoma (5-
35%). Mayoritas pasien dengan PSC yang menderita kolangiokarsinoma
mengalami ulserasi radang usus besar. Timbulnya kolangiokarsinoma pada
pasien dengan kolitis ulseratif dan PSC meningkat jika mereka menderita
keganasan kolorektal.
11
Riwayat keluarga sejak lahir fibrocysts
Hepar sejak lahir fibrosis
Dilatasi Cystic (dengan kata lain, Caroli penyakit)
Hati Polycystic
Von Meyenburg kompleks
Infestasi parasite Clonorchis sinensis
Batu empedu dan hepatolithiasis
Material beracun
Torium Dioksida ( thorotrast)
Radionuklida
Segala penyebab kanker (misalnya, arsenik/warangan, digoxin,
nitrosamines, polychlorinated biphenyls)
Obat/Racun
Kontrasepsi oral-Methyldopa
Isoniazid
Penyakit tipus kronis carier mempunyai insiden kanker hepatobiliary
lebih besar, termasuk cholangiocarcinoma. Kanker Saluran empedu juga
terkait dengan biliary cirrhosis
G. Insiden dan Epidemiologi
Angka kejadian pria : wanita 5:1. Setiap tahun di AS tercatat 2500 kasus
penyakit kolangiokarsinoma, 5000 kasus untuk kanker kandung empedu dan 15000
kasus untuk kanker hepatoseluler. Prevalensi tertinggi terdapat di kalangan orang
Asia yang diakibatkan oleh infeksi parasit kronik endemic (Zieve, 2014).
H. Klasifikasi Anatomi
Kolangiokarsinoma diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomis menjadi
intrahepatik dan ekstrahepatik. Kolangiokarsinoma tipe ekstrahepatik yang
melibatkan pertemuan duktus hepatikus kanan dan kiri berkisar antara 80% hingga
90% dan yang melibatkan duktus intrahepatikus meliputi 5%-10%.
12
Kolangiokarsinoma ektrahepatik dapat dibagi berdasarkan klasifikasi Bismuth
menjadi menjadi tipe I-IV.
Tipe I : meliputi duktus hepatikus komunis, dibawah pertemuan duktus
hepatikus kiri dan kanan
Tipe II : mencapai pertemuan duktus hepatikus kiri dan kanan
Tipe III : menyumbat duktus hepatikus komunis juga salah satu duktus
hepatikus kanan (IIIa) atau kiri (IIIb)
Tipe IV : multisentrik atau melibatkan duktus hepatikus bilateral
A. Lokasi anatomis kolangiokarsinoma; B. Klasifikasi Bismuth kolangiokarsinoma ekstrahepatik
Kolangiokarsinoma ekstrahepatik berbentuk sklerotik, modular dan papilaris
yang sering disertai dengan adanya infiltrasi tipe periduktal dan sklerosis. Tumor
ini memiliki ciri khas dengan adanya penebalan anular pada duktus biliaris akibat
adanya infiltrasi dan fibrosis jaringan periduktal.
Kolangiokarsinoma intrahepatik diklasifikasikan menjadi membentuk massa
(mass forming), infiltrasi periduktal, dan pembentukan massa disertai dengan
infiltrasi periduktal dan intraduktal. Klasifikasi ini berhubungan dengan prognosis
penyakit.
Secara histopatologi adenokarsinoma tipe (90%). Tipe histologi lainnya
meliputi adenokarsinoma papilaris, adenokarsinoma tipe intestinal, Lear All
13
adenocarcinoma, signet-ring cell carcinoma, squamous cell carcinoma, dan obat
cell carcinoma.
I. Tanda dan Gejala Klinis
Gejala utama kolangiokarsinoma ekstrahepatik adalah obstruksi bilier yang
menyebabkan terjadinya ikterus tanpa rasa nyeri. Kolangiokarsinoma intrahepatik
paling sering muncul sebagai massa intrahepatik yang menyebabkan nyeri pada
kuadran kanan atas dan gejala yang berkaitan dengan tumor seperti kakeksia dan
malaise. Gejala kolangitis jarang terjadi jika tidak dilakuka tindakan instrumental
sebelumnya (Boris, 2008; Khan 2012).
Feces berwarna kuning dempul, urin berwarna gelap, pruritus, rasa sakit pada
perut kuadran kanan atas (abdomen) dengan rasa sakit yang menjalar ke punggung,
Penurunan berat badan (Darwin, 2014).
Gejala kolangiokarsinoma
J. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaaan laboratorium dapat ditemukan peningkatan kadar
bilirubin, alkaline fosfatase dan glutamiltransferase (GGT). Anemia lebih berat
dibandingkan dengan karsinoma ampula, hitung leukosit normal tinggi dengan
peningkatan pada granulosit. Feses pucat dan berlemak. Tidak dijumpai glukosuria
(Dooley, 2011).
14
Konsentrasi serum tumor marker CA19-9 seringkali meningkat pada pasien
dengan keganasan dukktus biliaris. Kadar yang ekstrim tinggi juga dilaporkan pada
tumor jinak pada traktus biliaris. Sensitivitas tumor marker CA19-9 untuk
mendeteksi kolangiokarsinoma pada pasien PSC adalah sebesar 50-60% (Dooley,
2011).
Ultrasonografi, adalah pemeriksaan pertama yang dilakukan jika mencurigai
pasien dengan obstruksi bilier. Dengan pemeriksaan ini kita dapat mengekslusikan
adanya batu empedu. Kolangiokarsinoma intrahepatik ditandai dengan massa
intrahepatik yang tidak spesifik (hiperekoid). Kolangiokarsinoma ekstrahepatik
ditandai dengan adanya dilatasi pada duktus biliaris intrahepatik diikuti dengan
perubahan kaliber duktus mendadak pada bagian distal. Jarang ditemukan adanya
massa tumor (Boberg, 2004; Boris, 2008).
CT-Scan. Langkah pemeriksaan radiologi yang berikutnya untuk
mendiagnosis kolangiokarsinoma adalah dengan pemeriksaan CT-Scan atau MRI.
CT-Scan dengan kontras dapat memperlihatkan lesi massa intrahepatik, duktus
intrahepatikus yang berdilatasi, limfadenopati yang terlokalisasi dan metastasis
ekstrahepatik (Boberg, 2004; Khan, 2012). .
Pada tumor intrahepatik tampak lesi hypoattenuating dikelilingi dengan massa
dengan tepi yang ireguler dan dilatasi duktus biliaris intrahepatik dengan segmen
dan derajat yang bervariasi. Keterlambatan waktu enhancement bahan kontras ke
dalam lesi mengindikasikan adanya kolangiokarsinoma. Perihilar kolangio-
karsinoma biasanya tampak sebagai massa pada hilum hepar dengan dilatasi pada
duktus biliaris. Tumor ekstrahepatik distal menyebabkan dilatasi pada duktus
biliaris ekstra maupun intrahepatik dan distensi dari kandung empedu (Boberg,
2004).
15
CT-Scan tampak kolangiokarsinoma pada hilum hepar
ERCP adalah suatu cara pemeriksaan invasif yang hanya dilakukan apabila
ada indikasi positif yang kuat. Biasanya merupakan langkah terakhir dari suatu
seri pemeriksaan dan dipakai untuk deteksi atau diferensiasi suatu penyakit
saluran empedu atau pankreas. Pemeriksaan ini bertujuan untuk visualisasi dengan
bahan kontras secara retrograde dan mengetahui langsung saluran empedu eferen
dan duktus pankreatikus dengan memakau suatu duodenoskop yang mempunyai
padangan samping.
Duodenoskop dimasukan peroral, oleh karena itu kemungkinan adanya
divertikel dan stenosis harus dipertimbangkan kembali berdasarkan tanda-tanda
klinis. Duodenoskop ini dimasukkan sampai ke duktus biliaris lalu disemprotkan
kontras (Conray-60 atau Urografin 60%) dengan pengawasan fluoroskopi lalu
dilakukan pengambilan foto X-ray. Dapat terlihat massa tumor intraduktal yang
eksofitik (46%) dengan diameter 2-5mm. Sering didapatkan striktur fokal
konsentrik yang panjang atau terkadang pendek pada tipe kolangitis sklerotik
infiltratif dengan yang irreguler. Dilatasi prestenotik difus/fokal dari systembilier.
Striktur pada duktus yang progresif. Selain itu, ERCP dapat juga digunakan untuk
mendapatkan bahan kepentingan pemeriksaan histology antara lain sitologi
hapusan, biopsy , aspirasi dengan jarum.
16
CT-scan (kiri) dan ERCP (kanan)
A. Tumor Klatskin (tumor berlokasi di bifurkasio duktus hepatikus) pada pasien dengan
PSC; B. ERCP
Pada biopsi hati ditemukan duktus yang besar akibat obstruksi. Tetapi biopsi
hati dapat menyebabkan komplikasi hati yang serius seperti peritonitis biliar dan
hanya dilakukan jika diagnosis meragukan (Dooley, 2011).
Sitologi dilakukan saat melakukan tindakan ERCP atau drainase perkutaneus.
Perkutaneus biopsi dikontraindikasikan pada tumor yang resektabel karena dapat
menyebabkan penyebaran tumor akibat lesi jarum. Biopsi jaringan diperlukan pada
pasien yang unresektabel atau tumor yang telah bermetastasis guna terapi paliatif.
Pendekatan dapat dilakukan dengan sitologi aspirasi fine-needle pada tersangka
17
tumor yang dipandu dengan fluoroscopi, USG, atau kolangioskopi dengan biopsi
endobilaris (Dooley, 2011).
K. Penatalaksanaan
Operasi reseksi adalah terapi utama untuk kolangiokarsinoma. Kolangio-
karsinoma distal direseksi dengan pankreaduodenektomi, dengan kemungkinan
hidup 5 tahun sekitar 30%. Pada pasien dengan penyebaran tumor sepanjang duktus
biliaris komunis, dapat dilakukan reseksi hati dan pankreaduodenektomi.
Karsinoma middle duktus biliaris dilakukan reseksi dengan eksisi pohon bliaris dan
limfadenektomi hilar (Khan, 2012).
Tumor tipe hilar (Klatskin) direseksi dengan hepatektomi kanan atau kiri
diperluas tergantung duktus hepatikus yang terlibat. Pohon biliaris dieksisi dan
duktus biliaris bagian proksimalnya di drainase ke dalam Roux-en-Y loop di usus
halus. Limfadenektomi hilar radikal dilakukan karena adanya kemungkinan
diseminasi limfatik. Pada tumor klatskin, biasa dilakukan lobektomi kaudate karena
1 segmen duktus akan bergabung dengan duktus hepatikus lainnya dan sangat
mungkin telah terinfiltrasi oleh tumor. Angka harapan hidup setelah reseksi agresif
kolangikarsinoma adalah 18-40 bulan. Reseksi lokal dapat dilakukan pada tumor
Bismuth tipe I atau II dengan mortalitas perioperatif yang rendah (Dooley, 2011).
Teknik operasi dengan bilateral hepatojejunostomi dengan Roux-en-Y
Transplantasi hati
Pada umumnya kolangiokarsinoma dikontraindikasikan untuk transplantasi
18
hati. Kolangiokarsinoma yang unresektabel memiliki rekurensi yang tinggi. Pada
kolangiokarsinoma unresektabel stadium awal, kombinasi transplantasi hati dengan
kemoradiasi perioperatif dapat memperpanjang harapan hidup (Khan, 2012).
Operasi Paliatif
Operasi ini meliputi anastomosis jejunum dengan segmen III duktus pada
globus kiri yang biasanya dicapai di atas tumor hilar. Jaundice menghilang kira-kira
3 bulan pada 75% pasien. Jika bypass segmen III tidak mungkin dicapai (akibat
metastasis atau atrofi), maka dapat dilakukan operasi anastomosis duktus hepatikus
sisi kanan dapat dilakukan pada segmen V. Operasi paliatif jarang sekali
diindikasikan pada pusat-pusat kesehatan dengan fasilitas ERCP dan intervensi
biliaris perkutaneus (Dooley, 2011).
Terapi Paliatif non Operasi
Pada pasien-pasien dengan tumor yang inresektabel, ikterus dan gatal dapat
diobati dengan menempatkan endoprostesis melintasi striktur baik menggunakan
rute endoskopi atau dengan rute perkutaneus. Dengan rute endoskopi, dapat
diinsersikan stent dengan keberhasilan 90%. Komplikasi awal yang utama adalah
kolangitis (7%). Mortalitas dalam 30 hari antara 10-28% tergantung dari meluasnya
tumor ke hilum. Insersi endoprotesis perkutaneus transhepatik juga efektif tetapi
memiliki resiko komplikasi yang tinggi seperti perdarahan dan kebocoran empedu.
Endoprostesis metal mes dengan perluasan diameter 10 mm di dalam striktur
setelah insersi kateter dengan ukuran 5-7 French lebih mahal dibandingkan dengan
tipe plastik tetapi memiliki kekuatan yang lebih lama (Dooley, 2011).
Belum ada penelitian yang membandingkan antara terapi operasi paliatif
dengan terapi paliatif non operasi. Umumnya teknik nonoperatif diterapkan pada
pasien yang memiliki resiko tinggi dengan harapan hidup yang pendek (Dooley,
2011).
Tidak ada bukti yang mendukung keberhasilan kemoterapi atau radioterapi
pada pasien yang telah mengalami metastasis. Peran radioterapi eksternal atau
kombinasi radioterapi dengan drainase bilier tidak terbukti. Obat sitotoksik seperti
19
gemcytabin sediri atau dikombinasikan dengan cysplatin juga tidak efektif (Dooley,
2011)..
Terapi fotodinamik intraduktal dikombinasikan dengan pemasangan stent pada
pasien kolangikarsinoma menunjukkan manfaat. Tatalaksana ini mahal namun
menawarkan paliasi yang baik. Terapi ini masih dalam penelitian (Dooley, 2011).
L. Prognosis
Prognosis bergantung pada lokasi dan stadium serta tata laksana tumor.
Kolangiokarsinima distal lebih resektabel dibandingkan di bagian hilum.
Karsinoma poliploid memiliki prognosis yang baik. Jika tidak direseksi maka
harapan hidup 1 tahun pasien dengan kolangiokarsinoma hanya 50%, dengan 20%
bertahan hidup selama 2 tahun dan 10% bertahan selama 3 tahun (Dooley, 2011).
20
BAB II
PENYAJIAN KASUS
A. Identitas
Anamnesis dilakukan pada tanggal 10 Juli 2014
Identitas Pasien:
Nama : Tn. S
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 44 tahun
Alamat : Tunas permata, Kapuas hulu
Agama : Kristen
Pekerjaan : PNS Guru
No RM : 688199
Masuk tanggal : 7 Juli 2014
B. Anamnesis
Keluhan Utama:
Nyeri pada perut kanan atas memberat 1 hari sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang:
1 tahun, pasien mengeluh nyeri pada perut sebelah kanan disertai kuning
pada mata dan tubuh, nyeri dirasakan hilang timbul, nyeri dirasakan menjalar ke
daerah ulu hati dan dirasakan menembus ke punggung belakang sebelah kanan,
nyeri tidak membaik dengan makan, perut terasa kembung jika memakan
makanan yang berlemak, mual (+), muntah (-), demam (-), riwayat demam
sebelumnya (-), nyeri pada otot-otot betis (-). Kencing berwarna kecokelatan
seperti teh, frekuensi 3-4 kali, volume 2 gelas/kencing. Buang air besar lancar,
berwarna kuning. Pasien kemudian berobat ke rumah sakit St. Antonius dan
didiagnosa menderita batu kandung empedu. Kemudian pasien dirawat selama 1
bulan. Karena tidak kunjung sembuh, pasien kemudian memutuskan untuk
berobat ke Kuching dan dirawat selama 1 bulan. Di Kuching, dilakukan biopsi
21
kandung empedu, hasilnya dinyatakan bahwa pasien menderita tumor saluran
empedu. Karena pasien merasa keluhannya telah membaik dan terkendala biaya,
kemudian pasien memutuskan untuk pulang atas permintaan sendiri.
6 bulan, perut kanan atas terasa mulai membesar secara perlahan, tegang
disertai nyeri pada penekanan, mata dan tubuh kuning (+), nafsu makan turun,
tubuh terasa lemah dan sering pusing kepala, buang air besar warna pucat abu-
abu, konsistensi lunak, kadang-kadang cair, darah (-), lendir (-), hitam seperti kopi
(-). Kencing berwarna kuning kecokelatan seperti teh, frekuensi 3-4 kali, volume
2 gelas/kencing. Riwayat buang air besar cair disertai lendir dan darah
sebelumnya disangkal. Riwayat demam sebelumnya disangkal.
1 hari, pasien mengeluh nyeri pada perut kanan atas yang makin memberat,
keluhan nyeri hilang timbul menjalar ke ulu hati dan punggung kanan. Perut
kanan atas terasa semakin membesar, tegang dan keras disertai nyeri pada
penekanan. Kulit dan mata kuning (+). Perut terasa begah dan kembung, mual
(+), muntah (-). Badan terasa lemah dan pusing. Nafsu makan turun disertai
penurunan berat badan sebanyak 12 kg dalam 6 bulan terakhir. Buang air kecil
lancar, berwarna kecokelatan seperti teh. Buang air besar lancar, konsistensi
lunak, kadang-kadang cair, darah (-), lendir (-), hitam seperti kopi (-). Demam
disangkal. Riwayat buang air besar cair bercampur darah dan lendir disangkal.
Pasien berobat ke rumah sakit di Putusibau, kemudian dirujuk ke rumah sakit Dr.
Soedarso.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat sakit kuning sebelumnya tidak ada. Riwayat diabetes melitus tidak
diketahui. Riwayat hipertensi tidak diketahui.
Riwayat Penyakit Keluarga:
Riwayat sakit kuning pada keluarga tidak ada. Riwayat diabetes dan
hipertensi tidak diketahui.
22
Riwayat pekerjaan dan kebiasaan:
Pasien bekerja sebagai guru (PNS), konsumsi alkohol sampai teler atau
pingsan baru berhenti minum, jika ada acara, frekuensi kira-kira 2 bulan sekali,
sudah berhenti 7 tahun, dan merokok baru berhenti 4 tahun yang lalu. Riwayat
minum jamu dan obat-obat anti nyeri disangkal.
Pemeriksaan Fisik
Kesadaran : Compos mentis
Kesan Umum : Baik
Keadaan umum : Karnopsky 80%
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Frekuensi Nadi : 84 x /menit, reguler, kuat angkat
Frekuensi Napas : 18 x/menit, jenis abdominotorakal
Suhu (axilla) : 36,4 C
BB : 48 kg
TB : 160 cm
BMI : 18,7 kg/m
2
Keadaan gizi : Baik
Status Generalis:
Kulit : pucat (-), ikterik (+), turgor kulit baik, spider nevi (-)
Kepala : normosefalik
Rambut : alopesia (-), mudah rontok (-)
Mata : konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (+/+)
Telinga : sekret (-), darah (-)
Hidung : sekret (-), darah (-), deviasi septum (-)
Mulut : gigi geligi tidak lengkap, higiene baik, gusi mudah
berdarah (-)
Tenggorokan : hiperemis (-), T1/T1
Leher : DVJ (-), KGB tidak terdapat pembesaran
Dada : Simetris
23
Paru :
- Inspeksi : Gerakan pengembangan paru
simetris kanan dan kiri
- Palpasi : Stem fremitus sama pada kedua
lapang paru
- Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
- Auskultasi : Suara napas dasar paru vesikuler
pada kedua lapang paru, ronki (-
/-), wheezing (-/-)
Jantung :
- Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
- Palpasi : iktus kordis teraba di SIC V linea
midklavikula Sinatra
- Perkusi : Batas jantung kiri: SIC V linea
midklavikula sinistra
Batas jantung kanan: SIC IV
linea sternalis dekstra
Batas pinggang jantung: SIC II
garis parasternal sinistra
- Auskultasi : S1-S2 tunggal, reguler, gallop(-),
murmur (-)
Abdomen :
- Inspeksi : Abdomen tampak membesar (-),
venektasi (-), spider nevi (-),
caput medusa (-), massa (+)
- Auskultasi : BU (+) 8x/menit
- Perkusi : Redup pada region epigastrium 8
cm di bawah procesus xipoideus,
dan redup 5 cm dibawah arcus
costa dekstra pada regio
hipokondrium kanan, shifting
24
dullness (-), kuadaran lainnya di
abdomen timpani (+)
- Palpasi : Hepar teraba 5 cm di bawah
arcus costa kanan, konsistensi
kenyal, permukaan rata, tepi
tumpul, batas jelas, nyeri tekan
(+). Lien tidak teraba. Murphy
sign (+).
Punggung : nyeri ketok CVA (-/-)
Genitalia : tidak diperiksa
Anus : tidak diperiksa
Ekstremitas : Pitting oedema (-), akral hangat, capillary refill < 2 detik,
deformitas (-), gangguan gerak (-)
Pemeriksaan penunjang:
Laboratorium:
Tanggal 9 Juli 2014 :
Leukosit = 11. 000 /ul (N= 4.000-12.000/uL)
Eritrosit = 3,55 /uL (N= 4,00-6,20 M/ul)
25
Hb = 8,2 g/dl (N= 11-17 g/dl)
MCV = 76 fl (N=80-100 fl)
MCH = 23,1 pg (N=26-34 pg)
MCHC = 30,4 g/dl (N= 31-35,5 g/dl)
Hematokrit = 27 %(35-55 %)
Trombosit = 472.000 /ul (N= 150.000-400.000/uL)
Ureum = 20,0 mg/dl (N 10-50)
Kreatinin = 0,7 mg/dl (N 0,6-1,4)
GDS = 66 mg/dl
SGOT = 77.8 u/L (<38 u/L)
SGPT = 34,9 u/L (<41)
Asam Urat = 8,5 mg/dl (3,4-7,0)
Tanggal 10 Juli 2014
HBsAg = nonreaktif
Anti HCV = nonreaktif
Tanggal 11 Juli 2014
Bilirubin total = 2,4 mg/dl (N <1,1)
Bilirubin direk = 1,5 mg/dl (N<0,3)
GGT = 1412,1 u/L (N= 8,0 61,0)
ALP = 1585 u/L (N <270)
26
USG
Tanggal 10 Juli 2014
27
28
Hasil : USG
Didapatkan nodul multipel di kedua lobus hepar
Tak tampak kelainan pada ginjal, limpa, pankreas dan kandung empedu
Tidak tampak massa intraabdomen.
Terdapat dilatasi duktus biliarisa dan vesika biliaris
Kesan : Metastasis tumor di hepar.
Rontgen Thoraks PA
Hasil: Cor Pulmo tak tampak kelainan
Biosi PA: Common bile ducts biopsy: moderately differentiated adenocarsinoma
Resume
Laki-laki 44 tahun datang dengan keluhan nyeri perut sebelah kanan atas
sejak 1 tahun disertai kuning pada mata dan tubuh, memberat sejak 1 hari sebelum
masuk rumah sakit, nyeri hilang timbul, menjalar ke daerah ulu hati dan dirasakan
menembus ke punggung belakang sebelah kanan, tidak membaik dengan makan,
perut terasa kembung jika memakan makanan yang berlemak, mual (+), muntah (-
), demam (-), riwayat demam sebelumnya (-), urine kuning kecokelatan seperti
teh, feses kuning. 6 bulan, perut kanan atas terasa membesar, tegang dan keras
29
disertai sedikit nyeri pada penekanan memberat sejak 1 hari. Mata dan tubuh
kuning (+). Nafsu makan turun, penurunan berat badan sebanyak 12 kg dalam 5
bulan terakhir. Tubuh terasa lemah dan sering pusing kepala. Buang air besar
warna pucat abu-abu, konsistensi lunak, kadang-kadang cair, darah (-), hitam
seperti kopi (-). Kencing berwarna kecokelatan seperti teh. Riwayat buang air
besar cair disertai darah sebelumnya disangkal. Riwayat demam sebelumnya
disangkal. Riwayat minum alkohol (+), merokok (+), hipertensi dan diabetes
melitus tidak diketahui, riwayat sakit kuning sebelumnya di sangkal, minum jamu
dan obat-obat anti nyeri disangkal.
Pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran umum kompos mentis, TD:130/80,
kulit dan konjungtiva anemia (+/+), ikterik (+/+), pemeriksaan paru dan jantung
dalam batas normal, abdomen redup pada perkusi di hipokondrium kanan dan
epigastrium, teraba hepar 5 cm dibawah arkus kosta dektra, konsistensi kenyal,
permukaan rata, tepi tumpul, batas jelas, nyeri tekan (+), Murphy sign (+), lien tak
teraba.
Pemeriksaan laboratorium didapatkan leukosit 11.000/ul, eritrosit 3,55/ul, Hb
8,2 g/dl, MCV 76 fl, MCH 23,1 pg, MCHC 30,4 g/dl, Ht 27%, trombosit 472.000
/ul, ureum 20,0 mg/dl, kreatinin 0,7 mg/dl, GDS 66 mg/dl, SGOT 77.8 u/L, SGPT
34,9 u/L, asam urat 8,5 mg/dl, bilirubin total 2,4 mg/dl, bilirubin direk 1,5 mg/dl,
GGT 1412,1 u/L, ALP 1585 u/L.
Pemeriksaan biopsi duktus biliaris komunis didapatkan moderately
differentiate adenocarcinoma, foto toraks PA tak tampak kelainan, USG abdomen
tak tampak massa intraabdomen, lien, ginjal dan pankreas tak tampak kelainan,
hepar tampak nodul multipel pada kedua lobus hepar, kesan metastasis tumor di
hepar.
Diagnosis kerja
Kolangiosarkoma
30
Diagnosis Banding
Koledokolitiasis
Karsinoma vesika biliaris
Karsinoma pankreas
Terapi
1. Non medikamentosa
Istirahat
Diit rendah lemak
2. Medikamentosa
IVFD NaCL 20 tpm
Tramadol 2 x 50 mg
Transfusi PRC jika Hb < 8 g/dl
Prognosis:
Ad vitam : dubia ad malam
Ad fungtionam : dubia ad malam
Ad sanactionam: dubia ad malam
31
Follow Up:
Tanggal S O A P
7 Juli
2009
Nyeri perut
kanan atas (+),
Badan lemah,
Mual (+),
muntah (-),
BAK kuning
teh, BAB (+)
lunak, putih,
nafsu makan
turun
Kesadaran kompos mentis
keadaan umum baik, TTV :
TD 120/70 mmHg
napas 20 x/menit
nadi 84 x/menit
suhu 36 C. Konjungtiva
anemis (+/+)
sklera ikterik (-/-)
Cor: S1S2 reguler M(-) G(-)
Pulmo: ves (+/+) Rh(-/-)
Wh(-/-).
Abdomen: inspeksi dinding
abdomen tidak tampak
pembesaran, distensi (-), BU
(+), redup pada regio
epigastrium 8 cm di bawah
procesus xipoideus, dan
redup 5 cm di bawah arcus
costa dekstra pada regio
hipokondrium kanan, shifting
dullness (-), kuadaran lainnya
di abdomen timpani (+).
Hepar teraba 5 cm di bawah
arcus costa kanan, konsistensi
kenyal, permukaan rata, tepi
tumpul, batas jelas, nyeri
tekan (+). Lien tidak teraba.
Murphy sign (+), CVA (-/-).
Cholangio-
carcinoma
IVFD RL drip
ketorolac 30 mg
Inj. Ranitidin 2
x 50 mg
Cek
laboratorium
darah rutin dan
fungsi hati dan
ginjal, HBsAg,
Anti HCV
Cek USG
abdomen
Cek Foto
Thorax PA
32
Lien tidak teraba. KGB tidak
teraba.
8 Juli
2009
Nyeri perut
kanan atas (+),
Mual (+),
muntah (-),
BAK kuning
teh, BAB (+)
lunak, putih,
nafsu makan
turun
Kesadaran kompos mentis
keadaan umum baik, TTV :
TD 120/70 mmHg
napas 20 x/menit
nadi 84 x/menit
suhu 36 C. Konjungtiva
anemis (+/+)
sklera ikterik (-/-)
Cor: S1S2 reguler M(-) G(-)
Pulmo: ves (+/+) Rh(-/-)
Wh(-/-).
Abdomen: inspeksi dinding
abdomen tidak tampak
pembesaran, distensi (-), BU
(+), redup pada regio
epigastrium 8 cm di bawah
procesus xipoideus, dan
redup 5 cm di bawah arcus
costa dekstra pada regio
hipokondrium kanan, shifting
dullness (-), kuadaran lainnya
di abdomen timpani (+).
Hepar teraba 5 cm di bawah
arcus costa kanan, konsistensi
kenyal, permukaan rata, tepi
tumpul, batas jelas, nyeri
tekan (+). Lien tidak teraba.
Murphy sign (+), CVA (-/-).
Cholangio-
carcinoma
IVFD RL drip
ketorolac 30 mg
Inj. Ranitidin 2
x 50 mg
33
Lien tidak teraba. KGB tidak
teraba.
9 Juli
2009
Nyeri perut
kanan atas (+),
Mual (+),
muntah (-),
BAK kuning
teh, BAB (+)
lunak, putih,
nafsu makan
turun
Kesadaran kompos mentis
keadaan umum baik, TTV :
TD 120/80 mmHg
napas 20 x/menit
nadi 80 x/menit
suhu 36 C. Konjungtiva
anemis (+/+)
sklera ikterik (-/-)
Cor: S1S2 reguler M(-) G(-)
Pulmo: ves (+/+) Rh(-/-)
Wh(-/-).
Abdomen: inspeksi dinding
abdomen tidak tampak
pembesaran, distensi (-), BU
(+), redup pada regio
epigastrium 8 cm di bawah
procesus xipoideus, dan
redup 5 cm di bawah arcus
costa dekstra pada regio
hipokondrium kanan, shifting
dullness (-), kuadaran lainnya
di abdomen timpani (+).
Hepar teraba 5 cm di bawah
arcus costa kanan, konsistensi
kenyal, permukaan rata, tepi
tumpul, batas jelas, nyeri
tekan (+). Lien tidak teraba.
Murphy sign (+), CVA (-/-).
Cholangio-
carcinoma
- Terapi lanjut
- Hasil Lab (+)
- Inj. Cefotaxim
3 x 1 gram
34
Lien tidak teraba. KGB tidak
teraba.
10 Juli
2009
Nyeri perut
kanan atas (+),
Mual (+),
muntah (-),
BAK kuning
teh, BAB (+)
lunak, putih,
nafsu makan
turun
Kesadaran kompos mentis
keadaan umum baik, TTV :
TD 100/80 mmHg
napas 16 x/menit
nadi 80 x/menit
suhu 36,5 C. Konjungtiva
anemis (+/+)
sklera ikterik (-/-)
Cor: S1S2 reguler M(-) G(-)
Pulmo: ves (+/+) Rh(-/-)
Wh(-/-).
Abdomen: inspeksi dinding
abdomen tidak tampak
pembesaran, distensi (-), BU
(+), redup pada regio
epigastrium 8 cm di bawah
procesus xipoideus, dan
redup 5 cm di bawah arcus
costa dekstra pada regio
hipokondrium kanan, shifting
dullness (-), kuadaran lainnya
di abdomen timpani (+).
Hepar teraba 5 cm di bawah
arcus costa kanan, konsistensi
kenyal, permukaan rata, tepi
tumpul, batas jelas, nyeri
tekan (+). Lien tidak teraba.
Murphy sign (+), CVA (-/-).
Lien tidak teraba. KGB tidak
Cholangio-
Carcinoma
- Terapi lanjut
- Hasil Lab (+)
- Cek Lab (+)
- USG
abdomen (+)
- Foto thorax
(+)
35
teraba.
11 Juli
2009
Nyeri perut
kanan atas (+),
Mual (+),
muntah (-),
BAK kuning
teh, BAB (+)
lunak, putih,
nafsu makan
turun
Kesadaran kompos mentis
keadaan umum baik, TTV :
TD 110/80 mmHg
napas 16 x/menit
nadi 76 x/menit
suhu 36 C. Konjungtiva
anemis (-/-)
sklera ikterik (-/-)
Cor: S1S2 reguler M(-) G(-)
Pulmo: ves (+/+) Rh(-/-)
Wh(-/-).
Abdomen: inspeksi dinding
abdomen tidak tampak
pembesaran, distensi (-), BU
(+), redup pada regio
epigastrium 8 cm di bawah
procesus xipoideus, dan
redup 5 cm di bawah arcus
costa dekstra pada regio
hipokondrium kanan, shifting
dullness (-), kuadaran lainnya
di abdomen timpani (+).
Hepar teraba 5 cm di bawah
arcus costa kanan, konsistensi
kenyal, permukaan rata, tepi
tumpul, batas jelas, nyeri
tekan (+). Lien tidak teraba.
Murphy sign (+), CVA (-/-).
Lien tidak teraba. KGB tidak
teraba.
Cholangio-
carcinoma
- Terapi lanjut
- Hasil Lab (+)
- USG
abdomen (+)
36
36
BAB III
PEMBAHASAN
Pada pasien ini ditegakkan diagnosa kolangiokarsinoma. Pendekatan diagnosis
kolangiokarsinoma ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan penunjang berupa laboratorium, USG abdomen, dan biopsi.
Berdasarkan anamnesis, pasien laki-laki usia 44 tahun, datang dengan keluhan
nyeri perut kanan atas sejak 1 tahun memberat sejak 1 hari sebelum masuk rumah
sakit, nyeri hilang timbul, menjalar ke daerah ulu hati dan dirasakan menembus ke
punggung belakang sebelah kanan. Keluhan nyeri perut kanan atas adalah nyeri
yang dirasakan pasien pada daerah hipokondrium kanan dimana pada regio tersebut
terdapat beberapa organ seperti hati, vesika biliaris, bagian dari doudenum, bagian
dari ginjal kanan, kelenjar suprarenal, colon fleksura hepatika. Sejak 6 bulan, perut
kanan atas terasa membesar, tegang dan keras disertai sedikit nyeri pada penekanan
memberat sejak 1 hari. Keluhan nyeri disertai dengan kencing berwarna kuning
kecokelatan, mata dan kulit di seluruh tubuh berwarna kuning. Perubahan warna
mata dan kulit menjadi kuning disebut sebagai ikterus. Adapun organ hipokondrium
kanan yang dapat menyebabkan ikterus adalah hepar, kandung empedu dan duktus
biliaris.
Ikterus mengindikasikan tingginya kadar bilirubin di dalam sirkulasi darah.
Jika kadar bilirubin sudah dapat di deteksi melalui sklera mata, maka kadar bilirubin
diperkirakan berkisar antara 2-2,4 mg/dl. Bilirubin dibedakan menjadi bilirubin tak
terkonjugasi dan bilirubin terkonjugasi. Bilirubin tak terkonjugasi memiliki sifat
larut lemak tapi tidak larut air, sehingga bilirubin tak terkonjugasi tidak terdeteksi
di dalam urine. Sementara bilirubin terkonjugasi bersifat larut air sehingga dapat
dideteksi di dalam urine. Pada anamnesis didapatkan kulit dan tubuh kuning disertai
urine berwarna kuning kecokelatan seperti teh yang menandakan bahwa ikterik
disebabkan oleh hiperbilirubinemia terkonjugasi. Berdasarkan hasil laboratorium
didapatkan hasil bilirubin total mengalami peningkatan yaitu 2,4 mg/dl (normal <
1,1 mg/dl) dan bilirubin terkonjugasi (direk) sebesar 1,5 mg/dl (normal < 0,3
mg/dl). Hiperbilirubinemia terkonjugasi dapat terjadi akibat adanya obstruksi
37
cairan empedu. Hiperbilirubinemia terkonjugasi dibedakan menjadi nonkolestasis
(sindroma Dubin-Johnson, dan Sindroma Rotor), dan kolestasis (intrahepatik:
hepatitis, hepatoma, penyakit hati alkoholik; ekstrahepatik: kolelitiasis,
koledokolitiasis, Ca vesika biliaris, dan kolangiokarsinoma). Untuk membedakan
diagnosis banding perlu dilakukan uji fungsi hati seperi SGOT, SGPT, ALP, dan
GGT. Jika hanya kadar bilirubin meningkat tanpa disertai kenaikan uji fungsi hati,
maka diagnosa mengarah ke sindroma Dubin-Johnson, dan Sindroma Rotor. Jika
hasil uji fungsi hai disertai juga dengan kenaikan SGOT dan SGPT yang lebih tinggi
di bandingkan ALP dan GGT, maka diagnosa mengarah ke kerusakan parenkim
hati. Sementara jika nilai ALP dan GGT lebih tinggi dibandingkan nilai SGOT dan
SGPT, maka diagnosa mengarah ke hiperbilirubinemia kolestasis. Untuk
membedakan apalah kolestasis intrahepatik atau ekstrahepatik, dapat dilakukan
pemeriksaan USG. Apabila terdapat dilatasi duktus, diagnosa mengarah ke
kolestasis ekstrahepatik, dapat dilakukan CT/ERCP. Sementara apabila tidak
terdapat dilatasi duktus biliaris diagnosa mengarah ke kolestasis intra hepatik.
Dapat dilakukan tes serologi seperti tes serum hepatitis. Jika diagnosis meragukan,
dapat dilakukan biopsi.
Dari hasil pemeriksaan uji fungsi hati didapatkan bahwa kenaikan kadar ALP
dan GGt yang lebih tinggi, disertai sedikit kenaikan pada SGOT dan SGPT normal
yaitu ALP=1412,1 u/L, GGT 1585 u/L dan SGOT 77,8 u/L, SGPT 34,9 u/L, Hasil
pemeriksaan HBsAg dan anti HCV nonreaktif, sehingga hiperbilirubinemia akibat
infeksi dari hepatitis B dapat C disingkirkan. Dengan demikian, hiperbilirunemia
terkonjugasi ini disebabkan oleh kolestasis. Untuk membedakannya dengan
kolestasis ektrahepatik dan intrahepatik dilakukan pemeriksaan USG. Dari hasil
pemeriksaan USG didapatkan dilatasi duktus biliaris dan dilatasi vesika biliaris.
38
Diagnosa banding untuk kolestasis ektrahepatik ini berupa kolangiokarsinoma,
karsinoma vesika biliraris, karsinoma pankreas, koledokolitiasis.
Pada koledokolitiasis, keganasan vesika biliaris dan duktus biliaris, dijumpai
keluhan berupa obstruksi jaundice, berupa ikterik dan biasanya disertai dengan
feses pucat, dan berminyak. Keluhan juga dapat disertai dengan mual akibat
malabsorbsi lemak. Pada pemeriksaan fisik dapat juga ditemukan tanda Murphy
sign. Pada pasien dijumpai tanda obstruksi jaundice seperti ikterik pada mata dan
seluruh tubuh disertai dengan feses yang berwarna pucat dan mual terutama jika
memakan makanan yang mengandung lemak.
Hasil pemeriksaan USG tidak ditemukan adanya massa atau batu di dalam
vesika biliaris sehingga kolelitiasis dan keganasan pada vesika biliaris dapat
disingkirkan.
Pada kasus karsinoma pankreas, biasanya ditemui adanya keluhan nyeri ulu
hati dan perut kiri atas menjalar hingga ke punggung, keluhan juga dapat disertai
mual, muntah, tubuh kuning, penurunan nafsu makan dan berat badan, serta tinja
berlemak (steatore). Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik, dijumpai adanya nyeri
perut sebelah sebelah kanan yang menjalar hingga ke punggung kanan dan
dijumpai adanya pembesaran hati di hipokondrium kanan dan epigastrium. Untuk
membedakannya dapat dilihat dari hasil laboratorium dan USG. Pada hasil
laboratorium di dapat GDS hanya 66 mg/dl. Sementara pada pasien dengan
karsinoma pankreas biasanya disertai dengan kenaikan kadar gula darah akibat
defek pada produksi atau sekresi insulin. Pada pemeriksaan pankreas, tidak
39
dijumpai adanya kelainan. Sehingga karsinoma pankreas dapat disingkirkan. Untuk
memastikan diagnosis dapat dilakukan biopsi.
Berdasarkan hasil biopsi didapatkan adanya adenokrsinoma pada Common bile
ducts, dengan demikian, disimpulkan bahwa pasien menderita tumor saluran
empedu yang disebut sebagai kolangiokarsinoma. Peningkatan kadar SGOT
mungkin disebabkan akibat adanya metastasis tumor ke jaringan hati yang
mengakibatkan kerusakan parenkim hati. Dari hasil USG didapatkan adanya nodul
multipel pada hati yang kemungkinan adalah metastasis tumor pada hati. Hasil
pemeriksaan USG didapatkan ginjal, pankreas dan vesika urinaria tidak tampak
kelainan. Tidak dijumpai adanya massa intraabdomen. Pemeriksaan foto toraks
dalam batas normal.
Dari anamnesis didapatkan bahwa saat urine berwarna cokelat seperti teh 1
tahun yang lalu, feses masih berwarna kuning. Namun semenjak 6 bulan yang lalu
pasien mulai mengeluh feses menjadi pucat dan berwarna putih keabu-abuan
dengan konsistensi lunak kadang cair. Nyeri tidak membaik dengan makan, perut
terasa kembung jika memakan makanan yang berlemak, mual (+), muntah (-). Hal
ini menandai bahwa, terjadi obstruksi yang terjadi secara progresif pada saluran
empedu. Obstruksi yang terjadi menyebabkan aliran cairan empedu ke dalam usus
terhambat sehingga feses menjadi pucat. Garam empedu dibutuhkan untuk
penyerapan lemak sehingga gangguan ekskresi garam empedu dapat menyebabkan
steatorea yaitu tinja seperti berminyak. Gangguan penyerapan lemak membuat
pasien merasa mual dan kembung setelah mengkonsumsi makanan yang
mengandung lemak.
Pada anamnesis didapatkan keluhan perut kanan atas terasa mulai membesar
secara perlahan, tegang disertai nyeri pada penekanan, nafsu makan turun disertai
penurunan berat badan sebanyak 12 kg dalam 6 bulan terakhir. Riwayat demam dan
diare bercampur darah dan lendir sebelumnya disangkal. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan hepatomegali dengan permukaan rata, tepi tumpul, batas jelas, nyeri
tekan (+), Murphy sign (+). Pembesaran hati secara progresif disertai dengan
penurunan nafsu makan dan berat badan dapat mengindikasi ke arah suatu
keganasan.
40
Kolangiokarsinoma merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel saluran
empedu. Kolangiokarsinoma memiliki prognosis yang buruk. Terapi kuratif pada
kolangiokarsinoma adalah operasi. Karena telah terjadi metastasis ke hati,
kemungkinan tumor juga telah bermetastasis ke organ lain, walaupun masih belum
terlihat dengan pencitraan sehingga kolangiokarsinoma yang diderita oleh pasien
kemungkinan besar irresektabel. Harapan hidup 1 tahun setelah tindakan operasi
hanya berkisar 20-50%. Tidak ada bukti yang mendukung efektivitas kemoterapi
atau radioterapi pada pasien yang telah mengalami metastasis. Oleh karena itu, pada
pasien ini diberikan terapi yang bersifat simtomatis untuk menghilangkan
penderitaan.
Terapi paliatif untuk mengurangi ikterus akibat obstruksi duktus biliaris, dapat
dilakukan pemasangan stent tetapi hal ini dapat meningkatkan resiko untuk
terjadinya kolangitis. Untuk mengurangi nyeri diberikan tramadol 2 x 50 mg. Untuk
mengurangi keluhan mual, disarankan untuk tidak mengkonsumsi makan yang
mengandung lemak karena gangguan sekresi garam empedu menyebabkan
malabsorbsi lemak yang menyebabkan perut menjadi mula, kembung, dan feses
berminyak.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 8,2 g/dl, MCV 76 fl, MCH
23,1 pg (hipokrom mikrositer). Pasien juga mengeluhkan badan lemah, yang dapat
disebabkan oleh kondisi anemia yang dialaminya. Tidak dijumpai adanya
perdarahan seperti muntah darah dan BAB hitam atau merah. Kemungkinan anemia
yang dialami adalah anemia akibat penyakit kronik. Kami menyarankan pemberian
PRC jika Hb < 8. Pasien dengan kolangiokarsinoma biasanya berisiko untuk
mengalami infeksi pada sistem biliaris (kolangitis) akibat adanya obstruksi, namun
hal ini jarang terjadi jika tidak dilakukan tindakan instrumentasi, sehingga kami
tidak memberikan antibiotik.
DAFTAR PUSTAKA
Boberg, K. M., dan Erik S., 2004, Diagnosis and Treatment of
Cholangiocarcinoma, Current Gastroenterology Report, Oslo : Current
Science Inc.
Dahnert, W., 2007, Radiology Review Manual : Cholangiocarcinoma, Third
edition, USA : Lippincotts Williams and Wilkins
Darwin, 2014, Medscape: Cholangiocarcinoma, diunduh pada tanggal 20 Juli
2014: http://www.emedicine.com/med/topic 343.htm: cholangiocarcinoma
Dooley, J. S., et al., 2011, Sherlocks Disease of Liver and Biliary System,
Twelfth Edition, UK : Blackwell Publishing.
Khan, S. H., et al., 2012, Guidelines for The Diagnosis and Treatment of
Cholangiocarcinoma: An Update, London.
Sudoyo, A. W., et al., 2007, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta : FKUI
Zieve, et al., 2013, Gallblader Disease, diunduh pada tanggal 20 Juli 2014 :
http://www.health.alreferer.com/health/cholangiocarcinoma.htm

You might also like