You are on page 1of 50

Biografi Ulama : Syaikh Bin Baz

25 March 2009 :  :  No Comment

Syaikh Bin Baz, menurut Syaikh Muqbil Bin Hadi Al Wadi’i, adalah seorang tokoh ahli fiqih yang
diperhitungkan di jaman kiwari ini, sebagaimana Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani juga seorang
ulama ahlul hadits yang handal masa kini. Untuk mengenal lebih dekat siapa beliau, mari kita simak penuturan
beliau mengungkapkan data pribadinya berikut ini.

Syaikh mengatakan, “Nama lengkap saya adalah Abdul ‘Aziz Bin Abdillah Bin Muhammad Bin Abdillah Ali
(keluarga) Baz. Saya dilahirkan di kota Riyadh pada bulan Dzulhijah 1330 H. Dulu ketika saya baru memulai
belajar agama, saya masih bisa melihat dengan baik. Namun qodarullah pada tahun 1346 H, mata saya terkena
infeksi yang membuat rabun. Kemudian lama-kelamaan karena tidak sembuh-sembuh mata saya tidak dapat
melihat sama sekali. Musibah ini terjadi pada tahun 1350 Hijriyah. Pada saat itulah saya menjadi seorang tuna
netra. Saya ucapkan alhamdulillah atas musibah yang menimpa diri saya ini. Saya memohon kepada-Nya
semoga Dia berkenan menganugerahkan bashirah (mata hati) kepada saya di dunia ini dan di akhirat serta
balasan yang baik di akhirat seperti yang dijanjikan oleh-Nya melalui nabi Muhammad Sholallahu ‘Alaihi
Wasallam atas musibah ini. Saya juga memohon kepadanya keselamatan di dunia dan akhirat.

Mencari ilmu telah saya tempuh semenjak masa anak-anak. Saya hafal Al Qur’anul Karim sebelum mencapai
usia baligh. Hafalan itu diujikan di hadapan Syaikh Abdullah Bin Furaij. Setelah itu saya mempelajari ilmu-
ilmu syariat dan bahasa Arab melalui bimbingan ulama-ulama kota kelahiran saya sendiri. Para guru yang
sempat saya ambil ilmunya adalah:

Syaikh Muhammad Bin Abdil Lathif Bin Abdirrahman Bin Hasan Bin Asy Syaikh Muhammad Bin Abdul
Wahhab, seorang hakim di kota Riyadh.
Syaikh Hamid Bin Faris, seorang pejabat wakil urusan Baitul Mal, Riyadh.
Syaikh Sa’d, Qadhi negeri Bukhara, seorang ulama Makkah. Saya menimba ilmu tauhid darinya pada tahun
1355 H.
Samahatus Syaikh Muhammad Bin Ibrahim Bin Abdul Lathief Alu Syaikh, saya bermuzalamah padanya untuk
mempelajari banyak ilmu agama, antara lain: aqidah, fiqih, hadits, nahwu, faraidh (ilmu waris), tafsir, sirah,
selama kurang lebih 10 tahun. Mulai 1347 sampai tahun 1357 H.

Semoga Allah membalas jasa-jasa mereka dengan balasan yang mulia dan utama.

Dalam memahami fiqih saya memakai thariqah (mahdzab -red) Ahmad Bin Hanbal [1] rahimahullah. Hal ini
saya lakukan bukan semata-mata taklid kepada beliau, akan tetapi yang saya lakukan adalah mengikuti dasar-
dasar pemahaman yang beliau tempuh. Adapun dalam menghadapi ikhtilaf ulama, saya memakai metodologi
tarjih, kalau dapat ditarjih dengan mengambil dalil yang paling shahih. Demikian pula ketika saya
mengeluarkan fatwa, khususnya bila saya temukan silang pendapat di antara para ulama baik yang mencocoki
pendapat Imam Ahmad atau tidak. Karena AL HAQ itulah yang pantas diikuti. Allah berfirman (yang artinya
-red), “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil Amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah dia kepada Allah (Al Qur’an) dan
Rasul-Nya (As Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (An Nisa:59)”

TUGAS-TUGAS SYAR’I

” Banyak jabatan yang diamanahkan kepada saya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Saya pernah
mendapat tugas sebagai:

Hakim dalam waktu yang panjang, sekitar 14 tahun. Tugas itu berawal dari bulan Jumadil Akhir tahun 1357 H.
Pengajar Ma’had Ilmi Riyadh tahun 1372 H dan dosen ilmu fiqih, tauhid, dan hadits sampai pada tahun 1380 H.
Wakil Rektor Universitas Islam Madinah pada tahun 1381-1390 H.
Rektor Universitas Islam Madinah pada tahun 1390 H menggantikan rektor sebelumnya yang wafat yaitu
Syaikh Muhammad Bin Ibrahim Ali Syaikh. Jabatan ini saya pegang pada tahun 1389 sampai dengan 1395 H.
Pada tanggal 13 bulan 10 tahun 1395 saya diangkat menjadi pimpinan umum yang berhubungan dengan
penelitian ilmiah, fatwa-fawa, dakwah dan bimbingan keagamaan sampai sekarang. Saya terus memohon
kepada Allah pertolongan dan bimbingan pada jalan kebenaran dalam menjalankan tugas-tugas tersebut.
Disamping jabatan-jabatan resmi yang sempat saya pegang sekarang, saya juga aktif di berbagai organisasi
keIslaman lain seperti:

Anggota Kibarul Ulama di Makkah.


Ketua Lajnah Daimah (Komite Tetap) terhadap penelitian dan fatwa dalam masalah keagamaan di dalam
lembaga Kibarul Ulama tersebut.
Anggota pimpinan Majelis Tinggi Rabithah ‘Alam Islami.
Pimpinan Majelis Tinggi untuk masjid-masjid.
Pimpinan kumpulan penelitian fiqih Islam di Makkah di bawah naungan organisasi Rabithah ‘Alam Islami.
Anggota majelis tinggi di Jami’ah Islamiyah (universitas Islam -red), Madinah.
Anggota lembaga tinggi untuk dakwah Islam yang berkedudukan di Makkah.
Mengenai karya tulis, saya telah menulis puluhan karya ilmiah antara lain:

Al Faidhul Hilyah fi Mabahits Fardhiyah.


At Tahqiq wal Idhah li Katsirin min Masailil Haj wal Umrah Wa Ziarah (Tauhdihul Manasik - ini yang
terpenting dan bermanfaat - aku kumpulkan pada tahun 1363 H). Karyaku ini telah dicetak ulang berkali-kali
dan diterjemahkan ke dalam banyak bahasa (termasuk bahasa Indonesia -pent).
At Tahdzir minal Bida’ mencakup 4 pembahasan (Hukmul Ihtifal bil Maulid Nabi wa Lailatil Isra’ wa Mi’raj,
wa Lailatun Nifshi minas Sya’ban wa Takdzibir Ru’yal Mar’umah min Khadim Al Hijr An Nabawiyah Al
Musamma Asy Syaikh Ahmad).
Risalah Mujazah fiz Zakat was Shiyam.
Al Aqidah As Shahihah wama Yudhadhuha.
Wujubul Amal bis Sunnatir Rasul Sholallahu ‘Alaihi Wasallam wa Kufru man Ankaraha.
Ad Dakwah Ilallah wa Akhlaqud Da’iyah.
Wujubu Tahkim Syar’illah wa Nabdzu ma Khalafahu.
Hukmus Sufur wal Hijab wa Nikah As Sighar.
Naqdul Qawiy fi Hukmit Tashwir.
Al Jawabul Mufid fi Hukmit Tashwir.
Asy Syaikh Muhammad Bin Abdil Wahhab (Da’wah wa Siratuhu).
Tsalatsu Rasail fis Shalah: Kaifa Sholatun Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, Wujubu Ada’is Shalah fil
Jama’ah, Aina Yadha’ul Mushalli Yadaihi hinar Raf’i minar Ruku’.
Hukmul Islam fi man Tha’ana fil Qur’an au fi Rasulillah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam.
Hasyiyah Mufidah ‘Ala Fathil Bari - hanya sampai masalah haji.
Risalatul Adilatin Naqliyah wa Hissiyah ‘ala Jaryanis Syamsi wa Sukunil ‘Ardhi wa Amakinis Su’udil
Kawakib.
Iqamatul Barahin ‘ala Hukmi man Istaghatsa bi Ghairillah au Shaddaqul Kawakib.
Al Jihad fi Sabilillah.
Fatawa Muta’aliq bi Ahkaml Haj wal Umrah wal Ziarah.
Wujubu Luzumis Sunnah wal Hadzr minal Bid’ah.”
Sampai di sini perkataan beliau yang saya (Ustadz Ahmad Hamdani -red) kutip dari buku Fatwa wa Tanbihat
wa Nashaih hal 8-13.

AKIDAH DAN MANHAJ DAKWAH

Akidah dan manhaj dakwah Syaikh ini tercermin dari tulisan atau karya-karyanya. Kita lihat misalnya buku
Aqidah Shahihah yang menerangkan aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, menegakkan tauhid dan
membersihkan sekaligus memerangi kesyirikan dan pelakunya. Pembelaannya kepada sunnah dan
kebenciannya terhadap kebid’ahan tertuang dalam karya beliau yang ringkas dan padat, berjudul At Tahdzir
‘alal Bida’ (sudah diterjemahkan -pent). Sedangkan perhatian (ihtimam) dan pembelaan beliau terhadap
dakwah salafiyah tidak diragukan lagi. Beliaulah yang menfatwakan bahwa firqatun najiyah (golongan yang
selamat -red) adalah para salafiyyin yang berpegang dengan kitabullah dan sunnah Nabi Sholallahu ‘Alaihi
Wasallam dalam hal suluk (perilaku) dan akhlaq serta aqidah. Beliau tetap gigih memperjuangkan dakwah ini
di tengah-tengah rongrongan syubhat para da’i penyeru ke pintu neraka di negerinya khususnya dan luar negeri
beliau pada umumnya, hingga al haq nampak dan kebatilan dilumatkan. Agaknya ini adalah bukti kebenaran
sabda Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam (yang artinya), “Akan tetap ada pada umatku kelompok yang
menampakkan kebenaran (al haq), tidak memudharatkan mereka orang yang mencela atau menyelisihinya”

Foot note:

[1] Mahdzab secara istilah yakni mengikuti istilah-istilah Ahmad Bin Hanbal dalam mempelajari masalah fiqih
atau hadits. Bukan Mahdzab syakhsyi yaitu mengambil semua hadits yang diriwayatkannya.

Sumber: SALAFY Edisi XXV/1418 H/1998 M hal 48-49


Judul Asli: “Syaikh Bin Baz Mutjahid dan Ahli Fiqih Jaman Ini”

WAFAT BELIAU (Keterangan tambahan)

Beliau wafat pada hari Kamis, 27 Muharram 1420 H / 13 Mei 1999 M. Semoga Allah Subhanahu Wata’ala
merahmatinya. Amin.

Sumber keterangan tambahan: www.fatwaonline.com


http://ghuroba.blogsome.com
KH ALI MAKSUM KRAPYAK
25 March 2009 :  :  No Comment

KH. Ali bin Maksum bin Ahmad dilahirkan di Lasem, kota tua di Jawa Tengah dari keluarga ulama keturunan
Sayyid Abdurrahman alias Pangeran Kusumo bin Pangeran Ngalogo alias Pangeran Muhammad Syihabudin
Sambu Digdadiningrat alias Mbah Sambu. Garis keturunan ini banyak melahirkan keluarga pesantren yang
tersebar di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Masa muda beliau habiskan dengan berguru dari pesantren ke pesantren. Dimulai dari ayahnya sendiri yang
juga seorang kyai ulama besar, beliau kemudian nyantri kepada Kyai Amir Pekalongan untuk kemudian
melanjutkan kepada Kyai Dimyati Tremas Pacitan Jawa Timur. Sejak di Termas inilah beliau terlihat menonjol
dan akhirnya ikut membantu gurunya mengajar dan mengurus madrasah pesantren dan membuat karangan
tulisan.

Tak lama setelah diambil menantu oleh KH M. Munawwir al Hafidh al Muqri Krapyak Yogyakarta, beliau
dibantu oleh seorang saudagar Kauman Yogyakarta untuk dapat berhaji ke Mekah. Kesempatan ini beliau
pergunakan pula untuk melanjutkan mengaji tabarrukan kepada para ulama Mekah: Sayyid Alwi al Maliki Al
Hasani, Syaikh Masyayikh Hamid Mannan, Syaikh Umar Hamdan dan sebagainya.

Setelah dua tahun mengaji di Mekah Kyai Ali kembali ke tanah Jawa. Sedianya beliau hendak tinggal di Lasem
membantu ayahnya mengembangkan pesantren. Namun, sepeninggal Kyai Munawwir Krapyak, Pondok
Krapyak memerlukan beliau untuk melanjutkan perjuangan di bidang pendidikan bersama-sama dengan KHR.
Abdullah Affandi Munawwir dan KHR. Abdul Qadir Munawwir.

Akhirnya beliau menghabiskan umur dan segenap daya upaya beliau untuk merawat dan mengembangkan
Pondok Krapyak, yang pada saat diasuh mendiang Kyai Munawwir merupakan cikal bakal pesantren al Qur’an
di Indonesia.

Di bidang pendidikan pesantren, beliau merintis pola semi moderen dengan sistem klasikal hingga
berkembanglah madrasah-madrasah hingga saat ini. Beliau juga diminta untuk menjadi dosen luar biasa pada
Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Di bidang kemasyarakatan dan politik, beliau pernah menjadi anggota majlis Konstituante, sebuah lembaga
pembuat Undang-Undang Dasar pada masa rejim Orde Lama. Dalam organisasi para kyai, Nahdlatul Ulama,
beliau pernah memangku jabatan Rais ‘Aam Syuriyyah yang mengantarkan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama keluar
dari jalur politik pada masa rejim Orde Baru.

Di sela-sela mengasuh seribuan santrinya, beliau menyempatkan diri untuk memberikan pengajian di
masyarakat, mengawasi sendiri pembangunan gedung-gedung pondok dan menulis kitab-kitab. Hujjah Ahlis
Sunnah wal Jama’ah, Tasrif ul Kalimah fis Shorf, Ilmu Mantiq, adalah beberapa dari kitab berbahasa Arab
susunan beliau.

Sebelum meninggal pada akhir 1989, dari sentuhan tangan beliau telah dilahirkan ratusan kyai dari ribuan santri
yang mengaji pada beliau pada kurun 1946 hingga 1989. Dari keteguhan beliau, Pondok Krapyak beberapa hari
sebelum beliau meninggal menjadi tempat penyelenggaraan Muktamar Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, pertemuan
paling bergengsi organisasi para ulama Indonesia.

Dari kesabaran beliau yang selama hidup dibantu oleh istrinya Nyai Hasyimah Munawwir, telah berdiri dan
berkembang Taman Kanak-Kanak, Madrasah Diniyyah, Madrasah Tsanawiyyah, Madrasah Aliyah, Madrasah
Tahfidzil Qur’an dan Madrasah Takhassusiyah untuk para santri mahasiswa.

Pondok Pesantren Krapyak, setelah kemangkatan beliau tahun 1989, pengelolaannya ditangani oleh lembaga
berbadan hukum dengan nama Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. Yayasan ini
sekarang dipimpin oleh KH Attabik Ali yang merupakan putra pertama dari KH Ali Maksum.
Sumber dari website PP Krapyak Yogyakarta. [http://krapyak.org/home/indeks.html]
KH ABDULLAH FAQIH
25 March 2009 :  :  No Comment

Pondok Pesantren Langitan itu berada di bawah jembatan jalan raya Babat Lamongan jurusan Tuban, Jawa
Timur. Tepatnya di Desa Widang. Sepintas, dari jalan raya memang tidak tampak pesantren, karena tertutup
perkampungan. Tapi begitu masuk, terasalah denyut kehidupan pesantren yang berada di atas areal sekitar 6
hektar itu.

Meskipun termasuk pesantren salaf [1], kebersihan lingkungannya tampak sangat terjaga. Apalagi, beberapa
pohon mangga dan jambu dibiarkan tumbuh subur, hingga memberi rasa teduh. Agak masuk ke dalam, ada
sebuah rumah kecil terbuat dari kayu berwarna janur kuning, sederet dengan asrama santri dan rumah pengasuh
lain. Di situlah KH Abdullah Faqih (67), tokoh yang sangat disegani di kalangan NU, tinggal.

Di belakang rumah itu memang ada bangunan berlantai dua. Tapi, menurut keterangan salah seorang santrinya,
gedung itu untuk tinggal putri-putrinya. “Kiai sendiri tetap tinggal di di rumah kayu itu,” kata santri yang tak
mau disebut namanya.

Berukuran sekitar 7×3 meter, di dalamnya ada seperangkat meja kursi kuno dan dua almari berisi kitab-kitab.
Lantainya dilambari karpet. Ada juga kaligrafi dan dua jam dinding. Itu saja. Dan di situ pula Kiai Faqih —
panggilan akrabnya— menerima tamu-tamunya. Baik dari kalangan bawah, pengurus NU, maupun pejabat.
Menteri Agama Tolchah Hasan, awal Desember lalu, adalah salah satu di antara pejabat yang pernah sowan ke
kiai yang sangat berpengaruh di kalangan NU ini. Hasyim Muzadi, Ketua Umum PBNU yang baru, juga
termasuk tokoh yang rajin sowan ke Kiai Faqih.

Nama Kiai Faqih mencuat menjelang SU MPR lalu, terutama berkaitan dengan pencalonan KH Abdurrahman
Wahid sebagai presiden. Saat itu di tubuh kaum Nahdliyin terjadi perbedaan, ada yang mendukung pencalonan
Gus Dur —demikian mantan ketua PBNU itu populer dipanggil— yang dipelopori kelompok Poros Tengah,
dan ada yang bersikap sebaliknya. Sementara dua kandidat utama yakni BJ Habibie dan Megawati sama-sama
mengandung risiko cukup tinggi, terutama para pendukung fanatiknya. Menghadapi situasi seperti itu, beberapa
kiai sepuh NU mengadakan beberapa pertemuan di Pondok Pesantren Langitan. Dari sinilah kemudian muncul
istilah `Poros Langitan’, karena memang suara para kiai itu sangat berpengaruh kepada pencalonan Gus Dur.

Toh beberapa hari menjelang pemilihan presiden, restu para kiai itu belum turun juga. Hingga akhirnya dua hari
menjelang pemilihan presiden, Hasyim Muzadi (sekarang ketua PBNU) datang menemui Gus Dur, membawa
pesan Kiai Faqih. Pesannya adalah pertama, kalau memang Gus Dur maju, ulama akan mendo’akan. Kedua,
Gus Dur harus menjaga keutuhan di tubuh PKB yang saat itu sudah mulai retak. Dan ketiga, menjaga hubungan
baik warga NU dengan warga PDI-Perjuangan.

Begitu gembira mendengar restu itu, Gus Dur berdiri memeluk Hasyim Muzadi sembari meneteskan air mata.
Dengan isak tangis cucu pendiri NU KH Hasyim Asy’ari ini berkata, “Sampaikan salam hormat saya kepada
Kiai (Faqih). Katakan, Abdurrahman sampai kapanpun tetap seorang santri yang patuh kepada ucapan kiai.”

Siapa sesungguhnya Kiai Faqih, kok Gus Dur yang begitu dipuja orang-orang di NU itu begitu hormatnya?
Publik selama ini tidak banyak tahu, karena Kiai yang mengasuh sekitar 3000 santri ini memang tidak suka
publikasi. Banyak wartawan yang ingin wawancara dengan Kiai Faqih, semuanya pulang dengan tangan
hampa. “Kami memang mendapat pesan, Kiai tidak bersedia menerima wartawan,” ujar salah seorang pengurus
pesantren.

Di kalangan NU dikenal istilah kiai khos atau kiai utama. Ada syarat tertentu sebelum seorang kiai masuk
kategori khos. Antara lain, mereka harus mempunyai wawasan dan kemampuan ilmu agama yang luas,
memiliki laku atau daya spiritual yang tinggi, mampu mengeluarkan kalimat hikmah atau anjuran moral yang
dipatuhi, dan jauh dari keinginan-keinginan duniawi. Dengan kata lain, mereka sudah memiliki kemampuan
waskita. Nah, Kiai Faqih termasuk dalam kategori kiai waskita itu. Tentu saja organisasi sebesar NU punya
banyak kiai khos. Tapi, Kiai Faqihlah yang kerap jadi rujukan utama di kalangan Nahdliyin, baik itu PBNU
maupun PKB, terutama menyangkut kepentingan publik. Hal itu dibenarkan Effendy Choirie, salah satu
petinggi DPP PKB. “Rasanya memang begitu,” ujarnya.

Di mata Gus Dur sendiri, Kiai Faqih adalah seorang wali. “Namun, kewalian beliau bukan lewat thariqat atau
tasawuf, justru karena kedalaman ilmu fiqhnya,” kata Gus Dur yang kini jadi Presiden, sebagaimana ditirukan
Choirie. Kedekatan Gus Dur dengan Kiai Faqih, kabarnya mulai Muktamar NU di Cipayung dulu. Contoh
begitu hormatnya ketua Forum Demokrasi (Fordem) itu kepada Kiai Faqih, adalah ketika ia meminta Gus Dur
mencium tangan KH Yusuf Hasyim, pamannya, pada acara tasyakuran atas membaiknya kesehatan mata Gus
Dur, satu bulan sebelum SU MPR. Tanpa banyak cakap, putra KH Wakhid Hasyim ini manut saja. Maka
rujuklah dua bangsawan Bani Hasyim yang sudah bertahun-tahun `bermusuhan’.

Kiai Faqih lahir di Dusun Mandungan Desa Widang, Tuban. Saat kecil ia lebih banyak belajar kepada
ayahandanya sendiri, KH Rofi’i Zahid, di Pesantren Langitan. Ketika besar ia nyantri pada Mbah Abdur
Rochim di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Tapi tidak lama.

Sebagaimana para kiai tempo dulu, Faqih juga pernah tinggal di Makkah, Arab Saudi. Di sana ia belajar kepada
Sayid Alwi bin Abbas Al-Maliki, ayahnya Sayid Muhammad bin Alwi Al-Maliki. Rupanya selama di Arab
Saudi Faqih punya hubungan khusus dengan Sayid Muhammad bin Alwi Al-Maliki. Buktinya, setiap kali tokoh
yang amat dihormati kalangan kiai di NU itu berkunjung ke Indonesia, selalu mampir ke Pesantren Langitan.
“Sudah 5 kali Sayid Muhammad ke sini,” tambah salah seorang pengurus Langitan.

Pesantren Langitan memang termasuk pesantren tua di Jawa Timur. Didirikan l852 oleh KH Muhammad Nur,
asal Desa Tuyuban, Rembang, Langitan dikenal sebagai pesantren ilmu alat. Para generasi pertama NU pernah
belajar di pesantren yang terletak di tepi Bengawan Solo yang melintasi Desa Widang (dekat Babat Lamongan)
ini. Antara lain KH Muhammad Cholil (Bangkalan), KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, KH Syamsul
Arifin (ayahnya KH As’ad Syamsul Arifin), dan KH Shiddiq (ayahnya KH Ahmad Shiddiq).

Kiai Faqih (generasi kelima) memimpin Pesantren Langitan sejak l971, menggantikan KH Abdul Hadi Zahid
yang meninggal dunia karena usia lanjut. Kiai Faqih didampingi KH Ahmad Marzuki Zahid, yang juga
pamannya.

Di mata para santrinya, Kiai Faqih adalah tokoh yang sederhana, istiqomah dan alim. Ia tak hanya pandai
mengajar, melainkan menjadi teladan seluruh santri. Dalam shalat lima waktu misalnya, ia selalu memimpin
berjamaah. Demikian pula dalam hal kebersihan. “Tak jarang beliau mencincingkan sarungnya, membersihkan
sendiri daun jambu di halaman,” tutur Choirie yang pernah menjadi santri Langitan selama 7 tahun.

Meski tetap mempertahankan ke-salaf-annya, pada era Kiai Faqih inilah Pesantren Langitan lebih terbuka.
Misalnya, ia mendirikan Pusat Pelatihan Bahasa Arab, kursus komputer, mendirikan Taman Kanak-Kanak (TK)
dan Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA). Dalam hal penggalian dana, ia membentuk Badan Usaha Milik
Pondok berupa toko induk, kantin, dan wartel.

Lebih dari itu lagi, ayah 12 orang anak buah perkawinannya dengan Hj Hunainah ini juga mengarahkan
pesantrennya agar lebih dekat dengan masyarakat. Di antaranya ia mengirim da’i ke daerah-daerah sulit di Jawa
Timur dan luar Jawa. Setiap Jum’at ia juga menginstruksikan para santrinya shalat Jum’at di kampung-
kampung. Lalu membuka pengajian umum di pesantren yang diikuti masyarakat luas.

Dalam hubungan dengan pemerintah Orde Baru, Kiai Faqih sangat hati-hati. Meski tetap menjaga hubungan
baik, ia tidak mau terlalu dekat dengan penguasa, apalagi menengadahkan tangan minta bantuan, sekalipun
untuk kepentingan pesantrennya. Bahkan, tak jarang, ia menolak bantuan pejabat atau siapapun, bila ia melihat
di balik bantuan itu ada `maunya’. Mungkin, karena inilah perkembangan pembangunan fisik Langitan
termasuk biasa-biasa saja. Moeslimin Nasoetion, saat menjabat Menteri Kehutanan dan Perkebunan dan
berkunjung ke Langitan pernah berucap, “Saya heran melihat sosok Kiai Abdullah Faqih. Kenapa tidak mau
membangun rumah dan pondoknya? Padahal, jika mau, tidak sedikit yang mau memberikan sumbangan.”
Tetapi bila terpaksa menerima, ini masih kata Effendy Choirie, bantuan itu akan dimanfaatkan fasilitas umum
di mana masyarakat juga turut menikmatinya. Kiai Faqih, kata Choirie, juga tak pernah mengundang para
pejabat bila pesantrennya atau dirinya punya hajat. “Tetapi kalau didatangi, beliau akan menerima dengan
tangan terbuka,” tambah Choirie yang pernah menggeluti profesi wartawan ini.

Di mata anggota DPR ini, Kiai Faqih adalah sosok yang berpikir jernih dan sangat hati-hati dalam setiap
hendak melangkah atau mengambil keputusan. Pernah pada suatu kesempatan, Gus Dur ingin sowan
(menghadap) ke Langitan. Demi menghindari munculnya spekulasi yang macam-macam, apalagi saat itu
menjelang pemilihan presiden, Kiai Faqih menolak. Justru dialah yang menemui Gus Dur di Jombang, saat Gus
Dur berziarah ke makam kakeknya.

dari www.hidayatullah.com
KH ABBAS DJAMIL BUNTET CIREBON
25 March 2009 :  :  No Comment

KH ABBAS DJAMIL BUNTET CIREBON

Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa’ala


Aalihie Washohbihie Waman Walaah amma ba’du…

Buntet hingga saat ini dikenal sebagai pesantren yang sangat prestisius hingga sekarang, tidak hanya dari segi
mutu pendidikan yang disajikan, sebagai pesantren salaf yang mengajarkan berbagai kitab kuning bertaraf
babon, tetapi pesantren ini juga memiliki peran-peran sosial politik yang diambil oleh para pemimpinnya.
Kualitas pengajian dan kharisma seorang kiai merupakan daya tarik utama dalam sistem pendidikan pesantren
Salaf [1]. Dan ini tetap dipertahankan dalam sistem pendidikan pesantren Buntet sebagai sosok pesantren salaf
yang tidak pernah kehilangan pesona dan peran dalam dunia modern.

Tersebutlah saat ini peran sosial politik yang diambil kiai Abdullah Abbas, selalu menjadi rujukan para
pemimpin nasional. Tidak hanya karena pengikutnya banyak, tetapi memang nasehat dan pandangannya sangat
berisi. Semuanya itu tidak diperoleh begitu saja, melainkan hasil pergumulan panjang, yang penuh pengalaman
dan pelajaran, sehingga membuat para tokoh matang dalam kancah perjuangan. Bukan sekadar tokoh yang
berperan karena mengandalkan popularitas keluarga atau keturunannya. Semuanya itu tidak terlepas dari peran
para pendahulu pesantren Buntet ayah Kiai Abdullah Abbas sendiri yaitu Kiai Abbas, seorang ulama besar yang
mampu memadukan kitab kuning dan ilmu kanuragan sekaligus, sebagai sarana perjuangan membela umat.

Latar Belakang Keluarga

Kiai Abas adalah putra sulung KH. Abdul Jamil yang dilahirkan pada hari Jumat 24 Zulhijah 1300 H atau 1879
M di desa Pekalangan, Cirebon. Sedangkan KH. Abdul Jamil adalah putra dari KH. Muta’ad yang tak lain
adalah menantu pendiri Pesantren Buntet, yakni Mbah Muqayyim salah seorang mufti di Kesultanan Cirebon.
Ia menjadi Mufti pada masa pemerintahan Sultan Khairuddin I, Sultan Kanoman yang mempunyai anak Sultan
Khairuddin II yang lahir pada tahun 1777. Tetapi Jabatan terhormat itu kemudian ditinggalkan semata-mata
karena dorongan dan rasa tanggungjawab terhadap agama dan bangsa. Selain itu juga karena sikap dasar politik
Mbah Muqayyim yang non-cooperative terhadap penjajah Belanda – karena penjajah secara politik saat itu
sudah “menguasai” kesultanan Cirebon.
Setelah meninggalkan Kesultanan Cirebon, maka didirikanlah lembaga pendidikan pesantren tahun 1750 di
Dusun Kedung Malang, desa Buntet, Cirebon yang petilasannya dapat dilihat sampai sekarang berupa
pemakaman para santrinya. Untuk menghindari desakan penjajah Belanda, ia selalu berpindah-pindah. Sebelum
berada di Blok Buntet, (desa Martapada Kulon) seperti sekarang ini, ia berada di sebuah daerah yang disebut
Gajah Ngambung. Disebut begitu, konon, karena Mbah Muqayyim dikhabarkan mempunyai gajah putih.
Setelah itu juga masih terus berpindah tempat ke Persawahan Lemah Agung (masih daerah Cirebon), lantas ke
daerah yang diebut Tuk Karangsuwung. Bahkan, lantara begitu gencarnya desakan penjajah Belanda (karena
sikap politik yang non-cooperative), Mbah Muqayyim sampai “hijrah” ke daerah Beji, Pemalang, Jawa Tengah,
sebelum kembali ke daerah Buntet, Cirebon. Hal itu dilakukan karena hampir setiap hari tentara penjajah
Belanda setiap hari melakukan patroli ke daerah pesantren. Sehingga suasana pesantren, mencekam, tapi para
santri tetap giat belajar sambil terus begerilya, bila malam hari tiba.
Semuanya itu dijalani dengan tabah dan penuh harapan, sebab Mbah Qoyyim selalu mendampingi mereka.
Sementara bimbingan Mbah Qoyyim selalu meraka harapkan sebab kiai itu dikenal sebagai tokoh yang ahli
tirakat (riyadlah) untuk kewaspadaan dan keselamatan bersama. Ia pernah berpuasa tanpa putus selama 12
tahun [2]. Mbah Muqayyim membagi niat puasanya yang dua belas tahun itu dalam empat bagian. Tiga tahun
pertama, ditujukan untuk keselamatan Pesantren Buntet. Tiga tahun kedua untuk keselamatan anak cucunya.
Tiga tahun yang ketiga untuk para santri dan pengikutnya yang setia. Sedang tiga tahun yang keempat untuk
keselamatan dirinya. Saat itu Mbah Muqayyimlah peletak awal Pesantren Buntet, sudah berpikir besar untuk
keselamatan umat Islam dan bangsa. Karena itu pesantren rintisannya hingga saat ini masih mewarisi semangat
tersebut. Sejak zaman pergerakan kemerdekaan, dan ketika para ulama mendirikan Nahdlatul Ulama, pesantren
ini menjadi salah satu basis kekuatan NU di Jawa Barat.
Masa Pembentukan
Dengan demikian pada dasarnya Kiai Abbas adalah dari keluarga alim karena itu pertama ia belajar pada
ayahnya sendiri. KH. Abdul Jamil. Setelah menguasai dasar-dasar ilmu agama baru pindah ke pesantren
Sukanasari, Plered, Cirebon dibawah pimpinan Kiai Nasuha. Setelah itu, masih didaerah Jawa Barat, ia pindah
lagi ke sebuah pesantren salaf di daerah Jatisari dibawah pimpinan Kiai Hasan. Baru setelah itu keluar daerah
yakni ke sebuah pesantren di Jawa Tengah,tepatnya di kabupaten Tegal yang diasuh oleh Kiai Ubaidah.
Setelah berbagai ilmu keagamaan dikuasai, maka selanjutnya ia pindah ke pesantren yang sangat kondang di
Jawa Timur, yakni Pesantren Tebuireng, Jombang di bawah asuhan Hadratusyekh Hasyim Asy’ari, tokoh
kharismatik yang kemudian menjadi pendiri NU. Pesantren Tebuireng itu menambah kematangan kepribadian
Kiai Abbas, sebab di pesantren itu ia bertemu dengan para santri lain dan kiai yang terpandang seperti KH.
Abdul Wahab Chasbullah (tokoh dan sekaligus arsitek berdirinya NU) dan KH. Abdul Manaf turut mendirikan
pesantren Lirboyo, kediri Jawa Timur.
Walaupun keilmuannya sudah cukup tinggi, namun ia seorang santri yang gigih, karena itu tetap berniat
memperdalam keilmuannya dengan belajar ke Mekkah Al-Mukarramah. Beruntunglah ia belajar ke sana, sebab
saat itu di sana masih ada ulama Jawa terkenal tempat berguru, yaitu KH. Machfudz Termas (asal Pacitan,
Jatim) yang karya-karya (kitab kuning) –nya termasyhur itu. Di Mekkah, ia kembali bersama-sama dengan KH.
Bakir Yogyakarta, KH. Abdillah Surabaya dan KH. Wahab Chasbullah Jombang. Sebagai santri yang sudah
matang, maka di waktu senggang Kiai Abbas ditugasi untuk mengajar pada para mukimin (orang-orang
Indonesia yang tertinggal di Mekkah). Santrinya antara, KH. Cholil Balerante, Palimanan, KH. Sulaiman
Babakan, Ciwaringin dan santri-santri lainnya.

Memimpin Pesantren Buntet


Dengan bermodal ilmu pengetahuan yang diperoleh dari berbagai pesantren di Jawa, kemudian dipermatang
lagi dengan keilmuan yang dipelajari dari Mekah, serta upayanya mengikuti perkembangan pemikiran Islam
yang terjadi di Timur Tengah pada umumnya, maka mulailah Kiai Abbas memegang tampuk pimpinan
Pesantren Buntet Waruisan dari nenek moyangnya itu dengan penuh kesungguhan. Dengan modal keilmuan
yang memadai itu membuat daya tarik pesantren Buntet semakin tinggi.
Sebagai seorang Kiai muda yang energik ia mengajarkan berbagai khazanah kitab kuning, namun tidak lupa
memperkaya dengan ilmu keislaman modern yang mulai berkembang saat itu. Maka kitab-karya ulama Mesir
seperti tafsir Tontowi Jauhari yang banyak mengupas masalah ilmu pengetahuan itu mulai diperkenalkan pada
para santri. Demikian juga tafsir Fakhrurrozi yang bernuansa filosofis itu juga diajarkan. Dengan adanya
pengetahuan yang luas itu pengajaran ushul fikih mencapai kemajuan yang sangat pesat, sehingga pemikiran
fikih para alumni Buntet sejak dulu sudah sangat maju. Sebagaimana umumnya pesantren fikih memang
merupakan kajian yang sangat diprioritaskan, sebab ilmu ini menyangkut kehidupan sehari-hari masyarakat.
Dengan sikapnya itu maka nama Kiai Abbas dikenal ke seluruh Jawa, sebagai seorang ulama yang alim dan
berpemikiran progresif. Namun demikian ia tetap rendah hati pada para santrinya, misalnya ketika ditanya
sesuai yang tidak menguasasi, atau ada santri yang minta diajari kitab yang belum pernah dikajinya ulang, maka
Kiai Abbas terus terang mengatakan pada santrinya bahwa ia belum menguasasi kitab tersebut, sehingga perlu
waktu untuk menelaahnya kembali.
Walaupun namanya sudah terkenal di seantero pulau jawa, baik karena kesaktiannya maupun karena
kealimannya, tetapi Kiai Abbas tetap hidup sederhana. Di langgar yang beratapkan genteng itu, ada dua kamar
dan ruang terbuka cukup lebar dengan hamparan tikar yang terbuat dari pandan. Di ruang terbuka inilah kiai
Abbas menerima tamu tak henti-hentinya. Setiap usai shalat Dhuhur atau Ashar, sebuah langgar yang berada di
pesantren Buntet, Cirebon itu selalu didesaki para tamu. Mereka berdatangan hampir dari seluruh pelosok
daerah. Ada yang datang dari daerah sekitar Jawa Barat, Jawa Tengah bahkan juga ada yang dari Jawa Timur.
Mereka bukan santri yang hendak menimba ilmu agama, melainkan inilah masyarakat yang hendak belajar ilmu
kesaktian pada sang guru.

Melawan Penjajah Belanda


Walaupun saat itu, Kiai Abbas sudah berumur sekitar 60 tahun, tetapi tubuhnya tetap gagah dan perkasa.
Rambutnya yang lurus dan sebagian sudah memutih, selalu di tutupi peci putih yang dilengkapi serban – seperti
lazimnya para kiai. Dalam tradisi pesantren, selain dikenal dengan tradisi ilmu kitab kuning, juga dikenal
dengan tradisi ilmu kanuragan atau ilmu bela diri, yang keduanya wajib dipelajari. Apalagi dalam menjalankan
misi dakwah dan berjuang melawan penjahat dan penjajah. Kehadiran ilmu kanuragan menjadi sebuah
keharusan.
Oleh karena itu ketika usianya mulai senja, sementara perjuangan kemerdekaan saat itu sedang menuju
puncaknya, maka pengajaran ilmu kanuragan dirasa lebih mendesak untuk mencapai kemerdekaan.
Maka dengan berat hati terpaksa ia tinggalkan kegiatannya mengajar kitab-kitab kuning pada ribuan santrinya.
Sebab yang menangani soal itu sudah diserahkan sepenuhnya pada kedua adik kandungnya, KH. Anas dan KH.
Akyas. Sementara Kiai Abbas sendiri, setelah memasuki masa senjanya, lebih banyak memusatkan perhatian
pada kegiatan dakwah di Masyarakat dan mengajar ilmu-ilmu kesaktian atau ilmu beladiri, sebagai bekal
masyarakat untuk melawan penjajah.Tampaknya ia mewarisi darah perjuangan dari kakeknya yaitu Mbah
Qoyyim, yang rela meninggalkan istana Cirebon karena menolak kehadiran Belanda. Dan kini darah
perjuangan tersebut sudah merasuk ke cucu-cucunya. Karena itu Kiai Abbas mulai merintas perlawanan,
dengan mengajarkan berbagai ilmu kesaktian pada masyarakat.
Tentu saja yang berguru pada Kiai Abbas bukan orang sembarangan, atau pesilat pemula, melainkan para
pendekar yang ingin meningkatkan ilmunya. Maka begitu kedatangan tamu ia sudah bisa mengukur seberapa
tinggi kesaktian mereka, karena itu Kiai Abbas menerima tamu tertentu langsung dibawa masuk ke kamar
pribadinya. Dalam kamar mereka langsung dicoba kemampuannya dengan melakukan duel, sehingga membuat
suasana gaduh. Baru setelah diuji kemampuannya sang kiai mengijazahi berbagai amalan yang diperlukan,
sehingga kesaktian dan kekebalan mereka bertambah.
Dengan gerakan itu maka pusantren Buntet dijadikan sebagai markas pergerakan kaum Republik untuk
melawan penjajahan. Mulai saat itu Pesantren Buntet saat itu menjadi basis perjuangan umat Islam melawan
penjajah yang tergabung dalam barisan Hizbullah. Sebagaimana Sabilillah, Hizbullah juga merupakan kekuatan
yang tanggung dan disegani musuh, kekuata itu diperoleh berkat latihan-latihan berat yang diperoleh dalam
pendidikan PETA (Pembela Tanah Air) di Cibarusa semasa penjajahan Jepang. Organisasi perjuangan umat
Islam ini didirikan untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah. Anggotanya terdiri atas kaum tua militan.
Organisasi ini di Pesantren Buntet, diketuai Abbas dan adiknya KH. Anas, serta dibantu oleh ulama lain seperti
KH. Murtadlo, KH. Soleh dan KH. Mujahid.
Karena itu muncul tokoh Hizbullah di zaman pergerakan Nasional yang berasal dari Cirebon seperti KH.
Hasyim Anwar dan KH. Abdullah Abbas putera Kiai Abbas. Ketika melakukan perang gerilya, tentara
Hizbullah memusatkan pertahahannya di daerah Legok, kecamatan Cidahu, kabupaten Kuningan, dengan front
di perbukitan Cimaneungteung yang terletak didaeah Waled Selatan membentang ke Bukit Cihirup Kecapantan
Cipancur, Kuningan. Daerah tesebut terus dipertahankan sampai terjadinya Perundingan Renville yang
kemudian Pemerintah RI beserta semua tentaranya hizrah ke Yogyakarta.
Selain mendirikan Hisbullah, pada saat itu di Buntet Pesantren juga dikenal adanya organisasi yang bernama
Asybal. Inilah organisasi anak-anak yang berusia di bwah 17 tahun. Organisasi ini sengaja dibentuk oleh para
sesepuh Buntet Pesantren sebagai pasukan pengintai atau mata-mata guna mengetahui gerakan musuh sekaligus
juga sebagai penghubung dari daerah pertahanan sampai ke daerah front terdepan. Semasa perang kemerdekaan
itu, banyak warga Buntet Pesantren yang gugur dalam pertempuran. Diantaranya adalah KH. Mujahid, kiai
Akib, Mawardi, Abdul Jalil, Nawawi dan lain-lain.
Basis kekuatan laskar yang dibangun oleh Kiai Abbas itu kemudian menjadi pilar penting bagi tercetusnya
revolusi November di surabaya tahun 1946. Peristiwa itu terbukti setelah Kiai Hasyim Asyari mengeluarkan
resolusi jihad pada 22 Oktober 1946, Bung Tomo segera datang berkonsultasi pada KH. Hasyim Asy’ari guna
minta restu dimulainya perlawanan terhadap tentara Inggris. Tetapi kiai Hasyim menyarankan agar perlawanan
rakyat itu jangan dimulai terlebih dahulu – sebelum KH. Abbas, sebagai Laskar andalannya datang ke
Surabaya. Memang setelah itu laskar dari pesantren Buntet, di bawah pimpinan KH. Abbas beserta adiknya
KH. Anas, mempunyai peran besar dalam perjuangan menentang tentara Inggris yang kemudian dikenal dengan
peristiwa 10 november 1945 itu. Atas restu Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, ia terlibat langsung dalam
pertempuran Surabaya tersebut. Selanjutnya kiai Abbas juga mengirimkan para pemuda yang tergabung dalam
tentara Hizbullah ke berbagai daerah pertahanan untuk melawan penjajah yang hendak menguasai kembali
republik ini, seperti ke Jakarta, Bekasi, Cianjur dan lain-lain.
Dialah santri yang mempunyai beberapa kelebihan, baik dalam bidang ilmu bela diri maupun ilmu
kedigdayaan. Dan tidak jarang, KH. Abbas diminta bantuan khusus yang berkaitan dengan keahliannya
itu.Hubungan Kiai Hasyim dengan Kiai Abbas memang sudah lama terjalin, terlihat ketika pertama kali Kiai
Hasyim Asy’ari mendirikan pesantrean Tebuireng, Kiai sakti dari Cirebon itu banyak memberikan
perlindungan, terutama saat diganggu oleh para penjahat setempat, yang merasa terusik oleh kehadiran
pesantren Tebuireng. Sekitar tahun 1900, KH. Abbas datang dari Buntet bersama kakak kandungnya, KH.Soleh
Zamzam, Benda Kerep, KH.Abdullah Pengurangan dan Kiai Syamsuri Wanatar. Berkat kehadiran mereka itu
para penjahat yang dibeking oleh Belanda, penguasa pabrik gula Cukir itu tidak lagi mengganggu pesantren
tebuireng, kapok tidak berani mengganggu lagi. Tradisi pesantren antara kanuragan, moralitas dan kitab kuning
saling menopang, tanpa salah satunya yang lain tidak berjalan, karena itu semua merupakan tradisi dalam
totalitasnya.

Berjuang Hingga Akhir Hayat


Walaupun revolusi November dimenangkan oleh laskar pesantren dengan penuh gemilang, tetapi hal itu tidak
membuat mereka terlena, sebab Belanda dengan kelicikannya akan selalu mencari celah menikam Republik ini.
Karena itu Kiai Abbas selalu mengikuti perkembangan politik, baik di lapangan maupun di meja perundingan.
Sementara laskar masih terus disiagakan. Berbagai latihan terus digelar, terutama bagi kalangan muda yang
baru masuk kelaskaran. Berbagai daerah juga dibuka simpul kelaskaran yang siap menghadapi kembalinya
penjajahan.
Di tengah gigihnya perlawanan rakyat terhadap penjajah, misi diplomasi juga dijalankan, semuanya itu tidak
terlepas dari perhatian para ulama. Karena itu bepata kecewanya para pejuang, termasuk para ulama yang
memimpin perang itu, ketika sikap para diplomat kita sangat lemah, banyak mengalah pada keinginan Belanda
dalam Perjanjian Linggar Jati tahun 1946 itu. Mendengar hasil perjanjian itu Kiai Abbas sangat terpukul,
merasa perjuangannya dikhianati, akhirnya jatuh sakit, yang kemudian mengakibatkan Kiai yang sangat
disegani sebagai pemimpin gerilya itu wafat pada hari Ahad pada waktu subuh, 1 Rabiul Awal 1365 atau 1946
Masehi, kemudian dikuburkan di pemakaman Buntet Pesantren.
Hingga saat ini karakter perjuangan masih terus ditradisikan di Pesantren Buntet, pada masa represi Orde Baru
pesantren ini dengan gigihnya mempertahankan independensinya dari tekanan rezim itu. Tetapi semuanya
dijalankan dengan penuh keluwesan, sehingga orde baru juga tidak menghadapinya dengan frontal. Akibatnya
pada masa ramainya gerakan reformasi pikiran dan pandangan Kiai Abdullah Abbas sangat diperhatikan oleh
semua para penggerak reformasi, baik dari kalangan NU maupun komunitas lainnya. Itulah Peran sosial
keagamaan pesantren Buntet yang dirintis Mbah Qoyyim dilanjutkan oleh Kiai Abbas, kemudian diteruskan
lagi oleh Kiai Abdullah Abbas menjadikan Buntet sebagai Pesantren perjuangan.

Sumber: NU Online
KH HASYIM ASY’ARI
25 March 2009 :  :  No Comment

Jombang l933. Terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar, KH Muhammad Hasyim Asy’ari
dengan KH Mohammad Cholil, gurunya. “Dulu saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya nyatakan
bahwa saya adalah murid Tuan,” kata Mbah Cholil, begitu kiai dari Madura ini populer dipanggil. Kiai Hasyim
menjawab, “Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan kata-kata yang demikian.
Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya, seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan
juga sekarang. Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya.” Tanpa merasa tersanjung,
Mbah Cholil tetap bersikeras dengan niatnya. “Keputusan dan kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat
ditawar dan diubah lagi, bahwa kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru
kepada Tuan,” katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kiai Hasyim tidak bisa berbuat lain selain
menerimanya sebagai santri.

Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan
kadang saling mendahului, karena hendak memasangkan ke kaki gurunya.

Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi.
Namun yang ditunjukkan Kiai Hasyim juga Kiai Cholil; adalah kemuliaan akhlak.

Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit
ditemukan pada para murid dan guru-guru kita.

Mbah Cholil adalah kiai yang sangat termasyhur pada jamannya. Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh
penting NU generasi awal pernah berguru kepada pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan,
Bangkalan Madura ini.

Sedangkan Kiai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja ia pendiri sekaligus pemimpin tertinggi
NU, yang punya pengaruh sangat kuat kepada kalangan ulama, tapi juga lantaran ketinggian ilmunya.
Terutama, kakek Abdurrahman Wachid (Gus Dur) ini terkenal mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap Ramadhan
Kiai Hasyim punya ‘tradisi’ menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim selama sebulan suntuk. Kajian itu
mampu menyedot perhatian ummat Islam.

Maka tak heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk mantan gurunya sendiri,
Kiai Cholil. Ribuan santri menimba ilmu kepada Kiai Hasyim. Setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit di
antara santri Kiai Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas. KH Abdul
Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH. R. As’ad Syamsul Arifin, Wahid Hasyim (anaknya) dan KH
Achmad Siddiq adalah beberapa ulama terkenal yang pernah menjadi santri Kiai Hasyim.

Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren paling besar dan paling penting di Jawa.
Zamakhsyari Dhofier, penulis buku ‘Tradisi Pesantren’, mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah sumber
ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila para pengikutnya
kemudian memberi gelar Hadratus-Syekh (tuan guru besar) kepada Kiai Hasyim.

Karena pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kiai Hasyim menjadi perhatian serius penjajah. Baik
Belanda maupun Jepang berusaha untuk merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada
tahun 1937, tapi ditolaknya. Justru Kiai Hasyim sempat membuat Belanda kelimpungan. Pertama, ia
memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Belanda kemudian sangat kerepotan,
karena perlawanan gigih melawan penjajah muncul di mana-mana. Kedua, Kiai Hasyim juga pernah
mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh
Kementerian Agama secara luas. Keruan saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena
banyak ummat Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya.
Namun sempat juga Kiai Hasyim mencicipi penjara 3 bulan pada l942. Tidak jelas alasan Jepang menangkap
Kiai Hasyim. Mungkin, karena sikapnya tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya, saking khidmatnya kepada
gurunya, ada beberapa santri minta ikut dipenjarakan bersama kiainya itu.

Mendirikan NU

Kemampuannya dalam ilmu hadits, diwarisi darigurunya, Syekh Mahfudh at-Tarmisi di Mekkah. Selama 7
tahun Hasyim berguru kepada Syekh ternama asal Pacitan, Jawa Timur itu. Disamping Syekh Mahfudh,
Hasyim juga menimba ilmu kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabau. Kepada dua guru besar itu pulalah
Kiai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi, antara KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan
sebenarnya tunggal guru.

Yang perlu ditekankan, saat Hasyim belajar di Mekkah, Muhammad Abduh sedang giat-giatnya melancarkan
gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Dan sebagaimana diketahui, buah pikiran Abduh itu sangat
mempengaruhi proses perjalanan ummat Islam selanjutnya. Sebagaimana telah dikupas Deliar Noer, ide-ide
reformasi Islam yang dianjurkan oleh Abduh yang dilancarkan dari Mesir, telah menarik perhatian santri-santri
Indonesia yang sedang belajar di Mekkah. Termasuk Hasyim tentu saja. Ide reformasi Abduh itu ialah

1. Mengajak ummat Islam untuk memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang
sebenarnya bukan berasal dari Islam.
2. Reformasi pendidikan Islam di tingkat universitas; dan
3. Mngkaji dan merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kehidupan
modern; dan
4. Mempertahankan Islam.

Usaha Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam untuk memenuhi kebutuhan kehidupan modern pertama
dimaksudkan agar supaya Islam dapat memainkan kembali tanggung jawab yang lebih besar dalam lapangan
sosial, politik dan pendidikan. Dengan alasan inilah Abduh melancarkan ide agar ummat Islam melepaskan diri
dari keterikatan mereka kepada pola pikiran para mazhab dan agar ummat Islam meninggalkan segala bentuk
praktek tarekat. Syekh Ahmad Khatib mendukung beberapa pemikiran Abduh, walaupun ia berbeda dalam
beberapa hal. Beberapa santri Syekh Khatib ketika kembali ke Indonesia ada yang mengembangkan ide-ide
Abduh itu.

Di antaranya adalah KH Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan Muhammadiyah. Tidak demikian dengan
Hasyim. Ia sebenarnya juga menerima ide-ide Abduh untuk menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia menolak
pikiran Abduh agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mazhab. Ia berkeyakinan bahwa adalah tidak
mungkin untuk memahami maksud yang sebenarnya dari ajaran-ajaran al-Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari
pendapat-pendapat para ulama besar yang tergabung dalam sistem mazhab. Untuk menafsirkan al-Qur’an dan
Hadist tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku para ulama mazhab hanya akan menghasilkan
pemutarbalikan saja dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya, demikian tulis Dhofier. Dalam hal tarekat,
Hasyim tidak menganggap bahwa semua bentuk praktek keagamaan waktu itu salah dan bertentangan dengan
ajaran Islam. Hanya, ia berpesan agar ummat Islam berhati-hati bila memasuki kehidupan tarekat. Dalam
perkembangannya, benturan pendapat antara golongan bermazhab yang diwakili kalangan pesantren (sering
disebut kelompok tradisional), dengan yang tidak bermazhab (diwakili Muhammadiyah dan Persis, sering
disebut kelompok modernis) itu memang kerap tidak terelakkan.

Puncaknya adalah saat Konggres Al Islam IV yang diselenggarakan di Bandung. Konggres itu diadakan dalam
rangka mencari masukan dari berbagai kelompok ummat Islam, untuk dibawa ke Konggres Ummat Islam di
Mekkah.

Karena aspirasi golongan tradisional tidak tertampung (di antaranya: tradisi bermazhab agar tetap diberi
kebebasan, terpeliharanya tempat-tempat penting, mulai makam Rasulullah sampai para sahabat) kelompok ini
kemudian membentuk Komite Hijaz. Komite yang dipelopori KH Abdullah Wahab Chasbullah ini bertugas
menyampaikan aspirasi kelompok tradisional kepada penguasa Arab Saudi. Atas restu Kiai Hasyim, Komite
inilah yang pada 31 Februari l926 menjelma jadi Nahdlatul Ulama (NU) yang artinya kebangkitan ulama.
Setelah NU berdiri posisi kelompok tradisional kian kuat. Terbukti, pada l937 ketika beberapa ormas Islam
membentuk badan federasi partai dan perhimpunan Islam Indonesia yang terkenal dengan sebuta MIAI (Majelis
Islam A’la Indonesia) Kiai Hasyim diminta jadi ketuanya. Ia juga pernah memimpin Masyumi, partai politik
Islam terbesar yang pernah ada di Indonesia.

Keturunan Raja Pajang

Lahir 24 Dzul Qaidah 1287 Hijriah atau 14 Februari l871 Masehi, Hasyim adalah putra ketiga dari 11
bersaudara. Dari garis ibu, Halimah, Hasyim masih terhitung keturunan ke delapan dari Jaka Tingkir alias
Sultan Pajang, raja Pajang. Namun keluarga Hasyim adalah keluarga kiai. Kakeknya, Kiai Utsman memimpin
Pesantren Nggedang, sebelah utara Jombang. Sedangkan ayahnya sendiri, Kiai Asy’ari, memimpin Pesantren
Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Dua orang inilah yang menanamkan nilai dan dasar-dasar Islam
secara kokoh kepada Hasyim.

Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan Hasyim memang sudah nampak. Di antara teman
sepermainannya, ia kerap tampil sebagai pemimpin. Dalam usia 13 tahun, ia sudah membantu ayahnya
mengajar santri-santri yang lebih besar ketimbang dirinya. Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan kedua orang
tuanya, berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Mula-mula ia menjadi santri di
Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke Pesantren Langitan, Tuban. Pindah lagi Pesantren
Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan berbagai ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan di Pesantren
Kademangan, Bangkalan di bawah asuhan Kiai Cholil.

Tak lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di pesantren yang diasuh Kiai Ya’qub
inilah, agaknya, Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan. Kiai Ya’qub dikenal
sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup lama –lima tahun– Hasyim
menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kiai Ya’qub sendiri kesengsem berat kepada pemuda yang
cerdas dan alim itu. Maka, Hasyim bukan saja mendapat ilmu, melainkan juga istri. Ia, yang baru berumur 21
tahun, dinikahkan dengan Chadidjah, salah satu puteri Kiai Ya’qub. Tidak lama setelah menikah, Hasyim
bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di sana, Hasyim kembali ke
tanah air, sesudah istri dan anaknya meninggal.

Tahun 1893, ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia menetap di Mekkah selama 7 tahun. Tahun l899
pulang ke Tanah Air, Hasyim mengajar di pesanten milik kakeknya, Kiai Usman. Tak lama kemudian ia
mendirikan Pesantren Tebuireng. Kiai Hasyim bukan saja kiai ternama, melainkan juga seorang petani dan
pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya Kiai Hasyim istirahat
tidak mengajar. Saat itulah ia memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga pergi Surabaya berdagang kuda, besi
dan menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, Kiai Hasyim menghidupi keluarga dan
pesantrennya. Dari perkawinannya dengan Mafiqah, putri Kiai Ilyas, Kiai Hasyim dikarunia 10 putra: Hannah,
Khoriyah, Aisyah, Ummu Abdul Hak (istri Kiai Idris), Abdul Wahid, Abdul Kholik, Abdul Karim, Ubaidillah,
Masrurah dan Muhammad Yusuf. Wafat 25 Juli 1947.

Atas jasa-jasanya pemerintah mengangkatnya sebagai Pahlawan Nasional.

Semoga Allah SWT mensucikan ruhnya dan menempatkannya di tempat mulia disisi-Nya. Amin.

[SUMBER: Majalah Hidayatullah]


SYAIKH NAWAWI AL BANTANI
25 March 2009 :  :  No Comment

SYAIKH NAWAWI AL BANTANI

oleh: Hery Sucipto


Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa’ala
Aalihie Washohbihie Waman Walaah amma ba’du…
Ada beberapa nama yang bisa disebut sebagai tokoh Kitab Kuning Indonesia. Sebut misalnya, Syekh Nawawi
Al-Bantani, Syekh Abdul Shamad Al-Palimbani, Syekh Yusuf Makasar, Syekh Syamsudin Sumatrani, Hamzah
Fansuri, Nuruddin Al-Raniri, Sheikh Ihsan Al-Jampesi, dan Syekh Muhammad Mahfudz Al-Tirmasi. Mereka
ini termasuk kelompok ulama yang diakui tidak hanya di kalangan pesantren di Indonesia, tapi juga di beberapa
universitas di luar negeri. Dari beberapa tokoh tadi, nama Syekh Nawawi Al-Bantani boleh disebut sebagai
tokoh utamanya. Ulama kelahiran Desa Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Serang, Banten, Jawa Barat, 1813 ini
layak menempati posisi itu karena hasil karyanya menjadi rujukan utama berbagai pesantren di tanah air,
bahkan di luar negeri.
Bernama lengkap Abu Abdullah al-Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar al-Tanari al-Bantani al-Jawi, Syekh
Nawawi sejak kecil telah diarahkan ayahnya, KH. Umar bin Arabi menjadi seorang ulama. Setelah mendidik
langsung putranya, KH. Umar yang sehari-harinya menjadi penghulu Kecamatan Tanara menyerahkan Nawawi
kepada KH. Sahal, ulama terkenal di Banten. Usai dari Banten, Nawawi melanjutkan pendidikannya kepada
ulama besar Purwakarta Kyai Yusuf.
Ketika berusia 15 tahun bersama dua orang saudaranya, Nawawi pergi ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah
haji. Tapi, setelah musim haji usai, ia tidak langsung kembali ke tanah air. Dorongan menuntut ilmu
menyebabkan ia bertahan di Kota Suci Mekkah untuk menimba ilmu kepada ulama-ulama besar kelahiran
Indonesia dan negeri lainnya, seperti Imam Masjidil Haram Syekh Ahmad Khatib Sambas, Abdul Ghani Bima,
Yusuf Sumbulaweni, Syekh Nahrawi, Syekh Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan, Muhammad Khatib
Hambali, dan Syekh Abdul Hamid Daghestani.
Tiga tahun lamanya ia menggali ilmu dari ulama-ulama Mekkah. Setelah merasa bekal ilmunya cukup,
segeralah ia kembali ke tanah air. Ia lalu mengajar dipesantren ayahnya. Namun, kondisi tanah air agaknya
tidak menguntungkan pengembangan ilmunya. Saat itu, hampir semua ulama Islam mendapat tekanan dari
penjajah Belanda. Keadaan itu tidak menyenangkan hati Nawawi. Lagi pula, keinginannya menuntut ilmu di
negeri yang telah menarik hatinya, begitu berkobar. Akhirnya, kembalilah Syekh Nawawi ke Tanah Suci.
Kecerdasan dan ketekunannya mengantarkan ia menjadi salah satu murid yang terpandang di Masjidil Haram.
Ketika Syekh Ahmad Khatib Sambas uzur menjadi Imam Masjidil Haram, Nawawi ditunjuk menggantikannya.
Sejak saat itulah ia menjadi Imam Masjidil Haram dengan panggilan Syekh Nawawi al-Jawi. Selain menjadi
Imam Masjid, ia juga mengajar dan menyelenggarakan halaqah (diskusi ilmiah) bagi murid-muridnya yang
datang dari berbagai belahan dunia.
Laporan Snouck Hurgronje, orientalis yang pernah mengunjungi Mekkah ditahun 1884-1885 menyebut, Syekh
Nawawi setiap harinya sejak pukul 07.30 hingga 12.00 memberikan tiga perkuliahan sesuai dengan kebutuhan
jumlah muridnya. Di antara muridnya yang berasal dari Indonesia adalah KH. Kholil Madura, K.H. Asnawi
Kudus, K.H. Tubagus Bakri, KH. Arsyad Thawil dari Banten dan KH. Hasyim Asy’ari dari Jombang. Mereka
inilah yang kemudian hari menjadi ulama-ulama terkenal di tanah air. Sejak 15 tahun sebelum kewafatannya,
Syekh Nawawi sangat giat dalam menulis buku. Akibatnya, ia tidak memiliki waktu lagi untuk mengajar. Ia
termasuk penulis yang produktif dalam melahirkan kitab-kitab mengenai berbagai persoalan agama. Paling
tidak 34 karya Syekh Nawawi tercatat dalam Dictionary of Arabic Printed Books karya Yusuf Alias Sarkis.
Beberapa kalangan lainnya malah menyebut karya-karyanya mencapai lebih dari 100 judul, meliputi berbagai
disiplin ilmu, seperti tauhid, ilmu kalam, sejarah, syari’ah, tafsir, dan lainnya. Di antara buku yang ditulisnya
dan mu’tabar (diakui secara luas–Red) seperti Tafsir Marah Labid, Atsimar al-Yaniah fi Ar-Riyadah al-Badiah,
Nurazh Sullam, al-Futuhat al-Madaniyah, Tafsir Al-Munir, Tanqih Al-Qoul, Fath Majid, Sullam Munajah,
Nihayah Zein, Salalim Al-Fudhala, Bidayah Al-Hidayah, Al-Ibriz Al-Daani, Bugyah Al-Awwam, Futuhus
Samad, dan al-Aqdhu Tsamin. Sebagian karyanya tersebut juga diterbitkan di Timur Tengah. Dengan kiprah
dan karya-karyanya ini, menempatkan dirinya sebagai Sayyid Ulama Hijaz hingga sekarang.
Dikenal sebagai ulama dan pemikir yang memiliki pandangan dan pendirian yang khas, Syekh Nawawi amat
konsisten dan berkomitmen kuat bagi perjuangan umat Islam. Namun demikian, dalam menghadapi
pemerintahan kolonial Hindia Belanda, ia memiliki caranya tersendiri. Syekh Nawawi misalnya, tidak agresif
dan reaksioner dalam menghadapi kaum penjajah. Tapi, itu tak berarti ia kooperatif dengan mereka. Syekh
Nawawi tetap menentang keras kerjasama dengan kolonial dalam bentuk apapun. Ia lebih suka memberikan
perhatian kepada dunia ilmu dan para anak didiknya serta aktivitas dalam rangka menegakkan kebenaran dan
agama Allah SWT.
Dalam bidang syari’at Islamiyah, Syekh Nawawi mendasarkan pandangannya pada dua sumber inti Islam,
Alquran dan Al-Hadis, selain juga ijma’ dan qiyas. Empat pijakan ini seperti yang dipakai pendiri Mazhab
Syafi’iyyah, yakni Imam Syafi’i. Mengenai ijtihad dan taklid (mengikuti salah satu ajaran), Syekh Nawawi
berpendapat, bahwa yang termasuk mujtahid (ahli ijtihad) mutlak adalah Imam Syafi’i, Hanafi, Hanbali, dan
Maliki. Bagi keempat ulama itu, katanya, haram bertaklid, sementara selain mereka wajib bertaklid kepada
salah satu keempat imam mazhab tersebut. Pandangannya ini mungkin agak berbeda dengan kebanyakan ulama
yang menilai pintu ijtihad tetaplah terbuka lebar sepanjang masa. Barangkali, bila dalam soal mazhab fikih,
memang keempat ulama itulah yang patut diikuti umat Islam kini.
Apapun, umat Islam patut bersyukur pernah memiliki ulama dan guru besar keagamaan seperti Syekh Nawawi
Al-Bantani. Kini, tahun haul (ulang tahun wafatnya) diperingati puluhan ribu orang di Tanara, Banten, setiap
tahunnya.
Syekh Nawawi al-Bantani wafat dalam usia 84 tahun di Syeib A’li, sebuah kawasan di pinggiran kota Mekkah,
pada 25 Syawal 1314H/1879 M.

oleh: Ust. H. Agus Zainal Arifin


Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa’ala
Aalihie Washohbihie Waman Walaah amma ba’du…
Syekh Muhammad bin Umar Nawawi Al-Bantani Al-Jawi, adalah ulama Indonesia bertaraf internasional, lahir
di Kampung Pesisir, Desa Tanara, Kecamatan Tanara, Serang, Banten, 1815. Sejak umur 15 tahun pergi ke
Makkah dan tinggal di sana tepatnya daerah Syi’ab Ali, hingga wafatnya 1897, dan dimakamkan di Ma’la.
Ketenaran beliau di Makkah membuatnya di juluki Sayyidul Ulama Hijaz (Pemimpin Ulama Hijaz). Daerah
Hijaz adalah daerah yang sejak 1925 dinamai Saudi Arabia (setelah dikudeta oleh Keluarga Saud).
Diantara ulama Indonesia yang sempat belajar ke Beliau adalah Syaikhona Khalil Bangkalan dan Hadratusy
Syekh KH Hasyim Asy’ari. Kitab-kitab karangan beliau banyak yang diterbitkan di Mesir, seringkali beliau
hanya mengirimkan manuscriptnya dan setelah itu tidak mempedulikan lagi bagaimana penerbit
menyebarluaskan hasil karyanya, termasuk hak cipta dan royaltinya. Selanjutnya kitab-kitab beliau itu menjadi
bagian dari kurikulum pendidikan agama di seluruh pesantren di Indonesia, bahkan Malaysia, Filipina,
Thailand, dan juga negara-negara di Timur Tengah. Begitu produktifnya beliau dalam menyusun kitab
(semuanya dalam bahasa Arab) hingga orang menjulukinya sebagai Imam Nawawi kedua. Imam Nawawi
pertama adalah yang membuat Syarah Shahih Muslim, Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Riyadlush Shalihin, dll.
Namun demikian panggilan beliau adalah Syekh Nawawi bukan Imam Nawawi.
Jumlah kitab beliau yang terkenal dan banyak dipelajari ada sekitar 22 kitab. Beliau pernah membuat tafsir Al-
Qur’an berjudul Mirah Labid yang berhasil membahas dengan rinci setiap ayat suci Al-Qur’an. Buku beliau
tentang etika berumah tangga, berjudul Uqudul Lijain (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia) telah menjadi
bacaan wajib para mempelai yang akan segera menikah. Kitab Nihayatuz Zain sangat tuntas membahas
berbagai masalah fiqih (syariat Islam). Sebuah kitab kecil tentang syariat Islam yang berjudul Sullam (Habib
Abdullah bin Husein bin Tahir Ba’alawi), diberinya Syarah (penjelasan rinci) dengan judul baru Mirqatus
Su’udit Tashdiq. Salah satu karya beliau dalam hal kitab hadits adalah Tanqihul Qoul, syarah Kitab Lubabul
Hadith (Imam Suyuthi). Kitab Hadits lain yang sangat terkenal adalah Nashaihul Ibad, yang beberapa tahun
yang lalu dibahas secara bergantian oleh Alm. KH Mudzakkir Ma’ruf dan KH Masrikhan (dari Masjid Jami
Mojokerto) dan disiarkan berbagai radio swasta di Jawa Timur. Kitab itu adalah syarah dari kitabnya Syekh
Ibnu Hajar Al-Asqalani.
Di antara karomah beliau adalah, saat menulis syarah kitab Bidayatul Hidayah (karya Imam Ghozali), lampu
minyak beliau padam, padahal saat itu sedang dalam perjalanan dengan sekedup onta (di jalan pun tetep
menulis, tidak seperti kita, melamun atau tidur). Beliau berdoa, bila kitab ini dianggap penting dan bermanfaat
buat kaum muslimin, mohon kepada Allah SWT memberikan sinar agar bisa melanjutkan menulis. Tiba-tiba
jempol kaki beliau mengeluarkan api, bersinar terang, dan beliau meneruskan menulis syarah itu hingga selesai.
Dan bekas api di jempol tadi membekas, hingga saat Pemerintah Hijaz memanggil beliau untuk dijadikan
tentara (karena badan beliau tegap), ternyata beliau ditolak, karena adanya bekas api di jempol tadi.
Karomah yang lain, nampak saat beberapa tahun setelah beliau wafat, makamnya akan dibongkar oleh
pemerintah untuk dipindahkan tulang belulangnya dan liang lahadnya akan ditumpuki jenazah lain
(sebagaimana lazim di Ma’la). Saat itulah para petugas mengurungkan niatnya, sebab jenazah Syekh Nawawi
(beserta kafannya) masih utuh walaupun sudah bertahun-tahun dikubur. Karena itu, bila pergi ke Makkah, Insya
Allah kita akan bisa menemukan makam beliau di Pemakaman Umum Ma’la. Banyak juga kaum Muslimin
yang mengunjungi rumah bekas peninggalan beliau di Serang, Banten.
Imam An-Nawawi: Biografi Singkat Ahli Hadist
20 March 2009 :  :  No Comment

Sejarah Singkat Imam An-Nawawi

Disusun Oleh: Ustadz Anas Burhanuddin, Lc.

Beliau adalah Yahya bin Syaraf bin Hasan bin Husain An-Nawawi Ad-Dimasyqiy, Abu Zakaria. Beliau
dilahirkan pada bulan Muharram tahun 631 H di Nawa, sebuah kampung di daerah Dimasyq (Damascus) yang
sekarang merupakan ibukota Suriah. Beliau dididik oleh ayah beliau yang terkenal dengan kesalehan dan
ketakwaan. Beliau mulai belajar di katatib (tempat belajar baca tulis untuk anak-anak) dan hafal Al-Quran
sebelum menginjak usia baligh.

Ketika berumur sepuluh tahun, Syaikh Yasin bin Yusuf Az-Zarkasyi melihatnya dipaksa bermain oleh teman-
teman sebayanya, namun ia menghindar, menolak dan menangis karena paksaan tersebut. Syaikh ini berkata
bahwa anak ini diharapkan akan menjadi orang paling pintar dan paling zuhud pada masanya dan bisa
memberikan manfaat yang besar kepada umat Islam. Perhatian ayah dan guru beliaupun menjadi semakin besar.

An-Nawawi tinggal di Nawa hingga berusia 18 tahun. Kemudian pada tahun 649 H ia memulai rihlah thalabul
ilminya ke Dimasyq dengan menghadiri halaqah–halaqah ilmiah yang diadakan oleh para ulama kota tersebut.
Ia tinggal di madrasah Ar-rawahiyyah didekat Al-Jami’ Al-Umawiy. Jadilah thalabul ilmi sebagai
kesibukannya yang utama. Disebutkan bahwa ia menghadiri dua belas halaqah dalam sehari. Ia rajin sekali dan
menghafal banyak hal. Iapun mengungguli teman-temannya yang lain. Ia berkata : “Dan aku menulis segala
yang berhubungan dengannya,baik penjelasan kalimat yang sulit maupun pemberian harakat pada kata-kata.
Dan Allah telah memberikan barakah dalam waktuku.” [Syadzaratudz Dzahab 5/355].

Diantara syaikh beliau: Abul Baqa’ An-Nablusiy, Abdul Aziz bin Muhammad Al-Ausiy, Abu Ishaq Al-
Muradiy, Abul Faraj Ibnu Qudamah Al-Maqdisiy, Ishaq bin Ahmad Al-Maghribiy dan Ibnul Firkah. Dan
diantara murid beliau: Ibnul ‘Aththar Asy-Syafi’iy, Abul Hajjaj Al-Mizziy, Ibnun Naqib Asy-Syafi’iy,Abul
‘Abbas Al-Isybiliy dan Ibnu ‘Abdil Hadi.

Pada tahun 651 H ia menunaikan ibadah haji bersama ayahnya, kemudian ia pergi ke Madinah dan menetap
disana selama satu setengah bulan lalu kembali ke Dimasyq. Pada tahun 665 H ia mengajar di Darul Hadits Al-
Asyrafiyyah (Dimasyq) dan menolak untuk mengambil gaji.

Beliau digelari Muhyiddin ( yang menghidupkan agama ) dan membenci gelar ini karena tawadhu’ beliau.
Disamping itu, agama islam adalah agama yang hidup dan kokoh, tidak memerlukan orang yang
menghidupkannya sehingga menjadi hujjah atas orang-orang yang meremehkannya atau meninggalkannya.
Diriwayatkan bahwa beliau berkata :”Aku tidak akan memaafkan orang yang menggelariku Muhyiddin”.

Imam An-Nawawi adalah seorang yang zuhud, wara’ dan bertaqwa. Beliau sederhana, qana’ah dan berwibawa.
Beliau menggunakan banyak waktu beliau dalam ketaatan. Sering tidak tidur malam untuk ibadah atau menulis.
Beliau juga menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, termasuk kepada para penguasa, dengan cara yang telah
digariskan Islam. Beliau menulis surat berisi nasehat untuk pemerintah dengan bahasa yang halus sekali. Suatu
ketika beliau dipanggil oleh raja Azh-Zhahir Bebris untuk menandatangani sebuah fatwa. Datanglah beliau
yang bertubuh kurus dan berpakaian sangat sederhana. Raja pun meremehkannya dan berkata:
”Tandatanganilah fatwa ini!!” Beliau membacanya dan menolak untuk membubuhkan tanda tangan. Raja
marah dan berkata: ”Kenapa !?” Beliau menjawab: ”Karena berisi kedhaliman yang nyata”. Raja semakin
marah dan berkata: ”Pecat ia dari semua jabatannya”. Para pembantu raja berkata: ”Ia tidak punya jabatan sama
sekali. Raja ingin membunuhnya tapi Allah menghalanginya. Raja ditanya: ”Kenapa tidak engkau bunuh dia
padahal sudah bersikap demikian kepada Tuan?” Rajapun menjawab: ”Demi Allah, aku sangat segan padanya”.

Imam Nawawi meninggalkan banyak sekali karya ilmiah yang terkenal. Jumlahnya sekitar empat puluh kitab,
diantaranya:
Dalam bidang hadits : Arba’in, Riyadhush Shalihin, Al- Minhaj (Syarah Shahih Muslim), At-Taqrib wat Taysir
fi Ma’rifat Sunan Al-Basyirin Nadzir.

Dalam bidang fiqih: Minhajuth Thalibin, Raudhatuth Thalibin, Al-Majmu’.

Dalam bidang bahasa: Tahdzibul Asma’ wal Lughat.

Dalam bidang akhlak: At-Tibyan fi Adab Hamalatil Qur’an, Bustanul Arifin, Al-Adzkar.

Kitab-kitab ini dikenal secara luas termasuk oleh orang awam dan memberikan manfaat yang besar sekali untuk
umat. Ini semua tidak lain karena taufik dari Allah Ta’ala, kemudian keikhlasan dan kesungguhan beliau dalam
berjuang.

Secara umum beliau termasuk salafi dan berpegang teguh pada manhaj ahlul hadits, tidak terjerumus dalam
filsafat dan berusaha meneladani generasi awal umat dan menulis bantahan untuk ahlul bid’ah yang menyelisihi
mereka. Namun beliau tidak ma’shum (terlepas dari kesalahan) dan jatuh dalam kesalahan yang banyak terjadi
pada uluma-ulama di zaman beliau yaitu kesalahan dalam masalah sifat-sifat Allah Subhanah. Beliau kadang
menta’wil dan kadang–kadang tafwidh. Orang yang memperhatikan kitab-kitab beliau akan mendapatkan
bahwa beliau bukanlah muhaqqiq dalam bab ini, tidak seperti dalam cabang ilmu yang lain. Dalam bab ini
beliau banyak mendasarkan pendapat beliau pada nukilan–nukilan dari para ulama tanpa mengomentarinya.

Adapun memvonis Imam Nawawi sebagai Asy’ari, itu tidak benar karena beliau banyak menyelisihi mereka
(orang-orang Asy’ari) dalam masalah-masalah aqidah yang lain seperti ziyadatul iman dan khalqu af’alil ‘ibad.
Karya-karya beliau tetap dianjurkan untuk dibaca dan dipelajari, dengan berhati-hati terhadap kesalahan-
kesalahan yang ada. Tidak boleh bersikap seperti kaum Haddadiyyun yang membakar kitab-kitab karya beliau
karena adanya beberapa kesalahan didalamnya.

Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa kerajaan Saudi ditanya tentang aqidah beliau dan menjawab: ”Lahu
aghlaath fish shifat” (Beliau memiliki beberapa kesalahan dalam bab sifat-sifat Allah).

Imam Nawawi meninggal pada 24 Rajab 676 H -rahimahullah wa ghafarahu-.

Catatan: Lihat biografi beliau di Tadzkiratul Huffazh 147, Thabaqat Asy-Syafi’iyyah Al-Kubra, Syadzaratudz
Dzahab 5/354

Sumber: http://muslim.or.id/
Imam Al Baihaqi : Biografi Singkat Ahli Hadist
20 March 2009 :  :  No Comment

Sejarah Singkat Imam Al Baihaqi

Imam Al Baihaqi, yang bernama lengkap Imam Al-Hafith Al-Mutaqin Abu Bakr Ahmed ibn Al-Hussein ibn
Ali ibn Musa Al Khusrujardi Al-Baihaqi, adalah seorang ulama besar dari Khurasan (desa kecil di pinggiran
kota Baihaq) dan penulis banyak buku terkenal.

Masa pendidikannya dijalani bersama sejumlah ulama terkenal dari berbagai negara, di antaranya Iman Abul
Hassan Muhammed ibn Al-Hussein Al Alawi, Abu Tahir Al-Ziyadi, Abu Abdullah Al-Hakim, penulis kitab
“Al Mustadrik of Sahih Muslim and Sahih Al-Bukhari”, Abu Abdur-Rahman Al-Sulami, Abu Bakr ibn Furik,
Abu Ali Al-Ruthabari of Khusran, Halal ibn Muhammed Al-Hafaar, dan Ibn Busran.

Para ulama itu tinggal di berbagai tempat terpencar. Oleh karenanya, Imam Baihaqi harus menempuh jarak
cukup jauh dan menghabiskan banyak waktu untuk bisa bermajelis dengan mereka. Namun, semua itu dijalani
dengan senang hati, demi memuaskan dahaga batinnya terhadap ilmu Islam.

As-Sabki menyatakan: “Imam Baihaqi merupakan satu di antara sekian banyak imam terkemuka dan memberi
petunjuk bagi umat Muslim. Dialah pula yang sering kita sebut sebagai ‘Tali Allah’ dan memiliki pengetahuan
luas mengenai ilmu agama, fikih serta penghapal hadits.”

Abdul-Ghaffar Al-Farsi Al-Naisabouri dalam bukunya “Thail Tareekh Naisabouri”: Abu Bakr Al-Baihaqi Al
Hafith, Al Usuli Din, menghabiskan waktunya untuk mempelajari beragam ilmu agama dan ilmu pengetahuan
lainnya. Dia belajar ilmu aqidah dan bepergian ke Irak serta Hijaz (Arab Saudi) kemudian banyak menulis
buku.

Imam Baihaqi juga mengumpulkan Hadits-hadits dari beragam sumber terpercaya. Pemimpin Islam
memintanya pindah dari Nihiya ke Naisabor untuk tujuan mendengarkan penjelasannya langsung dan
mengadakan bedah buku. Maka di tahun 441, para pemimpin Islam itu membentuk sebuah majelis guna
mendengarkan penjelasan mengenai buku ‘Al Ma’rifa’. Banyak imam terkemuka turut hadir.

Imam Baihaqi hidup ketika kekacauan sedang marak di berbagai negeri Islam. Saat itu kaum muslim terpecah-
belah berdasarkan politik, fikih, dan pemikiran. Antara kelompok yang satu dengan yang lain berusaha saling
menyalahkan dan menjatuhkan, sehingga mempermudah musuh dari luar, yakni bangsa Romawi, untuk
menceraiberaikan mereka. Dalam masa krisis ini, Imam Baihaqi hadir sebagai pribadi yang berkomitmen
terhadap ajaran agama. Dia memberikan teladan bagaimana seharusnya menerjemahkan ajaran Islam dalam
perilaku keseharian.

Sementara itu, dalam Wafiyatul A’yam, Ibnu Khalkan menulis, “Dia hidup zuhud, banyak beribadah, wara’,
dan mencontoh para salafus shalih.”

Beliau terkenal sebagai seorang yang memiliki kecintaan besar terhadap hadits dan fikih. Dari situlah kemudian
Imam Baihaqi populer sebagai pakar ilmu hadits dan fikih.

Setelah sekian lama menuntut ilmu kepada para ulama senior di berbagai negeri Islam, Imam Baihaqi kembali
lagi ke tempat asalnya, kota Baihaq. Di sana, dia mulai menyebarkan berbagai ilmu yang telah didapatnya
selama mengembara ke berbagai negeri Islam. Ia mulai banyak mengajar.

Selain mengajar, dia juga aktif menulis buku. Dia termasuk dalam deretan para penulis buku yang produktif.
Diperkirakan, buku-buku tulisannya mencapai seribu jilid. Tema yang dikajinya sangat beragam, mulai dari
akidah, hadits, fikih, hingga tarikh. Banyak ulama yang hadir lebih kemudian, yang mengapresiasi karya-
karyanya itu. Hal itu lantaran pembahasannya yang demikian luas dan mendalam.
Meski dipandang sebagai ahli hadits, namun banyak kalangan menilai Baihaqi tidak cukup mengenal karya-
karya hadits dari Tirmizi, Nasa’i, dan Ibn Majah. Dia juga tidak pernah berjumpa dengan buku hadits atau
Masnad Ahmad bin Hanbal (Imam Hambali). Dia menggunakan Mustadrak al-Hakim karya Imam al-Hakim
secara bebas.

Menurut ad-Dahabi, seorang ulama hadits, kajian Baihaqi dalam hadits tidak begitu besar, namun beliau mahir
meriwayatkan hadits karena benar-benar mengetahui sub-sub bagian hadits dan para tokohnya yang telah
muncul dalam isnad-isnad (sandaran atau rangkaian perawi hadits).

Di antara karya-karya Baihaqi, Kitab as-Sunnan al-Kubra yang terbit di Hyderabat, India, 10 jilid tahun 1344-
1355, menjadi karya paling terkenal. Buku ini pernah mendapat penghargaan tertinggi.

Dari pernyataan as-Subki, ahli fikih, usul fikih serta hadits, tidak ada yang lebih baik dari kitab ini, baik dalam
penyesuaian susunannya maupun mutunya.

Dalam karya tersebut ada catatan-catatan yang selalu ditambahkan mengenai nilai-nilai atau hal lainnya, seperti
hadits-hadits dan para ahli hadits. Selain itu, setiap jilid cetakan Hyderabat itu memuat indeks yang berharga
mengenai tokoh-tokoh dari tiga generasi pertama ahli-ahli hadits yang dijumpai dengan disertai petunjuk
periwayatannya.

Itulah di antara sumbangsih dan peninggalan berharga dari Imam Baihaqi. Dia mewariskan ilmu-ilmunya untuk
ditanamkan di dada para muridnya. Di samping telah pula mengabadikannya ke dalam berbagai bentuk karya
tulis yang hingga sekarang pun tidak usai-usai juga dikaji orang.

Imam terkemuka ini meninggal dunia di Nisabur, Iran, tanggal 10 Jumadilawal 458 H (9 April 1066). Dia lantas
dibawa ke tanah kelahirannya dan dimakamkan di sana. Penduduk kota Baihaq berpendapat, bahwa kota
merekalah yang lebih patut sebagai tempat peristirahatan terakhir seorang pecinta hadits dan fikih, seperti Imam
Baihaqi.

Sejumlah buku penting lain telah menjadi peninggalannya yang tidak ternilai. Antara lain buku “As-Sunnan Al
Kubra”, “Sheub Al Iman”, “Tha La’il An Nabuwwa”, “Al Asma wa As Sifat”, dan “Ma’rifat As Sunnan cal Al
Athaar”.

Sumber: http://www.kotasantri.com/
Imam Tirmidzi : Biografi Singkat Ahli Hadist
20 March 2009 :  :  No Comment

Sejarah Singkat Imam Tirmizi

Khazanah keilmuan Islam klasik mencatat sosok Imam Tirmizi sebagai salah satu periwayat dan ahli Hadits
utama, selain Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, dan sederet nama lainnya. Karyanya, Kitab Al
Jami’, atau biasa dikenal dengan kitab Jami’ Tirmizi, menjadi salah satu rujukan penting berkaitan masalah
Hadits dan ilmunya, serta termasuk dalam Kutubus Sittah (enam kitab pokok di bidang Hadits) dan
ensiklopedia Hadits terkenal. Sosok penuh tawadhu’ dan ahli ibadah ini tak lain adalah Imam Tirmizi.

Dilahirkan pada 279 H di kota Tirmiz, Imam Tirmizi bernama lengkap Imam Al-Hafiz Abu Isa Muhammad bin
Isa bin Saurah bin Musa bin Ad-Dahhak As-Sulami At-Tirmizi. Sejak kecil, Imam Tirmizi gemar belajar ilmu
dan mencari Hadits. Untuk keperluan inilah ia mengembara ke berbagai negeri, antara lain Hijaz, Irak,
Khurasan, dan lain-lain.

Dalam lawatannya itu, ia banyak mengunjungi ulama-ulama besar dan guru-guru Hadits untuk mendengar
Hadits dan kemudian dihafal dan dicatatnya dengan baik. Di antara gurunya adalah; Imam Bukhari, Imam
Muslim, dan Imam Abu Daud. Selain itu, ia juga belajar pada Imam Ishak bin Musa, Mahmud bin Gailan, Said
bin Abdurrahman, Ali bin Hajar, Ahmad bin Muni’, dan lainnya.

Perjalanan panjang pengembaraannya mencari ilmu, bertukar pikiran, dan mengumpulkan Hadits itu
mengantarkan dirinya sebagai ulama Hadits yang sangat disegani kalangan ulama semasanya. Kendati
demikian, takdir menggariskan lain. Daya upaya mulianya itu pula yang pada akhir kehidupannya mendapat
musibah kebutaan, dan beberapa tahun lamanya ia hidup sebagai tuna netra. Dalam kondisi seperti inilah, Imam
Tirmizi meninggal dunia. Ia wafat di Tirmiz pada usia 70 tahun.

Di kemudian hari, kumpulan Hadits dan ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama, di
antaranya; Makhul ibnul-Fadl, Muhammad bin Mahmud Anbar, Hammad bin Syakir, Abd bin Muhammad An-
Nasfiyyun, Al-Haisam bin Kulaib Asy-Syasyi, Ahmad bin Yusuf An-Nasafi, Abul-Abbas Muhammad bin
Mahbud Al-Mahbubi, yang meriwayatkan kitab Al-Jami’ daripadanya, dan lain-lain. Mereka ini pula murid-
murid Imam Tirmizi.

Banyak kalangan ulama dan ahli Hadits mengakui kekuatan dan kelebihan dalam diri Imam Tirmizi. Selain itu,
kesalehan dan ketakwaannya pun tak dapat diragukan lagi. Salah satu ulama itu, Ibnu Hibban Al-Busti, pakar
Hadits, mengakui kemampuan Tirmizi dalam menghafal, menghimpun, menyusun, dan meneliti Hadits,
sehingga menjadikan dirinya sumber pengambilan Hadits para ulama terkenal, termasuk Imam Bukhari.

Sementara kalangan ulama lainnya mengungkapkan, Imam Tirmizi adalah sosok yang dapat dipercaya,
amanah, dan sangat teliti. Kisah yang dikemukakan Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Tahzib At-Tahzibnya, dari
Ahmad bin Abdullah bin Abu Dawud, berikut adalah salah satu bukti kelebihan sang Imam :

Saya mendengar Abu Isa At-Tirmizi berkata, “Pada suatu waktu dalam perjalanan menuju Mekkah, dan ketika
itu saya telah menulis dua jilid buku berisi Hadits-hadits berasal dari seorang guru. Guru tersebut berpapasan
dengan kami. Lalu saya bertanya-tanya mengenai dia, mereka menjawab bahwa dialah orang yang
kumaksudkan itu. Kemudian saya menemuinya. Dia mengira bahwa ‘dua jilid kitab’ itu ada padaku. Ternyata
yang kubawa bukanlah dua jilid tersebut, melainkan dua jilid lain yang mirip dengannya. Ketika saya bertemu
dengannya, saya memohon kepadanya untuk mendengar Hadits, dan ia mengabulkan permohonan itu.
Kemudian ia membacakan Hadits yang telah dihafalnya. Di sela-sela pembacaan itu ia mencuri pandang dan
melihat bahwa kertas yang kupegang ternyata masih putih bersih tanpa ada tulisan sesuatu apa pun. Melihat
kenyataan itu, ia berkata, ‘Tidakkah engkau malu kepadaku?’ Lalu aku bercerita dan menjelaskan kepadanya
bahwa apa yang ia bacakan itu telah kuhafal semuanya. ‘Coba bacakan!’ perintahnya. Aku pun membacakan
seluruhnya secara beruntun. Ia bertanya lagi, ‘Apakah telah engkau hafalkan sebelum datang kepadaku?’ Aku
menjawab, ‘Tidak.’ Kemudian saya meminta lagi agar dia meriwayatkan Hadits yang lain. Ia pun kemudian
membacakan 40 Hadits yang tergolong Hadits-hadits sulit atau gharib lalu berkata, ‘Coba ulangi apa yang
kubacakan tadi!’ Lalu aku membacakannya dari pertama sampai selesai, dan ia berkomentar, ‘Aku belum
pernah melihat orang seperti engkau.’ ”

Selain dikenal sebagai ahli dan penghafal Hadits, mengetahui kelemahan-kelemahan dan perawi-perawinya,
Imam Tirmizi juga dikenal sebagai ahli fiqh dengan wawasan dan pandangan luas. Pandangan-pandangan
tentang fiqh itu misalnya, dapat ditemukan dalam kitabnya Al-Jami’.

Kajian-kajiannya mengenai persoalan fiqh ini pula mencerminkan dirinya sebagai ulama yang sangat
berpengalaman dan mengerti betul duduk permasalahan yang sebenarnya. Sebagai tamsil, penjelasannya
terhadap sebuah Hadits mengenai penangguhan membayar piutang yang dilakukan si berutang yang sudah
mampu, sebagai berikut: “Muhammad bin Basysyar bin Mahdi menceritakan kepada kami. Sufyan
menceritakan kepada kami, dari Abi Az-Zunad, dari Al-Arai dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, bersabda:
Penangguhan membayar utang (yang dilakukan oleh si berutang) yang mampu adalah suatu kezaliman. Apabila
seseorang di antara kamu dipindahkan utangnya kepada orang lain yang mampu membayar, hendaklah
pemindahan utang itu diterimanya.”

Bagaimana penjelasan sang Imam? Berikut ini komentar beliau, “Sebagian ahli ilmu berkata: ‘Apabila
seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang mampu membayar dan ia menerima pemindahan itu,
maka bebaslah orang yang memindahkan (muhil) itu, dan bagi orang yang dipindahkan piutangnya (muhtal)
tidak dibolehkan menuntut kepada muhil.’ Sementara sebagian ahli lainnya mengatakan: ‘Apabila harta
seseorang (muhtal) menjadi rugi disebabkan kepailitan muhal ‘alaih, maka baginya dibolehkan menuntut bayar
kepada orang pertama (muhil). Alasannya adalah, tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim.
Menurut Ibnu Ishak, perkataan ‘Tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim’ ini adalah ‘Apabila
seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang dikiranya mampu, namun ternyata orang lain itu
tidak mampu, maka tidak ada kerugian atas harta benda orang Muslim (yang dipindahkan utangnya) itu’.”
demikian penjelasan Imam Tirmizi.

Ini adalah satu contoh yang menunjukkan kepada kita, betapa cemerlangnya pemikiran fiqh Imam Tirmizi
dalam memahami nash-nash Hadits, serta betapa luas dan orisinal pandangannya itu. Hingga meninggalnya,
Imam Tirmizi telah menulis puluhan kitab, diantaranya: Kitab Al-Jami’, terkenal dengan sebutan Sunan at-
Tirmizi, Kitab Al-’Ilal, Kitab At-Tarikh, Kitab Asy-Syama’il an-Nabawiyyah, Kitab Az-Zuhd, dan Kitab Al-
Asma’ wal-Kuna.

Selain dikenal dengan sebutan Kitab Jami’ Tirmizi, kitab ini juga dikenal dengan nama Sunan At-Tirmizi. Di
kalangan muhaddisin (ahli Hadits), kitab ini menjadi rujukan utama, selain kitab-kitab hadits lainnya dari Imam
Bukhari maupun Imam Muslim.

Kitab Sunan Tirmizi dianggap sangat penting lantaran kitab ini betul-betul memperhatikan ta’lil (penentuan
nilai) Hadits dengan menyebutkan secara eksplisit Hadits yang sahih. Itu sebabnya, kitab ini menduduki
peringkat ke-4 dalam urutan Kutubus Sittah, atau menurut penulis buku Kasyf Az Zunuun, Hajji Khalfah (w.
1657), kedudukan Sunan Tirmizi berada pada tingkat ke-3 dalam hierarki Kutubus Sittah.

Tidak seperti kitab Hadits Imam Bukhari, atau yang ditulis Imam Muslim dan lainnya, kitab Sunan Tirmizi
dapat dipahami oleh siapa saja, yang memahami bahasa Arab tentunya. Dalam menyeleksi Hadits untuk
kitabnya itu, Imam Tirmizi bertolak pada dasar apakah Hadits itu dipakai oleh fuqaha (ahli fikih) sebagai hujjah
(dalil) atau tidak. Sebaliknya, Tirmizi tidak menyaring Hadits dari aspek Hadits itu dhaif atau tidak. Itu
sebabnya, ia selalu memberikan uraian tentang nilai Hadits, bahkan uraian perbandingan dan kesimpulannya.

Diriwayatkan, bahwa ia pernah berkata: “Semua Hadits yang terdapat dalam kitab ini adalah dapat diamalkan.”
Oleh karena itu, sebagian besar ahli ilmu menggunakannya (sebagai pegangan), kecuali dua Hadits, yaitu:
Pertama, yang artinya: “Sesungguhnya Rasulullah SAW menjamak shalat Dhuhur dengan Ashar, dan Maghrib
dengan Isya, tanpa adanya sebab takut dan dalam perjalanan.” Juga Hadits, “Jika ia peminum khamar, minum
lagi pada yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia.” Hadits mengenai hukuman untuk peminum khamar ini
adalah mansukh (terhapus) dan ijma’ ulama pun menunjukkan demikian. Sedangkan mengenai shalat jamak,
para ulama berbeda pendapat atau tidak sepakat untuk meninggalkannya. Sebagian besar ulama berpendapat
boleh hukumnya melakukan shalat jamak di rumah selama tidak dijadikan kebiasaan. Pendapat ini adalah
pendapat Ibn Sirin dan Asyab serta sebagian besar ahli fiqh dan ahli Hadits juga Ibn Munzir.

Beberapa keistimewaan Kitab Jami’ atau Sunan Tirmizi adalah, pencantuman riwayat dari sahabat lain
mengenai masalah yang dibahas dalam Hadits pokok (Hadits al Bab), baik isinya yang semakna maupun yang
berbeda, bahkan yang bertentangan sama sekali secara langsung maupun tidak langsung.

Selain itu, keistimewaan yang langsung kaitannya dengan ulum al Hadits (ilmu-ilmu Hadits) adalah masalah
ta’lil Hadits. Hadits-hadits yang dimuat disebutkan nilainya dengan jelas, bahkan nilai rawinya yang dianggap
penting. Kitab ini dinilai positif karena dapat digunakan untuk penerapan praktis kaidah-kaidah ilmu Hadits,
khususnya ta’lil Hadits tersebut.

Sumber: http://www.kotasantri.com
Imam Muslim : Biografi Singkat Ahli Hadist
20 March 2009 :  :  No Comment

Sejarah Singkat Imam Muslim

Imam Muslim dilahirkan di Naisabur pada tahun 202 H atau 817 M. Imam Muslim bernama lengkap Imam
Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al Qusyairi an Naisaburi. Naisabur, yang sekarang
ini termasuk wilayah Rusia, dalam sejarah Islam kala itu termasuk dalam sebutan Maa Wara’a an Nahr, artinya
daerah-daerah yang terletak di sekitar Sungai Jihun di Uzbekistan, Asia Tengah. Pada masa Dinasti Samanid,
Naisabur menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan selama lebih kurang 150 tahun. Seperti halnya Baghdad
di abad pertengahan, Naisabur, juga Bukhara (kota kelahiran Imam Bukhari) sebagai salah satu kota ilmu dan
pusat peradaban di kawasan Asia Tengah. Di sini pula bermukim banyak ulama besar.

Perhatian dan minat Imam Muslim terhadap ilmu hadits memang luar biasa. Sejak usia dini, beliau telah
berkonsentrasi mempelajari hadits. Pada tahun 218 H, beliau mulai belajar hadits, ketika usianya kurang dari
lima belas tahun. Beruntung, beliau dianugerahi kelebihan berupa ketajaman berfikir dan ingatan hafalan.
Ketika berusia sepuluh tahun, Imam Muslim sering datang dan berguru pada seorang ahli hadits, yaitu Imam
Ad Dakhili. Setahun kemudian, beliau mulai menghafal hadits Nabi SAW, dan mulai berani mengoreksi
kesalahan dari gurunya yang salah menyebutkan periwayatan hadits.

Selain kepada Ad Dakhili, Imam Muslim pun tak segan-segan bertanya kepada banyak ulama di berbagai
tempat dan negara. Berpetualang menjadi aktivitas rutin bagi dirinya untuk mencari silsilah dan urutan yang
benar sebuah hadits. Beliau, misalnya pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya. Dalam
lawatannya itu, Imam Muslim banyak bertemu dan mengunjungi ulama-ulama kenamaan untuk berguru hadits
kepada mereka. Di Khurasan, beliau berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray beliau
berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu ‘Ansan. Di Irak beliau belajar hadits kepada Ahmad bin
Hanbal dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz beliau belajar kepada Sa’id bin Mansur dan Abu Mas ‘Abuzar; di
Mesir beliau berguru kepada ‘Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya, dan ulama ahli hadits lainnya.

Bagi Imam Muslim, Baghdad memiliki arti tersendiri. Di kota inilah beliau berkali-kali berkunjung untuk
belajar kepada ulama-ulama ahli hadits. Kunjungannya yang terakhir beliau lakukan pada tahun 259 H. Ketika
Imam Bukhari datang ke Naisabur, Imam Muslim sering mendatanginya untuk bertukar pikiran sekaligus
berguru padanya. Saat itu, Imam Bukhari yang memang lebih senior, lebih menguasai ilmu hadits ketimbang
dirinya.

Ketika terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan Az Zihli, beliau bergabung kepada Bukhari. Sayang,
hal ini kemudian menjadi sebab terputusnya hubungan dirinya dengan Imam Az Zihli. Yang lebih
menyedihkan, hubungan tak baik itu merembet ke masalah ilmu, yakni dalam hal penghimpunan dan
periwayatan hadits-hadits Nabi SAW.

Imam Muslim dalam kitab shahihnya maupun kitab-kitab lainnya tidak memasukkan hadits-hadits yang
diterima dari Az Zihli, padahal beliau adalah gurunya. Hal serupa juga beliau lakukan terhadap Bukhari.
Tampaknya bagi Imam Muslim tak ada pilihan lain kecuali tidak memasukkan ke dalam Kitab Shahihnya
hadits-hadits yang diterima dari kedua gurunya itu. Kendatipun demikian, dirinya tetap mengakui mereka
sebagai gurunya.

Imam Muslim yang dikenal sangat tawadhu’ dan wara’ dalam ilmu itu telah meriwayatkan puluhan ribu hadits.
Menurut Muhammad Ajaj Al Khatib, guru besar hadits pada Universitas Damaskus, Syria, hadits yang
tercantum dalam karya besar Imam Muslim, Shahih Muslim, berjumlah 3.030 hadits tanpa pengulangan. Bila
dihitung dengan pengulangan, katanya, berjumlah sekitar 10.000 hadits. Sementara menurut Imam Al Khuli,
ulama besar asal Mesir, hadits yang terdapat dalam karya Muslim tersebut berjumlah 4.000 hadits tanpa
pengulangan, dan 7.275 dengan pengulangan. Jumlah hadits yang beliau tulis dalam Shahih Muslim itu diambil
dan disaring dari sekitar 300.000 hadits yang beliau ketahui. Untuk menyaring hadits-hadits tersebut, Imam
Muslim membutuhkan waktu 15 tahun.
Mengenai metode penyusunan hadits, Imam Muslim menerapkan prinsip-prinsip ilmu jarh, dan ta’dil, yakni
suatu ilmu yang digunakan untuk menilai cacat tidaknya suatu hadits. Beliau juga menggunakan sighat at
tahammul (metode-metode penerimaan riwayat), seperti haddasani (menyampaikan kepada saya), haddasana
(menyampaikan kepada kami), akhbarana (mengabarkan kepada saya), akhabarana (mengabarkan kepada
kami), dan qaalaa (ia berkata).

Imam Muslim menjadi orang kedua terbaik dalam masalah ilmu hadits (sanad, matan, kritik, dan seleksinya)
setelah Imam Bukhari. “Di dunia ini orang yang benar-benar ahli di bidang hadits hanya empat orang; salah
satu di antaranya adalah Imam Muslim,” komentar ulama besar Abu Quraisy Al Hafizh. Maksud ungkapan itu
tak lain adalah ahli-ahli hadits terkemuka yang hidup di masa Abu Quraisy.

Reputasinya mengikuti gurunya Imam Bukhari

Dalam khazanah ilmu-ilmu Islam, khususnya dalam bidang ilmu hadits, nama Imam Muslim begitu
monumental, setara dengan gurunya, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhary al-Ju’fy atau lebih
dikenal dengan nama Imam Bukhari. Sejarah Islam sangat berhutang jasa kepadanya, karena prestasinya di
bidang ilmu hadits, serta karya ilmiahnya yang luar biasa sebagai rujukan ajaran Islam, setelah al-Qur’an. Dua
kitab hadits shahih karya Bukhari dan Muslim sangat berperan dalam standarisasi bagi akurasi akidah, syariah
dan tasawwuf dalam dunia Islam.

Melalui karyanya yang sangat berharga, al-Musnad ash-Shahih, atau al-Jami’ ash-Shahih, selain menempati
urutan kedua setelah Shahih Bukhari, kitab tersebut memenuhi khazanah pustaka dunia Islam, dan di Indonesia,
khususnya di pesantren-pesantren menjadi kurikulum wajib bagi para santri dan mahasiswa.

Pengembaraan (rihlah) dalam pencarian hadits merupakan kekuatan tersendiri, dan amat penting bagi
perkembangan intelektualnya. Dalam pengembaraan ini (tahun 220 H), Imam Muslim bertemu dengan guru-
gurunya, dimana pertama kali bertemu dengan Qa’nabi dan yang lainnya, ketika menuju kota Makkah dalam
rangka perjalanan haji. Perjalanan intelektual lebih serius, barangkali dilakukan tahun 230 H. Dari satu wilayah
ke wilayah lainnya, misalnya menuju ke Irak, Syria, Hijaz dan Mesir.

Waktu yang cukup lama dihabiskan bersama gurunya al-Bukhari. Kepada guru besarnya ini, Imam Muslim
menaruh hormat yang luar biasa. “Biarkan aku mencium kakimu, hai Imam Muhadditsin dan dokter hadits,”
pintanya, ketika di sebuah pertemuan antara Bukhari dan Muslim.

Disamping itu, Imam Muslim memang dikenal sebagai tokoh yang sangat ramah, sebagaimana al-Bukhari yang
memiliki kehalusan budi bahasa, Imam Muslim juga memiliki reputasi, yang kemudian populer namanya —
sebagaimana disebut oleh Adz-Dzahabi — dengan sebutan muhsin dari Naisabur.

Maslamah bin Qasim menegaskan, “Muslim adalah tsaqqat, agung derajatnya dan merupakan salah seorang
pemuka (Imam).” Senada pula, ungkapan ahli hadits dan fuqaha’ besar, Imam An-Nawawi, “Para ulama
sepakat atas kebesarannya, keimanan, ketinggian martabat, kecerdasan dan kepeloporannya dalam dunia
hadits.”

Kitab Shahih Muslim

Imam Muslim memiliki jumlah karya yang cukup penting dan banyak. Namun yang paling utama adalah
karyanya, Shahih Muslim. Dibanding kitab-kitab hadits shahih lainnya, kitab Shahih Muslim memiliki
karakteristik tersendiri, dimana Imam Muslim banyak memberikan perhatian pada ekstraksi yang resmi. Beliau
bahkan tidak mencantumkan judul-judul setiap akhir dari satu pokok bahasan. Disamping itu, perhatiannya
lebih diarahkan pada mutaba’at dan syawahid.

Walaupun dia memiliki nilai beda dalam metode penyusunan kitab hadits, Imam Muslim sekali-kali tidak
bermaksud mengungkap fiqih hadits, namun mengemukakan ilmu-ilmu yang bersanad. Karena beliau
meriwayatkan setiap hadits di tempat yang paling layak dengan menghimpun jalur-jalur sanadnya di tempat
tersebut. Sementara al-Bukhari memotong-motong suatu hadits di beberapa tempat dan pada setiap tempat
beliau sebutkan lagi sanadnya. Sebagai murid yang shalih, beliau sangat menghormati gurunya itu, sehingga
beliau menghindari orang-orang yang berselisih pendapat dengan al-Bukhari.

Kitab Shahih Muslim memang dinilai kalangan muhaditsun berada setingkat di bawah al-Bukhari. Namun ada
sejumlah ulama yang menilai bahwa kitab Imam Muslim lebih unggul ketimbang kitabnya al-Bukhari.

Sebenarnya kitab Shahih Muslim dipublikasikan untuk Abu Zur’ah, salah seorang kritikus hadits terbesar, yang
biasanya memberikan sejumlah catatan mengenai cacatnya hadits. Lantas, Imam Muslim kemudian mengoreksi
cacat tersebut dengan membuangnya tanpa argumentasi. Karena Imam Muslim tidak pernah mau membukukan
hadits-hadits yang hanya berdasarkan kriteria pribadi semata, dan hanya meriwayatkan hadits yang diterima
oleh kalangan ulama. Sehingga hadits-hadits Muslim terasa sangat populis.

Berdasarkan hitungan Muhammad Fuad Abdul Baqi, kitab Shahih Muslim memuat 3.033 hadits. Metode
penghitungan ini tidak didasarkan pada sistem isnad sebagaimana dilakukan ahli hadits, namun beliau
mendasarkannya pada subyek-subyek. Artinya jika didasarkan isnad, jumlahnya bisa berlipat ganda.

Antara al-Bukhari dan Muslim

Imam Muslim, sebagaimana dikatakan oleh Prof. Mustafa ‘Adzami dalam bukunya Studies in Hadith
Methodology and Literature, mengambil keuntungan dari Shahih Bukhari, kemudian menyusun karyanya
sendiri, yang tentu saja secara metodologis dipengaruhi karya al-Bukhari.

Antara al-Bukhari dan Muslim, dalam dunia hadits memiliki kesetaraan dalam keshahihan hadits, walaupun
hadits al-Bukhari dinilai memiliki keunggulan setingkat. Namun, kedua kitab hadits tersebut mendapatkan gelar
sebagai as-Shahihain.

Sebenarnya para ulama berbeda pendapat mana yang lebih unggul antara Shahih Muslim dengan Shahih
Bukhari. Jumhur Muhadditsun berpendapat, Shahihul Bukhari lebih unggul, sedangkan sejumlah ulama
Marokko dan yang lain lebih mengunggulkan Shahih Muslim. Hal ini menunjukkan, sebenarnya perbedaannya
sangatlah sedikit, dan walaupun itu terjadi, hanyalah pada sistematika penulisannya saja, serta perbandingan
antara tema dan isinya.

Al-Hafizh Ibnu Hajar mengulas kelebihan Shahih Bukhari atas Shahih Muslim, antara lain, karena Al-Bukhari
mensyaratkan kepastian bertemunya dua perawi yang secara struktural sebagai guru dan murid dalam hadits
Mu’an’an; agar dapat dihukumi bahwa sanadnya bersambung. Sementara Muslim menganggap cukup dengan
“kemungkinan” bertemunya kedua rawi tersebut dengan tidak adanya tadlis.

Al-Bukhari mentakhrij hadits yang diterima para perawi tsaqqat derajat utama dari segi hafalan dan
keteguhannya. Walaupun juga mengeluarkan hadits dari rawi derajat berikutnya dengan sangat selektif.
Sementara Muslim, lebih banyak pada rawi derajat kedua dibanding Bukhari. Disamping itu kritik yang
ditujukan kepada perawi jalur Muslim lebih banyak dibanding kepada al-Bukhari.

Sementara pendapat yang berpihak pada keunggulan Shahih Muslim beralasan — sebagaimana dijelaskan Ibnu
Hajar —, bahwa Muslim lebih berhati-hati dalam menyusun kata-kata dan redaksinya, karena menyusunnya di
negeri sendiri dengan berbagai sumber di masa kehidupan guru-gurunya. Beliau juga tidak membuat
kesimpulan dengan memberi judul bab sebagaimana Bukhari lakukan. Dan sejumlah alasan lainnya.

Namun prinsipnya, tidak semua hadits Bukhari lebih shahih ketimbang hadits Muslim dan sebaliknya. Hanya
pada umumnya keshahihan hadits riwayat Bukhari itu lebih tinggi derajatnya daripada keshahihan hadits dalam
Shahih Muslim.

Karya-karya Imam Muslim

Imam Muslim berhasil menghimpun karya-karyanya, antara lain seperti: 1) Al-Asma’ wal-Kuna, 2) Irfadus
Syamiyyin, 3) Al-Arqaam, 4) Al-Intifa bi Juludis Siba’, 5) Auhamul Muhadditsin, 7)At-Tarikh, At-Tamyiz,
9) Al-Jami’, 10) Hadits Amr bin Syu’aib, 11) Rijalul ‘Urwah, 12)Sawalatuh Ahmad bin Hanbal, 13) Thabaqat,
14) Al-I’lal, 15) Al-Mukhadhramin, 16) Al-Musnad al-Kabir, 17) Masyayikh ats-Tsawri, 18) Masyayikh
Syu’bah, 19) Masyayikh Malik, 20) Al-Wuhdan, 21) As-Shahih al-Masnad.

Kitab-kitab nomor 6, 20, dan 21 telah dicetak, sementara nomor 1, 11, dan 13 masih dalam bentuk manuskrip.
Sedangkan karyanya yang monumental adalah Shahih dari judul singkatnya, yang sebenarnya berjudul, Al-
Musnad as-Shahih, al-Mukhtashar minas Sunan, bin-Naqli al-’Adl ‘anil ‘Adl ‘an Rasulillah.

Wafatnya Imam Muslim

Imam Muslim wafat pada Ahad sore, pada tanggal 24 Rajab 261 H. Semoga Allah SWT merahmatinya,
mengampuni segala kesalahannya, serta menggolongkannya ke dalam golongan orang-orang yang sholeh.
Amiin.

Sumber: - http://members.tripod.com

- http://www.kotasantri.com
Imam Hanbali : Biografi Singkat Ahli Hadist
20 March 2009 :  :  No Comment

Sejarah Singkat Imam Hanbali

“Ia murid paling cendekia yang pernah saya jumpai selama di Baghdad. Sikapnya menghadapi sidang
pengadilan dan menanggung petaka akibat tekanan khalifah Abbasiyyah selama 15 tahun karena menolak
doktrin resmi Mu’tazilah merupakan saksi hidup watak agung dan kegigihan yang mengabdikannya sebagai
tokoh besar sepanjang masa.” Penilaian ini diungkapkan oleh Imam Syafi’i, yang tak lain adalah guru Imam
Hanbali. Menurut Syafi’i, perjuangan mempertahankan keyakinan yang tak sesuai dengan pemikiran seseorang,
selalu menghadapi risiko antara hidup dan mati. Dan Imam Hanbali membuktikan hal itu.

Imam Hanbali yang dikenal ahli dan pakar hadits ini memang sangat memberikan perhatian besar pada ilmu
yang satu ini. Kegigihan dan kesungguhannya telah melahirkan banyak ulama dan perawi hadits terkenal
semisal Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Daud yang tak lain buah didikannya. Karya-karya
mereka seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim atau Sunan Abu Daud menjadi kitab hadits standar yang
menjadi rujukan umat Islam di seluruh dunia dalam memahami ajaran Islam yang disampaikan Rasulullah
SAW lewat hadits-haditsnya.

Kepakaran Imam Hanbali dalam ilmu hadits memang tak diragukan lagi sehingga mengundang banyak tokoh
ulama berguru kepadanya. Menurut putra sulungnya, Abdullah bin Ahmad, Imam Hanbali hafal hingga 700.000
hadits di luar kepala.

Hadits sejumlah itu, diseleksi secara ketat dan ditulisnya kembali dalam kitab karyanya Al Musnad. Dalam
kitab tersebut, hanya 40.000 hadits yang dituliskan kembali dengan susunan berdasarkan tertib nama sahabat
yang meriwayatkan. Umumnya hadits dalam kitab ini berderajat sahih dan hanya sedikit yang berderajat dhaif.
Berdasar penelitian Abdul Aziz al Khuli, seorang ulama bahasa yang banyak menulis biografi tokoh sahabat,
sebenarnya hadits yang termuat dalam Al Musnad berjumlah 30 ribu karena ada sekitar 10 ribu hadits yang
berulang.

Kepandaian Imam Hanbali dalam ilmu hadits, bukan datang begitu saja. Tokoh kelahiran Baghdad, 780 M
(wafat 855 M) ini, dikenal sebagai ulama yang gigih mendalami ilmu. Lahir dengan nama Ahmad bin
Muhammad bin Hanbal, Imam Hanbali dibesarkan oleh ibunya, karena sang ayah meninggal dalam usia muda.
Hingga usia 16 tahun, Hanbali belajar Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama lain kepada ulama-ulama Baghdad.

Setelah itu, ia mengunjungi para ulama terkenal di berbagai tempat seperti Kufah, Basrah, Syam, Yaman,
Mekkah dan Madinah. Beberapa gurunya antara lain Hammad bin Khalid, Ismail bil Aliyyah, Muzaffar bin
Mudrik, Walin bin Muslim, dan Musa bin Tariq. Dari merekalah Hanbali muda mendalami fikih, hadits, tafsir,
kalam, dan bahasa. Karena kecerdasan dan ketekunannya, Hanbali dapat menyerap semua pelajaran dengan
baik.

Kecintaannya kepada ilmu begitu luar biasa. Karenanya, setiap kali mendengar ada ulama terkenal di suatu
tempat, ia rela menempuh perjalanan jauh dan waktu lama hanya untuk menimba ilmu dari sang ulama.
Kecintaan kepada ilmu jua yang menjadikan Hanbali rela tak menikah dalam usia muda. Ia baru menikah
setelah usia 40 tahun.

Pertama kali, ia menikah dengan Aisyah binti Fadl dan dikaruniai seorang putra bernama Saleh. Ketika Aisyah
meninggal, ia menikah kembali dengan Raihanah dan dikarunia putra bernama Abdullah. Istri keduanya pun
meninggal dan Hanbali menikah untuk terakhir kalinya dengan seorang jariyah, hamba sahaya wanita bernama
Husinah. Darinya ia memperoleh lima orang anak yaitu Zainab, Hasan, Husain, Muhammad, dan Said.

Tak hanya pandai, Imam Hanbali dikenal tekun beribadah dan dermawan. Imam Ibrahim bin Hani, salah
seorang ulama terkenal yang jadi sahabatnya menjadi saksi akan kezuhudan Imam Hanbali. ”Hampir setiap hari
ia berpuasa dan tidurnya pun sedikit sekali di waktu malam. Ia lebih banyak shalat malam dan witir hingga
Shubuh tiba,” katanya.
Mengenai kedermawanannya, Imam Yahya bin Hilal, salah seorang ulama ahli fikih, berkata, ”Aku pernah
datang kepada Imam Hanbali, lalu aku diberinya uang sebanyak empat dirham sambil berkata, ‘Ini adalah
rezeki yang kuperoleh hari ini dan semuanya kuberikan kepadamu.”’

Imam Hanbali juga dikenal teguh memegang pendirian. Di masa hidupnya, aliran Mu’tazilah tengah berjaya.
Dukungan Khalifah Al Ma’mun dari Dinasti Abbasiyah yang menjadikan aliran ini sebagai madzhab resmi
negara membuat kalangan ulama berang. Salah satu ajaran yang dipaksakan penganut Mu’tazilah adalah paham
Al-Qur’an merupakan makhluk atau ciptaan Tuhan. Banyak umat Islam yang menolak pandangan itu.

Imam Hanbali termasuk yang menentang paham tersebut. Akibatnya, ia pun dipenjara dan disiksa oleh
Mu’tasim, putra Al Ma’mun. Setiap hari ia didera dan dipukul. Siksaan ini berlangsung hingga Al Wasiq
menggantikan ayahnya, Mu’tasim. Siksaan tersebut makin meneguhkan sikap Hanbali menentang paham sesat
itu. Sikapnya itu membuat umat makin bersimpati kepadanya sehingga pengikutnya makin banyak kendati ia
mendekam dalam penjara.

Sepeninggal Al Wasiq, Imam Hanbali menghirup udara kebebasan. Al Mutawakkil, sang pengganti,
membebaskan Imam Hanbali dan memuliakannya. Namanya pun makin terkenal dan banyaklah ulama dari
berbagai pelosok belajar kepadanya. Para ulama yang belajar kepadanya antara lain Imam Hasan bin Musa,
Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Abu Zur’ah Ad Dimasyqi, Imam Abu Zuhrah, Imam
Ibnu Abi, dan Imam Abu Bakar Al Asram.

Sebagaimana ketiga Imam lainnya; Syafi’i, Hanafi dan Maliki, oleh para muridnya, ajaran-ajaran Imam Ahmad
ibn Hanbali dijadikan patokan dalam amaliyah (praktik) ritual, khususnya dalam masalah fikih. Sebagai pendiri
madzhab tersebut, Imam Hanbali memberikan perhatian khusus pada masalah ritual keagamaan, terutama yang
bersumber pada Sunnah.

Menurut Ibnu Qayyim, salah seorang pengikut madzhab Hanbali, ada lima landasan pokok yang dijadikan dasar
penetapan hukum dan fatwa madzhab Hanbali. Pertama, nash (Al-Qur’an dan Sunnah). Jika ia menemukan
nash, maka ia akan berfatwa dengan Al-Qur’an dan Sunnah dan tidak berpaling pada sumber lainnya. Kedua,
fatwa sahabat yang diketahui tidak ada yang menentangnya.

Ketiga, jika para sahabat berbeda pendapat, ia akan memilih pendapat yang dinilainya lebih sesuai dengan Al-
Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Jika ternyata pendapat yang ada tidak jelas persesuaiannya dengan Al-Qur’an
dan Sunnah, maka ia tidak akan menetapkan salah satunya, tetapi mengambil sikap diam atau meriwayatkan
kedua-duanya.

Keempat, mengambil hadits mursal (hadits yang dalam sanadnya tidak disebutkan nama perawinya), dan hadits
dhaif (hadits yang lemah, namun bukan ‘maudu’, atau hadits lemah). Dalam hal ini, hadits dhaif didahulukan
daripada qias. Dan kelima adalah qias, atau analogi. Qias digunakan bila tidak ditemukan dasar hukum dari
keempat sumber di atas.

Pada awalnya madzhab Hanbali hanya berkembang di Baghdad. Baru pada abad ke-6 H, madzhab ini
berkembang di Mesir. Perkembangan pesat terjadi pada abad ke-11 dan ke-12 H, berkat usaha Ibnu Taimiyyah
(w. 728 H) dan Ibnu Qayyim (w. 751 H). Kedua tokoh inilah yang membuka mata banyak orang untuk
memberikan perhatian pada fikih madzhab Hanbali, khususnya dalam bidang muamalah. Kini, madzhab
tersebut banyak dianut umat Islam di kawasan Timur Tengah.

Hasil karya Imam Hanbali tersebar luas di berbagai lembaga pendidikan keagamaan. Beberapa kitab yang
sampai kini jadi kajian antara lain Tafsir Al-Qur’an, An Nasikh wal Mansukh, Jawaban Al-Qur’an, At Tarikh,
Taat ar Rasul, dan Al Wara. Kitabnya yang paling terkenal adalah Musnad Ahmad bin Hanbal.

Sumber: http://www.kotasantri.com/

——————————————————————————–
Sejarah Singkat Imam Hanbali
(Dari muslim.or.id)

Nasab dan Kelahirannya


Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin
Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzuhl bin Tsa‘labah adz-Dzuhli
asy-Syaibaniy. Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi pada diri Nizar bin Ma‘d bin ‘Adnan. Yang berarti
bertemu nasab pula dengan nabi Ibrahim.

Ketika beliau masih dalam kandungan, orang tua beliau pindah dari kota Marwa, tempat tinggal sang ayah, ke
kota Baghdad. Di kota itu beliau dilahirkan, tepatnya pada bulan Rabi‘ul Awwal -menurut pendapat yang
paling masyhur- tahun 164 H.

Ayah beliau, Muhammad, meninggal dalam usia muda, 30 tahun, ketika beliau baru berumur tiga tahun. Kakek
beliau, Hanbal, berpindah ke wilayah Kharasan dan menjadi wali kota Sarkhas pada masa pemeritahan Bani
Umawiyyah, kemudian bergabung ke dalam barisan pendukung Bani ‘Abbasiyah dan karenanya ikut
merasakan penyiksaan dari Bani Umawiyyah. Disebutkan bahwa dia dahulunya adalah seorang panglima.

Masa Menuntut Ilmu


Imam Ahmad tumbuh dewasa sebagai seorang anak yatim. Ibunya, Shafiyyah binti Maimunah binti ‘Abdul
Malik asy-Syaibaniy, berperan penuh dalam mendidik dan membesarkan beliau. Untungnya, sang ayah
meninggalkan untuk mereka dua buah rumah di kota Baghdad. Yang sebuah mereka tempati sendiri, sedangkan
yang sebuah lagi mereka sewakan dengan harga yang sangat murah. Dalam hal ini, keadaan beliau sama dengan
keadaan syaikhnya, Imam Syafi‘i, yang yatim dan miskin, tetapi tetap mempunyai semangat yang tinggi.
Keduanya juga memiliki ibu yang mampu mengantar mereka kepada kemajuan dan kemuliaan.

Beliau mendapatkan pendidikannya yang pertama di kota Baghdad. Saat itu, kota Bagdad telah menjadi pusat
peradaban dunia Islam, yang penuh dengan manusia yang berbeda asalnya dan beragam kebudayaannya, serta
penuh dengan beragam jenis ilmu pengetahuan. Di sana tinggal para qari’, ahli hadits, para sufi, ahli bahasa,
filosof, dan sebagainya.

Setamatnya menghafal Alquran dan mempelajari ilmu-ilmu bahasa Arab di al-Kuttab saat berumur 14 tahun,
beliau melanjutkan pendidikannya ke ad-Diwan. Beliau terus menuntut ilmu dengan penuh azzam yang tinggi
dan tidak mudah goyah. Sang ibu banyak membimbing dan memberi beliau dorongan semangat. Tidak lupa dia
mengingatkan beliau agar tetap memperhatikan keadaan diri sendiri, terutama dalam masalah kesehatan.
Tentang hal itu beliau pernah bercerita, “Terkadang aku ingin segera pergi pagi-pagi sekali mengambil
(periwayatan) hadits, tetapi Ibu segera mengambil pakaianku dan berkata, ‘Bersabarlah dulu. Tunggu sampai
adzan berkumandang atau setelah orang-orang selesai shalat subuh.’”

Perhatian beliau saat itu memang tengah tertuju kepada keinginan mengambil hadits dari para perawinya.
Beliau mengatakan bahwa orang pertama yang darinya beliau mengambil hadits adalah al-Qadhi Abu Yusuf,
murid/rekan Imam Abu Hanifah.

Imam Ahmad tertarik untuk menulis hadits pada tahun 179 saat berumur 16 tahun. Beliau terus berada di kota
Baghdad mengambil hadits dari syaikh-syaikh hadits kota itu hingga tahun 186. Beliau melakukan mulazamah
kepada syaikhnya, Hasyim bin Basyir bin Abu Hazim al-Wasithiy hingga syaikhnya tersebut wafat tahun 183.
Disebutkan oleh putra beliau bahwa beliau mengambil hadits dari Hasyim sekitar tiga ratus ribu hadits lebih.

Pada tahun 186, beliau mulai melakukan perjalanan (mencari hadits) ke Bashrah lalu ke negeri Hijaz, Yaman,
dan selainnya. Tokoh yang paling menonjol yang beliau temui dan mengambil ilmu darinya selama
perjalanannya ke Hijaz dan selama tinggal di sana adalah Imam Syafi‘i. Beliau banyak mengambil hadits dan
faedah ilmu darinya. Imam Syafi‘i sendiri amat memuliakan diri beliau dan terkadang menjadikan beliau
rujukan dalam mengenal keshahihan sebuah hadits. Ulama lain yang menjadi sumber beliau mengambil ilmu
adalah Sufyan bin ‘Uyainah, Ismail bin ‘Ulayyah, Waki‘ bin al-Jarrah, Yahya al-Qaththan, Yazid bin Harun,
dan lain-lain. Beliau berkata, “Saya tidak sempat bertemu dengan Imam Malik, tetapi Allah menggantikannya
untukku dengan Sufyan bin ‘Uyainah. Dan saya tidak sempat pula bertemu dengan Hammad bin Zaid, tetapi
Allah menggantikannya dengan Ismail bin ‘Ulayyah.”

Demikianlah, beliau amat menekuni pencatatan hadits, dan ketekunannya itu menyibukkannya dari hal-hal lain
sampai-sampai dalam hal berumah tangga. Beliau baru menikah setelah berumur 40 tahun. Ada orang yang
berkata kepada beliau, “Wahai Abu Abdillah, Anda telah mencapai semua ini. Anda telah menjadi imam kaum
muslimin.” Beliau menjawab, “Bersama mahbarah (tempat tinta) hingga ke maqbarah (kubur). Aku akan tetap
menuntut ilmu sampai aku masuk liang kubur.” Dan memang senantiasa seperti itulah keadaan beliau:
menekuni hadits, memberi fatwa, dan kegiatan-kegiatan lain yang memberi manfaat kepada kaum muslimin.
Sementara itu, murid-murid beliau berkumpul di sekitarnya, mengambil darinya (ilmu) hadits, fiqih, dan
lainnya. Ada banyak ulama yang pernah mengambil ilmu dari beliau, di antaranya kedua putra beliau, Abdullah
dan Shalih, Abu Zur ‘ah, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Atsram, dan lain-lain.

Beliau menyusun kitabnya yang terkenal, al-Musnad, dalam jangka waktu sekitar enam puluh tahun dan itu
sudah dimulainya sejak tahun tahun 180 saat pertama kali beliau mencari hadits. Beliau juga menyusun kitab
tentang tafsir, tentang an-nasikh dan al-mansukh, tentang tarikh, tentang yang muqaddam dan muakhkhar
dalam Alquran, tentang jawaban-jawaban dalam Alquran. Beliau juga menyusun kitab al-manasik ash-shagir
dan al-kabir, kitab az-Zuhud, kitab ar-radd ‘ala al-Jahmiyah wa az-zindiqah(Bantahan kepada Jahmiyah dan
Zindiqah), kitab as-Shalah, kitab as-Sunnah, kitab al-Wara ‘ wa al-Iman, kitab al-‘Ilal wa ar-Rijal, kitab al-
Asyribah, satu juz tentang Ushul as-Sittah, Fadha’il ash-Shahabah.

Pujian dan Penghormatan Ulama Lain Kepadanya


Imam Syafi‘i pernah mengusulkan kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, pada hari-hari akhir hidup khalifah
tersebut, agar mengangkat Imam Ahmad menjadi qadhi di Yaman, tetapi Imam Ahmad menolaknya dan
berkata kepada Imam Syafi‘i, “Saya datang kepada Anda untuk mengambil ilmu dari Anda, tetapi Anda malah
menyuruh saya menjadi qadhi untuk mereka.” Setelah itu pada tahun 195, Imam Syafi‘i mengusulkan hal yang
sama kepada Khalifah al-Amin, tetapi lagi-lagi Imam Ahmad menolaknya.

Suatu hari, Imam Syafi‘i masuk menemui Imam Ahmad dan berkata, “Engkau lebih tahu tentang hadits dan
perawi-perawinya. Jika ada hadits shahih (yang engkau tahu), maka beri tahulah aku. Insya Allah, jika
(perawinya) dari Kufah atau Syam, aku akan pergi mendatanginya jika memang shahih.” Ini menunjukkan
kesempurnaan agama dan akal Imam Syafi‘i karena mau mengembalikan ilmu kepada ahlinya.
Imam Syafi‘i juga berkata, “Aku keluar (meninggalkan) Bagdad, sementara itu tidak aku tinggalkan di kota
tersebut orang yang lebih wara’, lebih faqih, dan lebih bertakwa daripada Ahmad bin Hanbal.”
Abdul Wahhab al-Warraq berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang seperti Ahmad bin Hanbal”. Orang-
orang bertanya kepadanya, “Dalam hal apakah dari ilmu dan keutamaannya yang engkau pandang dia melebihi
yang lain?” Al-Warraq menjawab, “Dia seorang yang jika ditanya tentang 60.000 masalah, dia akan
menjawabnya dengan berkata, ‘Telah dikabarkan kepada kami,’ atau, “Telah disampaikan hadits kepada
kami’.”Ahmad bin Syaiban berkata, “Aku tidak pernah melihat Yazid bin Harun memberi penghormatan
kepada seseorang yang lebih besar daripada kepada Ahmad bin Hanbal. Dia akan mendudukkan beliau di
sisinya jika menyampaikan hadits kepada kami. Dia sangat menghormati beliau, tidak mau berkelakar
dengannya”. Demikianlah, padahal seperti diketahui bahwa Harun bin Yazid adalah salah seorang guru beliau
dan terkenal sebagai salah seorang imam huffazh.

Keteguhan di Masa Penuh Cobaan


Telah menjadi keniscayaan bahwa kehidupan seorang mukmin tidak akan lepas dari ujian dan cobaan, terlebih
lagi seorang alim yang berjalan di atas jejak para nabi dan rasul. Dan Imam Ahmad termasuk di antaranya.
Beliau mendapatkan cobaan dari tiga orang khalifah Bani Abbasiyah selama rentang waktu 16 tahun.

Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, dengan jelas tampak kecondongan khalifah yang berkuasa
menjadikan unsur-unsur asing (non-Arab) sebagai kekuatan penunjang kekuasaan mereka. Khalifah al-Makmun
menjadikan orang-orang Persia sebagai kekuatan pendukungnya, sedangkan al-Mu‘tashim memilih orang-orang
Turki. Akibatnya, justru sedikit demi sedikit kelemahan menggerogoti kekuasaan mereka. Pada masa itu
dimulai penerjemahan ke dalam bahasa Arab buku-buku falsafah dari Yunani, Rumania, Persia, dan India
dengan sokongan dana dari penguasa. Akibatnya, dengan cepat berbagai bentuk bid‘ah merasuk menyebar ke
dalam akidah dan ibadah kaum muslimin. Berbagai macam kelompok yang sesat menyebar di tengah-tengah
mereka, seperti Qadhariyah, Jahmyah, Asy‘ariyah, Rafidhah, Mu‘tashilah, dan lain-lain.

Kelompok Mu‘tashilah, secara khusus, mendapat sokongan dari penguasa, terutama dari Khalifah al-Makmun.
Mereka, di bawah pimpinan Ibnu Abi Duad, mampu mempengaruhi al-Makmun untuk membenarkan dan
menyebarkan pendapat-pendapat mereka, di antaranya pendapat yang mengingkari sifat-sifat Allah, termasuk
sifat kalam (berbicara). Berangkat dari pengingkaran itulah, pada tahun 212, Khalifah al-Makmun kemudian
memaksa kaum muslimin, khususnya ulama mereka, untuk meyakini kemakhlukan Alquran.

Sebenarnya Harun ar-Rasyid, khalifah sebelum al-Makmun, telah menindak tegas pendapat tentang
kemakhlukan Alquran. Selama hidupnya, tidak ada seorang pun yang berani menyatakan pendapat itu
sebagaimana dikisahkan oleh Muhammad bin Nuh, “Aku pernah mendengar Harun ar-Rasyid berkata, ‘Telah
sampai berita kepadaku bahwa Bisyr al-Muraisiy mengatakan bahwa Alquran itu makhluk. Merupakan
kewajibanku, jika Allah menguasakan orang itu kepadaku, niscaya akan aku hukum bunuh dia dengan cara
yang tidak pernah dilakukan oleh seorang pun’”. Tatkala Khalifah ar-Rasyid wafat dan kekuasaan beralih ke
tangan al-Amin, kelompok Mu‘tazilah berusaha menggiring al-Amin ke dalam kelompok mereka, tetapi al-
Amin menolaknya. Baru kemudian ketika kekhalifahan berpindah ke tangan al-Makmun, mereka mampu
melakukannya.

Untuk memaksa kaum muslimin menerima pendapat kemakhlukan Alquran, al-Makmun sampai mengadakan
ujian kepada mereka. Selama masa pengujian tersebut, tidak terhitung orang yang telah dipenjara, disiksa, dan
bahkan dibunuhnya. Ujian itu sendiri telah menyibukkan pemerintah dan warganya baik yang umum maupun
yang khusus. Ia telah menjadi bahan pembicaraan mereka, baik di kota-kota maupun di desa-desa di negeri Irak
dan selainnya. Telah terjadi perdebatan yang sengit di kalangan ulama tentang hal itu. Tidak terhitung dari
mereka yang menolak pendapat kemakhlukan Alquran, termasuk di antaranya Imam Ahmad. Beliau tetap
konsisten memegang pendapat yang hak, bahwa Alquran itu kalamullah, bukan makhluk.

Al-Makmun bahkan sempat memerintahkan bawahannya agar membawa Imam Ahmad dan Muhammad bin
Nuh ke hadapannya di kota Thursus. Kedua ulama itu pun akhirnya digiring ke Thursus dalam keadaan
terbelenggu. Muhammad bin Nuh meninggal dalam perjalanan sebelum sampai ke Thursus, sedangkan Imam
Ahmad dibawa kembali ke Bagdad dan dipenjara di sana karena telah sampai kabar tentang kematian al-
Makmun (tahun 218). Disebutkan bahwa Imam Ahmad tetap mendoakan al-Makmun.

Sepeninggal al-Makmun, kekhalifahan berpindah ke tangan putranya, al-Mu‘tashim. Dia telah mendapat wasiat
dari al-Makmun agar meneruskan pendapat kemakhlukan Alquran dan menguji orang-orang dalam hal tersebut;
dan dia pun melaksanakannya. Imam Ahmad dikeluarkannya dari penjara lalu dipertemukan dengan Ibnu Abi
Duad dan konco-konconya. Mereka mendebat beliau tentang kemakhlukan Alquran, tetapi beliau mampu
membantahnya dengan bantahan yang tidak dapat mereka bantah. Akhirnya beliau dicambuk sampai tidak
sadarkan diri lalu dimasukkan kembali ke dalam penjara dan mendekam di sana selama sekitar 28 bulan –atau
30-an bulan menurut yang lain-. Selama itu beliau shalat dan tidur dalam keadaan kaki terbelenggu.
Selama itu pula, setiap harinya al-Mu‘tashim mengutus orang untuk mendebat beliau, tetapi jawaban beliau
tetap sama, tidak berubah. Akibatnya, bertambah kemarahan al-Mu‘tashim kepada beliau. Dia mengancam dan
memaki-maki beliau, dan menyuruh bawahannya mencambuk lebih keras dan menambah belenggu di kaki
beliau. Semua itu, diterima Imam Ahmad dengan penuh kesabaran dan keteguhan bak gunung yang menjulang
dengan kokohnya.

Sakit dan Wafatnya


Pada akhirnya, beliau dibebaskan dari penjara. Beliau dikembalikan ke rumah dalam keadaan tidak mampu
berjalan. Setelah luka-lukanya sembuh dan badannya telah kuat, beliau kembali menyampaikan pelajaran-
pelajarannya di masjid sampai al-Mu‘tashim wafat.

Selanjutnya, al-Watsiq diangkat menjadi khalifah. Tidak berbeda dengan ayahnya, al-Mu‘tashim, al-Watsiq pun
melanjutkan ujian yang dilakukan ayah dan kakeknya. dia pun masih menjalin kedekatan dengan Ibnu Abi
Duad dan konco-konconya. Akibatnya, penduduk Bagdad merasakan cobaan yang kian keras. Al-Watsiq
melarang Imam Ahmad keluar berkumpul bersama orang-orang. Akhirnya, Imam Ahmad bersembunyi di
rumahnya, tidak keluar darinya bahkan untuk keluar mengajar atau menghadiri shalat jamaah. Dan itu
dijalaninya selama kurang lebih lima tahun, yaitu sampai al-Watsiq meninggal tahun 232.

Sesudah al-Watsiq wafat, al-Mutawakkil naik menggantikannya. Selama dua tahun masa pemerintahannya,
ujian tentang kemakhlukan Alquran masih dilangsungkan. Kemudian pada tahun 234, dia menghentikan ujian
tersebut. Dia mengumumkan ke seluruh wilayah kerajaannya larangan atas pendapat tentang kemakhlukan
Alquran dan ancaman hukuman mati bagi yang melibatkan diri dalam hal itu. Dia juga memerintahkan kepada
para ahli hadits untuk menyampaikan hadits-hadits tentang sifat-sifat Allah. Maka demikianlah, orang-orang
pun bergembira pun dengan adanya pengumuman itu. Mereka memuji-muji khalifah atas keputusannya itu dan
melupakan kejelekan-kejelekannya. Di mana-mana terdengar doa untuknya dan namanya disebut-sebut
bersama nama Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, dan Umar bin Abdul Aziz.

Menjelang wafatnya, beliau jatuh sakit selama sembilan hari. Mendengar sakitnya, orang-orang pun
berdatangan ingin menjenguknya. Mereka berdesak-desakan di depan pintu rumahnya, sampai-sampai sultan
menempatkan orang untuk berjaga di depan pintu. Akhirnya, pada permulaan hari Jumat tanggal 12 Rabi‘ul
Awwal tahun 241, beliau menghadap kepada rabbnya menjemput ajal yang telah dientukan kepadanya. Kaum
muslimin bersedih dengan kepergian beliau. Tak sedikit mereka yang turut mengantar jenazah beliau sampai
beratusan ribu orang. Ada yang mengatakan 700 ribu orang, ada pula yang mengatakan 800 ribu orang, bahkan
ada yang mengatakan sampai satu juta lebih orang yang menghadirinya. Semuanya menunjukkan bahwa sangat
banyaknya mereka yang hadir pada saat itu demi menunjukkan penghormatan dan kecintaan mereka kepada
beliau. Beliau pernah berkata ketika masih sehat, “Katakan kepada ahlu bid‘ah bahwa perbedaan antara kami
dan kalian adalah (tampak pada) hari kematian kami”.

Demikianlah gambaran ringkas ujian yang dilalui oleh Imam Ahmad. Terlihat bagaimana sikap agung beliau
yang tidak akan diambil kecuali oleh orang-orang yang penuh keteguhan lagi ikhlas. Beliau bersikap seperti itu
justru ketika sebagian ulama lain berpaling dari kebenaran. Dan dengan keteguhan di atas kebenaran yang Allah
berikan kepadanya itu, maka madzhab Ahlussunnah pun dinisbatkan kepada dirinya karena beliau sabar dan
teguh dalam membelanya. Ali bin al-Madiniy berkata menggambarkan keteguhan Imam Ahmad, “Allah telah
mengokohkan agama ini lewat dua orang laki-laki, tidak ada yang ketiganya. Yaitu, Abu Bakar as-Shiddiq pada
Yaumur Riddah (saat orang-orang banyak yang murtad pada awal-awal pemerintahannya), dan Ahmad bin
Hanbal pada Yaumul Mihnah”.
Imam Syafi’i : Biografi Singkat Ahli Hadist
20 March 2009 :  :  No Comment

Sejarah Singkat Imam Syafi’i

Nama dan Nasab


Beliau bernama Muhammad dengan kun-yah Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap adalah Muhammad
bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi‘ bin as-Saib bin ‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-
Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu
Manaf bin Qushay. Dengan begitu, beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung
keturunan paman-jauh beliau , yaitu Hasyim bin al-Muththalib.

Bapak beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah di jalan menuju ke
Yaman). Dia seorang yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di Madinah lalu berpindah dan menetap di
‘Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah Palestina) dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda di sana.
Syafi‘, kakek dari kakek beliau, -yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau (Syafi‘i)- menurut sebagian
ulama adalah seorang sahabat shigar (yunior) Nabi. As-Saib, bapak Syafi‘, sendiri termasuk sahabat kibar
(senior) yang memiliki kemiripan fisik dengan Rasulullah saw. Dia termasuk dalam barisan tokoh musyrikin
Quraysy dalam Perang Badar. Ketika itu dia tertawan lalu menebus sendiri dirinya dan menyatakan masuk
Islam.

Para ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi‘i berasal dari keturunan Arab
murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut
dan ketersambungannya dengan nasab Nabi, kemudian mereka membantah pendapat-pendapat sekelompok
orang dari kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi‘i bukanlah asli keturunan
Quraysy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’ saja.

Adapun ibu beliau, terdapat perbedaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa pendapat mengatakan dia masih
keturunan al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang lain menyebutkan seorang wanita dari kabilah
Azadiyah yang memiliki kun-yah Ummu Habibah. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi‘i
adalah seorang wanita yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang faqih
dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.

Waktu dan Tempat Kelahirannya


Beliau dilahirkan pada tahun 150H. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga dikomentari oleh al-
Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah dalam bidang yang ditekuninya.

Tentang tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat yang berbeda. Akan tetapi,
yang termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah kota Ghazzah (Sebuah kota yang terletak di perbatasan
wilayah Syam ke arah Mesir. Tepatnya di sebelah Selatan Palestina. Jaraknya dengan kota Asqalan sekitar dua
farsakh). Tempat lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman.

Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat digabungkan dengan dikatakan bahwa
beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di wilayah Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau
dibawa ibunya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu
berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau dibawa ke Mekkah, karena
sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan terlupakan.

Pertumbuhannya dan Pengembaraannya Mencari Ilmu


Di Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat Syi‘bu al-Khaif. Di sana, sang ibu mengirimnya belajar
kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela
tidak dibayar setelah melihat kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal. Imam Syafi‘i bercerita, “Di al-
Kuttab (sekolah tempat menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan murid-
muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua yang dia diktekan,
dia berkata kepadaku, “Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.” Dan ternyata kemudian dengan
segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika dia tidak ada.
Demikianlah, belum lagi menginjak usia baligh, beliau telah berubah menjadi seorang guru.

Setelah rampung menghafal Alquran di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk
menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam kemiskinan, beliau tidak berputus asa dalam
menimba ilmu. Beliau mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk
dipakai menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang, pecahan
tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi. Dan itu terjadi pada saat beliau belum
lagi berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa beliau telah menghafal Alquran pada saat berusia 7 tahun, lalu
membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa
langsung dengan Imam Malik di Madinah.

Beliau juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau memutuskan untuk tinggal di
daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta syair-
syair mereka. Hasilnya, sekembalinya dari sana beliau telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan
menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu hal yang kemudian banyak
dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa dengannya dan yang hidup sesudahnya. Namun, takdir
Allah telah menentukan jalan lain baginya. Setelah mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu Muslim
bin Khalid az-Zanji -mufti kota Mekkah-, dan al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar mendalami ilmu fiqih, maka
beliau pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau melakukan pengembaraannya mencari ilmu.

Beliau mengawalinya dengan menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim bin Khalid,
Dawud bin Abdurrahman al-‘Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ –yang masih terhitung paman jauhnya-,
Sufyan bin ‘Uyainah –ahli hadits Mekkah-, Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail
bin ‘Iyadh, dan lain-lain. Di Mekkah ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa’ Imam
Malik. Di samping itu beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan menunggang kuda sampai menjadi
mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah
yang dilepasnya, 9 di antaranya pasti mengena sasaran.

Setelah mendapat izin dari para syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk mengembara ke
Madinah, Dar as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya. Terlebih lagi di sana ada Imam Malik bin
Anas, penyusun al-Muwaththa’. Maka berangkatlah beliau ke sana menemui sang Imam. Di hadapan Imam
Malik, beliau membaca al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya di Mekkah, dan hafalannya itu membuat Imam
Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani mulazamah kepada Imam Malik demi mengambil ilmu darinya
sampai sang Imam wafat pada tahun 179. Di samping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu dari ulama
Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma‘il bin
Ja‘far, Ibrahim bin Sa‘d dan masih banyak lagi.

Setelah kembali ke Mekkah, beliau kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana beliau mengambil
ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, serta yang lain. Namun, berawal dari Yaman
inilah beliau mendapat cobaan –satu hal yang selalu dihadapi oleh para ulama, sebelum maupun sesudah
beliau-. Di Yaman, nama beliau menjadi tenar karena sejumlah kegiatan dan kegigihannya menegakkan
keadilan, dan ketenarannya itu sampai juga ke telinga penduduk Mekkah. Lalu, orang-orang yang tidak senang
kepadanya akibat kegiatannya tadi mengadukannya kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, Mereka menuduhnya
hendak mengobarkan pemberontakan bersama orang-orang dari kalangan Alawiyah.

Sebagaimana dalam sejarah, Imam Syafi‘i hidup pada masa-masa awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah yang
berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir
selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari kalangan ‘Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka
bersikap sangat kejam dalam memadamkan pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang sebenarnya masih
saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada kaum
muslimin secara umum dan pada diri Imam Syafi‘i secara khusus. Dia melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi
menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap ahli fiqih selainnya, beliau
pun menampakkan secara terang-terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa takut sedikitpun, suatu sikap
yang saat itu akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat sulit.
Sikapnya itu membuatnya dituduh sebagai orang yang bersikap tasyayyu‘, padahal sikapnya sama sekali
berbeda dengan tasysyu’ model orang-orang syi‘ah. Bahkan Imam Syafi‘i menolak keras sikap tasysyu’ model
mereka itu yang meyakini ketidakabsahan keimaman Abu Bakar, Umar, serta ‘Utsman , dan hanya meyakini
keimaman Ali, serta meyakini kemaksuman para imam mereka. Sedangkan kecintaan beliau kepada Ahlu Bait
adalah kecintaan yang didasari oleh perintah-perintah yang terdapat dalam Alquran maupun hadits-hadits
shahih. Dan kecintaan beliau itu ternyata tidaklah lantas membuatnya dianggap oleh orang-orang syiah sebagai
ahli fiqih madzhab mereka.

Tuduhan dusta yang diarahkan kepadanya bahwa dia hendak mengobarkan pemberontakan, membuatnya
ditangkap, lalu digelandang ke Baghdad dalam keadaan dibelenggu dengan rantai bersama sejumlah orang-
orang ‘Alawiyah. Beliau bersama orang-orang ‘Alawiyah itu dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid.
Khalifah menyuruh bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan kulit. Setelah memeriksa mereka seorang
demi seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal kepala mereka. Ketika sampai pada gilirannya, Imam
Syafi‘i berusaha memberikan penjelasan kepada Khalifah. Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta
pembelaan dari Muhammad bin al-Hasan -ahli fiqih Irak-, beliau berhasil meyakinkan Khalifah tentang
ketidakbenaran apa yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya beliau meninggalkan majelis Harun ar-Rasyid dalam
keadaan bersih dari tuduhan bersekongkol dengan ‘Alawiyah dan mendapatkan kesempatan untuk tinggal di
Baghdad.

Di Baghdad, beliau kembali pada kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti dan mendalami madzhab
Ahlu Ra’yu. Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah kepada Muhammad bin al-Hassan. Selain itu, kepada
Isma‘il bin ‘Ulayyah dan Abdul Wahhab ats-Tsaqafiy dan lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama Irak
itu, beliau kembali ke Mekkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka mulailah ia mengajar di tempat dahulu
ia belajar. Ketika musim haji tiba, ribuan jamaah haji berdatangan ke Mekkah. Mereka yang telah mendengar
nama beliau dan ilmunya yang mengagumkan, bersemangat mengikuti pengajarannya sampai akhirnya nama
beliau makin dikenal luas. Salah satu di antara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal.

Ketika kamasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat kepada Imam
Syafi‘i memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi khabar-khabar yang maqbul, penjelasan tentang
nasikh dan mansukh dari ayat-ayat Alquran dan lain-lain. Maka beliau pun menulis kitabnya yang terkenal, Ar-
Risalah.

Setelah lebih dari 9 tahun mengajar di Mekkah, beliau kembali melakukan perjalanan ke Irak untuk kedua
kalinya dalam rangka menolong madzhab Ash-habul Hadits di sana. Beliau mendapat sambutan meriah di
Baghdad karena para ulama besar di sana telah menyebut-nyebut namanya. Dengan kedatangannya, kelompok
Ash-habul Hadits merasa mendapat angin segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi oleh Ahlu
Ra’yi. Sampai-sampai dikatakan bahwa ketika beliau datang ke Baghdad, di Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat
sekitar 20 halaqah Ahlu Ra ‘yu. Tetapi ketika hari Jumat tiba, yang tersisa hanya 2 atau 3 halaqah saja.

Beliau menetap di Irak selama dua tahun, kemudian pada tahun 197 beliau balik ke Mekkah. Di sana beliau
mulai menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para penuntut ilmu kepadanya meneguk dari lautan
ilmunya. Tetapi beliau hanya berada setahun di Mekkah.

Tahun 198, beliau berangkat lagi ke Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di sana karena telah terjadi
perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh para ulama ahli kalam, dan terjebak dalam
pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam. Sementara Imam Syafi‘i adalah orang yang paham betul tentang
ilmu kalam. Beliau tahu bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj as-salaf ash-shaleh –yang selama ini
dipegangnya- di dalam memahami masalah-masalah syariat. Hal itu karena orang-orang ahli kalam menjadikan
akal sebagai patokan utama dalam menghadapi setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam memahami
syariat padahal mereka tahu bahwa akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Beliau tahu betul kebencian
meraka kepada ulama ahlu hadits. Karena itulah beliau menolak madzhab mereka.

Dan begitulah kenyataannya. Provokasi mereka membuat Khalifah mendatangkan banyak musibah kepada para
ulama ahlu hadits. Salah satunya adalah yang dikenal sebagai Yaumul Mihnah, ketika dia mengumpulkan para
ulama untuk menguji dan memaksa mereka menerima paham Alquran itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama
yang masuk penjara, bila tidak dibunuh. Salah satu di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Karena
perubahan itulah, Imam Syafi‘i kemudian memutuskan pergi ke Mesir. Sebenarnya hati kecilnya menolak pergi
ke sana, tetapi akhirnya ia menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah. Di Mesir, beliau mendapat sambutan
masyarakatnya. Di sana beliau berdakwah, menebar ilmunya, dan menulis sejumlah kitab, termasuk merevisi
kitabnya ar-Risalah, sampai akhirnya beliau menemui akhir kehidupannya di sana.

Keteguhannya Membela Sunnah


Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan suatu masalah terutama
masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau
selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya,
terutama dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata, “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah
dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.” Karena komitmennya mengikuti sunnah dan
membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits.

Terdapat banyak atsar tentang ketidaksukaan beliau kepada Ahli Ilmu Kalam, mengingat perbedaan manhaj
beliau dengan mereka. Beliau berkata, “Setiap orang yang berbicara (mutakallim) dengan bersumber dari
Alquran dan sunnah, maka ucapannya adalah benar, tetapi jika dari selain keduanya, maka ucapannya hanyalah
igauan belaka.” Imam Ahmad berkata, “Bagi Syafi‘i jika telah yakin dengan keshahihan sebuah hadits, maka
dia akan menyampaikannya. Dan prilaku yang terbaik adalah dia tidak tertarik sama sekali dengan ilmu kalam,
dan lebih tertarik kepada fiqih.” Imam Syafi ‘i berkata, “Tidak ada yang lebih aku benci daripada ilmu kalam
dan ahlinya” Al-Mazani berkata, “Merupakan madzhab Imam Syafi‘i membenci kesibukan dalam ilmu kalam.
Beliau melarang kami sibuk dalam ilmu kalam.”

Ketidaksukaan beliau sampai pada tingkat memberi fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam adalah dipukul
dengan pelepah kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta dan digiring berkeliling di antara kabilah-kabilah
dengan mengumumkan bahwa itu adalah hukuman bagi orang yang meninggalkan Alquran dan Sunnah dan
memilih ilmu kalam.

Wafatnya
Karena kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu, beliau menderita penyakit bawasir yang selalu
mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya itu bertambah parah hingga akhirnya beliau wafat karenanya.
Beliau wafat pada malam Jumat setelah shalat Isya’ hari terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 dalam usia
54 tahun. Semoga Allah memberikan kepadanya rahmat-Nya yang luas.

Ar-Rabi menyampaikan bahwa dia bermimpi melihat Imam Syafi‘i, sesudah wafatnya. Dia berkata kepada
beliau, “Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu Abdillah ?” Beliau menjawab, “Allah
mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas dan menaburkan pada diriku mutiara-mutiara yang halus”

Karangan-Karangannya
Sekalipun beliau hanya hidup selama setengah abad dan kesibukannya melakukan perjalanan jauh untuk
mencari ilmu, hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis banyak kitab. Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq
mencapai 200 bagian, sedangkan menurut al-Marwaziy mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-
lain. Yaqut al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya disebutkan oleh Ibnu
an-Nadim dalam al-Fahrasat.
Yang paling terkenal di antara kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah, dan
ar-Risalah al-Jadidah (yang telah direvisinya) mengenai Alquran dan As-Sunnah serta kedudukannya dalam
syariat.

Sumber :
1. Al-Umm, bagian muqoddimah hal 3-33.
2. Siyar A‘lam an-Nubala’
3. Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi‘, terjemah kitab Manhaj al-Imam Asy-Syafi ‘i fi Itsbat al-‘Aqidah karya DR.
Muhammad AW al-Aql terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi‘i, Cirebon.

Sumber: http://muslim.or.id
Imam Hanafi : Biografi Singkat Ahli Hadist
20 March 2009 :  :  No Comment

Sejarah Singkat Imam Hanafi

Sejarah Singkat Imam Hanafi


Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit al-Kufiy merupakan orang yang faqih di negeri Irak, salah satu
imam dari kaum muslimin, pemimpin orang-orang alim, salah seorang yang mulia dari kalangan ulama dan
salah satu imam dari empat imam yang memiliki madzhab. Di kalangan umat Islam, beliau lebih dikenal
dengan nama Imam Hanafi.

Nasab dan Kelahirannya bin Tsabit bin Zuthi (ada yang mengatakan Zutha) At-Taimi Al-Kufi
Beliau adalah Abu Hanifah An-Nu’man Taimillah bin Tsa’labah. Beliau berasal dari keturunan bangsa persi.
Beliau dilahirkan pada tahun 80 H pada masa shigharus shahabah dan para ulama berselisih pendapat tentang
tempat kelahiran Abu Hanifah, menurut penuturan anaknya Hamad bin Abu Hadifah bahwa Zuthi berasal dari
kota Kabul dan dia terlahir dalam keadaan Islam. Adapula yang mengatakan dari Anbar, yang lainnya
mengatakan dari Turmudz dan yang lainnya lagi mengatakan dari Babilonia.

Perkembangannya
Ismail bin Hamad bin Abu Hanifah cucunya menuturkan bahwa dahulu Tsabit ayah Abu Hanifah pergi
mengunjungi Ali Bin Abi Thalib, lantas Ali mendoakan keberkahan kepadanya pada dirinya dan keluarganya,
sedangkan dia pada waktu itu masih kecil, dan kami berharap Allah subhanahu wa ta’ala mengabulkan doa Ali
tersebut untuk kami. Dan Abu Hanifah At-Taimi biasa ikut rombongan pedagang minyak dan kain sutera,
bahkan dia punya toko untuk berdagang kain yang berada di rumah Amr bin Harits.

Abu Hanifah itu tinggi badannya sedang, memiliki postur tubuh yang bagus, jelas dalam berbicara, suaranya
bagus dan enak didengar, bagus wajahnya, bagus pakaiannya dan selalu memakai minyak wangi, bagus dalam
bermajelis, sangat kasih sayang, bagus dalam pergaulan bersama rekan-rekannya, disegani dan tidak
membicarakan hal-hal yang tidak berguna.

Beliau disibukkan dengan mencari atsar/hadits dan juga melakukan rihlah untuk mencari hal itu. Dan beliau
ahli dalam bidang fiqih, mempunyai kecermatan dalam berpendapat, dan dalam permasalahan-permasalahan
yang samar/sulit maka kepada beliau akhir penyelesaiannya.

Beliau sempat bertemu dengan Anas bin Malik tatkala datang ke Kufah dan belajar kepadanya, beliau juga
belajar dan meriwayat dari ulama lain seperti Atha’ bin Abi Rabbah yang merupakan syaikh besarnya, Asy-
Sya’bi, Adi bin Tsabit, Abdurrahman bin Hurmuj al-A’raj, Amru bin Dinar, Thalhah bin Nafi’, Nafi’ Maula
Ibnu Umar, Qotadah bin Di’amah, Qois bin Muslim, Abdullah bin Dinar, Hamad bin Abi Sulaiman guru
fiqihnya, Abu Ja’far Al-Baqir, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Muhammad bin Munkandar, dan masih banyak lagi. Dan
ada yang meriwayatkan bahwa beliau sempat bertemu dengan 7 sahabat.

Beliau pernah bercerita, tatkala pergi ke kota Bashrah, saya optimis kalau ada orang yang bertanya kepadaku
tentang sesuatu apapun saya akan menjawabnya, maka tatkala diantara mereka ada yang bertanya kepadaku
tentang suatu masalah lantas saya tidak mempunyai jawabannya, maka aku memutuskan untuk tidak berpisah
dengan Hamad sampai dia meninggal, maka saya bersamanya selama 10 tahun.

Pada masa pemerintahan Marwan salah seorang raja dari Bani Umayyah di Kufah, beliau didatangi Hubairoh
salah satu anak buah raja Marwan meminta Abu Hanifah agar menjadi Qodhi (hakim) di Kufah akan tetapi
beliau menolak permintaan tersebut, maka beliau dihukum cambuk sebanyak 110 kali (setiap harinya dicambuk
10 kali), tatkala dia mengetahui keteguhan Abu Hanifah maka dia melepaskannya.

Adapun orang-orang yang belajar kepadanya dan meriwayatkan darinya diantaranya adalah sebagaimana yang
disebutkan oleh Syaikh Abul Hajaj di dalam Tahdzibnya berdasarkan abjad diantaranya Ibrahin bin Thahman
seorang alim dari Khurasan, Abyadh bin Al-Aghar bin Ash-Shabah, Ishaq al-Azroq, Asar bin Amru Al-Bajali,
Ismail bin Yahya Al-Sirafi, Al-Harits bin Nahban, Al-Hasan bin Ziyad, Hafsh binn Abdurrahman al-Qadhi,
Hamad bin Abu Hanifah, Hamzah temannya penjual minyak wangi, Dawud Ath-Thai, Sulaiman bin Amr An-
Nakhai, Su’aib bin Ishaq, Abdullah ibnul Mubarok, Abdul Aziz bin Khalid at-Turmudzi, Abdul karim bin
Muhammad al-Jurjani, Abdullah bin Zubair al-Qurasy, Ali bin Zhibyan al-Qodhi, Ali bin Ashim, Isa bin
Yunus, Abu Nu’aim, Al-Fadhl bin Musa, Muhammad bin Bisyr, Muhammad bin Hasan Assaibani, Muhammad
bin Abdullah al-Anshari, Muhammad bin Qoshim al-Asadi, Nu’man bin Abdus Salam al-Asbahani, Waki’ bin
Al-Jarah, Yahya bin Ayub Al-Mishri, Yazid bin Harun, Abu Syihab Al-Hanath Assamaqondi, Al-Qodhi Abu
Yusuf, dan lain-lain.

Penilaian para ulama terhadap Abu Hanifah


Berikut ini beberapa penilaian para ulama tentang Abu Hanifah, diantaranya:

1. Yahya bin Ma’in berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqoh, dia tidak membicarakan hadits kecuali
yang dia hafal dan tidak membicarakan apa-apa yang tidak hafal”. Dan dalam waktu yang lain beliau berkata,
“Abu Hanifah adalah orang yang tsiqoh di dalam hadits”. Dan dia juga berkata, “Abu hanifah laa ba’sa bih, dia
tidak berdusta, orang yang jujur, tidak tertuduh dengan berdusta, …”.

2. Abdullah ibnul Mubarok berkata, “Kalaulah Allah subhanahu wa ta’ala tidak menolong saya melalui Abu
Hanifah dan Sufyan Ats-Tsauri maka saya hanya akan seperti orang biasa”. Dan beliau juga berkata, “Abu
Hanifah adalah orang yang paling faqih”. Dan beliau juga pernah berkata, “Aku berkata kepada Sufyan Ats-
Tsauri, ‘Wahai Abu Abdillah, orang yang paling jauh dari perbuatan ghibah adalah Abu Hanifah, saya tidak
pernah mendengar beliau berbuat ghibah meskipun kepada musuhnya’ kemudian beliau menimpali ‘Demi
Allah, dia adalah orang yang paling berakal, dia tidak menghilangkan kebaikannya dengan perbuatan ghibah’.”
Beliau juga berkata, “Aku datang ke kota Kufah, aku bertanya siapakah orang yang paling wara’ di kota Kufah?
Maka mereka penduduk Kufah menjawab Abu Hanifah”. Beliau juga berkata, “Apabila atsar telah diketahui,
dan masih membutuhkan pendapat, kemudian imam Malik berpendapat, Sufyan berpendapat dan Abu Hanifah
berpendapat maka yang paling bagus pendapatnya adalah Abu Hanifah … dan dia orang yang paling faqih dari
ketiganya”.

3. Al-Qodhi Abu Yusuf berkata, “Abu Hanifah berkata, tidak selayaknya bagi seseorang berbicara tentang
hadits kecuali apa-apa yang dia hafal sebagaimana dia mendengarnya”. Beliau juga berkata, “Saya tidak
melihat seseorang yang lebih tahu tentang tafsir hadits dan tempat-tempat pengambilan fiqih hadits dari Abu
Hanifah”.

4. Imam Syafii berkata, “Barangsiapa ingin mutabahir (memiliki ilmu seluas lautan) dalam masalah fiqih
hendaklah dia belajar kepada Abu Hanifah”

5. Fudhail bin Iyadh berkata, “Abu Hanifah adalah seorang yang faqih, terkenal dengan wara’-nya, termasuk
salah seorang hartawan, sabar dalam belajar dan mengajarkan ilmu, sedikit bicara, menunjukkan kebenaran
dengan cara yang baik, menghindari dari harta penguasa”. Qois bin Rabi’ juga mengatakan hal serupa dengan
perkataan Fudhail bin Iyadh.

6. Yahya bin Sa’id al-Qothan berkata, “Kami tidak mendustakan Allah swt, tidaklah kami mendengar pendapat
yang lebih baik dari pendapat Abu Hanifah, dan sungguh banyak mengambil pendapatnya”.

7. Hafsh bin Ghiyats berkata, “Pendapat Abu Hanifah di dalam masalah fiqih lebih mendalam dari pada syair,
dan tidaklah mencelanya melainkan dia itu orang yang jahil tentangnya”.

8. Al-Khuroibi berkata, “Tidaklah orang itu mensela Abu Hanifah melainkan dia itu orang yang pendengki atau
orang yang jahil”.

9. Sufyan bin Uyainah berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Hanifah karena dia adalah termasuk orang yang
menjaga shalatnya (banyak melakukan shalat)”.
Beberapa penilaian negatif yang ditujukan kepada Abu Hanifah
Abu Hanifah selain dia mendapatkan penilaian yang baik dan pujian dari beberapa ulama, juga mendapatkan
penilaian negatif dan celaan yang ditujukan kepada beliau, diantaranya :

1. Imam Muslim bin Hajaj berkata, “Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit shahibur ro’yi mudhtharib dalam hadits,
tidak banyak hadits shahihnya”.

2. Abdul Karim bin Muhammad bin Syu’aib An-Nasai berkata, “Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit tidak kuat
hafalan haditsnya”.

3. Abdullah ibnul Mubarok berkata, “Abu Hanifah orang yang miskin di dalam hadits”.

4. Sebagian ahlul ilmi memberikan tuduhan bahwa Abu Hanifah adalah murji’ah dalam memahi masalah iman.
Yaitu penyataan bahwa iman itu keyakinan yang ada dalam hati dan diucapkan dengan lisan, dan mengeluarkan
amal dari hakikat iman.

Dan telah dinukil dari Abu Hanifah bahwasanya amal-amal itu tidak termasuk dari hakekat imam, akan tetapi
dia termasuk dari sya’air iman, dan yang berpendapat seperti ini adalah Jumhur Asy’ariyyah, Abu Manshur Al-
Maturidi … dan menyelisihi pendapat ini adalah Ahlu Hadits … dan telah dinukil pula dari Abu Hanifah bahwa
iman itu adalah pembenaran di dalam hati dan penetapan dengan lesan tidak bertambah dan tidak berkurang.
Dan yang dimaksudkan dengan “tidak bertambah dan berkurang” adalah jumlah dan ukurannya itu tidak
bertingkat-tingkat, dak hal ini tidak menafikan adanya iman itu bertingkat-tingkat dari segi kaifiyyah, seperti
ada yang kuat dan ada yang lemah, ada yang jelas dan yang samar, dan yang semisalnya …

Dan dinukil pula oleh para sahabatnya, mereka menyebutkan bahwa Abu Hanifah berkata, ‘Orang yang
terjerumus dalam dosa besar maka urusannya diserahkan kepada Allah’, sebagaimana yang termaktub dalam
kitab “Fiqhul Akbar” karya Abu Hanifah, “Kami tidak mengatakan bahwa orang yang beriman itu tidak
membahayakan dosa-dosanya terhadap keimanannya, dan kami juga tidak mengatakan pelaku dosa besar itu
masuk neraka dan kekal di neraka meskipun dia itu orang yang fasiq, … akan tetapi kami mengatakan bahwa
barangsiapa beramal kebaikan dengan memenuhi syarat-syaratnya dan tidak melakukan hal-hal yang
merusaknya, tidak membatalakannya dengan kekufuran dan murtad sampai dia meninggal maka Allah tidak
akan menyia-nyiakan amalannya, bahklan -insya Allah- akan menerimanya; dan orang yang berbuat
kemaksiatan selain syirik dan kekufuran meskipun dia belum bertaubat sampai dia meninggal dalam keadaan
beriman, maka di berasa dibawah kehendak Allah, kalau Dia menghendaki maka akan mengadzabnya dan kalau
tidak maka akan mengampuninya.”

5. Sebagian ahlul ilmi yang lainnya memberikan tuduhan kepada Abu Hanifah, bahwa beliau berpendapat Al-
Qur’an itu makhluq.
Padahahal telah dinukil dari beliau bahwa Al-Qur’an itu adalah kalamullah dan pengucapan kita dengan Al-
Qur’an adalah makhluq. Dan ini merupakan pendapat ahlul haq …,coba lihatlah ke kitab beliau Fiqhul Akbar
dan Aqidah Thahawiyah …, dan penisbatan pendapat Al-Qur’an itu dalah makhluq kepada Abu Hanifah
merupakan kedustaan”.

Dan di sana masih banyak lagi bentuk-bentuk penilaian negatif dan celaan yang diberikan kepada beliau, hal ini
bisa dibaca dalam kitab Tarikh Baghdad juz 13 dan juga kitab al-Jarh wa at-Ta’dil Juz 8 hal 450.

Dan kalian akan mengetahui riwayat-riwayat yang banyak tentang cacian yang ditujukan kepada Abiu Hanifah
-dalam Tarikh Baghdad- dan sungguh kami telah meneliti semua riwayat-riwayat tersebut, ternyata riwayat-
riwayat tersebut lemah dalam sanadnya dan mudhtharib dalam maknanya. Tidak diragukan lagi bahwa
merupakan cela, aib untuk ber-ashabiyyah madzhabiyyah, … dan betapa banyak dari para imam yang agung,
alim yang cerdas mereka bersikap inshaf (pertengahan ) secara haqiqi. Dan apabila kalian menghendaki untuk
mengetahui kedudukan riwayat-riwayat yang berkenaan dengan celaan terhadap Abu Hanifah maka bacalah
kitab al-Intiqo’ karya Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, Jami’ul Masanid karya al-Khawaruzumi dan Tadzkiratul
Hufazh karya Imam Adz-Dzahabi. Ibnu Abdil Barr berkata, “Banyak dari Ahlul Hadits – yakni yang menukil
tentang Abu Hanifah dari al-Khatib (Tarikh baghdad) – melampaui batas dalam mencela Abu Hanifah, maka
hal seperti itu sungguh dia menolak banyak pengkhabaran tentang Abu Hanifah dari orang-orang yang adil”

Beberapa nasehat Imam Abu Hanifah


Beliau adalah termasuk imam yang pertama-tama berpendapat wajibnya mengikuti Sunnah dan meninggalkan
pendapat-pendapatnya yang menyelisihi sunnah. dan sungguh telah diriwayatkan dari Abu Hanifah oleh para
sahabatnya pendapat-pendapat yang jitu dan dengan ibarat yang berbeda-beda, yang semuanya itu
menunjukkan pada sesuatu yang satu, yaitu wajibnya mengambil hadits dan meninggalkan taqlid terhadap
pendapat para imam yang menyelisihi hadits. Diantara nasehat-nasehat beliau adalah:

a. Apabila telah shahih sebuah hadits maka hadits tersebut menjadi madzhabku
Berkata Syaikh Nashirudin Al-Albani, “Ini merupakan kesempurnaan ilmu dan ketaqwaan para imam. Dan para
imam telah memberi isyarat bahwa mereka tidak mampu untuk menguasai, meliput sunnah/hadits secara
keseluruhan”. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Syafii, “maka terkadang diantara para imam ada
yang menyelisihi sunnah yang belum atau tidak sampai kepada mereka, maka mereka memerintahkan kepada
kita untuk berpegang teguh dengan sunnah dan menjadikan sunah tersebut termasuk madzhab mereka
semuanya”.

b. Tidak halal bagi seseorang untuk mengambil/memakai pendapat kami selama dia tidak mengetahui dari dalil
mana kami mengambil pendapat tersebut. dalam riwayat lain, haram bagi orang yang tidak mengetahui dalilku,
dia berfatwa dengan pendapatku. Dan dalam riawyat lain, sesungguhnya kami adalah manusia biasa, kami
berpendapat pada hari ini, dan kami ruju’ (membatalkan) pendapat tersebut pada pagi harinya. Dan dalam
riwayat lain, Celaka engkau wahai Ya’qub (Abu Yusuf), janganlah engakau catat semua apa-apa yang kamu
dengar dariku, maka sesungguhnya aku berpendapat pada hari ini denga suatu pendapat dan aku tinggalkan
pendapat itu besok, besok aku berpendapat dengan suatu pendapat dan aku tinggalkan pendapat tersebut hari
berikutnya.

Syaikh Al-Albani berkata, “Maka apabila demikian perkataan para imam terhadap orang yang tidak mengetahui
dalil mereka. maka ketahuilah! Apakah perkataan mereka terhadap orang yang mengetahui dalil yang
menyelisihi pendapat mereka, kemudian dia berfatwa dengan pendapat yang menyelisishi dalil tersebut? maka
camkanlah kalimat ini! Dan perkataan ini saja cukup untuk memusnahkan taqlid buta, untuk itulah sebaigan
orang dari para masyayikh yang diikuti mengingkari penisbahan kepada Abu Hanifah tatkala mereka
mengingkari fatwanya dengan berkata “Abu Hanifah tidak tahu dalil”!.

Berkata Asy-sya’roni dalam kitabnya Al-Mizan 1/62 yang ringkasnya sebagai berikut, “Keyakinan kami dan
keyakinan setiap orang yang pertengahan (tidak memihak) terhadap Abu Hanifah, bahwa seandainya dia hidup
sampai dengan dituliskannya ilmu Syariat, setelah para penghafal hadits mengumpulkan hadits-haditsnya dari
seluruh pelosok penjuru dunia maka Abu Hanifah akan mengambil hadits-hadits tersebut dan meninggalkan
semua pendapatnya dengan cara qiyas, itupun hanya sedikit dalam madzhabnya sebagaimana hal itu juga
sedikit pada madzhab-madzhab lainnya dengan penisbahan kepadanya. Akan tetapi dalil-dalil syari terpisah-
pesah pada zamannya dan juga pada zaman tabi’in dan atbaut tabiin masih terpencar-pencar disana-sini. Maka
banyak terjadi qiyas pada madzhabnya secara darurat kalaudibanding dengan para ulama lainnya, karena tidak
ada nash dalam permasalahan-permasalahan yang diqiyaskan tersebut. berbeda dengan para imam yang lainnya,
…”. Kemudian syaikh Al-Albani mengomentari pernyataan tersebut dengan perkataannya, “Maka apabila
demikian halnya, hal itu merupakan udzur bagi Abu Hanifah tatkala dia menyelisihi hadits-hadits yang shahih
tanpa dia sengaja – dan ini merupakan udzur yang diterima, karena Allah tidak membebani manusia yang tidak
dimampuinya -, maka tidak boleh mencela padanya sebagaimana yang dilakukan sebagian orang jahil, bahkan
wajib beradab dengannya karena dia merupakan salah satu imam dari imam-imam kaum muslimin yang dengan
mereka terjaga agama ini. …”.

c. Apabila saya mengatakan sebuah pendapat yang menyelisihi kitab Allah dan hadits Rasulullah yang shahih,
maka tinggalkan perkataanku.

Wafatnya
Pada zaman kerajaan Bani Abbasiyah tepatnya pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur yaitu raja yang
ke-2, Abu Hanifah dipanggil kehadapannya untuk diminta menjadi qodhi (hakim), akan tetapi beliau menolak
permintaan raja tersebut – karena Abu Hanifah hendak menjauhi harta dan kedudukan dari sultan (raja) – maka
dia ditangkap dan dijebloskan kedalam penjara dan wafat dalam penjara.

Dan beliau wafat pada bulan Rajab pada tahun 150 H dengan usia 70 tahun, dan dia dishalatkan banyak orang
bahkan ada yang meriwayatkan dishalatkan sampai 6 kloter.

(diambil dari majalah Fatawa)

Daftar Pustaka:
1. Tarikhul Baghdad karya Abu Bakar Ahmad Al-Khatib Al-Baghdadi cetakan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
2. Siyarul A’lamin Nubala’ karya Al-Imam Syamsudin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi
cetakan ke - 7 terbitan Dar ar-Risalah Beirut
3. Tadzkiratul Hufazh karya Al-Imam Syamsudin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi terbitan
Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
4. Al-Bidayah wa an-Nihayah karya Ibnu Katsir cetakan Maktabah Darul Baz Beirut
5. Kitabul Jarhi wat Ta’dil karya Abu Mumahhan Abdurrahman bin Abi Hatim bin Muhammad Ar-Razi
terbitan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
6. Shifatu Shalatin Nabi karya Syaikh Nashirudin Al-Albani cetakan Maktabah Al-Ma’arif Riyadh
Imam Malik : Biografi Singkat Ahli Hadist
20 March 2009 :  :  No Comment

Sejarah Singkat Imam Malik

Dalam sebuah kunjungan ke kota Madinah, Khalifah Bani Abbasiyyah, Harun Al Rasyid (penguasa saat itu),
tertarik mengikuti ceramah al muwatta’ (himpunan hadits) yang diadakan Imam Malik. Untuk hal ini, khalifah
mengutus orang memanggil Imam. Namun Imam Malik memberikan nasihat kepada Khalifah Harun, ”Rasyid,
leluhur Anda selalu melindungi pelajaran hadits. Mereka amat menghormatinya. Bila sebagai khalifah Anda
tidak menghormatinya, tak seorang pun akan menaruh hormat lagi. Manusia yang mencari ilmu, sementara
ilmu tidak akan mencari manusia.”

Sedianya, khalifah ingin agar para jamaah meninggalkan ruangan tempat ceramah itu diadakan. Namun,
permintaan itu tak dikabulkan Imam Malik. ”Saya tidak dapat mengorbankan kepentingan umum hanya untuk
kepentingan seorang pribadi.” Sang khalifah pun akhirnya mengikuti ceramah bersama dua putranya dan duduk
berdampingan dengan rakyat kecil.

Imam Malik yang bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris
bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al Asbahi, lahir di Madinah pada tahun 712 M dan wafat tahun 796
M. Berasal dari keluarga Arab terhormat, berstatus sosial tinggi, baik sebelum maupun sesudah datangnya
Islam. Tanah asal leluhurnya adalah Yaman, namun setelah nenek moyangnya menganut Islam, mereka pindah
ke Madinah. Kakeknya, Abu Amir, adalah anggota keluarga pertama yang memeluk agama Islam pada tahun 2
H. Saat itu, Madinah adalah kota ilmu yang sangat terkenal.

Kakek dan ayahnya termasuk kelompok ulama hadits terpandang di Madinah. Karenanya, sejak kecil Imam
Malik tak berniat meninggalkan Madinah untuk mencari ilmu. Ia merasa Madinah adalah kota dengan sumber
ilmu yang berlimpah lewat kehadiran ulama-ulama besarnya.

Kendati demikian, dalam mencari ilmu Imam Malik rela mengorbankan apa saja. Menurut satu riwayat, sang
imam sampai harus menjual tiang rumahnya hanya untuk membayar biaya pendidikannya. Menurutnya, tak
layak seorang yang mencapai derajat intelektual tertinggi sebelum berhasil mengatasi kemiskinan. Kemiskinan,
katanya, adalah ujian hakiki seorang manusia.

Karena keluarganya ulama ahli hadits, maka Imam Malik pun menekuni pelajaran hadits kepada ayah dan
paman-pamannya. Kendati demikian, ia pernah berguru pada ulama-ulama terkenal seperti Nafi’ bin Abi
Nuaim, Ibnu Syihab az Zuhri, Abul Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said al Anshari, dan Muhammad bin
Munkadir. Gurunya yang lain adalah Abdurrahman bin Hurmuz, tabi’in ahli hadits, fikih, fatwa dan ilmu
berdebat; juga Imam Jafar Shadiq dan Rabi Rayi.

Dalam usia muda, Imam Malik telah menguasai banyak ilmu. Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir
seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan. Tidak kurang empat khalifah, mulai dari Al Mansur, Al
Mahdi, Hadi Harun, dan Al Ma’mun, pernah jadi murid Imam Malik. Ulama besar, Imam Abu Hanifah dan
Imam Syafi’i pun pernah menimba ilmu dari Imam Malik. Belum lagi ilmuwan dan para ahli lainnya. Menurut
sebuah riwayat disebutkan murid terkenal Imam Malik mencapai 1.300 orang.

Ciri pengajaran Imam Malik adalah disiplin, ketentraman, dan rasa hormat murid kepada gurunya. Prinsip ini
dijunjung tinggi olehnya sehingga tak segan-segan ia menegur keras murid-muridnya yang melanggar prinsip
tersebut. Pernah suatu kali Khalifah Mansur membahas sebuah hadits dengan nada agak keras. Sang imam
marah dan berkata, ”Jangan melengking bila sedang membahas hadits Nabi.”

Ketegasan sikap Imam Malik bukan sekali saja. Berulangkali, manakala dihadapkan pada keinginan penguasa
yang tak sejalan dengan aqidah Islamiyah, Imam Malik menentang tanpa takut risiko yang dihadapinya. Salah
satunya dengan Ja’far, gubernur Madinah. Suatu ketika, gubernur yang masih keponakan Khalifah Abbasiyah,
Al Mansur, meminta seluruh penduduk Madinah melakukan bai’at (janji setia) kepada khalifah. Namun, Imam
Malik yang saat itu baru berusia 25 tahun merasa tak mungkin penduduk Madinah melakukan bai’at kepada
khalifah yang mereka tak sukai.

Ia pun mengingatkan gubernur tentang tak berlakunya bai’at tanpa keikhlasan seperti tidak sahnya perceraian
paksa. Ja’far meminta Imam Malik tak menyebarluaskan pandangannya tersebut, tapi ditolaknya. Gubernur
Ja’far merasa terhina sekali. Ia pun memerintahkan pengawalnya menghukum dera Imam Malik sebanyak 70
kali. Dalam kondisi berlumuran darah, sang imam diarak keliling Madinah dengan untanya. Dengan hal itu,
Ja’far seakan mengingatkan orang banyak, ulama yang mereka hormati tak dapat menghalangi kehendak sang
penguasa.

Namun, ternyata Khalifah Mansur tidak berkenan dengan kelakuan keponakannya itu. Mendengar kabar
penyiksaan itu, khalifah segera mengirim utusan untuk menghukum keponakannya dan memerintahkan untuk
meminta maaf kepada sang imam. Untuk menebus kesalahan itu, khalifah meminta Imam Malik bermukim di
ibukota Baghdad dan menjadi salah seorang penasihatnya. Khalifah mengirimkan uang 3.000 dinar untuk
keperluan perjalanan sang imam. Namun, undangan itu pun ditolaknya. Imam Malik lebih suka tidak
meninggalkan kota Madinah. Hingga akhir hayatnya, ia tak pernah pergi keluar Madinah kecuali untuk berhaji.

Pengendalian diri dan kesabaran Imam Malik membuat ia ternama di seantero dunia Islam. Pernah semua orang
panik lari ketika segerombolan Kharijis bersenjatakan pedang memasuki masjid Kuffah. Tetapi, Imam Malik
yang sedang shalat tanpa cemas tidak beranjak dari tempatnya. Mencium tangan khalifah apabila menghadap di
baliurang sudah menjadi adat kebiasaan, namun Imam Malik tidak pernah tunduk pada penghinaan seperti itu.
Sebaliknya, ia sangat hormat pada para cendekiawan, sehingga pernah ia menawarkan tempat duduknya sendiri
kepada Imam Abu Hanifah yang mengunjunginya.

Dari Al Muwatta’ Hingga Madzhab Maliki


Al Muwatta’ adalah kitab fikih berdasarkan himpunan hadits-hadits pilihan. Santri mana yang tak kenal kitab
yang satu ini. Ia menjadi rujukan penting, khususnya di kalangan pesantren dan ulama kontemporer. Karya
terbesar Imam Malik ini dinilai memiliki banyak keistimewaan. Ia disusun berdasarkan klasifikasi fikih dengan
memperinci kaidah fikih yang diambil dari hadits dan fatwa sahabat.

Menurut beberapa riwayat, sesungguhnya Al Muwatta’ tak akan lahir bila Imam Malik tidak ‘dipaksa’ Khalifah
Mansur. Setelah penolakan untuk ke Baghdad, Khalifah Al Mansur meminta Imam Malik mengumpulkan
hadits dan membukukannya. Awalnya, Imam Malik enggan melakukan itu. Namun, karena dipandang tak ada
salahnya melakukan hal tersebut, akhirnya lahirlah Al Muwatta’. Ditulis di masa Al Mansur (754-775 M) dan
baru selesai di masa Al Mahdi (775-785 M).

Dunia Islam mengakui Al Muwatta’ sebagai karya pilihan yang tak ada duanya. Menurut Syah Walilullah, kitab
ini merupakan himpunan hadits paling shahih dan terpilih. Imam Malik memang menekankan betul terujinya
para perawi. Semula, kitab ini memuat 10 ribu hadits. Namun, lewat penelitian ulang, Imam Malik hanya
memasukkan 1.720 hadits. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dengan 16 edisi yang
berlainan. Selain Al Muwatta’, Imam Malik juga menyusun kitab Al Mudawwanah al Kubra, yang berisi fatwa-
fatwa dan jawaban Imam Malik atas berbagai persoalan.

Imam Malik tak hanya meninggalkan warisan buku. Ia juga mewariskan mazhab fikih di kalangan Islam Sunni,
yang disebut sebagai Mazhab Maliki. Selain fatwa-fatwa Imam Malik dan Al Muwatta’, kitab-kitab seperti Al
Mudawwanah al Kubra, Bidayatul Mujtahid wa Nihaayatul Muqtashid (karya Ibnu Rusyd), Matan ar Risalah fi
al Fiqh al Maliki (karya Abu Muhammad Abdullah bin Zaid), Asl al Madarik Syarh Irsyad al Masalik fi Fiqh al
Imam Malik (karya Shihabuddin al Baghdadi), dan Bulgah as Salik li Aqrab al Masalik (karya Syeikh Ahmad
as Sawi), menjadi rujukan utama mazhab Maliki.

Di samping sangat konsisten memegang teguh hadits, mazhab ini juga dikenal amat mengedepankan aspek
kemaslahatan dalam menetapkan hukum. Secara berurutan, sumber hukum yang dikembangkan dalam Mazhab
Maliki adalah Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah SAW, amalan sahabat, tradisi masyarakat Madinah (amal ahli al
Madinah), qiyas (analogi), dan al maslahah al mursalah (kemaslahatan yang tidak didukung atau dilarang oleh
dalil tertentu).
Mazhab Maliki pernah menjadi mazhab resmi di Mekah, Madinah, Irak, Mesir, Aljazair, Tunisia, Andalusia
(kini Spanyol), Marokko, dan Sudan. Kecuali di tiga negara yang disebut terakhir, jumlah pengikut mazhab
Maliki kini menyusut. Mayoritas penduduk Mekah dan Madinah saat ini mengikuti Mazhab Hanbali. Di Iran
dan Mesir, jumlah pengikut Mazhab Maliki juga tidak banyak. Hanya Marokko saat ini satu-satunya negara
yang secara resmi menganut Mazhab Maliki.

Sumber: http://www.kotasantri.com
Biografi Harun Yahya
18 March 2009 :  :  No Comment

Harun Yahya adalah nama pena ADNAN OKTAR

yang lahir di Ankara pada tahun 1956. Sebagai seorang da’i dan ilmuwan terkemuka asal Turki, beliau sangat
menjunjung tinggi nilai akhlaq dan mengabdikan hidupnya untuk mendakwahkan ajaran agama kepada
masyarakat. Adnan Oktar memulai perjuangan intelektualnya pada tahun 1979, yakni ketika menuntut ilmu di
Akademi Seni, Universitas Mimar Sinan. Selama berada di universitas tersebut, beliau melakukan pengkajian
yang mendalam tentang berbagai filsafat dan ideologi materialistik yang sangat berpengaruh terhadap
masyarakat sekitar. Hal ini menjadikan beliau lebih tahu dan paham dibandingkan dengan para pendukung
filsafat atau ideologi itu sendiri. Berbekal informasi dan pengetahuan yang mendalam ini, beliau menulis
berbagai buku tentang bahaya Darwinisme dan teori evolusi, yang merupakan ancaman terhadap nilai-nilai
akhlaq, terhadap dunia; serta buku tentang keruntuhan teori ini oleh ilmu pengetahuan. Majalah ilmiah populer
terkenal New Scientist edisi 22 April 2000 menjuluki Adnan Oktar sebagai “pahlawan dunia” yang telah
membongkar kebohongan teori evolusi dan mengemukakan fakta adanya penciptaan. Penulis juga telah
menghasilkan berbagai karya tentang Zionisme dan Freemasonry, serta ratusan buku yang mengulas masalah
akhlaq dalam Al-Qur’an dan bahasan-bahasan lain yang berhubungan dengan akidah.

Nama pena Harun Yahya berasal dari dua nama Nabi: “Harun” (Aaron) dan “Yahya” (John) untuk mengenang
perjuangan dua orang Nabi tersebut melawan kekufuran.

Buku-buku karya pengarang:


‘Tangan Rahasia’ di Bosnia,
Kebohongan Holocaust,
Di Balik Tirai Terorisme,
Kartu-Kurdi Israel,
Strategi Nasional bagi Turki,
Moral Qur’ani: Solusi,
Permusuhan Darwin Terhadap Bangsa Turki,
Bencana Kemanusiaan Akibat Ulah Darwinisme,
Kebohongan Teori Evolusi,
Bangsa-Bangsa Yang Diadzab,
Nabi Musa,
Zaman Keemasan,
Keagungan Warna Ciptaan Allah,
Kebesaran Allah di Setiap Sudut Alam Semesta,
Hakikat Kehidupan Dunia,
Pengakuan Kaum Evolusionis,
Kekeliruan Kaum Evolusionis,
Sihir Darwinisme, A
gama Darwinisme,
Al-Qur’an Menuntun Kepada Ilmu Pengetahuan,
Asal Usul Kehidupan yang Sesungguhnya,
Penciptaan Alam Semesta,
Keajaiban Al-Qur’an,
Desain Pada Alam,
Perilaku Pengorbanan Diri dan Kecerdasan Pada Dunia Hewan, Keabadian Telah Berlangsung,
Anakku Darwin Telah Berbohong!,
Berakhirnya Darwinisme,
Bagaimana Seorang Muslim Berpikir?,
Keabadian dan Hakikat Takdir,
Jangan Berpura-Pura Tidak Tahu,
Misteri DNA,
Keajaiban Atom,
Keajaiban Sel,
Keajaiban Sistem Kekebalan,
Keajaiban Mata,
Keajaiban Penciptaan Tumbuhan,
Keajaiban Laba-Laba,
Keajaiban Semut,
Keajaiban Nyamuk,
Keajaiban Lebah,
Keajaiban Biji,
Keajaiban Rayap.

Karya penulis dalam bentuk booklet: Misteri Atom, Keruntuhan Teori Evolusi: Fakta Penciptaan, Keruntuhan
Materialisme, Berakhirnya Materialisme, Kekeliruan Kaum Evolusionis 1, Kekeliruan Kaum Evolusionis 2,
Mikrobiologi Meruntuhkan Teori Evolusi, Fakta Penciptaan, 20 Pertanyaan Yang Meruntuhkan Teori Evolusi,
Kebohongan Terbesar Dalam Sejarah Biologi: Darwinisme.

Karya-karya pengarang yang berhubungan dengan Al-Qur’an: Pernahkah Anda Berpikir Tentang Kebenaran?,
Mengabdi Hanya Kepada Allah, Meninggalkan Masyarakat Jahiliyyah, Surga, Teori Evolusi, Nilai Akhlaq
Dalam Al-Qur’an, Ilmu Al-Qur’an, Index Al-Qur’an, Hijrah di Jalan Allah, Sifat Munafiq Dalam Al-Qur’an,
Rahasia Orang Munafiq, Nama-Nama Allah Yang Agung, Berdakwah dan Berdebat Dalam Al-Qur’an, Konsep
Dasar Dalam Al-Qur’an, Jawaban-Jawaban Al-Qur’an, Kematian, Kebangkitan dan Neraka, Perjuangan Para
Rasul, Syaitan: Musuh Nyata Manusia, Agama Berhala, Agama Kaum Jahiliyyah, Kesombongan Syaitan, Doa
Dalam Al-Qur’an, Urgensi Akal dalam Al-Qur’an, Hari Kebangkitan, Jangan Pernah Lupa, Hukum-Hukum Al-
Qur’an yang Diabaikan, Karakter Manusia Dalam Masyarakat Jahiliyyah, Pentingnya Sabar Dalam Al-Qur’an,
Pengetahuan Umum Dari Al-Qur’an, Memahami Iman dengan Mudah 1-2-3, Pemikiran Dangkal Kaum Kafir,
Iman Yang Sempurna, Sebelum Anda Menyesal, Perkataan Para Rasul, Kasih Sayang Orang Mukmin, Takut
Kepada Allah, Mimpi Buruk Kekafiran, Nabi Isa Akan Datang Kembali, Al-Qur’an Memberi Keindahan Pada
Kehidupan, Beragam Keindahan Ciptaan Allah 1-2-3-4, Perbuatan Dosa Bernama: ‘Mencela’, Rahasia Ujian
Kehidupan, Hikmah Yang Benar Menurut Al-Qur’an, Perjuangan Melawan Agama Kaum yang Tidak
Beragama, Tarbiyyah Nabi Yusuf, Bersekutu dalam Kebaikan, Fitnah Terhadap Umat Islam Sepanjang Sejarah,
Urgensi Mengikuti Perkataan yang Baik, Mengapa Menipu Diri Sendiri?, Islam: Agama Mudah, Kegembiraan
dan Keteguhan dalam Al-Qur’an, Melihat Kebaikan pada Segala Hal, Bagaimana Orang Bodoh Menafsirkan
Al-Qur’an?, Sejumlah Rahasia Al-Qur’an, Keberanian Orang Mukmin.

Buku-buku berjudul Kebohongan Teori Evolusi, Bangsa-Bangsa Yang Diadzab, Bagi Kaum yang Berpikir,
Hakikat Kehidupan Dunia, Bagaimana Seorang Muslim Berpikir?, Jangan Berpura-Pura Tidak Tahu, Keajaiban
Semut, Keagungan Warna Ciptaan Allah, Penciptaan Alam Semesta, Allah Dapat Diketahui Melalui Akal,
Nilai Akhlaq dalam Al-Qur’an, Konsep Dasar dalam Al-Qur’an, Pernahkan Anda Berpikir tentang Kebenaran?,
Pemikiran Dangkal Kaum Kafir, Urgensi Akal dalam Al-Qur’an, dan Keajaiban DNA telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris. Keajaiban Semut dan Allah dapat Diketahui Melalui Akal telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Urdu. Kematian, Kebangkitan dan Neraka telah diterjemahkan ke bahasa Polandia. Bangsa-Bangsa yang
Diadzab telah diterjemahkan ke bahasa Portugis, dan telah diterbitkan oleh berbagai penerbitan manca negara.

Banyak karya Harun Yahya yang kini tengah diterjemahkan ke bahasa Inggris, Perancis, Jerman, Itali, Rusia,
Spanyol, Arab, Portugis, Albania, Serbo-Kroasia (Bosnia), Polandia, Urdu, Indonesia, Melayu dan Malayalam.
Tujuan utama kami adalah untuk menterjemahkan semua buku tersebut ke dalam bahasa Inggris dan berbagai
bahasa lainnya pada tahun 2001 dan menyebarkannya ke seluruh penjuru dunia agar bermanfaat bagi semua
orang.

Dalam semua buku karya pengarang yang menggunakan nama pena Harun Yahya ini, semua topik yang
disampaikan sangat sesuai dengan ajaran Al-Qur’an. Bahkan topik-topik yang disampaikan melalui bahasa
ilmiah, yang kadang dianggap rumit dan membingungkan, diuraikan dengan sangat lugas dan jelas dalam buku-
buku Harun Yahya. Tidaklah mengherankan jika buku-buku tersebut menarik semua orang dari segala umur
dan lapisan masyarakat.
Buku-buku yang berhubungan dengan keimanan mendakwahkan tentang keberadaan dan keesaan Allah, dan
ditulis dengan tujuan utama menyampaikan Islam kepada mereka yang jauh dari agama dan membuka hati
mereka agar menerima kebenaran. Bagi pembaca Muslim, buku-buku tersebut berisikan nasehat dan
peringatan. Penulis telah menerbitkan karya-karyanya tentang hal-hal pokok yang disebutkan dalam Al-Qur’an
agar kaum Muslim dapat meningkatkan ketaqwaan dan kemampuan berpikir mereka secara mendalam.

You might also like