Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1) Dokumen tersebut membahas tentang tinjauan pustaka mengenai paralisis plika vokalis pada pasien pasca operasi jantung.
2) Topik utama yang dibahas meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, diagnosis, diagnosis banding, dan beberapa penyakit laring.
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1) Dokumen tersebut membahas tentang tinjauan pustaka mengenai paralisis plika vokalis pada pasien pasca operasi jantung.
2) Topik utama yang dibahas meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, diagnosis, diagnosis banding, dan beberapa penyakit laring.
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1) Dokumen tersebut membahas tentang tinjauan pustaka mengenai paralisis plika vokalis pada pasien pasca operasi jantung.
2) Topik utama yang dibahas meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, diagnosis, diagnosis banding, dan beberapa penyakit laring.
Paralisis Plica Vocalis Pada Pasien Post Operasi Jantung
Ricky Johnatan (102010174/D4) Universitas Kristen Krida Wacana, Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta, 11510 Little_be3@hotmail.com
Pendahuluan Vokal atau suara merupakan salah satu alat komunikasi paling penting dalam hidup kita. Plika vokalis adalah dua buah pita otot elastis yang terletak didalam jaringan, tepat diatas trakea. Plika vokalis akan menghasilkan suara apabila udara yang tertahan pada paru-paru dilepaskan melewati pita suara yang menutup sehingga pita suara bergetar. Jika tidak sedang berbicara, pita suara terpisah satu sama lain sehingga kita bisa bernapas. Kerusakan pada otot dan saraf pada laring dapat menyebabkan disfonia. Tujuan pembuatan makalah problem based learning kali ini adalah membahas bagaimana kita menghadapi pasien dengan keluhan disfonia. Pada makalah ini akan dibahas keluhan disfonia mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, diagnosis, etiologi, epidemiologi, patogenesis, tata laksana, prognosis dan pencegahan. Anamnesis Anamnesis merupakan suatu teknik pemeriksaan yang dilakukan lewat suatu percakapan atau komunikasi dua arah antara dokter dan pasien. Anamnesis yang baik disertai dengan empati dari dokter terhadap pasien. Perpaduan keahlian mewawancarai dan pengetahuan yang mendalam tentang gejala (simtom) dan tanda (sign) dari suatu penyakit akan memberikan hasil yang memuaskan dalam menentukan diagnosis kemungkinan sehingga dapat membantu menentukan langkah pemeriksaan selanjutnya, termasuk pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis dapat dilakukan dengan dua cara yaitu, autoanamnesis dan aloanamnesis. 1 Autoanamnesis dilakukan langsung pada pasien, sedangkan aloanamnesis dilakukan dengan keluarga atau wali dari pasien tersebut. Aloanamnesis dilakukan jika pasien tidak dapat memberikan informasi kepada kita (koma, cacat, dan bayi atau anak-anak). 1 Pada tahap pertama anamnesis kita harus menanyakan identitas pasien secara jelas, yaitu sebagai berikut : Nama, Jenis kelamin, Tempat / tanggal lahir, Status perkawinan Pekerjaan, Alamat, Pendidikan, dan Agama. Pada tahap berikutnya, kita menanyakan keluhan utama, keluhan penyerta, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit keluarga dan sosial. 1
Kita harus menanyakan apakah terdapat rasa sakit/ nyeri menelan, rasa mengganjal ditenggorokan, demam,suara serak, batuk, sekret di tenggorokan, penurunan berat badan. Tanyakan juga apakah keluhan ini sering kambuh atau tidak. Sangat penting untuk mengetahui riwayat pasien dengan teliti sehingga dapat diketahui diagnosa paralisis plika vokalis dan penyebabnya. Tanyakan riwayat penyakit sebelumnya pada pasien, dan pemakaian alkohol atau rokok serta alergi. 2,3
Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik dilakukan inspeksi dan palpasi pada leher. Selain itu kita juga dapat melakukan laringoskopi indirect. Pada inspeksi kita melihat gerakan menelan, JVP, dan apakah ada benjolan atau kelainan lain pada leher daerah laring. Palpasi, kita periksa apakah terdapat massa dan fraktur pada leher. Periksa juga kelenjar limfa leher dengan cara berdiri di belakang pasien dan palpasi dengan kedua belah tangan seluruh daerah leher dari atas ke bawah. Pada laringoskopi indirect kita menggunakan sebuah spatel cermin yang telah dipanaskan spiritus. Pasien di minta untuk condong ke depan dan leher agak fleksi. Selain itu, kita juga harus melakukan penarikan lidah untuk melihat laring. Untuk menilai gerakan pita suara aduksi pasien diminta mengucapkan iiii, sedangkan untuk menilai gerakan pita suara abduksi dan melihat daerah subglotik pasien diminta untuk inspirasi dalam. 3,4
Pemeriksaan Penunjang Terdapat berbagai macam pemeriksaan penunjang pada laring, yaitu radiogram atau foto polos(anteroposterior dan lateral), esofagogram, CT Scan, sidik tiroid yodium radioaktif, radiogram vertebra servikalis, radiogram kranium, hitung sel darah putih(leukimia), nitrogen urea darah, titer virus dan uji toleransi glukosa (neuropati diabetika). Pada foto polos dapat mendemonstrasi tukang-tulang pada laring dan berguna pada pasien fraktur laring dan suspek benda asing. Computed tomografi dan MRI dapat digunakan untuk melihat masa pada laring atau trakea. 3,4 Selain itu, kita juga dapat melakukan elektromyography untuk melihat kerja dari otot laring dan Stroboscopy untuk melihat frekuensi dan intensitas dari pita suara. Laringoskopi direct dilakukan dalam keadaan pasien mendapatkan anestesi umum dan posisi kepala menghadap ke atas. Kita dapat melihat dalam 2 posisi, yaitu phonation dan respiratory. 3,4
Diagnosis Kerja Paralisis plika vokalis Paralisis plika vokalis merupakan suatu kelumpuhan pita suara atau ketidakmampuan untuk menggerakan otot-otot yang mengontrol pita suara, sehingga salah satu atau kedua pita suara tidak dapat membuka atau menutup sebagaimana mestinya. Secara umum terdapat lima posisi dari korda vokalis sesuai dengan derajat ostium laringeus, yaitu median, paramedian, intermedian, sedikit abduksi dan abduksi penuh. Jika paralisis terjadi unilateral maka pengamat pertama-tama harus memperkirakan posisi garis tengah sebenarnya dan kemudian menghubungkannya dengan posisi korda vokalis. 4
Penilaian tingkat pembukaan rima glottis : 4
Posisi median, kedua pita suara berada di garis tengah. Posisi para median, pembukaan pita suara berkisar 3-5mm Posisi intermedian, pembukaan pita suara berkisar 7mm Posisi abduksi ringan, pembukaan pita suara berkisar 14mm Posisi abduksi penuh, pembukaan pita suara berkisar 18-19mm. Diagnosis Banding Laringitis akut Laringitis akut merupakan radang akut dari selaput lendir laring yang sering timbul sebagai suatau bagian dari infeksi saluran napas atas yang disebabkan oleh virus influenza, rhinosinusitis, atau adenovirus. Pada infeksi bakterial seperti K. Pneumoniae, H. Influenzae, dan Streptococcus kebanyakan sekunder. Gejala peradangan juga dapat timbul akibat iritasi kimia atau akibat trauma(penyalahgunaan suara). Suara parau selalu merupakan gejala utama, kadang bahkan terjadi afonia total. Pada peradangan berat, terutama pada anak-anak dapat timbul stridor karena lumen laring anak sempit. Pada pemeriksaan pita suara tampak merah dan bengkak sekali. Gerak pita suara berkurang atau menghilang. Suhu badan bisa meningkat dan kadang ada gejala lain dari saluran nafas atas atau bawah. 5,6 Pengobatan utama pada laringitis adalah mengistirahatkan suara dan tidak merokok. Selain mengistirahatkan suara, kita juga dapat menambahkan antibiotik atau anti flogistik sesuai dengan penyebab. Inhalasi dengan uap dan derivat menthol tindak mempunyai pengaruh. 5,6
Nodul pita suara Nodul pita suara adalah penebalan setempat yang hampir simetris pada pita suara, di perbatasan sepertiga depan dan dua pertiga belakang pita suara asli. Nodul ini menghalang- halangi getaran pita suara dan penutupan glotis, dengan akibat suara menjadi parau. Gangguan ini paling banyak terdapat pada wanita usia dewasa muda dan anak-anak yang berusia 7 sampai 13 tahun. Tergantung pada edema lokal yang terjadi, nantinya akan terjadi lebih banyak jaringan fibrotik. Penyebab dari nodul ini adalah penggunaan suara berlebihan secara kronis dan atau teknik berbicara yang salah. Nodul terdapat ditempat pita suara yang beramplitudo getaran terbesar dan yang paling tegang hingga selaput lendir mengalami tekanan berat. Meskipun demikian, nodul jarang ditemukan pada penyanyi yang terlatih, kebanyakan terdapat pada orang-orang yang pekerjannya banyak berbicara. 5,6
Gejala klinik yang paling penting adalah suara parau, yang makin bertambah setelah berbicara lama. Penegakan diagnosis pada umumnya tidak sulit karena letak nodul adalah khas. Kadang-kadang kista pita suara yang kecil(kongenital) bereaksi dengan pita suara sebelah, sehingga terlihat seperti nodul pita suara. Terapi utama adalah istirahat berbicara bahkan larangan berbicara sama sekali selama beberapa minggu. Dengan terapi wicara(logopedis), teknik wicara dapat diperbaiki sehingga nodul akan hilang dengan spontan. 5,6
Polip pita suara Polip pita suara adalah tonjolan selaput lendir pita suara asli, yang kebanyakan sebelah saja dan lokal. Tidak jelas faktor penyebabnya, kemungkinan yang memegang peranan adalah rokok, penyalahgunaan suara, dan batuk kronis. Satu-satunya gejala adalah suara parau. Aspek polip bervariasi, mulai dari pucat mengkilat sampai merah tua bahkan hemoragis. Eksisi dengan bedah mikro perlu dilakukan, selain itu perlu juga diperhatikan apakah teknik wicaranya cukup baik dan apakah diperlukan terapi wicara(logopedis). 5,6
Kista pita suara Kista pita suara maupun kista retensi dapat disebabkan oleh saluran kelenjar yang tersumbat seperti kebanyakan kista epidermoid kongenital. Kista epidermoid kongenital dapat timbul setelah pita suara ruptur dan berubah menjadi sulkus glotidis. Pasien mengeluh para tetapi diagnosis baru dapat ditegakkan dengan mikrolaringoskopi. Pada waktu itu juga dilakukan bedah mikrolaring dengan mengeksisi kista. Bentuk kongenital sulkus glotidis adalah saluran di sumbu panjang pita suara. Pada keadaan itu, suara yang dihasilkan kurang lebih suboptimal. Pada saat melakukan laringoskopi, umumnya tidak disangka-sangka menemukan kista retensi di valekula atau sekitarnya, di dasar lidah dan di epiglotis. Kista ini tidak menimbulkan keluhan kecuali terlalu besar. 5,6
Etiologi Tiap lesi sepanjang perjalanan nervus laringeus rekurens dapat menimbulkan paralisis laring. Lesi interakranial biasanya disertai gejala-gejala lain dan lebih bermanifestasi sebagai gangguan neurologis dan bukannya gangguan suara atau artikulasi. Lesi batang otak terutama menimbulkan gangguan suara, namun dapat pula disertai tanda-tanda neurologis lain. Multipel sklerosis, tumor batang otak, dan sklerosis lateral amiotrofik mungkin disertai gejala suara yang cukup bermakna. Pemeriksaan saraf kranialis secara cermat, uji serebelum, serta pemeriksaan untuk menentukan sindrom horner perlu dilakukan. 4
Lesi pada dasar kranium yang secara selektif melibatkan satu atau lebih saraf kranialis termasuk tumor nasofaring, aneurisma dan tumor neurogenik. Tumor yang berasal dari spasium laterofaringeus serta dari lobus profunda kelenjar parotis, juga dapat menyebabkan paralisis korda vokalis. Demikian pula tiroidektomi atau pembedahan leher lainnya. Bila segera diketahui setelah pembedahan, maka perlu dilakukan re-eksplorasi saraf untuk mencari trauma bedah. Tindakan ini harus dilakukan sebelum proses fibrosis mengobliterasi lapangan pembedahan, sehingga identifikasi saraf menjadi tidak mungkiin. Neoplasma tiroid, esofagus dan paru merupakan penyebab paralisis korda vokalis yang lazim. Pada paralisis idiopatik diduga beretiologi virus atau karsinoma tersamar pada tiroid. 4
Epidemiologi Paralisis plika vokalis unilateral atau bilateral terjadi sekitar 10% dari semua kelainan kongenital pada laring. Pada berbagai penelitian, insiden dari paralisis N. Laryngeus bervariasi antara 1-35%. Sekitar 20% terdapat pada pasien dengan kelumpuhan laring yang tanpa penyebab yang jelas. Insiden ini paling tinggi pada pria dan lebih mengenai saraf sebelah kanan. Penyebab tersering dari paralisis plika vokalis terdapat pada orang dewasa yang biasanya disebabkan oleh adanya trauma bedah. 4,5
Patogenesis Paralisis plika vokalis unilateral Pada anak paralisis ini memiliki ciri tambahan, yaitu stridor. Hal ini disebabkan karena ukuran glotis yang kecil, maka paralisis unilateral pada anak dapat membahayakan jalan napas. Banyak pasien kembali mendapat fungsi korda vokalis yang normal baik karena saraf yang memulih dan dapat menggerakan korda vokalis, ataupun karena kompensasi korda vokalis satunya, yang menyeberangi garis tengah untuk menempel dengan korda vokalis yang lumpuh. Hal ini dimungkinkan bilamana korda vokalis yang paralisis berada dalam posisi paramedian. Sebelum proseduur restorasi dilakukan, keadaan ini perlu dibiarkan selama 6 sampai 12 bulan agar terjadi kompensasi. Jika mekanisme tersebut tidak terjadi, maka di lateral korda vokalis sejati dapat disuntikkan suatu teflon guna menambah massa dan menggerakannya ke medial, sehingga korda vokalis yang mampu bergerak normal kira-kira dapat mendekat dan menghasilkan suara yang enak didengar. 3,4
Paralisis plika vokalis bilateral Pada paralisis plika vokalis bilateral, kedua korda vokalis biasanya dalam posisi paramedian, maka suara tidak terlalu terpengaruh, akan tetapi rima glotis tidak cukup lebar untuk kegiatan yang menggerahkan tenaga. Pasien bahkan mengalami sesak napas pada waktu istirahat. Biasanya pasien dengan paralisis korda vokalis bilateral mempunyai korda vokalis yang hampir melekat, sehingga sebagian besar memerlukan trakeostomi guna mengurangi obstruksi jalan napas. Jarang pasien paralisis plika vokalis bilateral mempunyai korda vokalis yang terpisah lebar. Korda vokalis yang dalam posisi teraduksi bukan diakibatkan lesi neurogenik, namun dapat timbul akibat trauma laring. Pada kasus ini, jalan napas masih baik namun suara menjadi lemah dan disertai bunyi napas. Pita suara dalam posisi aduksi lebih sering ditemukan pada paralisis bilateral akibat lesi neurogenik dan pasien memiliki suara yang baik dengan pernapasan buruk. 3,4
Tata Laksana Pengobatan pada kelumpuhan pita suara(unilateral) adalah terapi suara (conservative voice exercises) dan bedah pita suara (phonosurgery). Pada umumnya terapi suara dilakukan terlebih dahulu. Setelah terapi suara, tindakan bedah dapat dilakukan tergantung pada beratnya gejala, kebutuhan suara pada pasien, posisi kelumpuhan pita suara dan penyebab kelumpuhan tersebut. Operasi sendiri baru dapat dilakukan 1 tahun setelah onset paralisis pita suara untuk menunggu paralisis dapat sembuh spontan. Pembedahan dapat dilakukan segera pada pasien usia tua. Pada paralisis bilateral dapat dilakukan tracheostomy saat terjadi gangguan pernapasan. 3,4,6
Laringoplasti injeksi menggunakan kalsium hidroksilapatite, pasta gelatin yang dapat terabsorbsi, bioplastique, atau lemak. Substansi ini akan diijeksikan di lipatan vokal untuk menggantikan bagian medial. Kalsium hidroksilapatite digunakan karena minimalnya reaksi jaringan serta hasilnya mampu bertahan jangka panjang. Pasta gelatin biasanya digunakan untuk orang yang sudah membaik sesuai harapan untuk merestorasi suaranya (penggunaan profesional). Laryngeal framework surgery. Tindakan ini menggunakan implant silastic yang digunakan unruk menggantikan lipatan vocal bagian medial serta memastikan penutupan glotis yang adekuat. Proses ini dilakukan melalui pemotongan di daerah kartilago tiroid. Prognosis Dengan terapi dan mekanisme kompensasi yang baik, pasien akan sembuh segera dan dapat berbicara seperti semula kembali. Pencegahan Tidak ada pencegahan yang spesifik pada paralisis plika vokalis, jangan menggunakan suara secara berlebihan. Kesimpulan Wanita berusia 30 tahun dengan keluhan suara parau bahkan hilang dengan riwayat post operasi jantung seminggu yang lalu menderita paralisis plika vokalis unilateral nervus rekurens. Terapi yang dapat dilakukan pada wanita tersebut adalah terapi suara (conservative voice exercises).
Daftar Pustaka 1. Supartondo, Setiyohadi B. Buku ajar ilmu penyakit dalam : anamnesis. Ed. 5. Vol.1. Jakarta. Interna Publishing, 2009. H : 25-7. 2. Soepardi E A. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Ed. 6. Jakarta. FKUI, 2011. H : 5-6. 3. Probst R, Grevers G, Iro H. Textbook of otorhinolaryngology. German. George Thieme Verlag, 2006. H : 386-94. 4. Adam GL, Boeis LR, Highler PH. Boeis : buku ajar penyakit tht. Ed. 6. Jakarta. EGC, 1997. H : 385-95. 5. Hermani B, Hutauruk SM. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Ed. 6. Jakarta. FKUI, 2011. H: 231- 42. 6. Broek PVD, Feenstra L. Buku saku ilmu kesehatan tenggorok, hidung, dan telinga. Ed. 12. Jakarta. EGC, 2010. H : 139-49.