You are on page 1of 47

ANALISIS SWOT MANAJEMEN CDR (CASE DETECTI ON RATE) PROGAM

TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS GATAK TAHUN 2013


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dokter Muda Stase Ilmu Kesehatan Masyarakat



Disusun Oleh :
1. Imam Khoirul Fajri J500090090
2. Hanri Martonggo J500090081
3. Lina Ikramina J500090084
4. Manuar Puri P J500060061



KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2014


1

LEMBAR PENGESAHAN

ANALISIS SWOT MANAJEMEN CDR (CASE DETECTI ON RATE) PROGAM
TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS GATAK TAHUN 2013

Yang diajukan oleh :
1. Imam Khoirul Fajri J500090090
2. Hanri Martonggo J500090081
3. Lina Ikramina J500090084
4. Manuar Puri P J500060061

Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta,

Mengetahui :

Nama : Bedjo Raharjo, SKM,M.Kes (...........................)

Nama : drg. Tri Prasetyo, M.M (...........................)

Nama : dr. M. Shoim Dasuki, M.Kes (...........................)


KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2014




2


DAFTAR ISI

Halaman Judul . 0
Halaman Persetujuan ... 1
Daftar Isi ..
Daftar Gambar dan Tabel.
2
4
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang .
B. Rumusan Masalah.
C. Tujuan Penelitian .
D. Manfaat Penelitian

5
7
7
7
Bab II Tinjauan Pustaka
A. Tuberculosis
1. Pengertian ..
2. Patogenesis ....
3 .Klasifikasi dan Tipe Pasien ...
4. Penatalaksanaan Pasien TB ......
5. Pengobatan .
6. Komplikasi .
7. Prognosis
B. Analisis Swot
1. Definisi........
2. Langkah Analisis SWOT.....
3. Komponen SWOT .............
4. Tahap Analisa SWOT....... ..
5. Faktor Pendukung Analisis SWOT..
6. Skoring SWOT.....



8
8
10
13
16
22
22

22
23
23
24
26
26
Bab III Pengkajian Progam TB Puskesmas Gatak
A. Gambaran Umum Puskesmas Gatak ......
1. Letak Geografi .....

28
28
3

2. Keadaan Penduduk.
3. Data Dasar Progam TB Puskesmas Gatak...............
B. Hasil dan Indikator Progam TB Puskesmas Gatak........
1. Hasil...
2. Indikator Progam TB Puskesmas Gatak 2013...
a. Angka Penjaringan Suspek ............
b. Case Detection Rate.........................................
c. Proporsi Pasien TB Paru BTA Positif diantara Semua
Pasien TB Paru Tercatat.............................
d. Proporsi pasien TB Anak diantara seluruh pasien
TB................................................................
e. Angka Konversi ....................
h. Angka Kesembuhan ............
i. Angka Keberhasilan Pengobatan .....
Bab IV. Hasil dan Analisa SWOT
A. Hasil dan Analisa SWOT Manajemen CDR Progam TB..
1. Strength.......................................................
2. Weaknes.....................................................
3. Opportunity................................................
4. Threat.........................................................
B. Skoring SWOT.........
C. Pembahasan Isu Strategis...............................................
Bab V. Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan
B.Saran
28
29
31
31
35
35
36

37

37
38
39
39

40
40
40
41
41
42
42

44
44
Daftar Pustaka .. 46






4

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Patogenesis TB Paru ... 10
Gambar 2. Alur Diagnosis Pasien TB . 16

DAFTAR TABEL
Tabel 1. Pengelompokan OAT.. 17
Tabel 2. Jenis, Sifat dan Dosis OAT lini pertama . 17
Tabel 3. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1
Tabel 4. Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1
Tabel 5. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2 .
Tabel 6. Dosis Paduan OAT Kombipak untuk Kategori 2 .
Tabel 7. Dosis KDT untuk Sisipan .
Tabel 8. Dosis OAT Kombipak untuk Sisipan
Tabel 9. Contoh matriks SWOT ........................................
Tabel 10. Contoh matriks SWOT ..........................................
Tabel 11. Contoh matriks SWOT ..........................................
Tabel 12. Rumus persentase daya dorong-hambat....................
Tabel 13. Interpretasi nilai..........................................................
Tabel 14. Data umum penduduk.................................................
Tabel 15. Data dasar tenaga inti..................................................
Tabel 16. Angka target................................................................
Tabel 17. Angka CDR................................................................
Tabel 18. Pencapaian suspek......................................................
Tabel 19. Data kasus TB............................................................
Tabel 20. Skor SWOT................................................................
Tabel 21. Hasil skor SWOT............................................................



19
20
20
21
21
22
24
25
26
27
27
30
31
32
33
34
35
42
42


5

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara dengan masalah tuberkulosis paru ketiga terbesar di dunia
setelah China dan India. Tahun 2004 tercatat 211.753 kasus baru tuberkulosis di Indonesia, dan
diperkirakan sekitar 300 kematian terjadi setiap hari. Setiap tahunnya kasus baru tuberkulosis
bertambah seperempat juta (Syafrizal et al, 2008).
Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-
50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3
sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya
sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15
tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara
sosial stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat.
Diagnosis tuberkulosis paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya BTA.
Pada program tuberkulosis nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis
merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto thorax, biakan dan uji kepekaan dapat
digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan
mendiagnosis tuberkulosis hanya berdasarkan pemeriksaan foto thorax saja. Foto thorax tidak
selalu memberikan gambaran yang khas pada tuberkulosis paru, sehingga sering terjadi
overdiagnosis (DEPKES, 2007). Sedangkan diagnosis TB pada anak sulit sehingga sering terjadi
misdiagnosis baik overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada anak-anak batuk bukan
merupakan gejala utama. Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit, maka diagnosis TB anak
perlu kriteria lain dengan menggunakan sistem skor.
Pada 2006 WHO menetapkan strategi baru untuk menghentikan TB. Strategi itu
bertujuan untuk mengintensifkan penanggulangan TB, menjangkau semua pasien, dan
memastikan tercapainya target Millennium Development Goal (MDG) pada tahun 2015. Strategi
baru WHO ditetapkan berdasarkan pencapaian DOTS, serta menjawab tantangan baru bagi
keberhasilan penanggulangan TB. Enam elemen strategi WHO untuk menghentikan TB untuk
2006-2015 (WHO, 2009): (1) Perluasan dan peningkatan DOTS berkualitas tinggi; (2)
Mengatasi TB/HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya; (3) Penguatan sistem kesehatan; (4)
6

Pelibatan semua pemberi pelayanan kesehatan; (5) Pemberdayaan pasien dan komunitas; (6)
Mendorong dan meningkatkan penelitian (WHO, 2009).
Pemantauan dan evaluasi merupakan salah satu fungsi manajemen yang vital untuk
menilai keberhasilan pelaksanan program penanggulangan TB. Pemantauan yang dilakukan
secara berkala dan kontinu berguna untuk mendeteksi masalah secara dini dalam pelaksanaan
kegiatan yang telah direncanakan, agar dapat dilakukan tindakan perbaikan segera. Selain itu
evaluasi berguna untuk menilai sejauh mana tujuan dan target yang telah ditetapkan sebelumnya
telah tercapai pada akhir suatu periode waktu. Evaluasi dilakukan setelah suatu periode waktu
tertentu, biasanya setiap 6 bulan hingga 1 tahun.. Dalam mengukur keberhasilan tersebut
diperlukan indikator dan standar. Hasil evaluasi berguna untuk kepentingan perencanaan
program dan perbaikan kebijakan program penanggulangan TB.
Di Indonesia pada tahun 1999, WHO (World Health Organization) memperkirakan setiap
tahun muncul 583.000 kasus baru tuberkulosis dengan kematian karena tuberkulosis paru
140.000. Setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 130 penderita baru tuberkulosis paru BTA
(Basil Tahan Asam) positif. Risiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection
= ARTI) bervariasi antara 1-2 %, berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk Indonesia 10-20
orang akan terinfeksi, walaupun tidak semuanya akan menjadi penderita tuberkulosis paru
(Herryanto et al, 2004).
Menurut SPM provinisi Jawa Tengah tahun 2012 target cakupan penemuan dan
penanganan penderita pasien baru TB BTA+ adalah 100%, dengan capaian pada tahun 2010
sebesar 69,04%, tahun 2011 sebesar 59,45%, dan tahun 2012 sebesar 58,45%. Sedangkan
menurut profil kesehatan Indonesia tahun 2011 target CDR adalah minimal 75%, maka dari itu
capaian yang didapatkan masih dibawah target SPM jawa tengan dan nasional. (DEPKES, 2011).
Angka CDR TB paru di Kabupaten Sukoharjo tahun 2013 adalah 34%, dimana hasil
tersebut masih dibawah target CDR kabupaten Sukoharjo yaitu 70%. Sedangkan CDR
kecamatan gatak tahun 2012 adalah 21%.
Berdasarkan survey awal yang dilakukan di puskesmas Gatak pada tahun 2013 jumlah
penduduk di wilayah kerja puskesmas sebanyak 49.850 orang. Data dari P2ML Puskesmas gatak
mengenai jumlah penderita TB Paru pada periode bulan Januari sampai Desember 2013
sebanyak 533 orang dengan hasil pemeriksaan kultur BTA positif sedangkan target suspek
sebanyak 17 orang dan hasil suspek sebanyak 269 orang. Kebanyakan usia penderita adalah usia
produktif. Data ini menggambarkan bahwa masih rendahnya angka CDR di wilayah kerja
7

Puskesmas Gatak, pada tahun 2013 walaupun telah dilakukan program penanggulangan TB Paru
dengan strategi DOTS.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka penulis ingin mengetahui analisis
SWOT manajemen CDR (Case Detection Rate) pada progam tuberkulosis di Puskesmas Gatak
pada tahun 2013.

B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah kekuatan dan kelemahan manajemen CDR (Case Detection Rate) pada
progam tuberkulosis di Puskesmas Gatak pada tahun 2013.

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan manajemen CDR
pada progam tuberkulosis di Puskesmas Gatak pada tahun 2013.

D. Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi mengenai manajemen CDR (Case Detection Rate) atau angka
penemuan progam Tuberkulosis di Puskesmas Gatak tahun 2013.
2. Sebagai masukan dalam upaya untuk meningkatkan angka penemuan progam Tuberkulosis
di Puskesmas Gatak.








8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. TUBERKULOSIS
1. Pengertian
Tuberkulosis adalah penyakit menular infeksi yang disebabkan oleh (Mycobacterium
Tuberculosis)( Arief et al, 2001). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat
juga mengenai organ tubuh lainnya (DEPKES, 2007). Kuman batang aerobik dan tahan asam
ini dapat merupakan organisme patogen maupun saprofit. Ada beberapa mycobacterium
patogen, tetapi hanya strain bovin dan manusia yang patogenik terhadap manusia (Price en
Wilson, 2006).

2. Patogenesis
Tubuh manusia mempunyai suatu sistem imun yang bertujuan melindungi tubuh dari
serangan benda asing seperti kuman, virus dan jamur. Sistem tersebut terdiri atas berbagai
macam sel dan molekul protein yang sanggup membedakan antara self antigen dan nonself
antigen. Setelah sistem imun dibangkitkan terhadap suatu antigen asing, sistem tersebut akan
mempunyai memory atau daya ingat dan akan melakukan respons yang lebih spesifik serta
lebih aktif jika antigen tersebut masuk ke dalam tubuh untuk kedua kalinya. Respons imun
proteksi utama terhadap kuman intraseluler adalah cell mediated immunity (CMI) atau
imunitas seluler. Imunitas seluler terdiri atas dua tipe reaksi yaitu fagositosis (oleh makrofag
teraktivasi) dan lisis sel terinfeksi (oleh limfosit T sitolitik). Kuman yang masuk ke alveoli
akan ditelan dan sering dihancurkan oleh makrofag alveolar. Secara imunologis, sel
makrofag dibedakan menjadi makrofag normal dan makrofag teraktivasi. Makrofag normal
berperan pada pembangkitan daya tahan imunologis nonspesifik, dilengkapi dengan
kemampuan bakterisidal atau bakteriostatik terbatas. Makrofag ini berperanan pada daya
tahan imunologis bawaan (innate resistance). Sedang makrofag teraktivasi mempunyai
kemampuan bakterisidal atau bakteriostatik sangat kuat yang merupakan hasil aktivasi sel T
sebagai bagian dari respons imun spesifik (acquired resistance) (Subagyo et al, 2006).
Mycobacterium tuberculosis dalam makrofag akan dipresentasikan ke sel Th (T helper) 1
melalui major histocompatibility complex (MHC) kelas II. Sel Th1 selanjutnya akan
mensekresi IFN yang akan mengaktifkan makrofag sehingga dapat menghancurkan kuman
9

yang telah difagosit. Sitokin IFN- yang disekresi oleh Th1 tidak hanya berguna untuk
meningkatkan kemampuan makrofag melisiskan kuman tetapi juga mempunyai efek penting
lainnya yaitu merangsang sekresi tumor necrosis factor (TNF) oleh sel makrofag. Hal ini
terjadi karena substansi aktif dalam komponen dinding sel kuman yaitu lipoarabinomannan
(LAM) yang dapat merangsang sel makrofag memproduksi TNF- (Aditama, 2006).
Tuberkulosis primer adalah tuberkulosis yang penularannya terjadi karena kuman
dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel
infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya
sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Bila partikel infeksi ini terhisap oleh
orang sehat, partikel akan menempel pada saluran nafas atau jaringan paru. Partikel dapat
masuk ke alveolar bila ukuran partikel lebih dari 5 mikrometer. Kuman akan dihadapi
pertama kali oleh neutrofil, baru kemudian oleh makrofag. Kebanyakan partikel akan mati
atau dibersihkan oleh makrofag keluar dari percabangan trakeobronkial bersama gerakan
silia dengan sekretnya (Amin, 2007).
Lesi primer paru disebut focus Ghon dan gabungan terserangnya kelenjar getah bening
regional dan lesi primer disebut kompleks Ghon. kompleks Ghon yang mengalami
perkapuran ini dapat dilihat pada orang sehat yang kebetulan menjalani pemeriksaan
radiografi rutin. Namun, kebanyakan infeksi tuberkulosis paru tidak terlihat secara klinis atau
dengan radiografi (Price en Wilson, 2006).
Tuberkulosis sekunder adalah tuberkulosis yang bersifat kronis pada orang dewasa.
Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun kemudian
sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis sekunder. Tuberkulosis sekunder terjadi karena
imunitas menurun seperti malnutrisi, alkohol, diabetes, AIDS, dan gagal ginjal (Amien,
2007). Sarang-sarang yang terlihat pada foto thorax biasanya berkedudukan di lapangan atas
dan segmen apikal lobi bawah, walaupun kadang-kadang dapat juga terjadi di lapangan
bawah yang biasanya disertai dengan pleuritis (Rasad, 2005).
Sarang-sarang ini mulanya juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10 minggu,
sarang ini menjadi tuberkel yaitu suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel Histiosit dan sel
Datia-Langhans (sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan
berbagai jaringan ikat. Sarang ini dapat menjadi sembuh tanpa meninggalkan cacat atau
sembuh dengan serbukan jaringan fibrosis. Ada yang membungkus menjadi keras
menimbulkan kalsifikasi (perkapuran). Sarang yang meluas sebagai granuloma berkembang
menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis, menjadi
10

lembek membentuk jaringan keju. Bila jaringan keju dibatukkan keluar akan terjadilah
kavitas (Amien, 2007).





3. Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberculosis memerlukan suatu definisi
kasus yang meliputi empat hal , yaitu:
1. Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru;
2. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif atau BTA
negatif;
3. Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat.
4. Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati

Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah
1. Menentukan paduan pengobatan yang sesuai
2. Registrasi kasus secara benar
3. Menentukan prioritas pengobatan TB BTA positif
4. Analisis kohort hasil pengobatan

Gambar 1. Patogenesis TB Paru
11

Beberapa istilah dalam definisi kasus:
1. Kasus TB : Pasien TB yang telah dibuktikan secara mikroskopis atau didiagnosis oleh
dokter.
2. Kasus TB pasti (definitif) : pasien dengan biakan positif untuk Mycobacterium
tuberculosis atau tidak ada fasilitas biakan, sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak
SPS hasilnya BTA positif.

Kesesuaian paduan dan dosis pengobatan dengan kategori diagnostic sangat diperlukan
untuk:
1. menghindari terapi yang tidak adekuat (undertreatment) sehingga mencegah timbulnya
resistensi,
2. menghindari pengobatan yang tidak perlu (overtreatment) sehingga meningkatkan
pemakaian sumber-daya lebih biaya efektif (cost-effective)
3. mengurangi efek samping.

a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:
1) Tuberkulosis paru.
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru.
tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2) Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput
otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus,
ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB
Paru:
1) Tuberkulosis paru BTA positif
a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan
gambaran tuberkulosis.
c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
d) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negative dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT.
12

2) Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif.
Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative
b) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan

c. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit.
1) TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks
memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses far
advanced), dan atau keadaan umum pasien buruk.
2) TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:
- TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral,
tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
- TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis
eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat
kelamin.

d. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa
tipe pasien, yaitu:
1) Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan
OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2) Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
3) Kasus setelah putus berobat (Default )
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA
positif.
13

4) Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi
positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5) Kasus Pindahan (Transfer I n)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk
melanjutkan pengobatannya.
6) Kasus lain:
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini
termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif
setelah selesai pengobatan ulangan.
Catatan:
TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal, default
maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan secara
patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan medis spesialistik.

4. Tatalaksana Pasien TB
a. Penemuan Pasien Tb
Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan
klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam
kegiatan program penanggulangan TB. Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular,
secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB, penularan
TB di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang
paling efektif di masyarakat.
1) Strategi penemuan
a) Penemuan pasien TB dilakukan secara pasif dengan promosi aktif. Penjaringan
tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan kesehatan; didukung dengan
penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk
meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien TB.
b) Pemeriksaan terhadap kontak pasien TB, terutama mereka yang BTA positif dan
pada keluarga anak yang menderita TB yang menunjukkan gejala sama, harus
diperiksa dahaknya.
c) Penemuan secara aktif dari rumah ke rumah, dianggap tidak cost efektif.

14

2) Gejala klinis pasien TB
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk
darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,
malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu
bulan.
Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB,
seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain.
Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang
yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang
tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara
mikroskopis langsung.
3) Pemeriksaan dahak mikroskopis
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan
pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan
diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan
dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS).
S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama
kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan
dahak pagi pada hari kedua.
P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun
tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.
S (sewaktu): dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak
pagi.
4) Pemeriksaan Biakan
Peran biakan dan identifikasi M.tuberkulosis pada penanggulangan TB
khususnya untuk mengetahui apakah pasien yang bersangkutan masih peka terhadap
OAT yang digunakan. Selama fasilitas memungkinkan, biakan dan identifikasi kuman
serta bila dibutuhkan tes resistensi dapat dimanfaatkan dalam beberapa situasi:
a) Pasien TB yang masuk dalam tipe pasien kronis
b) Pasien TB ekstraparu dan pasien TB anak.
c) Petugas kesehatan yang menangani pasien dengan kekebalan ganda.

15

5) Pemeriksaan Tes Resistensi
Tes resistensi tersebut hanya bisa dilakukan di laboratorium yang mampu
melaksanakan biakan, identifikasi kuman serta tes resistensi sesuai standar
internasional, dan telah mendapatkan pemantapan mutu (Quality Assurance) oleh
laboratorium supranasional TB. Hal ini bertujuan agar hasil pemeriksaan tersebut
memberikan simpulan yang benar sehinggga kemungkinan kesalahan dalam
pengobatan MDR dapat di cegah.

b. Diagnosis Tb
1) Diagnosis TB paru
Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu
- pagi - sewaktu (SPS).
a) Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB
(BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak
mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks,
biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang
sesuai dengan indikasinya.
b) Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja.
Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga
sering terjadi overdiagnosis.
c) Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.
2) Diagnosis TB ekstra paru
a) Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada
Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe
superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada
spondilitis TB dan lain-lainnya.
b) Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat ditegakkan
berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan menyingkirkan
kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis tergantung pada metode
pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji
mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks dan lain-lain.
16


(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006)
Alur Diagnosis TB paru

5. Pengobatan
a. Tujuan Pengobatan
Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi
kuman terhadap OAT (Obat Anti Tuberkulosis).

17

b. Jenis dan dosis OAT
Golongan dan
Jenis
Obat
Golongan-1 Obat
Lini Pertama
Isoniazid (H)
Ethambutol (E)
Pyrazinamide(Z)
Rifampicin (R)
Streptomycin (S)
Golongan-2 /Obat
Suntik / Suntikan
lini kedua
Kanamycin (Km) Amikacin (Am)
Capreomycin (Cm)

Golongan-3 /
Golongan
Floroquinolone
Ofloxacin (Ofx)
Levofloxacin (Lfx)
Moxifloxacin (Mfx)
Golongan-4 /
Obat
bakteriostatik lini
kedua
Ethionamide (Eto)
Prothionamide(Pto)
Cycloserine (Cs)
Para amino salisilat
(PAS)
Terizidone (Trd)
Golongan-5 /
Obat yang belum
terbukti
efikasinya dan
tidak
direkomendasikan
oleh WHO
Clofazimine (Cfz)
Linezolid (Lzd)
Amoxilin-Clavulanate
(Amx-Clv)
Thioacetazone
(Thz)
Clarithromycin
(Cir)
Imipenem (Ipm)
Tabel 1. Pengelompokkan OAT

Jenis OAT Sifat
Dosis yang direkomendasikan
(mg/kg)
Harian 3xseminggu
Isoniazid (H) Bakterisid 5
(4-6)
10
(8-12)
Rifampicin (R) Bakterisid 10
(8-12)
10
(8-12)
Pyrazinamide (Z) Bakterisid 25
(20-30)
35
(30-40)
Streptomycin (S) Bakterisid 15
(12-18)
15
(12-18)
Ethambutol (E) Bakteriostatik 15
(15-20)
30
(20-35)
Tabel 2. Jenis, Sifat dan Dosis OAT lini pertama

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
i. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan.
18

ii. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis
Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
c. Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:
i. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT
tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan.
ii. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung
(DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
iii. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Tahap awal (intensif)
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara
langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien
menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2
bulan.
Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lebih lama
Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan
Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di
Indonesia:
o Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
o Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
o Kategori Anak: 2HRZ/4HR
o Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan obat di Indonesia terdiri dari
OAT lini ke-2 yaitu Kanamycin, Capreomisin, Levofloksasin, Ethionamide, sikloserin
dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid and etambutol.
19

Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4
jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini
dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan
Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program
untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.

Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan
untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas)
pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa
pengobatan.
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:
1) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat
dan mengurangi efek samping.
2) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi
obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep
3) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi
sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien
Paduan OAT lini pertama dan peruntukannya.
a. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
Pasien baru TB paru BTA positif.
Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
Pasien TB ekstra paru
Berat Badan
Tahap Intensif tiap hari
selama 56 hari RHZE
(150/75/400/275)
Tahap Lanjutan 3 kali
seminggu selama 16
minggu RH (150/50)
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
Tabel 3. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1

20


Tahap
Pengobatan
Lama
Pengobatan
Dosis per hari / kali
Jumlah
hari/kali
menelan
obat
Tablet
Isoniasid
@300
mgr
Kaplet
Rifampisin
@450 mgr
Tablet
Pirazinamid
@500 mgr
Tablet
Etambutol
Jumlah
hari/kali
menelan
obat
Intensif 2 Bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 Bulan 2 1 - - 48
Tabel 4. Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1
b. Kategori-2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:
Pasien kambuh
Pasien gagal
Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
Berat Badan Tahap Intensif tiap hari RHZE
(150/75/400/275) + S
Tahap Lanjutan 3
kali seminggu RH
(150/150)+E (400)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30-37 kg 2 tab 4KDT + 500
mg Streptomisin
inj.
2 tab 4KDT 2 tab 2KDT
+ 2 tab Etambutol
38-54 kg 3 tab 4KDT + 750
mg Streptomisin
inj.
3 tab 4KDT 3 tab 2KDT
+ 3 tab Etambutol
55-70 kg 4 tab 4KDT +
1000 mg
Streptomisin inj.
4 tab 4KDT 4 tab 2KDT
+ 4 tab Etambutol
71 kg 5 tab 4KDT +
1000 mg
Streptomisin inj.
5 tab 4KDT 5 tab 2KDT
+ 5 tab Etambutol
Tabel 5. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2

21


Tahap
Pengoba-
tan
Lama
Pengo-
batan
Tablet
Isoniasid
@300
mgr
Kaplet
Rifampisin
@450 mgr
Tablet
Pirazinamid
@500 mgr
Etambutol
Strepto
misin
injeksi
Jumlah
hari/kali
menelan
obat
Tablet
@250
mgr
Tablet
@400
mg
Tahap
Intensif
(dosis
harian)
2 bulan
1 bulan
1
1
1
1
3
3
3
3
-
-
0,75 gr
-
56
28
Tahap
Lanjutan
(dosis 3x
seminggu
)
4 bulan 2 1 - 1 2 - 60
Tabel 6. Dosis Paduan OAT Kombipak untuk Kategori 2
Catatan:
Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk steptomisin
adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.
Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan
aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).

c. OAT Sisipan (HRZE) Paket sisipan
KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan
selama sebulan (28 hari).

Berat Badan
Tahap Intensif tiap hari selama 28
hari RHZE (150/75/400/275)
30-37 kg 2 tablet 4KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT
71 kg 5 tablet 4KDT
Tabel 7. Dosis KDT untuk Sisipan
Tahap
Pengobatan
Lamanya
Pengobatan
Tablet
Isoniasid
@300
mgr
Kaplet
Rifampisin
@450 mgr
Tablet
Pirazinamid
@500 mgr
Tablet
Etambutol
@250
mgr
Jumlah
hari/kali
menelan
obat
Tahap 1 bulan 1 1 3 3 28
22

intensif
(dosis
harian)
Tabel 8. Dosis OAT Kombipak untuk Sisipan
Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin)
dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang
jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lini pertama. Disamping
itu dapat juga meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada OAT lini kedua (Depkes,
2011).
6. Komplikasi
Penyakit tuberkulosis paru bilatidak ditangani dengan benar akan menimbulkan
komplikasi. Komplikasi dibagi sebagai berikut :
a. Komplikasi dini
Pleuritis, efusi plura, empiemadan laringitis.
b. Komplikasi lanjut
Obstruksi jalan nafas, kerusakan parenkim paru, fibrosis paru, kor pulmonal, amiloidosis,
karsinoma paru (Amien, 2007).
7. Prognosis
Penderita TB Paru BTA positif yang tidak diobati akan mengalami kematian sebesar
50%, bila diobati secara massal angka kematiannya sebesar 12% dan jika diobati secara
individual masih memberikan angka kematian sebesar 7,5% (Israr et al, 2009). Pada penderita
yang telah mengalami relaps (kekambuhan), atau terjadi penyulit pada organ paru dan organ
lain di dalam rongga dada, maka penderita-penderita demikian banyak yang jatuh ke kor
pulmonal. Bila terbentuk kaverneyang cukup besar, kemungkinan batuk darah hebat dapat
terjadi dan keadaan ini sering menimbulkan kematian, walaupun secara tidak langsung.

B. ANALISIS SWOT
1. Definisi
Analisis SWOT adalah suatu bentuk analisis situasi dengan mengidentifikasi berbagai
faktor secara sistematis terhadap kekuatan-kekuatan (Strengths) dan kelemahan-kelemahan
(Weaknesses) suatu lembaga atau instansi/progam dan kesempatan-kesempatan
(Opportunities) serta ancaman-ancaman (Threats) dari lingkungan untuk merumuskan
strategi instansi/progam.
23

2. Langkah Analisis SWOT
Analisis SWOT dapat dibagi dalam 5 langkah :
1. Menyiapkan sesi SWOT
2. Mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan
3. Mengidentifikasi kesempatan dan ancaman
4. Melakukan rangking terhadap kekuatan dan kelemahan
5. Menganalisis kekuatan dan kelemahan

3. Komponen SWOT
Kelayakan sebuah program kerja di uji dengan menganalisa faktor internal
instansi/progam dalam hal ini Strenght dan Weakness serta faktor eksternal terkait
Opportunity dan Threat.
a. Strengths
Pengertian Strengths atau kekuatan di sini adalah semua komponen instansi/progam baik
sumber daya dan kemampuan yang dapat dioptimalkan sehingga bermakna positif untuk
pengembangan instansi/progam tersebut atau pelaksanaan sebuah program kerja. Artinya,
strengths berarti kekuatan pendukung yang berasal dari dalam instansi/progam itu
sendiri. Misalnya: kepemimpinan yang efektif, keadaan keuangan yang kuat, SDM yang
banyak dan berkualitas, program kerja unggulan, dan sebagainya.
b. Weaknesses
Kekuatan yang seharusnya ada pada sebuah instansi/progam namun pada kenyataannya
tidak ada dapat dianggap sebagai weaknesses. Atau dengan kata lain, weaknesses berarti
kekurangan, kelemahan, atau keterbatasan internal yang dimiliki oleh sebuah
instansi/progam, misalnya lemahnya kepemimpinan, keterbatasan dana, dan minimnya
SDM yang dimiliki baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
c. Opportunities
Opportunities merupakan kekuatan pendorong bagi pengembangan suatu instansi/progam
atau hal-hal pendukung dalam pelaksanaan sebuah program. Kekuatan atau hal positif
ini berasal dari luar organsisasi tersebut. Misalnya: adanya dukungan dari institusi
tertentu terhadap instansi/progam atau sebuah program kerja, perubahan kondisi politik,
ekonomi, sosial, dan teknologi yang berpengaruh positif terhadap perkembangan
instansi/progam, adanya sumber-sumber dana potensial yang belum dimanfaatkan, dan
24

sebagainya. Misalnya sistem pendidikan tinggi yang menguntungkan bagi pergerakan
instansi/progam kemahasiswaan.
d. Threats
Threats merupakan kekuatan penghambat yang berasal dari luar instansi/progam,
misalnya: kebijakan pemerintah yang merugikan, hilangnya sumber-sumber pendanaan
eksternal yang potensial, dan sebagainya.

4. Tahap Analisa SWOT
Analisis SWOT itu sendiri bukan merupakan pemecahan masalah yang sebenarnya.
SWOT hanyalah suatu bentuk analisa yang bersifat teoritis.
Adapun tahapan-tahapan diagnosa pengembangan instansi/progam adalah :
1. Untuk melakukan analisa SWOT maka ketua instansi/progam perlu melibatkan
fungsionarisnya baik kepala divisi maupun pengurus lainnya untuk sharing
kelayakan sebuah program. Tidak perlu banyak orang yang terpenting adalah
melibatkan orang yang mempunyai kompoten untuk itu.
2. Mulai dengan melakukan analisa kondisi instansi/progam (dari data yang telah
dikumpulkan) dengan menggunakan analisa SWOT.
3. Masukkan hasil analisa ke dalam matriks SWOT.

Positif Negatif
Kekuatan/strengths
Sumber daya
Kesempatan/opportunities
Prospek ke depan
Dsb.
Kelemahan/weaknesses
Keterbatasan
Hambatan
Ancaman/threats
Dsb.
Tabel 9. Contoh matriks SWOT

STRENGTHS
...........
...........
...........



WEAKNESSES
...........
...........
...........


25




Strengths


Weaknesses



Opportunities

Strategi S-O

Upaya memakai kekuatan untuk
memanfaatkan peluang

Strategi W-O

Upaya menanggulangi
kendala/kelemahan dengan
memanfaatkan peluang



Threats
Strategi S-T

Upaya memakai kekuatan untuk
mengatasi tantangan/ancaman

Strategi W-T

Upaya memperkecil
kelemahan dan mengatasi
tantangan/ancaman
Tabel 10. Contoh matriks SWOT

Ada juga analisa SWOT yang tidak hanya sebatas menunjukkan kondisi faktor internal dan
eksternal, tapi juga mensinergiskan dengan komponen-komponen yang bisa dioptimalkan
antara lain man, material, money, dan methods.

Komponen Strength-Oppotunity Weakness-Threat
Man
Material
Money



OPPORTUNI TI ES
...........
...........
...........



THREATS
...........
...........
...........

26

Methods
Tabel 11. Contoh matriks SWOT

4. Dari matriks, rumuskan masalah inti instansi/progam (untuk lebih sempurnanya,
masalah boleh lebih dari satu).
5. Persiapan melakukan feedback, baik dengan anggota instansi/progam maupun
konsultan atau orang yang lebih berwenang dan kompeten.

5. Faktor Pendukung Analisis SWOT
Dalam membuat analisis SWOT penting kiranya bila beberapa hal dibawah ini diperhatikan
agar hasil yang diperoleh merupakan representasi yang sebenarnya dari kondisi sebuah
instansi/progam.
a. Kemampuan dan keinginan untuk melakukan perubahan
b. Spesifik
c. Kejujuran
d. Keberagaman
e. Alokasi waktu

6. Skoring SWOT
Setelah kita menyusun berbagai potensi yang ada dalam instansi/progam, sekarang saatnya
melakukan penilaian terhadap masing-masing komponen identifikasi tadi. Tiap komponen
diberi penilaian 1-5 sesuai dengan bobot potensi yang dimiliki serta pengaruh permasalahan
terhadap kinerja dan kelangsungan instansi/progam.
Berikut penjelasan masing-masing penilaian :
Angka 1 Menyatakan dampak yang diakibatkan sangat kurang kuat mendorong atau
menghambat.
Angka 2 Menyatakan dampak yang diakibatkan kurang kuat mendorong atau menghambat.
Angka 3 Menyatakan dampak yang diakibatkan cukup kuat mendorong atau menghambat.
Angka 4 Menyatakan dampak yang diakibatkan kuat mendorong atau menghambat.
Angka 5 Menyatakan dampak yang diakibatkan sangat kuat mendorong atau menghambat.
27

Rumus :
Presentase Daya Dorong : Jumlah S+O
X 100%
Jumlah S + W + O +T

Presentase Daya Hambat : Jumlah W+T
X 100%
Jumlah S + W + O +T



Setelah melakukan pembobotan pada masing-masing komponen, jumlahkan point yang ada.







Tabel 12. Rumus persentase daya dorong-hambat

Interpretasi penilaian berdasarkan presentase daya dorong dan daya hambat adalah sebagai
berikut :
Nilai Daya Dorong Daya Hambat
100 %-75%
74,9%-50%
49,9%-25%
24,9%-0 %
Kondusif
Sub kondusif
Sub kritis
Kritis
Kritis
Sub kritis
Sub kondusif
Kondusif
Tabel 13. Interpretasi nilai

Setelah mengetahui posisi instansi/progam berada pada suatu kondisi tertentu, tentunya
akan dapat dengan sigap melakukan perubahan sesuai dengan urgensi yang diperlukan.
Apabila kondisi berada pada posisi kritis, perubahan memang harus segera dilakukan dan
pada perubahan yang mendasar. Mengingat, bila pemimpin tidak melakukan apa-apa, hanya
tinggal menunggu waktu bagi hancurnya sebuah instansi/progam. Sedang bila
instansi/progam berada pada kondisi kondusif, sebagai pemimpin patut bersyukur karena
kerja keras selama ini telah membuahkan hasil. Tapi tidak boleh cepat puas dengan yang
dimiliki sekarang. Sebab perubahan akan terus terjadi. Dan dibutuhkan inovasi dan
penyesuaian terhadap perubahan tadi agar dapat mempertahankan kondisi instansi/progam
tetap pada kondisi kondusif.




28

BAB III
PENGKAJIAN PROGAM TB PUSKESMAS GATAK

A. GAMBARAN UMUM PUSKESMAS GATAK
1. Letak Geografis
Puskesmas Gatak merupakan salah satu Puskesmas di Kabupaten Sukoharjo, Provinsi
Jawa Tengah. Puskesmas ini terletak di Kecamatan Gatak dengan wilayah kerja 14 desa,
dimana seluruh desa merupakan dataran rendah dan mudah dijangkau dengan kendaraan roda
dua maupun roda empat. Luas wilayah seluruhnya tercatat 194,72 km
2
.
Berikut adalah batas wilayah kecamatan Gatak:
Utara : Kecamatan Gatak Sukoharjo
Selatan : Kecamatan Wonosari Klaten
Barat : Kecamatan Sawit Kab.Boyolali
Timur : Desa Duwet Kec Baki Sukoharjo

2. Keadaan Penduduk
Berdasarkan data dari BPS jumlah penduduk tahun 2013 adalah 49.850 jiwa.
a. Sumber Daya Kesehatan
Jumlah tenaga kesehatan yang bekerja di Puskesmas Gatak mencapai 87 orang dengan
proporsi:
Dokter 9 orang : 6 dokter umum, 3 dokter gigi.
Bidan 39 orang : 16 bidan desa, 23 bidan puskesmas.
Perawat 16 orang : 14 perawat umum, 2 perawat gigi.
Hiperkes : 1 orang.
Farmasi : 4 orang.
Sanitarian : 2 orang.
Staf : 10 orang.
Petugas Laborat : 2 orang.
Petugas Gizi : 1 orang.
Petugas Fisioterapi : 1 orang.
29

Perekam Medik : 1 orang.
Radiografer : 2 orang

b. Upaya Pengobatan.
Dalam hal upaya pengobatan, Puskesmas Gatak memiliki :
1 Puskesmas induk.
1 Puskesmas unit
12 Puskesmas pembantu dan puskesmas keliling.
14 Poskesdes/PKD.
91 Posyandu
74 Posyandu Lansia
Rawat Inap : 21 tempat tidur
Sarana Transportasi : 3 Ambulan
Fasilitas Penunjang :
- Laboratorium
- Rongen
- Fisioterapi
- EKG

3. Data Dasar Program TB Puskesmas Gatak Sukoharjo
a. Data Umum Penduduk
Jumlah Penduduk : 49 850
Jumlah Desa : 14
1 .Geneng 3572
2. Krajan 5098
3. Jati 2618
4. Trosemi 2656
5. Blimbing 5415
6. Mayang 4205
7. Trangsan 6721

30

8. Sanggung 2730
9. Kagokan 1875
10.Luwang 3685
11.Klaseman 1780
12.Tempel 1837
13.Sraten 3329
14.Wironanggan 4319
Jumlah Pustu : 3
Geneng
Terik Trangsan
Sraten

Jumlah Sekolah
Dasar
:37
Jumlah PKD :14
Tabel 14. Data umum penduduk

b. Data dasar tenaga inti
Kepala
puskesmas
: 1 ( Satu )
Dokter TB : 5 ( lima ) Belum dilatih 3 (tiga )
Petugas TB
Puskesmas
: 3 ( tiga ) Terlatih 3
Perawat : 24 (dua puluh Empat ) Terlatih 4
Bidan /
Bidan Desa
: 37
Analis : 2 Terlatih 2
Penyuluh : 0
Sanitarian : 4
31

Ro : 2
Penjaga
Malam
: 1
Fisioterapi : 2
RM : 1
Gizi : 1
Tabel 15. Data dasar tenaga inti

B. HASIL DAN INDIKATOR PROGAM TB PUSKESMAS GATAK 2013
1. Hasil
ANGKA TARGET TB PARU DI WILAYAH PUSKESMAS GATAK TAHUN 2013
No Desa Jumlah
Penduduk
Target
Suspek
Target
BTA +
Bulan Target
Puskesmas
Suspek/ Bln
1 Geneng 3.572 38 4 Januari 45
2 Krajan 5.098 55 5 Februari 45
3 Jati 2.618 28 3 Maret 45
4 Trosemi 2.656 28 3 April 45
5 Blimbing 5.415 58 6 Mei 45
6 Mayang 4.205 45 4 Juni 44
7 Trangsan 6.721 72 7 Juli 44
8 Sanggung 2.730 29 3 Agustus 44
9 Kagokan 1.875 20 2 September 44
10 Luwang 3.685 39 4 Oktober 44
11 Klaseman 1.780 19 2 November 44
32

12 Tempel 1.837 20 2 Desember 44
13 Sraten 3.329 36 4
14 Wironanggan 4.319 46 5
JUMLAH 49.840 533 54 533
Tabel 16. Angka target

ANGKA TARGET DAN PENCAPAIAN CASE DETECTION RATE 2013
No Desa Jumlah
Penduduk
CDR
100%
Perdesa
Hasil Bulan CDR 70%
Puskesmas
perbulan
Hasil
1 Geneng 3.572 4 2 Januari 4 1
2 Krajan 5.098 5 1 Februari 3 1
3 Jati 2.618 3 0 Maret 3 2
4 Trosemi 2.656 3 0 April 3 0
5 Blimbing 5.415 6 1 Mei 3 0
6 Mayang 4.205 4 2 Juni 3 1
7 Trangsan 6.721 7 1 Juli 3 1
8 Sanggung 2.730 3 0 Agustus 3 3
9 Kagokan 1.875 2 1 September 3 2
10 Luwang 3.685 4 1 Oktober 3 5
11 Klaseman 1.780 2 0 November 3 1
12 Tempel 1.837 2 0 Desember 3 0
33

13 Sraten 3.329 4 1
14 Wironangga
n
4.319 5 3
15 Luar wil 4
JUMLAH 49.840 54 17 37 17
Tabel 17. Angka CDR

PENCAPAIAN SUSPEK TB BARU DI WILAYAH KECAMATAN GATAK PER
DESA BULAN JANUARI-OKTOBER TAHUN 2013
No Desa Target
Suspek
Hasil
Suspek
% Target
BTA +
Hasil
BTA +
% BTA
RO +
TB
Anak
TB
EP
1 Geneng 38 23 61 4 2 50 2 1
2 Krajan 55 32 58 5 1 20 4 0
3 Jati 28 15 54 3 0 0 0 1
4 Trosemi 28 4 14 3 0 0 1 0
5 Blimbing 58 15 25 6 1 16 1 2
6 Mayang 45 20 45 4 2 50 1 1
7 Trangsan 72 27 37 7 1 14 1 1
8 Sanggung 29 14 48 3 0 0 0 0
9 Kagokan 20 10 50 2 1 50 1 0
10 Luwang 39 19 48 4 1 25 0 2
11 Klaseman 19 9 47 2 0 0 1 0
34

12 Tempel 20 3 15 2 0 0 0 0
13 Sraten 36 7 19 4 1 25 0 0
14 Wironangan 46 14 30 5 3 60 0 1
15 Luar wil 57 4 4 2
JUMLAH 533 269 54 17 31,
48
16 11
Tabel 18. Pencapaian suspek

DATA KASUS TB PUSKESMAS GATAK TAHUN 2013

35


Tabel 19. Data kasus TB

2. Indikator Progam Tb Puskesmas Gatak 2013

a. Angka penjaringan Suspek :
Adalah jumlah suspek yang diperiksa dahaknya diantara 100.000 penduduk pada
suatu wilayah tertentu dalam 1 tahun. Angka ini digunakan untuk mengetahui akses
pelayanan dan upaya penemuan pasien dalam suatu wilayah tertentu, dengan
memperhatikan kecenderungannya dari waktu ke waktu ( triwulan / tahunan )
Rumus :

36

Jumlah suspek yang diperiksa bisa didapatkan dari buku daftar suspek (TB .06)
UPK yang tidak mempunyai wilayah cakupan penduduk, misalnya rumah sakit, BP4
atau dokter praktek swasta, indikator ini tidak dapat dihitung.
Hasil penjaringan suspek di wilayah puskesmas Gatak tahun 2013 sebesar 269
(50%). Dari target suspek di wilayah Gatak tahun 2013 sebesar 533 yang berarti
penjaringan TB di wilayah puskesmas Gatak masih rendah.
b. Case Detection Rate
Angka Penemuan Kasus (Case Detection Rate = CDR) Adalah persentase jumlah
pasien baru BTA positif yang ditemukan dibanding jumlah pasien baru BTA positif
yang diperkirakan ada dalam wilayah tersebut. Case Detection Rate menggambarkan
cakupan penemuan pasien baru BTA positif pada wilayah tersebut.
Rumus :

Target Case Detection Rate Program Penanggulangan Tuberkulosis Nasional
minimal 70%. Target pencarian kasus dan CDR ditentukan berdasarkan estimasi
prevalensi TB sebesar 107 kasus/100,000 penduduk. Estimasi prevalensi TB tersebut
diterapkan seragam di tingkat provinsi, kota, kabupaten, maupun kecamatan, di
seluruh Indonesia.
Hasil CDR di wilayah puskesmas Gatak tahun 2013 sebesar 31,48 %, berarti CDR
nya masih dibawah target nasional (70%).
Faktor penyebab rendahnya CDR: (1) Kesulitan suspek kasus mengeluarkan dahak,
meskipun telah diberikan mukolitik-ekspektoran (terutama pasien suspek TB yang
telah diobati sebelumnya dengan obat anti-tuberkulosis/ OAT yang tidak standar); (2)
Program TB yang mengandalkan Passive Case Finding (PCF) untuk menjaring kasus
TB belum dapat berjalan efektif pada pelayanan; (3) Penerapan estimasi prevalensi
kasus BTA positif TB yang seragam di seluruh Indonesia, yaitu 107 kasus/100,000
penduduk, untuk semua kota, kabupaten dan kecamatan; Pendekatan tersebut tidak
akurat dan menyebabkan target jumlah kasus BTA positif terlalu tinggi (atau
sebaliknya terlalu rendah) untuk suatu provinsi, kota, kabupaten, maupun kecamatan.
(4) Rendahnya kesadaran masyarakat yang memiliki gejala klinis untuk memeriksakan
diri ke puskesmas; (5) Banyaknya duplikat pengelolaan progam yang diampu oleh satu
37

orang petugas (6) Penyebab lain, seperti penjaringan terlalu longgar (terlalu sensitif),
banyak orang yang tidak memenuhi kriteria suspek terjaring, dan kualitas dahak yang
diperiksa kurang baik. Kesulitan dalam memperoleh dahak untuk pemeriksaan
diagnostik baik pada dewasa perlu segera diatasi.
Rencana penatalaksanaan, disarankan upaya menggerakkan partisipasi masyarakat
untuk meningkatkan penjaringan kasus TB. Sebagai contoh, status Posyandu Mandiri
dapat ditingkatkan perannya menjadi Posyandu Mandiri Plus Penanggulangan TB
untuk meningkatkan penjaringan kasus di tingkat akar rumput sebagai progam rutin.
Pembuatan media-media siap pakai untuk distribusikan ke masyarakat, contoh : kartu
periksa puskesmas yang diberi imbauan tentang TB.
c. Proporsi Pasien TB Paru BTA Positif diantara Semua Pasien TB Paru Tercatat.
Adalah persentase pasien Tuberkulosis paru BTA positif diantara semua pasien
Tuberkulosis paru tercatat. Indikator ini menggambarkan prioritas penemuan pasien
Tuberkulosis yang menular diantara seluruh pasien Tuberkulosis paru yang diobati.
Rumus :

Di wilayah puskesmas Gatak tahun 2013 ditemukan sebesar 51,5 %. Angka ini di
bawah target yang berarti mutu diagnosis di puskesmas Gatak masih rendah, dan
penemuan pasien dengan BTA positif masih rendah. Angka ini sebaiknya jangan
kurang dari 65%. Bila angka ini jauh lebih rendah, itu berarti mutu diagnosis rendah,
dan kurang memberikan prioritas untuk menemukan pasien yang menular (pasien
BTA Positif).
Rencana penatalaksanaan, disarankan pelatihan ulang untuk tenaga medis dan
paramedis tentang TB. Edukasi setiap pasien suspect TB untuk pemeriksaan dahak
yang baik dan benar.
d. Proporsi pasien TB Anak diantara seluruh pasien TB
Adalah persentase pasien TB anak (<15 tahun) diantara seluruh pasien TB tercatat.
Rumus :

38

Angka ini sebagai salah satu indikator untuk menggambarkan ketepatan dalam
mendiagnosis TB pada anak. Angka ini berkisar 15%. Bila angka ini terlalu besar dari
15%, kemungkinan terjadi overdiagnosis. Di puskesmas Gatak ditemukan 25 % yang
berarti terjadi overdiagnosis pada pasien TB anak di wilayah puskesmas Gatak.
Rencana penatalaksanaan, disarankan setiap penemuan kasus TB anak walaupun
nilai score diagnose TB anak telah memenuhi, perlu dilakukan tes mantoux untuk
validasi diagnosis TB Anak.
e. Angka Konversi (Conversion Rate)
Angka konversi adalah persentase pasien TB paru BTA positif yang mengalami
konversi menjadi BTA negatif setelah menjalani masa pengobatan intensif. Angka
konversi dihitung tersendiri untuk tiap klasifikasi dan tipe pasien, BTA postif baru
dengan pengobatan kategori-1, atau BTA positif pengobatan ulang dengan kategori-2.
Indikator ini berguna untuk mengetahui secara cepat kecenderungan keberhasilan
pengobatan dan untuk mengetahui apakah pengawasan langsung menelan obat
dilakukan dengan benar.
Contoh perhitungan angka konversi untuk pasien TB baru BTA positif :

Di UPK, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengan cara
mereview seluruh kartu pasien baru BTA Positif yang mulai berobat dalam 3-6 bulan
sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya yang hasil pemeriksaan dahak
negatif, setelah pengobatan intensif (2 bulan). Di tingkat kabupaten, propinsi dan
pusat, angka ini dengan mudah dapat dihitung dari laporan TB.11.
Angka minimal yang harus dicapai adalah 80 %. Angka konversi yang tinggi akan
diikuti dengan angka kesembuhan yang tinggi pula. Selain dihitung angka konversi
pasien baru TB paru BTA positif, perlu dihitung juga angka konversi untuk pasien TB
paru BTA positif yang mendapat pengobatan dengan kategori 2.
Angka konversi di wilayah puskesmas Gatak taahun 2013 sebesar 88 % hal ini
berarti angka konversi telah memenuhi target. Keberhasilan angka konversi ini selain
karena kepatuhan menelan obat, tingkat kesembuhan tinggi dan atau masa pengobatan
fase intensif yang tuntas, juga karena ada inisiatif dari pelaksana progam TB untuk
membuat kartu kontrol pengobatan TB yang lebih mudah digunakan oleh tenaga
39

medis dan paramedis di puskesmas Gatak sehingga tatalaksana progam TB berjalan
sesuai efektif.
f. Angka Kesembuhan (Cure Rate)
Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan persentase pasien TB BTA
positif yang sembuh setelah selesai masa pengobatan, diantara pasien TB BTA positif
yang tercatat. Angka kesembuhan dihitung tersendiri untuk pasien baru BTA positif
yang mendapat pengobatan kategori 1 atau pasien BTA positif pengobatan ulang
dengan kategori 2. Angka ini dihitung untuk mengetahui keberhasilan program dan
masalah potensial.
Contoh perhitungan untuk pasien baru BTA positif dengan pengobatan kategori 1.

Selain dihitung angka kesembuhan pasien baru TB paru BTA positif, perlu dihitung
juga angka kesembuhan untuk pasien TB paru BTA positif yang mendapat pengobatan
ulang dengan kategori 2.
Angka kesembuhan pasien TB di wilayah puskesmas Gatak tahun 2013 sebesar
88%. Angka ini telah melewati nilai target keberhasilan pengobatan. Hal ini
menunjukan kepatuhan pasien untuk minum obat, maksimalnya kerja dari pengawas
menelan obat dalam mengawasi pasien untuk menelan obat atau masa pengobatan
yang selesai.
g. Angka Keberhasilan Pengobatan
Angka keberhasilan pengobatan adalah angka yang menunjukkan persentase pasien
TB BTA positif yang menyelesaikan pengobatan (baik yang sembuh maupun
pengobatan lengkap) diantara pasien TB BTA positif yang tercatat. Dengan demikian
angka ini merupakan penjumlahan dari angka kesembuhan dan angka pengobatan
lengkap.
Angka keberhasilan pengobatan TB paru di puskesmas Gatak tahun 2013 sebesar
15 orang dari 17 pasien TB paru BTA positif yang artinya angka keberhasilan
pengobatan TB paru yang termasuk tinggi. Hal ini disebabkan oleh kepatuhan menelan
obat, tingkat kesembuhan yang tinggi dan atau masa pengobatan yang selesai serta
petugas Tb yang menjalankan progam dengan baik.

40

BAB IV
HASIL DAN ANALISA SWOT

A. HASIL DAN ANALISA SWOT MANAJEMEN CDR PROGAM TB
1. Strength
1. Sumber daya untuk program TB Puskesmas Gatak memiliki 12 orang tenaga
kesehatan terlatih.
2. Terdapat Puskesmas, Pustu (Puskesmas Pembantu), Posyandu, dan Polindes sebagai
pusat kesehatan masyarakat dalam membantu mendeteksi suspek TB.
3. Pengelola program TB dibekali sarana transportasi dari puskesmas untuk terjun ke
masyarakat, sehingga memudahkan para petugas untuk mengadakan kunjungan rumah
penderita TB ataupun penjaringan aktif secara kolektif.
4. Terdapat kepatuhan petugas kesehatan dalam menjalankan SOP untuk melaksanakan
upaya pemeriksaan suspek TB di puskesmas. Dahulu digunakan metode active
promotive case finding sehinggga penemuan kasus baru bisa lebih signifikan.
5. Puskesmas Gatak adalah sebagai puskesmas induk di kecamatan Gatak sehingga
menjadi rujukan pertama masyarakat Gatak dan letak puskesmas Gatak yang strategis,
yaitu di depan jalan raya sehingga mudah terjangkau masyarakat

2. Weakness
1. Duplikasi pekerjaan petugas di bidang P2M khususnya yang menangani masalah TB
sehingga kurang optimal dalam penemuan penderita TB.
2. Belum semua petugas puskesmas terutama paramedis (perawat, bidan desa)
mendapatkan pelatihan TB dari pengelola progam TB, sehingga belum mengetahui
secara tepat cara menjaring tersangka TB.
3. Penjaringan yang terlalu longgar (terlalu sensitif), banyak orang yang tidak memenuhi
kriteria suspek terjaring.
4. Kualitas dahak yang diperiksa oleh petugas TB kurang baik.
5. Sarana dan prasarana program yang belum memadai untuk menunjang progam TB.



41

3. Opportunity
1. Kebijakan desentralisasi sebagaimana diberlakukannya Undang - undang RI No. 22
Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan dengan Undang-undang RI No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah memberi peluang yang besar bagi Puskesmas
untuk memperbaiki sistem, rencana strategik, dan rencana operasional,
mengembangkan program dan kegiatan Puskesmas secara mandiri sesuai kebutuhan
masyarakat dan potensi yang tersedia.
2. Dinas Kesehatan turut aktif dalam mengevaluasi program TB di puskesmas Gatak.
3. Pendanaan dari pemerintah untuk progam P2ML dan erjaminnya ketersediaan obat-
obatan TB oleh pemerintah.yang mencukupi program.
4. Banyak instansi-instansi pelayanan kesehatan swasta/non-pemerintah yang telah
dipercaya masyarakat memberikan pelayanan kesehatan.
5. Adanya target program Indonesia sehat 2015.

4. Threat
1. Masih banyak masyarakat yang kurang pengetahuan sehingga masih belum tahu
tentang bahaya penyakit menular dan tidak memeriksakan diri ke puskesmas.
2. Pengetahuan penderita yang kurang mengenai penyakit TB, cara pengobatan dan
bahaya akibat berobat tidak adekuat
3. Masih banyak masyarakat kecamatan Gatak yang belum aktif dalam menyukseskan
progam TB dan belum meratanya kader TB yang terlatih di tiap desa.
4. Penyeragaman standar target CDR progam TB pemerintah yang tinggi pada seluruh
daerah di Indonesia.
5. Kerjasama yang belum berjalan dengan baik dengan instansi-instansi pelayanan
kesehatan swasta/non-pemerintah dilingkungan Gatak untuk memperluas dan
memelihara kesinambungan penjaringan suspek TB serta pelaporan penderita TB.







42

Hasil :
Presentase Daya Dorong : 40
X 100% = 47 %
85

Presentase Daya Hambat : 45
X 100% = 53 %
85


B. SKORING SWOT
Strength Weakness Opportunity Threat
Poin
Nomer
Skor Poin
Nomer
Skor Poin
Nomer
Skor Poin
Nomer
Skor
1 4 1 5 1 4 1 5
2 5 2 4 2 3 2 4
3 4 3 4 3 5 3 5
4 4 4 4 4 4 4 4
5 3 5 5 5 4 5 5
Total 20 Total 22 Total 20 Total 23
Tabel 20. Skor SWOT









Tabel 21. Hasil skor SWOT

C. PEMBAHASAN ISU STRATEGIS
Melihat hasil analisis SWOT diatas, dapat disimpulkan bahwa daya dorong terhadap
manajemen CDR progam TB dipuskesmas dalam kondisi subkritis, demikian juga daya
hambat terhadap manajemen CDR progam TB dipuskesmas dalam kondisi subkritis.
Mengingat daya dorong dan saya hambat yang dalam kondisi kritis ini tentunya tak
mengherankan jika CDR dipuskesmas Gatak belum dapat memenuhi target yang ada,
sehingga perlu dibuat upaya isu strategis untuk memperbaikinya.
Isu strategis yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah TB di Kecamatan Gatak.
Isu startegis tersebut lebih mengarah ke memaksimalkan peran serta masyarakat dalam
deteksi pasien TB secara aktif juga dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat yang terus
berkesinambungan. Strategi ini berdasarkan analisis SWOT dianggap paling realistis,
43

mengingat jika orientasi pemecahan masalah ini lebih ke arah interna Puskesmas, maka
lebih banyak kesulitan, terutama masalah terbatasnya tenaga kesehatan di bidang P2M dan
luasnya wilayah kerja kecamatan Gatak yang membawahi 14 Desa.
Dalam deteksi kasus TB secara aktif yang dalam hal ini lebih berorientasi pada peran
serta masyarakat, maka diperlukan strategi utama dan strategi alternatif unntuk mengatasi
masalah ini. Strategi utama yang sangat tepat dilakukan adalah mengoptimalkan
pembentukan desa siaga plus dan posyandu plus sebagai garda terdepan penjaringan yang
terorganisir baik di tiap-tiap desa di semua wilayah Kecamatan Gatak dan strategi alternatif
yang dapat dilakukan adalah melakukan penyuluhan secara intensif dan berkesinambungan
dengan mengajak peran serta masyarakat.























44

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan analisis SWOT manajemen CDR (Case Detection Rate) puskesmas Gatak,
didapatkan hasil persentase daya dorong sebesar 47% yang interpretasinya dalam kondisi
subkritis, demikian juga persentase daya hambat sebesar 53% yang interpretasinya dalam
kondisi subkritis. Karena kondisi manajemen CDR progam TB yang subkritis inilah
puskesmas Gatak belum dapat memenuhi target CDR yang ada.

B. SARAN
1. Internal
a. Pelatihan progam TB supaya tenaga medis progam memenuhi standar dan ketajaman
dokter/ paramedis yang mendiagnosis kemungkinan suspek TB dan mengirimkan ke
laboratorium baik lagi.
b. Monitoring dan evaluasi kegiatan TB setiap bulan dilingkungan Puskesmas demi
meningkatkan SDM puskesmas untuk dapat mencari/ mendapatkan suspek TB baik
didalam (passive) atau diluar gedung(active). Misalnya pertemuan kajian TB untuk
karyawan puksesmas.
c. Pengurangan beban pekerjaan yang satu orang petugas merangkap berbagai macam
progam lain yang tidak berkaitan dan penambahan petugas progam supaya progam
dapat berjalan maksimal.
d. Sarana prasarana penunjang dilengkapai, contoh : komputer/laptop dan printer,
karena sarana yang tersedia dipuskesmas saat ini belum memadai dan khususnya
diprogam P2ML sama sekali belum memiliki sarana tersebut.
e. Kartu biru (kartu tanda pengenal pasien) dicantumkan kata-kata promosi progam Tb,
contoh: Bila Batuk berdahak lebih 2 minggu, segera cek lab dipuskesmas !
2. Ekternal
a. Peningkatan kerjasama antara institusi pemerintah dan swasta, atau institusi
pemerintah dan pemerintah, memiliki potensi untuk memperluas dan memelihara
kesinambungan strategi DOTS. UPK swasta (RS, dokter umum, spesialis) memiliki
potensi meningkatkan penjaringan kasus, CDR, maupun pengobatan kasus TB
dengan strategi DOTS. Contohnya dengan pelayanan kesehatan khususnya swasta
45

untuk melaporkan/mengirimkan semua kasus suspect atau diagnosis TB kepada
puskesmas rutin setiap bulan yang diperkuat dengan surat keputusan dari dinas
kesehatan kabupaten.
b. Semua pelayanan kesehatan milik pemerintah yang mengelola progam TB,
diharapkan benar-benar menggratiskan seluruh pengobatan progam TB.
c. Petugas TB dan laboratorium puskesmas mengusulkan agar peralatan (mikroskop
dll) dilengkapi, ruangan dibuat lebih representatif, dan adanya kebijakan diagnosis
pada anak memakai tes BCG/ Mantoux
d. Penguatan jejaring TB melalui desa siaga. Juga disarankan upaya menggerakkan
partisipasi masyarakat untuk meningkatkan penjaringan kasus TB. Sebagai contoh,
status Posyandu Mandiri dapat ditingkatkan perannya menjadi Posyandu Mandiri
Plus
e. Pemerintah sebaiknya melakukan pemnelitian ulang dalam kasus TB, khususnya
dalam menentukan standar target CDR yang aplikatif pada setiap daerah karena
selama 10 tahun terakhir target tak pernah tercapai padahal semua upaya aktif dan
pasif telah dilakukan.











46

DAFTAR PUSTAKA

Aditama, TY., 2006. Perkembangan Teknologi, Perkembangan Kuman dalam Jurnal
Tuberkulosis Indonesia volume 3 p.4
Alsagaff, Hood., 2009. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga
University Press pp. 73, 77
Amien, Zulkifli., 2007. Tuberkulosis Paru dalam Ilmu Penyakit Dalam jilid 2. Jakarta:
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran UI pp. 989, 990-3
DEPKES, 2011. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi pertama
Cetakan ke 8 p. 12
DEPKES, RI, 2007, Pedoman Nasional penanganan Tuberculosis edisi 2.
Herryanto et al, 2004. Riwayat Pengobatan Penderita TB Paru Meninggal di
Kabupaten Bandung. Jurnal Ekologi Kesehatan, 1;1-6
http://www.ekologi.litbang.depkes.go.id/data/vol%203/ Herryanto_1.pdf
PDPI, 2006. Tuberkulosis Pedomen Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.
Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia p. 20
Price, SA en Wilson, LMC ., 2006.Tuberkulosis Paru dalam Patofisiologi Konsep
KlinisProses-ProsesPenyakit, bagian 1, edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC pp. 852-3
Rasad, Sjahriar., 2009. Radiologi Diagnostik. Jakarta: balai penerbit FKUI p. 132
Sembiring, Hilaluddin., 2005. Hubungan Pemeriksaan Dahak Dengan Kelainan
Radiologis Pada Penderita TBC Paru Dewasa.
http://library.usu.ac.id/download/fk/paru-hilaluddin.pdf
Subagyo et al, 2004. Pemeriksaan Interferon-gamma Dalam Darah Untuk Deteksi
Infeksi Tuberkulosis dalam Jurnal Tuberkulosis Indonesia volume 3 pp. 6, 7
Syafrizal, 2008., Pengelolaan Penanganan Pengobatan Tuberkulosis di RS. DR M
Djamil Padang
Wamwangi, Kinuthia. 2003. Organizational Development as a Framework for Creating
Anti-Poverty Strategies. Training and Human Resources Development:
Tanzania
WHO Report 2009: Global Tuberculosis Control Epidemiology, Strategy, Financing.
Geneva, Switzerland: WHO Press. whqlibdoc.who.int/publications/ 2009/
9789241563802_eng.

You might also like