Professional Documents
Culture Documents
Sebagai ilmu, sosiologi memiliki cara kerja yang sistematik untuk memahami berbagai
fenomena, permasalahan atau issueyang terjadi dalam hubungan antar-manusia dalam
masyarakat.
Meskipun merupakan ilmu murni, bukan berarti sosiologi tidak dapat berfungsi dalam
kehidupan bermasyarakat. Sebagai ilmu pengetahuan yang objeknya masyarakat,
sosiologi paling tidak mempunyai kegunaan dalam bidang perencanaan pembangunan
masyarakat (social engineering) dan penelitian sosial yang berfungsi untuk
memecahkan permasalahan-permasalahan yang timbul dalam rangka hubungan antar-
manusia dalam masyarakat.
Dalam hubungan ini, C. Wright Mills memperkenalkan apa yang disebut sebagai the
sociological imagination (khayalan sosiologis), yakni suatu khayalan yang
memungkinkan kita untuk memahami sejarah masyarakat, riwayat hidup pribadi dan
hubungan antara keduanya.
Memang tidak selamanya kebenaran ataupun pemecahan masalah diperoleh melalui
prosedur atau metode ilmiah,. ada proses-proses non-ilmiah, seperti:
1. Penemuan kebenaran secara kebetulan. Tidak dapat dipungkiri bahwa
penemuan-penemuan besar yang banyak manfaatnya bagi kehidupan manusia
di dunia ini ditemukan secara kebetulan. Apakah benua Amerika merupakan
penemuan sistematik dari seorang Columbus? Bahkan, enzim ureaseyang amat
berguna bagi manusia ditemukan secara kebetulan oleh Dr. J.S. Summers ketika
ia sedang bekerja dengan ekstrak aceton dan bergegas ke lapangan tenis ia
menyimpannya ke dalam kulkas. Ketika ia ingin meneruskan pekerjaannya
dengan ekstrak tersebut dan membuka kulkas, dilihatnya telah timbul kristal-
kristal pada esktrak tersebut.
2. Common sense. Bahwa daging kambing dapat meningkatkan libido seksual,
bahwa hukuman merupakan alat utama dalam pendidikan anak, maka
menyingkirkan rotan berarti memajakan anak, bahwa pria lebih tahan
terhadap tantangan dan penderitaan dari pada wanita, bahwa penyakit pilek
disebabkan oleh hawa dingin dan kaki basah, bahwa orang yang menipu ketika
bermain kartu akan menipu pula dalam pekerjaannya, bahwa industrialisasi
mengancam religiusitas, bahwa orang berkacamata adalah orang yang cerdas,
orang kulit hitam berbakat dalam musik tetapi kurang dalam kecerdasan,
bahwa orang cerdas susah diatur untuk melangsungkan upacara bendera, dan
seterusnya adalah common sense. Common sense adalah kumpulan gagasan atau
dugaan, firasat dan hasil belajar coba-coba dari sekelompok masyarakat yang
tidak diketahui asal-usulnya dan apa yang melandasi dugaan atau gagasan
tersebut, namun diikuti begitu saja. Banyak juga common sense yang baik,
masuk akal (sehingga sering disebut akal sehat), sederhana dan bermanfaat.
Namun banyak juga yang tidak benar dan tidak bermanfaat, dan menghasilkan
prasangka, misalnya tentang ras, bahwa ras kulit hitam tidak lebih cerdas dari
ras kulit putih.
3. Menemukan kebenaran melalui intuisi. Intuisi merupakan manifestasi
intelegensi yang metarasional (Hidayat Nata atmadja, 1982: 22). Kebenaran
melalui intuisi diperoleh secara cepat tanpa melalui langkah-langkah sistematik,
penalaran, proses berfikir ataupun perenungan.
4. Kebenaran wahyu (revelasi). Menurut comte, sebelum orang berfikir positif,
maka adalah tahapan theologis dan metafisika, bahwa segala sesuatu lebih
banyak ditentukan oleh sesuatu yang bersifat ghaib dan berada di luar
kemampuan manusia. Wahyu diturunkan oleh Allah melalui para nabi dan
rasul, sehingga bukan merupakan usaha penalaran manusia, maka tidak dapat
disebut kebenaran ilmiah. Meskipun demikian bagi orang-orang yang
beragama, kebenaran wahyu merupakan kebenaran yang mutlak dan hakiki.
Bahkan disebut sebagai tingkat kebenaran yang tertinggi (the ultimate truth).
5. Penemuan kebenaran melalui trial and error. Ketika ilmu pengetahuan dalam
tahap embrional, orang menemukan kebenaran melalui upaya mencoba sesuatu,
kemudian apabila ternyata keliru ia akan mencoba lagi, mencoba lagi dan
mencoba lagi sampai didapat pemecahan yang dipandang memuaskan. Sutrisno
hadi menyatakan bahwa trial and error merupakan perkembangan yang
pertama kali dalam tahap-tahap metode ilmiah.
6. Penemuan kebenaran melalui spekulasi. Spekulasi merupakan upaya
menemukan kebenaran yang lebih tinggi tingkatnya dari trial and error. Dalam
berspekulasi orang sudah mendasarkan diri pada pertimbangan, biarpun
pertimbangan tersebut kurang matang dan dikerjakan dalam suasana yang
penuh resiko.
7. Kharisma. Pernyataan atau pendapat dari seorang ilmuwan, tokoh atau
pemimpin politik yang berbobot tinggi ataupun yang memiliki otoritas dalam
suatu bidang ilmu tertentu dan mempunyai banyak pengalaman sering diterima
begitu saja tanpa perlu diuji kebenarannya.
Bagaimana sosiologi menggambarkan berbagai fenomena ataupun permasalahan yang
muncul dalam masyarakat? Tentu berbeda dari cara-cara nonilmiah tersebut. Sebagai
ilmu, sosiologi mendasarkan pada bukti yang dapat diuji. Yang dimaksud bukti
adalah pengamatan faktual yang dapat dilihat, ditimbang, dihitung dan diperiksa
ketelitiannya oleh para pengamat lainnya. Dengan kata lain, sosiologi mendasarkan
pada observasi ilmiah sebagai teknik dasar metode ilmiah. Metode atau observasi
ilmiah tidaklah sama dengan sekedar melihat sesuatu, tetapi merupakan observasi
yang dilakukan secara: (1) cermat, (2) tepat, (3) sistematik, (4) objektif, (5) dilakukan
oleh orang-orang yang terlatih, dan (6) dilaksanakan dalam kondisi yang terkendali.
John Dewey (1933) memberikan garis-garis besar dari apa yang disebut metode ilmiah
yang meliputi lima taraf, yakni: (1) the felt need, (2) the problem, (3) the hypothesis, (4)
collection of data as evidence, dan (5) concluding bilief. Kelley melengkapinya dengan
satu taraf lagi, yakni; (6) general value of conclusion. Berikut akan dijelaskan satu per
satu.
1. The felt need. Dalam taraf ini orang merasakan kesulitan untuk menyesuaikan
dirinya terhadap kebutuhan atau tujuan-tujuan masyarakat, atau untuk
menemukan ciri-ciri dari suatu objek, atau untuk menerangkan sesuatu
kejadian yang terjadi tiba-tiba dan tidak terduga.
2. The problem. Orang merumuskan kesulitan-kesulitan itu sebagai masalah atau
problema, yakni sesuatu yang terjadi dalam kenyataan (das sein) namun tidak
sesuai dengan harapan (das sollen), atau sebagai sesuatu yang tidak diketahui
who, what, where, when, why dan how-nya.
3. The hypothesis. Langkah yang ketiga adalah mengajukan kemungkinan
pemecahannya atau mencoba menerangkannya, berupa terkaan-terkaan,
kesimpulan sementara, teori-teori, kesan-kesan umum, atau apapun yang masih
belum dapat dipandang sebagai sebuah konklusi yang final.
4. Collection of data as evidence. Selanjutnya bahan-bahan, informasi-informasi,
atau bukti-bukti dikumpulkan, dan melalui pengolahan-pengolahan yang logis
dan sistematik dijadikan bukti atas hipotesis yang telah dirumuskan.
5. Concluding bilief. Berdasarkan bukti-bukti yang sudah diolah maka akan
terbukti hipotesis, teori atau kesan-kesan yang telah dirumuskan apakah
benar atau salah, diterima atau ditolak.
6. General value of the conclusion. Akhirnya, apabila suatu pemecahan masalah
telah dipandang tepat, maka disimpulkan implikasi-implikasinya untuk masa
depan.
Metode kualitatif dan kuantitatif
Seperti halnya ilmu sosial yang lain, sosiologi menawarkan dua macam metode, yakni:
(1) kualitatif, dan (2) kuantitatif. Metode kualitatif berupaya menjelaskan makna dari
fenomena-fenomena atau peristiswa-peristiwa yang nyata terjadi dalam masyarkat
namun sukar diukur dengan angka-angka atau dengan ukuran-ukuran lain yang
bersifat eksak. Sedangkan metode kuantitatif berupaya menjelaskan fenomena-
fenomena atau peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat menggunakan data
yang berupa angka-angka. Metode kuantitatif dalam sosiologi diperkenalkan oleh
Emmile Durkheim (1968) dalam penelitiannya tentang laju bunuh diri. Durkheim
menggambarkan laju bunuh diri dengan angka bunuh diri dalam tiap masyarakat yang
dari tahun ke tahun cenderung konstan. Laju bunuh diri dipengaruhi oleh derajat
integrasi sosial, sehingga adalah: (1) bunuh diri altruistik, terjadi karena derajat
integrasi sosial yang terlalu kuat, (2) bunuh diri egoistik, terjadi ketika derajat integrasi
sosial terlalu lemah, dan (3) bunuh diri anomi, terjadi karena masyarakat tidak
memberikan pegangan kepada seseseorang.
Prosedur deduktif dan induktif
Berbeda dengan antropologi yang cenderung meneliti pada masyarakat yang kecil-kecil
kemudian hasilnya diterapkan untuk masyarakat yang lebih besar (induktif), sosiologi
lebih cenderung untuk menggunakan main atau grand teori untuk diterapkan pada
masyarakat-masyarakat yang lebih kecil (deduktif). Tapi pada dasarnya dua cara atau
metode berfikir ini digunakan dalam sosiologi maupun antropologi.
Bagaimana data sosiologi dikumpulkan, dianalisis, diinterpretasi, dan akhirnya diambil
simpulan?
Dalam usaha mengumpulkan data yang dapat menghasilkan temuan-temuan baru,
para ahli sosiologi memperhatikan tahap-tahap penelitian, yang saling berkaitan secara
erat.
Sebelum melakukan suatu penelitian terlebih dahulu harus dilakukan peninjauan
terhadap bahan-bahan pustaka untuk mengetahui penemuan-penemuan sebelumnya.
Setelah merumuskan tujuan penelitian, peneliti harus menentukan metode
pengumpulan data yang akan digunakannya. Dalam ilmu-ilmu sosial dikenal bebagai
metode pengumpulan data, seperti metode survai serta beberapa metode nonsurvai
seperti metode riwayat hidup, studi kasus, analisa isi, kajian data yang telah
dilumpulkan oleh pihak lain, dan eksperimen.
Dalam penelitian survai hal-hal yang diteliti dituangkan dalam suatu daftar
pertanyaan. Teknik survai mengandung persamaan dengan sensus; namun pada sensus
yang menjadi subyek wawancara adalah seluruh populasi sedangkan dalam teknik
survai daftar pertanyaan diajukan pada sejumlah subyek penelitian yang dianggap
mewakili populasi (sampel).
Pengamatan (observasi) merupakan teknik pengumpulan data penelitian di mana
peneliti mengamat secara lansung perilaku para subjek penelitiannya dan merekam
perilaku yang wajar, asli, tidak dibuat-buat, spontan dalam kurun waktu relativf lama
sehingga terkumpul data yang bersifat mendalam dan rinci.
Dalam sosiologi dibedakan antara penelitian di mana pengamat (1) sepenuhnya terlibat
dalam kehidupa sehari-hari masyarakat yang diteliti (observasi partisipatif), dan (2)
hanya berperan sebagai pengamat yang sepenuhnya melakukan pengamatan tanpa
keterlibatan apapun dengan subyek penelitian (observasi non-partisipatif).
Salah satu kelebihan pengamatan terlibat (obervasi partisipatif) bila dibandingkan
dengan survai ialah bahwa pengamatan terlibat lebih memungkinkan terjalinnya
hubungan yang akrab antara peneliti dengan subjek penelitiannya, dan subjek
penelitian tidak menyadari kalau sedang diteliti atau diamati.
Di samping dengan cara pengamatan (observasi), data sosiologi dapat digali dengan
menggunakan angket/daftar pertanyaan ataupun wawancara.
Dalam pencarian maupun pengamatan ilmu seorang ilmuwan harus menghormati
aturan etika, seperti keikutsertaan secara sukarela, tidak membawa cedera bagi subyek
penelitian, asas anonimitas dan kerahasiaan, tidak memberikan keterangan yang
keliru, dan menyajikan data penelitian secara jujur.