You are on page 1of 17

REFERAT GANGGUAN STRESS PASCA TRAUMA

Oleh:
Nurul Syahidah Binti Muhamad Zaki
11- 2013-330




Pembimbing:
Dr. Ratna Mardiati, Sp.KJ



BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA
RUMAH SAKIT KETERGANTUNGAN OBAT
CIBUBUR
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
i

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat
ilmu kesehatan jiwa yang berjudul Gangguan Stress Pasca Trauma ini tepat pada
waktunya. Terima kasih juga kami ucapkan kepada Dr Ratna Mardiati SpKJ,
selaku dokter pembimbing.
Referat ini disusun dan dibuat berdasarkan materi materi yang diambil
dari sumber yang dipercayai. Materi materi bertujuan agar dapat menambah
pengetahuan dan wawasan dokter muda dalam mempelajari secara lebih
mendalam mengenai gangguan panik.
Adapun referat ini masih jauh dari kesempurnaan baik pada teknis
penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis.
Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi
penyempurnaan pembuatan referat ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan referat ini.
Akhir kata, semoga referat ini dapat memberikan manfaat kepada kita
sekalian. Terima kasih.



Jakarta, 21 Juli 2014

Penulis

i

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i
BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1 Latar belakang . 1
BAB 2 ISI ........................................................................................................ 2
2.1. Definisi ....................................................................................................... 2
2.2. Epidemiologi .............................................................................................. 3
2.3. Etiologi ....................................................................................................... 3
2.3.1. Stresor ........................................................................................ 3
2.3.2. Faktor Psikodinamika................................................................. 4
2.3.3. Faktor Biologis.. ......... 5
2.4. Tanda dan Gejala ....................................................................................... 6
2.5 Diagnosis .................................................................................................... 8
2.6 Diagnosis Banding ..................................................................................... 11
2.7 Perjalanan penyakit . 11
2.8 Tatalaksana ................................................................................................ 12
2.9 Prognosis .................................................................................................... 13
BAB 3 PENUTUP .......................................................................................... 14
3.1. Kesimpulan ............................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 15
1



BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG

Kejadian traumatik merupakan peristiwa kehidupan yang dapat mengenai setiap
orang. Dalam setiap kejadian traumatik yang terjadi, selalu ada implikasi kesehatan
jiwa, baik dalam kasus akibat bencana alam, misalnya gempa bumi, tsunami, angin
ribut, atau pada bencana yang diakibatkan oleh manusia, misalnya perang, serangan
teroris, kekerasan interpersonal. Dampak dari kejadian traumatik yang dialami oleh
setiap orang tidaklah sama. Kejadian traumatik yang dialami bila tidak dapat diatasi
dengan baik dapat menimbulkan suatu kumpulan gejala yang berkaitan dengan
kecemasan, kompleksitas gangguan kecemasan ini dikenal sebagai gangguan stres pasca
trauma (Post traumatic Stress Disorder/ PTSD).
Indonesia merupakan negara yang rawan bencana. Menurut data dari klinik
psikiatri RSCM/FKUI yang difungsikan sebagai Pusat Rujukan nasional untuk
pengobatan psikis bagi korban bencana melihat makin tingginya angka kejadian
bencana yang terjadi di Tanah Air belakangan ini. Kondisi itu membuat prevalensi
penderita gangguan stres pasca trauma meningkat.
Oleh karena semakin meningkatnya angka kejadian gangguan stress pasca
trauma tiap tahunnya, baik yang disebabkan oleh bencana alam maupun bencana yang
diakibatkan oleh manusia, misalnya kekerasan maka gangguan stres pasca trauma
merupakan suatu topik permasalahan yang harus diperhatikan. Identifikasi trauma yang
berisiko menjadi gangguan stress pasca trauma merupakan komponen yang penting
dalam mencegah terjadinya gangguan mental ini.
Pada tinjauan kepustakaan ini akan dijabarkan tentang gambaran klinis,
diagnosis, epidemiologi, etiologi, kalsifikasi, perjalanan penyakit, terapi dan prognosis.
Diharapkan dengan pembahasan ini dapat mengembangkan pemahaman tentang
pentingnya mengenali secara dini dan memberikan terapi yang tepat pada anak yang
mengalami trauma agar tidak mengalami gangguan stress pasca trauma yang
berkepanjangan.



4

BAB II
PEMBAHASAN
Post Traumatic Stress Disorder (Gangguan Stres Pascatrauma)
2.1 Definisi Post Traumatic Stress Disorder
Gangguan stress pascatrauma merupakan sindrom kecemasan, labilitas otonomik,
dan mengalami kilas balik dari pengalaman yang amat pedih setelah stres fisik
maupun emosi yang melampaui batas ketahanan orang biasa. Selain itu, gangguan stress
pascatrauma (PTSD) dapat pula didefinisikan sebagai keadaan yang melemahkan fisik
dan mental secara ekstrim yang timbul setelah seseorang melihat, mendengar, atau
mengalami suatu kejadian trauma yang hebat dan atau kejadian yang mengancam
kehidupannya.
1,2
National Institute of Mental Health (NIMH) mendefinisikan gangguan stress
pasca trauma (PTSD) sebagai gangguan berupa kecemasan yang timbul setelah
seseorang mengalami peristiwa yang mengancam keselamatan jiwa atau fisiknya.
Peristiwa trauma ini bisa berupa serangan kekekerasan, bencana alam yang menimpa
manusia, kecelakaan ataupun perang. Dalam Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders, (DSM-IV-TR), PTSD didefinisikan sebagai suatu kejadian atau
beberapa kejadian trauma yang dialami atau disaksikan secara langsung oleh seseorang
berupa kematian atau ancaman kematian, atau cidera serius, atau ancaman terhadap
integritas fisik atas diri seseorang. Kejadian tersebut harus menciptakan ketakutan ynag
ekstrem, horor, atau rasa tidak berdaya. Menurut Departemen Kesehatan RI (Depkes
RI) gangguan stress pasca trauma merupakan reaksi dari individu terhadap kejadian
yang luar biasa akibat dari pengalaman seseorang pada suatu peristiwa yang bersifat
amat hebat dan luar biasa, jauh dari pengalaman yang normal bagi seseorang.
3


Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan, gangguan stress pasca trauma
merupakan gangguan yang diakibatkan satu atau lebih kejadian traumatik yang dialami
atau disaksikan oleh seseorang baik ancaman kematian, cidera fisik yang mengakibatkan
ketakutan ekstrem, horor, rasa tidak berdaya hingga berdampak mengganggu kualitas
hidup individu dan apabila tidak ditangani dengan benar dapat berlangsung kronis
dan berkembang menjadi gangguan stress pasca trauma yang kompleks dan
gangguan kepribadian.


5

2.2Epidemiologi

Prevalensi seumur hidup PTSD diperkirakan sekitar 8 persen populasi umum
walaupun tambahan 5 hingga 15 persen dapat megalami bentuk subklinis gangguan ini.
Di antara kelompok risiko tinggi yang anggotanya mengalami peristiwa traumatik,
angka prevalensi seumur hidupnya berkisar 5 hingga 75 persen. Walaupun PTSD dapat
timbul pada usia berapapun, gangguan ini paling prevalen pada dewasa muda karena
mereka cenderung lebih terpajan dengan situasi penginduksi. Anak juga dapat
mengalami gangguan ini. Laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan tipe trauma
yang memajankan mereka dan kecenderungan untuk menglami PTSD. Prevalensi
seumur hidup secara bermakna pada perempuan lebih tinggi. Gangguan ini lebih
cenderung terjadi pada orang lajang, bercerai, janda, menarik diri secara sosial, atau
tingkat sosioekonomi rendah. Meskipun demikian, faktor risiko paling penting dari
gangguan ini adalah keparahan, durasi, dan kedekatan pajanan seseorang dengan trauma
sebenarnya.
2


2.3Etiologi

2.3.1 Stressor
Menurut definisinya, stressor adalah faktor penyebab utama dalam perkembangan
gangguan stres pasca traumatik. Tetapi tidak setiap orang mengalami gangguan stres pasca
traumatik setelah suatu peristiwa traumatik; walaupun stressor diperlukan, stressor tidak
cukup untuk menyebabkan gangguan. Klinisi harus mempertimbangkan juga faktor
biologis individual yang telah ada sebelumnya, faktor psikososial sebelumnya, dan
peristiwa yang terjadi setelah trauma.

Penelitian terakhir pada gangguan stres pasca trauma telah sangat menekankan
pada respons subjektif seseorang terhadap trauma ketimbang beratnya stresor itu sendiri.
Walaupun gejala gangguan stres pasca traumatik pernah dianggap secara langsung
sebanding dengan beratnya stressor, penelitian empiris telah membuktikan sebaliknya.
Sebagai akibatnya, consensus yang tumbuh adalah bahwa gangguan memiliki pengaruh
pada arti subjektif stresor bagi pasien.

Bahkan jika dihadapkan dengan trauma yang berat, sebagian besar orang tidak
mengalami gejala gangguan stres pascatraumatik. Demikian juga peristiwa yang
6

tampaknya biasa atau kurang berbahaya bagi kebanyakan orang mungkin menyebabkan
gangguan stress pasca traumatik pada beberapa orang karena arti subjektif dari peristiwa
tersebut. Faktor kerentanan yang merupakan predisposisi yang tampaknya memainkan
peranan penting dalam menentukan apakah gangguan berkembang adalah:
1. Adanya trauma masa anak-anak.
2. Sifat gangguan kepribadian ambang, paranoid, dependen, atau anti
sosial.
3. Sistem pendukung yang tidak adekuat.
4. Kerentanan kontitusional genetika pada penyakit psikiatrik.
5. Perubahan hidup penuh stres yang baru terjadi.
6. Persepsi lokus kontrol eksternal, bukannya internal.
7. Penggunaan alkohol yang baru.
5

Penelitian psikodinamika terhadap orang yang dapat bertahan hidup dari trauma
psikis yang parah telah menemukan aleksitimia, yaitu ketidak mampuan untuk
mengidentifikasi atau mengungkapkan keadaan perasaan sebagai ciri yang umum. Jika
trauma psikis terjadi pada anak-anak, biasanya dihasilkan perhentian perkembangan
emosional. Jika trauma terjadi pada masa dewasa, regresi emosional seringkali terjadi.
Orang yang selamat dari trauma biasanya tidak dapat menggunakan keadaan emosional
internal sebagai tanda dan mungkin mengalami gejala psikosomatik. Mereka juga tidak
mampu menenangkan dirinya jika dalam stres.
1,2,4

2.3.2 Faktor Psikodinamika
Model kognitif dari gangguan stres pascatrauma menyatakan bahwa orang yang
terkena adalah tidak mampu untuk memproses atau merasionalisasikan trauma yang
mencetuskan gangguan. Mereka terus mengalami stress dan berusaha untuk tidak
mengalami stress dengan teknik menghindar. Sesuai dengan kemampuan parsial mereka
untuk mengatasi peristiwa secara kognitif, pasien mengalami periode mengakui peristiwa
dan menghambatnya secara berganti-ganti.

7

Model perilaku dari gangguan stress pascatraumatik menyatakan bahwa gangguan
memiliki dua fase dalam perkembangannya. Pertama, trauma (stimulus yang tidak
dibiasakan) adalah dipasangkan, malalui pembiasaan klasik, dengan stimulus yang
dibiasakan (pengingat fisik atau mental terhadap trauma). Kedua, melalui pelajaran
instrumental, pasien mengembangkan pola penghindaran terhadap stimulus yang
dibiasakan maupun stimulus yang tidak dibiasakan.

Model psikoanalitik dari gangguan menghipotesiskan bahwa trauma telah
mereaktivasi konflik psikologis yang sebelumnya diam dan belum terpecahkan.
Penghidupan kembali trauma masa anak-anak menyebabkan regresi dan mekanisme
pertahanan represi, penyangkalan, dan meruntuhkan (undoing). Ego hidup kembali dan
dengan demikian berusaha menguasai dan menurunkan kecemasan. Pasien juga
mendapatkan tujuan sekunder dari dunia luar, peningkatan perhatian atau simpati, dan
pemuasan kebutuhan ketergantungan. Tujuan tersebut mendorong gangguan dan
persistensinya. Suatu pandangan kognitif tentang gangguan stress adalah bahwa otak
mencoba untuk memproses sejumlah besar informasi yang dicetuskan oleh trauma dengan
periode menerima dan menghambat peristiwa secara berganti-ganti.
1,2,4
2.3.3 Faktor Biologis
Faktor Biologik
Terpaparnya seseorang oleh peristiwa yang traumatik akan menimbulkan respons
takut sehingga otak dengan sendirinya akan menilai kondisi keberbahayaan peristiwa yang
dialami, serta mengorganisasi suatu respons perilaku yang sesuai. Dalam hal ini, Amigdala
merupakan bagian otak yang sangat berperan besar. Amigdala mengaktivasi beberapa
neurotransmitter serta bahan bahan neurokimiawi di otak sebagai respons tubuh terhadap
trauma. Hal ini akan menimbulkan stimulus berupa tanda darurat kepada:
1. Sistem Saraf Simpatis
Sistem saraf simpatis akan membuat tubuh menjadi siaga dengan meningkatkan
denyut jantung dan tekanan darah, sehingga seseorang mampu untuk menghadapi
trauma tersebut.
2. Sistem Saraf Parasimpatis
Sistem saraf parasimpatis bereaksi dengan membatasi reaksi sistem saraf simpatis
pada beberapa jaringan tubuh.
3. Aksis Hipotalamus-Hipofisis-kelenjar Adrenal (HPA)
8

Hipotalamus akan mengeluarkan Cortico Releasing Factor (CRF) dan beberapa
neuropeptida regulator lainnya, sehingga kelenjar hipofisis akan terangsang dan
mengeluarkan adenocorticotropic hormone (ACTH) yang akhirnya menstimulasi
pengeluaran hormon kortisol dari kelenjar adrenal. Hormon kortisol berfungsi
untuk menghentikan respons tubuh yang bersifat defensif terhadap stress.

Pada pasien yang mengalami gangguan stress pasca trauma, dihipotesis terjadi
hipersensitivitas dari ketiga sistem yang teraktivasi di atas sehingga seseorang menjadi
mudah untuk mengalami gejala gejala tersebut.
4-6

2.4 Gambaran Klinis

Gambaran klinis utama PTSD adalah mengalami kembali suatu peristiwa yang
menyakitkan, suatu pola menghindari dan mematikan emosi, serta keadaan terus terjaga
yang cukup konstan. Gangguan ini dapat tidak timbul sampai berbulan-bulan atau
bahkan bertahun-tahun setelah peristiwa tersebut. Pemeriksaan status mental sering
mengungkapkan rasa bersalah, penolakan, dan cemohan. Pasien juga menggambarkan
disosiatif dan serangan panik serta ilusi dan halusinasi dapat timbul. Uji kognitif dapat
menunjukkan bahwa pasien memiliki hendaya memori dan perhatian. Gejala terkait
dapat mencakup agresi, kekerasan, kendali impuls yang buru, depresi dan gangguan
terkait zat
1.

Gejala utama PTSD adalah mengalami kembali secara involunter peristiwa
traumatik dalam bentuk mimpi atau bayangan yang intrusive, yang menerobos masuk
ke dalam kesadaran secra tiba-tiba (kilas balik atau flash back). Hal ini sering dipicu
oleh hal-hal yang mengingatkan penderita akan peristiwa traumatik yang pernah
dialami. Kelompok gejala lainnya adalah tanda-tanda meningkatnya keterjagaan
(arousal) berupa anxietas yang hebat, iritabilitas, insomnia, dan konsentrasi yang buruk.
Anxietas akan bertambah parah pada saat terjadi kilas balik. Gejala-gejala disosiatif
merupakan kelompok gejala lainnya yang terdiri dari kesulitan mengingat kembali
bagian-bagian penting dari peristiwa itu (detachment), ketidakmampuan untuk
merasakan perasaan (emotional numbness). Kadang-kadang terjadi depersonalisasi dan
derealisasi. Perilaku menghindar merupakan bagian dari gejala PTSD. Pasien
menghindari hal-hal yang dapat mengingatkan dia akan peristiwa traumatik tersebut.
Gejala-gejala depresi kerap kali didapatkan dan penyintas (survivor) sering merasa
9

bersalah. Perilaku maladaptif sering terjadi berupa rasa marah yang persisten,
penggunaan alkohol atau obat-obat berlebihan dan perbuatan mencederai diri yang
sebagian berakhir dengan bunuh diri.
1,3,6

2.5 Diagnosis
Kriteria diagnosis DSM-IV TR untuk PTSD merinci bahwa gejala mengalami,
menghindari, dan terus terjaga lebih atau lebih dari 1 bulan. Untuk pasien yang
gejalanya ada, tetapi kurang dari 1 bulan, diagnosis yang sesuai adalah gangguan stres
akut. Kriteria diagnostik DSM-IV TR PTSD memungkinkan klinisi untuk merinci
apakah gangguan tersebut akut (jika gejala kurang dari 3 bulan) atau kronis (jika gejala
telah ada selama 3 bulan atau lebih). DSM-IV TR juga memungkinkan klinisi merinci
bahwa gangguan tersebut adalah dengan awitan yang tertunda jika awitan gejala 6 bulan
atau lebih setelah peristiwa yang memberikan stres. Menurut DSM IV, kriteria
diagnosis bagi penderita gangguan stress pasca trauma :


A. Kejadian traumatik
1. Satu atau banyak pristiwa yang membuat seseorang mengalami,
menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu kejadian yang berupa ancaman
kematian, cidera yang serius atau ancaman terhadap integritas fisik dirinya
sendiri atau orang lain.
2. Tanggapan individu terhadap pengalaman tersebut dengan ketakutan,
kengerian, atau ketidakberdayaan yang sangat kuat.
B. Mengalami kembali satu atau lebih gejala di bawah ini:
1. Teringat kembali akan kejadian trauma menyedihkan yang dialaminya dan
bersifat mengganggu bisa berupa gambaran, pikiran, persepsi
2. Mimpi buruk yang berulang tentang peristiwa trauma yang dialaminnya
yang mencemaskan
3. Mengalami kilas balik trauma - merasa seakan kejadian trauma yang
dialaminya terjadi kembali, hal ini bisa terjadi karena ilusi, haluinasinya
4. Kecemasan psikologis dan fisik bersamaan dengan hal yang mengingatkan
terhadap kejadian trauma kenangan akan peristiwa trauma
C. Menghindari secara persisten stimulus yang berkaitan dengan trauma dan
mematikan perasaan/ tidak berespon terhadap suatu hal sebelum trauma masih
10

berespon. Gejala ini meliputi tiga atau lebih hal di bawah ini:
1. Kemampuan untuk menghindari pikiran, perasaan, percakapan yang
berhubungan dengan kejadian trauma
2. Kemampuan menghindari aktivitas, tempat, orang yang dapat membangkitkan
kembali kenangan akan trauma yang dialaminya
3. Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari peristiwa trauma yang
dialaminya
4. Ketertarikan dan minat untuk berpartisipasi dalam peristiwa penting
berkurang
5. Merasa terasing dari orang di sekitarnya
6. Terbatasnya rentang emosi (contoh: tidak dapa merasakan cinta)
7. Perasaan bahwa masa depannya suram

D. Gejala hiperarousal/ sangat sensitif yang persisten meliputi dua atau lebih gejala
di bawah ini:
1. Sulit untuk memulai tidur/ sulit mempertahankannya
2. Sulit berkonsentrasi
3. Mudah kesal dan meledak-ledak emosinya
4. Hypervigilance (kewaspadaan yang berlebihan)
5. Reaksi kaget yang berlebihan

E. Durasi dari gangguan (gejala di kriteria B, C, D) lebih dari sebulan

F. Gangguan/ gejala di atas ini menyebabkan kecemasan dan gangguan fungsional
dalam berhubungan sosial, pekerjaan, dan fungsi penting lainnya
Selain itu, secara spesifikasi diagnosis PTSD dapat diidentifikasi sebagai: (1)
akut, bila gejala berlangsung satu sampai tiga bulan (2) kronis, bila gejala
berlangsung lebih dari tiga buan (3) Awal gejala / onset yang tertunda bila gejala
dimula sedikitnya enam bulan setelah kejadian traumatik/stresor

Selanjutnya, menurut International Classification of Diseases 10 (ICD-10)
kriteria diagnosis PTSD sebagai berikut:
A. Pasien harus pernah terpapar pada suatu peristiwa atau situasi yang
menimbulkan stress (sebentar/lama) yang sifatnya malapetaka atau sangat
mengancam sehingga mungkin akan menyebabkan stres pada hampir semua
11

orang.
B. Terus menerus mengingat atau menghayati lagi penyebab stress dalam
bentuk kilas balik yang mengganggu, kenangan yang jelas sekali atau mimpi
yang berulang, atau mengalami kecemasan ketika menghadapi keadaan
yang mirip atau berkaitan dengan penyebab stress.
C. Pasien harus memperlihatkan suatu penghindaran nyata dari keadaan yang
mirip atau berhubugan dengan penyebab stress yang tidak ada sebelumnya.
D. Salah satu dari hal berikut harus terjadi:

a. tidak mampu mengingat sebagian atau seluruhnya dari beberapa aspek
penting selama masa terpapar pada penyebab stres
b.gejala yang terus menerus dari adanya peningkatan kepekaaan psikologis
dan sensasi-tidak ada sebelum terpapar dengan penyebab stres, ditunjukkan
oleh dua dari berikut ini:
(1) sulit untuk memulai tidur dan mempertahankannya
(2) mudah marah atau amarah yang meledak-ledak
(3) sulit berkonsentrasi
(4) kewaspadaan yang sangat tinggi
(5) reaksi kaget yag berlebihan

E. Kriteria B, C, dan D semuanya terjadi dalam kurun waktu enam bulan
setelah peristiwa traumatik terjadi

Pedoman diagnostik gangguan stress pasca trauma menurut PPDGJ III (F 43.1)
yaitu :
agnosis baru ditegakkan bilamana gannguan ini timbul dalam kurun waktu
enam bulan setelah kejadiian traumatik berat (masa laten yang berkisar antara
beberapa minggu sampai beberapa bulan, jarang sampai melampaui enam
bulan). Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya
waktu mulai saat kejadian dan onset gangguan melebihi waktu enam bulan, asal
saja manifestasi klinisnya adalah khas dan tidak didapat alternatif kategori
ganngguan lainnya.
Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang atau
12

mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang kembali
(flashbacks)
Gangguan otonomik, gangguan afek, dan kelainan tingkah laku semuanya dapat
mewarnai diagnosis tetapi tidak khas
Suatu sequelae menahun yang terjadi lambat setelah stress yang luar biasa,
misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasi dalam kategori
F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami
katastrofa).
2,3

2.6 Diagnosis Banding

Pertimbangan utama dalam diagnosis PTSD adalah kemungkinan bahwa pasien
juga menderita cedera kepala selama trauma. Pertimbangan organik lain yang dapat
menyebabkan dan memperberat gejala adalah epilepsi, gangguan penggunaan
alkohol, dan gangguan terkait zat lain. Intoksikasi atau putus zat juga dapat
menunjukkan gambaran klinis yang sulit dibedakan dengan gangguan ini sampai efek
zat hilang.
PTSD lazim salah didiagnosis sebagai gangguan jiwa lain dan kemudian diobati
dengan tidak sesuai. Klinisi harus mempertimbangkan diagnosis PTSD pada pasien
yang memiliki gangguan nyeri, penyalahgunaan zat, gangguan ansietas lain dan
gangguan mood. Pada umumnya, PTSD dapat dibedakan dengan gangguan jiwa lain
dengan mewawancarai pasien mengenai pengalaman traumatik sebelumnya dan dengan
sifat gejala saat ini. Gangguan kepribadian ambang, gangguan disosiatif, gangguan
buatan, malingering juga harus dipertimbangkan.
1

2.7 Perjalanan Penyakit

PTSD biasanya timbul beberapa waktu setelah trauma. Penundaan dapat selama
1 minggu atau hingga 30 tahun. Gejala dapat fluktuasi dari waktu ke waktu dan menjadi
paling intens selama periode stres. Jika tidak diobati, sekitar 30% pasien akan pulih
sempurna. 40% akan terus mengalami gejala ringan, sekitar 10% tetap tidak berubah
atau bertambah buruk. Setelah satu tahun, sekitar 50% pasien akan pulih. Prognosis
yang baik diperkirakan dengan adanya awitan gejala cepat, durasi gejala singkat (kurang
dari 6 bulan), fungsi pramorbid baik, dukungan sosial baik, dan tidak adanya gangguan
13

psikiatri, medis atau gangguan terkait zat lain atau faktor risiko lain. Umumnya orang
yang sangat muda dan sangat tua lebih memilki kesulitan dengan peristiwa traumatic
daripada orang usia pertengahan.
2

2.8 Penatalaksanaan (Terapi)
Berbagai teknik untuk meredakan kecemasan seperti relaksasi, teknik-teknik mengatur
pernafasan serta mengontrol pikiran-pikiran perlu dilatih dan terbukti bermanfaat untuk
individu dengan gangguan stress pascatraumatik. Modifikasi pola hidup seperti diet yang
sehat, mengatur konsumsi kafein, alkohol, rokok dan obat-obatan lainnya, perlunya
olahraga yang teratur, dll. Medikasi yang terbukti bermanfaat untuk mengatasi kasus ini
adalah pemberian antidepresan golongan SSRI (selective serotonin reuptake inhibitor)
seperti Fluoxetin 10-60 mg/hr, Sertralin 50-200mg/hr atau Fluvoxamine 50-300mg/hr.
Antidepresan lain yang juga dapat digunakan adalah Amiltriptilin 50-300mg/hr dan juga
imipramin 50-300mg/hr.
1

Berdasarkan rekomendasi dari The Expert Consensus Panels for PTSD, tatalaksana
gangguan stress pascatraumatik sebaiknya mempertimbangkan beberapa aspek di bawah
ini:
1. Gangguan stress pascatraumatik merupakan suatu gangguan yang kronik dan
berulang serta sering berkormobiditas dengan gangguan-gangguan jiwa serius
lainnya.
2. Antidepresan golongan penghambat selektif dari ambilan serotonin/SSRI
merupakan obat pilihan pertama untuk kasus ini.
3. Terapi yang efektif harus dilanjutkan paling sedikit 12 bulan.
4. Exposure therapy (terapi pemaparan) merupakan terapi dengan pendekatan
psikososial terbaik yang dianjurkan dan sebaiknya dilanjutkan selama 6 bulan.





2.9 Prognosis
Prognosis pada kasus PTSD adalah sulit untuk menentukan, karena itu bervariasi
secara signifikan dari pasien ke pasien. Beberapa individu yang tidak menerima
14

perawatan secara bertahap pulih dalam periode tahun. Banyak orang yang menerima
perawatan medis dan psikiatris tepat sembuh sepenuhnya (atau hampir sepenuhnya).
Jarang, bahkan dengan intervensi intensif, individu mengalami gejala memburuk dan
bunuh diri. Pada pasien dengan stres pasca trauma yang menerima pengobatan, durasi
rata-rata gejala adalah 36 bulan, dibandingkan dengan 64 bulan untuk pasien yang tidak
menerima pengobatan. Namun, lebih dari sepertiga pasien yang memiliki stres pasca
trauma tidak pernah sepenuhnya pulih. Faktor yang terkait dengan prognosis yang baik
meliputi keterlibatan cepat pengobatan, dukungan sosial awal dan berkelanjutan,
menghindari retraumatisasi, fungsi premorbid positif, dan tidak adanya gangguan
kejiwaan lain atau penyalahgunaan zat
1,4,7
15


BAB III
KESIMPULAN


Post traumatic Stress Disorder (PTSD) merupakan gangguan yang diakibatkan
satu atau lebih kejadian traumatik yang dialami atau disaksikan oleh seseorang baik
ancaman kematian, kematian, cidera fisik yang mengakibatkan ketakutan ekstrem,
horror, rasa tidak berdaya hingga berdampak mengganggu kualitas hidup individu dan
apabila tidak ditangani dengan benar dapat berlangsung kronis dan berkembang menjadi
gangguan stress pasca trauma yang kompleks dan gangguan kepribadian. Identifikasi
pada anak yang mengalami trauma dan berisiko menjadi gangguan stress pasca trauma
merupakan komponen yang penting dalam mengatasi gangguan ini. PTSD terjadi
akibat adanya kejadian traumatik dan perlu dipertimbangkan beberapa faktor yang
berperan antara lain: faktor biologis, faktor psikologis, faktor sosial, dan faktor lainnya
yang dapat meningkatkan risiko terjadi gangguan ini. Tanda dan gejala penderita PTSD
secara umum dapat dibagi menjadi tiga yakni: mengalami kembali kejadian trauma,
menghindari stimulus, dan gejala hiperarousal. Setelah dilakukan evaluasi ada dua
macam terapi pengobatan yang dapat dilakukan pada penderita PTSD yaitu, dengan
menggunakan psikoterapi dan farmakoterapi.Hasil pengobatan akan lebih efektif jika
kedua terapi ini dikombinasikan sehingga tercapai penanganan yang holistik dan
komprehensif.
16


DAFTAR PUSTAKA


1. Kaplan, Saddock..Buku ajar psikiatri klinis. Edisi ke-2. Jakarta: EGC;2010.h.252-58.
2. Wiguna T. Buku ajar psikiatri. Edisi ke-2. Jakarta: FKUI;2013.h.277-85.
3. WHO. Pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa di Indonesia III.
Departmen kesehatan RI.h.187-93.
4. Recognizing post traumatic stress disorder. Oxford Journal Medicine. 2004; 97 (1): 1-
5.
5. Horward S. Mark W. Post traumatic stress disorder: what happens in the brain.
Washington academy of science. 2007.p.1-17.
6. Anne G. Sleep disturbances as the hallmark of PTSD: where are we now. Am J
Psychiatry 2013;170:372-382.
7. Matthew, Stefan, Kateri et al. Emotion regulation and PTSD: A prospective
investigation. 2013. Journal of Social and Clinical Psychology, Vol. 32, No. 3, 2013,
p. 296-314.

You might also like