You are on page 1of 69

Page IV-1

PT. MAHAYASA
STUDI KELAYAKAN
PLTM PONJU, KABUPATEN DONGGALA
PROVINSI SULAWESI TENGAH - INDONESIA
BAB IV
STUDI GEOLOGI


4.1. UMUM
Kegiatan studi dengan maksud untuk mendapatkan gambaran kondisi geologi
dan geoteknik yang lebih akurat pada rencana lokasi PLTM melalui
pemetaan dan pengujian geologi agar dapat diketahui informasi teknis penting
mengenai potensi sesar aktif dan lapisan tanah, sedangkan dari informasi
geoteknik dapat diketahui dayadukung tanah untuk pondasi, kedalaman lapisan
batuan, sifat fisik dan dinamis tanah untuk konstruksi bangunan, sehingga
dapat digunakan untuk perhitungan stabilitas.
Tujuannya adalah untuk memberikan masukan kepada pengembang, dalam
rangka perencanaan disain untuk rencana pelaksanaan pekerjaan Pembangunan
PLTM PONJU, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah.

4.2. LOKASI PEKERJAAN
Rencana lokasi PLTM PONJU terletak di sungai Balukan Desa BALUKANG, terletak
pada Kecamatan Sojol, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah. Untuk

Page IV-2
lebih jelasnya lokasi daerah penyelidikan dapat dilihat pada Peta Lokasi Proyek
Gambar 4.1.

4.3. LINGKUP PEKERJAAN
Melaksanakan pekerjaan Pemetaan Geologi Permukaan lokasi bendung,
sandtrap, sepanjang waterway, penstock dan lokasi powerhouse.

Page IV-3

4.4. BAHAN REFERENSI STUDI
Studi yang pernah dilaksanakan dan informasi yang berkaitan dengan
pekerjaan ini adalah :
1. Peta Geologi Regional Lembar Tolitoli, Sulawesi Utara oleh Nana
Ratman 2011, Lembar 2116-2116-2117, sekala 1 : 250.000, yang
dikeluarkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi,
Bandung.


Gambar 4.1 Peta Lokasi dan Daerah Kesampaian PLTM
PONJU

Page IV-4

4.5. PEDOMAN REFERENSI YANG DIGUNAKAN
Pedoman dan referensi yang akan digunakan sebagai dasar pelaksanaan
pekerjaan adalah sebagai berikut:
1. Development of Seismic Hazard Maps of Indonesia for Revision of
Hazard Map in SNI 03-1726-2002, by Masyhur Irsyam (Civil
Engineering ITB), Wayan Sengara (Civil Engineering ITB), Fahmi
Aldiamar (Highway Institude PU), Sri Widiantoro (Geophysic ITB),
Wahyu Triyoso (Geophysic ITB), Danny Hilman (Geotechnology
LIPPI), Engkon Kertapati (Geology Research Center), Irwan Meilano
(Geodetic ITB), Suhardjono (Geophysic BMKG), M Asrurifak (Civil
Engineering ITB), M Ridwan (Human Settlements Research Institute
PU), Bandung July 1, 2010.
2. Bendungan Type Urugan, Dr. Suyono Sosrodarsono, Kensaku
Takeda, tahun 1977.
3. Mekanika Tanah dan Teknik Pondasi, Ir. Suyono Sosrodarsono,
Kenzuto Nakazawa, tahun 1980.
4. Buku Pedomen Kelayakan Hidrologi Pembangunan PLTMH (Buku
2A),
Kerjasama antara Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi
(DJLPE), Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral dan United
Nations Development Programme (UNDP), Jakarta Mei 2009.
5. Buku Pedoman Studi Kelayakan Sipil Pembangunan PLTMH (Buku2B),

Page IV-5
Kerjasama antara Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi
(DJLPE), Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral dan United
Nations Development Programme (UNDP), Jakarta Mei 2009.
6. Buku Pedoman Elektrikal Pembangunan PLTMH (Buku 2C),
Kerjasama antara Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi
(DJLPE), Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral dan United
Nations Development Programme (UNDP), Jakarta Mei 2009.

4.6. INVESTIGASI GEOLOGI
Hasil investigasi geologi yang akan diperoleh yaitu :
1. Gambaran kondisi geologi / geoteknik lokasi rencana PLTM (batuan
pondasi


Poros Bendung (Damsite), batuan pondasi rencana Waterway,
Headpond, Penstock dan batuan pondasi Bangunan Rumah
Pembangkit (Powerhouse) berupa peta dan profil geologi
(geoteknik) yang mencerminkan kedalaman, jenis batuan kondisi
batuan, tingkat kekerasan batuan dan ketebalan tanah pelapukan.
2. Penentuan lokasi pengambilan dan ketersediaan material bahan
konstruksi yang berupa batu dan pasir.

Page IV-6
3. Parameter tanah dan batu untuk keperluan desain perencana yaitu
menentukan daya dukung, kesetabilan pondasi, kestabilan lereng
dan koefisien rembesan.
4. Nilai koefisien kegempaan untuk perhitungan kestabilan dinamik.


4.7. KEGIATAN PEKERJAAN GEOLOGI

4.7.1. Tahap Penyelidikan Geologi
Tahap penyelidikan geologi ini yang meliputi Pekerjaan Peninjauan Lapangan,
Studi Peta Geologi Regional, Studi Laporan Terdahulu, Pemetaan Geologi
Permukaan, serta Analisis Geoteknik dan Pembuatan Laporan.
4.7.2. Penyelidikan Geologi
Penyelidikan Geologi Permukaan dilaksanakan dalam rangka untuk
mendapatkan data geologi permukaan pada lokasi rencana bangunan PLTM
dengan cara pengamatan lapangan (pemetaan geologi) dan analisa dari
singkapan batuan.
Pada penyelidikan geologi permukaan ini juga mencakup pemetaan geologi,
pemetaan potensi adanya tanah longsor, pemetaan adanya potensi sesar
aktif serta pengamatan sebaran bahan bangunan yang terdapat disepanjang
sungai, daerah bantaran dan daerah perbukitan.

4.7.3. Metode Pelaksanaan Pekerjaan

Page IV-7

1. Prosedur Pemetaan Geologi
Metode Penyelidikan Geologi Permukaan dilaksanakan secara
konvensional dengan sistem lintasan penyusuran sungai,
pemotongan bukit dan mengikuti jalan setapak yang sudah ada.
Pengamatan dilakukan pada singkapan batuan yang

terdapat pada lintasan dengan melakukan diskripsi petrologis dan
pengukuranunsur geologi lainnya seperti kekar dan tingkat
pelapukan dari batuan. Disamping dengan penjelajahan medan
secara rinci dilakukan pula pemetaan geologi secara tinjau untuk
pencarian lokasi borrow area dan quarry site yang lebih dekat dan
ekonomis sesuai dengan lokasi rencana PLTM. Pemetaan konsep
geologi ditunjang pula dengan referensi Peta Geologi Regional
Lembar Tolitoli, Sulawesi Utara oleh Nana Ratman 2011, Lembar
2116-2116-2117, sekala 1 : 250.000, yang dikeluarkan oleh
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung.
Pekerjaan ini akan mempergunakan peralatan seperti kompas
geologi, palu geologi, kaca pembesar, pita ukur, altimeter, HCL
0,1N dan peta topografi dasar dengan skala 1 : 25.000. Sedangkan
Pengamatan geologi permukaan (pemetaan geologi) meliputi :
a. Morfologi yaitu bentuk lembah, bentuk bukit, pola aliran
sungai, gradien sungai dan lain-lain.

Page IV-8
b. Stratigrafi Lokal yaitu susunan dan jenis batuan yang ada pada
disekitar calon bangunan pembangkit listrik.
c. Struktur Geologi seperti kekar, sesar dan bidang perlapisan.
d. Stadia Erosi dan Tingkat Pelapukan Batuan.
e. Perkiraan Daya Dukung dan Tingkat Permeabilitas Batuan
Pondasi.
f. Pengukuran jurus dan kemiringan bidang perlapisan batuan
dilakukan pada singkapan batuan yang mempunyai
kemiringan jelas.
g. Pengukuran jurus dan kemiringan kekar termasuk jenis dan isian
kekar.
h. Deskripsi singkapan batuan pada setiap lokasi pengamatan.
i. Pengukuran dan pencatatan adanya rembesan / sumber air
tanah (sping).
j. Pengukuran kedalaman sumur gali (kalau ada)

Hasil akhir dari pemetaan geologi permukaan ini akan disajikan dalam
bentuk peta geologi teknik dan profil geologinya, baik lokasi bendung,
saluran pembawa, headpond, penstock dan lokasi rumah pembangkit.





4.8. KONDISI GEOLOGI DAN GEOTEKNIK

Page IV-9

4.8.1. Geologi Regional
Secara regional daerah penelitian merupakan bagian dari kawasan Indonesia
Timur, yang secara geologi memiliki karakteristik yang lebih kompleks dan
rumit bila dibandingkankan dengan kawasan Indonesia Barat. Ini dikarenakan
kawasan timur Indonesia merupakan pertemuan dari lempeng-lempeng
litosfera : Eurasia yang relatif stabil di bagian baratlaut, Lempeng Indo-
Australia di bagian barat dan baratdaya yang bergerak relatif ke timurlaut,
Lempeng Pasifik di bagian timur yang bergerak ke barat laut dan Lempeng
Filipina Barat di bagian timurlaut yang bergerak ke arah barat. Bagian
timurlaut Sulawesi merupakan akibat perputaran searah jarum jam dari
lempeng kecil bagian baratdaya Sulawesi dan Kalimantan pada masa lalu
yang diikat pada bagian baratdaya oleh sistem busur pada sesar-sesar
mendatar mengiri, dan penolakan dasar laut Sulawesi di utara oleh adanya
penujaman di Parit Sulawesi Utara. Sesar-sesar Palu dan Matano keduanya
merupakan sesar-sesar aktif yang merupakan bagian dari satu sistim sesar,
meskipun hubungan antara keduanya belum dapat dibuktikan. Berdasarkan
data seismik yang ada, zona seismik benioff memiliki kemiringan ke arah
selatan dari parit Sulawesi Utara sedangkan gunungapi aktif Una-una,
terletak antara Lengan Utara dan Lengan Timur Sulawesi, yang kemungkinan
merupakan hasil dari sistim penujaman ini.
Secara regional orogenesa pada Pulau Sulawesi mulai berlangsung sejak
Zaman Trias, terutama pada Mandala Banggai Sula yang merupakan
Mandala Tertua, sedangkan pada Mandala Geologi Sulawesi Timur

Page IV-10
dimulai pada Kapur Akhir atau Awal Tersier. Perlipatan yang kuat
menyebabkan terjadinya sesar anjak yang berlangsung pada Miosen Tengah
pada Lengan Timur Sulawesi dan dibagian tengah dari Mandala Geologi
Sulawesi Barat, diwaktu yang bersamaan suatu trangresi local berlangsung
pada Lengan Tenggara Sulawesi dan suatu aktifitas vulkanik terjadi pada
Lengan Utara dan Selatan (Sukamto, 1975). Fase orogenesa Intra Miosen
terlihat menonjol pada beberapa tempat, terutama pada Mandala Sulawesi
Barat bagian Tengah, sedangkan orogenesa sebelum Intra Miosen mungkin
terjadi dua kali, yaitu sebelum dan sesudah Eosen. Orogenesa Larami terjadi
pada Kapur Akhir hingga Miosen Awal, mengangkat dan melipat endapan
Mesozoikum dan sediment tua lainnya, kemudian terhenti oleh
pengaruh gerakan horizontal dan menyebabkan terjadinya berbagai sesar
sungkup berarah utara-selatan atau tepatnya utara barat laut - selatan
menenggara. Gaya horisontal terhenti dan disusul oleh terbentuknya sesar
bongkah yang menyebabkan terban maupun sembul. Perlipatan yang
kuat diikuti oleh sesar

sungkup yang terjadi pada Miosen Tengah pada bagian tengah dari Mandala
Sulawesi Barat, melipat batuan pada Formasi Latimojong dan Formasi Toraja
kemudian tersesarkan. Sebagai acuan penyelidikan geologi dan geoteknik
rencana PLTM PONJU adalah Peta Geologi Regional Lembar Tolitoli, Sulawesi
Utara oleh Nana Ratman 2011, Lembar 2116-2116-2117, sekala 1 :
250.000, yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.


Page IV-11
4.8.1.1. Morfologi dan Fisiografi
Daerah penelitian merupakan bagian dari lengan Utara Sulawesi.
Sebagian besar daearah ini ditempati oleh batuan gunungapi Tersier dan
batuan terobosan (plutonik) yang berumur Miosen. Di wilayah bagian
barat daerah telitian dijumpai dataran rendah yang berbentuk
memanjang, yang merupakan dataran pantai dan endapan sungai.
Daerah yang dipetakan dapat dibagi menjadi tiga satuan morfologi;
satuan pegunungan berlereng terjal, perbukitan bergelombang dan
satuan dataran rendah. Satuan pegunungan berlereng terjal menempati
bagian timur dan tenggara daerah telitian yang merupakan
Pegunungan Ogoamas dengan beberapa puncaknya antara lain G.
Ogoamas (2565 m), G. Lempe (1724 m), G. Sojol (2525 m), G. Balani
(1340 m), G. Losung (740 m), G. Sapalili ( 1780 m), G. Toboli (1408 m),
G Pajalele (1208 m) serta G. Sisobol (690). Satuan morfologi ini terutama
ditempati oleh batuan gunungapi tersier dan batuan plutonik. Satuan
perbukitan bergelombang terutama dijumpai di daerah tengah bagian
barat. Satuan ini pada umumnya menunjukan bentuk puncak membulat
dengan lereng yang relatif landai dan berjulang kurang dari 200 m.
satuan morfologi perbukitan bergelombang terutama

ditempati oleh batuan plutonik, batuan gunungapi dan batuan sedimen
berumur Tersier hingga Kuarter.

Page IV-12
Satuan dataran rendah dijumpai di daerah barat, disepanjang pesisir
pantai.




4.8.1.2. Struktur Geologi dan Geoteknik
Struktur geologi yang utama di daerah penelitian adalah sesar, berupa
sesar normal dan sesar mendatar. Sesar normal yang terdapat di G.
Boliohuto menunjukan pola memancar, sedangkan sesar mendatar
umumnya bersifat menganan tetapi adapula yang mengiri. Sesar
tersebut memotong batuan yang berumur tua (Formasi Tinombo) hingga
batuan yang berumur muda (Satuan Batugamping Klastik). Struktur
lipatan hanya terdapat setempat, terutama pada Formasi Dolokapa dan
Formasi Lokodidi, dengan sumbu lipatan secara umum berarah barat-
timur. Kelurusan banyak tedapat di daerah ini dengan arah yang sangat
beragam. Kelurusan ini terlihat baik dengan citra radar dan foto udara.
Kegiatan tektonik di daerah ini diduga telah berlangsung sejak Eosen
sampai Oligosen yang diawali dengan kegiatan magmatik yang
menghasilkan Satuan Gabro. Masih pada Eosen, terjadi pemekaran
dasar samudra yang berlangsung hingga Miosen Awal dan ini
menghasilkan lava bantal yang cukup luas. Kegiatan tersebut diikuti

Page IV-13
pula oleh terjadinya retas-retas yang umumnya bersusunan basa, dan
banyak menerobos Formasi Tinombo.
Pada Miosen selain terjadi pengendapan Formasi Randangan dan
Formasi Dolokapa, terjadi pula kegiatan magmatik yang menghasilkan
diorit Bone. Diduga pada waktu itu terjadi pula penunjaman dari utara
ke arah selatan dari Laut Sulawesi, yang dikenal sebagai Jalur Tunjaman
Sulawesi Utara (Simandjuntak, 1983). Diduga penunjaman ini
mengakibatkan kegiatan gunungapi yang menghasilkan batuan
gunungapi Bilungala dan gunungapi yang menyusun Formasi Dolokapa.
Kegiatan magmatik Diorit Bone yang berlangsung sampai iosen Tengah
dilanjutkan oleh kegiatan magmatik Diorit Boliohuto yang berlangsung
hingga Miosen Akhir.
Bersamaan dengan kegiatan magmatik tersebut, terjadilah
pengangkatan pada akhir dari Miosen Akhir.Pada akhir kegiatan
magmatik diorit Boliohuto, terjadilah kegiatan gunungapi yang
menghasilkan Batuan Gunungapi Pani dan breksi Wobudu. Pada waktu
itu, jalur tunjaman Sulawesi Utara diduga masih aktif, dan menghasilkan
sejumlah sesar mendatar di bagian barat daerah penelitian.


Pada Pliosen terjadi pula kegiatan magmatik yang menghasilkan batuan
terobosan granodiorit Bumbulan, yang kemudian diikuti oleh kegiatan
gunungapi. Kegiatan gunungapi ini berlangsung hingga Plistosen Awal

Page IV-14
dan menghasilkan batuan gunungapi Pinogu. Pada saat itu juga terjadi
pengendapan batuan sedimen yang membentuk Formasi Lokodidi.
Sementara itu, retas-retas yang bersusunan basal, andesit dan dasit
masih terbentuk yang kemudian tidak lama lagi berhanti setelah
berakhirnya gunung kegiatan api tersebut.
Pada akhir Pliosen hingga Plistosen di daerah ini terjadi pengendapan
yang membantuk satuan Batugamping Klastik pada laut dangkal.
Sedangkan pada Plistosen Awal, terbentuklah endapan danau dan
endapan sungai tua. Ketiga satuan batuan tersebut telah mengalami
pengangkatan pada sekitar akhir plistosen.
Pada akhir Plistosen hingga sekarang terjadi proses pendataran serta
kegiatan tektonik yang masih aktif. Proses pendataran menghasilkan
endapan aluvium sedangkan kegiatan tektonik menghasilkan beberapa
sesar jurus mendatar di bagian timur lembar serta mengakibatkan
terangkatnya satuan Batugamping Terumbu.
Berdasarkan asosiasi litologi dan perkembangan tektoniknya, Sulawesi
dapat dibagi menjadi lima provinsi tektonik (Hall & Wilson, 2000) seperti
pada Gambar 4.2 :

1. Busur Volkanik Tersier Sulawesi Bagian Barat
2. Busur Volkanik Kuarter MinahasaSangihe
3. Busur Metamorfik Kapur Paleogen Sulawesi Tengah
4. Busur Ofiolit Kapur Sulawesi Timur

Page IV-15
5. Mikrokontinen Paleozoikum Banggai Sula

Penafsiran hubungan geologi, paleontologi, dan pentarikhan umur
K-Ar (Lowder & Dow, 1978; Villeneuve et.al., 1990; Pereillo, 1992)
memperlihatkan dua periode utama aktivitas magmatik selama Neogen
dan Kuarter, yaitu :

1. Periode pra-kolisi dengan Platform Sula atau 22 16 juta
tahun yang
lalu (sebanding dengan Kala Miosen Awal), dan
2. Periode pasca-kolisi dengan Platform Sula atau lebih muda
dari 9 juta tahun yang lalu (sebanding dengan Kala Miosen
Akhir hingga Kuarter).







Page IV-16

Secara regional, Pulau Sulawesi dan daerah sekelilingnya merupakan
suatu area yang sangat kompleks (Gambar 4.2). Kompleksitas daerah ini
disebabkan oleh adanya pertemuan antara tiga lempeng litosfer yaitu
Lempeng Australia yang bergerak ke arah Utara, Lempeng Pasifik yang
bergerak ke arah barat dan Lempeng Eurasia yang bergerak ke arah
tenggara. Wilayah ini merupakan suatu pusat dari triple junction akibat
konvergensi lempeng (Simandjuntak, 1986 dalam Darman & Sidi,2000).
Konvergensi ini menyebabkan intensitas pembentukan struktur, dari
semua tipe struktur dalam berbagai skala, termasuk subduksi dan zona
tumbukan, sesar dan lipatan. Saat ini hampir seluruh struktur terjadi
pada umur Neogen dan beberapa struktur berumur pra-Neogen yang
teraktifkan kembali (reaktivasi). Struktur utama Pulau Sulawesi antara
lain Palung Minahasa, Sistem Sesar Palu-Koro, Anjakan Batui,
Anjakan Poso, dan Sesar Walanae (Darman & Sidi, 2000).

4.8.1.3. Stratigrafi
Berdasarkan Peta Geologi Regional Lembar Tolitoli, Sulawesi Utara oleh
Nana Ratman 2011, Lembar 2116-2116-2117, skala 1 : 250.000, yang
dikeluarkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (Gambar
4.3), rencana lokasi pembangunan PLTM PONJU, secara stratigrafi
ditempati oleh Satuan Batuan Terobosan yang berumur Miosen.
Satuan batuan ini menerobos Formasi Tinombo yang berumur Eosen.

Page IV-17
Daerah penelitian merupakan daerah yang relatif stabil, walaupun
banyak terdapat adanya struktur rekahan, hancuran dan sesar yang
tersebar secara merata disebelah utara dan barat lokasi proyek. Hal
tersebut diakibatkan karena sangat besarnya pengaruh kegiatan
tektonik terhadap batuan yang ada di daerah tersebut pada waktu
lampau.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan (Nana Ratman 1976), stratigrafi
disekitar daerah telitian dari yang tertua dapat disusun sebagai berikut :

1. Formasi Tinombo (Tts)
Satuan ini tersingkap luas dipematang timur maupun barat.
Batuan ini menindih kompleks batuan metamorf secara tidak
selaras. Didalamnya terkandung rombakan yang berasal dari
batuan metamorf. Endapan ini

terutama terdiri dari serpih, batupasir, konglomerat,
batugamping, rijang radiolaria dan batuan gunungapi yang
diendapkan dilingkungan laut. Didekat intrusi terdapat sabak
dan batuan terkersikkan, dan lebih dekat pada persentuhan
terbentuk filit dan kwarsit.
Rombakan batuan gunungapi biasa terdapat didalam
batupasirnya. Batugamping hanya sebagai lapis-lapis tipis
dalam rangkaian sedimen tersebut. Dari fosil-fosil yang

Page IV-18
terdapat pada batuan tersebut dapat di interpertasikan
bahwa satuan batuan tersebut berumur Eosen.
2. Satuan Batuan Terobosan (Gr)
Yang tertua adalah intrusi andesit dan basal kecil-kecil
disemenanjung Donggala dan intrusi ini kemungkinan adalah
saluran-saluran batuan volkanik didalam Formasi Tinombo.
Intrusi-intrusi kecil yang lain adalah batuan diorit, porfir diorit,
mikrodiorit dan granodiorit yang juga menerobos Formasi
Tinombo.
Intrusi intrusi yang besar (batuan beku dalam) yang berupa
granit dan granodiorit yang dicirikan oleh fenokris felspar
kalium sepanjang hingga 8 cm. Penanggalan Kalium / Argon
telah dilakukan oleh Gulf Oil Company terhadap 2 (dua) contoh
granodiorit dan menujukkan penanggalan 31 juta tahun
pada analisa K/Ar dari felspar.
3. Batugamping Koral (Ql)
Batuan ini merupakan batuan sedimen laut dangkal yang terdiri
dari batugamping koral dan diperkirakan berumur Kwarter.
4. Aluvium dan Endapan Pantai (Qal)
Satuan ini terdiri dari pasir, lempung, lumpur, kerikil dan kerakal.
Penyebaran satuan ini terdapat disebelah timur lokasi proyek dan
berumur Holosen.

Page IV-19











UMUR

FORMASI

SIMBOL

PEMERIAN



Holosen



Aluvial



Qal

Endapan Sungai dan Pantai
(lempung, lanau, kerakal
kerikil,
dan bongkah juga endapan
kipas)


Kwarter


Batugamping


Ql

Batuan Sedimen (batu
gamping
koral)



Miosen



Batuan Plutonik



Gr

Batuan Terobosan Lokasi
Proyek (granit, granodiorit,
mikrodiorit dan diorit)


Eosen


Formasi Tinombo


Tts

Batuan Sedimen (serpih,
batupasir,
konglomerat, batuan
volkanik,
batugamping dan rijang)



4.8.2. Geologi Lokasi Proyek

4.8.2.1. Morfologi
Tabel 4.1 Ringkasan satuan Geoligi
Regional

Page IV-20
PLTM PONJU
Lokasi rencana proyek terletak pada Satuan Morfologi Perbukitan Terjal
dan Bergelombang yaitu, yang memperlihatkan topografi stadium muda
sampai dewasa dimana erosi vertikal lebih potensial. Pada Morfologi
Perbukitan Terjal pada umumnya batuannya keras dan tanah pelapukan
relatif tipis sedangkan Morfologi Bergelombang tingkat pelapukan sudah
intensif dan tanah pelapukannya relatif tebal.
Lokasi rencana PLTM PONJU sebagian merupakan morfologi Perbukitan
Terjal dan sebagian lagi Perbukitan Bergelombang yang ditempati oleh
satuan batuan terobosan (plutonik) yang terdiri dari granit dan
granodiorit yang pada bagian atasnya tertutupi oleh tanah pelapukan
dan sebagian lagi oleh endapan longsoran serta pada jalur sungai oleh
endapan sungai berupa pasir hingga bongkah (Gambar 4.3).













Page IV-21











Diambil dari Peta Geologi Regional Lembar
Tolitoli, Sulawesi Utara oleh Nana Ratman
1976, Lembar 2116, sekala 1 : 250.000, yang
dikeluarkan oleh Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi

Gambar 4.3 Peta Regional PLTM
PONJU


Page IV-22





Gambar 4.4 Peta Morfology Lokasi PLTM PONJU

Page IV-23











Gambar 4.5 Foto Morfology Jalur Waterway dan Bendung PLTM PONJU
Gambar 4.6 Foto Morfology Perbukitan Bergelombang (sebelah kiri sungai)

Page IV-24







Gambar 4.7 Foto Morfology Jalur Waterway PLTM PONJU
Gambar 4.8 Foto Morfology sekitar Powerhouse PLTM PONJU

Page IV-25





4.8.2.2. Stratigrafi
Pondasi bangunan rencana PLTM PONJU akan bertumpu pada
Satuan Batuan Terobosan (Gr). Satuan Batuan Terobosan adalah
merupakan batuan beku plutonik yang terdiri dari granit dan
granodiorit, batuan ini diperkirakan berumur Miosen.
Gambar 4.9 Foto Morfology sekitar Bendung PLTM PONJU

Page IV-26
Diatas Satuan Batuan Terobosan sebagian besar tertutup oleh tanah
pelapukan yang berupa material lempung dan sebagian lagi oleh
endapan longsoran (koluvial), sedangkan pada alur sungai tertutup oleh
endapan sungai (aluvial), seperti pada Tabel III-1 dan Gambar 4.4.
Endapan Aluvial adalah material yang dibawa oleh aliran sungai
(hasil transportasi) dan diendapkan disekitar alur sungai, dan terdiri dari
lumpur, pasir kerikil, kerakal hingga bongkah. Komposisi material
endapan sungai beragam dan terdiri dari pecahan batuan beku (granit,
granodiorit, andesit basal dan lain lain), tuf, breksi dan konglomerat
(Gambar 4.4).
Tanah pelapukan (top soil) merupakan tanah residual (insitu) hasil
pelapukan dari batuan dasar granit dan granodiorit.
Peta Geologi rencana PLTM PONJU dapat dilihat pada Lampiran
Gambar.










Endapan Aluvial Pantai dan Sungai




Ketidakselarasan


Keselarasan

Tanah Pelapukan dan Endapan
Longsoran
Satuan Batuan Beku Terobosan
Tabel 4.2 Satuan Geologi lokasi
proyek

Page IV-27
























Gambar 4.10 Foto Endapan Sungai yang berupa pasir-bongkah
menumpang diatas Batuan Batuan Granit dekat Bendung (PLTM PONJU)
.

Gambar 4.11 Foto Endapan Sungai dan Longsoran yang menumpang
diatas Batuan Batuan Granit dibawah Waterway (PLTM PONJU).


Page IV-28













4.8.2.3. Struktur Geologi
Dari hasil pengamatan dilapangan tidak tampak adanya struktur yang
mengindikasikan adanya pensesaran pada batuan dasar yang terlihat
hanya rekah-rekah yang bersilangan pada singkapan pada tepi sungai.

Granit Lapuk Sedang
(tampak kristal-kristal
kuarsa yang masih segar)
Gambar 4.12 Foto Batuan Granit
Lapuk Sedang pada jalur waterway
PLTM PONJU.

Page IV-29























Gambar 4.13 Foto Rekahan (tertutup dan terbuka) yang saling
bersilangan pada batuan Granit hulu Bendung PLTM PONJU.


Page IV-30



4.8.3. Kondisi Geoteknik Pondasi Rencana PLTM PONJU

4.8.3.1. Pondasi Lokasi Bendung

Lokasi bendung mempunyai bentuk lereng yang agak curam pada
sandaran kanan, sandaran kiri yang hampir landai dengan lebar lembah
kurang lebih 10 m. Pada daerah aliran sungai terdapat kerikil hingga
bongkah- bongkah batu besar keras yang terdiri dari granit,
granodiorit, breksi volkanik, batuan beku basal serta andesit. Pada
sandaran kanan batuan dasar granit tertutup oleh tanah pelapukan
yang kemungkinan tipis (tersingkap batuan yang lapuk sedang
sampai segar pada tepi sungai), sedangkan pada sandaran kiri tertutup
oleh endapan longsoran dari tebing perbukitan sebelah kiri (Gambar
4.14).
Pada sandaran kanan, untuk mendapatkan dayadukung yang kuat
dari beban vertikal maupun horizontal pondasi bendung diusahakan
menumpang diatas batuan granit segar yang mana tanah penutup (top
sail) yang lunak dan tidak stabil hasil dari pelapukan batuan dasar
harus dibuang atau digali.
Pada pondasi bendung sandaran kiri, kalau endapan koluvial yang
tidak stabil tidak terlalu dalam, maka endapan longsoran

Page IV-31
tersebut bisa digali/dibuang dan pondasi bendung menumpang
diatas batuan yang keras. Tetapi kalau endapan longsoran
kemungkinan dalam, endapan longsoran tersebut tidak perlu digali
sampai batuan keras, untuk mendapatkan dayadukung yang cukup
serta untuk mengurangi beban horizontal tekanan air perlu dibuatkan
pondasi sumuran dengan diameter, kedalaman dan jumlah sumuran
akan disesuaikan dengan perhitungan beban bendung.
Sedangkan pondasi bendung pada dasar sungai akan menumpang
pada endapan aluvial sungai yang berupa kerikil hingga bongkah.
Sama seperti pada sandaran kiri, pada pondasi dasar sungai juga perlu
dibuatkan pondasi sumuran yang memadai. Karena pondasi bendung
menumpang diatas endapan sungai, maka harus diperhitungkan
besarnya rembesan air yang akan melewati sand-gravel yang relatif
lolos air. Tetapi kalau kedalaman endapan sungai relatif dangkal dan
mungkin untuk dibuang/digali, maka sebaiknya pondasi bendung
menumpang diatas batuan dasar yang keras dan relatif kedap air.
Untuk mendapatkan data yang akurat mengenai berapa jumlah
pondasi sumuran, diameter serta jarak antar sumuran, disarankan
perlu dilakukan investigasi pemboran inti 2 (dua) lubang untuk
mengetahui kedalaman endapan sungai dan endapan longsoran pada
lokasi dasar sungai dan sandaran kiri, dengan kedalaman masing-
masing mencapai batuan dasar (granit) sampai 5 m atau
maksimum 15 m kalau tidak ketemu batuan dasar, dengan uji
lapangan berupa permeability /Lugeon test setiap 5 meter kedalaman.

Page IV-32
Sandaran kanan tidak perlu dilakukan pemboran karena pada
tebing sungai sudah tersingkap batuan granit segar.












4.8.3.2. Pondasi Lokasi Sandtrap
Dari hasil pemetaan geologi permukaan, pondasi sandtrap menumpang
diatas batuan granit yang pada bagian atasnya tertutup tanah pelapukan
yang tipis. Pada lokasi ini kemiringan lereng antara (25-30
o
).
Untuk mengetahui kedalaman tanah pelapukan guna mendapatkan
pondasi dengan dayadukung yang cukup, disarankan supaya dilakukan
1 (satu) lubang pemboran inti dengan kedalaman sampai 5 m dibawah
batuan dasar atau maksimum 10 m kalau tidak ditemukan batuan dasar,
dengan uji lapangan yang berupa uji penetrasi standar (SPT) pada
kondisi tanah setiap 2 m kedalaman. Disamping itu juga disarankan
Gambar 4.14 Foto Lokasi Bendung (diambil dari hulu).

Page IV-33


pengambilan sample tanah takterganggu (UDS) pada kedalaman
sebelum sampai batuan dasar untuk uji laboratorium.

4.8.3.3. Batuan Pondasi Jalur Waterway
Dari hasil pengamatan lapangan, jalur waterway akan bertumpu pada
pelapukan kuat sampai sedang dan dibeberapa tempat batuan dasar
tersingkap dalam kondisi segar . Satuan batuan tersebut (granit)
dibeberapa tempat tertutupi oleh andapan koluvial. Kedalaman tanah
pelapukan dan endapan koluvial bervariasi dan diperkirakan
mempunyai kedalaman kurang lebih 2 sampai lebih dari 10 meter.
Topografi pada jalur waterway merupakan perbukitan bergelombang
sampai terjal.
Untuk mengetahui kedalaman tanah pelapukan guna mendapatkan
pondasi dengan dayadukung yang cukup, disarankan supaya dilakukan
2 (dua) lubang pemboran inti maksimum 15 m atau mencapai 5 m
pada batuan dasar dengan uji lapangan yang berupa uji penetrasi
standar (SPT) pada kondisi tanah setiap 2 m kedalaman. Disamping itu
juga disarankan pengambilan sample tanah takterganggu (UDS) pada
kedalaman sebelum sampai batuan dasar untuk uji laboratorium.
Uji laboratorium yang berupa sample terganggu (DS) untuk
mendapatkan data parameter tanah timbunan dan sample takterganggu
(UDS) untuk mendapatkan data parameter kesetabilan lereng dan

Page IV-34
dayadukung pondasi, juga dilakukan pada 5 lokasi sumur uji (test pit)
yang dibuat pada lokasi jalur waterway.















4.8.3.4. Batuan Pondasi Headpond
Dari hasil pengamatan lapangan, batuan pondasi lokasi headpond
merupakan pelapukan kuat sampai sedang batuan granit dan
granodiorit. Ketebalan pelapukan batuan pada lokasi headpond
diperkirakan antara 5 sampai 10 m dengan kemiringan lereng 30 - 35
o
.
Untuk mengetahui kedalaman tanah pelapukan guna mendapatkan
pondasi dengan dayadukung yang cukup, disarankan supaya dilakukan
Gambar 4.15 Foto Lokasi Bendung & Sandtrap PLTM PONJU

Page IV-35
1 (satu) lubang pemboran inti dengan kedalaman sampai 5 m pada
batuan dasar atau maksimum 15 m kalau tidak ditemukan batuan granit
atau granodiorit dengan uji lapangan yang berupa uji penetrasi standar
(SPT) pada kondisi tanah setiap 2 m kedalaman. Disamping itu juga
disarankan pengambilan sample tanah tak terganggu (UDS) setiap 5 m
untuk uji laboratorium.
4.8.3.5. Batuan Pondasi Penstock dan Power House
Dari hasil pengamatan lapangan, batuan pondasi jalur penstock dan
Pembangkit (powerhouse) merupakan hasil produk batuan terobosan
(batuan beku dalam) berupa granit dan granodiorit yang pada bagian
atas tertutup oleh tanah pelapukan.
Pada lokasi rumah pembangkit, pondasi bangunan diusahakan
menumpang diatas batuan granit yang lapuk sedang yang mana
tanah penutup (top sail) yang lunak dan mempunyai daya dukung
rendah hasil dari pelapukan batuan dasar harus dibuang atau digali.
Tetapi kalau tanah pelapukan terlalu dalam (tebal), pondasi tidak
perlu digali sampai batuan keras (lapuk sedang), untuk mendapatkan
dayadukung yang cukup perlu dibuatkan pondasi sumuran dengan
diameter, kedalaman dan jumlah sumuran akan disesuaikan dengan
perhitungan beban yang ada.
Untuk mengetahui kedalaman tanah pelapukan guna mendapatkan
pondasi dengan dayadukung yang cukup, disarankan supaya dilakukan
1 (satu) lubang pemboran inti sampai kedalaman 5 m pada batuan dasar

Page IV-36
atau maksimum 20 m kalau tidak ditemukan batuan granit atau
granodiorit dengan uji lapangan yang berupa uji penetrasi standar (SPT)
pada kondisi tanah setiap 2 m kedalaman. Disamping itu juga
disarankan pengambilan sample tanah takterganggu (UDS) setiap 5
m untuk uji laboratorium.



















Gambar 4.16 Foto Lokasi Power House & Headpond PLTM PONJU
(pengambilan gambar dari samping)

Page IV-37

















4.9. KONDISI GEOTEKNIK DAN GALIAN PONDASI
Bangunan PLTM PONJU lokasi bendung sampai powerhouse akan bertumpu
pada batuan produk terobosan (batuan beku dalam) yang berupa granit dan
granodiorit dengan kondisi lapuk sedang sampai kuat dan dibeberapa
tempat tersingkap segar. Diatas batuan dasar tersebut tertutup oleh tanah
pelapukan dan dan dibeberapa tempat secara tidak selaras menumpang
Gambar 4.17 Foto Lokasi Power House & Headpond PLTM PONJU
(diambil dari hilir)

Page IV-38
endapan longsoran serta pada jalur sungai oleh endapan sungai yang
berupa pasir sampai bongkah.
Galian tebing (lereng) pada lokasi Bendung (Damsite), jalur Saluran
Penghantar (Waterway), lokasi Pipa Pesat (Penstock), Rumah Pembangkit
(Powerhouse) dan Jalan Hantar maupun Inspeksi serta bangunan fasilitas
yang lain adalah sebagai berikiut :
1. Lereng alami sementara tanah koluvial digali dengan kemiringan
1:1 dan tinggi maksimum 3 m, sedangkan pelapukan granit
dan granodiorit kemiringan galian 1 : 1 dengan tinggi maksimum
6 m.
2. Lereng alami permanen tanah koluvial digali kemiringan 1 :
1
dengan tinggi maksimum 3 m dan diproteksi dengan gebalan
rumput, sedangkan pelapukan granit dan granodiorit kemiringan
galian 1 : 1 dengan tinggi maksimum 6 m dan juga diprotekni
dengan gebalan rumput. Untuk tanah koluvial karena sangat
sensitive terhadap air, selain diproteksi dengan gebalan
rumput juga dibuatkan drainase agar aliran air akibat hujan atau
dari air persawahan dapat diatur pengalirannya.
3. Lereng alami sementara granit dan granodiorit lapuk dengan
tingkat
kekerasan lunak-sedang atau soft rock digali kemiringan 1 : 0.8
sampai 1 : 0.5 dengan tinggi maksimum 6 m.

Page IV-39
4. Lereng alami permanen granit dan granodiorit lapuk dengan
tingkat kekerasan lunak-sedang atau soft rock digali kemiringan 1
: 0.8 sampai 1 : 0.5 dengan tinggi maksimum 6 m dan diproteksi
dengan beton semprot (shotcrete) dan anyaman kawat (wiremesh)
tebal 10 cm.
5. Lereng alami sementara granit dan granodiorit segar
dengan tingkat kekerasan sedang-keras atau hard rock digali
kemiringan 1 : 0.5 sampai 1 : 0.3 dengan tinggi maksimum 6 m.

6. Lereng alami permanen granit dan granodiorit segar dengan
tingkat kekerasan sedang-keras atau hard rock digali kemiringan
1 : 0.5 sampai 1 : 0.3 dengan tinggi maksimum 6 m dan
diproteksi dengan beton semprot (shotcrete) dan anyaman kawat
(wiremesh) tebal 5 cm.

Galian lereng pada tanah, endapan koluvial, batuan lapuk dengan tingkat
kekerasan dapat digunakan excavator, sedangkan batuan segar dengan
tingkat kekerasan keras dan sangat keras galian pondasi dapat
menggunakan rock breacker.
Untuk mengetahui tingkat kekerasan batuan yang berhubungan dengan
cara penggalian pondasi disarankan untuk dilakukan uji laboratorium Nilai
Kuat Tekan Uniaksial pada contoh inti batu (terutama pada jalur waterway).

Page IV-40
Untuk galian lereng disamping menggunakan panduan diatas dapat melihat
pedoman standar kemiringan galian lereng alami yang diambil dari The
Japan Highway Public Corporation pada Tabel 4.3.

Page IV-41


KISARAN STANDAR KEMIRINGAN GALIAN LERENG Tabel 4.3
Dari The Japan Highway Public
Corporation
Kondisi Tanah Dasar

Tinggi Galian

Kemiringan
Batuan Keras


1 : 0.3 - 1 : 0.8
Batuan Lunak


1 : 0.5 - 1 : 1.2
Pasir
Tidak tebal, tidak
padat dan
pembagian gradasi
jelek


1 :
1,5
Tanah Pasiran

Tebal dan padat

Kurang dari 5 m

1 : 0.8 - 1 : 1.0
5 -
10 m

1 : 1.0 - 1 : 1.2
Tebal dan tidak padat

Kurang dari 5 m

1 : 1.0 - 1 : 1.2
5 -
10 m

1 : 1.2 - 1 : 1.5
Tanah Pasiran
Bercampur dengan
Kerakal atau Masa
Batuan

Tebal dan padat
atau pembagian
gradasi bagus

Kurang dari 5 m

1 : 0.8 - 1 : 1.0
5 -
10 m

1 : 1.0 - 1 : 1.2
Tidak tebal dan tidak
padat atau pembagian
gradasi jelek

Kurang dari 5 m

1 : 1.0 - 1 : 1.2
5 -
10 m

1 : 1.2 - 1 : 1.5
Tanah Kohesif


0 -
10 m

1 : 0.8 - 1 : 1.2
Tanah Kohesif
Bercampur dengan
Masa batuan atau
Berangkal


Kurang dari 5 m

1 : 1.0 - 1 : 1.2
5 -
10 m

1 : 1.2 - 1 : 1.5

Catatan 1) Lanau berada dibawah tanah (lempung)
kohesif. Pertimbangan secara individu tidak
ditunjukkan pada tabel

2) Kemiringan lereng pada tabel adalah
kemiringan lereng tunggal dan tidak
termasuk berm

3) Gambaran kemiringan
lereng

1 : n
1

n



Page IV-42


4.10. KEGEMPAAN
Untuk diketahui bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan kegempaan
yang paling aktif di dunia. Hal ini disebabkan terdapatnya 3 (tiga) lempeng
tektonik besar aktif yaitu; Lempeng Eurasia, Lempeng Indo- Australia, dan
Lempeng Filipina. Oleh karena itu, perencanaan pembangunan pekerjaan
sipil di Indonesia harus mempertimbangkan aktifitas kegempaan ini. Cara
yang paling efektif untuk mengurangi bencana yang disebabkan oleh gempa
bumi adalah memperkirakan resiko gempa dan menerapkannya pada kode
seismik, yang kemudian digunakan dalam perencanaan konstruksi sehingga
memiliki kapasitas ketahanan gempa yang memadai (Hu, 1996).
Untuk memastikan keamanan bangunan proyek yang berhubungan dengan
aspek seismologi, geoteknik, dan struktural, penilaian tentang bahaya
seismik sangat diperlukan.

4.10.1. Seismoteknik
Busur Kepulauan Indonesiah adalah salah satu daerah tektonik yang paling
aktif di dunia karena terletak pada perbatasan antara tiga lempeng utama
yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng India-Australia, dan Pasifik. Kepulauan
Indonesia duduk di tepi selatan Lempeng Eurasia. Lempeng India-Australia
bergerak ke timur laut sekitar 50 sampai

Page IV-43
70mm/th sepanjang palung Sunda. Lempeng Pasifik bergerak ke arah barat dan
bertabrakan dengan bagian timur Indonesia dengan pergerakan relatif sekitar
120mm/th (Gambar 4.20). Lingkungan yang dinamis secara tektonik ini
membuat sebagian besar wilayah Indonesia rawan gempa dan bahaya sekunder.

Sistem busur sunda mengakomodasi tumbukan antara lempeng Indo- Australia
dan Eurasia (Tregoning at al, 1994.). Busur Sunda bagian timur masuk transisi
ke Busur Banda, di mana sifat dari kedua lempeng Indo-Australia bagian bawah
dan lempeng Asia bagian atas perlahan- lahan berubah. Perubahan ini
mengubah sistem subduksi antara busur laut Banda dan tepi benua Australia
pasif, yang dikenal sebagai Orogen Banda (Nugroho et al., 2009). Gambar 4.20
dan Gambar 4.21 menunjukakan Pola Tektonik Kepulauan Indonesia dan
Geotektonik Pulau Sulawesi.


Page IV-44



Gambar 4.18 Peta Pola Tektonik Kepulauan Indonesia

Page IV-45

























Page IV-46


Gambar 4.19 Geotektonik Pulau Sulawesi

Page IV-47


Sebelah baratlaut dari Orogen Banda, tumbukan dari tiga lempeng Australia,
Philipina dengan Eurasia di Sulawesi / Banda adalah salah satu daerah yang
paling kompleks di Indonesia. Bagian utara Sulawesi bertabrakan dengan
lempeng Sunda (Rangin, 1989). Gerak relatif ini menghasilkan gerak lateral
kekiri sepanjang Patahan Matano / Lawanopo (Socquet et al., 2006) berlanjut
ke Palu-Koro dibagian utara, yang kemudian terhubung ke Palung Minahasa.
Sesar Gorontalo memotong lengan utara Sulawesi dan dapat terhubung ke
palung Minahasa (Socquet et al., 2006). Pada penghentian timur palung
Minahasa, zona subduksi ganda Sangihe mengakomodasi tumbukan antara
lempeng Filipina dan Sulawesi di laut Maluku (Socquet et al.,2006).














Page IV-48





Pulau Sulawesi telah ditandai oleh setidaknya empat putaran
microblocks (Socquet et al., 2006). Bagian timur laut Sulawesi terdiri
Sula Utara, Timur dan Sula blok Manado bergerak menuju NNW
sementara berputar searah jarum jam (Simons et al., 2007). Di bagian
selatan Sulawesi blok Makassar berputar berlawanan arah jarum jam


dengan sumbu utama regangan tekan kearah NNW. Bagian barat
Sulawesi, deformasi pada tingkat yang lebih kecil tetapi masih
signifikan, meluas ke bagian utara dan timur Kalimantan (Simons et
al.,2007).
Rencana lokasi proyek berjarak kurang lebih 100-120 km disebelah
timur dari sesar aktif Palu-Koro (sesar mendatar) yang mempunyai slip-
rate 30-44 mm/tahun dengan panjang 459 km (Gambar 4.22 dan Tabel
4.4).
Gambar 4.23 menunjukkan Sesar Palu Koro dan Sesar Poso dari data
SRTM dan Model Mekanisme Gempa.
Gambar 4.20 Tektonik Aktif Indonesia

Page IV-49










Gambar 4.21 Sesar Palu Koro dan Sesar Poso

Page IV-50





Table 4.4 Parameter Pergerakan Sesar Aktif di Sulawesi dan sekitarnya














4.10.2. Design of Ground Motion
Gempa adalah fenomena alam yang: (1) berpotensi menyebabkan kerugian
dan bencana, (2) tidak dapat diprediksi secara akurat; kapan, dimana, dan
besarnya, dan (3) tidak dapat dicegah. Untuk mengurangi gempa bumi, FEMA

Page IV-51
451b menyarankan bahwa: (1) orang harus menghindari bangunan sebuah
infrastruktur dekat sesar aktif, di daerah rawan tsunami, likuifaksi dan tanah
longsor, dan (2) infrastruktur harus dirancang dan dibangun sesuai dengan
kode bangunan tahan gempa.








Dari pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa sebagian besar korban
gempa dan kerugian disebabkan oleh keruntuhan dan kerusakan
infrastruktur. Kerusakan infrastruktur dapat dibagi menjadi dua jenis:
a. Kerusakan tidak langsung karena likuifaksi, siklus
mobilitas, penyebaran lateral, keruntuhan lereng, retakan tanah,
amblesan, dan deformasi yang berlebuhan dan
b. Kerusakan struktur sebagai akibat langsung dari gaya inersia yang
diterima oleh infrastruktur selama getaran berlangsung.
Kerusakan struktur akibat gempa dapat diminimalisir dengan
mengantisipasi beban seismik dari gerakan tanah dalam tahap desain.
Oleh karena itu, penentuan parameter gerakan tanah sangat penting
untuk ketahanan gempa desain. Parameter ground motion yang dapat
diwakili oleh: (1) percepatan puncak dipermukaan tanah (peak ground

Page IV-52
acceleration), (2) response spectrum, dan (3) acceleration time
histories.
Percepatan puncak dipermukaan tanah (PGA) memberikan informasi
hanya dari beban gempa puncak. Respon Spektrum memberikan
informasi tambahan mengenai frekuensi yang berisi gerak dan
kemungkinan efek amplifikasi. Acceleration time histories pada tanah
memberikan informasi yang paling lengkap karena mereka dapat
menunjukkan variasi beban gempa selama durasi getaran. Secara umum,
metode analisis sederhana memerlukan parameter gempa yang lebih
sedikit, namun lebih banyak parameter biasanya menghasilkan
perhitungan yang lebih akurat.

4.10.3. Katalog Gempa Bumi
Sejarah peristiwa gempa bumi di Indonesia dan sekitarnya dikumpulkan dari
berbagai sumber, seperti:
a. Informasi Gempa Nasional Layanan US Geological Survey (USGS
NEIS-), yang merupakan kompilasi dari beberapa katalog dari
sumber seperti: Biro Pusat International de Sismologie (BCIs),
para Ringkasan Seismologi Internasional (ISSN), Seismologi Pusat
Internasional (ISC), Penetapan awal Episentrum (PDE), dan Advanced
Sistem seismik Nasional (ANSS) katalog.
b. Daftar gempa Indonesia disiapkan oleh Badan Meteorologi,
Klimatologi, dan Geofisika (BMG).

Page IV-53
c. Katalog Centennial yang dikompilasi dari Newcomb & McCann
(1987) di mana beberapa acara besar di Indonesia telah direlokasi,


d. Pacheco & Sykes (1992) di mana gempa bumi dikoreksi untuk
heterogenitas yang disebabkan oleh perubahan mungkin dalam
instrumentasi, pelaporan dan / atau deteksi kemampuan.
e. Pindah katalog gempa oleh Engdahl (Engdahl et al., 2007) di mana
katalog adalah menguntungkan untuk penyelidikan geometri
kesalahan.
Kegempaan katalog komposit mencakup periode antara 1900-2009 dan
daerah antara 10 N - 12 LS dan 90 E - 145 E bujur, sedangkan
tingkat kekambuhan yang digunakan untuk analisis data yang diambil dari
tahun 1964 sampai tahun 2009.

4.10.4. Penentuan Beban Gempa (Seismic Assement)
Parameter ground motion yang menjadi pertimbangan dalam penilaian
seismik adalah percepatan puncak dipermukaan tanah (peak ground
acceleration) dan respon spektrum. Umumnya, ada dua metode untuk
melakukan penilaian bahaya seismik, yaitu analisis bahaya seismik
deterministik (DSHA) dan analisis resiko gempa probabilistik (PSHA).
Pemilihan dua metode ini dipengaruhi oleh banyak faktor seperti tujuan dari
penilaian bahaya atau risiko, lingkungan seismik (apakah lokasi pada daerah
seimik risiko tinggi sedang, atau rendah), dan lingkup penilaian. Sebagian

Page IV-54
besar gambaran akan bisa diperoleh jika kedua analisis deterministik dan
probabilistik dilakukan.
Hal ini juga disyaratkan bahwa beberapa analisis untuk merancang struktur
bangunan dalam kondisi gempa harus dilakukan sesuai dengan klasifikasi
struktur. Dua perencanaan gempa bumi yang berbeda, yaitu Perencanaan
Gempa Dasar (DBE) dan Maximum Credible Earthquake (MCE), akan
diterapkan.
- DBE adalah gempa dengan probabilitas yang cukup kecil sehingga
akan terjadi setidaknya diharapkan sekali selama umur dari
struktur. Untuk mengevaluasi keselamatan selama DBE, metoda
Pseudo- statis kesetimbangan batas dengan koefisien seismik yang
sama harus diterapkan.
- MCE adalah peristiwa gempa bumi maksimum yang dapat
mempengaruhi struktur bangunan. Tujuan dari desain ketahanan
gempa terhadaP MCE adalah bahwa kerusakan yang tidak serius
mempengaruhi struktur bangunan, bahkan jika beberapa tingkat
kerusakan terjadi pada berbagai deformasi plastik. Untuk
mengevaluasi tingkat keselamatan selama MCE, analisis dinamik
dengan menggunakan metode elemen hingga harus diterapkan.


Kedua metoda yaitu DSHA dan PSHA membutuhkan sejumlah besar
penelitian untuk mendukungnya. Pada tahap ini, Konsultan hanya

Page IV-55
mengkaji dari pedoman nasional untuk memberikan parameter
desain gempa yang diusulkan untuk proyek tersebut.

4.10.5. Pedoman Nasional Penentuan Beban Gempa
Studi khusus untuk penentuan gempa di wilayah ini belum dilakukan,
sehingga perlu sekali mendapatkan data-data terkini mengenai sejarah
gempa di wilayah studi. Hal ini diperlukan untuk menilai kecukupan
besarnya nilai koefisien gempa yang ditetapkan untuk perencanaan yang
didapatkan dari Peta Zona Seismik untuk perencanaan penentuan beban
gempa pada bangunan di Indonesia yang dipublikasikan oleh Dirjen
Pengairan tahun 2004 (Gambar 4.24).

Page IV-56



Table 4.5 Faktor Koreksi Pengaruh Jenis Tanah / Batuan
Jenis Periode Predominan
(Ts)
Faktor Koreksi Batuan
Dasar (V)

Batuan
Diluvium
Aluvium
Aluvium
Lunak

Ts<0,25
0,25<Ts<0,50
0,50<Ts<0,75
Ts>0,75

1,000
1,250
1,375
1,500

Table 4.6 Periode Ulang dan Percepatan Dasar Gempa
Periode Ulang
(Tahun)
ac
(gal = cm/det2)
10
20
50
100
200
500
1000
5000
10000
0.103
0.121
0.148
0.169
0.191
0.218
0.237
0.280
0.298


Page IV-57






Berdasarkan Peta Zona Seismik untuk perencanaan penetuan beban
gempa pada bangunan pengairan di Indonesia yang dipublikasikan oleh
Dirjen Pengairan tahun 2004 (Gambar 4.24), maka lokasi rencana PLTM
untuk periode ulang 100 tahun mempunyai parameter untuk
perhitungan koefisien gempa sebagai berikut :

Percepatan gempa dasar ( Ac) untuk periode ulang 10-10.000 tahun
dapat dilihat pada Tabel 4.6.
Daerah rencana PLTM termasuk dalam zona koefisien (Z) pada daerah
gempa D, yaitu sebesar 1.2.
Parameter jenis pondasi sebagai tumpuan bangunan adalah batuan,
dengan nilai v = 1 (Tabel 4.5).
Sehingga percepatan gempa desain untuk perioda ulang 100 tahun
dapat dicari dengan rumusan :

Ad = Z x Ac
x v


Page IV-58
= ( 1.20 ) x 165.62 x 1

= 198.744 gal

Koefisien gempa dapat dicari dengan
rumusan : K = Ad / g
= ( 198.744 ) / 980 = 0,203







Berdasarkan hasil perhitungan di atas maka koefisien gempa yang terjadi
untuk periode ulang 10-10.000 tahun adalah dapat dilihat pada Tabel
4.6.


Table 4.7 Perhitungan Koefisien Gempa Periode Ulang
10- 10.000 Tahun

Page IV-59

Dasar pijakan untuk menghitung koefisien gempa tersebut adalah :

1. Klasifikasi tempat / site pijakan (jenis batuan)
2. Parameter fisik dan ketebalan lapisan
pondasi
3. Jarak dari pusat gempa /
patahan
4. Jarak dari pelepasan
energi
5. Pemilihan magnitude untuk
desain

Pedoman Jepang memberikan cara untuk menentukan koefisien gempa
horisontal kH untuk desain sebagai berikut :

k
H

1

2 3
k
0


Page IV-60






dimana

kH = Koefisien gempa horisontal untuk desain
1 = Faktor lokasi bendung ( Tabel IV-5 )
2 = Faktor pondasi bendung ( Tabel IV-6)
3 = Faktor konstruksi ( Tabel IV-7), dan
Ko = Koefisien gempa horisontal dasar (Kec. Sojol diambil 0,203
g)


Table 4.8 Faktor Lokasi

Lokasi


Koefisien

Lokasi risiko tinggi
Lokasi risiko sedang
Lokasi risiko rendah
1,00
0,85
0,70


Table 4.9 Faktor Pondasi

Page IV-61
Kategori Kondisi Pondasi Koefisien
1 (1) Formasi Pra Tertier
(2) Diluvium diatas batu
<10m

0,90
2 (1) Diluvium diatas batu >
10m
(2) Aluvium diatas batu <
10m

1,00
3 Aluvium diatas batu <25 m
dan lapisan lembek < 5m

1,10
4 Lain - lain 1,20








Table 4.10 Faktor Konstruksi
Konstruksi Koefisien

Page IV-62
Konstruksi baja
Konstruksi beton
Konstruksi Beton bertulang
Konstruksi masif dan kaku
Konstruksi timbunan
1,00
1,00
1,00
0,50
0,50


Untuk kasus rencana PLTM bila diambil nilai-nilai ko = 0,203 g, 1 =
0,85, 2 = 0,90 dan 3 = 0,5, maka diperoleh kH = 0,0776
g. Selanjutnya koefisien gempa horisontal kH harus diubah dalam setiap
perhitungan stabilitas dengan mengalikan faktor gaya gempa , atau :
k= kH
Faktor gaya gempa suatu fungsi dua garis, atau secara numerik
dirumuskan sebagai berikut:

k = kH ( 2,5 1,85 y/H ) jika y/H < =
0,4 dan
k = kH ( 2,0 0,6 y/H ) jika y/H
> = 0,4

Dalam mana y/H adalah tinggi relatif yang diukur dari puncak bendung,
sehingga di puncak bendung y/H = 0, dan di pondasi (y = H) y/H = 1
Perhitungan beban gempa berdasarkan Peta Zona Gempa Indonesia
(Kementrian Pekerjaan Umum) tahun 2010 yang terdiri dari 10 zona
dengan percepatan puncak di batuan dasar untuk probabilitas

Page IV-63
terlampaui 10% dalam 50 tahun (redaman 5%) maka daerah rencana PLTM
dan sekitarnya, merupakan wilayah gempa bumi yang termasuk dalam
Zona dengan koefesien zona gempa = 0,30 - 0,40 g (Gambar 4.25).



Page IV-64





Gambar 4.23 Peta Zona Gempa Indonesia

Page IV-65




Page IV-66


Gambar 4.22 Peta Zona Gempa Indonesia (2010)

Page IV-67

Gambar 4.23 Peta Wilayah Rawan Gempa Bumi Indonesia (Sulawesi)

Page IV-68



Gambar 4.24 Peta Sesar Aktif & Sebaran Pusat Gempa Bumi Merusak
Wilayah Sulawesi

Page IV-69



Dilihat dari Peta Penyebaran Sesar Aktif dan Pusat Gempabumi Merusak di
Indonesia yang dikeluarkan oleh Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana
Geologi, Dirjen Geologi dan Sumberdaya Mineral (Gambar 4.6), lokasi proyek
terletak cukup dekat dari pusat-pusat gempabumi merusak dan sesar-sesar
aktif (sesar Palu-Koro), sesar yang tidak aktif warna biru dan yang aktif warna
merah. Gempabumi merusak yang paling dekat adalah pada tahun 1993 yang
berjarak kurang lebih 10 km baratdaya Bangkir (bulatan merah).
Dari Peta Wilayah Rawan Gempabumi Indonesia yang dikeluarkan Direktorat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Dirjen Geologi dan Sumberdaya
Mineral (Gambar 4.7), lokasi proyek merupakan daerah yang aman dari bencana
gempabumi (batuan dasar adalah granit yang cukup keras).

You might also like