You are on page 1of 2

Fowler mengkategorikan perkembangan spiritual menjadi beberapa tahapan, anak usia

sekolah dasar akan berada pada tiga tahap (rentang) usia perkembangan keimanan, yaitu 0-7
tahun, 7-11 tahun, dan 11-20 tahun. Pada setahun awal usia anak sekolah dasar, yaitu di usia
tujuh tahun masih dikategorikan dalam tahap praoperasional. Pada tahap ini kepercayaan
(keimanan) masih bersifat intuitif-proyektif. Ciri karakteristik keimanan masih menganggap
khayalan sebagai realitas. Berkaitan dengan hakikat kebenaran, anak pada usia ini akan
konsekuen terhadap dirinya sendiri, namun masih memperbandingkan antara sikap percaya dan
tidak percaya.

Pada usia tujuh sampai sebelas tahun, yaitu usia yang dianggap murni pada rentang
sekolah dasar, dikategorikan dalam tahap pra sampai konkrit operasional. Pada tahap ini
kepercayaan (keimanan) bersifat Mythical-Literal. Karakteristik keimanan merupakan hasil
penerjemahaman kisah agama secara literal. Berkaitan dengan hakikat kebenaran, anak pada usia
ini meyakininya dalam wujud keadilan.

Adapun pada dua tahun terakhir usia sekolah dasar, yaitu usia sebelas sampai dengan tiga
belas tahun, dikategorikan pada rentang sebelas sampai dengan dua puluh tahun, yaitu pada
tahap formal operasional dan moralitas konvensional. Pada tahap ini, kepercayaan (keimanan)
sudah bersifat sintetik-konvensional. Biasanya, karakteristik keimanan individu diwujudkan
dalam bentuk kepatuhan terhadap kepercayaan orang lain. Kebenaran ada pada apa yang
dikatakan orang lain.

Dalam hal ini, peserta didik dapat menjadikan SQ pedoman saat peserta didik berada
diujung masalah eksistensial yang paling menantang dalam hidup berada diluar yang diharapkan
dan dikenal, di luar aturan-aturan yang telah diberikan, melampaui pengalaman masa lalu, dan
melampaui sesuatu yang kitahadapi. SQ memungkinkan memungkinkan untuk menyatukan hal-
hal yang bersifat intrapersonal dan interpersonal serta menjembatani kesenjangan antara diri
sendiri dan orang lain. Dan peserta didik biasanya menggunakan kecerdasan spiritual saat:

a. Siswa selaku peserta didik behadapan dengan masalah eksistensial seperti saat siswa merasa
terpuruk, khawatir, dan masalah masa lalu akibat penyakitdan kesedihan. SQ menjadikan siswa
sadar bahwa siswa mempunyai masalah eksistensial yang membuat siswa mampu mengatasinya,
atau setidak-tidaknya siswa dapat berdamai dengan masalah tersebut, SQ memberikan siswa rasa
yang dalam menyangkut perjuangan hidup.
b. Siswa menggunkannya untuk menjadi kreatif, siswa menghadirkannya ketika ingin menjadi
luwes, berwawasan luas, atau spontan secara kreatif.
c. Siswa dapat menggunakan SQ untuk menjadi cerdas secara spiritual dalam beragama, SQ
membawa siswa kejantung segala sesuatu, kekesatuan di balik perbedaan, ke potensi di balik
ekspresi nyata.
d. Siswa menggunakan SQ untuk mencapai perkembangan diri yang lebih utuh karena siswa
memiliki potensi untuk itu.
e. Kecerdasan spiritual memberi siswa suatu rasa yang dapat menyangkut perjuangan hidup.

You might also like