You are on page 1of 18

1

Gangguan Ginjal Akut



Disusun oleh:
Dionisius Andayana
102011073

Pembahasan

Dari skenario tersebut kita dapat membahas mengenai sasaran pembelajaran yang
sudah kami ditentukan saya akan membahas mengenai sistem urogenital dan penyakitnya,
terutama saya akan membahas tentang penyakit Demam Reumatik pada anak dan hal-hal
yang berkaitan dengan gejala, penyebab kelainan yang dialami pasien tersebut, diagnosis
working dan diferensialnya dan cara-cara pemeriksaan penunjangnya.
Penyakit ginjal akut (PGA) merupakan suatu sindrom klinik akibat adanya gangguan
fungsi ginjal yang terjadi secara mendadak (dalam beberapa jam sampai beberapa hari) yang
menyebabkan retensi sisa metabolisme nitrogen (urea-kreatinin) dan non-nitrogen, dengan
atau tanpa disertai oliguri. Tergantung dari keparahan dan lamanya gangguan fungsi ginjal,
retensi sisa metabolisme tersebut dapat disertai dengan gangguan metabolik lainnya seperti
asidosis dan hiperkalemia, gangguan keseimbangan cairan serta dampak terhadap berbagai
organ tubuh lainnya.

Anamnesis
Anamnesis merupakan pemeriksaan yang dilakukan dengan wawancara. Anamnesis
dapat dilakukan langsung kepada pasien, yang disebut autoanamnesis, atau dilakukan terhdap
orangtua, wali, orang yang dekat dengan pasien, atau sumber lain, yang disebut
aloanamnesis. Untuk pasien bayi dan anak yang belum dapat memberi keterangan,
aloanamnesis paling sering digunakan.
Pada pasien terutama pasien anak, sebagian terbesar data untuk menegakkan
diagnosis diperoleh dari anamnesis. Hambatan langsung yang dijumpai dalam pembuatan
2

anamnesis pasien anak ialah pada umumnya aloanamnesis, dan bukan autoanamnesis. Dalam
hal ini, pemeriksa harus waspada akan terjadinya bias oleh karena data tentang keadaan
pasien yang didapat mungkin berdasarkan asumsi orang tua atau pengantar.
Langkah-langkah dalam pembuatan anamnesis:
Identitas pasien: nama; umur; jenis kelamin; nama orangtua; alamat; umur,
pendidikan dan pekerjaan orangtua; agama dan suku bangsa.
Riwayat penyakit: keluhan utama
Riwayat perjalanan penyakit
Riwayat penyakit yang pernah diderita
Riwayat kehamilan ibu
Riwayat kelahiran
Riwayat makanan
Riwayat imunisasi
Riwayat pertumbuhan dan perkembangan
Riwayat keluarga

Pemeriksaan
1.Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
Inspeksi dapat dilakukan secara umum untuk melihat perubahan yang terjadi secara
umum dan secara lokal untuk melihat perubahan-perubahan lokal sampai yang
sekecil-kecilnya. Bantuan pemeriksaan dengan kaca pembesar dapat dilakukan.
Pemeriksaan ini mutlak dilakukan dalam ruangan yang terang. Anamnesis terarah
biasanya ditanyakan pada penderita bersamaan dilakukan inspeksi untuk melengkapi
data diagnostik.

Palpasi merupakan pemeriksaan dengan meraba, mempergunakan telapak tangan
sebagai alat peraba.

Perkusi
3

Tujuan dari perkusi adalah untuk membedakan suara ketuk, sehingga dapat ditentukan
batas-batas suatu organ atau mengetahui batas-batas masa yang abnormal di rongga
torak.

Auskultasi
Auskultasi merupakan pemeriksaan menggunakan stetoskop. Dengan cara auskultasi
dapat didengar suara pernapasan, bunyi dan bising jantung, peristaltik usus, dan alirah
darah dalam pembuluh darah.

2.Pemeriksaan Penunjang Laboratorium
Test Hematuria
Uji dipstik untuk mengetahui adanya darah samar merupakan uji penapisan yang baik
untuk hematuria. Apabila hasilhya positif, haras dilakukan pemerik saan mikroskopik
urine. Hematuria sering ditemukan pada sejumlah penyakit ginjal dan proses
patologik traktus urinarius bagian bawah termasuk infeksi, batu, trauma, dan
neoplasma. Hematuria merupakan gambarar. yang mencolok pada glomerulonefritis,
tetupi tidak pada penyakit tubulointerstisial. Uji dipstik mudah dilakukan sendiri oleh
pasien untuk mengikuti perjalanan hematuria selama pengobatan.

Test Bersihan Kreatinin
Kreatinin merupakan hasil akhir metabolisme otot yang dilepaskan dari otot dengan
kecepatan yang hampir konstan dan diekskresi dalam urine dengan kecepatan yang
sama. Untuk melakukan uji bersihan kreatinin, cukup mengumpulkan spesimen urine
24 jam dan satu spesimen darah yang diambil dalam waktu 24 jam yang sama. Pada
penyakit ginjal kronik dan beberapa bentuk gagal ginjal akut, GFR turun di bawah
nilai normal sebesar 125 ml/menit. GFR juga menurun seiring bertambahnya usia:
sesudah usia 30 tahun, nilai GFR menurun dengan kecepatan sekitar 1 ml/menit.
Manfaat klinis pemeriksaan GFR :
1. Deteksi dini kerusakan ginjal
2. Pemantauan progresifitas penyakit
3. Pemantauan kecukupan terapi ginjal pengganti
4. Membantu mengoptimalkan terapi dengan obat tertentu

4

Test Mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik urine dilakukan pada spesimen urine yang baru saja
dikumpulkan, kemudian spesimen ini disentrifugasi, endapannya disuspensi-kan
dalam 0,5 ml urine. Pada orang sehat, urine mengandung sedikit sel dan unsur lain
yang berasal dari seluruh saluran kemih-kelaminsilinder, sel epitel dari lapisan
dalam saluran kemih dan vagina (perempuan), spermatozoa (laki-laki), lendir dan
tidak lebih dari satu atau dua eritrosit dan tiga atau empat leukosit per lapangan
pandang besar. Unsur abnormal tersering dalam urine adalah eritrosit, leukosit,
bakteri, dan silinder. Silinder sel mungkin mengandung eritrosit, leukosit, bakteri.
Eritrosit dan silinder eritrosit ditemukan pada glomerulonefritis aktif. Silinder leukosit
sering ditemukan pada penyakit pielonefritis.

3.Pemeriksaan Penunjang Radiologi
Sejumlah tindakan radiologi dapat dipakai untuk mengevaluasi sistem urinarius.
Urogram ekskretorik atau pielogram intravena (IVP) merupakan pemeriksaan radiologi ginjal
yang terpenting, paling sering dilakukan, dan biasanya dilakukan pertama kali. Pemeriksaan
pencitraan lainnya adalah: ultrasonogram, pencitraan radionuklida (isotopik), CT scan, MRI,
sistouretrografi berkemih, dan angiografi ginjal.

Etiologi
Penyebab gagal ginjal dapat dikelompokkan kedalam:
1. Pra Renal
Dimana aliran darah akibat hipoperfusi ginjal dan turunnya laju filtrasi glomerulus.
Penurunan volume vaskuler
Kehilangan darah/plasma : perdarahan luka baker
Kehilangan cairan ekstraselluer : muntah,diare
Kenaikan kapasitas kapiler : Sepsis, Blokade ganglion, Reaksi anafilaksis
5

Penurunan curah jantung/kegagalan pompa jantung : Renjatan kardiogenik,Payah jantung
kongestif, Dysritmia, Emboli paru, Infark jantung.
2. Intra Renal
Akibat dari kerusakan struktur glomerulus atau tubulus distal.
Kondisi seperti terbakar,udema akibat benturan dan infeksi dan agen nefrotik dapat
menyebabkan nekrosi tubulus akut (ATN)
Berhentinya fungsi renal.
Reaksi transfusi yang parah juga gagal intra renal.hemoglobin dilepaskan melalui
mekanisme hemolisis melewati membran glomerulus dan terkonsentrasi ditubulus distal
menjadi faktor terbentuknya hemoglobin.
Faktor penyebab adalah : pemakaian obat-obat anti inflamasi, non steroid terutama pada
pasien lansia.
3. Post Renal
Obstruksi dibagian distal ginjal
Tekanan ditubulus distal menurun, akhirnya laju filtrasi glomerulus meningkat

Epidemiologi
Di USA data tahun 1994-1995 menyatakan gagal ginjal akut dipekirakan 100 kasus
per juta penduduk per tahun dan meningkat 8% per tahun. Di Indonesia sendiri kita tidak
dapat mengetahui dengan tepat prevalensi GGA sebetulnya oleh karena banyak pasien yang
tidak bergejala dan dirujuk.

Patofisiologi
Edema terjadi pada kondisi di mana terjadi peningkatan tekanan hidrostatik kapiler,
peningkatan permeabilitas kapiler atau peningkatan tekanan osmotik interstisial, atau
6

penurunan tekanan osmotik plasma. Ginjal mempunyai peran sentral dalam mempertahankan
homeostas tubuh dengan kontrol volume cairan ekstraselular melalui pe ekskresi natrium dan
air. Hormon antidiuretik disekresikan sebagi terhadap perubahan dalam volume darah,
tonisitas dan tekan untuk mempertahankan keseimbangan cairan tubuh.
Konsep Volume Darah Arteri Efektif (VDAE) merupakan hal penting dalam
memahami mengapa ginjal menahan natrium dan air didefinisikan sebagai volume darah
arteri yang adekuat untuk keseluruhan kapasitas pembuluh darah arteri.
1
VDAE yang normal
terjadi pada kondisi di mana rasio curah jantung terhadap resistensi pembuluh darah perifer
seimbang. VDAE dapat berkurang pada kondis pengurangan volume darah arteri
(perdarahan, dehidrasi), penurun jantung (gagal jantung) atau peningkatan capacitance
pembuh arteri (sepsis, sirosis hepatis) sehingga VDAE dapat berkuran keadaan volume darah
aktual yang rendah, normal atau tinggi. Pada orang normal, pembebanan natrium akan
meningkatkan volume eksti dan VDAE yang secara cepat merangsang natriuresis untuk
memulihkan, volume tubuh normal.
1
Hematuria adalah keadaan abnormal dengan ditemukannya sel darah merah dalam
urin. Ada dua macam hematuria, yaitu hematuria mikroskopis dan hematuria makroskopis
{gross hematuria). Hematuria makroskopis dapat terjadi bila sedikitnya lcc darah per liter
urin sedangkan hematuria mikroskopis sering kita temukan pada pemeriksaan laboratorium
urinalisis pada pasien dengan berbagai keluhan, atau pada saat pemeriksaan kesehatan.
Dikatakan hematuria bila pada pemeriksaan mikroskop ditemukan sel darah merah 3 atau
lebih per lapang pandang besar urin yang disentrifugasi, dari evaluasi sedimen urin dua dari
tiga contoh urin yang diperiksa.
2
Berdasarkan lokasi yang mengalami kelainan atau trauma, dibedakan glomerulus dan
ekstra glomerulus untuk memisahkan bidang nefrologi dan urologi. Darah yang berasal dari
nefron disebut hematuria glomerulus. Pada keadaan normal, sel darah merah jarang
ditemukan pada urin. Adanya eritrosit pada urin dapat terjadi pada kelainan herediter atau
perubahan struktur glomerulus dan integritas kapiler yang abnormal. Eritrosit bila berikatan
jtengan protein Taam-Horsfall akan membentuk silinder eritrosit. Ini merupakan petunjuk
penyakit/kelainan glomerulus yang merupakan :nanda penyakit ginjal kronik. Pada penyakit
nefron/glomerulus biasanya jiaiiya ditemukan sel darah merah saja tanpa silinder. Proteinuria
merupakan inda lesi nefron/glomerulus.
2
Evaluasi pemeriksaan mikroskopis bila ditemukan hematuri, yaitu temukan eritrosit
dalam urin 3 per lapang pandang besar. Hematuria mikroskopik: bila ditemukan eritrosit 3
atau lebih/lapang landang besar. Bila hematuria disertai proteinuria positif 1 dengan
7

jienggunakan dipstick dilanjutkan dengan pemeriksaan kuantitatif ekskresi >nJrotein/24jam.
Bila ekskresi protein lebih dari I g/24jam segera konsultasi nefrologi untuk evaluasi. Pada
ekskresi protein lebih dari 500mg/24 jam ling makin meningkat atau persisten diperkirakan
suatu kelainan parenkim ginjal.
2
Meskipun sudah ada kesepakatan mengenai patologi kerusakan ginjal ARF tipe ATN,
tetapi masih ada kontroversi mengenai patogenesis penekanan fungsi ginjal dan oliguria yang
biasa menyertai. Sebagian besar konsep modern mengenai faktor-faktor penyebab yang
mungkin didasarkan pada penye-lidikan menggunakan model hewan percobaan, dengan
menyebabkan gagal ginjal akut nefrotoksik melalui penyuntikan merkuri klorida, uranil
nitrat, atau kromat, sedangkan kerusakan iskemik ditimbul-kan dengan menyuntikkan gliserol
atau menjepit arteria renalis. Beberapa teori telah diajukan untuk men-jelaskan penurunan
aliran darah ginjal dan GFR baik pada percobaan dengan manusia maupun hewan, yaitu (1)
obstruksi tubulus; (2) kebocoran cairan tubulus; (3) penurunan permeabilitas glomerulus; (4)
disfungsi vasomotor; dan (5) umpan balik tubulo-glomerulus. Tidak satu pun dari mekanisme
di atas yang dapat menjelaskan semua aspek ARF tipe ATN yang bervariasi itu TeOri
obstruksi tubulus menyatakan bahwa ATN mengakibatkan deskuamasi sel tubulus nekrotik
dan bahan protein lainnya, yang kemudian membentuk silinder-silinder dan menyumbat
lumen tubulus. Pembengkakan selular akibat iskemia awal, juga ikut menyokong terjadinya
obstruksi dan memperberat iskemia. Tekanan inhratubulus meningkat, sehingga tekanan
filtrasi glomerulus menurun. Obstruksi tubulus dapat merupakan faktor penting pada ARF
yang disebabkan oleh logam berat, etilen glikol, atau iskemia berkepanjangan.
Hipotesis kebocoran tubulus menyatakan bahwa filtrasi glomerulus terus berlangsung
normal tetapi cairan tubulus 'bocor" keluar dari lumen melalui sel-sel tubulus yang rusak dan
masuk ke dalam sirkulasi peritubular. Kerusakan membran basalis dapat terlihat pada ATN
yang berat, yang merupakan dasar anatomik mekanisme ini.
3
Meskipun sindrom ATN menyatakan adanya abnormalitas tubulus ginjal, bukti-bukti
terakhir menyatakan bahwa dalam keadaan-keadaan tertentu sel-sel endotel kapiler
glomerulus dan/atau sel-sel membrana basalis mengalami perubahan yang mengakibatkan
menurunnya permeabilitas luas permukaan filtrasi. Hal ini mengakibatkan penurunan
ultrafiltrasi glomerulus.
Aliran darah ginjal total (RBF) dapat berkurang sampai 30% dari normal pada ARF
oliguria. Tingkat RBF ini cocok dengan GFR yang cukup besar.
3
Pada kenyataannya, RBF
pada gagal ginjal kronik sering sama rendahnya atau lebih rendah daripada bentuk akut, tetapi
fungsi ginjal masih memadai atau berkurang. Selain itu, bukti-bukti percobaan menunjukkan
8

bahwa RBF harus kurang dari 5% sebelum terjadi kerusakan parenkim ginjal. Dengan
demikian, hipoperfusi ginjal saja tidak menyebabkan penurunan GFR dan lesi-lesi tubulus
yang terjadi pada ARF. Meskipun demikian, terdapat bukti perubahan bermakna pada
distribusi aliran darah intrarenal dari korteks ke medula selama hipotensi akut dan
memanjang. Hal ini dapat dilihat kembali pada Bab 44 bahwa, pada ginjal normal, kira-kira
90% darah didistribusi ke korteks (letak glomeruli) dan 10% menuju ke medula. Dengan
demikian, ginjal dapat memekatkan urine dan menjalankan fungsinya. Sebaliknya, pada ARF,
perbandingan antara disiribusi korteks dan medula ginjal menjadi terbahk, sehingga terjadi
iskemia relatif pada korteks ginjal. Konsiriksi arteriol aferen merupakan dasar vaskular dari
penurunan nyata GFR. Iskemia ginjal akan mengaktivasi sistem renin-angiotensin dan
memperberat iskemia korteks setelah hilangnya rangsangan awal. Kadar renin tertinggi
ditemukan pada korteks luar ginjal, tempat terjadinya iskemia paling berat selama
berlangsungnya ARF pada hewan maupun manusia. Beberapa penulis rnengajukan teori
mengenai prostaglandin dalam disfungsi vasomotor pada ARF dalam keadaan normal,
hipoksia ginjal meraitgsang sintesis prostaglandin E dan prostaglandin A (PGE dan PGA)
ginjal (vasodilator yang kuat), sehingga aliran darah ginjal diredistribusi ke korteks yang
mengakibatkan diuresis, Agaknya, iskemia akut yang berat atau berkepanjangan dapat
menghambat sintesis prostaglandin ginjal tersebut. Penghambat prostaglandin seperti aspirin
diketahui dapat menurunkan RBF pada orang normal dan dapat menyebabkan ATN.


Working Diagnosis
Gagal ginjal akut (acute renal failure) merupakan suatu sindrom klinis yang
ditandai dengan fungsi ginjal yang menurun secara cepat (biasanya dalam beberapa hari)
yang menyebabkan azotemia yang berkembarig cepat. Laju filtrasi glomerulus yang menurun
dengan cepat menyebabkan kadar kreatinin serum meningkat sebanyak 0,5 mg/dl/hari dan
kadar nitrogen urea darah sebanyak 10 mg/dl/hari dalam beberapa hari. ARF biasanya
disertai oleh oliguria (keluaran urine <400 ml/hari).
4
GGA akut dapat dibagi menjadi 3 bagian besar yaitu:
1. GGA pre-renal
2. GGA renal
3. GGA post-renal
4

9

GGA pre-renal. Penyebab GGA pre-renal adalah hipoperfusi ginjal. Hipoperfusi dapat
disebabkan oleh hipovolemia atau menurunnya volume sirkulasi yang efektif. Pada GGA pre-
renal integritas jaringan ginjal masih terpelihara sehingga prognosis dapat lebih baik apabila
faktor penyebab dapat dikoreksi. Apabila upaya perbaikan hipoperfusi ginjal tidak berhasil
maka akan timbul GGA renal berupa Nekrosis Tubular Akut (NTA) karena iskemia. Keadaan
ini dapat timbul sebagai akibat bermacam-macam penyakit. Klasifikasi dan penyebab utama
GGA. Pada kondisi ini fungsi otoregulasi ginjal akan berupaya mempertahankan tekanan
pcrfusi. melalui mekanisme vasodilatasi intrarenal. Dalam keadaan normal, aliran darah
ginjal dan LFG relatif konstan, diatur oleh suatu mekanisme yang disebut otoregulasi. GGA
pre-renal disebabkan oleh hipovolemia, penurunan volume efektif intravaskular seperti pada
sepsis dan gagal jantung serta disebabkan oleh gangguan hemodinamik intra-renal seperti
pada pemakaian anti inflamasi non-steroid, obat yang menghambat angiotensin dan pada
sindrom hepatorenal. Pada keadaan hipovolemia akan terjadi penurunan tekanan darah, yang
akan mengaktifasi baroreseptor kardiovaskular yang selanjutnya mengaktifasi sistem saraf
simpatis, sistem renin-angiotensin serta merangsang pelepasan vasopresin dan endothelin-1
(ET-1), yang merupakan mekanisme tubuh untuk mempertahankan tekanan darah dan curah
jantung serta pcrfusi serebral. Pada keadaan ini mekanisme otoregulasi ginjal akan
mempertahankan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus (LFG) dengan vasodilatasi
arteriol afferen yang dipengaruhi oleh refleks miogenik serta prostaglandin dan nitric oxide
(NO), serta vasokonstriksi arteriol efferen yang terutama dipengaruhi oleh angiotensin-11 (A-
II) dan ET-1.
4

Mekanisme ini bertujuan untuk mempertahankan homeostasis intrarenal. Pada
hipoperfusi ginjal yang berat (tekanan arteri rata-rata < 70 mmHg) serta berlangsung dalam
jangka waktu lama, maka mekanisme otoregulasi tersebut akan terganggu, dimana < arteriol
afferen mengalami vasokonstriksi, terjadi kontraksi mesangial dan peningkatan reabsorbsi
Na' dan air. Keadaan ini disebut pre-renal atau GGA fungsional, dimana belum terjadi
kerusakan struktural dari ginjal. Penanganan terhadap penyebab hipoperfusi ini akan
memperbaiki homeostasis intra-renal menjadi normal kembali. Otoregulasi ginjal bisa
dipengaruhi beberapa obat seperti ACEI / ARB, NSA1D, terutama pada pasien-pasien
berusia di atas 60 tahun dengan kadar serum kreatinin 2 mg/dL sehingga dapat terjadi GGA
pre-renal. Proses ini lebih mudah terjadi pada kondisi hiponatremi, hipotensi, penggunaan
diuretik, sirosis hati, dan gagal jantung. Perlu di ingat bahwa pada pasien usia lanjut dapat
timbul keadaan-keadaan yang merupakan risiko GGA pre-renal seperti penyempitan
10

pembuluh darah ginjal (penyakit rcnovaskular), penyakit ginjal polikistik, dan nefrosklerosis
intrarenal.
4
GGA Renal. GGA renal yang disebabkan oleh kelainan vaskular seperti vaskulitis,
hipertensi maligna, glomerulus netritis akut, nefritis interstitial akut akan dibicarakan
tersendiri pada bab lain. Nekrosis tubular akut dapat disebabkan oleh berbagai sebab seperti
penyakit tropik, gigitan ular, trauma (crushing injury/bencana alam, peperangan), toksin
lingkungan, dan zat-zat nefrotoksik. Di Rumah Sakit (35-50% di ICU) NTA terutama
disebabkan oleh sepsis. Selain itu pasca operaii dapat terjadi NTA pada 20-25%, hal ini
disebabkan adanya telah adanya penyakit-penyakit seperti hipertensi, penyakit jantung,
penyakit pembuluh darah, diabetes melitus, ikterus dan usia lanjut, jenis operasi yang bert
seperti transplantasi hati, transplantasi jantung. Dari golongan zat-zat nefrotoksik perlu
dipikirkan nefropati karena zat radio kontras, obat-obatan seperti anti bakteria, anti jamur,
anti virus, dan anti neoplastik. Meluasnya pemakaian NARKOBA juga meningkatkan
kemungkinan NTA.
Kelainan yang terjadi pada NTA melibatkan komponen vaskular dan tubuler,
misalnya:
Kelainan Vaskular. Pada NTA terjadi: (1) Peningkatan Ca
2
' sitosolik pada arteriol afferen
glomerulus yang menyebabkan peningkatan sensitifitas terhadap substansi-substansi
vasokontriktor dan gangguan otoregulasi; (2) Terjadi peningkatan stress oksidatif yang
menyebabkan kerusakan sel endotel vaskular ginjal, yang mengakibatkan peningkatan A-ll
dan Et-1 serta penurunan prostaglandin dan ketersediaan NO yang berasal dari endothelial
NO synthase (eNOS); (3) Peningkatan mediator inflamasi seperti tumor necrosis factor
(TNF-) dan interleukin-18 (1L-18), yang selanjutnya akan meningkatkan ekspresi dari
intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) da|n P-selectin dari scl endotel, sehingga terjadi
peningkatan perlengketan dari sel-sel radang, terutama sel neutrofil. Keadaan ini akan
menyebabkafl peningkatan radikal bebas oksigen. Kcseluruhan proses-proses tersebut di atas
secara bersama-sama menyebabkan vasokonstriksi ijitra-renal yang akan menyebabkan
penurunan LFG.
4
Kelainan Tubuler. Pada NTA terjadi: (1) Peningkatan Ca" intrasel, yang
menyebabkan peningkatan calpain, cytosolicphospholipase A
2
, serta kerusakan actin, yang
akan menyebabkan kerusakan cytoskeleton. Keadaan ini akan mengakibatkan penurunan
basolateralNa*/K'-ATPase yang selanjutnya menyebabkan penurunan reabsorbsi Na* di
tubulus proksimalis, sehingga terjadi peningkatan pelepasan NaCl ke makula densa. Hal
tersebut mengakibatkan peningkatan umpan balik tubuloglomeruler; (2) Peningkatan NO
11

yang berasal dari inducible NO synthase (iNOS), caspases dan metalloproteinase, serta
defisiensi heat shock protein, akan menyebabkan nekrosis dan apoptosis sel; (3) Obstruksi
tubulus. Mikrovilli tubulus proksimalis yang terlepas bersama debris seluler akan membentuk
substrat yang akan menyumbat tubulus. Di tubulus, dalam hal ini pada thick ascending limb
diproduksi Tamm-Horsfall Protein (THP) yaftg disekresikan ke dalam tubulus dalam bentuk
monomer yang kemudian berubah menjadi bentuk polimer yang akan membentuk materi
berupa gel dengan adanya Na' yang konsentrasinya meningkat pada tubulus distalis. Gel
polimerik THP bersama sel epithel tubuli yang terlepas, baik sel yang sehat, nekrotik maupun
yang apoptotik, mikrovilli dan matrix ekstraseluler seperti fibronektin akan membentuk
silinder-silinder (cast) yang menyebabkan obstruksi tubulus ginjal; (4). Kerusakan sel tubulus
menyebabkan kebocoran kembali (backleak) dari cairan intratubuler masuk kedalam sirkulasi
peritubulcr Keseluruhan proses-proses tersebut di atas secara bersama-sama akan
menyebabkan penurunan LFG Diduga juga proses iskemia dan paparan bahan/obat
nefrotoksik dapat merusak glomerulus secara langsung. Pada NTA terdapat kerusakan
glomerulus dan juga tubulus. Keruskan tubulus dikenal juga dengan nama nekrosis tubular
akut (NTA). Tahap-tahap nekro|is tubular akut adalah tahap inisiasi, tahap kerusakan yang
berlanjut (Maintenance) dan tahap penyembuhan. Dari tahap inisiasi ke tahap kerusakan
yang berlanjut terdapat hipoksia, dan inflamasi yang sangat nampak pada kortikomeduler
(cortiocomedulary junction). Proses inflamasi memegang peranan penting pada pasofisiologi
dari GGA yang terjadi karena iskemia. Set endotel, lekosit, dan Sel-T berperan penting dari
saat awal sampai saat reperfusi (reperfusion injury).
4
GGA post-renal. GGA post-renal merupakan 10% dari keseluruhan GGA. GGA post-
renal disebabkan oleh obstruksi intra-renal dan ekstra-renal. Obstruksi intra-renal terjadi
karena deposisi kristal (urat, oxalat, sulfonamid) dan protein (mioglobin, hemoglobin).
Obstruksi ekstra-renal dapat terjadi pada pelvis-ureter oleh obstruksi intrinsik (tumor, batu,
nekrosis papilla) dan ekstrinsik (keganasan pada pelvis dan retroperitonial, fibrosis) serta
pada kandung kemih (batu, tumor,, hipertrofi/keganasan prostat) dan urethra (striktura). GGA
post-renal terjadi bila obstruksi akut terjadi pada urethra, buli-buli dan ureter bilateral, atau
obstruksi pada ureter unilateral dimana ginjal satunya tidak berfungsi. Pada fase awal dari
obstruksi total ureter yang akut, terjadi peningkatan aliran darah ginjal dan peningkatan
tekanan pelvis ginjal, dimana hal ini disebabkan oleh prostaglandin-E. Pada fase kedua,
setelah 1,5-2 jam, terjadi penurunan aliran darah ginjal di bawah normal, akibat pengaruh
thromboxane-A
2
(TxA
2
) dan A-II. Tekanan pelvis ginjal tetap meningkat, tetapi setelah 5 jam
mulai menetap. Fase ketiga atau fase kronik, ditandai oleh aliran darah ginjal yang makin
12

menurun dan penurunan tekanan pelvis ginjal ke normal dalam beberapa minggu. Aliran
darah ginjal setelah 24 jam adalah 50% dari normal dan setelah 2 minggu tinggal 20% dari
normal. Pada fase ini mulai terjadi pengeluaran mediator inflamasi dan faktpr-faktor
pertumbuhan yang akan menyebabkan fibrosis interstisiel ginjal.
4

Diagnosis Banding
1. GGK ( Gagal Ginjal Kronik )
Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan sindrom klinis yang bersifat progresif dan
dapat menyebabkan kematian pada sebagian besar kasus stadium terminal GGK. Apabila
penyakit GGK seseorang telah mencapai stadium berat atau terminal maka terapi yang dapat
meningkatkan harapan hidup penderita tersebut adalah dialisis dan yang paling baik dengan
transplantasi ginjal. Penyakit ginjal stadium terminal merupakan penyebab utama dari
morbiditas dan mortalitas. Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah suatu sindrom klinis yang
disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup
lanjut dengan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) kurang dari 50 ml/menit. Gagal ginjal kronik
dibagi menjadi empat stadium berdasarkan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG)

:
1. GGK ringan : LFG 30 50 ml/menit
2. GGK sedang : LFG 10 29 ml/menit
3. GGK berat : LFG <10 ml/menit
4. Gagal Ginjal Terminal : LFG <5 ml/menit
5
Perjalanan umum gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi empat stadium. Stadium
ringan dinamakan penurunan cadangan ginjal. Selama stadium ini kreatinin serum dan kadar
BUN normal dan penderita asimptomatik. Gangguan fungsi ginjal mungkin hanya dapat
diketahui dengan memberi beban kerja yang berat pada ginjal tersebut, seperti test pemekatan
kemih yang lama atau dengan mengadakan test LFG yang teliti.
5
Stadium sedang perkembangan tersebut disebut insufisiensi ginjal, dimana lebih dari
75% jaringan yang berfungsi telah rusak (LFG besarnya 25% dari normal). Pada tahap ini
kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini
13

berbeda-beda, tergantung dari kadar protein dalam diet. Pada stadium ini, kadar kreatinin
serum juga mulai meningkat melebihi kadar normal. Azotemia biasanya ringan, kecuali bila
penderita misalnya mengalami stress akibat infeksi, gagal jantung, atau dehidrasi. Pada
stadium insufisiensi ginjal ini pula gejala-gejala nokturia dan poliuria (diakibatkan oleh
kegagalan pemekatan) mulai timbul. Gejala-gejala ini timbul sebagai respons terhadap stress
dan perubahan makanan atau minuman yang tiba-tiba. Penderita biasanya tidak terlalu
memperhatikan gejala-gejala ini, sehingga gejala tersebut hanya akan terungkap dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang teliti. Stadium berat dan stadium terminal gagal
ginjal kronik disebut gagal ginjal stadium akhir atau uremia. Gagal ginjal stadium akhir
timbul apabila sekitar 90% dari massa nefron telah hancur, atau hanya sekitar 200.000 nefron
saja yang masih utuh.
2. Batu Ginjal
Batu Ginjal di dalam saluran kemih adalah massa keras seperti batu yang terbentuk di
sepanjang saluran kemih dan bisa menyebabkan nyeri, perdarahan, penyumbatan aliran
kemih atau infeksi. Batu ini bisa terbentuk di dalam ginjal (batu ginjal) maupun di dalam
kandung kemih (batu kandung kemih).
6
Proses pembentukan batu ini disebut urolitiasis
(litiasis renalis, nefrolitiasis). Batu di dalam kandung kemih bisa menyebabkan nyeri di perut
bagian bawah. Batu yang menyumbat ureter, pelvis renalis maupun tubulus renalis bisa
menyebabkan nyeri punggung atau kolik renalis (nyeri kolik yang hebat). Kolik renalis
ditandai dengan nyeri hebat yang hilang-timbul, biasanya di daerah antara tulang rusuk dan
tulang pinggang, yang menjalar ke perut, daerah kemaluan dan paha sebelah dalam. Gejala
lainnya adalah mual dan muntah, perut menggelembung, demam, menggigil dan darah di
dalam air kemih. Penderita mungkin menjadi sering berkemih, terutama ketika batu melewati
ureter. Batu bisa menyebabkan infeksi saluran kemih. Jika batu menyumbat aliran kemih,
bakteri akan terperangkap di dalam air kemih yang terkumpul diatas penyumbatan, sehingga
terjadilah infeksi. Jika penyumbatan ini berlangsung lama, air kemih akan mengalir balik ke
saluran di dalam ginjal, menyebabkan penekanan yang akan menggelembungkan ginjal
(hidronefrosis) dan pada akhirnya bisa terjadi kerusakan ginjal. Batu yang menyebabkan
nyeri biasanya didiagnosis berdasarkan gejala kolik renalis, disertai dengan adanya nyeri
tekan di punggung dan selangkangan atau nyeri di daerah kemaluan tanpa penyebab yang
jelas. Analisa air kemih mikroskopik bisa menunjukkan adanya darah, nanah atau kristal batu
yang kecil. Biasanya tidak perlu dilakukan pemeriksaan lainnya, kecuali jika nyeri menetap
lebih dari beberapa jam atau diagnosisnya belum pasti. Pemeriksaan tambahan yang bisa
14

membantu menegakkan diagnosis adalah pengumpulan air kemih 24 jam dan pengambilan
contoh darah untuk menilai kadar kalsium, sistin, asam urat dan bahan lainnya yang bisa
menyebabkan terjadinya batu. Rontgen perut bisa menunjukkan adanya batu kalsium dan
batu struvit. Pemeriksaan lainnya yang mungkin perlu dilakukan adalah urografi intravena
dan urografi retrograd.
4

Penatalaksanaan
Tujuan utama dari pengelolaan GGA adalah mencegah terjadinya kerusakan ginjal,
mempertahankan hemostasis, melakukan resusitasi, mencegah komplikasi metabolik dan
infeksi, serta mempertahankan pasien tetap hidup sampai faal ginjalnya sembuh secara
spontan. Penatalaksanaan gagal ginjal meliputi, perbaikan faktor prerenal dan post renal,
evaluasi pengobatan yang telah doberikan pada pasien, mengoptimalkan curah jantung dan
aliran darah ke ginjal, mengevaluasi jumlah urin, mengobati komplikasi akut pada gagal
ginjal, asupan nutrisi yang kuat, atasi infeksi, perawatan menyeluruh yang baik, memulai
terapi dialisis sebelum timbul komplikasi, dan pemberian obat sesuai dengan GFR.
Status volume pasien harus ditentukan dan dioptimalkan dengan pemantauan berat
badan pasien serta asupan dan keluaran cairan setiap hari. Pada pasien dengan kelebihan
volume, keseimbangan cairan dapat dipertahankan dengan menggunakan diuretika Furosemid
sampai dengan 400 mg/hari. Dosis obat harus disesuaikan dengan tingkat fungsi ginjal, obat-
obat yang mengandung magnesium (laksatif dan anatasida) harus dihentikan. Antibiotik bisa
diberikan untuk mencegah atau mengobati infeksi. Untuk dukungan gizi yang optimal pada
GGA, penderita dianjurkan menjalani diet kaya karbohidrat serta rendah protein,natrium dan
kalium.
Kriteria untuk memulai terapi pengganti ginjal pada pasien dengan GGA :
Oliguria: produksi urin < 2000 mL in 12 h
Anuria: produksi urin < 50 mL in 12 h
Hiperkalemia: kadar potasium > 6.5 mmol/L
Asidemia (keracunan asam) yang berat: pH < 7.0
15

Azotemia: kadar urea > 30 mmol/L
Enscfalopati uremikum
Neuropati/miopati uremikum
Perikarditis uremikum
Natrium abnormalitas plasma: konsentrasi >155 mmol/1 atau <120 mmol/L
Hipertemia
Keracunan obat



Tabel. Pengobatan Suport pada Gagal Ginjal Akut
Komplikasi Pengobatan
Kelebihan
volume
intravaskular
Batasi garam (1-2 g/hari) dan air (< 1 L/hari) Furosemid, ultrafiltrasi
atau dialisis
Hiponatremia Bates asupan air (< 1 L/hari); hindari infus lar utan hipotonik
Hiperkalemia Batasi asupan diet K (< 40 mmol/hari); hindari
diuretik hema K Potassium-binding ion exchange resins Glukosa (50
ml dextrose 50%) dan insulin (10 unit) Natrium bikarbonat (50-100
mmol) Agonis fJ2 (salbutamol, 10-20 mg diiinhalasi atau0.5-
t mglV)
Kalsium glukonat (10 ml larutan 10% dalam 2-5
menit)
Asidosis
metabolik
Natrium bikarbonat (upayakan bikarbonat serum > IS
mmol/L, pH > 7.2)
Hiperfosfatem
ia
Batasi asupan diet fosfat (< 800 mg/hari) Obat pcngikat fosfat
(Kalsium asetat, Kalsium
karbonat)
Hipokalsemia Kalsium karbonat; kalsium glukonat (10-20 ml larutan 10%)
Nutrisi Batasi asupan protein diet (0.8-1 g/kg BB/han) jika
tidak dalam kondisi katabolik Karbohidrat (100 g/hari)
Nutrisi entemal atau parenteral, jika perja tanan klinik lama atau
16

katabolik.

Komplikasi
Komplikasi metabolik berupa kelebihan cairan, hiperkalemia, asidosis metabolik,
hipokalsemia, serta peningkatan ureum yang lebih cepat pada keadaan hiperkatabolik. Pada
oligurik dapat timbul edema kaki, hipertensi dan edema paru, yang dapat menimbulkan
keadaan gawat.
7
Hiperkalemia terjadi karena beberapa hal seperti ekskresi melalui ginjal
terganggu, perpindahan kalium keluar sel, kerusakan sel akibat proses katabolik, trauma,
sepsis, infeksi, atau dapat juga disebabkan karena asupan kalium yang berlebih, keadaan ini
berbahaya karena bisa menyebabkan henti jantung dalam keadaan diastolik. Asidosis terjadi
karena bikarbonat darah menurun akibat ekskresi asam nonvolatile terganggu dimana juga
meningkatkan anion gap. Hipokalsemia sering terjadi pada awal GGA dan pada fase
penyembuhan GGA.
Komplikasi sistemik seperti (19):
1. Jantung => Edema paru, aritmia dan efusi pericardium.
2. Gangguan elektrolit => Hiperkalemia, hiponatremia, dan asidosis
3. Neurologi => Iiritabilitas neuromuskular, tremor, dan koma,
4.Gangguan kesadaran dan kejang.
5. Gastrointestinal => Nausea, muntah, gastritis, dan ulkus peptikum.
6.Perdarahan gastrointestinal
7. Hematologi =>Anemia, dan diastesis hemoragik
8. Infeksi => Pneumonia, septikemia, dan infeksi nosokomial.

9.Hambatan penyembuhan luka

Preventif
GGA dapat dicegah pada beberapa keadaan misalnya penggunaan zat kontras yang
dapat menyebabkan nefropati kontras. Pencegahaan nefropati akibat zat kontras adalah
menjaga hidrasi yang baik, pemakaian N-Acetyl cysteine serta pemakaian furosemid.
8
Pada
penyakit tropik perlu diwaspadai kemungkinan GGA pada gastrointeristis akut, malaria, dan
demam berdarah.

Prognosis
17

Mortalitas akibat GGA bergantung keadaan klinik dan derajat gagal ginjal. Perlu
diperhatikan faktor usia, makin tua makin jelek prognosanya, adanya infeksi yang menyertai,
perdarahan gastrointestinal, penyebab yang berat akan memperburuk prognosa. Penyebab
kematian tersering adalah infeksi (30-50%), perdarahan terutama saluran cerna (10-20%),
jantung (10-20%), gagal nafas (15%), dan gagal multiorgan dengan kombinasi hipotensi,
septikemia, dan sebagainya. Pasien dengan GGA yang menjalani dialysis angka kematiannya
sebesar 50-60%, karena itu pencegahan, diagnosis dini, dan terapi dini perlu ditekankan.



Kesimpulan
Gangguan ginjal akut terbagi menjadi 3 bagian besar yaitu pre-renal, renal, dan post-
renal dengan gambaran klinis yang berbeda satu dengan yang lain. Prognosis tergantung dari
seberapa cepat penegakan diagnosis bisa di ambil dan terapi yang sesuai dengan manifestasi
klinis.

Daftar Pustaka
1. Robbins Basic Pathology 7
th
ed . Vol II . Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2007
2. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam . Edisi V . Penerbit Internal Publishing ; 2009
3. Corwin, J Elizabeth. Patofisiologi. Jakarta : EGC; 2001.
4. Harrison. Prinsip prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Vol 2. Edisi 13. Mcgraw Hill.2005.
5. Sudoyo W. Aru, Setiyohadi Bambang, Alwi Idrus, K Simadibrata Marcellus, Setiati
Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 5t
h
ed. 2010. Jakarta : Interna Publishing
6. Price A. Sylvia, Wilson M. Lorraine. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
penyakit 6
th
ed. 2006. Jakarta : EGC
7. Silbernagl Stefan, Lang Florian. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. 2007. Jakarta
: EGC
8. Departemen farmakologi dan terapeutik fakultas kedokteran Universitas Indonesia.
Farmakologi dan Terapi. 2007. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
18

You might also like