You are on page 1of 35

Referat

Lesi Medula Spinalis





Pembimbing:
dr. Dini Andriani, SpS


Disusun Oleh:
Nurul Akma binti Mohd Nazri 11-2012-241
Dipresentasikan tanggal : 23 Disember 2013



KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF
PERIODE 16 DISEMBER 2013 18 JANUARI 2014
RUMAH SAKIT UMUM BHAKTI YUDHA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
JAKARTA

KATA PENGHANTAR

Puji dan Syukur kepada Tuhan yang Maha Esa, atas berkat dan rahmat Nya, maka
referat yang berjudul Lesi Medula Spinalis dapat diselesaikan dengan baik. Referat ini
disusun sebagai salah satu tugas Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf, di Rumah Sakit ini.
Penghargaan dan rasa terima kasih disampaikan kepada dr. Dini Andriani, SpS yang
telah memberikan bimbingan dan kepada semua pihak yang telah membantu baik secara
langsung maupun tak langsung dalam menyelesaikan referat ini.
Penyusun menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, baik mengenai isi,
susunan bahasa, maupun kadar ilmiahnya. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan
dan pengalaman dari penyusun dalam mengerjakan referat ini. Oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan referat ini.
Semoga referat ini memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk
pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita semua.





Penulis,
Jakarta, 20 Disember 2013












BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penulisan

Lesi medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan
seringkali oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila cedera itu mengenai daerah L1-2 dan / atau di
bawahnya maka dapat mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan sensorik serta kehilangan
fungsi defekasi dan berkemih.
Lesi medulla spinalis diklasifikasikan sebagai komplet : kehilangan sensasi fungsi
motorik volunter total, dan tidak komplet : campuran kehilangan sensasi dan fungsi motorik
volunteer.
1
Lesi medulla spinalis adalah masalah kesehatan mayor yang mempengaruhi
150.000 orang di Amerika Serikat, dengan perkiraan 10.000 trauma baru yang terjadi setiap
tahun. Kejadian ini lebih dominan pada pria usia muda sekitar lebih dari 75% dari seluruh
trauma. Data dari bagian rekam medik Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati didapatkan
dalam 5 bulan terakhir terhitung dari Januari sampai Juni 2003 angka kejadian angka kejadian
untuk fraktur adalah berjumlah 165 orang yang di dalamnya termasuk angka kejadian untuk
trauma medulla spinalis yang berjumlah 20 orang (12,5%).
2
Pada usia 45-an fraktur banyak terjadi pada pria di bandingkan pada wanita karena
olahraga, pekerjaan, dan kecelakaan bermotor. Tetapi belakangan ini wanita lebih banyak
dibandingkan pria karena faktor osteoporosis yang di asosiasikan dengan perubahan hormonal
(menopause).
3

1.2.Ruang Lingkup Pembahasan

Pada kesempatan kali ini penulis berusaha mengulas mengenai trauma medulla
spinalis dan penanganannya. Hal hal yang akan dibahas dalam referat ini meliputi anatomi
medulla spinalis, definisi, klasifikasi, etiologi, patofisiologi, gejala klinis serta penanganan
trauma medulla spinalis.




1.3.Tujuan Penulisan

Referat ini disusun untuk melengkapi tugas kepaniteraan klinik Ilmu Saraf di RS
Bhakti Yudha. Dan diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis serta sebagai bahan
informasi bagi para pembaca, khususnya kalangan medis.

1.4.Teknik Pengumpulan Data

Penulis menggunakan metode pengumpulan data secara tidak langsung, melalui
studi kepustakaan, yaitu dari buku-buku referensi dan pustaka elektronik yang berkaitan
dengan tema referat ini.

1.5 Sistematika Penulisan

Bab I. Pendahuluan :
membahas tentang latar belakang penulisan, ruang lingkup pembahasan, tujuan penulisan,
teknik pengumpulan data, dan sistematika penulisan.
Bab II. Anatomi Medulla Spinalis :
Membahas tentang anatomi medulla spinalis.
Bab III. Trauma Medulla Spinalis :
Membahas tentang definisi, klasifikasi, etiologi, patofisiologi, gejala klinis, serta
penatalaksanaan dan komplikasi trauma medulla spinalis.
Bab IV. Kesimpulan :
Kesimpulan dari referat ini.










BAB II
ANATOMI

2.1 Anatomi

2.1.1 Anatomi columna vertebralis
3,4
Columna Vertebralis adalah pilar utama tubuh yang berfungsi melindungi medula
spinalis dan menunjang berat kepala serta batang tubuh, yang diteruskannya ke lubang-lubang
paha dan tungkai bawah. Masing-masing tulang dipisahkan oleh discus intervertebralis.
Vertebralis dikelompokkan sebagai berikut :
a. Vetebra Cervicalis (atlas)
Vetebra cervicalis mempunyai ciri yaitu tidak memiliki corpus tetapi hanya berupa cincin
tulang. Vertebra cervikalis kedua (axis) ini memiliki dens, yang mirip dengan pasak.
Veterbra cervikalis ketujuh disebut dominankarena mempunyai prosesus spinasus paling
panjang.
b. VertebraThoracalis
Ukurannya semakin besar mulai dari atas kebawah. Corpus berbentuk jantung, berjumlah
12 buah yang membentuk bagian belakang thorax.
c. Vertebra Lumbalis
Corpus setiap vertebra lumbalis bersifat masif dan berbentuk ginjal, berjumlah 5 buah
yang membentuk daerah pinggang, memiliki corpus vertebra yang besar ukurannya
sehingga pergerakannya lebih luas kearah fleksi.
d. Os. Sacrum
Terdiri dari 5 sacrum yang membentuk sakrum atau tulang kengkang dimana ke 5
vertebral ini rudimenter yang bergabung yang membentuk tulang bayi.
e. Os. Coccygis
Terdiri dari 4 tulang yang juga disebut ekor pada manusia, mengalami rudimenter.






Lengkung koluma vertebralis kalau dilihat dari samping maka kolumna vertebralis
memperlihatkan empat kurva atau lengkung antero-pesterior : lengkung vertikal pada daerah
leher melengkung kedepan daerah torakal melengkung kebelakang, daerah lumbal kedepan
dan daerah pelvis melengkung kebelakang.
Kedua lengkung yang menghadap pasterior, yaitu torakal dan pelvis, disebut
promer karena mereka mempertahankan lengkung aslinya kebelakang dari hidung tulang
belakang, yaitu bentuk (sewaktu janin dengan kepala membengkak ke bawah sampai batas
dada dan gelang panggul dimiringkan keatas kearah depan badan. Kedua lengkung yang
menghadap ke anterior adalah sekunder lengkung servikal berkembang ketika kanak-kanak
mengangkat kepalanya untuk melihat sekelilingnya sambil menyelidiki, dan lengkung lumbal
di bentuk ketika ia merangkak, berdiri dan berjalan serta mempertahankan tegak. Fungsi dari
kolumna vertebralis. Sebagai pendukung badan yang kokoh dan sekaligus bekerja sebagai
penyangga kedengan perantaraan tulang rawan cakram intervertebralis yang lengkungnya
memberikan fleksibilitas dan memungkinkan membongkok tanpa patah. Cakramnya juga
berguna untuk menyerap goncangan yang terjadi bila menggerakkan berat badan
seperti waktu berlari dan meloncat, dan dengan demikian otak dan sumsum belakang
terlindung terhadap goncangan. Disamping itu juga untuk memikul berat badan, menyediakan
permukaan untuk otot dan membentuk tapal batas pasterior yang kukuh untuk rongga-rongga
badan dan memberi kaitan pada iga.

Gambar 1 : Anatomi Collumna Vertebralis
5

2.1.2 Anatomi medulla spinalis
3,4
Medulla spinalis merupakan massa jaringan saraf yang berbentuk silindris memanjang
dan menempati atas canalis vertebra yaitu dari batas superior atlas (C1) sampai batas atas
vertebra lumbalis kedua (L2), kemudian medulla spinalis akan berlanjut menjadi medulla
oblongata. Pada waktu bayi lahir, panjang medulla spinalis setinggi Lumbal ketiga (L3).
Medulla spinalis dibungkus oleh duramater, arachnoid, dan piamater. Fungsi sumsum tulang
belakang adalah mengadakan komunikasi antara otak dan semua bagian tubuh dan bergerak
refleks.


Gambar 2 : Medulla Spinalis
6

Medulla spinalis terbagi ke dalam beberapa segmen, yaitu: cervikal (C1-C8), segmen torakal
(T1-T12), segmen lumbal (L1-L5), segmen sakral (S1-S5) dan 1 segmen koksigeal yang
vestigial. Serabut saraf yang kembali ke medula spinalis diberi nama sesuai lokasi
masuk/keluarnya dari kanalis vertebralis pada korpus vertebrae yang bersangkutan. Saraf dari
C1-C7 berjalan di sebelah atas korpus vertebrae yang bersangkutan, sedangkan dari saraf C8
ke bawah berjalan di sebelah bawah korpus vertebrae yang bersangkutan.


Gambar 3 : Segmen-segmen medula spinalis

Gambar 4 : Somatotopik Medula Spinalis.

Gambar 5 : Anatomi Medulla Spinalis
7

Pada penampang transversal medula spinalis, dapat dijumpai bagian sentral yang
berwarna lebih gelap (abu-abu) yang dikenal dengan gray matter. Gray matter adalah suatu
area yang berbentuk seperti kupu-kupu atau huruf H. Area ini mengandung badan sel neuron
beserta percabangan dendritnya. Di area ini terdapat banyak serat-serat saraf yang tidak
berselubung myelin serta banyak mengandung kapiler-kapiler darah. Hal inilah yang
mengakibatkan area ini berwarna lebih gelap.

Di bagian perifer medula spinalis, tampak suatu area yang mengelilingi grey matter
yang tampak lebih cerah dan dikenal dengan white matter. White matter terdiri atas serat-serat
saraf yang berselubung myelin dan berjalan dengan arah longitudinal. Pada penampang
melintang, white matter dibagi ke dalam beberapa daerah topografik, antara lain: funikulus
dorsalis, funikulus lateralis, funikulus ventralis dan komisura alba. Funikulus adalah suatu
kumpulan berkas fungsional yang disebut traktus. Serat-serat yang membentuk traktus dalam
white matter berasal dari sel-sel ganglion, sel saraf dalam gray matter dan sel saraf dalam
korteks serebri atau pusat fungsional lainnya dalam batang otak atau cerebrum.
Berdasarkan arah aliran impulsnya, traktus dalam medula spinalis antara lain:
Traktus ascenden yang membawa impuls ke arah kranial atau ke pusat-pusat
fungsional yang lebih tinggi
Traktus descenden yang membawa impuls dari pusat-pusat fungsional yang lebih
tinggi ke medula spinalis
Traktus intersegmentalis, yang mengantarkan impuls dalam dua arah.
Untuk terjadinya gerakan refleks, dibutuhkan struktur sebagai berikut :
1. Organ sensorik : menerima impuls, misalnya kulit
2. Serabut saraf sensorik : mengantarkan impuls - impuls tersebut menuju sel - sel dalam
ganglion radix pasterior dan selanjutnya menuju substansi kelabu pada karnu pasterior
medula spinalis
3. Sumsum tulang belakang, dimana serabut - serabut saraf penghubung menghantarkan
impuls - impuls menuju kornu anterior medula spinalis
4. Sel saraf motorik ; dalam kornu anterior medula spinalis yang menerima dan
mengalihkan impuls tersebut melalui serabut saraf motorik
5. Organ motorik yang melaksanakan gerakan karena dirangsang oleh impuls saraf motorik
6. Kerusakan pada sumsum tulang belakang khususnya apabila terputus pada daerah torakal
dan lumbal mengakibatkan (pada daerah torakal) paralisis beberapa otot interkostal,
paralisis pada otot abdomen dan otot-otot pada kedua anggota gerak bawah, serta
paralisis sfinker pada uretra dan rectum.
BAB III
LESI MEDULLA SPINALIS

3.1 DEFINISI
Segala suatu yang mengganggu fungsi atau merusak kawasan susunan saraf disebut
lesi.

3.2 ETIOLOGI
Suatu lesi dapat berupa kerusakan pada jaringan fungsional karena:
Perdarahan
Trombosis
Emboli
Peradangan
Degenerasi
Proses desak ruang dan sebagainya

3.3 SINDROM MEDULLA SPINALIS

Karena medulla spinalis terdiri dari serabut saraf motorik, sensorik, dan otonom, serta
nuclei dengan hubungan spesial yang erat satu sama lain, lesi pada medulla spinalis dapat
menimbulkan berbagai deficit neurologis, yang dapat dikombinasikan satu dengan yang
lainnya dalam berbagai cara yang berbeda. Pemeriksaaan klinis yang cermat biasanya dapat
menunjukkan lokasi lesi secara tepat.
Lesi pada medulla spinalis jarang hanya mengenai substansia alba atau hanya
substansia grisea tetapi lebih sering mengenai keduanya. Di sini akan dibahas manifestasi
klinis sindrom medulla spinalis yang khas dan ditampilkan dari sudut pandang topikal.
1

Sindrom kolumna posterior
Kolumna posterior dapat terlihat secara sekunder oleh proses patologis yang mengenai
sel-sel ganglion radiks dorsalis dan radiks posterior. Lesi pada kolumna posterior umumnya
merusak sensasi posisi dan getar, diskriminasi dan streognosis. Lesi ini juga menimbulkan
tanda Romberg yang positif, serta gait ataksia yang memberat secara bermakna ketika mata
ditutup (tidak seperti ataksia serebelar yang mana tidak memberat saat mata ditutup). Lesi
kolumna posterior juga seringkali menyebabkan hipersensitivitas terhadap nyeri.
Kemungkinan penyebabnya antara lain adalah defisiensi vitamin B
12
(misalnya pada mielosis
funikularis), mielopati vakuolar terkait-AIDS, dan kompresi spinal (misalnya pada stenosis
medulla spinalis servikalis).
1,3,4



Gambar 8 : Sindrom kolumna posterior.

Sindrom kornu posterius
Sindrom ini dapat menjadi manifestasi klinis siringomielia, hematomielia dan
beberapa tumor intra medular medulla spinalis, dan kondisi-kondisi lainnya. Seperti lesi pada
radiks posterior, lesi kornu posterius menimbulkan deficit somatosensorik segmental namun
tidak seperti lesi radiks posterior yang merusak semua modalitas sensorik, lesi kornu posterius
menyisakan modalitas yang dipersarafi oleh kolumna posterior. Hanya sensasi nyeri dan suhu
segmen ipsilateral yang sesuai yang hilang, karena modalitas ini dikonduksikan ke sentral
melalui neuron kedua di kornu posterius (yang aksonnya berjalan naik di dalam traktus
spinotalamikus lateralis). Hilangnya sensasi nyeri dan suhu dengan menyisakan sensasi
bagian kolumna posterior disebut deficit somatosensorik terdisosiasi. Dapat terjadi nyeri
spontan (nyeri deferentasi) di area yang analgesik. Sensasi nyeri dan suhu di bawah tingkat
lesi tetap baik, karena traktus spinotalamikus lateralis, yang terletak di funikulus
anterolateralis, tidak mengalami kerusakan dan tetap menghantar modalitas tersebut ke
sental.
1


Gambar 9 : Sindrom kornu posterius

Sindrom substansia grisea
Kerusakan pada substansia grisea sentral medulla spinalis akibat siringomielia,
hematomielia, tumor medulla spinalis intramedular atau proses-proses lain mengganggu
semua jaras serabut yang melewati substansia grisea. Serabut yang paling berpengaruh adalah
serabut yang berasal dari sel-sel kornu posterius dan yang menghantarkan sensasi tekanan,
raba kasar, nyeri dan suhu. Serabut-serabut tersebut menyilang di substansia grisea sentral dan
kemudian berjalan naik di traktus spinotalamikus lateralis dan anterior. Suatu lesi yang
mengenainya menimbulkan deficit sensorik terdisosiasi bilateral di area kulit yang dipersarafi
oleh serabut yang rusak.
Siringomielia ditandai dengan pembentukan satu atau beberapa rongga berisi cairan di
medulla spinalis. Penyakit yang serupa di batang otak disebut siringobulbia. Rongga ini
disebut siring, dapat terbentuk oleh berbagai mekanisme yang berbeda dan terdistribusi
dengan pola karekteristik yang berbeda, sesuai dengan mekanisme pembentukannya.
Beberapa siring merupakan perluasan kanalis sentralis medulla spinalis yang berhubungan
atau tidak berhubungan dengan ventrikel keempat. Siringomielia paling sering mengenai
medulla spinalis servikalis, umumnya menimbulkan hilangnya sensasi nyeri dan suhu di bahu
dan ekstremitas atas. Siring menyebabkan (para) paresis spastik dan gangguan proses
berkemih, defekasi dan fungsi seksual. Siringobulbia sering menyebabkan atrofi unilateral
pada lidah, hiperalgesia atau analgesia pada wajah dan berbagai jenis nistagmus sesuai dengan
lokasi dan konfigurasi siring.

Gambar 10 : Sindrom substansia grisea

Sindrom lesi kombinasi pada kolumna posterior dan traktus kortikospinalis
Sindrom ini paling sering terjadi disebabkan oleh defisiensi vitamin B
12
akibat karena
kurangnya faktor instrinsik lambung dan pada kasus demikian disebut degenerasi kombinasi
subakut. Fokus-fokus demielinasi ditemukan di regio servikal dan torakal di kolumna
posterior (70-80%) dan lebih jarang di traktus piramidalis (40-50%), sedangkan substansia
grisea biasanya tidak mengalami kerusakan. Kerusakan kolumna posterior menyebabkan
hilangnya sensasi posisi dan getar di ekstremitas bawah, menimbulkann ataksia spinal dan
tanda Romberg yang positif (ketidakseimbangan postur saat mata tertutup). Kerusakan traktus
pirimidalis yang menyertainya menimbulkan paraparesi spastik dengan hiperrefleksia dan
tanda Babinski bilateral.
1


Gambar 11 : Sindrom lesi kombinasi pada kolumna posterior dan traktus kortikospinalis

Sindrom kornu anterius
Baik poliomyelitis akut maupun berbagai jenis atrofi otot spinal secara spesifik
mempengaruhi sel-sel kornu anterius, terutama pada pembesaran servikal dan lumbalis
medulla spinalis.
Pada poliomyelitis (infeksi virus), sejumlah sel kornu anterius hilang secara akut dan
irreversible, terutama di region lumbalis, menyebabkan paresis flasid pada otot-otot di segmen
yang sesuai. Otot proksimal cenderung lebih terpengaruh berbanding otot distal. Otot menjadi
atrofi dan pada kasus berat dapat tergantikan seluruhnya oleh jaringan ikat dan lemak.
Poliomyelitis jarang mengenai seluruh otot ekstremitas, karena sel-sel kornu anterius di
kolumna vertical yang panjang di dalam medulla spinalis.
1,7


Gambar 12 : Sindrom kornu anterius

Sindrom kombinasi kornu anterius dan traktus piramidalis
Terlihat pada sklerosis amitrofi lateral (ALS) sebagai akibat degenerasi neuron
motorik kortikal dan medulla spinalis. Gambaran klinisnya adalah kombinasi paresis flasid
dan spastik. Atrofi otot yang timbul pada awal perjalanan penyakit, umumnya sangat berat
sehingga reflek tendon dalam menghilang, jika hanya mengenai lower motor neuron. Namun
karena kerusakan yang simultan pada upper motor neuron (dengan konsekuensi berupa
degenerasi traktus pirimidalis dan spastisitas), refleks umumnya tetap dapat dicetuskan dan
bahkan dapat meningkat. Degenerasi nuclei nervus kranialis motorik yang menyertainya dapat
menyebabkan disartria dan disfagia (kelumpuhan bulbar progresif).
1,3


Gambar 13 : Sindrom kombinasi kornu anterius dan traktus piramidalis

Sindrom traktus kortikospinalis
Hilangnya neuron motorik kortikal yang diikuti oleh degenerasi traktus kortikospinalis
pada beberapa penyakit, termasuk sklerosis lateralis primer (varian sklerosis amiotrofik
lateralis) dan bentuk yang lebih jarang paralisis spinal spastic herediter. Bentuk yang lebih
sering pada penyakit ini terjadi akibat mutasi gen untuk ATPase dari family AAA pada
kromosom 2. Penyakit ini muncul pada masa kanak-kanak dan memberat secara lambat
setelahnya, awalnya pasien mengeluh rasa berat yang dilanjutkan dengan kelemahan pada
ekstemitas bawah. Paraparesis spatik dengan gangguan cara berjalan pasti timbul dan
memberat secara perlahan. Refleks lebih kuat daripada normal. Paresis spastik pada
ekstremitas atas tidak timbul hingga lama setelahnya.
1


Gambar 14 : Sindrom traktus kortikospinalis

Sindrom kombinasi keterlibatan kolumna posterior, traktus spinoserebelaris dan
(kemungkinan ) traktus piramidalis.
Ketika proses patologis mengenai semua sistem tersebut, diagnosis banding harus
menyertakan ataksia spinoserebelaris tipe Friedreich, bentuk aksonal neuropati herediter
(HSMN II), dan ataksia lainnya.
Karekteristik menifestasi klinis timbul oleh lesi pada masing-masing sistem yang
terkena. Ataksia Friedreich dimulai sebelum usia 20 tahun dengan hilangnya sel-sel ganglion
radiks dorsalis, yang menyebabkan degenerasi kolumna posterior. Akibat klinisnya adalah
gangguan sensasi posisi, diskriminasi dua titik, dan stereognosis, dengan ataksia spinalis dan
tanda Romberg yang positif. Sensasi nyeri dan suhu sebagian besar atau seluruhnya tidak
terganggu. Ataksia berat, baik karena kolumna posterior ataupun traktus spinoserebelaris
terkena. Hal ini terlihat jelas ketika pasien mencoba berjalan, berdiri dan duduk, serta pada
saat pemeriksaan jari-hidung-jari dan uji heel-knee-shin. Cara berjalan pasien tidak
terkoordinasi dengan festinasi, dan juga menjadi spastik seiring perjalanan waktu karena
degenerasi progresif pada traktus piramidalis. Sekitar setengah jumlah pasien menunjukkan
deformitas rangka seperti skoliosis atau pes kavus (yang disebut kaki Friedreich).
Menurut Harding, ataksia Friedreich dapat didiagnosis jika ditemukan kriteria klinis berikut:
Ataksia progresif tanpa diketahui penyebabnya, dimulai sebelum usia 25 tahun.
Diturunkan secara autosomal resesif.
Tidak adanya refleks tendon dalam di ekstremitas bawah
Gangguan kolumna posterior
Disartria dalam 5 tahun setelah onset.
Diagnosis dapat ditegakkan secara definitif dengan pemeriksaan genetik molekuler
untuk mengindentifikasi defek genetik yang mendasarinya.
1




Gambar 14 : Sindrom kombinasi keterlibatan kolumna posterior, traktus spinoserebelaris
dan (kemungkinan ) traktus piramidalis.

Sindrom hemiseksi medulla spinalis/ sindrom Brown-Sequard
Sindrom ini jarang dan biasanya tidak komplet. Penyebab tersering adalah karena
trauma medula spinalis dan herniasi diskus servikalis. Interupsi jaras motorik desendens pada
satu sisi medulla spinalis pada awalnya menyebabkan paresis flasid ipsilateral di bawah
tingkat lesi (syok spinal), yang kemudian menjadi spastik dan disertai oleh hiperefleksia,
tanda Babinsky dan gangguan vasomotor. Pada saat yang bersamaan gangguan kolumna
posterior pada satu sisi medulla spinalis menimbulkan hilangnya sensasi posisi, getar, dan
diskriminasi taktil ipsilateral di bawah tingkat lesi. Ataksia yang normalnya terlihat pada lesi
kolumna posterior tidak terjadi kerena paresis ipsilateral yang bersamaan. Sensasi nyeri dan
suhu sesisi lesi tidak terganggu, karena serabut yang mempersarafi modalitas ini telah
menyilang ke sisi kontralateral dan berjalan naik ke dalam traktus spinotalamikus lateralis,
tetapi sensasi nyeri dan suhu kontralateral hilang di bawah tingkat lesi karena traktus
spinnotalamikus ipsilatral terganggu.
Sensasi taktik sederhana tidak terganggu karena modalitas ini dipersarafi oleh dua
jaras serabut yang berbeda. Kolumna posterior (tidak menyilang) dan traktus spinotalamikus
anterior (menyilang).
Hemiseksi medulla spinalis menyisakan satu dari kedua jaras tersebut untuk sensasi
taktil pada kedua sisi tubuh tetap intak-kolumna posterior kontralateral untuk sisi kontralateral
lesi dan traktus spinotalamikus anterior kontralateral untuk sisi ipsilateralis.
Selain interupsi traktus yang panjang, sel-sel kornu anterius dapat mengalami
kerusakan dengan luas yang bervariasi pada tingkat lesi, kemungkinan menyebabkan paresis
flasid. Iritasi radiks posterior juga dapat menyebabkan parestesia atau nyeri radikular di
dermatom yang sesuai dengan batas atas gangguan motorik.
1,2,3,7


Gambar 15 : Sindrom hemiseksi medulla spinalis/ sindrom Brown-Sequard


Sindrom transseksi medulla spinalis

Sindrom transseksi medulla spinalis Akut
Sindrom transseksi medulla spinalis total paling sering disebabkan oleh trauma ,
jarang disebabkan oleh inflamasi atau infeksi. Trauma medulla spinalis akut awalnya
menimbulkan keadaan yang disebut syok spinal, gambaran klinis yang patofisiologinya belum
difahami secara total. Di bawah tingkat lesi terdapat paralisis flasid komplet dan semua
modalitas sensasi hilang. Fungsi berkemih, defekasi dan seksual juga hilang. Hanya refleks
bulbokavernosus yang tetap ada. Juga terdapat perubahan tropik di bawah tingkat lesi
khususnya hilangnya berkeringat dan gangguan termoregulasi. Terdapat kecenderungan
bermakna untuk terbentuknya ulkus dekubitus. Batas ada deficit sensorik sering dibatasi oleh
suatu zona hiperalgesia.
Dalam beberapa hari dan minggu setelah kejadian, neuron spinalis perlahan-lahan
kembali mendapatkan fungsinya, setidaknya sebagian, tetapi tetap terputus sebagian besar
impuls neuron yang berasal dari sentral yang normalnya mengatur neuron tersebut. Kemudian
neuro-neuron ini menjadi otonom dan timbul otomatisme spinal. Pada banyak kasus
stimulus di bawah tingkat lesi mencetuskan fleksi tiba-tiba pada panggul, lutut, dan
pergelangan kaki (refles fleksor). Jika sindrom transseksi medulla spinalis total, ekstremitas
tetap berada pada posisi fleksi dalam jangka panjang setelah stimulus karena elevasi spastik
pada tonus otot. (sebaliknya pada sindrom transseksi medulla spinalis inkomplet, tungkai pada
awalnya mengalami fleksi saat distimulasi, tetapi kemudian kembali ke posisi semula).
Defekasi dan miksi perlahan-lahan berfungsi kembali, tetapi tidak berada di bawah kendali
volunteer bahkan kandung kemih dan rectum secara refleksif mengosongkan diri ketika terisi
pada jumlah tertentu. Disnergia sfingter detrusor menyebabkan retensi urin dan miksi refleksif
yang sering. Reflek tendon dalam dan tonus otot perlahan-lahan kembali dan dapat meningkat
secara patologis, namun potensi seksual tidak kembali.
7



Sindrom transseksi medulla spinalis progresif
Ketika Sindrom transseksi medulla spinalis muncul perlahan-lahan dan bukan tiba-tiba,
misalnya karena tumor yang tumbuh secara lambat, syok spinal tidak terjadi. Sindrom
transseksi pada kasus seperti ini biasanya parsial bukan total. Paraparesis spastik yang berat
dan progresif terjadi dibawah tingkat lesi, disertai oleh deficit sensorik, disfungsi miksi,
defekasi dan seksual serta manifesatasi otonomik.

Sindrom transseksi medulla spinalis servikalis
Transseksi medulla spinalis di atas sevikal III fatal karena dapat menghentikan
pernafasan (hilangnya fungsi nervus frenikus dan nervi interkostales secara total). Pasien
tersebut hanya dapat bertahan jika diberikan ventilasi buatan dalam beberapa menit setelah
trauma penyebabnya, keadaan yang sangat jarang terjadi. Transeksi pada tingkat servikal
bawah menyebabkan kuadriparesis dengan keterlibatan otot-otot interkostal, pernafasan dapat
sangat terganggu. Ekstremitas atas terkena dengan luas yang bervariasi bergantung pada
tingkat lesi. Tingkat lesi dapat ditentukan secara tepat dari deficit sensoris yang ditemukan
pada pemeriksaan fisik.
1

Sindrom transseksi medulla spinalis torasika
Transseksi medulla spinalis torasika bagian atas tidak mengganggu ekstremitas atas,
tetapi mengganggu pernafasan dan juga dapat menimbulkan ileus paralitis melalui
keterlibatan nervus splanknikus. Transseksi medulla spinalis torasika bagian bawah tidak
mengganggu otot-otot abdomen dan tidak mengganggu pernafasan.
1


Sindrom transseksi medulla spinalis lumbalis
Transseksi medulla spinalis lumbalis menyebabkan gangguan berat karena secara
bersamaan terjadi kerusakan arteri utama yang menyuplai medulla spinalis bagian bawah,
arteri radikularis mayor. Hasilnya adalah infark pada seluruh medula spinalis lumbalis dan
sakralis.
1






Sindrom epikonus
Sindrom epikonus disebabkan oleh lesi medulla spinalis setinggi L4 hingga S2, relatif
jarang. Tidak seperti sindrom konus, sindrom epikonus berkaitan dengan paresis spastik dan
flasid ekstremitas bawah, tergantung pada segmen lesi yang tepat. Terdapat kelemahan atau
paralisis total pada rotasi ekterna panggul (L4-S1) dan ekstensi panggul (L4-L5) dan
kemungkinan juga fleksi lutut (L4-S2) serta fleksi dan ekstensi pergelangan kaki dan jari-jari
kaki (L4-S2). Reflek Achilles menghilang, sedangkan refleks lutut tetap ada. Deficit sensorik
terbentang dari L4-S5. Pengosongan kandung kemih dan rectum hanya secara refleksif,
potensi seksual hilang dan pasien laki-laki sering mengalami priapisme. Terdapat paralisis
vasomotor sementara serta kehilangan kemampuan berkeringat sementara.
1,3


Sindrom konus
Sindrom ini diakibatkan oleh lesi setinggi atau di bawah S3. Juga jarang terjadi dan
biasanya disebakan oleh tumor spinal, iskemia atau herniasi diskus lumbalis massif.
Lesi konus medularis terisolasi menimbulkan berbagai defisit neurologi seperti:
Arefleksia destrusor dengan retensi urin dan inkontinensia overflow.
Inkontinensia
Impotensia
Saddle anestesia
Hilang refleks ani
Ekstremitas bawah tidak paresis dan refleks Achilles tetap ada (L5-S2).
Jika sindrom konus disebabkan oleh tumor, radiks lumbalis dan radiks sakralis yang
berjalan menurun di sepanjang konus medularis akan terkena, cepat atau lambat. Pada kasus-
kaus tersebut, manifestasi sindrom konus disertai oleh deficit akibat keterlibatan kauda
ekuina :kelemahan ekstremitas bawah dan deficit sensori yang lebih luas dibandingkan
dengan defisit pada sindrom konus murni.
1,3,7



Sindrom kauda equina
Sindrom ini melibatkan radiks nervi lumbalis dan radiks nervi sakralis yang berjalan
ke bawah di sepnjang sisi dan bawah konus medularis dan menembus ruang subarachnoid
lumbosakral dan keluar melalui foramennya. Tumor biasanya penyebab yang umum. Pasien
awalnya mengeluhkan nyeri radikuler pada distribusi nervus ischiadiks dan nyeri pada
kandung kemih yang hebat dan memberat saat batuk dan bersin. Kemudian, deficit sensorik
radikuar dengan berat yang bervariasi, mengenai semua modalitas sensorik, timbul pada
tingkat L4 atau di bawahnya. Lesi yang mengenai bagian atas kauda equina menimbulkan
deficit sensorik pada tungkai dan area saddle. Dapat terjadi paresis flasid pada ekstremitas
bawah dengan arrefleksia, juga terdapat inkontinensia urin dan alvi, bersamaan dengan
disfungsi seksual. Pada lesi di bagian bawah kauda equina, deficit sensorik hanya terdapat
pada daerah saddle (S3-S5) dan tidak terjadi kelemahan tungkai, tetapi fungsi miksi, defekasi
dan seksual terganggu. Tumor yang mengenai kauda equina tidak seperti tumor konus,
menimbulkan manifestasi klinis dengan progresivtas lambat dan ireguler karena masing-
masing radiks saraf terkena dengan kecepatan yang berbeda dan beberapa di antaranya tidak
mengalami kerusakan hingga akhir perjalanan klinis.
1,3




3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang yang sebaiknya dikerjakan meliputi pemeriksaan laboratorium darah
dan pemeriksaan radiologis. Dianjurkan melakukan pemeriksaan 3 posisi standar
(anteroposterior, lateral, odontoid) untuk vertebra servikal, dan posisi AP dan lateral untuk
vertebra thorakal dan lumbal. Pada kasus-kasus yang tidak menunjukkan kelainan radiologis,
pemeriksaan lanjutan dengan CT Scan dan MRI sangat dianjurkan.
Magnetic Resonance Imaging merupakan alat diagnostik yang paling baik untuk
mendeteksi lesi di medulla spinalis akibat cedera/trauma
Radiologik
Foto polos posisi antero-posterior dan lateral pada daerah yang diperkirakan mengalami
trauma akan memperlihatkan adanya fraktur dan mungkin disertai dengan dislokasi. Pada
trauma daerah servikal foto dengan posisi mulut terbuka dapat membantu dalam
memeriksa adanya kemungkinan fraktur vertebra C1-C2.
Pungsi Lumbal
Berguna pada fase akut trauma medula spinalis. Sedikit peningkatan tekanan likuor
serebrospinalis dan adanya blokade pada tindakan Queckenstedt menggambarkan
beratnya derajat edema medula spinalis, tetapi perlu diingattindakan pungsi lumbal ini
harus dilakukan dengan hati-hati, karena posisi fleksi tulang belakang dapat memperberat
dislokasi yang telah terjadi. Dan antefleksi pada vertebra servikal harus dihindari bila
diperkirakan terjadi trauma pada daerah vertebra servikalis tersebut.
Mielografi
Mielografi dianjurkan pada penderita yang telah sembuh dari trauma pada daerah lumbal,
sebab sering terjadi herniasi diskus intervertebralis










3.5 PENATALAKSANAAN


Penatalaksanaan yang diberikan ada dua yaitu non-medikamentosa, dimana pasien bed
rest dan juga diberikan terapi berupa fisioterapi biasanya dalam bentuk diatermi. Fisioterapi
agar dapat membantu mengontrol nyeri punggung bawah, menstabilkan dan melindungi dari
kelemahan dan memberikan perlindungan jangka lama , mengontrol, atau mengoreksi
deformitas tulang belakang. Sudah ada perbaikan yang bermakna ditunjukkan pada pasien.
Macam-macam fisioterapi diantaranya,
1. Exercise Therapy atau Terapi Latihan
Terapi ini dimaksudkan untuk mengembalikan fungsi sekaligus penguatan dan
pemeliharaan gerak agar bisa kembali normal atau setidaknya mendekati kondisi
normal.
2. Heating Therapy atau Terapi Pemanasan
Terapi ini memanfaatkan kekuatan panas yang biasanya digunakan pada kelainan kulit,
otot, maupun jaringan tubuh bagian dalam lainnya. Terapi pemanasan biasanya
diberikan bersamaan dengan jeni terapi lainnya.
3. Electrical Stimulations Therapy atau Terapi Stimulasi Listrik
Terapi yang menggunakn aliran listrik bertenaga kecil ini cocok diterapkan pada yang
menderita kelemahan otot akibat patah tulang ataupun kerusakan saraf otot.
4. Cold Therapy atau Terapi Dingin
Terapi dingin biasanya diberikan bila cedera masih akut sehingga proses peradangan
tidak menjadi kronis. Terapi ini umumnya hanya diperuntukkan bagi otot saja,
biasanya akibat terjatuh dan mengalami memar.

Penatalaksanaan yang kedua adalah medikamentosa.
Pasien diberikan obat metilprednisolon pada pasien dengan trauma medulla spinalis:
Bila diagnosis diegakkan <3 jam pasca trauma diberikan:
Metilprednisolon 30mg/kgBB i.v bolus selama 15 menit, ditunggu selama 45 mneit
(tidak diberikan metilprednisolon dalam kurun waktu ini), selanjutnya diberikan infus
terus menerus metilprednisolon selama 23 jam dengan dosis 5,4mg/kgBB/jam.
Bila 3-8 jam, idem, hanya infus metilprednisolon dilanjutkan untuk 47 jam.
Bila >8 jam, tidak dianjurkan pemberian metilprednisolon.


3.6 SISTEM SARAF

Impuls motorik untuk gerakan volunteer terutama dicetuskan di girus presentralis lobus
frontalis (korteks motorik primer, area 4 Brodman) dan area kortikal di sekitarnya (neuron
motorik pertama). Impuls tersebut berjalan di dalam jaras serabut yang panjang (terutama
traktur kortikonuklearis dan traktus kortikospinalis/jaras pyramidal), melewati batang otak
dan turun ke medulla spinalis ke kornu anterius, tempat mereka membentuk kontak sinaptik
dengan neuron motorik kedua- biasanya melewati satu atau beberapa interneuron perantara.
Serabut saraf yang muncul dari area 4 dan area kortikal yang berdekatan bersama-
sama membentuk traktus piramidalis, yang merupakan hubungan yang paling langsung dan
tercepat antara area motorik primer dan neuron motorik di kornu anterius. Selain itu, area
kortikal lain (terutama korteks premotorik, area 6) dan nuclei subkotikalis (terutama ganglia
basalia) berpartisipasi dalam control neuron gerakan. Area-area tersebut membentuk lengkung
umpan balik yang kompleks satu dengan lainnya dan dengan korteks primer dan serebelum;
struktur ini mempengaruhi sel-sel di kornu anterius medulla spinalis melalui beberapa jaras
yang berbeda di medulla spinalis. Fungsinya terutama untuk memodulasi gerakan dan untuk
mengatur tonus otot.
Impuls yang terbentuk di neuron motorik kedua pada nuclei nervi kranialis dan kornu
anterius medulla spinalis berjalan melewati radiks anterior, pleksus saraf (diregio servikal dan
lumbosakral) serta saraf perifer dalam perjalanannya ke otot-otot rangka. Impuls dihantarkan
ke sel-sel otot melalui motor end plate taut neuromuscular.
Lesi pada neuron motorik pertama di otak dan medulla spinalis biasanya menimbulkan
paresis spastic, sedangkan lesi neuron motorik orde kedua di kornu anterius, radiks anterior,
saraf perifer, atau motor end plate biasanya menyebabkan paresis falsid. Deficit motorik
akibat lesi pada system saraf jarang terlihat sendiri-sendiri; biasanya disertai oleh berbagai
defisit sensorik , otonomik, kognitif, dan/atau defisit neuropsikologis dalam berbagai bentuk,
tergantung pada lokasi dan sifat lesi penyebabnya.


Gambar 1 : Hubungan dari korteks serebri hingga otot

Sistem saraf dibedakan atas 2 divisi anatomi yaitu :
1.Sistem saraf pusat (sentral), terbagi atas:
Otak
Sumsum tulang belakang(medula spinalis)
2.Sistem saraf perifer (tepi) terdiri atas:
A. Divisi Aferen, membawa informasi ke SSP (memberitahu SSP mengenai lingkungan
eksternal dan aktivitas-aktivitas internal yg diatur oleh SSP
B. Divisi Eferen, informasi dari SSP disalurkan melalui divisi eferen ke organ efektor
(otot atau kelenjar yg melaksanakan perintah untuk menimbulkan efek yg diinginkan),
terbagi atas:
-Sistem saraf somatik, yg terdiri dari serat-serat neuron motorik yg mempersarafi otot-otot
rangka
-Sistem saraf otonom, yg mempersarafi otot polos, otot jantung dan kelenjar, terbagi atas :
1. Sistem saraf simpatis
2. Sistem saraf Parasimpatis

Sesuai dengan susunan anatomi, maka SSO dibagi menjadi dua bagian besar yaitu divisi
simpatis (torakolumbal/SO) dan divisi parasimpatis (kraniosakral/SP). Kedua divisi ini
diawali dari inti/pusat dalam SSP dan memunculkan serabut saraf eferen preganglionik yang
keluar dari batang otak atau medulla spinalis dan berakhir pada ganglia motor. Serabut
preganglionik simpatis keluar dari SSP melalui saraf spinal torakalis dan lumbalis, sehingga
disebut Sistem Torakolumbal. Serabut preganglionik parasimpatis keluar dari SSP melalui
saraf cranial (terutama III, VII, IX dan X) dan radiks spinal S-III S-IV.




Gambar 2 : Perjalanan Impuls Motorik

PUSAT MOTORIS DAN SENSORIS

Pada corteks cerebral terdapat beberapa daerah :
Korteks serebral mengandung 3 jenis fungsional area yaitu motor area, sensori area,
dan asosiasi area. Neuron motoris dan neuron sensoris terdapat pada motoris area dan sensoris
area pada korteks serebri. Semua neuron pada korteks serebri merupakan inter neuron.
Setiap hemisfer terdapat fungsi motoris dan sensoris yang berlawanan pada sisi tubuh
(kontralateral).
Sekalipun sebagian besar struktur pada 2 hemisfer kanan dan kiri simetris, tetapi tidak
ada fungsi yang sama. Masing masing memiliki spesialisasi fungsi kortikal.
Yang sangat penting yang harus kita ingat tidak ada fungsi area pada korteks serebri
yang bekerja sendirian.

AREA MOTORIS
Motoris area pada korteks serebri, dengan gerakan volunter yang terkontrol yang
terdapat pada lobus frontalis terdiri dari motor korteks primer, premotor korteks, area broca,
frontal eye field.

AREA SENSORIS
Terdapat pada korteks serebri yaitu pada lobus parietal, insular, temporal,dan occipital.
Terdiri dari korteks primer somatosensoris, korteks asosiasi somatosensoris, area visual, area
auditory, korteks olfaktori, korteks gustatory, area sensori visual, korteks vestibuler.

3.5 TUMOR MEDULLA SPINALIS
Medula spinalis tersusun dalam kanalis spinalis dan diselubungi oleh sebuah lapisan
jaringan konektif, dura mater. Tumor medula spinalis merupakan suatu kelainan yang tidak
lazim, dan hanya sedikit ditemukan dalam populasi. Namun, jika lesi tumor tumbuh dan
menekan medula spinalis, tumor ini dapat menyebabkan disfungsi anggota gerak, kelumpuhan
dan hilangnya sensasi.
1,2





Gambar 1. Diagram otak, tulang belakang dan medulla spinalis. Pembesaran gambar menunjukkan struktur dari medulla spinalis


KLASIFIKASI
Tumor pada medulla spinalis dapat dibagi menjadi tumor primer dan tumor metastasis.
Kelompok yang dominan dari tumor medula spinalis adalah metastasis dari proses keganasan
di tempat lain. Tumor medula spinalis dapat dibagi menjadi tiga kelompok, berdasarkan letak
anatomi dari massatumor. Pertama, kelompok ini dibagi dari hubungannya dengan selaput
menings spinal, diklasifikasikan menjadi tumor intradural dan tumor ekstradural. Selanjutnya,
tumor intradural sendiri dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu tumor yang tumbuh pada
substansi dari medula spinalis itu sendiri intramedullary tumours- serta tumor yang tumbuh
pada ruang subarachnoid (extramedullary).
3

Ekstra dural Intradural ekstramedular Intardural intramedular
Chondroblastoma
Chondroma
Hemangioma
Lipoma
Lymphoma
Meningioma
Metastasis
Neuroblastoma
Neurofibroma
Osteoblastoma
Osteochondroma
Osteosarcoma
Sarcoma
Vertebral hemangioma
Ependymoma, tipe
myxopapillary
Epidermoid
Lipoma
Meningioma
Neurofibroma
Paraganglioma
Schwanoma
Astrocytoma
Ependymoma
Ganglioglioma
Hemangioblastoma
Hemangioma
Lipoma
Medulloblastoma
Neuroblastoma
Neurofibroma
Oligodendroglioma
Teratoma
Table 1 distribusi anatomi dari tumor medulla spinalis berdasarkan gambaran histologisnya
[*]


Gambar 2, letak tumor medulla spinalis, ed = ekstradural; ie = intradural
ekstramedular; ii = intradural intramedular*

GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinik dari tumor pada aksis spinal tergantung dari fungsi pada daerah anatomis
yang terkena. Tumor medulla spinalis dapat menyebabkan gejala lokal dan distal dari segmen
spinal yang terkena ( melalui keterlibatan traktus sensorik dan motorik pada medula spinalis.)
akibat organisasi anatomik dalam medula spinalis, maka kompresi lesi-lesi diluar medula
spinalis biasanya menimbulkan gejala dibawah tingkat lesi. Tingkat gangguan sensorik naik
secara berangsur-angsur bersama dengan meningkatnya kompresi, dan melibatkan daerah
yang lebih dalam. Lesi yang terletak jauh didalam medula apinalis mungkin tidak menyerang
serabut-serabut yang terletak sperfisial, dan hanya menimbulkan disosiaasi sensorik, yaitu
sensasi nyeri dan suhu yang hilang, dan sensasi raba yang masih utuh. Kompresi medula
spinalis akan mengakibatkan ataksia karena mengganggu sensasi posisi.
4

Gambaran klinik pada tumor medulla spinalis sangat ditentukan oleh lokasi serta posisi
pertumbuhan tumor dalam kanalis spinalis.





















KESIMPULAN

Cedera medula spinalis merupakan salah satu penyebab utama disabilitas neurologis akibat
trauma. Penyebab paling sering untuk terjadinya trauma medulla spinalis adalah karena
kecelakaan lalu lintas, dll. Trauma medulla spinalis sendiri diklasifikasikan menjadi trauma
medulla spinalis komplit dan trauma medulla spinalis inkomplit. Sedangkan gejala yang
paling sering pada trauma medulla spinalis adalah,nyeri akut pada belakang leher, paraplegia,
paralisis sensorik motorik total,kehilangan kontrol kandung kemih (retensi urine, distensi
kandung kemih) penurunan keringat dan tonus vasomotor, penurunan fungsi pernapasan,
gagal nafas.
Terapi cedera medula spinalis terutama ditujukan untuk meningkatkan dan
mempertahankan fungsi sensoris dan motoris. Therapy operatif kurang dianjurkan kecuali jika
pasien memiliki indikasi untuk dilakukannya operasi. Cedera medula spinalis tidak komplet
cenderung memiliki prognosis yanglebih baik daripada trauma medulla spinalis komplit.



















DAFTAR PUSTAKA

1. M. Baehr, M. Frotscher. Diagnosis Topic Neurologi Duus : Anatomi, isiologi, Tanda,
Gejala. Jakarta : EGC, 2010.
2. Topographic and functional antomy of the spinal cord. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/1148570-overview#a30
3. Sidharta P, Mardjono M, Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 1981
4. Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9.
Jakarta :EGC; 1997.
5. Adams RD, Victor M, Ropper AH. Disease of Spinal Cord in Principles of Neurology,
7th ed. McGraw-Hill, New York, 2001.
6. Alpert MJ. Central Cord Syndrome. eMedicine Journal 2001; 2
7. Hurlbert RJ. Methylprednisolone for Acute Spinal Cord Injury: An Inappropriate
Standard of Care. J Neurosurg (Spine). 2000;93: 1-7
8. Braken MB. Steroid For Acute Spinal Cord Injury (Cochrane Review): Cochrane
Library, Issue 3, 2002
9. Byrne TN, Waxman. Spinal Cord Compression : Diagnosis and Principles of
Management, Philadelphia : FA Davis Company. 1990
10. Rohkamm R. Color Atlas of Neurology. Spine and Spinal Cord. New York :2004
11. Lain. W, Graham L. Essential Neurology. Clinical skill, physical sign dan anatomy.
Fourth edition. Blackwell Publishing, USA. 2005

You might also like