You are on page 1of 36

Pahami anak sebagai individu yang berbeda.

Seorang anak dengan yang lainnya


memiliki karakter yang berbeda. Memiliki bakat dan minat yang berbeda pula.
Karenanya, dalam menyerap ilmu dan mengamalkannya berbeda satu dengan yang
lainnya. Sering terjadi kasus, terutama pada pasangan muda, orangtua mengalami
“sindroma” anak pertama. Karena didorong idealisme yang tinggi, mereka
memperlakukan anak tanpa memerhatikan aspek-aspek perkembangan dan
pertumbuhan anak. Misal, anak dipompa untuk bisa menulis dan membaca pada usia
2 tahun, tanpa memerhatikan tingkat kemampuan dan motorik halus (kemampuan
mengoordinasikan gerakan tangan) anak.

‫طْعُتْم‬
َ ‫سَت‬
ْ ‫ل َما ا‬
َ ‫َفاّتُقوا ا‬

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (At-Taghabun:


16)

Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:

‫طْعُتْم‬
َ ‫سَت‬
ْ ‫يٍء َفاجَْتِنُبوهُ َوِإَذا َأَمْرُتُكْم ِبَأْمٍر َفْأُتوا ِمْنُه َما ا‬
ْ ‫ش‬
َ ‫ن‬
ْ‫ع‬َ ‫َفِإَذا َنَهْيُتُكْم‬

“Apabila aku melarangmu dari sesuatu maka jauhi dia. Bila aku perintahkan kamu
suatu perkara maka tunaikanlah semampumu.” (HR. Al-Bukhari, no. 7288)

Kata ‫طْعُتْم‬
َ ‫سَت‬
ْ ‫( َما ا‬semampumu) menunjukkan kemampuan dan kesanggupan seseorang
berbeda-beda, bertingkat-tingkat, satu dengan lainnya tidak bisa disamakan. Ini semua
karena pengaruh berbagai macam latar belakang.

- Memberi tugas hendaklah sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan anak.

‫سَعَها‬
ْ ‫ل ُو‬
ّ ‫سا ِإ‬
ً ‫ل َنْف‬
ُ ‫فا‬
ُ ‫ل ُيَكّل‬
َ

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-


Baqarah: 286)

- Berusahalah untuk selalu menghargai niat, usaha dan kesungguhan anak. Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:

‫عَماِلُكْم‬
ْ ‫ظُر ِإَلى ُقُلوِبُكْم َوَأ‬
ُ ‫ن َيْن‬
ْ ‫صَوِرُكْم َوَأْمَواِلُكْم َوَلِك‬
ُ ‫ظُر ِإَلى‬
ُ ‫ل َيْن‬
َ ‫ل‬
َ ‫نا‬
ّ ‫ِإ‬

“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa dan harta kalian, tapi Allah
melihat kepada hati (niat) dan amal-amal kalian.” (HR. Muslim no. 2564) …click
here to read more


Pada kesempatan ini kami ingin memaparkan mengenai perkara-perkara yang
semestinya dimiliki oleh seorang pendidik sejati. Ada 11 karakter yang mesti dimiliki
oleh seorang pendidik sejati, dan ini bukan merupakan pembatasan. Pada kesempatan
ini kami akan memaparkan satu per satu dari karakter-karakter yang semestinya
melekat pada seorang pendidik.

Karakter Pertama Pendidik Sejati:

Mengikhlaskan Ilmu untuk Alloh Subhanahu wa ta’ala

Sebuah perkara agung yang dilalaikan banyak kalangan pengajar dan pendidik, yaitu
membangun dan menanamkan prinsip mengikhlaskan ilmu dan amal untuk Alloh. Ini
merupakan perkara yang tidak dipahami banyak orang, karena jauhnya mereka dari
manhaj Rabbani. Demi Alloh, berapa banyak ilmu yang bermanfaat dan amal-amalan
yang mulia untuk umat, namun pemiliknya tidak mendapat bagian manfaat darinya
sedikitpun dan pergi begitu saja bersama hembusan angina bagaikan debu
beterbangan. Yang demikian itu disebabkan karena pemiliknya tidak
mengikhlaskan ilmu dan amal mereka serta tidak menjadikannya di jalan Alloh.
Tujuan mereka bukan untuk memberikan manfaat kepada saudara-saudara mereka
kaum muslimin dengan ilmu dan pengetahuan serta amal-amalan tersebut. Tujuan
mereka hanya semata meraih kehormatan atau kedudukan dan sejenisnya, karena itu
sangat layak bila amalan-amalan tersebut pergi begitu saja bagaikan debu yang
beterbangan. Ya benar, ada kalanya mereka itu mendapatkan manfaat dengan ilmu
dan pengetahuan mereka di dunia, berupa sanjungan, pujian, dan sejenisnya, tetapi
diujung-ujungnya bermuara pada kesirnaan. Barangkali hadits yang diriwayatkan oleh
Abu Hurairah RodhiAllohu ‘anhu melukiskan makna tersebut:
Dari Abu Hurairah RodhiAllohu ‘anhu dia berkata, Nabi Shallallohu’alaihi wasallam
bersabda:
“ … dan seorang laki-laki yang belajar dan mengajarkan ilmu serta membaca Al-
Qur’an, lalu ia didatangkan dan Alloh mengingatkan nikmat-nikmatNya (kepadanya)
dan dia pun mengenalnya. Alloh berfirman, ‘Apa yang kamu lakukan padanya?’ Dia
berkata, ‘Saya belajar ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al-Qur’an demi
Engkau.’ Alloh berfirman,’ Kamu berdusta, akan tetapi kamu belajar ilmu supaya
dikatakan alim; kamu membaca Al-Qur’an supaya dikatakan qori’, dan itu telah
dikatakan. ‘Kemudian diperintahkan agar ia diseret diatas wajahnya hingga
dilemparkan ke dalam api neraka…” (Hadits Riwayat Muslim dalam kitab Imarah,
An-Nasa’i dalam Al-Jihad, Ahmad dalam Baqi’ Musnad Muktsirin , dan At-Tirmidzi
dalam Az-Zuhud)
Karena itu, semestinya bagi para pendidik dan pengajar agar menanamkan sifat ikhlas
dalam ilmu dan amal untuk Alloh pada diri anak didiknya, juga sifat mengharap
pahala dan ganjaran dari Alloh. Kemudian, jika setelah itu ia memperoleh sanjungan
dan pujian dari manusia, itu adlah anugrah dan nikmat dari Alloh, dan bagi Alloh-lah
segala pujian.
Ibnu Rajab Rahimahulloh berkata: “ Adapun jika dia melakukan sebuah amalan
murni untuk Alloh, kemudian Alloh melemparkan pujian baik baginya di hati orang-
orang Mukmin dengan hal itu, lalu dia merasa senang dengan anugrah dan Rahmat
Alloh serta merasa gembira dengannya, maka hal itu tidak mengapa baginya. Pada
makna inilah hadits Abu Dzar datang; dari Nabi shallallohu’alaihi wasallam bahwa
beliau ditanya tentang laki-laki melakukan sebuah amalan ikhlas untuk Alloh berupa
kebaikan, yang lantaran itu ia dipuji manusia, beliau bersabda: ‘Itu adalah berita
gembira orang beriman yang disegerakan’.” (Hadits Riwayat Muslim, juga Ahmad
dalam Musnad Al-Anshar dan Ibnu Majah dalam Az-Zuhud)
Poros dari itu semua terletak pada niat, dan niat tempatnya adalah di dada, dan tidak
ada sesuatupun yang tersembunyi bagi Alloh:
“ Katakanlah, ‘Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu
menampakkannya, pasti Alloh mengetahuinya’.” (Terjemah Quran Surat Ali Imran:
29)
Maka bagi siapa saja yang niatnya murni untuk Alloh, hendaklah berbahagia dengan
pengabulan amalnya dan ganjaran pahala dari Alloh.
Dari Umar bin Al-Khattab RadhiAllohu ‘anhu, saya pernah mendengar Rasululloh
Shallallohu’alaihi wasallam bersabda:
“ Sesungguhnya setiap amalan itu hanyalah bergantung pada niatnya, dan setiap
orang hanya akan mendapatkan apa yang diniatkannya. Barangsiapa yang hijrahnya
kepada Alloh dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Alloh dan Rasul-Nya. Dan
barangsiapa yang hijrahnya karena motivasi dunia yang hendak dicapainya atau
lantaran seorang wanita untuk dinikahinya, maka hijrahnya pada apa yang dia
hijrah kepadanya.” ( Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)

Kesimpulan:
1. Merupakan suatu kewajiban bagi seorang pendidik untuk menanamkan
hakikat ikhlas pada diri anak didiknya.
2. Seorang pendidik harus menyertakan hakikat tersebut semenjak awal dan
terus-menerus mengingatkannya.
Hadits-hadits Tentang Metode Pendidikan

Oleh: Abu ‘Aqil Al-Atsary

A. Pendahuluan
Keberhasilan menanamkan nilai-nilai rohaniah (keimanan dan ketakwaan pada Allah
subhanahu wata’ala) dalam diri peserta didik, terkait dengan satu faktor dari sistem
pendidikan, yaitu metode pendidikan yang dipergunakan pendidik dalam
menyampaikan pesan-pesan ilahiyah, sebab dengan metode yang tepat, materi
pelajaran akan dengan mudah dikuasai peserta didik. Dalam pendidikan Islam, perlu
dipergunakan metode pendidikan yang dapat melakukan pendekatan menyeluruh
terhadap manusia, meliputi dimensi jasmani dan rohani (lahiriah dan batiniah),
walaupun tidak ada satu jenis metode pendidikan yang paling sesuai mencapai tujuan
dengan semua keadaan.

Sebaik apapun tujuan pendidikan, jika tidak didukung oleh metode yang tepat, tujuan
tersebut sangat sulit untuk dapat tercapai dengan baik. Sebuah metode akan
mempengaruhi sampai tidaknya suatu informasi secara lengkap atau tidak. Bahkan
sering disebutkan cara atau metode kadang lebih penting daripada materi itu sendiri.
Oleh sebab itu pemilihan metode pendidikan harus dilakukan secara cermat,
disesuaikan dengan berbagai faktor terkait, sehingga hasil pendidikan dapat
memuaskan. (Anwar, 2003: 42)

Rasul saw. sejak awal sudah mencontohkan dalam mengimplementasikan metode


pendidikan yang tepat terhadap para sahabatnya. Strategi pembelajaran yang beliau
lakukan sangat akurat dalam menyampaikan ajaran Islam. Rasul shallallohu ‘alaihi
wasallam sangat memperhatikan situasi, kondisi dan karakter seseorang, sehingga
nilai-nilai Islami dapat ditransfer dengan baik. Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam
juga sangat memahami naluri dan kondisi setiap orang, sehingga beliau mampu
menjadikan mereka suka cita, baik meterial maupun spiritual, beliau senantiasa
mengajak orang untuk mendekati Allah subhanahu wata’ala. dan syari’at-Nya.
Makalah ini akan menyajikan hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. tentang
metode pendidikan dalam lingkup makro dan mikro, yang dilaksanakan Rasulullah.
Hadis-hadis yang berimplikasikan pada metode pendidikan dalam lingkup makro,
meliputi; metode keteladanan, metode lemah lembut/kasih sayang, metode deduktif,
metode perumpamaan, metode kiasan, metode memberi kemudahan, metode
perbandingan. Metode pendidikan dalam lingkup mikro terdiri dari; metode tanya
jawab, metode pengulangan, metode demonstrasi, metode eksperimen, metode
pemecahan masalah, metode diskusi, metode pujian/memberi kegembiraan, metode
pemberian hukuman.

B. Pembahasan

1. Pengertian Metode Pendidikan.


Satu dari berbagai komponen penting untuk mencapai tujuan pendidikan adalah
ketepatan menentukan metode. Sebab dengan metode yang tepat, materi pendidikan
dapat diterima dengan baik. Metode diibaratkan sebagai alat yang dapat digunakan
dalam suatu proses pencapaian tujuan. Tanpa metode, suatu materi pelajaran tidak
akan dapat berproses secara efektif dan efisien dalam kegiatan pembelajaran menuju
tujuan pendidikan.
Secara etimologi kata metode berasal dari bahasa Yunani yaitu meta yang berarti
”yang dilalui” dan hodos yang berarti ”jalan”, yakni jalan yang harus dilalui. Jadi
secara harfiah metode adalah cara yang tepat untuk melakukan sesuatu.(Poerwakatja,
1982: 56). Sedangkan dalam bahasa Inggris, disebut dengan method yang
mengandung makna metode dalam bahasa Indonesia.(Wojowasito, 1980:113). Dalam
bahasa Arab, metode disebut dengan tharīqah yang berarti jalan atau cara.(Louwis,
t.t.: 465). Demikian pula menurut Yunus, tharīqah adalah perjalanan hidup, hal,
mazhab dan metode.(Munawwir, 1997: 849). Secara terminologi, para ahli
memberikan definisi yang beragam tentang metode, di antaranya pengertian yang
dikemukakan Surakhmad (1998: 96), bahwa metode adalah cara yang di dalam
fungsinya merupakan alat untuk mencapai tujuan. Menurut Yusuf (1995: 2),
metodologi adalah ilmu yang mengkaji atau membahas tentang bermacam-macam
metode mengajar, keunggulannya, kelemahannya, kesesuaian dengan bahan pelajaran
dan bagaimana penggunaannya. Poerwakatja (1982: 386), mengemukakan; metode
pembelajaran berarti jalan ke arah suatu tujuan yang mengatur secara praktis bahan
pelajaran, cara mengajarkannya dan cara mengelolanya.
Berdasarkan definisi yang dikemukakan para ahli mengenai pengertian metode
pendidikan, beberapa hal yang mesti ada dalam metode yaitu:
a. Melaksanakan aktivitas pembelajaran dengan penuh kesadaran dan tanggung
jawab;
b. Aktivitas tersebut memiliki cara yang baik dan tujuan tertentu;
c. Tujuan harus dicapai secara efektif.
Ada istilah lain dalam pendidikan yang mengandung makna berdekatan dengan
metode, yaitu pendekatan dan teknik/strategi, sebagai berikut:
a. Pendekatan (al-madkhal/approach).
Pendekatan yaitu sekumpulan pemahaman mengenai bahan pelajaran yang
mengandung prinsip-prinsip filosofis. Jadi pendekatan merupakan kebenaran umum
yang bersifat mutlak. Misalkan asumsi yang berhubungan dengan pembelajaran
bahasa, bahwa aspek menyimak dan percakapan harus diajarkan terlebih dahulu
sebelum aspek membaca dan menulis atau sebaliknya, sehingga dari asumsi tersebut
pendidik dapat menentukan metode yang tepat.(Sumardi, t.t: 91-94).
b. Teknik/strategi.
Teknik penyajian bahan pelajaran adalah penyajian yang dikuasai pendidik dalam
mengajar atau menyajikan bahan pelajaran kepada peserta didik di dalam kelas, agar
bahan pelajaran dapat dipahami dan digunakan dengan baik. Teknik adalah
pelaksanaan pengajaran di dalam kelas, yaitu penggunaan metode yang didasarkan
atas pendekatan terhadap materi pelajaran. Jadi teknik harus sejalan dengan metode
dan pendekatan. Misalkan dalam mengatasi masalah peserta didik yang tidak dapat
menyebutkan bunyi suatu huruf dengan tepat, pendidik memintakan peserta didik
untuk menirukan ucapannya.

c. Metode.
Metode adalah rencana menyeluruh yang berkenaan dengan penyajian bahan/materi
pelajaran secara sistematis dan metodologis serta didasarkan atas suatu pendekatan,
sehingga perbedaan pendekatan mengakibatkan perbedaan penggunaan metode. Jika
metode tersebut dikaitkan dengan pendidikan Islam, dapat membawa arti metode
sebagai jalan pembinaan pengetahuan, sikap dan tingkah laku sehingga terlihat dalam
pribadi subjek dan obyek pendidikan, yaitu pribadi Islami. Selain itu, metode dapat
membawa arti sebagai cara untuk memahami, menggali dan mengembangkan ajaran
Islam, sehingga terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.(Nata, 2001:
91).
Metode, merupakan alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan pendidikan. Alat
ini mempunyai dua fungsi ganda, yaitu polipragmatis dan monopragmatis.
Polipragmatis, bilamana metode mengandung kegunaan yang serba ganda, misalnya
suatu metode tertentu pada suatu situasi kondisi tertentu dapat digunakan membangun
dan memperbaiki. Kegunaannya dapat tergantung pada si pemakai atau pada corak,
bentuk dan kemampuan dari metode sebagai alat. Sebaliknya monopragmatis,
bilamana metode mengandung satu macam kegunaan untuk satu macam tujuan.
Penggunaannya mengandung implikasi bersifat konsisten, sistematis dan
kebermaknaan menurut kondisi sasarannya. Mengingat sasaran metode adalah
manusia, maka pendidik dituntut untuk berhati-hati dalam penerapannya.
Metode pendidikan yang tidak tepat guna akan menjadi penghalang kelancaran
jalannya proses pembelajaran, sehingga banyak tenaga dan waktu terbuang sia-sia.
Oleh karena itu, metode yang diterapkan oleh seorang guru baru berdaya guna dan
berhasil guna, jika mampu dipergunakan untuk mencapai tujuan pendidikan yang
ditetapkan. Dalam pendidikan Islam, metode yang tepat guna adalah metode yang
mengandung nilai nilai instrinsik dan ekstrinsik, sejalan dengan materi pelajaran dan
secara fungsional dapat dipakai untuk merealisasikan nilai-nilai ideal yang terkandung
dalam tujuan pendidikan Islam. (Arifin, 1996: 197). Nahlawi (1996: 204),
mengatakan metode pendidikan Islam adalah metode dialog, metode kisah Qur’ani
dan Nabawi, metode perumpamaan Qur’ani dan Nabawi, metode keteladanan, metode
aplikasi dan pengamalan, metode ibrah dan nasihat serta metode tarģîb dan tarhîb.
Berdasarkan rumusan-rumusan di atas, dapat dipahami bahwa metode pendidikan
Islam adalah berbagai cara yang digunakan oleh pendidik muslim, sebagai jalan
pembinaan pengetahuan, sikap dan tingkah laku, sehingga nilai-nilai Islami dapat
terlihat dalam pribadi peserta didik (subjek dan obyek pendidikan).

2. Hadis-hadis Tentang Metode Pendidikan dalam Lingkup Makro


a. Metode Keteladanan.
‫ن َأِبببي‬ْ ‫عب‬َ ‫ي‬ّ ‫سبَلْيٍم الّزَرِقب‬
ُ ‫ن‬ِ ‫عْمبِرو ْبب‬ َ ‫ن‬ ْ‫ع‬ َ ‫ن الّزَبْيِر‬
ِ ‫ل ْب‬
ِّ ‫عْبِد ا‬
َ ‫ن‬ِ ‫عاِمِر ْب‬ َ ‫ن‬ ْ‫ع‬
َ ‫ك‬ ٌ ‫خَبَرَنا َماِل‬
ْ ‫ل َأ‬
َ ‫ف َقا‬َ ‫س‬ ُ ‫ن ُيو‬ ُ ‫ل ْب‬
ِّ ‫عْبُد ا‬َ ‫حّدَثَنا‬
َ
‫صببّلى‬َ ‫ل‬ ِّ ‫ل ا‬
ِ ‫سو‬ ُ ‫ت َر‬ ِ ‫ب ِبْن‬
َ ‫ت َزْيَن‬
َ ‫ل ُأَماَمَة ِبْن‬
ٌ ‫حاِم‬
َ ‫صّلي َوُهَو‬ َ ‫ن ُي‬ َ ‫سّلَم َكا‬َ ‫عَلْيِه َو‬
َ ‫ل‬ ُّ ‫صّلى ا‬َ ‫ل‬ ِّ ‫ل ا‬
َ ‫سو‬ ُ ‫ن َر‬ّ ‫ي َأ‬ّ ‫صاِر‬ َ ‫لْن‬ َْ ‫َقَتاَدَة ا‬
‫حَمَلَهبببا‬
َ ‫ضبببَعَها َوِإَذا َقببباَم‬
َ ‫جَد َو‬ َ ‫سببب‬
َ ‫س َفبببِإَذا‬ٍ ْ‫شبببم‬
َ ‫عْببببِد‬
َ ‫ن‬ ِ ‫ن َرِبيَعبببَة ْبببب‬
ِ ‫ص ْبببب‬ِ ‫لِببببي اْلَعبببا‬ َِ ‫سبببّلَم َو‬
َ ‫عَلْيبببِه َو‬
َ ‫لببب‬ ُّ ‫ا‬.
Artinya: Hadis dari Abdullah ibn Yusuf, katanya Malik memberitakan pada kami dari
Amir ibn Abdullah ibn Zabair dari ‘Amar ibn Sulmi az-Zarâqi dari Abi Qatadah al-
Anshâri, bahwa Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam. salat sambil membawa
Umâmah binti Zainab binti Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam. dari
(pernikahannya) dengan Abu al-Ash ibn Rabi’ah ibn Abdu Syams. Bila sujud, beliau
menaruhnya dan bila berdiri beliau menggendongnya. (al-Bukhari, 1987, I: 193)

Hadis di atas tergolong syarîf marfû’ dengan kualitas perawi yang sebagian terdiri
dari şiqah mutqinũn, ra’su mutqinũn, şiqah dan perawi bernama Qatadah adalah
sahabat Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam. (CD Room, Kutub at-Tis’ah).
Menurut al-Asqalâni, ketika itu orang-orang Arab sangat membenci anak perempuan.
Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam memberitahukan pada mereka tentang
kemuliaan kedudukan anak perempuan. Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam
memberitahukannya dengan tindakan, yaitu dengan menggendong Umamah (cucu
Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam) di pundaknya ketika salat. Makna yang dapat
dipahami bahwa perilaku tersebut dilakukan Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam
untuk menentang kebiasaan orang Arab yang membenci anak perempuan. Rasulullah
saw. menyelisihi kebiasaan mereka, bahkan dalam salat sekalipun. (Al-Asqalani,
1379H: 591-592). Hamd, mengatakan bahwa pendidik itu besar di mata anak
didiknya, apa yang dilihat dari gurunya akan ditirunya, karena anak didik akan meniru
dan meneladani apa yang dilihat dari gurunya, maka wajiblah guru memberikan
teladan yang baik. (al-Hamd, 2002: 27).
Memperhatikan kutipan di atas dapat dipahami bahwa keteladanan mempunyai arti
penting dalam mendidik, keteladanan menjadi titik sentral dalam mendidik, kalau
pendidiknya baik, ada kemungkinan anak didiknya juga baik, karena murid meniru
gurunya. Sebaliknya jika guru berperangai buruk, ada kemungkinan anak didiknya
juga berperangai buruk.
Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam merepresentasikan dan mengekspresikan apa
yang ingin diajarkan melalui tindakannya dan kemudian menerjemahkan tindakannya
ke dalam kata-kata. Bagaimana memuja Allah subhanahu wata’ala, bagaimana
bersikap sederhana, bagaimana duduk dalam salat dan do’a, bagaimana makan,
bagaimana tertawa, dan lain sebagainya, menjadi acuan bagi para sahabat, sekaligus
merupakan materi pendidikan yang tidak langsung.
Mendidik dengan contoh (keteladanan) adalah satu metode pembelajaran yang
dianggap besar pengaruhnya. Segala yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallohu
‘alaihi wasallam. dalam kehidupannya, merupakan cerminan kandungan Alquran
secara utuh, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala berikut:
‫لقبببد كبببان لكبببم فبببي رسبببول الببب أسبببوة حسبببنة لمبببن كبببان يرجبببو الببب واليبببوم الخبببر وذكبببر الببب كبببثيرا‬.
Artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. 33: 21).

Al-Baidhawi (Juz 5: 9), memberi makna uswatun hasanah pada ayat di atas adalah
perbuatan baik yang dapat dicontoh. Dengan demikian, keteladanan menjadi penting
dalam pendidikan, keteladanan akan menjadi metode yang ampuh dalam membina
perkembangan anak didik. Keteladanan sempurna, adalah keteladanan Rasulullah
shallallohu ‘alaihi wasallam., yang dapat menjadi acuan bagi pendidik sebagai teladan
utama, sehingga diharapkan anak didik mempunyai figur pendidik yang dapat
dijadikan panutan.
Dengan demikian, keteladanan menjadi penting dalam pendidikan, keteladanan akan
menjadi metode yang ampuh dalam membina perkembangan anak didik. Keteladanan
sempurna, adalah keteladanan Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam, yang dapat
menjadi acuan bagi pendidik sebagai teladan utama, sehingga diharapkan anak didik
mempunyai figur pendidik yang dapat dijadikan panutan.

b. Metode lemah lembut/kasih sayang.


‫ن ِإْبَراِهيبَم‬ ُ ‫ل ْبب‬ ُ ‫سبَمِعي‬ ْ ‫حبّدَثَنا ِإ‬
َ ‫ل‬َ ‫ث َقبا‬ ِ ‫حبِدي‬َ ‫ظ اْل‬
ِ ‫شْيَبَة َوَتَقاَرَبا ِفي لَْف‬ َ ‫ن َأِبي‬ ُ ‫ح َوَأُبو َبْكِر ْب‬ ِ ‫صّبا‬ّ ‫ن ال‬ ُ ‫حّمُد ْب‬
َ ‫جْعَفٍر ُم‬ َ ‫حّدَثَنا َأُبو‬ َ
‫حَكبِم‬ َ ‫ن اْل‬ ِ ‫ن ُمَعاِوَيبَة ْبب‬ ْ ‫عب‬َ ‫سباٍر‬ َ ‫ن َي‬
ِ ‫طاِء ْب‬ َ‫ع‬َ ‫ن‬ ْ‫ع‬َ ‫ن َأِبي َمْيُموَنَة‬ ِ ‫ل ْب‬ ِ‫ل‬ َ ‫ن ِه‬ ْ‫ع‬ َ ‫ن َأِبي َكِثيٍر‬ ِ ‫حَيى ْب‬ْ ‫ن َي‬ْ‫ع‬ َ ‫ف‬ ِ ‫صّوا‬ ّ ‫ج ال‬ ٍ ‫جا‬ّ‫ح‬ َ ‫ن‬ ْ‫ع‬ َ
‫لب َفَرَمبباِني‬ ُّ ‫ك ا‬ َ ‫حُمب‬ َ ‫ت َيْر‬ ُ ‫ن اْلَقْوِم َفُقْلب‬
ْ ‫ل ِم‬ٌ‫ج‬ُ ‫س َر‬َ ‫ط‬ َ‫ع‬َ ‫سّلَم ِإْذ‬َ ‫عَلْيِه َو‬ َ ‫ل‬ ُّ ‫صّلى ا‬ َ ‫ل‬ ِّ ‫ل ا‬
ِ ‫سو‬ ُ ‫صّلي َمَع َر‬ َ ‫ل َبْيَنا َأَنا ُأ‬َ ‫ي َقا‬
ّ ‫سَلِم‬ ّ ‫ال‬
‫خبباِذِهْم َفَلّمببا َرَأْيُتُهبْم‬َ ‫عَلببى َأْف‬ َ ‫ن ِبَأْيبِديِهْم‬
َ ‫ضبِرُبو‬ْ ‫جَعُلببوا َي‬َ ‫ي َف‬ ّ ‫ن ِإَلب‬َ ‫ظبُرو‬ ُ ‫شْأُنُكْم َتْن‬َ ‫ل ُأّمَياْه َما‬
َ ‫ت َوا ُثْك‬ُ ‫صاِرِهْم َفُقْل‬ َ ‫اْلَقْوُم ِبَأْب‬
‫ل َبْعبَدُه‬ َ ‫ت ُمَعّلًمببا َقْبَلبُه َو‬ُ ‫سّلَم َفِبَأِبي ُهَو َوُأّمببي َمببا َرَأْيب‬َ ‫عَلْيِه َو‬َ ‫ل‬ ُّ ‫صّلى ا‬ َ ‫ل‬ ِّ ‫ل ا‬ ُ ‫سو‬ُ ‫صّلى َر‬ َ ‫ت َفَلّما‬ ّ ‫سَك‬ َ ‫صّمُتوَنِني َلِكّني‬ َ ‫ُي‬
ِ ‫ن َكلَِم الّنببا‬
‫س‬ ْ ‫يٌء ِم ب‬ ْ ‫ش‬َ ‫ح ِفيَها‬ ُ ‫صُل‬
ْ ‫ل َي‬ َ َ‫لة‬َ‫ص‬ ّ ‫ن َهِذِه ال‬ّ ‫ل ِإ‬َ ‫شَتَمِني َقا‬ َ ‫ل‬ َ ‫ضَرَبِني َو‬ َ ‫ل‬ َ ‫ل َما َكَهَرِني َو‬ ِّ ‫ن َتْعِليًما ِمْنُه َفَوا‬ َ‫س‬ َ‫ح‬ ْ ‫َأ‬
ِ ‫ح َوالّتْكِبيُر َوِقَراَءُة اْلُقْرآ‬
‫ن‬ ُ ‫سِبي‬
ْ ‫…ِإّنَما ُهَو الّت‬.

Artinya: Hadis dari Abu Ja’far Muhammad ibn Shabah dan Abu Bakr ibn Abi
Syaibah, hadis Ismail ibn Ibrahim dari Hajjâj as-Shawwâf dari Yahya ibn Abi Kaşir
dari Hilâl ibn Abi Maimũnah dari ‘Atha’ ibn Yasâr dari Mu’awiyah ibn Hakam as-
Silmiy, Katanya: Ketika saya salat bersama Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam.,
seorang dari jama’ah bersin maka aku katakan yarhamukallâh. Orang-orang mencela
saya dengan pandangan mereka, saya berkata: Celaka, kenapa kalian memandangiku?
Mereka memukul paha dengan tangan mereka, ketika saya memandang mereka,
mereka menyuruh saya diam dan saya diam. Setelah Rasul shallallohu ‘alaihi
wasallam. selesai salat (aku bersumpah) demi Ayah dan Ibuku (sebagai tebusannya),
saya tidak pernah melihat guru sebelumnya dan sesudahnya yang lebih baik
pengajarannya daripada beliau. Demi Allah beliau tidak membentak, memukul dan
mencela saya. Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam. (hanya) bersabda:
Sesungguhnya salat ini tidak boleh di dalamnya sesuatu dari pembicaraan manusia. Ia
hanya tasbîh, takbîr dan membaca Alquran. (Muslim, t.t, I: 381).

Hadis di atas tergolong syarîf marfũ’ dengan kualitas perawi yang sebagian tergolong
şiqah dan şiqah şubut. An-Nawâwi, dalam syarahnya mengatakan hadis ini
menunjukkan keagungan perangai Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam, dengan
memiliki sikap lemah lembut dan mengasihi orang yang bodoh (belum mengetahui
tata cara salat). Ini juga perintah agar pendidik berperilaku sebagaimana Rasulullah
shallallohu ‘alaihi wasallam. dalam mendidik.(an-Nawawi, 1401H, V: 20-21).
Pentingnya metode lemah lembut dalam pendidikan, karena materi pelajaran yang
disampaikan pendidik dapat membentuk kepribadian peserta didik. Dengan sikap
lemah lembut yang ditampilkan pendidik, peserta didik akan terdorong untuk akrab
dengan pendidik dalam upaya pembentukan kepribadian.

c. Metode deduktif.

ٍ‫ص بم‬ِ ‫عا‬ َ ‫ن‬ ِ ‫ص ْب ب‬ِ ‫حْف‬ َ ‫ن‬ ْ‫ع‬ َ ‫ن‬ ِ ‫حَم‬ ْ ‫عْبِد الّر‬
َ ‫ن‬ ُ ‫ب ْب‬
ُ ‫حّدَثِني خَُبْي‬َ ‫ل‬ َ ‫ل َقا‬
ِّ ‫عَبْيِد ا‬
ُ ‫ن‬ ْ‫ع‬ َ ‫حَيى‬ ْ ‫حّدَثَنا َي‬َ ‫ل‬َ ‫شاٍر ُبْنَداٌر َقا‬
ّ ‫ن َب‬
ُ ‫حّمُد ْب‬َ ‫حَّدَثَنا ُم‬
َ
ُ ‫لَمبباُم اْلَعباِد‬
‫ل‬ ِْ ‫ظّلبُه ا‬
ِ ‫ل‬ ّ ‫ل ِإ‬
ّ ‫ظب‬ِ ‫ل‬ َ ‫ظّلبِه َيبْوَم‬
ِ ‫لب ِفبي‬ ُّ ‫ظّلُهبْم ا‬
ِ ‫سبْبَعٌة ُي‬
َ ‫ل‬ َ ‫سّلَم َقا‬
َ ‫عَلْيِه َو‬
َ ‫ل‬ ُّ ‫صّلى ا‬ َ ‫ي‬ ّ ‫ن الّنِب‬
ْ‫ع‬َ ‫ن َأِبي ُهَرْيَرَة‬ ْ‫ع‬ َ
ٌ ‫جب‬
‫ل‬ ُ ‫عَلْيبِه َوَر‬َ ‫عَلْيبِه َوَتَفّرَقببا‬
َ ‫جَتَمَعببا‬ْ ‫لب ا‬ِّ ‫حاّبا ِفي ا‬َ ‫ن َت‬
ِ‫ل‬ َ‫ج‬ ُ ‫جِد َوَر‬ِ ‫سا‬ َ ‫ق ِفي اْلَم‬ ٌ ‫ل َقْلُبُه ُمَعّل‬
ٌ‫ج‬ُ ‫عَباَدِة َرّبِه َوَر‬
ِ ‫شَأ ِفي‬ َ ‫ب َن‬
ّ ‫شا‬ َ ‫َو‬
ٌ ‫جبب‬
‫ل‬ ُ ‫ق َيِميُنُه َوَر‬ُ ‫شَماُلُه َما ُتْنِف‬ِ ‫ل َتْعَلَم‬
َ ‫حّتى‬ َ ‫ق َأخَْفى‬ َ ‫صّد‬َ ‫ل َت‬ ٌ‫ج‬ ُ ‫ل َوَر‬ َّ ‫ف ا‬ُ ‫خا‬ َ ‫ل ِإّني َأ‬َ ‫ل َفَقا‬ ٍ ‫جَما‬
َ ‫ب َو‬ ٍ ‫ص‬ ِ ‫ت َمْن‬ُ ‫طَلَبْتُه اْمَرَأٌة َذا‬َ
‫عْيَنببببببببببببببببببببببببباُه‬ َ ‫ت‬ ْ ‫ضببببببببببببببببببببببببب‬ َ ‫خاِلًيبببببببببببببببببببببببببا َفَفا‬ َ ‫لببببببببببببببببببببببببب‬ َّ ‫َذَكبببببببببببببببببببببببببَر ا‬.
Artinya: Hadis Muhammad ibn Basysyar ibn Dar, katanya hadis Yahya dari Abdullah
katanya hadis dari Khubâib ibn Abdurrahman dari Hafs ibn ‘Aśim dari Abu Hurairah
r.a., Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda: Tujuh orang yang akan
dinaungi oleh Allah di naungan-Nya yang tidak ada naungan kecuali naungan Allah;
pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh dalam keadaan taat kepada Allah; seorang
yang hatinya terikat dengan mesjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah
(mereka bertemu dan berpisah karena Allah), seorang yang diajak oleh wanita
terpandang dan cantik namun ia berkata ’saya takut kepada Allah’, seorang yang
menyembunyikan sadekahnya sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang
diberikan oleh tangan kanannya dan orang yang mengingat Allah dalam kesendirian
hingga air matanya mengalir. (al-Bukhari, t.t, I: 234).

Hadis di atas tergolong syarîf marfu’ dengan kualitas perawi yang sebagian tergolong
şiqah dan şiqah mutqin, sedangkan Abu Hurairah adalah sahabat Rasulullah
shallallohu ‘alaihi wasallam. Menurut Abi Jamrah, metode deduktif (memberitahukan
secara global) suatu materi pelajaran, akan memunculkan keingintahuan pelajar
tentang isi materi pelajaran, sehingga lebih mengena di hati dan memberi manfaat
yang lebih besar. (an-Andalusi, 1979, I: 97).
d. Metode perumpamaan
ّ ‫ن الّنِب ب‬
‫ي‬ ْ ‫عب‬
َ ‫عَم بَر‬ ُ ‫ن‬ ِ ‫ن اْب‬ْ‫ع‬
َ ‫ن َناِفٍع‬ْ‫ع‬ َ ‫ل‬ ِّ ‫عَبْيُد ا‬
ُ ‫حّدَثَنا‬ َ ‫ي‬ ّ ‫ب َيْعِني الّثَقِف‬ِ ‫عْبُد اْلَوّها‬
َ ‫خَبَرَنا‬ْ ‫ظ َلُه َأ‬ُ ‫ن اْلُمَثّنى َوالّلْف‬
ُ ‫حّمُد ْب‬
َ ‫حّدَثَنا ُم‬
َ
‫ن َتِعيُر ِإَلى َهِذهِ َمّرًة َوِإَلى َهِذِه َمّرًة‬ِ ‫ن اْلَغَنَمْي‬َ ‫شاِة اْلَعاِئَرِة َبْي‬ّ ‫ل ال‬
ِ ‫ق َكَمَث‬
ِ ‫ل اْلُمَناِف‬
ُ ‫ل َمَث‬
َ ‫سّلَم َقا‬
َ ‫عَلْيِه َو‬
َ ‫ل‬ ُّ ‫صّلى ا‬ َ .

Artinya; Hadis dari Muhammad ibn Mutsanna dan lafaz darinya, hadis dari Abdul
Wahhâb yakni as- Śaqafi, hadis Abdullah dari Nâfi’ dari ibn Umar, Nabi shallallohu
‘alaihi wasallam bersabda: Perumpamaan orang munafik dalam keraguan mereka
adalah seperti kambing yang kebingungan di tengah kambing-kambing yang lain. Ia
bolak balik ke sana ke sini. (Muslim, IV: 2146)

Hadis di atas tergolong syarîf marfu’ dengan kualitas perawi yang sebagian tergolong
şiqah dan şiqah şubut, şiqah hâfiz, sedangkan ibn Umar adalah sahabat Rasulullah
saw. Menurut ath-Thîby (1417H, XI: 2634), orang-orang munafik, karena mengikut
hawa nafsu untuk memenuhi syahwatnya, diumpamakan seperti kambing jantan yang
berada di antara dua kambing betina. Tidak tetap pada satu betina, tetapi berbolak
balik pada ke duanya. Hal tersebut diumpamakan seperti orang munafik yang tidak
konsisten dengan satu komitmen.
Perumpamaan dilakukan oleh Rasul shallallohu ‘alaihi wasallam sebagai satu metode
pembelajaran untuk memberikan pemahaman kepada sahabat, sehingga materi
pelajaran dapat dicerna dengan baik. Matode ini dilakukan dengan cara
menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain, mendekatkan sesuatu yang abstrak
dengan yang lebih konkrit. Perumpamaan yang digunakan oleh Rasulullah saw.
sebagai satu metode pembelajaran selalu syarat dengan makna, sehinga benar-benar
dapat membawa sesuatu yang abstrak kepada yang konkrit atau menjadikan sesuatu
yang masih samar dalam makna menjadi sesuatu yang sangat jelas.

e. Metode kiasan.

ِ‫عَلْي به‬
َ ‫لب‬ُّ ‫صبّلى ا‬ َ ‫ي‬ ّ ‫ت الّنِب ب‬
ْ ‫سَأَل‬
َ ً‫ن اْمَرَأة‬ ّ ‫شَة َأ‬َ ‫عاِئ‬َ ‫ن‬ ْ‫ع‬ َ ‫ن ُأّمِه‬
ْ‫ع‬َ ‫صِفّيَة‬َ ‫ن‬ ِ ‫صوِر ْب‬ ُ ‫ن َمْن‬ْ‫ع‬ َ ‫عَيْيَنَة‬
ُ ‫ن‬ُ ‫حّدَثَنا اْب‬
َ ‫ل‬َ ‫حَيى َقا‬
ْ ‫حّدَثَنا َي‬
َ
َ ‫طّه بُر َقببا‬
‫ل‬ َ ‫ف َأَت‬
َ ‫ت َكْي‬ ْ ‫طّهِري ِبَها َقاَل‬ َ ‫ك َفَت‬
ٍ‫س‬ ْ ‫ن َم‬ْ ِ‫صًة م‬ َ ‫خِذي ِفْر‬ ُ ‫ل‬َ ‫ل َقا‬ُ‫س‬ِ ‫ف َتْغَت‬
َ ‫ض َفَأَمَرَها َكْي‬ِ ‫حي‬ ِ ‫ن اْلَم‬ْ ‫سِلَها ِم‬
ْ‫غ‬ ُ ‫ن‬
ْ‫ع‬َ ‫سّلَم‬ َ ‫َو‬
‫ت َتَتّبِعبببي ِبَهبببا َأَثبببَر البببّدِم‬
ُ ‫ي َفُقْلببب‬
ّ ‫جَتَببببْذُتَها ِإَلببب‬
ْ ‫طّهبببِري َفا‬
َ ‫لببب َت‬ِّ ‫ن ا‬
َ ‫حا‬َ ‫سبببْب‬
ُ ‫ل‬ َ ‫ف َقبببا‬
َ ‫ت َكْيببب‬ْ ‫طّهبببِري ِبَهبببا َقببباَل‬َ ‫…َت‬.
Artinya: Hadis Yahya, katanya hadis ‘Uyainah dari Mansyur ibn Shafiyyah dari
Ibunya dari Aisyah, seorang wanita bertanya pada Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam
tentang bersuci dari haid. Aisyah menyebutkan bahwa Rasul shallallohu ‘alaihi
wasallam mengajarkannya bagaimana cara mandi. Kemudian kamu mengambil
secarik kain dan memberinya minyak wangi dan bersuci dengannya. Ia bertanya,
bagaimana aku bersuci dengannya? Sabda Rasul shallallohu ‘alaihi wasallam. Kamu
bersuci dengannya. Subhânallah, beliau menutup wajahnya. Aisyah mengatakan
telusurilah bekas darah (haid) dengan kain itu. (al-Bukhari, I: 119)

Hadis di atas tergolong syarîf marfu’ dengan kualitas perawi yang sebagian tergolong
şiqah dan şiqah hâfiz, sedangkan Aisyah adalah istri Rasulullah shallallohu ‘alaihi
wasallam. Ibn Hajar, memberi komentar terhadap hadis ini dengan mengatakan ini
adalah dalil tentang disunnahkannya menggunkan kiasan/sindiran pada hal-hal yang
berkenaan dengan aurat dan bimbingan untuk masalah-masalah yang dianggap aib.
(al-Asqalani, I: 415-416). Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, mengatakan cara
mempergunakan kiasan dalam pembelajaran, yaitu:
1) Rayuan dalam nasehat, seperti memuji kebaikan anak didik, dengan tujuan agar
lebih meningkatkan kualitas akhlaknya, dengan mengabaikan membicarakan
keburukannya.
2) Menyebutkan tokoh-tokoh agung umat Islam masa lalu, sehingga membangkitkan
semangat mereka untuk mengikuti jejak mereka.
3) Membangkitkan semangat dan kehormatan anak didik.
4) Sengaja menyampaikan nasehat di tengah anak didik.
5) Menyampaikan nasehat secara tidak langsung/ melalui kiasan.
6) Memuji di hadapan orang yang berbuat kesalahan, orang yang mengatakan sesuatu
yang berbeda dengan perbuatannya. Merupakan cara mendorong seseorang untuk
berbuat kebajikan dan meninggalkan keburukan.

f. Metode memberi kemudahan.


ّ ‫ن الّنِبب‬
‫ي‬ ْ ‫عب‬
َ ‫ك‬
ٍ ‫ن َماِلب‬
ِ ‫س ْب‬
ِ ‫ن َأَن‬
ْ‫ع‬
َ ‫ح‬
ِ ‫حّدَثِني َأُبو الّتّيا‬
َ ‫ل‬
َ ‫شْعَبُة َقا‬
ُ ‫حّدَثَنا‬
َ ‫ل‬
َ ‫سِعيٍد َقا‬
َ ‫ن‬
ُ ‫حَيى ْب‬
ْ ‫حّدَثَنا َي‬
َ ‫ل‬ َ ‫شاٍر َقا‬ّ ‫ن َب‬
ُ ‫حّمُد ْب‬
َ ‫حّدَثَنا ُم‬
َ
‫شُروا َول ُتَنّفُروا وكان يحب التخفيف والتسري على الناس‬ ّ ‫سُروا َوَب‬
ّ ‫سُروا َول ُتَع‬ّ ‫ل َي‬
َ ‫سّلَم َقا‬َ ‫عَلْيِه َو‬
َ ‫ل‬ُّ ‫صّلى ا‬ َ .

Artinya: Hadis Muhammad ibn Basysyar katanya hadis Yahya ibn Sâ’id katanya
hadis Syu’bah katanya hadis Abu Tayyâh dari Anas ibn Malik dari Nabi saw.
Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda: Mudahkanlah dan jangan
mempersulit. Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam suka memberikan keringanan
kepada manusia.(al-Bukhari, I: 38)

Hadis di atas tergolong syarîf marfu’ dengan kualitas perawi yang sebagian tergolong
şiqah dan şiqah hâfiz, Anas adalah sahabat Rasul shallallohu ‘alaihi wasallam. Ibnu
Hajar al-Asqalâni mengomentari hadis tersebut dengan mengatakan pentingnya
memberikan kemudahan bagi pelajar yang memiliki kesungguhan dalam belajar, (al-
Asqalani, I: 62) dalam arti mengajarkan ilmu pengetahuan harus mempertimbangkan
kemampuan si pelajar.
Sebagai pendidik, Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam. tidak pernah mempersulit,
dengan harapan para sahabat memiliki motivasi yang kuat untuk tetap meningkatkan
aktivitas belajar .

g. Metode perbandingan.
‫حبّدَثَنا‬َ ‫شبٍر ح و‬ ْ ‫ن ِب‬ ُ ‫حّمبُد ْبب‬َ ‫حبّدَثَنا َأِبببي َوُم‬ َ ‫ن ُنمَْيٍر‬ُ ‫حّدَثَنا اْب‬َ ‫سحو‬ َ ‫ن ِإْدِري‬ ُ ‫ل ْب‬ِّ ‫عْبُد ا‬
َ ‫حّدَثَنا‬َ ‫شْيَبَة‬ َ ‫ن َأِبي‬ ُ ‫حّدَثَنا َأُبو َبْكِر ْب‬
َ
‫خاِلبٍد‬ َ ‫ن َأِبببي‬ ِ ‫ل ْب‬
َ ‫سَمِعي‬ ْ ‫ن ِإ‬
ْ‫ع‬ َ ‫ساَمَة ُكّلُهْم‬ َ ‫حّدَثَنا َأُبو ُأ‬َ ‫ن َراِفٍع‬ ُ ‫حّمُد ْب‬َ ‫حّدَثِني ُم‬َ ‫نحو‬ َ ‫عَي‬ْ ‫ن َأ‬
ُ ‫سى ْب‬ َ ‫خَبَرَنا ُمو‬ ْ ‫حَيى َأ‬ْ ‫ن َي‬ُ ‫حَيى ْب‬ ْ ‫َي‬
‫خببا َبِنببي‬ َ ‫سَتْوِرًدا َأ‬ْ ‫ت ُم‬ ُ ‫سِمْع‬ َ ‫ل‬ َ ‫س َقا‬ٌ ‫حّدَثَنا َقْي‬َ ‫ل‬ُ ‫سَمِعي‬ْ ‫حّدَثَنا ِإ‬َ ‫سِعيٍد‬ َ ‫ن‬ُ ‫حَيى ْب‬ ْ ‫حّدَثَنا َي‬
َ ‫ظ َلُه‬ ُ ‫حاِتٍم َوالّلْف‬ َ ‫ن‬ ُ ‫حّمُد ْب‬َ ‫حّدَثِني ُم‬ َ ‫حو‬
‫شبباَر‬ َ ‫صَبَعُه َهِذِه َوَأ‬ ْ ‫حُدُكْم ِإ‬ َ ‫ل َأ‬ُ ‫جَع‬ْ ‫ل َما َي‬
ُ ‫ل ِمْث‬ ّ ‫خَرِة ِإ‬ِ‫ل‬ْ ‫ل َما الّدْنَيا ِفي ا‬ ِّ ‫سّلَم َوا‬َ ‫عَلْيِه َو‬
َ ‫ل‬ ُّ ‫صّلى ا‬ َ ‫ل‬ ِّ ‫ل ا‬ ُ ‫سو‬ ُ ‫ل َر‬ َ ‫ل َقا‬ُ ‫ِفْهٍر َيُقو‬
ُ ‫سّلَم َيُقو‬
‫ل‬ َ ‫عَلْيِه َو‬
َ ‫ل‬ ُّ ‫صّلى ا‬ َ ‫ل‬ ِّ ‫ل ا‬ َ ‫سو‬ُ ‫ت َر‬ ُ ‫سِمْع‬ َ ‫حَيى‬ ْ ‫غْيَر َي‬ َ ‫جِميًعا‬ َ ‫حِديِثِهْم‬
َ ‫جُع َوِفي‬ ِ ‫ظْر ِبَم َتْر‬ ُ ‫سّباَبِة ِفي اْلَيّم َفْلَيْن‬ّ ‫حَيى ِبال‬ ْ ‫َي‬
‫لْبَهاِم‬ ِْ ‫ل ِبا‬
ُ ‫سَمِعي‬ ْ ‫شاَر ِإ‬ َ ‫ل َوَأ‬َ ‫ضا َقا‬ً ‫حِديِثِه َأْي‬َ ‫خي َبِني ِفْهٍر َوِفي‬ ِ ‫شّداٍد َأ‬
َ ‫ن‬ ِ ‫سَتْوِرِد ْب‬ْ ‫ن اْلُم‬ْ‫ع‬ َ ‫ساَمَة‬ َ ‫ث َأِبي ُأ‬ ِ ‫حِدي‬ َ ‫ك َوِفي‬ َ ‫َذِل‬.

Artinya: Hadis Abu Bakr ibn Abi Syaibah, hadis Abdullah ibn Idris, Hadis ibn
Numair, hadis Abi Muhammad ibn Bisyr, hadis Yahya ibn Yahya, khabar dari Musa
ibn A’yân, hadis Muhammad ibn Rafi’, hadis Abu Usamah dari Ismail ibn Abi
Khalid, hadis Muhammad ibn Hatim dan lafaz darinya, hadis Yahya ibn Sa’id, hadis
Ismâil, hadis Qâis katanya aku mendengar Mustaurid saudara dari bani Fihrin
katanya, Rasul shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda: Demi Allah tidaklah dunia
dibandingkan dengan akhirat kecuali seperti seorang yang menaruh jarinya ini, beliau
menunjuk kepada telunjuknya di laut, kemudian perhatikan apa yang tersisa di
telunjuknya. (Muslim, IV: 3193)

Hadis di atas tergolong syarif marfu’ dengan kualitas perawi yang sebagian tergolong
şiqah dan şiqah hafiz, şiqah şubut dan śaduq. Imam an-Nawâwi memberi komentar
pada hadis ini, dengan ungkapan” akhirat dibandingkan dengan dunia, dalam hal
waktunya dunia itu singkat dan kenikmatannya yang sirna, sedangkan akhirat serba
abadi, sebagaimana perbandingan antara air yang lengket pada jari dibanding dengan
sisanya di lautan. (an-Nawawi, XVII: 192-193)
Makna hadis di atas yaitu pentingnya metode perbandingan dalam pendidikan,
sehingga potensi jasmaniah dan rohaniah si pembelajar dapat memahami hal-hal yang
memiliki perbedaan antara suatu permasalahan dengan lainnya.

3. Hadis-hadis Tentang Metode Pendidikan dalam Lingkup Mikro


a. Metode tanya jawab
ِ ‫حّمبِد ْبب‬
‫ن‬ َ ‫ن ُم‬ْ ‫عب‬ َ ‫ن اْلَهبباِد‬
ِ ‫ن اْبب‬ ْ ‫عب‬َ ‫لُهَمببا‬َ ‫ضبَر ِك‬ َ ‫ن ُم‬ َ ‫حّدَثَنا َبْكبٌر َيْعِنببي اْبب‬َ ‫ل ُقَتْيَبُة‬
َ ‫ث ح َوَقا‬ ٌ ‫حّدَثَنا َلْي‬
َ ‫سِعيٍد‬َ ‫ن‬ ُ ‫حّدَثَنا ُقَتْيَبُة ْب‬
َ
‫ث َبْكٍر َأّنببُه‬ِ ‫حِدي‬ َ ‫ل َوِفي‬ َ ‫سّلَم َقا‬
َ ‫عَلْيِه َو‬
َ ‫ل‬ُّ ‫صّلى ا‬ َ ‫ل‬ ِّ ‫ل ا‬َ ‫سو‬ُ ‫ن َر‬ ّ ‫ن َأِبي ُهَرْيَرَة َأ‬ ْ‫ع‬ َ ‫ن‬ِ ‫حَم‬ ْ ‫عْبِد الّر‬َ ‫ن‬ِ ‫سَلَمَة ْب‬
َ ‫ن َأِبي‬ ْ‫ع‬َ ‫ِإْبَراِهيَم‬
‫ل َيْبَقى‬ْ ‫ت َه‬ ٍ ‫س َمّرا‬ َ ‫خْم‬ َ ‫ل َيْوٍم‬ ّ ‫ل ِمْنُه ُك‬
ُ‫س‬ ِ ‫حِدُكْم َيْغَت‬َ ‫ب َأ‬
ِ ‫ن َنْهًرا ِبَبا‬ّ ‫ل َأَرَأْيُتْم َلْو َأ‬
ُ ‫سّلَم َيُقو‬
َ ‫عَلْيِه َو‬
َ ‫ل‬
ُّ ‫صّلى ا‬ َ ‫ل‬ ِّ ‫ل ا‬ َ ‫سو‬ ُ ‫سِمَع َر‬ َ
‫طاَيا‬
َ‫خ‬ َ ‫ن اْل‬ّ ‫ل ِبِه‬
ُّ ‫حو ا‬ُ ‫س َيْم‬ِ ‫خْم‬ َ ‫ت اْل‬ِ ‫صَلَوا‬ّ ‫ل ال‬ ُ ‫ك َمَث‬َ ‫ل َفَذِل‬
َ ‫يٌء َقا‬
ْ ‫ش‬َ ‫ن َدَرِنِه‬ ْ ‫ل َيْبَقى ِم‬ َ ‫يٌء َقاُلوا‬ ْ ‫ش‬ َ ‫ن َدَرِنِه‬ْ ‫ِم‬.

Artinya: Hadis Qutaibah ibn Sa’id, hadis Lâis kata Qutaibah hadis Bakr yaitu ibn
Mudhar dari ibn Hâd dari Muhammad ibn Ibrahim dari Abi Salmah ibn Abdurrahmân
dari Abu Hurairah radhiallohu ‘anhu. Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam
bersabda; Bagaimana pendapat kalian seandainya ada sungai di depan pintu salah
seorang di antara kalian. Ia mandi di sana lima kali sehari. Bagaimana pendapat
kalian? Apakah masih akan tersisa kotorannya? Mereka menjawab, tidak akan tersisa
kotorannya sedikitpun. Beliau bersabda; Begitulah perumpamaan salat lima waktu,
dengannya Allah menghapus dosa-dosa. (Muslim, I: 462-463)

Hadis di atas tergolong syarîf marfu’ dengan kualitas perawi yang sebagian tergolong
şiqah dan şiqah şubut, sedangkan Abu Hurairah adalah sahabat Rasulullah shallallohu
‘alaihi wasallam. Metode bertanya ini untuk mengajak si pendengar agar fokus
dengan pembahasan. Misalnya kata; ”bagaimana pendapat kalian?” adalah pertanyaan
yang diajukan untuk meminta informasi. Maksudnya beritahukan padaku, apakah
masih tersisa?. Menurut at-Thiiby, sebagaimana dikutip al-Asqalâni, menjelaskan
lafaz ”‫ ”لو‬dalam hadis tersebut memberi makna perumpamaan. (al-Asqalani, I: 462).
Metode tanya jawab, apakah pembicaraan antara dua orang atau lebih, dalam
pembicaraan tersebut mempunyai tujuan dan topik tertentu. Metode dialog berusaha
menghubungkan pemikiran seseorang dengan orang lain, serta mempunyai manfaat
bagi pelaku dan pendengarnya.(an-Nahlawi, 1996: 205). Uraian tersebut memberi
makna bahwa dialog dilakukan oleh seseorang dengan orang lain, baik mendengar
langsung atau melalui bacaan. Nahlawi, mengatakan pembaca dialog akan mendapat
keuntungan berdasarkan karakteristik dialog, yaitu topik dialog disajikan dengan pola
dinamis sehingga materi tidak membosankan, pembaca tertuntun untuk mengikuti
dialog hingga selesai. Melalui dialog, perasaan dan emosi akan terbangkitkan, topik
pembicaraan disajikan bersifat realistik dan manusiawi. Dalam Alquran banyak
memberi informasi tentang dialog, di antara bentuk-bentuk dialog tersebut adalah
dialog khitâbi, ta’abbudi, deskritif, naratif, argumentatif serta dialog nabawiyah.
Metode tanya jawab, sering dilakukan oleh Rasul saw. dalam mendidik akhlak para
sahabat. Dialog akan memberi kesempatan kepada peserta didik untuk bertanya
tentang sesuatu yang tidak mereka pahami. Pada dasarnya metode tanya jawab adalah
tindak lanjut dari penyajian ceramah yang disampaikan pendidik. Dalam hal
penggunaan metode ini, Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam. menanyakan kepada
para sahabat tentang penguasaan terhadap suatu masalah.
b. Metode Pengulangan.
‫لب‬
ُّ ‫صبّلى ا‬ َ ‫لب‬ ِّ ‫ل ا‬َ ‫سببو‬ ُ ‫ت َر‬ُ ‫سبِمْع‬
َ ‫ل‬ َ ‫ن َأِبيِه َقببا‬
ْ‫ع‬
َ ‫حّدَثِني َأِبي‬ َ ‫ل‬َ ‫حِكيٍم َقا‬َ ‫ن‬ِ ‫ن َبْهِز ْب‬
ْ‫ع‬َ ‫حَيى‬
ْ ‫حّدَثَنا َي‬
َ ‫سْرَهٍد‬
َ ‫ن ُم‬
ُ ‫سّدُد ْب‬
َ ‫حّدَثَنا ُم‬
َ
‫ل َلُه‬
ٌ ‫ك ِبِه اْلَقْوَم َوْيلٌ َلُه َوْي‬
َ‫ح‬ِ‫ض‬ْ ‫ب ِلُي‬
ُ ‫ث َفَيْكِذ‬ ُ ‫حّد‬
َ ‫ل ِلّلِذي ُي‬
ٌ ‫ل َوْي‬
ُ ‫سّلَم َيُقو‬
َ ‫عَلْيِه َو‬
َ.

Artinya: Hadis Musaddad ibn Musarhad hadis Yahya dari Bahzâ ibn Hâkim, katanya
hadis dari ayahnya katanya ia mendengar Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam
bersabda: Celakalah bagi orang yang berbicara dan berdusta agar orang-orang
tertawa. Kecelakaan baginya, kecelakaan baginya. (As-Sijistani, t.t, II: 716).

Hadis di atas tergolong syarîf marfu’ dengan kualitas perawi yang sebagian tergolong
şiqah dan şiqah hafiz, şiqah sadũq. Rasulullah saw. mengulang tiga kali perkataan
”celakalah”, ini menunjukkan bahwa pembelajaran harus dilaksanakan dengan baik
dan benar, sehingga materi pelajaran dapat dipahami dan tidak tergolong pada orang
yang merugi.
Satu proses yang penting dalam pembelajaran adalah pengulangan/latihan atau
praktek yang diulang-ulang. Baik latihan mental dimana seseorang membayangkan
dirinya melakukan perbuatan tertentu maupun latihan motorik yaitu melakukan
perbuatan secara nyata merupakan alat-alat bantu ingatan yang penting. Latihan
mental, mengaktifkan orang yang belajar untuk membayangkan kejadian-kejadian
yang sudah tidak ada untuk berikutnya bayangan-bayangan ini membimbing latihan
motorik. Proses pengulangan juga dipengaruhi oleh taraf perkembangan seseorang.
Kemampuan melukiskan tingkah laku dan kecakapan membuat model menjadi kode
verbal atau kode visual mempermudah pengulangan. Metode pengulangan dilakukan
Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam. ketika menjelaskan sesuatu yang penting
untuk diingat para sahabat.

c. Metode demonstrasi
ٌ‫حبّدَثَنا َماِلبك‬ َ ‫ل‬ َ ‫لَببَة َقبا‬َ ‫ن َأِبي ِق‬ْ‫ع‬َ ‫ب‬ ُ ‫حّدَثَنا َأّيو‬ َ ‫ل‬ َ ‫ب َقا‬ِ ‫اْلَوّها‬ ‫عْبُد‬
َ ‫َحّدَثَنا ُمَحّمُد ْبُن اْلُمَثّنى َقاَل َحّدَثَنا‬
‫ن َيْوًمببا‬ َ ‫شبِري‬ ْ‫ع‬ ِ ‫عْنبَدُه‬ِ ‫ن َفَأَقْمَنببا‬
َ ‫شَبَبٌة ُمَتَقبباِرُبو‬
َ ‫ن‬ ُ‫ح‬ ْ ‫سّلَم َوَن‬
َ ‫عَلْيِه َو‬ َ ‫ل‬ ُّ ‫صّلى ا‬َ ‫ي‬ ّ ‫َأَتْيَنا ِإَلى الّنِب‬
‫ش بَتَهْيَنا َأْهَلَنببا‬
ْ ‫ن َأّنا َق بْد ا‬
ّ‫ظ‬ َ ‫حيًما َرِفيًقا َفَلّما‬ ِ ‫سّلَم َر‬
َ ‫عَلْيِه َو‬ َ ‫ل‬ ُّ ‫صّلى ا‬ َ ‫ل‬ ِّ ‫ل ا‬
ُ ‫سو‬ ُ ‫ن َر‬ َ ‫َوَلْيَلًة َوَكا‬
‫جُعببوا ِإَلببى َأْهِليُكبْم َفبَأِقيُموا ِفيِهبْم‬ ِ ‫ل اْر‬ َ ‫خَبْرَنباُه َقبا‬
ْ ‫ن َتَرْكَنببا َبْعبَدَنا َفَأ‬ْ ‫عّم‬
َ ‫سَأَلَنا‬
َ ‫شَتْقَنا‬
ْ ‫َأْو َقْد ا‬
‫صّلي‬ َ ‫صّلوا َكَما َرَأْيُتُموِني ُأ‬ َ ‫ظَها َو‬ ُ ‫حَف‬ ْ ‫ظَها َأْو ل َأ‬ ُ ‫حَف‬ْ ‫شَياَء َأ‬ْ ‫عّلُموُهْم َوُمُروُهْم َوَذَكَر َأ‬ َ ‫َو‬.
Artinya: Hadis dari Muhammad ibn Muşanna, katanya hadis dari Abdul Wahhâb
katanya Ayyũb dari Abi Qilâbah katanya hadis dari Mâlik. Kami mendatangi
Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam dan kami pemuda yang sebaya. Kami tinggal
bersama beliau selama (dua puluh malam) 20 malam. Rasulullah saw adalah seorang
yang penyayang dan memiliki sifat lembut. Ketika beliau menduga kami ingin pulang
dan rindu pada keluarga, beliau menanyakan tentang orang-orang yang kami
tinggalkan dan kami memberitahukannya. Beliau bersabda; kembalilah bersama
keluargamu dan tinggallah bersama mereka, ajarilah mereka dan suruhlah mereka.
Beliau menyebutkan hal-hal yang saya hapal dan yang saya tidak hapal. Dan salatlah
sebagaimana kalian melihat aku salat. (al-Bukhari, I: 226)

Hadis di atas tergolong syarîf marfu’ dengan kualitas perawi yang sebagian tergolong
şiqah dan şiqah kaşir, şiqah şubut. Hadis ini sangat jelas menunjukkan tata cara salat
Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam kepada sahabat, sehingga para sahabat
dipesankan oleh Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam agar salat seperti yang
dicontohkan olehnya.
Menurut teori belajar sosial, hal yang amat penting dalam pembelajaran ialah
kemampuan individu untuk mengambil intisari informasi dari tingkah laku orang lain,
memutuskan tingkah laku mana yang akan diambil untuk dilaksanakan. Dalam
pandangan paham belajar sosial, sebagaimana dikemukakan Grendler (1991: 369),
orang tidak dominan didorong oleh tenaga dari dalam dan tidak oleh stimulus-
stimulus yang berasal dari lingkungan. Tetapi sebagai interaksi timbal balik yang
terus-menerus yang terjadi antara faktor-faktor penentu pribadi dan lingkungannya.
Metode demonstrasi dimaksudkan sebagai suatu kegiatan memperlihatkan suatu
gerakan atau proses kerja sesuatu. Pekerjaannya dapat saja dilakukan oleh pendidik
atau orang lain yang diminta mempraktekkan sesuatu pekerjaan. Metode demonstrasi
dilakukan bertujuan agar pesan yang disampaikan dapat dikerjakan dengan baik dan
benar.
Metode demonstrasi dapat dipergunakan dalam organisasi pelajaran yang bertujuan
memudahkan informasi dari model (model hidup, model simbolik, deskripsi verbal)
kepada anak didik sebagai pengamat. Sebagai contoh dipakai mata pelajaran Pikih
kelas II pada madrasah Tsanawiyah yang membahas pelaksanaan shalat Zuhur.
Kompetensi Dasar (KD) dari pokok bahasan tersebut adalah: “Siswa dapat
melaksanaan ibadah shalat Zuhur setelah mengamati dan mempraktekkan berdasarkan
model yang ditentukan”. Untuk mencapai tujuan pembelajaran, dibutuhkan beberapa
kemampuan yang harus dikuasai anak didik dalam indikator pencapaian, yaitu :
1) Kemampuan gerakan (melakukan posisi berdiri tegak menghadap kiblat,
mengangkat tangan sejajar dengan telinga ketika takbiratul ihram, membungkuk
dengan memegang lutut ketika ruku’, melakukan i’tidal, melakukan sujud dengan
kening menempel di sajadah, melakukan duduk di antara dua sujud, melakukan duduk
tahyat akhir yang agak berbeda dengan duduk di antara dua sujud, melakukan salam
dengan menoleh ke kanan dan kiri.
2) Kemampuan membaca bacaan salat (bacaan surat al-Fatihah, bacaan ayat Alquran,
bacaan ruku’, bacaan berdiri i’tidâl, bacaan sujud, bacaan duduk antara dua sujud,
bacaan tahyat awal dan akhir.
3) Menganalisis tingkah laku yang dimodelkan. Tingkah laku yang dimodelkan sesuai
dengan bahan pelajaran adalah ‘motorik” meliputi keterampilan dalam gerakan salat
dan kemampuan membaca bacaan shalat.
4) Menunjukkan model. Gerakan dalam salat dilakukan berdasarkan urut-urutannya
(prosedural) dan bacaan dalam salat diucapkan dengan baik dan benar berdasarkan
tata cara membaca Alquran (ilmu tajwid).
5) Memberikan kesempatan pada siswa untuk mempraktekkan dengan umpan balik
yang dapat dilihat, tiap anak didik mempraktekkan kembali gerakan shalat Zuhur
yang ditunjukkan oleh model seiring dengan aba-aba prosedur yang diberikan guru.
Demikian pula dengan bacaan salat dapat dipraktekkan anak didik.
6) Memberikan reinforcement dan motivasi. Guru memberikan penguatan pada anak
didik yang telah berhasil melakukan gerakan dengan baik dan benar dan mengarahkan
serta memperbaiki gerakan dan bacaan anak didik yang belum sesuai.

d. Metode eksperimen

‫ل ِإَلببى‬
ٌ ‫جب‬ُ ‫جبباَء َر‬
َ ‫ل‬ َ ‫ن َأِبيبِه َقببا‬
ْ ‫عب‬ َ ‫ن َأْببَزى‬ ِ ‫ن ْب‬
ِ ‫حَم‬ ْ ‫عْبِد الّر‬ َ ‫ن‬ِ ‫سِعيِد ْب‬
َ ‫ن‬ ْ‫ع‬ َ ‫ن َذّر‬ ْ‫ع‬َ ‫حَكُم‬ َ ‫حّدَثَنا اْل‬
َ ‫شْعَبُة‬ ُ ‫حّدَثَنا‬
َ ‫ل‬ َ ‫حّدَثَنا آَدُم َقا‬
َ
‫س بَفٍر‬ َ ‫ب َأَما َتْذُكُر َأّنا ُكّنا ِفببي‬ ِ ‫طا‬ ّ‫خ‬َ ‫ن اْل‬ِ ‫سٍر ِلُعَمَر ْب‬ ِ ‫ن َيا‬ُ ‫عّماُر ْب‬ َ ‫ل‬َ ‫ب اْلَماَء َفَقا‬ْ ‫ص‬ ِ ‫ت َفَلْم ُأ‬ُ ‫جَنْب‬ْ ‫ل ِإّني َأ‬َ ‫ب َفَقا‬
ِ ‫طا‬ ّ‫خ‬ َ ‫ن اْل‬ ِ ‫عَمَر ْب‬
ُ
‫عَلْيبِه‬
َ ‫لب‬ ُّ ‫صّلى ا‬َ ‫ي‬ ّ ‫ل الّنِب‬َ ‫سّلَم َفَقا‬
َ ‫عَلْيِه َو‬
َ ‫ل‬ ُّ ‫صّلى ا‬ َ ‫ي‬ ّ ‫ت ِللّنِب‬
ُ ‫ت َفَذَكْر‬ُ ‫صّلْي‬َ ‫ت َف‬ ُ ‫ل َوَأّما َأَنا َفَتَمّعْك‬ّ‫ص‬َ ‫ت َفَلْم ُت‬َ ‫ت َفَأّما َأْن‬ َ ‫َأَنا َوَأْن‬
‫جَهُه‬
ْ ‫ح ِبِهَما َو‬َ‫س‬ َ ‫خ ِفيِهَما ُثّم َم‬ َ ‫ض َوَنَف‬َ ‫لْر‬ َْ ‫سّلَم ِبَكّفْيِه ا‬
َ ‫عَلْيِه َو‬َ ‫ل‬ُّ ‫صّلى ا‬ َ ‫ي‬ ّ ‫ب الّنِب‬
َ ‫ضَر‬َ ‫ك َهَكَذا َف‬ َ ‫ن َيْكِفي‬َ ‫سّلَم ِإّنَما َكا‬
َ ‫… َو‬.
Artinya: Hadis Adam, katanya hadis Syu’bah ibn Abdurrahmân ibn Abzâ dari
ayahnya, katanya seorang laki-laki datang kepada Umar ibn Khattâb, maka katanya
saya sedang janabat dan tidak menemukan air, kata Ammar ibn Yasir kepada Umar
ibn Khattâb, tidakkah anda ingat ketika saya dan anda dalam sebuah perjalanan,
ketika itu anda belum salat, sedangkan saya berguling-guling di tanah, kemudian saya
salat. Saya menceritakannya kepada Rasul shallallohu ‘alaihi wasallam kemudian
Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda: ”Sebenarnya anda cukup begini”.
Rasul memukulkan kedua telapak tangannya ke tanah dan meniupnya kemudian
mengusapkan keduanya pada wajah.(al-Bukhari, I: 129)

Hadis di atas tergolong syarîf marfu’ dengan kualitas perawi yang sebagian tergolong
şiqah dan şiqah hafiz, şiqah şubut. Menurut al-Asqalani, hadis ini mengajarkan
sahabat tentang tata cara tayammum dengan perbuatan. (Al-Asqalani, I: 444) Sahabat
Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam melakukan upaya pensucian diri dengan
berguling di tanah ketika mereka tidak menemukan air untuk mandi janabat. Pada
akhirnya Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallammemperbaiki ekperimen mereka
dengan mencontohkan tata cara bersuci menggunakan debu.

e. Metode pemecahan masalah.

‫لب‬
ُّ ‫صبّلى ا‬َ ‫لب‬ ِّ ‫ل ا‬ ُ ‫سبو‬
ُ ‫ل َر‬َ ‫ل َقبا‬
َ ‫عَمبَر َقبا‬
ُ ‫ن‬ ِ ‫ن اْب‬
ْ َ‫ن ِديَناٍر ع‬ ِ ‫ل ْب‬
ِّ ‫عْبِد ا‬
َ ‫ن‬ ْ‫ع‬َ ‫جْعَفٍر‬َ ‫ن‬ ُ ‫ل ْب‬ُ ‫عي‬
ِ ‫سَما‬
ْ ‫حّدَثَنا ِإ‬
َ ‫سِعيٍد‬َ ‫ن‬ُ ‫حّدَثَنا ُقَتْيَبُة ْب‬
َ
‫جِر اْلَببَواِدي‬َ ‫شب‬
َ ‫س ِفببي‬ ُ ‫ي َفَوَقَع الّنببا‬
َ ‫حدُّثوِني َما ِه‬ َ ‫سِلِم َف‬
ْ ‫ل اْلُم‬
ُ ‫ط َوَرُقَها َوِإّنَها َمَث‬ُ ‫سُق‬ْ ‫ل َي‬
َ ‫جَرًة‬َ‫ش‬ َ ‫جِر‬ َ‫ش‬ّ ‫ن ال‬
ْ ‫ن ِم‬ّ ‫سّلَم ِإ‬
َ ‫عَلْيِه َو‬ َ
‫خَلُة‬
ْ ‫ي الّن‬
َ ‫ل ِه‬
َ ‫ل َقا‬
ِّ ‫ل ا‬
َ ‫سو‬ ُ ‫ي َيا َر‬
َ ‫حّدْثَنا َما ِه‬
َ ‫ت ُثّم َقاُلوا‬
ُ ‫حَيْي‬ْ ‫سَت‬
ْ ‫خَلُة َفا‬
ْ ‫سي َأّنَها الّن‬ ِ ‫ل َوَوَقَع ِفي َنْف‬ِّ ‫عْبُد ا‬َ ‫ل‬َ ‫َقا‬.

Artinya: Hadis Quthaibah ibn Sâ’id, hadis Ismâil ibn Ja’far dari Abdullah ibn Dinar
dari Umar, sabda Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam. Sesungguhnya di antara
pepohonan itu ada sebuah pohon yang tidak akan gugur daunnya dan pohon dapat
diumpamakan sebagai seorang muslim, karena keseluruhan dari pohon itu dapat
dimanfaatkan oleh manusia. Cobalah kalian beritahukan kepadaku, pohon apakah itu?
Orang-orang mengatakan pohon Bawâdi. Abdullah berkata; Dalam hati saya ia adalah
pohon kurma, tapi saya malu (mengungkapkannya). Para sahabat berkata; beritahukan
kami wahai Rasulullah!. Sabda Rasul shallallohu ‘alaihi wasallam; itulah pohon
kurma.(al-Bukhari, I: 34).

Hadis di atas tergolong syarîf marfū’ dengan kualitas perawi yang sebagian tergolong
şiqah şubut, dan şiqah, sedangkan ibn Umar radhiallohu’anhuma. adalah sahabat
Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam. Al-Asqalâni (I:147), menyebutkan dengan
metode perumpamaan tersebut dapat menambah pemahaman, menggambarkannya
agar melekat dalam ingatan serta mengasah pemikiran untuk memandang
permasalahan yang terjadi. (al-Asqalani, I: 147). Metode tanya jawab berusaha
menghubungkan pemikiran seseorang dengan orang lain, serta mempunyai manfaat
bagi pelaku dan pendengarnya, melalui dialog, perasaan dan emosi pembaca akan
terbangkitkan, jika topik pembicaraan disajikan bersifat realistik dan manusiawi. (an-
Nahlawi, t.t.: 205) Uraian tersebut memberi makna bahwa dialog dilakukan oleh
seseorang dengan orang lain, baik mendengar langsung atau melalui bacaan.

f. Metode diskusi
ّ ‫ن َأِبببي هَُرْيبَرَة َأ‬
‫ن‬ ْ ‫عب‬َ ‫ن َأِبيبِه‬ْ ‫عب‬َ ‫لِء‬ َ ‫ن اْلَع‬ْ ‫عب‬َ ‫جْعَفبٍر‬َ ‫ن‬ُ ‫ل َوُهَو اْب‬ ُ ‫سَمِعي‬ْ ‫حّدَثَنا ِإ‬
َ ‫ل‬َ ‫جٍر َقا‬ْ‫ح‬ ُ ‫ن‬ ُ ‫ي ْب‬
ّ ‫عِل‬
َ ‫سِعيٍد َو‬ َ ‫ن‬ ُ ‫حّدَثَنا ُقَتْيَبُة ْب‬
َ
َ ‫ن اْلُمْفِلب‬
‫س‬ ّ ‫ل ِإ‬
َ ‫ع َفَقببا‬َ ‫ل َمَتببا‬
َ ‫ل ِدْرَهَم َلُه َو‬ َ ‫ن‬ْ ‫س ِفيَنا َم‬
ُ ‫س َقاُلوا اْلُمْفِل‬ُ ‫ن َما اْلُمْفِل‬ َ ‫ل َأَتْدُرو‬
َ ‫سّلَم َقا‬
َ ‫عَلْيِه َو‬
َ ‫ل‬ُّ ‫صّلى ا‬ َ ‫ل‬ ِّ ‫ل ا‬ َ ‫سو‬ ُ ‫َر‬
َ ‫ضبَر‬
‫ب‬ َ ‫ك َدَم َهَذا َو‬ َ ‫سَف‬
َ ‫ل َهَذا َو‬ َ ‫ل َما‬َ ‫ف َهَذا َوَأَك‬
َ ‫شَتَم َهَذا َوَقَذ‬َ ‫صَياٍم َوَزَكاٍة َوَيْأِتي َقْد‬ ِ ‫لٍة َو‬ َ‫ص‬ َ ‫ن ُأّمِتي َيْأِتي َيْوَم اْلِقَياَمِة ِب‬ ْ ‫ِم‬
ْ‫ح بت‬
َ ‫طِر‬
ُ ‫طاَيبباُهْم َف‬
َ‫خ‬
َ ‫ن‬ ْ ‫خَذ ِم ب‬
ِ ‫عَلْيِه ُأ‬
َ ‫ضى َما‬
َ ‫ن ُيْق‬
ْ ‫ل َأ‬
َ ‫سَناُتُه َقْب‬
َ‫ح‬
َ ‫ت‬
ْ ‫ن َفِنَي‬
ْ ‫سَناِتِه َفِإ‬
َ‫ح‬
َ ‫ن‬
ْ ‫سَناِتِه َوَهَذا ِم‬
َ‫ح‬
َ ‫ن‬
ْ ‫طى َهَذا ِم‬
َ ‫َهَذا َفُيْع‬
‫ح ِفي الّناِر‬َ ‫طِر‬ُ ‫عَلْيِه ُثّم‬َ.

Artinya: Hadis Qutaibah ibn Sâ’id dan Ali ibn Hujr, katanya hadis Ismail dan dia ibn
Ja’far dari ‘Alâ’ dari ayahnya dari Abu Hurairah ra. bahwasnya Rasulullah shallallohu
‘alaihi wasallam bersabda: Tahukah kalian siapa orang yang muflis (bangkrut)?,
jawab mereka; orang yang tidak memiliki dirham dan harta. Rasul bersabda;
Sesungguhnya orang yang muflis dari ummatku adalah orang yang datang pada hari
kiamat dengan (pahala) salat, puasa dan zakat,. Dia datang tapi telah mencaci ini,
menuduh ini, memakan harta orang ini, menumpahkan darah (membunuh) ini dan
memukul orang ini. Maka orang itu diberi pahala miliknya. Jika kebaikannya telah
habis sebelum ia bisa menebus kesalahannya, maka dosa-dosa mereka diambil dan
dicampakkan kepadanya, kemudian ia dicampakkan ke neraka.(Muslim, t.t, IV: 1997)

Hadis di atas tergolong syarîf marfū’ dengan kualitas perawi yang sebagian tergolong
şiqah dan şiqah şubut, şiqah hâfiz, sedangkan Abu Hurairah radiallohu’anhu. adalah
sahabat Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam. Menurut an-Nawâwi, Penjelasan
hadis di atas yaitu Rasulullah saw. memulai pembelajaran dengan bertanya dan
jawaban sahabat ternyata salah, maka Rasulullah saw. menjelaskan bahwa bangkrut
dimaksud bukanlah menurut bahasa. Tetapi bangkrut yang dimaksudkan adalah
peristiwa di akhirat tentang pertukaran amal kebaikan dengan kesalahan. (an-Nawawi,
t.t, XVI: 136).

g. Metode pujian/memberi kegembiraan.


ْ ‫عب‬
‫ن‬ َ ‫ي‬ ّ ‫سبِعيٍد اْلَمْقُب بِر‬ َ ‫ن َأِبببي‬ ِ ‫سِعيِد ْب ب‬َ ‫ن‬ ْ‫ع‬َ ‫عْمٍرو‬ َ ‫ن َأِبي‬ ِ ‫عْمِرو ْب‬ َ ‫ن‬ْ‫ع‬َ ‫ن‬ ُ ‫سَلْيَما‬ُ ‫حّدَثِني‬ َ ‫ل‬َ ‫ل َقا‬
ِّ ‫عْبِد ا‬َ ‫ن‬ ُ ‫عْبُد اْلَعِزيِز ْب‬ َ ‫حّدَثَنا‬
َ
‫سبّلَم َلَقبْد‬
َ ‫عَلْيبِه َو‬َ ‫ل‬ ُّ ‫صّلى ا‬ َ ‫ل‬ ِّ ‫ل ا‬ُ ‫سو‬ ُ ‫ل َر‬َ ‫ك َيْوَم اْلِقَياَمِة َقا‬
َ ‫عِت‬َ ‫شَفا‬
َ ‫س ِب‬
ِ ‫سَعُد الّنا‬ ْ ‫ن َأ‬
ْ ‫ل َم‬ ِّ ‫ل ا‬َ ‫سو‬ُ ‫ل َيا َر‬ َ ‫ل ِقي‬ َ ‫َأِبي ُهَرْيَرَة َأّنُه َقا‬
ِ ‫سبَعُد الّنبا‬
‫س‬ ْ ‫ث َأ‬
ِ ‫حبِدي‬ َ ‫عَلبى اْل‬ َ ‫ك‬ َ ‫صب‬
ِ ‫حْر‬ ِ ‫ن‬ْ ‫ت ِم‬ُ ‫ك ِلَما َرَأْي‬ َ ‫ل ِمْن‬
ُ ‫حٌد َأّو‬
َ ‫ث َأ‬
ِ ‫حِدي‬َ ‫ن َهَذا اْل‬ ْ‫ع‬ َ ‫سَأُلِني‬ْ ‫ل َي‬َ ‫ن‬ ْ ‫ت َيا َأَبا ُهَرْيَرَة َأ‬ُ ‫ظَنْن‬
َ
‫سبببببببِه‬ ِ ‫ن َقْلِببببببببِه َأْو َنْف‬
ْ ‫صبببببببا ِمببببببب‬ً ‫خاِل‬َ ‫لببببببب‬ ُّ ‫ل ا‬ّ ‫ل ِإَلبببببببَه ِإ‬
َ ‫ل‬َ ‫ن َقبببببببا‬ ْ ‫عِتي َيبببببببْوَم اْلِقَياَمبببببببِة َمببببببب‬ َ ‫شبببببببَفا‬
َ ‫ِب‬.
Artinya: Hadis Abdul Aziz ibn Abdillah katanya menyampaikan padaku Sulaiman
dari Umar ibn Abi Umar dari Sâ’id ibn Abi Sa’id al-Makbârî dari Abu Hurairah, ia
berkata: Ya Rasulullah, siapakah yang paling bahagia mendapat syafa’atmu pada hari
kiamat?, Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda: Saya sudah menyangka,
wahai Abu Hurairah, bahwa tidak ada yang bertanya tentang hadis ini seorangpun
yang mendahului mu, karena saya melihat semangatmu untuk hadis. Orang yang
paling bahagia dengan syafaatku ada hari Kiamat adalah orang yang mengucapkan
”Lâilaha illa Allah” dengan ikhlas dari hatinya atau dari dirinya.(al-Bukhari, t.t, I: 49)

Hadis di atas tergolong syarîf marfu’ dengan kualitas perawi yang sebagian tergolong
şiqah dan şiqah şubut. sedangkan Abu Hurairah adalah sahabat Rasul shallallohu
‘alaihi wasallam. Ibn Abi Jamrah mengatakan hadis ini menjadi dalil bahwa sunnah
hukumnya memberikan kegembiraan kepada anak didik sebelum pembelajaran
dimulai. Sebagaimana Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam. mendahulukan
sabdanya; ’saya telah menyangka’, selain itu ‘karena saya telah melihat semangatmu
untuk hadis’. Oleh sebab itu perlu memberikan suasana kegembiraan dalam
pembelajaran. (Andalusi, t.t :133-134)

h. Metode pemberian hukuman.


ْ‫ع‬
‫ن‬ َ ‫ن‬ َ ‫خْيَوا‬
َ ‫ن‬ ِ ‫ح ْب‬
ِ ‫صاِل‬
َ ‫ن‬ ْ‫ع‬ َ ‫ي‬ ّ ‫جَذاِم‬
ُ ‫سَواَدةَ اْل‬َ ‫ن‬ ِ ‫ن َبْكِر ْب‬ْ‫ع‬َ ‫عْمٌرو‬ َ ‫خَبَرِني‬ ْ ‫ب َأ‬ٍ ‫ن َوْه‬ ُ ‫ل ْب‬ِّ ‫عْبُد ا‬
َ ‫حّدَثَنا‬
َ ‫ح‬ٍ ‫صاِل‬
َ ‫ن‬ ُ ‫حَمُد ْب‬
ْ ‫حّدَثَنا َأ‬
َ
‫ق ِفببي اْلِقْبَلبِة‬
َ ‫صب‬ َ ‫ل َأّم َقْوًمببا َفَب‬
ً‫ج‬ ُ ‫ن َر‬ّ ‫س بّلَم َأ‬
َ ‫عَلْي بِه َو‬
َ ‫ل‬ُّ ‫صّلى ا‬َ ‫ي‬ ّ ‫ب الّنِب‬ِ ‫حا‬ َ‫ص‬ ْ ‫ن َأ‬ ْ ‫حَمُد ِم‬ ْ ‫ل َأ‬
َ ‫لٍد َقا‬
ّ‫خ‬ َ ‫ن‬ِ ‫ب ْب‬
ِ ‫ساِئ‬
ّ ‫سْهَلَة ال‬َ ‫َأِبي‬
‫صّلي َلُكْم‬ َ ‫ل ُي‬َ ‫غ‬ َ ‫ن َفَر‬َ ‫حي‬ِ ‫سّلَم‬ َ ‫عَلْيِه َو‬
َ ‫ل‬ُّ ‫صّلى ا‬ َ ‫ل‬ ِّ ‫ل ا‬ُ ‫سو‬ ُ ‫ل َر‬
َ ‫ظُر َفَقا‬ُ ‫سّلَم َيْن‬
َ ‫عَلْيِه َو‬
َ ‫ل‬ ُّ ‫صّلى ا‬ َ ‫ل‬ ِّ ‫ل ا‬ُ ‫سو‬
ُ ‫…َوَر‬.
Artinya: Hadis Ahmad ibn Shalih, hadis Abdullah ibn Wahhab, Umar memberitakan
padaku dari Bakr ibn Suadah al-Juzâmi dari Shâlih ibn Khaiwân dari Abi Sahlah as-
Sâ’ib ibn Khallâd, kata Ahmad dari kalangan sahabat Nabi shallallohu ‘alaihi
wasallam bahwa ada seorang yang menjadi imam salat bagi sekelompok orang,
kemudian dia meludah ke arah kiblat dan Rasulullah saw. melihat, setelah selesai salat
Rasulullah saw. bersabda ”jangan lagi dia menjadi imam salat bagi kalian”…
(Sijistani, t.t, I: 183).

Hadis di atas tergolong syarîf marfū’ dengan kualitas perawi yang sebagian tergolong
şiqah hâfiz, şiqah dan şiqah azaly. memberikan hukuman (marah) karena orang
tersebut tidak layak menjadi imam. Seakan-akan larangan tersebut disampaikan beliau
tampa kehadiran imam yang meludah ke arah kiblat ketika salat. (Abadi, t.t, II: 105-
106). Dengan demikian Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam memberi hukuman
mental kepada seseorang yang berbuat tidak santun dalam beribadah dan dalam
lingkungan sosial.
Sanksi dalam pendidikan mempunyai arti penting, pendidikan yang terlalu lunak akan
membentuk pelajar kurang disiplin dan tidak mempunyai keteguhan hati. Sanksi
tersebut dapat dilakukan dengan tahapan sebagai berikut, dengan teguran, kemudian
diasingkan dan terakhir dipukul dalam arti tidak untuk menyakiti tetapi untuk
mendidik. Kemudian dalam menerapkan sanksi fisik hendaknya dihindari kalau tidak
memungkinkan, hindari memukul wajah, memukul sekedarnya saja dengan tujuan
mendidik, bukan balas dendam. Alternatif lain yang mungkin dapat dilakukan adalah;
1) Memberi nasehat dan petunjuk.
2) Ekspresi cemberut.
3) Pembentakan.
4) Tidak menghiraukan murid.
5) Pencelaan disesuaikan dengan tempat dan waktu yang sesuai.
6) Jongkok.
7) Memberi pekerjaan rumah/tugas.
8) Menggantungkan cambuk sebagai simbol pertakut.
9) Alternatif terakhir adalah pukulan ringan. (al-Syalhub, Terj. Abu Haekal, 2005: 59-
60).
Hal yang menjadi prinsip dalam memberikan sanksi adalah tahapan dari yang paling
ringan, sebab tujuannya adalah pengembangan potensi baik yang ada dalam diri anak
didik.

C. Penutup
Metode pendidikan adalah cara yang dipergunakan pendidik dalam menyampaikan
bahan pelajaran kepada peserta didik, sehingga dengan metode yang tepat dan sesuai,
bahan pelajaran dapat dikuasai dengan baik oleh peserta didik. Beberapa metode
pendidikan yang dikemukakan dalam makalah ini (masih banyak yang belum), terdiri
dari metode keteladanan, metode lemah lembut/kasih sayang, metode deduktif,
metode perumpamaan, metode kiasan, metode memberi kemudahan, metode
perbandingan, metode tanya jawab, metode pengulangan, metode demonstrasi,
metode eksperimen, metode pemecahan masalah, metode diskusi, metode
pujian/memberi kegembiraan, metode pemberian hukuman dapat dilaksanakan
pendidik dalam penanaman nilai-nilai pada ranah afektif dan pengembangan pola
pikir pada ranah kognitif serta latihan berperilaku terpuji pada ranah psikomotorik.
.
DAFTAR BACAAN

Andalūsi, Imâm Ibn Abi Jamrah. Bahjât an-Nufūs wa Tahallihâ Bima’rifati mâ Lahâ
wa mâ Alaihi (Syârah Mukhtasar Shahih al-Bukhâri) Jam’u an Nihâyah fi bad’i al-
Khairi wa an-Nihâyah. Beirut: Dârul Jiil, 1979.

Anwar, Qomari. Pendidikan Sebagai Karakter Budaya Bangsa. Jakarta: UHAMKA


Press, 2003.

Arifin, M. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1996.

Asqalâni, Ahmad ibn Ali ibn Hajar Abu al-Fâdhil. Fâthul Bâri Syarah Shahih al-
Bukhâri. Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1379 H.

Bukhâri, Abu Abdullah bin Muhammad Ismâil. Al-Jâmi’ al-Shahĩh al-Mukhtasar, Juz
1. Beirut: Dâr Ibnu Kaşir al-Yamâmah, 198.

Grendler, Bell E. Margaret. Belajar dan Membelajarkan, terj. Munandir. Jakarta:


Rajawali, 1991.

Hamd, Ibrahim, Muhammad. Maal Muallimîn, terj. Ahmad Syaikhu. Jakarta: Dârul
Haq, 2002.

Lathîb, Muhammad Syamsy al-Hâq al-’Azhîm ‘Abadi. ‘Aunu al-Ma’būd Syarh Sunan
Abi Dâud. Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyah, cet 1, 1401 H.

Munawwir, Warson Ahmad. Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia. Surabaya:


Pustaka Progressif, 1997.

Nahlawi, Abdurrahman. Ushulut Tarbiyyah Islamiyyah Wa Asâlibiha fî Baiti wal


Madrasati wal Mujtama’ terj. Shihabuddin. Jakarta: Gema Insani Press:1996.

Naisabūri, Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi. Shahih Muslim, Juz 1.
Saudi Arabia : Idâratul Buhūş Ilmiah wa Ifta’ wa ad-Dakwah wa al-Irsyâd, 1400 H.

Nata, Abudin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001.

Nawâwi, Abu Zakaria Yahya ibn Syaraf ibn Maria. Syarah an-Nawāwi ‘ala Shahih
Muslim. Beirut: Dâr al-Fikri, 1401 H.

Poerwakatja, Soegarda. Ensiklopedia Pendidikan. Jakarta: Gunung Agung, 1982.


Sijistâni, Abu Dâud Sulaiman ibn al-Asy’aş. Sunan Abu Dâud. Beirut: Dâr al-Kutub
al-’Ilmiyah, cet 1, 1401 H.

Sumardi, Muljanto. Pedoman Pengajaran Bahasa Arab Pada Perguruan Tinggi Agama
Islam/IAIN. Jakarta: Departemen Agama RI, Proyek Pengembangan Sistem
Pendidikan Agama, t.t.

Surakhmad,Winarno. Pengantar Interaksi Belajar Mengajar. Bandung: Tarsito, 1998.


Syalhub, Fuad bin Abdul Azizi. Al-Muallim al-Awwal shalallaahu alaihi Wa Sallam
Qudwah Likulli Muallim wa Muallimah, terj. Abu Haekal. Jakarta: Zikrul Hakim,
2005.

Thîby, Syarafuddin. Syaharh ath-Thîby alâ Misykat al-Mashâbih, juz 11. Makkah:
Maktabah Nizar Musthafa al-Bâz, 1417 H.

Wojowasito, S. W. Wasito Tito. Kamus Lengkap Inggeris-Indonesia, Indonesia-


Inggeris. Bandung: Hasta, 1980.

Yasū‘iy, Ma‘lūf, Louwis. Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A‘lam, Cetakan XXVI.


Beirut: al- Masyriq, t.t.

Yusuf, Tayar Anwar, Syaiful. Metodologi Pengajaran Agama dan Bahasa Arab.
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.

Sumber: http://alatsar.wordpress.com/2009/03/19/hadis-hadis-tentang-metode-
pendidikan/#more-287

Kamis, 12 November 2009


makalah kepribadian guru

A. Pendahuluan
Pendidik adalah orang yang mentransfer pengetahuan, keterampilan atau pengalaman
kepada orang lain. Dalam beberapa literature kependidikan pada umunya istilah
pendidik sering diwakili oleh istilah guru.Guru lumrah dan biasa dipahami oleh
masyarakat sebagai orang yang kerjanya mengajar atau memberikan pelajaran
disekolah/kelas. Pengertian tersebut tidak dipahami hanya sekedar orang yang berdiri,
duduk didepan kelas untuk menyampaikan materi saja, akan tetapi lebih dari pada itu
yakni selain mengajar mereka juga harus tekun, ulet dan sabar dalam mendidik
peserta didik. Menurut S.Nasution tugas guru itu ada tiga bagian, yakni :
1. Sebagai orang yang mengkomunikasikan pengetahuan guru harus dituntut untuk
mendalami pengetahuan yang diajarkan.
2. Sebagai model/contoh guru harus menerapkan kaidah-kaidah sebagai seorang
pendidik serta mempraktekkan dalam kehidupan sehari-hari atas apa yang diajarkan/
aplikasinya.
3. Guru harus disiplin, cermat berpikir, mencintai pelajaran serta idealis.
Untuk itulah pada kesempatan ini kami akan membahas tentang kepribadian yang
harus dimiliki oleh seorang guru sebagai seorang pendidik dan tauladan bagi peserta
didiknya.
B. Pembahasan
1. Pribadi Guru
Adalah sangat penting seorang guru memiliki sikap yang dapat mempribadi sehingga
dapat dibedakan ia dengan guru yang lain. Memang, kepribadian menurut Zakiah
Darajat disebut sebagai sesuatu yang abstrak, sukar dilihat secara nyata, hanya dapat
diketahui lewat penampilan, tindakan, dan atau ucapan ketika menghadapi suatu
persoalan, atau melalui atasannya saja.
Kepribadian mencakup semua unsur, baik fisik maupun psikis. Sehingga dapat
diketahui bahwa setiap tindakan dan tingkah laku seseorang merupakan cerminan dari
kepribadian seseorang, selama hal tersebut dilakukan dengan penuh kesadaran. Setiap
perkataan, tindakan, dan tingkah laku positif akan meningkatkan citra diri dan
kepribadian seseorang. Begitu naik kepribadian seseorang maka akan naik pula
wibawa orang tersebut.
Kepribadian akan turut menetukan apakah para guru dapat disebut sebagai pendidik
yang baik atau sebaliknya, justru menjadi perusak anak didiknya. Sikap dan citra
negative seorang guru dan berbagai penyebabnya seharusnya dihindari jauh-jauh agar
tidak mencemarkan nama baik guru. Kini, nama baik guru sedang berada pada posisi
yang tidak menguntungkan, terperosok jatuh. Para guru harus mencari jalan keluar
atau solusi bagaimana cara meningkatnya kembali sehingga guru menjadi semakin
wibawa, dan terasa sangat dibutuhkan anak didik dan masyarakat luas. Jangan
sebaliknya.
Guru sebagai teladan bagi murid-muridnya harus memiliki sikap dan kepribadian utuh
yang dapat dijadikan tokoh panutan idola dalam seluruh segi kehidupannya.
Karenanya guru harus selalu berusaha memilih dan melakukan perbuatan yang positif
agar dapat mengangkat citra baik dan kewibawaannya, terutama di depan murid-
muridnya. Disamping itu guru juga harus mengimplementasikan nilai-nilai tinggi
terutama yang diambilkan dari ajaran agama, misalnya jujur dalam perbuatan dan
perkataan, tidak munafik. Sekali saja guru didapati berbohong, apalagi langsung
kepada muridnya, niscaya hal tersebut akan menghancurkan nama baik dan
kewibawaan sang guru, yang pada gilirannya akan berakibat fatal dalam melanjutkan
tugas proses belajar mengajar.
Guru yang demikian niscaya akan selalu memberikan pengarahan kepada anak
didiknya untuk berjiwa baik juga. Hampir sulit ditemukan munculnya guru yang
memiliki keinginan buruk terhadap muridnya. Dalam menggerakkan murid, guru juga
dianggap sebagai partner yang siap melayani, membimbing dan mengarahkan murid,
bukan sebaliknya justru menjerumuskannya. Djamarah dalam bukunya “ Guru dan
Anak didik Dalam Interaksi Edukatif” menggambarkan bahwa : Guru adalah
pahlawan tanpa pamrih, pahlawan tanpa tanda jasa, pahlawan ilmu, pahlawan
kebaikan, pahlawan pendidikan, makhluk serba biasa, atau dengan julukan yang lain
seperti artis, kawan, warga Negara yang baik, pembangun manusia, pioneer,
terpercaya, dan sebagainya”.
Lebih lanjut Djamarah mengisahkan bahwa guru memiliki atribut yang lengkap
dengan kebaikan, ia adalah uswatun hasanah walau tidak sesempurna Rasul. Betapa
hebat profesi guru, dan tidak dapat ditemukan dalam berbagai profesi lainnya.
Karenanya berbagai bentuk pengabdian ini hendaknya dilanjutkan dengan penuh
keikhlasan, dengan motivasi kerja untuk membina jiwa dan watak anak didik, bukan
sekedar untuk mencari uang.
Guru yang professional adalah guru yang siap untuk memberikan bimbingan nurani
dan akhlak yang tinggi kepada muridnya. Karena pendidikan dana bimbingan yang
diberikan bersumber dari ketulusan hati, maka guru benar-benar siap sebagai spiritual
fatner bagi muridnya. Guru yang ideal sangat meresa gembira bersama dengan
muridnya, ia selalu berinteraksi kepada muridnya, ia merasa happy dapat memberikan
obat bagi muridnya yang sedang bersedih hati, murung, berkelahi, malas belajar. Guru
professional akan selalu memikirkan bagaimana memacu perkembangan pribadi anak
didiknya agar tidak mengalami kendala yang biasa mengganggu.
Kemuliaan hati seorang guru diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Guru secara
nyata dapat berbagi dengan anak didiknya. Guru tidak akan merasa lelah dan tidak
mungkin mengembangkan sifat iri hati, munafik, suka menggunjing, menyuap, malas,
marah-marah dan berlaku kasar terhadap orang lain, apalagi terhadap anak didiknya.
Guru sebagai pendidik dan murid sebagai anak didik dapat saja dipisahkan
kedudukannya, akan tetapi mereka tidak dapat dipisahkan dalam mengembangkan diri
murid dalam mencapai cita-citanya. Disinilah kemanfaatan guru bagi orang lain atau
murid benar-benar dituntut, seperti hadits Nabi :”Khoirunnaasi anfa’uhum linnaas,”
artinya adalah sebaik-baiknya manusia adalah yang paling besar memberikan manfaat
bagi orang lain. ( Al Hadits ).
2. Stereotip Guru
Stereotype guru adalah hal-hal klise yang sering dilakukan oleh para guru. Yang
berkembang dimasyarakat kita adalah adanya suatu anggapan bahwa yang stereotype
selalu dianggap benar, sedangkan yang diluar stereotype dianggap salah, sakit, gila
dan sebagainya. Banyak orang yang tidak setuju dengan stereotype, mengorbankan
dirinya dengan pura-pura mengikuti stereotype supaya ia tidak dianggap
menyimpang, aneh ataupun gila. Sebagai contoh stereotype yang dilakukan oleh guru
TK. Sang guru berteriak kepada anak didiknya.
“Ayo anak-anak mari kita menggambar pemandangan.” Alkisah, begitulah seorang
ibu guru TK atau SD sedang menyuruh anak didiknya untuk memulai menggambar
sebuah pemandangan beberapa puluh tahun yang lalu. Sang ibu guru tadi pun
memulai memberi contoh menggambar pemandangan. Ada dua buah gunung dengan
bentuk segitiga lancip, kemudian ditengahnya terdapat matahari pagi yang mengintip
diantara dua gunung tersebut, di atasnya ada awan-awan yang menggantung di
angkasa, dan ada pula sekawanan burung yang terbang di angkasa berbentuk seperti
angka 3 tidur. Ada juga jalan raya yang mungkin juga lengkap dengan tiang
listriknya. Sawah berjajar berkotak-kotak di tepi jalan dengan tanaman padi yang
berbentuk seperti huruf V berderet-deret, serta rumah mungil beserta pepohonan pun
menghiasi coretan gambar pemandangan tersebut. Tak jarang terdapat aliran sungai
yang berkelok-kelok. Sang murid pun dengan serta merta mengikuti pola gambaran
pemandangan yang dibuat oleh sang ibu guru tersebut. Dan ajaibnya pola gambar
pemandangan seperti ini awet dan senantiasa terjaga kelestariannya hingga saat ini.
Stereotype pemandangan seperti itu yang selalu tertancap erat di ingatan anak-anak
Indonesia ketika hendak disuruh mengambar pemandangan.
Pemandangan ya gambar dua buah gunung, ada matahari, jalan, sawah, rumah, awan,
burung. Gambar dua gunung ya seperti itulah yang dinamakan dengan pemandangan.
Dalam metodologi pembelajaran, guru seringkali menggunakan metode ceramah
untuk menyampaikan materinya karena muncul anggapan bahwa mengajar selalu
identik dengan pemberian ceramah, sehingga metode-metode pembelajaran diluar
metode ceramah dianggap sebagai sesuatu yang aneh dan sulit dilakukan.
Sebenarnya stereotype itu tidak sepenuhnya salah karena ada beberapa mata pelajaran
yang memang akan berjalan efektif apabila disampaikan dengan cara ceramah, seperti
pelajaran sejarah, PKn dan sebagainya, namun menganggap bahwa semua mata
pelajaran biasa disampaikan kepada anak didik dengan metode ceramah adalah
pembodohan terhadap anak didik itu sendiri. Sekarang ini, seorang guru harus berani
meninggalkan stereotype dan berani menggunakan metode-metode modern yang
sesuai dengan kebutuhan anak didiknya, agar tujuan pendidikan dapat tercapai dengan
maksimal.
3. Profesi Guru Sebagai pilihan
Sebelum kita menetapkan apakah mengajar merupakan tugas guru yang termasuk
profesi atau tidak atau bahkan sekedar tergolong pekerjaan biasa, kiranya perlu kita
ketahui persyaratan yang dibutuhkan dalam sebuah aktivitas termasuk profesi.
Belakangan telah sedemikian meluas istilah profesi atau professional dikenal dalam
masyarakat. Namun sering kali pemahamannya kurang tepat.
Kini sangat banyak yang menganggap bahwa setiap orang dapat mengerjakan suatu
pekerjaan dengan baik, rapi, dan dapat memuaskan orang lain disebut telah
melakukan pekerjaan secara professional. Sehingga dengan mudah masyarakat
memberikan gelar professional hampir kepada siapa saja, asal dapat melakukan
pekerjaannya dengan baik. Tak jarang kita dengar sebutan koruptor professional,
pembantu professional, tukang batu professional, sopir professional dan seterusnya.
Benarkah sebutan-sebutan tersebut.
Qomari Anwar mendefinisikan profesi adalah sebuah sebutan yang didapat seseorang
setelah mengikuti pendidikan, pelatihan ketrampilan dalam waktu yang cukup lama,
sehingga dia punya kewenangan memberikan suatu keputusan mandiri berdasarkan
kode etik tertentu, yang harus dipertanggungjawabkan sampai kapanpun. Melakukan
tugas profesi memperoleh posisi yang prestisius dan mendapat imbalan gaji yang
tinggi. Karenanya tidak semua pekerjaan yang ditekuni oleh seseorang walaupun
sudah cukup lama otomatis disebut sebagai tugas profesi.
Dalam hal jabatan guru, National Education Association (NEA) (1948) merumuskan
bahwa jabatan profesi merupakan jabatan yang melibatkan kegiatan intelektual,
menekuni suatu batang tubuh ilmu tertentu, didahului dengan professional yang lama,
memerlukan pelatihan jabatan yang kontinyu, menjanjikan karier bagi anggota secara
permanent, mengikuti standar baku mutu tersendiri, lebih mementingkan layanan
kepada masyarakat dibanding dengan mencari keuntungan sendiri, dan memiliki suatu
organisasi professional yang kuat dan dapat melakukan control terhadap anggota yang
melakukan penyimpangan. Dari beberapa pengertian yang disebutkan di atas kini
muncul pertanyaan: Apakah tugas mengajar atau jabatan guru dapat termasuk jabatan
profesi?
Bisa jadi pertanyaan di atas memicu adanya jawaban yang beraneka ragam
berdasarkan kenyataan yang dialami oleh para guru di lapangan. Namun Stinnett
menegaskan bahawa jabatan guru sudah dianggap memenuhi kriteria jabatan
professional, bahkan mengajar bisa disebut sebagai ibu dari segala profesi.
Apalagi setelah disahkannya undang-undang tentang guru dan dosen, maka jabatan
guru tidak boleh dipandang sebelah mata oleh siapapun. Karena dengan
diberlakukannya Undang-Undang tersebut, jabatan guru sudah merupakan jabatan
profesi yang setara dengan jabatan-jabatan profesi lainnya seperti Dokter, Perawat
dan lain sebagainya.
Kalau dulu menjadi guru adalah pilihan terakhir ketika pilihan-pilihan utama tidak
dapat tercapai, maka dengan diperhatikannya kesejahteraan guru oleh pemerintah,
menjadi guru adalah sebuah pilihan yang utama. Jabatan guru merupakan jabatan
terhormat dimasyarakat disatu sisi juga menjanjikan masa depan yang lebih terjamin
dibanding profesi-profesi lainnya.
4. Dilema dalam Profesi Keguruan
Menjadi seorang guru dewasa ini kadang menimbulkan dilema tersendiri, hal ini
dikarenakan adanya perbedaan antara guru PNS dan Non PNS. Pemerintah terkesan
menganak emaskan guru PNS, disisi lain menganak tirikan guru non PNS. Padahal
kalau kita lihat bahwa mengajar disekolah-sekolah swasta jauh lebih sulit
dibandingkan dengan sekolah-sekolah negeri, secara administrasi guru-guru Non PNS
dituntut secara professional sama dengan guru-guru PNS akan tetapi secara
kesejahteraan terjadi kesenjangan yang cukup dalam. Guru PNS mendapatkan
berbagai macam tunjangan dari pemerintah pusat atau daerah, sementara guru-guru
Non PNS tidak mendapatkan apa-apa.
Ironis memang, tuntutan mencerdaskan anak didik mutlak menjadi tanggung jawab
semua guru tanpa kecuali namun dalam kesejahteraan terjadi tebang pilih.
Sehingga yang terjadi banyak guru yang terpaksa mencari pekerjaan sampingan guna
menopang kehidupan keluarganya. Akibatnya mereka tidak lagi konsentrasi dalam
mengajar anak didiknya namun lebih kepada bagaimana bisa menghidupi
keluarganya.
5. Gangguan Kesehatan Fisik dan Mental Guru
Berdasarkan penelitian guru sangat rentan terhadap penyakit yang berhubungan
dengan radang tenggorok sampai sariawan. Hal ini dikarenakan intensitas mengajar
yang tinggi tanpa ditopang dengan asupan vitamin yang memadai, akhirnya yang
terjadi system immune ( kekebalan ) menurun dan ia menjadi gampang terserang
berbagai macam penyakit, terutama dua penyakit di atas.
Disamping factor kesehatan fisik yang terganggu, para guru juga mengalami banyak
gangguan mentalnya. Ada kemungkinan, menurut pendapat sejumlah peneliti, bahwa
tidak adanya hidup kekeluargaan yang normal dan frustasi dalam hubungan seks yang
normal turut menambah gangguan mental guru-guru wanita yang tidak kawin. Guru
pria dianggap mempunyai mental yang lebih stabil bila mereka mempunyai keluarga
yang normal.
Berdasarkan penelitian itu dapat dibuktikan adanya guru yang mengalami gangguan
mental, bahwa ada diantaranya yang memerlukan perawatan psikiater. Akan tetapi
penelitian itu tidak menunjukkan apakah gangguan mental itu lebih banyak terdapat di
kalangan guru dibandingkan dengan profesi lain. Juga tidak diketahui apakah
gangguan mental itu telah ada pada calon guru, nyata atau laten, sebelum ia
melakukan profesinya ataukah gangguan mental itu timbul sebagai akibat
pekerjaannya sebagai guru. Selanjutnya tidak diketahui hingga manakah gangguan
mental itu merugikan murid dan proses belajar mengajar
C. Kesimpulan
Kepribadian guru dapat mempengaruhi suasana kelas/sekolah baik kebebasan yang
dinikmati anak dalam mengeluarkan buah pikiran, dan mengembangkan kreatifitasnya
ataupun pengekangan dan keterbatasan yang dialami dalam pengembangan
pribadinya. Karenanya guru harus selalu berusaha memilih dan melakukan perbuatan
yang positif agar dapat mengangkat citra baik dan kewibawaannya, terutama di depan
murid-muridnya. Disamping itu guru juga harus mengimplementasikan nilai-nilai
tinggi terutama yang diambilkan dari ajaran agama
D. Daftar Pustaka
http://tanbihun.com/pendidikan/kompetensi-kepribadian-guru/
S. Nasution, Prof.Dr, Sosiologi Pendidikan, Jakarta : Bumi Aksara, 2009, cetakan
keempat

A. Pendahuluan

Ada beberapa istilah yang harus diterangkan dahulu maksudnya sebelum kita
melanjutkan pembicaraan kita mengenai tajuk kertas ini. Pertama sekali adalah
keguruan. Maksudnya pekerjaan sebagai guru. Jadi ia adalah salah satu kerja
(profesion) sebagaimana halnya dengan kerja-kerja yang lain dalam masyarakat
seperti akuntan, Dokter, konseling, kejuruteraan, perniagaan dan lain-lain
sebagainya. Sebagai sebuah kerja keguruan, ia tunduk kepada pelbagai syarat yang
dikenakan kepada kerja-kerja yang lain seperti kode etika dan sebagainya. Kedua
kode etika adalah aturan-aturan yang disepakati bersama oleh ahli-ahli yang
mengamalkan kerja tertentu seperti akuntan, Dokter, konseling dan sebagainya.
Ketiga, nilai-nilai yang menyertai setiap kerja itu seperti memberi perkhidmatan yang
sebaik-baiknya kepada pelanggan dan sebagainya. Ini semua adalah nilai. Keempat
pengamalan, memang semua kerja mementingkan amalan. Sebab setiap pemegang
kerja itu dipanggil pengamal (practitioner) dalam bidang tertentu seperti akuntan,
Dokter, konseling dan lain-lain. Tetapi sebelum sampai kepada amalan, nilai-nilai
kerja itu harus dihayati (intemalized) lebih dahulu, ini yang membawa kita kepada
aspek terakhir pada makalah, yaitu penghayatan. Kelima penghayatan, yaitu
penghayatan nilai-nilai. Kalau ilmu seperti matematika, pengobatan dan lain-lain
dipelajari, maka nilai-nilai seperti keikhlasan, kejujuran, dedikasi dan lain-lain itu
dihayati. Kalau mau dipertegaskan lagi makalah ini sebenarnya diharapkan
menjawab persoalan bagaimana cara membimbing guru-guru pendidikan Islam agar
menghayati nilai-nilai yang terkandung dalam etika keguruan itu. Oleh yang demikian
marilah kita membicarakan dahulu di bawah ini apakah etika keguruan itu.

B. Maksud Mengajar

Mengajar sebenarnya bermaksud menyampaikan ilmu pengetahuan


maklumat, memberi galakan, membimbing, memberi dan meningkatkan kemahiran,
meningkatkan keyakinan, menanam nilai-nilai murni dan luhur kepada para pelajar
yang belum mengetahui. Ia bukan sekadar menyampaikan maklumat atau bahan
pengajaran dalam sebuah kelas. lebih mendukacitakan lagi jika proses mengajar
dianggap sekadar menyampai maklumat dan menghabiskan sukatan pelajaran yang
telah ditetapkan dalam kurikulum. Proses mengajar mempunyai konsep yang sangat
luas, ia bertujuan untuk menjadikan seseorang individu itu lebih bertanggungjawab
dan mampu menjana fikirannya untuk terus bahagia dan berjaya mengatasi cabaran
yang akan dihadapai. Ini hanya akan dicapai sekiranya proses pengajaran dan
pembelajaran yang dilakukan mencapai tahap pengajaran berkesan.

C. Siapa itu Guru?

Orang yang mengajar dikenali sebagai guru. Perkataan guru adalah hasil
gabungan dua suku kata iaitu `Gur’ dan `Ru’.
Dalam bahasa jawa, Gu diambil daripada perkataan gugu bermakna boleh
dipercayai manakala Ru diambil daripada perkataan tiru yang bermaksud boleh
diteladani atau dicontohi. Oleh itu, GURU bermaksud seorang yang boleh ditiru
perkataannya, perbuatannya, tingkah lakunya, pakaiannya, amalannya dan boleh
dipercayai bermaksud keamanahan yang dipertanggungjawabkan kepadanya untuk
dilakukan dengan jujur.

D. Peranan dan Tugas Mengajar

Setiap guru seharusnya mengetahui peranan dan tugas mereka secara


terperinci jika mereka ingin berusaha melakukan dan menghasilkan pengajaran yang
berkesan.

Di antara tugas seorang guru ialah

1. menyampaikan ilmu pengetahuan

2. menyampaikan maklumat

3. menyampai dan

4. memberi kemahiran serta

5. memupuk nilai-nilai murni dan luhur sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

Manakala peranan guru pula ialah sebagai pembimbing, pendidik,


pembaharu, contoh dan teladan, pencari dan penyelidik, penasihat dan kaunselor,
pencipta dan pereka, pencerita dan pelakon, penggalak dan perangsang, pengilham
cita-cita, pengurus dan perancang, penilai, pemerhati, rakan dan kawan pelajar,
doktor dan pengubat, penguat kuasa, pemberi petunjuk orang yang berwibawa dan
sebagainya.

Jelas menunjukkan bahawa menjadi seorang guru merupakan satu tugas dan
peranan yang agak berat. Sebenarnya, jika anda anggap tugas itu berat, maka
beratlah ia. Jika anda terima ia sebagai satu cabaran dengan cara yang positif, maka
mudahlah ia.

E. Pengertian Profesi
Profesi berasal dari bahasa latin “Proffesio” yang mempunyai dua pengertian
yaitu janji/ikrar dan pekerjaan. Bila artinya dibuat dalam pengertian yang lebih luas
menjadi: kegiatan “apa saja” dan “siapa saja” untuk memperoleh nafkah yang
dilakukan dengan suatu keah-lian tertentu. Sedangkan dalam arti sempit profesi
berarti kegiatan yang dijalankan berdasarkan keahlian tertentu dan sekaligus dituntut
daripadanya pelaksanaan norma-norma sosial dengan baik.

Jabatan Guru Sebagai Suatu Profesi. Jabatan guru dapat dikatakan sebuah
profesi karena menjadi seorang guru dituntut suatu keahlian tertentu (mengajar,
mengelola kelas, merancang pengajaran) dan dari pekerjaan ini seseorang dapat
memiliki nafkah bagi kehidupan selanjutnya. Hal ini berlaku sama pada pekerjaan
lain. Namun dalam perjalanan selanjutnya, mengapa profesi guru menjadi berbeda
dari pekerjaan lain. Menurut artikel “The Limit of Teaching Proffesion,” profesi guru
termasuk ke dalam profesi khusus selain dokter, penasihat hukum, pastur.
Kekhususannya adalah bahwa hakekatnya terjadi dalam suatu bentuk pelayanan
manusia atau masyarakat. Orang yang menjalankan profesi ini hendaknya
menyadari bahwa ia hidup dari padanya, itu haknya; ia dan keluarganya harus hidup
akan tetapi hakikat profesinya menuntut agar bukan nafkah hidup itulah yang
menjadi motivasi utamanya, melainkan kesediaannya untuk melayani sesama.

Di lain pihak profesi guru juga disebut sebagai profesi yang luhur. Dalam hal
ini, perlu disadari bahwa seorang guru dalam melaksanakan profesinya dituntut
adanya budi luhur dan akhlak yang tinggi. Mereka (guru) dalam keadaan darurat
dianggap wajib juga membantu tanpa imbalan yang cocok. Atau dengan kata lain
hakikat profesi luhur adalah pengabdian kemanusiaan.

F. Dua Prinsip Etika Profesi Luhur

Tuntutan dasar etika profesi luhur yang pertama ialah agar profesi itu
dijalankan tanpa pamrih. Dr. B. Kieser menuliskan: “Seluruh ilmu dan usahanya
hanya demi kebaikan pasien/klien. Menurut keyakinan orang dan menurut aturan-
aturan kelompok (profesi luhur), para profesional wajib membaktikan keahlinan
mereka semata-mata kepada kepentingan yang mereka layani, tanpa menghitung
untung ruginya sendiri. Sebaliknya, dalam semua etika profesi, cacat jiwa pokok dari
seorang profe-sional ialah bahwa ia mengutamakan kepentingannya sendiri di atas
kepentingan klien.”
Yang kedua adalah bahwa para pelaksana profesi luhur ini harus memiliki
pegangan atau pedoman yang ditaati dan diperlukan oleh para anggota profesi, agar
kepercayaan para klien tidak disalahgunakan. Selanjutnya hal ini kita kenal sebagai
kode etik. Mengingat fungsi dari kode etik itu, maka profesi luhur menuntut
seseorang untuk menjalankan tugasnya dalam keadaan apapun tetap menjunjung
tinggi tuntutan profesinya.

Kesimpulannya adalah jabatan guru juga merupakan sebuah profesi. Namun


demikian profesi ini tidak sama seperti profesi-profesi pada umumnya. Bahkan boleh
dikatakan bahwa profesi guru adalah profesi khusus luhur. Mereka yang memilih
profesi ini wajib menginsafi dan menyadari bahwa daya dorong dalam bekerja adalah
keinginan untuk mengabdi kepada sesama serta menjalankan dan menjunjung tinggi
kode etik yang telah diikrarkannya, bukan semata-mata segi materinya belaka.

G. Tuntutan Seorang Guru

Di atas telah dijelaskan tentang mengapa profesi guru sebagai profesi khusus
dan luhur. Berikut akan diuraikan tentang dua tuntutan yang harus dipilih dan
dilaksanakan guru dalam upaya mendewasakan anak didik. Tuntutan itu adalah:

1. Mengembangkan visi anak didik tentang apa yang baik dan mengembangkan
self esteem anak didik.

2. Mengembangkan potensi umum sehingga dapat bertingkah laku secara kritis


terhadap pilihan-pilihan. Secara konkrit anak didik mampu mengambil
keputusan untuk menentukan mana yang baik atau tidak baik.

Apabila seorang guru dalam kehidupan pekerjaannya menjadikan pokok satu


sebagai tuntutan yang dipenuhi maka yang terjadi pada anak didik adalah suatu
pengembangan konsep manusia terhadap apa yang baik dan bersifat eks-klusif.
Maksudnya adalah bahwa konsep manusia terhadap apa yang baik hanya
dikembangkan dari sudut pandang yang sudah ada pada diri siswa sehingga tak
terakomodir konsep baik secara universal. Dalam hal ini, anak didik tidak diajarkan
bahwa untuk mengerti akan apa yang baik tidak hanya bertitik tolak pada diri siswa
sendiri tetapi perlu mengerti konsep ini dari orang lain atau lingkungan sehingga
menutup kemung-kinan akan timbulnya visi bersama (kelompok) akan hal yang baik.
Berbeda dengan tujuan yang pertama, tujuan yang kedua lebih menekankan
akan kemampuan dan peranan lingkungan dalam menentukan apa yang baik tidak
hanya berdasarkan pada diri namun juga pada orang lain berikut akibatnya. Di lain
pihak guru mempersiapkan anak didik untuk melaksanakan kebebasannya dalam
mengembangkan visi apa yang baik secara konkrit dengan penuh rasa tanggung
jawab di tengah kehidupan bermasyarakat sehingga pada akhirnya akan
terbentuklah dalam diri anak sense of justice dan sense of good. Komitmen guru
dalam mengajar guna pencapaian tujuan mengajar yang kedua lebih lanjut diuraikan
bahwa guru harus memiliki loyalitas terhadap apa yang ditentukan oleh lembaga
(sekolah). Sekolah selanjutnya akan mengatur guru, KBM dan siswa supaya
mengalami proses belajar-mengajar yang berlangsung dengan baik dan supaya tidak
terjadi penyalahgunaan jabatan. Namun demikian, sekolah juga perlu memberikan
kebebasan bagi guru untuk mengembangkan, memvariasikan, kreativitas dalam
merencanakan, membuat dan mengevaluasi sesuatu proses yang baik (guru
mempunyai otonomi). Hal ini menjadi perlu bagi seorang yang profesional dalam
pekerjaannya.

Masyarakat umum juga dapat membantu guru dalam proses kegiatan belajar
mengajar. Hal ini dimungkinkan karena masyarakat ikut bertanggung jawab terhadap
`proses’ anak didik. Ma-syarakat dapat mengajukan saran, kritik bagi lembaga
(sekolah). Lembaga (sekolah) boleh saja mempertimbangkan atau menggunakan
masukan dari masyarakat untuk mengembangkan pendidikan tetapi lembaga
(sekolah) atau guru tidak boleh bertindak sesuai dengan kehendak masyarakat
karena hal ini menyebabkan hilangnya profesionalitas guru dan otonomi lembaga
(sekolah) atau guru.

Dengan demikian, pemahaman akan visi pekerjaan sesuai dengan etika


moral profesi perlu dipahami agar tuntutan yang diberikan kepada guru bukan
dianggap sebagai beban melainkan visi yang akan dicapai guru melalui pro-ses
belajar mengajar. Guru perlu diberikan otonomi untuk mengembangkan dan
mencapai tuntutan tersebut.

H. Etika Keguruan

Sebenarnya kode etika pada suatu kerja adalah sifat-sifat atau ciri-ciri
vokasional, ilmiah dan aqidah yang harus dimiliki oleh seorang pengamal untuk
sukses dalam kerjanya. Lebih ketara lagi ciri-ciri ini jelas pada kerja keguruan. Dari
segi pandangan Islam, maka agar seorang muslim itu berhasil menjalankan tugas
yang dipikulkan kepadanya oleh Allah S.W.T pertama sekali dalam masyarakat Islam
dan seterusnya di dalam masyarakat antarabangsa maka haruslah guru itu memiliki
sifat-sifat yang berikut:

1. Bahwa tujuan, tingkah laku dan pemikirannya mendapat bimbingan Tuhan


(Rabbani), seperti disebutkan oleh surah Al-imran, ayat 79, “Tetapi jadilah
kamu Rabbani (mendapat bimbingan Tuhan)”.

2. Bahwa ia mempunyai persiapan ilmiah, vokasional dan budaya menerusi ilmu-


ilmu pengkhususannya seperti geografi, ilmu-ilmu keIslaman dan kebudayaan
dunia dalam bidang pengkhususannya.

3. Bahwa ia ikhlas dalam kerja-kerja kependidikan dan risalah Islamnya dengan


tujuan mencari keredhaan Allah S.W.T dan mencari kebenaran serta
melaksanakannya.

4. Memiliki kebolehan untuk mendekatkan maklumat-maklumat kepada pemikiran


murid-murid dan ia bersabar untuk menghadapi masalah yang timbul.

5. Bahwa ia benar dalam hal yang didakwahkannya dan tanda kebenaran itu
ialah tingkah lakunya sendiri, supaya dapat mempengaruhi jiwa murid-
muridnya dan anggota-anggota masyarakat lainnya. Seperti makna sebuah
hadith Nabi S.A.W, “Iman itu bukanlah berharap dan berhias tetapi
meyakinkan dengan hati dan membuktikan dengan amal”.

6. Bahwa ia fleksibel dalam mempelbagaikan kaedah-kaedah pengajaran dengan


menggunakan kaedah yang sesuai bagi suasana tertentu. Ini memerlukan
bahawa guru dipersiapkan dari segi professional dan psikologikal yang baik.

7. Bahwa ia memiliki sahsiah yang kuat dan sanggup membimbing murid-murid


ke arah yang dikehendaki.

8. Bahwa ia sedar akan pengaruh-pengaruh dan trend-trend global yang dapat


mempengaruhi generasi dan segi aqidah dan pemikiran mereka.

9. Bahawa ia bersifat adil terhadap murid-muridnya, tidak pilih kasih, ia


mengutamakan yang benar.

Seperti makna firman Allah S.W.T dalam surah al Maidah ayat ke 8,


“Janganlah kamu terpengaruh oleh keadaan suatu kaum sehinga kamu tidak adil.
Berbuat adillah, sebab itulah yang lebih dekat kepada taqwa. Bertaqwalah kepada
Allah, sebab Allah Maha Mengetahui apa yang kamu buat”.

Inilah sifat-sifat terpenting yang patut dipunyai oleh seorang guru Muslim di
atas mana proses penyediaan guru-guru itu harus dibina.

Buku-buku pendidikan telah juga memberikan ciri-ciri umum seorang guru, ciri-ciri itu
tidak terkeluar dan sifat-sifat dan aspek-aspek berikut:

1. Tahap pencapaian ilmiah

2. Pengetahuan umum dan keluasan bacaan

3. Kecerdasan dan kecepatan berfikir

4. Keseimbangan jiwa dan kestabilan emosi

5. Optimisme dan entusiasme dalam pekerjaan

6. Kekuatan sahsiah

7. Memelihara penampilan(mazhar)

8. Positif dan semangat optimisme

9. Yakin bahawa ia mempunyai risalah(message)

Dari uraian di atas jelaslah bahawa seorang guru Muslim memiliki peranan
bukan sahaja di dalam sekolah, tetapi juga diluarnya. Oleh yang demikian
menyiapkannya juga harus untuk sekolah dan untuk luar sekolah. Maka haruslah
penyiapan ini juga dipikul bersama oleh institusi-institusi penyiapan guru seperti
fakulti-fakulti pendidikan dan maktab-maktab perguruan bersama-sama dengan
masyarakat Islam sendiri, sehingga guru-guru yang dihasilkannya adalah guru yang
soleh, membawa perbaikan (muslih), memberi dan mendapat petunjuk untuk
menyiarkan risalah pendidikan Islam. Petunjuk (hidayah) Islam di dalam dan di luar
adalah sebab tujuan pendidikan dalam Islam untuk membentuk generasi-generasi
umat Islam yang memahami dan menyedari risalahnya dalam kehidupan dan
melaksanakan risalah ini dengan sungguh-sungguh dan amanah dan juga menyedari
bahawa mereka mempunyai kewajipan kepada Allah S.W.T dan mereka harus
melaksanakan tugas itu dengan sungguh-sungguh dan ikhlas. Begitu juga mereka
sedar bahawa mereka mempunyai tanggung jawab, maka mereka menghadapinya
dengan sabar, hati-hati dan penuh prihatin. Begitu juga mereka sedar bahawa
mereka mempunyai tanggungjawab terhadap masyarakatnya, maka mereka
melaksanakannya dengan penuh tanggungjawab, amanah, professionalisme dan
kecekalan. Dengan demikian umat Islam akan mencapai cita-citanya dalam
kehidupan dengan penuh kemuliaan, kekuatan, ketenteraman dan kebanggaan.
Sebab Allah S.W.T telah mewajibkan kepada diriNya sendiri dalam surah al-Nahl
ayat ke 97,

“la tidak akan mensia-siakan pahala orang-orang yang berbuat baik”

Setelah berpanjang lebar tentang kode etika keguruan dalam pandangan


pendidikan Islam, marilah kita tutup bagian ini dengan suatu misal atau model yang
menjamin bahwa bila dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan penuh ketekunan
maka masyarakat akan hidup bahagia dan individu-individu dan kumpulan-kumpulan
akan hidup dengan tenteram. Model ini tergambar dalam firman Allah S.W.T yang
bermaksud,

“Katakanlah (wahai Muhammad) marilah aku bacakan apa yang dihararamkan


kepadamu oleh Tuhanmu. Hendaklah berbuat baik kepada kedua ibu bapa.
Janganlah kamu membunuh anak-anakmu kerana takut kemiskinan, sebab Kamilah
yang memberi mereka dan kamu rezeki. Jangan kamu mendekati perkara-perkara
buruk yang terang-terangan dan yang tersembunyi. Jangan kamu membunuh diri
yang dihararamkan kamu membunuhnya kecuali dengan kebenaran, itulah wasiat
Allah kepadamu, mudah-mudahan kamu berakal. Jangan kamu mendekati harta
anak yatim kecuali untuk yang lebih baik sehinggalah ia dewasa. Sempumakanlah
ukuran dan timbangan dengan adil. Allah tidak memberi beban seseorang kecuali
yang disanggupinya. Jika kamu berkata, maka berbuat adillah walaupun kepada
sanak saudara. Sempurnakanlah janjimu kepada Allah. Itulah pesanNya bagimu,
mudah-mudahan kamu ingat. Sungguh inilah jalanKu yang lurus, maka ikutilah
olehmu, jangan kamu ikut jalan-jalan lain nescaya kamu bercerai-berai dari jalanNya.
Itulah pesanNya bagimu, mudah-mudahan kamu bertaqwa ”

Ayat-ayat ini mengandungi sepuluh perakuan (wasaya) penting dalam


kehidupan individu dan kumpulan-kumpulan Islam dan kemanusiaan. Ia merupakan
perlembagaan Ilahi dalam pendidikan dan bimbingan akhlak dan sosial yang intinya
adalah sebagai berikut;
1. Jangan mensyarikatkan Allah S.W.T.

2. Berbuat baik kepada ibu bapa.

3. Jangan membunuh anak kerana takut miskin.

4. Jangan mendekati perkara-perkara buruk.

5. Jangan membunuh manusia.

6. Jangan mendekati harta anak-anak yatim.

7. Sempurnakanlah timbangan dan ukuran dengan adil.

8. Tidak boleh dibebani seseorang lebih dari kemampuannya.

9. Berbuat adillah dalam berkata-kata walaupun pada kaum kerabat.

10. Sempumakanlah janjimu dengan Allah S.W.T.

Selepas uraian tentang kode etika dalam keguruan, marilah kita bahas
tentang penghayatan dan pengamalan nilai. Masalah penghayatan (internalization)
sesuatu perkara berlaku bukan hanya pada pendidikan agama saja tetapi pada
aspek pendidikan, pendidikan pra-sekolah, pendidikan sekolah, pengajian tinggi,
pendidikan latihan perguruan dan lain-lain. Sebab adalah terlalu dangkal kalau
pendidikan itu hanya ditujukan untuk memperoleh ilmu (knowledge) dan ketrampilan
(skill) saja tetapi yang lebih penting dari itu semua adalah penanaman sikap
(attitude) yang positif pada diri pendidik terhadap hal yang menjadi tumpuan
pendidikan. Pendidikan ilmu (knowledge) terutama yang berkenaan dengan fakta-
fakta dan ketrampilan tidaklah terlalu rumit sebab tidak terlalu banyak melibatkan
nilai-nilai. Tetapi sebaliknya pendidikan sikap di mana terlibat nilai-nilai yang
biasanya berasal dari cara-cara pemasyarakatan yang diperoleh oleh kanak-kanak
semasa kecil, apa lagi kalau objek pendidikan itu memang adalah nilai-nilai yang
tidak dapat dinilai dengan betul atau salah tetapi dengan baik atau buruk, percaya
atau tidak percaya, suka atau tidak suka dan lain-lain lagi. Dalam keadaan terakhir
ini pendidikan tidak semudah dengan pendidikan fakta atau ketrampilan.

Pendidikan nilai-nilai, yang selanjutnya kalau diulang-ulang sebab diteguhkan


akan berubah menjadi penghayatan nilai-nilai, mempunyai syarat-syarat yang
berlainan dengan pendidikan fakta-fakta ketrampilan.
1. Pertama sekali nilai itu mestilah mempunyai model. Yang berarti tempat di mana
nilai itu melekat supaya dapat disaksikan bagaimana nilai-nilai itu beroperasi.
Ambillah suatu nilai seperti kejujuran. Nilai ini bersifat mujarrad(abstract), jadi tidak
dapat diraba dengan pancaindera. Tidak dapat dilihat dengan mata, rupanya
bagaimana. Tidak dapat dicium baunya, harum atau busuk dan sebagainya.
Pendeknya, supaya nilai yang bernama kejujuran itu dapat disaksikan beroperasi
maka ia harus melekat pada suatu model, seorang guru, seorang bapa, seorang
kawan dan lain-lain. Kalau model tadi dapat mencerminkan nilai-nilai yang disebut,
kejujuran itu pada dirinya, maka kejujuran itu boleh menjadi perangsang. Itu syarat
pertama. Syarat yang kedua kalau kejujuran itu dapat menimbulkan peneguhan pada
diri murid-murid maka ia akan dipelajari, ertinya diulang-ulang dan kemudian
berubah menjadi penghayatan. Syarat kedua agak rumit sedikit, sebab selain
daripada nilai kejujuran itu sendiri, juga model tempat kejujuran itu melekat
diperlukan berfungsi bersama untuk menimbulkan peneguhan itu. Dengan kata-kata
yang lebih sederhana, seorang guru atau ibu yang mengajarkan kejujuran kepada
murid atau anaknya, haruslah ia sendiri lebih dahulu bersifat jujur, kalau tidak maka
terjadi pertikaian antara perkataan dan perbuatan. Dalam keadaan terakhir ini, guru
sebagai perangsang(stumulus) telah gagal sebagai model, sebab ia tidak akan
memancing tingkahlaku kejujuran dan murid-muridnya.

2. Oleh sebab model tempat melekatnya nilai-nilai yang ingin diajarkan kepada
murid-murid adalah manusia biasa, dengan pengertian dia mempunyai kekurangan-
kekurangan, maka nilai-nilai yang akan diajarkan itu boleh menurun nilainya
disebabkan oleh kekurangan-kekurangan yang ada pada model itu, malah ada
kemungkinan anak didik mempelajari nilai sebaliknya. Jadi daripada jujur dia menjadi
tidak jujur, jika pada model itu timbul sifat-sifat atau tingkah laku yang tidak
meneguhkan kejujuran itu. Sebagai misal, ada murid-murid yang benci kepada
matematik sebab ia tidak suka kepada guru yang mengajarkan matematik, kalau
sikap ini dikembangkan, murid-murid boleh benci kepada semua yang berkaitan
dengan matematik, seperti pelajaran sains misalnya. Oleh sebab itu dikehendaki dari
guru-guru, terutama pada tingkat-tingkat sekolah dasar agar mereka melambangkan
ciri kesempumaan dari segi jasmaniah dan rohaniah. Dengan kata lain syarat
penghayatan nilai-nilai sangat bergantung pada peribadi model yang membawa nilai-
nilai itu.

3. Semua guru, terlepas daripada mata pelajaran yang diajarkannya, adalah


pengajar nilai-nilai tertentu. Sebab guru-guru sama ada sedar atau tidak,
mempengaruhi murid-muridnya melalui kaedah-kaedah dan strategi-strategi
pengajaran yang digunakan yang sebahagian besarnya termasuk dalam kawasan
“kurikulum informal”. Sebagaimana setiap guru, apapun yang diajarkannya, adalah
seorang guru bahasa maka setiap guru juga adalah seorang pengajar nilai-nilai. Bila
seorang guru memuji seorang murid, maka ia meneguhkan sesuatu tingkahlaku. Bila
guru menghukum seorang murid, maka ia menghukum tingkahlaku tertentu. Malah
bila guru tidak mengacuhkan seorang murid, maka murid tersebut mungkin merasa
bahawa guru tidak menyukai perbuatannya. Ini semua adalah nilai-nilai. Begitu juga
dengan pendidikan agama, sebahagian, kalau tidak sebahagian besar, nilai-nilai
agama itu sendiri tidak diajarkan oleh guru-guru agama di sekolah, tetapi oleh guru-
guru matematik, geografi, sejarah dan lain-lain. Kalau mereka mencerminkan nilai-
nilai Islam dalam cara berpakaian, bersopan-santun, beribadat atau dengan kata lain
kalau amal mereka mencerminkan nilai-nilai Islam. Malah sebaliknya, mungkin ada
setengah-setengah guru-guru agama sendiri tidak menjadi perangsang nilai-nilai
Islam itu, kalau tidak menjadi perangsang negatif yang boleh menimbulkan sifat anti-
agama pada diri murid-murid, iaitu jika perangai mereka sehari-hari bertentangan
dengan nilai-nilai Islam, walaupun mereka sendiri mengajarkan agama. Jadi
jangankan menghayati agama, sebaliknya murid-murid semakin menjauhi kalau tidak
membenci segala yang berbau agama.

Inilah sebahagian syarat-syarat yang perlu wujud untuk penghayatan nilai-nilai. Oleh
sebab pendidikan agama merupakan pendidikan ke arah nilai-nilai agama, maka
orientasi pendidikan agama haruslah ditinjau kembali sesuai dengan tujuan tersebut.
Pendidikan agama sekadar untuk lulus ujian mata pelajaran agama sudah lewat
masanya. Orientasi sekarang adalah ke arah kemasyarakatan yang bermotivasi dan
berdisiplin. Ini tidaklah mengesampingkan bahawa dalam pelajaran agama itu sendiri
ada perkara-perkara yang bersifat fakta-fakta dan ketrampilan-ketrampilan. Maka
pada yang terakhir ini juga berlaku kaedah pengajaran fakta-fakta dan ketrampilan.
Tetapi memperlakukan semua pendidikan agama sebagai pengajaran fakta-fakta
dan ketrampilan-ketrampilan saja adalah suatu kesalahan besar yang perlu
diperbaiki dengan segera. Sebab kalau tidak maka suatu masa nanti akan timbul
dalam masyarakat Islam sendiri ahli-ahli agama yang tidak menghayati ajaran
agama atau orang-orang orientalis yang berdiam di negeri-negeri Timur.

Pengamalan nilai-nilai adalah kelanjutan daripada penghayatan nilai. Nilai-


nilai yang sungguh-sungguh dihayati akan tercermin dalam amalan sehari-sehari.
Sebab penghayatan itu pun berperingkat-peringkat, mulai dari peringkat yang paling
rendah sampai kepada peringkat tinggi, seperti tergambar pada gambarajah di
bawah,

Kelima : Peringkat Perwatakan

Keempat : Peringkat Organisasi

Ketiga : Peringkat Penilaian

Kedua : Peringkat Gerak balas

Pertama : Peringkat Penerimaan

Bila nilai-nilai itu dihayati sampai ke peringkat perwatakan maka ia sebati dengan
sahsiah dan sukar untuk diubah dan sentiasa terpancar dalam amalan sehari-
hari.Kesimpulan. Oleh sebab kode etika itu adalah nilai-nilai maka ia perlu dihayati
dan diamalkan, bukan sekadar diketahui dan dihafalkan. Di situ juga telah dinyatakan
perakuan yang sepuluh (al-Wisaya al-’Asyarah) tentang segala kerjanya seorang
muslim yang tercantum dalam al-Quran (al-An’am: 151-153).

I. Penutup

Seandainya kita coba mengkaji lebih dalam akan arti/makna dari lagu
tersebut, maka tampaklah sebuah gambaran keseharian seorang guru, dengan
loyalitasnya, ketekunan serta pengor-banan dalam mendidik siswa untuk mencapai
suatu proses perkembangan yang optimal. Namun, dibalik itu semua juga tersirat
suatu dilema profesi ini dimana seringkali guru tidak menerima penghargaan ataupun
perlakuan yang sebanding dengan apa yang telah dikorbankan. Sebagai seorang
yang berprofesi sebagai seorang guru apakah yang harus kita lakukan? Bagaimana
pula sebaiknya kita menyikapi hal ini dengan lebih arif dan bijaksana? Karangan ini
hanyalah sebuah tulisan dari pemikiran dan diskusi yang teoritis ini, namun de-ngan
yang teoritis ini, penulis bisa berharap dapat memberikan masukan untuk
merefleksikan kembali pilihan kita.

Jabatan guru merupakan jabatan Profesional, dan sebagai jabatan


profesional, pemegangnya harus memenuhi kualifikasi tertentu. Kriteria jabatan
profesional antara lain bahwa jabatan itu melibatkan kegiatan intelektual, mempunyai
batang tubuh ilmu yang khusus, memerlukan persiapan lama untuk memangkunya,
memerlukan latihan dalam jabatan yang berkesinambungan, merupakan karier hidup
dan keanggotaan yang permanen, menentukan baku perilakunya, mementingkan
layanan, mempunyai organisasi profesional, dan mempunyai kode etik yang di taati
oleh anggotanya.

Jabatan guru belum dapat memenuhi secara maksimal persyaratan itu,


namun perkembangannya di tanah air menunjukkan arah untuk terpenuhinya
persyaratan tersebut. Usaha untuk ini sangat tergantung kepada niat, perilaku dan
komitmen dari guru sendiri dan organisasi yang berhubungan dengan itu, selain juga,
oleh kebijaksanaan pemerintah.

You might also like