You are on page 1of 15

1

Bab I
Pendahuluan
Putusan Pengadilan Tinggi Agama

MENEMPATKAN “ANAK YANG LAHIR DI LUAR NIKAH “SECARA


HUKUM ISLAM

—-Islam adalah Agama kaffah yang mengatur semua lini kehidupan manusia,
mengenai hal-hal yang menyangkut aqidah, ibadah, kemasyarakatan, kesehatan,
lingkungan, hukum dan lain sebagainya, termasuk di dalamnya tentang hukum
pernikahan. Karena itu, Din al-Islam merupakan pedoman hidup yang mengajarkan
kepada penganutnya untuk senantiasa berikhtiar (berusaha) dalam rangka mencapai
tujuan-tujuan ideal yang dikehendakinya.
—-Hukum Islam sebagai salah satu sistem hukum di Indonesia yang eksistensinya
telah diakui di samping hukum Adat dan hukum Barat/Eropa yang berlaku di
wilayah negara Republik Indonesia, sebagian ditetapkan Allah secara jelas dan pasti
dalam al-Qur’an dan as-Sunnah (al-Hadis) dan sebagian lainnya merupakan hasil
Ijtihad para ahli hukum Islam yang diambil dari dasar/nilai-nilai pokok yang
terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah (maqashid at-tasyri’), yang lebih dikenal
dengan istilah fikih.
—-Di antara keistimewaan hukum Islam dibandingkan dengan dua sistem hukum
lainnya adalah adanya dimensi keadilan, kebenaran dan kemaslahatan yang
terkandung dalam setiap hukum yang ditetapkan.
Karena itu, dalam setiap hukum yang ditetapkan, selain mengandung dimensi
keadilan juga mengandung kebenaran dan kemaslahatan dari sudut pandang
manusia secara keseluruhan (universal).
—-Syariat pernikahan merupakan salah satu hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT
demi kemaslahatan seluruh umat manusia, guna menyalurkan kodrat manusia
dalam menyalurkan nafsu birahi secara benar dan teratur mengembang biakkan
keturunan yang sah, di samping mewujudkan suasana rumah tangga yang sakinah,
mawaddah dan ramah, sebagaimana yang dikandung dalam Q.S. al-Ruum ayat 21,
yang artinya ;

—-Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu


isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
2

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi


kaum yang berpikir. (Qs. Ar-Rum (30) : 21)-

—-Di Indonesia, peraturan tentang (hukum) perkawinan diatur dalam UU Nomor I


Tahun 1974 yang selanjutnya secara rinci dilengkapi oleh Kompilasi Hukum Islam
(KHI) yang keberlakuannya diatur dalam INPRES Nomor 1 Tahun 1991.
—-Pembicaraan perkawinan dan segala permasalahannya tentu tidak lepas dengan
status anak yang dilahirkan, baik yang dilahirkan sebagai akibat hubungan suami
isteri yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang terikat tali perkawinan yang
sah maupun hubungan suami isteri di antara laki-laki dan perempuan yang tidak
mempunyai ikatan perkawinan yang sah.
—-Untuk kasus yang pertama tidaklah menjadi pembahasan di sini, yang menjadi
bahasan di sini adalah kasus yang kedua.
—-Dalam hukum Islam, hubungan suami isteri antara laki-laki dan perempuan yang
tidak terikat tali pernikahan disebut “zina”, sehingga apabila akibat hubungan
dimaksud membuahkan janin, maka setelah dilahirkan anak tersebut adalah anak
luar nikah atau yang dalam masyarakat lebih dikenal dengan istilah “anak zina”.
—-
Hukum Perkawinan Islam di Indonesia

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian pernikahan adalah ikatan


lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pernikahan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan masing-
masing agama dan kepercayaan serta tercatat oleh lembaga yang berwenang
menurut perundang-undangan yang berlaku.
Perkawinan adalah salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya perlu dijaga oleh
kedua belah pihak baik suami maupun istri. Perkawinan bertujuan untuk
membentuk keluarga yang bahagia sejahtera dan kekal selamanya. Perkawinan
memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena menikah / kawin
adalah sesuatu yang sakral dan dapat menentukan jalan hidup seseorang.
Dasar dan Tujuan Pernikahan Menurut Agama Islam :
1. Dasar Hukum Agama Pernikahan/ Perkawinan (Q.S. 24-An Nuur : 32)
3

"Dan kawinlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan mereka yang
berpekerti baik. Termasuk hamba-hamba sahayamu yang perempuan."
2. Tujuan Pernikahan/ Perkawinan (Q.S. 30-An Ruum : 21)
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu
pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir."
a. MAKNA PERKAWINAN

Pengertian Secara Bahasa


Az-zawaaj adalah kata dalam bahasa arab yang menunjukan arti: bersatunya dua perkara,
atau bersatunya ruh dan badan untuk kebangkitan. Sebagaimana firman Allah 'azza wa jalla
(yang artinya):

"Dan apabila ruh-ruh dipertemukan (dengan tubuh)


(Q.S At-Takwir : 7)

dan firman-Nya tentang nikmat bagi kaum mukminin di surga, yang artinya mereka
disatukan dengan bidadari :

"Kami kawinkan mereka dengan bidadari-bidadari yang cantik lagi bermata jeli
(Q.SAth-Thuur : 20)

Karena perkawinan menunjukkan makna bergandengan, maka disebut juga "Al-Aqd, yakni
bergandengan (bersatu)nya antara laki-laki dengan perempuan, yang selanjutnya
diistilahkan dengan "zawaaja.

Pengertian Secara Syar'i

Adapun secara syar’i perkawinan itu ialah ikatan yang menjadikan halalnya bersenang-
senang antara laki-laki dengan perempuan, dan tidak berlaku, dengan adanya ikatan
tersebut, larangan-larangan syari'at.

Lafadz yang semakna dengan "AzZuwaaj" adalah "An-Nikaah; sebab nikah itu artinya saling
bersatu dan saling masuk. Ada perbedaan pendapat di antara para ulama tentang maksud
dari lafadz "An-Nikaah" yang sebenarnya. Apakah berarti "perkawinan" atau "jima'".
4

Selanjutnya, ikatan pernikahan merupakan ikatan yang paling utama karena berkaitan
dengan dzat manusia dan mengikat antara dua jiwa dengan ikatan cinta dan kasih sayang,
dan karena ikatan tersebut merupakan sebab adanya keturunan dan terpeliharanya
kemaluan dari perbuatan keji.

b. TUJUAN PERNIKAHAN

Sesungguhnya perintah itu ikatan yang mulia dan penuh barakah. Allah Subhanahu Wa
Ta’ala mensyari'atkan untuk kemaslahatan hamba-Nya dan kemanfaatan bagi manusia, agar
tercapai maksud-maksud yang baik dan tujuan-tujuan yang mulia. Dan yang terpenting dari
tujuan pernikahan ada dua, yaitu:

1. Mendapatkan keturunan atau anak


2. Menjaga diri dari yang haram

Maksud Pertama "Mendapatkan Keturunan atau Anak"

Dianjurkan dalam pernikahan tujuan pertamanya adalah untuk mendapatkan keturunan


yang shaleh, yang menyembah pada Allah dan mendo'akan pada orangtuanya
sepeninggalnya, dan menyebut-sebut kebaikannya di kalangan manusia serta menjaga nama
baiknya. Sungguh ada dalam hadits dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu
berkata : Adalah Nabi salallahu 'alaihi wa sallam menyuruh kami menikah dan melarang
membujang dengan larangan yang keras dan belia bersabda :

Nikahkah oleh kalian perempuan-perempuan yang pecinta dan peranak, maka sungguh aku
berbangga dengan banyaknya kalian dari para Nabi di hari kiamat.

Al Walud (banyak anak), Al Wadud (pecinta), di mana dia mempunyai unsur-unsur


kebaikan dan baik perangainya dan mencintai suaminya, Al-Makaatsarat ialah bangga
dengan banyaknya umat shallallahu alaihi wa alaihi wa sallam di hari kiamat, maka Nabi,
Berbangga dengan banyaknya umatnya dari semua para Nabi. Karena siapa yang umatnya
lebih banyak maka pahalanya lebih banyak dan bagi beliau mendapat seperti pahala orang
yang mengikutinya sampai hari kiamat. Inilah tujuan yang besar dari pernikahan. Berfirman
Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya) :

Dan Dia (Allah) telah menjadikan bagimu dari istri-istrimu itu, anak-anak dan cucu-cucu.
5

(Q.S An-Nahl-72)

Al-Hafadah (jama' dari hafid artinya cucu; yang dimaksud dalam ayat ini adalah anaknya
anak dan anak-anak keturunan mereka.

Maka manusia dengan fitrah yang Allah berikan padanya dijadikan rnencintai anak-anak
karena Allah menghiasi manusia dengan cinta pada anak-anak. Allah Subhanahu Wa Taala
berfirman (yang artinya) :

"Dijadikan indah pada (pandangan ) manusia, kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu
; wanita-wanita, anak-anak,(Q.S Ali-Imran -14)

Manusia memiliki naluri cinta pada anak-anak, karenanya Allah Subhanahu wa Taala
jadikan anak-anak sebagai perhiasan kehidupan dunia. Berfirman Allah (yang artinya):

Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.

Namun karena terlalu cintanya pada anak-anaknya, kadang-kadang bisa menjerumuskan ke


dalam fitnah, sehingga dia bermaksiat pada Allah dengan sebab anak-anaknya. Allah
berfirman (yang artinya):

Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu) dan di sisi Allah-lah
pahala yang besar.
(Q.S At-Taghabun : 15)

Dan bila telah keterlaluan fitnah anak pada manusia, maka bisa mendorong pada perbuatan
haram, seperti usaha yang haram untuk menafkahi mereka, atau meninggalkan kewajiban,
seperti meninggalkan jihad di jalan Allah, karena takut kalau meninggalkan anak. Maka
anak dalam hal ini sama kedudukannya dengan musuh, sehingga wajib berhati-hati dari
keterikatan pada mereka. Dan ini adalah makna dari firman Allah Ta'ala (yang artinya) :

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isteri dan anak-anakmu ada
yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu
memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(Q.S At-Taghabun:14)
6

Telah ada dalam sebab Nuzul ayat ini apa yang diriwayatkan Imam Tirmidzi dan Hakim dan
lainnya dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu anhuma berkata :

Telah turun ayat ini (At-Taghabun-14) tentang suatu kaum dari ahli Makkah, mereka telah
masuk Islam, lalu istri-istri mereka dan anak-anak mereka menolak ajakan mereka.
Maka ketika mereka datang pada Rasulullah Shalallahualaihi Wassallam di Madinah,
mereka melihat orang-orang yang mendahului mereka dengan hijrah. Sungguh mereka telah
pandai-pandai dalam urusan agama, maka mereka ingin menghukum istri-istri dan anak-
anak mereka, lalu Allah turunkan pada mereka ayat :

"Dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Penyayang
(Q.S At-Taghabun : 14)

Maksud Kedua : "Menjaga Diri dari yang Haram"

Tidak diragukan lagi bahwa yang terpenting dari tujuan nikah ialah memelihara dari
perbuatan zina dan semua perbuatan-perbuatan keji, serta tidak semata-mata memenuhi
syahwat saja. Memang bahwa memenuhi syahwat itu merupakan sebab untuk bisa menjaga
diri, akan tetapi tidaklah akan terwujud iffah (penjagaan) itu kecuali dengan tujuan dan niat.
Maka tidak benar memisahkan dua perkara yang satu dengan lainnya, karena manusia bila
mengarahkan semua keinginannya untuk memenuhi syahwatnya dengan menyandarkan
pada pemuasan nafsu atau jima' yang berulang-ulang dan tidak ada niat memelihara diri
dari zina, maka dimanakah perbedaannya antara manusia dengan binatang ?

Oleh karena itu, maka harus ada bagi laki-laki dan perempuan tujuan mulia dari perbuatan
bersenang-senang yang mereka lakukan itu, yaitu tujuannya memenuhi syahwat dengan
cara yang halal agar hajat mereka terpenuhi, dapat memelihara diri, dan berpaling dari yang
haram. Inilah yang ditunjukkan oleh Rasulullah salallahu 'alaihi wa sallam . Sungguh
diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu anhu berkata
: telah berkata Rasulullah .:

Wahai para pemuda, barang siapa diantara kalian yang mampu maka nikahlah, karena
sesungguhnya itu dapat menundukan pandangan dan memelihara kemaluan, maka barang
siapa yang tidak mampu hendaknya dia berpuasa, karena sesungguhnya itu benteng
baginya.
7

Al- Wijaa', adalah satu jenis pengebirian, yaitu dengan mengosongkan saluran mani yang
menghubungkan antara testis_dan dzakar. Dan makna hadits ini adalah : Barang siapa yang
mampu di antara kamu wahai pemuda untuk berjima' dan telah mampu untuk memikul
beban-beban pernikahan dan amanahnya, maka nikahlah. Karena nikah itu akan
menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Jika tidak mampu hendaknya dia
berpuasa, karena puasa itu akan menghancurkan kekuatan gejolak syahwat, bagai
pengebirian pada binatang buas untuk menghilangkan syahwatnya.

Maka jelaslah dari hadits ini bahwa Nabi salallahu 'alaihi wasallam memberikan pada
pernikahan itu dua perkara yang membantu pada kedua mempelai, yaitu pertama
menundukan pandangan dari pandangan-pandangan yang diharamkan Allah Ta'ala dari
para wanita, kedua memelihara kemaluan dari "zina" dan semua perbuatan-perbuatan keji.
Sehubungan dengan makna ini telah ada hadits yang mulia yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu anhuma berkata :"Aku mendengar Rasulullah
bersabda :

"Apabila seseorang diantara kamu terkagum-kagum pada wanita lalu terkesan atau terjatuh
dalam hati; maka hendaklah segera menemui isterinya lalu penuhilah hasratnya dengan
isterinya, karena sesungguhnya itu akan menolak apa yang ada dihatinya atau jiwanya”.

Adapun orang-orang yang telah menikah dan semua keinginannya dari


pernikahan adalah syahwat dan jima' semata, maka mereka tidak bertambah dengan jima'
tersebut kecuali tambah syahwat, dan dia tidak cukup dengan isterinya yang halal. Bahkan
dia akan berpaling pada yang haram.

(Dikutip darikitab Ushulul Muasyarotil Zaujiyah, Edisi Indonesia Tata Pergaulan Suami Istri
Jilid I Penerbit Maktabah Al-Jihad, Jogjakarta)
8

Bab II
Pembahasan
HUKUM PERKAWINAN

An-Nikaah hukumnya dianjurkan, karena nikah itu termasuk sunnah Nabi Shalallahualaihi
Wassallam sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim bahwasanya telah
berkata Anas bin Malik Radhiyallahu anhu:
Telah datang tiga orang ke rumah istri-istri nabi Shalallahualaihi Wassallam. Mereka
bertanya tentang ibadahnya, maka tatkala telah diberitahu maka seakan-akan merasa
amalnya sangat sedikit, lalu mereka berkata: "Dimana kita dibanding Rasulullah
Shalallahualaihi Wassallam, sungguh Allah mengampuni dosa beliau yang telah lalu dan
yang akan datang". Maka berkata seseorang di antara mereka, "Adapun saya, maka saya
akan shalat malam selamanya", dan berkata seorang lagi, "Aku akan berpuasa sepanjang
masa, dan yang lainnya,"Aku akan meninggalkan wanita, tidak akan menikah. Lalu datang
Nabi Shalallahualaihi Wassallam, kemudian beliau Shalallahualaihi Wassallam berkata:
'Kaliankah yang telah berkata begini dan begitu ? Demi Allah, sungguh aku adalah orang
yang paling takut dan paling taqwa dari kalian, akan tetapi aku shalat dan aku tidur, aku
puasa dan aku berbuka, dan aku menikahi wanita. Maka barang siapa yang membenci pada
sunnahku, maka dia tidak termasuk golnganku.

Makna dari 'barang siapa yang membenci sunnahku" adalah berpaling dari jalanku dan
menyelisihi apa yang aku kerjakan, sedang makna bukan dari golonganku" yakni bukan dari
golongan yang lurus dan yang mudah, sebab dia memaksakan dirinya dengan apa yang tidak
diperintahkan dan membebani dirinya dengan sesuatu yang berat. Jadi, maksudnya adalah
barang siapa yang menyelisihi petunjuk dan jalannya Rasulullah Shalallahualaihi
Wassallam, dan berpendapat apa yang dia kerjakan dari ibadah itu lebih baik dari apa yang
dikerjakan oleh Rasulullah . Sehingga makna dari ucapan bukan dari golonganku" adalah
bukan termasuk orang Islam, karena keyakinannya tersebut menyebabkan kekufuran.

Hukum nikah ini sunnah untuk orang yang bisa menanahan biologis dan tidak khawatir
terjerumus ke dalam zina jika dia tidak menikah, dan dia telah mampu untuk memenuhi
nafkah dan tanggung keluarga.

Adapun orang yang takut akan dirinya terjerumus ke dalam zina, jika dia tidak nikah, atau
orang yang tidak mampu meninggalkan zina kecuali dengan nikah, maka nikah itu wajib
atasnya. Dan untuk masalah nikah secara panjang lebar dalam kitab-kitab Fiqh.
9

ANAK DI LUAR NIKAH


A. Pengertian dan Dasar Hukum
—-Jika diteliti secara mendalam, Kompilasi Hukum Islam tidak menentukan secara
khusus dan pasti tentang pengelompokan jenis anak, sebagaimana pengelompokan
yang terdapat dalam hukum perdata umum. Dalam Kompilasi Hukum Islam selain
di.jelaskan tentang kriteria anak sah (yang dilahirkan dalam ikatan perkawinan yang
sah), sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam, yang
berbunyi bahwa anak yang sah adalah :
1. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
2. Hasil pembuahan suami isteri yang di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri
tersebut.
—-Juga dikenal anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, seperti yang tercantum
dalam Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam bahwa “anak yang lahir di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”.
—-Di samping itu dijelaskan juga tentang status anak dari perkawinan seorang laki-
laki dengan perempuan yang dihamilinya sebelum pernikahan. Sebagaimana yang
tercantum pada Pasal 53 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam  :
—-“Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak
diperlukan perkawinan setelah anak yang dikandung lahir”.
—-Begitu juga dalam Pasal 75 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam juga dijelaskan
tentang status anak dari perkawinan yang dibatalkan, yang berbunyi “Keputusan
pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan
dari perkawinan tersebut.
—-Sedangkan dalam Pasal 162 Kompilasi Hukum Islam dijelaskan tentang status
anak li’an (sebagai akibat pengingkaran suami terhadap janin dan/atau anak yang
dilahirkan isterinya).
Dengan demikian, jelas bahwa Kompilasi Hukum Islam tidak ada mengelompokkan
pembagian anak secara sistematis yang disusun dalam satu Bab tertentu,
sebagaimana pengklasifikasian yang tercantum dalam UU Nomor 1 Tahun 1974.
Dalam pasal 42 Bab IX UU Nomor 1 Tahun 1974 tersebut dijelaskan bahwa anak
yang sah adalah anak yang dilahirkan dan atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Yang termasuk dalam kategori pasal ini adalah :
1. Anak yang dilahirkan oleh wanita akibat suatu ikatan perkawinan yang sah.
10

2. Anak yang dilahirkan oleh wanita di dalam ikatan perkawainan dengan


tenggang waktu minimal 6 (enam) bulan antara peristiwa pernikahan dengan
melahirkan bayi.
3. Anak yang dilahirkan oleh wanita dalam ikatan perkawinan yang waktunya
kurang dari kebiasaan masa kehamilan tetapi tidak diingkari kelahirannya
oleh suami.
—-Karena itu untuk mendekatkan pengertian “anak di luar nikah” akan diuraikan
pendekatan berdasarkan terminology yang tertera dalam kitab fikih, yang dipadukan
dengan ketentuan yang mengatur tentang status anak yang tertera dalam pasal-pasal
UU Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.
—-Hasanayn Muhammad Makluf membuat terminology anak zina sebagai anak yang
dilahirkan sebagai akibat dari hubungan suami isteri yang tidak sah.
—-Hubungan suami isteri yang tidak sah sebagaimana dimaksud adalah hubungan
badan (senggama/wathi’) antara dua orang yang tidak terikat tali pernikahan yang
memenuhi unsur rukun dan syarat nikah yang telah ditentukan.
Selain itu, hubungan suami isteri yang tidak sah tersebut, dapat terjadi atas dasar
suka sama suka ataupun karena perkosaan, baik yang dilakukan oleh orang yang
telah menikah ataupun belum menikah. Meskipun istilah “anak zina” merupakan
istilah yang popular dan melekat dalam kehidupan masyarakat, namun Kompilasi
Hukum Islam tidak mengadopsi istilah tersebut untuk dijadikan sebagai istilah
khusus di dalamnya.
—-Hal tersebut bertujuan agar “anak” sebagai hasil hubungan zina, tidak dijadikan
sasaran hukuman sosial, celaan masyarakat dan lain sebagainya, dengan
menyandangkan dosa besar (berzina) ibu kandungnya dan ayah alami (genetik) anak
tersebut kepada dirinya, sekaligus untuk menunjukan identitas Islam tidak
mengenal adanya dosa warisan. Untuk lebih mendekatkan makna yang demikian,
pasal 44 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 hanya menyatakan “seorang suami dapat
menyengkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat
membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan kelahiran anak itu akibat daripada
perzinaan tersebut.
—-Dalam Kompilasi Hukum Islam kalimat yang mempunyi makna “anak zina”
sebagaimana definisi yang dikemukaan oleh Hasanayn di atas, adalah istilah “anak
yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah”, sebagaimana yang terdapat pada pasal
100 Kompilasi Hukum Islam, yang menyebutkan bahwa “anak yang lahir di luar
11

perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga


ibunya”
—-Semakna dengan ketentuan tersebut, pasal 186 Kompilasi Hukum Islam
menyatakan :
—-“Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling
mewarisi dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya”.
—-Berdasarkan defenisi dan pendekatan makna “anak zina” di atas, maka yang
dimaksudkan dengan anak zina dalam pembahasan ini adalah anak yang janin/
pembuahannya merupakan akibat dari perbuatan zina, ataupun anak yang
dilahirkan di luar perkawinan, sebagai akibat dari perbuatan zina.
—-Pendekatan istilah “anak zina” sebagai “anak yang lahir di luar perkawinan yang
sah”, berbeda dengan pengertian anak zina yang dikenal dalam hukum perdata
umum, sebab dalam perdata umum, istilah anak zina adalah anak yang dilahirkan
dari hubungan dua orang, laki-laki dan perempuan yang bukan suami isteri, di mana
salah seorang atau kedua-duanya terikat satu perkawinan dengan orang lain. Karena
itu anak luar nikah yang dimaksud dalam hukum perdata adalah anak yang
dibenihkan dan dilahirkan di luar perkawinan dan istilah lain yang tidak diartikan
sebagai anak zina.
—-Perbedaan anak zina dengan anak luar kawin menurut hukum perdata adalah :
1. Apabila orang tua salah satu atau keduannya masih terikat dengan
perkawinan lain, kemudian mereka melakukan hubungan seksual dan
melahirkan anak, maka anak tersebut disebut anak zina.
2. Apabila orang tua anak di luar kawin itu masih sama-sama bujang (jejaka,
perawan, duda dan janda), mereka mengadakan hubungan seksual dan
melahirkan anak maka anak itu disebut anak luar kawin.
—-Dengan demikian sejalan dengan pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 yang
rumusannya sama dengan pasal 100 KHI, adalah : “anak yang lahir di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga
ibunya”.
—-Yang termasuk anak yang lahir di luar pernikahan adalah :
1. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang tidak mempunyai ikatan perkawinan
yang sah dengan pria yang menghamilinya.
2. Anak Yang dilahirkan oleh wanita akibat korban perkosaan oleh satu orang
pria atau lebih.
12

3. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang dili’an (diingkari) oleh suaminya.
4. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat salah orang
(salah sangka), disangka suami ternyata bukan.
5. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat pernikahan yang
diharamkan seperti menikah dengan saudara kandung atau saudara
sepesusuan.
Angka 4 dan 5 di atas dalam hukum Islam disebut anak Subhat yang apabila diakui
oleh Bapak subhatnya, nasabnya dapat dihubungkan kepadanya.
—-
B. Akibat Hukum
—-Jika seorang anak telah dihukumkan sebagai anak yang lahir di luar perkawinan
sebagaimana disebutkan di atas, maka terdapat beberapa akibat hukum menyangkut
hak dan kewajiban antara anak, ibu yang melahirkannya dan ayah/bapak alaminya
(genetiknya), yaitu:
1.   Hubungan Nasab.
—-Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam sebagaimana yang telah dikemukakan,
dinyatakan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya saja.
Hal demikian secara hukum anak tersebut sama sekali tidak dapat dinisbahkan
kepada ayah/bapak alaminya, meskipun secara nyata ayah/bapak alami (genetik)
tersebut merupakan laki-laki yang menghamili wanita yang melahirkannya itu.
—-Meskipun secara sekilas terlihat tidak manusiawi dan tidak berimbang antara
beban yang diletakkan di pundak pihak ibu saja, tanpa menghubungkannya dengan
laki-laki yang menjadi ayah genetik anak tersebut, namun ketentuan demikian
dinilai menjunjung tinggi keluhuran lembaga perkawinan, sekaligus menghindari
pencemaran terhadap lembaga perkawinan.
—-
2.   Nafkah.
—-Oleh karena status anak tersebut menurut hukum hanya mempunyai hubungan
nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya semata, maka yang wajib memberikan
nafkah anak tersebut adalah ibunya dan keluarga ibunya saja.
—-Sedangkan bagi ayah/bapak alami (genetik), meskipun anak tersebut secara
biologis merupakan anak yang berasal dari spermanya, namun secara yuridis formal
sebagaimana maksud Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam di atas, tidak mempunyai
13

kewajiban hukum memberikan nafkah kepada anak tersebut.


—-Hal tersebut berbeda dengan anak sah. Terhadap anak sah, ayah wajib
memberikan nafkah dan penghidupan yang layak seperti nafkah, kesehatan,
pendidikan dan lain sebagainya kepada anak-anaknya, sesuai dengan
penghasilannya, sebagaimana ketentuan Pasal 80 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam,
dalam hal ayah dan ibunya masih terikat tali pernikahan.
—-Apabila ayah dan ibu anak tersebut telah bercerai, maka ayah tetap dibebankan
memberi nafkah kepada anak-anaknya, sesuai dengan kemampuannya, sebagaimana
maksud Pasal 105 huruf (c) dan Pasal 156 huruf (d) Kompilasi Hukum Islam.
—-Meskipun dalam kehidupan masyarakat ada juga ayah alami/genetik yang
memberikan nafkah kepada anak yang demikian, maka hal tersebut pada dasarnya
hanyalah bersifat manusiawi, bukan kewajiban yang dibebankan hukum
sebagaimana kewajiban ayah terhadap anak sah. Oleh karena itu secara hukum anak
tersebut tidak berhak menuntut nafkah dari ayah/bapak alami (genetiknya).
3.   Hak-Hak Waris.
—-Sebagai akibat lanjut dari hubungan nasab seperti yang dikemukakan, maka anak
tersebut hanya mempunyai hubungan waris-mewarisi dengan ibunya dan keluarga
ibunya saja, sebagaimana yang ditegaskan pada Pasal 186 Kompilasi Hukum Islam :
“Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewarisi
dengan ibynya dan keluarga dari pihak ibunya”.
Dengan demikian, maka anak tersebut secara hukum tidak mempunyai hubungan
hukum saling mewarisi dengan ayah/bapak alami (genetiknya).
—-
4.   Hak Perwalian
—- Apabila dalam satu kasus bahwa anak yang lahir akibat dari perbuatan zina (di
luar perkawinan) tersebut ternyata wanita, dan setelah dewasa anak tersebut akan
menikah, maka ayah/bapak alami (genetik) tersebut tidak berhak atau tidak sah
untuk menikahkannya (menjadi wali nikah) , sebagaimana ketentuan wali nikah
yang ditentukan dalam Pasal 19 Kompilasi Hukum Islam :
 Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi
calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.
 Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi
syarat hukum Islam yakni muslim, akil dan baligh.
14

 Ketentuan hukum yang sama sebagaimana ketentuan hukum terhadap anak


luar nikah tersebut, sama halnya dengan status hukum semua anak yang lahir
di luar pernikahan yang sah sebagaimana disebutkan diatas.
—-
KESIMPULAN
1. Kompilasi Hukum Islam tidak mengenal istilah “anak zina”, tetapi mengenal
istilah “anak yang lahir di luar perkawinan” yang statusnya sama dengan anak
hasil hubungan suami isteri antara laki-¬laki dan perempuan yang tidak
terikat tali perkawinan yang sah, yang meliputi anak yang lahir dari wanita
yang tidak mempunyai ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang
menghamili, atau lahir dari wanita korban perkosaan, atau lahir dari wanita
yang dili’an, atau anak syubhat kecuali diakui oleh bapak syubhatnya.
2. Anak yang lahir di luar perkawinan atau sebagai akibat hubungan suami isteri
yang tidak sah, hanya mempunyai hubungan nasab, hak dan kewajiban
nafkah serta hak dan hubungan kewarisan dengan ibunya serta keluarga
ibunya saja, tidak dengan ayah/bapak alami (genetiknya), begitu juga
ayah/bapak alami (genetik) tidak sah menjadi wali untuk menikahkan anak
alami (genetiknya), jika anak tersebut kebetulan anak perempuan.
3. Jika anak yang lahir di luar pernikahan tersebut berjenis kelamin perempuan
dan hendak melangsungkan pernikahan maka wali nikah yang bersangkutan
adalah wali Hakim, karena termasuk kelompok yang tidak mempunyai wali.
—-
15

Referensi
blog tutorial www.soloboys.blogspot.com
//http:indonesiaindonesia.com
Drs. H. Chatib Rasyid, SH., MH., Yogyakarta 2009
Diskusi/Muzakarah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Medan tanggal 27 Agustus 2005
M/1426 H Menempatkan Anak Yang Lahir Di Luar Nikah Secara Hukum Islam.H. Abdul
Manan, Prof. Dr., SH., SIP.,M.Hum., Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia,Cet.
Ke-2 (Jakarta: Kencana, 2008).
M. All Hasan, Masail Fighiyah al-Haditsah Pada Masalah-masalah Kontemporer Hukum
Islam (Jakarta-, Raja Grafindo Persada, 1996). Sayyid Tsabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II
(Beirut; Dar al-Fikr, 1980).
Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia, Akar Sejarah, Harapan Dan
Prospeknya (Jakarta; Gema Insani Prss, 1996).

You might also like