TDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 19 April 2011 ISSN 2088-4532 Dampak Pelatihan Pengurangan Risiko Bencana terhadap Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah (Studi Kasus di Calang, Aceh Tengah, dan Pidie Jaya) Khairuddin 1,2 Ngadimin 1,3 Sri Adelila Sari 1,4 Melvina 1, 3 Tati Fauziah 1,5
1 ) Peneliti pada Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Universitas Syiah Kuala, Jl. Tgk Abdurrahman, Gampong Pie, Banda Aceh, Indonesia 2 ) Progam Studi Ilmu Pendidikan, FKIP Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 3 ) Progam Studi Fisika, FKIP Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 4 ) Progam Studi Kimia, FKIP Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 5 ) Progam Studi PGSD, FKIP Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
Abstract This study is aimed to find the impact of disaster training that had ever been conducted in primary and secondary schools during post-tsunami in Aceh. The methodology used was descriptive qualitative. This study was conducted in Calang, Aceh Tengah, dan Pidie Jaya. Subjects in this study are school committees, school supervisors, principals, teachers and students. Results of the study showed that disaster training those had been conducted in Calang was disaster risk reduction (DRR) training that coordinated by Indonesian Red Cross. In addition, knowledge of DRR in three school samples in each area were found to be limited to natural disaster, however they had not understood about DRR. The preparedness of school community in DRR was still focused on knowledge regarding safety actions only, but it was not on DRR skill.
Keyword: post tsunami disaster training, schools community, and preparedness of disaster risk reduction
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Bencana gempa bumi dan tsunami yang terjadi tanggal 26 Desember 2004 di Aceh telah menyebabkan kerusakan berbagai fasilitas, harta benda maupun korban jiwa. Berdasarkan data RUPUSDALOPS BPBA Banda Aceh, jumlah korban bencana gempa bumi dan tsunami 26 Desember 2004 menelan korban jiwa sebanyak 165.708 jiwa meninggal, 37.063 jiwa hilang, sekitar 100.000 jiwa menderita luka berat dan ringan (Iskandar, 26 Sept 2010). Anak-anak dan usia lanjut adalah usia yang paling rentan terhadap risiko terjadinya korban dalam suatu bencana. Oleh karena itu, mempersiapkan pengetahuan tentang kebencanaan sejak dini kepada masyarakat yang rentan bencana adalah sangat penting untuk menghindar atau memperkecil ris iko menjadi korban. Dewasa ini, pasca gempa dan tsunami 26 Desember 2004, telah banyak lembaga yang melibatkan diri melakukan pendidikan dan pelatihan baik melalui sekolah maupun masyarakat untuk meningkatkan kesadaran dan kesiapsiagaan menghadapi bencana. Berkaitan dengan hal tersebut perlu diadakan penelitian untuk menjawab pertanyaan berikut: - Bagaimana pelaksanaan pelatihan kebencanaan yang dilaksanakan selama ini? - Bagaimana pengetahuan kebencanaan yang dimiliki komunitas sekolahh? - Bagaimana kesiapan sekolah dalam mengurangi resiko bencana? - Apa kendala yang dialami sekolah dalam melaksanakan pembelajaran Pengurangan Resiko Bencanann (PRB)? Namun, sampai saat ini belum ditemukan hasil studi yang dilakukan terhadap dampak pelatihan kebencanan terhadap kesadaran pengurangan risiko bencana bagi komunitas sekolah. Penelitian ini sangat penting dalam rangka pengembangan pendidikan dan pelatihan kebencaan yang memberi dampak pada kesiapsiagaan komunitas sekolah dalam mengurangi resiko bencana.
1.2 Tujuan Rencana Penelitian Tujuan rencana penelitian ini adalah untuk: - Mengidentifikas i bentuk-bentuk pelatihan yang pernah dilaksanakan di sekolah dalam wilayah propinsi Aceh - Mengetahui tingkat pemahaman yang dimiliki komunitas sekolah tentang kebencanaan - Mengetahui kesiapsiagaan sekolah dalam menghadapi bencana yang mungkin terjadi
1.3 Manfaat Penelitian Penelitian ini sangat bermanfaat untuk: - Memberi masukan bagi semua pihak terutama TDMRC dan instansi terkait dalam pengambilan kebijakan. - mengembangkan model pelatihan yang efektif dalam meningkatkan kesadaran terhadap risiko bencana.
59
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kebencanaan TDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 19 April 2011 ISSN 2088-4532 1.4 Hasil Yang Diharapkan Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah: - Identifikasi bentuk pendidikan dan pelatihan kebencanaan yang pernah diperoleh komunitas sekolah. - Diketahui tingkat pemahaman yang dimiliki komunitas sekolah tentang kebencanaan - Diketahui kesiapan sekolah dalam menghadapi bencana yang mungkin terjadi
2. TINJAUAN KEPUSTAKAAN Banyaknya peristiwa bencana di dunia pada awal abad ke-21, sebanyak 168 negara, termasuk Indonesia untuk segera membangun komitmen global dalam pengurangan risiko bencana. Atas dasar komitmen tersebut kemudian dituangkan dalam Hyogo Framework for Action tahun 2005. Peristiwa bencana alam yang terjadi di Aceh dan komitmen Indonesia pada Hyogo Framework for Action memberi kesadaran bagi Indonesia untuk mewujudkannya komitment tersebut menjadi kebijakan nasional dalam penanggulangan bencana, yaitu dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Undang- Undang tersebut secara jelas menyatakan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pendidikan, pelatihan, penyuluhan, dan keterampilan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, baik dalam situasi tidak terjadi bencana maupun situasi terdapat potensi bencana. Melalui pendidikan dan pelatihan kebencanaan diharapkan dapat mengurangi resiko bencana dengan sasaran yang lebih luas dan dapat dikenalkan secara lebih dini kepada seluruh peserta didik melalui pengintegrasian pendidikan pengurangan ris iko bencana ke dalam kurikulum sekolah.
2.1 Pengertian Bencana, Masyarakat Sekolah, dan Kesiapsiagaan Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yang dimaksud bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam atau mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat, baik disebabkan oleh faktor alam dan/atau non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Disamping itu, bencana menurut ISDR, (2004) merupakan suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu masyarakat, sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan manusia dari segi materi, ekonomi, atau lingkungan dan yang melampaui kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk mengatasi dengan menggunakan sumberdaya mereka sendiri.
Selanjutnya, pengertian Pengurangan Risiko Bencana (PRB) adalah sebuah pendekatan sistematis untuk mengidentifikasi, mengkaji dan mengurangi risiko- risiko bencana. PRB bertujuan untuk mengurangi kerentanan sosial dan ekonomi terhadap bencana, meningkatkan kemampuan dan ketahanan social dan ekonomi terhadap bencana serta menangani bahaya lingkungan maupun bahaya lainnya.
Pengertian komunitas atau masyarakat dapat didekati dengan definis i dari McMillan & Chavis, (1986) sebagai berikut : community is defined as a feeling that members have a belonging, a feeling that members matter to one another and to the group, and ashared faith that members need will be met through their commitmentto be together.Dengan demikian, maka komunitas sekolah merupakan sekumpulan orang- orang di sekolah yang mempunyai rasa memiliki satu sama lain, dan mempunyai tujuan bersama untuk kepentingan kelompok.
Didalam masyarakat terdapat berbagai penafsiran yang berbeda terhadap konsep kesiapsiagaan. Nick Carter, (1991) mengartikan kesiapsiagaan dari suatu pemerintahan, suatu kelompok masyarakat atau individu sebagai tindakan-tindakan yang memungkinkan pemerintahan, organisasi organisasi, masyarakat, komunitas dan individu untuk mampu menanggapi suatu situasi bencana secara cepat dan tepat guna. Termasuk kedalam tindakan kesiapsiagaan adalah penyusunan rencana penanggulangan bencana, pemeliharaan sumberdaya dan pelatihan personil. Disamping itu, menurut Hidayati, D., Permana, H., Pribadi, K. dkk (2006) kesiapsiagaan merupakan salah satu bagian dari proses manajemen bencana dan didalam konsep pengelolaan bencana yang berkembang saat ini, peningkatan kesiapsiagaan merupakan salah satu elemen penting dari kegiatan pengurangan resiko bencana yang bersifat proaktif, sebelum terjadinya suatu bencana.
2.2 Isu dan Permasalahan Pengurangan Resiko Bencana di Sekolah Dalam beberapa tahun ini, kesadaran akan pentingnya upaya pengurangan risiko bencana telah dimulai dengan peluncuran buku Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana (RAN PRB) pada 24 Januari 2007 oleh Bappenas dan Bakornas PB sebagai respon Pemerintah terhadap upaya pengurangan risiko bencana seperti yang dimandatkan oleh Hyogo Framework for Action. Lebih lanjut pada April 2007, Pemerintah mengeluarkan UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, yang menjadi tonggak sejarah dalam upaya pengurangan ris iko bencana di Indonesia, dan diikuti dengan peraturan turunannya, yang juga dibentuknya sebuah Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Disisi lain, UNDP bersama dengan Bappenas, Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan Departemen Dalam Negeri telah bekerjasama untuk melaksanakan
60
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kebencanaan TDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 19 April 2011 ISSN 2088-4532 program Safer Communities through Disaster Risk Reduction in Development (SC DRR) sejak bulan September 2007. Program SC DRR bertujuan untuk membangun masyarakat yang aman dari ancaman bencana melalui berbagai upaya pengurangan risiko bencana. Sesuai dengan mandat Undang-Undang 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana ditegaskan bahwa pengurangan risiko bencana harus diintegrasikan kedalam proses pembangunan, yang salah satunya adalah sektor pendidikan. Melalui pendidikan, upaya pengurangan risiko bencana diharapkan dapat dikenalkan kepada anak-anak sejak dini. Bahkan pada acara Latihan Evakuasi menghadapi Bencana Tsunami (Tsunami Drill) di Banten pada Desember 2007 yang lalu, Bapak Presiden telah menghimbau kepada Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Dalam Negeri untuk mendorong daerah untuk integrasi PRB kedalam s istem pendidikan sekolah.
Seluruh upaya Pemerintah dalam kebijakannya tentang pengurangan risiko bencana (PRB), pendidikan termasuk salah satu prioritas dalam upaya pengarusutamaan PRB kedalam proses pembangunan. Hal ini dinyatakan baik dalam RAN PRB maupun dalam UU nomor 24/2007. Pemerintah telah memahami dengan baik bahwa upaya pencegahan bencana dan PRB perlu dimulai dengan penyebaran informasi dan pengetahuan. Penyadaran dan pendidikan merupakan langkah awal menuju suatu tindakan. Hal ini penting untuk membangun budaya siaga bencana.
3. METODE PENELITIAN Penelitian merupakan penelitian deskriptif kualitatif, menggunakan teknik observasi, wawancara, FGD (Focused group discussions) atau diskusi kelompok terfokus sebagai metode pengumpulan data. Sasaran penelitian ini adalah komunitas sekolah yang terdiri dari komite sekolah, kepala sekolah, guru, dan siswa.
3.1 Pengumpulan Data Alat pengumpulan data dalam penelitian ini digunakan: - Lembar Kuesioner untuk mengumpulkan data dari siswa, guru, dan komite sekolah berkaitan dengan pengetahuan kebencanaan. - Lembar observasi digunakan untuk mengumpulkan data pendukung terkait dengan kesiapsiagaan sekolah dalam menghadapi bencana - Protokol wawancara untuk kepala sekolah dan pengawas berkaitan dengan program penanggulangan bencana di sekolah. - Dokumentasi dapat berupa foto-foto pendukung, silabus, RPP, dan data pendukung lainnya.
Data penelitian yang akan dianalis is terdiri dari data primer dan data sekunder, yaitu: Data Primer: - Hasil data wawancara mendalam dalam bentuk rekaman digital - Data angket dari guru, siswa, komite sekolah - Hasil diskusi kelompok (FGD) kelompok dalam bentuk rekaman digital Data Sekunder: - Hasil dokumentasi (foto, data material pelatihan kebencanaan, fasilitas kesiapsiagaan sekolah)
3.2 Analisis Data Data penelitian dalam bentuk kuantitatif dari hasil kuesioner akan dianalis is dengan program statistik SPSS. Sedangkan data dalam bentuk kualitatif yang didapatkan dari wawancara mendalam, diskusi kelompok terfokus, lembar observasi dan dokumentasi akan dianalis is dengan menggunakan prinsip analis is kualitatif dengan langkah sebagai berikut: 1. Transkrip data penelitian dalam bentuk rekaman kedalam bentuk tulisan. 2. Pengkodean dan penguraian (Decode) data penelitian. 3. Triangulasi dan kristalisasi data kualitatif dari wawancara mendalam, diskusi kelompok terfokus, lembar observasi dan dokumentasi. 4. Pengelompokan dan pengkategorian data penelitian. 5. Menarik hasil penelitian.
4. HASIL PENELITIAN Berikut adalah hasil temuan penelitian yang dikelompokkan menjadi identifikasi pelatihan, kesiapsiagaan komunitas sekolah, dampak pelatihan kebencanaan, yang dibagi atas 3 wilayah sampel penelitian yaitu Aceh Jaya, Aceh Tengah dan Pidie Jaya.
4.1 Identifikasi Pelatihan Kebencanaan di Sekolah Pelatihan yang pernah diikuti guru dan siswa di Aceh Jaya adalah simulasi gempa dan tsunami dan penanggulangan bencana PMP yang dilaksanakan oleh PMI (Palang Merah Indonesia) dan American Red Cross. Ditemukan 2/3 responden baik guru dan siswa pernah mengikuti pelatihan pendidikan kebencanan pasca tsunami dan gempa. Hanya 30% guru yang pernah mengikuti workshop pendidikan kebencanaan. Workshop tersebut yaitu: Siaga Bencana, Penanggulangan korban Bencana dan Kecelakaan yang juga dilaksanakan oleh PMI, AMRED (American Red Cross) dan ICRC (International Crescent Red Cross). Selanjutnya, hasil temuan dari sekolah sampel di Aceh Tengah yakni SD 3 Ketol, SD 13 Ketol, SD 7 Ketol dan SMP 12 Ketol di Aceh Tengah, pelatihan kebencanaan belum pernah dilaksanakan. Diperkuat oleh pengawas sekolah yang mengatakan bahwa di Aceh Tengah belum dilaksanakan pembelajaran kebencanaan di sekolah. Aceh Tengah merupakan daerah pegunungan yang rawan terhadap gempa bumi and tanah longsor juga ancaman gunung api. Oleh
61
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kebencanaan TDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 19 April 2011 ISSN 2088-4532 karena itu perlu dilakukan pendidikan kebencanaan mengingat daerah kabupaten Aceh Tengah yang rentan terhadap bencana.
Begitu juga halnya dengan kabupaten Pidie Jaya, pelatihan kebencanaan belum pernah dilaksanakan di sekolah sekolah sampel yaitu SD Lancang Baro, SD Musa Baroh, dan SMP 5 Bandar Baru. Diperkuat dari hasil wancara dan hasil FGD yang melibatkan guru, komite sekolah dan pengawas dan pejabat dinas Pendidikan Pidie Jaya. Pelatihan pernah dilaksanakan adalah menggambar kreatif tentang laut yang bertujuan untuk membina mental terhadap trauma tsunami. Serta kegiatan Bakti Sosial kebersihan yang diprakarsai oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Pidie Jaya setelah bencana banjir yang pernah terjadi di kabupaten tersebut.
4.2 Pemahaman Komunitas Sekolah Terhadap Bencana 4.2.1 Pemahaman Komunitas Sekolah Terhadap Bencana di Kabupaten Aceh Jaya Berdasarkan kuesioner yang berhasil dikumpulkan dari penelitian di kabupaten Aceh Jaya pada tiga sekolah sampel yakni SDN 1 Calang, SDN 2 Calang dan SMP 1 Calang
a. Pengetahuan komunitas sekolah terhadap kebencanaan Fenomena alam yang dapat menyebabkan bencana menurut jawaban mayoritas siswa gempa bumi (97,8%), tsunami (97,8%), tanah longsong (83,3%), badai (85,3%), gunung api (83,3%) dan banjir (94,4%). Hasil ini mengindikas ikan siswa di calang mengetahui fenomena alam yang dapat menyebabkan bencana. Jenis bencana alam yang dapat mengancam masyarakat sekitar sekolah di sekitar Calang, dari 90 responden (siswa) menjawab banjir (97,85%), sedangkan ancaman bencana lain seperti tanah longsor (10%), gunung meletus (6,7%), gempa bumi (13,2%) dan tsunami (15,6%). Berdasarkan jawaban tersebut menunjukkan bahwa ancaman terbesar menurut siswa di calang adalah banjir, tsunami, gempa bumi tanah longsor dan gunung meletus. Hal ini mungkin disebabkan karena Calang merupakan daerah pantai yang terdiri dari rawa-rawa yang menyebabkan sering terjadi banjir. Disamping itu Calang juga merupakan daerah yang pernah dilanda tsunami dan gempa bumi, sehingga siswa menganggap tsunami dan gempa bumi juga merupakan ancaman. Dalam kegiatan sosialisasi yang dilakukan baik pemerintah maupun non pemerintah, cenderung mensosialisasikan bahwa durasi waktu terjadinya tsunami sekitar 200 tahun sekali dan gempa bumi besar akan terjadi selama 20 tahun sekali. Sehubungan dengan pemahaman siswa yang rendah terhadap tanah longsor dan gunung berapi, mungkin disebabkan karena lokasi kota Calang tidak berada di kawasan tanah longsor dan gunung berapi.
b. Tindakan Saat Menghadapi Bencana di Sekolah Pemahaman kebencanaan tentang tindakan yang dapat dilakukan saat terjadi gempa, sebagian responden di Calang memberikan jawaban berlindung di tempat aman (95,6%), melindungi kepala (81,1%), ke tempat terbuka (93,3%), menjauhi benda tergantung (87,8%), menjauhi dinding kaca (83,3%), menjauhi jembatan (67,8%). Sedangkan tindakan yang dilakukan saat terjadi gempa menurut siswa adalah berlari keluar dari ruangan sebesar 92,2%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tindakan untuk berlindung di tempat yang aman dan berlari ke luar ruangan merupakan pilihan bagi siswa ketika terjadi bencana. Hal ini disebabkan karena bangunan sekolah di Calang semuanya hanya berlantai satu dan jumlah siswanya relatif sedikit.
c. Tindakan Kesiapsiagaan Menghadapi Bencana di Sekolah
Pemahaman tentang tindakan antisipasi sebagai bentuk kesiapsiagaan bencana menunjukkan bahwa sebanyak 60 hingga 90% responden tidak memberikan jawaban. Disamping itu, terdapat 24% responden memberikan jawaban tidak tahu pada tindakan latihan penyelamatan, 14% responden memberikan jawaban tidak tahu terhadap mengikat rak/lemari, dan 14% responden menjawab tidak tahu terhadap tindakan menyimpan barang/buku di tempat aman. Dari jawaban tersebut dapat dimaknai bahwa siswa di Calang tidak mengetahui dan tidak melakukan persiapan sebagai tindakan antisipasi menghadapi bencana alam. Hasil ini sesuai dengan hasil observasi di sekolah sampel yang belum ada indikasi melaksanakan kesiapsiagaan seperti tidak mengikat rak buku ke dinding, tidak ditemukan peta evakuasi dan tidak ada sosialisasi pendidikan bencana. Bukti lainnya dan hasil diskusi dengan kepala sekolah setempat yang mengatakan bahwa sekolah belum mempunyai kegiatan rutin simulasi kesiapsiagaan terhadap bencana dan belum mengintegrasikan PRB (Pengurangan Resiko Bencana) dalam kurikulum sekolah.
4.2.2 Pemahaman Komunitas Sekolah terhadap Bencana di Kabupaten Aceh Tengah Berdasarkan kuesioner yang berhasil dikumpulkan dari penelitian di kabupaten Aceh Tengah, yaitu dari empat sekolah sampel di Kecamatan Ketol yaitu SDN 3, SDN 7, dan SMP 12 Ketol, maka diperoleh hasil sebagai berikut :
a. Pengetahuan Komunitas Sekolah terhadap Kebencanaan Pemahaman tentang fenomena alam yang dapat menyebabkan bencana, maka 78,69% responden
62
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kebencanaan TDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 19 April 2011 ISSN 2088-4532 menjawab gempa bumi merupakan fenomena alam yang dapat menyebabkan bencana. Selanjutnya, tsunami (62,3%), tanah longsor (63,11%), badai (56,56%), gunung api (65,57%) dan banjir (60,66%). Hal ini mungkin disebabkan karena di Kabupaten Aceh Tengah pernah terjadi gempa bumi yang menimbulkan kerusakan pada bangunan sekolah sampel. Tentang bencana alam yang dapat mengancam masyarakat sekitar sekolah, maka jumlah responden memilih banjir yaitu sebesar 95,9%, tanah longsor (100%), gunung meletus (100%), gempa bumi (100%), dan tsunami (100%). Jawaban responden ini mengindikasikan bahwa semua bencana alam, yaitu banjir, tanah longsor, gunung meletus, gempa bumi, dan tsunami, menurut responden adalah merupakan bencana alam. Berdasarkan persentase jawaban tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa responden sudah memahami jenis-jenis bencana yang menjadi ancaman bagi masyarakat di sekitar mereka tinggal. Sebab secara geografi, Kabupaten Aceh Tengah tengah berada di daerah pegunungan, sehingga sangat besar kemungkinan akan mengalami gempa bumi, dan tanah longsor. Sehingga, jawaban responden diduga berdasarkan pengalaman bencana alam yang terjadi di daerah tersebut. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa siswa pada sekolah sampel di Kabupaten Aceh Tengah sudah lebih memahami berbagai ancaman bencana yang mungkin dialami oleh masyarakat di sekitar.
b. Tindakan Saat Menghadapi Bencana di Sekolah Berdasarkan jawabn responden di Kabupaten Aceh Tengah terhadap pertanyaan tentang tindakan yang dapat dilakukan saat terjadi gempa, maka sekitar 59,8% responden menjawab berlindung ditempat aman (59,8%). Disamping itu, responden menjawab : melindungi kepala (32,8%), ketempat terbuka (56,6%), menjauhi benda tergantung (40,2%), menjauhi dinding kaca (32,8%), dan keluar ruang setelah gempa (18,0%). Hasil ini menunjukkan bahwa responden akan memilih untuk berlindung di tempat yang aman pada saat menghadapi bencana di sekolah. Sedangkan responden yabg memilih tindakan berlari ke luar ruangan saat gempa sedang terjadi adalah sebasar 41,8%. Jawaban ini mengindikasikan bahwa hanya sebahagian dari responden yang mengetahui tindakan saat menghadapi bencana.
c. Tindakan kesiapsiagaan menghadapi bencana di sekolah di Aceh Tengah Tentang tindakan antisipasi sebagai bentuk kesiapsiagaan bencana, maka dari 122 responden ditemukan hanya sedikit responden yang menjawab ya terhadap berbagai tindakan persiapan menghadapi bencana alam yang sewaktu-waktu dapat terjadi di sekolah seperti menyiapkan dokumen (14,8%), pengetahuan bencana (23,8%), latihan penyelamatan (15,6%), mengikat lemari/rak (3,3%), dan tindakan menyimpan barang/buku ditempat aman (27,0%). Sedangkan sebagian besar responden menjawab tidak mengetahui tindakan antisipasi menghadapi bencana, dan tidak melakukan tindakan antis ipasi menghadapi bencana. Persentasenya berturut-turut terhadap tindakan seperti disebutkan di atas, yaitu 45,1; 39,3; 35,2; 45,9; dan 40,2%. Hasil ini sesuai dengan hasil observasi di sekolah sampel yang belum ada indikasi melaksanakan kesiapsiagaan seperti tidak mengikat rak buku ke dinding, tidak ditemukan peta evakuasi dan tidak ada sosialisasi pendidikan bencana. Bukti lainnya dan hasil diskusi dengan kepala sekolah setempat yang mengatakan bahwa sekolah belum mempunyai kegiatan rutin simulasi kesiapsiagaan terhadap bencana dan belum meng integrasikan PRB (Pengurangan Resiko Bencana) dalam kurikulum sekolah.
4.2.3 Pemahaman Komunitas Sekolah Terhadap Bencana di Kabupaten Pidie Jaya
Berdasarkan hasil kuesioner pada tiga sekolah sampel di kabupaten Pidie Jaya yakni SD Lancang Baro, SD Musa Baroh, dan SMP 5 Bandar Baru kabupaten Pidie Jaya diperoleh temuan sebagimana dijelaskan berikut. a. Pengetahuan komunitas sekolah terhadap kebencanaan Tentang fenomena alam yang dapat menyebabkan bencana, 71 siswa yang dijadikan responen Pidie Jaya, diperoleh jawababan yaitu gempa bumi (98,6%), tsunami (83,1%), tanah longsong (84,5%), badai (98,6%), gunung api (83,1%) dan banjir (96,6%). Pemahaman siswa tentang tentang bencana alam yang menjadi ancaman bagi masyarakat sekitar sekolah di Pidie Jaya, dari 71 respondent (siswa) yang memberi jawaban ya adalah banjir (46,5%), gempa bumi (42,3%), tsunami (77,5%). Berdasarkan prosentase jawaban responden tersebut dapat dikatakan bahwa sebagian besar responden menganggap jenis bencana alam yang menjadi ancaman bagi masyarakat Pidie Jaya adalah tsunami, banjir, dan gempa bumi. Hal ini karena Pidie Jaya merupakan daerah yang terkena dampak Gempa dan Stunami 2004 dan daerah Pidie Jaya sering mengalami banjir. Sedangkan gunung api dan longsor dianggap idak merupakan ancaman bagi masyarakat Pidie Jaya karena secara geografis Pidie Jaya berada pada daerah pesisir yang rawan banjir.
b. Tindakan Saat Menghadapi Bencana di Sekolah Tentang tindakan yang dapat dilakukan saat terjadi gempa, menurut jawaban responden adalah berlindung ditempat aman (28,2%), melindungi kepala (0%), ketempat terbuka (87,3%), menjauhi benda tergantung (28,2%), menjauhi dinding kaca (31%), keluar ruang setelah gempa (39,4%), dan tindakan berlari keluar ruang saat gempa (90,1%). Dari data di atas
63 Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kebencanaan TDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 19 April 2011 ISSN 2088-4532 menunjukkan bahwa 90,1% responden memilih opsi tindakan penyelamatan yakni berlari keluar saat gempa, hal ini disebabkan karena sekolah sampel di Pidie Jaya seluruhnya berlantai satu. Sehingga mereka lebih mudah untuk berlari keluar ruangan.
b. Tindakan Kesiapsiagaan Menghadapi Bencana di Sekolah Berdasarkan data yang diperoleh tentang tindakan antisipasi sebagai bentuk kesiapsiagaan bencana, maka sebanyak 28,1% siswa menjawab bahwa tindakan kesiapsiagan yang dilakukan adalah menyiapkan dokumen. Selanjutnya, perlu adanya sosialisasi tentang pengetahuan kebencanaan sebesar 33,8%, latihan penyelamatan sebanyak 60,0%, dan mengikat lemari/rak sebanyak 14,1%. Disamping itu, 47,9% responden yang menjawab bahwa tindakan yang perlu dilakukan adalah menyimpan barang/buku ditempat aman. Hasil ini menunjukkan bahwa tindakan kesiapsiagaan yang diperlukan dalam menghadapi bencana yaitu latihan penyelamatan, dan menimpan barang/buku di tempat aman. Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa masih banyak siswa di Pidie Jaya yang belum memahami tindakan kesiapsiagaan menghadapi bencana di sekolah. Hasil ini sesuai dengan hasil observasi di sekolah sampel yang belum ada indikas i melaksanakan kesiapsiagaan seperti tidak mengikat rak buku ke dinding, tidak ditemukan peta evakuasi dan belum ada sosialisasi pendidikan bencana. Bukti lainnya dan hasil diskusi dengan kepala sekolah setempat yang mengatakan bahwa sekolah belum mempunyai kegiatan rutin simulasi kesiapsiagaan terhadap bencana dan belum mengintegrasikan PRB (Pengurangan Resiko Bencana) dalam kurikulum sekolah.
4.3 PEMBAHASAN 4.3.1 Kerentanan Geologis dan Geografis Wilayah Provinsi Aceh Wilayah Aceh terletak di dekat pertemuan tiga lempeng yakni lempeng Pasifik, lempeng Eurasia dan lempeng Australia. Sehingga, semua kawasan di Aceh memiliki potensi terjadi gempa bumi, sedangkan kawasan pesisir barat selatan yang berhadapan langsung dengan Lautan Hindia mempunyai potensi tsunami lebih besar dibandingkan kawasan wilayah timur utara. Letak geografi sekolah dasar di tiga zona yang diteliti memiliki kerentanan yang tinggi terhadap bencana.
Gambar 1: Keadaan geografis beberapa wilayah di Provinsi Aceh
Pada wilayah Calang dan Pidie Jaya, secara geografi berada di daerah pesisir yang sangat rentan terhadap banjir, gempa bumi dan tsunami. Sedangkan letak geografis sekolah-sekolah di Aceh Tengah pada umumnya berada di kaki bukit, bahkan ada yang berdekatan dengan gunung berapi. Sehingga banyak sekolah-sekolah yang rawan longsor selain gempa bumi dan letusan gunung api. Berdasarkan observasi pada sekolah-sekolah di ketiga zona tersebut yakni Aceh Jaya, Pidie Jaya dan Aceh Tengah belum memiliki peta resiko bencana, peta evaluasi, jalur evakuasi, dan rencana evakuasi. Hampir semua sekolah terbuat dari bangunan lantai satu, sehingga masyarakat sekolah di daerah pesisir ini memiliki kerentanan banjir dan tsunami.
4.3.2 Kerentanan Fisik Sekolah Masih ditemukan sekolah dengan kondisi gedung yang tidak layak pakai, seperti ditemukan di SD 3 Ketol Aceh Tengah yang siswanya belajar di tenda karena gedung sekolahnya sudah retak karena gempa, ada sekolah dindingnya sudah mulai keropos dimakan usia. Masih ada sekolah-sekolah yang menjadi sampel penelitian memiliki kondisi yang rentan terhadap bencana. Pada umumnya ruangan kelas di sekolah sampel hanya memiliki satu buah pintu yang lebarnya sekitar satu meter. Kondisi seperti ini sangat menyulitkan bagi s iswa untuk keluar ruangan menyelamatkan diri bila terjadi bencana, jika jumlah siswa cukup banyak. Kondisi ruangan belajar, bangku dan perabotan sekolah yang kualitasnya rendah, serta penempatan dan pengamanan perabotan yang kurang baik dapat menimbulkan kerentanan bagi s iswa maupun guru di dalam kelas. Berdasarkan hasil pengamatan di sekolah sampel, ditemukan bahwa penempatan almari dan perabotan sekolah berada di dekat pintu dan tidak ada pengamanan misalnya tidak diikat dan berada didekat jalur keluar masuk ruangan, demikian juga susunan bangku yang sangat rapat dapat mengganggu pergerakan siswa.
64 Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kebencanaan TDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 19 April 2011 ISSN 2088-4532
Gambar 2 : Keadaan beberapa sampel sekolah yang rentan terhadap bencana
4.3.3 Kerentanan Sosial Perilaku masyarakat baik dalam lingkungan sekolah maupun perilaku masyarakat umum di ketiga daerah penelitian belum mengarah pada kesiapsiagaan bencana. Hal ini dapat dilihat dari hasil observasi, bahwa di beberapa sekolah sudah pernah mengikuti pelatihan membuat peta sekolah, peta evakuasi, bahkan sudah ada alat peringatan dini. Akan tetapi pihak sekolah belum menempatkannya pada posisi yang tepat, seperti peta yang pernah dibuat ketika pelatihan, namun tidak dipelihara bahkan disimpan di gudang dan sebagian besar sudah rusak atau hilang. Kebiasaan menempatkan perabotan dalam ruang kelas yang dapat menggangu saat penyelamatan diri bila terjadi bencana. Ketidakperdulian sebagian masyarakat akan pentingnya mempersiapkan diri menghadapi bencana, kemiskinan, penggunaan lahan yang tidak tepat dan minimnya pengetahuan masyarakat merupakan indikator kerentanan sosial.
4.4 Infrastruktur pendukung Infrastuktur pendukung yang sangat penting untuk penyelamatan diantaranya adalah escape building. Di Calang terdapat satu bangunan tingkat tiga yang dibangun oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) untuk tempat penyelamatan sementara jika terjadi tsunami, tetapi belum difungsikan dengan baik. Sebagaimana pengakuan peserta Focus Group Discussion (FGD) yang mengatakan bahwa mereka belum banyak memanfaatkan melakukan sosialisasi kepada siswa tentang kegunaan bangunan tersebut dan ke depan pemanfatan bangunan escape building yang ada di Calang perlu dioptimalkan fungsinya, misalnya digunakan sebagai pusat latihan bagi anak-anak. Disamping itu, di sekolah-sekolah sampel belum tersedia peralatan pendukung seperti tandu, alat transportasi sekolah yang dapat dijadikan untuk alat pertolongan dan alat evakuasi. Beberapa sekolah tersedia perlengkapan sederhana seperti obat luka dan kain perban yang hanya cukup untuk beberapa siswa.
Disetiap sekolah memiliki alat berupa lonceng atau bel untuk memberi tanda yang biasanya dipakai sebagai tanda jam pelajaran, tentu saja alat ini dapat dipakai untuk memberi tanda bila terjadi bahaya bencana jika sudah disepakati oleh komunitas sekolah.
Gambar 3. Insfrastruktur yang mendukung penanggulangan kebencanaan dari kiri kanan: escape building di kota calang, kotak P3K, ruang UKS, alaram gempa
4.5 Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah dalam Menghadapi Bencana Hasil yang ditemukan bahwa di sekolah sampel di Calang selama ini sudah ada pelatihan tentang Pengurangan Risiko Bencana (PRB) pada beberapa sekolah tertentu, namun belum merata pada semua sekolah di daerah rawan bencana. Sedangkan di sekolah sampel di Pidie Jaya dan Aceh Tengah belum pernah diberikan pelatihan tentang PRB. Hal ini disebabkan karena pelatihan selama ini dilakukan oleh lembaga non pemerintah yang dibiayai oleh donatur yang kurang memiliki akses ke pemerintahan setempat sehingga kegiatan pelatihan PRB tidak terkoordinasi dengan instansi terkait. Hal ini akan mengakibatkan kebutuhan pelatihan PRB di sekolah daerah rawan bencana tidak terakomodasi secara merata dan tidak berkesinambungan.
Berdasarkan survey yang diperoleh melalui angket baik kepada guru maupun siswa menunjukkan bahwa pengetahuan dan pemahaman komunitas sekolah terhadap PRB sudah memadai. Namun pengetahuan dan pemahaman tersebut tidak diikuti dengan implementasi PRB kedalam aktivitas sekolah, seperti ada sekolah yang telah membuat peta evakuasi dibawah bimbingan lembaga non pemerintah dan hasil pelatihan tersebut tidak dipelihara bahkan hilang begitu saja. Hal ini disebabkan karena kegiatan pendidikan dan pelatihan yang selama ini dilakukan oleh lembaga non pemerintah kurang memperhatikan kearifan lokal.
Berdasarkan observasi terhadap kondisi sekolah dan lingkungan serta hasil wawancara dengan pihak masyarakat sekolah ditemukan bahwa kesiapsiagaan sekolah dalam PRB masih sangat rendah. Hal ini dapat dilihat dari belum adanya program sekolah tentang PRB, struktur organisasi PRB, peta evakuasi dan peta rawan res iko bencana, dan pengamanan peralatan sekolah untuk mengurangi resiko bencana.
5. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian ini dapat dihasilkan beberapa kesimpulan yaitu
65
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kebencanaan TDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 19 April 2011 ISSN 2088-4532 1. Pelatihan kebencanaan yang pernah diberikan di sekolah sampel di Calang adalah pelatihan PRB yang dilaksanakan oleh Palang Merah Indonesia (PMI). Sedangkan di sekolah sampel di Pidie Jaya dan Aceh Tengah belum pernah dilaksanakan pelatihan PRB. 2. Pengetahuan tentang PRB bagi sekolah-sekolah sampel di ketiga daerah, masih sebatas pada pengetahuan tentang fenomena-fenomena alam yang dapat menimbulkan bencana. Namun mereka belum mengetahui cara PRB. 3. Kesiapsiagaan masyarakat sekolah dalam mengurangi resiko bencana masih pada taraf mengetahui tindakan-tindakan penyelamatan, namun mereka belum memiliki ketrampilan tindakan kesiapsiagaan.
6. SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat disarankan beberapa hal sebagai berikut: 1. Pelaksanaan pelatihan PRB selama ini belum dilakukan secara optimal dan merata di sekolah- sekolah sampel di ketiga daerah Calang, Pidie Jaya, dan Aceh Tengah. Oleh karena itu pelatihan PRB perlu diadakan secara merata dan terus ditindak lanjuti untuk meningkatkan kesiapsiagaan dan menambah pengetahuan PRB bagi komunitas sekolah. 2. Perlu adanya kebijakan dan komitmen dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) tentang PRB di sekolah-sekolah. 3. Sekolah-sekolah perlu membuat peta rawan bencana dan peta evakuasi sebagai informasi bagi komunitas sekolah untuk PRB
UCAPAN TERIMA KASIH Tim peneliti Peer Group Pendidikan dan Advokasi mengucapkan terima kasih atas pendanaan menyeluruh dari pihak MDF dan UNDP melalui project DRR-A dengan nomor kontrak 537.D/TDMRC- UNSYIAH/TU/XI/2010, dan juga atas kerjasama TDMRC dengan Pemerintah Daerah Aceh dan Departemen Dalam Negeri.
DAFTAR PUSTAKA Iskandar, (2010). Situasi Kebencanaan Aceh Terkini. Makalah disampaikan pada workshop Penggalangan Peer Group Peneliti Kebencanaan TDRMC Unsyiah. Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 24 Tahun 2007, tentang Penanggulangan Bencana. Jakarta.
International Strategy for Disaster Reduction (ISDR), (2004). Living with Risk A global review of disaster reduction initiatives. Geveva : Switzerland.
McMillan, D.W., & Chavis, D.M. (1986). Sense of community: A Definition and Theory. American Journal of Community Psychology, 14(1), 6-23.
Nick Carter, (1991). Disaster management: A Disaster Managers Handbook. ADB : Manila.
Berita dari Maumere membangun Sekolah Siaga Bencana. LIPI dan Comprese. http://unesdoc.unesco.org/images/0018/001830/18302 4ind.pdf.