You are on page 1of 8

58

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kebencanaan


TDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 19 April 2011
ISSN 2088-4532
Dampak Pelatihan Pengurangan Risiko Bencana
terhadap Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah
(Studi Kasus di Calang, Aceh Tengah, dan Pidie Jaya)
Khairuddin
1,2
Ngadimin
1,3
Sri Adelila Sari
1,4
Melvina
1, 3
Tati Fauziah
1,5

1
) Peneliti pada Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Universitas Syiah Kuala,
Jl. Tgk Abdurrahman, Gampong Pie, Banda Aceh, Indonesia
2
) Progam Studi Ilmu Pendidikan, FKIP Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
3
) Progam Studi Fisika, FKIP Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
4
) Progam Studi Kimia, FKIP Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
5
) Progam Studi PGSD, FKIP Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh


Abstract
This study is aimed to find the impact of disaster training that had ever been conducted in primary and secondary
schools during post-tsunami in Aceh. The methodology used was descriptive qualitative. This study was conducted in
Calang, Aceh Tengah, dan Pidie Jaya. Subjects in this study are school committees, school supervisors, principals,
teachers and students. Results of the study showed that disaster training those had been conducted in Calang was
disaster risk reduction (DRR) training that coordinated by Indonesian Red Cross. In addition, knowledge of DRR in
three school samples in each area were found to be limited to natural disaster, however they had not understood about
DRR. The preparedness of school community in DRR was still focused on knowledge regarding safety actions only, but
it was not on DRR skill.

Keyword: post tsunami disaster training, schools community, and preparedness of disaster risk reduction

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Bencana gempa bumi dan tsunami yang terjadi tanggal
26 Desember 2004 di Aceh telah menyebabkan
kerusakan berbagai fasilitas, harta benda maupun
korban jiwa. Berdasarkan data RUPUSDALOPS
BPBA Banda Aceh, jumlah korban bencana gempa
bumi dan tsunami 26 Desember 2004 menelan korban
jiwa sebanyak 165.708 jiwa meninggal, 37.063 jiwa
hilang, sekitar 100.000 jiwa menderita luka berat dan
ringan (Iskandar, 26 Sept 2010). Anak-anak dan usia
lanjut adalah usia yang paling rentan terhadap risiko
terjadinya korban dalam suatu bencana. Oleh karena
itu, mempersiapkan pengetahuan tentang kebencanaan
sejak dini kepada masyarakat yang rentan bencana
adalah sangat penting untuk menghindar atau
memperkecil ris iko menjadi korban. Dewasa ini, pasca
gempa dan tsunami 26 Desember 2004, telah banyak
lembaga yang melibatkan diri melakukan pendidikan
dan pelatihan baik melalui sekolah maupun masyarakat
untuk meningkatkan kesadaran dan kesiapsiagaan
menghadapi bencana. Berkaitan dengan hal tersebut
perlu diadakan penelitian untuk menjawab pertanyaan
berikut:
- Bagaimana pelaksanaan pelatihan kebencanaan
yang dilaksanakan selama ini?
- Bagaimana pengetahuan kebencanaan yang dimiliki
komunitas sekolahh?
- Bagaimana kesiapan sekolah dalam mengurangi
resiko bencana?
- Apa kendala yang dialami sekolah dalam
melaksanakan pembelajaran Pengurangan Resiko
Bencanann (PRB)?
Namun, sampai saat ini belum ditemukan hasil studi
yang dilakukan terhadap dampak pelatihan
kebencanan terhadap kesadaran pengurangan risiko
bencana bagi komunitas sekolah. Penelitian ini sangat
penting dalam rangka pengembangan pendidikan dan
pelatihan kebencaan yang memberi dampak pada
kesiapsiagaan komunitas sekolah dalam mengurangi
resiko bencana.

1.2 Tujuan Rencana Penelitian
Tujuan rencana penelitian ini adalah untuk:
- Mengidentifikas i bentuk-bentuk pelatihan yang
pernah dilaksanakan di sekolah dalam wilayah
propinsi Aceh
- Mengetahui tingkat pemahaman yang dimiliki
komunitas sekolah tentang kebencanaan
- Mengetahui kesiapsiagaan sekolah dalam
menghadapi bencana yang mungkin terjadi

1.3 Manfaat Penelitian
Penelitian ini sangat bermanfaat untuk:
- Memberi masukan bagi semua pihak terutama
TDMRC dan instansi terkait dalam pengambilan
kebijakan.
- mengembangkan model pelatihan yang efektif
dalam meningkatkan kesadaran terhadap risiko
bencana.



59

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kebencanaan
TDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 19 April 2011
ISSN 2088-4532
1.4 Hasil Yang Diharapkan
Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
- Identifikasi bentuk pendidikan dan pelatihan
kebencanaan yang pernah diperoleh komunitas
sekolah.
- Diketahui tingkat pemahaman yang dimiliki
komunitas sekolah tentang kebencanaan
- Diketahui kesiapan sekolah dalam menghadapi
bencana yang mungkin terjadi

2. TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Banyaknya peristiwa bencana di dunia pada awal abad
ke-21, sebanyak 168 negara, termasuk Indonesia untuk
segera membangun komitmen global dalam
pengurangan risiko bencana. Atas dasar komitmen
tersebut kemudian dituangkan dalam Hyogo
Framework for Action tahun 2005. Peristiwa bencana
alam yang terjadi di Aceh dan komitmen Indonesia
pada Hyogo Framework for Action memberi kesadaran
bagi Indonesia untuk mewujudkannya komitment
tersebut menjadi kebijakan nasional dalam
penanggulangan bencana, yaitu dengan
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2007 tentang Penanggulangan Bencana. Undang-
Undang tersebut secara jelas menyatakan bahwa setiap
orang berhak mendapatkan pendidikan, pelatihan,
penyuluhan, dan keterampilan dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana, baik dalam situasi tidak
terjadi bencana maupun situasi terdapat potensi
bencana. Melalui pendidikan dan pelatihan
kebencanaan diharapkan dapat mengurangi resiko
bencana dengan sasaran yang lebih luas dan dapat
dikenalkan secara lebih dini kepada seluruh peserta
didik melalui pengintegrasian pendidikan pengurangan
ris iko bencana ke dalam kurikulum sekolah.

2.1 Pengertian Bencana, Masyarakat Sekolah, dan
Kesiapsiagaan
Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana, yang dimaksud
bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam atau mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat, baik disebabkan oleh faktor
alam dan/atau non-alam maupun faktor manusia
sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda,
dan dampak psikologis. Disamping itu, bencana
menurut ISDR, (2004) merupakan suatu gangguan
serius terhadap keberfungsian suatu masyarakat,
sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada
kehidupan manusia dari segi materi, ekonomi, atau
lingkungan dan yang melampaui kemampuan
masyarakat yang bersangkutan untuk mengatasi
dengan menggunakan sumberdaya mereka sendiri.

Selanjutnya, pengertian Pengurangan Risiko Bencana
(PRB) adalah sebuah pendekatan sistematis untuk
mengidentifikasi, mengkaji dan mengurangi risiko-
risiko bencana. PRB bertujuan untuk mengurangi
kerentanan sosial dan ekonomi terhadap bencana,
meningkatkan kemampuan dan ketahanan social dan
ekonomi terhadap bencana serta menangani bahaya
lingkungan maupun bahaya lainnya.

Pengertian komunitas atau masyarakat dapat didekati
dengan definis i dari McMillan & Chavis, (1986)
sebagai berikut : community is defined as a feeling
that members have a belonging, a feeling that members
matter to one another and to the group, and ashared
faith that members need will be met through their
commitmentto be together.Dengan demikian, maka
komunitas sekolah merupakan sekumpulan orang-
orang di sekolah yang mempunyai rasa memiliki satu
sama lain, dan mempunyai tujuan bersama untuk
kepentingan kelompok.

Didalam masyarakat terdapat berbagai penafsiran yang
berbeda terhadap konsep kesiapsiagaan. Nick Carter,
(1991) mengartikan kesiapsiagaan dari suatu
pemerintahan, suatu kelompok masyarakat atau
individu sebagai tindakan-tindakan yang
memungkinkan pemerintahan, organisasi organisasi,
masyarakat, komunitas dan individu untuk mampu
menanggapi suatu situasi bencana secara cepat dan
tepat guna. Termasuk kedalam tindakan kesiapsiagaan
adalah penyusunan rencana penanggulangan bencana,
pemeliharaan sumberdaya dan pelatihan personil.
Disamping itu, menurut Hidayati, D., Permana, H.,
Pribadi, K. dkk (2006) kesiapsiagaan merupakan salah
satu bagian dari proses manajemen bencana dan
didalam konsep pengelolaan bencana yang
berkembang saat ini, peningkatan kesiapsiagaan
merupakan salah satu elemen penting dari kegiatan
pengurangan resiko bencana yang bersifat proaktif,
sebelum terjadinya suatu bencana.

2.2 Isu dan Permasalahan Pengurangan Resiko
Bencana di Sekolah
Dalam beberapa tahun ini, kesadaran akan pentingnya
upaya pengurangan risiko bencana telah dimulai
dengan peluncuran buku Rencana Aksi Nasional
Pengurangan Risiko Bencana (RAN PRB) pada 24
Januari 2007 oleh Bappenas dan Bakornas PB sebagai
respon Pemerintah terhadap upaya pengurangan risiko
bencana seperti yang dimandatkan oleh Hyogo
Framework for Action. Lebih lanjut pada April 2007,
Pemerintah mengeluarkan UU No. 24/2007 tentang
Penanggulangan Bencana, yang menjadi tonggak
sejarah dalam upaya pengurangan ris iko bencana di
Indonesia, dan diikuti dengan peraturan turunannya,
yang juga dibentuknya sebuah Badan Nasional
Penanggulangan Bencana.

Disisi lain, UNDP bersama dengan Bappenas, Badan
Nasional Penanggulangan Bencana dan Departemen
Dalam Negeri telah bekerjasama untuk melaksanakan


60

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kebencanaan
TDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 19 April 2011
ISSN 2088-4532
program Safer Communities through Disaster Risk
Reduction in Development (SC DRR) sejak bulan
September 2007. Program SC DRR bertujuan untuk
membangun masyarakat yang aman dari ancaman
bencana melalui berbagai upaya pengurangan risiko
bencana. Sesuai dengan mandat Undang-Undang
24/2007 tentang Penanggulangan Bencana ditegaskan
bahwa pengurangan risiko bencana harus
diintegrasikan kedalam proses pembangunan, yang
salah satunya adalah sektor pendidikan. Melalui
pendidikan, upaya pengurangan risiko bencana
diharapkan dapat dikenalkan kepada anak-anak sejak
dini. Bahkan pada acara Latihan Evakuasi menghadapi
Bencana Tsunami (Tsunami Drill) di Banten pada
Desember 2007 yang lalu, Bapak Presiden telah
menghimbau kepada Menteri Pendidikan Nasional dan
Menteri Dalam Negeri untuk mendorong daerah untuk
integrasi PRB kedalam s istem pendidikan sekolah.

Seluruh upaya Pemerintah dalam kebijakannya tentang
pengurangan risiko bencana (PRB), pendidikan
termasuk salah satu prioritas dalam upaya
pengarusutamaan PRB kedalam proses pembangunan.
Hal ini dinyatakan baik dalam RAN PRB maupun
dalam UU nomor 24/2007. Pemerintah telah
memahami dengan baik bahwa upaya pencegahan
bencana dan PRB perlu dimulai dengan penyebaran
informasi dan pengetahuan. Penyadaran dan
pendidikan merupakan langkah awal menuju suatu
tindakan. Hal ini penting untuk membangun budaya
siaga bencana.


3. METODE PENELITIAN
Penelitian merupakan penelitian deskriptif kualitatif,
menggunakan teknik observasi, wawancara, FGD
(Focused group discussions) atau diskusi kelompok
terfokus sebagai metode pengumpulan data. Sasaran
penelitian ini adalah komunitas sekolah yang terdiri
dari komite sekolah, kepala sekolah, guru, dan siswa.

3.1 Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data dalam penelitian ini digunakan:
- Lembar Kuesioner untuk mengumpulkan data dari
siswa, guru, dan komite sekolah berkaitan dengan
pengetahuan kebencanaan.
- Lembar observasi digunakan untuk mengumpulkan
data pendukung terkait dengan kesiapsiagaan
sekolah dalam menghadapi bencana
- Protokol wawancara untuk kepala sekolah dan
pengawas berkaitan dengan program
penanggulangan bencana di sekolah.
- Dokumentasi dapat berupa foto-foto pendukung,
silabus, RPP, dan data pendukung lainnya.

Data penelitian yang akan dianalis is terdiri dari data
primer dan data sekunder, yaitu:
Data Primer:
- Hasil data wawancara mendalam dalam bentuk
rekaman digital
- Data angket dari guru, siswa, komite sekolah
- Hasil diskusi kelompok (FGD) kelompok dalam
bentuk rekaman digital
Data Sekunder:
- Hasil dokumentasi (foto, data material pelatihan
kebencanaan, fasilitas kesiapsiagaan sekolah)

3.2 Analisis Data
Data penelitian dalam bentuk kuantitatif dari hasil
kuesioner akan dianalis is dengan program statistik
SPSS. Sedangkan data dalam bentuk kualitatif yang
didapatkan dari wawancara mendalam, diskusi
kelompok terfokus, lembar observasi dan dokumentasi
akan dianalis is dengan menggunakan prinsip analis is
kualitatif dengan langkah sebagai berikut:
1. Transkrip data penelitian dalam bentuk rekaman
kedalam bentuk tulisan.
2. Pengkodean dan penguraian (Decode) data
penelitian.
3. Triangulasi dan kristalisasi data kualitatif dari
wawancara mendalam, diskusi kelompok
terfokus, lembar observasi dan dokumentasi.
4. Pengelompokan dan pengkategorian data
penelitian.
5. Menarik hasil penelitian.

4. HASIL PENELITIAN
Berikut adalah hasil temuan penelitian yang
dikelompokkan menjadi identifikasi pelatihan,
kesiapsiagaan komunitas sekolah, dampak pelatihan
kebencanaan, yang dibagi atas 3 wilayah sampel
penelitian yaitu Aceh Jaya, Aceh Tengah dan Pidie
Jaya.

4.1 Identifikasi Pelatihan Kebencanaan di Sekolah
Pelatihan yang pernah diikuti guru dan siswa di Aceh
Jaya adalah simulasi gempa dan tsunami dan
penanggulangan bencana PMP yang dilaksanakan oleh
PMI (Palang Merah Indonesia) dan American Red
Cross. Ditemukan 2/3 responden baik guru dan siswa
pernah mengikuti pelatihan pendidikan kebencanan
pasca tsunami dan gempa. Hanya 30% guru yang
pernah mengikuti workshop pendidikan kebencanaan.
Workshop tersebut yaitu: Siaga Bencana,
Penanggulangan korban Bencana dan Kecelakaan yang
juga dilaksanakan oleh PMI, AMRED (American Red
Cross) dan ICRC (International Crescent Red Cross).
Selanjutnya, hasil temuan dari sekolah sampel di Aceh
Tengah yakni SD 3 Ketol, SD 13 Ketol, SD 7 Ketol
dan SMP 12 Ketol di Aceh Tengah, pelatihan
kebencanaan belum pernah dilaksanakan. Diperkuat
oleh pengawas sekolah yang mengatakan bahwa di
Aceh Tengah belum dilaksanakan pembelajaran
kebencanaan di sekolah. Aceh Tengah merupakan
daerah pegunungan yang rawan terhadap gempa bumi
and tanah longsor juga ancaman gunung api. Oleh


61

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kebencanaan
TDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 19 April 2011
ISSN 2088-4532
karena itu perlu dilakukan pendidikan kebencanaan
mengingat daerah kabupaten Aceh Tengah yang rentan
terhadap bencana.

Begitu juga halnya dengan kabupaten Pidie Jaya,
pelatihan kebencanaan belum pernah dilaksanakan di
sekolah sekolah sampel yaitu SD Lancang Baro, SD
Musa Baroh, dan SMP 5 Bandar Baru. Diperkuat dari
hasil wancara dan hasil FGD yang melibatkan guru,
komite sekolah dan pengawas dan pejabat dinas
Pendidikan Pidie Jaya. Pelatihan pernah dilaksanakan
adalah menggambar kreatif tentang laut yang bertujuan
untuk membina mental terhadap trauma tsunami. Serta
kegiatan Bakti Sosial kebersihan yang diprakarsai oleh
Dinas Pendidikan Kabupaten Pidie Jaya setelah
bencana banjir yang pernah terjadi di kabupaten
tersebut.

4.2 Pemahaman Komunitas Sekolah Terhadap
Bencana
4.2.1 Pemahaman Komunitas Sekolah Terhadap
Bencana di Kabupaten Aceh Jaya
Berdasarkan kuesioner yang berhasil dikumpulkan dari
penelitian di kabupaten Aceh Jaya pada tiga sekolah
sampel yakni SDN 1 Calang, SDN 2 Calang dan SMP
1 Calang

a. Pengetahuan komunitas sekolah terhadap
kebencanaan
Fenomena alam yang dapat menyebabkan bencana
menurut jawaban mayoritas siswa gempa bumi
(97,8%), tsunami (97,8%), tanah longsong (83,3%),
badai (85,3%), gunung api (83,3%) dan banjir (94,4%).
Hasil ini mengindikas ikan siswa di calang mengetahui
fenomena alam yang dapat menyebabkan bencana.
Jenis bencana alam yang dapat mengancam masyarakat
sekitar sekolah di sekitar Calang, dari 90 responden
(siswa) menjawab banjir (97,85%), sedangkan
ancaman bencana lain seperti tanah longsor (10%),
gunung meletus (6,7%), gempa bumi (13,2%) dan
tsunami (15,6%). Berdasarkan jawaban tersebut
menunjukkan bahwa ancaman terbesar menurut siswa
di calang adalah banjir, tsunami, gempa bumi tanah
longsor dan gunung meletus. Hal ini mungkin
disebabkan karena Calang merupakan daerah pantai
yang terdiri dari rawa-rawa yang menyebabkan sering
terjadi banjir. Disamping itu Calang juga merupakan
daerah yang pernah dilanda tsunami dan gempa bumi,
sehingga siswa menganggap tsunami dan gempa bumi
juga merupakan ancaman. Dalam kegiatan sosialisasi
yang dilakukan baik pemerintah maupun non
pemerintah, cenderung mensosialisasikan bahwa durasi
waktu terjadinya tsunami sekitar 200 tahun sekali dan
gempa bumi besar akan terjadi selama 20 tahun sekali.
Sehubungan dengan pemahaman siswa yang rendah
terhadap tanah longsor dan gunung berapi, mungkin
disebabkan karena lokasi kota Calang tidak berada di
kawasan tanah longsor dan gunung berapi.

b. Tindakan Saat Menghadapi Bencana di Sekolah
Pemahaman kebencanaan tentang tindakan yang dapat
dilakukan saat terjadi gempa, sebagian responden di
Calang memberikan jawaban berlindung di tempat
aman (95,6%), melindungi kepala (81,1%), ke tempat
terbuka (93,3%), menjauhi benda tergantung (87,8%),
menjauhi dinding kaca (83,3%), menjauhi jembatan
(67,8%). Sedangkan tindakan yang dilakukan saat
terjadi gempa menurut siswa adalah berlari keluar dari
ruangan sebesar 92,2%.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tindakan
untuk berlindung di tempat yang aman dan berlari ke
luar ruangan merupakan pilihan bagi siswa ketika
terjadi bencana. Hal ini disebabkan karena bangunan
sekolah di Calang semuanya hanya berlantai satu dan
jumlah siswanya relatif sedikit.

c. Tindakan Kesiapsiagaan Menghadapi Bencana di
Sekolah

Pemahaman tentang tindakan antisipasi sebagai bentuk
kesiapsiagaan bencana menunjukkan bahwa sebanyak
60 hingga 90% responden tidak memberikan jawaban.
Disamping itu, terdapat 24% responden memberikan
jawaban tidak tahu pada tindakan latihan
penyelamatan, 14% responden memberikan jawaban
tidak tahu terhadap mengikat rak/lemari, dan 14%
responden menjawab tidak tahu terhadap tindakan
menyimpan barang/buku di tempat aman. Dari jawaban
tersebut dapat dimaknai bahwa siswa di Calang tidak
mengetahui dan tidak melakukan persiapan sebagai
tindakan antisipasi menghadapi bencana alam. Hasil ini
sesuai dengan hasil observasi di sekolah sampel yang
belum ada indikasi melaksanakan kesiapsiagaan seperti
tidak mengikat rak buku ke dinding, tidak ditemukan
peta evakuasi dan tidak ada sosialisasi pendidikan
bencana. Bukti lainnya dan hasil diskusi dengan kepala
sekolah setempat yang mengatakan bahwa sekolah
belum mempunyai kegiatan rutin simulasi
kesiapsiagaan terhadap bencana dan belum
mengintegrasikan PRB (Pengurangan Resiko Bencana)
dalam kurikulum sekolah.

4.2.2 Pemahaman Komunitas Sekolah terhadap
Bencana di Kabupaten Aceh Tengah
Berdasarkan kuesioner yang berhasil dikumpulkan dari
penelitian di kabupaten Aceh Tengah, yaitu dari empat
sekolah sampel di Kecamatan Ketol yaitu SDN 3, SDN
7, dan SMP 12 Ketol, maka diperoleh hasil sebagai
berikut :

a. Pengetahuan Komunitas Sekolah terhadap
Kebencanaan
Pemahaman tentang fenomena alam yang dapat
menyebabkan bencana, maka 78,69% responden


62

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kebencanaan
TDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 19 April 2011
ISSN 2088-4532
menjawab gempa bumi merupakan fenomena alam
yang dapat menyebabkan bencana. Selanjutnya,
tsunami (62,3%), tanah longsor (63,11%), badai
(56,56%), gunung api (65,57%) dan banjir (60,66%).
Hal ini mungkin disebabkan karena di Kabupaten Aceh
Tengah pernah terjadi gempa bumi yang menimbulkan
kerusakan pada bangunan sekolah sampel.
Tentang bencana alam yang dapat mengancam
masyarakat sekitar sekolah, maka jumlah responden
memilih banjir yaitu sebesar 95,9%, tanah longsor
(100%), gunung meletus (100%), gempa bumi (100%),
dan tsunami (100%). Jawaban responden ini
mengindikasikan bahwa semua bencana alam, yaitu
banjir, tanah longsor, gunung meletus, gempa bumi,
dan tsunami, menurut responden adalah merupakan
bencana alam. Berdasarkan persentase jawaban
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa responden
sudah memahami jenis-jenis bencana yang menjadi
ancaman bagi masyarakat di sekitar mereka tinggal.
Sebab secara geografi, Kabupaten Aceh Tengah tengah
berada di daerah pegunungan, sehingga sangat besar
kemungkinan akan mengalami gempa bumi, dan tanah
longsor. Sehingga, jawaban responden diduga
berdasarkan pengalaman bencana alam yang terjadi di
daerah tersebut. Dengan demikian, maka dapat
disimpulkan bahwa siswa pada sekolah sampel di
Kabupaten Aceh Tengah sudah lebih memahami
berbagai ancaman bencana yang mungkin dialami oleh
masyarakat di sekitar.

b. Tindakan Saat Menghadapi Bencana di Sekolah
Berdasarkan jawabn responden di Kabupaten Aceh
Tengah terhadap pertanyaan tentang tindakan yang
dapat dilakukan saat terjadi gempa, maka sekitar
59,8% responden menjawab berlindung ditempat aman
(59,8%). Disamping itu, responden menjawab :
melindungi kepala (32,8%), ketempat terbuka (56,6%),
menjauhi benda tergantung (40,2%), menjauhi dinding
kaca (32,8%), dan keluar ruang setelah gempa (18,0%).
Hasil ini menunjukkan bahwa responden akan memilih
untuk berlindung di tempat yang aman pada saat
menghadapi bencana di sekolah. Sedangkan responden
yabg memilih tindakan berlari ke luar ruangan saat
gempa sedang terjadi adalah sebasar 41,8%. Jawaban
ini mengindikasikan bahwa hanya sebahagian dari
responden yang mengetahui tindakan saat menghadapi
bencana.

c. Tindakan kesiapsiagaan menghadapi bencana
di sekolah di Aceh Tengah
Tentang tindakan antisipasi sebagai bentuk
kesiapsiagaan bencana, maka dari 122 responden
ditemukan hanya sedikit responden yang menjawab
ya terhadap berbagai tindakan persiapan menghadapi
bencana alam yang sewaktu-waktu dapat terjadi di
sekolah seperti menyiapkan dokumen (14,8%),
pengetahuan bencana (23,8%), latihan penyelamatan
(15,6%), mengikat lemari/rak (3,3%), dan tindakan
menyimpan barang/buku ditempat aman (27,0%).
Sedangkan sebagian besar responden menjawab tidak
mengetahui tindakan antisipasi menghadapi bencana,
dan tidak melakukan tindakan antis ipasi menghadapi
bencana. Persentasenya berturut-turut terhadap
tindakan seperti disebutkan di atas, yaitu 45,1; 39,3;
35,2; 45,9; dan 40,2%. Hasil ini sesuai dengan hasil
observasi di sekolah sampel yang belum ada indikasi
melaksanakan kesiapsiagaan seperti tidak mengikat rak
buku ke dinding, tidak ditemukan peta evakuasi dan
tidak ada sosialisasi pendidikan bencana. Bukti lainnya
dan hasil diskusi dengan kepala sekolah setempat yang
mengatakan bahwa sekolah belum mempunyai
kegiatan rutin simulasi kesiapsiagaan terhadap bencana
dan belum meng integrasikan PRB (Pengurangan
Resiko Bencana) dalam kurikulum sekolah.



4.2.3 Pemahaman Komunitas Sekolah Terhadap
Bencana di Kabupaten Pidie Jaya

Berdasarkan hasil kuesioner pada tiga sekolah sampel
di kabupaten Pidie Jaya yakni SD Lancang Baro, SD
Musa Baroh, dan SMP 5 Bandar Baru kabupaten Pidie
Jaya diperoleh temuan sebagimana dijelaskan berikut.
a. Pengetahuan komunitas sekolah terhadap
kebencanaan
Tentang fenomena alam yang dapat menyebabkan
bencana, 71 siswa yang dijadikan responen Pidie Jaya,
diperoleh jawababan yaitu gempa bumi (98,6%),
tsunami (83,1%), tanah longsong (84,5%), badai
(98,6%), gunung api (83,1%) dan banjir (96,6%).
Pemahaman siswa tentang tentang bencana alam yang
menjadi ancaman bagi masyarakat sekitar sekolah di
Pidie Jaya, dari 71 respondent (siswa) yang memberi
jawaban ya adalah banjir (46,5%), gempa bumi
(42,3%), tsunami (77,5%). Berdasarkan prosentase
jawaban responden tersebut dapat dikatakan bahwa
sebagian besar responden menganggap jenis bencana
alam yang menjadi ancaman bagi masyarakat Pidie
Jaya adalah tsunami, banjir, dan gempa bumi. Hal ini
karena Pidie Jaya merupakan daerah yang terkena
dampak Gempa dan Stunami 2004 dan daerah Pidie
Jaya sering mengalami banjir. Sedangkan gunung api
dan longsor dianggap idak merupakan ancaman bagi
masyarakat Pidie Jaya karena secara geografis Pidie
Jaya berada pada daerah pesisir yang rawan banjir.

b. Tindakan Saat Menghadapi Bencana di Sekolah
Tentang tindakan yang dapat dilakukan saat terjadi
gempa, menurut jawaban responden adalah berlindung
ditempat aman (28,2%), melindungi kepala (0%),
ketempat terbuka (87,3%), menjauhi benda tergantung
(28,2%), menjauhi dinding kaca (31%), keluar ruang
setelah gempa (39,4%), dan tindakan berlari keluar
ruang saat gempa (90,1%). Dari data di atas


63
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kebencanaan
TDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 19 April 2011
ISSN 2088-4532
menunjukkan bahwa 90,1% responden memilih opsi
tindakan penyelamatan yakni berlari keluar saat
gempa, hal ini disebabkan karena sekolah sampel di
Pidie Jaya seluruhnya berlantai satu. Sehingga mereka
lebih mudah untuk berlari keluar ruangan.

b. Tindakan Kesiapsiagaan Menghadapi Bencana
di Sekolah
Berdasarkan data yang diperoleh tentang tindakan
antisipasi sebagai bentuk kesiapsiagaan bencana, maka
sebanyak 28,1% siswa menjawab bahwa tindakan
kesiapsiagan yang dilakukan adalah menyiapkan
dokumen. Selanjutnya, perlu adanya sosialisasi tentang
pengetahuan kebencanaan sebesar 33,8%, latihan
penyelamatan sebanyak 60,0%, dan mengikat
lemari/rak sebanyak 14,1%. Disamping itu, 47,9%
responden yang menjawab bahwa tindakan yang perlu
dilakukan adalah menyimpan barang/buku ditempat
aman. Hasil ini menunjukkan bahwa tindakan
kesiapsiagaan yang diperlukan dalam menghadapi
bencana yaitu latihan penyelamatan, dan menimpan
barang/buku di tempat aman. Dari hasil tersebut dapat
dikatakan bahwa masih banyak siswa di Pidie Jaya
yang belum memahami tindakan kesiapsiagaan
menghadapi bencana di sekolah. Hasil ini sesuai
dengan hasil observasi di sekolah sampel yang belum
ada indikas i melaksanakan kesiapsiagaan seperti tidak
mengikat rak buku ke dinding, tidak ditemukan peta
evakuasi dan belum ada sosialisasi pendidikan
bencana. Bukti lainnya dan hasil diskusi dengan kepala
sekolah setempat yang mengatakan bahwa sekolah
belum mempunyai kegiatan rutin simulasi
kesiapsiagaan terhadap bencana dan belum
mengintegrasikan PRB (Pengurangan Resiko Bencana)
dalam kurikulum sekolah.


4.3 PEMBAHASAN
4.3.1 Kerentanan Geologis dan Geografis Wilayah
Provinsi Aceh
Wilayah Aceh terletak di dekat pertemuan tiga
lempeng yakni lempeng Pasifik, lempeng Eurasia dan
lempeng Australia. Sehingga, semua kawasan di Aceh
memiliki potensi terjadi gempa bumi, sedangkan
kawasan pesisir barat selatan yang berhadapan
langsung dengan Lautan Hindia mempunyai potensi
tsunami lebih besar dibandingkan kawasan wilayah
timur utara. Letak geografi sekolah dasar di tiga zona
yang diteliti memiliki kerentanan yang tinggi terhadap
bencana.


Gambar 1: Keadaan geografis beberapa wilayah di
Provinsi Aceh

Pada wilayah Calang dan Pidie Jaya, secara geografi
berada di daerah pesisir yang sangat rentan terhadap
banjir, gempa bumi dan tsunami. Sedangkan letak
geografis sekolah-sekolah di Aceh Tengah pada
umumnya berada di kaki bukit, bahkan ada yang
berdekatan dengan gunung berapi. Sehingga banyak
sekolah-sekolah yang rawan longsor selain gempa
bumi dan letusan gunung api. Berdasarkan observasi
pada sekolah-sekolah di ketiga zona tersebut yakni
Aceh Jaya, Pidie Jaya dan Aceh Tengah belum
memiliki peta resiko bencana, peta evaluasi, jalur
evakuasi, dan rencana evakuasi.
Hampir semua sekolah terbuat dari bangunan lantai
satu, sehingga masyarakat sekolah di daerah pesisir ini
memiliki kerentanan banjir dan tsunami.



4.3.2 Kerentanan Fisik Sekolah
Masih ditemukan sekolah dengan kondisi gedung yang
tidak layak pakai, seperti ditemukan di SD 3 Ketol
Aceh Tengah yang siswanya belajar di tenda karena
gedung sekolahnya sudah retak karena gempa, ada
sekolah dindingnya sudah mulai keropos dimakan usia.
Masih ada sekolah-sekolah yang menjadi sampel
penelitian memiliki kondisi yang rentan terhadap
bencana. Pada umumnya ruangan kelas di sekolah
sampel hanya memiliki satu buah pintu yang lebarnya
sekitar satu meter. Kondisi seperti ini sangat
menyulitkan bagi s iswa untuk keluar ruangan
menyelamatkan diri bila terjadi bencana, jika jumlah
siswa cukup banyak. Kondisi ruangan belajar, bangku
dan perabotan sekolah yang kualitasnya rendah, serta
penempatan dan pengamanan perabotan yang kurang
baik dapat menimbulkan kerentanan bagi s iswa
maupun guru di dalam kelas. Berdasarkan hasil
pengamatan di sekolah sampel, ditemukan bahwa
penempatan almari dan perabotan sekolah berada di
dekat pintu dan tidak ada pengamanan misalnya tidak
diikat dan berada didekat jalur keluar masuk ruangan,
demikian juga susunan bangku yang sangat rapat dapat
mengganggu pergerakan siswa.



64
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kebencanaan
TDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 19 April 2011
ISSN 2088-4532

Gambar 2 : Keadaan beberapa sampel sekolah yang
rentan terhadap bencana

4.3.3 Kerentanan Sosial
Perilaku masyarakat baik dalam lingkungan sekolah
maupun perilaku masyarakat umum di ketiga daerah
penelitian belum mengarah pada kesiapsiagaan
bencana. Hal ini dapat dilihat dari hasil observasi,
bahwa di beberapa sekolah sudah pernah mengikuti
pelatihan membuat peta sekolah, peta evakuasi, bahkan
sudah ada alat peringatan dini. Akan tetapi pihak
sekolah belum menempatkannya pada posisi yang
tepat, seperti peta yang pernah dibuat ketika pelatihan,
namun tidak dipelihara bahkan disimpan di gudang
dan sebagian besar sudah rusak atau hilang. Kebiasaan
menempatkan perabotan dalam ruang kelas yang dapat
menggangu saat penyelamatan diri bila terjadi bencana.
Ketidakperdulian sebagian masyarakat akan
pentingnya mempersiapkan diri menghadapi bencana,
kemiskinan, penggunaan lahan yang tidak tepat dan
minimnya pengetahuan masyarakat merupakan
indikator kerentanan sosial.

4.4 Infrastruktur pendukung
Infrastuktur pendukung yang sangat penting untuk
penyelamatan diantaranya adalah escape building. Di
Calang terdapat satu bangunan tingkat tiga yang
dibangun oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi
(BRR) untuk tempat penyelamatan sementara jika
terjadi tsunami, tetapi belum difungsikan dengan baik.
Sebagaimana pengakuan peserta Focus Group
Discussion (FGD) yang mengatakan bahwa mereka
belum banyak memanfaatkan melakukan sosialisasi
kepada siswa tentang kegunaan bangunan tersebut dan
ke depan pemanfatan bangunan escape building yang
ada di Calang perlu dioptimalkan fungsinya, misalnya
digunakan sebagai pusat latihan bagi anak-anak.
Disamping itu, di sekolah-sekolah sampel belum
tersedia peralatan pendukung seperti tandu, alat
transportasi sekolah yang dapat dijadikan untuk alat
pertolongan dan alat evakuasi. Beberapa sekolah
tersedia perlengkapan sederhana seperti obat luka dan
kain perban yang hanya cukup untuk beberapa siswa.

Disetiap sekolah memiliki alat berupa lonceng atau bel
untuk memberi tanda yang biasanya dipakai sebagai
tanda jam pelajaran, tentu saja alat ini dapat dipakai
untuk memberi tanda bila terjadi bahaya bencana jika
sudah disepakati oleh komunitas sekolah.







Gambar 3. Insfrastruktur yang mendukung
penanggulangan kebencanaan dari kiri kanan: escape
building di kota calang, kotak P3K, ruang UKS, alaram
gempa

4.5 Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah dalam
Menghadapi Bencana
Hasil yang ditemukan bahwa di sekolah sampel di
Calang selama ini sudah ada pelatihan tentang
Pengurangan Risiko Bencana (PRB) pada beberapa
sekolah tertentu, namun belum merata pada semua
sekolah di daerah rawan bencana. Sedangkan di
sekolah sampel di Pidie Jaya dan Aceh Tengah belum
pernah diberikan pelatihan tentang PRB. Hal ini
disebabkan karena pelatihan selama ini dilakukan oleh
lembaga non pemerintah yang dibiayai oleh donatur
yang kurang memiliki akses ke pemerintahan setempat
sehingga kegiatan pelatihan PRB tidak terkoordinasi
dengan instansi terkait. Hal ini akan mengakibatkan
kebutuhan pelatihan PRB di sekolah daerah rawan
bencana tidak terakomodasi secara merata dan tidak
berkesinambungan.

Berdasarkan survey yang diperoleh melalui angket baik
kepada guru maupun siswa menunjukkan bahwa
pengetahuan dan pemahaman komunitas sekolah
terhadap PRB sudah memadai. Namun pengetahuan
dan pemahaman tersebut tidak diikuti dengan
implementasi PRB kedalam aktivitas sekolah, seperti
ada sekolah yang telah membuat peta evakuasi
dibawah bimbingan lembaga non pemerintah dan hasil
pelatihan tersebut tidak dipelihara bahkan hilang begitu
saja. Hal ini disebabkan karena kegiatan pendidikan
dan pelatihan yang selama ini dilakukan oleh lembaga
non pemerintah kurang memperhatikan kearifan lokal.

Berdasarkan observasi terhadap kondisi sekolah dan
lingkungan serta hasil wawancara dengan pihak
masyarakat sekolah ditemukan bahwa kesiapsiagaan
sekolah dalam PRB masih sangat rendah. Hal ini dapat
dilihat dari belum adanya program sekolah tentang
PRB, struktur organisasi PRB, peta evakuasi dan peta
rawan res iko bencana, dan pengamanan peralatan
sekolah untuk mengurangi resiko bencana.

5. KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian ini dapat dihasilkan beberapa
kesimpulan yaitu


65

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kebencanaan
TDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 19 April 2011
ISSN 2088-4532
1. Pelatihan kebencanaan yang pernah diberikan di
sekolah sampel di Calang adalah pelatihan PRB
yang dilaksanakan oleh Palang Merah Indonesia
(PMI). Sedangkan di sekolah sampel di Pidie Jaya
dan Aceh Tengah belum pernah dilaksanakan
pelatihan PRB.
2. Pengetahuan tentang PRB bagi sekolah-sekolah
sampel di ketiga daerah, masih sebatas pada
pengetahuan tentang fenomena-fenomena alam
yang dapat menimbulkan bencana. Namun
mereka belum mengetahui cara PRB.
3. Kesiapsiagaan masyarakat sekolah dalam
mengurangi resiko bencana masih pada taraf
mengetahui tindakan-tindakan penyelamatan,
namun mereka belum memiliki ketrampilan
tindakan kesiapsiagaan.

6. SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka
dapat disarankan beberapa hal sebagai berikut:
1. Pelaksanaan pelatihan PRB selama ini belum
dilakukan secara optimal dan merata di sekolah-
sekolah sampel di ketiga daerah Calang, Pidie
Jaya, dan Aceh Tengah. Oleh karena itu pelatihan
PRB perlu diadakan secara merata dan terus
ditindak lanjuti untuk meningkatkan
kesiapsiagaan dan menambah pengetahuan PRB
bagi komunitas sekolah.
2. Perlu adanya kebijakan dan komitmen dari Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) tentang
PRB di sekolah-sekolah.
3. Sekolah-sekolah perlu membuat peta rawan
bencana dan peta evakuasi sebagai informasi bagi
komunitas sekolah untuk PRB

UCAPAN TERIMA KASIH
Tim peneliti Peer Group Pendidikan dan Advokasi
mengucapkan terima kasih atas pendanaan menyeluruh
dari pihak MDF dan UNDP melalui project DRR-A
dengan nomor kontrak 537.D/TDMRC-
UNSYIAH/TU/XI/2010, dan juga atas kerjasama
TDMRC dengan Pemerintah Daerah Aceh dan
Departemen Dalam Negeri.

DAFTAR PUSTAKA
Iskandar, (2010). Situasi Kebencanaan Aceh Terkini.
Makalah disampaikan pada workshop Penggalangan
Peer Group Peneliti Kebencanaan TDRMC Unsyiah.
Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 24 Tahun
2007, tentang Penanggulangan Bencana. Jakarta.

International Strategy for Disaster Reduction (ISDR),
(2004). Living with Risk A global review of disaster
reduction initiatives. Geveva : Switzerland.

McMillan, D.W., & Chavis, D.M. (1986). Sense of
community: A Definition and Theory. American
Journal of Community Psychology, 14(1), 6-23.

Nick Carter, (1991). Disaster management: A Disaster
Managers Handbook. ADB : Manila.

Berita dari Maumere membangun Sekolah Siaga
Bencana. LIPI dan Comprese.
http://unesdoc.unesco.org/images/0018/001830/18302
4ind.pdf.

You might also like