You are on page 1of 17

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN CA NASOFARING

A. DEFINISI
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh di daerah
nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller pada nasofaring yang
merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel
skuamosa (Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 146).
Tumor ganas nasofaring (karsinoma nasofaring) adalah sejenis kanker
yang dapat menyerang dan membahayakan jaringan yang sehat dan bagian-bagian
organ di tubuh kita. Nasofaring mengandung beberapa tipe jaringan, dan setiap
jaringan mengandung beberapa tipe sel. Dan kanker ini dapat berkembang pada
tipe sel yang berbeda. Dengan mengetahui tipe yang sel yang berbeda merupakan
hal yang penting karena hal tersebut dapat menentukan tingkat seriusnya jenis
kanker dan tipe terapi yang akan digunakan (American Cancer Society dalam
Cancer.Net, 2008).
B. ANATOMI DAN FISIOLOGI
Nasofaring letaknya tertinggi di antara bagian-bagian lain dari faring, tepatnya di
sebelah do sal dari cavum nasi dan dihubungkan dengan cavum nasi oleh koane.
Nasofaring tidak bergerak, berfungsi dalam proses pernafasan dan ikut
menentukan kualitas suara yang dihasilkan oleh laring. Nasofaring merupakan
rongga yang mempunyai batas-batas sebagai berikut :
Atas : Basis kranii.
Bawah : Palatum mole
Belakang : Vertebra servikalis
Depan : Koane
Lateral : Ostium tubae Eustachii, torus tubarius, fossa rosenmuler (resesus
faringeus).
Pada atap dan dinding belakang Nasofaring terdapat adenoid atau tonsila
faringika.
C. ETIOLOGI
Penyebab timbulnya Karsinoma Nasofaring masih belum jelas. Namun
banyak yang berpendapat bahwa berdasarkan penelitian-penelitian epidemiologik
dan eksperimental, ada 5 faktor yang mempengaruhi yakni :
Faktor Genetik (Banyak pada suku bangsa Tionghoa/ras mongolid).
Faktor Virus (Virus EIPSTEIN BARR)
Di dalam serum sebagian besar penderita KNF diidentifikasi
antibody terhadap antigen virus EB terutama antibody terhadap virus
capsid antigen (Ig A VCA)dengan titer tinggi yang berbeda bermakna
dengan control. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan erat antara
infeksi virus EB dengan KNF. Dari berbagai penelitian menunjukkan
bahwa sebelum muncul symptom KNF, Ig A-VCA mungkin meningkat
dalam serum. Hal ini merupakan pertanda bahwa virus berperan dalam
pertumbuhan KNF. Selain daripada itu pada penelitian histopatologi KNF
dapat diidentifikasi EBV-DNA, menunjukkan adanya virus Genomes
dalam jaringan tumor. Mungkin virus EB merupakan Karsinogenik,
sedang faktor Eksogen antara lain nitrosamine dan asap merupakan KO-
karsinogenik dan ras merupakan predisposisi.
Kenaikan Ig A-VCA berkaitan erat dengan subtype histopatologi.
Pada subtype karsinoma tanpa keratin dan karsinoma diferensiasi rendah
(undiferensiasi), titer Ig A VCA tinggi (Titer antibodi VCA-IgA >=
1:80). Pada karsinoma squamos atau diferensiasi rendah, Ig A-VCA tidak
naik, namun EBV DNA dijumpai dijaringan tumor. Kenaikan titer Ig A-
VCA juga dijumpai pada penderita limfoma burkitt, beberapa kasus
limfoma Hodgkin, sarcoma imunoblastik, beberapa karsinoma kelenjar
salivary dan timus.
Faktor lingkungan (polusi asap kayu bakar, atau bahan karsinogenik
misalnya asap rokok dll).
Iritasi menahun : nasofaringitis kronis disertai rangsangan oleh asap,
alkohol dll.
Hormonal : adanya estrogen yang tinggi dalam tubuh.

D. PATOFISIOLOGI
Terbukti juga infeksi virus Epstein-Barr dapat menyebabkan karsinoma
nasofaring. Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya keberadaan protein-
protein laten pada penderita karsinoma nasofaring. Pada penderita ini sel yang
terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protein tertentu yang berfungsi untuk
proses proliferasi dan mempertahankan kelangsungan virus di dalam sel host.
Protein laten ini dapat dipakai sebagai petanda (marker) dalam mendiagnosa
karsinoma nasofaring, yaitu EBNA-1 dan LMP-1, LMP- 2A dan LMP-2B. Hal ini
dibuktikan dengan ditemukannya pada 50% serum penderita karsinoma
nasofaring LMP-1 sedangkan EBNA-1 dijumpai di dalam serum semua pasien
karsinoma nasofaring.
Selain itu, dibuktikan oleh hasil penelitian Khrisna dkk (2004) dalam
Rusdiana (2006) terhadap suku Indian asli bahwa EBV DNA di dalam serum
penderita karsinoma nasofaring dapat dipakai sebagai biomarker pada karsinoma
nasofaring primer.
Hubungan antara karsinoma nasofaring dan infeksi virus Epstein-Barr juga
dinyatakan oleh berbagai peneliti dari bagian yang berbeda di dunia ini . Pada
pasien karsinoma nasofaring dijumpai peninggian titer antibodi anti EBV (EBNA-
1) di dalam serum plasma. EBNA-1 adalah protein nuklear yang berperan dalam
mempertahankan genom virus. Huang dalam penelitiannya, mengemukakan
keberadaan EBV DNA dan EBNA di dalam sel penderita karsinoma nasofaring.
Terdapat 5 stadium pada karsinoma nasofaring yaitu:
1. Stadium 0: sel-sel kanker masih berada dalam batas nasopharing, biasa
disebut nasopharynx in situ
2. Stadium 1: Sel kanker menyebar di bagian nasopharing
3. Stadium 2: Sel kanker sudah menyebar pada lebih dari nasopharing ke
rongga hidung. Atau dapat pula sudah menyebar di kelenjar getah bening
pada salah satu sisi leher.
4. Stadium 3: Kanker ini sudah menyerang pada kelenjar getah bening di
semua sisi leher
5. Stadium 4: kanker ini sudah menyebar di saraf dan tulang sekitar wajah.
Konsumsi ikan asin yang berlebih serta pemaparan zat-zat karsinogen
dapat mengaktifkan Virus Epstein Barr ( EBV). Ini akan menyebabkan
terjadinya stimulasi pembelahan sel abnormal yang tidak terkontrol,
sehingga terjadi differensiasi dan proliferasi protein laten (EBNA-1). Hal
inilah yang memicu pertumbuhan sel kanker pada nasofaring, dalam hal
ini terutama pada fossa Rossenmuller.
Penggolongan Ca Nasofaring :
T1 : Kanker terbatas di rongga nasofaring.
T2 : Kanker menginfiltrasi kavum nasal, orofaring atau di celah
parafaring di anterior dari garis SO ( garis penghubung prosesus stiloideus
dan margo posterior garis tengah foramen magnum os oksipital ).
T3 : Kanker di celah parafaring di posterior garis SO atau mengenai
basis kranial, fosa pterigopalatinum atau terdapat rudapaksa tunggal syaraf
kranial kelompok anterior atau posterior.
T4 : Saraf kranial kelompok anterior dan posterior terkena serentak,
atau kanker mengenai sinus paranasal, sinus spongiosus, orbita, fosa infra-
temporal.
N0 : Belum teraba pembesaran kelenjar limfe .
N1 : Kelenjar limfe koli superior berdiameter <4 cm,.
N2 : Kelenjar koli inferior membesar atau berdiameter 4-7 cm .
N3 : Kelenjar limfe supraklavikular membesar atau berdiameter >7 cm
M0 : Tak ada metastasis jauh.
M1 : Ada metastasis jauh.
Penggolongan stadium klinis, antara lain :
Stadium I : T1N0M0
Stadium II : T2N0 1M0, T0 2N1M0
Stadium III : T3N0 - 2M0, T0 3N2M0
Stadium IVa : T4N0 3M0, T0 4N3M0
Stadium IVb :T apapun, N Apapun, M1


E. MANIFESTASI KLINIS
Gejala karsinoma nasofaring dapat dikelompokkan menjadi 4 bagian, yaitu antara
lain :
1. Gejala nasofaring
Adanya epistaksis ringan atau sumbatan hidung.Terkadang gejala belum ada tapi
tumor sudah tumbuh karena tumor masih terdapat dibawah mukosa (creeping
tumor).
2. Gangguan pada telinga
Merupakan gejala dini karena tempat asal tumor dekat muara tuba Eustachius
(fosa Rosenmuller). Gangguan dapat berupa tinitus, tuli, rasa tidak nyaman di
telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia).
3. Gangguan mata dan syaraf
Karena dekat dengan rongga tengkorak maka terjadi penjalaran melalui foramen
laserum yang akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI sehingga dijumpai diplopia
(penglihatan ganda), juling, eksoftalmus dan saraf ke V berupa gangguan motorik
dan sensorik.
Karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI dan XII jika
penjalaran melalui foramen jugulare yang sering disebut sindrom Jackson. Jika
seluruh saraf otak terkena disebut sindrom unialteral. Prognosis jelek bila sudah
disertai destruksi tulang tengkorak.
4. Metastasis ke kelenjar leher
Yaitu dalam bentuk benjolan medial terhadap muskulus sternokleidomastoid yang
akhirnya membentuk massa besar hingga kulit mengkilat. Hal inilah yang
mendorong pasien untuk berobat.
Suatu kelainan nasofaring yang disebut lesi hiperplastik nasofaring atau LHN
telah diteliti dicina yaitu 3 bentuk yang mencurigakan pada nasofaring seperti
pembesaran adenoid pada orang dewasa, pembesaran nodul dan mukositis berat
pada daerah nasofaring. Kelainan ini bila diikuti bertahun tahun akan menjadi
karsinoma nasofaring. (Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 147 -148).
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG DAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan CT-Scan daerah kepala dan leher untuk mengetahui
keberadaan tumor sehingga tumor primer yang tersembunyi pun akan
ditemukan.
2. Pemeriksaan Serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk mengetahui
infeksi virus E-B.
3. Untuk diagnosis pasti ditegakkan dengan Biopsi nasofaring dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung dan mulut. Dilakukan dengan
anestesi topikal dengan Xylocain 10 %.
4. Pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narkosis.
G. PENATALAKSANAAN MEDIS
Terapi utama : Radiasi/Radioterapi ditekankan pada penggunaan
megavoltage dan pengaturan dengan komputer (4000 6000 R)Terapi
utama : Radiasi/Radioterapi
Terapi tambahan : diseksi leher, pemberian tetrasiklin, faktor transfer,
inferferon, Sitostatika/Kemoterapi, seroterapi, vaksin dan anti virus
Semua pengobatan tambahan ini masih dalam pengembangan, sedangkan
kemoterapi masih tetap terbaik sebagai terapi ajuvan (tambahan). Berbagai
macam kombinasi dikembangkan, yang terbaik sampai saat ini adalah
kombinasi dengan Cis-platinum sebagai inti. Pemberian ajuvan kemoterapi
Cis-platinum, bleomycin dan 5-fluorouracil sedang dikembangkan di
bagian THT Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga dengan hasil
sementara yang cukup memuaskan. Demikian pula telah dilakukan
penelitian pemberian kemoterapi praradiasi dengan efirubicin dan cis-
platinum, meskipun ada efek samping yang cukup berat, tetapi
memberikan harapan kesembuhan yang lebih baik.
H. KOMPLIKASI
Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah,
mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering adalah
tulang, hati dan paru. Hal ini merupakan hasil akhir dan prognosis yang buruk.
Dalam penelitian lain ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat mengadakan
metastase jauh, ke paru-paru dan tulang, masing-masing 20 %, sedangkan ke hati
10 %, otak 4 %, ginjal 0.4 %, dan tiroid 0.4 %.
Komplikasi lain yang biasa dialami adalah terjadinya pembesaran kelenjar
getah bening pada leher dan kelumpuhan saraf kranial.

I. ASUHAN KEPERAWATAN
I. Pengkajian
A. Identitas/ biodata klien
1. Nama
2. Tempat tanggal lahir
3. Umur
4. Jenis Kelamin
5. Agama
6. Warga Negara
7. Bahasa yang digunakan

8. Penanggung Jawab
a. Nama
b. Alamat
c. Hubungan dengan klien
B. Keluhan Utama
Leher terasa nyeri, semakin lama semakin membesar, susah menelan,
badan merasa lemas, serta BB turun drastis dalam waktu singkat.
C. Riwayat Kesehatan Sekarang
D. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
E. Riwayat Kesehatan Keluarga
F. Keadaan Lingkungan

G. Observasi
1 Keadaan Umum
a. Suhu
b. Nadi
c. Tekanan Darah
d. RR
e. BB
f. Tinggi badan
H. Pemeriksaan Persistem
B1 (breathing) : RR meningkat, sesak nafas, produksi sekret meningkat.
B2 (blood) : normal
B3 (brain) : Pusing, nyeri, gangguan sensori
B4 (bladder) : Normal
B5 (bowel) : Disfgia, Nafsu makan turun, BB turun
B6 (bone) : Normal

II. Diagnosa
1. Nyeri (akut) berhubungan dengan agen injuri fisik (pembedahan).
2. Gangguan sensori persepsi (pendengaran ) berubungan dengan
gangguan status organ sekunder metastase tumor
3. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan intake makanan yang kurang.
4. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan
pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi.
5. Harga diri rendah berhubungan dengan perubahan perkembangan
penyakit, pengobatan penyakit.
III. Intervensi
1. Nyeri (akut) berhubungan dengan agen injuri fisik (pembedahan).
Tujuan : Rasa nyeri teratasi atau terkontrol
Kriteria hasil :
Mendemonstrasikan penggunaan ketrampilan relaksasi nyeri
Melaporkan penghilangan nyeri maksimal/kontrol dengan pengaruh
minimal pada AKS

Intervensi Rasional
Mandiri
1. Tentukan riwayat nyeri
misalnya lokasi, frekuensi,
durasi
2. Berikan tindakan kenyamanan
dasar (reposisi, gosok
punggung) dan aktivitas
hiburan.
3. Dorong penggunaan
ketrampilan manajemen nyeri
(teknik relaksasi, visualisasi,
bimbingan imajinasi) musik,
sentuhan terapeutik.
4. Evaluasi penghilangan nyeri
atau control

Kolaborasi

1. Informasi memberikan data dasar
untuk mengevaluasi kebutuhan/
keefektivan intervensi
2. Meningkatkan relaksasi dan
membantu memfokuskan kembali
perhatian

3. Memungkinkan pasien untuk
berpartisipasi secara aktif dan
meningkatkan rasa control



4. Kontrol nyeri maksimum dengan
pengaruh minimum pada AKS


1. Berikan analgesik sesuai
indikasi misalnya Morfin,
metadon atau campuran
narkotik
1. Nyeri adalah komplikasi sering
dari kanker, meskipun respon
individual berbeda. Saat perubahan
penyakit atau pengobatan terjadi,
penilaian dosis dan pemberian
akan diperlukan

2. Gangguan sensori persepsi (pendengaran ) berubungan dengan
gangguan status organ sekunder metastase tumor
Tujuan : mampu beradaptasi terhadap perubahan sensori pesepsi.
Kriteria Hasil: mengenal gangguan dan berkompensasi terhadap perubahan.


3.Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan intake makanan yang kurang.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi
Intervensi Rasional
1. Tentukan ketajaman
pendengaran, apakah satu
atau dua telinga terlibat .

2. Orientasikan pasien terhadap
lingkungan.


3. Observasi tanda-tanda dan
gejala disorientasi.

1. Mengetahui perubahan dari hal-hal
yang merupakan kebiasaan pasien .


2. Lingkungan yang nyaman dapat
membantu meningkatkan proses
penyembuhan.

3. Mengetahui faktor penyebab
gangguan persepsi sensori yang lain
dialami dan dirasakan pasien.

Kriteria hasil : 1. Berat badan dan tinggi badan ideal.
2. Pasien mematuhi dietnya.
3. Kadar gula darah dalam batas normal.
4. Tidak ada tanda-tanda hiperglikemia/hipoglikemia.

Intervensi Rasional
1. Kaji status nutrisi dan
kebiasaan makan.


2. Anjurkan pasien untuk
mematuhi diet yang telah
diprogramkan.

3. Timbang berat badan setiap
seminggu sekali.


4. Identifikasi perubahan pola
makan.


1. Untuk mengetahui tentang
keadaan dan kebutuhan nutrisi
pasien sehingga dapat diberikan
tindakan dan pengaturan diet yang
adekuat.
2. Kepatuhan terhadap diet dapat
mencegah komplikasi terjadinya
hipoglikemia/ hiperglikemia.

3. Mengetahui perkembangan berat
badan pasien (berat badan
merupakan salah satu indikasi
untuk menentukan diet).
4. Mengetahui apakah pasien telah
melaksanakan program diet yang
ditetapkan.


4. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan
pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi.
Tujuan : Pasien memperoleh informasi yang jelas dan benar tentang penyakitnya.
Kriteria Hasil :
1. Pasien mengetahui tentang proses penyakit, diet, perawatan dan pengobatannya
dan dapat menjelaskan kembali bila ditanya.
2. Pasien dapat melakukan perawatan diri sendiri berdasarkan pengetahuan yang
diperoleh.

Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat pengetahuan
pasien/keluarga tentang
penyakit Ca. Nasofaring


2. Kaji latar belakang pendidikan
pasien.



3. Jelaskan tentang proses
penyakit, diet, perawatan dan
pengobatan pada pasien
dengan bahasa dan kata-kata
yang mudah dimengerti.
4. Jelasakan prosedur yang akan
dilakukan, manfaatnya bagi
pasien dan libatkan pasien
didalamnya.

5. gambar-gambar dalam
memberikan penjelasan (jika
ada / memungkinkan).
1. Untuk memberikan informasi
pada pasien/keluarga, perawat
perlu mengetahui sejauh mana
informasi atau pengetahuan yang
diketahui pasien/keluarga.
2. Agar perawat dapat memberikan
penjelasan dengan menggunakan
kata-kata dan kalimat yang dapat
dimengerti pasien sesuai tingkat
pendidikan pasien.
3. Agar informasi dapat diterima
dengan mudah dan tepat
sehingga tidak menimbulkan
kesalahpahaman.

4. Dengan penjelasan yang ada dan
ikut secra langsung dalam
tindakan yang dilakukan, pasien
akan lebih kooperatif dan
cemasnya berkurang.
5. Gambar-gambar dapat membantu
mengingat penjelasan yang telah
diberikan.
6. Harga diri Rendah berhubungan dengan perubahan perkembangan
penyakit, pengobatan penyakit.
Tujuan : Setelah dilakukan askep selama 324 jam klien menerima keadaan
dirinya
Kriteria Hasil :
1) Menjaga postur yang terbuka
2) Menjaga kontak mata
3) Komunikasi terbuka
4) Menghormati orang lain
5) Secara seimbang dapat berpartisipasi dan mendengarkan dalam kelompok
6) Menerima kritik yang konstruktif
7) Menggambarkan keberhasilan dalam kelompok social

Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat kecemasan yang
dialami oleh pasien.


2. Beri kesempatan pada pasien
untuk mengungkapkan rasa
cemasnya.
3. Gunakan komunikasi
terapeutik.


4. Beri informasi yang akurat
tentang proses penyakit dan
anjurkan pasien untuk ikut
serta dalam tindakan
keperawatan.
1. Untuk menentukan tingkat
kecemasan yang dialami pasien
sehingga perawat bisa memberikan
intervensi yang cepat dan tepat.
2. Dapat meringankan beban pikiran
pasien.

3. Agar terbina rasa saling percaya antar
perawat-pasien sehingga pasien
kooperatif dalam tindakan
keperawatan.
4. Informasi yang akurat tentang
penyakitnya dan keikutsertaan pasien
dalam melakukan tindakan dapat
mengurangi beban pikiran pasien.
5. Berikan keyakinan pada
pasien bahwa perawat,
dokter, dan tim kesehatan
lain selalu berusaha
memberikan pertolongan
yang terbaik dan seoptimal
mungkin.
6. Berikan kesempatan pada
keluarga untuk
mendampingi pasien secara
bergantian.
7. Ciptakan lingkungan yang
tenang dan nyaman.

5. Sikap positif dari timkesehatan akan
membantu menurunkan kecemasan
yang dirasakan pasien.




6. Pasien akan merasa lebih tenang bila
ada anggota keluarga yang
menunggu.

7. Lingkung yang tenang dan nyaman
dapat membantu mengurangi rasa
cemas.











DAFTAR PUSTAKA




















MAKALAH
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN CA NASOFARING


Kelompok 5
Reni Ardita J210100084
Dian Puspitasari J210100085
Aditia indriani J210100086
Abdullah Hanafi J210100087
Wiyatmi J210100088
Chandra J210100090
Fika kharisma J210100091
Sugito Adi J210100092
Rivangga J210100101
Anan P J210100102

S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2012

You might also like