You are on page 1of 13

CATATAN DARI TIMUR : INDONESIA BUKAN

HANYA JAWA
Muhammad Khairiskam (Farmasi UGM 2010)
Universitas Gadjah Mada. Banyak hal yang membuat nama Universitas Gadjah Mada
begitu besar dan disegani. UGM sebagai kampus tertua di nusantara, World Class Research
University, kampus educopolis, green campus, dan status yang erat melekat sebagai KAMPUS
KERAKYATAN. Terdengar agak berlebihan, tapi menurut saya tidak juga. Pada kenyataannya
saya harus mengakui bahwa predikat-predikat tersebut memang layak disandang oleh UGM
termasuk predikat sebagai kampus kerakyatan. Saya bersyukur dapat bekesempatan kuliah di
UGM. Kata orang-orang sih, tidak mudah kuliah di UGM, seleksi nya ketat dan hanya orangorang terpilih yang bisa kuliah di sana. Lebay.
KKN ITU
Hampir empat tahun waktu yang sudah saya habiskan di tempat ini untuk menimba ilmu.
Aktivitas akademik perkuliahan, praktikum di laboratorium, penelitian, aktivitas organisasi di
BEM, KMMF, Kelompok Studi, kegiatan sosial masyarakat saya jalani sebagai perangkat untuk
menyerap berbagai ilmu. Diantara mata kuliah yang saya dapatkan, ada satu mata kuliah yang
special bagi saya yaitu KKN. Bukan singkatannya Korupsi Kolusi dan Nepotisme, tapi Kuliah
Kerja Nyata.
Pengalaman semasa KKN bagi sebagian besar mahasiswa UGM adalah pengalaman yang
paling berharga, dan tidak terlupakan sepanjang kuliah, bahkan sepanjang hidup. KKN menurut
saya menjadi salah satu cerminan, dan bukti bahwa UGM memang kampus kerakyatan. Dulu sih
sejarahnya KKN ini diusulkan oleh Mantan Rektor UGM yang legendaris bernama, Prof. Dr.
Koesnadi Harjasoemantri, SH. Awalnya dulu bernama Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM)
yang ditempatkan di luar Pulau Jawa untuk mengajar. PTM akhirnya berkembang menjadi KKN
yang dulunya diwajibkan bagi seluruh Perguruan Tinggi di Indonesia.
KKN di UGM sendiri sudah sejak lama menjadi hal yang wajib bagi mahasiswa. Mau dia
kaya, belum kaya, mahasiswa pribumi, luar negeri, semua wajib KKN. Jadi bisa dibilang kalau

mahasiswa UGM mau lulus, ya KKN dulu, mau lulus mengabdi terlebih dahulu ke masyarakat.
Saya tanya kawan-kawan saya di yang kuliah Perguruan Tinggi lain, Kamu udah KKN?
Jawabnya berbeda-beda. Ada yang jawab Udah, Tempat ku ga ada KKN, adanya KP (Kerja
Praktik), Aku ga ambil KKN, soalnya cuma mata kuliah pilihan Iya kita KKN nya setiap
sore setelah kuliah sampai malam dan lain-lain.
Bagi saya pribadi, KKN adalah mata kuliah pengganti. Maksudnya pengganti
bagaimana? Maksudnya apa yang saya dapat di bangku kuliah dan praktikum hampir empat
tahun, pengalaman berorganisasi menjadi ketua BEM, mengurusi even dan acara besar hampir
sebanding dengan 2 bulan yang didapat ketika KKN. Saya terlambat KKN satu tahun dari yang
dijadwalkan. Seharusnya saya KKN di tahun 2013, namun karena harus jaga gawang di BEM,
KKN saya diundur baru di tahun 2014. Tapi justru dari keterlambatan itu, banyak hikmah yang
dapat diambil. Yang pertama, saya merasa jauh lebih matang dan lebih mendalami bidang
keilmuan saya di Farmasi untuk diaplikasikan ketika KKN. Yang kedua, KKN dapat sedikit
memberi gambaran perbandingan antara dunia kampus dan dunia nyata di kehidupan. Masih
banyak lagi sebenarnya hikmah yang bisa diambil.
Mau KKN dimana? menjadi perntanyaan yang banyak muncul di akhir tahun 2013.
Sebenarnya ketika mencalonkan sebagai ketua BEM, saya sudah terdaftar di tim KKN
perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat. Takdir berkata lain yang menyebabkan saya
belum bisa KKN di sana. Tapi saya memiliki cita-cita agar bisa KKN di luar pulau Jawa.
Mengapa? Jawabannya sederhana : Sebab Indonesia bukan hanya Jawa. Keyakinan itu
bertambah mantap setelah saya menghadiri forum melingkar di sebuah masjid di Yogyakarta.
Dalam forum tersebut, kawan saya Ilham baru saja selesai KKN di Halmahera Selatan, Maluku
Utara, tepatnya di desa Bajo. Dia banyak bercerita tentang keadaan Halmahera Selatan, tentang
potensi dan eksotisnya alam dan sambutan masyarakat yang luar biasa. Itu semakin mendorong
saya untuk KKN di luar Jawa dan saya jatuhkan pilihan di Halmahera Selatan, Maluku Utara.
Saya akhirnya direkomendasikan Ilham untuk bergabung di tim KKN Halmahera Selatan.
Sebab kelompok ini sudah terbentuk sebelumnya, dan tak lama saya akhirnya resmi bergabung
dalam tim KKN Halsel. Hari demi hari terlewati silih berganti, persiapan menuju KKN lumayan
panjang dan berliku. Banyak hal yang harus disiapkan meliputi perizinan ke pemda, dosen
pendamping lapangan, hingga bantuan sponsorship menjadi santapan hampir di setiap hari.

Tetapi pada awal-awal kerja tim KKN Halsel, saya kurang banyak bisa membantu karena masih
disibukkan agenda BEM. Setelah selesai masa kepengurusan di BEM, baru bisa cukup aktif
membantu.
Kelangsungan tim KKN Halsel ini pun banyak mengalami pasang surut. Ada yang datang
dan ada juga yang pergi, semua datang silih berganti. Kekompakan dan ketahanan sebuah tim
betul-betul diuji. Bagi dia yang kuat dan mampu mengelola emosi dengan baik akan tahan
terpaan sebesar apapun. Tidak hanya itu, penentuan lokasi mana yang akan kita jadikan tempat
KKN juga cukup panjang. Lokasi tempat Ilham KKN di tahun 2013 adalah desa Bajo, sebuah
pulau kecil di seberang pulau Bacan, Kabupaten Halmahera Selatan. Untuk lokasi KKN kita
sendiri dihadapkan pilihan antara tetap melanjutkan di lokasi yang sama atau di lokasi yang
berbeda. Sempat ada beberapa opsi diantaranya Pulau Kayoa, masih di Halmahera Selatan.
Setelah berdiskusi dengan pihak Pemda Halsel diputuskan lokasi KKN kita adalah di Pulau Obi
yang terletak di sebelah selatan Pulau Bacan, kurang lebih 4 jam perjalanan menggunakan kapal
besar. Alasannya sebentar lagi daerah tersebut akan pemekaran menjadi kabupaten baru.
Tema yang diangkat dalam KKN kita lihat dari potensi dan masalah yang ada di lokasi.
Mayoritas masyarakat di Obi adalah petani cengkeh, pala dan juga nelayan. Selain itu di Obi
terdapat potensi pertambangan yang besar berupa nikel dan emas. Potensi lain yang tak boleh
dilewatkan khususnya bagi penggemar batu mulia : Batu Obi. Batu Obi adalah potensi lain yang
terdapat di Pulau ini. Bagi orang awam, mungkin terdengar asing. Tetapi tidak bagi para
penggemar batu mulia, batu Obi termasuk jenis batu papan atas berharga cukup mahal. Di Pulau
Obi, suku mayoritas adalah suku Buton, Tobelo-Galela, dan Makian. Dari berbagai potensi
tersebut kita memilih perikanan

sebagai tema KKN, didukung program bantu pendidikan,

kesehatan dan pariwisata.


KEBERANGKATAN
Menjelang hari keberangkatan, saya bersama dengan Yusuf, Nando dan pak kormanit
Kori, Ummi berdiskusi dengan Ilham, kormanit tahun lalu. Ketika itu kita bertiga termasuk saya
bingung dan panik, dana masih belum cukup, persiapan mepet dan lain-lain. Ada satu pesan dari
Ilham yang saya ingat ketika itu, Niat kita baik, mengabdi. Jangan terlalu khawatir. Allah akan
kasih pertolongan dari jalan yang tidak disangka-sangka. Kata-kata itu yang selalu saya ingat

bahwa kita punya Allah. Dia tidak akan menyia-nyiakan hamba nya yang memiliki niat untuk
berbuat baik. Berbekal niat baik, amunisi yang telah dipersiapkan dan keyakinan tim KKN
Halmahera Selatan dengan mantap berangkat menuju lokasi.
Perjalanan kita menuju lokasi KKN menempuh 3 jalur transportasi : darat, udara dan laut.
Setelah upacara pelepasan KKN di Grha Sabha Pramana, tim dikumpulkan di fakultas MIPA
untuk cek barang-barang bawaan. Bus yang akan membawa kita ke bandara Internasional
Djuanda, Surabaya sudah menunggu di sana. Kita menuju Surabaya terlebih dahulu melalui jalur
darat. Perjalanan ditempuh dalam waktu kurang lebih 7 jam sampai di bandara Djuanda. Setelah
itu menggunakan pesawat terbang mendarat di Bandara Sultan Baabullah, Ternate. Pesawat
transit terlebih dahulu di Makassar. Ketika di Makassar, kita bertemu saudara se almamater yang
juga akan KKN di Raja Ampat, Papua Barat. Tim mereka berjumlah 19 orang juga transit di
Makassar pada waktu yang sama.
Pesawat yang kami tumpangi tiba di Ternate pukul 12.30 WIT. Sesampainya di sana,
keperluan kita sudah disiapan oleh Adit, salah satu anggota tim juga yang rumahnya di Ternate.
Mulai dari transportasi dari Bandara, tempat akomodasi untuk beristirahat, dan transportasi
menuju pelabuhan sudah dibantu oleh keluarga Adit. Alhamdulillah, Allah tidak menyia-nyiakan
hambanya.
Sejenak beristirahat dan silaturahim dengan keluarga Adit, menjelang pukul 19.00 kita
berangkat ke pelabuhan Bastion, Ternate. Kapal Sumber Raya yang akan membawa kami ke
Pulau Obi berangkat pukul 20.00. Rute terakhir melalui jalur laut harus kita tempuh untuk
menuju ke lokasi. Lengkap sudah perjalanan kami melalui jalur darat, udara dan laut. Ini kali
pertama saya melakukan perjalanan melalui darat, laut dan udara sekaligus, hanya terjadi di
KKN.
Setelah 9 jam berjalan di atas laut, kapal Sumber Raya dengan gagahnya bersandar di
Bacan. Dari Bacan, bus buatan Jepang milik Pemda Halsel membawa kami menuju tempat
peristirahatan sementara di Pesanggrahan. Kami transit terlebih dahulu di Labuha untuk
keperluan administrasi. Kota Labuha yang berada di Pulau Bacan yang merupakan ibu kota
kabupaten Halmahera Selatan. Pulau Bacan juga sangat terkenal dengan batu nya, batu bacan.

Batu ini menjadi popular karena dijadikan kenang-kenangan dari presiden SBY kepada Barrack
Obama. Sekarang, harga nya bisa mencapai puluhan juta rupiah.
Kurang lebih satu hari beristirahat di Labuha, saya sempat berjalan-jalan di sekitar
penginapan. Saya dan beberapa orang kawan salat di Masjid Sultan, kira-kira 200 meter dari
penginapan. Konon masjid ini memiliki nilai historis yang tinggi di masa kesultanan Bacan.
Kesultanan Bacan merupakan salah satu dari empat kesultanan besar di Maluku Utara. Selain
Bacan, ada Kesultanan Ternate, Tidore dan Jailolo. Empat kesultanan ini disebut sebagai
Maluku Kie Raha yang artinya Empat Gunung Besar Maluku.
Di Masjid kami bertemu dan berkenalan dengan Mas Basra, orang Bacan yang sekarang
sedang sekolah di Perguruan Tinggi di Malang. Kebetulan karena ketika itu menjelang lebaran,
beliau pulang kampung ke Bacan. Kami berbicara banyak tentang Kesultanan Bacan, Batu,
hingga memori masa lalu yang masih menyimpan luka yakni kerusuhan tahun 2000-an. Kejadian
kerusuhan waktu itu memang sangat dikenang oleh warga. Kita hanya tahu bahwa kerusuhan
Maluku di tahun 2000-an itu pecah di Ambon. Tapi ternyata berdasarkan cerita Mas Basra,
kerusuhan di Ambon memicu pecah nya kerusuhan juga di Maluku Utara. Waktu itu provinsi
Maluku Utara belum ada, masih menjadi satu dengan Provinsi Maluku yang beribukota di
Ambon. Dari cerita beliau, meski sekarang sudah sedikit berkurang, fanatisme terhadap suku,
dan agama masih sangat kental di Maluku.
Maluku Utara terdapat banyak suku seperti Makian, Tobelo-Galela, Buton, dan masih
banyak lagi yang mayoritas beragama Islam. Berbeda dengan di Ambon yang mayoritas pemeluk
Kristen dan Katholik. Maka ketika di Ambon pecah kerusuhan yang banyak memakan korban
orang-orang Islam, warga Maluku Utara menjadi terprovokasi dan konflik horizontal tidak dapat
dihindarkan. Di Maluku Utara sendiri banyak pemeluk Kristen dan Katholik yang menjadi
korban. Ngeri juga mendengar nya, ada yang dikejar-kejar sampai ke hutan belantara. Ada yang
bertahan di hutan hingga satu bulan, dan ditemukan dalam keadaan lemas ketika kerusuhan
mereda. Tentu hal yang dibutuhkan adalah rasa saling menghargai dan toleransi antar umat
beragama agar kerusuhan seperti itu tidak terulang kembali.
Di Labuha, kami sempat melihat benteng peninggalan Belanda yang kini sedang di
renovasi. Kami juga melihat jembatan batu bacan yang lokasi nya tidak jauh dari Masjid Sultan.

Jembatan batu bacan sebenarnya jembatan biasa namun yang menarik adalah adanya ornamen
dan motif yang terbuat dari batu bacan. Wah, kalau satu keeping Batu Bacan saja harganya
jutaan, berapa biaya nya untuk membuat jembatan itu, belum material-material lain nya.
Jembatan itu adalah sumbangan dari salah seorang anggota dewan menggunakan uang pribadi.
OBI, KAMI DATANG !
Semua Kormasit (Koordinator Sub Unit) atau Koordinator Desa berangkat lebih dulu ke
Pulau Obi. Perjalanan ke Obi memakan waktu kurang lebih 4 jam dari Labuha. Jam 10.00 WIT
saya, Nando dan Yusuf berangkat menggunakan Obi Permai. Kira-kira jam 14.30 WIT kita tiba
di Pelabuhan Jikotamo. Kesan pertama yang muncul terhadap Obi adalah, Obi itu panas.
Memang di Obi terasa lebih panas dibanding di Labuha. Sebelum nya saya sudah janjian dengan
pak Sanusi, Mas Basra pe teman (teman nya Mas Basra) yang juga kuliah di Malang. Kita
dijemput dan diantar ke rumah Pak Ali La Dam, Om Pala (Kepala) Desa Laiwui.
Kedatangan kita bertiga lebih dulu adalah untuk mengurus keperluan perizinan, desa
yang ditempati, pondokan mahasiswa dan lain-lain. Untuk mengurus perizinan, kita silaturahim
ke staf kecamatan, Kapolsek, dan Danramil. Alhamdulillah respon beliau semua positif, apalagi
setelah mengetahui rombongan KKN yang datang adalah dari Jawa apalagi dari UGM.
Selanjutnya adalah menentukan desa lokasi KKN sekaligus pondokan. Rencana awal, desa yang
akan dituju adalah Desa Laiwui, Akegula dan Kampung Baru. Desa Laiwui sudah bersedia,
namun Desa Akegula dan Kampung Baru tidak jadi dipilih karena hampir separuh warga nya
sedang pete cengkeh (petik cengkeh). Akhirnya dua desa lain pindah di Desa Buton, dan
Jikotamo di pelabuhan. Saya ditempatkan dan mengkoordinir teman-teman di Desa Jikotamo.
Pondokan mahasiswa KKN dipilihkan langsung oleh Om Pala Jikotamo. Satu rumah
menampung dua mahasiswa KKN. Saya bersama Adit di rumah Pak Said, Fikry dan Zaky di
rumah Pak Gali, Wardah dan Fata di rumah Kak Bena, dan Ummi dengan Febrina di rumah Om
Pala sendiri. Keluarga Pak Said, papa piara saya dan Adit termasuk keluarga yang berada. Pak
Said punya banyak usaha antara lain pangkalan minyak, kios, villa dan lain-lain. Pak Said dan
Bu Said mempunyai 4 orang anak. Kak Tini yang ketika kita datang masih di Ternate namun
menjelang lebaran dia pulang. Anak kedua Iud panggilan nya, kelas 2 di SMA 1 Obi. Yang
ketiga namanya Jingga kelas 6 di SD Inpres Jikotamo dan yang terakhir Ula masih berumur 5

tahun. Mereka sangat ramah dan menyenangkan, apalagi Ula yang gembul dan setiap hari selalu
kita iseng in.
INDONESIA BUKAN HANYA JAWA
Listrik di Pulau Obi tidak menyala 24 jam, bahkan tidak menyala setiap hari. Ada jatah
libur menikmati listrik yang berbeda-beda di tiap desa. Listrik baru menyala jam 18.00 WIT
dan akan mati lagi keesokan hari nya pukul 06.00 WIT. Biasanya kita mengikuti rumus 2m+1
yaitu dua malam menyala dan satu malam mati. Kalau keluarga yang di tempati punya genset,
listrik tetap bisa menyala setiap hari. Tapi kalau tak ada genset berarti harus rela bergelapgelapan. Mayoritas mata pencaharian warga adalah berkebun dan nelayan, selain juga berdagang
dan tambang. Komoditas utama Obi adalah ikan, cengkeh dan tentunya batu. Tidak kalah
dengan Bacan, Obi juga memiliki komoditas tambang batu mulia yang dikenal dengan nama
Batu Obi.

Pekan-pekan awal di Obi adalah tahap penyesuaian dan adaptasi. Ini fase yang sangat
penting dan harus dipastikan bahwa masyarakat senang dengan kedatangan mahasiswa KKN di
Obi. Di pekan-pekan awal ini, tidak banyak program yang dijalankan hingga lebaran. Kita lebih
banyak ikut program-program yang ada di masyarakat. Misalnya partisipasi di kegiatan
keagamaan, kerja bakti, dan takbiran. Menjelang takbiran juga kita membuat lampion yang
bertuliskan JIKOTAMO dan baru selesai dipasang setelah lebaran.

Tahap adaptasi adalah tahap yang menurut saya paling sulit. Dengan latar belakang
budaya yang berbeda, perlu trik khusus agar cepat menyatu dan cair dengan masyarakat. Kita
harus mulai mengenal kebiasaan dan adat masyarakat setempat. Kebiasaan masyarakat setempat
memang tidak bisa dibandingkan dengan Jawa. Desa-desa di Jawa kita tahu cukup mudah
mengumpulkan warga ketika ada acara kemasyarakatan. Cukup matur ke pak Kades, pak Mudin,
Kiyai, atau tokoh masyarakat kalau kita ada acara ini jam segini di tempat ini, biasanya warga
banyak yang hadir. Tapi tidak dengan di Pulau Obi. Karakter masyarakat Obi cukup unik.
Masyarakat Obi menurut saya adalah masyarakat pedesaan yang karakternya seperti masyarakat
perkotaan. Masyarakat pedesaan maksudnya adalah masyarakat Obi tinggal di lingkungan yang
terkategori desa, namun cukup individualis layaknya masyarakat perkotaan.
Pengalaman membuat acara dan mengumpulkan warga adalah sebuah kesulitan dan
tantangan tersendiri. Pernah suatu ketika kita diundang untuk kerja bakti pembangunan masjid
baru. Om Pala berpesan sekitar jam 9 kita diminta bantu-bantu. Kita sudah bersiap-siap dan
menuju lokasi tepat seperti yang dijadwalkan. Tapi tak ada orang di sana, juga tak tampak
peralatan dan perkakas pertukangan. Kita tunggu hingga menjelang jam 10 juga tidak ada tandatanda akan ada kerja bakti. Hingga ada seorang warga (setelah beberapa waktu saya tahu ternyata
beliau kepala dusun Timur) yang memberitahu kalau kerja bakti dibatalkan karena malam nya
nanti ada hajatan, jadi kebanyakan warga tidak kerja bakti. Sama juga ketika kita bermaksud
mensosialisasikan rencana program-program KKN kepada warga. Jauh hari sudah berkoordinasi
dengan Om Pala, BPD, dan perangkat desa. Namun pada hari H, juga tidak banyak warga yang

datang. Padahal Om Pala sudah memberikan pengumuman dan pemberitahuan langsung ke BPD
dan perangkat desa.
Masyarakat Obi khususnya pemuda juga sulit dikumpulkan bila ada kegiatan
kemasyarakatan. Pemuda-pemuda biasanya mempunyai pangkalan atau tempat nongkrong
tersendiri. Jika sedang mangkal atau nongkrong tidak afdol kalau tidak ada kartu dan minuman
keras. Pemandangan setiap malam yang selalu dijumpai adalah ramainya pangkalan oleh pemuda
hingga bapak-bapak yang main kartu dan minum-minum. Minuman keras di sini dikenal dengan
nama Cap Tikus. Dari cerita pemuda, cap tikus dibuat dari sari pohon enau yang mengandung
alcohol bisa mencapai 10 %. Tidak langsung diminum, tapi biasanya di oplos dulu dengan
minuman bersoda. Biasanya karena pengaruh alkohol inilah sering terjadi bentrok antar
pangkalan atau bahkan antar desa. Tak jarang muncul baku pukul atau perkelahian. Begitulah
kegiatan sehari-hari pemuda. Siang hari mereka sekolah bagi yang sekolah atau tidur, kemudian
malam harinya nongkrong di pangkalan main kartu, bermain gitar dan minum hingga pagi hari.
Begitu seterusnya.
Ketika warga memiliki hajatan seperti acara pernikahan, aqiqah atau khitanan, biasanya
peralatan seperti kursi, sound system tidak langsung dibereskan karena malamnya akan dipakai
baronggeng. Baronggeng sangat disukai oleh warga khususnya pemuda. Warga yang datang ke
baronggeng tidak hanya tetangga sekitar namun juga orang-orang dari desa lain. Meski tak dapat
undangan, pemberitahuan baronggeng cepat tersebar dari mulut ke mulut. Baronggeng bisa
diartikan berjoget dalam bahasa Indonesia. Kalau saya mendeskripsikan baronggeng seperti
diskotik rakyat. Peralatan sound system dan musik wajib tersedia, ditambah perlaatan pendukung
seperti lampu kelap-kelip khas diskotik. Acaranya sederhana, musik diputar, lampu menyala,
berjoget. Baronggeng biasanya baru selesai menjelang subuh, dan pasti tidak luput dari kehadira
cap tikus. Tidak jarang juga terjadi konflik dan perkelahian karena di bawah pengaruh cap tikus.
Masyarakat Obi sangat dimanjakan dengan alam. Laut terhampar dengan ikan melimpah
dan dapat diambil cuma-cuma alias gratis. Komoditas perkebunan seperti kelapa, dan cengkeh
juga banyak tersedia. Tetapi sayangnya masyarakat Obi kurang ter edukasi tentang kebersihan
dan kelestarian lingkungan. Apalagi tidak ada tempat pembuangan akhir sampah di Pulau ini.
Warga sering membuang sampah langsung ke laut. Mungkin dipikirnya sampah-sampah itu akan
hilang sendiri di laut, dimakan ikan, ditelan bumi, dan lain-lain. Padahal sampah-sampah tersebut

selain mengganggu kestabilan laut juga berpengaruh terhadap ikan-ikan yang selama ini menjadi
sumber makanan mereka. Itulah yang menjadi salah satu misi kami di Obi, memberikan edukasi
dan penyadaran ke masyarakat tentang kebersihan lingkungan. Metode edukasi di tiap desa
dilakukan dengan cara berbeda. Di desa Buton dan Laiwui dibuat bak sampah. Sementara
Jikotamo menggunakan metode pengolahan sampah-sampah plastik dan rumah tangga menjadi
kerajinan. Setiap sore kita berkumpul dengan siswa-siswa SMA memberikan edukasi, dan
dilanjutkan dengan pengolahan sampah menjadi barang yang bernilai ekonomis.
Selain lingkungan, pendidikan anak-anak di Obi juga masih perlu perhatian lebih.
Terutama terkait sarana dan prasarana, serta kualitas tenaga pengajar. Biaya pendidikan di Obi
relatif terjangkau bagi warga. Sebenarnya biaya sekolah dasar hingga menengah gratis hanya
dipungut biaya seragam. Tetapi memang perlu peningkatan sarana dan prasarana sekolah.
Fasilitas fisik bangunan, dan sarana ekstrakurikuler masih belum begitu baik. Di samping
kualitas guru yang juga harus diperbaiki.

Tidak hanya pendidikan yang gratis, pelayanan kesehatan di Obi pun tidak dipungut
biaya. Pelayanan kesehatan di Obi diberikan secara gratis baik di puskesmas maupun rumah
sakit. Namun keterbatasan lagi-lagi ditemui pada sarana fisik layana kesehatan. Bangunan
puskesmas masih belum memenuhi standar, begitu juga rumah sakit yang mirip seperti
puskesmas jika di Jawa. Semua masih dilakukan secara sederhana. Alat-alat laboratorium untuk
tes dan diagnosa penyakit masih jauh di bawah standar. Sarana untuk ibu melahirkan juga masih
minimal, sehingga banyak terjadi kasus kematian ibu hamil. Ibu hamil yang ditangani di rumah
sakit kurang memenuhi syarat sehingga harus dirujuk ke rumah sakit di Bacan. Padahal
perjalanan ke Bacan memerlukan waktu setidaknya 4 jam perjalanan menggunakan kapal.
Sehingga banyak juga pasien-pasien rujukan gawat darurat yang tidak tertolong di perjalanan.
Jumlah tenaga kesehatan juga masih belum memenuhi syarat. Jumlah dokter hanya 5 orang
untuk satu kecamatan, itupun hanya berstatus PTT yang tidak permanen di sana. Sedangkan
apoteker belum ada, dan segelintir bidan.
Manusia tidak dapat memilih dimana dan dari rahim siapa ia dilahirkan. Begitu pula
dengan saya yang di takdirkan lahir di Indonesia, di Pulau Jawa. Masyarakat Obi juga tidak
pernah dan tidak bisa memilih takdirnya bahwa ia dilahirkan di Bumi Saruma, Maluku Utara.
Tapi masa depan seseorang adalah pilihan, bahkan dalam firman Nya disebutkan nasib seseorang
tidak dapat berubah hingga ia sendiri yang merubahnya. Begitulah potret kehidupan saudarasaudara kita di ufuk timur Indonesia. Memang adil tidak harus sama, tetapi setiap orang berhak
memperoleh akses pendidikan, kesehatan, kesejahteraan dan kehidupan yang layak.

You might also like