You are on page 1of 48

MEDICINUS

Vol.21, Nov - Des | No.4 | 2008 | ISSN 1979 - 391x

SCIENTIFIC JOURNAL OF PHARMACEUTICAL DEVELOPMENT AND MEDICAL APPLICATION

Diagnosis dan Terapi


Cairan pada Demam
Berdarah Dengue

Apakah Fungsi
Kognitif Penderita
Diabetes Dipengaruhi
oleh Status Vitamin E

14

Asam Valproat
untuk Mencegah
Migren

22

Pencegahan Quorum
Sensing: Suatu
Pendekatan Baru
untuk Mengatasi
Infeksi Bakteri

IKLAN
TRIXIM

Cairan pada Demam Berdarah


Dengue.

Kami juga menyajikan berbagai article research dan case report


yang menarik untuk menambah
wawasan kalangan dokter.
Pada rubrik medical review
kami menyajikan tentang Quorum Sensing. Pengetahuan baru

Demam berdarah dengue


tetap menjadi salah satu masalah
kesehatan di Indonesia. Dengan
mengikuti kriteria WHO 1997, diagnosis klinis dapat segera ditentukan. Dan dengan memahami
patogenesis, perjalanan penyakit,
gambaran klinis dan pemeriksaan
laboratorium, diharapkan penatalaksanaan dapat dilakukan secara
efektif dan efisien. Untuk lebih
lengkapnya kami sajikan artikel
pada rubrik leading article yang
berjudul Diagnosis dan Terapi

tentang Quorum Sensing memberikan strategi alternatif dalam usaha manusia untuk mengendalikan
bakteri patogen, baik itu patogen
pada manusia, hewan, dan tanaman.

Peran gap junction intercellular communication (GJIC) pada


karsinogenesis adalah artikel
pada rubrik medical review yang
lain yang tidak kalah menarik
untuk dibaca.

Selamat membaca!!!!

daftar isi
1

Dari Redaksi

Petunjuk Penulisan
Leading Article

Berdarah Dengue
Original Article (Research)

Apakah Fungsi Kognitif Penderita Diabetes Dipengaruhi oleh Status Vitamin E?


Original Article (Case Report)

14

Asam Valproat untuk Mencegah Migren

17

Timpanolpasti Pendekatan Ganda pada


Otitis Media Supuratif Kronik dengan Ja-

REDAKSI

Ketua Pengarah/Pemimpin Redaksi Dr. Raymond R. Tjandrawinata


Redaktur Pelaksana Dwi Nofiarny, Pharm., Msc.
Staf Redaksi dr. Della Manik Worowerdi Cintakaweni, dr. Lydia Fransisca Hermina
Tiurmauli Tambunan, Liana W Susanto, M biomed., dr. Lubbi Ilmiawan, dr. Prihatini,
dr. Ratna Kumalasari, Tri Galih Arviyani, SKom.
Peer Review Prof.Arini Setiawati, Ph.D, Jan Sudir Purba, M.D., Ph.D, Prof.Dr.Med.
Puruhito,M.D.,F.I.C.S., F.C.T.S, Prof DR. Dr. Rianto Setiabudy, SpFK
Redaksi/Tata Usaha Jl. RS Fatmawati Kav 33, Cilandak, Jakarta Selatan
Tel. (021) 7509575, Fax. (021) 75816588, Email: medical@dexa-medica.com

Diagnosis dan Terapi Cairan pada Demam

Medical Review

MEDICINUS

dari redaksi

Pencegahan Quorum Sensing: Suatu Pen-

ringan Granulasi

22

dekatan Baru untuk Mengatasi Infeksi Bakteri

28

Peran Gap Junction Intercellular Communication (GJIC) pada Karsinogenesis


Meet the Expert

DBD
SUMBANGAN TULISAN
Redaksi menerima partisipasi berupa tulisan, foto dan materi
lainnya sesuai dengan misi majalah ini. Redaksi berhak mengedit atau mengubah tulisan/susunan bahasa tanpa mengubah isi
yang dimuat apabila dipandang perlu.

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

32

Prof. Dr. H. Slamet Suyono, SpPD-KE

35

Events

43

Calender Events

44

Literatur Services

instructions for authors

MEDICINUS

Petunjuk Penulisan

Redaksi menerima tulisan asli/tinjauan pustaka, penelitian atau laporan kasus


dengan foto-foto asli dalam bidang Kedokteran dan Farmasi.
1. Tulisan yang dikirimkan kepada Redaksi adalah tulisan yang belum pernah
dipublikasikan di tempat lain dalam bentuk cetakan.
Keaslian dan keakuratan informasi dalam tulisan menjadi tanggungjawab penulis
2. Tulisan berupa ketikan dan diserahkan dalam bentuk disket, diketik di program MS Word dan print-out dan dikirimkan ke alamat redaksi atau melalui
e-mail kami.
3. Pengetikan dengan point 12 spasi ganda pada kertas ukuran kuarto (A4) dan
tidak timbal balik.
4. Semua tulisan disertai abstrak dan kata kunci (key words). Abstrak hendaknya
tidak melebihi 200 kata.
5. Judul tulisan tidak melebihi 16 kata, bila panjang harap di pecah menjadi anak
judul.
6. Nama penulis harap di sertai alamat kerja yang jelas.
7. Harap menghindari penggunaan singkatan-singkatan
8. Penulisan rujukan memakai sistem nomor (Vancouver style), lihat contoh penulisan daftar pustaka.
9. Bila ada tabel atau gambar harap diberi judul dan keterangan yang cukup.
10. Untuk foto, harap jangan ditempel atau di jepit di kertas tetapi dimasukkan ke
dalam sampul khusus. Beri judul dan keterangan yang lengkap pada tulisan.
11. Tulisan yang sudah diedit apabila perlu akan kami konsultasikan kepada peer
reviewer.
12. Tulisan disertai data penulis/curriculum vitae, juga alamat email (jika ada),
no. telp/fax yang dapat dihubungi dengan cepat.
Contoh Penulisan Daftar Pustaka
Daftar pustaka di tulis sesuai aturan Vancouver, diberi nomor sesuai urutan pemunculan dalam keseluruhan tulisan, bukan menurut abjad. Bila nama penulis lebih
dari 6 orang, tulis nama 6 orang pertama diikuti et al. Jumlah daftar pustaka dibatasi tidak lebih dari 25 buah dan terbitan satu dekade terakhir.
Artikel dalam jurnal
1. Artikel standar
Vega KJ,Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with an increased
risk for pancreatobiliary disease. Ann Intern Med 1996; 124(11):980-3. Lebih
dari 6 penulis: Parkin DM, Clayton D, Black RJ, Masuyer E, Freidl HP, Ivanov E,
et al. Childhood leukaemia in Europe after Chernobyl: 5 years follow-up. Br J
Cancer 1996; 73:1006-12
2. Suatu organisasi sebagai penulis
The Cardiac Society of Australia and New Zealand. Clinical Exercise Stress
Testing. Safety and performance guidelines. Med J Aust 1996; 164:282-4
3. Tanpa nama penulis
Cancer in South Africa (editorial). S Afr Med J 1994; 84:15
4. Artikel tidak dalam bahasa Inggris
Ryder TE, Haukeland EA, Solhaug JH. Bilateral infrapatellar seneruptur hos
tidligere frisk kvinne. Tidsskr Nor Laegeforen 1996; 116:41-2
5. Volum dengan suplemen
Shen HM, Zhang QE. Risk assessment of nickel carcinogenicity and occupational lung cancer. Environ Health Perspect 1994; 102 Suppl 1:275-82
6. Edisi dengan suplemen
Payne DK, Sullivan MD, Massie MJ. Womens psychological reactions to breast
cancer. Semin Oncol 1996; 23(1 Suppl 2):89-97
7. Volum dengan bagian
Ozben T, Nacitarhan S, Tuncer N. Plasma and urine sialic acid in non-insulin
dependent diabetes mellitus. Ann Clin Biochem 1995;32(Pt 3):303-6
8. Edisi dengan bagian
Poole GH, Mills SM. One hundred consecutive cases of flap lacerations of the
leg in ageing patients. N Z Med J 1990; 107(986 Pt 1):377-8
9. Edisi tanpa volum
Turan I, Wredmark T, Fellander-Tsai L. Arthroscopic ankle arthrodesis in rheumatoid arthritis. Clin Orthop 1995; (320):110-4
10. Tanpa edisi atau volum
Browell DA, Lennard TW. Immunologic status of the cancer patient and

the effects of blood transfusion on antitumor responses. Curr Opin Gen Surg
1993;325-33
11. Nomor halaman dalam angka romawi
Fischer GA, Sikic BI. Drug resistance in clinical oncology and hematology. Introduction Hematol Oncol Clin North Am 1995; Apr; 9(2):xi-xii
Buku dan monograf lain
12. Penulis perseorangan
Ringsven MK, Bond D. Gerontology and leadership skills for nurses. 2nd ed.
Albany (NY):Delmar Publishers; 1996
13. Editor sebagai penulis
Norman IJ, Redfern SJ, editors. Mental health care for eldery people. New
York:Churchill Livingstone; 1996
14. Organisasi sebagai penulis
Institute of Medicine (US). Looking at the future of the medicaid program.
Washington:The Institute; 1992
15. Bab dalam buku
Catatan: menurut pola Vancouver ini untuk halaman diberi tanda p, bukan
tanda baca titik dua seperti pola sebelumnya).
Phillips SJ, Whisnant JP. Hypertension and stroke. In: Laragh JH, Brenner BM,
editors. Hypertension: Patophysiology, Diagnosis and Management. 2nded.
New York:Raven Press; 1995.p.465-78
16. Prosiding konferensi
Kimura J, Shibasaki H, editors. Recent Advances in clinical neurophysiology.
Proceedings of the 10th International Congress of EMG and Clinical Neurophysiology; 1995 Oct 15-19; Kyoto, Japan. Amsterdam:Elsevier; 1996
17. Makalah dalam konferensi
Bengstsson S, Solheim BG. Enforcement of data protection, privacy and security in medical information. In: Lun KC, Degoulet P, Piemme TE, editors. MEDINFO 92. Proceedings of the 7th World Congress on Medical Informatics; 1992
Sep 6-10; Geneva, Switzerland. Amsterdam:North-Hollan; 1992.p.1561-5
18. Laporan ilmiah atau laporan teknis

Diterbitkan oleh badan penyandang dana/sponsor:
Smith P, Golladay K. Payment for durable medi-cal equipment billed during
skilled nursing facility stays. Final report. Dallas(TX):Dept.of Health and Human Services (US), Office of Evaluation and Inspections; 1994 Oct. Report No.:
HHSIGOEI69200860

Diterbitkan oleh unit pelaksana:
Field MJ, Tranquada RE, Feasley JC, editors. Health Services Research: Work
Force and Education Issues. Washington:National Academy Press; 1995. Contract No.: AHCPR282942008. Sponsored by the Agency for Health Care Policy
and Research
19. Disertasi
Kaplan SJ. Post-hospital home health care: The elderys access and utilization
[dissertation]. St. Louis (MO): Washington Univ.; 1995
20. Artikel dalam koran
Lee G. Hospitalizations tied to ozone pollution: study estimates 50,000 admissions annually. The Washington Post 1996 Jun 21; Sept A:3 (col.5)
21. Materi audio visual
HIV + AIDS: The facts and the future [videocassette]. St. Louis (MO): MosbyYear Book; 1995
Materi elektronik
22. Artikel jurnal dalam format elektronik
Morse SS. Factors in the emergence of infection diseases. Emerg Infect Dis [serial online] 1995 jan-Mar [cited 1996 Jun 5];1(1):[24 screens]. Available from:
URL:HYPERLINK
23. Monograf dalam format elektronik
CDI, Clinical dermatology illustrated [monograph on CD-ROM]. Reeves JRT,
maibach H. CMEA Multimedia Group, producers. 2nd ed. Version 2.0. San
Diego: CMEA; 1995
24. Arsip komputer
Hemodynamics III: The ups and downs of hemodynamics [computer program]. Version 2.2. Orlando [FL]: Computerized Educational Systems

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

leading article

Khie Chen, Herdiman T. Pohan, Robert Sinto

Abstrak. Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Sampai
saat ini, infeksi virus Dengue tetap menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Indonesia dimasukkan dalam kategori A dalam stratifikasi DBD oleh World Health Organization (WHO) 2001 yang mengindikasikan tingginya angka perawatan rumah sakit dan kematian
akibat DBD, khususnya pada anak.1-3 Data Departemen Kesehatan RI menunjukkan pada tahun 2006 (dibandingkan tahun 2005)
terdapat peningkatan jumlah penduduk, provinsi dan kecamatan yang terjangkit penyakit ini, dengan case fatality rate sebesar 1,01%
(2007).4-5
Sampai saat ini, belum ada terapi yang spesifik untuk DBD, prinsip utama dalam terapi DBD adalah terapi suportif, yakni pemberian
cairan pengganti.6 Dengan memahami patogenesis, perjalanan penyakit, gambaran klinis dan pemeriksaan laboratorium, diharapkan
penatalaksanaan dapat dilakukan secara efektif dan efisien.

MEDICINUS

Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam,


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

3
51

Pendahuluan
Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah
penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Sampai saat ini,
infeksi virus Dengue tetap menjadi masalah kesehatan di Indonesia.
Indonesia dimasukkan dalam kategori A dalam stratifikasi DBD oleh
World Health Organization (WHO) 2001 yang mengindikasikan tingginya angka perawatan rumah sakit dan kematian akibat DBD, khususnya pada anak.1-3 Data Departemen Kesehatan RI menunjukkan pada
tahun 2006 (dibandingkan tahun 2005) terdapat peningkatan jumlah
penduduk, provinsi dan kecamatan yang terjangkit penyakit ini, dengan case fatality rate sebesar 1,01% (2007).4-5
Berbagai faktor kependudukan berpengaruh pada peningkatan
dan penyebaran kasus DBD, antara lain:
1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi,
2. Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali,
3. Tidak efektifnya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis, dan
4. Peningkatan sarana transportasi.4
Upaya pengendalian terhadap faktor kependudukan tersebut (terutama kontrol vektor nyamuk) harus terus diupayakan, di samping
pemberian terapi yang optimal pada penderita DBD, dengan tujuan
menurunkan jumlah kasus dan kematian akibat penyakit ini. Sampai
saat ini, belum ada terapi yang spesifik untuk DBD, prinsip utama
dalam terapi DBD adalah terapi suportif, yakni pemberian cairan pengganti.6 Dengan memahami patogenesis, perjalanan penyakit, gambaran
klinis dan pemeriksaan laboratorium, diharapkan penatalaksanaan dapat dilakukan secara efektif dan efisien.

Definisi
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang
disebabkan oleh virus dengue serta memenuhi kriteria WHO untuk

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

DBD. DBD adalah salah satu manifestasi simptomatik dari infeksi virus dengue.
7

Gambar 1. Spektrum klinis infeksi virus Dengue8

Manifestasi simptomatik infeksi virus dengue adalah sebagai berikut


(gambar 1):5
1. Demam tidak terdiferensiasi
2. Demam dengue (dengan atau tanpa perdarahan): demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan 2 atau lebih manifestasi klinis (nyeri
kepala, nyeri retroorbital, mialgia/ atralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan [petekie atau uji bendung positif], leukopenia) dan
pemeriksaan serologi dengue positif atau ditemukan pasien yang
sudah dikonfirmasi menderita demam dengue/ DBD pada lokasi
dan waktu yang sama.
3. DBD (dengan atau tanpa renjatan)

Patogenesis
Dua teori yang banyak dianut dalam menjelaskan patogenesis infeksi
dengue adalah hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection theory) dan hipotesis immune enhancement.

Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan


perdaran lain.
Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah,
tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut kulit dingin dan lembab, tampak gelisah.
Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak
terukur.

Keempat derajat tersebut ditunjukkan pada gambar 3.

MEDICINUS

Gambar 2. Hipotesis infeksi sekunder9

Menurut hipotesis infeksi sekunder yang diajukan oleh Suvatte,


1977 (gambar 2), sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berbeda, respon antibodi anamnestik pasien akan terpicu,
menyebabkan proliferasi dan transformasi limfosit dan menghasilkan
titer tinggi IgG antidengue. Karena bertempat di limfosit, proliferasi
limfosit juga menyebabkan tingginya angka replikasi virus dengue.
Hal ini mengakibatkan terbentuknya kompleks virus-antibodi yang
selanjutnya mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a
menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah
dan merembesnya cairan ke ekstravaskular. Hal ini terbukti dengan
peningkatan kadar hematokrit, penurunan natrium dan terdapatnya
cairan dalam rongga serosa.9,10
Hipotesis immune enhancement menjelaskan menyatakan secara
tidak langsung bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus
heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita
DBD berat. Antibodi herterolog yang telah ada akan mengenali virus
lain kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang berikatan
dengan Fc reseptor dari membran leukosit terutama makrofag. Sebagai
tanggapan dari proses ini, akan terjadi sekresi mediator vasoaktif yang
kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah,
sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.9,10

Diagnosis
Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua
hal ini terpenuhi:2,5,9
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik.
2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bendung
positif; petekie, ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; hematemesis dan melena.
3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml).
4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sbb:
Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai
umur dan jenis kelamin.
Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia, hiponatremia.
Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu:2,5,9
Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan adalah uji torniquet.

Gambar 3. Patogenesis dan spektrum klinis DBD (WHO, 1997)5

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya
limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak hari
ke 3). Trombositopenia umumnya dijumpai pada hari ke 3-8 sejak timbulnya demam. Hemokonsentrasi dapat mulai dijumpai mulai hari ke
3 demam.5
Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan
terjadinya gangguan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP). Pemeriksaan lain
yang dapat dikerjakan adalah albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin.
Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik
melalui pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi
molekular. Di antara tiga jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai
baku emas adalah metode isolasi virus. Namun, metode ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu yang lama (lebih dari
12 minggu), serta biaya yang relatif mahal. Oleh karena keterbatasan
ini, seringkali yang dipilih adalah metode diagnosis molekuler dengan
deteksi materi genetik virus melalui pemeriksaan reverse transcriptionpolymerase chain reaction (RT-PCR). Pemeriksaan RT-PCR memberikan
hasil yang lebih sensitif dan lebih cepat bila dibandingkan dengan isolasi virus, tapi pemeriksaan ini juga relatif mahal serta mudah mengalami kontaminasi yang dapat menyebabkan timbulnya hasil positif
semu. Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue.
Imunoserologi berupa IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat
sampai minggu ke 3 dan menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi
primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14, sedangkan pada infeksi
sekunder dapat terdeteksi mulai hari ke 2.11
Salah satu metode pemeriksaan terbaru yang sedang berkembang adalah pemeriksaan antigen spesifik virus Dengue, yaitu antigen
nonstructural protein 1 (NS1). Antigen NS1 diekspresikan di permukaan
sel yang terinfeksi virus Dengue. Masih terdapat perbedaan dalam

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

berbagai literatur mengenai berapa lama antigen NS1


dapat terdeteksi dalam darah. Sebuah kepustakaan
mencatat dengan metode ELISA, antigen NS1 dapat
terdeteksi dalam kadar tinggi sejak hari pertama sampai hari ke 12 demam pada infeksi primer Dengue
atau sampai hari ke 5 pada infeksi sekunder Dengue.
Pemeriksaan antigen NS1 dengan metode ELISA juga
dikatakan memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang
tinggi (88,7% dan 100%). Oleh karena berbagai keunggulan tersebut, WHO menyebutkan pemeriksaan
deteksi antigen NS1 sebagai uji dini terbaik untuk
pelayanan primer.11
Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan
lateral dekubitus kanan) dapat dilakukan untuk melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan dan pada keadaan perembesan plasma
hebat, efusi dapat ditemukan pada kedua hemitoraks.
Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan
USG.5,9

Gambar 4. Penanganan tersangka DBD tanpa syok5

Penatalaksanaan

Gambar 5. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat5


MEDICINUS

Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis. Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran
plasma dan memberikan terapi substitusi komponen
darah bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapi
cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah
pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris.
Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga
6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses
kebocoran plasma akan berkurang dan cairan akan
kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada kondisi tersebut secara bertahap
dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah
pemberian cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya kelebihan
cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun asites
yang masif perlu selalu diwaspadai.
Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada trombositopenia yang berat)
dan pemberian makanan dengan kandung-an gizi
yang cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau
bumbu yang mengiritasi saluaran cerna. Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa
parasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasi
keluhan dispepsia. Pemberian aspirin ataupun obat
antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari karena
berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna
bagaian atas (lambung/duodenum).
Protokol pemberian cairan sebagai komponen
utama penatalaksanaan DBD dewasa mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol WHO. Protokol ini terbagi dalam 5 kategori, sebagai berikut:
1. Penanganan tersangka DBD tanpa syok (gambar
4).
2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di
ruang rawat (gambar 5).
3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20% (gambar 6).
4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD
dewasa
5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa
(gambar 7).

Gambar 6. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%5

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

MEDICINUS

Gambar 7. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa5

Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan
khususnya pada penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama
adalah jenis cairan dan kedua adalah jumlah serta kecepatan cairan

yang akan diberikan. Karena


tujuan terapi cairan adalah
untuk mengganti kehilangan
cairan di ruang intravaskular,
pada dasarnya baik kristaloid
(ringer laktat, ringer asetat,
cairan salin) maupun koloid
dapat diberikan. WHO menganjurkan
terapi
kristaloid
sebagai cairan standar pada
terapi DBD karena dibandingkan dengan koloid, kristaloid
lebih mudah didapat dan lebih
murah. Jenis cairan yang ideal
yang sebenarnya dibutuhkan
dalam penatalaksanaan antara
lain memiliki sifat bertahan
lama di intravaskular, aman
dan relatif mudah diekskresi,
tidak mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan memiliki efek
alergi yang minimal.1-3

Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD aman dan efektif. Beberapa efek samping
yang dilaporkan terkait dengan penggunaan kristaloid
adalah edema, asidosis laktat,
instabilitas hemodinamik dan
hemokonsentrasi.12,13 Kristaloid memiliki waktu bertahan
yang singkat di dalam pembuluh darah. Pemberian larutan RL secara bolus (20 ml/kg
BB) akan menyebabkan efek
penambahan volume vaskular
hanya dalam waktu yang singkat sebelum didistribusikan
ke seluruh kompartemen interstisial (ekstravaskular) dengan perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebut
dalam waktu satu jam hanya
5 ml yang tetap berada dalam
ruang intravaskular dan 15
ml masuk ke dalam ruang interstisial.14 Namun demikian,
dalam aplikasinya terdapat
beberapa keuntungan penggunaan kristaloid antara lain
mudah tersedia dengan harga
terjangkau, komposisi yang
menyerupai komposisi plasma, mudah disimpan dalam
temperatur ruang, dan bebas
dari kemungkinan reaksi anafilaktik.15,16

Dibandingkan cairan
kristaloid, cairan koloid memiliki beberapa keunggulan yaitu:
pada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi volume
plasma (intravaskular) yang lebih besar dan bertahan untuk waktu
lebih lama di ruang intravaskular. Dengan kelebihan ini, diharapkan
koloid memberikan oksigenasi jaringan lebih baik dan hemodinamik
terjaga lebih stabil. Beberapa kekurangan yang mungkin didapatkan

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

Kesimpulan
Demam berdarah dengue tetap menjadi salah satu masalah kesehatan
di Indonesia. Dengan mengikuti kriteria WHO 1997, diagnosis klinis
dapat segera ditentukan. Di samping modalitas diagnosis standar untuk menilai infeksi virus Dengue, antigen nonstructural protein 1 (NS1)
Dengue, sedang dikembangkan dan memberikan prospek yang baik
untuk diagnosis yang lebih dini.
Terapi cairan pada DBD diberikan dengan tujuan substitusi kehilangan cairan akibat kebocoran plasma. Dalam terapi cairan, hal
terpenting yang perlu diperhatikan adalah: jenis cairan, jumlah serta
kecepatan, dan pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris
untuk menilai respon kecukupan cairan.
Daftar Pustaka
1.
2.
3.

4.

dengan penggunaan koloid yakni risiko anafilaksis, koagulopati, dan


biaya yang lebih besar. Namun beberapa jenis koloid terbukti memiliki efek samping koagulopati dan alergi yang rendah (contoh: hetastarch).15,16 Penelitian cairan koloid diban-dingkan kristaloid pada
sindrom renjatan dengue (DSS) pada pasien anak dengan parameter
stabilisasi hemodinamik pada 1 jam pertama renjatan, memberikan
hasil sebanding pada kedua jenis cairan.17,18 Sebuah penelitian lain
yang menilai efektivitas dan keamanan penggunaan koloid pada penderita dewasa dengan DBD derajat 1 dan 2 di Indonesia telah selesai
dilakukan, dan dalam proses publikasi.
Jumlah cairan yang diberikan sangat bergantung dari banyaknya
kebocoran plasma yang terjadi serta seberapa jauh proses tersebut
masih akan berlangsung. Pada kondisi DBD derajat 1 dan 2, cairan
diberikan untuk kebutuhan rumatan (maintenance) dan untuk mengganti cairan akibat kebocoran plasma. Secara praktis, kebutuhan rumatan pada pasien dewasa dengan berat badan 50 kg, adalah sebanyak kurang lebih 2000 ml/24 jam; sedangkan pada kebocoran plasma
yang terjadi seba-nyak 2,5-5% dari berat badan sebanyak 1500-3000
ml/24 jam. Jadi secara rata-rata kebutuhan cairan pada DBD dengan
hemodinamik yang stabil adalah antara 3000-5000 ml/24 jam. Namun
demikian, pemantauan kadar hematokrit perlu dilakukan untuk menilai apakah hemokonsentrasi masih berlangsung dan apakah jumlah
cairan awal yang diberikan sudah cukup atau masih perlu ditambah.
Pemantauan lain yang perlu dilakukan adalah kondisi klinis pasien,
stabilitas hemodinamik serta diuresis. Pada DBD dengan kondisi he-

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.

Gibbons RV, Vaughn DW. Dengue: an escalating problem. BMJ 2002;324:1563-6


World Health Organization. Prevention and control of dengue and dengue haemorrhagic fever: comprihensive guidelines. New Delhi, 2001.p.5-17
World Health Organization. Dengue, dengue haemorrhagic fever and dengue shock
syndrome in the context of the integrated management of childhood illness. Department of Child and Adolescent Health and Development. WHO/FCH/CAH/05.13. Geneva, 2005
Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen
Kesehatan RI. Profil pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan. Jakarta,
2007
Departemen Kesehatan RI. Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di sarana pelayanan kesehatan, 2005.p.19-34
Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam berdarah dengue. Dalam: Sudoyo, A. et.al. (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi 4. Jakarta:Pusat
Penerbitan IPD FKUI, 2006.p.1774-9
Rani, A. Soegondo, S. dan Nasir, AU. (ed). Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta:Pusat Penerbitan IPD FKUI,
2006.p.137-8
World Health Organization. Dengue haemorrhagic fever: diagnosis, treatment, prevention and control. Geneva, 1997
Hadinegoro SRH, et al. (editor). Tata laksana demam berdarah dengue di Indonesia.
Departemen Kesehatan RI dan Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular
dan Penyehatan Lingkungan. 2004
Sutaryo. Perkembangan patogenesis demam berdarah dengue. Dalam: Ha-dinegoro
SRH, Satari HI, editor. Demam Berdarah Dengue: Naskah Lengkap. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1999.p.32-43
Nainggolan L. Reagen pan-E dengue early capture ELISA (PanBio) dan platelia dengue
NS1 Ag test (BioRad) untuk deteksi dini infeksi dengue. 2008
Stoelting RK, Miller RD. Basics of anestesia. 4th ed. New York:Churchill Livingstone,
2000.p.236-7
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, editors. Clinical Anesthesiology. 4th ed. New
York:Lange Medical Books/McGraw-Hill, 2006.p.692-4
Kaaallen A J and Lonergan JM. Fluid resusciaation of acute hypovolemic hypoperfusion
status in pediatrics. Pediat Clin N Amer 1990; 37(2):287-94
Venu Goppal Reddy. Crystalloids versus colloids in hypovolemic shock. Proceedings of
5th Indonesian-International Symposium on Shock and Critical Care 26-33
Liolios A. Volume resuscitation: the crystalloid vs colloid debate revisited. Medscape
2004. Available from: URL:http://www.medscape.com/viewarticle/480288
Wills BA, Nguyen MD, Ha TL, Dong TH, Tran TN, Le T, et al. Comparison of three fluid
solutions for resuscitation in dengue shock syndrome. N Engl J Med 2005; 353:877
89
Ngo NT, Cao XT, Kneen R, Wills B, Nguyen VM, Nguyen TQ, et al. Acute management
of dengue shock syndrome: a randomized double-blind comparison of 4 intravenous
fluid regimens in the first hour. Clin Infect Dis 2001; 32:20413

MEDICINUS

Dibandingkan cairan kristaloid,


cairan koloid memiliki beberapa
keunggulan yaitu: pada jumlah
volume yang sama akan
didapatkan ekspansi volume
plasma (intravaskular) yang
lebih besar dan bertahan untuk
waktu lebih lama di ruang
intravaskular. Dengan kelebihan
ini, diharapkan koloid memberikan oksigenasi jaringan lebih
baik dan hemodinamik terjaga
lebih stabil.

modinamik tidak stabil (derajat 3 dan 4) cairan diberikan secara bolus


atau tetesan cepat antara 6-10 mg/kg berat badan, dan setelah hemodinamik stabil secara bertahap kecepatan cairan dikurangi hingga
kondisi benar-benar stabil (lihat protokol pada gambar 6 dan 7). Pada
kondisi di mana terapi cairan telah diberikan secara adekuat, namun
kondisi hemodinamik belum stabil, pemeriksaan kadar hemoglobin
dan hematokrit perlu dilakukan untuk menilai kemungkinan terjadinya perdarahan internal.

MEDICINUS

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

research

original article

Luthfan Budi Purnomo1, Astuti2, Harakati Wangi3, Harli Amir Mahmudji4,


Rizka Humardewayanti Asdie5, Setyo Purwono6

Abstract. Background: Long-term oxidative stress is believed to be one of the major factors contributing to the decline of cognitive function observed with aging. Oxidative stress due to the generation of free radicals resulting from normal metabolism causes
accumulated oxidative damage to critical biomolecules, especially when coupled with insufficient endogenous antioxidant defense
mechanisms.
Brain tissue, which has relatively little antioxidant protection, also contains high levels of polyunsaturated fatty acids (PUFA), making
it more vulnerable to oxidative insult. Interventions to increase antioxidant capacity and reduce oxidative damage have been suggested as a potentially useful strategy to prevent or retard this process. Due to its antioxidant properties, vitamin E plays a role in the
prevention of certain diseases, including cancer, diabetes, cataracts, cardio and cerebrovascular disease, and has been related to the
prevention or slowing of cognitive decline.
Mild cognitive impairment is one of the risk factors to get dementia. Dementia connected with the risk factor of diabetes mellitus
(DM). At prospective study Rotterdam and Hisamaya, and also the retrospective Rochester study show that the risk of Alzheimer (AD)
become two time greater as risk as at person with type 2 DM.
Aim: The aim of this study was to examine associations between vitamin E status and cognitive performance in diabetic people.
Method: Cross sectional study was done to 46 DM patients of 23 men and 23 women, aged more than 50 years old, who came at
Endocrines clinic Sardjito Hospital on AugustDecember 2006 as subject. Serum levels of -tocopherol (vitamin E) was determined
by HPLC method. The cognitive capacity of subjects was tested using the mini mental examination state (MMSE). Mild cognitive impairment (MCI) if MMSE value 24.
Result: There were 18 diabetic people with MCI. We found no different significantly in serum levels of -tocopherol in both group
according cognitive status (7.28 + 4.69 in diabetic people with MCI vs. 6.69 + 4.51 in diabetic people without MCI, p=0.678).
Conclusion: This study shows there is no relationship between vitamin E status and cognitive function in diabetic people.
Keyword: Cognitive function, alpha tocopherol, diabetic people.
ABSTRAK. Latar Belakang: Stres oksidatif jangka panjang diyakini sebagai salah satu faktor utama yang berperan dalam penurunan
fungsi kognitif seiring dengan proses penuaan. Stres oksidatif berupa radikal bebas hasil metabolisme menyebabkan akumulasi
kerusakan oksidatif biomolekul, terutama pada kondisi insufisiensi mekanisme pertahanan antioksidan endogen.
Jaringan otak, yang hanya memiliki sedikit perlindungan antioksidan dan memiliki kadar asam lemak tak jenuh (polyunsaturated
fatty acid/PUFA) yang tinggi, mudah terkena oksidasi. Intervensi untuk meningkatkan kapasitas antioksidan dan mengurangi kerusakan oksidasi diperkirakan akan menjadi strategi yang sangat berguna untuk mencegah atau menghambat proses ini. Dengan melihat fungsinya sebagai antioksidan, vitamin E memegang peranan dalam pencegahan beberapa penyakit, termasuk kanker, diabetes,
katarak, penyakit kardio dan serebrovaskular, dan telah dihubungkan dengan pencegahan atau penghambatan penurunan kognitif.
Gangguan kognitif ringan (mild cognitive impairment/MCI) adalah salah satu faktor risiko demensia. Demensia dihubungkan dengan
faktor risiko diabetes melitus (DM). Pada suatu studi prospektif yang dilakukan Rotterdam dan Hisamaya, dan studi retrospektif Rochester menunjukkan bahwa risiko Alzheimer (AD) menjadi dua kali lebih besar pada penderita DM tipe 2.
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai hubungan antara status vitamin E dan kondisi kognitif pada penderita diabetes.

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

MEDICINUS

1. Subdivision of Endocrinology and Metabolic, Internal Department of Gadjah Mada University/Sardjito


Hospital Yogyakarta
2. Neurology Department of Gadjah Mada University/Sardjito Hospital Yogyakarta
3. Internal Department of RSPAD Jakarta
4. Internal Department of RSJ Magelang
5. Internal Department of Gadjah Mada University/Sardjito Hospital Yogyakarta
6. Pharmacology Department of Gadjah Mada University/Sardjito Hospital Yogyakarta

Metode: Penelitian potong lintang dilakukan terhadap 46 penderita DM, 23 laki-laki dan 23 perempuan, usia lebih dari 50 tahun,
yang datang ke poliklinik Endokrin RS Dr. Sardjito pada bulan AgustusDesember 2006. Kadar -tocopherol serum (vitamin E) diukur
dengan metode HPLC. Kapasitas kognitif subjek diukur dengan mini mental examination state (MMSE), dan dinyatakan gangguan
kognitif ringan/mild cognitive impairment (MCI) bila nilai MMSE 24.
Hasil: Didapatkan 18 pasien diabetes dengan MCI. Tidak ditemukan perbedaan bermakna antara kadar -tocopherol serum kedua
kelompok berdasar status kognitifnya (7,28 4,69 pada penderita diabetes dengan MCI vs 6,69 4,51 pada penderita diabetes
tanpa MCI, p=0,678).
Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan antara status vitamin E dan fungsi kognitif pada penderita diabetes.

MEDICINUS

Kata kunci: fungsi kognitif, alpha tocopherol, penderita diabetes

10

Pendahuluan

Tujuan Penelitian

Stres oksidatif jangka panjang diyakini sebagai salah satu faktor utama
yang berperan dalam penurunan fungsi kognitif seiring dengan proses penuaan.1,2 Stres oksidatif berupa radikal bebas hasil metabolisme
normal menyebabkan akumulasi kerusakan oksidatif biomolekul-biomolekul, terutama pada kondisi insufisiensi mekanisme pertahanan
antioksidan endogen.2-4
Jaringan otak, yang hanya memiliki sedikit perlindungan antioksidan dan memiliki kadar asam lemak tak jenuh (polyunsaturated fatty
acid/PUFA) yang tinggi, mudah terkena oksidasi.1,2 Intervensi untuk
meningkatkan kapasitas antioksidan dan mengurangi kerusakan oksidasi diperkirakan akan menjadi strategi yang sangat berguna untuk
mencegah atau menghambat proses ini.2 Vitamin E (-tokoferol) diketahui merupakan antioksidan paling poten dan paling banyak terdapat
pada manusia.5,6 Di samping itu, vitamin E juga dapat memodulasi berbagai fungsi seluler yang tidak terkait dengan aktivitas antioksidan.7,8
Dengan melihat fungsinya sebagai antioksidan, vitamin E memegang
peranan dalam pencegahan beberapa penyakit, termasuk kanker,
diabetes, katarak, penyakit kardio dan serebrovaskular, dan telah dihubungkan dengan pencegahan atau penghambatan penurunan kognitif.2,9,10
Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu faktor risiko terjadinya demensia. Demensia yang berhubungan dengan faktor risiko diabetes adalah Alzheimer dan vaskular. Pada studi prospektif Rotterdam
dan Hisayama, serta studi retrospektif Rochester, menunjukkan risiko
kejadian demensia Alzheimer (AD) meningkat dua kali pada individu
dengan DM tipe 2.11 Demensia vaskular dihubungkan dengan diabetes
melalui kejadian vaskular (VaD) yang diikuti dengan penurunan kognitif, gangguan vaskuler ini salah satunya merupakan manifestasi dari
komplikasi makrovaskular diabetes.11,12
Gangguan kognitif ringan (mild cognitive impairment/MCI) adalah
suatu gangguan kognitif berupa gangguan orientasi, atensi, konsentrasi, memori, bahasa, dan intelektual, yang tidak masuk dalam kriteria demensia, dengan kata lain MCI merupakan keadaan predemensia.13,14 Gangguan kognitif merupakan proses awal kecacatan dalam
otak berupa demensia. Berdasarkan studi terdahulu, menunjukkan
hipotesis mengenai diabetes dan faktor komorbidnya terlibat dalam
patogenesis demensia baik demensia Alzheimer (AD) ataupun demensia vaskular (VaD).11,15
Insidensi gangguan fungsi kognitif pada DM diperkirakan akan
meningkat sehubungan dengan meningkatnya jumlah populasi penderita DM, sehingga perlu strategi untuk mencegah penurunan fungsi
kognitif. Mekanisme terjadinya risiko demensia pada diabetes belum
dapat dijelaskan, diperkirakan salah satunya melalui stres oksidatif dan diketahui pula bahwa kadar vitamin E plasma pada pengidap
diabetes melitus (DM) tipe 2 lebih rendah dibandingkan dengan orang
sehat16,17, sehingga diperkirakan gangguan fungsi kognitif pada penderita DM lebih banyak terjadi dibandingkan nonDM.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai hubungan antara status vitamin E dan kondisi kognitif pada penderita diabetes.

Metode
Penelitian potong lintang dilakukan terhadap 46 penderita DM, 23
laki-laki dan 23 perempuan, usia lebih dari 50 tahun, yang datang ke
poliklinik Endokrin RS Dr. Sardjito pada bulan Agustus Desember
2006.
Kriteria inklusi adalah penderita DM tipe 2 usia lebih dari 50 tahun
yang kontrol di poliklinik Endokrin RSUP Dr. Sardjito dan pada saat
pemeriksaan tidak sedang minum suplemen obat yang mengandung
vitamin E dan menyetujui informed consent. Kriteria eksklusi adalah
penderita dengan tanda klinis, dan hasil laboratorium menunjukkan
infeksi, sedang menderita penyakit akut, terdapat penyakit inflamasi
(demam reumatik, eritema nodosum, artritis reumatoid, artritis kronik,
spondilitis ankilosis, psoriasis, vaskulitis sistemik, reumatik polimialgia, penyakit Reiter, diare kronis, lupus eritematosus sistemik (LES),
skleroderma, dermatomiositis, osteoartritis), penyakit jantung koroner, terdapat riwayat pembedahan atau stroke dalam 3 bulan sebelum
penelitian, terdapat keganasan, gagal jantung kongesti, penurunan
fungsi ginjal, penurunan fungsi hati, merokok dan terdiagnosis demensia.
Subjek yang memenuhi kriteria inklusi dicatat dalam formulir
penelitian, yaitu usia, jenis kelamin dan alamat. Kemudian dilakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik (tekanan darah, denyut nadi, respirasi, suhu, berat badan, tinggi badan, lingkar pinggang, pemeriksaan fisik
jantung, paru, abdomen dan ekstremitas) untuk mengetahui adanya
penyakit infeksi akut, penyakit inflamasi (demam reumatik, eritema
nodosum, artritis reumatoid, artritis kronik, spondilitis ankilosis, psoriasis, vaskulitis, diare kronis, penyakit Reiter, lupus eritematosus sistemik (LES), skleroderma, dermatomiositis, osteoartritis), hipertensi,
adanya riwayat pembedahan atau stroke dalam 3 bulan sebelum penelitian, penyakit jantung koroner, keganasan, sirosis hati, merokok aktif, dislipidemia.
Kemudian pasien dipesan untuk datang ke poliklinik penyakit
dalam untuk dilakukan pengambilan darah dengan puasa minimal 10
jam sebelumnya. Pengambilan darah 10 cc untuk pemeriksaan darah
rutin, profil lipid, fungsi ginjal, enzim transaminase, HbA1c, kadar
kolesterol total, kadar trigliserida, kadar low density lipoprotein (LDL),
kadar high density lipoprotein (HDL) serta kadar -tokoferol serum serta
diminta untuk mengisi mini mental examination state (MMSE) untuk menilai fungsi kognitifnya.
Pengukuran vitamin E dilakukan dengan HPLC (high-performance
liquid chromatography). Sejumlah 20 mL plasma (dari darah EDTA) ditambah 100 mL larutan ekstrak (etanol/butanol [50 : 50, vol/vol, 5 mg
BHT/ml]). Campuran tersebut disentrifugasi selama 5 menit. Sejumlah
20 mL supernatan diinjeksikan ke HPLC. Spektrofotometer yang digu-

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

Analisis Statistik
Data karakteristik subjek penelitian disajikan dalam angka rerata dan
simpangan baku. Hubungan antara mikroalbuminuria (positif atau
negatif) dengan kadar vitamin E plasma dianalisis dengan uji-t tak berpasangan. Untuk membandingkan 2 kelompok dengan variabel kategori digunakan uji chi-square. Uji korelasi Pearson dipakai untuk melihat kaitan antara 2 variabel numerik. Hubungan antara faktor-faktor
lain (usia, jenis kelamin, lama terdiagnosis DM, HbA1c, kadar kolesterol
total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, dan trigliserida) dengan fungsi
kognitif dianalisis dengan regresi logistik. Batas kemaknaan yang diterima bila p <0,05.

Hasil Penelitian
Selama penelitian data lengkap yang dapat dianalisis sebanyak 46
orang, didapatkan 18 pasien diabetes dengan MCI. Adapun data karakterisitik dasar dapat dilihat pada tabel 1.

Vol. 21, No.4, Edisi November - Desember 2008

Tabel 1. Data karakteristik dasar subjek penelitian

Variabel

Rerata simpangan baku


63,64 6,98
24,38 3,38
10,83 5,18
216,48 49,87
158,22 70,89
42,02 9,43
143,15 44,51
7,26 1,55
132,67 51,21
189,98 61,32
6,92 4,54
24,61 3,49

Usia (tahun)
Indeks massa tubuh (kg/m2)
Lama DM (tahun)
Kolesterol total (mg/dl)
Trigliserida (mg/dl)
High density Lipoprotein (mg/dl)
Low density Lipoprotein (mg/dl)
HbA1c (%)
Gula darah puasa (mg/dl)
Gula darah 2 jam pasca makan (mg/dl)
Vitamin E
MMSE

Tidak ditemukan perbedaan bermakna antara kadar -tocopherol


serum kedua kelompok berdasar status kognitifnya (7,28 4,69 pada
penderita diabetes dengan MCI vs 6,69 4,51 pada penderita diabetes
tanpa MCI, p = 0,678), dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Perbandingan data pasien dengan dan atau tanpa mild cognitive Inpairment
Variabel
Usia (tahun)
Indeks Massa tubuh (kg/m2)
Lama DM (tahun)
Kolesterol total (mg/dl)
Trigliserida (mg/dl)
High density Lipoprotein (mg/dl)
Low density Lipoprotein (mg/dl)
HbA1c (%)
Gula darah puasa (mg/dl)
Vitamin E

Dengan MCI

Tanpa MCI

(n=18)

(n=28)

66,05 7,42
23,90 3,22
10,72 5,55
221,39 64,69
169,61 92,19
40,89 9,17
147,05 56,03
7,39 1,70
132,17 48,66
7,28 4,69

61,78 6,26
24,68 3,49
10,89 5,02
213,32 38,51
158,22 70,89
42,75 9,69
140,64 36,17
7,18 1,47
133,66 53,66
6,69 4,50

p
0,04
0,448
0,915
0,598
0.848
0,52
0,639
0,609
0,958
0,678

Pembahasan
Dalam menentukan status vitamin E tubuh, beberapa peneliti menggunakan rasio vitamin E/lipid total karena kadar lipid plasma sangat
mempengaruhi kadar vitamin E. Tanpa menggunakan rasio ini, individu dengan lipid rendah akan keliru diklasifikasikan sebagai defisiensi vitamin E, padahal kenyataannya normal.5 Hal yang serupa
dapat terjadi pada individu dengan hiperlipidemia. Pada penelitian
Sokol et al. (1984) beberapa subjek yang menunjukkan gejala disfungsi neurologis (dalam penelitian didefinisikan sebagai defisiensi
vitamin E) terdapat hiperlipidemia dan mempunyai kadar vitamin
E plasma normal. Rasio vitamin E/lipid total menunjukkan nilai di
bawah normal. Dalam kondisi ini rasio vitamin E/lipid total lebih
sesuai dengan disfungsi neurologis (yang disebabkan defisiensi vitamin E). Pada penelitian ini tidak dilakukan analisis berdasarkan rasio
vitamin E/lipid total.
Keadaan yang dapat menghubungkan antara diabetes dengan
proses penurunan fungsi otak, adalah:
a. Hiperglikemia menyebabkan toksisitas saraf
Hiperglikemia mempengaruhi viabilitas saraf melalui peningkatan
stres oksidatif, struktur dan fungsi pembuluh darah, jalur O glikoprotein, dan formasi advanced glycation end product (AGEs). Advanced
glycation end product (AGEs) secara eksperimental terbukti berpengaruh terhadap kerusakan vaskular dan fungsi endotel, kerusakan
protein, DNA dan mitokondria, serta meningkatkan radikal bebas
dan inflamasi.15
b. Komplikasi diabetes menyebabkan gangguan kognitif
Hipertensi meningkatkan risiko kerusakan vaskular dan endotel, gangguan pada pembuluh darah kecil dan besar, dan meng-

MEDICINUS

nakan adalah UV-VIS l 292 nm. Puncak tokoferol akan muncul pada
menit ke 3-6. Pengukuran trigliserida dilakukan dengan metode tes enzimatik kolorimetri dengan menggunakan glycerol-3-phosphate-oxidase.
Sampel yang diukur adalah plasma yang diambil dari darah EDTA.
Penentuan trigliserida dilakukan setelah pemisahan oleh lipoprotein
lipase. Sebagai indikator adalah quinonimine yang berasal dari reaksi
4-aminoantipyrine, 4-chlorophenol, dan hidrogen peroksida di bawah aksi
katalis peroksidase. Pengukuran kolesterol dilakukan dengan metode
tes fotometrik enzimatik. Sampel yang dipakai adalah plasma (dari
darah EDTA). Penentuan kolesterol dilakukan setelah reaksi hidrolisis
dan oksidasi. Sebagai indikator kolorimetri adalah Chinonimine yang
berasal dari reaksi 4-aminoantipyrine, phenol, dan hidrogen peroksida
di bawah aksi katalis peroksidase. Kadar LDL dihitung dengan rumus:
LDL = kolesterol total - trigliserida/5 - HDL. Pengukuran HbA1c dilakukan dengan metode fast ion-exchange resin separation. Reagen yang
dipakai adalah Glycohemoglobin Test (Human). Sampel yang dipakai
adalah darah EDTA. Darah dicampur dengan reagen lysing yang berisi
deterjen dan ion borat konsentrasi tinggi. Eliminasi basa Schiff labil tercapai selama proses hemolisis. Hemolisat kemudian dicampur dengan
resin penukar ion selama 5 menit. HbA1c akan terikat pada resin, kemudian digunakan separator untuk memisahkan resin dari supernatan yang berisi glycohemoglobin. Presentase glycohemoglobin ditentukan
dengan mengukur fraksi glycohemoglobin dan fraksi total hemoglobin
pada Hg 405 atau 415 nm. Pemeriksaan kadar vitamin E dilakukan di
laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta. Pemeriksaan lainnya dilakukan di laboratorium Prodia
Yogyakarta.
Kapasitas kognitif subjek diukur dengan perangkat sederhana
yaitu mini mental examination state (MMSE) dari Folstein, yang sudah distandardisasi secara nasional. Pada MMSE variabel yang dinilai adalah
orientasi, registrasi, atensi, kalkulasi, mengingat kembali, bahasa, dan
clock drawing test (CDT) digunakan untuk menilai fungsi interpretasi.18
Untuk penilaian tes gambar jam batasan nilainya bersifat subjektif, dengan interpretasi apabila gambar dengan gangguan kontur yang
hebat atau gambar yang tidak berhubungan sangat jarang dihasilkan
oleh seseorang dengan kognitif yang utuh. Gambar yang sempurna
tidak mungkin dihasilkan oleh individu dengan gangguan kognitif.
Acuan termudah penilaian CDT masuk dalam kemungkinan kognitif
terganggu apabila skor <418.
Kriteria penurunan fungsi kognitif, berdasar status mental mini
(MMSE) adalah: Normal = >28, dugaan MCI/VCI = 24 - 28, probabilitas kognitif terganggu/dugaan demensia = 17 - 23, gangguan kognitif
definitif = 0 16.18,19 Pada penelitian ini dinyatakan gangguan kognitif
ringan bila nilai MMSE 24.
Kukull et al. (1994) melakukan penelitian potong lintang instrumen untuk mendeteksi demensia pada populasi klinik dengan jumlah
pasien 150, mendapatkan bahwa MMSE mempunyai sensitivitas 63%,
spesifisitas 96%, positive predictive value (PPV) 96%, negative predictive
value (NPV) 63%, dengan class of evidence I20.

11
57

MEDICINUS

12

Dalam menentukan status


vitamin E tubuh, beberapa
peneliti menggunakan rasio
vitamin E/lipid total karena
kadar lipid plasma sangat
mempengaruhi kadar vitamin E.
Tanpa menggunakan rasio ini,
individu dengan lipid rendah
akan keliru diklasifikasikan
sebagai defisiensi vitamin E,
padahal kenyataannya normal.5
Hal yang serupa dapat terjadi
pada individu dengan
hiperlipidemia.
ganggu sawar darah otak. Hipotesis mengenai efek kenaikan
tekanan darah dan AD secara patologi adalah kerusakan endotel,
yang berakibat meningkatnya respon proinfalamsi, prokoagulan,
dan oksidatif, seperti pada hipotesis mengenai formasi pada plak
neuritik pada AD.15
Kolesterol mempunyai peran esensial pada pemeliharaan struktur
membran otak. Hiperinsulinemia merefleksikan tingginya kadar
insulin otak, dan hipoinsulin merupakan kegagalan dari insulinisasi pada otak. Transpor insulin ke dalam sistem saraf pusat meningkatkan kondisi hiperinsulinemia, yang mengakibatkan terjadinya
proses resistensi insulin.15
c. Diabetes menyebabkan gangguan kognitif
Kejadian diabetes dengan demensia Alzheimer (AD) juga mempunyai keterkaitan yang positif. Pada studi Rotterdam menunjukkan
hasil diabetes dengan AD mempunyai relative risk (RR) 1,9 (95% CI:
1,2 3,1), dengan rincian yang disertai penyakit serebrovaskular
RR 1,8 (95% CI: 1,0 9,3) tanpa penyakit serebrovaskular RR 1,8
(95% CI: 1,1 3,0), diabetes dengan demensia vaskular (VaD) RR
2,0 (95% CI: 0,7 5,6), diabetes dengan demensia lainnya RR 1,6
(95% CI: 0,5 5,0).22
Pada penelitian dari Rochester menunjukkan kejadian AD dua kali
lipat lebih besar pada laki-laki dengan diabetes (RR 2,3, 95% CI: 1,63,3). Pada penelitian British cohort menunjukkan peningkatan risiko
Alzheimer pada subjek dengan diabetes dibanding tanpa diabetes (RR
1,4 95% CI: 1,1 17,0).15,23
Dasar mekanisme biokimia komplikasi vaskular diabetes, berawal
dari diabetes memicu resistensi insulin, hiperglikemia, dan terjadi pelepasan asam lemak bebas atau dislipidemia, keadaan tersebut melalui jalur stres oksidatif (reactive oxigen species = ROS), protein kinase
C, aktivasi reseptor advanced glycation end product (RAGE), peningkatan
jalur poliol, mioinositol, dan heksosamin akan mengakibatkan aktivasi
sinyal sel molekul gangguan pada faktor pertumbuhan, angiotensin II,
dan dikeluarkannya sitokin24,25 yang merangsang membran fosfolipid
sel atau endotel berubah menjadi asam arakhidonat melalui aktivasi
enzim fosfolipase (PLA2).26
Asam arakhidonat (AA) akan dimetabolisme menjadi tiga jalur

oksidasi yaitu jalur siklooksigenase (COX) yang akan membentuk


prostaglandin, jalur lipooksigenase (LO), membentuk asam hidroksieikosatetraenoik (HETEs) dan leukotrin, dan jalur sitokrom P-450
monooksigenasi/epoksigenase yang membentuk epoksid dan HETEs.
Khusus untuk sitokrom P-450 lebih berperan pada vasoaktif pada ginjal, dan belum didapatkan data mengenai keterlibatan pada angiopati
diabetik.26
Pada jalur siklooksigenase, COX-1 dan COX-2 dikatalisis menjadi
prostaglandin dalam bentuk (prostaglandin H2) PGH2 yang terkonversi
menjadi prostaglandin lain dan eikosanoid seperti PGE2, PGD2, PGF2
(isoprostan), PGI2 (prostasiklin) dan tromboksan. COX-1 berperan secara fisiologis pada beberapa sel dan jaringan. COX-2 ekspresinya sering tidak terdeteksi pada jaringan dan sel, tetapi menjadi signifikan
bila tersimulir lipopolisakarida, dan sitokin (IL-6, IL-1, IL-1, TNF-,
dan faktor pertumbuhan), dan produk-produk dari COX-2 berperan
dalam proses inflamasi termasuk arterogenesis.26,27
Jalur lipooksigenasi (LO) terbagi dalam 4 kelompok yaitu LO5,
LO8, LO12, dan LO15, yang dibedakan berdasar kemampuannya
dalam proses memasukkan molekul oksigen pada rantai karbon ke
dalam asam arakhidonat. Kelompok LO5 dan O8 tidak berperan dalam
diabetes. Untuk LO12 dan LO15 dapat membentuk 12/15 HETEs dari
AA, produk tersebut akan tampak pada beberapa jaringan pembuluh
darah dan sel, termasuk sel otot polos pembuluh darah (vascular smooth
muscle cells /VSMC), endotel dan monosit.26
Jalur mediator inflamasi lipid pada sistem saraf pusat hampir sama
dengan jalur asam arakhidonat, hanya pada sistem saraf pusat, fungsi
neurotropik (fisiologis) dari jalur tersebut dapat berubah menjadi neurotoksik (patologis). Komponen penting pada metabolisme lipid pada
otak adalah AA dan DHA (docosahexaenoic acid/asam dokosaheksaenoik), yang akan dimetabolisme menjadi eikosanoid, dokosanoid, lisofosfolipid, reative oxygen species (ROS), 4-HNE (4hidroksinonenal/oksidasi dari AA), dan 4-HHE (4-hidroksiheksenal/oksidasi dari DHA).
Komponen tersebut akan memberikan efek neurotropik bila terdapat
dalam kadar rendah, tetapi bila komponen jalur tersebut terpicu untuk
termobilisasi kadarnya akan meningkat dan memberikan efek neurotoksik. Asam dokosaheksaenoik dihidrolisis oleh plasmalogen selektif
fosfolipase A2.28
Efek neurotoksik AA akibat hiperstimulasi adalah kerusakan pada
struktur sel dan fungsi saraf. Asam arakhidonat mengakibatkan asidosis intraseluler dan tidak terkendalinya oksidasi fosforilasi, sehingga
terjadi disfungsi mitokondria. Siklooksigenase dan lipooksigenase
yang mengubah AA menjadi protaglandin, leukotrin, dan tromboksan.
Komponen eikosanoid tersebut apabila terstimulasi akibat kondisi patologis berefek pada gangguan aliran pembuluh darah otak dan mempengaruhi trombosit dan leukosit, sehingga aliran mikrosirkulasi akan
terganggu dan sistem saraf pusat akan terganggu.28
Lisofosfolipid yang merupakan hasil oksidasi fosfolipid selain
AA, yang dapat teralkilasi oleh koenzim A menjadi fosfolipid kembali, pada kondisi patologis seperti iskemik, epilepsi, dan overstimulasi fosfolipase akan mengakibatkan akumulasi lisofosfolipid dan
asam lemak bebas. Lisofosfolipid dapat memproduksi faktor aktivasi
platelet, sebagai mediator proinflamasi yang poten. Pada sel endotel
lisofosfolipid dapat memodulasi sinyal kalsium, dan fosforilasi nitrit
oksid dan sitosolik fosfolipase 2. Sehingga bila terjadi akumulasi lisofosfolipid yang berlebih akan berakibat demielinisasi dan kerusakan
sel saraf.28
4-hidroksinonenal (4-HNE/oksidasi dari AA), pada kadar rendah
berefek menyampaikan sinyal hingga ke sel basal, stimulasi fosfolipase
c, adenil siklase, dan menurunkan aktivitas ornitin dekarboksilase, bila
terstimulasi berlebihan mengakibatkan efek neurotoksik berupa efek
deteriorisasi sel, menghambat sintesis DNA dan RNA, mengganggu
homeostasis kalsium, dan menghambat respirasi mitokondria, 4-HNE
juga meningkatkan permeabilitas sawar darah otak selama eksitoksisitas, menurunkan fungsi mitokondria dengan mengganggu transpor
gula, dan berperan dalam memicu stres oksidatif dan proses apoptosis
sel saraf.28

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan antara status vitamin
E dan fungsi kognitif pada penderita diabetes.
Daftar Pustaka
1. Kalmijn S, Feskens EJ, Launer LJ and Kromhout D. Polyunsaturated fatty acids,
antioxidants, and cognitive function in very old men. Am. J. Epidemiol. 1997;
145:33-41
2. Meydani M. Antioxidants and cognitive function. Nutr. Rev. 2001; 59:S7-

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

5-S80
3. Halliwell B & Gutteridge IMC. Free radicals. In: Biology and Medicine. 2nd ed.
Oxford University Press Oxford:UK; 1995.p.543
4. Floyd RA. Antioxidants, oxidative stress, and degenerative neurological disorders. Proc. Soc. Exp. Biol. Med. 1999; 222:236-45
5. Farrell PM and Roberts RJ. Vitamin E. Dalam: Modern Nutrition in Health and
Disease.8th ed. Lea & Febiger. Philadelphia; 1994.p.326-41
6. Young IS and Woodside JV. Antioxidants in Health and Disease. J Clin Pathol
2001; 54:176-86
7. Ricciarelli R, Zingg J, and Azzi A. Vitamin E: protective role of janus molecule.
FASEB J. 2001; 15:2314-25
8. Traber MG. Does vitamin E decrease heart attack risk? summary and implications with respect to dietary recommendations. J Nutr. 2001; 131:395S-397S
9. Foy CJ, Passmore AP, Vahidassr MD, Young IS and Lawson JT. Plasma chainbreaking antioxidants in Alzheimers disease, vascular dementia and Parkinsons disease. Q. J. Med. 1999; 92:39-45
10. Perkins AJ, Hendrie HC, Callahan CM, Gao S, Unverzagt FW, Xu Y, et al. Association of antioxidants with memory in a multiethnic elderly sample using
the Third National Health and Nutrition Examination Survey. Am. J. Epidemiol.
1999; 150:37-44
11. Strachan MWJ. Cognitive decline and the older patient with diabetes. Clin Ger.
2002; 10(6):2935
12. Hartono B. Insulin, diabetes and cognitive function: from vascular cognitive
impairment to vascular dementia. Dalam Naskah Lengkap PIT V PERKENI. Semarang; 2004.p.313-27
13. Visser PJ. Mild cognitive impairment. Dalam: Pathy, M.S., Sinclair, J. & Morley,
J.E. (Eds) Principles and Practice of Geriatric Medicine 4th (ed). John Wiley and
Sons. Ltd:2006.p.1-7
14. Wright JD and Tranel D. Mild cognitive impairment. Up To Date14.1; 2006
15. Launer LJ. Diabetes and Brain Aging: Epidemiologic Evidence. Curr. Diab.
Rep.2005; 5:59-63
16. Gokkusu C, Palanduz S, Ademoglu E and Tamer S. Oxidant and antioxidant
system in NIDDM patients: influence of vitamin E supplementation. Endocr
Res 2001; 27(3):377-86
17. Nourooz-Zadeh J, Rahimi A, Tajaddini-Sarmadi J, Tritschler H, Rosen P, Halliwell B. et al. Relationship between plasma measures of oxidative stress and
metabolic control in NIDDM. Diabetologia 1997; 40:647-53
18. Assosiasi Alzheimer Indonesia (AazI). Konsensus nasional pengenalan dan
penatalaksanaan demensia alzheimer dan demensia lainnya; 2003.p.61-3
19. Soejono CH, Harimurti K, Setiati S & Damping CE. Pedoman diagnosis dan
tatalaksana MCI dan VCI. Dalam: Konsensus Nasional-Peran Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Untuk Deteksi Dini, Diagnosis Dan Penatalaksanaan Gangguan Kognitif Ringan Pada Usia Lanjut. Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia. Jakarta; 2006.p.1-28
20. Petersen RC, Stevens JC, Ganguli M, Tangalos, Cummings and DeKosky. Practice parameter: early detection of Dementia: mild cognitive impairment (An
Evidence Based Review). Report of the Quality Standards Subcommittee of the
America Academy of Neurology. Neur; 2001; (56):1133-42
21. Sokol RJ, Heubi JE, Iannacone ST, Bove KE and Balistreri WF. Vitamin E deficiency with normal serum vitamin E concentrations in children with chronic
cholestasis. N Engl J Med 1984; 310:1209-12
22. Ott A, Stolk RP, Harskamp van, Pols HAP, Hofman A and Breteler MMB. Diabetes mellitus and the risk of dementiaThe Rotterdam Study. Neur 1999;
(53):1937-42
23. Luchsinger JA, Tang MX, Stern Y, Shea S and Mayeux R. Diabetes mellitus and
risk of Alzheimers disease and dementia with stroke in a multiethic cohort.
Am J Epidemiol 2001; 154(7):635-41
24. Beckman JA, Creager MA and Libby P. Diabetes and atherosclerosis epidemiology, pathophysiology, and management. JAMA 2002; 287(19): 2570-81
25. Kanwar Y, Akagi S, Sun L, Nayak B, Xie P, Wada J, et al. Cell biology of diabetic
kidney disease. Nephron Exp Nephrol 2005; 101:e100-110
26. Natarajan R.and Nadler JL. Lipid inflamatory mediator in diabetic vascular disease. Arterioscler Thromb Vasc Biol 2004; 24:1542-48
27. Helmersson J, Vessby B, Larsson A and Basu S. Association of type 2 diabetes
With cyclooxygenase-mediated inflamation and oxidative stress in an elderly
population. Circulation 2004; 109:1729-34
28. Farooqui AA and Horrocks LA. Phospholipase A2-generated lipid mediators in
the brain: the good, the bad, and the ugly. Neuroscientist 2006; 12(3):24560
29. Ortega RM, Roquejo AM, Lopez-Sobaler AM, Andres P, Navia B, Perea JM, et al.
Cognitive function in elderly people is influenced by vitamin E status. J Nutr
2002; 132:2065-8
30. Kritchevsky SB, Shimakawa T, Tell GS, Dennis B, Carpenter M, Eckfeldt JH, et
al. Dietary antioxidants and carotid artery wall thickness. The ARIC Study.
Atherosclerosis Risk in Communities Study. Circulation 1995; 92:2142-50
31. Shadlen MF and Larson EB. Risk Factors for dementia. Up To Date , 14.1;
2006

MEDICINUS

Perkin et al. (1999) melakukan analisis terhadap 5000 orang usia


lanjut pada the Third National Health and Nutrition Examintaion Survey
III (NHANES III) mendapatkan hasil terdapat hubungan yang sangat lemah antara jeleknya fungsi memori dengan kadar vitamin C, A,
-karoten dan selenium, tetapi mendapatkan hasil korelasi yang bermakna antara fungsi memori dengan rendahnya kadar vitamin E setelah diadjust dengan kadar kolesterol.10
Ortega et al. (2002) dalam penelitiannya terhadap 120 orang usia lanjut berusia 65-91 tahun tanpa gangguan fungsi kognitif mendapatkan
hasil terdapat korelasi yang bermakna antara vitamin E (r= -0.3519)
dan rasio vitamin E/kolesterol (r= -3014) dengan PMSQ (pfeiffer mental
status questionnaire). Lebih lanjut dalam analisanya, Ortega et al. menemukan kadar vitamin E dan rasio vitamin E/kolesterol yang rendah
pada subjek dengan ada kesalahan pada PMSQ dibandingkan dengan
yang tanpa kesalahan dalam PMSQ.29
Foy et al. (1999) juga menemukan hal yang sama yaitu pasien dengan demensia kadar vitamin E-nya rendah pada dibandingkan dengan kontrol, tetapi tidak terjadi pada tingkat defisiensi nutrisi. Jadi
rendahnya status antioksidant pada pasien-pasien demensia menunjukkan peningkatan stres oksidatif, yang merupakan faktor penting
pada gangguan fungsi kognitif.9
Vitamin E mungkin berguna dalam mencegah penurunan fungsi
kognitif melalui aksi antioksidannya yang potensial yang dapat mencegah kerusakan jaringan saraf, tetapi juga mencegah demensia vaskular.
Hubungan vitamin E dengan penurunan risiko demensia vaskular dapat dihubungkan dengan beberapa macam efek pada sistem vaskular,
termasuk pada kemampuannya mencegah stroke dengan menurunkan
gregrasi dan adhesi platelet, memperlambat progresi dari aterosklerosis a. carotis.30
Faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap demensia adalah:
umur, pada studi populasi insidensi AD 0,6% pada usia 6569 tahun,
1% pada usia 7074 tahun, 2% pada usia 75-79, 3,3% pada usia 8085
tahun, dan 8,4% pada usia 85 tahun ke atas, riwayat keluarga akan
me-ningkatkan risiko demensia 1030%. Petersen et al. (2001), menyatakan analisis kejadian usia akan bermakna bila dihubungkan dengan
risiko demensia Alzheimer, sedangkan bila hanya dihubungkan dengan gangguan kognitif perbedaannya tidak bermakna, dan pada studi
Framingham, oleh Bachman et al. (1993) menunjukkan bahwa annual
rate antar usia dengan kejadian demensia akan berbeda dengan annual
rate antar usia dengan kejadian demensia jenis Alzheimer.20 Pada penelitian ini pada kelompok MCI didapatkan usia yang lebih tua dibandingkan dengan kelompok non MCI, dan perbedaan ini secara statistik bermakna, sehingga apakah gangguan fungsi kognitif yang terjadi
pada penelitian ini dipengaruhi oleh usia yang tua pada kelompok
MCI masih belum dapat dibuktikan.
Risiko dari arterosklerosis, seperti dislipidemia, diabetes melitus,
penggunaan insulin, hipertensi, merokok, faktor risiko lainnya seperti
trauma kepala, alkohol, gagal ginjal kronis, diet tinggi lemak, indeks
masa tubuh (IMT), dan penggunaan estrogen merupakan faktor risiko
terjadi gangguan kognitif.31 Pada analisis hubungan antara profil lipid,
pengontrolan kadar gula darah (HbA1c) dan gula darah puasa sendiri
serta IMT, tidak berhubungan dengan gangguan kognitif.

13

case report

original article

I Made Oka Adnyana

Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf


Fakultas Kedokteran UNUD/RSUP Sanglah Denpasar

Abstrak. Migren merupakan nyeri kepala primer yang cukup sering dijumpai. Serangan migren terkadang sangat menganggu
baik kehidupan sosial maupun ekonomi penderita. Semakin sering terjadi serangan, kehidupan penderita akan semakin terganggu, sehingga perlu diberikan terapi pencegahan. Beberapa obat yang bisa dipakai untuk pencegahan migren adalah: Ca
blocker (flunarizin, nimodipin), penyekat beta (propanolol, timolol), antidepresan (amitriptilin, nortriptilin, flouxetin), antiepilepsi (asam valproat, gabapentin, topiramat). Artikel ini membahas satu kasus penderita migren yang mengalami perbaikan
setelah diterapi dengan obat antiepilpepsi yaitu asam valproat.

MEDICINUS

Kata kunci: migren, pencegahan, asam valproat

14

Pendahuluan
Setiap orang pasti pernah menderita nyeri kepala selama hidupnya,
dan nyeri kepala merupakan kasus yang paling sering berobat ke poliklinik saraf. Kasus migren merupakan kasus kedua terbanyak setelah nyeri kepala tipe tegang yang datang berobat ke poliklinik saraf.
Puncak prevalensi migren antara usia 25-55 tahun usia yang dimana
sangat produktif, sehingga serangan migren harus diobati dengan
sebaik-baiknya.1
Migren merupakan gangguan neurobiologik, yang berhubung-an
dengan perubahan kepekaan sistem saraf dan aktivasi sistem trigeminovaskular. Dimana penderita migren lebih peka dari pada orang
tanpa migren. Pada setiap serangan migren di samping mengganggu
kehidupan sosial dan ekonomi juga akan mengakibatkan perubahan
permanen dari sistem saraf pusat. Beberapa penderita migren dengan atau tanpa aura menunjukkan bertambahnya risiko lesi subklinik pada daerah tertentu. Seperti daerah serebelum dan sirkulasi
posterior pada penderita dengan migren menunjukkan prevalensi
infark yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (5,4%: 0,7%).
Risiko tertinggi adalah pada penderita migren dengan aura yang
serangannya lebih dari 1 kali/bulan. Pada wanita risiko terjadinya
deep white matter lesion (DWML) lebih besar pada pende-rita migren
dibandingkan dengan kontrol. Risiko ini bertambah bila serangan
lebih dari dua kali/bulan, akan tetapi risikonya sama pada penderita
migren dengan atau tanpa aura. Pada laki-laki tidak menunjukkan
perbedaan DWML antara kontrol dan penderita migren. Pada penderita migren juga ditemukan adanya akumuluasi ion Fe di daerah peri
aquductus gray yaitu area yang memodulasi penghantaran nyeri secara desenden, dan bila daerah ini mengalami gangguan akibat akumulasi Fe akan mengganggu proses inhibisi penghantaran nyeri.2

Pencegahan serangan migren3-5


Mengingat efek perubahan pada susunan saraf pusat akibat serangan
migren, maka serangan migren perlu diobati dan yang lebih pen-ting
adalah mencegah kekambuhan serangan agar jangan sampai berulang.


1.
2.
3.

Adapun prinsip umum terapi pencegahan adalah:


Mengurangi frekuensi berat dan lamanya serangan.
Meningkatkan respon pasien terhadap pengobatan.
Meningkatkan aktivitas sehari-hari, serta pengurangan disabilitas.


1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Sedangkan indikasi terapi pencegahan adalah:


Serangan berulang dan mengganggu aktivitas.
Nyeri kepala sering terjadi (2 kali atau lebih dalam seminggu).
Ada kontraindikasi terhadap terapi akut.
Kegagalan terapi atau overuse.
Efek samping yang berat pada terapi akut.
Biaya untuk terapi akut dan pencegahan.
Keinginan yang diharapkan penderita.
Munculnya gejala-gejala dan kondisi yang luar biasa, misalnya
migren basiler, hemiplegia, aura yang memanjang.

Asam Valproat (Antiepilepsi) sebagai Pencegahan Migren


Antiepilepsi sebagai antinyeri telah digunakan sejak tahun 1960.
Beberapa mempunyai efek nyata pada nyeri neuropati, dan disertai
bukti efektivitasnya. Saat ini obat antiepilepsi telah banyak digunakan sebagai pencegahan migren. Obat antiepilepsi yang dipakai
untuk pencegahan migren adalah golongan valproat (asam/sodium)
dan topiramat dengan bukti klinis A dan gabapentin dengan bukti
klinis B.
Dalam percobaan telah terbukti selama serangan migren terjadi
ketidakseimbangan konsentrasi neuron inhibisi (GABA) dan neuron
eksitasi (glutamat dan aspartat) di dalam plasma. Valproat meningkatkan konsentrasi GABA di otak dengan jalan menghambat enzim
GABA transaminase dan juga mengaktifkan enzim glutamat dekarboksilase yang akan menurunkan kadar glutamat. Seperti yang telah
diketahui bahwa saat terjadi serangan migren kadar glutamat meningkat, sesuai dengan teori hipereksitabilitas saat terjadinya serangan migren. Valproat juga meningkatkan kadar asam homovanilik,

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

Valproat juga meningkatkan


kadar asam homovanilik,
ekepalin yang berfungsi untuk
transmisi nyeri di striatum,
batang otak, hipotalamus dan
korteks. Efek yang nyata dari
valproat adalah penurunan
ekstravasasi plasma pada saat
terjadinya inflamasi neurogenik
pada awal serangan migren
dengan jalan interaksi dengan
reseptor GABA. Percobaan pada
binatang, valproat memblok
c fos expression dan neurogenic
inflamasi. Reseptor GABA juga
terdapat di nukleus raphe
dorsalis, di mana aktivitasnya
menurunkan firing rate neuron
serotoninergik yang terlibat
dalam serangan migren.

ekepalin yang berfungsi untuk transmisi nyeri di striatum, batang


otak, hipotalamus dan korteks. Efek yang nyata dari valproat adalah
penurunan ekstravasasi plasma saat terjadinya inflamasi neurogenik
pada awal serangan migren dengan jalan interaksi dengan reseptor
GABA. Percobaan pada binatang, valproat memblok c fos expression
dan neurogenic inflamation. Reseptor GABA juga terdapat di nukleus
raphe dorsalis, di mana aktivitasnya menurunkan firing rate neuron serotoninergik yang terlibat dalam serangan migren.
Pemberian asam valproat peroral cepat diabsorpsi dan kadar
maksimal dalam serum tercapai setelah 1-3 jam. Dengan masa paruh
8-10 jam, kadar dalam darah stabil dalam 48 jam setelah terapi. Ekresi sebagian besar lewat urin. Efek samping yang bisa terjadi adalah
gangguan saluran cerna (mual, muntah dan anoreksia). Efek samping
pada SSP adalah rasa mengantuk, ataksia, dan tremor.6
Dalam penelitian klinik efek sodium valproat sebagai profilaksis
migren diketahui dari suatu percobaan randomized double-blind control placebo dengan menggunakan dosis 800 mg, berhasil menurunkan
frekuensi serangan migren sebanyak 44%, dibandingkan dengan
plasebo. Pada penelitian lain dengan randomized control trial, dengan
dosis sesuai dosis antiepilepsi (500-1000 mg), ternyata valprota menurunkan 43% hari tanpa migren dibandingkan dengan plasebo, tetapi
berat dan durasi serangan migren tidak dipengaruhi.7
Penelitian multicenter randomized, plasebo kontrol studi dari divalproat pada penderita migren dengan atau tanpa aura. Dosis yang
digunakan adalah dosis titrasi sampai dosis sesuai dengan dosis

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

Laporan Kasus
Seorang wanita umur 36 tahun, suku Bali sudah menikah dengan
2 anak, datang ke poliklinik rumah sakit Puri Raharja Denpasar,
mengeluh nyeri kepala berdenyut di kepala sebelah kiri, intensitas
nyeri sedang sampai berat. Dalam setiap serangan berlangsung 4
jam kadang-kadang lebih dari 1 hari, keluhan semakin berat dengan
adanya aktivitas fisik, seperti berjalan dan naik tangga. Keluhan disertai mual dan muntah. Pada saat serangan penderita merasa tidak
enak bila melihat cahaya. Serangan muncul 2-3 kali/minggu. Keluhan sakit seperti ini sudah diderita sejak umur 15 tahun, dan dengan
minum obat yang dibeli di toko obat/warung keluhan nyeri kepala
bisa hilang. Pada pemeriksaan fisik didapatkan hasil; kedaan umum
mengalami nyeri kepala berat. Tanda vital: tekanan darah 130/80
mmHg, denyut nadi 80 x/menit, respirasi 20x/menit, suhu tubuh
36,4C. Pada pemeriksaan status general dalam batas normal.
Pada pemeriksaan neurologi: nervus kranialis normal, funduskopi
normal, tanda rangsangan meningen tidak ada, motorik baik, sensorik baik, refleks fisiologis +/+, refleks patologis -/-. Diagnosis kerja:
migren tanpa aura.
Penderita diterapi dengan:
1. Analgetik (campuran metampiron 500 mg, klordiazepoksid HCl
5 mg, vitamin B1, B6, B12 dan kafein anhidrat 50 mg), kalau perlu.
2. Flunarizin 5 mg (malam hari) sebagai pencegahan.
3. Antimigren (alkoloid beladona, ergotamin tartat 0,3 mg dan fenobarbital 20 mg), dua kali sehari maksimal 3 hari.
Selama minum obat keluhan berkurang sampai hilang tetapi
begitu obat habis keluhan muncul lagi, sehingga penderita datang
kontrol lagi. Kemudian penderita diminta untuk minum obat antimigren 2-3 kali/minggu dan analgetik diminum kalau perlu serta obat
flunarizin sebagai pencegahan. Keluhan nyeri kepala berkurang sehingga penderita bisa beraktivitas lagi. Tetapi keluhan nyeri kepala
kadang-kadang masih muncul, meskipun penderita sudah minum
obat flunarizin sebagai terapi pencegahan selama 3 bulan, sehingga

MEDICINUS

untuk antiepilepsi, hasilnya yaitu divalproat mampu menurunkan


frekuensi serangan migren sebanyak 39% jika dibandingkan dengan
plasebo. Penelitian multicenter tentang rentang dosis perlu dilakukan
karena dengan dosis rendah mungkin efektif untuk beberapa pasien.
Dengan dosis 5001500 mg hasilnya lebih superior dari plasebo. Pada
percobaan klinis, efek asam valproat sebagai pencegahan migren telah diteliti dalam suatu studi randomized double-blind and placebo control
dimana asam valproat berhasil menurunkan serangan migren sebanyak 44%.8
Preitag dkk (2002) meneliti secara double blind randomized di mana
dosis yang digunakan adalah 500 mg dan dinaikkan secara perlahan
sampai dosis 1000 mg per hari dapat mencegah serangan migren sebanyak 81% dibandingkan dengan plasebo.9
Pada penelitian oleh Pulley (2005) dengan rancangan double blind
dibandingkan dengan plasebo dengan dosis 400 mg, dapat mencegah
serangan migren sebanyak 86,2%.10
Pada penelitian yang dilakukan oleh Modi dkk (2006) dengan
subjek sebanyak 34 pasien ternyata hasilnya sangat efektif untuk
mencegah serangan migren.
Pada suatu penelitian multicenter randomized dan plasebo kontrol
dari divalproat pada penderita migren dengan aura dan migren tanpa aura, dengan dosis titrasi sampai dosis setara dengan antiepilepsi
(500-1000 mg), ternyata asam valproat bisa mencegah serangan migren sebanyak 39% dibandingkan dengan plasebo.
Pada dosis 500-1500 mg hasilnya lebih bagus dibandingkan dengan plesebo. Terapi dengan valproat digunakan apabila obat pilihan
pertama untuk pencegahan migren seperti penyekat beta (flunarizin)
tidak efektif atau ada kontraindikasi. Dosis yang digunakan adalah
500 mg sebagai dosis awal, dosis bisa dinaikkan tergantung efektivitas dan efek samping.11

15

MEDICINUS

16

Pemberian asam valproate


peroral cepat diabsorpsi dan
kadar maksimal dalam
serum tercapai setelah 1-3 jam.
Dengan masa paruh 8-10 jam,
kadar dalam darah stabil dalam
48 jam setelah terapi.
Ekresinya sebagian besar lewat
urine. Efek samping yang bisa
terjadi adalah gangguan saluran cerna (mual, anotreksia dan
muntah). Efek samping pada SSP
adalah rasa mengantuk, ataksia
dan tremor.6
penderita disarankan untuk pemeriksaan CT scan kepala dan EEG,
untuk mengetahui apakah ada kelainan organik di intraserebral sebagai penyebab nyeri kepalanya. Hasil pemeriksaan CT scan kepala
dan EEG adalah normal, sehingga kecurigaan kelainan organik sebagai penyebab nyeri kepala sudah tersingkirkan. Diagnosis tetap
migren tanpa aura. Kemudian terapi diganti dengan pemberian analgetik, antimigren dan asam valproat sebagai pencegahan. Setelah
diterapi dengan asam valproat sebagai pencegahan keluhan nyeri
kepala hilang. Dan setelah 3 bulan ternyata keluhan nyeri kepalanya
sudah tidak pernah kambuh lagi.

Diskusi
Migren adalah gangguan neurobiologik yang berkaitan dengan perubahan kepekaan sistem saraf dan aktivasi sistem trigeminovaskular.
Ciri-cirinya adalah terjadinya serangan sakit kepala dan gejala neurologik, gastrointestinal dan otonom.
Migren menurut International Headache Society (IHS) dibagi menjadi: migren tanpa aura, migren dengan aura, sindrom periodik pada
anak yang sering menjadi prekursor migren, migren retinal, komplikasi migren dan probable migren. Sedangkan kriteria diagnostik migren tanpa aura menurut IHS adalah:12
A. Sekurang-kurangnya terjadi 5 serangan yang memenuhi kriteria
B-D.
B. Serangan nyeri kepala berlangsung selama 4-72 jam (tidak diobati
atau tidak berhasil diobati).
C. Nyeri kepala mempunyai sedikitnya dua di antara karakteristik
berikut:
1. Lokasi unilateral.
2. Kualitas berdenyut.
3. Intensitas nyeri sedang sampai berat.
4. Keadaan bertambah berat oleh aktivitas fisik atau penderita
menghindari aktivitas fisik rutin (seperti berjalan atau naik

tangga).
D. Selama nyeri kepala disertai salah satu gejala di bawah ini:
1. Mual dan atau muntah.
2. Fotofobia dan fonofobia.
E. Tidak berkaitan dengan kelainan lain.
Melihat kasus pada penderita di atas maka penderita cocok dengan kriteria diagnostik migren tanpa aura, karena nyeri kepala unilateral (satu sisi kepala), serangan 4 jam, kadang sampai lebih 1 hari,
diperberat oleh aktivitas fisik, mengalami mual dan muntah serta tidak enak melihat cahaya. Pengobatan yang diberikan adalah analgetik,
antimigren dan obat untuk pencegahan migren yaitu flunarizin. Setelah diterapi dengan flunarizin selama 2 bulan, serangan migren belum
terkontrol, sehingga dilakukan pemeriksaan penunjang (CT scan dan
EEG) untuk mengetahui ada atau tidak kelainan organik penyebab
nyeri kepala. Hasil CT scan kepala dan EEG normal. Dengan demikian kemungkinan penyebab yang berasal organik bisa disingkirkan.
Pencegahan migren dengan flunarizin efektif setelah diberikan minimal 2 bulan dan hanya mengurangi serangan sebanyak 50%, hal ini
mungkin dapat menjelaskan kenapa pada penderita pemberian flunarizin kurang memuaskan. Pada penderita ini tidak diberikan terapi
pencegahan dengan penyekat beta, karena tekanan darah penderita
dalam batas normal, sehingga pada penderita kemudian diberikan
asam valproat dengan dosis 2x250 mg. Setelah dievaluasi selama 3
bulan serangan migren pada penderita ini bisa terkontrol.

Kesimpulan

Migren merupakan nyeri kepala primer yang menempati urutan kedua dalam kunjungan ke klinik sefalgia poliklinik saraf. Serangan migren mengakibatkan efek yang merugikan terhadap pasien, keluarga,
maupun masyarakat, sehingga bila serangannya sering perlu dilakukan pencegahan. Salah satu obat yang bisa dipakai untuk pencegahan
adalah obat antiepilepsi, karena salah satu teori timbulnya bangkitan
epilepsi dan migren karena ketidakseimbangan neurotransmiter eksitasi (glutamat) dan neurotransmiter inhibisi (GABA), di mana pada
migren terjadi peningkatan neurotransmiter eksitasi.
Pada kasus yang dilaporkan ternyata dengan terapi flunarizin
sebagai pencegahan serangan migren belum terkontrol dan setelah
diberikan asam valproat baru penderita bebas dari serangan migren.
Daftar Pustaka
1. Djoenaedi Wijaya. The impact of migraine and the need of prophylactic treatment. In: Hassan S, Aldy SR, editor. Buku Proseding Pertemuan Nasional I
Nyeri Kepala. 7-8 Agustus 2004. Medan.p.21-45
2. Welch KM. Brain hyperexcitability: the basis for antiepileptic drug in migraine prevention. Headache 2005; 45 Suppl 1:S25-32
3. Nissan GR, Diamond ML. Advance in migraine treatment. JAOA 2005; 105(4
Suppl 2):S9-5
4. Silberstein SD. Treatmen of migraine. AAN 2004
5. Sun C, Rapoport A. New treatment strategies for migraine prevention. US
Neurological Disease 2006; 18-22
6. Steiner TJ, Hansen PT. Antiepileptic drugs in migraine prophylaxis. In: Olesen
J, Hansen PT, Welch KM, editor. The Headache. 2nd ed. Philadelphia:Lippnicot
Williams and Wilkins; 2000.p.483-88
7. Cuter FM, Limmroth V, Moskowitz MA. Possible mechanism of valvroate in
migraine Prophylaxis. Cephalgia 1997; 17:93-100
8. Spasic M, Zivkovic M, Lukic S. Prophylactic treatment of migraine by valproate. Medicine and Biology 2003; 10(3):106-10
9. Freitag FG, Collins SD, Carlson AA, Goldstein J, Saper J, Silberstein SD, et
al. A randomized trial of divalproate sodium extended release tablets in
migraine prophylaxis. Neurology 2003; 58:1652-9
10. Pulley MT. Migraine headache. Origins consequences. Diagnosis and treatment. Northeas Florida Medicine 2005:10-3
11. Modis, Lowder DM. Medications for migraine prophylaxis. Americans Family
Physician 2006; 73:72-80
12. International Headache Society. The International Classification of Headache
Disorder, 2nd Edition. Cephalgia 2004; 24 Suppl 1:9-160

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

case report

original article

M. Fadjar Perkasa

Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran UNHAS/RS. dr. Wahidin Sudirohusodo
Makassar
Abstrak. Dilaporkan satu kasus timpanoplasti pada seorang anak berumur 9 tahun dengan keluhan keluar cairan dari telinga
kanan berwarna kekuningan sejak 5 tahun lalu, hilang timbul. Telah dilakukan tindakan timpanomastoidektomi tipe 1 dengan
combined approach timpanoplasti pada penderita otitis media supuratif kronik (OMSK) yang disertai dengan jaringan granulasi.
Pasca operasi, penderita sadar baik dan tidak ditemukan komplikasi saraf fasialis perifer. Pada kasus ini kami menyimpulkan
bahwa hasil operasi memuaskan.

Pendahuluan
Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah penyakit telinga tengah
dimana terjadi peradangan kronis dari telinga tengah dan mastoid disertai perforasi dari membran timpani yang permanen disertai sekret
(otore) yang hilang timbul dengan konsistensi encer atau kental, bening atau berupa nanah (mukopurulen) berlangsung lebih dari 2 bulan.
OMSK dibagi menjadi 2 jenis yaitu OMSK tipe aman (tipe mukosa =
benign) dan OMSK tipe bahaya (tipe tulang = maligna) sedang berdasarkan aktivitas sekretnya yang keluar dikenal juga OMSK aktif dan
OMSK tenang.1,2
Prinsip terapi OMSK adalah konservatif atau dengan medikamentosa serta operatif/pembedahan. Ada beberapa jenis pembedahan atau
teknik operasi yang dilakukan pada OMSK dengan mastoiditis kronik
baik tipe aman atau bahaya antara lain (1) mastoidektomi sederhana
(2) mastoidektomi radikal (3) mastoidektomi radikal dengan modifikasi (4) miringoplasti (5) timpanoplasti (6) timpanoplasti pendekatan
ganda (combined approach tympanoplasty).2
Tujuan utama dalam timpanoplasti pendekatan ganda (combined
approach tympanoplasty) adalah untuk membersihkan semua jaringan
patologis dimana anatomi dari meatus eksternus termasuk sulkus
timpani utuh. Kavum mastoid dibuka untuk menghindari sistem
aerasi yang tertutup. Aerasi dapat diperoleh dengan membersihkan
penyumbatan antara kavum timpani, antrum dan sistem sel mastoid.
Teknik timpanotomi posterior diperkenalkan oleh penciptanya pada
akhir tahun 1950 di mana hasilnya baik pada tulang temporal. Ini dapat
dilakukan dengan penipisan yang luas pada dinding posterior dalam
rongga mastoid sehingga dapat mengevaluasi semua bagian dari telinga tengah.3

Patogenesis OMSK4,5
Pada saat ini patogenesis otitis media supuratif kronis (OMSK) tetap
tidak diketahui. Kemungkinan besar proses primer terjadi pada sistem
tuba Eustachius, telinga tengah dan sel mastoid. Proses ini khas mempunyai aktivitas derajat rendah, tidak jelas tampak dan menetap, berakibat hilangnya sebagian membran timpani sehingga memudahkan

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

proses menjadi lebih kronis.


Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit infeksi telinga tengah
supuratif menjadi kronis sangat bervariasi, antara lain:
1. Gangguan fungsi tuba Eustachius yang kronis akibat:
a. infeksi hidung dan tenggorok yang kronis atau berulang,
b. obstruksi anatomik tuba Eustachius parsial atau total.
2. Perforasi membran timpani yang menetap.
3. Terjadinya metaplasia skuamosa atau perubahan patologik
menetap lainnya pada telinga tengah.
4. Obstruksi menetap terhadap aerasi telinga tengah atau rongga
mastoid. Hal ini dapat disebabkan oleh jaringan parut, penebalan
mukosa, polip, jaringan granulasi atau timpanosklerosis.
5. Terdapat daerah-daerah dengan sekuester atau osteomielitis persisten di mastoid.
6. Faktor-faktor konstitusi dasar seperti alergi, kelemahan umum
atau perubahan mekanisme pertahanan tubuh.
OMSK lebih sering merupakan penyakit kambuhan daripada
menetap. Keadaan kronis ini lebih berdasarkan waktu dan stadium
daripada keseragaman gambaran patologi. Ketidakseragaman ini disebabkan karena proses peradangan yang menetap atau kambuhan
ditambah efek kerusakan jaringan, penyembuhan dan pembentukan
jaringan parut. Secara umum gambaran yang ditemukan adalah:
1. Terdapat perforasi membran timpani di bagian sentral.
Ukurannya dapat bervariasi mulai kurang dari 20% luas membran
timpani sampai seluruh membran dan terkenanya bagian-bagian
dari anulus.
Dalam proses penyembuhan dapat terjadi pertumbuhan epitel skuamosa ke dalam telinga tengah. Pertumbuhan ke dalam ini dapat
menutupi tempat perforasi saja atau dapat mengisi seluruh rongga
telinga tengah. Kadang-kadang perluasan lapisan tengah ini ke daerah atik mengakibatkan pembentukan kantong dan kolesteatom
sekunder. Kadang-kadang terjadi pembentukan membran timpani
atrofik dua lapis tanpa unsur jaringan ikat. Membran ini cepat rusak
pada periode infeksi aktif.

MEDICINUS

Kata Kunci: OMSK, timpanoplasti

17

MEDICINUS

18

2. Mukosa bervariasi sesuai stadium penyakit.


Dalam periode tenang, kondisi akan tampak normal kecuali bila infeksi telah menyebabkan penebalan atau metaplasia mukosa menjadi epitel transisional.
Selama infeksi aktif, mukosa menjadi tebal dan hiperemis serta
menghasilkan sekret mukoid atau mukopurulen. Setelah pengobatan, penebalan mukosa dan sekret mukoid dapat menetap akibat
disfungsi kronik tuba Eustachius. Faktor alergi dapat juga meru
pakan penyebab terjadinya perubahan mukosa menetap. Pada sebagian kasus, penebalan mukosa terjadi karena iritasi fisik akibat
terpaparnya mukosa dengan dunia luar. Penebalan mukosa bisa
menutup seluruh rongga atik dan mastoid, yang mengakibatkan
terisinya ruangan ini dengan mukus. Dengan berjalannya waktu,
kristal-kristal kolesterin terkumpul dalam kantong mukus, membentuk granuloma kolesterol. Proses ini bersifat iritatif, menghasilkan granulasi pada membran mukosa dan infiltrasi sel datia pada
cairan mukus kolesterin. Proses ini juga dapat terlihat dalam telinga tengah pada otitis media sekretoria kronik.
Dalam penyembuhan, mukosa dapat menunjukan perubahan
menjadi timpanosklerosis, yang terdiri dari formasi lempeng hialin amorf dalam submukosa, dengan bentuk bervariasi mulai dari
lapisan tipis sampai ke massa yang tebal. Pada stadium awal, mukosa tampak tebal dan seperti karet. Dengan berlanjutnya proses
penyembuhan, lempeng ini menjadi kekuningan dengan konsistensi seperti dempul. Suatu saat terjadi penimbunan garam
kalsium, membentuk massa sekeras tulang. Tempat predikleksi
proses ini adalah di daerah anulus membran timpani, khususnya
anterosuperior dan sekeliling tulang-tulang pendengaran. Proses
ini menyebabkan fusi atau fiksasi rangkaian tulang pendengaran
yang mengakibatkan tuli berat.
Mukosa juga dapat mengalami pembentukan jaringan granulasi
dan/atau polip. Proses ini berhubungan dengan adanya sekret
persisten atau infeksi aktif yang berlangsung lama. Pembentukan polip biasanya berhubungan dengan adanya epitel skuamosa
di telinga tengah. Massa ini dapat muncul keluar lewat perforasi
kecil, menghalangi sebagian drainase dan mengakibatkan penyakit
menjadi persisten.
3. Tulang-tulang pendengaran dapat rusak atau tidak, tergantung
pada beratnya infeksi sebelumnya.
Biasanya prosesus longus inkus telah mengalami nekrosis karena
penyakit trombotik pada pembuluh darah mukosa yang memperdarahi inkus ini. Nekrosis lebih jarang mengenai maleus dan stapes,
kecuali kalau terjadi pertumbuhan skuamosa secara sekunder ke
arah dalam sehingga arkus stapes dan lengan maleus dapat rusak.
Proses ini bukan disebabkan oleh osteomielitis tetapi disebabkan
oleh terbentuknya enzim osteolitik atau kolagenase dalam jaringan
ikat subepitel.
4. Tulang Mastoid.
OMSK paling sering berawal pada masa anak-anak. Pneumatisasi
mastoid paling aktif terjadi antara 5 - 10 tahun. Bila infeksi kronik terus berlanjut mastoid mengalami proses sklerotik, sehingga
ukuran prosesus mastoid berkurang. Antrum menjadi lebih kecil
dan pneumatisasi terbatas, hanya ada sedikit sel udara saja sekitar
antrum.

Indikasi3
Teknik operasi timpanoplasti dengan pendekatan ganda (combined
approach tympanoplasty) dikerjakan pada kasus OMSK tipe bahaya
atau OMSK tipe aman dengan jaringan granulasi yang luas. Tujuan
operasi adalah untuk menyembuhkan penyakit serta memperbaiki
pendengaran tanpa melakukan teknik mastoidectomy radikal (tanpa
meruntuhkan dinding posterior liang telinga) antara lain pada penyakit kronik telinga tengah, otomastoiditis kronik dengan jaringan
granulasi atau kolesterol granuloma, tumor pada telinga tengah dan
mastoid, otitis media seromucin yang gagal dengan pemasangan pipa
Grommet, dekompresi saraf facialis.

Kontraindikasi3,6,7
Teknik operasi ini pada OMSK tipe maligna belum disepakati oleh para
ahli karena sering terjadi kambuhnya kolesteatoma kembali. Pada kebanyakan kasus tumor ganas pada meatus merupakan kontraindikasi.
Fistula pada sistem Kanalis semisirkularis harus dipertimbangkan.

Gambar 3. Batas timpanotomi posterior7

Laporan Kasus
Seorang anak berumur 9 tahun datang dengan keluhan keluar cairan
dari telinga kanan yang berwarna kekuningan tidak berbau yang dikeluhkan sejak umur 4 tahun yang hilang timbul dengan disertai penurunan pendengaran pada telinga kanan. Riwayat demam (-), otalgia (-),
tinitus (-), cephalgia (-), vertigo (-), paresa pada wajah (-).
Keluhan pada hidung dan tenggorokan disangkal.
Pemeriksaan fisis
Keadaan umum: Baik/ gizi cukup/ kompos mentis
Otoskopi:
Kanan: MAE dalam batas normal, membran timpani perforasi sedang,
mukosa kavum timpani hiperemis, sekret (+) mukopurulen, jaringan
granulasi (-)
Kiri: MAE dalam batas normal, membran timpani utuh, pantulan cahaya (+), sekret (-)
Rinoskopi: Konka normal, mukosa normal, sekret (-)
Faringoskopi: T1/T1 tenang, mukosa dorsal faring normal
Pemeriksaan penunjang
Tes garputala:
- R +
W
SN
Tes Audiometri:
Kanan: Tuli konduktif ringan (38,3 dB)
Kiri: Pendengaran normal (18 dB)
Patch test:
Kanan/pendengaran normal (30 dB)
Tes fungsi tuba (+)

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

MEDICINUS

Tes fistula: Vertigo (-) nistagmus (-)


Tes keseimbangan:
tes Manns: Tidak ada kelainan
tes Romberg: Tidak ada kelainan
tes Stepping: Tidak ada kelainan
Laboratorium : Dalam batas normal
Foto thoraks: Dalam batas normal
CT scan Mastoid potongan axial:
- tampak perselubungan pada rongga telinga tengah dengan air
cell mastoid kanan berkurang
- osikel telinga kanan intak
- struktur telinga dalam intak
- telinga kiri: struktur telinga dalam, osikel, dan pneumatisasi
mastoid dalam batas normal
Kesan: Otomastoiditis kanan

19

Diagnosa kerja: Otitis media supuratif kronik dekstra


Tindakan: Timpanomastoidektomi tipe 1 dengan pendekatan ganda
Laporan operasi:
- pasien baring dalam posisi supine di bawah pengaruh anastesi
umum.
- dilakukan insisi retroaurikuler sampai tampak fasia temporalis, lapisan fasia temporalis profunda dielevasi dan diambil untuk graft.
- dilakukan insisi H pada periosteum kemudian dielevasi.
- identifikasi spine of henle, linea temporalis serta segitiga Mc-ewen.
- pahat korteks mastoid lalu diperdalam dengan bor sampai tampak
antrum jaringan granulasi (+) dibersihkan, evaluasi diperluas
sampai epitimpanum jaringan granulasi (+) dibersihkan.

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

Bebaskan kulit dinding posterior MAE D/ maleus utuh, mobile


(+), kavum timpani kosong, muara tuba terbuka. Identifikasi Processus Brevis Inkus utuh, mobile(+) tampak jaringan granulasi
di sekitar inkus yang menutupi additus ad antrum, aerasi tidak ada
coba bersihkan jaringan granulasi, aerasi tetap tidak ada.

-
-

Pasang drain serta masukkan tampon antibiotik, tutup luka insisi.


Operasi selesai.

MEDICINUS

Perawatan hari 1

20

-
-

buat timpanotomi posterior pada ressesus fasialis dengan Diamond


Burr Kanalis fasialis pars mastoid terkikis, saraf facialis terpapar
tetapi tetap utuh (tidak putus).
antrum dan kavum timpani sudah terhubung aerasi baik dan
lancar.
tandur graft diletakkan secara overlay.

KU: Baik

Instruksi perawatan:

N: 100x/menit, P: 24x/menit,
S: 37 C

- awasi tanda vital dan perdarahan

Perdarahan (-), Parese fasialis


perifer (-)

- IVFD RL: Dex 5%=1:1=18 tts/


mnt

Cephalgia (+) Vertigo (-)

- Inj. Cefotaxime 500 mg/12


jam/hari

Mual/muntah (-)

- Inj. Dexamethasone 2,5 mg/8


jam/hari
- Inj. Ulsikur 100 mg/8 jam/hari
- Inj. Antrain 25 mg/8 jam/hari

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

KU: Baik

Instruksi perawatan:

N: 100x/menit, P: 24x/menit,
S: 37C

- awasi tanda vital dan perdarahan

Perdarahan (-), Parese facialis


perifer(-)

- Aff drain, ganti verband

Cephalgia (-) Vertigo (-)

- IVFD RL: Dextrosa 5%=


1:1= 18 tts/mnt

Luka insisi baik, tanda infeksi (-)

- Inj. Cefotaxime 500 mg/12jam/


hari
- Inj. Dexamethasone 2,5 mg/8
jam/hari
- Inj. Ulsikur 100 mg/8 jam/hari
- Inj. Antrain 25 mg/8 jam/hari

Perawatan hari ke 5
KU: Baik

Instruksi perawatan :

N: 100x/menit, P: 24x/menit,
S: 37C

- Aff infus, ganti oral

Parese facialis perifer(-)


Cephalgia (-)

- Ganti verband

Luka insisi baik, tanda infeksi (-)

- Cefadroxil tab 3x250 mg


- Methylprednisolone 3x2 mg
- Asam mefenamat 3x250 mg
- Boleh pulang, kontrol di poli
THT

Diskusi
OMSK merupakan penyakit telinga tengah yang sering ditemukan pada
anak-anak dan tidak jarang menyebabkan gangguan fungsi pendengaran yang permanen. Pada kasus OMSK yang tidak berespon terhadap
pengobatan perlu ditelusuri faktor predisposisi yang menyebabkan
kekambuhan penyakit, seperti gangguan fungsi tuba yang kronik, perforasi membran timpani yang menetap, aerasi kavum timpani-kavum
mastoid yang menetap akibat jaringan granulasi, kolesteatoma.
Dilaporkan satu kasus, anak laki-laki 9 tahun dengan keluhan otore
kronik sejak 5 tahun yang lalu, hilang timbul. Penderita mempunyai riwayat berobat sebelumnya, dari anamnesis dan pemeriksaan fisis THT
tidak ditemukan faktor predisposisi seperti yang disebutkan di atas,
kecuali terdapatnya perforasi yang menetap.
Pemeriksaan audiometri pure tone, didapatkan telinga kanan tuli
konduktif ringan (38,3 dB) dan kiri normal. Hal ini menunjukkan terdapat gangguan fungsi konduksi telinga tengah akibat perforasi ukuran sedang dan kemungkinan besar rantai ossikula masih utuh. Tidak
ditemukan adanya gangguan keseimbangan, gangguan fungsi tuba
dan tes fistula negatif.
Pemeriksaan radiologi, foto polos mastoid tampak kesan mastoiditis kronik kanan dan CT-scan mastoid potongan axial tampak
perselubungan pada rongga telinga tengah dengan air cell mastoid
kanan berkurang tanpa tanda-tanda destruksi tulang di sekitarnya.
Dari pemeriksaan tersebut dapat disimpulkan diagnosis penderita
ini adalah OMSK tipe benigna. Oleh karena itu penatalaksanaan terbaik pada kasus ini adalah pembedahan dengan tujuan utama untuk
eradikasi penyakit dan sebisa mungkin tetap mempertahankan pendengaran karena ambang pendengarannya tuli konduktif ringan.
Durante operationem didapatkan jaringan granulasi pada antrum
mastoid, meluas ke epitimpanum di sekitar inkus yang menutupi
aditus ad antrum sehingga aerasi tidak ada. Jaringan granulasi dibersihkan namun aerasi tetap tidak ada sehingga diputuskan untuk dilakukan timpanotomi posterior. Pada saat melakukan prosedur tersebut

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

OMSK merupakan penyakit


telinga tengah yang sering
ditemukan pada anak-anak dan
tidak jarang menyebabkan
gangguan fungsi pendengaran
yang permanen. Pada kasus
OMSK yang tidak berespon
terhadap pengobatan perlu
ditelusuri faktor predisposisi
yang menyebabkan kekambuhan
penyakit.
kanalis facialis terpapar, namun saraf facialis tetap utuh, sehingga tidak
perlu dilakukan reanimasi saraf fasialis. Kemudian dilakukan pemasangan graft fascia temporalis profunda secara overlay.
Pasca operasi, penderita sadar baik, komplikasi pasca operasi
berupa perdarahan, parese saraf fasialis perifer dan vertigo tidak ada,
terapi antibiotik, analgetik dan antiinflamasi diberikan per injeksi kemudian dilanjutkan terapi oral.
Keberhasilan operasi timpanomastoidektomi ditentukan oleh
dua hal utama, yaitu viabilitas dari graft dan perbaikan pendengaran pasca operasi yang diukur tiga bulan pasca operasi. Pada kasus
ini kami menyimpulkan bahwa operasi dan perawatan pasca operasi
berjalan baik.

Kesimpulan
OMSK merupakan penyakit telinga tengah yang dapat menyebabkan
komplikasi berupa gangguan fungsi pendengaran yang permanen
yang apabila tidak ditangani dengan baik dapat mengancam jiwa penderita jika perluasan penyakit ke intraranial.
Pemeriksaan radiologi, foto polos mastoid dan CT-Scan mastoid
potongan axial pre operasi sangat penting dalam mendeteksi perluasan penyakit dan dalam merencanakan tindakan terbaik yang akan
dilakukan untuk kesembuhan penderita.
Penatalaksanaan pada kasus ini adalah combined approach tympanoplasty yang bertujuan untuk eradikasi penyakit dan tetap mempertahankan pendengaran.
Daftar Pustaka
1. Helmi. Otitis media supuratif kronik. Dalam: Helmi, Otitis Media Supuratif Kronik Pengetahuan Dasar, Terapi Medik, Mastoidektomi, Timpanoplasti.
Jakarta:Balai Penerbit FKUI,2005.p.55-69
2. A Zainul, Djaafar, Helmi. Kelainan telinga tengah. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Ke-sehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi keenam.
Jakarta:Balai Penerbit FKUI, 2007.p.64-77
3. Jansen CW. Combined approach tympanoplasty. In: Ballantyne JC. Operative
Surgery Ear. 4th edition. United Kingdom:Butterworths, 1986.p.91-101
4. Ballenger JJ. Anatomi dan embriologi telinga. Dalam: Penyakit Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher. Jilid dua, Edisi 13. Jakarta Barat:Binarupa
Aksara,1997.p.101-51
5. Ballenger JJ. Penyakit telinga kronis. Dalam: Penyakit Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher. Jilid dua, Edisi 13. Jakarta Barat:Binarupa
Aksara,1997.p.392-403.
6. A Zainul, Djaafar, Helmi. Komplikasi otitis media supuratif. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Ke-6.
Jakarta:Balai Penerbit FKUI, 2007.p.78-86
7. Bennet M, Warren F, Haynes D. Indications and technique in mastoidectomy.In: Otolaryngologic Clinics of North America. USA:Elsevier Saunders Inc,
2006.p.1095-112

MEDICINUS

Perawatan hari 3

21

medical review

Yaya Rukayadi* dan Jae Kwan Hwang**

MEDICINUS
MEDICINUS

* Natural Products and Biomaterials Lab., Department of Biotechnology, College of Engineering,


Yonsei University, Republic of Korea; Biopharmaca Research Center, Bogor Agricultural University, Indonesia
** Natural Products and Biomaterials Lab., Department of Biotechnology, College of Engineering,
Yonsei University, Republic of Korea

22

Abstract. Quorum sensing (QS) is a process that enables bacteria to communicate using secreted signaling molecules called
autoinducer. This process enables a population of bacteria to regulate gene expression. Link between QS and virulence factors
as well as the formation of biofilms have been established for a number of important pathogenic bacteria, suggesting that
interference with these signaling circuits might be therapeutically useful. There are two broad strategies for the control of
bacterial infection: kill the organism or attenuate its pathogenicity using inhibiting bacterial QS systems. The major concern
with the first approach is the frequently observed development of resistance to antimicrobial compounds. Hence, the identification of antagonistic molecules to block QS systems (anti-QS) would be of great interest as therapeutic measures against
bacterial infection; additionally, the combination of anti-QS with traditional antibiotics may reduce either the required dosage
of antibiotics or duration of therapy. The application of anti-QS may potentially be useful in inhibiting the growth or virulence
mechanisms of bacteria in different environments. It is important that pharmacist has an awareness and an understanding of
the mechanisms involved in bacterial QS, since strategies targeting QS may offer a means to control the growth of pathogenic
bacteria in new drug (antibiotic) design.
Abstrak. Quorum sensing (QS) merupakan suatu proses yang memungkinkan bakteri dapat berkomunilasi dengan mengsekresikan molekul sinyal yang disebut autoinduser. Proses ini memungkinkan suatu populasi bakteri dapat pengatur suatu
ekspresi gen tertentu. Ekspresi faktor-faktor virulen dan pembentukan biofilm pada sejumlah bakteri patogen penting dikendalikan oleh proses QS, hal ini mengisyaratkan bahwa campur-tangan pada proses QS sangat berguna pagi pengobatan. Ada
dua strategi utama untuk mengontrol infeksi bakteri yaitu membunuh bakteri itu dan menurunkan derajat patogennya dengan
menggunakan penghambatan QS. Akan tetapi, strategi yang pertama sering kali menimbulkan resistensi bakteri terhadap senyawa antimikroba. Jadi, identifikasi molekul antagonis yang dapat memblokir proses QS (anti-QS) merupakan hal yang sangat
menarik untuk melawan infeksi bakteri. Sebagai tambahan, kombinasi antara anti-QS dengan antibiotik kemungkinan akan
menurunkan dosis dan lama pengobatan. Penggunaan anti-QS diharapkan dapat digunakan untuk penghambatan pertumbuhan dan mekanisme virulensi pada bakteri di lingkungan yang berbeda. Memahami proses QS dan anti-QS sangat penting bagi
ahli farmasi, sebab dengan memahami pendekatan proses QS dan anti-QS ini akan memberikan peluang dan kerangka kerja
baru untuk mendisain obat baru.

Pendahuluan
Istilah quorum sensing (QS) pertama kali diperkenalkan oleh Profesor
Clay Fuqua pada tahun 1994.1 QS digunakan untuk menjelaskan komunikasi di antara sel-sel bakteri. Sebenarnya hal-hal yang berkaitan dengan QS sudah dilaporkan sebelumnya, misalnya Tomasz and Mosser
(1966) melaporkan bahwa bakteri Gram-positif, Streptococcus pneumoniae, menghasilkan molekul sinyal yang disebut sebagai competence factor, yang merupakan faktor pengendali pengambilan DNA dari alam
(natural transformation).2 Laporan lain, pada tahun 1970, dilaporkan
bahwa proses perpendaran cahaya (luminescence) pada bakteri Gramnegatif asal laut, Vibrio fischeri, diatur oleh sebuah molekul sinyal yang
dihasilkannya sendiri yang disebut autoinduser (AI).3 Molekul sinyal

tersebut berhasil diidentifikasi berupa N-3-oxo-hexanoyl-L-homoserine


lactone pada tahun 1981.4 Selanjutnya pada tahun 1983, gen penyandi
protein pengatur pengaktivasi transkripsi (protein R) dan penyandi
molekul sinyal AI (protein I) berhasil dikloning, gen tersebut disebut
gen lux, atau luxR-luxI yang menghasilkan protein LuxR-LuxI.5 Pada
awal tahun 1990-an, homologi luxR-luxI diteliti pada berbagai jenis
bakteri dan sistem sinyal LuxR-LuxI pada V. fischeri menjadi paradigma
baru untuk menjelaskan proses komunikasi di antara sel-sel bakteri.
Sejak tahun 1994, laporan ilmiah tentang QS meningkat tajam, menurut
data NCBI (National Center for Biotechnology Information) sampai awal
tahun 2009 terdapat 2074 laporan.
QS terjadi pada sejumlah bakteri, bakteri menghasilkan senyawa

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

Tabel 1. Beberapa contoh aktivitas atau fenotipik bakteri yang diatur oleh QS6,7
Spesies Bakteri
Aeromonas
hydrophila

Molekul Sinyal atau


Autoinduser (AI)
C4-HSL

Gen/Protein
Pengatur
ahyI-ahyR/
AhyI-AhyR

Aktivitas/
Fenotipik
- Pembentukan
biofilms, dan
produksi enzimenzim eksoprotease

Agrobacterium
tumefaciens

3-oxo-C8-HLS

traI-traR/TraITraR

- Konjugasi plasmid Ti

Bacillus subtilis

ComX pheromones
(a modified decapeptide) / CompetenceStimulating Factor (a
pentapeptide)

comX/ComX

- Pembentukan
kompeten sel,
sporulasi

Burkholderia
cepacia

C8-HSL

cepI-R/CepI-R

- Produksi
siderophore dan
eksoprotease

Chromobacterium
violacein

C6-HSL

cviI-cviR/CviICviR

- Produksi
eksoenzim, HCN,
violacein

Erwinia carotovora
subsps.
caratovora

3-oxo-C6-HSL

carI-carR/CarICarR
expI-expR/
ExpI-ExpR

- Produksi antibiotik carbapenem


dan eksoenzim

Pseudomonas
aeruginosa

Cd-HSL/3-oxo-C12HSL

lasI-lasR/LasILasR
rhlI-rhlI/RhlIRhlR

- Produksi
eksoenzim, HCN,
rhamnolipid dan
pembentukan
biofilms

Serratia
liquefaciens

C4-HSL

swrI-swrR/SwrISwrR

- Motilitas swarming, produksi


eksoprotease

Staphylococcus
aureus

Peptide thiolactones

agrBDCA/AgrBDCA

- Produksi eksotoksin, eksoenzim, protein A

Vibrio fischeri

3-oxo-C6-HSL

luxI-luxR/LuxILuxR

- Bioluminescence

Vibrio harveyi

3-hydroxy-C4-HSL

luxLM-luxN/
LuxLM-LuxN

- Bioluminescence

Yersinia pseudotuberculosis

3-oxo-C6-HSL/C8HSL

yesI-yesR/YesIYesR

- Motilitas dan
agregasi

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

Tabel 2. Spesies bakteri yang mempunyai QS yang diatur oleh LuxS atau AI-2
Spesies Bakteri

Aktivitas yang Diatur

Actinobacillus actinomycetemcomitans

- Virulensi, penambatan besi

Borrelia burgdorferi

- Ekspresi protein pleiotropik

Campylobacter jejuni

- Motilitas

Clostridium perfringens

- Produksi toksin

Escherichia coli W3110

- Pembelahan sel, motilitas dan metabolisma

Escherichia coli EHEC dan EPEC

- Sekresi virulensi tipe III

Neisseria meningitides

- Infeksi bakterimia

Photorhabdus luminescens

- Produksi antibiotik (carbapenem)

Porphyromonas ginggivalis

- Pembentukan biofilm, penambatan


heme, produksi protease

Salmonella typhi

- Pembentukan biofilm

Salmonella typhimurium

- Ekspresi transfor ABC

Shigella flexneri

- Transkripsi faktor-faktor yang berasosiasi dengan virulensi

Streptococcus mutans

- Pembentukan biofilm

Streptococcus pneumoniae

- Virulensi

Streptococcus pyogenes

- Ekspresi faktor-faktor virulen

Vibrio cholerae

- Ekspresi faktor-faktor virulen

Vibrio harveyi

- Luminescence, produksi protease,


sekresi tipe III, morfologi koloni,
produksi siderophore

Vibrio vulnificus

- Virulensi

Aktivitas QS pada bakteri sebenarnya merupakan suatu tanggapan


atau respon bakteri terhadap kondisi lingkungannya yang seringkali
berubah secara cepat. Respon tersebut sangat diperlukan guna menjaga kelestarian bakteri tersebut, atau dengan kata lain supaya bakteri
tersebut tetap survive. Respon tersebut bisa berupa adaptasi terhadap
keberadaan nutrisi, pertahanan melawan mikroorganisme lain yang
mungkin memiliki kesamaan nutrisi, dan menghindar dari senyawasenyawa toksik yang membahayakan bakteri tersebut.8
Meskipun QS juga terjadi pada sel eukariotik seperti Candida albicans,9 akan tetapi artikel ini hanya membahas QS pada bakteri saja.
Bahasan artikel ini terdiri dari: (1) pendahuluan yang membahas tentang sekilas sejarah QS serta pengertian QS sendiri, seperti yang telah
dijelaskan di atas; (2) autoinduser (AI), membahas tentang macammacam AI serta sumber dan kegunaannya; (3) mekanisme umum
quorum sensing, yang ditekankan hanya pada mekanisme QS yang
melibatkan AI-1 dan AI-2; (4) QS hubungannya dengan patogenisitas
bakteri, yang membahas bahwa patogenisitas sejumlah bakteri patogen
diatur oleh QS; (5) pencegahan QS, yang membahas tentang peluang
penghambatan QS; (6) potensi disain anti-QS, yang membahas tentang
beberapa kemungkinan untuk disain anti-QS sebagai obat baru; dan (7)
penutup, berupa rangkuman dan pandangan tentang potensi Indonesia yang memungkinkan sebagai sumber pencarian anti-QS. Selain itu,
dalam artikel ini, bahasan QS lebih ditekankan kepada QS hubungannya dengan infeksi bakteri.

Autoinduser (AI)
Autoinduser (AI) merupakan molekul sinyal yang disekresikan, kemudian diakumulasikan, selanjutnya diserap kembali dan dikenali oleh
bakteri pada saat proses QS terjadi. AI dapat dikategorikan menjadi
empat yaitu: (i) turunan asam lemak, pada umumnya berupa N-acyl
homoserine lactones (AHLs), dihasilkan oleh bakteri Gram-negatif, serta
digunakan untuk komunikasi dalam spesies yang sama (intraspecies
communication among Gram-negative bacteria), AI ini dikenal sebagai
AI-1; (ii) rangkaian asam amino atau peptide pendek atau oligopep-

MEDICINUS

berberat molekul rendah yang disebut autoinduser (AI) atau pheromones bakteri, senyawa AI-lah yang menjadi sinyal komunikasi pada
bakteri. AI umumnya bersifat khusus untuk spesies bakteri tertentu.
AI tersebut dilepaskan ke luar sel sehingga dapat dikenali oleh sel yang
lainnya yang sama-sama menghasilkan AI. Selama proses tersebut, terjadi akumulasi AI diluar sel dan tentu saja akumulasi AI sejalan dengan
penambahan densitas atau kerapatan sel bakteri. Bila jumlah selnya telah mencapai kepadatan tertentu atau mencapai quorum tertetu, maka
AI akan diserap kembali kedalam sel dan membentuk kompleks dengan protein pengatur pengaktivasi transkripsi. Kompleks antara AI
dengan protein pengatur pengaktivasi transkripsi akan mengaktifkan
tersekspresinya gen-gen penyandi tertentu, misalnya gen penyandi
bioluminescence, berbagai enzim, konjugasi, sporulasi, pembentukan
sel kompeten, pembentukan biofilm, faktor-faktor virulen, antibiotik,
simbiosis, dan lain sebagainya.6,7 Jadi, QS bisa diartikan sebagai suatu
pengaturan ekspresi gen atau aktivitas atau tingkah laku atau fenotipik
bakteri yang bergantung kepada jumlah populasi bakteri tersebut dan
akumulasi AI-nya. Sejumlah aktivitas bakteri yang diatur oleh proses
QS disajikan pada Tabel 1.6,7

23

tida, dihasilkan oleh bakteri Gram-positif, umumnya digunakan untuk komunikasi dalam spesies yang sama (intraspecies communication,
among Gram-positive bacteria), dan juga dikelompokan ke dalam AI-1;
(iii) furanocyl borate diester, dihasilkan oleh bakteri Gram-negatif dan
Gram-positif, serta digunakan untuk komunikasi antar spesies (interspecies communication) baik sesama Gram-negatif atau Gram-positif
atau antara Gram-positif dengan Gram-negatif dan sebaliknya, AI
ini dikelompokan ke dalam AI-2; dan (iv) autoinducer-3 (AI-3), strukturnya belum diketahui, digunakan untuk komunikasi silang dengan
epinephrine (suatu sistem sinyal sel-inang mamalia), AI-3 dilaporkan
terdapat pada Eschericia coli O157:H7.10,11,12 Selain itu, ada juga sistem
AI yang lain yang belum jelas struktur dan mekanismenya.7 Sejumlah
contoh AI disajikan pada Gambar 1.13

MEDICINUS

Gambar 2. Mekanisme QS pada bakteri Gram-negatif6

24
Gambar 3. Mekanisme QS pada Vibrio fischeri15

Gambar 1. Beberapa contoh autoinduser (AI) dari beberapa spesies bakteri: (a) beberapa turunan acyl-homoserine lactone (AHL) dari sejumlah bakteri Gram-negatif;
(b) oligo peptide dari sejumlah bakteri Gram-positif; (c) g-butryolactones dari Streptomyces griseus; dan (d) AI -2 dari Vibrio harveyi dan Salmonella typhymurium13

Mekanisme Umum Quorum Sensing


Ada tiga komponen penting dalam pengaturan QS pada bakteri yaitu
(i) sintesa molekul sinyal atau sintesa AI, (ii) akumulasi molekul sinyal,
dan (iii) pengenalan molekul sinyal.14
1. QS pada bakteri Gram-negatif
QS pada bakteri Gram-negatif melibatkan dua komponen gen/
protein pengatur yaitu protein R dan protein AI. Molekul sinyal
atau AI yang diproduksi oleh sel-sel secara individu tidak berpengaruh apa-apa terhadap transkripsi gen target, baru akan
berpengaruh jika telah mencapai jumlah minimal tertentu (mencapai quorum tertentu). Dengan kata lain, jika densitas populasi
sel rendah maka konsentrasi AI yang dihasilkan juga rendah,
pada kondisi non-quorum ini konsentrasi AI belum cukup untuk
mengaktifkan protein R, sehingga akan terjadi proses akumulasi
AI yang sejalan dengan penambahan jumlah populasi bakteri.
Akan tetapi jika populasi atau densitas sel telah mencapai jumlah
minimal atau quorum tertentu, maka AI yang dihasilkan juga akan
cukup untuk mengaktifkan protein R, pada kondisi quorum ini,
AI akan membentuk kompleks dengan protein R, kompleks AIprotein R ini akan mengaktifkan terjadi transkripsi dan translasi
gen pada gen target (Gambar 2).6 Contoh umum QS pada bakteri
Gram-negatif adalah proses bioluminescence pada V. fischeri (Gambar 3).15

2. QS pada bakteri Gram-positif


Berbeda dengan bakteri Gram-negatif, bakteri Gram-positif menggunakan senyawa oligopeptida sebagai sinyal komunikasi.13 Selain
itu juga melibatkan dua komponen sensor berupa histidin kinase
yang terikat pada membran sel, sensor histidin kinase tersebut berfungsi sebagai reseptor.13 Sebagai contoh, QS pada Staphylococcus
aureus (Gambar 4).13 QS pada S. aureus diatur oleh sinyal komunikasi yang disebut autoinducing peptide atau AIP dan dua sensor kinase
berupa protein AgrB dan AgrC, yang masing-masing dikodekan
oleh gen agrB dan agrC. Gen argD akan mengekspresikan protein
AgrD, protein AgrD ini diekspor keluar membran melalui sensor
kinase AgrB pada membran, selain itu protein AgrB juga akan menambahkan cincin thiolactone pada AgrD dan memodifikasi protein tersebut sehingga membentuk autoinducing peptide (AIP) yang
merupakan peptida siklik. Selanjutnya AIP akan dikenali oleh
sensor kinase kedua yaitu AgrC sehingga membentuk kompleks
AgrC-AIP. Kompleks AgrC-AIP akan memfasilitasi terjadinya fosforilasi pada protein AgrA sehingga terbentuk AgrA~P, akibatnya
AgrA berada dalam keadaan aktif. AgrA~P akan menginduksi
terekspresinya gen regulator RNA yang disebut RNAIII. RNAIII
ini akan menekan ekspresi faktor-faktor pelekatan sel dan akan
menginduksi ekspresi faktor-faktor sekresi. AgrA~P atau AgrA
yang teraktivasi ini juga akan menginduksi ekspresi gen agrBDCA.
Proses ini akan meningkatkan jumlah AIP sejalan dengan pertambahan jumlah sel sehingga membentuk suatu quorum.13

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

atau bersamaan, seperti pada V. harveyi dan Bacillus subtilis (Gambar 5).18 Sistem QS yang melibatkan AI-1 dan AI-2 sering di-sebut
juga QS hibrid.

Gambar 4. Mekanisme QS pada bakteri Gram-positif, Staphylococcus aureus. P2 dan P3 masing-masing merupakan promotor untuk gen agrBDCA

3 QS yang melibatkan AI-2


QS yang melibatkan AI-1 (AHSL dan oligopeptida) terjadi pada
kebanyakan bakteri yang sama spesiesnya. Akan tetapi AI-1 tidak cukup memadai jika bakteri dalam kondisi multispesies atau
dalam komunitas tertentu yang terdiri dari berbagai spesies yang
berbeda.12 Sejumlah bakteri baik Gram-negatif ataupun Gram-positif, memiliki tambahan sinyal komunikasi lain yaitu AI-2. Berbeda
dengan AI-1 yang berfungsi sebagai alat komunikasi antar spesies yang sama, AI-2 ini berfungsi sebagai alat komunikasi antar
spesies yang berbeda jenis. Bagi bakteri yang hidup dalam suatu
komunitas populasi yang beragam, misalnya pada multi-spesies biofilms, AI-2 tidak hanya berguna untuk merespon akibat perubahan
jumlah densitas pada spesies yang sama, akan tetapi juga dapat digunakan untuk merespon jumlah densitas spesies lain yang hadir
dalam komunitas tersebut.16

Gambar 5a. QS hibrid pada Vibrio harveyi8

Pada V. harveyi, sintesa AI-2 tergantung kepada sintesa protein LuxS


yang disandikan oleh gen luxS. Homologi gen luxS terdapat pada
berbagai bakteri Gram-negatif ataupun Gram-positif (Tabel 2).17
Artinya bakteri-bakteri yang terdapat pada Tabel 2 tersebut dapat
berkomunikasi dengan spesies lainnya dengan menggunakan AI-2
sebagai sinyal komunikasinya, sehingga AI-2 ini disebut juga sebagai bahasa umum atau bahasa universal pada bakteri. Pada
kenyataannya, sering kali bakteri melakukan QS secara berseri atau
secara paralel yang melibatkan AI-1 dan AI-2 secara bergantian

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

Gambar 5b. QS hibrid pada Bacillus subtilis18

QS Hubungannya dengan Patogenisitas Bakteri


Tabel 1 dan 2 menyajikan sejumlah aktivitas bakteri yang dikendalikan
oleh sistem QS. Dari Tabel tersebut bisa dilihat bahwa sejumlah proses
patogenitas bakteri patogen manusia dikendalikan oleh QS, misalnya
ekspresi gen-gen yang terlibat dalam virulensi, pembentukan biofilm,
serta resistensi terhadap suatu antimikroba. Jadi jelas terjadi hubungan
kuat antara QS dengan terjadinya penyakit infeksi bakteri.
Salah satu yang paling populer adalah patogenisitas pada Pseudomonas aeruginosa penyebab cystic fibrosis.19 QS pada P. aeruginosa dikendalikan oleh dua AI-1 yaitu N-(3-oxododecanoyl)-L-homoserine lactone
(OdDHL) yang mengatur ekspresi elaste, eksotoksin A, protein LasA,
protease alkalin, neuraminidase, serta sekresi protein dan kedua adalah
N-butanoyl-L-homoserine lactone (BHL) yang mengatur ekspresi protease
alkalin, elastase, haemolysin, pyocyanin, cyanida (HCN), aktivitas staphylolytic, lectins, chitinase serta sekresi protein, kesemuanya itu merupakan
faktor virulensi yang terlibat dalam patogenisitas P. aeruginosa.20
Biofilm merupakan sebuah komunitas mikroorganisme baik sejenis ataupun berlainan jenis yang menempel pada suatu permukaan.
Biofilm menyebabkan lebih dari 80% penyakit infeksi dan lebih kurang
dari 65% infeksi nosokomial disebabkan oleh mikroorganisme yang
berkembang dalam biofilm.21,22 Sejumlah penyakit infeksi yang disebabkan atau dipengaruhi oleh pembentukan biofilm adalah plak gigi
dan dental caries, periodontitis, cystic fibrosis pneumonia, infective endocarditis, muscle skeletal infections, necrotizing fasciitis, osteomielitis, meloidosis, infectious kidney stones, bacterial endocarditis, airway infections, otitis
media, biliary tract infections, chronic bacterial prostatitis dan infeksi yang
disebabkan karena adanya kontak dengan alat-alat kesehatan seperti
intravenous catheters, artificial joints dan contact lenses. Penelitian selanjutnya, dilaporkan bahwa hampir semua biofilm bakteri dikendalikan
oleh sistem QS dan berhubungan dengan terjadinya penyakit infeksi.23

Pencegahan Quorum Sensing (QS)


Pada umumnya orang dapat menggunakan antibiotik untuk mengendalikan penyakit infeksi bakteri. Akan tetapi, seringkali menyebabkan
resistensi pada bakteri tersebut, apalagi kalau patogen itu membentuk
biofilm yang sukar ditembus oleh antibiotik karena terlindungi oleh

MEDICINUS

dan RNAIII13

25

extracellular polymeric
substance (EPS). Dengan memahami proses
QS, maka kita dapat
mengembangkan cara
pengendalian bakteri
yang tidak selalu berbasis antibiotik, yaitu
dengan cara pendekatan pencegahan QS.
Sebenarnya bakteri
patogen tidak menghasilkan faktor-faktor
virulen yang pada
gilirannya tidak menimbulkan
infeksi,
jika bakteri patogen
itu populasi atau
densitasnya tidak mencapai quorum tertentu. Dengan demikian, pencegahan QS berarti juga mencegah bakteri berkumpul atau ber-quorum,
artinya kita tidak berusaha memberantas atau membunuh bakteri itu
selama bakteri itu hidup berdampingan tanpa menimbulkan penyakit.
Pencegahan QS ditujukan untuk merusak sistem komunikasi bakteri
sehingga massa bakteri tidak berkumpul. Dengan mencegah bakteri
untuk tidak berkumpul diharapkan faktor-faktor virulensi pada bakteri
tidak terekspresi, atau paling tidak kita berusaha menurunkan derajat
virulensi suatu patogen sehingga tidak menimbulkan infeksi atau penyakit.
Pencegahan QS dapat dilakukan dengan cara penggunaan senyawa atau molekul tertentu yang dapat mencegah terjadinya QS atau
merusak QS yang sudah terjadi. Senyawa atau molekul yang bisa
memblok atau merusak sistem QS disebut anti-QS. Sejumlah senyawa
anti-QS telah banyak dilaporkan baik yang diisolasi dari alam ataupun yang dibuat secara sintetis, misalnya senyawa sintetis analog dari
AI dan furanone yang diisolasi dari alga merah (Delisea pulchra).24,25 Artikel terbaru dan relatif lengkap tentang sejumlah senyawa yang dapat
menghambat atau bersifat antagonistik terhadap QS dilaporkan oleh
Ni et al.26
Senyawa anti-QS dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (1) senyawa pendegradasi atau degradator, adalah golongan senyawa-senyawa yang dapat mendegradasi AI atau komponen pengatur QS lainnya, golongan ini biasanya adalah enzim, misalnya enzim laktonase
yang bisa mendegradasi sennyawa AHL; (2) senyawa antagonis; dan
(3) senyawa kompetitor, adalah senyawa-senyawa yang dapat berkompetisi dengan AI membentuk kompleks dengan protein R atau LuxR,
senyawa analog AI termasuk ke dalam kelompok ini. Skema umum
mekanisme pencegahan QS oleh anti-QS disajikan pada Gambar 6.

MEDICINUS

Dengan memahami
proses QS, maka kita
dapat mengembangkan
cara pengendalian
bakteri yang tidak selalu
berbasis antibiotik, yaitu
dengan cara pendekatan
pencegahan QS.

26

Gambar 6b. Skema umum pencegahan QS kompetisi

Gambar 6c. Skema umum pencegahan QS antagonis

Gambar 6 (a) senyawa AI didegradasi oleh senyawa degradator


(misalnya enzim laktonase), akibatnya tidak terjadi kompleks AILuxR, sehingga tidak terjadi transkripsi gen target. Pada Gambar
6 (b), senyawa kompetitor akan bersaing dengan AI untuk membentuk kompleks AI-LuxR, jika senyawa kompetitor atau senyawa
analog AI menang maka akan terjadi kompleks analog AI-LuxR,
akan tetapi kompleks ini tidak dikenali oleh gen target akibatnya
tidak terjadi transkripsi gen target. Sedangkan pada Gambar 6 (c),
senyawa antagonis, senyawa antagonis akan mengkelat senyawa
AI sehingga AI tidak dikenali lagi oleh protein LuxR, atau jika
senyawa antagonis berikatan dengan protein LuxR akan mengakibatkan melawan kerja LuxR secara berlawanan atau antagonistik,
akibatnya kompleks senyawa antagonis dengan LuxR tidak dapat
menempel pada gen target yang pada akhirnya tidak terjadi transkripsi pada gen target tersebut.

Potensi Disain Anti-QS

Gambar 6a. Skema umum pencegahan QS degradasi senyawa AI

Fenomena QS yang sangat erat hubungannya dengan terjadinya


penyakit infeksi bakteri ditambah dengan semakin meningkatnya
masalah resistensi pada sejumlah bakteri patogen, memberikan
kerangka kerja baru bagi para ahli yang bergerak dalam bidang
pencarian dan pembuatan obat baru. Gambar 7 merupakan contoh target yang berpotensi untuk disain pencarian atau pembuatan
anti-QS untuk obat.27 Sebenarnya, disain anti-QS bisa dimulai dari
tahapan sintesa AI, kita bisa melalukan penghambatan langsung
pada sintesa AHL atau AIP atau AI-2 misalnya dengan mendisain
senyawa yang dapat menghambat penggabungan asam lemak dengan acyl-ACP (acyl carrier protein). Bisa juga dilakukan pada tahap

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

Gambar 7. Target yang berpotensi untuk pencegahan QS27

Kesimpulan
Pengetahuan baru tentang QS memberikan strategi alternatif dalam
usaha manusia untuk mengendalikan bakteri patogen, baik itu patogen
pada manusia, hewan, dan tanaman. Sejumlah ahli dari berbagai laboratorium, baik di universitas-universitas maupun di lembaga-lembaga
penelitian lainnya, banyak melakukan penelitian QS yang ditekankan
pada pencarian senyawa baru yang dapat digunakan sebagai anti-QS
selanjutnya diharapkan untuk dapat digunakan sebagai obat baru.
Banyak perusahaan farmasi di luar negri, mengalokasikan sejumlah
dana untuk secara khusus meneliti QS ini dengan harapan dapat diperoleh bahan pengendali bakteri yang baru (anti-QS). Sejumlah kandidat senyawa anti-QS sudah banyak dilaporkan, akan tetapi baru
sebatas skala laboratorium. Sejauh pengetahuan penulis, sampai saat
ini, belum ada senyawa anti-QS yang benar-benar telah dikomersialkan dan aman digunakan oleh manusia seperti halnya obat antibiotik
umum yang ada dipasaran.
Sejalan dengan itu, dengan dikumandangkannya slogan kembali ke
alam (back to nature) dan menghindari efek samping kurang baik dari
penggunakan bahan-bahan kimia. Pencarian senyawa anti-QS juga diarahkan ke bahan alam (senyawa biologis), baik bahan alam asal darat
(terestrial) atau darat maupun bahan alam asal laut (marine). Indonesia
sebagai salah satu megabiodiversitas dunia mempunyai banyak kesempatan untuk berpartisipasi dalam pencarian senyawa biologis un-

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

tuk anti-QS. Dengan bahasan artikel ini diharapkan dapat mendorong


peneliti dan perusahaan farmasi Indonesia untuk turut serta dalam
pencarian senyawa biologis untuk anti-QS dari bahan alam asli Indonesia.
Daftar Pustaka
1. Fuqua WC, Winans SC, Greenberg EP. Quorum sensing in bacteria-the LuxRLuxI family of cell density-responsive transcriptional regulators. J Bacteriol
1994; 176(2):269-75
2. Thomasz A, Mosser JL. On the nature of the pneumococcal activator substance. Proc Natl Acad Sci USA 1966; 55:625-32
3. Nealson KH, Platt T, Hasting JW. Cellular control of the synthesis and activity
of the bacterial luminescent system. J Bacteriol 1970; 104(1):313-22
4. Eberhard A, Burlingame AL, Kenyon GL, et al. Structural identification of autoinducer of Photobacterium fischeri luciferase. Biochemistry 1981; 20:24449
5. Engebrecht J, Nealson K, Silverman M. Bacterial bioluminescence: isolation
and genetic analysis of functions from Vibrio fischeri. Cell 1983; 32:773-81
6. de Kievit TR, Iglewski BH. Bacterium quorum sensing in pathogenic relationships. Infect Immun 2000; 68(9):483949
7. Swift S, Downie JA, Whitehead NA, Barnard AML, Salmon GPC, Williams P.
Quorum sensing as a population-density-dependent determinant of bacterial
physiology. Adv Microb Physiol 2001; 45:199270
8. Miller MB, Bassler BL. Quorum sensing in bacteria. Annu Rev Microbiol 2001;
55:165-99
9. Kruppa M. Quorum sensing and Candida albicans. Mycoses 2009; 52(1):1-10
10. Whitehead PM, Barnard AML, Slater H, Simpson NJL, Salmond GPC. Quorumsensing in gram-negative bacteria. FEMS Microbiol Rev 2001; 25:365-404
11. Sperandio V, Torres AG, Giron JA, Kaper JB. Bacteria-host communications: the
language of hormones. Proc Natl Acad Sci USA 2003; 100:8951-6
12. Schauder S, Bassler BL. The languages of bacteria. Genes Dev 2001; 15:146880
13. Waters CM, Bassler BL. Quorum sensing: cell-to-cell communication in bacteria. Annu Rev Cell Dev Biol 2005; 21:319-46
14. Leonard BA, Podbielski A. Emerging density dependent control system in
gram-positive cocci. In: Dunny GM, Winans SC, editors. Cell-cell signaling in
bacteria. Washington, D.C: ASM Press; 1999.p.315-31
15. Brenner K, Haseltine E, Tracewell C. Genetic circuits and synthetic ecosystems:
Quorum sensing and genetic circuit design [on line] [cited 2009 Jan 29] 1(1):
[2 screens]. Available from: http://www.che.caltech.edu/groups/fha/quorum.
html
16. Taga ME, Semmelhack JL, Bassler BL. The LuxS-dependent autoinducer AI-2
controls the expression of an ABC transforter that functions in AI-2 uptake in
Salmonella typhimurium. Mol Microbiol 2001; 42:777-93
17. Federle MJ, Bassler BL. Interspecies communication in bacteria. J Clin Invest
2003; 112:12919
18. Henke JM, Bassler BL. Bacterial social engagements. TREND Cell Biol 2004;
16(11):649-56
19. Geisenberger O, Givskov M, Riedel K, Hiby N, Tummler B, Eberl L. Production
of N-acyl-L-homoserine lactones by P. aeruginosa isolates from chronic lung
infection associated with cystic fibrosis. FEMS Microbiol Lett 2000; 184:2738
20. Finch RG, Pritchard DI, Bycroft BW, Williams P, Stewart GSAB. Quorum sensing: a novel target for anti-infective therapy. J Antimicrob Chemother 1998;
42:569-71
21. Schachter B. Slimy businessthe biotechnology of biofilms. Nat Biotechnol
2003; 21:361-5
22. Douglas LJ. Medical importance of biofilms in Candida infections. Rev Iberoam.
Micol 2002; 19(3):139-43
23. Rice D, McDougald D, Kumar N, Kjelleberg S. The use of quroum-sensing
blockers as therapeutic agents for the control of biofilm-associated infections.
Curr Opin Investig Drugs 2005; 6(2):178-84
24. Smith KM, Bu Y, Suga H. Induction and inhibition of Pseudomonas aeruginosa
quroum sensing by synthetic autoinducer analogs. Chem Biol 2003; 10:81-9
25. Hentzer M, Wu H, Andersen JB, Riedel K, Rasmussen TB, Bagge N, et al. Attenuation of Pseudomonas aeruginosa virulence by quorum sensing inhibitors. The EMBO J 2003; 22(15):3803-15
26. Ni N, Li M, Wang J, Wang B. Inhibitors and antagonists of bacterial quorum
sensing. Med Res Rev 2009; 29(1):65-124
27. Whitehead NA, Welch M, Salmond GPC. Transgenic plants expressing an enzyme that degrades microbial signaling molecules show promise in controlling damage caused by bacterial infection. Nat Biotechnol 2001; 19:735-6
28. Raffa RB, Iannuzzo JR, Leine DR, Saeid KK, Schwartz RC, Sucic NT, et al. Bacterial communicarion (quorum sensing) via ligands and receptors: a novel
pharmacologic target for the design of antibiotic drugs. J Pharmacol Exp Ther
2005; 312(2):417-423
29. Choo JH, Rukayadi Y, Hwang JK. Inhibition of bacterial quorum sensing by
vanilla extract. Lett Appl Microbiol 2006; 42:637-41
30. Rukayadi Y, Choo JH, Hwang JK. Vanillin inhibits quorum sensing - regulated
virulence factors production of Pseudomonas aeruginosa. Curr Microbiol (In
press)

MEDICINUS

transfer AI keluar membran dengan cara memblokir AI supaya tidak


dapat disekresikan ke luar membran. Tentu saja masih banyak potensipotensi lain yang bisa jadi bahan pemikiran bagi para ahli untuk mendisain anti-QS untuk kepentingan pencegahan penyakit dan pengobatan
penyakit. Secara umum disain obat baru untuk pencegahan penyakit
yang disebabkan oleh aktivitas QS dapat dilakukan dengan memperhatikan ligan-ligan dan reseptor-reseptor yang terlibat dalam QS itu
sendiri.28
Pencarian dan modifikasi anti-QS dari bahan alampun semakin
banyak dilakukan. Senyawa furanone yang dilaporkan mempunyai
aktivitas anti-QS dan diisolasi dari alga merah (D. pulchra),25 ternyata toksik terhadap manusia, hal ini mendorong sejumlah ahli untuk
mencari senyawa anti-QS dari bahan-bahan alam yang aman dikonsumsi. Sejumlah ekstrak tanaman telah dilaporkan dapat menghambat
QS. Penulis telah melaporkan bahwa extract vanila dan vanillin yang
merupakan senyawa yang diisolasi dari ekstrak vanilla ternyata bisa
menghambat QS pada Chromobacterium violacein dan menghambat
produksi faktor-faktor virulensi yang dikendalikan oleh QS pada Pseudomonas aeruginosa.29,30

27

medical review

Kartika Widayati Taroeno-Hariadi

SubBagian Hematologi dan Onkologi Medik


Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta
SMF Penyakit Dalam RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

MEDICINUS

Abstrak. Gap junction intercellular communication (GJIC) berperan dalam pertukaran metabolit dan ion antar sel. Berbagai
zat kimia dapat mempengaruhi pembentukan GJIC di membran dan menyebabkan perubahan komunikasi interseluler sehingga Ion, metabolit, dan zat-zat pengatur tidak dihantarkan secara normal pada jaringan akibatnya terjadi gangguan pada
integritas organ. Berbagai promoter tumor mengganggu GJIC. Fokus tumor akan mengalami gangguan komunikasi dengan
sel-sel normal di sekitarnya, sehingga tidak bisa diatur dan terisolasi dari sel-sel normal di sekitarnya. Pada berbagai penelitian
didapatkan penurunan GJIC pada tumor yang sedang berkembang. Peran GJIC pada lesi metastasis masih kontroversial.GJIC
dibutuhkan oleh tumor metastasis untuk berkomunikasi dan bermetastasis pada tempat baru. Transfeksi GJIC secara spesifik
diharapkan mampu menekan pertumbuhan tumor.

28
66

Pendahuluan
Sel secara individual memiliki perlengkapan untuk dapat berfungsi
mandiri, namun hidup dan perilaku sel tersebut tergantung pada selsel dan kondisi di sekitarnya. Dengan kata lain homeostatis dan kelangsungan keutuhan seluler tergantung pada hubungan interseluler.1
Tidak seperti sel normal, sel kanker memiliki perangai yang berbeda dari sel-sel di sekitarnya dan tumbuh di luar kendali homeostasis
normal. Banyak hasil penelitian yang menunjukkan komunikasi interseluler yang memelihara homeostasis normal terganggu pada berbagai tahap karsinogenesis sehingga dihipotesiskan bahwa komunikasi
interseluler kemungkinan berfungsi sebagai elemen penekan pertumbuhan tumor.1
Ada 2 macam cara sel-sel melakukan komunikasi. Pertama, komunikasi melalui faktor pertumbuhan atau hormon ekstraseluler. Kedua,
melalui kontak sel. Berbeda dengan komunikasi interseluler melalui
hormon atau faktor pertumbuhan yang secara teknik mudah diidentifikasi, komunikasi interseluler melalui cara kontak sel sukar diidentifikasi apa yang dikomunikasikan dan efek komunikasi tersebut.
Dengan kemajuan di bidang biologi molekuler melalui kloning cDNA
yang mengodekan aparatus komunikasi tersebut, dapatlah diketahui
peranan komunikasi interseluler melalui kontak sel. Salah satu elemen
terpenting pada kontak sel adalah gap junction intercellular communication (GJIC).1,2
Tulisan ini dibuat untuk membantu memahami peranan GJIC
dalam memelihara homeostasis dan pertumbuhan sel, konsekuensi
adanya gangguan GJIC, peranan GJIC pada proses karsinogenesis, dan
aplikasi pengetahuan ini terhadap perkembangan terapi kanker.

akan melekat membentuk channel (saluran). Channel ini bisa membuka


menutup dengan cara merapatkan connexin pada tiap connexon.6
Connexin memiliki untaian tetap dan untaian variabel. Letak connexin ini pada membran dijelaskan sebagai berikut: akhiran amino dan
karboksi terdapat pada sitoplasma, dan protein melekuk 2 kali pada
membran memberikan gambaran seperti huruf M, dengan 2 regio ekstraseluler dan 3 regio sitoplasma.

Komunikasi Interseluler melalui GJIC


Antar satu sel dengan sel terdekat terdapat suatu saluran yang
memungkinkan terjadi kontak langsung dan transfer ion, metabolit, molekul seperti: kalium, cAMP, inositol triphosphate, calcium, yang
disebut GJIC.1,3-5 GJIC mampu menghantarkan molekul bila memiliki
ukuran <1000 dalton.1 Pada jaringan yang berbeda, struktur penyusun
GJIC juga tidak sama. Meskipun strukturnya berbeda, pada umumnya
GJIC terdiri dari 6 subunit (hexamer) protein connexin yang membentuk
satu hemichannel (connexon) pada tiap sisi membran sitoplasma. Connexon (hemichannel) dari masing-masing sitoplasma yang berdekatan

Gambar 1. Skema GJIC pada membran lipid bilayer dan topologi connexin1

GJIC dapat ditemukan pada semua jaringan tubuh kecuali pembuluh darah dan otot skelet. Beberapa connexin menunjukkan spesifisitas ekspresi pada jaringan tertentu, namun juga sebaliknya beberapa
jaringan dan sel-sel penyusunnya juga bisa mengekspresikan berbagai
connexin yang berbeda.1,2

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

Klas

Jaringan

Cx26

Connexin

Cx30.3
Cx31
Cx31.1

Cx32

Cx33
Cx37

Cx40

Cx43

hepar, ginjal, lien, testes, paru,


lambung, otak, pankreas, kulit,
kelenjar pineal
kulit
kulit, testes
epitel skuamosa terstratifikasi,
kulit, testes
hepar, otak, ginjal, lien, uterus,
testes, paru, lambung, usus
halus
testes
vaskuler, jantung, otak, lambung, usus halus, lien, ginjal,
uterus, ovarium, paru, kulit
vaskuler, jantung, ginjal,
uterus, ovarium, paru, usus
halus
jantung, otak, otot polos,
ginjal, uterus, ovarium, testes,
paru, lambung, usus halus,
kulit, lensa, kornea, tulang,
plasenta

Cx45

Cx46

paru, jantung, otak, ginjal,


usus halus
lensa, hati, ginjal, saraf perifer

Cx50

lensa, kornea, jantung

Tipe Sel
hepatosit, neuron, keratinosit, pinealosit

keratinosit
keratinosit
hepatosit, oligodendrosit,
neuron, sel epitel tiroid, sel
Schwann
sel Sertoli
sel endotel, miosit, keratinosit
sel endotel, serabut
Purkinje
miosit, otot polos, astrosit,
sel endotel fibroblas, keratinosit, sel ependima
sel Leydig, makrofag, osteosit, sel B pankreas, sel
folikuler dan epitel tiroid,
sel trofoblas

serabut lensa, sel


Schwann
serabut lensa, sel-sel
epitel, katup AV

Penyusunan connexon dan gap junction dimulai dengan sel kontak


melalui cellular adhesion molecules (CAMs). Kontak suatu sel dengan sel
lain memerlukan suatu adhesion molecule (molekul pelekat). Terdapat
korelasi antara ekspresi CAMs dan protein gap junctions. Adanya adhesion molecule menginduksi ekspresi GJIC, dengan asumsi bahwa kontak interseluler menginduksi terbentuknya saluran gap junction. Tranfeksi E-cadherin pada sel line dengan defisiensi komunikasi dan tidak
mengekspresikan CAMs akan berakibat induksi GJIC pada klonal
yang mengekspresikan E-cadherin.2,7 Transfeksi LCAM pada sel yang
tidak mampu berkomunikasi akan menginduksi ekspresi GJIC disertai
fosforilasi connexin endogen Cx43 dari sitoplasma menuju membran
plasma. Fosforilasi connexin ini memegang peranan penting dalam
ekspresi GJIC. Masing-masing untai connexin memiliki pola fosforilasi
tertentu sehingga memiliki regulasi ekspresi dan fungsi yang berbeda.
Cx32 mengalami fosforilasi oleh cAMP, protein kinase C (PKC) dan
Ca2+/calmodulin dependent protein kinase II, sementara Cx43 hanya difosforilasi oleh PKC dan mitogen-activated protein kinase. Abnormalitas
pada proses fosforilasi connexin ini ternyata akan menyebabkan kendali pertumbuhan sel menjadi berubah.
Fosforilasi protein gap junction memegang peran penting dalam
membentuk gap junction yang dapat berfungsi baik. Sebagian besar
connexin mengalami fosforilasi in vivo terutama pada residu serine, residu threonine, dan residu tyrosine yang terletak pada akhiran
karboksil (Carboxyl-terminal=CT). Fosforilasi ini dibutuhkan untuk
menyusun dan memfungsikan GJIC.6 Faktor pertumbuhan, kinase
protein onkogen, hormon, dan mediator inflamasi berperan pada GJIC
melalui proses fosforilasi domain protein CT (asam amino 236-382).
Beberapa kinase yang mempengaruhi GJIC berhasil diidentifikasi termasuk Protein Kinase C (PKC) (Ser 368 and Ser 372), mitogen-activated
protein kinases (MAPKs) (Ser 255, Ser 279, and Ser 282), cdc2/cyclinB
(Ser 255), dan casein kinase I (Ser 325, Ser 328, dan Ser 330).8
Proses perpindahan connexin menuju membran plasma juga pen-

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

ting untuk keutuhan dan fungsi GJIC. Sebagai contoh sel-sel dengan
Cx43 yang gagal mencapai membran plasma merupakan sel dengan
defisiensi komunikasi. Namun bila ditransfeksikan LCAM akan terjadi
translokasi Cx43 dari sitoplasma menuju membran plasma. Dengan
demikian meskipun protein GJIC tetap ada pada berbagai jenis tumor
namun tidak diproses dengan benar dan tidak ditransportasikan untuk
membentuk GJIC.2
Hemichannel biasanya dalam keadaan tertutup dan pada saat terbuka berfungsi sebagai saluran untuk melepas molekul pemberi sinyal
parakrin seperti ATP, glutamat, NAD+, dan prostaglandin. Hemichannel menutup pada konsentrasi mikromolar fisiologis kalsium ekstraseluler. Saluran akan membuka bila terjadi penurunan kadar kalsium
ekstraseluler, depolarisasi membran yang kuat, stimulasi mekanik,
ekstraseluler UTP, penghambatan metabolik, infeksi shigela, dan peningkatan kalsium sitoplasma. Beberapa kinase dan asam arakidonat
diketahui mampu memodulasi GJIC.6
GJIC didegradasi secara cepat dengan waktu paruh 1-3 jam. Connexin akan mengalami proteolisis yang diperantarai oleh ubiquitin proteasomal pathway.
Susunan connexon ditentukan oleh protein connexin. Connexon homomeric adalah connexon yang tersusun oleh protein connexin yang sama
dan connexon heteromeric adalah connexon yang tersusun oleh connexin
yang berbeda. Connexon heteromeric terbentuk akibat mutasi dominan
negatif. Connexon homomeric bisa mengadakan ikatan dengan connexon
yang berbeda pada sel yang berbeda (ikatan heterotypic). Dengan demikian sekarang sudah jelas dibuktikan bahwa interaksi antar connexon
ditentukan oleh protein connexin yang terlibat. Connexin tertentu dapat
membentuk saluran fungsional dengan beberapa connexin dan tidak
dengan connexin yang lainnya.2,9

GJIC dan Karsinogenesis


Pertumbuhan sel yang tidak teratur merupakan ciri khas tumor, sehingga tidak mengejutkan bahwa sel-sel kanker menunjukkan adanya
GJIC yang abnormal. GJIC abnormal terjadi pada GJIC homolog dan
GJIC heterolog.10
GJIC homolog melakukan komunikasi antar sel yang serupa.2 Pada
sel-sel tumor GJIC tipe ini sering terganggu namun ada juga beberapa
tumor yang mempertahankan kadar GJIC homolog yang sama seperti
sel-sel normal. Hilangnya GJIC tipe homolog di antara sel-sel kanker
itu sendiri akan
meningkatkan
heterogenitas
sehingga sel-sel
dengan fenotipe
paling ganas yang
akan mendominasi populasi.

GJIC heterolog terganggu
pada beberapa tumor berdasarkan
bukti bahwa selsel tumor tidak
berkomunikasi
dengan
sel-sel
normal di sekitarnya. Sel kanker
memerlukan pertumbuhan tanpa
gangguan
dari
sel-sel normal di
sekitarnya karena
itu
dibutuhkan
penghambatan
pada GJIC tipe
heterolog.

Fosforilasi protein gap


junction memegang peran
penting dalam membentuk
gap junction yang dapat
berfungsi baik. Sebagian
besar connexin mengalami
fosforilasi in vivo
terutama pada residu
serine, residu threonine, dan
residu tyrosine yang
terletak pada akhiran
karboksil (Carboxylterminal=CT).

MEDICINUS

Tabel 1. Ekspresi gena connexin2

29

Kedua tipe GJIC ini juga bisa menurun kadarnya pada kultur selsel epitel kanker hati pada tikus, dan tumor hati pada manusia.11,12
Sementara itu pada tumor metastasis atau anak sebar, peran GJIC
masih kontroversial. Diduga fungsional GJIC heterolog dan reekspresi dari
adhesion molecule dibutuhkan untuk menghubungkan sel kanker metastasis dengan endotel kapiler dan tempat baru untuk metastasis. Pada daerah
metastasis atau limfonodi metastasis reekspresi GJIC dan adhesion molecule
lebih sering ditemukan dibandingkan dengan tumor primer.13

MEDICINUS

Down Regulation GJIC oleh Agen Penumbuh Tumor (Tumor-Promoting


Agents), Onkogen, dan Faktor Pertumbuhan

30

Banyak bukti menunjukkan bahwa agen penumbuh tumor mampu menghambat GJIC.
GJIC pada kultur sel dapat dihambat secara
reversibel oleh forbol ester sehingga transfer molekul dan ion terganggu. Bukti in vivo
diperlukan karena kompleksitas komunikasi
inteseluler tidak bisa semuanya ditiru secara in vitro. Beberapa penumbuh tumor hati
menurunkan gap junction dan menghambat
GJIC pada hati tikus in vivo. Kurangnya GJIC
akan menyebabkan pertumbuhan klonal yang
mendahului perubahan ke arah ganas yaitu
promosi tumor.2
Beberapa onkogen dan faktor pertumbuhan juga menghambat GJIC, seperti onkogen
retroviral (v-src, v-Ha-ras, v-raf, v-fps), onkogen virus DNA (polioma-middle T, SV-40 T,
HPV 16 E5) dan onkogen seluler (c-src, C-Haras, c-erbB2). Faktor pertumbuhan dan hormon yang menghambat GJIC adalah fibroblast growth factor, platelet derived growth factor,
transforming growth factor B, epidermal growth
factor dan testosterone.2

Kaitan Antara Down Regulation GJIC


Dan Karsinogenesis

GJIC yang diinduksi karsinogen. Sebagai contoh: kultur epitel sel liver
tikus tidak menunjukkan perubahan gen Cx43 di tingkat mRNA. Protein Cx43 juga tidak mengalami perubahan jumlah sebelum dan sesudah penambahan karsinogen TPA, namun bentuk fosforilasi mengalami perubahan sehingga protein connexin terletak pada sitoplasma,
tidak pada membran sel, akibatnya terjadi gangguan GJIC.2
Terdapat kaitan fungsional yang erat antara connexin dan adhesion
molecule cell. Telah dilaporkan bahwa ekspresi E-cadherin sangat penting bagi Cx43 untuk membentuk fungsional GJIC di keratinosit tikus. Hal ini juga
menjelaskan mengapa GJIC pada keratinosit tikus sangat tergantung Ca2+ karena
E-cadherin merupakan sel yang tergantung pada Ca2+. Ekspresi E-cadherin sangat
menurun pada tumor kulit tikus selama
perkembangan invasive dan metatasis.
Penurunan ekspresi dan mutasi E-cadherin
juga ditemukan pada berbagai jenis kanker
pada manusia.2,19
GJIC membutuhkan mekanisme pengenalan sel yang memadai. Tumor tidak mampu
membentuk GJIC heterolog dengan sel-sel
normal di sekitarnya. Bila barisan sel epitel
hepar tikus bertumor dikultur bersamaan
dengan barisan sel epitel hepar tikus tanpa
tumor, maka tidak akan terbentuk GJIC heterolog. Dapat disimpulkan bahwa sel-sel
homolog mempunyai suatu mekanisme untuk mengenali sel-sel sejenis di antara mereka, dan mekanisme pengenalan ini tidak ada
di antara sel-sel normal dan sel tumor.2,20

Connexin memiliki peran


pada penekanan tumor.
Connexin menghambat
pertumbuhan sel dan
menghambat pengaturan
diferensiasi jaringan. Di
samping itu connexin
meningkatkan apoptosis
melalui transfer molekul
signaling melalui GCIJ
dengan mekanisme yang
belum jelas dan terutama
dilakukan oleh connexin
yang terletak pada plasma
membran.

Ada 3 proses yang terlibat pada abnormalitas


GJIC di kanker yaitu:
1. abnormalitas GJIC pada tumor,
2. down regulation GJIC oleh agen penumbuh tumor atau gen penumbuh tumor, dan
3. up-regulation GJIC oleh penghambat karsinogenesis.
Riset pada syrian hamster embrio (SHE) membuktikan adanya korelasi antara penghambatan GJIC dengan peningkatan transformasi sel
oleh phorbol ester.14,15 Namun penghambatan GJIC tidak tampak dengan agen penumbuh tumor lain. Penurunan ekspresi Cx26 dan Cx43
juga terlihat pada karsinoma skuamosa kulit tikus.16
Penghambatan GJIC lebih merupakan faktor penyerta penting
pada karsinogenesis namun bukan menjadi faktor utama.

Mekanisme Molekuler yang Terlibat dalam Penghambatan


GJIC pada Tumor yang Diinduksi Karsinogen
Karena GJIC dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti agen penumbuh
tumor, onkogen, dan faktor pertumbuhan, dipikirkan adanya suatu mekanisme pengaturan pada GJIC yang menjadi sasaran dari faktor-faktor
tersebut. GJIC dapat dimodulasi melalui beberapa mekanisme baik
yang terlibat pada mekanisme pengaturan protein seperti transkripsi,
stabilisasi mRNA, kontrol translasi, fosforilasi post-translation ataupun
mekanisme lain seperti translokasi ke membran sitoplasma, adhesion
molecule, matriks ekstraseluler, faktor pertumbuhan, faktor penentu
membuka dan menutupnya channel, serta mutasi gen connexon.2,17,18
Modulasi post-translation merupakan mekanisme utama perubahan

Supresi Tumor oleh Connexin

Adanya percobaan transfeksi over expression cDNA connexin pada sel tumor membuktikan bahwa GJIC fungsional mampu
menekan tumorigenesis pada beberapa
tipe sel-sel yang mengalami transformasi.
Fibroblast sel-sel tikus, sel glioma, sel-sel
rhabdomyosarcoma manusia yang ditransformasikan secara kimiawi, mengalami defisiensi Cx43, dan setelah
ditransfeksikan Cx43 akan mengalami pengurangan pertumbuhan tumor dan perlambatan tumorigenesis. Begitu pula transfeksi Cx32 pada
sel-sel hepatoma manusia, dan Cx26 pada HeLa cell yang berasal dari
sel-sel servikal uteri. Jadi tampaknya efek connexin pada penghambatan pertumbuhan sel bersifat selektif menurut spesifikasi connexin
tersebut.2,24

Connexin dan Apoptosis21


Perubahan molekul yang terlibat pada pengaturan proses kematian
sel melalui apoptosis penting pada karsinogenesis. Connexin menjadi
molekul target modulasi apoptosis. Connexin yang tetap berada pada
sitoplasma dan tidak diekspresikan pada membran sel kehilangan
fungsinya dalam komunikasi antar sel dan mungkin berperan pada pertumbuhan tumor. Connexin sitoplasma ini sering dijumpai pada tumor.
Mutasi pada regio ekstraseluler dan transmembran connexin akan
menyebabkan connexin tetap berada pada sitoplasma dan kehilangan
fungsinya dalam pengaturan pertumbuhan tumor, namun salah satu
penelitian lain menyebutkan bahwa mutasi salah satu regio ekstraseluler lain pada connexin menyebabkan lokalisasi ke sitoplasma namun
fungsi penghambatan tumor oleh Cx43 tersebut tidak terganggu. Jadi,
pengaturan pertumbuhan tumor pada Cx43 tidak tergantung pada
fungsi GJIC. Connexin sitoplasma mampu mengontrol pertumbuhan
tumor melalui pengaruhnya pada ekspresi gen yang mengatur fungsifungsi sel kanker. Jadi, lokasi connexin pada sitoplasma atau membran
plasma memiliki fungsi yang berbeda antara sel kanker dan sel normal.

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

Mekanisme Kontrol Pertumbuhan Negatif oleh Connexin2


GJIC membentuk saluran antar sel untuk penyebaran atau dispersi faktor intraseluler terlarut guna mengontrol pertumbuhan sel. Faktor ini
melewati GJIC heterolog antara sel-sel normal dengan sel yang mengalami transformasi dan menghambat pertumbuhan sel-sel yang mengalami transformasi.
Jika GJIC memiliki efek pada pertumbuhan sel, maka tentunya ada
perubahan pada siklus sel, namun ternyata peran GJIC pada siklus sel
masih belum jelas. Beberapa bukti menunjukkan, bahwa GJIC hilang
pada saat aktivitas mitosis dan pada saat terjadi perubahan stabilitas
mRNA. GJIC juga menurun di antara waktu mitosis dan nonmitosis
sel-sel granulosa tikus imortal. Namun GJIC juga muncul pada fase
antara mitosis dan interfase kultur fibroblas, dan kadar transcript connexin meningkat selama fase S.
Pada sel-sel yang mengalami transformasi dan ditransfeksikan
Cx43 akan terjadi penurunan ekspresi gen yang terlibat pada siklus sel
seperti cyclin A, D1, D2 dan CDK5, CDK6.
Sel glioma yang ditransfeksikan dengan Cx43 dikultur bersamasama dengan sel-sel glioma yang tidak ditransfeksi. Percobaan ini untuk melihat apakah transfeksi Cx43 mampu mengubah pertumbuhan
sel melalui GJIC heterolog. Hasil penelitian menunjukkan sel glioma
membentuk gap junction dengan sel-sel yang ditransfeksi Cx43, dan terjadi penurunan tingkat proliferasi.
Jadi GJIC mampu memodulasi pertumbuhan sel melalui perubahan ekspresi gen.

Peran dan Aplikasi Connexin atau GJIC Terhadap Kemoprevensi dan Terapi Kanker
Banyak sel tumor hanya memiliki sedikit GJIC. Oleh karena connexin
lebih menyerupai gen penekan tumor, maka transfeksi gen connexin
akan menjadi suatu terapi kanker yang efisien melalui dua jalan yaitu
bystander effect dan pengendalian pertumbuhan sel. Jadi efek terapi
kanker bisa ditingkatkan dengan transfeksi gen connexin. Terapi yang
diterima oleh sel-sel tumor akan diteruskan pada sel-sel di sekitarnya
melalui GJIC sehingga akan meningkatkan efek terapi. Contoh pada
sel HeLa dengan defisiensi GJIC yang ditransfeksikan thymidyne kinase
dari Herpes simplex virus (HSV-tk). Sel HeLa HSV-tk ini akan mati oleh
ganciclovir karena ganciclovir diaktifkan oleh HSV-tk; namun sel-sel
HeLa di sekitarnya yang tidak ditransfeksikan HSV-tk (tk-) tetap hidup
karena ganciclovir tidak aktif pada jenis sel ini. Namun bila digunakan
sel HeLa yang ditransfeksikan dengan gen penyandi protein gap junction Cx43, maka ganciclovir tidak saja membunuh sel-sel dengan tk+ namun juga tk-. Hal tersebut mengindikasikan bahwa molekul ganciclovir
toksik yang difosforilasi oleh HSV-tk ditransfer melalui GJIC ke selsel tk-. Contoh lain adalah pada terapi tumor otak dengan transfeksi
gen tymidine kinase dari HSV (HSV-tk). Sel-sel yang ditransfeksikan

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

dengan gen HSV-tk dan juga sel-sel di sekitarnya dapat dibunuh oleh
ganciclovir karena GJIC masih berfungsi normal.

Kesimpulan
GJIC berperan menjaga homeostasis normal dan kendali pertumbuhan sel melalui keutuhan komunikasi interseluler. Pada beberapa jenis
tumor terjadi gangguan ekspresi connexin. Gangguan ini bisa berupa
down regulation protein connexin karena gangguan fosforilasi. Terjadinya gangguan GJIC heterolog akan menyebabkan sel tumor tumbuh
dan berkembang tanpa pengaruh kendali sel-sel di sekitarnya, dan
gangguan GJIC homolog akan menyebabkan perbedaan fenotipe antar
sel-sel tumor yang sama. Dalam kaitannya dengan kepentingan terapi,
GJIC bisa digunakan untuk menekan pertumbuhan tumor atau memodulasi efek kemoterapi melalui bystander effect.
Daftar Pustaka
1. Yamasaki H. Gap Junctional intercellular comunication and carcinogenesis
Carcinogenesis 1990; 7:1051-8
2. Yamasaki H, Naus CC. Role of connexin genes in growth control. Carcinogenesis 1996; 17(6):11990-213
3. Pitts JD and Finbow ME. The gap junction. J Cell Sci 1986; 4(Suppl.):239-266
4. Lawrence TS, Beers WH, and Gilula NB. Hormonal stimulation and cell communication in cocultures. Nature 1978; 272:501-6
5. Saez JC, Conner JA, Spray DC and Bennett MV. Hepatocyte gap junctions are
permeable to the second messenger, inositol 1,4,5-triphosphate, and to calcium ions. Proc Nail Acad Sci USA; 1989: 86:2708-12
6. De Vuyst E, Decrock E, De Bock M, Yamasaki H, Naus CC, Evans WH, et al.
Molecular Biology of the Cell 2007; 18:34-46
7. Jongen WM, Fitzgerald DJ, Asamoto M, Piccoli C, Slaga TJ, Gros D, et al. Regulation of connexin 43-mediated gap junctional intercellular communication
by Ca2+ in mouse epidermal cells is controlled by E-cadherin. J Cell Biol 1991;
114:545-55
8. Lampe PD and Lau AF. The effects of connexin phosphorylation on gap junctional communication. Int J Biochem Cell Biol 2004; 36:117186
9. Bruzzone R, White TW, dan Paul DL. Connections with connexins: the molecular basis of direct intercellular signaling. Eur J Biochem 1996; in press
238(1):1-27
10. Yamasaki H. Gap Junctional intercellular comunication and carcinogenesis
Carcinogenesis 1990; 7:1051-8
11. Mesnil M dan Yamasaki H. Selective gap-junctional communication capacity
of transformed and non-transformed rat liver epithelial cell lines. Carcinogenesis.1988; 9:1499-502
12. Krutovskikh VA, Mazzoleni G, Mironov N, Omori Y, Aquelon AM, Mesnil M, et
al. Altered homologous and heterologous gap-junctional intercellular communication in primary human liver tumors associated with aberrant protein
localization but not gene mutation of connexin 32. Int J Cancer 1994; 56:
87-94
13. Kanczuga-Koda L, Sulkowski S, Lenczewski A, Koda M, Wincewicz A, Baltaziak,
et al. Increased expression of connexins 26 and 43 in lymph node metastases
of breast cancer. J Clin Pathol 2006;59:42933
14. Rivedal E, Sanner T, Enomoto T, Yamasaki H. Inhibition of intercellular communication and enhancement of morphological transformation of syrian hamster embryo cells by TPA. Use of TPA-sensitive and TPA-resistant cell lines.
Carcinogenesis 1985; 6:899-902
15. Rivedal E, Roseng LE, Sanner T. Vanadium compounds promote the induction
of morphological transformation of hamster embryo cells with no effect on
gap junctional cell communication. Cell Biol and Toxicol 1990; 6:303-14
16. Ruch RJ, Klaunig JE, Kerckaert GA, LeBoeuf RA. Modification of gap junctional
intercellular communication by changes in extracellular pH in syrian hamster
embryo cells. Carcinogenesis 1990; 11:909-13
17. Musil LS, Goodenough DA. Biochemical analysis of connexin43 intracellular
transport, phosphorylation, and assembly into gap junctional plaques. J Cell
Biol 1991; 115:1357-74
18. Unwin PN, Ennis PD. Calcium-mediated changes in gap junction structure:
evidence from the low angle X-ray pattern. J. Cell Biol. 1983; 97:1459-66
19. Risinger JI, Berchuck A, Kohler MF, Boyd J. Mutation of the E-cadherin gene in
human gynecological cancers. Nat Genet1994; 7:98-102
20. Mesnil M, Asamoto M, Piccoli C, Yamasaki H. Possible molecular mechanism
of loss of homologous and heterologous gap junctional intercellular communication in rat liver epithelial cell lines. Cell Ahes. Commun 1994; 2:377-84
21. Kanczuga-Koda. L, Sulkowski S, Koda M, Skrzydlewska E, Sulkowska M. Connexin 26 correlates with Bcl-xL and Bax proteins expression in colorectal cancer. World J Gastroenterol 2005:11(10):1544-8
22. Huang RP, Hossain MZ, Huang R, Gano J, Fan Y, Boynton AL. Connexin 43
(cx43) enhances chemotherapy-induced apoptosis in human glioblastoma
cells. Int J Cancer 2001; 92:130-8
23. Tanaka M, Grossman HB. Connexin 26 induces growth suppression, apoptosis and increased efficacy of doxorubicin in prostate cancer cells. Oncol Rep
2004; 11:537-541

MEDICINUS

Connexin memiliki peran pada penekanan tumor. Connexin menghambat pertumbuhan sel dan menghambat pengaturan diferensiasi
jaringan. Di samping itu connexin meningkatkan apoptosis melalui
transfer molekul signaling melalui GCIJ dengan mekanisme yang belum jelas dan terutama dilakukan oleh connexin yang terletak pada
plasma membran. Dihipotesiskan bahwa peran connexin pada apoptosis ini di antaranya melalui pengaturan pada protein. famili Bcl-2.
Connexin pada sitoplasma memiliki signaling pathway yang berbeda
dari connexin pada plasma membran. Transduksi sinyal connexin membutuhkan interaksi dengan protein-protein intraseluler lain. Huang
dkk menemukan penurunan ekspresi Bcl-2 pada sel-sel ganas yang
ditransfeksikan Cx43 namun tidak terjadi pada sel-sel nontransfeksi.22
Gen connexin mengatur ekspresi gen lain pada tumor sel. Tanaka dkk
juga menemukan bahwa sel-sel tumor prostat yang ditransfeksikan
Cx26 akan tertekan pertumbuhannya, terjadi induksi penghentian siklus sel pada fase G2/M, penurunan ekspresi Bcl-2, dan peningkatan
apoptosis.23
Pada karsinogenesis terjadi perubahan ekspresi, lokalisasi connexin
dan mungkin penurunan fungsi.

31

Meet the Expert

Ketua Pusat Diabetes dan Lipid RS Dr. Cipto Mangunkusumo/Fakultas Kedokteran,


Universitas Indonesia

MEDICINUS

32

i bagian Metabolik dan


Endokrinologi
nama
Prof. Slamet Suyono sudah tidak asing lagi. Beliau sekarang ini masih menjabat sebagai
Ketua di Pusat Diabetes dan Lipid di RSCM/FKUI, dan merupakan salah satu tokoh yang turut
mengembangkan Pusat Diabetes
dan Lipid ini. Bahkan beliau juga
sempat secara khusus mengikuti
training mengenai Lipid pada
tahun 1968 yang diadakan di Perancis, di mana pada saat itu Lipid merupakan sesuatu hal yang
baru di bidang Penyakit Dalam.
Pusat Diabetes dan Lipid Jakarta merupakan badan yang
bersifat multidisiplin. Badan ini
menangani masalah diabetes dan
lipid, yang kegiatannya meliputi
3 bidang, yaitu pelayanan, penelitian dan penyuluhan. Pada
nama pusat itu tercantum kata
lipid, karena lipid merupakan
salah satu faktor penyakit jantung koroner (PJK).
Pada kesempatan kali ini,
kami mewawancarai beliau disela-sela jadwal Prof. Slamet yang padat.
Berikut hasil wawancara kami dengan
Prof. Slamet Suyono.
Redaksi MEDICINUS (RM): Apakah
memang sedari kecil Prof. Slamet sudah
bercita-cita menjadi seorang dokter?
Prof. Slamet Suyono (SS): Sebetulnya
waktu kecil saya tidak bercita-cita menjadi
seorang dokter. Walaupun keluarga saya
terutama dari keluarga ayah saya banyak
yang menjadi dokter. Ketika saya masuk
SD pun saya masih belum tahu apa citacita saya sebenarnya. Hanya saja waktu
di sekolah dulu saya lebih menyukai bidang eksakta. Saya selalu mempunyai nilai-nilai yang bagus pada mata pelajaran
eksakta tersebut terutama pada pelajaran
Kimia. Kemudian ketika saya lulus SMA
saya mengikuti 2 tes penerimaan maha-

siswa, yang pertama di Farmasi Institut


Teknologi Bandung (ITB) dan yang kedua di Kedokteran Universitas Indonesia
(UI). Ternyata dua-duanya diterima. Tapi
karena dorongan yang begitu kuat dari
orangtua untuk masuk kedokteran UI
maka sayapun akhirnya memilih kuliah
di kedokteran. Jadi tradisi dokter saya
lanjutkan di keluarga saya. Dan pada
akhirnya sayapun sangat menyukai bidang ini dan alhamdullilah studi saya di
kedokteran berhasil dan tidak ada halangan apapun.
RM: Sekarang ini Prof. Slamet sudah
menjadi seorang yang ahli dalam bidang
Endokrinologi. Apa yang menyebabkan
Prof. Slamet akhirnya memilih bidang
tersebut?
SS: Endokrinologi adalah suatu cabang

ilmu yang mempelajari hormon


dalam tubuh dari ubun-ubun
sampai ujung kaki, tidak terbatas
pada organ tubuh secara sentral
tapi menyeluruh. Jadi ketertarikan saya nomor satu pada saat
itu adalah karena hal itu, yaitu
mengobati seorang manusia secara keseluruhan. Jadi, ketika
saya lulus kedokteran pada tahun 1963, saya mengambil spesialis penyakit dalam. Setelah
saya berkecimpung di penyakit
dalam, saya lalu berpikir sepertinya saya lebih tertarik lagi
di endokrinologi. Kembali lagi
karena saya ingin mengobati
pasien secara holistik atau keseluruhan. Pada waktu itu saya
banyak merawat pasien-pasien
diabetes dan tiroid. Ketertarikan saya di bidang endokrin ini
salah satunya juga adanya pengaruh figur Prof. Utoyo Sukaton yang menjadi panutan buat
saya. Prof. Utoyo Sukaton dahulu adalah Kepala Bagian Ilmu
Penyakit Dalam dan Kepala Subbagian Metabolik dan Endokrin
juga sebagai pendiri bagian Metabolik
dan Endokrinologi. Ketika saya menyelesaikan spesialis penyakit dalam, akhirnya
Prof. Utoyo meminta saya untuk menjadi
staff-nya.
Kemudian pada tahun 1968 saya dikirim ke Perancis untuk mengikuti training
bidang baru, yaitu tentang Lipid. Di Indonesia pada tahun tersebut belum ada
ahli mengenai Lipid. Adapun training
yang saya ikuti di Perancis pada waktu
itu adalah Training on Hyperlipidemia and
Endocrinology. Jadi saya belajar di sana
untuk Lipid-nya selama lebih kurang 10
bulan. Dan dari sinilah saya mulai tertarik di bidang Lipid karena ingin mengobati pasien secara keseluruhan dan itu hanya terdapat pada bidang endokrinologi
dalam artian tidak terpaku pada organ
tertentu saja. Ketika ingin belajar di Pe-

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

RM: Prestasi apa saja yang pernah Prof.


Slamet dapatkan selama ini dan apa yang
paling membanggakan Prof. Slamet selama menjalani profesi dokter?
SS: Banyak orang yang mengatakan kalau
saya jadi pembicara dalam suatu acara
simposium atau acara ilmiah lainnya, apa
yang saya sampaikan tidak muluk-muluk
jadi saya bicara to the point. Sekarang ini
banyak sekali orang-orang pintar, dan
biasanya mereka itu banyak yang ingin
menunjukkan kepintarannya dan merasa
tahu banyak hal. Padahal belum tentu
audien bisa menerima apa yang dia sampaikan. Audien itu kan ingin menimba
ilmu. Jadi prinsip saya, kalau kita bicara
seperti berbicara dalam suatu simposium
kita harus ada transfer of knowledge. Untuk
transfer of knowledge kita harus membuat
suatu ikatan batin antara siapa yang kita
ajak bicara. Untuk itu persiapan sebelumnya untuk menjadi pembicara adalah saya
harus tahu terlebih dahulu siapa audien
saya nantinya apakah itu orang awam,
mahasiswa kedokteran, dokter umum,
dokter spesialis atau setingkat professor.
Sehingga kita harus memberikan tehnik
penjelasan yang baik dalam arti supaya
dapat diterima 100% apa yang kita sampaikan kepada audien. Oleh sebab itu setiap kali saya menjadi pembicara, penyajian dalam satu slide tidak terlalu penuh,
tapi saya buat sedikit-sedikit sehingga
akan gampang untuk dimengerti dan saya
juga menggunakan tambahan animasi
pada slide yang saya buat sendiri. Tentunya pembuatan slide ini juga harus kreatif
sehingga tampilan slide tidak terlalu monoton dan membosankan bagi audien.
Hal lainnya, selama saya menjadi Ketua
di Pusat Diabetes dan Lipid di RSCM/
FKUI, saya selalu memberikan kebebasan kepada staff saya sehingga dengan berjalannya waktu, mereka menjadi sangat
berkembang dan ikut pula mengembangkan bagian Metabolik dan Endokrinologi
ini. Hal inilah yang membuat saya bangga
kepada mereka.
Satu hal lagi, anak saya yang terkecil juga

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

sudah menjadi spesialis penyakit dalam


mengikuti jejak saya.
RM: Kegiatan ilmiah apa saja yang pernah
Prof. Slamet ikuti selama ini?
SS: Sebenarnya saya sudah pensiun pada
tahun 2002, tetapi alhamdullilah saya
masih dipakai untuk konsultasi atau sebagai penasehatlah untuk yang mudamuda di sini. Saya juga masih diberikan
ruang kerja pribadi di sini. Karena itulah
saya jadi tidak terlalu pikun karena justru
saya makin sibuk karena setiap minggu
saya selalu mempunyai kegiatan. Kadangkadang menjadi pembicara untuk acara
simposium atau kegiatan ilmiah. Saya diminta sharing pengalaman ilmiah kepada
yang muda-muda. Itulah yang menyebabkan saya masih berkecimpung di dunia
ilmiah ini walaupun usia saya sudah 71,5
tahun.
RM: Bisa ceritakan hobi Prof. Slamet sendiri apa ya?
SS: Dalam hobi, saya bagi 2. Ketika saya
kecil hobi saya adalah olahraga bulutangkis. Sejak saya SD sampai SMA-pun saya
masih main bulutangkis. Sejak berkuliah
di kedokteran sekitar tahun 1957 saya
berhenti bermain bulutangkis karena berbagai kesibukan perkuliahan. Kemudian
baru tahun 1972 saya kembali bermain
bulutangkis kembali karena ajakan teman
sampai tahun 2005. Terakhir saya bertanding dengan anak-anak muda ketika
umur saya sudah di atas 68 tahun. Karena
terlalu bersemangat dalam bertanding
saya mengalami cedera lutut. Berselang 6
bulan kemudian badan saya merasa tidak
enak karena sudah lama tidak berolahraga akhirnya saya memilih olahraga renang. Dan ketika saya berenang tiba-tiba
ada yang terasa sakit dan saya merasa
bahwa ada sesuatu yang terjadi pada jantung saya. Akhirnya, besoknya pun saya
periksakan diri, dan hasilnya sangat buruk sekali. Dan saya harus menjalani bedah by pass pada jantung saya sekitar 3,5
tahun yang lalu. Dan dari situlah saya
benar-benar menghentikan hobi bermain
bulutangkis. Dan hobi olahraga saya berubah menjadi berenang. Sampai saat ini,
saya masih menjalani renang setidaknya
2x dalam seminggu. Semenjak pembedahan jantung itu saya jadi merubah lifestyle.
Hobi lain saya, yaitu dansa. Saya mengikuti klub dansa antar dokter-dokter sampai
sekarang. Dan yang terakhir adalah hobi
jalan-jalan bersama cucu.
RM: Terus apa nih yang membuat Prof.
Slamet selalu tampak segar dan fit?

SS: Turunan keluarga saya banyak yang


terkena penyakit jantung dan kolesterol.
Waktu operasi dikatakan oleh dokter
bahwa pembuluh darah saya jelek sekali.
Banyak sekali aterosklerosisnya. Dokter
yang menangani saya pada saat itu mengatakan bahwa operasi ini bukan menyelesaikan masalah tapi yang bisa menyelesaikannya hanyalah anda sendiri, yaitu
saya harus merubah lifestyle. Kemudian
saya berpikir bahwa apa yang dikatakan
beliau ada benarnya juga. Jadi dahulu kalau
saya terlalu over confidence dalam arti saya
merasa sehat dan tidak mengalami keluhan apa-apa sampai umur 68 tahun tetapi
satu hal yang tidak saya sadari bahwa lifestyle itu pusatnya adalah makanan. Dulu
saya sangat menyukai makanan dari daging kambing. Tapi kemudian saya beralih
banyak makan sayuran dan buah-buahan
serta untuk proteinnya saya makan ikan
yang serba direbus. Terkadang saya juga
makan ayam (hanya dagingnya saja) tapi
dengan porsinya yang sedikit. Dan yang
utama selalu menggunakan JAMU alias
jaga mulut saya untuk tidak memakan
makanan yang dahulu sangat saya sukai.
Saya berusaha untuk menjaga pola hidup
saya dengan menjaga pola makan, tidak
stres dan olahraga yang teratur. Terlambat
sih sebenar-nya karena saya baru memulainya saat berumur 68 tahun ketika saya
harus menjalani pembedahan jantung.
Tapi saya kira lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Bahkan sekarang
ini saya menjadi lebih baik dan fit dari sebelumnya.
RM: Kegiatan apa yang biasa dokter lakukan di waktu luang (akhir pekan/hari libur)?
SS: Yang pasti olahraga, pergi bersama
cucu saya setiap akhir pekan. Pokoknya
saya harus ketemu mereka bagaimanapun
juga. Cucu saya sekarang sudah 6 orang.
Saya juga tetap hobi makan ketika ada
waktu luang tapi tentunya hobi makan
yang sekarang ini berbeda dengan yang
dulu.
RM: Kebiasaan apa yang biasa diterapkan
dilingkungan sekitar Prof. Slamet untuk
mananamkan pola hidup sehat?
SS: Itu tadi, jangan hanya bicara tapi dicontohkan juga ke orang-orang sekitar
saya. Saya juga sudah mencontohkan kepada teman, pasien dan keluarga saya.
Bahkan banyak dari teman-teman saya
yang berkonsultasi kepada saya karena
mereka melihat sendiri kalau saya kelihatan lebih sehat dan fit. Padahal usia saya
sudah 71 tahun. Dan saya selalu menga-

MEDICINUS

racis saya mengetahui bahwa di sana itu


tidak banyak orang Perancis yang bisa bahasa Inggris maka sebelum saya mengikuti training di sana saya mengikuti kursus
bahasa Perancis terlebih dahulu di Indonesia. Saya mengikuti kursus mulai dari
nol sampai bisa berbahasa Perancis dalam
kurun waktu selama 3 bulan. Sehingga
ketika saya ke Perancis, saya sudah bisa
berbahasa Perancis dan terkadang menjadi penerjemah buat teman-teman ketika
berada di sana.

33

MEDICINUS

takan kepada mereka supaya JAMU


atau jaga mulut dan banyak makan sayur
serta buah-buahan serta tentu saja melakukan olahraga yang teratur. Walaupun saya
sendiri termasuk terlambat dalam merubah lifestyle saya.
Untuk merubah lifestyle, awalnya tidak
mudah dan terasa berat tapi saya selalu
niatkan dalam hati bahwa saya harus
merubah kebiasaan saya yang dulu seperti makan keju, makan daging merah.
Sekarang ini saja orang-orang muda banyak yang sudah terkena diabetes, jantung, stroke dan itu dari tahun ke tahun
jumlahnya terus meningkat karena perubahan pola makan seperti senang memakan makanan siap saji.

34

RM: Harapan dokter di pekerjaan dan


kehidupan pribadi dokter untuk 5 tahun
mendatang?
SS: Yang pasti ingin tetap sehat dan saya
berusaha menjadi orang yang sebijaksana
mungkin. Kadang-kadang dulu itu, saya
sering meletup-letup emosi nya. Sekarang
saya lebih meredam emosi saya.
Dalam pekerjaan untuk 5 tahun yang akan
datang, yaitu di bagian Metabolik dan
Endokrin RSCM/FKUI ini saya berharap
makin maju dan mengalami perubahan
yang lebih baik lagi. Dan di bagian ini
juga terus terlibat dalam peningkatan kesehatan terutama dalam hal pencegahan
melalui penerangan kepada masyarakat
bagaimana cara hidup yang sehat.
RM: Saat ini penyakit-penyakit di bidang
Endokrinologi yang paling sering dihadapi apa ya Prof.?
SS: Yang paling banyak adalah yang pertama diabetes dan kedua tiroid. Diabetes
di Indonesia sudah ada data sekarang dari
Departemen Kesehatan (DEPKES), yaitu
kalau di kota besar prevalensinya orang
yang terkena diabetes sekitar 12%. Itu nilai yang cukup besar menurut saya. Tapi
kemudian tahun 2008 kemarin keluar data
gabungan dari kota dan pedesaan di seluruh Indonesia disurvey dan ternyata penderita diabetes di Indonesia sebesar 5,7%.
Untuk kasus tiroid juga banyak di Indonesia. Penyebabnya karena stres sehingga
timbulah hipertiroid.
RM: Penatalaksanaan penyakitnya sendiri
bagaimana ya?
SS: Sampai sekarang untuk diabetes, kita
sudah membuat guideline untuk penatalaksanaan diabetes karena kita mempunyai

PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi


Indonesia) dan PERSADIA (Persatuan
Diabetes Indonesia) sehingga guideline ini
digunakan merata di seluruh Indonesia.
Bahkan di Depok sendiri sudah melakukan upaya pencegahan diabetes kurang
lebih 7 tahun mulai tahun 2001 dengan
melibatkan DEPKES.
RM: Bisa ceritakan pengalaman suka
maupun duka selama menjalani profesi
dokter?
SS: Saya sangat menikmati profesi saya
meskipun kerjanya berat. Pengalaman
yang baik itu adalah saya merasa sangat
puas sekali apabila kita melihat pasien
itu sembuh dari penyakitnya dari pengobatan yang diberikan. Jawabannya klise
barangkali ya. Tapi memang betul kalau
kita melihat pasien sembuh rasanya senang sekali. Dan biasanya mereka akan
berterimakasih kepada saya padahal saya
tidak mengharapkan terimakasih tersebut.
Saya juga suka bilang kepada pasien saya
bahwa yang menyembuhkan penyakit itu
bukan saya tapi Allah SWT. Saya ini hanya sebagai penyambung tangan dengan
ilmu-ilmu yang saya pelajari.
Hubungan saya dengan pasien tentunya

tidak selalu manis tapi juga ada pahitnya


terutama bila berhadapan dengan pasien-pasien yang sulit. Malahan si pasien
belum apa-apa sudah mendikte dan dia
merasa bahwa dia lebih pinter dari dokternya. Apalagi zaman sekarang ini orang
dengan mudah bisa browsing di internet
untuk mencari informasi penyakit-penyakit tertentu sehingga mereka merasa
sudah mengetahui pengobatannya. Tapi
hal itu alhamdullilah masih bisa ditangani
dengan memberikan penjelasan yang baik
tentang penyakit dan pengobatannya kepada pasien.
RM: Apa harapan Prof. Slamet, khususnya
untuk dokter-dokter muda di Indonesia?
SS: Saya berharap dokter-dokter muda
ini harus bisa menemukan cara-cara baru
pengobatan atau pencegahan terhadap
penyakit-penyakit dan bisa menemukan
vaksin untuk mencegah penyakit-penyakit
yang kita takutkan. Dan juga penelitianpenelitian para dokter muda ini harus kita
pacu dan biaya yang tentu saja didukung
kalau bisa oleh pemerintah. Karena untuk
melakukan suatu penelitian itu memerlukan biaya yang sangat besar. GLH

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

events

Round Table Discussion


Update Management in Dengue
Hemorrhagic Fever
20 Desember 2008

ada tanggal 20 Desember


2008, diadakan acara round
table discussion Update
Management in Dengue Hemorrhagic Fever yang diadakan di
Hotel Borobudur, ruang Timor,
Jakarta Pusat. Acara dibuka dengan sambutan dari Ketua PAPDI
JAYA DR. dr. Idrus Alwi, SpPD,
K-KV, FACC.
Diskusi dimulai oleh moderator Dr. Tunggul D Situmorang,
SpPD, KGH dengan menekankan
bahwa penyakit DBD merupakan
penyakit yang perlu diwaspadai.
Menurut Dr. Tunggul D Situmorang, SpPD, KGH, patofisiologi
demam berdarah sampai saat ini
tidak banyak berubah sedangkan
untuk diagnosis kita sekarang
mengenal NS1 antigen.
Kemudian acara dilanjutkan
dengan presentasi dari Dr. Leonard Nainggolan, SpPD, KPTI,
yaitu tentang:
Patofisiologi dan Diagnosis Demam Berdarah Dengue
Dr. Leonard memulai sharing
materi dengan memaparkan epidemiologi infeksi dengue secara
global, sampai pada distribusi serotype, dan jumlah kasus demam
berdarah dengue (DBD) secara
lokal. Di mana kasus infeksi dengue secara global semakin meluas. Kemudian secara lokal, di
Indonesia dari tahun 2004-2007
di mana kasus DBD semakin
meningkat. Akan tetapi BMS berharap kasus DBD menurun apabila PSN-DBD berhasil.

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

Apabila kita bisa mengetahui


patofisiologi demam berdarah
dengan baik, umumnya kita tidak
akan kecolongan. Karena fase kritis Cuma pada jam ke-24 - 48, asalkan pasien datang belum shock.
Ada falsafah yang mengatakan
jika terjadi kasus demam berdarah
pre-shock tetapi meninggal, maka
hal ini merupakan kesalahan dokter.
Patogenesis DBD bermacammacam. Ada yang menerangkan
bahwa virulensi virus yang sangat berperan terhadap severity of
disease. Ada juga teori peranan
mediator, apoptosis, genetik, dan
antibody dependent enhancement.
Sebagian ahli menganut antibody
dependent enhancement, di mana
infeksi virus dengue yang kedua
dengan serotype virus yang berbeda akan memberikan manifestasi penyakit yang lebih parah.
Teori-teori ini pada akhirnya menjelaskan akan adanya gangguan
hemostasis, permeabilitas kapiler
dan kebocoran plasma.
Nyamuk membutuhkan darah untuk mematangkan telurnya,
tidak hanya darah manusia, darah
sapi juga bisa. Jadi sapi juga bisa
mengalami DBD. Virus dengue
membutuhkan waktu kira-kira 10
hari untuk bereproduksi. Kemudian nyamuk yang mengandung
virus menggigit manusia sehat.
Virus dengue akan ada untuk selamanya dalam tubuh virus sampai nyamuk mati.
Patofisiologi:
Virus demam berdarah

akan

masuk ke dalam makrofag. Menurut antibody dependent enhancement, antigen infeksi pertama
pada makrofag justru menjadi
semacam opsonisasi untuk memfasilitasi virus menempel ke permukaan makrofag dan masuk ke
dalamnya. Makrofag akan melepaskan monokin, sitokin, histamine, dan interferon, yang akan
mengakibatkan celah endotel melebar, selanjutnya terjadi kebocoran cairan intravaskular ke ruang
eks-travaskular. Konsekuensinya,
terjadi hipovolemia, hemokonsentrasi, tubuh lemah, edema, dan
kongesti visceral. Perenggangan
celah antar sel endotel dapat juga
disebabkan oleh virus dengue itu
sediri. Saat sel endotel terinfeksi
DV, terjadi kerusakan sel endotel.
Akan tetapi pelebaran celah sel
endotel terutama disebabkan oleh
pelepasan sitokin inflamasi.
Dengan demikian, manifestasi
klinis yang paling penting dalam
penyakit DBD adalah kebocoran
plasma. Dan untuk mengetahui
tanda-tanda kebocoran plasma
bukannya trombosit yang dipantau tetapi hematokrit. Selain itu,
penting juga pemantauan urine
output dan hemostasis. Dari pengalaman dokter, apabila tidak terjadi pendarahan massive, trombosit
3.000 atau 7.000 juga tidak mengakibatkan kematian pasien.
Adapun tingkat keparahan
sindrom kebocoran kapiler tergantung ukuran celah endotel dan
lokasi atau daerah yang terkena
infeksi, komposisi matriks kompartemen perivaskular, dan per-

bedaan tekanan hidrostatik dan


tekanan onkotik di intra dan ekstravaskular. Tekanan hidrostatik
dipengaruhi oleh tekanan pompa
jantung yang mendorong plasma
keluar dari intravaskular ke ekstravaskular. Tekanan onkotik
adalah nilai tekanan zat-zat yang
terkandung dalam darah yang
memiliki sifat osmolaritas untuk
menahan plasma tetap berada
pada intravaskular. Pada arteri
tekanan hidrostatik lebih besar
dari tekanan onkotik maka plasma bisa keluar ke ekstravaskular
memberikan nutrisi dan oksigen
pada jaringan tubuh. Sedangkan
di mikrokapiler tekanan hidrostatik lebih kecil dari tekanan onkotik
sehingga cairan tubuh yang telah
kehilangan nutrisi dan mengandung CO2 dapat dikembalikan
ke dalam pembuluh darah. Perlu
dipahami bahwa apabila kita telah mengetahui kalau kebocoran
plasma dipengaruhi oleh tekanan
onkotik, penggunaan koloid untuk meningkatkan tekanan osmotik dapat dilakukan apabila telah
diketahui adanya tanda-tanda kebocoran plasma.
Pelebaran celah endotel dapat juga menyebabkan leukosit
keluar dari intravaskular mengejar makrofag yang mengandung
virus dengue, sehingga dapat dimengerti terjadi leukopenia pada
DBD.
Manisfestasi trombositopeni
pada infeksi dengue memiliki beberapa hipotesa penyebab:
(1) terjadi destruksi trombosit akibat interaksi antibody-antigen

MEDICINUS

Hotel Borobudur, Ruang Timor, Jakarta-Pusat

35

MEDICINUS

virus dengue di permukaan


trombosit;
(2) kerusakan dinding endotel
oleh virus dengue sehingga
menyebabkan interaksi trombosit dengan kolagen subendotel sehingga terjadilah agregasi dan destruksi trombosit;
(3) IL-6 menginduksi antibodi
IgM antitrombosit sehingga
terjadilah destruksi trombosit;
(4) manifestasi pendarahan pada
DBD meningkatkan kebutuhan akan trombosit. Manifestasi (nomor 3) menguatkan
bahwa tidak perlu diberikan
infus trombosit pada pederita
DBD, karena pada akhirnya
trombosit yang di berikan
akan didestruksi dengan
adanya antibodi antitrombosit.

36

Perjalanan penyakit dengue


seperti lagu menghitung hari.
Pada kasus dengue, kita menghitung hari, ada masa inkubasi
(virus dengue ada dalam tubuh
tapi tidak ada manifestasi klinis
penyakit), fase akut (demam hari
I-IV), dan fase kritis (hari V-VII),
dan fase konvalesense. Proses
plasma leakage hanya terjadi
pada fase kritis, dan hanya terjadi
dalam 24-48 jam. Untuk mengidentifikasi fase kritis perhatikan
bahwa pada sekitar hari kelima
demam sudah mulai turun, tetapi
kematrokit makin meningkat, leukosit makin anjlok, dan trombosit
juga makin anjlok. Leukopeni
rata-rata selalu mendahului trombositopeni, dan trombositopeni
mendahului plasma leakage.
Pemeriksaan serologi baru
dapat terdeteksi setelah hari kelima, karena disitu kemungkinan
besar konsentrasi antibodi cukup
di atas batas deteksi alat. Sedangkan pemeriksaan antigen NS1
dapat dilakukan dari H-1 sampai dengan hari keempat, kadar
optimal NS1 adalah pada hari
ketiga. Pemeriksaan antigen NS1
ada dua, yaitu dengan ELISA dan
rapid test. Pemeriksaan de-ngan
ELISA lebih akurat tetapi membutuhkan waktu yang lama (4
jam). Sedangkan pemeriksaan
dengan rapid test hanya mebutuhkan waktu 5 menit.
NS1 merupakan non structure
protein yang terdapat pada permukaan virus, merupakan antigen yang letaknya paling luar

sehingga paling mudah terdeteksi dan merupakan biang kerok


utama manifestasi respon imun
yang telah diterangkan sebelumnya. Dr. Leonard sempat bertemu
dengan penemu alat rapid test untuk NS1 ini, dan menurut sang
penemu hari ketiga merupakan
puncak kadar NS1 sehingga paling memungkinkan deteksi NS1
pada hari itu. Akan tetapi setelah
hari kelima, jumlah antigen sudah
menurun sampai tidak bisa terdeteksi. Untuk antibodi, dapat dideteksi setelah kelima demam.
Pemeriksaan NS1 tidak bisa
menggantikan pemeriksaan antibodi. Akan tetapi tidak dapat
menentukan infeksi yang terjadi
primer atau sekunder. Kita juga
telah melupakan uji tourniquet.
Padahal uji tourniquet merupakan uji yang paling sederhana dan
spesifik untuk DBD.
dr. Leonard menutup presentasi dengan menekankan perbedaan antara demam dengue
dengan demam berdarah dengue,
pada DBD sudah pasti terjadi
plasma leakage, sedangkan pada
demam dengue tidak terjadi.
Acara dilanjutkan kembali dengan presentasi yang akan disampaikan oleh dr. Kie Chen, SpPD,
KPTI, yaitu mengenai:
Penatalaksanaan Demam
Berdarah Dengue
Dr. Kie Chen memulai dengan
penekanan bahwa Indonesia
merupakan endemik demam berdarah dengue (DBD) dan pada demam berdarah terjadi kebocoran
plasma.
Terapi pada demam berdarah
adalah terapi suportif. Yaitu memberikan cairan pengganti sampai
respon imunologi itu berhenti.
Kematian yang terjadi 1%.
Penetapan kasus DHF menurut WHO pada tahun 1997, yaitu:
- Demam atau pernah demam,
dalam 2-7 hari terakhit, dan biasanya biphasic.
- Trombositopenia
(<100.000/
mm3)
- Test tourniquet positif
- Petecheae, ecchymoses, atau purpura.
- Pendarahan di mukosa, saluran
GI, tempat injeksi, atau lokasi
lainnya.
- Hematemesis atau melena.
- Kejadian kebocoran plasma:
peningkatan hematokrit >20%,

penurunan hematokrit setelah


pemberian cairan pengganti
>20% terhadap baseline.
- Tanda-tanda kebocoran plasma
lainnya: efusi pleura, asites, dan
hipoproteinemia.
Tatalaksana DHF umumnya
adalah tatalaksana yang bersifat
suportif. Kita tidak mempunyai
obat-obat yang bisa menyetop
proses imunologi yang terjadi.
Tetapi kebocoran plasma akibat
respon imunologi akan berhenti
dengan sendiri. Umumnya yang
diberikan kepada pasien adalah
cairan pengganti cairan tubuh,
istirahat yang cukup, nutrisi.
Selain itu diberikan pula obat antipiretik, akan tetapi hindari pemberian aspirin dan NSAID karena
obat-obat tersebut dapat memicu
pendarahan. Hal yang paling
penting juga dalam tatalaksana
DHF adalah
1. monitoring tanda-tanda shock, biasanya selama fase afebril (hari
ke-4-6);
2. monitoring kesadaran, denyut
nadi, dan tekanan darah;
3. monitoring hematokrit (Ht) dan
jumlah platelet.
Kita memiliki beberapa pilihan
cairan. WHO menuliskan pemberian cairan kristaloid, yaitu
cairan yang mengandung elektrolit. Sebaiknya jangan berikan
cairan maintenance yang seperti
dekstrosa dan cairan lainnya untuk nutrisi, karena cairan-cairan

tersebut tidak bisa bertahan dalam


kapiler dalam waktu yang lama.
Cairan itu umumnya akan keluar
dari pembuluh darah. Memang
pemberian koloid belum direkomendasikan pada protokol WHO.
Tapi koloid dengan molekul yang
lebih besar dapat bertahan lebih
lama dalam plasma. Kita belum
ada data untuk pemakaian koloid
pada DHF I/II. Tetapi untuk DHF
yang mengalami shock sudah ada
penelitian yang dilakukan.
Prinsip tatalaksana pemberian
cairan: volume cairan yang diberikan merupakan jumlah defisit
cairan tubuh ditambah deng-an
jumlah cairan yang diperlukan
untuk maintenance.
Formula:
Need of fluid / day
= Fluid deficit + maintenance
5% BW deficit
= (5% x BW x 1000) mL
Maintenance
= 1500 + 20 x [BW(kg) - 20]
Pemberian
cairan
harus
disesuaikan sesuai dengan kondisi
klinis pasien, evaluasi kondisi vital Ht dilakukan setiap 4 jam sekali. Jangan sampai terjadi kelebihan
cairan.
Pedoman Tatalaksana Klinis
Infeksi Dengue di Sarana Pelayanan Kesehatan Depkes 2005
Berikut adalah tatalaksana DHF
dengan peningkatan Ht >20%:

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

Tatalaksana renjatan

Pada kesempatan ini, dipaparkan


secara singkat hasil penelitian
An Open Pilot Study of the Efficacy and Safety of Polygeline
(Haemaccell) in Adult Subjects
with Dengue Hemorrhagic Fever yang diteliti oleh Herdiman
J Pohan, Khie Chen Lie, Widayat
Djoko Santaso, Suhandro, dan
Eppy dengan sponsor PT Dexa
Medica.
Terapi cairan pada penderita demam berdarah tahap I/II
memiliki beberapa problema, sebagai berikut:

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

1. terjadinya
hemokonsentrasi
selama terapi cairan pengganti
sehingga dibutuhkan lebih banyak cairan;
2. terjadi akumulasi cairan pada
rongga-rongga tubuh seperti
pleural efusi, asites, dan udem
pada kadnung kemih.
Problema ini memunculkan
kebutuhan akan adanya cairan
pengganti yang dapat bertahan
lebih lama dalam intravaskular,
mudah diekskresi, lebih aman
untuk organ tubuh (misal ginjal),

memiliki pengaruh yang minimal


terhadap sistem koagulasi, dan
less allergic potential.
Haemaccell adalah cairan
koloid yang memiliki komposisi polygeline yang diperoleh
dari tulang rawan sapi. Kandungan koloid yang memiliki Berat
Molekul lebih besar dibanding
cairan kristaloid memungkinkan
Haemaccell bertahan dalam intravaskular lebih lama, dan apabila dibandingkan dengan cairan
koloid lainnya, berat molekul
polygeline adalah yang paling kecil

Beberapa Hasil Diskusi Round


Table Discussion
Transfusi trombosit hanya diberikan pada kondisi pendarahan dan
tidak pernah diberikan untuk profilaksis. Dalam beberapa penelitian yang telah dilakukan Dr. Kie
Chen, SpPD, KPTI dkk, rendahnya jumlah trombosit ti-dak selalu
menimbulkan pendarahan. Yang
penting adalah selalu monitoring,
pendarahan tidak akan terjadi tanpa diketahui. Bila terjadi epistaksis
namun hemodinamik stabil, nadi
tidak cepat, tidak gelisah, Ht normal, maka tidak diberikan pemberian trombosit. Namun bila yang
terjadi adalah sebaliknya, yaitu:
pasien gelisah, hemodinamik tidak stabil, Ht turun, adanya nyeri
yang hebat pada abdomen, terasa
mual yang hebat, barulah pemberian transfusi trombosit harus
dipertimbangkan.
Apakah benar alat diagnostik
NS1 berguna? Karena biayanya
mahal sekali. Filosofi NS1 rapid
test: mendeteksi sedini mungkin.
Dibutuhkan di daerah endemik
seperti di Indonesia. Tapi untuk
pasien menengah ke bawah, biasanya dilakukan deteksi dini dari
kadar leukosit. Ingat leucopenia
mendahului trombositopenia. Rapid test NS1 sekarang bisa false positive. Tapi sekarang sedang diteliti
untuk menghindari false positive.
Kemudian acara diakhiri
dengan penutupam oleh moderator (Dr. Tunggul D Situmorang,
SpPD, KGH) dengan applause meriah dari peserta. Wila, Taufik, Ana,
Natalia, Lydia

MEDICINUS

sehingga lebih mudah diekskresi,


lebih aman bagi ginjal, minimal
mempengaruhi sistem koagulasi,
dan kemungkinan menyebabkan
alergi kecil.
Hasil dari penelitian pilot dari
Haemaccell ini menunjukkan
bahwa Haemaccell aman dan
efektif digunakan sebagai terapi
cairan pada pasien demam berdarah tahap I/II. Uji klinis komparatif dengan jumlah subjek yang
lebih besar akan dilakukan untuk
menegaskan efikasi dan keamanan
Haemaccell.

37

MEDICINUS

38

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

MEDICINUS

133

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

MEDICINUS

IKLAN STIMUNO / HISTRIN FT

134

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

events

STIMUNO Raih Anugerah


Produk Asli Indonesia 2008

ca mewakili Managing Director


Dexa Medica, Ferry Soetikno. Sementara itu, Pemimpin Redaksi
Bisnis Indonesia, Ahmad Djauhar dalam sambutannya menjelaskan bahwa para pemenang
APAI 2008 akan difasilitasi untuk mengikuti ABAC (ASEAN
Business
Advisory
Council)
Award tahun 2009 mendatang.

APAI 2008 mengangkat tema


Goes Global dirancang dan
diwujudkan untuk mengangkat produk asli Indonesia, baik
berupa barang maupun jasa,
agar dapat menjadi tuan rumah di negeri sendiri maupun
mampu berlaga di ajang antarbangsa.

Dewan Juri APAI 2008 terdiri


dari: 1. Insan Budi Maulana,
Pengamat Hak Kekayaan Intelektual, Managing Partner and
Head of Intellectual Property Practice pada Lubis, Santosa Maulana
Law Offices, 2. Yongky S. Susilo,
Director, Business Development,
Retail Services PT The Nielsen
Company Indonesia, 3. Rofikoh
Rokhim, Ekonom Harian Bisnis
Indonesia, 4. Amalia E. Maulana, Head of MM Strategic Marketing BiNus Business School, 5.
Bambang Setiadi Kepala Badan
Standardisasi Nasional (BSN),
6. Goenawan Loekito, Pemerhati

Penghargaan APAI 2008 untuk STIMUNO diserahkan oleh


Wakil Pemimpin Perusahaan
Harian Bisnis Indonesia, Haryadi B. Sukamdani kepada Sylvia
Andriani Rizal, Head of Marketing and Sales OTC Dexa Medi-

Direktur PT Astra Honda Motor.


Sebelumnya, STIMUNO juga
pernah memenangkan penghargaan Primanyarta Award (2005)
dan BJ Habibie Technology Award
(2008). Corporate Communica-

tions Dexa Medica

MEDICINUS

TIMUNO yang diproduksi PT Dexa Medica


memperoleh Anugerah
Produk Asli Indonesia (APAI)
2008, Pemenang Kategori Obat.
Penghargaan ini diberikan oleh
harian ekonomi terkemuka Bisnis Indonesia, yang diserahkan
pada Kamis, 11 Desember 2008,
di Gedung Balai Kartini, Jakarta.

Bisnis dan Teknologi, Marketing


Director PT Oracle Indonesia, 7.
Narga S. Habib, Ketua Umum
Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI), 8. Mayadewi Hartarto, Presiden Direktur
Esmod Jakarta, 9. Julius Aslan,

41

Website Dexa Medica Tampil dengan Wajah Baru

ebsite Dexa Medica


kini tampil dengan
wajah baru. Disain
dan menu-menu baru terlihat
lebih dinamis. Website ini akan
menjadi pintu gerbang informasi tentang Dexa Medica.
Tampilan baru ini mulai dapat
diakses pada Rabu, 4 Februari
2009, setelah Managing Director
Dexa Medica, Ferry Soetikno
melakukan browsing di sejumlah menu-menu baru dalam
website ini, seperti Presentations,
40 Tahun Dexa Medica, dan Hot
News.

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

Selain menu-menu baru, beragam pilihan menu lain yang


dapat diakses seperti info
produk (ethical dan OTC), berita kesehatan dan farmasi, calendar of event, ragam aktivitas
sosial Dharma Dexa, hingga
info karir.
Web Dexa Medica akan senantiasa dikembangkan mengikuti
dinamika teknologi informasi.
Silahkan kunjungi, tampilan
baru www.dexa-medica.com !
Corporate Communications Dexa
Medica

events

Dua Tahun Berturut-turut:


Dexa Medica Perusahaan Pembina
Tenaga Kerja Perempuan Terbaik

ua Tahun berturut-turut,
Dexa Medica terpilih sebagai Perusahaan Pembina Tenaga Kerja Perempuan
Terbaik Provinsi Sumatera Selatan tahun 2008 dan 2007.
Penghargaan Perusahaan Pembina Tenaga Kerja Perempuan
Terbaik 2008 diberikan Senin, 22
Desember 2008, di Jakarta Conven-

tion Center, oleh Menteri Tenaga


Kerja dan Transmigrasi RI, Erman
Suparno disaksikan Presiden RI
Susilo Bambang Yudhoyono, dan
Ibu Negara, Ani Bambang Yudhoyono, Wakil Presiden Yusuf Kalla,
Menteri Megara Pemberdayaan
Perempuan, Meutia Hatta, Menteri
Kesehatan, Siti Fadillah Supari,
Menteri Perdagangan, Mari Elka
Pangestu, dan sejumlah Menteri
Kabinet Indonesia Bersatu
lainnya.

MEDICINUS

Dari
Dexa
Medica, hadir
pada
penyerahan
penghargaan
tersebut,
Karyanto,
Corporate
Communications Manager, mewakili
Managing
Director Dexa
M e d i c a ,

42

Dexa Award untuk Lulusan


Terbaik Apoteker UI

exa Medica
kembali
memberikan
penghargaan Dexa Award kepada lulusan terbaik program
profesi Apoteker dari universitas
terakreditasi A di Indonesia. Kali
ini, Nova Trisnawaty, S.Farm, Apt,
terpilih untuk menerima penghargaan Dexa Award sebagai lulusan
terbaik program profesi Apoteker
Angkatan ke-67, Universitas Indonesia (UI). Nova yang berasal dari
Palembang, Sumatera Selatan ini,
memiliki Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,46.
Dexa Award diserahkan oleh
Head of Marketing and Sales OTC
Dexa Medica, Sylvia Andriani
Rizal, mewakili Direksi Dexa
Medica, pada Pelantikan dan

Pengambilan Sumpah Apoteker


Angkatan LXVII, Departemen
Farmasi, Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam UI,

Ferry Soetikno.
Penghargaan
ini digelar bersamaan Peringatan Hari Ibu
ke-80 dan Pencanangan Tahun Indonesia
Kreatif 2009.
Ada tujuh kategori penghargaan yang diberikan, yaitu Penghargaan Anugerah Parahita Ekapraya Tingkat
Provinsi dan Kabupaten/Kota,
Penghargaan Pengelola Program
Terpadu Peningkatan Peran Wanita menuju Keluarga Sehat Sejahtera (P2WKSS) Terbaik Tingkat
Provinsi, Penghargaan Pengelola
Program Bina Keluarga Balita
(BKB) Terbaik Tingkat Provinsi,
Penghargaan Kelompok Bina
Keluarga Balita (BKB) Terbaik
Tingkat Provinsi, Penghargaan
Pengelola Kecamatan Sayang Ibu
(KSI) Terbaik Tingkat Provinsi,
Penghargaan Rumah Sakit Sayang
Ibu dan Bayi (RSSI dan B) Terbaik

Tingkat Provinsi, dan Penghargaan Perusahaan Pembina Tenaga


Kerja Perempuan Terbaik Tingkat
Provinsi.
Pemenang Perusahaan Pembina
Tenaga Kerja Perempuan Terbaik
Tingkat Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2008 adalah, Pemenang
Pertama: PT Dexa Medica, Jl.
Bambang Utoyo Palembang dengan nilai 7.323, Pemenang Kedua
PT Interbis, Jl HBR Motik KM 7,
Palembang dengan nilai 6.808,
dan Pemenang Ketiga adalah PT
PN VII Unit Usaha Beringin, Kabupaten Muara Enim dengan nilai
6.662. Corporate Communications
Dexa Medica

di Balai Sidang
UI, Depok, Rabu,
4 Februari 2009.
Acara itu dihadiri pula Ketua
Umum
Ikatan
Sarjana Farmasi
Indonesia (ISFI),
Prof. Dr. Haryanto Dhanutirto. Ada 60 lulusan Apoteker
Angkatan
ke67 yang dilantik dan diambil
sumpahnya dalam acara tersebut. Dexa Award merupakan
penghargaan dari Dexa Medica
kepada para apoteker dan dokter yang telah dengan upaya
gigih menjadi lulusan terbaik.
Dalam sambutannya, Sylvia
mengatakan Dexa Medica didirikan di Palembang pada 27
September 1969. Produk-produk

obat Dexa Medica tidak hanya


didistribusikan di dalam negeri,
tetapi juga diekspor ke manca negara. STIMUNO yang merupakan
produk herbal untuk memperkuat
sistem imun telah mendapatkan
sertifikat Fitofarmaka dari Badan
Pengawasan Obat dan Makanan
(BPOM). Bahkan belum lama ini,
STIMUNO juga meraih penghargaan Anugerah Produk Asli Indonesia (APAI) 2008. Corporate Com-

munications Dexa Medica

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

calender events

2. PIT FETOMATERNAL MALANG


Topik: Management of Obstetric Emergencies from Biomolecular to Vlinical Practice
Tanggal: 7-11 Maret 2009
Tempat: Kusuma Argo Wisata Hotel Batu,
Malang
Sekretariat:
RSU Dr. Saiful Anwar Malang Div. Obstetric & Ginecology
Jl. Jaksa Agung No. 2 Malang dan Jl. Ciasem I No.
30A Kebayoran Baru - Jakarta Selatan
Telp.: 0341-353331 / 021-7254424
Faks: 0341-353332 / 021-72794826

E-mail: fetomalang@yahoo.com

Contact Person: Dewi
3. Workshop on Stem Cell Isolation, Culture
and Analysis 2009

Tanggal: 17 Maret 2009
Tempat: Stem Cell and Cancer Institute (SCI) Pulomas, Jakarta
Sekretariat:
Fakultas Farmasi Universitas Pancasila
Jl. Srengseng Sawah, Jagakarsa - Jakarta Selatan
Telp.: 021-7864727

E-mail: tasq.julianti@gmail.com

Contact Person: Tasqiah J (08122440698);
Lungguk H (0812199185); Esti M
(08151663201)
4. 7th National Obesity Symposium

Topik: Obesity: Mission Possible
Tanggal: 21-22 Maret 2009
Tempat: Flores Room - Hotel Borobudur, Jakarta
Sekretariat:
Prodia Clinical Laboratory
Jl. Kramat VI No. 5, Jakarta Pusat
Telp.: 021-3145256, 3145296, 3145013,
3145014

Faks: 021-31902310, 3159610
E-mail: prodiaorganizer@yahoo.com; wil3.
pemasaran@yahoo.co.id
Contact Person: Pipih (0818196087); Nurul
(085711118648)
5. HIV Infection in Infants and Children in Indonesia: Current Challenges in Management
Tanggal: 22-23 Maret 2009
Tempat: Hotel Borobudur, Jakarta
Sekretariat:

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

PKB IKA Departemen Ilmu Kesehatan Anak


FKUI/RSCM, Jl. Salemba Raya 6 Jakarta 10430
Telp.: 021-3161420
Faks: 021-3161420
E-mail: salsa_nahdi@yahoo.com.sg
Website: http://www.idai.or.id/agenda/
Contact Person: Sdri. Indri Nethalia / Dinnisa
Adirisnur
6. Non Surgical Management of Benign Gynecology
Tanggal: 27-28 Maret 2009
Tempat: Auditorium Sarwono Lt. 1 Gedung A/
Public Wing RSCM
Sekretariat:
RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo
Telp.: 021-3928720 / 021-68275657
Faks: 021-3928719

Contact Person: Sdr. Rima/Frany
7. Update on Diagnosis & Management of
Clinical Problem in Daily Practice (KPPIK
FKUI 2009)
Tanggal: 14-19 April 2009
Tempat: FKUI dan Shangri La Hotel, Jakarta

Sekretariat:
CME-PDU FKUI Lt.2
Jl. Salemba Raya No. 6 Jakarta Pusat
Telp.: 021-3106737, 70752375
Faks: 021-3106443

E-mail: kppik09.fkui@gmail.com atau cme_
fkui@yahoo.com

Contact Person: Yaya/Fiona/Wafi
8. Joint Meeting - 3rd Congress of Association
of Souteast Asan Pain Society (ASEAPS) and
Neuropathic Pain Special Interest Group
(NeuPSIG) 2009

Tanggal: 17-20 April 2009
Tempat: Hyatt Hotel - Nusa Dua, Bali

Sekretariat:

Anesthesiology Department, Faculty of
Medicine, Hasanuddin University/Dr. Wahidin
Sudirohusodo General Hospital

Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 11 Tamalanrea,
Makassar, South Sulawesi, Indonesia

Telp.: +62-411-582583

Faks: +62-411-590290

E-mail: joint_meeting@yahoo.co.id
Website: http://www.aseaps2009.net

Contact Person: Abdillah Khomeini
9. 10th Jakarta Antimicrobial Update (JADE)
2009

Topik: Improving Clinical Skills in Managing Tropical and Infectious Diseases

Tanggal: 25-26 April 2009

Tempat: Shangri-La Hotel, Jakarta

Sekretariat:

Telp.: 021-3929106 / 021-3920185

Faks: 021-3911873 / 021-3929106

Contact Person: Lenni Sibarani/Dewi/Yulianto
10. Anesthesia and Cardiovascular Problems

Tanggal: 8-9 Mei 2009
Tempat: Patra Convention Hotel, Semarang

Sekretariat:

PT GPD Indonesia, Jl. Ciasem I No. 30A Kebayoran


Baru, Jakarta Selatan 12180
Telp.: 021-7254424, 7246720
Faks: 021-72794826

11. Disfunctional Uterine Bleeding dan Hiperplasia Endometrium



Tanggal: 14-15 Mei 2009

Tempat: Auditorium Sarwono Lt. 1 Gedung A/
Public Wing RSCM

Sekretariat:

RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo

Telp.: 021-3928720, 68275657

Faks: 021-3928719

Contact Person: Sdr. Rima/Frany

12. The 5th International Endoscopy Workshop
& Indonesian Digestive Diseases week
Tanggal: 14-17 Mei 2009

Tempat: Borobudur Hotel, Jakarta dan RSCM

Sekretariat:
Divisi Gastroenterologi
Bagian Ilmu Penyakit Dala, FKUI/RSUP Dr.
Cipto Mangunkusumo, Jl. Diponegoro 71,
Jakarta

Telp.: +62-21-3148680, 83792121
E-mail: gitipdui@cbn.net.id atau pt_mts@
indo.net.id
Website: http://www.ina-hgic.
or.id/?page=event
13. 12th Asian Conference on Diarrhoeal Diseases and Nutrition (12th ASCODD)

Tanggal: 25-29 Mei 2009
Tempat: Yogya

Sekretariat:
Pediatric Research Unit Child Health Department Faculty of Medicine Gadjah Mada University, Jl. Kesehatan No. 1 Yogyakarta 55281
Telp.: +62-274-7011570, 555455
Faks: +62-274-555255

E-mail: ascodd12@hotmail.com
14. Jogya Dsypepsia Forum 2009

Dyspepsia Management Strategy

Where are We Now and Where are We Going?

Tanggal: 5-6 Juni 2009

Tempat: Hotel Borobudur, Jakarta

Sekretariat:

Bagian Penyakit Dalam RSUP Dr. Sardjito

Jl. Kesehatan No. 1 Sekip, Yogyakarta

Telp.: 62 274 587333 psw 316 / 553119

Faks: 62 274 553120

E-mail: gitrss@yahoo.com
15. 4th National Symposium on Vascular Medicine

Topik: Integrative Approach on Vascular
Disease: from Prevention to Intervention
Tanggal: 30 Juli - 1 Agustus 2009

Tempat: Ritz Carlton Hotel, Jakarta

Sekretariat:

Rumah sakit Pusat Jantung Nasional Harapan
Kita, Jl. S Parman Kav. 87 Slipi, Jakarta

Telp.: 021-5684085, 5684093 (ext 2831)

Faks: 021-56963795

MEDICINUS

1. 5th Jakarta International FESS Course &


Workshop
Tanggal: 7-9 Maret 2009
Tempat: Gran Melia Hotel, Jakarta
Sekretariat:
Ear Nose Throat Department
Gedung A (Medical Staff Building) - 7th Floor
Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta
Indonesia
Telp.: +62-21-3910701 / 3912144
Faks: +62-21-3912144 / 394154

E-mail: retno_wardani@yahoo.com atau

thtrscm@indo.net.id
Website: http://www.pediatric-ent.asia/index.
php?option=com_content&view=category&lay
out=blog&id=30&itemid=102

43

literature services

Pembaca yang budiman,


Jurnal MEDICINUS melayani permintaan literatur services hanya dengan melalui Tim Promosi Dexa Medica Group.
Di bawah ini akan diberikan daftar isi beberapa jurnal terbaru yang dapat anda pilih. Bila anda menginginkannya, mohon halaman
ini difotokopi, artikel yang dimaksud diberi tanda dan dikirimkan ke atau melalui Tim Promosi.

o Outcomes

ical progress to date. Drugs 2009; 69(1):31-

of patients hospitalized with

community-acquired, health care-associated,


and hospital-acquired pneumonia. Annals of

50

o Management of NSAID-induced gastrointestinal toxicity. Focus on proton pump inhibi-

Internal Medicine 2009; 150:19-26

o Screening for skin cancer: An update of the evidence for the US preventive services task force.

tors. Drugs 2009; 69(1):51-69

o Effect of high-dose simvastatin therapy on glucose metabolism and ectopic lipid deposition in

Annals of Internal Medicine 2009; 150:194-8

MEDICINUS

o Prognosis

mary care: A 1-year follow-up study. Annals of


Family Medicine 2008; 6:519-27

44

2009; 32:209-14

o Metabolic

syndrome and risk for incident

Oxidative stress and left ventricular remod-

Alzheimers disease or vascular dementia.

elling after myocardial infarction. Cardiovas-

Diabetes Care 2009; 32:169-74

cular Research 2009; 81:457-64

o Long-term

use of thiazolidinediones and

fractures in type 2 diabetes: A meta-analysis. CMAJ 2009; 180(1):32-9

nonobese type 2 diabetic patients. Diabetes Care

of fatigue and functioning in pri-

A
 cupuncture treatment for pain: Systemic
Review of randomised clinical trials with
acupuncture, placebo acupuncture, and no
acupuncture groups. BMJ 2009; 338:330-44

o 
Long-term

survival after evidence based

treatment of acute myocardial infarction


and revascularisation: follow-up of population based Pert MONICA cohort, 1984-2005.
BMJ 2009; 339:b36

o Antidepressants for the treatment of chronic


pain. Drugs 2008; 68(18):2611-32

o Novel targets for antiretroviral therapy. Clin-

Allopurinol and nitric oxide activity in the


cerebral circulation of those with diabetes.
Diabetes Care 2009; 32:135-7

o 
Giant

osteoclast formation and long-term

oral bisphosphonate therapy. The New England Journal of Medicine 2009; 360:53-62

o 
Fractional flow reserve versus angiography
for guiding percutaneous coronary intervention. The New England Journal of Medicine
2009; 360:213-24

o 
Primary ovarian insufficiency. The New England Journal of Medicine 2009; 360:606-14

o 
Association of mild anemia with hospitalization and mortality in the elderly: the health
and anemia population-based study. Haematologica 2009; 94(1):22-8

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

MEDICINUS

IKLAN KEPPRA

IKLAN HOSPITAL EXPO

You might also like