Professional Documents
Culture Documents
Apakah Fungsi
Kognitif Penderita
Diabetes Dipengaruhi
oleh Status Vitamin E
14
Asam Valproat
untuk Mencegah
Migren
22
Pencegahan Quorum
Sensing: Suatu
Pendekatan Baru
untuk Mengatasi
Infeksi Bakteri
IKLAN
TRIXIM
tentang Quorum Sensing memberikan strategi alternatif dalam usaha manusia untuk mengendalikan
bakteri patogen, baik itu patogen
pada manusia, hewan, dan tanaman.
Selamat membaca!!!!
daftar isi
1
Dari Redaksi
Petunjuk Penulisan
Leading Article
Berdarah Dengue
Original Article (Research)
14
17
REDAKSI
Medical Review
MEDICINUS
dari redaksi
ringan Granulasi
22
28
DBD
SUMBANGAN TULISAN
Redaksi menerima partisipasi berupa tulisan, foto dan materi
lainnya sesuai dengan misi majalah ini. Redaksi berhak mengedit atau mengubah tulisan/susunan bahasa tanpa mengubah isi
yang dimuat apabila dipandang perlu.
32
35
Events
43
Calender Events
44
Literatur Services
MEDICINUS
Petunjuk Penulisan
the effects of blood transfusion on antitumor responses. Curr Opin Gen Surg
1993;325-33
11. Nomor halaman dalam angka romawi
Fischer GA, Sikic BI. Drug resistance in clinical oncology and hematology. Introduction Hematol Oncol Clin North Am 1995; Apr; 9(2):xi-xii
Buku dan monograf lain
12. Penulis perseorangan
Ringsven MK, Bond D. Gerontology and leadership skills for nurses. 2nd ed.
Albany (NY):Delmar Publishers; 1996
13. Editor sebagai penulis
Norman IJ, Redfern SJ, editors. Mental health care for eldery people. New
York:Churchill Livingstone; 1996
14. Organisasi sebagai penulis
Institute of Medicine (US). Looking at the future of the medicaid program.
Washington:The Institute; 1992
15. Bab dalam buku
Catatan: menurut pola Vancouver ini untuk halaman diberi tanda p, bukan
tanda baca titik dua seperti pola sebelumnya).
Phillips SJ, Whisnant JP. Hypertension and stroke. In: Laragh JH, Brenner BM,
editors. Hypertension: Patophysiology, Diagnosis and Management. 2nded.
New York:Raven Press; 1995.p.465-78
16. Prosiding konferensi
Kimura J, Shibasaki H, editors. Recent Advances in clinical neurophysiology.
Proceedings of the 10th International Congress of EMG and Clinical Neurophysiology; 1995 Oct 15-19; Kyoto, Japan. Amsterdam:Elsevier; 1996
17. Makalah dalam konferensi
Bengstsson S, Solheim BG. Enforcement of data protection, privacy and security in medical information. In: Lun KC, Degoulet P, Piemme TE, editors. MEDINFO 92. Proceedings of the 7th World Congress on Medical Informatics; 1992
Sep 6-10; Geneva, Switzerland. Amsterdam:North-Hollan; 1992.p.1561-5
18. Laporan ilmiah atau laporan teknis
Diterbitkan oleh badan penyandang dana/sponsor:
Smith P, Golladay K. Payment for durable medi-cal equipment billed during
skilled nursing facility stays. Final report. Dallas(TX):Dept.of Health and Human Services (US), Office of Evaluation and Inspections; 1994 Oct. Report No.:
HHSIGOEI69200860
Diterbitkan oleh unit pelaksana:
Field MJ, Tranquada RE, Feasley JC, editors. Health Services Research: Work
Force and Education Issues. Washington:National Academy Press; 1995. Contract No.: AHCPR282942008. Sponsored by the Agency for Health Care Policy
and Research
19. Disertasi
Kaplan SJ. Post-hospital home health care: The elderys access and utilization
[dissertation]. St. Louis (MO): Washington Univ.; 1995
20. Artikel dalam koran
Lee G. Hospitalizations tied to ozone pollution: study estimates 50,000 admissions annually. The Washington Post 1996 Jun 21; Sept A:3 (col.5)
21. Materi audio visual
HIV + AIDS: The facts and the future [videocassette]. St. Louis (MO): MosbyYear Book; 1995
Materi elektronik
22. Artikel jurnal dalam format elektronik
Morse SS. Factors in the emergence of infection diseases. Emerg Infect Dis [serial online] 1995 jan-Mar [cited 1996 Jun 5];1(1):[24 screens]. Available from:
URL:HYPERLINK
23. Monograf dalam format elektronik
CDI, Clinical dermatology illustrated [monograph on CD-ROM]. Reeves JRT,
maibach H. CMEA Multimedia Group, producers. 2nd ed. Version 2.0. San
Diego: CMEA; 1995
24. Arsip komputer
Hemodynamics III: The ups and downs of hemodynamics [computer program]. Version 2.2. Orlando [FL]: Computerized Educational Systems
leading article
Abstrak. Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Sampai
saat ini, infeksi virus Dengue tetap menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Indonesia dimasukkan dalam kategori A dalam stratifikasi DBD oleh World Health Organization (WHO) 2001 yang mengindikasikan tingginya angka perawatan rumah sakit dan kematian
akibat DBD, khususnya pada anak.1-3 Data Departemen Kesehatan RI menunjukkan pada tahun 2006 (dibandingkan tahun 2005)
terdapat peningkatan jumlah penduduk, provinsi dan kecamatan yang terjangkit penyakit ini, dengan case fatality rate sebesar 1,01%
(2007).4-5
Sampai saat ini, belum ada terapi yang spesifik untuk DBD, prinsip utama dalam terapi DBD adalah terapi suportif, yakni pemberian
cairan pengganti.6 Dengan memahami patogenesis, perjalanan penyakit, gambaran klinis dan pemeriksaan laboratorium, diharapkan
penatalaksanaan dapat dilakukan secara efektif dan efisien.
MEDICINUS
3
51
Pendahuluan
Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah
penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Sampai saat ini,
infeksi virus Dengue tetap menjadi masalah kesehatan di Indonesia.
Indonesia dimasukkan dalam kategori A dalam stratifikasi DBD oleh
World Health Organization (WHO) 2001 yang mengindikasikan tingginya angka perawatan rumah sakit dan kematian akibat DBD, khususnya pada anak.1-3 Data Departemen Kesehatan RI menunjukkan pada
tahun 2006 (dibandingkan tahun 2005) terdapat peningkatan jumlah
penduduk, provinsi dan kecamatan yang terjangkit penyakit ini, dengan case fatality rate sebesar 1,01% (2007).4-5
Berbagai faktor kependudukan berpengaruh pada peningkatan
dan penyebaran kasus DBD, antara lain:
1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi,
2. Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali,
3. Tidak efektifnya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis, dan
4. Peningkatan sarana transportasi.4
Upaya pengendalian terhadap faktor kependudukan tersebut (terutama kontrol vektor nyamuk) harus terus diupayakan, di samping
pemberian terapi yang optimal pada penderita DBD, dengan tujuan
menurunkan jumlah kasus dan kematian akibat penyakit ini. Sampai
saat ini, belum ada terapi yang spesifik untuk DBD, prinsip utama
dalam terapi DBD adalah terapi suportif, yakni pemberian cairan pengganti.6 Dengan memahami patogenesis, perjalanan penyakit, gambaran
klinis dan pemeriksaan laboratorium, diharapkan penatalaksanaan dapat dilakukan secara efektif dan efisien.
Definisi
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang
disebabkan oleh virus dengue serta memenuhi kriteria WHO untuk
DBD. DBD adalah salah satu manifestasi simptomatik dari infeksi virus dengue.
7
Patogenesis
Dua teori yang banyak dianut dalam menjelaskan patogenesis infeksi
dengue adalah hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection theory) dan hipotesis immune enhancement.
MEDICINUS
Diagnosis
Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua
hal ini terpenuhi:2,5,9
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik.
2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bendung
positif; petekie, ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; hematemesis dan melena.
3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml).
4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sbb:
Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai
umur dan jenis kelamin.
Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia, hiponatremia.
Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu:2,5,9
Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan adalah uji torniquet.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya
limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak hari
ke 3). Trombositopenia umumnya dijumpai pada hari ke 3-8 sejak timbulnya demam. Hemokonsentrasi dapat mulai dijumpai mulai hari ke
3 demam.5
Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan
terjadinya gangguan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP). Pemeriksaan lain
yang dapat dikerjakan adalah albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin.
Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik
melalui pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi
molekular. Di antara tiga jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai
baku emas adalah metode isolasi virus. Namun, metode ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu yang lama (lebih dari
12 minggu), serta biaya yang relatif mahal. Oleh karena keterbatasan
ini, seringkali yang dipilih adalah metode diagnosis molekuler dengan
deteksi materi genetik virus melalui pemeriksaan reverse transcriptionpolymerase chain reaction (RT-PCR). Pemeriksaan RT-PCR memberikan
hasil yang lebih sensitif dan lebih cepat bila dibandingkan dengan isolasi virus, tapi pemeriksaan ini juga relatif mahal serta mudah mengalami kontaminasi yang dapat menyebabkan timbulnya hasil positif
semu. Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue.
Imunoserologi berupa IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat
sampai minggu ke 3 dan menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi
primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14, sedangkan pada infeksi
sekunder dapat terdeteksi mulai hari ke 2.11
Salah satu metode pemeriksaan terbaru yang sedang berkembang adalah pemeriksaan antigen spesifik virus Dengue, yaitu antigen
nonstructural protein 1 (NS1). Antigen NS1 diekspresikan di permukaan
sel yang terinfeksi virus Dengue. Masih terdapat perbedaan dalam
Penatalaksanaan
Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis. Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran
plasma dan memberikan terapi substitusi komponen
darah bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapi
cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah
pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris.
Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga
6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses
kebocoran plasma akan berkurang dan cairan akan
kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada kondisi tersebut secara bertahap
dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah
pemberian cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya kelebihan
cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun asites
yang masif perlu selalu diwaspadai.
Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada trombositopenia yang berat)
dan pemberian makanan dengan kandung-an gizi
yang cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau
bumbu yang mengiritasi saluaran cerna. Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa
parasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasi
keluhan dispepsia. Pemberian aspirin ataupun obat
antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari karena
berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna
bagaian atas (lambung/duodenum).
Protokol pemberian cairan sebagai komponen
utama penatalaksanaan DBD dewasa mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol WHO. Protokol ini terbagi dalam 5 kategori, sebagai berikut:
1. Penanganan tersangka DBD tanpa syok (gambar
4).
2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di
ruang rawat (gambar 5).
3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20% (gambar 6).
4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD
dewasa
5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa
(gambar 7).
MEDICINUS
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan
khususnya pada penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama
adalah jenis cairan dan kedua adalah jumlah serta kecepatan cairan
Kesimpulan
Demam berdarah dengue tetap menjadi salah satu masalah kesehatan
di Indonesia. Dengan mengikuti kriteria WHO 1997, diagnosis klinis
dapat segera ditentukan. Di samping modalitas diagnosis standar untuk menilai infeksi virus Dengue, antigen nonstructural protein 1 (NS1)
Dengue, sedang dikembangkan dan memberikan prospek yang baik
untuk diagnosis yang lebih dini.
Terapi cairan pada DBD diberikan dengan tujuan substitusi kehilangan cairan akibat kebocoran plasma. Dalam terapi cairan, hal
terpenting yang perlu diperhatikan adalah: jenis cairan, jumlah serta
kecepatan, dan pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris
untuk menilai respon kecukupan cairan.
Daftar Pustaka
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
MEDICINUS
MEDICINUS
research
original article
Abstract. Background: Long-term oxidative stress is believed to be one of the major factors contributing to the decline of cognitive function observed with aging. Oxidative stress due to the generation of free radicals resulting from normal metabolism causes
accumulated oxidative damage to critical biomolecules, especially when coupled with insufficient endogenous antioxidant defense
mechanisms.
Brain tissue, which has relatively little antioxidant protection, also contains high levels of polyunsaturated fatty acids (PUFA), making
it more vulnerable to oxidative insult. Interventions to increase antioxidant capacity and reduce oxidative damage have been suggested as a potentially useful strategy to prevent or retard this process. Due to its antioxidant properties, vitamin E plays a role in the
prevention of certain diseases, including cancer, diabetes, cataracts, cardio and cerebrovascular disease, and has been related to the
prevention or slowing of cognitive decline.
Mild cognitive impairment is one of the risk factors to get dementia. Dementia connected with the risk factor of diabetes mellitus
(DM). At prospective study Rotterdam and Hisamaya, and also the retrospective Rochester study show that the risk of Alzheimer (AD)
become two time greater as risk as at person with type 2 DM.
Aim: The aim of this study was to examine associations between vitamin E status and cognitive performance in diabetic people.
Method: Cross sectional study was done to 46 DM patients of 23 men and 23 women, aged more than 50 years old, who came at
Endocrines clinic Sardjito Hospital on AugustDecember 2006 as subject. Serum levels of -tocopherol (vitamin E) was determined
by HPLC method. The cognitive capacity of subjects was tested using the mini mental examination state (MMSE). Mild cognitive impairment (MCI) if MMSE value 24.
Result: There were 18 diabetic people with MCI. We found no different significantly in serum levels of -tocopherol in both group
according cognitive status (7.28 + 4.69 in diabetic people with MCI vs. 6.69 + 4.51 in diabetic people without MCI, p=0.678).
Conclusion: This study shows there is no relationship between vitamin E status and cognitive function in diabetic people.
Keyword: Cognitive function, alpha tocopherol, diabetic people.
ABSTRAK. Latar Belakang: Stres oksidatif jangka panjang diyakini sebagai salah satu faktor utama yang berperan dalam penurunan
fungsi kognitif seiring dengan proses penuaan. Stres oksidatif berupa radikal bebas hasil metabolisme menyebabkan akumulasi
kerusakan oksidatif biomolekul, terutama pada kondisi insufisiensi mekanisme pertahanan antioksidan endogen.
Jaringan otak, yang hanya memiliki sedikit perlindungan antioksidan dan memiliki kadar asam lemak tak jenuh (polyunsaturated
fatty acid/PUFA) yang tinggi, mudah terkena oksidasi. Intervensi untuk meningkatkan kapasitas antioksidan dan mengurangi kerusakan oksidasi diperkirakan akan menjadi strategi yang sangat berguna untuk mencegah atau menghambat proses ini. Dengan melihat fungsinya sebagai antioksidan, vitamin E memegang peranan dalam pencegahan beberapa penyakit, termasuk kanker, diabetes,
katarak, penyakit kardio dan serebrovaskular, dan telah dihubungkan dengan pencegahan atau penghambatan penurunan kognitif.
Gangguan kognitif ringan (mild cognitive impairment/MCI) adalah salah satu faktor risiko demensia. Demensia dihubungkan dengan
faktor risiko diabetes melitus (DM). Pada suatu studi prospektif yang dilakukan Rotterdam dan Hisamaya, dan studi retrospektif Rochester menunjukkan bahwa risiko Alzheimer (AD) menjadi dua kali lebih besar pada penderita DM tipe 2.
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai hubungan antara status vitamin E dan kondisi kognitif pada penderita diabetes.
MEDICINUS
Metode: Penelitian potong lintang dilakukan terhadap 46 penderita DM, 23 laki-laki dan 23 perempuan, usia lebih dari 50 tahun,
yang datang ke poliklinik Endokrin RS Dr. Sardjito pada bulan AgustusDesember 2006. Kadar -tocopherol serum (vitamin E) diukur
dengan metode HPLC. Kapasitas kognitif subjek diukur dengan mini mental examination state (MMSE), dan dinyatakan gangguan
kognitif ringan/mild cognitive impairment (MCI) bila nilai MMSE 24.
Hasil: Didapatkan 18 pasien diabetes dengan MCI. Tidak ditemukan perbedaan bermakna antara kadar -tocopherol serum kedua
kelompok berdasar status kognitifnya (7,28 4,69 pada penderita diabetes dengan MCI vs 6,69 4,51 pada penderita diabetes
tanpa MCI, p=0,678).
Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan antara status vitamin E dan fungsi kognitif pada penderita diabetes.
MEDICINUS
10
Pendahuluan
Tujuan Penelitian
Stres oksidatif jangka panjang diyakini sebagai salah satu faktor utama
yang berperan dalam penurunan fungsi kognitif seiring dengan proses penuaan.1,2 Stres oksidatif berupa radikal bebas hasil metabolisme
normal menyebabkan akumulasi kerusakan oksidatif biomolekul-biomolekul, terutama pada kondisi insufisiensi mekanisme pertahanan
antioksidan endogen.2-4
Jaringan otak, yang hanya memiliki sedikit perlindungan antioksidan dan memiliki kadar asam lemak tak jenuh (polyunsaturated fatty
acid/PUFA) yang tinggi, mudah terkena oksidasi.1,2 Intervensi untuk
meningkatkan kapasitas antioksidan dan mengurangi kerusakan oksidasi diperkirakan akan menjadi strategi yang sangat berguna untuk
mencegah atau menghambat proses ini.2 Vitamin E (-tokoferol) diketahui merupakan antioksidan paling poten dan paling banyak terdapat
pada manusia.5,6 Di samping itu, vitamin E juga dapat memodulasi berbagai fungsi seluler yang tidak terkait dengan aktivitas antioksidan.7,8
Dengan melihat fungsinya sebagai antioksidan, vitamin E memegang
peranan dalam pencegahan beberapa penyakit, termasuk kanker,
diabetes, katarak, penyakit kardio dan serebrovaskular, dan telah dihubungkan dengan pencegahan atau penghambatan penurunan kognitif.2,9,10
Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu faktor risiko terjadinya demensia. Demensia yang berhubungan dengan faktor risiko diabetes adalah Alzheimer dan vaskular. Pada studi prospektif Rotterdam
dan Hisayama, serta studi retrospektif Rochester, menunjukkan risiko
kejadian demensia Alzheimer (AD) meningkat dua kali pada individu
dengan DM tipe 2.11 Demensia vaskular dihubungkan dengan diabetes
melalui kejadian vaskular (VaD) yang diikuti dengan penurunan kognitif, gangguan vaskuler ini salah satunya merupakan manifestasi dari
komplikasi makrovaskular diabetes.11,12
Gangguan kognitif ringan (mild cognitive impairment/MCI) adalah
suatu gangguan kognitif berupa gangguan orientasi, atensi, konsentrasi, memori, bahasa, dan intelektual, yang tidak masuk dalam kriteria demensia, dengan kata lain MCI merupakan keadaan predemensia.13,14 Gangguan kognitif merupakan proses awal kecacatan dalam
otak berupa demensia. Berdasarkan studi terdahulu, menunjukkan
hipotesis mengenai diabetes dan faktor komorbidnya terlibat dalam
patogenesis demensia baik demensia Alzheimer (AD) ataupun demensia vaskular (VaD).11,15
Insidensi gangguan fungsi kognitif pada DM diperkirakan akan
meningkat sehubungan dengan meningkatnya jumlah populasi penderita DM, sehingga perlu strategi untuk mencegah penurunan fungsi
kognitif. Mekanisme terjadinya risiko demensia pada diabetes belum
dapat dijelaskan, diperkirakan salah satunya melalui stres oksidatif dan diketahui pula bahwa kadar vitamin E plasma pada pengidap
diabetes melitus (DM) tipe 2 lebih rendah dibandingkan dengan orang
sehat16,17, sehingga diperkirakan gangguan fungsi kognitif pada penderita DM lebih banyak terjadi dibandingkan nonDM.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai hubungan antara status vitamin E dan kondisi kognitif pada penderita diabetes.
Metode
Penelitian potong lintang dilakukan terhadap 46 penderita DM, 23
laki-laki dan 23 perempuan, usia lebih dari 50 tahun, yang datang ke
poliklinik Endokrin RS Dr. Sardjito pada bulan Agustus Desember
2006.
Kriteria inklusi adalah penderita DM tipe 2 usia lebih dari 50 tahun
yang kontrol di poliklinik Endokrin RSUP Dr. Sardjito dan pada saat
pemeriksaan tidak sedang minum suplemen obat yang mengandung
vitamin E dan menyetujui informed consent. Kriteria eksklusi adalah
penderita dengan tanda klinis, dan hasil laboratorium menunjukkan
infeksi, sedang menderita penyakit akut, terdapat penyakit inflamasi
(demam reumatik, eritema nodosum, artritis reumatoid, artritis kronik,
spondilitis ankilosis, psoriasis, vaskulitis sistemik, reumatik polimialgia, penyakit Reiter, diare kronis, lupus eritematosus sistemik (LES),
skleroderma, dermatomiositis, osteoartritis), penyakit jantung koroner, terdapat riwayat pembedahan atau stroke dalam 3 bulan sebelum
penelitian, terdapat keganasan, gagal jantung kongesti, penurunan
fungsi ginjal, penurunan fungsi hati, merokok dan terdiagnosis demensia.
Subjek yang memenuhi kriteria inklusi dicatat dalam formulir
penelitian, yaitu usia, jenis kelamin dan alamat. Kemudian dilakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik (tekanan darah, denyut nadi, respirasi, suhu, berat badan, tinggi badan, lingkar pinggang, pemeriksaan fisik
jantung, paru, abdomen dan ekstremitas) untuk mengetahui adanya
penyakit infeksi akut, penyakit inflamasi (demam reumatik, eritema
nodosum, artritis reumatoid, artritis kronik, spondilitis ankilosis, psoriasis, vaskulitis, diare kronis, penyakit Reiter, lupus eritematosus sistemik (LES), skleroderma, dermatomiositis, osteoartritis), hipertensi,
adanya riwayat pembedahan atau stroke dalam 3 bulan sebelum penelitian, penyakit jantung koroner, keganasan, sirosis hati, merokok aktif, dislipidemia.
Kemudian pasien dipesan untuk datang ke poliklinik penyakit
dalam untuk dilakukan pengambilan darah dengan puasa minimal 10
jam sebelumnya. Pengambilan darah 10 cc untuk pemeriksaan darah
rutin, profil lipid, fungsi ginjal, enzim transaminase, HbA1c, kadar
kolesterol total, kadar trigliserida, kadar low density lipoprotein (LDL),
kadar high density lipoprotein (HDL) serta kadar -tokoferol serum serta
diminta untuk mengisi mini mental examination state (MMSE) untuk menilai fungsi kognitifnya.
Pengukuran vitamin E dilakukan dengan HPLC (high-performance
liquid chromatography). Sejumlah 20 mL plasma (dari darah EDTA) ditambah 100 mL larutan ekstrak (etanol/butanol [50 : 50, vol/vol, 5 mg
BHT/ml]). Campuran tersebut disentrifugasi selama 5 menit. Sejumlah
20 mL supernatan diinjeksikan ke HPLC. Spektrofotometer yang digu-
Analisis Statistik
Data karakteristik subjek penelitian disajikan dalam angka rerata dan
simpangan baku. Hubungan antara mikroalbuminuria (positif atau
negatif) dengan kadar vitamin E plasma dianalisis dengan uji-t tak berpasangan. Untuk membandingkan 2 kelompok dengan variabel kategori digunakan uji chi-square. Uji korelasi Pearson dipakai untuk melihat kaitan antara 2 variabel numerik. Hubungan antara faktor-faktor
lain (usia, jenis kelamin, lama terdiagnosis DM, HbA1c, kadar kolesterol
total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, dan trigliserida) dengan fungsi
kognitif dianalisis dengan regresi logistik. Batas kemaknaan yang diterima bila p <0,05.
Hasil Penelitian
Selama penelitian data lengkap yang dapat dianalisis sebanyak 46
orang, didapatkan 18 pasien diabetes dengan MCI. Adapun data karakterisitik dasar dapat dilihat pada tabel 1.
Variabel
Usia (tahun)
Indeks massa tubuh (kg/m2)
Lama DM (tahun)
Kolesterol total (mg/dl)
Trigliserida (mg/dl)
High density Lipoprotein (mg/dl)
Low density Lipoprotein (mg/dl)
HbA1c (%)
Gula darah puasa (mg/dl)
Gula darah 2 jam pasca makan (mg/dl)
Vitamin E
MMSE
Dengan MCI
Tanpa MCI
(n=18)
(n=28)
66,05 7,42
23,90 3,22
10,72 5,55
221,39 64,69
169,61 92,19
40,89 9,17
147,05 56,03
7,39 1,70
132,17 48,66
7,28 4,69
61,78 6,26
24,68 3,49
10,89 5,02
213,32 38,51
158,22 70,89
42,75 9,69
140,64 36,17
7,18 1,47
133,66 53,66
6,69 4,50
p
0,04
0,448
0,915
0,598
0.848
0,52
0,639
0,609
0,958
0,678
Pembahasan
Dalam menentukan status vitamin E tubuh, beberapa peneliti menggunakan rasio vitamin E/lipid total karena kadar lipid plasma sangat
mempengaruhi kadar vitamin E. Tanpa menggunakan rasio ini, individu dengan lipid rendah akan keliru diklasifikasikan sebagai defisiensi vitamin E, padahal kenyataannya normal.5 Hal yang serupa
dapat terjadi pada individu dengan hiperlipidemia. Pada penelitian
Sokol et al. (1984) beberapa subjek yang menunjukkan gejala disfungsi neurologis (dalam penelitian didefinisikan sebagai defisiensi
vitamin E) terdapat hiperlipidemia dan mempunyai kadar vitamin
E plasma normal. Rasio vitamin E/lipid total menunjukkan nilai di
bawah normal. Dalam kondisi ini rasio vitamin E/lipid total lebih
sesuai dengan disfungsi neurologis (yang disebabkan defisiensi vitamin E). Pada penelitian ini tidak dilakukan analisis berdasarkan rasio
vitamin E/lipid total.
Keadaan yang dapat menghubungkan antara diabetes dengan
proses penurunan fungsi otak, adalah:
a. Hiperglikemia menyebabkan toksisitas saraf
Hiperglikemia mempengaruhi viabilitas saraf melalui peningkatan
stres oksidatif, struktur dan fungsi pembuluh darah, jalur O glikoprotein, dan formasi advanced glycation end product (AGEs). Advanced
glycation end product (AGEs) secara eksperimental terbukti berpengaruh terhadap kerusakan vaskular dan fungsi endotel, kerusakan
protein, DNA dan mitokondria, serta meningkatkan radikal bebas
dan inflamasi.15
b. Komplikasi diabetes menyebabkan gangguan kognitif
Hipertensi meningkatkan risiko kerusakan vaskular dan endotel, gangguan pada pembuluh darah kecil dan besar, dan meng-
MEDICINUS
nakan adalah UV-VIS l 292 nm. Puncak tokoferol akan muncul pada
menit ke 3-6. Pengukuran trigliserida dilakukan dengan metode tes enzimatik kolorimetri dengan menggunakan glycerol-3-phosphate-oxidase.
Sampel yang diukur adalah plasma yang diambil dari darah EDTA.
Penentuan trigliserida dilakukan setelah pemisahan oleh lipoprotein
lipase. Sebagai indikator adalah quinonimine yang berasal dari reaksi
4-aminoantipyrine, 4-chlorophenol, dan hidrogen peroksida di bawah aksi
katalis peroksidase. Pengukuran kolesterol dilakukan dengan metode
tes fotometrik enzimatik. Sampel yang dipakai adalah plasma (dari
darah EDTA). Penentuan kolesterol dilakukan setelah reaksi hidrolisis
dan oksidasi. Sebagai indikator kolorimetri adalah Chinonimine yang
berasal dari reaksi 4-aminoantipyrine, phenol, dan hidrogen peroksida
di bawah aksi katalis peroksidase. Kadar LDL dihitung dengan rumus:
LDL = kolesterol total - trigliserida/5 - HDL. Pengukuran HbA1c dilakukan dengan metode fast ion-exchange resin separation. Reagen yang
dipakai adalah Glycohemoglobin Test (Human). Sampel yang dipakai
adalah darah EDTA. Darah dicampur dengan reagen lysing yang berisi
deterjen dan ion borat konsentrasi tinggi. Eliminasi basa Schiff labil tercapai selama proses hemolisis. Hemolisat kemudian dicampur dengan
resin penukar ion selama 5 menit. HbA1c akan terikat pada resin, kemudian digunakan separator untuk memisahkan resin dari supernatan yang berisi glycohemoglobin. Presentase glycohemoglobin ditentukan
dengan mengukur fraksi glycohemoglobin dan fraksi total hemoglobin
pada Hg 405 atau 415 nm. Pemeriksaan kadar vitamin E dilakukan di
laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta. Pemeriksaan lainnya dilakukan di laboratorium Prodia
Yogyakarta.
Kapasitas kognitif subjek diukur dengan perangkat sederhana
yaitu mini mental examination state (MMSE) dari Folstein, yang sudah distandardisasi secara nasional. Pada MMSE variabel yang dinilai adalah
orientasi, registrasi, atensi, kalkulasi, mengingat kembali, bahasa, dan
clock drawing test (CDT) digunakan untuk menilai fungsi interpretasi.18
Untuk penilaian tes gambar jam batasan nilainya bersifat subjektif, dengan interpretasi apabila gambar dengan gangguan kontur yang
hebat atau gambar yang tidak berhubungan sangat jarang dihasilkan
oleh seseorang dengan kognitif yang utuh. Gambar yang sempurna
tidak mungkin dihasilkan oleh individu dengan gangguan kognitif.
Acuan termudah penilaian CDT masuk dalam kemungkinan kognitif
terganggu apabila skor <418.
Kriteria penurunan fungsi kognitif, berdasar status mental mini
(MMSE) adalah: Normal = >28, dugaan MCI/VCI = 24 - 28, probabilitas kognitif terganggu/dugaan demensia = 17 - 23, gangguan kognitif
definitif = 0 16.18,19 Pada penelitian ini dinyatakan gangguan kognitif
ringan bila nilai MMSE 24.
Kukull et al. (1994) melakukan penelitian potong lintang instrumen untuk mendeteksi demensia pada populasi klinik dengan jumlah
pasien 150, mendapatkan bahwa MMSE mempunyai sensitivitas 63%,
spesifisitas 96%, positive predictive value (PPV) 96%, negative predictive
value (NPV) 63%, dengan class of evidence I20.
11
57
MEDICINUS
12
Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan antara status vitamin
E dan fungsi kognitif pada penderita diabetes.
Daftar Pustaka
1. Kalmijn S, Feskens EJ, Launer LJ and Kromhout D. Polyunsaturated fatty acids,
antioxidants, and cognitive function in very old men. Am. J. Epidemiol. 1997;
145:33-41
2. Meydani M. Antioxidants and cognitive function. Nutr. Rev. 2001; 59:S7-
5-S80
3. Halliwell B & Gutteridge IMC. Free radicals. In: Biology and Medicine. 2nd ed.
Oxford University Press Oxford:UK; 1995.p.543
4. Floyd RA. Antioxidants, oxidative stress, and degenerative neurological disorders. Proc. Soc. Exp. Biol. Med. 1999; 222:236-45
5. Farrell PM and Roberts RJ. Vitamin E. Dalam: Modern Nutrition in Health and
Disease.8th ed. Lea & Febiger. Philadelphia; 1994.p.326-41
6. Young IS and Woodside JV. Antioxidants in Health and Disease. J Clin Pathol
2001; 54:176-86
7. Ricciarelli R, Zingg J, and Azzi A. Vitamin E: protective role of janus molecule.
FASEB J. 2001; 15:2314-25
8. Traber MG. Does vitamin E decrease heart attack risk? summary and implications with respect to dietary recommendations. J Nutr. 2001; 131:395S-397S
9. Foy CJ, Passmore AP, Vahidassr MD, Young IS and Lawson JT. Plasma chainbreaking antioxidants in Alzheimers disease, vascular dementia and Parkinsons disease. Q. J. Med. 1999; 92:39-45
10. Perkins AJ, Hendrie HC, Callahan CM, Gao S, Unverzagt FW, Xu Y, et al. Association of antioxidants with memory in a multiethnic elderly sample using
the Third National Health and Nutrition Examination Survey. Am. J. Epidemiol.
1999; 150:37-44
11. Strachan MWJ. Cognitive decline and the older patient with diabetes. Clin Ger.
2002; 10(6):2935
12. Hartono B. Insulin, diabetes and cognitive function: from vascular cognitive
impairment to vascular dementia. Dalam Naskah Lengkap PIT V PERKENI. Semarang; 2004.p.313-27
13. Visser PJ. Mild cognitive impairment. Dalam: Pathy, M.S., Sinclair, J. & Morley,
J.E. (Eds) Principles and Practice of Geriatric Medicine 4th (ed). John Wiley and
Sons. Ltd:2006.p.1-7
14. Wright JD and Tranel D. Mild cognitive impairment. Up To Date14.1; 2006
15. Launer LJ. Diabetes and Brain Aging: Epidemiologic Evidence. Curr. Diab.
Rep.2005; 5:59-63
16. Gokkusu C, Palanduz S, Ademoglu E and Tamer S. Oxidant and antioxidant
system in NIDDM patients: influence of vitamin E supplementation. Endocr
Res 2001; 27(3):377-86
17. Nourooz-Zadeh J, Rahimi A, Tajaddini-Sarmadi J, Tritschler H, Rosen P, Halliwell B. et al. Relationship between plasma measures of oxidative stress and
metabolic control in NIDDM. Diabetologia 1997; 40:647-53
18. Assosiasi Alzheimer Indonesia (AazI). Konsensus nasional pengenalan dan
penatalaksanaan demensia alzheimer dan demensia lainnya; 2003.p.61-3
19. Soejono CH, Harimurti K, Setiati S & Damping CE. Pedoman diagnosis dan
tatalaksana MCI dan VCI. Dalam: Konsensus Nasional-Peran Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Untuk Deteksi Dini, Diagnosis Dan Penatalaksanaan Gangguan Kognitif Ringan Pada Usia Lanjut. Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia. Jakarta; 2006.p.1-28
20. Petersen RC, Stevens JC, Ganguli M, Tangalos, Cummings and DeKosky. Practice parameter: early detection of Dementia: mild cognitive impairment (An
Evidence Based Review). Report of the Quality Standards Subcommittee of the
America Academy of Neurology. Neur; 2001; (56):1133-42
21. Sokol RJ, Heubi JE, Iannacone ST, Bove KE and Balistreri WF. Vitamin E deficiency with normal serum vitamin E concentrations in children with chronic
cholestasis. N Engl J Med 1984; 310:1209-12
22. Ott A, Stolk RP, Harskamp van, Pols HAP, Hofman A and Breteler MMB. Diabetes mellitus and the risk of dementiaThe Rotterdam Study. Neur 1999;
(53):1937-42
23. Luchsinger JA, Tang MX, Stern Y, Shea S and Mayeux R. Diabetes mellitus and
risk of Alzheimers disease and dementia with stroke in a multiethic cohort.
Am J Epidemiol 2001; 154(7):635-41
24. Beckman JA, Creager MA and Libby P. Diabetes and atherosclerosis epidemiology, pathophysiology, and management. JAMA 2002; 287(19): 2570-81
25. Kanwar Y, Akagi S, Sun L, Nayak B, Xie P, Wada J, et al. Cell biology of diabetic
kidney disease. Nephron Exp Nephrol 2005; 101:e100-110
26. Natarajan R.and Nadler JL. Lipid inflamatory mediator in diabetic vascular disease. Arterioscler Thromb Vasc Biol 2004; 24:1542-48
27. Helmersson J, Vessby B, Larsson A and Basu S. Association of type 2 diabetes
With cyclooxygenase-mediated inflamation and oxidative stress in an elderly
population. Circulation 2004; 109:1729-34
28. Farooqui AA and Horrocks LA. Phospholipase A2-generated lipid mediators in
the brain: the good, the bad, and the ugly. Neuroscientist 2006; 12(3):24560
29. Ortega RM, Roquejo AM, Lopez-Sobaler AM, Andres P, Navia B, Perea JM, et al.
Cognitive function in elderly people is influenced by vitamin E status. J Nutr
2002; 132:2065-8
30. Kritchevsky SB, Shimakawa T, Tell GS, Dennis B, Carpenter M, Eckfeldt JH, et
al. Dietary antioxidants and carotid artery wall thickness. The ARIC Study.
Atherosclerosis Risk in Communities Study. Circulation 1995; 92:2142-50
31. Shadlen MF and Larson EB. Risk Factors for dementia. Up To Date , 14.1;
2006
MEDICINUS
13
case report
original article
Abstrak. Migren merupakan nyeri kepala primer yang cukup sering dijumpai. Serangan migren terkadang sangat menganggu
baik kehidupan sosial maupun ekonomi penderita. Semakin sering terjadi serangan, kehidupan penderita akan semakin terganggu, sehingga perlu diberikan terapi pencegahan. Beberapa obat yang bisa dipakai untuk pencegahan migren adalah: Ca
blocker (flunarizin, nimodipin), penyekat beta (propanolol, timolol), antidepresan (amitriptilin, nortriptilin, flouxetin), antiepilepsi (asam valproat, gabapentin, topiramat). Artikel ini membahas satu kasus penderita migren yang mengalami perbaikan
setelah diterapi dengan obat antiepilpepsi yaitu asam valproat.
MEDICINUS
14
Pendahuluan
Setiap orang pasti pernah menderita nyeri kepala selama hidupnya,
dan nyeri kepala merupakan kasus yang paling sering berobat ke poliklinik saraf. Kasus migren merupakan kasus kedua terbanyak setelah nyeri kepala tipe tegang yang datang berobat ke poliklinik saraf.
Puncak prevalensi migren antara usia 25-55 tahun usia yang dimana
sangat produktif, sehingga serangan migren harus diobati dengan
sebaik-baiknya.1
Migren merupakan gangguan neurobiologik, yang berhubung-an
dengan perubahan kepekaan sistem saraf dan aktivasi sistem trigeminovaskular. Dimana penderita migren lebih peka dari pada orang
tanpa migren. Pada setiap serangan migren di samping mengganggu
kehidupan sosial dan ekonomi juga akan mengakibatkan perubahan
permanen dari sistem saraf pusat. Beberapa penderita migren dengan atau tanpa aura menunjukkan bertambahnya risiko lesi subklinik pada daerah tertentu. Seperti daerah serebelum dan sirkulasi
posterior pada penderita dengan migren menunjukkan prevalensi
infark yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (5,4%: 0,7%).
Risiko tertinggi adalah pada penderita migren dengan aura yang
serangannya lebih dari 1 kali/bulan. Pada wanita risiko terjadinya
deep white matter lesion (DWML) lebih besar pada pende-rita migren
dibandingkan dengan kontrol. Risiko ini bertambah bila serangan
lebih dari dua kali/bulan, akan tetapi risikonya sama pada penderita
migren dengan atau tanpa aura. Pada laki-laki tidak menunjukkan
perbedaan DWML antara kontrol dan penderita migren. Pada penderita migren juga ditemukan adanya akumuluasi ion Fe di daerah peri
aquductus gray yaitu area yang memodulasi penghantaran nyeri secara desenden, dan bila daerah ini mengalami gangguan akibat akumulasi Fe akan mengganggu proses inhibisi penghantaran nyeri.2
1.
2.
3.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Laporan Kasus
Seorang wanita umur 36 tahun, suku Bali sudah menikah dengan
2 anak, datang ke poliklinik rumah sakit Puri Raharja Denpasar,
mengeluh nyeri kepala berdenyut di kepala sebelah kiri, intensitas
nyeri sedang sampai berat. Dalam setiap serangan berlangsung 4
jam kadang-kadang lebih dari 1 hari, keluhan semakin berat dengan
adanya aktivitas fisik, seperti berjalan dan naik tangga. Keluhan disertai mual dan muntah. Pada saat serangan penderita merasa tidak
enak bila melihat cahaya. Serangan muncul 2-3 kali/minggu. Keluhan sakit seperti ini sudah diderita sejak umur 15 tahun, dan dengan
minum obat yang dibeli di toko obat/warung keluhan nyeri kepala
bisa hilang. Pada pemeriksaan fisik didapatkan hasil; kedaan umum
mengalami nyeri kepala berat. Tanda vital: tekanan darah 130/80
mmHg, denyut nadi 80 x/menit, respirasi 20x/menit, suhu tubuh
36,4C. Pada pemeriksaan status general dalam batas normal.
Pada pemeriksaan neurologi: nervus kranialis normal, funduskopi
normal, tanda rangsangan meningen tidak ada, motorik baik, sensorik baik, refleks fisiologis +/+, refleks patologis -/-. Diagnosis kerja:
migren tanpa aura.
Penderita diterapi dengan:
1. Analgetik (campuran metampiron 500 mg, klordiazepoksid HCl
5 mg, vitamin B1, B6, B12 dan kafein anhidrat 50 mg), kalau perlu.
2. Flunarizin 5 mg (malam hari) sebagai pencegahan.
3. Antimigren (alkoloid beladona, ergotamin tartat 0,3 mg dan fenobarbital 20 mg), dua kali sehari maksimal 3 hari.
Selama minum obat keluhan berkurang sampai hilang tetapi
begitu obat habis keluhan muncul lagi, sehingga penderita datang
kontrol lagi. Kemudian penderita diminta untuk minum obat antimigren 2-3 kali/minggu dan analgetik diminum kalau perlu serta obat
flunarizin sebagai pencegahan. Keluhan nyeri kepala berkurang sehingga penderita bisa beraktivitas lagi. Tetapi keluhan nyeri kepala
kadang-kadang masih muncul, meskipun penderita sudah minum
obat flunarizin sebagai terapi pencegahan selama 3 bulan, sehingga
MEDICINUS
15
MEDICINUS
16
Diskusi
Migren adalah gangguan neurobiologik yang berkaitan dengan perubahan kepekaan sistem saraf dan aktivasi sistem trigeminovaskular.
Ciri-cirinya adalah terjadinya serangan sakit kepala dan gejala neurologik, gastrointestinal dan otonom.
Migren menurut International Headache Society (IHS) dibagi menjadi: migren tanpa aura, migren dengan aura, sindrom periodik pada
anak yang sering menjadi prekursor migren, migren retinal, komplikasi migren dan probable migren. Sedangkan kriteria diagnostik migren tanpa aura menurut IHS adalah:12
A. Sekurang-kurangnya terjadi 5 serangan yang memenuhi kriteria
B-D.
B. Serangan nyeri kepala berlangsung selama 4-72 jam (tidak diobati
atau tidak berhasil diobati).
C. Nyeri kepala mempunyai sedikitnya dua di antara karakteristik
berikut:
1. Lokasi unilateral.
2. Kualitas berdenyut.
3. Intensitas nyeri sedang sampai berat.
4. Keadaan bertambah berat oleh aktivitas fisik atau penderita
menghindari aktivitas fisik rutin (seperti berjalan atau naik
tangga).
D. Selama nyeri kepala disertai salah satu gejala di bawah ini:
1. Mual dan atau muntah.
2. Fotofobia dan fonofobia.
E. Tidak berkaitan dengan kelainan lain.
Melihat kasus pada penderita di atas maka penderita cocok dengan kriteria diagnostik migren tanpa aura, karena nyeri kepala unilateral (satu sisi kepala), serangan 4 jam, kadang sampai lebih 1 hari,
diperberat oleh aktivitas fisik, mengalami mual dan muntah serta tidak enak melihat cahaya. Pengobatan yang diberikan adalah analgetik,
antimigren dan obat untuk pencegahan migren yaitu flunarizin. Setelah diterapi dengan flunarizin selama 2 bulan, serangan migren belum
terkontrol, sehingga dilakukan pemeriksaan penunjang (CT scan dan
EEG) untuk mengetahui ada atau tidak kelainan organik penyebab
nyeri kepala. Hasil CT scan kepala dan EEG normal. Dengan demikian kemungkinan penyebab yang berasal organik bisa disingkirkan.
Pencegahan migren dengan flunarizin efektif setelah diberikan minimal 2 bulan dan hanya mengurangi serangan sebanyak 50%, hal ini
mungkin dapat menjelaskan kenapa pada penderita pemberian flunarizin kurang memuaskan. Pada penderita ini tidak diberikan terapi
pencegahan dengan penyekat beta, karena tekanan darah penderita
dalam batas normal, sehingga pada penderita kemudian diberikan
asam valproat dengan dosis 2x250 mg. Setelah dievaluasi selama 3
bulan serangan migren pada penderita ini bisa terkontrol.
Kesimpulan
Migren merupakan nyeri kepala primer yang menempati urutan kedua dalam kunjungan ke klinik sefalgia poliklinik saraf. Serangan migren mengakibatkan efek yang merugikan terhadap pasien, keluarga,
maupun masyarakat, sehingga bila serangannya sering perlu dilakukan pencegahan. Salah satu obat yang bisa dipakai untuk pencegahan
adalah obat antiepilepsi, karena salah satu teori timbulnya bangkitan
epilepsi dan migren karena ketidakseimbangan neurotransmiter eksitasi (glutamat) dan neurotransmiter inhibisi (GABA), di mana pada
migren terjadi peningkatan neurotransmiter eksitasi.
Pada kasus yang dilaporkan ternyata dengan terapi flunarizin
sebagai pencegahan serangan migren belum terkontrol dan setelah
diberikan asam valproat baru penderita bebas dari serangan migren.
Daftar Pustaka
1. Djoenaedi Wijaya. The impact of migraine and the need of prophylactic treatment. In: Hassan S, Aldy SR, editor. Buku Proseding Pertemuan Nasional I
Nyeri Kepala. 7-8 Agustus 2004. Medan.p.21-45
2. Welch KM. Brain hyperexcitability: the basis for antiepileptic drug in migraine prevention. Headache 2005; 45 Suppl 1:S25-32
3. Nissan GR, Diamond ML. Advance in migraine treatment. JAOA 2005; 105(4
Suppl 2):S9-5
4. Silberstein SD. Treatmen of migraine. AAN 2004
5. Sun C, Rapoport A. New treatment strategies for migraine prevention. US
Neurological Disease 2006; 18-22
6. Steiner TJ, Hansen PT. Antiepileptic drugs in migraine prophylaxis. In: Olesen
J, Hansen PT, Welch KM, editor. The Headache. 2nd ed. Philadelphia:Lippnicot
Williams and Wilkins; 2000.p.483-88
7. Cuter FM, Limmroth V, Moskowitz MA. Possible mechanism of valvroate in
migraine Prophylaxis. Cephalgia 1997; 17:93-100
8. Spasic M, Zivkovic M, Lukic S. Prophylactic treatment of migraine by valproate. Medicine and Biology 2003; 10(3):106-10
9. Freitag FG, Collins SD, Carlson AA, Goldstein J, Saper J, Silberstein SD, et
al. A randomized trial of divalproate sodium extended release tablets in
migraine prophylaxis. Neurology 2003; 58:1652-9
10. Pulley MT. Migraine headache. Origins consequences. Diagnosis and treatment. Northeas Florida Medicine 2005:10-3
11. Modis, Lowder DM. Medications for migraine prophylaxis. Americans Family
Physician 2006; 73:72-80
12. International Headache Society. The International Classification of Headache
Disorder, 2nd Edition. Cephalgia 2004; 24 Suppl 1:9-160
case report
original article
M. Fadjar Perkasa
Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran UNHAS/RS. dr. Wahidin Sudirohusodo
Makassar
Abstrak. Dilaporkan satu kasus timpanoplasti pada seorang anak berumur 9 tahun dengan keluhan keluar cairan dari telinga
kanan berwarna kekuningan sejak 5 tahun lalu, hilang timbul. Telah dilakukan tindakan timpanomastoidektomi tipe 1 dengan
combined approach timpanoplasti pada penderita otitis media supuratif kronik (OMSK) yang disertai dengan jaringan granulasi.
Pasca operasi, penderita sadar baik dan tidak ditemukan komplikasi saraf fasialis perifer. Pada kasus ini kami menyimpulkan
bahwa hasil operasi memuaskan.
Pendahuluan
Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah penyakit telinga tengah
dimana terjadi peradangan kronis dari telinga tengah dan mastoid disertai perforasi dari membran timpani yang permanen disertai sekret
(otore) yang hilang timbul dengan konsistensi encer atau kental, bening atau berupa nanah (mukopurulen) berlangsung lebih dari 2 bulan.
OMSK dibagi menjadi 2 jenis yaitu OMSK tipe aman (tipe mukosa =
benign) dan OMSK tipe bahaya (tipe tulang = maligna) sedang berdasarkan aktivitas sekretnya yang keluar dikenal juga OMSK aktif dan
OMSK tenang.1,2
Prinsip terapi OMSK adalah konservatif atau dengan medikamentosa serta operatif/pembedahan. Ada beberapa jenis pembedahan atau
teknik operasi yang dilakukan pada OMSK dengan mastoiditis kronik
baik tipe aman atau bahaya antara lain (1) mastoidektomi sederhana
(2) mastoidektomi radikal (3) mastoidektomi radikal dengan modifikasi (4) miringoplasti (5) timpanoplasti (6) timpanoplasti pendekatan
ganda (combined approach tympanoplasty).2
Tujuan utama dalam timpanoplasti pendekatan ganda (combined
approach tympanoplasty) adalah untuk membersihkan semua jaringan
patologis dimana anatomi dari meatus eksternus termasuk sulkus
timpani utuh. Kavum mastoid dibuka untuk menghindari sistem
aerasi yang tertutup. Aerasi dapat diperoleh dengan membersihkan
penyumbatan antara kavum timpani, antrum dan sistem sel mastoid.
Teknik timpanotomi posterior diperkenalkan oleh penciptanya pada
akhir tahun 1950 di mana hasilnya baik pada tulang temporal. Ini dapat
dilakukan dengan penipisan yang luas pada dinding posterior dalam
rongga mastoid sehingga dapat mengevaluasi semua bagian dari telinga tengah.3
Patogenesis OMSK4,5
Pada saat ini patogenesis otitis media supuratif kronis (OMSK) tetap
tidak diketahui. Kemungkinan besar proses primer terjadi pada sistem
tuba Eustachius, telinga tengah dan sel mastoid. Proses ini khas mempunyai aktivitas derajat rendah, tidak jelas tampak dan menetap, berakibat hilangnya sebagian membran timpani sehingga memudahkan
MEDICINUS
17
MEDICINUS
18
Indikasi3
Teknik operasi timpanoplasti dengan pendekatan ganda (combined
approach tympanoplasty) dikerjakan pada kasus OMSK tipe bahaya
atau OMSK tipe aman dengan jaringan granulasi yang luas. Tujuan
operasi adalah untuk menyembuhkan penyakit serta memperbaiki
pendengaran tanpa melakukan teknik mastoidectomy radikal (tanpa
meruntuhkan dinding posterior liang telinga) antara lain pada penyakit kronik telinga tengah, otomastoiditis kronik dengan jaringan
granulasi atau kolesterol granuloma, tumor pada telinga tengah dan
mastoid, otitis media seromucin yang gagal dengan pemasangan pipa
Grommet, dekompresi saraf facialis.
Kontraindikasi3,6,7
Teknik operasi ini pada OMSK tipe maligna belum disepakati oleh para
ahli karena sering terjadi kambuhnya kolesteatoma kembali. Pada kebanyakan kasus tumor ganas pada meatus merupakan kontraindikasi.
Fistula pada sistem Kanalis semisirkularis harus dipertimbangkan.
Laporan Kasus
Seorang anak berumur 9 tahun datang dengan keluhan keluar cairan
dari telinga kanan yang berwarna kekuningan tidak berbau yang dikeluhkan sejak umur 4 tahun yang hilang timbul dengan disertai penurunan pendengaran pada telinga kanan. Riwayat demam (-), otalgia (-),
tinitus (-), cephalgia (-), vertigo (-), paresa pada wajah (-).
Keluhan pada hidung dan tenggorokan disangkal.
Pemeriksaan fisis
Keadaan umum: Baik/ gizi cukup/ kompos mentis
Otoskopi:
Kanan: MAE dalam batas normal, membran timpani perforasi sedang,
mukosa kavum timpani hiperemis, sekret (+) mukopurulen, jaringan
granulasi (-)
Kiri: MAE dalam batas normal, membran timpani utuh, pantulan cahaya (+), sekret (-)
Rinoskopi: Konka normal, mukosa normal, sekret (-)
Faringoskopi: T1/T1 tenang, mukosa dorsal faring normal
Pemeriksaan penunjang
Tes garputala:
- R +
W
SN
Tes Audiometri:
Kanan: Tuli konduktif ringan (38,3 dB)
Kiri: Pendengaran normal (18 dB)
Patch test:
Kanan/pendengaran normal (30 dB)
Tes fungsi tuba (+)
MEDICINUS
19
-
-
MEDICINUS
Perawatan hari 1
20
-
-
KU: Baik
Instruksi perawatan:
N: 100x/menit, P: 24x/menit,
S: 37 C
Mual/muntah (-)
KU: Baik
Instruksi perawatan:
N: 100x/menit, P: 24x/menit,
S: 37C
Perawatan hari ke 5
KU: Baik
Instruksi perawatan :
N: 100x/menit, P: 24x/menit,
S: 37C
- Ganti verband
Diskusi
OMSK merupakan penyakit telinga tengah yang sering ditemukan pada
anak-anak dan tidak jarang menyebabkan gangguan fungsi pendengaran yang permanen. Pada kasus OMSK yang tidak berespon terhadap
pengobatan perlu ditelusuri faktor predisposisi yang menyebabkan
kekambuhan penyakit, seperti gangguan fungsi tuba yang kronik, perforasi membran timpani yang menetap, aerasi kavum timpani-kavum
mastoid yang menetap akibat jaringan granulasi, kolesteatoma.
Dilaporkan satu kasus, anak laki-laki 9 tahun dengan keluhan otore
kronik sejak 5 tahun yang lalu, hilang timbul. Penderita mempunyai riwayat berobat sebelumnya, dari anamnesis dan pemeriksaan fisis THT
tidak ditemukan faktor predisposisi seperti yang disebutkan di atas,
kecuali terdapatnya perforasi yang menetap.
Pemeriksaan audiometri pure tone, didapatkan telinga kanan tuli
konduktif ringan (38,3 dB) dan kiri normal. Hal ini menunjukkan terdapat gangguan fungsi konduksi telinga tengah akibat perforasi ukuran sedang dan kemungkinan besar rantai ossikula masih utuh. Tidak
ditemukan adanya gangguan keseimbangan, gangguan fungsi tuba
dan tes fistula negatif.
Pemeriksaan radiologi, foto polos mastoid tampak kesan mastoiditis kronik kanan dan CT-scan mastoid potongan axial tampak
perselubungan pada rongga telinga tengah dengan air cell mastoid
kanan berkurang tanpa tanda-tanda destruksi tulang di sekitarnya.
Dari pemeriksaan tersebut dapat disimpulkan diagnosis penderita
ini adalah OMSK tipe benigna. Oleh karena itu penatalaksanaan terbaik pada kasus ini adalah pembedahan dengan tujuan utama untuk
eradikasi penyakit dan sebisa mungkin tetap mempertahankan pendengaran karena ambang pendengarannya tuli konduktif ringan.
Durante operationem didapatkan jaringan granulasi pada antrum
mastoid, meluas ke epitimpanum di sekitar inkus yang menutupi
aditus ad antrum sehingga aerasi tidak ada. Jaringan granulasi dibersihkan namun aerasi tetap tidak ada sehingga diputuskan untuk dilakukan timpanotomi posterior. Pada saat melakukan prosedur tersebut
Kesimpulan
OMSK merupakan penyakit telinga tengah yang dapat menyebabkan
komplikasi berupa gangguan fungsi pendengaran yang permanen
yang apabila tidak ditangani dengan baik dapat mengancam jiwa penderita jika perluasan penyakit ke intraranial.
Pemeriksaan radiologi, foto polos mastoid dan CT-Scan mastoid
potongan axial pre operasi sangat penting dalam mendeteksi perluasan penyakit dan dalam merencanakan tindakan terbaik yang akan
dilakukan untuk kesembuhan penderita.
Penatalaksanaan pada kasus ini adalah combined approach tympanoplasty yang bertujuan untuk eradikasi penyakit dan tetap mempertahankan pendengaran.
Daftar Pustaka
1. Helmi. Otitis media supuratif kronik. Dalam: Helmi, Otitis Media Supuratif Kronik Pengetahuan Dasar, Terapi Medik, Mastoidektomi, Timpanoplasti.
Jakarta:Balai Penerbit FKUI,2005.p.55-69
2. A Zainul, Djaafar, Helmi. Kelainan telinga tengah. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Ke-sehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi keenam.
Jakarta:Balai Penerbit FKUI, 2007.p.64-77
3. Jansen CW. Combined approach tympanoplasty. In: Ballantyne JC. Operative
Surgery Ear. 4th edition. United Kingdom:Butterworths, 1986.p.91-101
4. Ballenger JJ. Anatomi dan embriologi telinga. Dalam: Penyakit Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher. Jilid dua, Edisi 13. Jakarta Barat:Binarupa
Aksara,1997.p.101-51
5. Ballenger JJ. Penyakit telinga kronis. Dalam: Penyakit Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher. Jilid dua, Edisi 13. Jakarta Barat:Binarupa
Aksara,1997.p.392-403.
6. A Zainul, Djaafar, Helmi. Komplikasi otitis media supuratif. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Ke-6.
Jakarta:Balai Penerbit FKUI, 2007.p.78-86
7. Bennet M, Warren F, Haynes D. Indications and technique in mastoidectomy.In: Otolaryngologic Clinics of North America. USA:Elsevier Saunders Inc,
2006.p.1095-112
MEDICINUS
Perawatan hari 3
21
medical review
MEDICINUS
MEDICINUS
22
Abstract. Quorum sensing (QS) is a process that enables bacteria to communicate using secreted signaling molecules called
autoinducer. This process enables a population of bacteria to regulate gene expression. Link between QS and virulence factors
as well as the formation of biofilms have been established for a number of important pathogenic bacteria, suggesting that
interference with these signaling circuits might be therapeutically useful. There are two broad strategies for the control of
bacterial infection: kill the organism or attenuate its pathogenicity using inhibiting bacterial QS systems. The major concern
with the first approach is the frequently observed development of resistance to antimicrobial compounds. Hence, the identification of antagonistic molecules to block QS systems (anti-QS) would be of great interest as therapeutic measures against
bacterial infection; additionally, the combination of anti-QS with traditional antibiotics may reduce either the required dosage
of antibiotics or duration of therapy. The application of anti-QS may potentially be useful in inhibiting the growth or virulence
mechanisms of bacteria in different environments. It is important that pharmacist has an awareness and an understanding of
the mechanisms involved in bacterial QS, since strategies targeting QS may offer a means to control the growth of pathogenic
bacteria in new drug (antibiotic) design.
Abstrak. Quorum sensing (QS) merupakan suatu proses yang memungkinkan bakteri dapat berkomunilasi dengan mengsekresikan molekul sinyal yang disebut autoinduser. Proses ini memungkinkan suatu populasi bakteri dapat pengatur suatu
ekspresi gen tertentu. Ekspresi faktor-faktor virulen dan pembentukan biofilm pada sejumlah bakteri patogen penting dikendalikan oleh proses QS, hal ini mengisyaratkan bahwa campur-tangan pada proses QS sangat berguna pagi pengobatan. Ada
dua strategi utama untuk mengontrol infeksi bakteri yaitu membunuh bakteri itu dan menurunkan derajat patogennya dengan
menggunakan penghambatan QS. Akan tetapi, strategi yang pertama sering kali menimbulkan resistensi bakteri terhadap senyawa antimikroba. Jadi, identifikasi molekul antagonis yang dapat memblokir proses QS (anti-QS) merupakan hal yang sangat
menarik untuk melawan infeksi bakteri. Sebagai tambahan, kombinasi antara anti-QS dengan antibiotik kemungkinan akan
menurunkan dosis dan lama pengobatan. Penggunaan anti-QS diharapkan dapat digunakan untuk penghambatan pertumbuhan dan mekanisme virulensi pada bakteri di lingkungan yang berbeda. Memahami proses QS dan anti-QS sangat penting bagi
ahli farmasi, sebab dengan memahami pendekatan proses QS dan anti-QS ini akan memberikan peluang dan kerangka kerja
baru untuk mendisain obat baru.
Pendahuluan
Istilah quorum sensing (QS) pertama kali diperkenalkan oleh Profesor
Clay Fuqua pada tahun 1994.1 QS digunakan untuk menjelaskan komunikasi di antara sel-sel bakteri. Sebenarnya hal-hal yang berkaitan dengan QS sudah dilaporkan sebelumnya, misalnya Tomasz and Mosser
(1966) melaporkan bahwa bakteri Gram-positif, Streptococcus pneumoniae, menghasilkan molekul sinyal yang disebut sebagai competence factor, yang merupakan faktor pengendali pengambilan DNA dari alam
(natural transformation).2 Laporan lain, pada tahun 1970, dilaporkan
bahwa proses perpendaran cahaya (luminescence) pada bakteri Gramnegatif asal laut, Vibrio fischeri, diatur oleh sebuah molekul sinyal yang
dihasilkannya sendiri yang disebut autoinduser (AI).3 Molekul sinyal
Tabel 1. Beberapa contoh aktivitas atau fenotipik bakteri yang diatur oleh QS6,7
Spesies Bakteri
Aeromonas
hydrophila
Gen/Protein
Pengatur
ahyI-ahyR/
AhyI-AhyR
Aktivitas/
Fenotipik
- Pembentukan
biofilms, dan
produksi enzimenzim eksoprotease
Agrobacterium
tumefaciens
3-oxo-C8-HLS
traI-traR/TraITraR
- Konjugasi plasmid Ti
Bacillus subtilis
ComX pheromones
(a modified decapeptide) / CompetenceStimulating Factor (a
pentapeptide)
comX/ComX
- Pembentukan
kompeten sel,
sporulasi
Burkholderia
cepacia
C8-HSL
cepI-R/CepI-R
- Produksi
siderophore dan
eksoprotease
Chromobacterium
violacein
C6-HSL
cviI-cviR/CviICviR
- Produksi
eksoenzim, HCN,
violacein
Erwinia carotovora
subsps.
caratovora
3-oxo-C6-HSL
carI-carR/CarICarR
expI-expR/
ExpI-ExpR
Pseudomonas
aeruginosa
Cd-HSL/3-oxo-C12HSL
lasI-lasR/LasILasR
rhlI-rhlI/RhlIRhlR
- Produksi
eksoenzim, HCN,
rhamnolipid dan
pembentukan
biofilms
Serratia
liquefaciens
C4-HSL
swrI-swrR/SwrISwrR
Staphylococcus
aureus
Peptide thiolactones
agrBDCA/AgrBDCA
Vibrio fischeri
3-oxo-C6-HSL
luxI-luxR/LuxILuxR
- Bioluminescence
Vibrio harveyi
3-hydroxy-C4-HSL
luxLM-luxN/
LuxLM-LuxN
- Bioluminescence
Yersinia pseudotuberculosis
3-oxo-C6-HSL/C8HSL
yesI-yesR/YesIYesR
- Motilitas dan
agregasi
Tabel 2. Spesies bakteri yang mempunyai QS yang diatur oleh LuxS atau AI-2
Spesies Bakteri
Actinobacillus actinomycetemcomitans
Borrelia burgdorferi
Campylobacter jejuni
- Motilitas
Clostridium perfringens
- Produksi toksin
Neisseria meningitides
- Infeksi bakterimia
Photorhabdus luminescens
Porphyromonas ginggivalis
Salmonella typhi
- Pembentukan biofilm
Salmonella typhimurium
Shigella flexneri
Streptococcus mutans
- Pembentukan biofilm
Streptococcus pneumoniae
- Virulensi
Streptococcus pyogenes
Vibrio cholerae
Vibrio harveyi
Vibrio vulnificus
- Virulensi
Autoinduser (AI)
Autoinduser (AI) merupakan molekul sinyal yang disekresikan, kemudian diakumulasikan, selanjutnya diserap kembali dan dikenali oleh
bakteri pada saat proses QS terjadi. AI dapat dikategorikan menjadi
empat yaitu: (i) turunan asam lemak, pada umumnya berupa N-acyl
homoserine lactones (AHLs), dihasilkan oleh bakteri Gram-negatif, serta
digunakan untuk komunikasi dalam spesies yang sama (intraspecies
communication among Gram-negative bacteria), AI ini dikenal sebagai
AI-1; (ii) rangkaian asam amino atau peptide pendek atau oligopep-
MEDICINUS
berberat molekul rendah yang disebut autoinduser (AI) atau pheromones bakteri, senyawa AI-lah yang menjadi sinyal komunikasi pada
bakteri. AI umumnya bersifat khusus untuk spesies bakteri tertentu.
AI tersebut dilepaskan ke luar sel sehingga dapat dikenali oleh sel yang
lainnya yang sama-sama menghasilkan AI. Selama proses tersebut, terjadi akumulasi AI diluar sel dan tentu saja akumulasi AI sejalan dengan
penambahan densitas atau kerapatan sel bakteri. Bila jumlah selnya telah mencapai kepadatan tertentu atau mencapai quorum tertetu, maka
AI akan diserap kembali kedalam sel dan membentuk kompleks dengan protein pengatur pengaktivasi transkripsi. Kompleks antara AI
dengan protein pengatur pengaktivasi transkripsi akan mengaktifkan
tersekspresinya gen-gen penyandi tertentu, misalnya gen penyandi
bioluminescence, berbagai enzim, konjugasi, sporulasi, pembentukan
sel kompeten, pembentukan biofilm, faktor-faktor virulen, antibiotik,
simbiosis, dan lain sebagainya.6,7 Jadi, QS bisa diartikan sebagai suatu
pengaturan ekspresi gen atau aktivitas atau tingkah laku atau fenotipik
bakteri yang bergantung kepada jumlah populasi bakteri tersebut dan
akumulasi AI-nya. Sejumlah aktivitas bakteri yang diatur oleh proses
QS disajikan pada Tabel 1.6,7
23
tida, dihasilkan oleh bakteri Gram-positif, umumnya digunakan untuk komunikasi dalam spesies yang sama (intraspecies communication,
among Gram-positive bacteria), dan juga dikelompokan ke dalam AI-1;
(iii) furanocyl borate diester, dihasilkan oleh bakteri Gram-negatif dan
Gram-positif, serta digunakan untuk komunikasi antar spesies (interspecies communication) baik sesama Gram-negatif atau Gram-positif
atau antara Gram-positif dengan Gram-negatif dan sebaliknya, AI
ini dikelompokan ke dalam AI-2; dan (iv) autoinducer-3 (AI-3), strukturnya belum diketahui, digunakan untuk komunikasi silang dengan
epinephrine (suatu sistem sinyal sel-inang mamalia), AI-3 dilaporkan
terdapat pada Eschericia coli O157:H7.10,11,12 Selain itu, ada juga sistem
AI yang lain yang belum jelas struktur dan mekanismenya.7 Sejumlah
contoh AI disajikan pada Gambar 1.13
MEDICINUS
24
Gambar 3. Mekanisme QS pada Vibrio fischeri15
Gambar 1. Beberapa contoh autoinduser (AI) dari beberapa spesies bakteri: (a) beberapa turunan acyl-homoserine lactone (AHL) dari sejumlah bakteri Gram-negatif;
(b) oligo peptide dari sejumlah bakteri Gram-positif; (c) g-butryolactones dari Streptomyces griseus; dan (d) AI -2 dari Vibrio harveyi dan Salmonella typhymurium13
atau bersamaan, seperti pada V. harveyi dan Bacillus subtilis (Gambar 5).18 Sistem QS yang melibatkan AI-1 dan AI-2 sering di-sebut
juga QS hibrid.
Gambar 4. Mekanisme QS pada bakteri Gram-positif, Staphylococcus aureus. P2 dan P3 masing-masing merupakan promotor untuk gen agrBDCA
MEDICINUS
dan RNAIII13
25
extracellular polymeric
substance (EPS). Dengan memahami proses
QS, maka kita dapat
mengembangkan cara
pengendalian bakteri
yang tidak selalu berbasis antibiotik, yaitu
dengan cara pendekatan pencegahan QS.
Sebenarnya bakteri
patogen tidak menghasilkan faktor-faktor
virulen yang pada
gilirannya tidak menimbulkan
infeksi,
jika bakteri patogen
itu populasi atau
densitasnya tidak mencapai quorum tertentu. Dengan demikian, pencegahan QS berarti juga mencegah bakteri berkumpul atau ber-quorum,
artinya kita tidak berusaha memberantas atau membunuh bakteri itu
selama bakteri itu hidup berdampingan tanpa menimbulkan penyakit.
Pencegahan QS ditujukan untuk merusak sistem komunikasi bakteri
sehingga massa bakteri tidak berkumpul. Dengan mencegah bakteri
untuk tidak berkumpul diharapkan faktor-faktor virulensi pada bakteri
tidak terekspresi, atau paling tidak kita berusaha menurunkan derajat
virulensi suatu patogen sehingga tidak menimbulkan infeksi atau penyakit.
Pencegahan QS dapat dilakukan dengan cara penggunaan senyawa atau molekul tertentu yang dapat mencegah terjadinya QS atau
merusak QS yang sudah terjadi. Senyawa atau molekul yang bisa
memblok atau merusak sistem QS disebut anti-QS. Sejumlah senyawa
anti-QS telah banyak dilaporkan baik yang diisolasi dari alam ataupun yang dibuat secara sintetis, misalnya senyawa sintetis analog dari
AI dan furanone yang diisolasi dari alga merah (Delisea pulchra).24,25 Artikel terbaru dan relatif lengkap tentang sejumlah senyawa yang dapat
menghambat atau bersifat antagonistik terhadap QS dilaporkan oleh
Ni et al.26
Senyawa anti-QS dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (1) senyawa pendegradasi atau degradator, adalah golongan senyawa-senyawa yang dapat mendegradasi AI atau komponen pengatur QS lainnya, golongan ini biasanya adalah enzim, misalnya enzim laktonase
yang bisa mendegradasi sennyawa AHL; (2) senyawa antagonis; dan
(3) senyawa kompetitor, adalah senyawa-senyawa yang dapat berkompetisi dengan AI membentuk kompleks dengan protein R atau LuxR,
senyawa analog AI termasuk ke dalam kelompok ini. Skema umum
mekanisme pencegahan QS oleh anti-QS disajikan pada Gambar 6.
MEDICINUS
Dengan memahami
proses QS, maka kita
dapat mengembangkan
cara pengendalian
bakteri yang tidak selalu
berbasis antibiotik, yaitu
dengan cara pendekatan
pencegahan QS.
26
Kesimpulan
Pengetahuan baru tentang QS memberikan strategi alternatif dalam
usaha manusia untuk mengendalikan bakteri patogen, baik itu patogen
pada manusia, hewan, dan tanaman. Sejumlah ahli dari berbagai laboratorium, baik di universitas-universitas maupun di lembaga-lembaga
penelitian lainnya, banyak melakukan penelitian QS yang ditekankan
pada pencarian senyawa baru yang dapat digunakan sebagai anti-QS
selanjutnya diharapkan untuk dapat digunakan sebagai obat baru.
Banyak perusahaan farmasi di luar negri, mengalokasikan sejumlah
dana untuk secara khusus meneliti QS ini dengan harapan dapat diperoleh bahan pengendali bakteri yang baru (anti-QS). Sejumlah kandidat senyawa anti-QS sudah banyak dilaporkan, akan tetapi baru
sebatas skala laboratorium. Sejauh pengetahuan penulis, sampai saat
ini, belum ada senyawa anti-QS yang benar-benar telah dikomersialkan dan aman digunakan oleh manusia seperti halnya obat antibiotik
umum yang ada dipasaran.
Sejalan dengan itu, dengan dikumandangkannya slogan kembali ke
alam (back to nature) dan menghindari efek samping kurang baik dari
penggunakan bahan-bahan kimia. Pencarian senyawa anti-QS juga diarahkan ke bahan alam (senyawa biologis), baik bahan alam asal darat
(terestrial) atau darat maupun bahan alam asal laut (marine). Indonesia
sebagai salah satu megabiodiversitas dunia mempunyai banyak kesempatan untuk berpartisipasi dalam pencarian senyawa biologis un-
MEDICINUS
27
medical review
MEDICINUS
Abstrak. Gap junction intercellular communication (GJIC) berperan dalam pertukaran metabolit dan ion antar sel. Berbagai
zat kimia dapat mempengaruhi pembentukan GJIC di membran dan menyebabkan perubahan komunikasi interseluler sehingga Ion, metabolit, dan zat-zat pengatur tidak dihantarkan secara normal pada jaringan akibatnya terjadi gangguan pada
integritas organ. Berbagai promoter tumor mengganggu GJIC. Fokus tumor akan mengalami gangguan komunikasi dengan
sel-sel normal di sekitarnya, sehingga tidak bisa diatur dan terisolasi dari sel-sel normal di sekitarnya. Pada berbagai penelitian
didapatkan penurunan GJIC pada tumor yang sedang berkembang. Peran GJIC pada lesi metastasis masih kontroversial.GJIC
dibutuhkan oleh tumor metastasis untuk berkomunikasi dan bermetastasis pada tempat baru. Transfeksi GJIC secara spesifik
diharapkan mampu menekan pertumbuhan tumor.
28
66
Pendahuluan
Sel secara individual memiliki perlengkapan untuk dapat berfungsi
mandiri, namun hidup dan perilaku sel tersebut tergantung pada selsel dan kondisi di sekitarnya. Dengan kata lain homeostatis dan kelangsungan keutuhan seluler tergantung pada hubungan interseluler.1
Tidak seperti sel normal, sel kanker memiliki perangai yang berbeda dari sel-sel di sekitarnya dan tumbuh di luar kendali homeostasis
normal. Banyak hasil penelitian yang menunjukkan komunikasi interseluler yang memelihara homeostasis normal terganggu pada berbagai tahap karsinogenesis sehingga dihipotesiskan bahwa komunikasi
interseluler kemungkinan berfungsi sebagai elemen penekan pertumbuhan tumor.1
Ada 2 macam cara sel-sel melakukan komunikasi. Pertama, komunikasi melalui faktor pertumbuhan atau hormon ekstraseluler. Kedua,
melalui kontak sel. Berbeda dengan komunikasi interseluler melalui
hormon atau faktor pertumbuhan yang secara teknik mudah diidentifikasi, komunikasi interseluler melalui cara kontak sel sukar diidentifikasi apa yang dikomunikasikan dan efek komunikasi tersebut.
Dengan kemajuan di bidang biologi molekuler melalui kloning cDNA
yang mengodekan aparatus komunikasi tersebut, dapatlah diketahui
peranan komunikasi interseluler melalui kontak sel. Salah satu elemen
terpenting pada kontak sel adalah gap junction intercellular communication (GJIC).1,2
Tulisan ini dibuat untuk membantu memahami peranan GJIC
dalam memelihara homeostasis dan pertumbuhan sel, konsekuensi
adanya gangguan GJIC, peranan GJIC pada proses karsinogenesis, dan
aplikasi pengetahuan ini terhadap perkembangan terapi kanker.
Gambar 1. Skema GJIC pada membran lipid bilayer dan topologi connexin1
GJIC dapat ditemukan pada semua jaringan tubuh kecuali pembuluh darah dan otot skelet. Beberapa connexin menunjukkan spesifisitas ekspresi pada jaringan tertentu, namun juga sebaliknya beberapa
jaringan dan sel-sel penyusunnya juga bisa mengekspresikan berbagai
connexin yang berbeda.1,2
Klas
Jaringan
Cx26
Connexin
Cx30.3
Cx31
Cx31.1
Cx32
Cx33
Cx37
Cx40
Cx43
Cx45
Cx46
Cx50
Tipe Sel
hepatosit, neuron, keratinosit, pinealosit
keratinosit
keratinosit
hepatosit, oligodendrosit,
neuron, sel epitel tiroid, sel
Schwann
sel Sertoli
sel endotel, miosit, keratinosit
sel endotel, serabut
Purkinje
miosit, otot polos, astrosit,
sel endotel fibroblas, keratinosit, sel ependima
sel Leydig, makrofag, osteosit, sel B pankreas, sel
folikuler dan epitel tiroid,
sel trofoblas
ting untuk keutuhan dan fungsi GJIC. Sebagai contoh sel-sel dengan
Cx43 yang gagal mencapai membran plasma merupakan sel dengan
defisiensi komunikasi. Namun bila ditransfeksikan LCAM akan terjadi
translokasi Cx43 dari sitoplasma menuju membran plasma. Dengan
demikian meskipun protein GJIC tetap ada pada berbagai jenis tumor
namun tidak diproses dengan benar dan tidak ditransportasikan untuk
membentuk GJIC.2
Hemichannel biasanya dalam keadaan tertutup dan pada saat terbuka berfungsi sebagai saluran untuk melepas molekul pemberi sinyal
parakrin seperti ATP, glutamat, NAD+, dan prostaglandin. Hemichannel menutup pada konsentrasi mikromolar fisiologis kalsium ekstraseluler. Saluran akan membuka bila terjadi penurunan kadar kalsium
ekstraseluler, depolarisasi membran yang kuat, stimulasi mekanik,
ekstraseluler UTP, penghambatan metabolik, infeksi shigela, dan peningkatan kalsium sitoplasma. Beberapa kinase dan asam arakidonat
diketahui mampu memodulasi GJIC.6
GJIC didegradasi secara cepat dengan waktu paruh 1-3 jam. Connexin akan mengalami proteolisis yang diperantarai oleh ubiquitin proteasomal pathway.
Susunan connexon ditentukan oleh protein connexin. Connexon homomeric adalah connexon yang tersusun oleh protein connexin yang sama
dan connexon heteromeric adalah connexon yang tersusun oleh connexin
yang berbeda. Connexon heteromeric terbentuk akibat mutasi dominan
negatif. Connexon homomeric bisa mengadakan ikatan dengan connexon
yang berbeda pada sel yang berbeda (ikatan heterotypic). Dengan demikian sekarang sudah jelas dibuktikan bahwa interaksi antar connexon
ditentukan oleh protein connexin yang terlibat. Connexin tertentu dapat
membentuk saluran fungsional dengan beberapa connexin dan tidak
dengan connexin yang lainnya.2,9
MEDICINUS
29
Kedua tipe GJIC ini juga bisa menurun kadarnya pada kultur selsel epitel kanker hati pada tikus, dan tumor hati pada manusia.11,12
Sementara itu pada tumor metastasis atau anak sebar, peran GJIC
masih kontroversial. Diduga fungsional GJIC heterolog dan reekspresi dari
adhesion molecule dibutuhkan untuk menghubungkan sel kanker metastasis dengan endotel kapiler dan tempat baru untuk metastasis. Pada daerah
metastasis atau limfonodi metastasis reekspresi GJIC dan adhesion molecule
lebih sering ditemukan dibandingkan dengan tumor primer.13
MEDICINUS
30
Banyak bukti menunjukkan bahwa agen penumbuh tumor mampu menghambat GJIC.
GJIC pada kultur sel dapat dihambat secara
reversibel oleh forbol ester sehingga transfer molekul dan ion terganggu. Bukti in vivo
diperlukan karena kompleksitas komunikasi
inteseluler tidak bisa semuanya ditiru secara in vitro. Beberapa penumbuh tumor hati
menurunkan gap junction dan menghambat
GJIC pada hati tikus in vivo. Kurangnya GJIC
akan menyebabkan pertumbuhan klonal yang
mendahului perubahan ke arah ganas yaitu
promosi tumor.2
Beberapa onkogen dan faktor pertumbuhan juga menghambat GJIC, seperti onkogen
retroviral (v-src, v-Ha-ras, v-raf, v-fps), onkogen virus DNA (polioma-middle T, SV-40 T,
HPV 16 E5) dan onkogen seluler (c-src, C-Haras, c-erbB2). Faktor pertumbuhan dan hormon yang menghambat GJIC adalah fibroblast growth factor, platelet derived growth factor,
transforming growth factor B, epidermal growth
factor dan testosterone.2
GJIC yang diinduksi karsinogen. Sebagai contoh: kultur epitel sel liver
tikus tidak menunjukkan perubahan gen Cx43 di tingkat mRNA. Protein Cx43 juga tidak mengalami perubahan jumlah sebelum dan sesudah penambahan karsinogen TPA, namun bentuk fosforilasi mengalami perubahan sehingga protein connexin terletak pada sitoplasma,
tidak pada membran sel, akibatnya terjadi gangguan GJIC.2
Terdapat kaitan fungsional yang erat antara connexin dan adhesion
molecule cell. Telah dilaporkan bahwa ekspresi E-cadherin sangat penting bagi Cx43 untuk membentuk fungsional GJIC di keratinosit tikus. Hal ini juga
menjelaskan mengapa GJIC pada keratinosit tikus sangat tergantung Ca2+ karena
E-cadherin merupakan sel yang tergantung pada Ca2+. Ekspresi E-cadherin sangat
menurun pada tumor kulit tikus selama
perkembangan invasive dan metatasis.
Penurunan ekspresi dan mutasi E-cadherin
juga ditemukan pada berbagai jenis kanker
pada manusia.2,19
GJIC membutuhkan mekanisme pengenalan sel yang memadai. Tumor tidak mampu
membentuk GJIC heterolog dengan sel-sel
normal di sekitarnya. Bila barisan sel epitel
hepar tikus bertumor dikultur bersamaan
dengan barisan sel epitel hepar tikus tanpa
tumor, maka tidak akan terbentuk GJIC heterolog. Dapat disimpulkan bahwa sel-sel
homolog mempunyai suatu mekanisme untuk mengenali sel-sel sejenis di antara mereka, dan mekanisme pengenalan ini tidak ada
di antara sel-sel normal dan sel tumor.2,20
Adanya percobaan transfeksi over expression cDNA connexin pada sel tumor membuktikan bahwa GJIC fungsional mampu
menekan tumorigenesis pada beberapa
tipe sel-sel yang mengalami transformasi.
Fibroblast sel-sel tikus, sel glioma, sel-sel
rhabdomyosarcoma manusia yang ditransformasikan secara kimiawi, mengalami defisiensi Cx43, dan setelah
ditransfeksikan Cx43 akan mengalami pengurangan pertumbuhan tumor dan perlambatan tumorigenesis. Begitu pula transfeksi Cx32 pada
sel-sel hepatoma manusia, dan Cx26 pada HeLa cell yang berasal dari
sel-sel servikal uteri. Jadi tampaknya efek connexin pada penghambatan pertumbuhan sel bersifat selektif menurut spesifikasi connexin
tersebut.2,24
Peran dan Aplikasi Connexin atau GJIC Terhadap Kemoprevensi dan Terapi Kanker
Banyak sel tumor hanya memiliki sedikit GJIC. Oleh karena connexin
lebih menyerupai gen penekan tumor, maka transfeksi gen connexin
akan menjadi suatu terapi kanker yang efisien melalui dua jalan yaitu
bystander effect dan pengendalian pertumbuhan sel. Jadi efek terapi
kanker bisa ditingkatkan dengan transfeksi gen connexin. Terapi yang
diterima oleh sel-sel tumor akan diteruskan pada sel-sel di sekitarnya
melalui GJIC sehingga akan meningkatkan efek terapi. Contoh pada
sel HeLa dengan defisiensi GJIC yang ditransfeksikan thymidyne kinase
dari Herpes simplex virus (HSV-tk). Sel HeLa HSV-tk ini akan mati oleh
ganciclovir karena ganciclovir diaktifkan oleh HSV-tk; namun sel-sel
HeLa di sekitarnya yang tidak ditransfeksikan HSV-tk (tk-) tetap hidup
karena ganciclovir tidak aktif pada jenis sel ini. Namun bila digunakan
sel HeLa yang ditransfeksikan dengan gen penyandi protein gap junction Cx43, maka ganciclovir tidak saja membunuh sel-sel dengan tk+ namun juga tk-. Hal tersebut mengindikasikan bahwa molekul ganciclovir
toksik yang difosforilasi oleh HSV-tk ditransfer melalui GJIC ke selsel tk-. Contoh lain adalah pada terapi tumor otak dengan transfeksi
gen tymidine kinase dari HSV (HSV-tk). Sel-sel yang ditransfeksikan
dengan gen HSV-tk dan juga sel-sel di sekitarnya dapat dibunuh oleh
ganciclovir karena GJIC masih berfungsi normal.
Kesimpulan
GJIC berperan menjaga homeostasis normal dan kendali pertumbuhan sel melalui keutuhan komunikasi interseluler. Pada beberapa jenis
tumor terjadi gangguan ekspresi connexin. Gangguan ini bisa berupa
down regulation protein connexin karena gangguan fosforilasi. Terjadinya gangguan GJIC heterolog akan menyebabkan sel tumor tumbuh
dan berkembang tanpa pengaruh kendali sel-sel di sekitarnya, dan
gangguan GJIC homolog akan menyebabkan perbedaan fenotipe antar
sel-sel tumor yang sama. Dalam kaitannya dengan kepentingan terapi,
GJIC bisa digunakan untuk menekan pertumbuhan tumor atau memodulasi efek kemoterapi melalui bystander effect.
Daftar Pustaka
1. Yamasaki H. Gap Junctional intercellular comunication and carcinogenesis
Carcinogenesis 1990; 7:1051-8
2. Yamasaki H, Naus CC. Role of connexin genes in growth control. Carcinogenesis 1996; 17(6):11990-213
3. Pitts JD and Finbow ME. The gap junction. J Cell Sci 1986; 4(Suppl.):239-266
4. Lawrence TS, Beers WH, and Gilula NB. Hormonal stimulation and cell communication in cocultures. Nature 1978; 272:501-6
5. Saez JC, Conner JA, Spray DC and Bennett MV. Hepatocyte gap junctions are
permeable to the second messenger, inositol 1,4,5-triphosphate, and to calcium ions. Proc Nail Acad Sci USA; 1989: 86:2708-12
6. De Vuyst E, Decrock E, De Bock M, Yamasaki H, Naus CC, Evans WH, et al.
Molecular Biology of the Cell 2007; 18:34-46
7. Jongen WM, Fitzgerald DJ, Asamoto M, Piccoli C, Slaga TJ, Gros D, et al. Regulation of connexin 43-mediated gap junctional intercellular communication
by Ca2+ in mouse epidermal cells is controlled by E-cadherin. J Cell Biol 1991;
114:545-55
8. Lampe PD and Lau AF. The effects of connexin phosphorylation on gap junctional communication. Int J Biochem Cell Biol 2004; 36:117186
9. Bruzzone R, White TW, dan Paul DL. Connections with connexins: the molecular basis of direct intercellular signaling. Eur J Biochem 1996; in press
238(1):1-27
10. Yamasaki H. Gap Junctional intercellular comunication and carcinogenesis
Carcinogenesis 1990; 7:1051-8
11. Mesnil M dan Yamasaki H. Selective gap-junctional communication capacity
of transformed and non-transformed rat liver epithelial cell lines. Carcinogenesis.1988; 9:1499-502
12. Krutovskikh VA, Mazzoleni G, Mironov N, Omori Y, Aquelon AM, Mesnil M, et
al. Altered homologous and heterologous gap-junctional intercellular communication in primary human liver tumors associated with aberrant protein
localization but not gene mutation of connexin 32. Int J Cancer 1994; 56:
87-94
13. Kanczuga-Koda L, Sulkowski S, Lenczewski A, Koda M, Wincewicz A, Baltaziak,
et al. Increased expression of connexins 26 and 43 in lymph node metastases
of breast cancer. J Clin Pathol 2006;59:42933
14. Rivedal E, Sanner T, Enomoto T, Yamasaki H. Inhibition of intercellular communication and enhancement of morphological transformation of syrian hamster embryo cells by TPA. Use of TPA-sensitive and TPA-resistant cell lines.
Carcinogenesis 1985; 6:899-902
15. Rivedal E, Roseng LE, Sanner T. Vanadium compounds promote the induction
of morphological transformation of hamster embryo cells with no effect on
gap junctional cell communication. Cell Biol and Toxicol 1990; 6:303-14
16. Ruch RJ, Klaunig JE, Kerckaert GA, LeBoeuf RA. Modification of gap junctional
intercellular communication by changes in extracellular pH in syrian hamster
embryo cells. Carcinogenesis 1990; 11:909-13
17. Musil LS, Goodenough DA. Biochemical analysis of connexin43 intracellular
transport, phosphorylation, and assembly into gap junctional plaques. J Cell
Biol 1991; 115:1357-74
18. Unwin PN, Ennis PD. Calcium-mediated changes in gap junction structure:
evidence from the low angle X-ray pattern. J. Cell Biol. 1983; 97:1459-66
19. Risinger JI, Berchuck A, Kohler MF, Boyd J. Mutation of the E-cadherin gene in
human gynecological cancers. Nat Genet1994; 7:98-102
20. Mesnil M, Asamoto M, Piccoli C, Yamasaki H. Possible molecular mechanism
of loss of homologous and heterologous gap junctional intercellular communication in rat liver epithelial cell lines. Cell Ahes. Commun 1994; 2:377-84
21. Kanczuga-Koda. L, Sulkowski S, Koda M, Skrzydlewska E, Sulkowska M. Connexin 26 correlates with Bcl-xL and Bax proteins expression in colorectal cancer. World J Gastroenterol 2005:11(10):1544-8
22. Huang RP, Hossain MZ, Huang R, Gano J, Fan Y, Boynton AL. Connexin 43
(cx43) enhances chemotherapy-induced apoptosis in human glioblastoma
cells. Int J Cancer 2001; 92:130-8
23. Tanaka M, Grossman HB. Connexin 26 induces growth suppression, apoptosis and increased efficacy of doxorubicin in prostate cancer cells. Oncol Rep
2004; 11:537-541
MEDICINUS
Connexin memiliki peran pada penekanan tumor. Connexin menghambat pertumbuhan sel dan menghambat pengaturan diferensiasi
jaringan. Di samping itu connexin meningkatkan apoptosis melalui
transfer molekul signaling melalui GCIJ dengan mekanisme yang belum jelas dan terutama dilakukan oleh connexin yang terletak pada
plasma membran. Dihipotesiskan bahwa peran connexin pada apoptosis ini di antaranya melalui pengaturan pada protein. famili Bcl-2.
Connexin pada sitoplasma memiliki signaling pathway yang berbeda
dari connexin pada plasma membran. Transduksi sinyal connexin membutuhkan interaksi dengan protein-protein intraseluler lain. Huang
dkk menemukan penurunan ekspresi Bcl-2 pada sel-sel ganas yang
ditransfeksikan Cx43 namun tidak terjadi pada sel-sel nontransfeksi.22
Gen connexin mengatur ekspresi gen lain pada tumor sel. Tanaka dkk
juga menemukan bahwa sel-sel tumor prostat yang ditransfeksikan
Cx26 akan tertekan pertumbuhannya, terjadi induksi penghentian siklus sel pada fase G2/M, penurunan ekspresi Bcl-2, dan peningkatan
apoptosis.23
Pada karsinogenesis terjadi perubahan ekspresi, lokalisasi connexin
dan mungkin penurunan fungsi.
31
MEDICINUS
32
MEDICINUS
33
MEDICINUS
34
events
akan
masuk ke dalam makrofag. Menurut antibody dependent enhancement, antigen infeksi pertama
pada makrofag justru menjadi
semacam opsonisasi untuk memfasilitasi virus menempel ke permukaan makrofag dan masuk ke
dalamnya. Makrofag akan melepaskan monokin, sitokin, histamine, dan interferon, yang akan
mengakibatkan celah endotel melebar, selanjutnya terjadi kebocoran cairan intravaskular ke ruang
eks-travaskular. Konsekuensinya,
terjadi hipovolemia, hemokonsentrasi, tubuh lemah, edema, dan
kongesti visceral. Perenggangan
celah antar sel endotel dapat juga
disebabkan oleh virus dengue itu
sediri. Saat sel endotel terinfeksi
DV, terjadi kerusakan sel endotel.
Akan tetapi pelebaran celah sel
endotel terutama disebabkan oleh
pelepasan sitokin inflamasi.
Dengan demikian, manifestasi
klinis yang paling penting dalam
penyakit DBD adalah kebocoran
plasma. Dan untuk mengetahui
tanda-tanda kebocoran plasma
bukannya trombosit yang dipantau tetapi hematokrit. Selain itu,
penting juga pemantauan urine
output dan hemostasis. Dari pengalaman dokter, apabila tidak terjadi pendarahan massive, trombosit
3.000 atau 7.000 juga tidak mengakibatkan kematian pasien.
Adapun tingkat keparahan
sindrom kebocoran kapiler tergantung ukuran celah endotel dan
lokasi atau daerah yang terkena
infeksi, komposisi matriks kompartemen perivaskular, dan per-
MEDICINUS
35
MEDICINUS
36
Tatalaksana renjatan
1. terjadinya
hemokonsentrasi
selama terapi cairan pengganti
sehingga dibutuhkan lebih banyak cairan;
2. terjadi akumulasi cairan pada
rongga-rongga tubuh seperti
pleural efusi, asites, dan udem
pada kadnung kemih.
Problema ini memunculkan
kebutuhan akan adanya cairan
pengganti yang dapat bertahan
lebih lama dalam intravaskular,
mudah diekskresi, lebih aman
untuk organ tubuh (misal ginjal),
MEDICINUS
37
MEDICINUS
38
MEDICINUS
133
MEDICINUS
134
events
MEDICINUS
41
events
ua Tahun berturut-turut,
Dexa Medica terpilih sebagai Perusahaan Pembina Tenaga Kerja Perempuan
Terbaik Provinsi Sumatera Selatan tahun 2008 dan 2007.
Penghargaan Perusahaan Pembina Tenaga Kerja Perempuan
Terbaik 2008 diberikan Senin, 22
Desember 2008, di Jakarta Conven-
MEDICINUS
Dari
Dexa
Medica, hadir
pada
penyerahan
penghargaan
tersebut,
Karyanto,
Corporate
Communications Manager, mewakili
Managing
Director Dexa
M e d i c a ,
42
exa Medica
kembali
memberikan
penghargaan Dexa Award kepada lulusan terbaik program
profesi Apoteker dari universitas
terakreditasi A di Indonesia. Kali
ini, Nova Trisnawaty, S.Farm, Apt,
terpilih untuk menerima penghargaan Dexa Award sebagai lulusan
terbaik program profesi Apoteker
Angkatan ke-67, Universitas Indonesia (UI). Nova yang berasal dari
Palembang, Sumatera Selatan ini,
memiliki Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,46.
Dexa Award diserahkan oleh
Head of Marketing and Sales OTC
Dexa Medica, Sylvia Andriani
Rizal, mewakili Direksi Dexa
Medica, pada Pelantikan dan
Ferry Soetikno.
Penghargaan
ini digelar bersamaan Peringatan Hari Ibu
ke-80 dan Pencanangan Tahun Indonesia
Kreatif 2009.
Ada tujuh kategori penghargaan yang diberikan, yaitu Penghargaan Anugerah Parahita Ekapraya Tingkat
Provinsi dan Kabupaten/Kota,
Penghargaan Pengelola Program
Terpadu Peningkatan Peran Wanita menuju Keluarga Sehat Sejahtera (P2WKSS) Terbaik Tingkat
Provinsi, Penghargaan Pengelola
Program Bina Keluarga Balita
(BKB) Terbaik Tingkat Provinsi,
Penghargaan Kelompok Bina
Keluarga Balita (BKB) Terbaik
Tingkat Provinsi, Penghargaan
Pengelola Kecamatan Sayang Ibu
(KSI) Terbaik Tingkat Provinsi,
Penghargaan Rumah Sakit Sayang
Ibu dan Bayi (RSSI dan B) Terbaik
di Balai Sidang
UI, Depok, Rabu,
4 Februari 2009.
Acara itu dihadiri pula Ketua
Umum
Ikatan
Sarjana Farmasi
Indonesia (ISFI),
Prof. Dr. Haryanto Dhanutirto. Ada 60 lulusan Apoteker
Angkatan
ke67 yang dilantik dan diambil
sumpahnya dalam acara tersebut. Dexa Award merupakan
penghargaan dari Dexa Medica
kepada para apoteker dan dokter yang telah dengan upaya
gigih menjadi lulusan terbaik.
Dalam sambutannya, Sylvia
mengatakan Dexa Medica didirikan di Palembang pada 27
September 1969. Produk-produk
calender events
MEDICINUS
43
literature services
o Outcomes
50
o Screening for skin cancer: An update of the evidence for the US preventive services task force.
o Effect of high-dose simvastatin therapy on glucose metabolism and ectopic lipid deposition in
MEDICINUS
o Prognosis
44
2009; 32:209-14
o Metabolic
o Long-term
A
cupuncture treatment for pain: Systemic
Review of randomised clinical trials with
acupuncture, placebo acupuncture, and no
acupuncture groups. BMJ 2009; 338:330-44
o
Long-term
o
Giant
oral bisphosphonate therapy. The New England Journal of Medicine 2009; 360:53-62
o
Fractional flow reserve versus angiography
for guiding percutaneous coronary intervention. The New England Journal of Medicine
2009; 360:213-24
o
Primary ovarian insufficiency. The New England Journal of Medicine 2009; 360:606-14
o
Association of mild anemia with hospitalization and mortality in the elderly: the health
and anemia population-based study. Haematologica 2009; 94(1):22-8
MEDICINUS
IKLAN KEPPRA