You are on page 1of 10

Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Universitas Indonesia.

REVIEW HUKUM INTERNASIONAL


Nama : Erika
NPM : 0706291243
Sumber : Christian Reus-Smit. 2004. The Politics of International Law. Cambridge : Cambridge
University Press, hal. 14-44.

Politik dan Hukum Internasional, Bagaimana Relasinya?


Sebuah Tinjauan mengenai Relasi Politik dan Hukum Internasional dengan Menggunakan

Perspektif Realisme, Rasionalisme, dan Konstruktivisme

Selama bertahun-tahun lamanya, telah terjadi perdebatan penting mengenai relasi


antara hukum dan politik. Pendapat pertama mengatakan bahwa hukum adalah bagian dari
politik, sedangkan pendapat kedua mengatakan bahwa politiklah yang merupakan bagian dari
hukum. Menyikapi perbedaan itu, Christian Reus-Smit dalam bukunya yang berjudul The
Politics of International Law mengutarakan pendapatnya mengenai hubungan hukum
internasional dan politik internasional. Reus-Smit memulai penjelasannya dengan
memaparkan pandangan tiga perspektif dalam hubungan internasional terkait dengan relasi
antara hukum dan politik : realisme, rasionalisme, dan konstruktivisme. Pandangan pertama
datang dari kaum realis, yang mengatakan bahwa hukum internasional, untuk dapat terbentuk
dan eksis, memerlukan suatu kondisi “balance of power”. Lebih lanjut, realis mengatakan
bahwa dasar dari hukum internasional adalah power, namun hukum internasional itu sendiri
tidak boleh bertentangan dengan negara karena apabila sampai bertentangan, maka hukum
internasional harus tunduk pada negara. Kaum realis berpendapat bahwa yang terpenting
adalah politik, hukum bukanlah apa-apa jika tanpa politik. Dengan fokus pembicaraan adalah
negara sebagai aktor utama, realis berpikir bahwa hukum internasional itu ada untuk
mewujudkan kepentingan nasional negara berkuasa; hukum internasional merupakan bentuk
dari hukum primitif, di mana negara dominan merupakan penguasa dari hukum internasional
tersebut. Karena itu tidaklah heran jika peraturan-peraturan di dalam hukum internasional
tersebut lebih membela negara dominan.
Berbeda dengan pandangan realisme, rasionalisme menganggap bahwa hukum

Page | 1
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Indonesia.

internasional merupakan institusi fungsional yang berbasis peraturan dalam masyarakat


internasional. Pendekatan ini menggunakan prinsip bahwa kepentingan nasional akan mudah
dicapai bila negara-negara bekerja sama. Rasionalisme menganggap politik adalah permainan
strategis (strategic games), yang memerlukan tindakan strategis (strategic action) untuk
memaksimalkannya, sehingga kepentingan nasional dapat diwujudkan seiring dengan
perwujudan kepentingan internasionalnya. Rasionalis berpendapat kondisi dunia yang anarkis
mengakibatkan banyak permasalahan, seperti rawannya terjadi kecurangan (cheating),
kurangnya arus informasi, dan biaya yang tinggi sehingga untuk menyiasatinya diperlukan
suatu bentuk kerjasama. Kerjasama ini diwujudkan antara lain dengan membentuk berbagai
institusi internasional, yang pada akhirnya dapat memajukan kerjasama internasional dengan
jalan mengatur sehingga tidak terjadi kecurangan, mengurangi harga, dan menyediakan
informasi yang cukup bagi anggotanya.
Perspektif ketiga datang dari kaum konstruktivis. Kaum konstruktivis berpendapat
bahwa tingkah laku negara sebenarnya dipengaruhi oleh banyak pandangan/hal-hal normatif
dan idealis. Mereka berpendapat bahwa identitas sosial suatu negara akan membentuk
tindakan dan kepentingan nasionalnya. Selain menggarisbawahi pentingnya hal-hal normatif
dan identitas sosial, konstruktivis juga menekankan pentingnya alasan bertindak, yang terdiri
dari alasan individual dan kolektif serta pembenaran secara hukum. Berbagai alasan bertindak
ini dikatakan mempunyai dimensi internal dan eksternal, serta aspek pribadi dan publik.
Namun kaum konstruktivis menekankan, alasan bertindak yang disebutkan ini, bukanlah
semata merupakan kelayakan logis berupa pembenaran normatif dari suatu tindakan,
melainkan harus berupa argumentasi logis. Konstruktivis mengatakan bahwa politik
internasional dipahami sebagai alasan dan tindakan yang dibentuk oleh pemerintahan dan
konstitusi yang berbasis peraturan, sedang hukum internasional dipandang sebagai komponen
utama dari struktur normatif yang diproduksi dari politik.
Melanjutkan penjelasan kaum konstruktivis yang menekankan pentingnya alasan
bertindak, Reus-Smit kemudian menjelaskan tentang konsep pertimbangan politik. Menurut
Reus-Smit, ada empat macam pertimbangan politik, yaitu secara idiografis, purposif, etikal,
dan instrumental. Pertimbangan idiografis merupakan pertimbangan berdasarkan identitas,
Page | 2
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Indonesia.

sedang pertimbangan purposif merupakan pertimbangan berdasarkan keinginan/kepentingan.


Pertimbangan etikal merupakan pertimbangan yang sesuai dengan apa yang berlaku di
masyarakat, sementara pertimbangan instrumental merupakan pertimbangan mengenai
instrumen strategi atau instrumen sumber daya apa yang akan digunakan. Keempat unsur ini
merupakan unsur yang saling berkaitan satu sama lain, yang menyusun sebuah pertimbangan
politik. Karena disusun oleh keempat unsur yang tidak dapat dipisahkan inilah, pertimbangan
politik kemudian dipahami sebagai bentuk alasan yang berbeda karena memiliki kualitas
interstisial. Lebih lanjut lagi, Reus-Smit menyebutkan bahwa aksi/tindakan politik bersifat
multi-dimensi, karena tindakan politik merupakan ekspresi dari pertimbangan-pertimbangan
politik, sehingga juga mencakup 4 dimensi dalam pertimbangan politik. Keempat dimensi
inilah yang kemudian membedakan tindakan politik dengan tindakan sosial. Menanggapi
empat dimensi dalam pertimbangan politik, Alexander Wendt mengatakan bahwa menurutnya,
faktor idiografis itu lebih dominan daripada faktor-faktor lain sangat tergantung pada faktor
idiografis. Namun Wendt menyebutkan, bukan berarti lantas faktor idiografis-lah yang paling
utama dan penting, ke-4 faktor tersebut sama pentingnya, hanya saja faktor purposif, etikal,
dan instrumental sering kali sangat tergantung pada faktor idiografis.
Selain membicarakan mengenai empat dimensi yang membentuk politik, Reus-Smit
juga membicarakan mengenai pentingnya kehadiran institusi-institusi dalam dunia
internasional. Senada dengan Reus-Smit, Robert Keohane mengatakan keberadaan institusi
internasional itu penting untuk memfasilitasi kerjasama dengan cara mengurangi
kecurangan-kecurangan yang mungkin terjadi (cheating) pada kondisi dunia yang anarki,
meminimalkan biaya transaksi, serta memperbanyak informasi bagi para anggotanya. Sebagai
tambahan, Reus-Smit lantas juga menyebutkan keberadaan institusi itu penting sebagai
instrumen untuk mengatur hubungan antar anggotanya. Reus-Smit menyetujui pendapat
kaum rasionalis yang mengatakan bahwa pertimbangan instrumental dan tindakan akan
mempengaruhi aktor-aktornya dalam membentuk pengaturan institusi untuk mewujudkan
solusi dari masalah-masalah kerjasama dan kolaborasi. Ia menekankan pentingnya institusi
untuk menjembatani berbagai masalah antar negara yang sangat mungkin terjadi dalam
kondisi dunia yang anarki. Cara kerja institusi itu lantas dijelaskan oleh John Ruggie. John
Page | 3
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Indonesia.

Ruggie menjelaskan bagaimana institusi kontemporer multilateral kemudian dipatuhi oleh


negara, yaitu pada prinsip bahwa peraturan-peraturan bersifat mengikat bagi setiap subjek
dalam kondisi apapun. Prinsip fundamental inilah yang kemudian dipatuhi oleh setiap negara,
dan bersifat mengikat bagi tiap anggotanya.
Melanjutkan pembicaraan mengenai institusi modern, Reus-Smit membedakan ada
dua unsur yang menyusun institusi modern. Unsur pertama, didukung oleh kaum realis,
adalah sistem internasional. Sistem internasional kemudian didefinisikan sebagai kondisi saat
dua/lebih negara memiliki interaksi dan dampak satu sama lain, yang kemudian
mengharuskan mereka bersikap layaknya satu kesatuan. Dalam sistem internasional ini, jelas
bahwa unsur yang utama adalah power dan kapasitas material. Sementara unsur yang kedua
merupakan unsur yang diusung oleh kaum rasionalis dan konstruktivis, yang juga lebih
disetujui oleh Reus-Smit, yaitu masyarakat internasional. Masyarakat internasional
didefinisikan sebagai kondisi saat sekumpulan negara yang memiliki nilai-nilai dan
kepentingan yang sama membentuk sebuah masyarakat yang mempunyai kerelaan untuk
patuh pada aturan bersama dan kesediaan untuk bekerja bersama dalam suatu institusi
tertentu. Dalam unsur masyarakat internasional ini, dapat dilihat bahwa unsur nilai,
kedaulatan negara, dan peraturan merupakan hal yang mendasari terbentuknya institusi.
Konsep kedaulatan ini kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh Reus-Smit dengan menyebutkan
bahwa sebuah masyarakat internasional akan eksis bila negara-negara mulai menyadari
kedaulatannya satu sama lain, saat mereka mempertahankan kedaulatannya dengan patuh
pada peraturan-peraturan institusional seperti prinsip non-intervensi dan self-determination.
Kesadaran akan kedaulatan internasional lantas menghasilkan masalah baru berupa
definisi kedaulatan itu sendiri. Awalnya, negara-negara imperial Eropalah yang diberi
keistimewaan untuk menentukan negara non-Eropa mana yang memenuhi “standar
peradaban” dan dengan demikian diakui sebagai negara yang berdaulat. Tetapi kemudian
timbul ide liberalisme yang menantang kekuatan imperial, dengan menganggap imperialisme
sebagai bentuk pelanggaran terhadap prinsip hak asasi manusia. Perubahan ini kemudian
melahirkan prinsip “good governance” serta pembentukan ICC (International Criminal
Court). Perubahan selanjutnya adalah mengenai legitimasi, yang merupakan konsep yang
Page | 4
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Indonesia.

dekat dengan kedaulatan. Awalnya legitimasi dipegang oleh para aristokrat Eropa dan
Amerika Serikat berdasarkan garis keturunan, namun seiring proses revolusi yang terjadi,
legitimasi menjadi lebih dikuasai oleh orang yang populer. Perubahan ini mendorong
terjadinya perubahan pada struktur konstitusi, dari yang bersifat otoriter menjadi lebih
bersifat parlementer lewat representatif, dengan ketentuan bahwa peraturan-peraturan
tersebut lantas harus diterima oleh semua masyarakat dalam semua kondisi.
Anggapan bahwa hukum alam (natural law) merupakan sumber hukum terbaik pun
perlahan-lahan mulai ditinggalkan, yang mendasari anggapan tersebut adalah pemikiran
Rousseau bahwa “kekuatan legislatif merupakan milik rakyat”, yang kemudian mendorong
terbentuknya teori legal internasional (international legal theory) dalam hukum internasional.
Senada dengan Rousseau, Robert Ward mengatakan hanya perjanjian, konvensi, dan
kebiasaan konkrit lah yang menyediakan fondasi tepat bagi hukum, karena kesemuanya
itu—tidak seperti hukum alam—merefleksikan kehadiran negara.
Diskusi lebih lanjut mengenai hukum internasional lantas menyebutkan mengenai
norma legislatif modern yang mengatur tentang dua prinsip prosedur peradilan, yaitu prinsip
self-legislation (bahwa representatiflah yang menentukan hukum), dan prinsip
non-diskriminasi (peraturan berlaku bagi setiap subjek secara sama dan berlaku untuk semua
kasus). Kedua prinsip tersebut kemudian menjadi dasar bagi sistem hukum internasional
dengan 4 karakteristik berikut : diskursi dalam otonomi institusional, legislasi dalam bentuk
multilateral, bahasa dan praktek peradilan, serta struktur obligasi.
Diskursi dalam otonomi institusional pada intinya membahas mengenai hubungan
antara politik dan hukum. Pada masa Absolutisme, saat hukum alam masih berlaku, politik
dan hukum merupakan satu bagian. Penolakan revolusioner pada bentuk legitimasi kemudian
melahirkan pemikiran baru. Prinsip self-legislation menggabungkan politik dan hukum dalam
unsur legislatif, sementara prinsip non-diskriminasi memisahkan politik dan hukum
masing-masing dalam unsur interpretasi dan ajudikasi. Prinsip kedualah yang kemudian lebih
diterima oleh masyarakat, bahwa hukum dan politik adalah dua hal yang berbeda, baik secara
tindakan maupun untuk kegiatan pembelajaran. Dikatakan juga, bahwa politik dan hukum itu
tidak bisa saling dipisahkan. Politik membentuk sistem legal internasional, sementara di satu
Page | 5
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Indonesia.

sisi politik mengalami transformasi oleh karena sistem tersebut.


Karakteristik kedua, legislasi dalam bentuk multilateral pada hakikatnya
menjelaskan mengenai kondisi multilateral yang dipandang lebih baik dari bilateral.
Reus-Smit menyebutkan bahwa bilateral merupakan bentuk dari diplomasi kuno, yang
mendasari terbentuknya kooperasi. Reus-Smit mendefinisikan multilateralisme sebagai
bentuk institusional yang mengatur relasi antar tiga/lebih negara yang mengakui
prinsip-prinsip yang sama, yaitu prinsip yang mengatur tingkah laku para anggotanya dengan
tetap mempedulikan kepentingan dari anggotanya. Dikatakan juga bahwa negosiasi
merupakan hal yang penting dalam hukum internasional untuk mengatur hal-hal internal dan
eksternal.
Karakteristik ketiga yaitu mengenai bahasa dan praktek peradilan. Karakteristik ini
menekankan pada bagaimana praktik peradilan dalam hukum internasional berjalan.
Reus-Smit menyebutkan bahwa sebuah rezim dari peraturan dan norma menjadi legal ketika
peraturan tersebut akurat, mengandung kewajiban yang mengikat, dan memberikan otoritas
bagi pihak ketiga. Dengan kata lain, situasi legal dipahami sebagai situasi yang formal, dan
mengandung unsur kekerasan/pemaksaan. Namun ternyata hal tersebut tidak berlaku, karena
hukum internasional seringkali dilaksanakan tidak dalam mekanisme peradilan yang formal,
melainkan dalam diskursi dan argumen-argumen sosial. Bertentangan dengan anggapan yang
pertama, Kratochwil mengatakan bahwa suatu peraturan dan norma akan menjadi legal bila
norma-norma tersebut digunakan dalam pengambilan keputusan dan komunikasi dengan
publik. Pendapat senada disampaikan oleh Nicholas Wheeler yang mengatakan bahwa hukum
internasional merupakan suatu proses, yang sebenarnya telah dimulai ketika para aktornya
memperdebatkan/berdiskusi untuk membuat peraturan.
Karakteristik keempat dan terakhir, adalah struktur obligasi. Di sini dijelaskan alasan
mengapa negara-negara tunduk pada hukum internasional. Rasionalis berpendapat,
negara-negara itu tunduk semata-mata karena konsensus yang telah mereka lakukan pada
hukum internasional tersebut. Namun pendapat rasionalis itu ditentang oleh Reus-Smith yang
mengatakan bahwa norma-norma yang telah ada sebelumnyalah yang mengikat konsensus
tersebut, seperti contohnya pacta sunt servanda yang memaparkan ketentuan bahwa
Page | 6
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Indonesia.

konsensus/janji haruslah diikat, dan bahwa kewajiban untuk melaksanakan norma tertentu
harus didasarkan pada hal lain selain karena konsensus belaka, sebab negara hanya akan
merasa terikat untuk melaksanakan hukum internasional hanya apabila sistem dari hukum
tersebut terbilang adil bagi mereka.
Pada dasarnya, Reus-Smit lebih condong pada pikiran kaum konstruktivis, yaitu
bahwa memahami tingkah laku suatu negara tidak dapat lepas dari faktor identitas sosialnya.
Konstruktivis mempercayai hal-hal yang bersifat normatif, dan hukum internasional
dipandang sebagai jalan keluar untuk menangani kondisi dunia yang anarki. Konstruktivis
memandang, hanya dengan nilai dan ide yang sama, sekelompok negara akan dapat menjalin
kerjasama. Hukum internasional dipandang sebagai nilai dan ide yang kemudian diakui
bersama oleh masyarakat internasional, sehingga dengan demikian hukum internasional akan
ditaati oleh masyarakat internasional. Ia juga menjelaskan hubungan mengenai politik dan
hukum internasional, yaitu bahwa keduanya saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan.
Politik berada dalam lingkup lebih luas yang melingkupi hukum, akan tetapi bukan berarti
hukum lantas tunduk pada politik, karena keduanya saling berkaitan. Politik membentuk
sistem legal internasional, sementara politik sendiri mengalami traksformasi karena sistem
legal yang dibentuknya tersebut. Penulis menyimpulkan, Reus-Smit memandang politik dan
hukum internasional seperti dua sisi pada satu buah mata koin, yang berbeda namun
keberadaannya tidak dapat saling dipisahkan. Politik dan hukum internasional saling
mendukung satu sama lain, sebab keberadaan mereka melengkapi satu dengan yang lainnya.
Konstruktivis juga mengatakan bahwa politik menyusun hukum internasional.
Berbeda dengan Reus-Smit yang cenderung mengadopsi cara berpikir kaum
konstruktivis dalam menyikapi relasi antara politik dan hukum internasional, penulis justru
lebih condong pada cara berpikir kaum realis yang mengatakan bahwa hukum internasional
berada di bawah politik, sehingga hukum itu tidak memiliki legalitas yang cukup jika
dibandingkan dengan kekuatan politik. Pengertian hukum internasional, yaitu bahwa hukum
internasional diartikan sebagai himpunan dari peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan
yang mengikat serta mengatur hubungan antara negara-negara dan subjek-subjek hukum

Page | 7
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Indonesia.

lainnya dalam kehidupan masyarakat internasional1, tampaknya membuat negara dominan


sadar bahwa untuk memperkuat pengaruh politiknya terhadap negara non-dominan, ia dapat
menggunakan hukum internasional sebagai instrumennya. Penulis setuju bahwa hukum
internasional hanya merupakan instrumen politik dari negara, dalam hal ini negara berkuasa,
untuk mencapai tujuan negaranya. Dan karena hukum internasional hanya merupakan
cerminan dari kepentingan negara berkuasa, tentunya unsur nilai dan ide bersama yang
diagung-agungkan kaum konstruktivis tidaklah valid. Yang ada dalam hukum internasional
adalah nilai-nilai dan ide-ide dari negara berkuasa, yang kemudian dipaksakan kepada negara
lain untuk diakui. Lantas bila nilai dan ide itu sebenarnya bukanlah mencerminkan
kepentingan bersama masyarakat internasional, melainkan hanya cerminan kepentingan
negara dominan, apakah mungkin hukum internasional akan ditaati, yang kemudian
mengakibatkan terciptanya dunia damai yang berbasis kerjasama? Bila hukum internasional
ternyata tidak dapat mengakomodasi kepentingan negara non-dominan, lantas apakah hukum
internasional masih efektif?
Pertanyaan tersebut lantas membawa kita pada pertanyaan mendasar lainnya : Lantas,
bila hukum internasional sudah tidak efektif dalam mengatur hubungan antar negara dalam
sistem dunia yang anarki untuk mencegah terjadinya chaos, lantas apa yang dapat
mengaturnya? Jawabnya adalah politik. Politik sebagai konsep yang dasar dipahami sebagai
segala tindakan untuk mencapai keadilan dan kebahagiaan umum 2, namun demikian terlalu
utopis bila kita membayangkan politik yang dimaksud di sini adalah politik yang jujur dan
adil dengan memperhatikan kepentingan semua pihak. Benar adanya bahwa politik
merupakan tindakan untuk mencapai keadilan dan kebahagiaan umum, namun perlu diingat
bahwa keadilan dan kebahagiaan umum itu dicapai dengan menggunakan instrumen politik
yang utama, power. Dengan adanya power, kondisi dunia yang anarki dan terus berkonflik
mungkin memang tidak dapat dihindari, akan tetapi kemungkinan terjadinya chaos sudah
tentu dapat diperkecil. Dari penjelasan tersebut, penulis menarik kesimpulan bahwa
keberadaan hukum tanpa politik dapat dikatakan kurang penting. Politiklah yang terpenting
1
Boer Mauna. Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, (Bandung :
PT. Alumni, 2008), hal. 1.
2
Robertus Robet. Merehabilitasi Konsep Politik. http://www.tifafoundation.org/files/PAPER%20ROBET
(1).pdf, diakses pada 9 Oktober 2008, pukul 21.30.
Page | 8
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Indonesia.

dalam sistem internasional, politik dengan powernya dapat menguasai dan mengatur relasi
antar negara, lebih daripada kapasitas hukum untuk mengatur relasi antar negara.
Dalam relasinya, sering kali terjadi benturan konflik antara politik dan hukum
internasional. Werner Levi dalam bukunya yang berjudul Contemporary International Law :
A Concise Introduction mengatakan, pergantian politik yang sering dan cepat terjadi serta
proses pembuatan hukum yang relatif lambat mengakibatkan terciptanya “a dead letter” yang
lebih cepat pada hukum di arena internasional dibanding pada masyarakat nasional3. Selain
itu, Werner Levi menambahkan tidak adanya institusi yang dapat menengahi hukum dan
politik menyebabkan selalu adanya tekanan antara kedua unsur tersebut. Adapun, realis
berpendapat bila terjadi tekanan dan konflik antara hukum dan politik, politiklah yang akan
menang; seperti halnya bila hukum internasional isinya bertentangan dengan kepentingan
negara dominan, maka negara dominanlah yang akan menang. Karena menurut realis,
keberadaan hukum internasional memang kurang begitu signifikan, dan kedudukannya
berada di bawah politik dan negara sebagai aktor utama hubungan internasional.
Realisme mengatakan bahwa dengan politiklah kekuasaan dapat dicapai dan
dipertahankan. Hukum tidak lebih hanya sebagai peraturan normatif yang dikendalikan oleh
orang yang memiliki kekuasaan politik. Dan karena hukum internasional dibuat oleh para
pelaku politik, maka politik memiliki posisi yang lebih kuat sebagai pembuat hukum.
Bertentangan dengan Reus-Smit yang menyetujui anggapan kaum rasionalis bahwa institusi
internasional itu penting keberadaannya bagi negara, kaum realis berpendapat bahwa
organisasi internasional hanya akan efektif bila ada suatu sanksi yang efektif dan power dari
negara yang berkuasa/hegemon 4 . Di sini lagi-lagi faktor power dan politik dari negara
dominan menjadi faktor yang penting, sementara unsur hukum sama sekali tidak disebutkan.
Pernyataan tersebut lagi-lagi menegaskan pandangan kaum realis pada relasi antara politik
dan hukum internasional, yaitu bahwa politik lebih penting dari hukum internasional,
sementara hukum internasional hanyalah merupakan instrumen dari politik internasional,
yang digunakan oleh negara hegemon untuk memonopoli dan membentuk dunia agar sesuai
3
Werner Levi. Contemporary International Law : A Concise Introduction, (San Fransisco : USA Westview
Press, 1991), hal. 15.
4
Jill Steans dan Lloyd Pettiford. International Relations Perspectives and Themes, (England: Pearson
Education Limited, 2001), hal. 26.
Page | 9
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Indonesia.

dengan kepentingannya. Penulis berpendapat hukum internasional hanyalah merupakan


perpanjangan tangan dari power negara-negara berkuasa. Hukum internasional, yang menurut
Reus-Smit seharusnya mengatur struggle for power, malah menjadi salah satu alat dari
negara dominan5.

5
Levi, op.cit., hal. 15.
Page | 10

You might also like