Professional Documents
Culture Documents
Universitas Indonesia.
Page | 1
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Indonesia.
dekat dengan kedaulatan. Awalnya legitimasi dipegang oleh para aristokrat Eropa dan
Amerika Serikat berdasarkan garis keturunan, namun seiring proses revolusi yang terjadi,
legitimasi menjadi lebih dikuasai oleh orang yang populer. Perubahan ini mendorong
terjadinya perubahan pada struktur konstitusi, dari yang bersifat otoriter menjadi lebih
bersifat parlementer lewat representatif, dengan ketentuan bahwa peraturan-peraturan
tersebut lantas harus diterima oleh semua masyarakat dalam semua kondisi.
Anggapan bahwa hukum alam (natural law) merupakan sumber hukum terbaik pun
perlahan-lahan mulai ditinggalkan, yang mendasari anggapan tersebut adalah pemikiran
Rousseau bahwa “kekuatan legislatif merupakan milik rakyat”, yang kemudian mendorong
terbentuknya teori legal internasional (international legal theory) dalam hukum internasional.
Senada dengan Rousseau, Robert Ward mengatakan hanya perjanjian, konvensi, dan
kebiasaan konkrit lah yang menyediakan fondasi tepat bagi hukum, karena kesemuanya
itu—tidak seperti hukum alam—merefleksikan kehadiran negara.
Diskusi lebih lanjut mengenai hukum internasional lantas menyebutkan mengenai
norma legislatif modern yang mengatur tentang dua prinsip prosedur peradilan, yaitu prinsip
self-legislation (bahwa representatiflah yang menentukan hukum), dan prinsip
non-diskriminasi (peraturan berlaku bagi setiap subjek secara sama dan berlaku untuk semua
kasus). Kedua prinsip tersebut kemudian menjadi dasar bagi sistem hukum internasional
dengan 4 karakteristik berikut : diskursi dalam otonomi institusional, legislasi dalam bentuk
multilateral, bahasa dan praktek peradilan, serta struktur obligasi.
Diskursi dalam otonomi institusional pada intinya membahas mengenai hubungan
antara politik dan hukum. Pada masa Absolutisme, saat hukum alam masih berlaku, politik
dan hukum merupakan satu bagian. Penolakan revolusioner pada bentuk legitimasi kemudian
melahirkan pemikiran baru. Prinsip self-legislation menggabungkan politik dan hukum dalam
unsur legislatif, sementara prinsip non-diskriminasi memisahkan politik dan hukum
masing-masing dalam unsur interpretasi dan ajudikasi. Prinsip kedualah yang kemudian lebih
diterima oleh masyarakat, bahwa hukum dan politik adalah dua hal yang berbeda, baik secara
tindakan maupun untuk kegiatan pembelajaran. Dikatakan juga, bahwa politik dan hukum itu
tidak bisa saling dipisahkan. Politik membentuk sistem legal internasional, sementara di satu
Page | 5
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Indonesia.
konsensus/janji haruslah diikat, dan bahwa kewajiban untuk melaksanakan norma tertentu
harus didasarkan pada hal lain selain karena konsensus belaka, sebab negara hanya akan
merasa terikat untuk melaksanakan hukum internasional hanya apabila sistem dari hukum
tersebut terbilang adil bagi mereka.
Pada dasarnya, Reus-Smit lebih condong pada pikiran kaum konstruktivis, yaitu
bahwa memahami tingkah laku suatu negara tidak dapat lepas dari faktor identitas sosialnya.
Konstruktivis mempercayai hal-hal yang bersifat normatif, dan hukum internasional
dipandang sebagai jalan keluar untuk menangani kondisi dunia yang anarki. Konstruktivis
memandang, hanya dengan nilai dan ide yang sama, sekelompok negara akan dapat menjalin
kerjasama. Hukum internasional dipandang sebagai nilai dan ide yang kemudian diakui
bersama oleh masyarakat internasional, sehingga dengan demikian hukum internasional akan
ditaati oleh masyarakat internasional. Ia juga menjelaskan hubungan mengenai politik dan
hukum internasional, yaitu bahwa keduanya saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan.
Politik berada dalam lingkup lebih luas yang melingkupi hukum, akan tetapi bukan berarti
hukum lantas tunduk pada politik, karena keduanya saling berkaitan. Politik membentuk
sistem legal internasional, sementara politik sendiri mengalami traksformasi karena sistem
legal yang dibentuknya tersebut. Penulis menyimpulkan, Reus-Smit memandang politik dan
hukum internasional seperti dua sisi pada satu buah mata koin, yang berbeda namun
keberadaannya tidak dapat saling dipisahkan. Politik dan hukum internasional saling
mendukung satu sama lain, sebab keberadaan mereka melengkapi satu dengan yang lainnya.
Konstruktivis juga mengatakan bahwa politik menyusun hukum internasional.
Berbeda dengan Reus-Smit yang cenderung mengadopsi cara berpikir kaum
konstruktivis dalam menyikapi relasi antara politik dan hukum internasional, penulis justru
lebih condong pada cara berpikir kaum realis yang mengatakan bahwa hukum internasional
berada di bawah politik, sehingga hukum itu tidak memiliki legalitas yang cukup jika
dibandingkan dengan kekuatan politik. Pengertian hukum internasional, yaitu bahwa hukum
internasional diartikan sebagai himpunan dari peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan
yang mengikat serta mengatur hubungan antara negara-negara dan subjek-subjek hukum
Page | 7
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Indonesia.
dalam sistem internasional, politik dengan powernya dapat menguasai dan mengatur relasi
antar negara, lebih daripada kapasitas hukum untuk mengatur relasi antar negara.
Dalam relasinya, sering kali terjadi benturan konflik antara politik dan hukum
internasional. Werner Levi dalam bukunya yang berjudul Contemporary International Law :
A Concise Introduction mengatakan, pergantian politik yang sering dan cepat terjadi serta
proses pembuatan hukum yang relatif lambat mengakibatkan terciptanya “a dead letter” yang
lebih cepat pada hukum di arena internasional dibanding pada masyarakat nasional3. Selain
itu, Werner Levi menambahkan tidak adanya institusi yang dapat menengahi hukum dan
politik menyebabkan selalu adanya tekanan antara kedua unsur tersebut. Adapun, realis
berpendapat bila terjadi tekanan dan konflik antara hukum dan politik, politiklah yang akan
menang; seperti halnya bila hukum internasional isinya bertentangan dengan kepentingan
negara dominan, maka negara dominanlah yang akan menang. Karena menurut realis,
keberadaan hukum internasional memang kurang begitu signifikan, dan kedudukannya
berada di bawah politik dan negara sebagai aktor utama hubungan internasional.
Realisme mengatakan bahwa dengan politiklah kekuasaan dapat dicapai dan
dipertahankan. Hukum tidak lebih hanya sebagai peraturan normatif yang dikendalikan oleh
orang yang memiliki kekuasaan politik. Dan karena hukum internasional dibuat oleh para
pelaku politik, maka politik memiliki posisi yang lebih kuat sebagai pembuat hukum.
Bertentangan dengan Reus-Smit yang menyetujui anggapan kaum rasionalis bahwa institusi
internasional itu penting keberadaannya bagi negara, kaum realis berpendapat bahwa
organisasi internasional hanya akan efektif bila ada suatu sanksi yang efektif dan power dari
negara yang berkuasa/hegemon 4 . Di sini lagi-lagi faktor power dan politik dari negara
dominan menjadi faktor yang penting, sementara unsur hukum sama sekali tidak disebutkan.
Pernyataan tersebut lagi-lagi menegaskan pandangan kaum realis pada relasi antara politik
dan hukum internasional, yaitu bahwa politik lebih penting dari hukum internasional,
sementara hukum internasional hanyalah merupakan instrumen dari politik internasional,
yang digunakan oleh negara hegemon untuk memonopoli dan membentuk dunia agar sesuai
3
Werner Levi. Contemporary International Law : A Concise Introduction, (San Fransisco : USA Westview
Press, 1991), hal. 15.
4
Jill Steans dan Lloyd Pettiford. International Relations Perspectives and Themes, (England: Pearson
Education Limited, 2001), hal. 26.
Page | 9
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Indonesia.
5
Levi, op.cit., hal. 15.
Page | 10