You are on page 1of 15

MUHAMMADIYAH SEBAGAI GERAKAN POLITIK

MAKALAH KELOMPOK
Disusun sebagai syarat untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah Al-Islam dan Kemuhammadiyahan III
Dosen : Sukmajaya, S.Ag

Disusun oleh :
Mahrus Aminudin

NIM : 201310150511037

Triyo Titus Putra U. NIM : 201310150511038


Muhammad Zulfikri NIM : 201310130312115

JURUSAN TEKNIK ELEKTRO


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
OKTOBER 2014

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat dan hidayahNya, sehingga kami selaku tim penyusun diberi kekuatan dan kemampuan dalam
menyelesaikan makalah yang berjudul Muhammadiyah sebagai Gerakan Politik.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Al-Islam dan
Kemuhammadiyahan III. Ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu
terutama kepada :
1. Sukmajaya

S.Ag

selaku

dosen

pengampu

mata

kuliah

Al-Islam

dan

Kemuhammadiyahan III.
2. Orang tua yang selalu memberikan motivasi dan doa.
3. Teman-teman yang telah memberikan banyak dukungan.
Semoga amal baik yang telah diberikan oleh semua pihak mendapatkan imbalan
pahala dari Allah SWT. Kami berharap semoga apa yang ditulis dalam makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembacanya.
Makalah ini masih sangatlah jauh dari sempurna, oleh karena itu diharapkan kritik
dan saran yang membangun dari pembaca sekalian agar makalah ini lebih baik lagi.

Malang, 29 Oktober 2014

Penulis

ii

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ............................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................... 3
C. Tujuan ..................................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN
A. Muhammadiyah dan Politik.................................................................... 4
B. Kontekstualisasi amar makruf nahi munkar ........................................... 7
C. Dakwah Kultural Vs Politik Praktis? ...................................................... 8
D. Politik Nilai............................................................................................. 10
BAB III PENUTUP
Kesimpulan.................................................................................................. 11
DAFTAR PUSTAKA

iii

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Berbicara tentang Muhammadiyah dan Politik, tidaklah dimaksudkan untuk
membawa pemikiran kepada perwujudan Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi
politik, apalagi menjadi partai politik. Namun, sejauh yang bisa kita amati sepanjang
sejarah peran serta Muhammadiyah dalam dinamika Bangsa Indonesia, adalah wajar
apabila kita merenungkan kembali peran amar makruf nahi munkar yang selama ini
menjadi

trade

mark

Muhammadiyah,

bukan

hanya

dalam

dataran

sosial

kemasyarakatan, tetapi juga dalam dataran sosial politik. Akhir-akhir ini banyak
komentar yang menyatakan bahwa dengan masuknya Muhammadiyah dalam diskursus
politik praktis, berarti telah meninggalkan khittahnya sebagai gerakan amar makruf
nahi munkar. Betulkah demikian ? tulisan berikut ini mencoba melihat realitas
hubungan Muhammadiyah dan politik, serta dampak logisnya dalam konteks amar
makruf nahi munkar.
Pembicaraan mengenai relasi dakwah dan politik bukanlah hal baru di
Muhammadiyah. Bahkan dapat dikatakan perdebatan ini telah muncul di awal-awal
kelahiran Muhammadiyah itu sendiri. Pembuktiannya secara otentik dapat ditelusuri
dalam penuturan KRH Hadjid yang sanad-nya muttashil kepada KH Ahmad Dahlan.
KRH Hadjid adalah seorang alumnus Pondok Pesantren Termas sekaligus murid
termuda KH Ahmad Dahlan, menulis 7 (tujuh) falsafah ajaran dan 17 kelompok ayat
Al-Quran yang menjadi pokok wejangan dan pelajaran dari pendiri persyarikatan
Muhammadiyah. KRH hadjid berkeyakinan bahwa berbgai kesulitan yang timbul
dalam masyarakat dapat diatasi dengan ketujuh falsafah tersebut sebagaimana ketujuh
belas kelompok ayat Al-Quran dapat dijadikan sebagai pegangan pokok oleh para
pewaris Muhammadiyah yang tidak sedikit diantara mereka telah meninggalkan
jiwa/ruhiyah Muhammadiyah itu sendiri.
Ketika KHA Dahlan menerangkan kelompok ayat ke-12 wa ana minal
muslimin (al-anam/6;162-163) yang artinya : katakanlah Sesungguhnya shalatku,
ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah kepada Allah, Tuhan semesta aslam, tiada
sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah
orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).
1

Pada tahun 1918, menurut KRH. Hadjid (ketika itu berusia 23 tahun), diadakan
rapat tahunan anggota Muhammadiyah Suronatan Yogyakarta. Pada rapat tersebut
dibicarakan tentang AD/ART Muhammadiyah. KH. Suprapto Ibnu Juraimi, yang
berguru langsung kepada KRH. Hadjid menjelaskan bahwa, ketika itu terdapat dua
pendapat

dalam

sidang. Pertama,

KHA

Dahlan

yang

menghendaki

agar

Muhammadiyah ini tetap sebagai gerakan dakwah. Kedua, KH. Agus Salim
mengusulkan agar Muhammadiyah menjadi organisasi politik.
Pembicaraan tersebut kemudian dihentikan oleh KHA Dahlan dengan
mengetuuk palu pimpinan sambil berdiri. Ketika suasana tenang, KHA Dahlan
menggugah para peserta sidang dengan dua pertanyaan yang menggelorakan jiwa
: apakah sudara-saudara sudah mengerti benar tentang Islam dan apakah arti Islam
yang sebenar-benarnya?; apakah saudara-saudara ini senang dan berani
menjalankan Islam dengan sesungguhnya?
Riwayat terbaca di atas secara eksplisit meneguhkan keyakinan Pendiri
Muhammadiyah agar Persyarikatan ini berkiprah di ranah dakwah, keagamaan dan
kemasyarakatan serta tidak bergerak pada ranah gerakan politik praktis.
DR. Haear Nashir, M.Si., ketua PP muhammadiyah, dalam makalahnya yang
bertajuk Tantangan Dakwah Muhammadiyah Dimensi Pendidikan dan Politik pada
Rapat Kerja Nasional MTDK di Semarang, 20-22 Pebruari 2009 menegaskan, bahwa
dengan karakter dan misi sebagai gerkan dakwah dan tajdid itu, maka Muhammadiyah
sejak awal kelahirannya tidak memilih jalur perjuangan politik dan tidak menjadikan
dirinya sebagai gerakan atau partai politik. Dalam bahasa sehari-hari sering dinyatakan
bahwa Muhammadiyah adalah gerakan dakwah dan bukan gerakan politik. Deklarasi
dan sekaligus pemagaran diri Muhammadiyah dari polotik, khususnya politik-praktis
(politik yang berorientasi pada perjuangan meraih kekuasaan di ranah Negara
sebagaimana partai politik, perjuangan di kancah real politics), secara organisatoris dan
kelembagaan kemudian dikukuhkan melalui Khitthah Muhammadiyah, yang disertai
dengan kebijakan-kebijakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah maupun produk-produk
Permusyawaratan dalam Muhammadiyah dalam melaksanakannya.
Kristalisasi paham Muhammadiyah yang menyangkut relasi dakwah dan
politik dapat dilacak melalui rumusan-rumusan Khitthah-Khitthah perjuangan yang
telah digariskan dalam permusyawaratan persyarikatan.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian tersebut maka didapatkan rumusan permasalahan sebagai
berikut:
1. Bagaimana perkembangan politik di dalam Organisasi Islam Muhammadiyah?
2. Bagaimana pengaruh politik di dalam Organisasi Islam Muhammadiyah serta
peran yang diberikan?

C. TUJUAN
Tujuan dari makalah Muhammadiyah sebagai Gerakan politik adalah sebagai
berikut :
1. Mengetahui perkembangan politik di dalam Organisasi Islam Muhammadiyah
2. Mengetahui pengaruh politik di dalam Organisasi Islam Muhammadiyah serta
peran yang diberikan.

BAB II
PEMBAHASAN

Perkembangan masyarakat Indonesia, baik yang disebabkan oleh daya dinamik dari
dalam ataupun karena persentuhan dengan kebudayaan dari luar, telah menyebabkan
perubahan tertentu. Perubahan itu menyangkut seluruh segi kehidupan masyarakat,
diantaranya bidang sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan, yang menyangkut perubahan
strukturil dan perubahan pada sikap serta tingkah laku dalam hubungan antar manusia.
Muhammadiyah sebagai gerakan, dalam mengikuti perkembangan dan perubahan
itu, senantiasa mempunyai kepentingan untuk melaksanakan amar ma'ruf nahi-mungkar,
serta menyelenggarakan gerakan dan amal usaha yang sesuai dengan lapangan yang
dipilihnya ialah masyarakat, sebagai usaha Muhammadiyah untuk mencapai tujuannya:
"menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama,
adil dan makmur yang diridlai Allah SWT.
Dalam melaksanakan usaha tersebut, Muhammadiyah berjalan diatas prinsip
gerakannya, seperti yang dimaksud di dalam Matan Keyakinan Cita-cita Hidup
Muhammadiyah.
Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah itu senantiasa menjadi landasan
gerakan Muhammadiyah, juga bagi gerakan dan amal usaha dan hubungannya dengan
kehidupan masyarakat dan ketatanegaraan, serta dalam bekerjasama dengan golongan
Islam lainnya.

A. Muhammadiyah Dan Politik


Dalam bidang politik Muhammadiyah berusaha sesuai dengan khittahnya:
dengan dakwah amar ma ma'ruf nahi mungkar dalam arti dan proporsi yang sebenarbenarnya, Muhammadiyah harus dapat membuktikan secara teoritis konsepsionil,
secara operasionil dan secara kongkrit riil, bahwa ajaran Islam mampu mengatur
masyarakat dalam Negara Republik Indonesia yang berdasar Pancasila dan Undang
Undang Dasar 1945 menjadi masyarakat yang adil dan makmur serta sejahtera,
bahagia, materiil dan spirituil yang diridlai Allah SWT. Dalam melaksanakan usaha
itu, Muhammadiyah tetap berpegang teguh pada kepribadiannya.
Pada masa Demokrasi Liberal yang berlangsung antara tahun 1945 hingga
1959, hubungan Muhammadiyah dengan Partai Politik serasa amat dekat. Ketika
pemerintah mengumumkan berdirinya partai-partai politik pada 3 Nopember 1945,
Muhammadiyah ikut mendirikan Masyumi melalui Muktamar Islam Indonesia, 7-8
4

Nopember 1945, di mana Muhammadiyah menjadi anggota istimewa partai politik


ummat Islam pertama tersebut. Selama waktu tahun 1945 hingga 1959, kita melihat 50
% keanggotaan Masyumi adalah kader-kader Muhammadiyah. Dan selama waktu itu
pula, kader-kader Muhammadiyah banyak ditempatkan di kabinet Hatta, Sahrir,
Wilopo, Sukiman, Amir Syarifuddin, Burhanuddin Harahap, Ali I, Juanda, hingga Ali
II. Tarik ulur kepentingan Muhammadiyah dalam Masyumi memang sedikit
mengalami dinamika, misalnya dengan persoalan posisi status keanggotaan
Muhammadiyah di Masyumi. Hal ini sempat dibicarakan pada sidang Tanwir
Muhammadiyah 1956 di Yogyakarta yang merekomendasikan peninjauan ulang status
keanggotaan Muhammadiyah di Masyumi. Hal serupa terulang pada Sidang Tanwir
Muhammadiyah 1957, dengan rekomendasi yang lebih jelas, agar Muhammadiyah
keluar dari anggota istimewa Masyumi. Namun melaksanakan keputusan ini tidaklah
mudah di lapangan. Pada sidang Tanwir tahun 1958, persoalan ini mengambang
kembali, dan justru sidang menyerahkan kepada PP Muhammadiyah. Sekali lagi, Pada
Sidang Tanwir tahun 1959 di Jakarta, persoalan ini muncul lagi dan sempat diadakan
voting. Hasilnya 13 orang menyatakan Muhammadiyah harus keluar dari keanggotaan
Masyumi, 18 menolak, dan 3 orang abstain. Persoalan ini baru tuntas ketika PP
Muhammadiyah

menyelenggarakan

Pleno

tahun

1959,

yang

memutuskan

Muhammadiyah keluar dari keanggotaan Masyumi.


Pada masa Demokrasi Terpimpin 1959 hingga 1966, tidak banyak peristiwa
yang bisa kita telaah. Hal ini terjadi karena iklim demokrasi yang kurang kondusif.
Kepemimpinan nasional terpusat pada presiden. Jika ada MPRS, DPRS, dan DPAS,
hanya merupakan boneka yang dibuat sedemikian rupa hingga amat tergantung dari
presiden. Dari sisi politik, Muhammadiyah, sebagaimana para politisi muslim idealis
tidak banyak diuntungkan dalam kondisi seperti ini. Pada paruh pertama masa
Demokrasi terpimpin ini, arus besar pandangan masyarakat (dimobilisasi untuk)
mendukung kepemimpinan nasional, dengan munculnya berbagai gelar untuk
Soekarno, seperti Pemimpin Besar Revolusi, yang diikuti oleh faham Soekarnoisme.
Hingga kini, sisa-sisa kultur politik ini masih nampak dalam berbagai atribut partai
Politik beserta jargon-jargonnya. Namun alhamdulillah, Muhammadiyah tidak sampai
turut dalam aksi dukung-mendukung terhadap kepemimpinan nasional waktu itu, yang
ternyata banyak melakukan penyimpangan dan terkoreksi pada masa sesudahnya. Pada
paruh kedua masa Demokrasi Terpimpin, arus balik terjadi, di mana hujatan pada
sistem dan kepemimpinan nasional semakin seru, yang berujung pada lengsernya
Bung Karno tahun 1965 setelah peristiwa G.30/S/PKI.
5

Pada masa Orde Baru, terjadi perubahan mengerucut. Paradigma Pembangunan


yang mengedepankan pembangunan ekonomi daripada politik, berdampak pada
penyederhanaan organisasi sosial politik (lebih tegasnya Partai Politik). Sayangnya,
langkah ini banyak berimplikasi pada peminggiran peran partai politik dalam proses
pembangunan. Sementara di sisi lain, menguatnya institusi pemerintah yang diperkuat
dengan (Partai) Golkar. Secara kelembagaan, Muhammadiyah tidak memiliki
hubungan apapun dengan partai politik pada masa ini. Namun dampak dari situasi
politik ini bagi Muhammadiyah (dan juga terhadap ummat Islam umumnya) adalah
tiadanya ikatan emosional yang kuat dengan partai politik manapun. Dan inilah yang
melahirkan pemikiran high politik, dalam mana Muhammadiyah lebih menekankan
partisipasinya pada konsep-konsep pembangunan dan wacana intelektual, misalnya
tentang konsep kenegaraan, konsep pembangunan politik, pembangunan ekonomi dan
seterusnya melalui berbagai aktivitas akademik maupun penelitian dan penulisan baik
yang diselenggarakan oleh PTM maupun Persyarikatan. Sementara itu beberapa kader
Muhammadiyah yang memiliki bakat dan kesempatan untuk berpolitik praktis,
dipersilahkan untuk bergabung ke PPP, Golkar, maupun PDI. Situasi inilah yang
kemudian melahirkan komitemen Muhammadiyah sebagai tenda besar cultural yang
diharapkan tetap menjaga jarak dengan semua partai politik sekaligus melindungi para
politisinya yang ada di mana-mana. Memang situasi keterkungkungan politik ini ada
juga dampaknya secara organisatoris terhadap Muhammadiyah (dan juga terhadap
ormas lainnya), ketika diterapkan UU Keormasan nomor 8 tahun 1985, terutama
masalah asas tunggal Pancasila. Pada Anggaran Dasar (kesebelas) tahun 1985 melalui
Muktamar ke 41 di Surakarta. Pada Bab I Pasal 1 tentang Nama, Identitas dan
Kedudukan, dinyatakan bahwa Persyarikatan ini (Muhammadiyah) beraqidah Islam
dan bersumber pada Al-Quran dan Sunnah. Sementara itu pada Bab II Pasal 2 tentang
Asas, dinyatakan bahwa Persyarikatan ini berasas Pancasila. Kultur politik Orde
Baru ini rupanya sebagian masih tersisa sekarang. Arus besar Reformasi yang terjadi
sejak 1997, sebenarnya tidak lepas dari peran Muhammadiyah.
Pada era Reformasi, Peran politik penting Muhammadiyah menunjukkan
keberanian yang signifikan seiring dengan arus besar keinginan masyarakat untuk
mengembalikan potensi politik bangsa Indonesia. Di sinilah terjadi pematangan dan
implementasi gerakan amar makruf nahi munkar dalam aspek politik yang sudah
digodok cukup lama pada masa Orde Baru. Pada Sidang Tanwir 1998 di Semarang
(setahun setelah jatuhnya rezim Orde Baru), peluang Muhammadiyah untuk menjadi
Parpol amat besar. Namun rupanya keputusan Sidang Tanwir tersebut amat dewasa,
6

dengan menyatakan bahwa Muhammadiyah tidak akan menjadi partai politik. Warga
Muhammadiyah dipersilahkan mendirikan partai politik atau bergabung dengan partai
yang ada, dan secara institusional tidak ada hubungan antara parpol manapun dengan
Muhammadiyah. Dalam konteks ini, yang kita lihat adalah formulasi peran politik
Muhammadiyah melalui kader-kadernya dalam apa yang disebut-sebut sebagai high
politik tadi. Beberapa isu politik penting berhasil diangkat, seperti demokratisasi,
pemberantasan KKN, dan Keadilan. Seluruh isu tersebut memang merupakan
mainstream Reformasi dan sekaligus sejalan dengan watak Muhammadiyah sebagai
gerakan reformis. Implikasi praktis dari arus besar ini antara lain dapat kita lihat
betapa perwujudan kepemimpinan nasional dengan lahirnya poros tengah dan
mengusung Gus Dur ke Istana (melalui Pemilu 1999), meskipun pada akhirnya
langkah ini harus segera dikoreksi pada pertengahan tahun 2002. Pada perjalanan
pemerintahan Megawati, akumulasi ketidakpuasan terhadap perjalanan reformasi ini
semakin menguat. Krena itu wajar bila pada momentum Pemilu 2004, Muhammadiyah
(dan seluruh komponen reformasi) berharap terjadi perubahan yang signifikan.

B. Kontekstualisasi amar makruf nahi munkar


Banyak orang berbicara bahwa dakwah amar makruf nahi mungkar yang telah
menjadi khittah Muhammadiyah sejak awal, dimaksudkan untuk membatasi gerakan
Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah dan sosial semata. Padahal, apabila kita
mau merenungkan, Rasulullah pernah menyatakan bahwa apabila engkau melihat
suatu kemungkaran, maka hadapilah dengan tanganmu, dan apabila engkau tidak
bisa, maka hadapilah dengan lidahmu, dan apabila tidak bisa, maka hadapilah dengan
nuranimu, akan tetapi menghadapi kemungkaran dengan nurani adalah selemahlemahnya Iman. Sepanjang masa orde baru, jargon amar makruf nahi munkar tersebut
oleh para petinggi Muhammadiyah sering hanya dibatasi pada level dakwah dan
pendidikan. Untuk ini terdapat beberapa alasan. Pertama, Muhammadiyah sebagai
gerakan Dakwah dan Pendidikan masih pada tahapan ekspansi secara kuantitas,
sehingga belum menyentuh aspek politik. Kedua, Iklim politik masa orde baru yang
kurang kondusif untuk mengemukakan gagasan-gagasan langsung yang berkaitan
dengan keputusan-keputusan politik apalagi misalnya tentang isu suksesi. Ketiga,
terkait dengan yang kedua, partai politik tidak sepenuhnya dapat merepresentasikan
gagasan rakyat. Pada masa pascareformasi sekarang ini, tidak ada salahnya, bahkan
harus, bagi muhammadiyah untuk melakukan ijtihad politik, dengan mempertegas
7

komitmen amar makruf nahi munkar pada level yang lebih tinggi, yakni kepemimpinan
nasional. Mengapa?
Terdapat beberapa argumen yang patut kita perhatikan. Pertama, menyimak
hadits Nabi di atas, jelas menunjukkan suatu keharusan untuk menempatkan amar
makruf dengan tangan (kekuasaan) menjadi prioritas utama. Sekarang ini reformasi
telah digulirkan, di antara jargonnya adalah pemberantasan KKN. Dalam model kultur
masyarakat Indonesia yang paternalistik, hanya tauladan pucuk pimpinan nasional yang
bisa berpengaruh. Ibaratnya, bila sapu yang digunakan untuk membersihkan KKN itu
bersih, baru KKN bisa dihilangkan, akan tetapi jika sapunya kotor, mana mungkin bisa
membersihkan. Bagi Muhammadiyah, maka tidak ada jalan lain kecuali merebut
kepemimpinan nasional, bila ingin menyelamatkan reformasi. Kedua, melihat
perkembangan hasil reformasi selama lima tahun terakhir, menunjukkan hal yang
belum menggembirakan. Dalam aspek ekonomi, tidak suatu perbaikan yang signifikan.
Hal ini tentunya erta terkait dengan visi dan komitmen presiden sebagai panutan
rakyat. Dengan demikian misi amal makruf nahi munkar tidaklah menjadi hilang,
malah diberi pemaknaan sesuai konteksnya.

C. Dakwah Kultural Vs Politik Praktis?


Beberapa kalangan, seperti JIL (Jaringan Islam Liberal) dan JIMM (Jaringan
Intelektual Muda Muhammadiyah) beberapa waktu lalu sibuk melakukan kritik
terrhadap keputusan PP Muhammadiyah yang mendukung pencapresan Amien Rais. Di
antaranya adalah, mempertanyakan misi dakwah kultural yang sudah diputuskan dalam
sidang Tanwir di Bali beberapa tahun lalu, mengapa harus diganti dengan orientasi
politik praktis sesaat? Juga ada yang mempermasalahkan hubungan MuhammadiyahPAN, dengan menyatakan bahwa yang memiliki kewenangan mengajukan capres dan
cawapres adalah partai politik, bukan ormas seperti Muhammadiyah. Mengenai
pertentangan atau dikotomi dakwah kultural Vs Politik praktis, dapat dijelaskan
sebagai berikut. Ide dakwah kultural sesungguhnya adalah suatu model dakwah yang
dikembangkan Muhammadiyah melalui aspek budaya, seperti budaya bersih, budaya
disiplin, budaya keadilan, budaya hemat, budaya jujur, budaya rasional, budaya
profesional, dan seterusnya. Dalam konteks pembenahan Indonesia era reformasi ini,
maka tentu saja pemberantasan budaya KKN menjadi agenda penting bagi bangsa
Indonesia, juga Muhammadiyah. Inilah dakwah kultural, yang dalam aspek politiknya
mengandung implikasi ketauladanan, pergerakan, dan mobililasi yang berujung pada
kepemimpinan bangsa. Dalam konteks ini, maka sesungguhnya tidak ada dikotomi
8

dakwah kultural Vs politik praktis, namun yang ada adalah strategi dakwah kultural
dengan pilihan pada sosok kepemimpinan yang bakal memberikan tauladan.
Muktamar Satu Abad Muhammadiyah yang digelar di Yogyakarta 3-8 Juli
2010 lalu, menyisakan pertanyaan mendasar menyangkut bagaimana hubungannya
dengan politik kekinian. Terkait dengan hal itu, beberapa otokritik telah dilancarkan
oleh tokoh-tokoh Muhammdiyah. Abdul Munir Mulkhan, misalnya melihat akhir-akhir
ini Muhammadiyah mulai terperangkap pada isu kekuasaan yang membuatnya kurang
peduli pada nasib mereka yang terpinggirkan, baik karena persoalan ekonomi maupun
budaya. (Kompas, 30/6/2010).
Otokritik tersebut mewakili suatu arus utama yang menolak Muhammadiyah
terlibat terlalu jauh dalam politik-praktis. Penilaian demikian tampaknya lebih
dialamatkan pada elite Muhammadiyah yang secara langsung atau tidak suka
bermanuver politik. Muhammadiyah sendiri tidak mengharamkan politik, bahkan
menganjurkan para kedernya untuk paham politik. Juga, tidak melarang kadernya
berkiprah di partai-partai politik.
Yang lebih banyak disorot adalah sikap politik Muhammadiyah dalam
merespons soal-soal politik-praktis. Berbagai pihak akan melihat, merasakan, dan
memberi penilaian atas ke manakah kecenderungan politik Muhammadiyah dari sikap
politik elite-elite utamanya. Organisasinya boleh jadi selalu berlabel independen, tetapi
subyektivitas politik elitenya, sering terasa menonjol. Arus pendapat lain, sebagaimana
terekam dari diskusi hubungan Muhammadiyah dan politik di Universitas
Muhammadiyah Jakarta belum lama ini adalah, agar justru sebaliknya, Muhammadiyah
memfasilitasi

kader-kader

strategisnya

yang

terjun

dalam

politik

praktis.

Konsekuensinya, tidak menjadi soal manakala pengurus teras partai politik merangkap
pengurus

penting

Muhammadiyah,

asal

aturannya

jelas.

Dengan

begitu,

Muhammadiyah menjadi terminal pengelolaan sumberdaya politiknya secara


berkualitas. Yang penting, sikap-sikap Muhammadiyah sebagai organisasi sosial
kemasyarakatan, tidak membelok ke arah politik praktis. Checks and balances akan
dapat terjadi, ketika kader-kader politik Muhammadiyah akan saling mengimbangi satu
sama lain, sehingga tidak lahir suatu keputusan politik praktis yang konfliktual.
Adalah wajar, manakala segenap elemen bangsa membahas politik, yang
berarti juga pengaruh kekuasaan. Muhammadiyah tumbuh dalam suasana sosial politik
yang terus berjalan secara dinamis. Pada masa organisasi ini didirikan oleh KH Ahmad
Dahlan, 1912, gelora politik anti-kolonial sangat terasa. Bersama yang lain
9

Muhammadiyah turut merespon semangat perlawanan anti-kolonial itu, tetapi tidak


dengan pendekatan politik-praktis, melainkan politik-kultural.

D. Politik Nilai
Sejak dulu, Muhammadiyah lebih dikenal organisasi Islam yang melakukan
gerakan transformasi kultural, dengan berbagai jenis unit aktivitas amal usaha.
Muhammadiyah adalah gerakan dakwah yang bercorak pembaharuan, memiliki
keprihatinan yang tinggi terhadap permasalahan sosial-masyarakat atau umat yang
masih banyak berposisi terpinggir (kaum mustadhafin).
Politik Muhammadiyah adalah politik nilai, khususnya nilai membela
kepentingan kaum terpinggir, nilai kesejahteraan, dan memperbaiki kualitas hidup
masyarakat. Tentu menjadi beban berat para kadernya untuk mengemban dan
mengaktualisasikan nilai-nilai itu.
Arus politik memang kuat sekali pada era reformasi ini. Para tokoh
Muhammadiyah sendiri, selama ini telah melakukan beberapa eksperimentasi (ijtihad)
politik dengan mendirikan dan mengembangkan partai politik. Yang menonjol adalah
berdiri dan eksisnya Partai Amanat Nasional (PAN) yang dimotori oleh M Amien Rais.
PAN termasuk salah satu partai yang lolos ketentuan parliamentary threshold
di DPR. Berbeda dengan PAN, eksperimentasi Partai Matahari Bangsa (PMB) yang
dibidani oleh kalangan muda Muhammadiyah, masih belum berhasil dalam kontestasi
demokrasi elektoral.
Corak pilihan politik kader Muhammadiyah memang plural. Pilihan mereka
tidak hanya tertuju ke partai Islam, baik yang bersimbol atau berbasis massa Muslim,
tetapi juga pada partai-partai tengah yang bercorak catch-all. Pluralitas pilihan politik
kader Muhammadiyah tersebut sangat terkait dengan corak Muhammadiyah sendiri
yang rasional-moderat. Soliditas politiknya, tampak tak serekat jamaah NU yang
bernaung di bawah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), walaupun partai tersebut
elitenya terpecah-pecah.
Modernitas gerakan Muhammadiyah, lebih mengemuka pada wilayah state of
mind, bukan pada tradisionalitas patronase kultural atau politik. Inilah yang
menyebabkan fatwa politik petinggi Muhammadiyah, tidak mudah untuk begitu saja
ditaati.

10

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Dalam bidang politik Muhammadiyah berusaha sesuai dengan khittahnya:
dengan dakwah amar ma ma'ruf nahi mungkar dalam arti dan proporsi yang sebenarbenarnya, Muhammadiyah harus dapat membuktikan secara teoritis konsepsionil,
secara operasionil dan secara kongkrit riil, bahwa ajaran Islam mampu mengatur
masyarakat dalam Negara Republik Indonesia yang berdasar Pancasila dan Undang
Undang Dasar 1945 menjadi masyarakat yang adil dan makmur serta sejahtera,
bahagia, materiil dan spirituil yang diridlai Allah SWT. Dalam melaksanakan usaha
itu, Muhammadiyah tetap berpegang teguh pada kepribadiannya.
Banyak orang berbicara bahwa dakwah amar makruf nahi mungkar yang telah
menjadi khittah Muhammadiyah sejak awal, dimaksudkan untuk membatasi gerakan
Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah dan sosial semata. Modernitas gerakan
Muhammadiyah, lebih mengemuka pada wilayah state of mind, bukan pada
tradisionalitas patronase kultural atau politik. Inilah yang menyebabkan fatwa
politik petinggi Muhammadiyah, tidak mudah untuk begitu saja ditaati.
Muhammadiyah juga mengikuti politik, karena dapat menyebarkan agama
lewat dakwah dan politik. Sehingga masyarakat lebih mudah mengenal dan
memahami ajaran agama Islam dan maksud dari Muhammadiyah itu sendiri.

11

DAFTAR PUSTAKA

Hidayat,Syamsul,M.Ag,2011,Studi kemuhammadiyahan,LPID,Surakarta
http://muadz-akademia.blogspot.com/2012/04/muhammadiyah-dan-politik-reorientasi.html
http://politik.kompasiana.com/2010/07/03/muhammadiyah-dan-arus-politik/
http://www.pdmbontang.com

12

You might also like