Professional Documents
Culture Documents
MAKALAH KELOMPOK
Disusun sebagai syarat untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah Al-Islam dan Kemuhammadiyahan III
Dosen : Sukmajaya, S.Ag
Disusun oleh :
Mahrus Aminudin
NIM : 201310150511037
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat dan hidayahNya, sehingga kami selaku tim penyusun diberi kekuatan dan kemampuan dalam
menyelesaikan makalah yang berjudul Muhammadiyah sebagai Gerakan Politik.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Al-Islam dan
Kemuhammadiyahan III. Ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu
terutama kepada :
1. Sukmajaya
S.Ag
selaku
dosen
pengampu
mata
kuliah
Al-Islam
dan
Kemuhammadiyahan III.
2. Orang tua yang selalu memberikan motivasi dan doa.
3. Teman-teman yang telah memberikan banyak dukungan.
Semoga amal baik yang telah diberikan oleh semua pihak mendapatkan imbalan
pahala dari Allah SWT. Kami berharap semoga apa yang ditulis dalam makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembacanya.
Makalah ini masih sangatlah jauh dari sempurna, oleh karena itu diharapkan kritik
dan saran yang membangun dari pembaca sekalian agar makalah ini lebih baik lagi.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ............................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................... 3
C. Tujuan ..................................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN
A. Muhammadiyah dan Politik.................................................................... 4
B. Kontekstualisasi amar makruf nahi munkar ........................................... 7
C. Dakwah Kultural Vs Politik Praktis? ...................................................... 8
D. Politik Nilai............................................................................................. 10
BAB III PENUTUP
Kesimpulan.................................................................................................. 11
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Berbicara tentang Muhammadiyah dan Politik, tidaklah dimaksudkan untuk
membawa pemikiran kepada perwujudan Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi
politik, apalagi menjadi partai politik. Namun, sejauh yang bisa kita amati sepanjang
sejarah peran serta Muhammadiyah dalam dinamika Bangsa Indonesia, adalah wajar
apabila kita merenungkan kembali peran amar makruf nahi munkar yang selama ini
menjadi
trade
mark
Muhammadiyah,
bukan
hanya
dalam
dataran
sosial
kemasyarakatan, tetapi juga dalam dataran sosial politik. Akhir-akhir ini banyak
komentar yang menyatakan bahwa dengan masuknya Muhammadiyah dalam diskursus
politik praktis, berarti telah meninggalkan khittahnya sebagai gerakan amar makruf
nahi munkar. Betulkah demikian ? tulisan berikut ini mencoba melihat realitas
hubungan Muhammadiyah dan politik, serta dampak logisnya dalam konteks amar
makruf nahi munkar.
Pembicaraan mengenai relasi dakwah dan politik bukanlah hal baru di
Muhammadiyah. Bahkan dapat dikatakan perdebatan ini telah muncul di awal-awal
kelahiran Muhammadiyah itu sendiri. Pembuktiannya secara otentik dapat ditelusuri
dalam penuturan KRH Hadjid yang sanad-nya muttashil kepada KH Ahmad Dahlan.
KRH Hadjid adalah seorang alumnus Pondok Pesantren Termas sekaligus murid
termuda KH Ahmad Dahlan, menulis 7 (tujuh) falsafah ajaran dan 17 kelompok ayat
Al-Quran yang menjadi pokok wejangan dan pelajaran dari pendiri persyarikatan
Muhammadiyah. KRH hadjid berkeyakinan bahwa berbgai kesulitan yang timbul
dalam masyarakat dapat diatasi dengan ketujuh falsafah tersebut sebagaimana ketujuh
belas kelompok ayat Al-Quran dapat dijadikan sebagai pegangan pokok oleh para
pewaris Muhammadiyah yang tidak sedikit diantara mereka telah meninggalkan
jiwa/ruhiyah Muhammadiyah itu sendiri.
Ketika KHA Dahlan menerangkan kelompok ayat ke-12 wa ana minal
muslimin (al-anam/6;162-163) yang artinya : katakanlah Sesungguhnya shalatku,
ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah kepada Allah, Tuhan semesta aslam, tiada
sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah
orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).
1
Pada tahun 1918, menurut KRH. Hadjid (ketika itu berusia 23 tahun), diadakan
rapat tahunan anggota Muhammadiyah Suronatan Yogyakarta. Pada rapat tersebut
dibicarakan tentang AD/ART Muhammadiyah. KH. Suprapto Ibnu Juraimi, yang
berguru langsung kepada KRH. Hadjid menjelaskan bahwa, ketika itu terdapat dua
pendapat
dalam
sidang. Pertama,
KHA
Dahlan
yang
menghendaki
agar
Muhammadiyah ini tetap sebagai gerakan dakwah. Kedua, KH. Agus Salim
mengusulkan agar Muhammadiyah menjadi organisasi politik.
Pembicaraan tersebut kemudian dihentikan oleh KHA Dahlan dengan
mengetuuk palu pimpinan sambil berdiri. Ketika suasana tenang, KHA Dahlan
menggugah para peserta sidang dengan dua pertanyaan yang menggelorakan jiwa
: apakah sudara-saudara sudah mengerti benar tentang Islam dan apakah arti Islam
yang sebenar-benarnya?; apakah saudara-saudara ini senang dan berani
menjalankan Islam dengan sesungguhnya?
Riwayat terbaca di atas secara eksplisit meneguhkan keyakinan Pendiri
Muhammadiyah agar Persyarikatan ini berkiprah di ranah dakwah, keagamaan dan
kemasyarakatan serta tidak bergerak pada ranah gerakan politik praktis.
DR. Haear Nashir, M.Si., ketua PP muhammadiyah, dalam makalahnya yang
bertajuk Tantangan Dakwah Muhammadiyah Dimensi Pendidikan dan Politik pada
Rapat Kerja Nasional MTDK di Semarang, 20-22 Pebruari 2009 menegaskan, bahwa
dengan karakter dan misi sebagai gerkan dakwah dan tajdid itu, maka Muhammadiyah
sejak awal kelahirannya tidak memilih jalur perjuangan politik dan tidak menjadikan
dirinya sebagai gerakan atau partai politik. Dalam bahasa sehari-hari sering dinyatakan
bahwa Muhammadiyah adalah gerakan dakwah dan bukan gerakan politik. Deklarasi
dan sekaligus pemagaran diri Muhammadiyah dari polotik, khususnya politik-praktis
(politik yang berorientasi pada perjuangan meraih kekuasaan di ranah Negara
sebagaimana partai politik, perjuangan di kancah real politics), secara organisatoris dan
kelembagaan kemudian dikukuhkan melalui Khitthah Muhammadiyah, yang disertai
dengan kebijakan-kebijakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah maupun produk-produk
Permusyawaratan dalam Muhammadiyah dalam melaksanakannya.
Kristalisasi paham Muhammadiyah yang menyangkut relasi dakwah dan
politik dapat dilacak melalui rumusan-rumusan Khitthah-Khitthah perjuangan yang
telah digariskan dalam permusyawaratan persyarikatan.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian tersebut maka didapatkan rumusan permasalahan sebagai
berikut:
1. Bagaimana perkembangan politik di dalam Organisasi Islam Muhammadiyah?
2. Bagaimana pengaruh politik di dalam Organisasi Islam Muhammadiyah serta
peran yang diberikan?
C. TUJUAN
Tujuan dari makalah Muhammadiyah sebagai Gerakan politik adalah sebagai
berikut :
1. Mengetahui perkembangan politik di dalam Organisasi Islam Muhammadiyah
2. Mengetahui pengaruh politik di dalam Organisasi Islam Muhammadiyah serta
peran yang diberikan.
BAB II
PEMBAHASAN
Perkembangan masyarakat Indonesia, baik yang disebabkan oleh daya dinamik dari
dalam ataupun karena persentuhan dengan kebudayaan dari luar, telah menyebabkan
perubahan tertentu. Perubahan itu menyangkut seluruh segi kehidupan masyarakat,
diantaranya bidang sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan, yang menyangkut perubahan
strukturil dan perubahan pada sikap serta tingkah laku dalam hubungan antar manusia.
Muhammadiyah sebagai gerakan, dalam mengikuti perkembangan dan perubahan
itu, senantiasa mempunyai kepentingan untuk melaksanakan amar ma'ruf nahi-mungkar,
serta menyelenggarakan gerakan dan amal usaha yang sesuai dengan lapangan yang
dipilihnya ialah masyarakat, sebagai usaha Muhammadiyah untuk mencapai tujuannya:
"menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama,
adil dan makmur yang diridlai Allah SWT.
Dalam melaksanakan usaha tersebut, Muhammadiyah berjalan diatas prinsip
gerakannya, seperti yang dimaksud di dalam Matan Keyakinan Cita-cita Hidup
Muhammadiyah.
Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah itu senantiasa menjadi landasan
gerakan Muhammadiyah, juga bagi gerakan dan amal usaha dan hubungannya dengan
kehidupan masyarakat dan ketatanegaraan, serta dalam bekerjasama dengan golongan
Islam lainnya.
menyelenggarakan
Pleno
tahun
1959,
yang
memutuskan
dengan menyatakan bahwa Muhammadiyah tidak akan menjadi partai politik. Warga
Muhammadiyah dipersilahkan mendirikan partai politik atau bergabung dengan partai
yang ada, dan secara institusional tidak ada hubungan antara parpol manapun dengan
Muhammadiyah. Dalam konteks ini, yang kita lihat adalah formulasi peran politik
Muhammadiyah melalui kader-kadernya dalam apa yang disebut-sebut sebagai high
politik tadi. Beberapa isu politik penting berhasil diangkat, seperti demokratisasi,
pemberantasan KKN, dan Keadilan. Seluruh isu tersebut memang merupakan
mainstream Reformasi dan sekaligus sejalan dengan watak Muhammadiyah sebagai
gerakan reformis. Implikasi praktis dari arus besar ini antara lain dapat kita lihat
betapa perwujudan kepemimpinan nasional dengan lahirnya poros tengah dan
mengusung Gus Dur ke Istana (melalui Pemilu 1999), meskipun pada akhirnya
langkah ini harus segera dikoreksi pada pertengahan tahun 2002. Pada perjalanan
pemerintahan Megawati, akumulasi ketidakpuasan terhadap perjalanan reformasi ini
semakin menguat. Krena itu wajar bila pada momentum Pemilu 2004, Muhammadiyah
(dan seluruh komponen reformasi) berharap terjadi perubahan yang signifikan.
komitmen amar makruf nahi munkar pada level yang lebih tinggi, yakni kepemimpinan
nasional. Mengapa?
Terdapat beberapa argumen yang patut kita perhatikan. Pertama, menyimak
hadits Nabi di atas, jelas menunjukkan suatu keharusan untuk menempatkan amar
makruf dengan tangan (kekuasaan) menjadi prioritas utama. Sekarang ini reformasi
telah digulirkan, di antara jargonnya adalah pemberantasan KKN. Dalam model kultur
masyarakat Indonesia yang paternalistik, hanya tauladan pucuk pimpinan nasional yang
bisa berpengaruh. Ibaratnya, bila sapu yang digunakan untuk membersihkan KKN itu
bersih, baru KKN bisa dihilangkan, akan tetapi jika sapunya kotor, mana mungkin bisa
membersihkan. Bagi Muhammadiyah, maka tidak ada jalan lain kecuali merebut
kepemimpinan nasional, bila ingin menyelamatkan reformasi. Kedua, melihat
perkembangan hasil reformasi selama lima tahun terakhir, menunjukkan hal yang
belum menggembirakan. Dalam aspek ekonomi, tidak suatu perbaikan yang signifikan.
Hal ini tentunya erta terkait dengan visi dan komitmen presiden sebagai panutan
rakyat. Dengan demikian misi amal makruf nahi munkar tidaklah menjadi hilang,
malah diberi pemaknaan sesuai konteksnya.
dakwah kultural Vs politik praktis, namun yang ada adalah strategi dakwah kultural
dengan pilihan pada sosok kepemimpinan yang bakal memberikan tauladan.
Muktamar Satu Abad Muhammadiyah yang digelar di Yogyakarta 3-8 Juli
2010 lalu, menyisakan pertanyaan mendasar menyangkut bagaimana hubungannya
dengan politik kekinian. Terkait dengan hal itu, beberapa otokritik telah dilancarkan
oleh tokoh-tokoh Muhammdiyah. Abdul Munir Mulkhan, misalnya melihat akhir-akhir
ini Muhammadiyah mulai terperangkap pada isu kekuasaan yang membuatnya kurang
peduli pada nasib mereka yang terpinggirkan, baik karena persoalan ekonomi maupun
budaya. (Kompas, 30/6/2010).
Otokritik tersebut mewakili suatu arus utama yang menolak Muhammadiyah
terlibat terlalu jauh dalam politik-praktis. Penilaian demikian tampaknya lebih
dialamatkan pada elite Muhammadiyah yang secara langsung atau tidak suka
bermanuver politik. Muhammadiyah sendiri tidak mengharamkan politik, bahkan
menganjurkan para kedernya untuk paham politik. Juga, tidak melarang kadernya
berkiprah di partai-partai politik.
Yang lebih banyak disorot adalah sikap politik Muhammadiyah dalam
merespons soal-soal politik-praktis. Berbagai pihak akan melihat, merasakan, dan
memberi penilaian atas ke manakah kecenderungan politik Muhammadiyah dari sikap
politik elite-elite utamanya. Organisasinya boleh jadi selalu berlabel independen, tetapi
subyektivitas politik elitenya, sering terasa menonjol. Arus pendapat lain, sebagaimana
terekam dari diskusi hubungan Muhammadiyah dan politik di Universitas
Muhammadiyah Jakarta belum lama ini adalah, agar justru sebaliknya, Muhammadiyah
memfasilitasi
kader-kader
strategisnya
yang
terjun
dalam
politik
praktis.
Konsekuensinya, tidak menjadi soal manakala pengurus teras partai politik merangkap
pengurus
penting
Muhammadiyah,
asal
aturannya
jelas.
Dengan
begitu,
D. Politik Nilai
Sejak dulu, Muhammadiyah lebih dikenal organisasi Islam yang melakukan
gerakan transformasi kultural, dengan berbagai jenis unit aktivitas amal usaha.
Muhammadiyah adalah gerakan dakwah yang bercorak pembaharuan, memiliki
keprihatinan yang tinggi terhadap permasalahan sosial-masyarakat atau umat yang
masih banyak berposisi terpinggir (kaum mustadhafin).
Politik Muhammadiyah adalah politik nilai, khususnya nilai membela
kepentingan kaum terpinggir, nilai kesejahteraan, dan memperbaiki kualitas hidup
masyarakat. Tentu menjadi beban berat para kadernya untuk mengemban dan
mengaktualisasikan nilai-nilai itu.
Arus politik memang kuat sekali pada era reformasi ini. Para tokoh
Muhammadiyah sendiri, selama ini telah melakukan beberapa eksperimentasi (ijtihad)
politik dengan mendirikan dan mengembangkan partai politik. Yang menonjol adalah
berdiri dan eksisnya Partai Amanat Nasional (PAN) yang dimotori oleh M Amien Rais.
PAN termasuk salah satu partai yang lolos ketentuan parliamentary threshold
di DPR. Berbeda dengan PAN, eksperimentasi Partai Matahari Bangsa (PMB) yang
dibidani oleh kalangan muda Muhammadiyah, masih belum berhasil dalam kontestasi
demokrasi elektoral.
Corak pilihan politik kader Muhammadiyah memang plural. Pilihan mereka
tidak hanya tertuju ke partai Islam, baik yang bersimbol atau berbasis massa Muslim,
tetapi juga pada partai-partai tengah yang bercorak catch-all. Pluralitas pilihan politik
kader Muhammadiyah tersebut sangat terkait dengan corak Muhammadiyah sendiri
yang rasional-moderat. Soliditas politiknya, tampak tak serekat jamaah NU yang
bernaung di bawah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), walaupun partai tersebut
elitenya terpecah-pecah.
Modernitas gerakan Muhammadiyah, lebih mengemuka pada wilayah state of
mind, bukan pada tradisionalitas patronase kultural atau politik. Inilah yang
menyebabkan fatwa politik petinggi Muhammadiyah, tidak mudah untuk begitu saja
ditaati.
10
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dalam bidang politik Muhammadiyah berusaha sesuai dengan khittahnya:
dengan dakwah amar ma ma'ruf nahi mungkar dalam arti dan proporsi yang sebenarbenarnya, Muhammadiyah harus dapat membuktikan secara teoritis konsepsionil,
secara operasionil dan secara kongkrit riil, bahwa ajaran Islam mampu mengatur
masyarakat dalam Negara Republik Indonesia yang berdasar Pancasila dan Undang
Undang Dasar 1945 menjadi masyarakat yang adil dan makmur serta sejahtera,
bahagia, materiil dan spirituil yang diridlai Allah SWT. Dalam melaksanakan usaha
itu, Muhammadiyah tetap berpegang teguh pada kepribadiannya.
Banyak orang berbicara bahwa dakwah amar makruf nahi mungkar yang telah
menjadi khittah Muhammadiyah sejak awal, dimaksudkan untuk membatasi gerakan
Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah dan sosial semata. Modernitas gerakan
Muhammadiyah, lebih mengemuka pada wilayah state of mind, bukan pada
tradisionalitas patronase kultural atau politik. Inilah yang menyebabkan fatwa
politik petinggi Muhammadiyah, tidak mudah untuk begitu saja ditaati.
Muhammadiyah juga mengikuti politik, karena dapat menyebarkan agama
lewat dakwah dan politik. Sehingga masyarakat lebih mudah mengenal dan
memahami ajaran agama Islam dan maksud dari Muhammadiyah itu sendiri.
11
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat,Syamsul,M.Ag,2011,Studi kemuhammadiyahan,LPID,Surakarta
http://muadz-akademia.blogspot.com/2012/04/muhammadiyah-dan-politik-reorientasi.html
http://politik.kompasiana.com/2010/07/03/muhammadiyah-dan-arus-politik/
http://www.pdmbontang.com
12