You are on page 1of 31

FISIOLOGI PERNAFASAN DAN ANESTESI

Konsep kunci
1. Anestesi umum secara khusus mengurangi VO 2 dan VCO2 sekitar 15%.
2. Saat akhir ekspirasi, tekanan intrapleura biasanya rata-rata 5 cmH 2O dan tekanan alveolar 0 (tidak
ada aliran), tekanan transpulmonar adalah + 5 cmH 2O.
3. Volume paru saat akhir ekshalasi normal disebut kapasitas residu fungsional (FRC).
4. Kapasitas tertutup biasanya dibawah FRC, tetapi kenaikannya terus bertambah sesuai dengan umur.
Kenaikan ini kemungkinan berperan terhadap penurunan tekanan oksigen arteri yang berkaitan
dengan usia normal.
5. Saat volume ekspirasi diperkuat dalam 1 menit dan kapasitas vital diperkuat merupakan usaha
dependen, aliran pertengahan ekspirasi diperkuat (FEF 25-27%) adalah usaha independen dan lebih
dapat dipercaya mengukur obstruksi.
6. Induksi anestesi secara menetap menghasilkan penurunan FRC sebesar 15-20% (400 ml pada
sebagian besar pasien) melampaui yang terjadi pada posisi supine.
7. Hipoksia adalah rangsangan kuat terjadinya vasokonstriksi pulmoner (berlawanan dengan efek
sistemik).
8. Ventilasi/perfusi untuk unit paru (setiap alveolus dan kapilernya) berkisar dari 0 (tidak ada ventilasi)
hingga tak terbatas (tidak ada perfusi); yang pertama berhubungan dengan pintas intrapulmoner,
sementara yang terakhir merupakan ruang mati alveolar.
9. Shunting merupakan proses terjadinya desaturasi, campuran darah vena dari jantung kanan kembali
ke jantung kiri tanpa mengalami resaturasi dengan oksigen pada paru.
10. Anestesi umum biasanya meningkatkan campuran darah vena 5-10%, kemungkinan karena
atelektasis dan kolaps jalan nafas pada area dependen paru.
11. Kenaikan sejumlah besar PaCO 2 (> 75 mmHg) yang menetap menghasilkan hipoksia (PaO 2 < 60
mmHg) pada suhu kamar tetapi tidak dengan konsentasi oksigen inspirasi.
12. Ikatan oksigen terhadap hemoglobin tampaknya menjadi faktor terbatas dalam pemindahan oksigen
dari udara alveolar ke dalam darah.
13. Semakin besar shunt, semakin kecil kenaikan fraksi oksigen inspirasi yang akan mencegah
hipoksemi.
14. Pergeseran ke kanan pada kurva disosiasi oksigen hemoglobin menurunkan afinitas oksigen,
memindahkan oksigen dari hemoglobin dan menyebabkan lebih banyak oksigen berada di jaringan;
pergeseran ke kiri meningkatkan afinitas hemoglobin untuk oksigen, mengurangi ketersediaannya
dalam jaringan.
15. Pusat kemoreseptor berada pada permukaan anterolateral medulla dan berperan terutama
mengubah cairan serebrospinal (H+). Mekanisme ini efektif dalam mengatur PaCO 2 karena sawar
darah otak dapat dilalui CO2 yang terlarut tetapi tidak oleh ion bikarbonat.
16. Dengan bertambahnya kedalaman anestesi, kecondongan kurva PaCO 2/ventilasi per menit menurun
dan ambang batas apneu meningkat.
Pentingnya fisiologi pernafasan terhadap praktik anestesi sangat jelas. Anestesi yang paling sering
digunakan - agen inhalasi - tergantung pada paru untuk pengambilan dan eliminasi. Efek samping yang
paling penting baik anestesi inhalasi dan intravena terutama pernafasan. Lebih lanjut, paralisis otot, posisi
yang tidak biasa selama pembedahan dan teknik seperti anestesi satu paru dan pintas kardiopulmoner
sangat mengubah fisiologi pernafasan normal.
Sebagian besar praktik anestesi modern berdasarkan pemahaman fisiologi pernafasan yang cermat
dan betul-betul dipertimbangkan penerapan fisiologi pernafasan. Bab ini membahas konsep dasar
pernafasan yang penting dipahami dan menerapkan teknik anestesi. Meskipun efek respirasi setiap agen
anestesi bervariasi dibahas dalam bab lain dalam buku ini, bab ini juga membahas efek keseluruhan anestesi
umum terhadap fungsi paru.
RESPIRASI SELULER
Fungsi penting paru adalah menyediakan pertukaran gas antara darah dan udara inspirasi. Hal ini
membutuhkan energi sebagai hasil langsung metabolisme aerob seluler yang memerlukan permintaan
menetap untuk pengambilan oksigen dan eliminasi CO 2.
1. Metabolisme aerob
Biasanya, hampir seluruh sel manusia memperoleh energi melalui aerob dengan menggunakan oksigen.
Karbohidrat, lemak dan protein dimetabolisme menjadi fragmen 2 karbon (asetil-koenzim A asetil-CoA)
yang memasuki siklus asam sitrat dalam mitokondria. Karena asetil-CoA dimetabolisme menjadi CO 2, energi
1

diperoleh dan disimpan dalam nikotin adenine dinukleotida (NAD), flavin adenine dinukleotida (FAD) dan
guanosin trifosfat (GTP). Energi itu kemudian diubah menjadi adenosine trifosfat (ATP) melalui proses yang
disebut oksidatif fosforilasi. Oksidatif fosforilasi memanfaatkan lebih dari 90% konsumsi oksigen seluruh
tubuh dan melibatkan serangkaian enzim perantara pemindahan elektron yang berpasangan dengan ATP.
Pada tahap akhir, oksigen molekuler berkurang menjadi air.
Untuk glukosa, bahan bakar sel yang penting, reaksi keseluruhan sebagai berikut :
C6H12O6 + 6O2 6CO2 + 6H2O + energi
Energi yang dihasilkan ( kira-kira 1200 kJ tiap mol glukosa) sebenarnya disimpan dalam fosfat ketiga yang
terikat pada ATP.
Energi + ADP + P ATP
Untuk setiap molekul glukosa teroksidasi, hingga total 38 mlekul ATP dapat dihasilkan. Sekali dibentuk,
energi yang disimpan dalam ATP dapat digunakan untuk pompa ion, kontraksi otot, sintesis protein atau
sekresi seluler; dalam prosesnya, adenosine difosfat dihasilkan kembali dari :
ATP ADP + P + energi
Sel mempertahankan rasio ATP terhadap ADP 10 : 1.
Catatan : ATP tidak dapat disimpan tetapi harus terus menerus dibentuk, membutuhkan suplai bahan dasar
metabolik dan oksigen.
Rasio total produksi CO2 (VCO2) terhadap konsumsi oksigen (VO2) disebut sebagai hasil bagi
respirasi (RQ) dan biasanya menunjukkan bahan bakar utama yang digunakan. Hasil bagi respirasi
karbohidrat, lemak dan protein berturut-turut adalah 1,0; 0,7 dan 0,8. VCO 2 biasanya berkisar 200 ml/menit,
sedangkan VO2 diperkirakan 250 ml/menit. Karena protein biasanya tidak digunakan sebagai sumber bahan
bakar utama, hasil bagi respirasi normal 0,8 kemungkinan menggambarkan penggunaan kombinasi lemak
dan karbohidrat. RQ > 1 dapat dilihat dengan adanya lipogenesis (pemberian makanan berlebihan) dan RQ
0,7 menandakan lipolisis (puasa atau kelaparan). Konsumsi oksigen juga dapat diperkirakan berdasarkan
berat pasien dalam kilogram :
VO2 = 10 (berat badan)
2. Metabolisme anaerob
Dibandingkan dengan metabolisme aerob, metabolisme anaerob menghasilkan jumlah ATP yang sangat
terbatas. Dengan tidak adanya oksigen, ATP dapat dihasilkan hanya dari perubahan glukosa menjadi asam
piruvat kemudian asam laktat. Setiap molekul glukosa hasil berat bersih metabolisme anaerob hanya 2
molekul ATP (61 kJ) (dibandingkan dengan 38 molekul ATP yang dibentuk secara aerob). Lebih lanjut,
asidosis laktat progresif yang berkembang cepat membatasi aktivitas enzim yang terlibat. Ketika tekanan
oksigen dipulihkan menjadi normal, laktat diubah kembali menjadi piruvat dan metabolisme aerob dilanjutkan
kembali.
3. Efek anestesi pada metabolisme sel
Anestesi umum secara khusus mengurangi VO 2 dan VCO2 sekitar 15%. Pengurangan ekstra sering terlihat
sebagai hasil hipotermi. Pengurangan terbesar terdapat di otak dan konsumsi oksigen jantung.
ANATOMI PERNAFASAN FUNGSIONAL
1. Rongga dada dan otot pernafasan
Rongga dada terdiri dari 2 paru dan setiap paru dikelilingi oleh pleuranya sendiri. Apeks dada kecil, hanya
memungkinkan untuk masuknya trakea, esophagus dan pembuluh darah, sedangkan dasarnya dibentuk oleh
diafragma. Kontraksi diafragma otot pernafasan utama - menyebabkan dasar dari rongga dada turun 1,5
7 cm dan paru-paru mengembang. Pergerakan diafragma biasanya memperhitungkan 75% perubahan
volume dada. Otot-otot pernafasan tambahan juga meningkatkan volume dada (dan pengembangan paru)
dengan aksi mereka pada tulang iga. Setiap tulang iga (kecuali 2 tulang iga terakhir) menyambung di
posterior dengan vertebra dan membentuk sudut ke bawah karena menempel di anterior pada sternum.
Pergerakan tulang iga ke atas dan keluar mengembangkan dinding dada.
Selama pernafasan normal, diafragma dan otot-otot interkostal eksternal bertanggungjawab untuk
inspirasi; ekspirasi biasanya bersifat pasif. Dengan meningkatnya usaha pernafasan, otot-otot
sternokleidomastoideus, skalenus dan pektoralis dapat digunakan selama inspirasi. Otot
sternokleidomastoideus membantu dalam mengangkat rongga dada, sedangkan otot skalenus mencegah
pergeseran kedalam tulang-tulang iga atas selama inspirasi. Otot pektoralis dapat membantu pengembangan
rongga dada ketika lengan diletakkan pada sandaran yang tetap. Ekspirasi biasanya pasif pada posisi supine
tetapi menjadi aktif pada posisi tegak lurus dan dengan meningkatnya usaha pernafasan. Ekshalasi
dipermudah dengan otot-otot termasuk otot-otot perut (rektus abdominis, internal dan eksternal oblik, dan
transverses) dan mungkin interkostalis interna membantu pergerakan ke bawah tulang iga. Meskipun tidak
selalu mempertimbangkan otot-otot pernafasan, beberapa otot faring penting dalam mempertahankan
2

patensi jalan nafas. Aktivitas tonik dan refleks inspirasi pada genioglossus mempertahankan lidah jauh dari
dinding posterior faring. Aktivitas tonik pada levator palate, tensor palate, palatofaringeus dan palatoglossus
mencegah palatum durum jatuh ke belakang dinding faring, terutama pada posisi supine.
2. Pohon trakheobronkhial
Kelembapan dan penyaringan udara inspirasi merupakan fungsi jalan nafas bagian atas (hidung, mulut dan
faring). Fungsi dari pohon trakheobronkhial adalah memberikan aliran gas ke dan dari alveoli. Pembagian
dikotom (setiap cabang terbagi menjadi 2 bronkhus kecil), dimulai dengan trakhea dan berakhir dalam sakus
alveolus, diperkirakan melibatkan 23 divisi atau cabang (gambar 22-1). Setiap cabang, jumlah jalan nafas
terbagi menjadi 2. Setiap sakus alveolus terdiri dari rata-rata 17 alveoli. Diperkirakan 300 juta alveoli
menyediakan membrane yang sangat luas (50-100 m2) untuk pertukaran gas pada rata-rata orang dewasa.

Gambar 22-1. Pembagian dikotom jalan nafas


Setiap cabang berturut-turut, epitel mukosa dan struktur penyokong jalan nafas berubah secara
bertahap. Mukosa mengalami perubahan secara bertahap dari epitel kolumner bersilia menjadi epitel kuboid
dan akhirnya menjadi epitel alveolar datar. Pertukaran gas dapat terjadi hanya melalui epitel datar yang mulai
tampak pada bronkhiolus respiratori (cabang 17-19). Dinding jalan nafas secara bertahap kehilangan
jaringan penyokong kartilaginosa (pada bronkhiolus) dan kemudian otot polosnya. Kehilangan jaringan
kartilaginosa menyebabkan patensi jalan nafas kecil menjadi tergantung pada daya tarik radial oleh rekoil
elastik jaringan disekitarnya; akibatnya diameter jalan nafas menjadi tergantung pada volume total paru.
Silia pada epitel kuboid dan kolumner biasanya bergerak dengan cara yang sinkron sehingga mukus
yang dihasilkan kelenjar sekretori yang melapisi jalan nafas (dan ada hubungannya dengan bakteri atau
debris) bergerak naik ke mulut.
Alveoli
Ukuran alveolar berfungsi sebagai gravitasi maupun volume paru. Rata-rata diameter alveolus diperkirakan
antara 0,05-0,33 mm. Pada posisi tegak lurus, alveoli terbesar terdapat pada apeks paru, sedangkan alveoli
terkecil cenderung terdapat pada basal. Dengan inspirasi, ketidaksesuaian ukuran alveolar menjadi
berkurang. Setiap alveolus berhubungan secara tertutup dengan jaringan kapiler pulmoner. Dinding setiap
alveolus tersusun secara asimetris (gambar 22-2). Pada sisi yang tipis, dimana terjadi pertukaran gas, epitel
alveolar dan endotel kapiler terpisah oleh masing-masing membran basalis dan seluler; pada sisi yang tebal,
dimana terjadi pertukaran cairan dan zat terlarut, ruang interstisial paru memisahkan epitel alveolar dari
endotel kapiler. Ruang interstisial paru terutama terdiri dari elastin, kolagen dan serabut saraf. Pertukaran
gas terjadi terutama pada sisi tipis dari membran alveolokapiler dimana ketebalannya kurang dari 0,4 m.
Sisi yang tebal (1-2 m) memberikan penyokong structural untuk alveolus.

Gambar22-2. Ruang interstisial paru dengan kapiler melewati 2 alveoli. Kapiler menyatu dengan
lapisan tipis (pertukaran gas) alveolus di kanan. Ruang interstisial paru menyatu dengan lapisan
tebal alveolus di kiri.
Epitel respirasi terdiri dari sedikitnya 2 tipe sel. Pneumosit tipe 1 datar dan membentuk ikatan yang
kuat (1 m) satu sama lain. Ikatan ini sangat penting dalam mencegah masuknya molekul aktif onkotik
dengan berat molekul besar seperti albumin ke dalam alveolus. Pneumosit tipe 2 , dimana jumlahnya lebih
banyak dari pneumosit tipe 1 (karena bentuknya mengisi kurang dari 10% ruang alveolar), dikelilingi sel-sel
yang terdiri dari inklusi sitoplasmik prominen (badan lamellar). Badan inklusi ini terdiri dari surfaktan, bahan
yang sangat penting untuk mekanik pulmoner normal. Tidak seperti sel tipe 1, pneumosit tipe 2 memiliki
kemampuan untuk membelah diri dan dapat menghasilkan pneumosit tipe 1 bila sel tersebut rusak. Sel
tersebut juga tahan terhadap toksisitas oksigen.
Sel tipe lain yang ada pada jalan nafas bagian bawah termasuk makrofag alveolar pulmoner, sel
mast, limfosit dan sel APUD (amino precursor uptake and decarboxylation). Netrofil juga khas terdapat pada
perokok dan pasien dengan trauma paru akut.
3. Sirkulasi pulmoner dan limfatik
Paru-paru disediakan oleh 2 sirkulasi, pulmoner dan bronchial. Sirkulasi bronchial naik dari jantung kiri dan
dan menyokong kebutuhan metabolik pohon trakheobronkhial sampai tingkat bronkhiolus respirasi. Di bawah
tingkat ini, jaringan paru disokong oleh kombinasi gas alveolar dan sirkulasi pulmoner.
Sirkulasi pulmoner biasanya menerima output total dari jantung kanan melalui arteri pulmonalis, yang
terbagi menjadi cabang kanan dan kiri untuk memberi suplai setiap paru. Darah yang mengalami
deoksigenasi lewat melalui kapiler pulmoner, dimana oksigen diambil dan CO 2 dikeluarkan. Darah yang
teroksigenasi kemudian kembali ke jantung kiri melalui 4 vena pulmoner utama (2 untuk setiap paru).
Meskipun aliran melalui sirkulasi pulmonal dan sistemik sama, rendahnya tahanan vaskuler pulmoner
menghasilkan tekanan vaskuler pulmoner seperenam pada sirkulasi sistemik; disebabkan baik arteri maupun
vena pulmoner biasanya memiliki dinding yang lebih tipis dengan sedikit sel otot polos.
Terdapat hubungan antara sirkulasi pulmoner dan bronkhial. Hubungan langsung arteriovena
pulmoner, menghindari kapiler pulmoner biasanya tidak bermakna tetapi dapat menjadi penting pada
keadaan patologik tertentu. Pentingnya sirkulasi bronkhial dalam membantu percampuran darah vena normal
akan dibicarakan di bawah ini.
Kapiler pulmoner
Kapiler pulmoner tergabung ke dalam dinding alveoli. Rata-rata diameter kapiler ini (sekitar 10 m) hampir
cukup untuk menyediakan lewatnya 1 sel darah merah. Karena setiap jaringan kapiler menyediakan lebih
dari 1 alveolus, darah dapat lewat melalui beberapa alveoli sebelum mencapai vena pulmonalis. Karena
tekanan yang relatif rendah pada sirkulasi pulmonal, sejumlah darah mengalir melalui jaringan kapiler
dipengaruhi oleh gravitasi dan ukuran alveolar. Alveoli yang besar memiliki area potong lintang kapiler-kapiler
yang lebih kecil dan akibatnya meningkatkan tahan terhadap aliran darah. Pada posisi tegak lurus, kapiler
apikal cenderung mengurangi aliran, sedangkan kapiler basal memiliki aliran yang tinggi.
Endotel kapiler pulmoner memiliki ikatan yang relatif luas, selebar 5 nm, memudahkan lewatnya
molekul besar seperti albumin. Akibatnya, cairan interstisial paru relatif kaya akan albumin. Makrofag dan
netrofil yang beredar dapat lewat melalui endotel sebagaimana ikatan epitel alveolar yang relatif longgar.
Makrofag pulmoner umumnya terlihat pada ruang interstisial dan di dalam alveoli; sehingga mencegah infeksi
bakteri dan memakan benda asing.
4

Limfatik pulmoner
Aliran limfatik pada paru-paru mula-mula pada ruang interstisial. Karena ikatan endotel yang luas, limfatik
paru relatif mengandung protein tinggi dan aliran limfe pulmoner total biasanya sebanyak 20 ml/jam.
Pembuluh limfe besar berjalan naik disepanjang jalan nafas, membentuk rantai nodus limfatikus
trakheobronkhial. Aliran drainase limfatik dari kedua paru berhubungan dengan trakhea. Cairan dari paru kiri
mengalir terutama menuju ke duktus torasikus sedangkan yang beasal dari paru kanan mengalir ke duktus
limfatikus kanan.
4. Persarafan
Diafragma dipersarafi oleh nervus phrenikus yang berasal dari akar saraf C3-C5. Hambatan nervus
phrenikus unilateral atau kelumpuhan sederhana mengurangi fungsi pulmoner (sekitar 25%). Meskipun
kelumpuhan nervus phrenikus bilateral menghasilkan gangguan yang lebih berat, pergerakan otot-otot
pernafasan tambahan dapat mempertahankan ventilasi yang adekuat pad beberapa pasien. Otot interkostalis
dipersarafi oleh akar saraf torakalis. Trauma medulla spinalis di atas C5 inkompatibel dengan ventilasi
spontan karena baik nervus phrenikus dan interkostalis terkena.
Nervus vagus memberikan persarafan sensori terhadap pohon trakheobronkhial, baik persarafan
otonom simpatis dan parasimpatis otot polos bronkhial dan kelenjar sekretori. Aktivitas vagal memperantarai
bronkhokonstriksi dan meningkatkan sekresi bronkhial melalui reseptor muskarinik. Aktivitas simpatik (T1-T4)
memperantarai bronkhodilatasi dan juga menurunkan sekresi melalui reseptor 2 adrenergik. Stimulasi
reseptor 1 adrenergik menurunkan sekresi tetapi dapat menyebabkan bronkhokonstriksi. Sistim
bronkhodilator nonadrenergik, nonkolinergik diduga melibatkan neurotransmitter peptida intestinal vasoaktif.
Persarafan pada laring akan dibicarakan dalam bab 5.
Reseptor dan adrenergik terdapat pada pembuluh darah paru tetapi sistim simpatis biasanya
mempunyai efek sedikit pada tonus pembuluh darah paru. Aktivitas 1 menyebabkan vasokonstriksi;
aktivitas 2 memperantarai vasodilatasi. Aktivitas vasodilatasi parasimpatis tampaknya diperantarai melalui
pelepasan N2O.
MEKANISME DASAR PERNAFASAN
Pertukaran periodik gas alveolar dengan udara segar dari jalan nafas atas menyediakan oksigen bagi darah
yang mengalami desaturasi dan mengeluarkan CO 2. Perubahan ini dipengaruhi gradien tekanan siklus kecil
pernafasan. Selama ventilasi spontan, gradien ini merupakan tambahan terhadap variasi tekanan
intratorakal; selama ventilasi mekanik mereka dihasilkan dari tekanan positif intermiten pada jalan nafas atas.
Ventilasi spontan
Variasi tekanan normal selama pernafasan spontan ditunjukkan dalam gambar 22-3. Tekanan dalam alveoli
selalu lebih besar dibandingkan tekanan sekitarnya (intratorakal), kecuali alveoli dalam keadaan kolaps.
Tekanan alveolar biasanya 0 atmosfer saat akhir inspirasi dan akhir ekspirasi. Sesuai dengan fisiologi
respirasi, tekanan pleura digunakan sebagai pengukuran tekanan intratorakal. Meskipun hal ini tidak
sepenuhnya benar untuk menunjukkan tekanan pada ruang potensial, konsep ini memberikan perhitungan
tekanan transpulmoner. Tekanan transpulmoner atau P transpulmoner didefinisikan sebagai berikut :
P transpulmoner = P alveolar P intrapleura
Saat akhir ekspirasi, tekanan intrapleura biasanya rata-rata sekitar 5 cmH 2O dan sejak tekanan alveolar 0
(tidak ada aliran), tekanan transpulmoner + 5 cm H 2O. Aktivitas otot interkostalis dan diafragma selama
inspirasi mengembangkan dada dan menurunkan tekanan intrapleura dari 5 cmH 2O menjadi 8 atau 9
cmH2O. Akibatnya, tekanan alveolar juga menurun (antara 3 dan 4 cm H 2O) dan gradien alveolar-jalan
nafas atas dapat ditetapkan; gas mengalir dari jalan nafas atas menuju alveoli. Saat akhir inspirasi (ketika
aliran gas berhenti), tekanan alveolar kembali 0, tetapi tekanan intrapleura tetap menurun; tekanan
transpulmoner yang baru (5 cmH2O) membantu ekspansi paru.
Selama ekspirasi, relaksasi diafragma mengembalikan tekanan intrapleura menjadi 5 cmH 2O.
Sekarang tekanan transpulmoner tidak membantu volume paru yang baru dan recoil elastic paru
menyebabkan pembalikan gradien alveolar-jalan nafas atas; gas mengalir keluar dari alveoli dan volume
paru yang semula diperbaiki.

Gambar 22-3. Perubahan pada tekanan alveolar dan intrapleural selama pernafasan normal.
Catatan bahwa pada volume tidal maksimal, aliran nol dan tekanan alveolar 1 atmosfer.
Ventilasi mekanik
Sebagian besar bentuk ventilasi mekanik secara intermiten menggunakan tekanan positif jalan nafas pada
jalan nafas atas. Selama inspirasi, gas mengalir ke alveoli sampai tekanan alveolar mencapai tekanan jalan
nafas atas. Selama fase ekspirasi pernafasan, tekanan positif jalan nafas berkurang; gradient sebaliknya,
memberikan aliran gas keluar dari alveoli.
Efek anestesi pada pola pernafasan
Efek anestesi pada pernafasan sangat kompleks dan berhubungan dengan perubahan posisi dan agen
anestesi. Ketika pasien ditempatkan pada posisi supine dari posisi duduk atau tegak lurus, proporsi
pernafasan dari perubahan rongga dada berkurang; pernafasan abdominal lebih dominan. Posisi tertinggi
diafragma dalam dada (sekitar 4 cm) menyebabkan diafragma lebih efektif berkontraksi dibandingkan ketika
pasien tegak lurus. Demikian pula pada posisi lateral dekubitus, ventilasi membantu paru-paru yang
dependen karena hemidiafragma dependen mengambil posisi tertinggi dalam dada.
Tanpa memperhatikan agen anestesi yang digunakan, anestesi ringan sering menghasilkan pola
pernafasan ireguler; menahan nafas lebih sering terjadi. Pernafasan menjadi regular dengan semakin
dalamnya tingkat anestesi. Agen inhalasi pada umumnya menghasilkan pernafasan yang cepat dan dangkal,
sementara teknik nitrous-narkotik menghasilkan pernafasan yang dalam dan lambat.
Menariknya, induksi anestesi mengaktifkan otot-otot ekspirasi; ekspirasi menjadi aktif. Pada
akhirnya pernafasan regular membutuhkan paralisis selama pembedahan abdomen. Aktivitas otot-otot
inspirasi juga berubah. Sebagian besar anestesi inhalasi menyebabkan menurunnya ketergantungan dosis
selama perubahan rongga dada; aktivitas otot interkostal menurun secara bertahap seiring dengan
bertambah dalamnya anestesi. Pemeliharaan yang baik dari fungsi diafragma lebih lanjut membantu
abdominal lebih dari perubahan rongga dada. Efek terakhir ini mungkin tidak menonjol dengan ketamin dan
metoheksital
MEKANIKA PERNAFASAN
Pergerakan paru-paru bersifat pasif dan ditentukan oleh tahanan sistim pernafasan, yang terbagi menjadi
tahanan elastik jaringan dan lapisan cairan-gas dan tahanan non elastik terhadap aliran gas. Tahanan elastik
jaringan mempengaruhi volume paru dan tekanan-tekanan yang berhubungan pada keadaan statik (tidak
ada aliran gas). Tahanan non elastik berhubungan dengan tahanan gesekan terhadap aliran udara dan
deformasi jaringan. Pergerakan paru sangat penting untuk mengatasi tahanan elastik yang disimpan sebagai
energi potensial, tetapi kurang penting untuk mengatasi tahanan nonelastik, dimana energi tersebut penting
untuk menanggulangi tahanan non elastik yang hilang sebagai panas.
1. Tahanan elastik
6

Paru-paru maupun dada memiliki sifat elastik. Dada memiliki kecenderungan untuk mengembang keluar,
sedangkan paru cenderung untuk kolaps. Ketika dada terpapar tekanan atmosfer (pneumotorak terbuka),
dada biasanya mengembang sekitar 1 L pada dewasa. Sebaliknya ketika paru-paru terpapar tekanan
atmosfer, paru-paru kolaps dan semua gas yang berada di dalamnya keluar. Efek pengembangan dada
disebabkan komponen struktural yang menahan deformasi termasuk tonus otot dinding dada.
Pengembangan elastik paru disebabkan karena paru-paru berisi serabut-serabut elastin dan yang lebih
penting tekanan permukaan bergerak kuat pada lapisan cairan-udara pada alveoli.
Kekuatan tekanan permukaan
Lapisan cairan-gas yang membatasi alveoli menyebabkan alveoli menjadi gelembung-gelembung. Kekuatan
tekanan permukaan cenderung mengurangi area lapisan dan membantu alveolalus kolaps. Hukum Laplace
dapat digunakan untuk menghitung kekuatan ini :
2 x tekanan permukaan
Tekanan =
Diameter alveolus
Tekanan dihasilkan dari persamaan yang ada dalam alveolus. Kolapsnya alveolus berbanding lurus dengan
tekanan permukaan, tetapi berbanding terbalik dengan ukuran alveolus. Kolaps alveolus lebih sering terjadi
ketika tekanan permukaan bertambah atau ukuran alveolus berkurang. Untungnya, surfaktan pulmoner
menurunkan tekanan permukaan alveolus. Lebih lanjut lagi, kemampuan surfaktan untuk menurunkan
tekanan permukaan berbanding lurus dengan konsentrasi surfaktan dalam alveolus. Karena alveoli semakin
kecil, maka surfaktan didalamnya menjadi lebih terkonsentrasi dan tekanan permukaan menjadi lebih efektif
berkurang. Sebaliknya, ketika alveolus menjadi overdistensi, konsentrasi surfaktan berkurang dan tekanan
permukaan bertambah. Keuntungannya adalah mempertahankan alveolus; alveolus kecil dicegah agar tidak
semakin kecil, sedangkan alveolus besar dicegah agar tidak semakin besar.
Pengembangan paru
Rekoil elastik biasanya dikenal dengan istilah pengembangan paru, yang diartikan sebagai perubahan
volume dibagi dengan perubahan dalam pengembangan tekanan. Pengukuran pengembangan paru
dihasilkan baik dari dada, paru-paru atau keduanya bersamaan (gambar 22-4). Pada posisi supine,
pengembangan dinding dada berkurang karena berat isi abdomen melawan diafragma. Pengukuran
biasanya dihasilkan pada kondisi static, seperti saat kesetimbangan. (Pengembangan paru dinamik [Cdyn L]
yang diukur selama pernafasan irama juga tergantung pada tahanan jalan nafas). Pengembangan paru (Cl)
diartikan sebagai :
Perubahan volume paru
Cl =
Perubahan tekanan transpulmoner
Cl biasanya 150-200 ml/cm H 2O. Faktor-faktor yang bervariasi termasuk volume paru, volume darah paru,
cairan paru ekstravaskuler dan proses patologi seperti inflamasi dan fibrosis mempengaruhi Cl.
Perubahan volume rongga dada
Pengembangan dinding dada (Cw) =
Perubahan tekanan transtorakal
Dimana tekanan transtorakal sama dengan tekanan atmosfir dikurangi tekanan intrapleura. Biasanya
pengembangan dinding dada adalah 200 ml/cm H 2O. Pengembangan total (paru bersama dinding dada)
adalah 100 ml/cm H2O dan digambarkan dengan persamaan berikut :
1
1
1
=
+
Ctotal
Cw
CL

Gambar 22-4. Hubungan volume-tekanan untuk dinding dada, paru dan keduanya pada posisi tegak
lurus (A) dan supine (B).
2. Volume paru
Volume paru merupakan parameter penting dalam fisiologi pernafasan dan praktik klinik (table 22-1 dan
gambar 22-5). Jumlah semua volume paru sama dengan jumlah maksimal paru dapat mengembang.
Kapasitas paru secara klinis merupakan pengukuran yang menunjukkan kombinasi dua atau lebih volume.
Tabel 22-1. Volume dan kapasitas paru
Pengukuran
Volume tidal (VT)
Volume cadangan inspirasi (IRV)
Volume cadangan ekspirasi (ERV)
Volume residual (RV)
Kapasitas paru total (TLC)
Kapasitas residu fungsional (FRC)

Definisi
Setiap pernafasan normal
Volume tambahan maksimal yang bisa diinspirasi di atas VT
Volume maksimal yang diekspirasi di bawah VT
Volume tetap setelah ekshalasi maksimal
RV+ERV+VT+IRV
RV+ERV

Nilai rata-rata
dewasa (mL)
500
3000
1100
1200
5800
2300

Gambar 22-5. Spirogram menunjukkan volume paru static.


Kapasitas residu fungsional
Volume paru saat akhir ekshalasi normal disebut kapasitas residu fungsional (FRC). Pada volume ini,
pengembangan elastik paru ke dalam kurang lebih sama dengan pengembangan elastik dada ke luar
(termasul tonus diafragma istirahat). Sifat elastik dada dan paru menegaskan titik dari mana pernafasan
normal dimulai. Kapasitas residu fungsional dapat diukur dengan teknik wash out nitrogen atau wash in
helium atau dengan pletismografi tubuh. Faktor-faktor yang diketahui merubah FRC sebagai berikut :
Bentuk tubuh : FRC secara langsung sebanding dengan tinggi badan. Kegemukan, bagaimanapun juga,
secara nyata menurunkan FRC (terutama sebagai hasil berkurangnya pengembangan dada).
Jenis kelamin : FRC berkurang sekitar 10% pada wanita dibandingkan pria.
Posisi : FRC menurun jika pasien berpindah dari posisi tegak lurus menjadi posisi supine atau prone. Hal
ini merupakan hasil berkurangnya pengembangan dada akibat isi abdomen terdorong melawan
diafragma. Perubahan besar terjadi antara 0 sampai 60 derajat. Tidak ada penurunan lebih lanjut diamati
dengan posisi kepala turun hingga 30 derajat.
Penyakit paru : Berkurangnya pengembangan paru, dada atau keduanya ditandai gangguan paru
restriktif, semuanya berhubungan dengan berkurangnya FRC.
Tonus diafragma : biasanya berhubungan dengan FRC
Kapasitas tertutup
Seperti digambarkan di bawah, jalan nafas kecil yang tidak memiliki penyokong kartilaginosa bergantung
pada gaya tarik radial disebabkan pengembangan elastik jaringan disekitarnya untuk menjaga jalan nafas
tetap terbuka; patensi jalan nafas terutama pada area basal paru, sangat tergantung pada volume paru.
Volume dimana jalan nafas mulai menutup pada bagian paru yang tergantung disebut kapasitas tertutup.
Pada volume paru terendah, alveoli pada area yang tergantung berlanjut menjadi area perfusi, tetapi tidak
lagi mengalami ventilasi ; pintas intrapulmoner darah yang mengalami deoksigenasi menyebabkan
hipoksemia.
Kapasitas tertutup biasanya diukur menggunakan elemen gas (xenon 133), yang dihirup mendekati
volume residual kemudian dikeluarkan dari kapasitas total paru. Kapasitas tertutup biasanya di bawah FRC
8

(gambar 22-6), tetapi naik menetap dengan umur (gambar 22-7). Kenaikan ini dimungkinkan karena usia
normal berhubungan dengan penurunan tekanan oksigen arterial. Pada rata-rata usia 44 tahun, kapasitas
tertutup sama dengan FRC pada posisi supine; pada usia 66 tahun, kapasitas tertutup sama atau melebihi
FRC pada posisi tegak lurus pada sebagian besar individu. Tidak seperti FRC, kapasitas tertutup tidak
dipengaruhi oleh posisi tubuh.

Gambar 22-6. Hubungan antara kapasitas residu fungsional, volume tertutup dan kapasitas tertutup.

Gambar 22-7. Pengaruh usia terhadap kapasitas tertutup dan hubungannya dengan kapasitas residu
fungsional. Catatan bahwa FRC tidak berubah.
Kapasitas vital
Kapasitas vital (VC) adalah volume maksimal udara yang dapat dikeluarkan setelah inspirasi maksimal. VC
juga tergantung pada kekuatan otot-otot pernafasan dan pengembangan paru-paru-dada. Biasanya VC
berkisar 60-70 ml/kgbb.
3. Tahanan non elastik
Tahanan jalan nafas terhadap aliran gas
Aliran gas dalam paru-paru adalah campuran aliran laminar dan turbulen. Aliran laminar bias dianggap
sebagai aliran gas dalam silinder konsentris yang menetap dalam berbagai kecepatan; kecepatan tertinggi
pada pusat dan berkurang menuju perifer. Selama aliran laminar,
Gradient tekanan
Aliran =
Tahanan jalan nafas
8 x panjang x viskositas gas
x (jari-jari)4
Aliran turbulen ditandai dengan gerakan acak molekul gas menurunkan aliran udara. Gambaran
secara matematika aliran turbulen lebih kompleks.
Tahanan jalan nafas =

Gradien tekanan =

Aliran2 x

Densitas gas
Jari-jari5

Tahanan tidak menetap, tetapi meningkat sebanding dengan aliran gas. Lebih lanjut lagi, tahanan
berbanding lurus dengan kepadatan gas dan berbanding terbalik dengan kekuatan lima kali jari-jari. Hasilnya,
aliran gas turbulen sangat sensitive terhadap diameter jalan nafas.
Turbulensi pada umumnya terjadi pada aliran gas tinggi, sudut tajam atau titik cabang dan pada
reaksi terhadap perubahan mendadak diameter jalan nafas. Aliran laminar atau turbulen yang terjadi dapat
diprediksi dengan angka Reynolds yang beasal dari persamaan berikut.
Kecepatan linier x diameter x densitas gas
Viskositas gas
Angka Reynolds yang rendah (<1000) berhubungan dengan aliran laminar, sedangkan nilai tinggi
(>1500) menghasilkan aliran turbulen. Aliran laminar biasanya terjadi hanya dibagian distal bronkhiolus kecil
(<1 mm). Aliran dalam jalan nafas yang besar kemungkinan turbulen. Gas yang digunakan secara klinis,
hanya helium yang bermakna memiliki rasio densitas terhadap viskositas yang rendah, yang secara klinis
berguna selama aliran turbulen berat (sebagai penyebab obstruksi jalan nafas atas). Campuran heliumoksigen tidak hanya sedikit menyebabkan aliran turbulen tetapi juga mengurangi tahanan jalan nafas ketika
aliran turbulen terjadi (table 22-2).
Angka Reynolds =

Tabel 22-2. Sifat fisik beberapa campuran gas


Campuran
Oksigen (100%)
N2O/O2
Helium/O2 (80:20)

Viskositas
1,11
0,89
1,08

Densitas
1,11
1,41
0,33

Densitas/Viskositas
1
1,49
0,31

Viskositas dan densitas digambarkan relatif terhadap air.


Tahanan jalan nafas total biasanya sekitar 0,5-2 cm H2O/L/menit, dengan kontribusi terbesar berasal
dari bronchus berukuran medium (sebelum cabang ketujuh). Tahanan pada bronkhus besar biasanya rendah
karena diameternya yang besar, sedangkan tahanan pada bronkhus kecil rendah karena area potong lintang
totalnya besar. Penyebab yang paling penting dari meningkatnya tahanan jalan nafas termasuk
bronkhospasme, sekresi jalan nafas dan edema mukosa, sesuai dengan volume dan aliran berhubungan
dengan kolaps jalan nafas.
Volume berhubungan dengan kolaps jalan nafas
Saat volume paru turun, kehilangan daya tarik radial meningkatkan tahanan total jalan nafas kecil; tahanan
jalan nafas menjadi berbanding terbalik dengan volume paru (gambar 22-8). Meningkatnya volume paru
hingga normal dengan tekanan positif akhir ekspirasi dapat mengurangi tahanan jalan nafas.

Gambar 22-8. Hubungan antara tahanan jalan nafas dan volume paru.
Aliran berhubungan dengan kolaps jalan nafas
Selama ekshalasi kuat, kembalinya tekanan jalan nafas transmural yang normal dapat menyebabkan kolaps
jalan nafas (kompresi jalan nafas dinamik). Dua faktor yang turut serta mempengaruhi adalah penjumlahan
tekanan pleura positif dan turunnya tekanan jauh melampaui jalan nafas intratorakal akibat meningkatnya
tahanan jalan nafas. Faktor yang terakhir bisa kembali karena tingginya aliran gas turbulen dan
berkurangnya volume paru. Bagian akhir aliran/kurva volume kemudian dikenal dengan usaha-independen
(gambar 22-9).

10

Gambar 22-9. Aliran gas (A) selama ekshalasi kuat dari kapasitas total paru dengan berbagai usaha
dan (B) dengan usaha maksimal dari volume paru berbeda.
Titik di sepanjang jalan nafas dimana tekanan dinamis terjadi disebut dengan titik tekanan sama.
Biasanya berada dibawah cabang ketujuh bronkhiolus dimana tidak terdapat jaringan penyokong
kartilaginosa. Titik tekanan sama bergerak kearah jalan nafas yang lebih kecil karena penurunan volume
paru. Emfisema atau asma mempengaruhi pasien terhadap tekanan jalan nafas dinamik. Emfisema merusak
jaringan elastik yang biasanya menyokong jalan nafas kecil. Pada pasien asma, bronkhokonstriksi dan
edema mukosa meningkatkan kolaps jalan nafas dan sebaliknya meningkatkan gradien tekanan transmural
melebihi jalan nafas. Pasien mengakhiri ekshalasi lebih awal atau mengerutkan bibirnya untuk meningkatkan
tahanan ekspirasi pada mulut; kedua manuver tersebut membantu mencegah kembalinya gradient tekanan
transmural dan memperkecil terperangkapnya udara. Ekshalasi yang berakhir lebih awal juga meningkatkan
FRC diatas normal.
Kapasitas vital kuat
Pengukuran kapasitas vital selama ekshalasi betapapun sulit dan secepat mungkin (gambar 22-10)
memberikan informasi penting tentang tahanan jalan nafas. Rasio volume ekspirasi kuat dalam 1 detik
(FEV1) sebanding dengan derajat obstruksi jalan nafas. Biasanya, FEV 1/FVC 80%. Baik FEV1 dan FVC
merupakan usaha-dependen, aliran pertengahan ekspirasi kuat (FEF 25-75%) adalah usaha-independen dan
pengukuran obstruksi yang lebih dapat dipercaya.

Gambar 22-10. Kurva ekshalasi kuat normal. FEF25-75% juga disebut rata-rata aliran pertengahan
ekspirasi maksimal (MMF25-75%). FRC = kapasitas residu fungsional; FEV1 = volume ekspirasi kuat
selama 1 detik; FVC = kapasitas vital kuat; RV = volume residual; TLC = kapasitas total paru

11

Tahanan jaringan
Komponen tahanan nonelastik ini biasanya diremehkan dan diabaikan, tetapi memerlukan hingga separuh
tahanan jalan nafas total. Hal ini terutama disebabkan tahanan viskoelastik (gesekan) jaringan terhadap
aliran gas.
4. Kerja pernafasan
Karena ekspirasi biasanya seluruhnya pasif, baik kerja pernafasan inspirasi dan ekspirasi dilakukan oleh
otot-otot inspirasi (terutama diafragma). Tiga faktor yang harus ditanggulangi selama ventilasi :
pengembangan elastik dada dan paru, tahanan gesek terhadap aliran gas dalam jalan nafas dan tahanan
gesek jaringan.
Kerja pernafasan dapat digambarkan sebagai hasil volume dan tekanan (gambar 22-11). Selama
inhalasi, baik tahanan jalan nafas inspirasi dan pengembangan elastik harus diatasi; hampir 50% energi
dihabiskan disimpan selama pengembangan elastik paru. Selama ekshalasi, simpanan energi potensial
dilepaskan dan mengatasi tahanan jalan nafas ekspirasi. Peningkatan tahanan inspirasi dan ekspirasi
diimbangi peningkatan usaha otot inspirasi. Ketika tahanan ekspirasi meningkat, respon normal sebagai
pengimbang adalah meningkatnya volume paru seperti pernafasan tidal yang terjadi saat FRC meningkat.
Simpanan energi terbesar pengembangan paru saat volume paru tertinggi mengtasi penambahan tahanan
jalan nafas. Tahanan jalan nafas yang berlebihan juga menggerakkan otot-otot ekspirasi.

Gambar 22-11. Kerja pernafasan dan komponennya selama inspirasi


Otot-otot pernafasan biasanya memerlukan hanya 2-3% konsumsi oksigen tetapi mengusahakan
efisiensi 10%. Sembilan puluh persen kerja pernafasan dibuang sebagai panas (karena tahanan aliran udara
dan elastik). Dalam keadaan patologik yang meningkatkan beban diafragma, efisiensi otot biasanya
berkurang secara bertahap dan kontraksi menjadi tidak teratur dengan meningkatnya usaha ventilasi; lebih
lanjut lagi titik yang dicapai dimana terdapat peningkatan ambilan oksigen (karena ventilasi bertambah)
dihabiskan oleh otot respirasi sendiri. Kerja yang dibutuhkan untuk mengatasi meningkatnya tahanan elastic
yaitu meningkatnya volume tidal, sedangkan kerja yang dibutuhkan untuk mengatasi meningkatnya tahanan
aliran udara adalah meningkatnya frekuensi pernafasan (dan yang paling penting aliran ekspirasi).
Berhadapan dengan kondisi ini, pasien meminimalkan kerja pernafasan dengan merubah frekuensi
pernafasan dan volume tidal (gambar 22-12). Pasien dengan berkurangnya pengembangan paru cenderung
memiliki pernafasan yang cepat dan dangkal, sedangkan dengan meningkatnya tahanan aliran udara
memiliki pola pernafasan yang dalam dan lambat.

12

Gambar 22-12. hubungan kerja pernafasan dengan frekuensi nafas pada individu normal, pasien
dengan peningkatan tahanan elastik dan pasien dengan peningkatan tahanan jalan nafas.
5. Efek anestesi terhadap mekanik pulmoner
Efek terhadap pengembangan dan volume paru
Induksi anestesi terus-menerus menghasilkan pengurangan FRC ekstra 15-20% (400 ml pada sebagian
besar pasien) melebihi yang terjadi dengan posisi supine sendiri. Hilangnya tonus diafragma akhir ekspirasi
normal menyebabkan isi abdomen naik lebih jauh melawan diafragma (gambar 22-13). Posisi diafragma
yang lebih tinggi menurunkan volume paru dan mengurangi pengembangan dada dan paru. Penurunan FRC
tidak berhubungan dengan kedalaman anestesi dan dapat menetap beberapa jam selama anestesi.Posisi
kepala dibawah (Trendelenburg) (>30 o) dapat mengurangi FRC lebih lanjut karena peningkatan volume
darah intratorakal.Sebaliknya, induksi anestesi pada posisi duduk memiliki efek sedikit terhadap
FRC.Kelumpuhan otot tidak tampak merubah FRC secara bermakna ketika pasien sudah dianestesi.

Gambar 22-13. Posisi diafragma pada akhir ekspiras pada pasien sadar ventilasi spontan, pasien
teranestesi ventilasi spontan dan pasien dengan paralisis.
Efek anestesi terhadap kapasitas tertutup lebih bervariasi. Baik FRC dan kapasitas tertutup,
biasanya sama-sama berkurang selama anestesi. Risiko meningkatnya shunt intrapulmoner sama dengan
keadaan sadar; paling besar pada usia tua, pasien gemuk dan pada penyakit paru yang mendasari.
Efek terhadap tahanan jalan nafas
Pengurangan FRC berhubungan dengan anestesi umum diharapkan meningkatkan tahanan jalan nafas.
Peningkatan tahanan biasanya tidak diamati, bagaimana juga dikarenakan sifat bronkodilatasi anestesi
inhalasi. Peningkatan tahanan jalan nafas umumnya disebabkan faktor patologik (lidah tedorong kebelakang;
laringospasm; brongkokonstriksi; atau sekresi, darah, atau tumor pada jalan nafas) atau masalah alat (ET
kecil/konektor, malfungsi katup atau sumbatan sirkuit pernafasan).
13

Efek terhadap kerja pernafasan


Peningkatan kerja pernafasan selama anestesi sering mengurangi pengembangan paru dan dinding dada,
umumnya tidak sebanyak peningkatan tahanan jalan nafas (lihat diatas). Masalah peningkatan kerja
pernafasan biasanya dicegah dengan mengatur ventilasi mekanik.
HUBUNGAN VENTILASI/PERFUSI
1. Ventilasi
Ventilasi biasanya diukur sebagai jumlah seluruh volume gas exhalasi dalam 1 menit (ventilasi menit atau V).
Jika tidal volume tetap,
Ventilasi menit = RR X tidal volume
Untuk rata-rata dewasa saat istirahat, ventilasi menit sekitar 5 L/menit. Tidak semua campuran gas
inspirasi mencapai alveoli, beberapa diantaranya menetap di jalan nafas dan dikeluarkan tanpa bertukar
dengan gas alveolar. Bagian tidal volume (VT) yang tidak ikut serta dalam pertukaran gas alveolar dikenal
sebagai ruang mati (VD). Ventilasi alveolus (VA) adalah volume gas inspirasi sebenarnya yang ikut serta
dalam pertukaran gas dalam 1 menit.
VA = RR X VT-VD
Ruang mati sebenarnya disusun dari gas-gas dalam jalan nafas nonrespirasi (ruang mati anatomis),
juga pada alveoli yang tidak mengalami perfusi (ruang mati alveolar). Jumlah kedua ruang mati disebut
sebagai ruang mati fisiologis. Pada posisi tegak lurus, ruang mati biasanya sekitar 450 mL untuk sebagian
besar pasien (kira-kira 2 mL/kg) dan mendekati seluruh anatomi. Berat pasien dalam pound secara kasar
ekuivalen dengan ruang mati dalam milliliter. Ruang mati dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor (Tabel 22-3).
Tabel 22-3. Faktor yang mempengaruhi ruang mati
Faktor
Posisi
Tegak lurus
Supine
Posisi jalan nafas
Ekstensi leher
Fleksi leher
Usia
Jalan nafas artificial
Ventilasi tekanan positif
Obat antikolinergik
Perfusi pulmoner
Emboli paru
Hipotensi
Penyakit vaskuler pulmoner
Emfisema

Efek

Sejak volume tidal pada rata-rata dewasa kira-kira 450 mL (6 mL/kg BB), VD/VT biasanya 33%.
Rasio ini bisa diturunkan dari persamaan Bohr:
VD
VT

PACO2 - PECO2
PACO2

Dimana PACO2 adalah tekanan CO2 alveolar dan PECO2 adalah tekanan CO2 ekspirasi campuran.
Persamaan ini berguna secara klinis jika tekanan CO2 arterial (PACO2) digunakan untuk memperkirakan
konsentrasi alveolar dan tekanan CO2 pada gas udara ekspirasi rata-rata diukur lebih dari beberapa menit.
Distribusi ventilasi
Tanpa memperhatikan posisi tubuh, ventilasi alveolar terdistribusi tidak sama rata dalam paru-paru. Paruparu kanan menerima ventilasi lebih banyak dibanding kiri (53% melawan 47%), dan area terbawah
(tergantung) kedua paru cenderung terventilasi dengan baik dibanding area teratas karena secara gravitasi
meningkatkan gradien tekanan intrapleura (dan terpenting lagi tekanan transpulmonar). Tekanan pleura
menurun sekitar 1 cm H2O (menjadi kurang negatif) tiap 3 cm penurunan pada ketinggian paru. Perbedaan
ini memindahkan alveoli dari area yang berbeda pada titik yang berbeda pada kurva pengembangan paru
(Gambar 22-14). Karena tekanan transpulmonar lebih tinggi, alveoli pada area paru sebelah atas mendekati
inflasi maksimal dan relatif tidak mengembang, dan mereka mengalami pengembangan lebih sedikit selama
inspirasi. Sebaliknya, alveoli yang lebih kecil pada area tergantung memiliki tekanan transpulmonar yang
lebih rendah, lebih mengembang dan mengalami pengembangan lebih besar selama inspirasi.
14

Gambar 22-14. Efek gravitasi terhadap pengembangan alveolar pada posisi tegak lurus
Tahanan jalan nafas juga berperan serta pada perbedaan regional ventilasi pulmonary. Volume
inspirasi alveolar akhir semata-mata tergantung pada pengembangan hanya jika waktu inspirasi tidak
terbatas. Kenyataannya, waktu inspirasi perlu dibatasi oleh frekuensi nafas dan waktu yang dibutuhkan untuk
ekspirasi; akibatnya waktu inspirasi terlalu pendek akan mencegah alveoli dari pencapaian perubahan
volume yang diharapkan. Lebih lanjut lagi, pengisian alveolar mengikuti fungsi eksponensial yang tergantung
pada pengembangan dan tahanan jalan nafas. Meski dengan waktu inspirasi normal, kelainan pada
pengembangan atau tahanan dapat mencegah pengisian alveolar komplit.
Ketetapan waktu
Inflasi paru dapat digambarkan secara matematik dengan ketetapan waktu, .
= Pengembangan total X Tahanan jalan nafas
Variasi regional pada tahanan atau pengembangan tidak hanya mempengaruhi pengisian alveolar
tapi dapat menyebabkan asinkroni pada pengisian alveolar selama inspirasi; beberapa unit alveolar berlanjut
mengisi karena alveoli lainnya kosong.
Variasi pada ketetapan waktu dalam paru normal dapat ditunjukkan pada individu normal yang
bernafas spontan selama frekuensi nafas tinggi yang abnormal. Pernafasan cepat dangkal membalikkan
ventilasi distribusi normal, mendahului membantu area atas (tidak tergantung) paru melebihi area yang
bawah.
2. Perfusi pulmoner
Kira-kira 5 L/menit darah mengalir melalui paru, hanya sekitar 70-100 mL setiap waktu dalam kapiler paru
menjalani pertukaran gas. Pada membran kapiler alveolar, volume kecil ini membentuk 50-100 m 2 lembar
darah kira-kira ketebalan satu sel darah merah. Lebih lanjut, untuk memastikan pertukaran gas optimal,
setiap kapiler mem-perfusi lebih dari satu alveolus.
Meskipun volume kapiler masih relatif tetap, volume darah paru total dapat bervariasi antara 5001000 mL. Peningkatan baik curah jantung atau volume darah ditoleransi dengan sedikit perubahan tekanan
karena dilatasi pasif pembuluh darah terbuka dan mungkin beberapa pembuluh darah paru yang kolaps.
Peningkatan kecil volume darah paru biasanya terjadi selama sistol kardiak dan dengan tiap inspirasi normal
(spontan). Pergeseran posisi dari supine ke tegak lurus menurunkan volume darah paru (hingga 27%); posisi
Trendelenburg mempunyai efek berlawanan. Perubahan dalam kapasitas sistemik juga mempengaruhi
volume darah paru; konstriksi vena sistemik menggeser darah dari sirkulasi sistemik ke sirkulasi pulmonar,
sementara vasodilatasi menyebabkan redistribusi pulmonar ke sistemik. Dengan cara ini, paru bertindak
sebagai reservoir untuk sirkulasi sistemik.
Faktor lokal lebih penting dibanding sistem otonom dalam mempengaruhi tonus vaskuler paru.
Hipoksia adalah stimulus kuat untuk vasokonstriksi paru (berlawanan dengan efek sistemik). Baik arteri
pulmonary (vena campuran) dan hipoksi alveolar menyebabkan vasokonstriksi, tetapi stimulus yang terakhir
lebih kuat. Respon ini tampaknya disebabkan efek langsung hipoksia pada pembuluh darah paru atau
meningkatnya produksi leukotrien yang relative menyebabkan vasodilatasi. Penghambatan produksi N2O
juga turut memegang peranan. Vasokonstriksi pulmoner hipoksik adalah mekanisme fisiologi yang penting
dalam mengurangi shunt intrapulmoner dan mencegah hipoksemia (lihat di bawah). Hiperoksia memiliki
sedikit efek terhadap sirkulasi pulmoner pada individu normal. Hiperkapnik dan asidosis memiliki efek
konstriktor sedangkan hipokapnia menyebabkan vasodilatasi paru.

15

Distribusi perfusi waktu


Aliran darah paru tidak sama. Tanpa memperhatikan posisi tubuh, bagian terbawah paru (dependen)
menerima aliran darah lebih banyak dibandingan bagian teratas. Pola ini merupakan hasil gradient
gravitasional 1 cm H2O tiap cm ketinggian paru. Biasanya tekanan rendah pada sirkulasi pulmoner (lihat bab
19) menyebabkan gravitasi mempunyai pengaruh yang bermakna pada aliran darah.
Untuk penyederhanaannya, tiap paru dapat dibagi menjadi 3 zona berdasarkan pada tekanan
alveolar (PA), tekanan arterial (Pa) dan tekanan vena (Pv) (gambar 22-15). Zona I adalah zona paling atas
dan menunjukkan ruang mati alveolar karena tekanan alveolar terus-menerus menghambat kapiler paru.
Pada zona pertengahan (zona II) aliran kapiler pulmoner secara intermiten berubah selama pernafasan
berdasarkan gradient tekanan arterial alveolar. Aliran kapiler paru berlanjut ke zona III dan sebanding
dengan gradient tekanan arteri-vena.

Gambar 22-15. Tiga model zona pada paru. A: posisi tegak lurus, B: posisi supine
Rasio ventilasi/perfusi
Ventilasi alveolar (VA) biasanya sekitar 4 L/menit dan perfusi kapiler paru (Q) adalah 5 L/menit, keseluruhan
rasio V/Q sekitar 0,8. V/Q untuk unit paru individu (tiap alveolus dan kapilernya) dapat berkisar antara 0
(tanpa ventilasi) hingga tak terbatas (tidak ada perfusi), yang pertama disebut sebagai shunt intrapulmoner
sedangkan yang terakhir merupakan ruang mati alveolar. V/Q biasanya berkisar antara 0,3 sampai 3,0;
dengan sebagian besar area paru tertutup menjadi 1,0 (gambar 22-16A). Karena perfusi meningkat lebih
besar disbanding ventilasi, area non dependen (apical) cenderung memiliki rasio V/Q lebih tinggi disbanding
area dependen (basal) (gambar 22-16B).

Gambar 22-16. Distribusi rasio V/Q untuk keseluruhan paru (A) dan berdasarkan tinggi (B) pada
posisi tegak lurus
. Catatan bahwa aliran darah meningkat lebih cepat dibandingkan ventilasi
pada area dependen.
Pentingnya rasio V/Q berhubungan dengan efisiensi unit paru mengalami resaturasi darah vena
dengan O2 dan eliminasi CO2. Darah vena paru dari area dengan rasio V/Q rendah memiliki tekanan O 2
rendah dan tekanan CO2 tinggi sama dengan darah vena campuran sistemik. Darah dari unit ini cenderung
menekan tekanan oksigen arterial dan meningkatkan tekanan CO 2 arterial. Efeknya terhadap tekanan
oksigen arteri lebih menonjol dibandingkan pada tekanan CO 2; kenyataannya tekanan CO2 arteri sering
16

berkurang akibat refleks yang menyebabkan hipoksemia meningkat dalam ventilasi alveolar. Meningkatnya
kompensasi uptake oksigen tidak dapat mempertahankan area dimana V/Q normal karena darah akhir
kapiler paru biasanya sudah ter-saturasi maksimal dengan oksigen (lihat di bawah).
3. Shunts
Shunting diartikan sebgai proses terjadinya desaturasi, darah vena campur dari jantung kanan kembali ke
jantung kiri tanpa mengalami resaturasi dengan O 2 di paru (gambar 22-17). Efek keseluruhan shunting
adalah menurunkan kandungan oksigen arterial (dilusi); tipe shunting ini disebut right-to-left. Shunt left-toright (tanpa kongesti paru) tidak menghasilkan hipoksemia. Shunt intrapulmoner sering diklasifikasikan
sebagai absolute atau relative. Shunt absolute menunjukkan shunt anatomic dan unit paru dengan V/Q nol.
Shunt relative adalah area di paru dengan rasio V/Q rendah. Secara klinis, hipoksemia akibat shunt relative
biasanya diperbaiki dengan meningkatkan kandungan oksigen inspirasi.

Gambar 22-17. Tiga model kompatemen pertukaran gas dalam paru menunjukkan ventilasi ruang
mati, pertukaran alveolar-kapiler normal dan shunting.
Campuran vena
Istilah ini lebih menunjukkan konsep dibandingkan keseluruhan fisiologi yang sesungguhnya. Campuran
vena adalah jumlah darah vena campuran yang akan bercampur dengan darah akhir kapiler paru
menghasilkan perbedaan tekanan oksigen antara darah arterial dan darah akhir kapiler paru. Darah akhir
kapiler paru memilki konsentrasi sama dengan gas alveolar. Campuran vena (Qs) biasanya digambarkan
sebagai fraksi curah jantung total (QT). Persamaan untuk Qs/QT berasal dari hukum perubahan massa
oksigen melawan pulmonary bed :
QT x CaCO2 = (Qs x CvO2) + (Qc x CcO2)
Dimana Qc = aliran darah melalui kapiler paru yang mengalami ventilasi
QT = Qc + QS
CcO2 = kandungan oksigen ideal pada darah akhir kapiler pulmoner
CaO2 = kandungan oksigen arteri
CvO2 = kandungan vena campuran
Persamaan yang sederhana adalah :
CcO2 CaO2
Qs/QT =
CcO2-CvO2
Formula untuk penghitungan kandungan oksigen darah diberikan di bawah. Qs/QT dapat dihitung
secara klinis melalui pengukuran gas darah arterial dan vena campuran ; yang pertama membutuhkan
kateter arteri pulmoner. Persamaan gas alveolar digunakan untuk memperoleh tekanan oksigen kapiler akhir
paru. Darah kapiler paru biasanya tersaturasi 100% untuk FiO 2 0,21. Perhitungan campuran vena
menduga bahwa semua shunt intrapulmoner disebabkan shunt absolute (V/Q = 0). Qs/QT normal terutama
disebabkan hubungan antara vena bronkhial dalam dan vena pulmoner, sirkulasi jantung dan area rendah
V/Q di paru (gambar 22-18). Campuran vena pada individu normal (shunt fisiologis) kuran dari 5 %.

17

Gambar 22-18. Komponen percampuran vena normal


4. Efek anestesi terhadap pertukaran gas
Kelainan pada pertukaran gas selama anestesi sering terjadi. Hal ini termasuk ruang mati, hipoventilasi dan
meningkatnya shunt intrapulmoner dimana terdapat peningkatan rasio V/Q. Peningkatan ruang mati alveolar
paling sering terlihat selama ventilasi kontrol tetapi jarang terjadi selama ventilasi spontan. Anestesi umum
biasanya meningkatkan percampuran vena hingga 5-10%, kemungkinan akibat atelektasis dan kolaps jalan
nafas pada area dependen paru. Agen inhalasi termasuk N 2O juga dapat menghambat vosokonstriksi
pulmoner hipoksik pada dosis tinggi; untuk agen volatile, ED 50 sekitar 2 MAC. Pasien tua tampaknya memiliki
peningkatan besar pada Qs/QT. Tekanan oksigen inspirasi 30-40% biasanya mencegah hipoksemia diduga
karena anestesi meningkatkan shunt relative. PEEP efektif dalam mengurangi percampuran vena dan
mencegah hipoksemia selama anestesi umum selama curah jantung dipertahankan (lihat bab 50).
Pemberian konsentrasi inspirasi oksigen tinggi yang lama (>50%) berhubungan dengan mningkatnya shunt
absolute. Pada contoh ini, kolaps alveoli komplit dengan rasio V/Q rendah diduga terjadi sekali selama
diabsorpsi ( atelektasis absorbsi).
TEKANAN GAS ALVEOLAR, ARTERIAL DAN VENA
Ketika menghubungan percampuran gas, setiap gas mempunyai peranan terpisah terhadap tekanan gas
total dan tekanan parsialnya sebanding lurus dengn konsentrasinya. Udara memiliki konsentrasi oksigen kirakira 21%; selanjutnya jika tekanan barometric 760 mmHg, tekanan parsial oksigen (PO 2) dalam udara
biasanya 159,6 mmHg :
760 mmHg x 0,21 = 159,6 mmHg
Dalam bentuk umumnya, persamaannya dapat ditulis sebagai berikut :
PiO2 = Pb x FiO2
Dimana Pb = tekanan barometric dan FiO2 = fraksi oksigen inspirasi. Dua hokum dapat juga digunakan :
Tekanan parsial dalam millimeter air raksa kira-kira prosentase x 7
Tekana parsial dalam kilopascal kira-kira sama dengan prosentase
1. Oksigen
Tekanan oksigen alveolar
Setiap bernafas, campuran gas inspirasi dilembabkan pada suhu 37 0 C pada jalan nafas atas. Tekanan
inspirasi oksigen (PiO2) berkurang dengan menambahkan penguapan air. Tekanan uap air tergantung hanya
pada suhu menjadi 47 mmHg pada suhu 37 0 C. dalam udara lembab, tekanan parsial normal oksigen adalah
149,7 mmHg :
(760-47) x 0,21 = 149,7 mmHg
Persamaan ummnya adalah :
PiO2 = (Pb-PH2O) x FiO2
18

Dimana PH2O = tekanan uap air pada suhu tubuh.


Pada alveoli, gas inspirasi bercampur dengan gas sisa alveolar dari pernafasan sebelumnya,
oksigen diambil dan CO 2 ditambahkan. Tekanan oksigen alveolar akhir (PAO 2) tergantung pada semua factor
ini dan dapat diperkirakan dengan persamaan berikut :
PaCO2
RQ
Dimana PaCO2 = tekanan CO2 arterial dan Rq = hasil bagi respirasi. Rq biasanya tidak dihitung. Catatan
bahwa Peningkatan PaCO 2 dalam jumlah besar (>75 mmHg) menyebabkan hipoksia (PaO 2 < 60 mmHg)
pada udara ruangan, tetapi tidak pada konsentrasi oksigen inspirasi tinggi.
Metode sederhana yang sudah ada memperkirakan PAO 2 dalam millimeter air raksa adalah
mengalikan prosentase konsentrasi oksigen inspirasi dengan 6, sehingga pada 4%, PaO 2 adalah 6 x 40 atau
240 mmHg.
PAO2 =

PiO2 -

Tekanan oksigen akhir kapiler pulmoner


Untuk tujuan praktis, tekanan oksigen akhir kapiler pulmoner (PcO 2) dianggap sama dengan PAO 2; gradient
PAO2-PcO2 biasanya dalam menit. PcO 2 tergantung pada tingkat difusi oksigen melalui membrane kapiler
alveolar seperti pada volume darah kapiler paru dan waktu transit. Area permukaan kapiler luas pada alveoli
dan ketebalan membrane alveolar-kapiler 0,4-0,5 m semakin mempermudah difusi oksigen. Kuatnya ikatan
oksigen terhadap hemoglobin pada saturasi di atas 80% juga memudahkan difusi oksigen (lihat di bawah).
Waktu transit kapiler dapat diperkirakan dengan membagi volume darah kapiler paru dengan curah jantung
(aliran darah pulmoner); sehingga waktu transit kapiler normal adalah 70 mL : 5000 ml/menit (0,8 detik). PcO 2
maksimal biasanya hanya dicapai setelah 0,3 detik, menghasilkan batas aman yang luas.
Ikatan oksigen pada hemoglobin tampaknya menjadi faktor pembatas utama dalam transfer oksigen
dari gas alveolar ke darah. Selanjutnya kapasitas difusi pulmoner menggambarkan tidak hanya kapasitas
dan permeabilitas membrane alveolar-kapiler tetapi juga aliran darah pulmoner. Uptake oksigen biasanya
dibatasi dengan aliran darah pulmoner bukan difusi oksigen melalui membrane alveolar-kapiler; yang terakhir
menjadi bermakna selama latihan pada individu normal pada tempat sangat tinggi dan pasien dengan
destruksi ekstensif membrane alveolar-kapiler.
Transfer oksigen melalui membrane alveolar-kapiler digambarkan sebagai kapasitas difusi oksigen
(DLO2):
Uptake oksigen
PAO2-PcO2
PcO2 tidak dapat diukur secara akurat, pengakuran kapasitas difusi karbonmonoksida digunakan untuk
menilai transfer gas melalui membrane alveolar-kapiler. Karena karbonmonoksida memiliki afinitas yang
sangat tinggi terhadap hemoglobin, terdapat sedikit CO pada darah kapiler paru sehingga pemberian pada
konsentrasi rendah PcCO dapat dikatakan nol. Selanjutnya,
DLO2 =

Uptake karbonmonoksida
PACO
Berkurangnya DLCO menandakan kesulitan dalam transfer gas melalui membrane alveolar-kapiler. Kesulitan
ini disebabkan karena rasio V/Q abnormal, destruksi ekstensif membrane alveolar gas-kapiler dan waktu
transit kapiler yang sangat singkat. Kelainan ini dapat ditekan dengan meningkatkan konsumsi oksigen dan
curah jantung, seperti yang terjadi selama latihan.
DLCO =

Tekanan oksigen arterial


PaO2 tidak dapat dihitung seperti PAO 2 tetapi harus diukur pada suhu ruangan. Gradien tekanan parsial
oksigen alveolar (gradient A-a) menuju arteri biasanya kurang dari 15 mmHg, tetapi meningkat secara cepat
sesuai usia hingga 20-30 mmHg. Tekanan oksigen arterial dapat diperkirakan dengan formula berikut (dalam
mmHg):
Usia
3
PaO2 berkisar antara 60-100 mmHg (8-13 kPa). Penurunan kemungkinan merupakan hasil dari peningkatan
progresif kapasitas tertutup relative terhadap FRC (lihat di atas). Tabel 22-4 berisi mekanisme hipoksemia
(PaO2 < 60 mmHg)
PaO2 =

102 -

Tabel 22-4. Mekanisme hipoksemia


Rendahnya tekanan oksigen alveolar

19

Rendahnya tekanan oksigen inspirasi


Rendahnya konsentrasi inspirasi fraksional
Tempat tinggi
Hipoventilasi alveolar
Efek gas ketiga (hipoksi difusi)
Meningkatnya konsumsi oksigen
Meningkatnya gradient arterial-alveolar
Shunting right-to-left
Meningkatnya area dengan rasio V/Q rendah
Rendahnya tekanan oksigen vena campuran
Menurunnya curah jantung
Meningkatnya konsumsi oksigen
Menurunnya konsentrasi hemoglobin

Mekanisme yang paling sering terjadi pada hipoksemia adalah meningkatnya gradient alveolararterial. Gradien A-a untuk oksigen tergantung pada jumlah shunt right to left, jumlah V/Q dan tekanan
oksigen vena campuran. Yang terakhir tergantung pada curah jantung, konsumsi oksigen dan konsentrasi
hemoglobin.
Gradien A-a untuk oksigen berbanding lurus dengan shunt dan berbanding terbalik dengan tekanan
oksigen vena campuran. Pengaruh setiap variable terhadap PAO 2 dapat ditentukan hanya jika variable lain
tetap. Gambar 22-19 menunjukkan pengaruh perbedaan derajat shunting terhadap PaO 2. Harus dicatat
bahwa semakin besar shunt, semakin sedikit kemungkinan peningkatan FiO 2 mencegah hipoksemia. Lebih
lanjut, batas isoshunt tampaknya paling berguna pada konsentrasi oksigen antara 35-100%. Konsentrasi
oksigen rendah membutuhkan modifikasi batas dalam memperhitungkan efek V/Q.

Gambar 22-19. Kurva isoshunt menunjukkan efek sejumlah shunt terhadap PaO2. Catatan bahwa
ada sedikit keuntungan dalam peningkatan konsentrasi oksigen inspirasi pada pasien dengan shunt
sangat besar.
Efek curah jantung pada gradien A-a (gambar 22-20) disebabkan tidak hanya efek sekundernya
pada tekanan oksigen vena campuran (lihat bab 19) tetapi juga hubungan langsung antara curah jantung dan
shunting intrapulmoner. Seperti terlihat, curah jantung rendah cenderung menekan efek shunt terhadap
PaO2. Pengurangan percampuran vena biasanya terlihat dengan rendahnya curah jantung selanjutnya
menyebabkan vasokonstriksi pulmoner dari tekanan oksigen vena campuran yang rendah. Di sisi lain,
tingginya curah jantung dapat meningkatkan percampuran vena dengan menaikkan tekanan oksigen vena
campuran; yang terakhir vasokonstriksi pulmoner hipoksik.

Gambar 22-20. Efek curah jantung terhadap perbedaan PO 2 alveolar-arterial dengan derajat
shunting yang berbeda
20

Konsumsi oksigen dan konsentrasi hemoglobin juga mempengaruhi PaO 2 melalui efek sekundernya
pada tekanan oksigen vena campuran. Tingginya tingkat konsumsi oksigen dan rendahnya konsentrasi
hemoglobin dapat meningkatkan gradien A-a dan menekan PaO 2.
Tekanan oksigen vena campuran
Tekanan oksigen vena campuran normal (PvO 2) sekitar 40 mmHg dan menunjukkan keseimbangan
menyeluruh antara konsumsi oksigen dan penyampaian oksigen (table 22-5;lihat di bawah). Contoh darah
vena campuran yang sesungguhnya mengandung drainase vena dari vena kava superior, vena kava inferior
dan jantung; dan dapat diperoleh dari kateter arteri pulmoner (lihat bab 6).

Tabel 22-5. Perubahan dalam tekanan oksigen vena (dan saturasi)


Penurunan PvO2
Meningkatnya konsumsi O2
Demam
Menggigil
Olahraga
Hipertermi maligna
Badai tiroid
Menurunnya delivery oksigen
Hipoksia
Menurunnya curah jantung
Menurunnya konsentrasi hemoglobin
Hemoglobin abnormal
Peningkatan PvO2
Shunting left-to-right
Tingginya curah jantung
Gangguan uptake jaringan
Keracunan sianida
Menurunnya konsumsi oksigen
Hipotermi
Kombinasi mekanisme
Sepsis
Kesalahan sampling
Kateter arteri pulmoner

2. Karbondioksida
Karbondioksida adalah hasil metabolisme anaerob di mitokondria. Gradien tekanan CO 2 semakin lama
semakin kecil dari mitokondria menuju sitoplasma, cairan ekstraseluler, darah vena dan alveoli dimana CO 2
akhirnya dieliminasi.
Tekanan karbondioksida vena campuran
Tekanan CO2 vena campuran normal sekitar 46 mmHg dan merupakan hasil akhir campuran darah dari
berbagai aktivitas metabolic jaringan. Tekanan CO 2 vena lebih rendah di jaringan dengan aktivitas metabolik
rendah (kulit) tetapi lebih tinggi dalam darah dengan aktivitas relative tinggi (jantung).
Tekanan karbondioksida alveolar
Tekanan CO2 alveolar (PACO2) umumnya menggambarkan keseimbangan antara produksi CO 2 total (VCO2)
dan ventilasi alveolar (eliminasi):
VCO2
PaCO2 =
VA
Dimana VA adalah ventilasi alveolar (gambar 22-21). Pada kenyataannya, PACO 2 berhubungan dengan
eliminasi CO2 daripada produksi. Meskipun keduanya sama pada keadaan tetap, ketidakseimbangan terjadi
selama periode hipoventilasi akut atau hipoperfusi dan CO 2 yang berlebihan meningkatkan kandungan tubuh
total. Secara klinis, PACO2 lebih tergantung pada ventilasi alveolar disbanding VCO 2 karena keluaran CO2
tidak cukup besar dalam keadaan itu. Lebih lanjut lagi, kapasitas tubuh untuk menyimpan CO 2 menyangga
perubahan akut dalam VCO2.
21

Gambar 22-21. Efek ventilasi alveolar pada PCO2 alveolar saat produksi CO2 pada 2 tingkat
Tekanan karbondioksida akhir kapiler pulmoner
Tekanan CO2 akhir kapiler pulmoner (PcCO2) sama dengan PACO2 untuk beberapa alas an seperti yang
dibicarakan dalam bahasan tentang oksigen. Tingkat difusi CO2 melalui membrane alveolar-kapiler 20 kali
lebih besar disbanding oksigen.
Tekanan karbondioksida arterial
Tekanan CO2 arterial (PaCO2) yang sudah diukur sama dengan PcCO 2 dan memerlukan PACO2. PaCO2
normal adalah 38 + 4 mmHg (5,1 + 0,5 kPa); secara praktis 40 mmHg biasanya dianggap normal.
Meskipun rasio V/Q rendah cenderung meningkatkan PaCO 2 sedangkan rasio V/Q tinggi cenderung
menurunkan PaCO2 (berlawanan dengan oksigen [lihat di bawah]), gradient bermakna arterial ke alveolar
untuk CO2 bertambah hanya pada kelainan V/Q (>30% campuran vena); meski gradient relative kecil (2-3
mmHg). Lebih lanjut lagi peningkatan kecil pada gradient meningkatkan keluaran CO 2 melalui alveoli dengan
V/Q relative normal. Gangguan moderat hingga berat gagal merubah CO 2 arterial karena refleks meningkat
pada ventilasi dari hipoksemia.
Tekanan karbondioksida akhir tidal
Karena gas akhir tidak terutama gas alveolar dan PACO 2 sama dengan PaCO2, tekanan CO2 akhir tidal
(PETCO2) secara klinis digunakan sebgai perkiraan PaCO 2 (lihat bab 6). Gradien PACO 2-PETCO2 biasanya
kurang dari 5 mmHg dan menggambarkan dilusi gas alveolar dengan gas bebas CO 2 dari alveoli non perfusi
(ruang mati alveolar).
TRANSPORTASI GAS PERNAFASAN DALAM DARAH
1. Oksigen
Oksigen dibawa darah dalam 2 bentuk: terlarut dalam plasma dan terikat dengan hemoglobin.
Oksigen terlarut
Jumlah oksigen yang terlarut dalam darah berasal dari hukum Henry yang menyatakan bahwa konsentrasi
setiap gas dalam larutan sebanding dengan tekanan parsialnya. Gambaran matematikanya sebagai berikut :
Konsentrasi gas = x tekanan parsial
Dimana = koefisien kelarutan gas dalam larutan biasa pada suhu biasa. Koefisien kelarutan untuk oksigen
pada suhu tubuh normal adalah 0,003 ml/dl/mmHg. Meski dengan PaO2 100 mmHg, jumlah maksimal
oksigen terlarut dalam darah sangat kecil (0,3 ml/dl) dibandingkan yang terikat hemoglobin.
Hemoglobin
Hemoglobin adalah molekul besar kompleks yang terdiri dari 4 heme dan 4 protein subunit. Heme adalah
komponen porfirin besi yang penting sebagai tempat ikatan oksigen; hanya besi bentuk divalent (+2) yang
dapat mengikat oksigen. Molekul hemoglobin normal (HbA1) terdiri dari 2 rantai dan 2 rantai (subunit);
keempat subunit berikatan bersama dengan ikatan lemah diantara residu asam amino. Setiap gram
hemoglobin membawa 1,39 ml oksigen.

22

Kurva disosiasi hemoglobin


Tiap molekul hemoglobin berikatan dengan 4 molekul oksigen. Interaksi kompleks antara subunit hemoglobin
menghasilkan ikatan nonlinier dengan oksigen (bentuk Semangka memanjang) (gambar 22-22). Saturasi
hemoglobin adalah jumlah ikatan oksigen yang dinyatakan sebagai prosentase kapasitas ikatan oksigen
total. Empat reaksi kimia terpisah terlibat dalam setiap ikatan 4 molekul oksigen. Perubahan dalam
penyesuaian molekul disebabkan oleh ikatan pertama ketiga molekul mempercepat ikatan molekul oksigen
keempat. Reaksi terakhir berperan untuk mempercepat ikatan antara saturasi 25-100%. Sekitar saturasi
90%, penurunan dengan reseptor oksigen yang tersedia meluruskan kurva hingga saturasi penuh tercapai.

Gambar 22-22. Kurva disosiasi hemoglobin-oksigen dewasa normal.


Faktor yang mempengaruhi kurva disosiasi hemoglobin
Faktor penting yang mengubah ikatan oksigen termasuk konsentrasi ion hydrogen; tekanan CO2; suhu dan
konsentrasi 2,3-difosfogliserat (2,3-DPG). Efeknya terhadap interaksi oksigen hemoglobin dapat
digambarkan dengan P50, tekanan oksigen dimana hemoglobin 50% mengalami saturasi (gambar 22-23).
Setiap factor menggeser kurva disosiasi baik ke kanan (meningkatkan P 50) atau ke kiri (menurunkan P 50).
Pergeseran ke arah kanan menurunkan afinitas oksigen, memisahkan oksigen dari hemoglobin dan
membuat lebih banyak oksigen tersedia untuk jaringan. Pergeseran ke arah kiri meningkatkan afinitas
hemoglobin terhadap oksigen, mengurangi ketersediaannya untuk jaringan. P 50 normal pada dewasa 26,6
mmHg (3:4 kPa)

Gambar 22-23. Efek perubahan status asam basa, suhu tubuh dan konsentrasi 2,3-DPG pada kurva
disosiasi hemoglobin-oksigen
Peningkatan konsentrasi ion hydrogen dalam darah mengurangi ikatan oksigen terhadap hemoglobin
(efek Bohr). Karena bentuk kurva disosiasi Hb, efek lebih penting dalam darah vena disbanding darah arteri
(gambar 22-23); keuntungannya adalah memudahkan pelepasan oksigen ke jaringan dengan sedikit
gangguan pada uptake oksigen (kecuali hipoksia berat terjadi)
Pengaruh tekanan CO2 pada afinitas hemoglobin terhadap oksigen penting secara fisiologi dan
berhubungan dengan kenaikan konsentrasi ion hydrogen ketika tekanan CO2 meningkat. Kandungan CO2
tinggi pada darah kapiler dengan menurunkan afinitas hemoglobin terhadap oksigen, memudahkan
23

pelepasan oksigen ke jaringan; sebaliknya kandungan CO2 rendah pada kapiler pulmoner meningkatkan
afinitas hemoglobin terhadap oksigen, memudahkan uptake oksigen dari alveoli.
2,3-DPG merupakan hasil glikolisis (pintas Rapoport-Luebering) dan menumpuk selama
metabolisme anaerob. Meskipun efek pada hemoglobin dibawah kondisi ini secara teori menguntungkan,
kepentingan fisiologis biasanya tampak minor. Kadar 2,3-DPG bagaimanapun juga berperan penting pada
pasien dengan anemia kronik dan bermakna mempengaruhi kapasitas pembawa oksigen transfuse darah
(lihat bab 29).
Ligan abnormal dan bentuk abnormal hemoglobin
Karbonmonoksida, sianida, asam nitrat dan ammonia dapat bergabung dengan hemoglobin pada tempat
ikatan oksigen. Mereka dapat menggantikan oksigen dan menggeser kurva saturasi ke kiri.
Karbonmonoksida sangat poten, memiliki afinitas 200-300 kali terhadap hemoglobin dibanding oksigen
bergabung membentuk karboksihemoglobin. Karbonmonoksida mengurangi kapasitas hemoglobin sebagai
pembawa oksigen dan mengganggu pelepasan oksigen ke jaringan.
Methemoglobin dihasilkan ketika besi pada heme teroksidasi menjadi bentuk trivalent. Nitrat, nitrit,
sulfonamide dan obat lain jarang menghasilkan methemoglobinemia yang bermakna. Methemoglobin tidak
bisa bergabung dengan oksigen kecuali dibah kembali oleh enzim methemoglobin reduktase; methemoglobin
juga menggeser kurva saturasi hemoglobin normal ke kiri. Methemoglobin seperti racun karbonmonoksida,
pada akhirnya mengurangi kapasitas pembawa oksigen sehingga mengganggu pelepasan oksigen.
Pengurangan methemoglobin menjadi hemoglobin normal dipermudah oleh agen metilen biru atau asam
askorbat.
Hemoglobin abnormal dapat juga dihasilkan dari variasi komposisi protein subunit. Setiap varian
memiliki karakteristik saturasi oksigen sendiri termasuk hemoglobin fetal, HbA 2 dan hemoglobin sickle (lihat
bab 29).
Kandungan oksigen
Kandungan total oksigen dalam darah adalah jumlah oksigen dalam larutan ditampah yang terikat
hemoglobin. Pada kenyataannya, oksigen yang berikatan dengan hemoglobin tidak pernah mencapai
maksimum tetapi mendekati 1,31 ml O2/dl darah/mmHg. Kandungan oksigen total digambarkan dengan
persamaan sebagai berikut :
Kandungan oksigen = (0,003 ml O2/dl darah/mmHg x PO2) + (SO2xHbx1,31 ml/dl darah)
Dimana Hb adalah konsentrasi hemoglobin dalam g/dl darah dan SO 2 adalah saturasi hemoglobin pada PO 2
biasa.
Menggunakan formula di atas dan hemoglobin 15 gr/dl, kandungan oksigen normal baik dalam darah
arteri dan darah vena serta perbedaan arterivena dapat dihitung :
CaO2 = (0,003x100) + (0,975x15x1,31)
= 19,5 ml/dl darah
CvO2 = (0,003x40) + (0,75x15x1,31)
= 14,8 ml/dl darah
(CaO2-CvO2) = 4,7 ml/dl darah
Transport oksigen
Transport oksigen tergantung pada fungsi pernafasan dan sirkulasi (lihat bab 19). Pengangkutan oksigen
total (DO2) ke jaringan merupakan hasil kandungan oksigen arterial dan curah jantung :
DO2 = CaO2 x QT
Catatan bahwa kandungan oksigen arteri tergantung pada PaO 2 sama seperti konsentrasi hemoglobin.
Sehingga, kekurangan pengangkutan oksigen dapat disebabkan rendahnya PaO 2, rendahnya knsentrasi
hemoglobin atau curah jantung tidak adekuat. Pengangkutan oksigen normal dapat dihitung sebagai berikut :
Pengangkutan oksigen = 20 ml O2/dl darah x 50 dl/mnt = 1000 ml O2/mnt
Persamaan Fick menggambarkan hubungan antara konsumsi oksigen, kandungan oksigen dan
curah jantung :
Konsumsi oksigen = VO2 = QT x (CaO2-CvO2)
Penyusunan kembali persamaan :
VO2
CaO2 =
+ CvO2
QT
Oleh karena itu, perbedaan arteri vena adalah pengukuran penganggkutan oksigen adekuat secara
keseluruhan yang baik.
Dengan konsumsi oksigen normal diperkirakan 250 ml/mnt dan curah jantung 5000 ml/mnt,
perbedaan arterivena normal dengan persamaan ini membutuhkan sekitar 5 ml O 2/dl darah. Catatan bahwa
fraksi ekstraksi normal oksigen (CaO2-CvO2)/CaO2 adalah 5 ml : 20 ml atau 25%; kemudian tubuh biasanya
24

mengkonsumsi hanya 25% oksigen yang dibawa hemoglobin. Ketika


permintaan oksigen melebihi
suplai, fraksi ekstraksi melebihi 25%, sebaliknya jika suplai oksigen melebihi permintaan, fraksi ekstraksi
jatuh dibawah 25%.
Ketika DO2 sedikit berkurang, VO2 biasanya tetap normal karena peningkatan ekstraksi oksigen
(penurunan saturasi oksigen vena); VO 2 mempertahankan pengangkutan bebas. Dengan pengurangan DO 2
selanjutnya, titik kritis dicapai melebihi VO 2 sehingga berbanding lurus dengan DO 2. Pernyataan oksigen
tergantung suplai secara khusus berhubungan dengan asidosis laktat progresif yang disebabkan hipoksia
seluler.
Simpanan oksigen
Konsep simpanan oksigen penting dalam anestesi. Ketika aliran normal oksigen terganggu dengan apneu,
simpanan oksigen yang ada digunakan untuk metabolisme seluler; jika simpanan berkurang, hipoksia dan
kematian sel pada akhirnya akan mengikuti. Secara teori, simpanan oksigen normal pada dewasa sekitar
1500 ml. Jumlah ini termasuk sisa oksigen pada paru-paru yang berikatan dengan hemoglobin (dan
mioglobin) dan yang larut dalam cairan tubuh. Hanya saja, afinitas tinggi hemoglobin terhadap oksigen
(afinitas mioglobin lebih tinggi) dan jumlah oksigen yang terbatas dalam larutan membatasi ketersediaan
simpanan ini. Kandungan oksigen dalam paru-paru saat FRC (volume paru awal selama apneu), pada
akhirnya menjadi sumber oksigen yang paling penting. Dari volume tersebut, kemungkinan hanya 80% yang
terpakai.
Apneu pada pasien, sebelumnya bernafas dengan udara kamar meninggalkan kira-kira 480 ml
oksigen dalam paru. (Jika FiO 2 = 0,21 dan FRC = 2300 ml, kandungan oksigen = FiO 2 x FRC). Aktivitas
metabolic jaringan secara cepat mengurangi cadangan ini ( agaknya eqiuvalen dengan VO 2); hipoksemia
berat biasanya terjadi dalam 90 detik. Onset hipoksemia dapat diperlambat dengan meningkatkan FiO 2
sebelum terjadi apneu. Ventilasi dengan oksigen 100%, FRC mengandung sekitar 2300 ml oksigen;
hipoksemia yang terlambat ini mengikuti terjadinya apneu dalam 4-5 menit. Konsep ini adalah dasar untuk
preoksigenasi mendahului induksi anestesi.
2. Karbondioksida
Karbondioksida diangkut dalam darah dalam 3 bentuk : larut dalam plasma, sebagai bikarbonat dan dengan
protein dalam bentuk komponen karbamino (lihat table 22-6). Jumlah ketiga bentuk ini adalah kandungan
CO2 total dalam darah (biasanya dilaporkan dengan pengukuran elektrolit).
Karbondioksida terlarut
Karbondioksida lebih mudah larut dalam darah disbanding oksigen, dengan koefisien kelarutan 0,031
mmol/L/mmHg (0,067 ml/dl/mmHg) pada suhu 37 0 C.
Bikarbonat
Dalam larutan air, CO2 perlahan-lahan berikatan dengan air membentuk asam karbonat dan bikarbonat,
berdasarkan reaksi sebagai berikut :
H2O + CO2 H2CO3 H+ + HCO3Dalam plasma, meskipun kurang dari 1% CO 2 terlarut yang mengalami reaksi ini, adanya enzim karbonik
anhidrase dalam eritrosit dan endotel meningkatkan reaksi ini. Akibatnya, bikarbonat menggambarkan fraksi
terbesar CO2 dalam darah (table 22-6). Pemberian acetazolamid, penghambat karbonik anhidrase dapat
mengganggu transport CO2 antara jaringan dan alveoli.
Tabel 22-6. Pembagian transport karbondioksida dalam 1 L darah
Bentuk
Vena
CO2 terlarut
Bikarbonat
Karbamino CO2
Total CO2
Arteri
CO2 terlarut
Bikarbonat
Karbamino CO2
Total CO2

Plasma

Eritrosit

Kombinasi

Prosentase (%)

0,76
14,41
Diabaikan
15,17

0,51
5,92
1,70
8,13

1,27
20,33
1,70
23,30

5,5
87,2
7,3

0,66
13,42
Diabaikan
14,08

0,44
5,88
1,10
7,42

1,10
19,30
1,10
21,50

5,1
89,9
5,1

Dalam darah vena, CO 2 memasuki sel darah merah dan diubah menjadi bikarbonat yang berdifusi
keluar sel darah merah memasuki plasma; ion klorida bergerak dari plasma menuju sel darah merah untuk
mempertahankan keseimbangan elektrolit. Dalam kapiler paru, terjadi sebaliknya; ion klorida keluar dari sel
25

darah merah karena ion bikarbonat masuk kembali ke dalam untuk berubah menjadi CO 2 yang berdifusi
keluar menuju alveoli. Rangkaian ini ditujukan untuk ion klorida atau pergeseran Hamburger.
Komponen karbamino
Karbondioksida dapat bereaksi dengan gugus amino pada protein seperti terlihat dalam persamaan berikut :
R-NH2 + CO2 RNH CO2- + H+
Pada pH fisiologis, hanya sejumlah kecil CO 2 dibawa dalam bentuk ini, terutama sebagai karbaminohemoglobin. Hemoglobin deoksigenasi (deoksihemoglobin) memiliki afinitas yang lebih besar (3,5 kali)
terhadap CO2 dibanding oksihemoglobin. Akibatnya darah vena membawa lebih banyak CO 2 dibanding darah
arteri (efek Haldane; lihat table 22-6). PCO 2 biasanya memiliki efek sedikit terhadap fraksi CO 2 yang dibawa
sebagai karbamino-hemoglobin.
Efek buffer hemoglobin terhadap transport karbondioksida
Aksi buffer hemoglobin (lihat bab 30) juga memperhitungkan sebagian efek Haldane. Hemoglobin dapat
berfungsi sebagai buffer pada pH fisiologis karena kandungan histidine yang tinggi. Lebih lanjut lagi, sifat
asam basa hemoglobin dipengaruhi keadaan oksigenasi:
H+ + HbO2 HbH+ + O2
Pelepasan oksigen dari hemoglobin pada kapiler jaringan menyebabkan molekul hemoglobin memiliki sifat
basa dengan mengikat ion hidrogen, hemoglobin menggeser keseimbangan CO2-bikarbonat menghasilkan
benuk bikarbonat yang lebih besar:
CO2 + H2O + HbO2 HbH+ + HCO3- + O2
Sebagai akibat langsung, deoksihemoglobin juga meningkatkan jumlah CO 2 yang dibawa darah vena
sebagai bikarbonat. Karena CO2 diambil dari jaringan dan diubah menjadi bikarbonat maka kandungan CO 2
total darah meningkat (table 22-6)
Dalam paru, terjadi sebaliknya oksigenasi hemoglobin menghasilkan aksi sebagai asam dan
melepaskan ion hydrogen menggeser keseimbangan dalam menghasilkan bentuk CO 2 yang lebih besar:
O2 + HCO3- + HbH+ H2O + CO2 + HbO2
Konsentrasi bikarbonat menurun karena CO 2 dibentuk dan dieliminasi, sehingga kandungan CO 2 total darah
menurun dalam paru. Catatan bahwa terdapat perbedaan antara kandungan CO 2 (konsentrasi per liter)
keseluruhan darah (table 22-6) dan plasma (table 22-7).
Tabel 22-7. Kandungan karbondioksida plasma (mmol/L)
CO2 terlarut
Bikarbonat
Karbamino CO2
Total CO2

Arteri
1,2
24,4
Diabaikan
25,6

Vena
1,4
26,2
Diabaikan
27,6

Kurva disosiasi karbondioksida


Kurva disosiasi CO2 dapat disusun dengan memotong kandungan CO 2 total darah terhadap PCO2. Peran
serta setiap bentuk CO2 juga dapat dihitung dengan cara ini (gambar 22-24).

26

Gambar 22-24. Kurva disosiasi CO2 dalam darah


Simpanan karbondioksida
Simpanan karbondioksida dalam tubuh kira-kira 120 L pada dewasa dan terutama dalam bentuk CO 2 terlarut
dan bikarbonat. Ketika ketidakseimbangan terjadi antara produksi dan eliminasi, menetapkan keseimbangan
CO2 baru membutuhkan 20-30 menit (dibandingkan kurang dari 4-5 menit untuk oksigen; lihat di bawah).
Simpanan karbondioksida dapat diklasifikasikan menjadi kompartemen keseimbangan cepat, sedang dan
lambat. Karena kapasitas yang lebih besar pada kompartemen sedang dan lambat, tingkat kenaikan tekanan
CO2 arteri umumnya lebih lambat mengikuti perubahan akut dalam ventilasi.
KONTROL PERNAFASAN
Ventilasi spontan adalah hasil aktivitas neural ritmik pada pusat pernafasan dalam batang otak. Aktivitas ini
mengatur otot pernafasan untuk mempertahankan tekanan oksigen dan CO2 normal dalam tubuh. Dasar
aktivitas neuronal ditentukan dengan masukan dari area lain dalam otak, kemauan sendiri dan otonom serta
reseptor perifer dan sentral.
1. Pusat pernafasan sentral
Dasar irama pernafasan berasal dari medulla. Dua kelompok saraf medulla secara umum dikenal : kelompok
respirasi dorsal, terutama aktif selama inspirasi; dan kelompok respirasi ventral yang aktif selama ekspirasi.
Meskipun tidak sungguh-sungguh ditegakkan, asal mula irama dasar disebabkan aktivitas penyaluran
spontan intrinsic pada kelompok dorsal atau reciprocating aktivity antara kelompok dorsal dan ventral.
Hubungan tertutup kelompok neuron dorsal dengan traktur solitarius dapat menjelaskan perubahan refleks
dalam pernafasan dari stimulasi saraf glosofaringeal atau vagus.
Dua area pontin mempengaruhi pusat medulla dorsal (inspirasi). Pusat pontin yang lebih rendah
(apneustik) sebagai pemacu, sedangkan pusat pontine yang lebih tinggi sebgai penghambat. Pusat pontin
tampaknya mengubah frekuensi dan irama pernafasan dengan baik.
2. Sensor sentral
Yang paling penting pada sensor ini adalah kemoreseptor yang bereaksi terhadap perubahan konsentrasi ion
hydrogen. Kemoreseptor sentral terletak pada permukaan anterolateral medulla dan bereaksi terutama
terhadap perubahan cairan serebrospinal H+. Mekanisme ini efektif dalam mengatur PaCO 2, karena sawar
darah otak (lihat bab 25) permeable terhadap CO 2 terlarut, tetapi tidak terhadap ion bikarbonat.. Perubahan
akut pada PaCO2 tetapi tidak di arteri HCO3- digambarkan dalam cairan serebrospinal; kemudian
perubahan pada CO2 harus menghasilkan perubahan dalam H+:
CO2 + H2O H+ + HCO3Selama beberapa hari, HCO3- cairan serebrospinal dapat mengimbangi utnuk melawan setiap
perubahan pada HCO3- arteri.
Peningkatan PaCO2 menaikkan konsentrasi hydrogen CSF dan mengaktifkan kemoreseptor.
Stimulasi kedua pada pusat pernafasan medulla yang berdekatan meningkatkan ventilasi alveolar (gambar
22-25) dan mengurangi PaCO2 kembali normal. Sebaliknya, penurunan konsentrasi ion hydrogen CSF
mengurangi PaCO2 dan mengurangi ventilasi alveolar. Catatan bahwa hubungan antara PaCO 2 dan volume
menit mendekati linier juga tekanan PaCO2 arteri yang sangat tinggi menekan respon ventilasi (narcosis
CO2). PaCO2 saat ventilasi nol dikenal sebagai batas ambang apneu. Respirasi spontan tidak ada selama
anestesi ketika PaCO2 jatuh di bawah batas ambang apneu. (Pada keadaan bangun, kortikal mencegah
apneu sehingga batas ambang apneu tidak jelas terlihat). Berlawanan dengan kemoreseptor perifer (lihat di
bawah), aktivitas kemoreseptor sentral ditekan oleh hipoksia.

27

Gambar 22-25. Hubungan antara PaO 2 dan ventilasi menit.


3. Sensor perifer
Kemoreseptor perifer
Kemoreseptor perifer termasuk badan carotis (pada percabangan arteri karotis komunis) dan badan aorta
(disekeliling arkus aorta). Badan karotis merupakan kemoreseptor perifer utama pada manusia dan sensitive
terhadap perubahan PaO2, PaCO2, pH dan tekanan perfusi arteri. Mereka berinteraksi dengan pusat
pernafasan sentral melalui saraf glosofaringeus menghasilkan refleks meningkatkan ventilasi alveolar
sebagai respon untuk mengurangi PaO 2, perfusi arteri atau meningkatkan H+ dan PaCO2. Kemoreseptor
perifer juga dirangsang oleh sianida, doxapram dan nikotin dosis besar. Berlawanan dengan kemoreseptor
sentral, yang berperan terutama terhadap PaCO 2 (H+ yang sesungguhnya), badan carotis sangat sensitive
terhadap PaO2 (gambar 22-26). Catatan bahwa aktivitas reseptor tidak cukup besar meningkatkan sampai
PaO2 turun di bawah 50 mmHg. Sel badan karotis (sel glomus) merupakan neuron dopaminergik. Obat
antidopaminergik (seperti fenotiazin). Yang paling sering digunakan ahli anestesi dan pembedahan karotis
bilateral menghilangkan respon ventilasi perifer terhadap hipoksemia.

Gambar 22-26. Hubungan antara PaO 2 dan ventilasi menit saat istirahat dan dengan PaO 2 normal.

Reseptor paru
Impuls dari reseptor ini dibawa ke pusat oleh saraf vagus. Reseptor regangan tersebar pada otot polos jalan
nafas; mereka berperan untuk menghambat inspirasi ketika paru mengembang dengan volume berlebihan
(refleks inflasi Hering-Breuer) dan pemendekan ekshalasi ketika paru deflasi (refleks deflasi). Reseptor
regangan biasanya berperan kecil pada manusia. Kenyataannya, hambatan nervus vagus bilateral memiliki
efek minimal pada pola pernafsan normal.
Reseptor iritan pada mukosa trakheobronkhial bereaksi terhadap gas berbahaya, rokok, debu dan
gas dingin; aktivasi menghasilkan refleks yang meningkatkan frekuensi nafas, bronkhkonstriksi dan batuk.
Reseptor J (juxta kapiler) terletak di ruang interstisial antara dinding alveolar; reseptor ini menimbulkan
28

dispneu akibat ekspansi volum ruang interstisial dan berbagai mediator kimiawi yang mengikuti kerusakan
jaringan.
Reseptor lain
Hal ini termasuk berbagai reseptor otot dan sendi pada otot pernafasan dan dinding dada. Input dari reseptor
ini penting selama latihan dan pada keadaan patologik berhubungan dengan berkurangnya pengembangan
paru dan dada.
4. Efek anestesi terhadap kontrol pernafasan
Efek sebagian besar anestesi umum yang paling penting pada pernafasan adalah kecenderungan
menyebabkan hipoventilasi. Mekanismenya kemungkinan ada dua: depresi pusat kemoreseptor dan depresi
aktivitas otot interkostal eksternal. Yang terpenting hipoventilasi umumnya sesuai dengan kedalaman
anestesi. Dengan bertambahnya kedalaman anestesi, kelengkungan kurva PaCO 2/ventilasi menit berkurang
dan batas ambang apneik bertambah (gambar 22-27). Efek ini pada akhirnya di-reverse sebagian dengan
stimulasi pembedahan.

Gambar 22-27. Pengaruh agen volatile (halotan) terhadap kurva respon ventilasi PETCO 2
Respon perifer terhadap hipoksemia lebih sensitive pada anestesi dibandingkan respon CO2 sentral
dan dicegah dengan dosis subanestetik sebagian besar agen inhalasi (termasuk nitrous okside) dan agen
intravena. Agen anestesi juga mengganggu respon stimulasi perifer doxapram, tetapi aksi sentral tampaknya
dipertahankan (lihat bab 15). Efek respirasi setiap agen dibicarakan dalam bab 7 dan 8.
FUNGSI NONRESPIRASI PARU
Fungsi filtrasi dan cadangan
A. Filtrasi
Keunikan dalam posisi rangkaian kapiler pulmoner dalam sirkulasi menyebabkan mereka berperan sebagai
penyaring debris dalam darah. Kandungan tinggi heparin dan activator plasminogen dalam paru
memudahkan pemecahan debris fibrin yang terperangkap. Meskipun kapiler pulmoner memiliki diameter
rata-rata 7 m,partikel besar lewatelalui jantung kiri.
B. Fungsi cadangan
Peranan sirkulasi pulmoner sebagai cadangan untuk sirkulasi sistemik akan dibicarakan di bawah.
Metabolisme
Paru-paru adalah organ metabolic yang sangat aktif. Pada sintesis surfaktan, pneumosit berperan besar
untuk fungsi oksidasi ekstrahepatik. Netrofil dan makrofag pada paru menghasilkan oksigen yang beasal dari
radikal bebas sebagai respon terhadap infeksi (dan respon inflamasi sistemik; lihat bab 50). Endotelium paru
memetabolisme berbagai komponen vasoaktif termasuk norepinefrin, serotonin, bradikinin dan beragam
prostaglandin dan leukotrien. Histamin dan efinefrin umumnya tidak dimetabolisme dalam paru;
kenyataannya paru menjadi tempat sintesis histamine dan pelepasan selama reaksi alergi.
Paru juga berperan untuk perubahan angiotensin I menjadi bentuk fisiologi aktif angiotensin II. Enzim
yang berperan, enzim converting angiotensin terikat pada permukaan endotel pulmoner.
DISKUSI KASUS :
29

SUARA NAFAS BERKURANG UNILATERAL SELAMA ANESTESI UMUM


Laki-laki usia 67 tahun dengan karsinoma menjalani reseki kolon dengan anestesi umum. Riwayat penyakit
dahulu termasuk OMI anterior dan gagal jantung kongestif yang terkompensasi. Kateter arterial dan kateter
arteri pulmoner dipasang sebelum operasi untuk memantau selama pembedahan. Diikuti dengan induksi
pelan thiopental-fentanyl dan intubasi atraumatik dengan suksinilkolin, anestesi dipertahankan dengan
60%nitrous okside dalam oksigen, isofluran dan vecuronium. Satu setengah jam memasuki operasi, operator
meminta posisi Trandelenburg untuk memudahkan lapangan operasi. Pulse oksimetri yang sudah terbaca
saturasi 99%, tiba-tiba turun dan bertahan 93%. Sinyal pulse oksimetri kuat dan bentuk gelombang tidak
berubah. Auskultasi paru menunjukkan berkurangnya suara paru pada paru kiri.

Apa penjelasan yang paling masuk akal?


Berkurangnya suara nafas unilateral selama anestesi umum umumnya disebabkan penempatan
yang kurang hati-hati atau perpindahan pipa endotrakheal ke dalam 1 atau 2 bronkhus utama. Akibatnya,
hanya satu paru yang mengalami ventilasi. Penyebab lain berkurangnya suara nafas unilateral seperti
pneumotoraks, plak mucus besar, atelektasis lobaris atau massa mediastinum yang tidak terdiagnosis tidak
mudah terdiagnosis tetapi jarang terjadi selama anestesi.
Posisi Trendelenburg (head-down) menyebabkan ujung pipa endotrakheal relative bertambah 1-2 cm
masuk ke karina trachea. Pada kasus ini, pipa diletakkan tepat di atas karina pada pasien dengan posisi
supine, tetapi berpindah ke bronchus utama ketika posisi Trendelenburg ditentukan. Diagnosis ditegaskan
dengan menarik pipa kembali 1-2 cm sambil melakukan auskultasi dada. Suara paru akan menjadi sama lagi
ketika ujung pipa masuk kembali ke trachea. Mengikuti langkah awal, pipa endotrakheal seharusnya rutin
diperiksa untuk memperbaiki posisinya dengan mendengarkan dada, memastikan kedalaman insersi pipa
dengan menandai pipa (20-24 cm pada gigi untuk dewasa) dan merasakan cuff pada suprasternal notch.
Posisi pipa juga dapat dikonirmasi dengan bronkoskopi fiberoptik fleksibel.
Apakah pipa endotrakheal masuk ke salah satu bronkhus utama?
Pada sebagian besar kasus intubasi endobronkhial yang tidak disengaja, pipa endobronkhial masuk
ke bronchus kanan karena brokhus kanan menyimpang jauh dari trachea pada sudut yang kurang lancip
dibandingkan bronchus kiri.
Mengapa saturasi hemoglobin berkurang?
Kegagalan ventilasi pada satu paru sedangkan perfusi paru terus berlanjut menyebabkan shunt
intrapulmoner yang besar. Percampuran vena meningkat dan cenderung mengurangi PaO2 dan saturasi
hemoglobin.
Apakah saturasi 93% bukan akibat intubasi endobronkhial?
Tidak; jika kedua paru tetap memiliki aliran darah yang sama, percampuran vena meningkat 50%
menghasilkan hipoksemia berat dan saturasi hemoglobin yang sangat rendah. Vasokonstriksi pulmoner
hipoksik adalah respon kompensasi kuat yang cenderung mengurangi aliran ke paru yang hipoksik dan
mengurangi percampuran vena yang diharapkan. Kenyataannya, jika pasien menerima konsentrasi inspirasi
oksigen lebih tinggi (50-100%) penurunan tekanan arterial mungkin tidak terdeteksi dengan pulse oksimetri
yang memperlihatkan karakteristik kurva saturasi hemoglobin normal. Sebagai contoh, intubasi
endobronkhial pada pasien dengan oksigen inspirasi 50% dapat menurunkan PAO2 dari 250 mmHg menjadi
95 mmHg; perubahan hasil pada pulse oksimetri yang terbaca (100-99 menjadi 98-97) akan sulit dicatat.
Tekanan gas darah vena campuran dan arterial diperoleh dengan hasil berikut :
PaO2 = 69 mmHg; PaCO2 = 42 mmHg; SaO2 = 93% dan SvO2 = 75%. Konsentrasi hemoglobin 15
gr/dl.
Bagaimana kalkulasi percampuran vena?
Pada kasus ini, PcO2=PAO2=([760-47]x0,4)-42=243 mmHg. Kemudian,
CcO2=(15x1,31x1,0)+(243x0,003)=20,4 ml/dl.
CaO2=(15x1,31x0,93)+(69x0,003)=18,5 ml/dl
CvO2=(15x1,31x0,75)+(40x0,003)=14,8 ml/dl
QS/QT=(20,4-18,5)/(20,4-14,8)=32%
Bagaimana intubasi endobronchial mempengaruhi tekanan arterial dan O2 akhir tidal?
PaCO2 tidak berubah selama ventilasi per menit dipertahankan sama (lihat anestesi satu paru, bab
24). Secara klinis, gradient PaCO2-PETCO2 sering melebar, kemungkinan karena meningkatnya ruang mati
30

alveolar (overdistensi paru yang mengalami ventilasi). Sehingga PETCO2 dapat berkurang atau tetap tidak
berubah

31

You might also like