You are on page 1of 8

The Biopharmaceutics Classification System (BCS)

BCS merupakan sistem/alat dalam pengembangan produk obat

BCS dapat digunakan untuk obat yang tidak harus diuji secara klinis kecuali sesuai strategi
perumusan yang bekerja.

Bentuk sediaan obat dirancang untuk memperbaiki/ memaksimalkan bioavailabilitasnya.


Sebagi contoh obat yang BCS kelas II sukar larut dan mempunyai permeabilitas tinggi,
beresiko tidak memberikan efek klinis yang baik, sehingga diperlukan suatu formulasi yang
bertujuan meningkatkan kelarutannya.

1. High Solubility / mudah larut.


Obat dikatakan sangat mudah larut ketika dosis maksimum larut dalam 250 ml atau sedikit
air dengan pH berkisar 1-7,5. Profil kelarutan pH obat ditentukan pada suhu 37 10oC dalam
media yang berair dengan pH berkisar 1-7,5.
2. High permeabilitas / permeabilitas yang tinggi.
-

Sebuah zat obat dianggap sangat permeable ketika tikat absorpsi (penyerapan) pada
manusia 90 %. (0,9) atau lebih dari dosis yang ditetapkan dari keseimbangan masa atau
dibandingkan dengan dosis intravena pada literatur.
( contohnya ketika obat bioavailabilitasnya 90 % atau lebih, ketika 90 % atau lebih obat
ditemukan dalam urine.

Metode yang digunakan untuk menentukan permeabilitas meliputi :

1. Studi keseimbangan massa


2. Studi bioavailabilitas absolut dan metode perfusi usus pada manusia.
3.

Secara in vivo atau in situ dengan menggunakan perfusi usus pada hewan

4. Secara in vitro dengan menggunakan jaringan usus hewan yang dipotong.


5. Monolayer dari sel epitel yang sesuai ( Caco-2 sel atau TC-7 sel).

Kelas 1, menunjukan obat dengan disolusi dan absorpsi tinggi ( mudah larut dan
permeabilitasnya tinggi).
Rate limiting step pada kelas 1 disolusi, jika disolusi terlalu cepat maka pengosongan tingkat/
waktu pengosongan lambung menjadi tahapan yang menentukan.
Kelas 2 , menunjukan obat dengan disolusi yang rendah dan absorpsi tinggi ( sukar larut dan
permeabilitasnya tinggi, sehingga absorpsi dibatasi oleh disolusi obat dalam saluran pencernaan.
Disolusi obat secara in Vivo menjadi rate limiting bagi absorpsi kecuali pada dosis besar.
Kelas 3, menunjukan obat dengan disolusi yang tinggi dan absorpsi rendah ( mudah larut dan
permeabilitasnya rendah). Pada in Vivo, permeabilitas merupakan rate limiting stepnya. Obat ini
menunjukan tingkat varisasi yang tinggi dalam absopsi (penyerapannya).
Kelas 4, menunjukan obat yang mempunyai masalah dengan pemberian secara oral. (
permeablitasnya rendah dan sukar larut). Rute pilihan untuk pemberian obat ini, secara
parenteral dengan formulasi yang dapat meningkatkan kelarutan.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BIOAVAILABILITAS
Pharmaceutical Factors
1. Sifat fisikokimia obat meliputi
-

kelarutan obat

laju disolusi

ukuran partikel

luas permukaan efektif

kerapatan partikel dan kerapatan bulk

sifat alir serbuk

polimorfisme, amorfisme dan higroskopitas

pseudopolymorfisme ( bentuk hidrat /solvat)

lipofilisitas , pKa obat, pH

stabilitas obat.

2. Karakteristik bentuk sediaan dan bahan farmasi


-

Waktu hancur ( tablet/kapsul)

Waktu disolusi

Variabel manufaktur ( metode granulasi, gaya tekanan, intensitas kemasan isi kapsul)

Bahan farmasi (eksipien / adjuvant)

Sifat dan jenis bentuk sediaan

Kondisi penyimpanan dan usia produk


Barrier functions of the organism

1. Usia
2. Waktu pengosongan lambung dan waktu transit saluran pencernaan.
3. Penyakit
4. Aliran darah melewati GIT
5. Kandungan /isi gastrointestinal ; obat lainnya, makanan, cairan dll.
6. Metabolisme presistemik oleh enzim lumenal, enzim dinding Gut, enzim pada bakteri, enzim
pada hati.
Obat dengan bioavailabilitasnya rendah
1. Kelarutan yang rendah atau laju disolusi yang lambat dalam cairan biologis.
2. Koefisien partisi yang inadekuat (tidak memadai) permeasi melalui biomembran rendah.
3. Stabilitas buruk, obat yang terlarut dalam pada pH fisiologis
4. Metabolisme presystemic yang luas (besar).
-

Lebih dari 90 % obat yang dipasarkan memenuhi syarat kelas II dan kelas IV kelarutannya
rendah.

Lebih dari 60 % senyawa kimia baru yang sukar larut ( memenuhi kelas II dan IV). Hal ini
memberikan tantangan bagi ilmuwan untuk mengembangkan formulasi.

Pendekatan solubilitasnya konvensional seperti memodifikasi bentuk kristak obat ( perubahan


permukaan API, mikronisasi atau mikro-milling) dapat meningkatkan disolusi dan kelarutan
obat. Tetapi ketika pengembangan media atau dosis tinggi, pendekatan non konvensioanal
yang digunakan, terutama ketika obat tersebut hampir tidak larut biasanya ditandai dengan
titik lebur tinggi dan lipofilisitas sangat tinggi.

Kelarutan dalam air ditentukan oleh koefisien aktivitas dan ketentuan kristal molekul obat

Log Sw= 0,8-log Kow-0,01 (MP-25)

Sw adalah kelarutan dalam air (mol/L)


Kow adalah koefisien partisi oktanol/air
MP adalah titik leleh pada 0 C

Dispersi Cair
-

Sistem penghantaran berbasis lipid (LBDS) telah diidentifikasi sebagai Dispersi cair untuk diri
sendiri ( mikro) sistem penghantaran obat emulsifikasi (S(M)EDDS) berhasil diterapkan dalam
pengembangan obat dengan sifat lipofilik yang rendah dengan nilai 2 < log P > 4.

SEDDS and SMEDDS memberikan scale up (pengembangan) dalam pembuatan dosis obat ini
dalam sediaan larutan oral, cairan/semisolid untuk gel, dan pelet untuk kapsul atau tablet, dan
disetujui untuk dosis tinggi.

Sediaan untuk LBDs terdiri dari berbagai macam struktur molekul, komposisi dan fungsi.

Surfaktan dengan bagian polar dan nonpolar yang mampu membentuk agregat dalam larutan
air, dan mampu mempertahankan konsentrasi yang diinginkan di cairan GI.

Yang paling penting, luas permukaan aktif eksipien (alami atau sintetis) ditandai dengan CMC
dan atau nilai keseimbangan hidrofilik lipofilik balance (HLB).

Surfaktan dengan berat molekul yang lebih tinggi, cenderung memiliki nilai CMC yang rendah
dan sebaliknya.

Sebaliknya, mereka yang hidrofilisitasnya lebih tinggi, memiliki nilai HLB tinggi.
Misalnya, KolliphorTM P 188 atau Poloxamer 188 (MW 8000) dan KolliphorTM P 407 atau
Poloxamer 407 (MW 12000), memiliki masing-masing, nilai-nilai CMC 1,4 x 10-3 M dan 8,0 x 10-4
M.

Selain itu, surfaktan/ bahan pelarut memenuhi standar keamanan dan kompatible dengan obat.
Komponen khas SEDDS meliputi:
Surfaktan (HLB> 12) dan co-surfaktan (HLB <12) Contoh;
Polyoxyl 35 minyak jarak (Kolliphor EL), Polyoxyl
terhidrogenasi minyak jarak 40 (Kolliphor RH 40),
Polyoxyl 15 hydroxystearate (Kolliphor HS15),
Polysorbate 80, vitamin E-TPGS (Kolliphor TPGS),

Transcutol P, Labrafi l? 1944 C, Kolliphor P 188 (Poloxamer 188), Kolliphor P407


(Poloxamer 407), dan Kolliphor P 124 (Poloxamer 124).
Trigliserida (minyak)
-

Trigliserida rantai menengah atau MCT (C6-C12) : Gliseril tricaprylate / kaprat: Captex 300;
Miglyol 810; Miglyol 812; NeobeeM-5

Panjang Rantai Trigliserida dari LCT (C14-C18) Minyak jagung, minyak kedelai, minyak zaitun

Mono dan Di-gliserida


-

Gliseril kaprilat / kaprat (Capmul MCM, Imwitor 742), Gliserol Monocaprylate (Imwitor
308, Gliserol monooleat (Capmul GMO))

Ester propilen glikol


-

Propilen glikol monocaprylate (Capmul PG-8), Propylene glycol monolaurat (Capmul PG12, Lauroglycol)

Co-pelarut / asam lemak


-

Propylene glycol, ethanol, polietilen glikol (PEG 300, 400, 600), asam oleat, asam palmitat,
asam stearat, asam linoleat, asam linolenat.

Dispersi padat
-

Dispersi padat adalah obat tersebar dalam matriks biologis inert. Obat dalam pembawa
hidrofilik yang dapat meningkatkan laju disolusi dengan memperkecil ukuran partikel,
porositas tinggi, obat dalam keadaan amorf, meningkatkan kemampuan kebasahan.

Dispersi padat dimanfaatkan untuk bentuk obat yang sangat kristal, mempunyai titik lebur
tinggi, obat lipofilik. Obat yang dikonversi menjadi bentuk amorf berenergi tinggi yang dapat
meningkatkan kelarutan dan bioavailabilitas.

Enablers ( pendukung) adalah eksipien yang memainkan peran penting untuk formulasi yang
baik.

Keunggulan

struktur-fungsi

eksipien,

interaksi

dengan

obat-obatan,

dan

konsekuensinya pada stabilitas jangka panjang dan kinerja formulasi, dipertimbangkan untuk
kompatibilitas dan memprediksi stabilitas dispersi amorf.
-

Eksipien yang biasa digunakan untuk dispersi yang padat:


1. Turunan selulosa netral

hidroksipropil metilselulosa (hypromellose): HPMC

hidroksipropil selulosa: HPC

Selulosa asetat butirat: CAB

2. Turunan selulosa asam

HPMC asam suksinat: HPMC-AS

HPMC phthalate: HPMC-P

3. Selulosa asetat ftalat: CAP


4. Netral (non-cellulosics)

PVP: Polyvinylpyrrolidone (K12, K17, K25, K-30, K-90)

Copovidone: Vinilpirolidon - vinil asetat kopolimer.

Soluplus: PEG-co-PVAc-co-PVCap

Kollicoat IR : PEG-co-PVA

5. Polyethylene oksida: PEO (MW> 20K) atau PEG (MW <20K), PEG / PPG
6. Ion (non-selulosa)

Methacrylic atau akrilik kopolimer: Kollicoat MAE 100 P, Eudragit EPO, L100-55,
RS, RL.

Sistem LADMER, rintangan Biopharmaceutics dalam pengembangan obat,


pendekatan untuk mengatasinya

You might also like