Professional Documents
Culture Documents
Oleh
Riyana Monita
3325110307
Program Studi Kimia
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2014
KATA PENGANTAR
Penulis
DAFTAR ISI
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Perbandingan Sifat Fisik Dari Gas, Cairan, dan Fluida Superkritis
(Hbshmann, 2009) .................................................................. 10
Tabel 2. Beberapa Jenis Pelarut Organik dan Sifat Fisiknya (Nur dan
Adijuwana, 1989) ...................................................................... 12
Tabel 3. Klasifikasi alga Haemotococcus (Lorenz, 1999) ........................ 14
Tabel 4. Komponen-komponen umum dari alga Haemotococcus (Lorenz,
1999) ......................................................................................... 15
Table 5. Faktor dan level kondisi ekstraksi astaxanthin dengan desain
orthogonal ................................................................................. 19
Tabel 6. Desain tes orthogonal L9 (34) ..................................................... 20
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Astaxanthin adalah pigmen karotenoid yang umum ditemukan
pada hewan laut. Secara tradisional, astaxanthin digunakan sebagai
sumber pigmentasi untuk budidaya ikan laut dan juga digunakan untuk
makanan,
kosmetik
dan
aplikasi
medis
karena
aktivitasnya
dan sifat toksiknya yang masih tinggi. Tingkat efisiensi tinggi dari
ekstraksi astaxanthin intraseluler tergantung pada tiga faktor, yaitu
efisiensi yang tinggi terhadap perusakan sel, laju degradasi astaxanthin
yang rendah, dan toksisitas residu pelarut yang rendah. Maka dari itu
diperlukan suatu agen perusak sel ragi yang mudah didapat dan bersifat
food grade untuk meningkatkan efisiensi ekstraksi astaxanthin dari alga
Haemotococcus pluvialis agar bisa diaplikasikan secara luas pada
bidang makanan (Xiou, dkk., 2009).
Pada penelitian ini, asam laktat dipilih untuk merusak sel alga
dalam ekstraksi astaxanthin karena diklasifikasikan sebagai GRAS
(Generally Recognized as Safe) untuk digunakan sebagai bahan
tambahan makanan oleh FDA Amerika Serikat. Selain itu, pada
penelitian sebelumnya, asam laktat telah berhasil digunakan sebagai
agen perusak dinding sel pada ekstraksi astaxanthin dari ragi Phaffia
rhodozyma (Wu, dkk., 2011).
Ekstraksi astaxanthin secara tradisional sering melibatkan
penggunaan pelarut beracun seperti kloroform atau pelarut mudah
terbakar seperti aseton dan petroleum eter (Chang, dkk., 2008). Untuk
mengatasi masalah ini dan untuk mengembangkan proses hilir alternatif
astaxanthin dari Haemotococcus pluvialis dengan kelayakan yang
tinggi,
diusulkan
metode
ekstraksi
yang
ramah
lingkungan
menggunakan etil laktat sebagai pelarut. Karena etil laktat ada dalam
bir, anggur, dan produk kedelai, telah disetujui oleh FDA untuk
digunakan dalam industri makanan selama bertahun-tahun. Selain itu,
etil laktat berasal dari sumber daya terbarukan dan dapat terbiodegradable menjadi CO2 dan air (Wu, dkk., 2011). Maka dari itu,
penelitian ini menerapkan asam laktat dan etil laktat dan mengetahui
kondisis proses yang efektif dalam mengekstrak astaxanthin dari alga
Haemotococcus pluvialis.
B. Identifikasi Masalah
1. Apakah asam laktat dan etil laktat dapat dikombinasikan untuk
mengekstrak astaxanthin yang bersifat food grade dan non toksik?
2. Apakah dinding sel alga Haemotococcus pluvialis dapat dirusak
dengan asam laktat?
3. Bagaimana hasil ekstrak astaxanthin dari alga Haemotococcus
pluvialis menggunakan etil laktat?
4. Bagaimana hasil ekstrak astaxanthin dari alga Haemotococcus
pluvialis pada berbagai kondisi?
5. Kondisi ekstraksi apa yang paling optimum dalam mengekstrak
astaxanthin menggunakan asam laktat dan etil laktat?
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara mengekstrak astaxanthin dari Haemotococcus
pluvialis yang bersifat food grade dan non toksik?
2. Apakah asam laktat dapat bertindak sebagai agen perusak dinding
sel Haemotococcus pluvialis dalam mengekstrak astaxanthin?
3. Apakah etil laktat dapat digunakan sebagai pelarut alami dalam
mengekstrak astaxanthin dari alga Haemotococcus pluvialis?
4. Bagaimana kondisi ekstraksi yang optimum untuk mengekstrak
astaxanthin dari alga Haemotococcus pluvialis?
D. Manfaat
Manfaat pada penelitian ini ialah untuk menghasilkan ekstrak
astaxanthin yang efektif dari Haemotococcus pluvialis yang memiliki
sifat food grade sehingga dapat diaplikasikan secara luas dalam bidang
makanan.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Astaxanthin
Astasantin adalah pigmen yang termasuk dalam kelompok
pigmen alam dari karotenoid. Astasantin merupakan pigmen karotinoid
merah yang terdapat pada mikroalga. Astasantin terbanyak dihasilkan
oleh microalgae Haematococcus pluvialis. Sumber lain adalah hasil
fermentasi ragi merah muda Xanthophyllomyces dendrorhous atau
ekstrak dari produk pigmen seperti udang Antarctic krill (Euphausia
superba) atau kepiting. Astasantin banyak terdapat pada ikan, kerangkerangan, crustacean, zoo dan phytoplankton, bakteri dan lain-lain,
terutama organisme laut (Hashimoto dkk, 2007). Selain dari alam
astasantin juga dapat dihasilkan secara sintetis kimia, dan banyak
digunakan sebagai zat aditif untuk pakan ikan.
Senyawa karetenoid memiliki rentang variasi warna yang sangat
menarik, namun umumnya sensitf terhadap cahaya, panas, dan oksigen
serta sulit larut dalam air (Gusnidar et al., 2011). Belitz et al. (2009)
mengatakan bahwa stabilitas karotenoid berkaitan dengan keberadaan
ikatan rangkap dan ikatan tidak jenuh dalam struktur molekul karotenoid,
menyebabkan mudah pisah akibat degradasi oksidatif oleh zat kimia,
ezim, suhu, oksigen, dan cahaya. Karotenoid paling tidak stabil
dibandingkan dengan golongan pigmen yang lain yakni klorofil dan
flavonoid. Karotenoid terutama peka terhadap sinar yakni sinar
ultraviolet, panas oksigen dan asam. Beberapa karotenoid seperti
misalnya astaksantin dan fukosantin peka terhadap alkali (Mortensen,
2006). Ikatan rangkap pada rantai hidrokarbon sebagian besar
karotenoid seluruhnya berada dalam bentuk trans. Bentuk ini dapat
berubah menjadi cis antara lain karena panas ataupun sinar (Rodrigues,
2001).
potensi antioksidan
yang
lebih
tinggi
B. Ektraksi
Ekstraksi merupakan proses pemisahan dua zat atau lebih dengan
menggunakan
pelarut
yang
tidak
saling
campur.
Pemindahan
yang
diekstrak
sebaiknya
berukuran
seragam
untuk
a. Ekstraksi Bertahap
Ekstraksi bertahap adalah metode ekstraksi yang paling
mudah dan sederhana, dan pada pengerjaannya hanya memerlukan
corong pisah. Pada metode ini larutan sampel yang akan diekstrak,
dimasukkan ke dalam corong pisah, kemudian tambahkan pelarut
yang sesuai. Campuran tersebut kemudian digoncang beberapa
lama
sampai
komponen
yang
diekstrak
berada
dalam
b. Ekstraksi Kontinyu
Ekstraksi kontinyu dapat dilakukan dengan menggunakan
sokletasi. Sokletasi dilakukan dengan pemanasan, sehingga uap
yang timbul setelah dingin secara kontinyu akan membasahi sampel,
secara teratur pelarut tersebut akan kembali kedalam labu dengan
membawa senyawa kimia yang terekstrak oleh pelarut tersebut.
Pada gambar 1 menunjukkan bagian dari alat soklet. Perangkat
untuk sokletasi terdiri dari kolom ekstraksi (B) yang dilengkapi
dengan pipa-pipa penghubung di salah satu kolom, labu bulat (A),
kondesor dan alat pemanas.
B
C
berulang-ulang
seperti
pada
gambar
4.
Dalam
dengan viskositas gas. Daya pelarutan yang mirip cairan dan difusi
yang mirip gas ini menghasilkan kondisi yang ideal untuk
mengekstraksi zat dari berbagai bahan dengan tingkat perolehan
yang tinggi dalam waktu yang singkat. Kerapatan fluida super kritis
yang dapat divariasikan dan dikendalikan dengan mengatur tekanan
dan suhu.
Tabel 1. Perbandingan Sifat Fisik Dari Gas, Cairan, dan Fluida Superkritis
(Hbshmann, 2009)
Fase
Gas
Fluida
Superkritis
Cair
Densitas
(g.cm-3)
10-3
Difusivitas
(cm2.s-1)
10-1
Viskositas
(g.cm-1.s-1)
10-4
0,1-1,0
10-3-10-4
10-3-10-4
<10-5
10-2
metode
ini
yaitu
tidak
baik
digunakan
untuk
10
c. Maserasi
Maserasi adalah perendaman sampel dalam pelarut organik
pada temperatur ruangan. Saat perendaman, senyawa bahan alam
dapat terekstrak karena terjadi pemecahan dinding dan membran sel
akibat perbedaan tekanan antara di dalam dan di luar (Lenny, 2006).
Keuntungan metode ini adalah peralatan yang digunakan sederhana
dan balk untuk senyawa bahan alam yang tidak tahan panas.
Kekurangan dari metode ini adalah membutuhkan waktu lama dan
banyak pelarut.
Pelarut yang bersifat polar mampu mengekstrak senyawa seperti
komponen fenolik, karotenoid, tannin, dan asam-asam amino. Pelarut
non polar dapat mengekstrak senyawa kimia seperti lilin, lemak, dan
minyak yang mudah menguap. Metanol merupakan senyawa polar yang
umum disebut sebagai pelarut universal karena selain mampu
mengekstrak komponen polar juga dapat mengestrak komponen non
polar seperti lilin dan lemak
Prosedur klasik untuk memperoleh kandungan senyawa organik
dari jaringan tumbuhan kering adalah dengan proses ekstraksi
berkesinambungan atau bertingkat dengan menggunakan beberapa
pelarut yang berbeda tingkat kepolarannya (Harborne 1987). Ekstraksi
berkesinambungan dilakukan secara berturut-turut dimulai dengan
pelarut nonpolar (misalnya n-heksan atau kloroform) dilanjutkan dengan
pelarut semipolar (etil asetat atau dietil eter) kemudian dilanjutkan
dengan pelarut polar (metanol atau etanol). Pada proses ekstraksi akan
diperoleh ekstrak awal (crude extract) yang mengandung berturut-turut
senyawa nonpolar, semipolar, dan polar. Hasil ekstrak yang diperoleh
tergantung pada beberapa faktor, yaitu kondisi alamiah senyawa
tersebut, metode ekstraksi yang digunakan, ukuran partikel contoh uji,
11
kondisi
dan
waktu
penyimpanan,
lama
waktu
ekstraksi,
dan
Titik Didih
(C)
35
Titik Beku
(C)
-116
Konstanta
Dielektrik
4,3
Karbon disulfit
46
-111
2,6
Aseton
56
-95
20,7
Kloroform
61
-64
4,8
MetanoI
65
-98
32,6
Tetrahidrofuran
66
-65
7,6
Di-isopropil eter
68
-60
3,9
N-heksan
69
-94
1,9
Karbon tetraklorida
76
-23
2,2
Etil asetat
77
-84
6,0
Etanol
78
-117
24,3
Benzena
80
5,5
23
Siklolieksana
81
6,5
2,0
Isopropanol
82
-89
18,3
Air
100
78,5
Dioksan
102
12
2,2
Toluena
111
-95
2,4
118
17
6,2
N.N dimetil
154
61
34,8
Dietilenaglikol
formamida
245
-10
37,7
Pelarut
Dietil eter
12
dalam
sel
alga
Haematococcus.
Astaxanthin
di
dapat
digunakan
untuk
mengekstrak
astaxanthin
dari
Namun,
hasil
astaxanthin
tertinggi
ialah
dengan
13
C. Haemotococcus pluvialis
Haematococcus pluvialis adalah spesies ganggang hijau yang
termasuk ke dalam filum Chlorophyta (Lorenz, 1999).Penelitian
mengenai H.pluvialis dimulai pada tahun 1797 oleh Girod-chantrans dan
penelitian tersebut dilanjutkan oleh peneliti eropa lainnya. Deskripsi
mengenai H.pluvialis pertama kali di lakukan oleh Flotow pada tahun
1844 dan pada tahun 1851 Braun menambahkan detail informasi dan
mengkoreksi beberapa kesalahan yang dilakukan pada penelitian
sebelumnya (Lorenz, 1999).
Haematococcus pluvialis, juga disebut sebagai Haematococcus
lacustris atau Sphaerella lacustris, adalah alga hijau dari orde
Volvocales, keluarga Haematococcaceae. Sekarang diketahui bahwa
alga dapat tumbuh di alam di seluruh dunia, di mana tedapat kondisi
lingkungan untuk pertumbuhan yang menguntungkan. Tidak ada
toksisitas terkait dengan Haematococcus yang pernah dilaporkan
sebelumnya dalam literatur. Haematococcus adalah ganggang hijau
yang diklasifikasikan sebagai:
Tabel 3. Klasifikasi alga Haemotococcus (Lorenz, 1999)
Filum
Chlorophyta
Kelas
Chlorophyta
Order
Volvocales
Family
Haematococcaceae
Genus
Haematococcus
Spesies
pluvialis
14
Minimum
Maksimum
Rata-rata
Protein
17,30
27,16
23,62
Karbohidrat
36,90
40,0
38,0
Lemak
7,14
21,22
13,80
Besi (%)
0,14
1,0
0,73
uap air
3,0
9,00
6,0
Magnesium (%)
0,85
1,4
1,14
Kalsium (%)
0.93
3,3
1,58
Biotin (mg/lb)
0,108
0,665
0,337
7,0
12
7,5
0,936
1,48
1,30
Niasin (mg/lb)
20,2
35,2
29,8
Asam pantotenat
2,80
10,57
6,14
Vitamin B1 (mg/lb)
<0.050
4,81
2,17
Vitamin B2 (mg/lb)
5,17
9,36
7,67
Vitamin B6 (mg/lb)
0,659
4,5
1,63
0,381
0,912
0,549
Vitamin C (mg/lb)
6,42
82,7
38,86
Vitamin E (mg/lb)
58,4
333
186,1
abu
11,07
24,47
17,71
L-karnitin (g/g)
(mg/lb)
15
Gambar 5. Sel alga Haemotococcus pluvialis dalam keadaan normal (kiri) dan
keadaan stress (kanan) (Capelli, 2013).
16
BAB III
Metodologi Penelitian
A. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini ialah:
1. Menerapkan asam laktat sebagai agen perusak dinding sel
Haemotococcus pluvialis dalam mengekstrak astaxanthin.
2. Mengetahui efektifitas etil laktat sebagai pelarut alami dalam
mengekstrak astaxanthin dari alga Haemotococcus pluvialis.
3. Menentukan kondisi optimum dalam mengekstrak astaxanthin dari
alga Haemotococcus pluvialis menggunakan etil laktat sebagai
pelarut.
17
D. Metode
Metode penelitian dilakukan melalui eksperimen:
1. Ekstraksi Astaxanthin
2. Penentuan kadar astaxanthin dengan HPLC
Data pada faktor dan level tiap kondisi ekstraksi di analisis dengan
teknik desain orthogonal dengan 4 faktor dan 3 level.
E. Prosedur Penelitian
1. Ekstraksi Astaxanthin
Untuk
ekstraksi
dari
astaxanthin,
suspensi
biomassa
suspensi biomassa
disentrifugasi
18
pellet sel
diliofilisasi
digiling menjadi bubuk halus dengan mortar dan alu
Level
A T(oC)
B t (menit)
35
10
10
50
60
30
65
110
Etil laktat
50
C S (v/v)
D t (menit)
(A) suhu proses perusakan sel, (B) waktu proses perusakan sel, (C) pelarut
untuk ekstraksi, dan (D) waktu ekstraksi.
19
2. Prosedur analitik
Kadar astaxanthin ditentukan dengan kromatografi cair kinerja tinggi
(HPLC) menggunakan detektor UV pada 480 nm. Pelarut yang
digunakan adalah metanol: metil sianida (9:1, v / v), dan kecepatan
aliran adalah 1 mL min-1. Semua sampel dan pengujian dilakukan
dalam rangkap tiga.
efek
dari
faktor-faktor
pada
efisiensi
ekstraksi
1
1
1
1
2
1
2
2
3
1
3
3
4
2
1
2
5
2
2
3
6
2
3
1
7
3
1
3
8
3
2
1
9
3
3
2
M1*
M2
M3
R
* nilai rata-rata hasil dari faktor tiap level
1
2
3
3
1
2
2
3
1
20
Kadar
astaxanthin
G. Teknik Sampling
Pada pengambilan bibit alga Haemotococcus pluvialis sebagai
bahan utama dari astaxanthin, digunakan teknik Simple Random
Sampling yaitu suatu teknik yang tidak mempertimbangkan perbedaan
karakter setiap sampel bibit alga Haemotococcus pluvialis yang ada
karena hal tersebut tidak berpengaruh pada rencana analisis.
21
DAFTAR PUSTAKA
22
23