You are on page 1of 28

Ektraksi Astaxanthin dari Alga Haemotococcus pluvialis

Menggunakan Etil Laktat dan Asam Laktat Sebagai Agen Perusak


Dinding Sel

Dikaji sebagai salah satu prasyarat lulus dalam mata kuliah


Metodologi Peneltian

Oleh

Riyana Monita
3325110307
Program Studi Kimia

JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2014

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, sumber


hikmat dan kekuatan, atas segala rahmat dan ridho yang telah diberikanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal ini dengan sebaiksebaiknya dan tepat pada waktunya.
Adapun proposal penelitian yang berjudul Ekstraksi Astaxanthin
dariAalga Haemotococcus pluvialis Menggunakan Etil laktat dan
Asam Laktat Sebagai Agen Perusak Dinding Sel ini disusun sebagai
syarat untuk memenuhi nilai mata kuliah Metodologi Penelitian.
Penyusunan proposal penelitian ini dari awal hingga akhir tak lepas
dari bantuan berbagai pihak, khususnya Dr. Ucu Cahyana, M.Si. selaku
dosen pengampu mata kuliah Metodologi Penelitian, Dr. Erdawati, M.Sc.
selaku Dosen Pembimbing dan semua pihak yang telah bersedia
membantu dan mendukung penulis hingga proposal ini terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa proposal ini tentunya masih jauh dari
sempurna. Untuk itu penulis sangat menghargai kritik dan saran yang
membangun dari pembaca. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih
dan semoga proposal ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
membutuhkan.

Jakarta, 13 Juni 2014

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................. i


DAFTAR ISI ................................................................................................ ii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ........................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
A. Latar Belakang ......................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................. 3
C. Rumusan Masalah.................................................................... 3
D. Manfaat .................................................................................... 3
BAB II KAJIAN TEORI .............................................................................. 4
A. Astaxanthin ............................................................................... 4
B. Ektraksi ..................................................................................... 6
C. Haemotococcus pluvialis ........................................................ 14
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ....................................................... 17
A. Tujuan .................................................................................... 17
B. Waktu dan Tempat ................................................................. 17
C. Alat dan Bahan ....................................................................... 17
D. Metode ................................................................................... 18
E. Prosedur Penelitian ................................................................ 18
1. Ekstraksi Astaxanthin ........................................................ 18
2. Prosedur analitik ............................................................... 20
F. Teknik Analisis Data ............................................................... 20
G. Teknik Sampling ..................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 22

ii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Struktur Molekul Astaxanthin (Higuera dkk., 2006) .................. 5


Gambar 2. Alat Soklet (anonim, 2013) ....................................................... 8
Gambar 3. Alat Craig dioperasikan secara manual (Efstathiou, 2000) ...... 8
Gambar 4. Model Kerja Alat Craig (Efstathiou, 2000) ................................ 9
Gambar 5. Sel alga Haemotococcus pluvialis dalam keadaan normal (kiri)
dan keadaan stress (kanan) (Capelli, 2013).......................... 16
Gambar 6. Bagan ekstraksi astaxanthin .................................................. 19

iii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Perbandingan Sifat Fisik Dari Gas, Cairan, dan Fluida Superkritis
(Hbshmann, 2009) .................................................................. 10
Tabel 2. Beberapa Jenis Pelarut Organik dan Sifat Fisiknya (Nur dan
Adijuwana, 1989) ...................................................................... 12
Tabel 3. Klasifikasi alga Haemotococcus (Lorenz, 1999) ........................ 14
Tabel 4. Komponen-komponen umum dari alga Haemotococcus (Lorenz,
1999) ......................................................................................... 15
Table 5. Faktor dan level kondisi ekstraksi astaxanthin dengan desain
orthogonal ................................................................................. 19
Tabel 6. Desain tes orthogonal L9 (34) ..................................................... 20

iv

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Astaxanthin adalah pigmen karotenoid yang umum ditemukan
pada hewan laut. Secara tradisional, astaxanthin digunakan sebagai
sumber pigmentasi untuk budidaya ikan laut dan juga digunakan untuk
makanan,

kosmetik

dan

aplikasi

medis

karena

aktivitasnya

antioksidannya yang tinggi. Astasantin terbanyak dihasilkan oleh


microalgae Haematococcus pluvialis. Sumber lain adalah hasil
fermentasi ragi merah muda Xanthophyllomyces dendrorhous (Phaffia
rhodozyma) atau ekstrak dari produk pigmen seperti udang Antarctic krill
(Euphausia superba). Selain dari alam astasantin juga dapat dihasilkan
dari sintetis kimia. Alga Haemotococcus pluvialis adalah salah satu
sumber alam yang paling penting dari astaxanthin, telah dibudidayakan
secara komersial karena dapat tumbuh dengan cepat dan secara
ekonomis memiliki kepadatan sel yang tinggi. Namun, karena memiliki
dinding sel yang tebal, hal itu menghalangi ekstraksi karotenoid dengan
pelarut dan bioavailabilitas dari astaxanthin. Untuk itu, diperlukan suatu
metode untuk dapat mengekstrak astaxanthin dari Haemotococcus
pluvialis yang memiliki dinding sel yang tebal (Wu, dkk., 2011)
Salah satu metode yang banyak digunakan untuk ekstraksi
astaxanthin ialah dengan merusak dinding sel alga yang tebal.
Astaxanthin seluler dapat diekstrak setelah dinding sel Haemotococcus
pluvialis secara mekanis dipecah atau dicerna secara enzimatis. Banyak
penelitian sebelumnya yang menggunakan metode ini, Dimetil
sulfoksida (DMSO) telah berhasil digunakan sebagai agen untuk
merusak sel pada ragi Phaffia rhodozyma tetapi tidak cocok untuk
produksi massal untuk kelas food grade astaxanthin karena harganya

dan sifat toksiknya yang masih tinggi. Tingkat efisiensi tinggi dari
ekstraksi astaxanthin intraseluler tergantung pada tiga faktor, yaitu
efisiensi yang tinggi terhadap perusakan sel, laju degradasi astaxanthin
yang rendah, dan toksisitas residu pelarut yang rendah. Maka dari itu
diperlukan suatu agen perusak sel ragi yang mudah didapat dan bersifat
food grade untuk meningkatkan efisiensi ekstraksi astaxanthin dari alga
Haemotococcus pluvialis agar bisa diaplikasikan secara luas pada
bidang makanan (Xiou, dkk., 2009).
Pada penelitian ini, asam laktat dipilih untuk merusak sel alga
dalam ekstraksi astaxanthin karena diklasifikasikan sebagai GRAS
(Generally Recognized as Safe) untuk digunakan sebagai bahan
tambahan makanan oleh FDA Amerika Serikat. Selain itu, pada
penelitian sebelumnya, asam laktat telah berhasil digunakan sebagai
agen perusak dinding sel pada ekstraksi astaxanthin dari ragi Phaffia
rhodozyma (Wu, dkk., 2011).
Ekstraksi astaxanthin secara tradisional sering melibatkan
penggunaan pelarut beracun seperti kloroform atau pelarut mudah
terbakar seperti aseton dan petroleum eter (Chang, dkk., 2008). Untuk
mengatasi masalah ini dan untuk mengembangkan proses hilir alternatif
astaxanthin dari Haemotococcus pluvialis dengan kelayakan yang
tinggi,

diusulkan

metode

ekstraksi

yang

ramah

lingkungan

menggunakan etil laktat sebagai pelarut. Karena etil laktat ada dalam
bir, anggur, dan produk kedelai, telah disetujui oleh FDA untuk
digunakan dalam industri makanan selama bertahun-tahun. Selain itu,
etil laktat berasal dari sumber daya terbarukan dan dapat terbiodegradable menjadi CO2 dan air (Wu, dkk., 2011). Maka dari itu,
penelitian ini menerapkan asam laktat dan etil laktat dan mengetahui
kondisis proses yang efektif dalam mengekstrak astaxanthin dari alga
Haemotococcus pluvialis.

B. Identifikasi Masalah
1. Apakah asam laktat dan etil laktat dapat dikombinasikan untuk
mengekstrak astaxanthin yang bersifat food grade dan non toksik?
2. Apakah dinding sel alga Haemotococcus pluvialis dapat dirusak
dengan asam laktat?
3. Bagaimana hasil ekstrak astaxanthin dari alga Haemotococcus
pluvialis menggunakan etil laktat?
4. Bagaimana hasil ekstrak astaxanthin dari alga Haemotococcus
pluvialis pada berbagai kondisi?
5. Kondisi ekstraksi apa yang paling optimum dalam mengekstrak
astaxanthin menggunakan asam laktat dan etil laktat?

C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara mengekstrak astaxanthin dari Haemotococcus
pluvialis yang bersifat food grade dan non toksik?
2. Apakah asam laktat dapat bertindak sebagai agen perusak dinding
sel Haemotococcus pluvialis dalam mengekstrak astaxanthin?
3. Apakah etil laktat dapat digunakan sebagai pelarut alami dalam
mengekstrak astaxanthin dari alga Haemotococcus pluvialis?
4. Bagaimana kondisi ekstraksi yang optimum untuk mengekstrak
astaxanthin dari alga Haemotococcus pluvialis?

D. Manfaat
Manfaat pada penelitian ini ialah untuk menghasilkan ekstrak
astaxanthin yang efektif dari Haemotococcus pluvialis yang memiliki
sifat food grade sehingga dapat diaplikasikan secara luas dalam bidang
makanan.

BAB II
KAJIAN TEORI

A. Astaxanthin
Astasantin adalah pigmen yang termasuk dalam kelompok
pigmen alam dari karotenoid. Astasantin merupakan pigmen karotinoid
merah yang terdapat pada mikroalga. Astasantin terbanyak dihasilkan
oleh microalgae Haematococcus pluvialis. Sumber lain adalah hasil
fermentasi ragi merah muda Xanthophyllomyces dendrorhous atau
ekstrak dari produk pigmen seperti udang Antarctic krill (Euphausia
superba) atau kepiting. Astasantin banyak terdapat pada ikan, kerangkerangan, crustacean, zoo dan phytoplankton, bakteri dan lain-lain,
terutama organisme laut (Hashimoto dkk, 2007). Selain dari alam
astasantin juga dapat dihasilkan secara sintetis kimia, dan banyak
digunakan sebagai zat aditif untuk pakan ikan.
Senyawa karetenoid memiliki rentang variasi warna yang sangat
menarik, namun umumnya sensitf terhadap cahaya, panas, dan oksigen
serta sulit larut dalam air (Gusnidar et al., 2011). Belitz et al. (2009)
mengatakan bahwa stabilitas karotenoid berkaitan dengan keberadaan
ikatan rangkap dan ikatan tidak jenuh dalam struktur molekul karotenoid,
menyebabkan mudah pisah akibat degradasi oksidatif oleh zat kimia,
ezim, suhu, oksigen, dan cahaya. Karotenoid paling tidak stabil
dibandingkan dengan golongan pigmen yang lain yakni klorofil dan
flavonoid. Karotenoid terutama peka terhadap sinar yakni sinar
ultraviolet, panas oksigen dan asam. Beberapa karotenoid seperti
misalnya astaksantin dan fukosantin peka terhadap alkali (Mortensen,
2006). Ikatan rangkap pada rantai hidrokarbon sebagian besar
karotenoid seluruhnya berada dalam bentuk trans. Bentuk ini dapat
berubah menjadi cis antara lain karena panas ataupun sinar (Rodrigues,
2001).

Astasantin memiliki molekul yang sama dengan famili karotenoid


beta-karoten, tetapi sangat berbeda pada struktur kimia dan biologi.
Astasantin menunjukkan

potensi antioksidan

yang

lebih

tinggi

dibandingkan dengan beta-karoten (Cysewski dan Lorenz, 2000).


Astasantin juga mempunyai efek antidiabetik, meningkatkan daya tahan
tubuh, anti hipertensi dan neuroprotektif pada binatang (Heuer , 2007).
Astasantin memiliki kekuatan antioksidan yang jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan antioksidan lainnya, seperti: vitamin C dan vitamin
E. Sebagai zat antioksidan, astasantin memiliki aktivitas yaitu
menetralkan oksigen singlet dan peroksida lipid. Astasantin mempunyai
kekuatan 550 kali lebih baik daripada vitamin E dan 40 kali lebih kuat
daripada b-karoten dalam perannya untuk meningkatkan oksigen.
Dibandingkan dengan vitamin E, astasantin lebih kuat dalam
menghambat oksidasi lipid. Penelitian pada hewan menunjukan bahwa
astasantin mempunyai efek antioksidan yang dapat mencegah
kerusakan otot karena pelatihan, astasantin mengurangi kerusakan otot
secara umum dan otot jantung yang disebabkan oleh pelatihan, efek anti
kanker, dan efek anti peradangan. Astasantin juga dapat digunakan
sebagai bahan pewarna alami yang non toksik (tidak beracun) pada
industry makanan dan industry kosmetik. Food and Drug Administration
(FDA) telah menyetujui astasantin sebagai pewarna makanan atau aditif
warna untuk keperluan spesifik dalam makanan hewan dan ikan.
Astasantin ditambahkan ke dalam makanan salmon agar dagingnya
menjadi berwarna merah sehingga menarik bagi konsumen. Pada
peternakan ayam, astasantin efektif untuk meningkatkan warna pada
kuning telur. (Shang, 2007).

Gambar 1. Struktur Molekul Astaxanthin (Higuera dkk., 2006)

Astasantin mempunyai dua gugus karbonil, 11 gugus metil ganda


dan dua gugus hidroksi yang memungkinkan terjadinya esterifikasi
(Higuera-Ciapara dkk., 2006). Astasantin mempunyai 13 rantai ganda
terkonjugasi, yang menyebabkannya mempunyak kapasitas antioksidan
lebih baik dari pada beta karoten yang mempunya 11 rantai ganda.
Astasantin termasuk dalam kelompok karotinoid yang dikenal dengan
xantofil, atau karotinoid teroksigenasi. Xantofil merupakan puncak dari
aktivitas piramid karotinoid dan Astasantin berada di atas xantofil.
Struktur molekul Astasantin membuatnya menjadi antioksidan superior,
selain itu juga berfungsi untuk melindungi membran sel, melindungi
sistem kekebalan, dan melindungi dari proses degenerasi secara umum.
Astasantin mempunya kelompok OXO pada 4 dan 4 posisi prime
pada lingkar cyclohexene yang kemudian juga secara signifikan
meningkatkan aktivitas antioksidannya. Astasantin mempunyai gugus
hidroksil pada 3 dan 3 posisi prime, yang membuat molekulnya sangat
polar. Kombinasi dari modifikasi tersebut secara dramatis meningkatkan
aktivitas fungsi membran dan aksi mekanisme lainnya untuk melindungi
dari kondisi degeneratif, yang tidak ditemukan pada antioksidan lain
(Higuera-Ciapara dkk., 2006).

B. Ektraksi
Ekstraksi merupakan proses pemisahan dua zat atau lebih dengan
menggunakan

pelarut

yang

tidak

saling

campur.

Pemindahan

komponen dari padatan ke pelarut pada ekstraksi padat-cair melalui tiga


tahapan, yaitu difusi pelarut ke pori-pori padatan atau ke dinding sel, di
dalam dinding sel terjadi pelarutan padatan oleh pelarut, dan tahapan
terakhir adalah pemindahan larutan dari pori-pori menjadi larutan
ekstrak. Ekstraksi padat-cair dipengaruhi oleh waktu ekstraksi, suhu,
pengadukan, dan banyaknya pelarut yang digunakan (Harborne 1987).
Tingkat ekstraksi bahan ditentukan oleh ukuran partikel bahan tersebut.
Bahan

yang

diekstrak

sebaiknya

berukuran

seragam

untuk

mempermudah kontak antara bahan dan pelarut sehingga ekstraksi


berlangsung dengan baik. Ekstraksi dapat dilakukan dengan berbagai
cara yaitu ekstraksi bertahap, ekstraksi kontinyu, ekstraksi counter
current dan ekstraksi fluida super kritis.

a. Ekstraksi Bertahap
Ekstraksi bertahap adalah metode ekstraksi yang paling
mudah dan sederhana, dan pada pengerjaannya hanya memerlukan
corong pisah. Pada metode ini larutan sampel yang akan diekstrak,
dimasukkan ke dalam corong pisah, kemudian tambahkan pelarut
yang sesuai. Campuran tersebut kemudian digoncang beberapa
lama

sampai

komponen

yang

diekstrak

berada

dalam

kesetimbangan dengan komponen yang terdapat dalam sampel.


Diamkan larutan sampai pelarut dan larutan sampel terpisah. Pelarut
yang mengandung komponen sampel yang diekstrak dipindahkan ke
dalam wadah lain untuk dianalisis Iebih lanjut.

b. Ekstraksi Kontinyu
Ekstraksi kontinyu dapat dilakukan dengan menggunakan
sokletasi. Sokletasi dilakukan dengan pemanasan, sehingga uap
yang timbul setelah dingin secara kontinyu akan membasahi sampel,
secara teratur pelarut tersebut akan kembali kedalam labu dengan
membawa senyawa kimia yang terekstrak oleh pelarut tersebut.
Pada gambar 1 menunjukkan bagian dari alat soklet. Perangkat
untuk sokletasi terdiri dari kolom ekstraksi (B) yang dilengkapi
dengan pipa-pipa penghubung di salah satu kolom, labu bulat (A),
kondesor dan alat pemanas.

A schematic representation of a Soxhlet


extractor
1: Stirrer bar
2: Still pot (the still pot should not be
overfilled and the volume of solvent in
the still pot should be 3 to 4 times the
volume of the soxhlet chamber)
3: Distillation path
4: Thimble
5: Solid
6: Siphon top
7: Siphon exit
8: Expansion adapter
9: Condenser
10: Cooling water in
11: Cooling water out

B
C

Gambar 2. Alat Soklet (anonim, 2013)

c. Ekstraksi Counter Current (Ekstraksi Craig)


Sebuah metode multiple ekstraksi cair-cair adalah ekstraksi
berlawanan, yang memungkinkan pemisahan zat dengan koefisien
distribusi yang berbeda (rasio). Lyman C. Craig pada tahun 1943
menciptakan desain cerdas untuk metode ekstraksi berlawanan
yang dikenal sebagai alat Craig seperti pada gambar 2.

Gambar 3. Alat Craig dioperasikan secara manual (Efstathiou, 2000)

Prinsip kerja alat Craig adalah ekstraksi berganda yang


dilakukan

berulang-ulang

seperti

pada

gambar

4.

Dalam

perhitungannya diandaikan bahwa koefisien distribusi (Kd) = 1, dan


volume fasa organik maupun volume fasa air jumlahnya sama.

Gambar 4. Model Kerja Alat Craig (Efstathiou, 2000)

d. Ekstraksi Fluida kritis


Ekstraksi fluida superkritis adalah suatu proses ekstraksi
menggunakan fluida superkritis sebagai pelarut. Teknologi ekstraksi
ini memanfaatkan kekuatan pelarut dan sifat fisik dari komponen
murni atau campuran pada temperatur dan tekanan kritisnya dalam
keseimbangan fase (Palmer, 1995). Fluida superkritis adalah fluida
dengan tekanan dan suhu di atas titik kritisnya (Mc Hugh dan
Krukonis, 1986), yaitu suatu keadaan dimana fluida berada dalam
keadaan seimbang antara fase gas dan fase cairnya. Untuk
beberapa zat misalnya suhu dan tekanan kritisnya ialah 31C dan
73 atm.
Fluida kritis mempunyai kerapatan dan daya pelarutan yang
sama dengan pelarut-pelarut cair, namun mempunyai karakteristik
tertentu yaitu daya difusinya sangat cepat dan viskositasnya sama

dengan viskositas gas. Daya pelarutan yang mirip cairan dan difusi
yang mirip gas ini menghasilkan kondisi yang ideal untuk
mengekstraksi zat dari berbagai bahan dengan tingkat perolehan
yang tinggi dalam waktu yang singkat. Kerapatan fluida super kritis
yang dapat divariasikan dan dikendalikan dengan mengatur tekanan
dan suhu.
Tabel 1. Perbandingan Sifat Fisik Dari Gas, Cairan, dan Fluida Superkritis
(Hbshmann, 2009)

Fase
Gas
Fluida
Superkritis
Cair

Densitas
(g.cm-3)
10-3

Difusivitas
(cm2.s-1)
10-1

Viskositas
(g.cm-1.s-1)
10-4

0,1-1,0

10-3-10-4

10-3-10-4

<10-5

10-2

Selain itu menurut jenis bahan yang diekstrak, ekstraksi


dibedakan menjadi padat-cair, yaitu dengan cara sokletasi, perkolasi
dan maserasi dengan atau tanpa pemanasan. Metode lain yang lebih
sederhana dalam mengekstrak padatan adalah dengan mencampurkan
seluruh bahan dengan pelarut, lalu memisahkan larutan dengan
padatan tak terlarut.
a. Sokletasi
Ekstraksi dengan menggunakan alat soklet ini dipakai untuk
mengekstrak senyawa organik dari bahan alam seperti daun, akar,
dan batang. Keuntungan ekstraksi dengan metode ini yaitu sampel
dan pelarut yang diperlukan sedikit, proses ekstraksi berlangsung
cepat, dan dapat mengambil senyawa organik dengan optimal.
Kekurangan

metode

ini

yaitu

tidak

baik

digunakan

untuk

mengekstraksi senyawa yang dapat rusak karena pemanasan


(Dinda, 2008).
b. Perkolasi
PerkoIasi adalah ekstraksi dengan mengalirkan pelarut melalui
serbuk sampel bahan alam yang telah dibasahi. Keuntungan metode

10

ini yaitu sampel padat telah terpisah dari ekstrak. Kekurangan


metode ini adalah, pelarut tidak melarutkan komponen secara
optimal (Dinda, 2008).

c. Maserasi
Maserasi adalah perendaman sampel dalam pelarut organik
pada temperatur ruangan. Saat perendaman, senyawa bahan alam
dapat terekstrak karena terjadi pemecahan dinding dan membran sel
akibat perbedaan tekanan antara di dalam dan di luar (Lenny, 2006).
Keuntungan metode ini adalah peralatan yang digunakan sederhana
dan balk untuk senyawa bahan alam yang tidak tahan panas.
Kekurangan dari metode ini adalah membutuhkan waktu lama dan
banyak pelarut.
Pelarut yang bersifat polar mampu mengekstrak senyawa seperti
komponen fenolik, karotenoid, tannin, dan asam-asam amino. Pelarut
non polar dapat mengekstrak senyawa kimia seperti lilin, lemak, dan
minyak yang mudah menguap. Metanol merupakan senyawa polar yang
umum disebut sebagai pelarut universal karena selain mampu
mengekstrak komponen polar juga dapat mengestrak komponen non
polar seperti lilin dan lemak
Prosedur klasik untuk memperoleh kandungan senyawa organik
dari jaringan tumbuhan kering adalah dengan proses ekstraksi
berkesinambungan atau bertingkat dengan menggunakan beberapa
pelarut yang berbeda tingkat kepolarannya (Harborne 1987). Ekstraksi
berkesinambungan dilakukan secara berturut-turut dimulai dengan
pelarut nonpolar (misalnya n-heksan atau kloroform) dilanjutkan dengan
pelarut semipolar (etil asetat atau dietil eter) kemudian dilanjutkan
dengan pelarut polar (metanol atau etanol). Pada proses ekstraksi akan
diperoleh ekstrak awal (crude extract) yang mengandung berturut-turut
senyawa nonpolar, semipolar, dan polar. Hasil ekstrak yang diperoleh
tergantung pada beberapa faktor, yaitu kondisi alamiah senyawa
tersebut, metode ekstraksi yang digunakan, ukuran partikel contoh uji,

11

kondisi

dan

waktu

penyimpanan,

lama

waktu

ekstraksi,

dan

perbandingan jumlah pelarut terhadap jumlah contoh uji.


Pelarut yang digunakan untuk proses ekstraksi harus memenuhi
beberapa persyaratan yaitu pelarut tersebut merupkan pelarut terbaik
untuk bahan yang akan diekstraksi dan pelarut tersebut harus terpisah
dengan cepat setelah pengocokkan. Beberapa jenis pelarut organik
yang umum digunakan disertai sifat-sifat fisiknya dapat dilihat pada
Tabel 2.
TabeL 2. Beberapa Jenis Pelarut Organik dan Sifat Fisiknya (Nur dan
Adijuwana, 1989)

Titik Didih
(C)
35

Titik Beku
(C)
-116

Konstanta
Dielektrik
4,3

Karbon disulfit

46

-111

2,6

Aseton

56

-95

20,7

Kloroform

61

-64

4,8

MetanoI

65

-98

32,6

Tetrahidrofuran

66

-65

7,6

Di-isopropil eter

68

-60

3,9

N-heksan

69

-94

1,9

Karbon tetraklorida

76

-23

2,2

Etil asetat

77

-84

6,0

Etanol

78

-117

24,3

Benzena

80

5,5

23

Siklolieksana

81

6,5

2,0

Isopropanol

82

-89

18,3

Air

100

78,5

Dioksan

102

12

2,2

Toluena

111

-95

2,4

Asam asetat glacial

118

17

6,2

N.N dimetil

154

61

34,8

Dietilenaglikol
formamida

245

-10

37,7

Pelarut
Dietil eter

12

Kelarutan suatu zat di dalam pelarut bergantung pada jenis ikatan


di dalamnya apakah polar atau non polar. Zat yang polar seperti air
hanya larut di dalam pelarut polar, sedangkan zat-zat non polar hanya
larut di dalam pelarut non polar.
Astaxanthin adalah senyawa lipofilik dan dapat larut dalam
pelarut dan minyak. Pelarut, asam, minyak goreng, microwave dibantu
dan metode enzimatik adalah teknik yang biasa digunakan untuk
ekstraksi astaxanthin. Astaxanthin paling banyak didapatkan dan
terakumulasi

dalam

sel

alga

Haematococcus.

Astaxanthin

di

Haematococcus diekstraksi dengan pada kondisi asam yang berbeda,


asam klorida menghasilkan pemulihan 80% dari pigmen. Ketika sel-sel
dilarutkan dengan aseton 40% pada suhu 80C selama 2 menit diikuti
dengan penambahn enzim kitalase, selulosa, abalone dan bubuk
aseton, diperoleh pemulihan 70% dari astaxanthin. Hasil pigmen
astaxanthin yang tinggi diamati dengan perlakuan asam klorida pada
berbagai suhu selama 15 dan 30 menit menggunakan sonikasi. Dalam
studi lain, minyak nabati (kacang kedelai, jagung, zaitun dan biji anggur)
juga

dapat

digunakan

untuk

mengekstrak

astaxanthin

dari

Haematococcus. Kultur dicampur dengan minyak, dan astaxanthin


dalam sel diekstraksi ke dalam minyak, dengan pemulihan tertinggi 93%
dengan minyak zaitun. Astaxanthin (1,3 mg/g) diekstraksi dari Phaffia
rhodozyma di bawah kondisi asam. Ekstraksi yang dibantu dengan
microwave pada suhu 75C selama 5 menit menghasilkan 75% dari
astaxanthin.

Namun,

hasil

astaxanthin

tertinggi

ialah

dengan

menggunakan pelarut aseton. Hasil astaxanthin dari Haematococcus


adalah 80%-90% menggunakan ekstraksi fluida superkritis dengan
etanol dan minyak bunga matahari sebagai co-pelarut. Astaxanthin
diekstraksi berulang kali dengan pelarut, dikumpulkan dan diuapkan
dengan rotary evaporator, kemudian kembali dilarutkan dalam pelarut
dan absorbansi ekstrak diukur pada 476-480 nm untuk memperkirakan
kandungan astaxanthin. Selanjutnya ekstrak dapat dianalisis untuk

13

kuantifikasi astaxanthin menggunakan kromatografi cair tekanan tinggi


dan diidentifikasi oleh spektrum massa.

C. Haemotococcus pluvialis
Haematococcus pluvialis adalah spesies ganggang hijau yang
termasuk ke dalam filum Chlorophyta (Lorenz, 1999).Penelitian
mengenai H.pluvialis dimulai pada tahun 1797 oleh Girod-chantrans dan
penelitian tersebut dilanjutkan oleh peneliti eropa lainnya. Deskripsi
mengenai H.pluvialis pertama kali di lakukan oleh Flotow pada tahun
1844 dan pada tahun 1851 Braun menambahkan detail informasi dan
mengkoreksi beberapa kesalahan yang dilakukan pada penelitian
sebelumnya (Lorenz, 1999).
Haematococcus pluvialis, juga disebut sebagai Haematococcus
lacustris atau Sphaerella lacustris, adalah alga hijau dari orde
Volvocales, keluarga Haematococcaceae. Sekarang diketahui bahwa
alga dapat tumbuh di alam di seluruh dunia, di mana tedapat kondisi
lingkungan untuk pertumbuhan yang menguntungkan. Tidak ada
toksisitas terkait dengan Haematococcus yang pernah dilaporkan
sebelumnya dalam literatur. Haematococcus adalah ganggang hijau
yang diklasifikasikan sebagai:
Tabel 3. Klasifikasi alga Haemotococcus (Lorenz, 1999)

Filum

Chlorophyta

Kelas

Chlorophyta

Order

Volvocales

Family

Haematococcaceae

Genus

Haematococcus

Spesies

pluvialis

Komposisi umum alga Haematococcus terdiri dari karotenoid


umum, asam lemak, protein, karbohidrat, dan mineral (tabel 4).

14

Tabel 4. Komponen-komponen umum dari alga Haemotococcus (Lorenz,


1999).

Minimum

Maksimum

Rata-rata

Protein

17,30

27,16

23,62

Karbohidrat

36,90

40,0

38,0

Lemak

7,14

21,22

13,80

Besi (%)

0,14

1,0

0,73

uap air

3,0

9,00

6,0

Magnesium (%)

0,85

1,4

1,14

Kalsium (%)

0.93

3,3

1,58

Biotin (mg/lb)

0,108

0,665

0,337

7,0

12

7,5

Asam folat (mg/100 g)

0,936

1,48

1,30

Niasin (mg/lb)

20,2

35,2

29,8

Asam pantotenat

2,80

10,57

6,14

Vitamin B1 (mg/lb)

<0.050

4,81

2,17

Vitamin B2 (mg/lb)

5,17

9,36

7,67

Vitamin B6 (mg/lb)

0,659

4,5

1,63

Vitamin B12 (mg/lb)

0,381

0,912

0,549

Vitamin C (mg/lb)

6,42

82,7

38,86

Vitamin E (mg/lb)

58,4

333

186,1

abu

11,07

24,47

17,71

L-karnitin (g/g)

(mg/lb)

Haematococcus pluvialis memiliki persebaran yang luas,


terutama pada kawasan yang memiliki empat musim. Spesies ini
dikenal karena kemampuannya dalam memproduksi astaxanthin
(Anonim, 2014). Dalam keadaan lingkungan yang optimal untuk
pertumbuhannya, organisme ini bewarna hijau dan berenang bebas di
perairan tawar. Haematococcus akan memproduksi astaxanthin dalam
cekaman stres pada kondisi lingkungan yang minim akan nutrisi, kadar
garam tinggi, paparan sinar yang cukup tinggi, dan kondisi lingkungan

15

yang tidak menguntungkan lainnya, mereka akan membentuk spora


dan dengan cepat akan mengakumulasi astaxanthin pada selnya,
sebagai bentuk perlindungan dari kondisi yang tidak menguntungkan.
Spora akan terpecah kembali ketika kondisi lingkungan telah sesuai
untuk pertumbuhannya dan H.pluvialis akan kembali berwarna hijau
(Dore dan Cysewski, 2003).

Gambar 5. Sel alga Haemotococcus pluvialis dalam keadaan normal (kiri) dan
keadaan stress (kanan) (Capelli, 2013).

16

BAB III
Metodologi Penelitian

A. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini ialah:
1. Menerapkan asam laktat sebagai agen perusak dinding sel
Haemotococcus pluvialis dalam mengekstrak astaxanthin.
2. Mengetahui efektifitas etil laktat sebagai pelarut alami dalam
mengekstrak astaxanthin dari alga Haemotococcus pluvialis.
3. Menentukan kondisi optimum dalam mengekstrak astaxanthin dari
alga Haemotococcus pluvialis menggunakan etil laktat sebagai
pelarut.

B. Waktu dan Tempat


Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2015 hingga Maret 2015.
Tempat penelitian dilakukan di laboratorium kimia kampus A Universitas
Negeri Jakarta.

C. Alat dan Bahan


Peralatan yang digunakan adalah neraca analitik, alat-alat gelas
(tabung reaksi, gelas kimia, gelas ukur, pipet ukur, erlenmeyer, pipet
tetes, pipet gondok, pipet volumetri), oven, water bath, incubator shaker,
alat sentrifuge, HPLC dan Spektrofotometer UV-Vis.
Bahan yang digunakan ialah alga Haemotococcus pluvialis, asam
laktat, etil laktat, etanol, akuades, methanol, metil sianida.

17

D. Metode
Metode penelitian dilakukan melalui eksperimen:
1. Ekstraksi Astaxanthin
2. Penentuan kadar astaxanthin dengan HPLC
Data pada faktor dan level tiap kondisi ekstraksi di analisis dengan
teknik desain orthogonal dengan 4 faktor dan 3 level.

E. Prosedur Penelitian
1. Ekstraksi Astaxanthin
Untuk

ekstraksi

dari

astaxanthin,

suspensi

biomassa

Haemotococcus pluvialis disentrifugasi, dan pelet yang dihasilkan


diliofilisasi. Sel kering kemudian digiling menjadi bubuk halus dengan
menggunakan mortar dan alu dan dilewatkan melalui layar dengan
ketebalan 60 mesh (0,3 mm). Dibuat 3 replikasi bubuk halus sel yang
telah diliofilisasi dengan berat masing-masing 0,2 g dan ditempatkan
di botol kaca 20 mL. Kemudian masing masing bubuk sel
ditambahkan 10 mL asam laktat dengan konsentrasi 5 mol/L
ditempatkan dalam bak air dengan suhu terkontrol. Waktu proses
perusakan sel, waktu ekstraksi, dan suhu diatur sesuai dengan Tabel
1.

suspensi biomassa

disentrifugasi

18

pellet sel

diliofilisasi
digiling menjadi bubuk halus dengan mortar dan alu

dilewatkan dalam layar dengan ketebalan 60 mesh (0,3


mm) seberat 0,2 g

ditempatkan dalam botol kaca 20 ml


ditambah 10 ml asam laktat dengan konsentrasi 5 mol/L
dalam bak air dengan suhu terkontrol

fraksi sel yang telah


rusak

diekstrak dengan 15 ml etil laktat pada suhu kamar

Gambar 6. Bagan ekstraksi astaxanthin

Table 5. Faktor dan level kondisi ekstraksi astaxanthin dengan desain


orthogonal

Level

A T(oC)

B t (menit)

35

10

Etil laktat:etanol (1:1)

10

50

60

Etil laktat:etanol (3:1)

30

65

110

Etil laktat

50

C S (v/v)

D t (menit)

(A) suhu proses perusakan sel, (B) waktu proses perusakan sel, (C) pelarut
untuk ekstraksi, dan (D) waktu ekstraksi.

19

2. Prosedur analitik
Kadar astaxanthin ditentukan dengan kromatografi cair kinerja tinggi
(HPLC) menggunakan detektor UV pada 480 nm. Pelarut yang
digunakan adalah metanol: metil sianida (9:1, v / v), dan kecepatan
aliran adalah 1 mL min-1. Semua sampel dan pengujian dilakukan
dalam rangkap tiga.

F. Teknik Analisis Data


Desain orthogonal empat faktor dan tiga level digunakan untuk
mengevaluasi

efek

dari

faktor-faktor

pada

efisiensi

ekstraksi

astaxanthin, yaitu: suhu proses perusakan sel (A), waktu proses


perusakan sel (B), pelarut untuk ekstraksi (C), dan waktu ekstraksi (D).
Sembilan percobaan dilakukan untuk memperkirakan kondisi terbaik
untuk ekstraksi astaxanthin. Tabel 1 menunjukkan faktor-faktor dan level
uji. Data dianalisis menggunakan teknik percobaan orthogonal.
Tabel 6. Desain tes orthogonal L9 (34)
No.

1
1
1
1
2
1
2
2
3
1
3
3
4
2
1
2
5
2
2
3
6
2
3
1
7
3
1
3
8
3
2
1
9
3
3
2
M1*
M2
M3
R
* nilai rata-rata hasil dari faktor tiap level

1
2
3
3
1
2
2
3
1

20

Kadar
astaxanthin

G. Teknik Sampling
Pada pengambilan bibit alga Haemotococcus pluvialis sebagai
bahan utama dari astaxanthin, digunakan teknik Simple Random
Sampling yaitu suatu teknik yang tidak mempertimbangkan perbedaan
karakter setiap sampel bibit alga Haemotococcus pluvialis yang ada
karena hal tersebut tidak berpengaruh pada rencana analisis.

21

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Astaxanthin. Alga technologies. Diakses 10 Juni 2014.


An-Feng Xiao; Hui Ni; Hui-Nong Cai; Li-Jun Li; Wen-Jin Su; Qiu-Ming Yang.
2009. An improved process for cell disruption and astaxanthin
extraction from Phaffia rhodozyma. World J. Microbiol Biotechnol, vol
25, hlm. 20292034.
Ana Catarina Guedes, Helena M. Amaro, and Francisco Xavier Malcata.
2011. Microalgae as Sources of Carotenoids. Marine Drugs vol. 9, hlm.
625-644.
Beatriz Nobre; Filipa Marcelo; Renata Passos; Luis Beirao; Antonio
Palavra; Lusa Gouveia; Rui Mendes. 2006. Supercritical carbon
dioxide extraction of astaxanthin and other carotenoids from the
microalga Haematococcus pluvialis. Eur Food Res Technol, vol. 223,
hlm. 787790.
Belitz HD, Grosch W, and Schieberle P. 2009. Food Chemistry. 4th Revised
and Extended ed. Springer-Verlag Heidelberg, Berlin.
Capelli, Bob. 2012. Natural Astaxanthin: King of the Carotenoids Second
Edition. Cyanotech Corporation.
Chang Duk Kang; Sang Jun Sim. 2008. Direct extraction of astaxanthin from
Haematococcus culture using vegetable oils. Biotechnol Lett, vol. 30,
hlm. 441444
Cysewski, G.R. and Lorenz, R.T. 2000. Commercial potential for
Haematococcus.
Gusdinar, T. Singgih, M. Priatni, S. 2011. Enkapsulasi Dan Stabilitas
Pigmen Karotenoid Dari Neurospora intermedia N-1. Jurnal Manusia
dan Lingkungan.
Hashimoto, H., Kazuhiro, Y., Masayuki, Y. 2007. Carotinoid Science. An
Interdiciplinary Journal of Research of Carotinoid. Vol. 11.
Heuer, M. 2007. Dietary supplement for enhancing skeletal muscle mass,
decreasing muscle protein degradation, downregulation of muscle
catabolism pathways, and decreasing catabolism of muscle cells.
J.E Dore, and G.R Cysewski. 2003. Haematococcus algae meal as a source
of natural astaxanthin for aquaculture feeds. Hawai: Cyanotech
corporation.

22

R.T Lorenz. 1999. A Technical Review of Haematococcus Algae. Hawai:


Cyanotech corporation.
Ranga Rao Ambati; Siew Moi Phang; Sarada Ravi; Ravishankar Gokare
Aswathanarayana. 2014. Astaxanthin: Sources, Extraction, Stability,
Biological Activities and Its Commercial ApplicationsA Review.
Marine Drugs, vol. 12, hlm. 128-152.
Rodrigues-Amaya DB. 2001. A Guide to Carotenoid Analysis in Foods. NW,
Washington DC: ILSI Press. International Life Sciences Institute One
Thomas Circle.
Wei Wu; Mingbo Lu; Longjiang Yu. 2011. A new environmentally friendly
method for astaxanthin. Eur Food Res Technol vol 232 hlm. 463467.

23

You might also like