You are on page 1of 7

TUGAS MAKALAH

HUKUM DAN HAM


PROBLEMATIKA HUKUMANMATI BERKAITAN DENGAN HAM
(HAK ASASI MANUSIA) DI INDONESIA

Disusun oleh :
DHITYO SUDARMADI
(EIE008045)
MUCHAMAD CHOIRUL ANAM
(EIE008038)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2010

PROBLEMATIKA HUKUMANMATI BERKAITAN DENGAN HAM


(HAK ASASI MANUSIA) DI INDONESIA

A. PENDAHULUAN
Perdebatan tentang hukuman mati sudah cukup lama berlangsung dalam wacana hukum
pidana di Indonesia. Dari pendekatan historis dan teoritik, hukuman mati adalah
pengembangan teori absolut dalam ilmu hukum pidana. Teori ini mengajarkan tentang
pentingnya efek jera (detterence effect) dalam pemidanaan.
Dari pendekatan secara historis dan teoritik tersebut maka hukuman mati menjadi wacana
pro dan kontra di Indonesia sejak dahulu hingga sekarang. Bagi yang kontra didasarkan pada
alasan atau menyangkut HAM (Hak Asasi Manusia), salah satunya ialah hak manusia untuk
hidup hal ini didasarkan pada Pasal 28 A Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi "Setiap
orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya".
Keabsahan hukuman mati terus dipertanyakan. ini terkait dengan pandangan Hukum Kodrat
yang menyatakan bahwa hak untuk hidup adalah hak yang melekat pada setiap individu yang
tidak dapat dirampas dan dikurang-kurang (non-derogable rights) oleh siapapun, atas nama
apapun dan dalam situasi apapun termasuk oleh negara, atas nama hukum atau dalam situasi
darurat. Sebagai hak yang dianugerahkan Tuhan, hak hidup tidak bisa diambil oleh manusia
manapun meski atasnama Tuhan sekalipun. berangkat dari alasan inilah maka hukuman mati
bertentangan dengan Hak Asasi Manusia.
Sebaliknya bagi yang pro berpendapat bahwa penjatuhan hukuman mati tidak ada
hubungannya dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). sebab segala bentuk hukuman
pada dasarnya melanggar hak asasi orang. Penjara seumur hidup itu juga merampas hak asasi,
sebab pemidanaan dijatuhkan dengan melihat tindak pidana atau perbuatan yang dilakukan
oleh terdakwa. Hukuman mati dilakukan terhadap pelanggaran norma hukum yang

mengancam suatu perbuatan sehingga harus dihukum demikian. Secara normatif hukuman
mati diterapkan di negara-negara modern khususnya Indonesia atas perbuatan-perbuatan yang
berhubungan dengan subversi, makar, terorisme, pembunuhan berencana dan lain-lain.
Dengan demikian pantaslah orang yang melakukan demikian dijatuhi hukuman mati.

B. PERUMUSAN MASALAH
Berangkat dari problematika terhadap hukuman mati diatas maka penulis menarik sebuah
rumusan masalah yaitu Masih relevankah hukuman mati diterapkan di Indonesia berkaitan
dengan Hak Asasi Manusia?

B. PEMBAHASAN
1. Hak Asasi Manusia (HAM)
Sebelum kita membahas tentang hukuman mati terlebih dahulu kita bahas tentang Hak
Asasi Manusia (HAM). Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat
pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,
hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia (Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM). Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap
perbuatan seseoarang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun
tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi,
membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang
dijamin oleh Undang-undang, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan
memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang
berlaku (Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM).

Di dalam alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 juga dapat dipahami bahwa
Indonesia sangat menekankan pentingnya perlindungan Hak Asasi Manusia. Di dalam Pasal
28 A Undang-Undang Dasar 1945 amandemen kedua dijelaskan: Setiap orang berhak untuk
hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Di dalam Pasal 28 I ayat (4)
Undang-Undang Dasar 1945 amandemen kedua dijelaskan: hak untuk hidup, hak untuk tidak
disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,
hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum yang berlaku surat adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Pasal 28 A dan Pasal 28 I
Undang-Undang Dasar 1945 amandemen kedua merupakan pengaturan hak asasi manusia,
perbedaanya pasal 28 A Undang-Undang Dasar 1945 amandemen kedua hanya mengatur
tentang hak hidup seseorang tetapi Pasal 28 I Undang-Undang Dasar 1945 hak asasi manusia
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Baik dalam keadaan normal (tidak dalam
keadaan darurat, tidak dalam keadaan perang atau tidak dalam keadaan sengketa bersenjata)
maupun dalam keadaan tidak normal (keadaan darurat, dalam keadaan perang dan dalam
keadaan sengketa bersenjata) hak hidup tidak dapat dikurangi oleh Negara, Pemerintah,
maupun masyarakat. Hak hidup bersifat non deregoble human right artinya hak hidup
seseorang tidak dapat disimpangi dalam keadaan apapun. Hak hidup tidak bersifat deregoble
human right artinya dapat disimpangi dalam keadaan daraurat atau ada alasan yang diatur di
dalam peraturan perundang undangan, misalnya melakukan tindak pidana yang diancam
dengan hukuman mati.
Dari pembahasan tentang Hak Asasi Manusia diatas dapat kita simpulkan bahwa Negara
menjamin hak hak asasi tiap tiap warga negaranya yang terdapat dalam Undang-Undang
1945.
2. Hukuman Mati Dilihat Dari Sistem Hukum Indonesia
Seperti yang kita tahu bahwa di Indonesia terdapat 3 (tiga) sistem hukum: Sistem Hukum

Barat, Sistem Hukum Islam dan Sistem Hukum Adat. Ketiga sistem tersebut pada akhirnya
dikemas menjadi Sistem Hukum Nasional.
Ketiga sistem hukum tersebut membahas tentang kejahatan terhadap nyawa yang
berbeda-beda. Dalam sistem hukum barat yang tertuang dalam KUHP (Kitab Undang-undang
Hukum Pidana), Pidana mati adalah hukuman yang terberat dari semua yang diancamkan
terhadap kejahatan yang berat, misalnya :
a. Pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Di
dalam pasal tersebut dijelaskan: Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu
merampas nyawa orang lain diancam karena pembunuhan dengan rencana (moord) dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua
puluh tahun.
b. Kejahatan terhadap keamanan Negara, Pasal 104 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana). Di dalam pasal tersebut dijelaskan: Makar dengan maksud membunuh Presiden
atau Wakil Presiden atau dengan maksud merampas kemerdekaan mereka tidak mampu
memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana
paling lama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.
c. Melanggar Pasal 124 ayat (3) ke 1 dan ke 2 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)
ancaman hukumannya pidana mati atau penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu
paling lama dua puluh tahun.
Dalam sistem hukum adat sering kita dengar bahwa Nyawa harus dibayar dengan nyawa
hal ini menunjukan bahwa didalam hukum adat mengenal hukuman mati. Begitu pula
dengan Sistem hukum islam, Dalam kitab-kitab fikih, pembahasan tentang hukuman mati
menjadi bagian dari pebahasan tentang kriminalitas (al-jinayah) seperti pencurian (alsariqah), minuman keras (al-khamr), perzinaan (al-zina), hukum balas/timbal balik (alqishas), pemberontakan (al-bughat), dan perampokan (quttau tariq).

Dalam wilayah lain, hukuman mati juga dijatuhkan kepada pelaku perzinaan dalam
bentuk dilempar batu hingga mati (al-rajam) untuk pelaku perzinaan yang sudah menikah.
Juga hukuman mati dilakukan dalam kasus pemberontakan (al-bughat) dan pindah agama (alriddah) yang dikenal sebagai hukuman (al-had/al-hudud) atas pengingkaran terhadap Islam.
Termasuk dalam kasus meninggalkan ibadah salat, beberapa ulama mempersamakannya
dengan murtad (al-riddah). Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, Orang yang
meninggalkan shalat adalah kafir, kekafiran yang menyebabkan orang tersebut keluar dari
Islam, diancam hukuman mati, jika tidak bertaubat dan tidak mengerjakan shalat.
Sementara Imam Abu Hanifah, Malik dan Syafii mengatakan, Orang yang meninggalkan
adalah fasik dan tidak kafir, namun, mereka berbeda pendapat mengenai hukumannya,
menurut Imam Malik dan Syafii diancam hukuman mati (al-hadd/al-hudud), dan menurut
Imam Abu Hanifah diancam hukuman tazir, bukan hukuman mati.
Hukuman mati merupakan hukuman puncak, terutama untuk tindak pidana yang
dinyatakan sangat berbahaya seperti pembunuhan (al-qital) dimana jika tidak ada
pengampunan dari pihak keluarga dengan membayar denda pengganti (al-diyat), maka
pelakunya dapat dijatuhi hukuman mati sebagai bentuk hukum balas/timbal balik (al-qishas).
Dalam konsepsi ini, maka kejahatan dibalas dengan hukuman yang serupa. Dalam kasus
penetapan hukuman mati (al-qishas), ditetapkan beberapa syarat antara lain: bahwa yang
bersangkutan telah melakukan pembunuhan terhadap yang tak boleh (haq) dibunuh, atau
orang yang boleh (haq) dibunuh, akan tetapi belum diputuskan oleh hakim. Pelaku bisa
dihukum mati dengan ketentuan bahwa pada saat melakukan kejahatan telah cukup umur
(baligh) dan berakal (aqil).
Dengan melihat ketiga sistem hukum tersebut diatas dapat kita simpulkan bahwa tujuan
dari hukuman mati diberikan kepada mereka-mereka akibat dari perbuatan melanggar

kepentingan-kepentingan orang lain. Disini kita melihat dari perspektif hubungan hukum dan
ilmu-ilmu sosial yang tumbuh dalam masyarakat dan dalam hal ini negara juga wajib
melindungi warga negaranya terhadap tindak kejahatan terhadap nyawa.
D. KESIMPULAN
Dari pembahasan tersebut diatas dapat penulis tarik kesimpulan bahwa sebenarnya
hukuman mati masih relevan diterapkan di Indonesia jika dilihat dari kacamata hubungan
hukum dan ilmu sosial yang tumbuh dalam masyarakat walaupun dalam Undang-undang
Dasar 1945 telah dirumuskan bahwa Hak Asasi Manusia dalam hal ini tentang Hak Hidup
wajib dilindungi oleh negara yang bersifat non deregoble human right artinya hak hidup
seseorang tidak dapat disimpangi dalam keadaan apapun akan tetapi demi kepentingan umum
negara wajib memberi pembatasan HAM tentang hak hidup berdasarkan perbuatan sesorang
agar tujuan-tujuan dari hukum dapat berjalan dengan baik.

You might also like