You are on page 1of 228

MERANGKAI

KATA DAMAI
MERANGKAI
KATA DAMAI
Lahir dari sebuah program Katahati Institute yang bekerjasama
dengan CCRPS (Center for Conflict Resolution and Peace
Studies) IAIN Ar-Raniry dan didanai oleh masyarakat Jepang.
Program yang berlabel ‘Studi Antropologi dan Jurnalisme
Damai’, mendidik para jurnalis pemula, mahasiswa dan pelajar
menjadi seorang penulis yang handal.

Dengan semangat penulis Aceh masa silam, katahati institute


kemudian mengundang para penulis yang selama ini banyak
terlibat dalam penulisan opini di media-media lokal atau
nasional. Mereka adalah para akademisi, aktivis, jurnalis sampai
mahasiswa. Kumpulan tulisan ini disusun menjadi sebuah buku
yang berjudul Merangkai Kata Damai.

© 2009, Katahati Institute.


Jl. Lamreung No-17 Ulee Kareng
Banda Aceh 23117, Indonesia
Telp.(0651) 7410466
Fax. (0651) 636947
Email: info@katahati.or.id
Website: www.katahati.or.id

Hak cipta dilindungi Undang-undang.

xii + 210 h. 20 x 25 cm.


ISBN 978-979-16458-2-9

Sampul dan susunan isi dengan huruf Myriad


dirancang oleh Khairul Umami.
Daftar Isi

ix PENGANTAR

1 DAMAI ACEH, DAMAI KITA


DRH. IRWANDI YUSUF, M.SC

5 SEDIKIT (LAGI) TENTANG PERDAMAIAN ACEH


REZA IDRIA MOHD. ROEM

11 MENGGAPAI HARMONI SETELAH BERDAMAI


MASTHUR YAHYA

13 MERAWAT DAMAI DENGAN HATI


SEHAT IHSAN SHADIQIN

17 PANGLIMA AHTISAARI
MUNAWARDI ISMAIL

23 DARI HELSINKI TURUN KE ACEH


MUNAWARDI ISMAIL

27 ACEH: SEBUAH REFLEKSI PERGERAKAN


DAN MASA DEPAN PERDAMAIAN
MAIMUN

33 ISU-ISU KRITIS DALAM PEMBANGUNAN


PERDAMAIAN ACEH
SAIFUDDIN BANTASYAM SH MA

41 DAMEE-DAMEE
MUKHTARUDDIN YAKOB

45 Akhiri Jeritan;
ACEH MASUK BABAK BARU
MUHAMMAD HAMZAH
51 TINTA DAMAI
SAIFULLAH

57 JURNALISME DAMAI
MUHAMMAD SAMAN

65 PERDAMAIAN ACEH BERTOPENG SEBELAH


THAMREN ANANDA

73 4 TAHUN TANPA KEBENARAN


HENDRA FADLI

77 ACEH DI TANGAN IRWANDI-NAZAR


MUKHLISUDDIN ILYAS

83 MANDEKNYA IMPLEMENTASI MOU DAN UU PA,


KESALAHAN SIAPA?
ARYOS NIVADA

93 POTENSI ULAMA DALAM MEMPERTAHANKAN


PERDAMAIAN ACEH
MORINA OCTAVIA

99 SENSITIVITAS KONFLIK
RISMAN A RACHMAN

105 MAKNA PERINGATAN MOU PERDAMAIAN RI-GAM


RAIHAL FAJRI

109 ACEH : AGENDA KRUSIAL DALAM FASE TRANSISI


BULMAN SATAR

121 Aceh Baru:


SEBUAH WACANA PEMIKIRAN
EFFENDI HASAN

127 WALI DAN PERJUANGAN RAKYAT ACEH


EFFENDI HASAN

133 LUBANG HITAM DI ERA TRANSISI ACEH


SUADI (ADI LAWEUËNG) SULAIMAN

139 PASAR PERDAMAIAN


YUNIDAR Z.A

vi M E R A N G K A I K ATA D A M A I
147 MENJAGA PERDAMAIAN, MEMUPUK KEARIFAN LOKAL
BUSTAMI ABUBAKAR

155 PERDAMAIAN ITU SEPERTI GUNUNG PASIR


TEUKU KEMAL FASYA

161 KORUPSI DAN PERDAMAIAN DI ACEH


ISKANDAR ZULKARNAEN DAN TUBAGUS ERIF FATURRAHMAN

169 SABANG, PAX ROMANA, DAN KEMAKMURAN


AHMAD HUMAM HAMID

175 APBA DAN PERDAMAIAN DI ACEH


ABDULLAH ABDUL MUTHALEB

187 MERAWAT PERDAMAIAN DENGAN MEMUTUS RANTAI


SIKLUS KONFLIK ACEH
MARZI AFRIKO

193 UUPA DAN DAMAI ACEH


TAQWADDIN

199 SEBIJI LADA UNTUK PERDAMAIAN


AS’ADI MUHAMMAD ALI

205 PEREMPUAN DAN PEMILU PASCADAMAI DI ACEH


SRI WAHYUNI

D A F TA R I S I vii
Pengantar Penerbit

Membaca Aceh

Alhamdulillah, akhirnya buku ini bisa kami terbitkan. Setelah melalui beberapa
proses, kumpulan opini yang terangkum dalam buku ini diharapkan bisa menjadi
bahan bacaan, bagi pembaca Aceh untuk menumbuhkan ingatan tentang kisah-
kisah lama dan kini.
Menulis Aceh, terinspirasi Tom Pires, pelaut ulung asal Portugis saat menuliskan
Aceh dengan Achei dalam bukunya Suma Oriental pada tahun 1520. Achei ditabalkan
sebagai nama sebuah kawasan di Pulau Sumatera. Kawasan kerajaan yang mulai
jaya dalam perang hingga bisa mengusir bangsanya, Portugis dari Selat Malaka.
Sungguh tak diimpikan Tome Pires kemudian, bahwa Achei kemudian terus larut
dalam perang, hingga warganya kelelahan dalam kekerasan. Terpuruk kemudian
pada irama kehidupan yang tidak lebih hanya sebuah racikan ketulusan, kelicikan,
harga diri, ketamakan, kehormatan, dan keadilan, yang seringkali berawal atau
berujung dengan kekerasan dan darah.
Tom Pires juga tak menyaksikan kemudian, bahwa tanda kejayaan itu lahir lagi,
bahwa perang tak selamanya. Perdamaian telah lahir, terekam pada kisah-kisah
yang ditulis kemudian oleh ribuan pencatat sejarah. Kendati Aceh tak lagi bernama
Achei.
Dengan semangat para penulis Aceh masa silam, kami kemudian mencoba
mengundang para penulis yang selama ini telah banyak terlibat dalam penulisan
opini di media-media lokal atau nasional. Mereka adalah para akademisi, aktivis,
jurnalis sampai mahasiswa. Kumpulan tulisan inilah yang kami susun menjadi
sebuah buku yang berjudul Merangkai Kata Damai
Menulis opini adalah berpendapat, ide atau pikiran terhadap topik yang sudah,
sedang, belum dan akan terjadi. Opini tidaklah bersifat objektif karena belum
mendapatkan pemastian atau pengujian. Dan apabila di suatu saat bisa dibuktikan,
maka dia menjadi sebuah fakta. Ada juga pendapat, opini yang dibangun dari fakta
menjadi sebuah topik. Dengan membuat sebuah penilaian dan tanggapan, maka
kita telah mengubah fakta menjadi sebuah opini.
Hadirnya buku ini tidak lain dimaksudkan untuk memaparkan pikiran-pikiran
dan pendapat penulis atas perkembangan Aceh pasca-konflik yang ditandai
dengan penandatanganan perjanjian damai di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005
silam.
Buku ini lahir dari sebuah program Katahati Institute yang bekerjasama dengan
CCRPS (Center for Conflist Resolution and Peace Studies) IAIN Ar-Raniry dan didanai
oleh masyarakat Jepang. Program yang berlabel ‘Studi Antropologi dan Jurnalisme
Damai’ ini mendidik para jurnalis pemula, mahasiswa dan pelajar menjadi seorang
penulis yang handal.
Lalu mengapa buku ini diterbitkan? Katahati Institute menilai perlunya sebuah
usaha untuk mengumpulkan pemikiran-pemikiran penulis dalam membangun,
menjaga dan melanjutkan perdamaian Aceh melalui sebuah tulisan. Karena menulis
adalah sebuah proses mengamati, berpikir, menciptakan dan merenungkan.
Melihat kekinian Aceh dalam perspektif penulis menjadi sebuah ‘senjata’ yang
bermanfaat bagi perkembangan Aceh.
Bagi para pembaca, setelah anda membaca opini-opini dalam buku ini mungkin
akan menemukan keistimewaan-keistimewaan tertentu yang belum anda dapat.
Tergantung bagaimana menilainnya. Mungkin dengan buku ini juga anda akan
dapat menguak informasi yang masih tersembunyi. Informasi lama dan baru yang

x M E R A N G K A I K ATA D A M A I
lalu lalang, namun tak pernah tersaring di dalam pikiran dan benak anda.
Sebagai penerbit, terimakasih tak terhingga kami ucapkan kepada para penulis
dan pembaca. Karena pada hakikatnya, sekali lagi kami tegaskan bahwa terbitnya
buku ini dapat membantu kita semua selaku rakyat Aceh menjadi orang yang kritis,
peduli terhadap apa yang terjadi selama ini di bumi Serambi Mekkah. Ini sebuah
kumpulan catatan-catatan. Kumpulan inspirasi untuk berbagi.

Banda Aceh,17 Ramadhan 1430 H, 7 September 2009

FAHRUL RIZHA YUSUF


Direktur Eksekutif Katahati Institute

xi
drh. Irwandi Yusuf, M.Sc
Gubernur Aceh

Damai Aceh, Damai Kita

Damai sudah dalam genggaman rakyat Aceh sejak Memorandum of


Understanding (MoU) Helsinki ditandatanganu pada 15 Agustus 2005 lalu.
Alhamdulillah, kedamaian yang ‘hilang’ itu kembali terwujud ketika rakyat sudah
berada pada puncak kejenuhan dan penderitaan seusai dilanda konflik berdarah
dan dihempas tsunami yang menghancurkan sebagian besar wilayah Aceh pada
2004 silam.
Kini perdamaian Aceh sudah berusia empat tahun dan sedang menapaki jalan
lima tahun ke depan. Selama itu pula, rakyat sudah menikmati angin perdamaian
yang berhembus di saat kritis yang terkadang bisa mendegradasikan optimisme.
Perdamaian ini seperti gelas yang setengah berisi, bukan gelas yang setengah
kosong. Tapi yakinlah bahwa suatu saat gelas yang setengah berisi tersebut akan
menjadi gelas yang penuh. Karena itu, mari semua elemen untuk sama-sama
mengisi agar ‘gelas’ perdamaian itu berisi dengan air yang menyejukkan masyarakat
kita.
Memang, gerbong perdamaian yang bergerak hingga ‘tiga kilometer’ pertama
diserempet banyak aral. Aral itulah yang menjadi ujian sukses tidaknya kereta
perdamaian ini melintasi rel yang sudah digariskan para perancang perdamaian itu
sendiri.
Kita akui, dalam masa tiga tahun pertama, beberapa kali terjadi insiden yang
membuat kita menjadi pesimis. Membuat hati kita terasa luka. Tak tanggung-
tanggung, insiden yang terjadi itu berakhir pada kematian dengan motif yang
disamarkan. Mulai dari isu ekonomi yang sebenarnya—bertujuan politis, hingga
isu-isu kriminal yang brutal.
Hal-hal seperti inilah yang merupakan batu uji bagi rakyat Aceh, apakah ingin
kembali ke masa lalu atau ingin melaju menuju masa depan yang sudah di tangan.
Karena masyarakat pun harus menyadari, merawat pohon perdamaian ini berat. Dia
harus kita siram dan pupuk dengan urea yang baik. Jangan menebar racun ketika
pohon ini hendak menggapai angkasa.
Pemerintah Aceh yang kami pimpin pun tak tinggal diam dalam mengisi
perdamaian. Tentu saja bersama pemerintah pusat tetap terus memperhatikan
para korban konflik dan kombatan. Hanya saja butuh kesabaran, karena ini butuh
proses panjang dan tidak semudah mengutip ranting patah di bawah pohon.
Karena itu, pohon damai ini harus kita lestarikan, sehingga anak cucu kita bisa
memetik hasilnya pada suatu saat nanti. Semoga. Sama seperti kita melestarikan
hutan dan lingkungan, Insya Allah, anak cucu yang merasakan manfaat dari
perbuatan endatunya.
Situasi kondusi yang terbangun ini patut terus dipertahankan. Seperti kita
ketahui, perdamaian itu modal utama pembangunan. Kita harus belajar dari
berbagai peristiwa konflik masa lalu, mulai sejak zaman kolonialisme, perang
kemerdekaan, Perang Cumbok, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sampai kepada
gerakan perlawanan masyarakat sipil yang mengusung wacana referendum.
Karena itu, kita harus belajar pula dari perang dan konflik yang menciptakan
radikalisme dan rasa saling curiga. Tugas kita adalah mengubah dari kebiasaan
alam konflik menjadi kebiasaan alam damai.
Kita berharap Aceh tidak lagi menjadi lahan tandus kering yang di atasnya
tumbuh rerumputan kering yang mudah terbakar dan dibakar, lalu angin yang
bertiup akan menjalarkan konflik ke seluruh kebun Aceh.

2 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
Oleh sebab itu perdamaian yang sudah ada harus diisi dengan berbagai macam
kegiatan perekonomian, sosial, kebudayaan, pendidikan, olahraga, dan kegiatan
yang terkait dengan rekonsiliasi. Intinya damai harus bersemayam dalam jiwa dan
hati kita.
Selama ini perubahan demi perubahan telah nyata di bumi Aceh. Di sektor
ekonomi misalnya, terdapat kenaikan yang signifikan. Sebab pertumbuhan
ekonomi terus membaik. Hal tersebut dibuktikan oleh hasil survei Bank Indonesia,
yang memperoleh gambaran bahwa di luar sektor migas terus membaik, dibanding
tahun sebelumnya.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di luar migas triwulan I tahun 2009
melaju sebesar 4,4 persen, meningkat dibanding tahun 2008 yang hanya sebesar
1,9 persen. Pertumbuhan positif tersebut didorong oleh upaya-upaya serius yang
dilakukan pemerintah Aceh dalam meningkatkan produksi beberapa sektor utama
seperti sektor pertanian dan sektor perdagangan.
Kendati saat ini perdamaian sudah, sedang dan akan terus dipertahankan, namun
ruh dan hakikat perdamaian tersebut tidak akan berjalan secara mulus, manakala
masih ada kesenjangan yang tajam antara perkembangan sektor perkotaan dan
sektor perdesaan perdesaan.
Hakikat perjuangan oleh elite-elite masyarakat Aceh adalah untuk pemerataan
keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Itu pula yang menjadi entry point dalam
perumusan MoU Helsinki yaitu dengan mengedepankan peningkatan keadilan
dan kesejahteraan masyarakat tanah rencong.
Demokrasi di segala bidang hanya akan berjalan utuh, jika persebaran
pembangunan dapat dipenuhi sampai ke pelosok-pelosok atau sampai ke grass
root, sehingga proses reintegrasi, proses rehabilitasi dan proses rekonstruksi
pembangunan dengan berbasis hak, mengutamakan pemerataan keadilan dan
kesejahteraan bagi masyarakat secara bermartabat. Inilah harapan yang perlu kita
laksanakan secara bersama-sama ke depan.
Pemerintah Aceh dengan berbagai dukungan stakeholders akan berupaya
semaksimal mungkin untuk meningkatkan perekonomian masyarakat, melakukan
pemerataan pembangunan, peningkatan mutu pendidikan, peningkatan derajat

D A M A I AC E H , D A M A I K I TA 3
kesehatan masyarakat dan mengakselerasikan pembangunan di segala bidang.
Dengan harapan, seperti amanat Presiden RI, bahwa mempertahankan kedamaian
di Aceh adalah harga mati. Semoga damai Aceh, damai kita semua. Amin.***

4 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
Reza Idria Mohd. Roem
Peneliti senior di Metamorfosa Institute (Liga Kebudayaan Tikar Pandan)
Mahasiswa pascasarjana di Leiden University, Belanda.

Sedikit (Lagi) Tentang Perdamaian Aceh

Kata ‘perdamaian’ dan ‘damai’ dalam nalar berbahasa saya memiliki sekat tegas,
yang membedakan kepemilikan terhadap siapa yang bisa merasakannya, satu sama
lain. Khusus untuk mendefinisikan ‘perdamaian’, tidak dapat tidak kata ini hanya bisa
muncul dan disandarkan setelah ada dua pihak bertikai, dan terminologi tersebut
terwujud ketika kedua pihak telah memutuskan untuk berjeda atau samasekali
berhenti berseteru. Sementara ‘damai’ sebagai kata dasar berdiri sendiri sebagai
keadaan umum yang dapat dimaknai kurang lebih tentram jiwa raga, bisa sebagai
berkah dari keteraturan serta ketaatan, dan kerap juga merupakan janji-janji puncak
dari dianutnya norma-norma dalam agama-agama yang diserukan dari bumi dan
langit. Maka keberadaan ‘damai’ bisa tidak membutuhkan kondisi dimana ada
perseteruan sebagai awalan, sebagaimana keadaan sebaliknya yang dibutuhkan
untuk lahirnya sebuah perdamaian. Ini menjadi pijakan saya untuk menelaah satu
kajian ringkas bagaimana menyebut ‘perdamaian’ dan apa itu ‘damai Aceh’.
Di Aceh, tentu saja perseteruan dan perdamaian bukanlah kata yang terlalu asing
dalam sejarah klasik ataupun catatan modern suku bangsa yang mendiami ujung
pulau Sumatera ini. Tidak perlu terlalu jauh, sebentar saja setelah terprovokasi untuk
bergabung seiring euphoria kemerdekaan Republik Indonesia dan merayakan imaji
kebangsaan gugusan Nusantara (mungkin atas dasar persamaan pengalaman
melawan kolonialisme), Aceh mulai bergolak dalam serial pemberontakan demi
pemberontakan. Dimulai dengan pemberontakan DI/TII di Aceh akhir tahun 50-an
hingga awal 60-an, yang juga bermunculan di sejumlah daerah lain di Indonesia.
Menurut sejumlah ahli, perseteruan ini masih dapat dikategorikan sebagai
pemberontakan dalam lingkup nasionalisme Indonesia. Hal ini bisa dilihat dengan
tetap digunakannya nama Indonesia sebagai nama resmi Negara, dengan haluan
ideologi berbeda yang dicita-citakan dalam bentuk pengakuan tunduk di bawah
jejaring Negara Islam Indonesia (NII).
Sejurus kemudian, sejak Hasan Tiro memproklamirkan Aceh sebagai sebuah
suku bangsa yang berhak merdeka dan bebas dari telikung penjajahan modern
Indonesia-Jawa, maka gerakan separatis atau dalam bahasa akademik yang
lebih santun diistilahkan sebagai gerakan nasionalisme regional (lihat, Kees van
Dijk (2003): Coping with Separatism, Is there a Solution?) telah menjadi bagian tak
terpisahkan ketika orang membayangkan atau menyebut Aceh. Pasang surut
gerakan perlawanannya telah menorehkan sejumlah traktat perdamaian, yang
telah ditandangani dengan unsur ke-Aceh-an (baca: GAM/ASNLF) di satu pihak
dengan otoritas lain (baca: TNI/pemerintah RI) di pihak seberang. Sejumlah
traktat itu sayangnya hanya ada di atas kertas, untuk selanjutnya berakhir sebagai
kenangan perdamaian. Kegagalan demi kegagalan dalam meredam pertikaian
memberi warna dalam catatan-catatan penting atas peliknya kata ‘perdamaian’ bisa
dipahami dan diwujudkan di Aceh.
Setelah humbalang tsunami menggempur Aceh pada akhir Desember 2004,
kedua pihak yang menyumbang keberadaan para petempur di Aceh perlahan
tertekan oleh sorot tajam mata internasional. Akhirnya, kita tahu bahwa pada
15 Agustus 2005 satu traktat perdamaian yang berkaitan dengan penghentian
perseteruan Aceh kembali ditandatangani. Dan saat ini menjelang tahun kelima
usia traktat itu, masih ada sejumlah kecemasan dan keraguan terhadap akan
bertahannya perdamaian termutakhir ini, semisal pertanyaan-pertanyaan yang
dimulai dari sudah cukup kuatkah fondasi perdamaian itu, hingga mengukur-ukur

6 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
keinginan kedua pihak bertikai dalam mewujudkan arti damai dalam perdamaian
yang ada sekarang. Rasa cemas ini tentu saja menghantui kaum yang paling
menderita selama masa perang, yakni rakyat Aceh. Berkaca dari kegagalan-
kegagalan sebelumnya, kecemasan dan sikap skeptik ini cukup ditunjang dengan
adanya sejumlah aksi kejahatan bersenjata, pembunuhan, dan keributan-keributan
dalam pendistribusian kompensasi dana perdamaian yang tampaknya masih akan
terjadi hingga hari-hari ke depan. Bila rakyat Aceh masih merasa cemas dengan
perdamaian ini, maka bagi saya, pertanyaan pertama paling sederhana dan harus
diajukan di muka adalah siapa sebenarnya pemilik perdamaian Aceh? Yang tentu
saja tak cukup hanya dijawab oleh jargon bahwa “ini adalah perdamaian-nya rakyat
Aceh”. Ini penting dalam hemat saya untuk kemudian kita tahu apa yang harus
dilakukan dengan keberadaan perdamaian saat ini, untuk sekedar refleksi singkat
apa makna sebenarnya dari kata perdamaian sebelum di beri imbuhan, yakni
menuju satu frasa; damai Aceh.
Sejumlah kriminolog dan berita acara peristiwa pihak kepolisian mungkin akan
terlihat cukup berhasil dalam menganalisis bahwa keberadaan kekerasan bersenjata
dan perampokan yang masih terjadi di Aceh adalah tindak kriminal murni yang
memanfaatkan situasi Aceh yang masih rentan. Sekumpulan pengamat lain akan
menunding adanya pembiaran dan upaya-upaya sistematis yang bermuatan politis
di sebalik kekacauan yang masih terjadi di sana-sini. Di seberangnya, sejumlah
orang juga akan cenderung mengaitkan hal ini adalah ekspresi dari warisan
kekerasan perang yang akan masih akan menjangkiti tindak-tanduk masyarakat
Aceh, sebagaimana yang telah lebih dari tiga dekade diajarkan untuk berbudaya
demikian oleh parapihak dari dua golongan petempur. Saya pribadi lebih cemas
dengan kemungkinan terakhir. Di sini saya cukup percaya budaya kekerasan
ini tentu bukan hal yang gampang dikikis terlebih dalam situasi-situasi sensitif
ketika kepentingan banyak pihak belum terakomodir ke tahap yang memuaskan,
terutama para pihak yang dulunya terlibat aktif dalam menginisiasi perang. Jadi
tidaklah bijak bila hanya sudut pandang criminal, atau paranoid terhadap pusat
saja yang digunakan dalam melihat peristiwa yang sebenarnya jelas sekali menjadi
ancaman-ancaman laten terhadap perdamaian.

S E D I K I T ( L AG I ) T E N TA N G P E R D A M A I A N AC E H 7
Pertanyaan siapakah sebenarnya yang memiliki perdamaian Aceh yang saya
kemukakan di atas bisa juga adalah pertanyaan sensitif dan bernada cemburu,
yang bisa muncul dari masyarakat awam maupun para mantan petempur sendiri.
Setelah penghentian perang dan adanya keinginan masif dari masyarakat untuk
melihat perubahan struktur politik dan pemerintahan di Aceh, ada sejumlah
reformasi besar dalam formasi pemerintahan baik di kalangan eksekutif maupun
legislatif Aceh. Namun sejumlah kesenjangan yang terjadi kemudian memantik
kembali pertanyaan tadi, karena tentu saja ada kecenderungan sederhana untuk
menisbatkan kepemilikan perdamaian terhadap sesiapa yang dimudahkan dalam
menjangkau sejumlah akses kemakmuran. Hal ini adalah sesuatu yang terang
dan tak perlu dapat ditutup-tutupi hari ini, di mana sejumlah golongan di Aceh
memperoleh akses ekonomi yang besar meski tidak sesuai latar belakang profesi
mereka (lihat, Edward Aspinall (2009): From Combatant to Contractor).
Ketika kemudian sejumlah kesenjangan memicu kecemburuan sosial, baik
timbul dari masyarakat awam maupun mantan petempur itu sendiri, maka
perasaan ikut memiliki perdamaian akan begitu gampang tanggal dari benak
para pengawalnya (jelas bagi saya, rakyat adalah pengawal garda terdepan
perdamaian Aceh). Tentu saja menjelang tahun kelima perdamaian termutakhir ini,
dengan mengamati sejumlah potensi rusuh massa seiring pesta politik nasional
Indonesia, namun berhasil dilewatkan dalam suasana yang tenang di Aceh patutlah
diapresiasi sebagai sebuah bentuk berkah yang ditimbulkan oleh kesabaran tiada
tara masyarakat Aceh dalam mengawal perubahannya. Tapi percayalah sejumlah
teori sosial sudah menguji, pun masyarakat Aceh sendiri telah membuktikan
adanya batas kesabaran yang berakhir dalam bentuk perlawanan berkali-kali atas
kesenjangan yang tak lekas diselesaikan pusat. Maka hari ini ketika kepercayaan
dan pengawalan itu dilakukan oleh rakyat Aceh dalam bentuk memberi peluang
kepada formasi yang agak baru dan diisi oleh orang-orang baru, maka seharusnya
disadari bahwa ada jawaban yang ditunggu masyarakat dari kesabaran mereka.
Mereka menanti sebuah kata ‘damai’ bisa menjadi ikutan dari terwujudnya
perdamaian Aceh, mereka bukan sebagai penonton untuk mengidentifikasi siapa
sebenarnya yang menjadi pemilik perdamaian (baca: kemakmuran). Karena damai

8 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
yang sebenarnya bukan sekedar ada penghentian perang dan ada isi traktat yang
diperbincangkan, tetapi bagaimana sejumlah hajat hidup paling mendasar dari
rakyat bisa dilayani oleh orang-orang yang mereka beri kepercayaan.
Rakyat menunggu cara kerja baru dan hasil baru dari sejumlah orang baru
yang dipilihnya sebagai bentuk apresiasi mereka terhadap adanya perdamaian
setelah sekian puluh tahun mereka menjadi korban langsung dari pertikaian, dan
tentunya berisi cita-cita adanya suasana damai yang hakiki yang bisa tercapai dari
terpenuhinya hajat hidup terpenting mereka, yakni pendidikan, kesehatan dan
akses perekonomian yang setara. Untuk yang terpilih di level eksekutif dan yang
terbaru di tingkat legislatif, penting sekali mengingat-ngingat dan merefleksikan
kenapa bisa ada perseteruan, perdamaian dan apa cita-cita damai itu sendiri. Bila
tidak, perdamaian Aceh hari ini hanya menuju ke jalan gelap semacam pergantian
rezim yang disiratkan George Orwell dalam Animal Farm-nya, ketika sekumpulan
binatang yang dipimpin dua babi, Snowball dan Napoleon, memimpin revolusi
untuk kemudian menjadi tirani baru karena mungkin telah cukup lama belajar cara
menindas dari tuan sebelumnya. Bila hal ini tak disadari, jangan ditanya kemudian
kemana lagi damai pergi. ***

S E D I K I T ( L AG I ) T E N TA N G P E R D A M A I A N AC E H 9
Masthur Yahya

Menggapai Harmoni Setelah Berdamai

Perdamaian Aceh yang sudah ditetapkan melalui kesepakatan damai Helsinki


mulai menciptakan kehidupan yang lebih aman dibandingkan masa konflik antara
pasukan TNI/Polri dengan kelompok pejuang Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Akan
tetapi jika kita bertanya dari sisi lebih dalam, yaitu harmoni (baca: keselarasan hidup
yang berakar pada kerukunan, tidak saling curiga, hormat-menghormati, tentram)
seperti sediakala maka sebagian besar masyarakat menjawab dengan ragu-ragu.
Hal tersebut bukan tidak beralasan, pascakesepakatan damai Helsinki beberapa
tindakan kekerasan kerap terjadi. Kekerasan tersebut menurut pandangan
masyarakat adalah sangat dekat dengan iklim yang pernah terjadi pada masa
konflik tempo dulu yang juga melemahkan posisi perdamaian.
Harmoni menjadi keadaan yang ideal yang diharapkan terwujud di tengah
masyarakat Aceh pascakesepakatan damai dalam semua hubungan sosial, baik di
tengah masyarakat sipil, antarmantan kombatan dengan masyarakat sipil biasa,
maupun antara masyarakat sipil dengan militer. Harmoni yang dimaksudkan di sini
adalah sebuah kondisi kehidupan yang disepakati secara kolektif oleh masyarakat
Aceh sendiri untuk bersikap tenang satu sama lain dan menyingkirkan unsur-unsur
yang mungkin menimbulkan perselisihan dan keresahan, termasuk kekerasan fisik
maupun politisasi kekerasan tanpa pandang bulu seperti masa konflik.
Kerukunan hidup secara harmoni yang menguatkan perdamaian merupakan
kaidah kehidupan masyarakat yang bersifat menyeluruh. Dalam konteks
perdamaian pascakonflik, cita-cita kerukunan bukan terletak pada penciptaan
kondisi ketenangan sosial belaka, melainkan pada usaha untuk tidak mengganggu
keselarasan yang sudah ada, melalui butir-butir kesepakatan perdamaian,
ketenangan sosial merupakan keadaan normal yang akan didapat dengan
sendirinya selama keselarasan perdamaian tidak diganggu. Prinsip kerukunan
adalah penjagaan keselarasan dalam pergaulan dengan mengatur permukaan
hubungan-hubungan sosial yang kentara dengan mencegah kembalinya konflik
secara terbuka.
Pihak manapun harus berhati-hati dalam situasi pascakonflik, di mana
kepentingan-kepentingan yang berlawanan saling berhadapan. Kesepakatan
damai yang tidak menyentuh harmoni maka akan susah untuk mencapai gerbang
perdamaian hakiki, yaitu rekonsiliasi. Pengelolaan suatu konflik yang memadai tidak
hanya dituntut agar dapat sekadar meredakan suasana yang tegang, melainkan
dapat menghilangkan sumber-sumber ketegangan. Masalah yang dihadapi harus
dipecahkan dengan berorientasi pada ide keadilan. Yaitu bahwa hak semua pihak
terjamin, baik pihak yang terlibat secara langsung di masa konflik maupun yang
tidak terlibat.***

12 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
Sehat Ihsan Shadiqin

Merawat Damai dengan Hati

Setelah berlalu beberapa tahun sejak penandatanganan MoU Helsinki,


perdamaian di Aceh nampaknya mulai mengalami titik jenuh. Hal ini terlihat dari
munculnya berbagai aksi pembunuhan, perampokan, penawanan dan lainnya
yang semuanya menggunakan kekerasan. Aksi kekerasan merupakan bagian yang
tidak dapat dipisahkan dari konflik. Kalau kita kembali kepada masa-masa Aceh
dilanda konflik, lembaran pertama media masa selalu berlumuran darah. Saban hari
yang diangkat adalah pembunuhan, penembakan, sweeping dan lain sebagainya.
Sehingga, ketika hal yang serupa terjadi saat ini, memori kolektif masyarakat
Aceh kembali membayangkan kehidupan suram masa-masa konflik yang amat
menyakitkan hati. Ini menjadi alasan bagi sebagian masyarakat untuk mengatakan
perdamaian di Aceh mulai ternodai dan memungkinkan munculnya konflik baru.
Sebagai daerah yang sejarahnya terus dibalut dengan konflik maka perdamaian
di Aceh memang menjadi hal yang unik meskipun selalu dibutuhkan. Hampir
sepanjang eksistensinya Aceh tidak terlepas dari perang. Dimulai dengan perang
menentang kedudukan Portugis di Malaka dalam abad ke-XVI, kemudian
berabad-abad Aceh melakukan perang melawan ekspansi penjajahan Belanda.
Setelah Belanda lumpuh, Aceh mengahadapi agresi tentera Nipon, Jepang.
Pascakemerdekaan Aceh masih harus melakukan pemberontakan untuk menjamin
harga diri daerah dan agama dengan melakukan perang pemberontakan melawan
negara Indonesia yang baru terbentuk. Setelah damai dari perang DI/TII, Aceh
kembali bergejolak karena munculnya Aceh Merdeka yang kemudian menjadi
Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Kondisi ini terus berlangsung dalam masyarakat
Aceh hingga lahir MoU Helsinki pada tahun 2005. Belajar dari sejarah konflik dan
damai di Aceh ini nampak bahwa perdamaian yang terjadi di Aceh yang didasari
pada perjanjian-perjanjian sering kandas dan tidak berumur panjang. Konflik akan
muncul kembali dan kehidupan masyarakat akan kacau lagi.
Padahal kehidupan damai adalah kehidupan yang diimpikan oleh semua
orang. Meskipun konflik selalu mengambil semboyan “atas nama rakyat” namun
tidak ada rakyat yang mau hidup di dalamnya. Konflik justru membawa kehidupan
menjadi suram dan terhenti. Semua orang menginginkan kehidupan damai dan
aman di mana mereka dapat melakukan aktifitas sosial dan mengembangkan diri.
Hanya kehidupan damai yang mampu menjamin masyarakat melakukan kegiatan
sosial, ekonomi, budaya dan intelektual dengan baik. Konflik membuat banyak hal
berubah. Bangunan yang dibakar, harta yang dijarah, perkebunan yang ditinggalkan
dan lainnya. Demikian juga konflik menimbulkan pergeseran budaya yang besar.
Misalnya dalam hal melemahnya kekerabatan sosial, munculnya individualisme
dan penghargaan pada ulama dan orang tua.
Hal-hal di atas menuntut adanya upaya serius untuk menjadikan damai terus
berlangsung dan berjalan sebagaimana diimpikan oleh masyarakat. Upaya ini
hanya mungkin dilaksanakan jika adanya kesadaran semua elemen masyarakat.
Sebab kedamaian pada hakikatnya adalah kepentingan bersama sehingga menjaga
dan mewujudkannya juga harus bersama. Setiap orang mesti berperan dan
mengambil aksi sendiri dalam mewujudkan dan menjaganya. Mustahil menjaga
damai diberikan kepada pihak tertentu semisal pemerintah, aparat kepolisian atau
kelompok tertentu dalam masyarakat. Sebab tanpa keterlibatan dan keikutsertaan
semua eleman masyarakat maka perdamaian hanya akan menjadi ilusi dan
fatamorgana belaka.

14 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
Dalam konteks menjaga kedamaian bersama yang paling berperan adalah
individu. Artinya individu menjadi orang yang berkewajiban melakukan berbagai
perbuatan dan aktifitas yang menjamin dapat terwujudkanya kehidupan damai
dalam masyarakat. Pekerjaan individu sangat berkaitan dengan niat baiknya dalam
melakukan aktifitas. Bayak kejadian teror, pembunuhan, kekerasan yang ada selama
ini didasari pada kepentingan individu semata. Biasanya dilandasi pada persoalan
kerja, dendam masa lalu, hubungan sosial dan lainnya. Ini semua berakar pada
individu. Sehingga untuk membentuk kedamaian yang abadi perlu ditekankan
pada aspek kesadaran individu.
Pentingnya peran individu ini terkait juga dengan pernyataan berbagai lembaga
yang dulu menjadi pihak yang bertikai secara organisasi telah menyatakan berdamai
dan akan mewujudkan kedamaian di Aceh untuk selamanya. Oleh sebab itu, dapat
dipastikan munculnya konflik baru bukan lagi karena organisasi, namun ulah dari
orang-orang yang ada di dalam organisasi tersebut secara personal atau orang lain
yang tidak menginginkan kedamaian di Aceh berlangsung.

Dua pendekatan
Untuk mengatasi hal tersebut ada dua hal yang perlu dilakukan, yaitu
pengubahan mindset mengenai damai dan kehidupan bersama, dan menjamin
keterampilan kerja yang merata bagi masyarakat yang potensial memunculkan
konflik. Pengubahan mindset dimaksudkan untuk memberikan wawasan kepada
masyarakat tentang pentingnya kehidupan bersama. Manusia tidak mungkin dapat
mengasingkan diri dan berkembang tanpa melibatkan orang lain. Mengasingkan
diri justru akan menjadikan sebuah masyarakat tertinggal dalam berbagai
kehidupan bahkan lama-kelamaan akan berubah menjadi “suku terasing” yang
tidak memiliki peradaban.
Merubah mindset ini perlu disebabkan banyak orang yang terlibat menjadi aktor
konflik di tingkat bawah pada masa lalu adalah mereka yang sebenarnya tidak
memiliki cara pandang dunia yang terbuka dan tidak mengerti dan menghargai
hak asasi orang lain. Aktor-aktor bawah inilah yang digunakan oleh orang yang
memiliki kepentingan lebih besar, baik secara pribadi atau organisasi sehingga

M E R AWAT D A M A I D E N G A N H AT I 15
konflik terus bertahan. Hal ini pasti akan berbeda jika di tingkat masyarakatnya
ada kesadaran masif akan buruknya konflik. Mereka tidak mau terlibat di dalamnya
hingga kepentingan yang digagas oleh aktor yang lebih tinggi tidak akan berjalan
dengan baik.
Selain itu diperlukan sebuah upaya menjamin pemerataan keterampilan kerja
kepada masyarakat yang potensial menimbulkan konflik. Saya menekankan
keterampilan kerja bukan modal usaha sepeti yang selama ini banyak diprogramkan
oleh pemerintah dan NGO. Keterampilan kerja akan membuka kemandirian dan
kreatifitas sehingga mereka “sibuk” dengan kreatifitas tersebut. Hal ini berbeda
dengan memberikan modal usaha pada orang yang tidak memiliki kemampuan
skill usaha. Pemberian itu justru dimanfaatkan untuk hal-hal yang konsumtif yang
hanya bertahan dalam jangka waktu pendek. Seiring perjalanan waktu pemberian
modal usaha justru menimbulkan ketergantungan dan memudarkan semangat
kerja dari masayarakat. Bahkan jika pembagian modal usaha tidak dilakukan
dengan pertimbangan yang bijak bisa jadi ia berubah menjadi awal dari munculnya
konflik dalam masyarakat.

Penutup
Mencermati fenomena di atas maka masalah perdamaian sangat ditentukan oleh
keinginan baik dari individu yang menjadi anggota masyarakat Aceh. Seandainya
dalam dada semua masyarakat tertanam keinginan untuk menjadikan kedamaian
di Aceh abadi, maka benih-benih konflik akan hancur sebelum berkembang. Untuk
kepentingan ini diperlukan kerja sama semua pihak dan organisasi sosial masyarakat
untuk terus menerus memberikan kepahaman bahwa hidup damai adalah hidup
dengan dengan penghargaan kepada orang lain. Hal ini perlu dilakukan sejak
dini dan dalam berbagai kelompok sosial masyarakat. Hanya dengan demikian di
dalam hati setiap masyarakat Aceh akan tertanam keinginan untuk hidup damai
dan menjaganya sepanjang masa. Wallahu a’lam.***

16 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
Munawardi Ismail
Pekerja media di Banda Aceh

Panglima Ahtisaari
(Surat Terbuka Untuk Peraih Nobel Perdamaian 2008)

Yang Mulia Tuan Martti Ahtisaari. Mitä kuuluu Mister Ahtisaari. Toivon, että sinusta
tuntuu hyvältä. Kehu teidän palkinnon (terjemahan bebasnya; apa kabar Mister
Ahtisaari, saya harap anda baik-baik saja. Selamat atas penghargaan yang anda
terima). Tuan, kami rakyat Aceh, pantas memberi apresiasi atas Nobel Perdamaian
yang anda terima.
Ini warkah saya tulis secara terbuka agar para Yahwa dan Mawa di segala pesolok
gampong Aceh ikut membaca. Sebab merekalah yang menikmati ’pohon’ damai
sesudah anda bantu semai. Damai itu, membuat mereka bisa kembali ke ladang,
mulai dari tanom pade sampai pula campli, tapi bukan pula pingkui.
Maaf kalau ketika membuka surat ini, saya mengawali dengan mengutip bahasa
Suomi, bahasa yang—mungkin--anda pakai sehari-hari. Kalau salah harap maklum,
karena ini saya kutip dari internet. Dengan teknologi, Aceh dan negara anda cuma
selebar komputer jinjing.
Kini, saya tidak tahu, apakah anda masih tetap memantau situasi nanggroe
tsunami; Aceh. Apalagi sesudah tuan menerima Nobel Perdamaian pada 10
Desember lalu. Setahu saya anda menjadi orang ke 89 yang menerima Nobel di
bidang perdamaian, setelah Jean Henri Dunant dari Swiss dan Frédéric Passy asal
Perancis yang menerimanya pertama kali pada 1901.
Tuan Martti, saya ingin kabari bahwa, menjelang Pemilihan Umum 2009 nanti,
situasi Aceh diprediksikan bakal panas sekali, bukan karena ekses pemanasan global
atau gara-gara hutan yang terbakar. Suasana itu dipengaruhi oleh suhu politik.
Apalagi pemburuan kursi legislatif juga kian ketat dengan adanya partai lokal di
sini. Padahal kami berharap, Pemilu nanti bisa sejuk, sedingin salju di Helsinki. Tapi
apa daya, semua kadung terjadi.
Tuan, kami rakyat jelata, tidak bicara soal tahta. Kami tahu, pemilu itu pesta
demokrasi, kalau ’enak’ kami ikuti, jika tidak juga tak boleh dipaksai. Apalagi sampai
harus membuat fatwa haram bagi yang tidak berpartisipasi (baca: golput). Maaf
tuan, saya tidak menggurui, mungkin begitulah prinsip orang berdemokrasi. Tak
boleh intimidasi apalagi memaksa sesuka hati.

Tak Ingin Konflik


Beranjak dari klausul perjanjian yang sudah ditandatangani, kami tahu ada
perkara mulia di sana buat rakyat jelata. Dengan damai, kami bisa hidup merakit asa
yang sempat dihayak senjata. Menata negeri supaya maju. Agar rakyat bisa hidup
sejahtera, tanpa perlu menadah tangan meminta-minta. Dengan potensi yang
melimpah, kami ingin, supaya rakyat juga tidak perlu hidup susah. Meski itu tidak
mudah, tapi jangan pula dibuat hati rakyat makin gundah. Pasalnya, banyak aturan
yang menjadi amanat undang-undang, tapi belum juga kelar. Bagaimana ini Tuan?    
Bagi kami, itu tugasnya petinggi negeri yang sedang bertahta. Mereka berhak
menagih dan meminta kepada yang lebih berkuasa di Jakarta. Kami hanya rakyat
jelata, cuma ingin agar tak ada lagi amuk senjata. Tuan Presiden lebih tahu, konflik
yang membuat hidup menjadi pelik. Oleh karena itu, kami rindu Aceh tanpa mesiu.
Rindu Aceh tanpa perang, termasuk ’perang’ kata-kata, seperti banyak diberitakan
media. Jangan sampai pula, gara-gara perang-perangan membuat kami berhenti
berladang.
Kami tak ingin, petinggi di sini saling tuding-menuding. Semuanya harus akur.
Semua pihak seharusnya bersanding, bukan bertanding. Biarlah yang bertanding

18 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
itu para pemain sepakbola saja. Betul tidak Tuan? Lalu, kalau ada rasa curiga
sebaiknya di-stipo saja. Jangan curigai bahwa kami ingin merdeka lagi, merdeka itu
sudah cukup sekali, sebab setelah itu mati.
Tuan Martti. Kami sudah lelah berpeluh darah. Kami berharap damai itu tidak
semu seperti yang diketuskan petinggi negeri. Seharusnya itu kita jaga bersama-
sama, agar damai tidak sirna. Bukan itu saja, kita pun harus memupuk damai ini dari
yang katanya semu menjadi nyata, jika dia belum tumbuh, mari kita sirami biar dia
cepat berakar.

Panglima Ahtisaari
Tuan Ahtisaari. Di hari anda menerima penghargaan bergengsi dalam karier
sebagai politisi, sebenarnya kami ingin memberi juga sebuah gelar untuk Tuan.
Boleh jadi itu sebagai rasa terima kasih, atawa sebagai tanda jasa untuk anda yang
paling istimewa. Ya, anda telah berjasa bagi perubahan Aceh.
Setahu saya, para endatu kami dulu juga acap memberi gelar kehormatan
kepada mereka yang sudah berjasa. Gelarnya pun ada macam-macam, tapi yang
pasti itu amat-amat terhormat. Namun, sampai saat ini, saya melihat belum ada usul
dari orang yang membidangi adat-isitiadat guna memprakarsai itu.
Saya yakin, mereka bukan lupa, tapi sedikit sibuk mengurusi proyek. Ya, mulai
dari proyek jalan becek, sampai saya tak tahu hendak bilang apalagi ke Tuan. Karena
’gelombang’ anggaran yang datang ke Aceh, bak hujan turun dari langit. Semoga
ini tidak membuat mereka lupa dataran. Sebab kalau lupa, bisa-bisa mereka harus
’berenang’ di kamar sempit lembaga permasyarakatan.
Tuan Presiden, saya yakin dedikasi anda itu tanpa berharap imbalan dan pamrih.
Semua bermula dengan ketulusan merakit perdamaian. Soal sebuah gelar, ini bukan
untuk menambah eforia saja. Tapi murni sebagai bentuk menghargai kerja orang
lain. Ini tulus sebagai rasa terima kasih untuk kerja berat yang sudah Tuan perbuat.
Karena itu, jika anda berkenan datang lagi ke nanggroe kami. Saya ingin
memberi gelar tinggi, mungkin tak setinggi gunung Halimon, sebab tak kuasa kami
daki. Buktinya, kami pernah 32 tahun terperosok di sana. Ah, itu masa lalu Tuan,
sudah kami kuburkan bersama puing-puing gelombang tsunami.

PA N G L I M A A H T I S A A R I 19
Tapi anteeksi (maaf) Tuan, saya belum punya referensi tentang banyak gelar
warisan nenek moyang kami. Mungkin semuanya masih tersimpan rapi dalam
almari di Leiden, Belanda. Nah, ini kesempatan lagi untuk kembali studi banding
atau mencari jejak ke sana. Masalahnya bukan cuma itu saja Tuan, sampai saat
ini pun, yang berhak memberi gelar belum ada. Kalau tidak salah Wali Nanggroe
namanya. Itu pun, sampai kini, kami belum tahu siapa orangnya.
Qanun Wali Nanggroe yang menjadi amanat dari Helsinki pun tak kami ketahui
juntrungnya. Kabarnya sudah disusun rapi, tapi belum finalisasi. Sekali lagi anteeksi
Tuan, itu tugas anggota dewan, jadi kami tak berani campuri. Kami rakyat jelata
hanya bisa diam untuk sementara. Sembari menunggu aturannya, tak ada salahnya
kami mulai menyeleksi gelar yang tepat untuk Tuan.Sambil menanti kelar Qanun
Wali Nanggroe.
Mungkin biarkan kami menggelari anda panglima saja. Ya, Panglima Martti
Ahtisaari. Panglima itu juga jabatan yang sudah lazim di tempat kami. Contohnya
ada Panglima Laot. Lembaga Panglima Laot ini sudah berdiri sejak Sultan Iskandar
Muda. Dia itu raja kami dahulu kala yang gagah perkasa, membuat Aceh kaya raya.
Gelar itu, tak mungkin kami sematkan untuk Tuan. Karena Tuan berjasa bukan
hanya di laut dan darat saja. Damai itu membuat semua sendi kehidupan berdenyut
lagi. Kemudian ada lagi Panglima Uteun, tapi ini tak cocok dan tak banyak dipakai,
sebab mereka hanya Pang Seuneubok.
Lalu Panglima Polem, ini gelar untuk kalangan bangsawan istana. Jadi yang
berhak menyandang itu hanya orang-orang yang berdarah biru saja. Begitu pula
dengan Panglima Kawom. Ini juga skopnya kecil, hanya untuk kelompok atau
kalangan sebuah etnik saja. Panglima Tibang sama juga. Dia hanya mengurusi
urusan syahbandar pelabuhan. Dalam negara modern sekarang—mungkin—dia
setara dengan kepala imigrasi. Untuk sekedar Tuan ketahui, Panglima Tibang pun
kadung cacat namanya. Kesannya sudah negatif.
Kalau Panglima Prang, jelas-jelas tak mungkin lagi, sebab negeri ini sudah damai.
Kalau Panglima Damai juga lebih-lebih salah kaprah, sebab tak ada literaturnya
dalam kamus masa silam Aceh. Untuk sementara sebagai bentuk penghargaan, tak
ada salahnya kami panggil Panglima Martti saja. Sembari menanti gelar yang layak

20 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
dari lembaga yang berhak menganugerahinya. Semoga anda berkenan.
Tuan, anda pasti tambah bingung melihat tulisan ini. Logis sekali, sebab saya
tidak menulis dalam bahasa yang anda pakai sehari-hari. Dan, kalau—mungkin
saja—ada orang yang kurang senang dengan warkah ini. Anggap saja ini tulisan
lalu. Eh, angin lalu maksud saya.
Sebab niat saya hanya ingin merekam suara jelata yang sudah bertumpuk dari
Sabang hingga Tamiang. Karena ini juga harapan mereka di Ate Fulawan (Simeulue)
sampai Lawe Bulan (Aceh Tenggara). Ini pula keinginan orang-orang Lembah
Seulawah sampai lewat Bener Meriah, juga hasrat para pedagang dan nelayan.
Harapan petani dan semua mereka yang mengagungkan damai.
Makanya Tuan, jika negeri ini damai, kami tak rugi. Kalau ada yang masam muka
karena Aceh begini, itu musuh yang harus dipreteli. Betul tidak Tuan? Kiitos (terima
kasih) anda sudah bersedia menyimak surat ini. Anteeksi jika ini tak berkenan di hati.
Näkemiin!***

PA N G L I M A A H T I S A A R I 21
Munawardi Ismail
Pekerja media di Banda Aceh

Dari Helsinki Turun Ke Aceh

Helsinki mendadak tenar di Aceh. Bukan tanpa alasan, nama kota yang ada tepi
Teluk Finlandia dan Laut Baltik itu mengepul dalam benak Rakyat Aceh. Aromanya
seharum kopi yang acap diseruput warga tanah rencong.
Begitu pula yang terjadi dengan Helsinki yang tak lain sebuah ibu kota sekaligus
kota terbesar di Finlandia. Kawasan itu penduduk sebanyak 562.570 jiwa. Kota ini
terletak di bagian selatan Finlandia, di tepi Teluk Finlandia dan Laut Baltik.
Kota Helsinki, paling tidak—meski kurang sama— hampir serupa dengan
tipologi Banda Aceh yang dibelah sungai (baca: Krueng Aceh) dan Selat Malaka.
Sanking pentingnya, kini sebuah tempat kongkow di kota ibu kota Aceh pun
ditabalkan dengan namanya.
Dari berbagai literatur disebutkan, Daerah Helsinki Raya (Greater Helsinki)
melingkupi lebih banyak kota-kota di sekitarnya dan memiliki 1.283.093 penduduk
yang berarti satu dari empat penduduk Finlandia tinggal di daerah tersebut.
Helsinki adalah pusat bisnis, keuangan, mode, hiburan, media, dan budaya di
Finlandia dengan jajaran museum, galeri, dan tempat pertunjukan. Kota ini juga
menjadi pintu gerbang internasional Finlandia.
Helsinki memiliki jumlah warga asing terbesar di Finlandia baik dalam jumlah
nyata maupun persentasenya. Mereka terdiri dari sekitar 130 kewarganegaraan
dengan mayoritas dari Rusia, Estonia, dan Swedia.

Dari Helsinki ke Aceh


Kota Helsinki menjadi saksi agung pada 15 Agustus 2005 silam. Ini adalah
momentum paling fenomenal bagi masyarakat kita; Aceh. Jatuhnya tanda tangan
dua pihak pada perjanjian kesepakatan damai bermakna ganda bagi bangsa kita,
tetutama rakyat Aceh. Itulah rahmat yang tak terkira.
Perjanjian damai yang lebih dikenal masyarakat dengan nama Memorandum
of Understanding atau MoU Helsinki mengakhiri kesengsaraan akibat konflik.
Bencana dahsyat tsunami yang menghancurkan sebagian besar wilayah Aceh pada
2004 yang lalu juga menyadarkan Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka untuk
mengakhiri konflik 29 tahun.
Aroma kedamaian yang berhembus dari kota itu hinggap ke pelosok Aceh.
Damai itu bening, turun selembut salju di sana. Bagi Aceh, damai itu laksana butiran
hujan di ladang gersang. Dengan kehendak Allah SWT, perdamaian itu terwujud
ketika rakyat sudah berada pada puncak kejenuhan dan penderitaan. Menderita
akibat konflik dan dilantak tsunami.
Kini, ketika gerbong damai sudah meniti pada posisi empat tahun, tentu banyak
kerikil di dalamnya. Tapi, masa-masa itu sudah amat dinikmati dan dihayati rakyat
kita. Bagaimana angin perdamaian itu berhembus dalam masa-masa rawan yang
menyiratkan pesimisme.
Pesimisme itu menguat di antara duri-kuri kecil yang acap menganggu proses
perdamaian yang sedang berlangsung di daerah kita. Adakala kerikil itu tak bisa
dihindari dan kerap kali membuat kita gamang. Tapi, Alhamdulillah, rakyat Aceh
belajar banyak dari corobong perdamaian ini.
Perdamaian Aceh yang sudah empat tahun ini bukanlah tanpa ujian, beberapa
kali terjadi insiden yang berujung pada kematian-kematian mantan kombatan.
Motifnya sering samar; antara isu ekonomi dan politis.
Insiden-insiden kekerasan yang sempat terjadi pada lintasan tiga tahun

24 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
perdamaian itulah kerikil. Ini menjadi batu uji bagi rakyat Aceh. Apakah ingin
kembali ke masa lalu atau ingin melaju menuju masa depan yang sudah di tangan.
Masa depan merajut ketertinggalan dalam berbagai sektor, terutama ekonomi
dan pembangunan. Pemerintah tentu mendapat tantangan besar dalam mengisi
perdamaian ini. Tak sedikit persoalan yang belum dituntaskan. Program reintegrasi
menjadi pekerjaan besar yang membutuhkan energi ekstra. Jika salah dalam
mengelola, bukan tak mungkin ’kerikil’ yang kita khawatirkan akan menghadap
jalan perdamaian.
Persoalan ekonomi juga bisa menjadi sandungan. Pasalnya banyak kombatan,
korban konflik dan masyarakat yang menerima ekses konflik hidup sulit. Tingkat
pengangguran juga tinggi. Meski upaya ke arah sana terus diupayakan pemerintah,
tapi tak semudah membalik telapak tangan.
Masyarakat juga tak boleh terus-terusan cuma menengadah tangan ke atas.
Karena itu segala potensi ekonomi harus mendapat prioritas untuk dikembangkan.
Membangun sarana dan prasarana memudahkan masyarakat dalam berusaha
meretas jalan ekonominya.
Tapi di level grass root harus terus berusaha melestarikan perdamaian dengan
berbagai upaya. Tanpa itu, jangan harap warga kelas bawah bisa menikmati
perdamaian ini. Buktinya, selama ini mereka bisa bergerak bebas melakukan
aktivitas tanpa dicekam ketakutan. Semoga.
Pascaagenda bersejarah itu, tak salah jika kita berharap pula, kemudian, Aceh
menjadi pusat bisnis, keuangan, wisata dan budaya di Indonesia dengan karakternya
tersendiri. Tapi itu semua tak semudah mengambil air di kolam renang. Butuh kerja
keras semua komponen. Semoga Aceh nanti menjadi pintu gerbang dunia seperti
yang pernah terjadi berabad-abad silam.***

D A R I H E L S I N K I T U R U N K E AC E H 25
Maimun
Mahasiswa Pascasarjana, Program Sains Politik, Universiti Kebangsaan Malaysia

Aceh: Sebuah Refleksi Pergerakan


dan Masa Depan Perdamaian

Aceh telah lama menjadi pembicaraan bagi banyak kalangan, baik nasional
maupun internasional. Alasan utama yang mungkin dapat diterima kenapa Aceh
sering manjadi perhatian adalah karena Aceh merupakan lahan perang dan Aceh
juga merupakan wilayah yang pernah mendapatkan bencana besar, berupa
tsunami. Aceh dan perang, bagaikan dua suku kata yang kerap digabungkan.
Sehingga perang­—bagi orang Aceh bukan lagi kata yang asing, kata perang—
sesungguhnya telah melekat dalam setiap ingatan orang Aceh. Realitas ini terjadi,
setelah berabad-abad orang Aceh harus berhadapan dengan perang kolonialis
Belanda. Pascaproklamasi kemerdekaan Indonesia 1945, Aceh juga harus merelakan
diri untuk berperang melawan “kolonialis” pemerintahan yang hegemoni, sejak
digabungkannya Aceh ke dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia pada
tahun 1949. Karena perang telah menjadi perkataan yang lumrah, maka orang Aceh
akan sangat siap untuk terus berperang mempertahankan Islam, adat-resam serta
budaya sebagai intisari jatidiri bangsa Aceh, dari ancaman genocide ataupun ethnic
cleaning pemerintah yang otoriter. Maka sesungguhnya, adalah sesuatu yang fatal
apabila pemerintah pusat telah menangani Aceh dalam periode yang silih berganti
dengan pendekatan militer dan upaya manipulasi, atas aksi protes endatu orang
Aceh yang pernah ditunjukkan awal kali pada tahun 1953 yang ketika itu dipimpin
oleh Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh. Sebab, sesungguhnya aksi protes para
endatu Aceh melalui gerakan Darul Islam Aceh (DIA) itu bertujuan menuntut keadilan
pusat agar menyempurnakan janjinya atas pemberian istimewa kepada Aceh dalam
tiga hal utama, yaitu: pertama, menyangkut dengan pemberlakuan syari’at Islam,
yang harus diatur dengan pembentukan beberapa Qanun. Kedua, keistimewaan
atas pemberlakuan adat-istiadat Aceh dalam kehidupan masyarakatnya. Ketiga,
menyangkut dengan pembagian hasil bumi Aceh yang adil antara pusat dan
daerah (Ahmad Farhan, 2006). Tuntutan atas keistimewaan Aceh memiliki alasan
yang sangat dapat dipertanggungjawabkan, di mana Aceh adalah sebagai daerah
modal (region of capital) bagi negara Indonesia. Modal yang dimaksudkan oleh
sejarah dalam hal ini, dapat dilihat dalam beberapa bentuk: pertama, Aceh pernah
mengantarkan pasukannya sebanyak 3.000 orang untuk berperang melawan
agresi Belanda di Medan Area. Kedua, Aceh telah memberikan sumbangan dua
buah pesawat yang amat sangat penting bagi persiapan kemerdekaan Indonesia.
Ketiga, Aceh telah berhasil mempengaruhi opini masyarakat internasional dengan
Radio Rimba Raya, dengan mengabarkan kepada dunia, bahwa Indonesia belum
dapat dikuasi oleh belanda. Keempat, Aceh telah menyumbangkan banyak biaya
untuk persiapan kemerdekaan Indonesia, baik berupa biaya perjalanan diplomatik
maupun untuk kebutuhan dalam negeri. Pendekatan militer dan upaya manipulasi
pemerintah pusat terhadap masyarakat Aceh, sudah tidak menghasilkan satu
kesimpulan yang baik bagi perdamaian abadi, malah akan menjadi alasan utama
penyebab munculnya kecurigaan yang mendalam dan rasa tidak percaya orang
Aceh terhadap pemerintah pusat. Sebagai konsekuensi yang harus diterima
pemerintah pusat atas kealpaannya menerapkan pendekatan sosial budaya dalam
menangani masalah Aceh, maka muncullah Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang
diproklamirkan oleh Dr. Hasan Muhammad Ditiro pada tahun 1976 di Djokan Pidie.
GAM lahir pada awalnya sebagai kelanjutan dari aksi protes keras ”episode kedua”
gerakan yang pernah dipimpin oleh Tgk. Daud Beureuh. Dimana GAM menuntut
keadilan yang sama seperti yang pernah dituntut endatunya, yaitu: menuntut

28 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
pemerintah pusat untuk menuaikan realisasi janjinya tentang keistimewaan Aceh.
Tapi, sekali lagi amat disayangkan, orde baru telah menganggap GAM sebagai
pengacau stabilitas keamanan pemerintah pusat di Aceh, sehingga GAM dianggap
sebagai gerakan liar yang harus dibasmi sampai ke akar-akarnya.
Orde baru, bukan hanya telah menjadikan Aceh miskin secara ekonomi,
akan tetapi juga telah membuat Aceh harus menerima resiko miskin secara
pengetahuan, degradasi budaya dan adat-istiadat Aceh harus terbentur dengan
kebijakan pemerintah pusat, persis sama seperti apa yang digambarkan oleh
Samuel Hungtington (1996) dalam thesisnya The Class of Civilization and the
Remaking of the World Order. Untuk membasmi GAM, Pemerintah Pusat Indonesia
telah memberlakan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh pada sejak tahun 1989
hingga 1998. Buah dari operasi yang dijuluki dengan Operasi Jaring Merah (OJM)
ini telah mengakibatkan terjadinya 7,727 kasus pelanggaran hak azasi manusia
(human rights) di Aceh (Suraiya, 2001). Pencabutan status darurat militer di Aceh,
didasari oleh meletusnya isu reformasi yang mulai digulirkan sejak awal mei, hingga
mencapai mencapai puncaknya tuntutan reformasi pada 20 Mei 1998 yang ditandai
dengan runtuhnya rezim otoriter Indonesia. Keruntuhan orde baru, juga bermakna
peluang bagi orang Aceh untuk menyampaikan kehendaknya kepada dunia luas.
Betapa tidak, orde reformasi telah membuka peluang bagi terciptanya perubahan
besar di Indonesia. Sebagai representatif masyarakat Aceh, GAM kembali eksis untuk
menuntut keadilan bagi Aceh. Kali ini, GAM bukan sekedar menuntut keistimewaan,
tetapi juga ingin membebaskan Aceh dari bingkai Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Referendum yang diusung Sentral Informasi Referendum Aceh
(SIRA) pada tahun 1998 yang pimpin oleh Muhammad Nazar, telah memperkuat
asumsi bahawa lebih dari 85 persen orang Aceh sedang menuntut pemisahan Aceh
dari Republik. Ini adalah kemarahan puncak masyarakat Aceh terhadap Republik.
Pemerintah pusat seperti cepat lupa, bagaikan “keledai” yang harus jatuh dalam
lubang yang sama dalam waktu yang berbeda. Pemerintah pusat tidak ingat akan
satu pepatah bahwa “ureung Aceh, meunyoe kateupeh, bu leubeh han geu peutaba.
Tapi meunyo hana teupeh, dumho pih geumaba” (orang Aceh, kalau sudah dibuat
marah, maka nasi lebihpun tidak akan ditawarkan kepada kita. Tapi kalau tidak

AC E H : S E B UA H R E F L E K S I P E R G E R A K A N D A N M A S A D E PA N P E R D A M A I A N 29
dibuat marah, maka semuanya akan diberikan kepada kita). Nampaknya pemerintah
pusat pada ketika itu, sedang tidak dapat belajar dari pengalamannya, ini bermakna
sejak Januari 1999 sampai ke November 2003, pemerintah telah mengembalikan
Aceh kepada status Darurat Militer, walapun kemudian diturunkan menjadi darurat
sipil sejak Mei hingga akhir tahun 2004 yang disebabkan oleh satu kejadian besar
yaitu tsunami (Tempo Report, Desember 2004). Konflik bersenjata yang terjadi
sejak tahun 1989 hingga akhir 2004, telah menyebabkan 11,214 kasus pelanggaran
berat HAM, yang terdiri dari korban pembunuhan, pembakaran rumah, pelecehan
seksual, pemerkosaan, penahanan semerta-merta, dan meningggal pada saat
perang (ARF Report, Mei 2007). Penghujung tahun ketika itu, tepatnya pada hari
minggu 26 Desember 2004, Aceh harus berhadapan dengan bencana besar.
Bencana internasional tersebut bernama gempa tektonik dengan kekuatan 8,9 SR
yang diikuti oleh tsunami yang meluluhlantakkan sebagian pesisir Aceh. Nampaknya
Tuhan telah memberikan teguran besar kepada kita semua, agar praktek homo
homini lupus sesegera mungkin harus ditinggalkan. Tsunami Aceh telah membuat
luka yang belum kering akibat konflik, menjadi tersobek-sobek serta menciptakan
kepiluan yang amat dalam bagi Aceh. Tsunami telah menyebabkan 170,000 orang
meninggal, manakala 500,000 orang lainnya harus kehilangan tempat tinggaassl
mereka (Pemerintah NAD, 2006). Perkiraan atas kerusakan dan kerugian materipun
sangat tidak sedikit (loss and damage assessment), kerugian yang dialami secara
materil sebanding dengan lima kali bilangan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) Aceh tahun 2004 atapun mencapai Rp. 29,4 triliun atau U$D 11,5
(Bank Dunia 2005).

Aceh Pascakonflik dan Tsunami serta Upaya Reintegrasi


Gambaran terhadap fenomena di atas, telah membuat hati rakyat Aceh bukan
saja tersayat, tetapi hancur. Sebetulnya bukan hanya Aceh yang menangis, namun
Indonesia juga menangis, bahkan duniapun berkabung sembari menghening cipta
untuk mengenang kejadian yang amat menyayat itu. Konflik dan tsunami, bukan
hanya telah membinasakan Aceh secara fisik, tetapi juga mental. Sehingga Aceh
semakin tertinggal dalam beberapa bidang penting, seperti ekonomi, pendidikan,

30 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
kesehatan, hukum dan sosial budaya. Kondisi seumpama di atas tadi, telah
membuka hati para pemimpin kedua belah pihak yang bertikai, untuk memikirkan
jalan terbaik dalam menyelesaikan konflik Aceh yang telah lama berlarut. Maka
pada tanggal 15 agustus 2005, sebuah perjanjian antara Gerakan Aceh Merdeka
dengan pemerintah pusat Indonesia telah disepakati di Helsinki Finlandia.
Masyarakat Aceh secara umum, menaruh harapan besar pada konsensus tersebut.
Tercapainya perjanjian damai antara pemerintah Indonesia dengan GAM adalah
sebuah rahmat dan kesuksesan besar yang telah dicapai. Konsesnsus ini, tidak
hanya diperuntukkan bagi GAM dan Pemerintah pusat semata-mata, akan tetapi
juga bagi masyarakat Aceh dan bangsa Indonesia secara keseluruhan, dan bahkan
lebih dari itu, yakni untuk perdamaian dan keamanan kawasan (Humam Hamid,
2007).
Membangun Aceh pascakonflik dan tsunami, sebetulnya kita tidak sedang
berbicara tentang build back Aceh, tetapi lebih kepada build better Aceh. Bukan
hanya waktu yang dibutuhkan, tetapi juga tenaga serta biaya yang tidak tergolong
sedikit, demi pembangunan Aceh ke depan yang lebih baik dengan tanpa harus
kehilangan jatidirinya. Adanya pemerintahan dari unsur rakyat Aceh “tulen” yang
ditopang oleh Undang-Undang nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh,
maka, akan sangat dimungkinkan bahwa pembangunan Aceh dapat diwujudkan
secara adil dan merata. Saat ini, Aceh ada peruntukan beberapa sektor penting dari
pemerintah pusat melalui UUPA. Peruntukan tersebut mencakupi pembagian hasil
migas antara pusat dan daerah, otonomi dalam bidang pendidikan dan kesehatan,
otonomi dalam bidang adat-istiadat dan resam serta otonomi dalam pelasanaan
syaria’at Islam. Tiga poin penting ini, sesungguhnya dapat dijadikan sebagai modal
besar terhadap pembangunan Aceh secara adil dan menyeluruh tanpa harus
melahirkan kecumburuan sosial.
Hal lain yang tidak kalah penting dan harus menjadi perhatian utama adalah
pelaksanaan reintegrasi Aceh pascakonflik bersenjata yang merupakan salah
satu dari point terpenting dari Memorandum of Understanding. Saat ini Aceh telah
memasuki tahun keempat bagi sebuah transisi. Maka dengan demikian, pelaksanaan
reintegrasi Aceh dengan adil dan bijaksana akan memberikan ruang khusus bagi

AC E H : S E B UA H R E F L E K S I P E R G E R A K A N D A N M A S A D E PA N P E R D A M A I A N 31
terwujudnya situasi damai Aceh di masa depan. Berbicara damai, sebetulnya bukan
hanya sekedar berbicara tentang pemotongan 900 pucuk senjata dan mobililasi
militer, akan tetapi, yang jauh lebih penting adalah, bagaimana mewujudkan tujuan
terhadap reintegrasi itu sendiri. Proses reintegrasi Aceh pascakonflik bersenjata
secara formal telah dilimpahkan wewenang melalui Badan Reintegrasi Damai Aceh
(BRDA), namun demikian tetap akan menjadi tanggung jawab masyarakat Aceh
secara keseluruhan, untuk mewujudkan Aceh yang damai dan sejahtera. Ditinjau
dari tujuannya, maka proses reintegrasi lebih ditujukan kepada tiga hal utama:
Pertama adalah berkaitan dengan reintegrasi mantan kombatan GAM ke dalam
masyarakat dengan pendekatan ekonomi, sosial dan politik. Ini berarti, mantan
kombatan GAM berhak atas uang jaminan sosial, pemberian amnesti dan remisi
kepada tapol/napol GAM dan sekaligus pemberian kesempatan kepada mantan
kombatan GAM untuk bergabung dalam arena politik lokal dan nasional ataupun
membentuk partai baru. Berdasarkan MoU, GAM berjumlah 3.000 orang (Ahmad
Farhan, 2006: 203). Kedua, berkaitan dengan reintegrasi Aceh ke dalam Republik
Indonesia pascakonflik bersenjata (Aceh re-integrated post conflict). Reintegrasi
ini pula dilakukan bagi mengukuhkan patriotisme dan juga Nasionalisme ke-
Indonesia-an yang dimiliki oleh rakyat Aceh dengan pendekatan pendidikan
sebagai intry point. Ketiga, berkaitan dengan reintegrasi masyarakat korban konflik
yang yang ditangani dengan pendekatan ekonomi sebagai entry point.
Salah satu tolak ukur terpenting pencapaian perdamaian Aceh di masa
mendatang adalah amat sangat tergantung kepada seberapa efektifnya proses
reintegrasi itu dapat diwujudkan dengan seadil-adilnya. Ini artinya, bahwa proses
reintegrasi Aceh tidak boleh dijadikan sebagai lencana politik kelompok tertentu,
karena erosi integrasi pasti akan terus terjadi, sebab politik tidak punya mata, tidak
punya telinga, tidak punya hati. Politik hanya mengenal kawan dan lawan, kalah dan
menang, peradaban yang dangkal. Maka reintegrasi Aceh juga perlu menanamkan
sikap senses of belonging, dengan rasa saling percaya, sehingga transisi ini akan
menjadi modal bagi terbentuknya perdamaian Aceh yang abadi di masa yang akan
datang. Amin.***

32 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
Saifuddin Bantasyam SH MA
Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Isu-Isu Kritis dalam Pembangunan


Perdamaian Aceh

Karakter konflik yang berkembang dalam beberapa dasawarsa terakhir ini tidak
lagi didominasi oleh konflik antarnegara, melainkan konflik yang terjadi di dalam
wilayah suatu negara. Dua elemen kuat sering bergabung dalam konflik seperti
ini: elemen identitas, dan elemen distribusi. Jenis konflik seperti itu cenderung
bertahan lama, dan fasenya silih berganti, antara bersifat laten dan terbuka. Skala
penderitaan manusia juga sangat dahsyat. Konflik yang demikian, meskipun ada
di tingkat internal, juga bisa menyebar hingga jauh keluar perbatasan geografis
negara di mana konflik berlangsung. Ini menandakan bahwa konflik dalam negara
yang rendah tingkatannya pun bisa meningkat menjadi konflik antarnegara yang
lebih tajam. Jika ini terjadi, maka korban jatuh diperkirakan akan jauh lebih banyak.
Dengan pelajaran sebagaimana disebutkan di atas, maka tak mengherankan
apabila semua pihak yang terlibat dalam konflik, baik internal dan eksternal, berusaha
keras untuk menyelesaikan konflik. Kelihatannya, pihak-pihak yang berkonflik
memiliki sebuah kesadaran, bahwa konflik yang berlarut-larut akan membuat pihak
yang berkonflik membayar harga yang tak murah, dan menghabiskan energi yang
tak terhitung besarnya. Masyarakat di wilayah itu demikian juga, mereka tak akan
pernah bebas dari penderitaan sebagai akibat langsung dan tidak langsung konflik,
bahkan sebuah generasi dapat saja lenyap karena konflik.

***

Demikian halnya dalam kaitannya dengan konflik bersenjata antara Gerakan


Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia. Dalam beberapa catatan, angka
kematian hampir mencapai seribu orang setiap tahun sepanjang tahun 1999, 2000
dan 2001. Termasuk yang tewas adalah mereka yang berstatus penduduk sipil
yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan konflik, atau tidak mengambil
bagian apapun dalam konflik. Di luar angka korban tersebut, konflik bersenjata di
Aceh telah menghancurkan banyak sisi kehidupan sosial politik dan ekonomi, dan
menimbulkan rasa takut dan trauma yang mendalam di kalangan warga masyarakat,
khususnya yang bertempat tinggal di pedalaman di beberapa kecamatan di
sejumlah daerah kabupaten di Aceh. Akibatnya sangat parah, kantor-kantor
pemerintahan di tingkat desa dan tingkat kecamatan tidak berfungsi maksimal,
mobilitas masyarakat sehari-hari menjadi sangat terganggu, dan angka kemiskinan
juga meningkat. Kondisi ini tak hanya memberi beban kepada pemerintah pusat dan
daerah, namun juga bagi PBB dan masyarakat internasional, karena sesungguhnya
dampak konflik berpeluang menyebar ke luar batas geographis Aceh.
Proses formal untuk mencapai perdamaian dimulai pada tahun 1999 ketika
Presiden Abdurrahman Wahid menyetujui kehadiran Hendry Dunant Centre
(HDC) untuk menjadi mediator dalam perundingan Pemerintah RI dengan wakil-
wakil Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pada masa-masa awal, dengan difasilitasi
oleh HDC, kedua belah pihak menyetujui kesepakatan yang disebut dengan Joint
Understanding for Humanitarian Pause (Kesepakatan Bersama Jeda Kemanusiaan)
pada Tahun 2000. Tujuan dari kesepakatan ini adalah untuk memungkinkan kedua
belah pihak membahas lebih lanjut berbagai masalah yang terjadi, menghentikan
kekerasan, dan untuk memungkinkan penyaluran bantuan kemanusiaan kepada
para korban konflik di berbagai daerah.
Namun, tujuan-tujuan tersebut tidak mampu sepenuhnya dicapai, yang antara

34 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
lain terlihat pada intensitas kekerasan yang tetap tinggi, dan kedua pihak tidak
berhasil mencapai kesepakatan-kesepakatan lain yang lebih strategis. Karena itu,
usaha berikutnya dilakukan dalam bentuk The Cessation of Hostilities Agreement
(COHA) pada Desember 2002. Pada masa ini, disepakati juga penentuan zona-zona
aman di beberapa daerah seperti Aceh Besar, Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara. Namun,
pihak militer Indonesia kelihatannya tidak puas, dan sebagai akibatnya Pemerintah
Pusat di bawah kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri, memberlakukan
status Darurat Militer pada Mei 2003 – Mei 2004 dan kemudian melakukan operasi
militer besar-besaran.
Status Darurat Militer itu, kemudian dicabut dan diganti dengan status Darurat
Sipil pada Mei 2004, dan seharusnya berakhir pada Mei 2005. Namun keadaan
kemudian berubah drastis, ketika gempa dan tsunami melanda sebagian besar
daratan Aceh pada 26 Desember 2004. Bencana ini menjadi salah satu bencana
dengan korban terbesar di abad modern, karena itu mau tidak mau, Pemerintah
Indonesia harus membuka Aceh bagi dunia internasional untuk melaksanakan
misi-misi kemanusiaan. Status darurat sipil untuk Aceh menjadi tidak lagi berlaku,
dan meskipun disebut-sebut bahwa rancangan untuk mencari solusi damai terus
diupayakan sepanjang tahun 2004, namun tak bisa dipungkiri bahwa bahwa
proses perdamaian yang diakhiri dengan penandatanganan Memorandum of
Understanding (MoU) antara wakil GAM dan wakil Pemerintah Indonesia pada 15
Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia, terjadi karena pengaruh bencana tersebut.
Setelah bencana dahsyat itu, memang sepertinya Aceh tak memiliki apapun lagi
untuk diperebutkan oleh pihak-pihak yang berkonflik. Karena itu, pilihan paling
tepat adalah menempuh jalan damai untuk membangun kembali berbagai
infrastruktur sosial dan ekonomi yang hancur dan memulihkan trauma para korban
dan keluarga yang ditinggalkan karena gempa dan tsunami besar tersebut, yang
seperti disebutkan di atas, diakhiri dengan penandatanganan MoU Helsinki.

***

Upaya untuk menjaga agar perdamaian tetap bertahan bukanlah sebuah

I S U - I S U K R I T I S D A L A M P E M B A N G U N A N P E R D A M A I A N AC E H 35
upaya yang mudah. Perdamaian sebagai suatu resultan dari sebuah negosiasi yang
sarat dengan berbagai kepentingan, adalah sebuah bangunan yang kompleks,
yang membutuhkan tidak hanya perencanaan dan strategi yang komprehensif
melainkan juga mensyaratkan anggaran yang cukup dengan pendekatan yang
adil, efisien dan efektif, untuk membuat bangunan tersebut dapat terus kokoh
berdiri. Di atas sudah disebutkan dua elemen penting yang mengemuka dalam
konflik internal, yaitu identitas dan distribusi. Dalam konteks Aceh, secara normatif,
identitas ke-Acehan sudah muncul melalui UU No. 44/1999 yang memberi
keistimewaan kepada Aceh, kemudian UU No. 18/2001 berkaitan dengan otonomi
khusus untuk NAD, dan terakhir UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU
PA). UU PA bahkan mengatur lebih banyak, misalnya pemilihan langsung kepala
daerah, yang dapat diikuti oleh calon perorangan, dan pembentukan partai politik
lokal. Hukuman cambuk terhadap beberapa bentuk pelanggaran pidana, semakin
menegaskan keistimewaan Aceh dibanding provinsi lain di Indonesia. Dengan kata
lain, identitas ke-Acehan sudah cukup terakomodasi dalam sejumlah aturan.
Kondisi saat ini menunjukkan bahwa program-program pembangunan pasca-
BRR, yang berada di bawah tanggung jawab Pemerintah Aceh dan pemerintah
kabupaten/kota, belum mampu menyerap tenaga kerja yang dalam jumlah
yang lumayan, sehingga angka kemiskinan pun tak menurun secara signifikan.
Di pihak lain, terjadi berbagai ketidaksiplinan dan kejadian salah urus dalam tata
kelola keuangan daerah, yang mengakibatkan terganggunya program-program
pembangunan. Bahkan beberapa daerah kabupaten/kota, mengalami defisit APBK,
sesuatu yang sulit diterima oleh akal sehat. Besar kemungkinan, suatu saat nanti,
para kepala daerah dan wakil kepala daerah akan menjadi tersangka atau terdakwa
dalam kasus-kasus korupsi. Ketika penegakan hukum dilakukan kepada para elit,
sangat mungkin akan ditarik kepada kepada isu ketidaksenangan Pemerintah
Pusat kepada Aceh, atau disebut sebagai bagian dari skenerio untuk melemahkan
Pemerintah Aceh. Pada akhirnya, muncul mobilisasi benih-benih kebencian dari
masyarakat Aceh kepada Pemerintah Pusat, yang kemudian dapat memicu gerakan
separatisme jilid berikutnya.
Lemahnya kinerja pemerintah di Aceh dapat melahirkan kekecewaan-

36 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
kekecewaan di kalangan masyarakat akar rumput; bahwa kepala daerah dan
wakil kepala daerah yang dipilih langsung, termasuk dari kalangan mantan GAM,
ternyata tidak mampu mengangkat kesejahteraan ke arah yang lebih diinginkan,
atau bahwa perdamaian ternyata tidak membuat keadaan menjadi lebih baik. Ini
kemudian dapat menimbulkan gerakan kolektif untuk menolak kepala daerah
dipilih secara langsung, atau untuk menolak kepala daerah dari unsur perorangan,
yang niscaya bertentangan dengan semangat MoU Helsinki dan aturan dalam
UU PA. Sekedar untuk menambah informasi, Menteri Dalam Negeri mulai
membicarakan kemungkinan pemilihan gubernur dan wakil gubernur di masa
mendatang dilakukan oleh DPRD, sedangkan yang dipilih langsung hanya kepala
daerah kabupaten/kota. Keinginan tersebut juga berlawanan dengan UU PA,
sehingga berpotensi menimbulkan ketegangan antara Aceh dan Jakarta.
Isu pemekaran Provinsi Aceh menjadi tiga provinsi, dua yang lain adalah Provinsi
Aceh Lauser Antara (ALA) dan Provinsi Aceh Barat-Selatan (ABAS) berkemungkinan
akan menyelinap di balik kondisi di atas. Jika dulu GAM antara lain muncul karena
politik diskriminatif Pemerintah Pusat dalam hal distribusi dana pembangunan,
maka elit dan warga masyarakat di kedua wilayah itu memunculkan isu mengenai
rendahnya alokasi APBA untuk pembangunan wilayah mereka. Akan terjadi
“pertemuan” kepentingan antara elit politik nasional dengan elit politik lokal
di kedua wilayah tersebut, yang bukan tidak mungkin akan berujung kepada
berdirinya dua provinsi baru itu, yang jelas bertentangan dengan UU PA. Selama
ini terlihat gejala, bahwa militer dan beberapa partai politik besar di Jakarta,
mendukung terbentuknya Provinsi ALA dan Provinsi ABAS. Dengan demikian,
poros konflik yang berpotensi menganggu perdamaian menjadi sangat kompleks,
melibatkan institusi di jajaran Pemerintah Pusat dan elit politik di Jakarta dan
elit politik dan masyarakat di wilayah ALA dan ABAS dengan Pemerintahan Aceh
(Pemda dan DPRA, yang didominasi oleh Partai Aceh) dan masyarakat Aceh yang
kontra dengan rencana pemekaran.
Tantangan lain berkaitan dengan bagaimana keberadaan partai politik lokal dan
hasil pemilu legislatif yang lalu—di dalam mana Partai Aceh menjadi mayoritas di
beberapa kabupaten/kota di Aceh. Partai Aceh tidak boleh menerima kemenangan

I S U - I S U K R I T I S D A L A M P E M B A N G U N A N P E R D A M A I A N AC E H 37
ini dengan sikap gembira semata-mata, melainkan juga menerima kemenangan
sebagai suatu beban, yaitu bagaimana membantu terciptanya pemerintahan yang
adil dan bersih serta legislatif yang responsif kepada kebutuhan rakyat. Jika tidak
demikian, maka partai politik lokal akan tamat riwayatnya, dan berkemungkinan
untuk ditinggalkan oleh konstituennya pada Pemilu 2014. Keadaan ini belum tentu
dapat diterima dengan suka rela oleh para mantan GAM atau Komite Peralihan Aceh
(KPA) yang membentuk Partai Aceh. Itu artinya, terbuka suatu konflik horizontal
baru di Aceh di masa mendatang. Mereka akan mengatakan bahwa rakyat Aceh
melupakan sejarah dan melecehkan MoU Helsinki. Berkenaan dengan partai politik
lokal ini, situasi akan dapat lebih memburuk jika Pemerintah Pusat dan elit politik
di Jakarta, suatu saat nanti, meninjau kembali aturan menyangkut keberadaan
partai politik lokal karena ada semacam kekhawatiran menguatnya lokalisme di
daerah-(daerah) yang diizinkan untuk mendirikan partai politik. Sekali lagi, keadaan
ini dapat menimbulkan perlawanan dari berbagai elemen di Aceh, karena ada
pengingkaran terhadap isi MoU Helsinki.
Kelambanan Pemerintah Pusat dalam melaksanakan beberapa amanah UU
PA dapat merupakan sebuah ganjalan besar. Dari tiga Perpres yang harus dibuat,
hanya satu yang sudah ditetapkan. Sedangkan dari tujuh Peraturan Pemerintah
yang disebut dalam UU PA, juga hanya satu yang disahkan oleh Jakarta. Masalah
lain adalah berkaitan dengan pembentukan UU Pengadilan HAM di Aceh serta
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), dua hal yang dengan jelas disebut dalam
MoU Helsinki dan UU PA. Mengenai Pengadilan HAM di Aceh, disebutkan dalam UU
PA bahwa putusan Pengadilan (nantinya) tersebut memuat antara lain pemberian
kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi bagi korban pelanggaran HAM. Itu artinya,
Pengadilan HAM bukan semata instrumen untuk menindak pelaku pelanggaran
HAM, melainkan juga untuk memenuhi hak-hak para korban. Sedangkan mengenai
KKR, keadaan jauh lebih rumit. Dalam MoU Helsinki disebutkan, pembentukan KKR
Aceh harus dengan mengacu kepada UU KKR Nasional, tetapi karena ada judicial
review, UU KKR Nasional dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Mahkamah Konstitusi.
Pemerintah Pusat saat ini sedang menyusun RUU KKR Nasional, namun RUU tersebut
ternyata tak menampung aspirasi pembentukan KKR Aceh, melainkan hanya

38 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
menyebut bahwa perwakilan KKR akan dibangun di setiap provinsi di Indonesia.

***

Semua hal yang sudah diuraikan di atas, bukanlah sesuatu yang sifatnya
komprehensif. Dari segi pendekatan, uraian-uraian lebih merupakan asumsi dengan
mendasarkan pada realitas yang berkembang dewasa ini di Aceh. Tetapi satu hal
sudah jelas, bahwa di antara sekian banyak proses mencapai perdamaian dari
konflik-konflik yang mematikan (deadly conflict) di berbagai belahan dunia, maka
proses untuk mencapai perdamaian dalam konflik Aceh merupakan sebuah contoh
yang sangat berguna baik bagi kepentingan akademik maupun kepentingan
praktis. Secara teoritis, dan dalam setting sosial dan politik, sebenarnya kehidupan
tak pernah dapat bebas dari konflik. Pada tingkat praktis, apa yang terjadi di Aceh
merupakan sebuah sumbangan kemanusiaan yang besar, bahwa pada akhirnya
konflik bukan hanya dapat dikelola, melainkan juga dihilangkan. Tetapi dalam
konteks Aceh pula, penandatanganan naskah perdamaian dapat juga sebenarnya
dipandang sebagai sebuah “tindakan mudah,” yang sedangkan hal yang terberat
adalah bagaimana mempertahankan perdamaian itu. Dengan kata lain, konflik
yang sudah hilang tersebut, dapat muncul kembali ke permukaan.
Pemaparan di atas lebih mengacu kepada spektrum yang bersifat makro,
atau pada tataran politik yang lebih luas, tanpa bermaksud untuk mengatakan
bahwa hal-hal yang bersifat mikro sudah “selesai” dalam konteks pembangunan
perdamaian di Aceh. Di samping itu, berbeda dengan provinsi lain, apapun
kebijakan dan peristiwa yang berlangsung di Aceh, berkemungkinan untuk selalu
dihubung-hubungkan dengan masa depan perdamaian, karena itu semua yang
cinta damai, perlu dengan jeli untuk mengantisipasi hal ini, agar tidak menambah
buruk keadaan di masa mendatang. Organisasi masyarakat sipil yang kelihatannya
seperti melihat tidak ada masalah apa-apa dalam pembangunan perdamaian di
Aceh, perlu juga menaruh kepedulian terhadap berbagai kemungkinan yang sudah
diterangkan di atas, untuk membantu Aceh tidak kembali ke masa lalu yang hitam
dan kelam.***

I S U - I S U K R I T I S D A L A M P E M B A N G U N A N P E R D A M A I A N AC E H 39
Mukhtaruddin Yakob
Koresponden Liputan 6 SCTV dan Ketua AJI Banda Aceh

Damee-damee

“Aceh tak seksi lagi!” Awalnya ungkapan saya biarkan berlalu begitu saja.  Bukan
saja tidak penting, tapi  meluncur bukan dari orang penting apalagi berpengaruh.
Tak lama kemudian saya terhenyak juga dengan ungkapan tersebut.  Dalam benak
saya sempat berkecamuk antara ungkapan selintas atau ungkapan yang sarat
makna  dengan memakai  istilah sedikit  nakal.
Saya berusaha mencari  berbagai  kesimpulan  terhadap ungkapan itu.  Antara
akal sehat dengan  daya imajinasi pun saling berkecamuk. Memang tidak terlalu
lama menemukan jawaban tersebut. Ternyata ungkapan tak seksi terkait dengan
makin sulitnya jurnalis menyuplai berita atau laporan peristiwa ke redaksi mereka.. 
Berita ringan atau soft news tidak menarik bagi majikannya. Apalagi, hard news yang
banyak dipasok dari daerah lain. Sehingga muncul istilah “Aceh tak seksi lagi!”
Alasan ini diperkuat asumsi para senior di salah satu media. Mereka menganggap
pemberitaan terhadap Aceh sudah habis-habisan atau mencapai klimaks ketika
tsunami dan setahun perjanjian damai  pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh
Merdeka.  Agenda koh beude atau decommismioning dan relokasi TNI/Polri yang
berlangsung hingga akhir 2005 silam merupakan  akhir dari proses eksplorasi
berbagai peristiwa di Aceh. Yang terbaru adalah proses pemilihan kepala daerah
langsung  yang dilaksanakan Desember 2006  silam.
Bisa jadi  tak seksi adalah asumsi jurnalis Aceh  yang gemar dengan  berita tam
tum atau berita berbau rusuh. Sungguh disayangkan, jika format berpikir  jurnalis
di Aceh terkontaminasi dengan peristiwa kekerasan dan  tragedi kemanusiaan. 
Kekerasan  dan duka lara kerap menjadi berita pilihan dan tak jarang muncul
sebagai headline di media kita. Tak heran jika yang menuding bahwa kantor media
di Indonesia bahkan dunia hanya tergiur dengan darah dan air mata. “Tanpa  darah
dan air mata, bukan berita!” Demikian tudingan yang kerap dialamatkan pada
media sebelum  perjanjian Helsinki .
Benar saja, image ini yang menjerumuskan para jurnalis terpatron pada
jurnalisme kekerasan seperti bunyi senjata atau  bentrokan.. Petinggi media pun
sumringah ketika ada gambar kerusuhan atau  peristiwa  berdarah. Konon pula
ada tragedi kemanusiaan yang memancing emosi pembaca atau pemirsa atau
pendengar.  Bisa saja para pemilik media  berdalih, mereka menerapkan jurnalisme
empati yang untuk menggugah  penonton. Yang pasti jurnalis dan media sudah
bersalah mengeksploitasi  nasib masyarakat. Nah,  format inilah yang tengah
menggelayut para pekerja pers sehingga muncul istilah “Aceh tak seksi lagi!”
Padahal  darah dan  air mata pasti melahirkan  dendam. Istilah darah air mata
disingkat menjadi “dam”. Dam dalam terminologi Aceh identik dengan dendam.
Jika dendam dipelihara, bukan tak mungkin Serambi Mekkah tinggal nama. Konon, 
unsur dam yang dibesar-besarkan, maka jurnalis pun tidak hanya mem-blow up
dam tapi juga dendam. Artinya,  damai menjadi hal sangat sulit digapai.  Karena
dam masih belum bisa dikikis  malah dipelihara bukan dijadikan pelajaran berharga
untuk memulai kehidupan baru.
Jika fenomena ini dipelihara, jangan salahkan masyarakat jika jurnalis nantinya
akan menjadi komunitas provokasi  karena beritanya.  Bahkan, lebih sadis menjadi
provokator akibat laporan kekerasan selalu menjadi sajian infomasi setiap hari. 
Lalu, ke manakah nurani yang menjadi  pijakan jurnalis melaporkan peristiwa
mendatangkan dampak   positif   bagi warga Aceh. Jangan sampai jurnalis
melahirkan  kelompok jurnalis dendam. Karena dari dam bisa menelurkan damai. 

42 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
Artinya, damai tanpa dam bukan lagi  suasana yang berlangsung sesaat, tapi
selamanya, selama generasi itu ada.
Damai di sini bukan kepenjangan dari Darah dan Air Mata Anak Isteri atau
Darah dan Air Mata Ibu-Anak. Tapi damai yang sesungguhnya. Juga bukan damee-
damee  alias  boleh lebih kurang. Bukanlah damee-damee sebagai implementasi
dari pelarian dari proses hukum seperti yang disaksikan di jalan raya atau “jual-beli”
seperti kasus BLBI yang melibatkan para jaksa agung muda.  Kalau damai dijadikan
damee-damee, maka  apa pun yang dilakukan menyelamatkan perdamaian bisa 
bertahan lama. Muaranya, Aceh terlibat lagi pada konflik yang saya yakini tak akan
reda lagi.
Ikrar Lamteh yang pernah lahir pada 8 April 1957 silam, merupakan agenda
damee-damee. Pemerintah Indonesia ingin meredam pemberontakan Teungku
Muhammad Daud Beureu-eh  karena kecewa akibat Aceh dilebur dan digabungkan
ke Sumatera Utara pada 23 Januari 1951 oleh PM Muhammad Natsir. Natsir bahkan
mengumumkan secara langsung peleburan Aceh melalui RRI Banda Aceh. Padahal,
provinsi Aceh baru berusia setahun  lebih yang didirikan pada  tanggal 17 Desember
1949.
Bagi yang pernah merasakan  getirnya  kondisi mencekam, pahitnya  berada di
bawah bayang ketakutan. Tak ada yang berharap bahwa suasana demikian hadir
lagi dan meramaikan pemberitaan di Aceh. Ingat! Semua sudah lelah dengan
perseteruan dan skenario yang menjijikkan. Tak perlu berharap banyak dari
pemberitaan kekerasan dan bombastis.  Karena konflik Aceh sudah tak lagi jadi
komoditi laporan menggiurkan. Bukan hanya untuk luar negeri, dalam negeri pun
sudah tak sudi. Jadi, berhentikan berpikir bahwa berita ada jika kekerasan masih
terjadi.
Begitu lelah, jurnalis berada di bawah tekanan. Bukan saja, oleh ilegal, kelompok
legal pun tak hentinya merongrong media. Sudah banyak korban harga dan jiwa.
Tidak sadarkah kita pada pengorbanan teman-teman jurnalis yan telah mendahului.
Sebut saja Jamaluddin, kamerawan TVRI Banda Aceh yang ditemukan tak bernyawa,
Ersa Siregar yang tertembak dalam kontak senjata. Juga Feri Santoro yang hampir
setahun berada di rimba penculikan GAM. Peristiwa menimpa para jurnalis ketika

DAMEE-DAMEE 43
konflik dan pemberlakuan darurat militer adalah kenyataan pahit. Darah dan air
mata anak atau isteri begitu nyata ketika itu. Belum lagi para pekerja kemanusiaan
yang senantiasa terancam jika kekerasan masih saja menjadi brand mark daerah
Serambi Mekkah. Biarlah, Aceh ini menjadi darul salam atau negeri damai daripada
darul harb atau negeri perang.
Begitu panjang episode kekerasan di Aceh. Sejak pemberontakan pertama
meletus Desember 1976 silam,  hanya beberapa saat Aceh ini damai. Masa DOM
yang berlangsung  pada periode 1989-1998 bukan masa yang indah. Kuburan tanpa
nama bertebaran di mana-mana. Pembantaian nyaris menjadi hal biasa dengan
dalih penyematan negara.  Demikian pula  pascapencabutan DOM periode 1999-
2005. Ajang pembantaian baru seperti Tragedi KKA dan pembantaan Arakundo
atau kasus Bantaqiah muncul. Maka biarkan damai bersemi untuk selamanya bukan
sejenak seperti yang terjadi pada masa lalu.
“Memang enak hidup tak damai,“ begitu sindiran anak-anak yang sering
terdengar.  Bayangkan saja, bagaimana kehidupan malam bisa dinikmati tanpa rasa
aman.  Tegasnya, kehidupan malam saat konflik bagai barang langka yang  tak bisa
dibeli.  Suasana mencekam, saling curiga dan tanpa tenggang rasa adalah bagian
yang selalu mewarnai kehidupan warga Aceh. Jika, damai sudah digapai  mengapa
harus dilumuri lagi dengan kekerasan?
Jurnalis bukan malaikat  atau manusia setengah dewa. Sebagai manusia biasa,
dia tak kuasa membendung kekerasan. Jangan lupa, karya jurnalis jauh lebih
besar efeknya daripada desingan peluru. Jika peluru bisa membunuh satu hingga
beberapa orang, tapi berita bisa membumihanguskan kampung. Toh, masih ada
berita  seksi lainnya. Jurnalis bisa memilih berita korupsi atau investigasi yang lebih
mendalam yang lebih bermanfaat daripada mengeksploitasi kekerasan. Namun,
terserah  bagaimana jurnalis menyikapi dengan arif. ***

44 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
Muhammad Hamzah
Wartawan Suara Pembaruan di Banda Aceh

AKHIRI JERITAN;
Aceh Masuk Babak Baru

Kini Bumi Aceh ceria lagi, usai melewati banyak peristiwa mengerikan, seperti
bencana alam gempa bumi dan tsunami lima tahun silam serta terhentinya konflik
bersenjata yang berujung pada perdamaian empat tahun lalu, membuat wajah
negeri ini cepat berubah, mulai dari klaim sebagai daerah angker, desingan peluru,
menjadi daerah membangun.
Meskipun, saat ini daerah pernah hancur-lebur, luluh-lantak karena berbagai
peristiwa sebelumnya, masih terus berbenah guna mewujukan cita-cta Aceh baru,
namun membicarakan peristiwa bencana dan konflik akan selalu menarik dan
strategis untuk dibahas. Sebab penuntasan kedua masalah tersebut, menjadi titik
awal untuk membangun Aceh yang bermartabat.
Lahirnya kebijakan strategis dari pemerintah pada awal bencana dangan
membangun berbagai infrastruktur yang rusak, akibat tsunami menjadi titik awal
yang bagus, mewujudkan Aceh baru di masa mendatang, termasuk membangun
rumah bagi korban bencana dan konflik dengan dukungan kuat dari dunia
Internasional serta NGO lokal, nasional, membuat daerah ini cepat berubah.
Perubahan mendasar, secara kasatmata bisa terlihat dari banyaknya jalan-
jalan dalam kota, terutama di Banda Aceh, Aceh Besar dan sejumlah kawasan
luluh-lantak lain di kabupaten/kota, kini semua sudah mulus bahkan tidak sedikit
ruas dibangun dengan aspal hotmix, tersedianya sekolah refresentatif, fasilitas
kesehatan, perkantoran megah, lebarnya lapangan terbang tumbuhnya pelabuhan
berskala internasional di Banda Aceh dan Aceh Jaya serta tumbuhnya ratusan
bahkan ribuan toko berkontruksi beton di semua jalan dalam wilayah ibukota
provinsi dan kabupaten.
Selain itu, banyak hotel bermunculan dengan fasilitas mewah dengan harga
mendunia, restoran megah juga pusat pembelanjaan serta pusat jajanan bagi kaum
remaja, dewasa, politikus serta uhasawan dan aktivis berjejeran di hampir semua
pelosok kota di Banda Aceh, semakin menguatkan fakta. Kalau daerah bekas konflik
ini, sekarang sudah lebih maju dari sebelumnya dan masyarakat yang menetap di
ibukota provinsi tentu hidupnya lebih sejahtera dan mewah.
Fakta ini, didukung oleh kondisi keramaian pada berbagai sudut kota dan
jalanan yang macet, karena banyak kenderaan roda dua dan empat yang lalu-lalang
serta terus bertambah pascatsunami, juga cukup banyak warga yang nongkrong
bebas di berbagai sudut kota untuk menikmati santapan ringan siang malam,
lebih menyakinkan semua pendatang saat berkunjung ke Aceh langsung berpikir
mewahnya hidup warga di sini.
Menghabiskan waktu berjam-jam untuk membahas permasalah bangsa dalam
berbagai sudut pandang di café-café dan warung kopi terkenal di Banda Aceh
dan daerah kabupaten/kota lain di bumi syariat Islam ini tidaklah gratis. Bahkan
sekali duduk mimum kopi menyantap makanan ringan di tempat semacam ini bisa
menghabiskan biaya hampir setahun gaji warga miskin pekerja panjat kelapa di
pelosok desa.
Muncul anggapan warga Aceh kini hidup sejahtera, juga dikuatkan oleh hasil
survei Bank Dunia, dengan menyebutkan saat ini populasi warga miskin di Aceh
sudah menurun, meskipun saat bencana terjadi kerusakan dan kerugian besar
akibat tsunami, tetapi setelah dilakukan perbaikan menunjukkan ada perubahan
positif dari upaya rekonstruksi. Kemiskinan turun dari sebelumnya berada pada
posisi 40 persen menjadi 26,5 persen tahun 2006, dan BPS Aceh menyebutkan

46 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
tahun 2007 turun menjadi 25 persen dan 2008 menjadi 23 persen.
Turunnya angka kemiskinan di Aceh,  menjadi titik terang kalau daerah ini sudah
sedikit maju. Lalu pertanyaannya, benarkah angka kemiskinan di Aceh sudah turun
drastis dan apa ukuran masyarakat Aceh kini hidup lebih sejahtera, lalu bagaimana
dengan korban konflik yang hingga kini masih banyak belum tertangani, ini menjadi
pekerjaan selanjutnya yang mesti dilaksanakan oleh pemegang kekuasaan.
Sebab, salah-salah menangani masalah rekontruksi pembangunan kembali
rumah korban konflik, janda dan anak yatim, akan menjadi titik rawan dalam
merawat perjalanan Aceh damai untuk terus bertahan langgeng seperti harapan
semua pihak.
Kondisi ini diperparah lagi, dengan banyak kegiatan pembangunan di bumi
serambi mekkah muncul dadakan, tidak melalui proses pertimbangan matang,
sehingga menimbulkan berbagai kritikan terhadap proses pembangunan tersebut,
kondisi yang sama juga terjadi dalam proses menyakinkan rakyat dari pemerintah
terkait dengan situasi keamanan Aceh, apakah sudah benar-benar ada jaminan
pascarekontruksi Aceh warga bisa terus hidup tenang, aman tentram tanpa ada lagi
desingan peluru.
Faktanya, hinggá kini masih ada sebagian kecil warga yang masih hidup dalam
ketidakpastian, terutama mereka yang berada di kawasan terpencil pelosok desa
di Aceh, munculnya spanduk pro-kontra antara tolak kisah, antara satu kelompok
dengan kelompok lain.
Juga maraknya aksi perampokan bersenjata, penculikan hampir saban hari
menghiasi lembaran berita media cetak lokal dan nasional saat ini, juga menjadi
tanyangan menarik dari media elektronik, serta maraknya aksi pengrusakan kantor
BRA seperti yang terjadi di Aceh Barat baru-baru ini, juga menunjukkan dalam
proses reintegrasi masih menimbulkan masalah.
Meski saat ini, tidak sedikitpun dari masyarakat Aceh yang terbentuk pikiran,
untuk kembali hidup seperti pernah terjadi pada lima atau 30 tahun silam, sebab
selama itu pula, warga tidak pernah merasakan adanya ketidakadilan, karena apa
yang sebelumnya terjadi semua simbol serta perlakukan buruk sering menimpa
mereka.

AC E H M A S U K B A B A K B A R U 47
Disahkan UUPA menjadi undang-undang otonomi khusus dengan kewenangan
luas pada tahun 2006 lalu, memunculkan harapan besar bagi rakyat untuk terus bisa
hidup di tanah makmur dan memunculkan perubahan fundamental dalam berbagi
segi kehidupan, tetapi realitasnya hingga empat tahun usai MoU Helskinki dan
dua tahun efektif berlakunya UU Pemerintahan Aceh, masih juga belum nampak
perubahan signifikan, menyebabkan berbagai perangkat penduduk dari UUPA
belum tuntas dibahas oleh DPR Aceh, pelabuhan bebas Sabang masih terkendala
aturan lain dari pusat.
Hambatan dalam pembangunan kembali Aceh, tidak hanya tersangkut
pada tingkat pusat, tetapi kinerja Pemerintah Aceh di bawah pimpinan Irwandi–
Muhammad Nazar bersama kabinetnya, dinilai oleh banyak pihak termasuk
pengamat agak lamban, banyak program pembangunan terhambat pada proses
pelaksaan di lapangan, begitu juga pembangunan kembali kawasan pantai barat
yang luluh-lantak dihantam tsunami masih belum ada perubahan, maka tidak
heran jika jalan Banda Aceh–Meulaboh hingga saat ini sulit dilalui, program
peumakmu nanggroe sebagai andalan memajukan warga tingkat perdesaan dan
kawasan perdalaman masih jalan di tempat, begitu juga dengan anggaran belanja
daerah yang teralokasi triliyunan rupiah tiap tahun tersisa. Ini menjadi indikator
bahwa Pemerintah Aceh masih menemui titik lemah dalam memacu percepatan
pembangunan.
Dalam melahirkan Aceh baru, pemerintah dan segenap pengambil kebijakan
harus melakukan berbagai terobosan, terutama dalam menyusun program
pembanguan secara terukur, terstruktur, bermanfaat dan bukan kegiatan studi
banding serta mampu membangkitkan ekonomi rakyat agar rakyat benar-benar
dapat hidup sejahtera dan lebih penting lagi membasmi pelaku korupsi dan
buat kebijakan berpihak lepada rakyat, menghidupkan pertanian, perkebunan
rakyat dengan menyediakan fasilitas pendukung seperti kilang padi, pabrik
serta membaguskan irigási sawah petani dan mendidik pemuda Aceh dengan
memberikan berbagai kemudahan untuk bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang
lebih tinggi agar pada saatnya nanti para lulusan tersebut bisa mengabdikan diri
membangun Aceh.

48 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
Kalau program seperti tertera di atas bisa dilaksanakan, setidaknya pemegang
amanah rakyat bisa sedikit memenuhi harapan masyarakat Aceh, tepatnya delapan
bulan usai Aceh dilanda gempa bumi dan tsunami, ribuan masyarakat dari berbagai
pelosok ini, berduyun-duyun datang ke pelataraan Masjid Raya Baiturrahman,
Banda Aceh, mereka ke sini untuk menyaksikan langsung prosesi penandatanganan
kesepakatan damai antara pemerintah RI-GAM, Senin 15 Agustus 2005 pukul 16.00
WIB, yang disiarkan melalui siaran telivisi dari Helsinki.
Nurdin (45) sopir angkutan umum jurusan Banda Aceh–Medan, usai menyaksikan
prosesi serimonial penadatanganan MoU, menyebutkan setelah perdamaian
dicapai, berbagai ganguan di jalan tidak terjadi lagi, begitu juga dengan aksi
kekerasan yang kerap menimpa pengemudi truk dan bus serta desingan peluru
benar-benar hilang di bumi serambi mekkah.
Harapan warga tertindas ini sepertinya dikabulkan oleh Allah SWT, empat tahun
Aceh damai, gedung-gedung berdiri kokoh dan megah di berbagai sudut kota,
jalan mulus, swalayan serta ratusan bahkan ribuan toko tumbuh, cafe-cafe mulai
dari kelas rendahan sampai untuk kelas tinggi berjejeran di mana-mana, mobil
berbagai jenis terus lalu-lalang di jalan raya dan pelosok desa, membuat jalanan
jadi macet berjam-jam. Ini menunjukkan daerah paling barat Indonesia kini sedikit
maju dibandingkan lima tahun silam.
Fakta ini seolah membenarkan apa yang disampaikan Menko Kesra Alwi Shihab
ketika memberi sambutan usai menyaksikan penandatangan kesepakatan damai
antara pemerintah-GAM, di halaman Masjid Baiturrahman Banda Aceh, kala itu dia
minta kepada semua pihak untuk memelihara perdamaian.
Perdamaian ini, sebagai anugerah dari Allah SWT, setelah Aceh berkonflik dan
dilanda musibah bencana alam gempa dan tsunami, rakyat terus hidup dalam
penderitaan, tetapi mulai hari ini, penderitaan berubah menjadi kebahagiaan,
karena mulai saat ini berbagai bentuk kekerasan, konflik bersenjata tidak terdengar
lagi, mari membangun Aceh dan Indonesia kearah yang lebih baik.
Pesan Alwi Shihab tersebut sangat berbeda dengan apa yang terjadi dua tahun
setelah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) diproklamasikan, tepatnya
bulan Juni 1948, presiden pertama Ir Soekarno (Bung Karno) terbang ke Aceh.

AC E H M A S U K B A B A K B A R U 49
Setelah Yogyakarta, ibu kota NKRI, direbut kembali oleh Belanda saat agresi kedua,
hanya Aceh-lah yang menjadi wilayah NKRI, sedangkan daerah-daerah lain di
seluruh Indonesia saat itu telah menjadi negara bagian yang ibukotanya di Den
Haag, Negeri Belanda.
Ketika itulah, Bung Karno terbang ke Aceh. Seraya mengeluarkan air mata,
bertempat di Hotel Aceh yang kini menjadi kenangan karena telah dibongkar,
Soekarno meminta rakyat Aceh agar bersedia membantu perjuangan menegakkan
NKRI secara utuh.
Rakyat Aceh pun dengan tulus menyatakan dukungannya dengan menghimpun
sejumlah uang, emas murni, dan harta benda lain ketika itu, lalu disumbangkan
untuk membeli dua buah pesawat terbang, yang diberi nama Seulawah RI 001 dan
RI 002.
Pengorbanan besar demi tegaknya NKRI dengan menyumbang sejumlah uang
dan perhiasan emas serta harta benda lain dari rakyat Aceh ketika itu dengan
harapan bisa hidup lebih tenang, aman, dan sejahtera. Ternyata, harapan sang
"donatur" itu belumlah menjadi kenyataan pada saat itu, bahkan sampai sekarang-
pun masih banyak warga di pedesaan hidup di bawah garus kemiskinan.
Daerah paling barat Indonesia yang kini berubah nama menjadi Aceh
berdasarkan UUPA No.11 tahun 2006 sebagai perubahan dari nama Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD) sesuai UU No 18/2001 tentang Otonomi Khusus, masih tetap saja
hidup dalam ketidakpastian. Kondisi ini tentu ironis dengan usia Republik ini yang
genap 64 tahun pada tanggal 17 Agustus 2009.
Namun kegelisahan rakyat, setelah hidup dalam ketidakpastian dalam kurun
waktu lama, pasca-MoU Helsinki, kehidupan rakyat Aceh jadi berubah, kalau
dulu menjadi donatur dengan tangan selalu di atas, berubah menjadi penerima,
terutama pascadaerah ini dilanda bencana alam gempa bumi dan tsunami.
Dan kini, Aceh mulai memasuki babak baru, pertanyaannya apakah akan kembali
ke janji pada masa Soekarno sampai Megawati atau melaksanakan program sesuai
dengan UUPA atau undang-undang tersebut menjadi pajangan hanya dibaca dan
disimpan, semua terpulang kepada orang Aceh. ***

50 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
Saifullah
Wartawan Radio Djati FM, Banda Aceh

Tinta Damai

Damai punya banyak makna. Arti kedamaian berubah sesuai hubungannya


dengan kalimat. Perdamaian dapat menunjuk kesetujuan mengakhiri sebuah
perang, atau ketiadaan perang, atau prosesi di mana sebuah angkatan bersenjata
tak memerangi musuh. Damai dapat juga berarti keadaan tenang, seperti yang
umum di tempat-tempat terpencil, mengizinkan untuk tidur atau meditasi. Damai
dapat juga menggambarkan keadaan emosi dalam diri dan akhirnya damai juga
dapat berarti kombinasi dari definisi-definisi di atas.
Dalam bahasa arab perdamaian diistilahkan dengan ash-shulhu. Dalam
pengertian syariat dirumuskan sebagai, “suatu jenis akad (perjanjian) untuk
mengakhiri perlawanan (perselisihan) antara dua orang yang berlawanan.
Dalam perdamaian terdapat dua pihak, yang sebelumnya terjadi persengketaan.
Kemudian, para pihak sepakat melepaskan sebagian tuntutannya. Para pihak yang
mengadakan perdamaian dalam syariat Islam distilahkan musalih, sedangkan
persoalan yang diperselisihkan disebut musalih ‘anhu, dan perbuatan yang
dilakukan salah satu pihak terhadap pihak lain untuk mengakhiri pertikaian/
pertengkaran dinamakan dengan musalih ‘alaihi atau disebut juga badalush shulhu.
Perdamaian dalam Islam sangat dianjurkan. Sebab, dengan perdamaian
terhindar kehancuran, putusnya hubungan silaturahmi, dan menghindari
perpecahan antarumat, serta menghentikan permusuhan di antara pihak-pihak
yang bertikai. Dalam konteks jurnalistik, damai yang dimaksudkan bagaimana para
jurnalis menulis dan memberitakan informasi kepada khalayak dengan bahasa
tepat dan mengusahakan untuk menghindari konflik dengan komitmen menjaga
dan melestarikan suasana damai.
Damai merupakan dambaan dan impian semua orang. Terlebih orang yang
hidup dalam atmosfir konflik. Bagi mereka yang menikmati kedamaian tentu akan
menginginkan damai terus berlanjut. Namun, damai bukan sekadar ucapan atau
bahasa belaka, tetapi benar-benar perwujudan hasrat manusia yang selalu cinta
kedamaian. Di sisi lain, tidak dapat kita pungkiri ada juga yang tidak menginginkan
kedamaian terus berlanjut. Ini memiliki alasan atau faktor tertentu, seperti orang
yang terganggu bisnisnya karena damai. Bagi mereka, konflik bisa dijadikan
sebagai proyek untuk meraup keuntungan. Ada juga sebagian kelompok yang anti
terhadap kemapanan.
Berbicara perdamaian, tentu melibatkan semua elemen untuk menjaga dan
mempertahankan perdamaian. Meraih kedamaian mungkin bisa kita asumsikan
lebih mudah daripada mempertahankannya. Dari masa ke masa, suatu wilayah
akan berubah terlepas ke mana arah perubahan itu sendiri.

***

Hakikat pers bertindak dan berpijak pada porsi yang sebenarnya, walau di
tengah kondisi tidak memungkinkan. Bahkan sangat memungkinkan bahwa
perjalanan pers penuh dengan liku-liku dan tantangan yang berarti. Bagi para
jurnalis dalam menjalankan tugasnya bisa saja mengalami pelecehan, ancaman
atau pembunuhan. Keadaan seperti ini bisa terjadi di mana saja dan kapan saja
dalam menjalankan tugasnya tanpa mengenal batas dan waktu.
Berawal dari niat baik untuk kedamaian, dapat menjadi penopang bahwa energi
positif akan melihat sesuatu dari sudut pandang yang menarik dan setia menjaga

52 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
nilai-nilai ketertarikan tersebut. Hal yang lumrah bahwa sesuatu dimulai dari apa
yang dilihat kemudian baru dikembangkan dengan berpikir. Kacamata untuk
melihat juga akan berdampak terhadap interpretasi yang dilakukan.
Bagi dunia jurnalis, interpretasi terhadap sebuah persoalan menjadi penting
untuk diperhatikan, karena interpretasi inilah yang kemudian diekspresikan
ke dalam hasil karya atau tulisan. Nilai-nilai etika juga menjadi fokus, sehingga
diharapkan berpikir secara logis untuk kemudian benar-benar mempublikasikan
informasi yang layak. Di sisi lain, informasi memang tak bisa ditutupi sebagai
konsumsi masyarakat. Informasi yang disampaikan pun memberi pencerahan dan
pemberdayaan publik serta meningkatkan kecerdasan intelektual.
Mengutip kata-kata Napoleon Bonaparte “aku lebih takut satu pena daripada
seribu pedang“, secara eksplisit menunjukkan bahwa walaupun pena tersebut
kecil dan tidak seberapa dibanding pedang, namun tajamnya melebihi pedang.
Sebagaimana kita ketahui senjata para jurnalis adalah pena, mereka dikenal sebagai
kuli tinta, dan tinta bersumber dari pena. Nah, pantaslah kalau jurnalis sebagai
pemegang kendali dalam memainkan perannya sebagai pemberi informasi.
Dengan pena, tokoh-tokoh besar mengubah dunia. Sama halnya jurnalis
yang dapat mengubah pola pikir, asumsi dan pandangan masyarakat terhadap
pemberitaan. Meskipun adanya perubahan dalam masyarakat tidak secara otomatis
atau mutlak, tetapi tidak menutup kemungkinan akan cepat mengalami perubahan
ketika ada persoalan yang menyangkut langsung terhadap komunitas masyarakat.
Patut diperhatikan, bahwa penyampaian informasi juga harus disesuaikan
dengan kultural masyarakat, tak kalah pentingnya menulis sesuai dengan
konsumennya. Artinya sesuai dengan tingkatan pendidikan masyarakat, sehingga
hal-hal yang tak diinginkan tidak terjadi, misalnya terjadi pertentangan antara
masyarakat dengan pemerintah atau masyarakat sesama masyarakat. Memberikan
perhatian dalam menulis secara tepat maka otomatis kedamaian yang didambakan
akan tetap lestari dan konflik tidak terjadi lagi.

***

T I N TA D A M A I 53
Media merupakan salah satu wadah ekspresi demokrasi masyarakat modern
yang memiliki peran strategis dalam menciptakan damai di suatu tempat, serta
memberikan kontribusi positif terhadap perkembangan manusia dari masa ke masa.
Peran media dalam tataran sosial di antaranya adalah sebagai agen perdamaian.
Sementara yang berhubungan dengan fungsinya, media memiliki fungsi
komunikasi massa antara lain fungsi pengawasan, fungsi sosial, fungsi penyampaian
informasi, fungsi transformasi budaya, dan fungsi hiburan. Adapun peran sosial
pers yang paling utama adalah sebagai kekuatan sebagai pendapat umum dan
pola pikir dalam masyarakat.
Karena media mempunyai peran yang besar dalam masyarakat, yaitu membentuk
dan menciptakan opini publik, maka upaya penerapan atau implementasi konsep
damai bagi jurnalis sangat diperlukan. Konsep ini merupakan solusi bertindak
preventif terhadap konflik ataupun untuk melestarikan kedamaian itu sendiri.
Konsep jurnalisme damai tentu dapat diterima oleh media, jurnalis dan masyarakat
yang mendambakan pedamaian itu selalu ada dan menjadi bagian dari kehidupan
sosial masyarakat.
Acuan konsep jurnalisme damai merupakan solusi yang tepat untuk menciptakan
suasana kondusif, merujuk kepada kata damai juga sangat menentukan terjalinnya
kedamaian secara kontinyu. Informasi yang disampaikan kepada masyarakat akan
membentuk pemikiran dan pengetahuan kepada mereka. Ini juga hal yang perlu
diperhatikan oleh para jurnalis, bahwa apa yang ingin disampaikan harus dapat
tersampaikan dengan baik kepada masyarakat .
Dalam ilmu jurnalis ada beberapa tinjauan yang menjadi perhatian, jurnalis
bertindak sebagai penerima informasi dan kemudian menyampaikan informasi
itu, tentunya dengan mengikuti kaidah-kaidah jurnalistik, seperti aktual, objektif,
berimbang dan menempatkan diri di posisi tanpa keberpihakan.
Posisi yang sulit akan terasa bagi jurnalis ketika adanya gejala konflik. Betapa
tidak profesi ini dikenal sangat beresiko, misalnya dituntut pencemaran nama baik,
pelecehan, ancaman sampai nyawa pun bisa melayang ketika meliput daerah
konflik bersenjata. Inilah yang namanya resiko, tetapi tampaknya para jurnalis akan
sering berhadapan dan mengalami resiko-resiko separah tadi.

54 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
Kemudian, dalam menjalankan profesinya seorang jurnalis menganut jurnalisme
damai untuk tetap konsisten bahwa kondisi dan damai itu adalah indah. Adapun
karakteristik jurnalisme damai yaitu; (1). Melihat perang sebagai sebuah masalah,
(2). Melihat perang sebagai sebuah ironi yang tidak seharusnya terjadi, (3). Lebih
mementingkan empati kepada korban dari pada liputan konflik yang kontinyu, (4).
Menonjolkan rekonsiliasi dua belah pihak, (5). Mengedepankan harapan dan hasrat
untuk berdamai daripada aroma dendam dan kebencian kepada kedua belah pihak,
(6). Memberitakan konflik apa adanya dan memberikan porsi yang sama kepada
semua pihak atau versi yang muncul dalam wacana konflik, (7). Mengungkapkan
ketidakbenaran kedua pihak dan menghindari keberpihakan, (8). Menyebutkan
nama pelaku kejahatan kedua pihak, guna mengungkapkan ketidakbenaran atau
kebohongan masing-masing pihak.
Dengan karakter tersebut, memberikan deskripsi betapa pentingnya menjaga
karakter itu dalam menjalankan fungsinya sebagai jurnalis. Diakui atau tidak, bahwa
pemberitaan terhadap suatu permasalahan tanpa fakta informasi yang benar dan
sumber yang jelas sering menjadi penyulut api konflik. Bagi jurnalis damai tentu hal
ini sangat tidak diharapkan.
Jurnalisme damai diharapkan menjadi sebuah solusi bagi dunia jurnalistik,
sehingga dituntut mampu mentransformasikan fakta dan realitas konflik sebagai
realitas media, untuk menghindari terjadinya konflik-konflik serta munculnya
penyelesaian masalah. Menciptakan suasana damai secara menyeluruh dengan
tetap berpedoman pada azas-azas dan prinsip jurnalisme damai.
Instrumen jurnalisme damai harus tetap dikedepankan. Inilah harapan dan
cita-cita seluruh masyarakat, sehingga melalui jurnalisme damai ini diharapkan tak
muncul lagi berbagai polemik, dan memperkeruh suasana. Pemberitaan yang baik
akan memberikan nuansa damai tersendiri, dengan demikian damai dapat terjaga
dan tak memunculkan konflik-konflik baru.
Tidak dapat dipungkiri pers mempunyai peran urgen dan strategis dalam
menjaga dan menciptakan suasana damai. Melalui jurnalisme damai, semoga
perjalanan jurnalistik dapat memberikan kontribusi besar secara universal menuju
perdamaian seutuhnya di muka bumi.

T I N TA D A M A I 55
Melalui jurnalisme damai, besar harapan untuk sekarang dan ke depan para
jurnalis dapat memberikan kontribusi besar terhadap perdamaian dan ketentraman
kepada masyarakat. Karena diyakini sebagai pemegang peran vital dalam
mengekspresikan dan mendiskripsikan sebuah persoalan, pers sebagai penyampai
informasi, agen perubahan dan berfungsi sebagai sosial kontrol memberikan
informasi kepada masyarakat yang berpengaruh besar terhadap pembentukan
pola pikir dan opini publik.
Di samping itu, media bersikap kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang berlaku,
membantu meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap kebijakan tersebut
dan selalu menganut prinsip dan azas damai melalui pemberitaannya, maka
terciptalah suasana damai, tenteram, aman dan sejahtera di tengah masyarakat. ***

56 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
Muhammad Saman
Wartawan Harian Analisa di Banda Aceh

Jurnalisme Damai

Pers sebagai media penyampai informasi ke publik, menjadi wahana pendidikan,


hiburan dan fungsi kontrol jalannya kekuasaan negara. Agar dapat menjalankan
fungsinya secara optimal, pers membutuhkan ruang kebebasan. Kemerdekaan
pers merupakan satu unsur dalam peradaban manusia yang maju, bermanfaat
tinggi dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan. Jika kemerdekaan pers itu tidak
ada, maka martabat manusia menjadi hilang.
Sebuah peristiwa yang terjadi di suatu daerah tidak akan berarti apa-apa jika
pers baik media cetak, elektronik maupun online tak menyebarluaskan kepada
masyarakat. Di sini, media mengambil peranan yang sangat penting.
Harus diakui, sebuah konflik ataupun suasana perang di daerah tertentu saat ini
masih sangat seksi untuk mendapat liputan wartawan dari berbagai media. Oleh
perusahaan media, konflik itu merupakan suatu hal yang sangat menguntungkan
dari sisi bisnis, meningkatkan pendapatan karena berita-berita seperti itu pasti
diburu publik.
Kita dapat melihat ketika konflik bersenjata terjadi di Aceh beberapa tahun
lalu antara Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Indonesia khususnya Tentara
Nasional Indonesia (TNI) dan Polri. Ketika penerapan status darurat militer dan
darurat sipil sejak 2003 hingga 2005, hampir seluruh media baik lokal, regional,
nasional maupun internasional mengerahkan para wartawannya untuk meliput
sengitnya suasana perang antara kedua pihak yang bertikai.
Media yang ada saat itu lebih banyak memberitakan perseteruan antara GAM-
TNI dan terjebak pada pemberitaan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Satu
hal yang sangat memprihatinkan kala itu, sangat sedikit media mengangkat hal-hal
yang menyangkut penderitaan masyarakat sipil tidak berdosa akibat konflik.
“Kalau tentara atau GAM yang tewas akibat konflik itu, ya itu memang resikonya
karena mereka saling bertempur. Tetapi, kalau rakyat yang tidak tahu apa-apa
menjadi korban, apa urusannya. Ini seharusnya lebih diperhatikan media,” ujar
pakar Komunikasi dari Universitas Indonesia (UI), Bachtiar Aly.
Media yang lebih mengedepankan masyarakat korban konflik ketimbang
perang statemen antara pihak bertikai akan terus memperkeruh konflik, inilah yang
dimaksudkan dengan praktik jurnalisme damai yang diterapkan sebuah media.
Jurnalisme damai adalah praktik jurnalistik yang bersandar pada pertanyaan-
pertanyaan kritis tentang manfaat aksi-aksi kekerasan dalam sebuah konflik dan hikmah
konflik itu sendiri. Ruhnya mengembangkan liputan yang berkiblat ke masyarakat.
Saat ini, kondisi Aceh memang telah berubah. Perdamaian sudah terwujud
untuk mengakhiri konflik bersenjata hampir 30 tahun dengan penandatanganan
Nota Kesepahaman (MoU) perdamaian antara pemerintah Indonesia dan GAM
pada 15 Agustus 2005 silam di Helsinki, Finlandia.
Situasi Aceh yang kondusif memberikan kesempatan bagi rakyat untuk bangkit
menata kehidupan mereka yang lebih baik. Denyut pembangunan kini memang
terlihat di mana-mana. Tidak terkecuali yang dilakukan ribuan mantan kombatan
GAM dan warga korban konflik. Sejumlah NGO, lembaga-lembaga dunia dan para
aktivis kemanusiaan aktif terlibat mendukung proses reintegrasi.
Pers juga memiliki peran strategis untuk menginformasikan dan memperkuat
usaha-usaha membangun tali silaturahmi antara mantan kombatan dan warga
(korban konflik). Untuk itu, pers harus mampu mentransformasikan peran agar
tidak sekadar sebagai pewarta informasi yang mengutamakan nilai konflik.

58 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
Konflik yang mengiringi reintegrasi, seharusnya dipahami sebagai bagian proses
resolusi konflik menuju perdamaian sejati.
Pers karenanya harus berperan aktif dan
proaktif dalam mendorong para pihak untuk membangun tali silaturahmi.
Tentu saja pers, atau jurnalis tidak dituntut sebagai mediator. Namun mereka
dapat “memprovokasi” para pihak yang terlibat dalam proses reintegrasi untuk
mengedepankan upaya-upaya penyelesaian konflik secara damai lewat fakta media
(berita) yang mereka produksi.
Ini mengingat daya persuasif pemberitaan pers yang dipercaya ikut memperkuat
pola pikir dan perilaku seseorang. Untuk itu, dibutuhkan perubahan perspektif dan
keterampilan teknis untuk mengimplementasikan jurnalisme damai dalam meliput
berbagai isu atau peristiwa yang muncul di Aceh, tidak terkecuali dalam meliput
proses reintegrasi.
Tugas media massa ikut menjaga dan merawat perdamaian agar terus berlanjut
di Aceh. Wartawan sebaiknya tidak lagi terjebak pemberitaan yang menjurus
kepada konflik.
Masyarakat Aceh berharap, perdamaian itu tidak sebatas di atas kertas yang
diliput media secara luas, tetapi ia membumi dan ditindaklanjuti dalam praktik
nyata di lapangan.
Segala bentuk kekerasan sudah harus berhenti, permusuhan berganti secara
bertahap menjadi saling pengertian dan persahabatan, kecurigaan perlu disikapi
dengan jujur terbuka, hilangkan egoisme kelompok, rasa dendam dikuburkan dengan
semangat islah (rekonsiliasi), saling memaafkan sebagai sesama anak bangsa.
Upaya rekonsiliasi secara komprehensif (kaffah) dengan spirit keluarga besar
bangsa Indonesia menjadikan peran media makin penting. Utamanya, bagaimana
media menghampiri permasalahan dengan bijak, tidak mengeksploitasi konflik
dan turut mencari solusi.
Misi dan instrumen jurnalisme damai harus dikedepankan. Media diharapkan
ikut memberi kontribusi menjelasterangkan butir-butir MoU Helsinki sehingga
mampu menghindari polemik yang tidak perlu.

***

JURNALISME DAMAI 59
Jurnalisme damai bukanlah hal baru. Pendekatan kerja jurnalisme ini digagas
Profesor Johan Galtung, ahli studi pembangunan, pada 1970-an. Galtung merasa
“miris” melihat pemberitaan pers yang mendasarkan kerja jurnalistiknya secara
hitam putih atau kalah-menang. Pola kerja jurnalistik seperti ini dia sebut sebagai
jurnalisme perang.
Jurnalisme perang lebih tertarik pada konflik, kekerasan, korban yang tewas,
dan kerusakan material. Pola seperti ini banyak dianut infotainment, lebih suka
mendasarkan kerjanya pada konflik rumah tangga selebritis.
Penganut jurnalisme perang enggan menggali asal-usul konflik, mencari
alternatif-alternatif penyelesaian, berempati pada akibat-akibat kemanusiaan yang
ditimbulkannya. Jurnalisme perang lebih suka memperjauh jarak para pihak yang
berkonflik dalam kerangka kalah-menang, bukan mendekatkan keduanya untuk
berdamai.
Akibatnya, jurnalisme perang secara tidak sadar juga menggiring publik untuk
memihak pada salah satu pihak yang bertikai. Ini bisa dimaklumi karena dalam
proses liputan, jurnalisme perang selalu menggunakan kacamata “kita-mereka”.
Galtung yang kemudian diikuti Annabel McGoldricik dan Jake Lynch mendorong
pers mengubah teori klasik jurnalisme perang menjadi jurnalisme damai (peace
journalism). Pers harus mengambil peran memprovokasi pihak-pihak bertikai
menemukan jalan keluar. Pers harus melakukan pendekatan menang-menang dan
memperbanyak alternatif penyelesaian konflik.
Jurnalisme damai melihat perang atau pertikaian bersenjata sebagai masalah,
sebagai ironi kemanusiaan yang tidak seharusnya terjadi. Dalam konteks ini,
jurnalisme damai pada dasarnya adalah seruan kepada semua pihak memikirkan
hikmah konflik. Yaitu dengan senantiasa menggarisbawahi kerusakan dan kerugian
psikologis, budaya dan struktur kelompok masyarakat yang menjadi korban konflik
atau perang.
Jurnalisme damai lebih mementingkan empati kepada korban-korban konflik
daripada liputan kontinyu tentang jalannya konflik. Jurnalisme damai memberi
porsi sama kepada semua versi yang muncul dalam wacana konflik. Jurnalisme
damai juga berusaha mengungkapkan ketidakbenaran dari kedua pihak, bahkan

60 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
kalau perlu menyebutkan nama pelaku kejahatan (evil-doers) kedua belah pihak.
Jurnalisme damai dalam upaya menyampaikan fokus beritanya lebih pada
efek kekerasan yang tidak tampak (invisible effect of violence), seperti kerusakan
sosial, kerusakan budaya moral, hancurnya masa depan, maupun trauma pihak
yang menjadi korban, bukan produk fisik dari konflik dan kekerasan semata, seperti
potongan mayat, rumah ibadah yang hangus, wanita dan anak terlantar.
Hal ini bertujuan untuk menarik empati audien, bahwa konflik yang disertai
kekerasan hanya mendatangkan kerugian. Di samping itu aspek keseimbangan
pemberitaan (cover both side) tidak hanya pada sisi materinya saja, tetapi juga
sumber berita. Suara korban seperti orang tua, wanita dan anak-anak harus
mendapat tempat lebih banyak dalam pemberitaan dibanding porsi elit yang
bertikai.
Jurnalis juga dituntut untuk memindahkan orientasi sumber pemberitaannya
dari level elit ke masyarakat. Menggeser angle liputannya dari fakta kekerasan ke
pusat penderitaan masyarakat biasa. Jurnalis harus mengungkap penderitaan para
korban dan akibat-akibat dari konflik yang menyengsarakan.
Berbagai implikasi konflik yang tidak tampak, dan lebih bersifat psikologis harus
mampu diungkap jurnalis. Tujuannya untuk menggugah orang agar sadar bahwa
ekses konflik sebenarnya sangat fatal, yakni menimbulkan penderitaan manusia.
Selanjutnya kebutuhan suatu kemasan yang manis terhadap suatu fakta konflik,
sama artinya dengan menangkap ikan tanpa membuat keruh air di sekitarnya,
itulah jurnalisme yang cerdas. Karena saat ini, jurnalisme tidak hanya dituntut
mampu menciptakan iklim kondusif memberi suasana damai, tapi juga menjadi
bagian dari proses mendidik dan mencerdaskan bangsa.
Penggagas jurnalistik damai menilai pers bukan sekadar penyampai informasi
apa adanya darah dan kemarahan, melainkan harus kreatif membangun debat
publik yang sehat bagi kepentingan umum yang luas memberikan empati pada
anak-anak yang telantar, penderitaan rakyat tak berdosa akibat konflik.
Ide jurnalisme damai tidak sekadar guyonan atau asal ngomong. Kita melihat
masih banyak media massa yang menyulut emosi audiens dalam pembuatan
berita-beritanya. Padahal jurnalis harusnya bisa membuat berita menyejukkan. Apa

JURNALISME DAMAI 61
memang tugas media membuat sensasi? Atau memang justru kontroversi itu yang
menarik? Ah, memangnya media gosip.
Ide jurnalisme damai memang tak sepenuhnya bisa diterima. Seorang wartawan
mengatakan, tugasnya hanya menulis fakta yang ada, dan bukan tugas media
menyelesaikan sebuah persoalan yang ada di negeri ini. Ya, mungkin juga benar
apa yang dikatakan kawan ini.
Tapi bukankah peran media juga harusnya memberi pendidikan, pencerahan
dan informasi yang baik buat para audiensnya? Lalu, apa salahnya dengan ide
jurnalisme damai ini?
Jika saja standar profesi jurnalistik dan etika pers benar-benar diaplikasikan, kita
yakin akan tercipta sebuah jurnalisme damai. Tapi, celakanya lagi standar profesi
jurnalisme seperti syarat-syarat untuk menjadi wartawan dan penerbit pers tidak
ada dalam Undang-Undang Pers.
Konsep-konsep jurnalisme accurate reporting (akurat dan teliti), objective
reporting (tidak memihak), fair reporting (jujur dan tidak bias), balance reporting
(pemberitaan yang berimbang dan proporsional), dan true reporting (benar) banyak
diabaikan para wartawan.
Pemberitaan yang vulgar dan sensasional justru menjadi kegemaran wartawan
dalam cara pemberitaan yang disebut crisis news, action news, spot news, dan
hard news. Ditambah kebiasaan buruk mengambil angel kejadian menegangkan,
pemakaian gaya bahasa, cara memilih judul, lead dan cara menerapkan fungsi
agenda setting (pilihan waktu dan tempat berita) yang mencemaskan khalayak.
Kemampuan untuk memilih dan memilah karya jurnalistik ialah tanggungjawab
untuk mengedepankan rasa aman, adil dan objektif. Media menuntut pembaca
untuk mengenal dunia dengan menggunakan bahasa yang tepat sasaran secara
santun.
Paling tidak, setiap statement elit tidak begitu saja dilansir tanpa secara kritis
menilai apakah bahasa yang digunakan sudah sesuai dengan norma-norma,
kaidah bahasa dan kode etik. Media yang cerdas tidak akan pernah secara serta
merta memuat pernyataan dalam bahasa yang vulgar.
Konflik berkepanjangan dan akumulasi kekecewaan serta ketidakmampuan

62 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
pengendalian diri telah menjadikan segelintir elit kita terjebak menggunakan kata-
kata yang kurang pantas, terbawa emosi. Mereka kurang menyadari bahwa bahasa
dapat mengundang kekerasan.
Penggunaan kata-kata seperti libas, embat, tebas, basmi, bumihanguskan,
luluhlantakkan, binasakan atau istilah lain yang berkonotasi permusuhan dan
konfrontatf seharusnya dihindari, karena sangat tidak pantas diucapkan kepada
entitas manusia, seberapapun  salah dirinya.
Media yang memiliki integritas tidak akan terjebak dan tidak ingin menjadi
mesin photocopy yang mengadopsi pernyataan-pernyataan bercorak provokatif.
Hak media mencarikan kata sinonim menggantikan ungkapan petinggi atau elit
yang tampak kurang kendali atau memang tidak pandai berkata hati, tidak cerdas
dalam berkomunikasi.
Pemberitaan beberapa suratkabar sebagaimana yang diamati analis media
KIPPAS, penuh dengan pergelaran bahasa kekerasan. Tak hanya ketika surat kabar
mengkonstruksi fakta yang sudah kerasa seperti konflik (etnis), tetapi juga ketika
mereka mengkonstruksi konflik diantara elit politik.
Dalam istilah Prof Dr Hasan Alawi, ahli bahasa yang pernah menjabat Kepala
Pusat Pembinaan Bahasa Indonesia itu, bahasa komunikasi yang dipraktikkan para
elit politik merupakan bentuk vulgarisasi bahasa Indonesia. Hal tersebut, menurut
dia, merupakan perubahan ekstrem dari kramanisasi bahasa Indonesia karena
adanya hegemoni semantik yang terjadi selama masa Orde Baru.
Jurnalisme damai diharapkan menjadi keteladanan bagi khalayaknya untuk
bersama mencapai cita-cita menuju Indonesia damai.
Dengan merekonstruksi
fakta-fakta yang ‘tidak kasatmata’ tersebut, para pihak yang bertikai, diharapkan
akan segera menyimpan senjata mereka, dan memilih berunding lewat jalan
beradab, bukan biadab. Jurnalisme damai memang sebuah intervensi. Tepatnya
intervensi nilai perdamaian. Di kolong langit, siapakah yang tidak merindukan
sebuah masyarakat cinta perdamaian? Tentu semua menghendakinya, kecuali para
produsen senjata dan mesin kekerasan. ***

JURNALISME DAMAI 63
Thamren Ananda
Sekjend DPP-PRA

Perdamaian Aceh Bertopeng Sebelah

Almost all wars are now civil wars. Many of the causes are economic.
(The Economist edisi 24 Mei 2003)

Sekitar delapan puluh persen dari semua perang saudara (civil war) yang ada
di dunia ini menimpa seperenam dari penduduk termiskin dunia. Perang saudara
selalu disebabkan oleh kepentingan ekonomi. Konflik Aceh yang dimulai sejak
tahun 1976, juga dilandasi secara kuat oleh kepentingan—ketimpangan ekonomi
pusat daerah. Khususnya dengan muncul perusahaan Multi National Corporate
(MNC) (PT. Exxon Mobil Oil) yang mengekplorasi gas di Aron, Aceh. Produksi
gas alam Aron pertama dimulai pada tahun 1978. kalau dilihat dari fase lahirnya
pemberontakan Aceh terhadap Republik yang mulai dideklarasikan pada tahun
1976 memiliki kaitan yang sangat erat dengan kehadiran perusahaan eksplorasi
gas alam di Aceh.
Konflik yang munculpun bukan konflik horizontal, tetapi konflik vertikal pusat-
daerah yang kemudian melahirkan perang sipil dengan kristalisasi munculnya
nasionalisme ke-Acehan. Secara umum dapat dilihat dari berbagai peristiwa
sejarah munculnya nasionalisme (Negara bangsa) selalu diawali dengan munculnya
ekspansi ekonomi global dalam mengeksplorasi kekayaan alam di suatu daerah.
Kondisi ini menjadi basis awal bagi munculnya semangat nasionalisme khususnya
dalam hal perebutan kekuasaan atas kekayaan alam di daerah tersebut antarkelas
menengah (borjuasi) pribumi dengan borjuasi pendatang (MNC). Di Aceh borjuasi
pendatang dilembagakan sebagai perwakilan pemerintah pusat walaupun orang
asing, sehingga kontradiksi yang muncul daerah dan pusat.
Konflik panjang dan telah melahirkan begitu banyak derita yang begitu sulit
untuk dilupakan, telah membuat Aceh porak-poranda dalam berbagai sektor. Baik
itu secara ekonomi maupun politik. Secara politik telah mengakibatkan hilangnya
kondisi kondusif di Aceh dan hancurnya rasa saling percaya dengan pemerintah
pusat. Kemudian mencapai klimaks pada awal tahun 2000 dengan mulai
memudarnya semangat kebangsaan Indonesia dan mulai masifnya semangat ke-
Acehan dalam bentuk Negara bangsa. Sedangkan secara ekonomi, kondisi Aceh
dalam keadaan konflik, sudah pasti akan sulit terjadi pertumbuhan ekonomi
apalagi dalam hal pemerataan ekonomi—sudah pasti kemiskinan bagaikan wabah
penyakit yang begitu cepat meluas.
Perjalanan konflik besenjata di Aceh yang begitu panjang dan melelahkan,
diperparah lagi dengan terjadinya bencana tsunami yang dahsyat, semakin
membuat Aceh terpuruk secara ekonomi dan politik. Namun konflik sebesar
apapun, ketika mengalami klimaks (puncak dari konflik) pasti akan menemukan
muara penyelesaiannya. Begitu juga dengan konflik Aceh, tahun 2005 merupakan
babak baru dalam sejarah perjalanan Aceh. Di tahun tersebut telah terjadi satu
kesepahaman bersama antara pihak berkonflik untuk menyelesaikan konflik, yang
kemudian dikenal dengan MoU Helsinki. Karena konflik bagaikan mata rantai yang
sulit diputuskan, maka penyelesaian konflik setelah mencapai puncak konflik
biasanya akan melahirkan konflik baru. Konflik baru ini akan terus mencul bila akar
dari konflik tidak pernah bisa diselesaikan secara menyeluruh.
Kalau dilihat secara umum konflik Aceh mulai muncul akibat dari kesenjangan
ekonomi antara daerah dan pusat, kemudian secara otomatis meluas menjadi
ladang kemiskinan, maka akar konflik Aceh bisa dipastikan adalah persoalan
ekonomi kesejahteraan. Dari sisi lain yang dapat menguatkan kesimpulan tersebut
adalah dengan mulai terjadinya perubahan status para pelaku konflik yang dulunya
berbicara keadilan ekonomi dan politik mulai berubah ke arah penguasaan alat-alat

66 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
produksi atau mulai menjadi orang-orang baru yang menguasai ekonomi atau telah
terjadi perubahan status kelas sosial yang saling berkontadiksi. Kalau kondisi ini
terus berjalan tanpa ada pemerataan ekonomi atau peningkatan kesejahteraan—
melalui pembukaan lapangan kerja, maka konflik baru atas perdamaian pascakonflik
panjang akan terus terawat dan pada akhirnya juga akan mencapai puncak atau
klimaks dari konflik baru tersebut. Hal ini disebabkan oleh karena perdamaian abadi
tidak hanya ditandai oleh berkurangnya aktivitas konflik militer, tetapi perdamaian
abadi akan selalu ditandai oleh berkurangnya angka kemiskinan.
Lalu bagaimana mengisi perdamaian untuk mengurangi angka kemiskinan
agar potensi munculnya konflik baru dapat diantisipasi dari sekarang? Ini sangat
tergantung kepada kebijakan pemerintah dalam hal pemberantasan kemiskinan
atau lebih luas dalam hal kebijakan ekonomi Pemerintah Aceh pasca-MoU
Helsinki. Apakah pemerintahan baru (eksekutif dan legislative) mampu melakukan
perubahan yang signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat Aceh atau
hanya melanjutkan pola kebijakan ekonomi pemerintahan Aceh sebelumnya—di
masa konflik.
Kebijakan pembangunan ekonomi Pemerintah Aceh dapat dilihat dalam dua hal
penting pertama pengalokasian anggaran—APBA dan kedua penggarapan sektor
ekonomi dengan menganut sistem fragmentasi atau leading sector (terfokus).
Dalam pengalokasiaan anggaran APBA/politik anggaran, akan sangat
menentukan dalam pemberantasan kemiskinan. Pemerintah harus mengalokasikan
dana yang besar ke sektor yang jumlah penduduk miskin lebih banyak. Di Aceh
jumlah penduduk miskin yang tinggi berada di sektor pertanian, dan mayoritas
penduduk Aceh juga bekerja di sektor tersebut. Bahkan hampir mencapai 70
persen penduduk Aceh bermatapencaharian sebagai petani (dalam makna yang
luas). Namun anehnya alokasi anggaran untuk sektor pertanian tidak lebih 6 persen
dari jumlah APBA dan alokasi anggaran APBA yang paling besar mencapai angka
diatas 50 persen adalah untuk kepentingan pejabat dan birokrasi dengan jumlah
penduduk yang menjadi birokrat tidak lebih dari 10 persen dari jumlah penduduk
Aceh. Artinya 70 persen penduduk Aceh memperebutkan kue APBA sebesar 6
persen sedang 10 persen penduduk Aceh memperebut kue APBA sebesar 50

P E R D A M A I A N AC E H B E R TO P E N G S E B E L A H 67
persen lebih. Ini satu fakta kesenjangan ekomoni saat ini. Dan kalau kondisi ini terus
dipertahankan maka pemberantasan kemiskinan hanya akan menjadi selogan
pemerintah saja. Karena pemerintahan memang tidak melakukan tindakan
yang signifikan dari segi pengalokasiaan anggaran untuk sektor yang mayoritas
penduduk dan juga tinggi angka kemiskinan.
Selain kebijakan anggaran yang harus berpihak kepada mayoritas rakyat,
maka kebijakan ekonomi pemerintah juga harus fokus dalam pemberantasan
kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang pesat tidak akan menjamin mampu
menekan angka kemiskinan, bila tidak terjadi pemerataan. Secara empiris konsep
ekonomi yang cenderung menganut pemerataan akan sedikit lamban dalam
mengejar angka pertumbuhan ekonomi. Sistem ekonomi yang menganut sistem
ekonomi pemerataan walaupun lambat tetapi memiliki fondasi yang kuat. Hal ini
disebabkan oleh keterlibatan semua rakyat, bukan segelintir pengusaha dalam
menggerakkan pertumbuhan ekonomi. Sehingga ekonomi pemerataan biasanya
lebih kuat dalam menghadapi berbagai kondisi krisis ekonomi, dan sistem ekonomi
pemerataan sering diibaratkan sebagai sistem ekonomi seperti piramida.
Namun sebaliknya bila ingin mengejar pertumbuhan maka harus mengabaikan
pemerataan ekonomi. Ekonomi yang hanya mengejar pertumbuhan sering disebut
dengan ekonomi developmentalis yang mengandalkan pertumbuhan ekonomi
pada segelintir pengusaha. Ekonomi seperti ini sering juga disebut sebagai ekonomi
piramida terbalik, sehingga sistem ekonomi ini tidak kuat dalam menghadapi
berbagai krisis ekonomi. Dan sepertinya konsep mengejar pertumbuhan ekonomi
dan mengabaikan pemerataan merupakan pilihan sistem ekonomi Pemerintah
Aceh saat ini, kalau dilihat dari politik anggarannya dan kebijakan ekonomi mikro/
makro lainnya.
Kebijakan ekonomi yang harus fokus adalah dalam menggarap sektor ril.
Saat ini Pemerintah Aceh tidak memiliki leading sektor dalam menumbuhkan
ekonomi daerah. Dan sektor ril yang paling berpotensi adalah pertanian. Hal ini
disebabkan dua faktor penting. Pertama komoditas pertanian saat ini sedang
menjadi unggulan, di tengah krisis pangan global. Seharusnya krisis pangan global
bukan menjadi petaka bagi pemerintah kita, tetapi harus menjadi peluang bagi

68 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
pemerintah dan rakyat Aceh. Kedua jumlah lahan pertanian yang masih sangat
luas dan ditunjang oleh keadaan alam yang sangat subur. Aceh dan Indonesia pada
umumnya termasuk wilayah tropis yang terbesar kedua di dunia setelah Brazil yang
luas wilayah tropisnya mencapai angka 27 persen sedangkan Indonesia memiliki 11
persen wilayah tropis.
Krisis pangan dunia disebabkan oleh beberapa faktor, pertama disebabkan oleh
jumlah lahan pertanian yang mulai sedikit akibat dari banyaknya lahan pertanian
yang terkonversi ke industri. Keberadaan teknologi yang mampu mengolah
komoditas pertanian menjadi energi alternatif (bio-energi) telah menjadi faktor
kedua meningkatnya kebutuhan komoditas pertanian dewasa ini.
Kondisi inilah yang membuat masyarakat dunia mulai terpikat dengan bio-
energi sebagai alternatif pengganti minyak bumi. Konversi komoditas pangan
menjadi bio-energi secara langsung telah meningkatkan kebutuhan bahan pangan
dalam jumlah besar. Hal ini disebabkan bahan pangan bukan hanya diperebutkan
oleh umat manusia dewasa ini, tetapi juga manusia telah berkompetisi dengan
mesin dalam memperebutkan bahan pangan tersebut.
Keterpikatan terhadap konversi komoditas pangan menjadi bio-energi sebagai
pengganti minyak bumi disebabkan bio-energi bisa diperbaharui, sedangkan
minyak bumi membutuhkan waktu berjuta-juta tahun untuk mengubah fosil-fosil
menjadi minyak bumi sebagai energi. Tidak mengherankan bila dunia sekarang
menghadapi satu masalah besar dalam persediaan pangan bagi kelangsungan
hidup. Keadaan ini telah mengalihkan perhatian para pengusaha untuk melirik
agribisnis sebagai bisnis yang menjanjikan, khususnya pengusaha asing. Seperti
Agro Indomas, Charoen Indonesia, Grop Golden Hope, Oriental Holding Bhd, Kulim
Bhd, Grup Guthrie, Kuala Lumpur Kepong Bhd, Grup Sime Darby dan Tradewinds Bhd,
yang bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit. Dan masih banyak lagi yang
mulai menjajaki untuk investasi sektor agribisnis di Indonesia.
Indonesia merupakan daerah yang paling besar lahan untuk komoditas pangan,
bila dibandingkan dengan negara-negara Eropa, yang sebahagian besar wilayahnya
telah dipenuhi oleh berbagai industri. Begitu juga dengan Cina yang memiliki
penduduk terbesar di dunia dengan luas wilayah yang lumayan besar, sementara

P E R D A M A I A N AC E H B E R TO P E N G S E B E L A H 69
lahan pertaniannya telah terkonversi menjadi areal industri. Untuk mengantisipasi
kebutuhan pangan masa depan, Cina mulai membangun basis pertanian yang kuat
dan modern di Afrika.
Fakta di atas telah menunjukkan betapa pentingnya sektor pertanian untuk
dikembangkan, apalagi jumlah penduduk Aceh mayoritas bekerja di sektor
tersebut dan jumlah angka kemiskinan yang paling tinggi juga berada dalam
sektor pertanian. Maka sudah saatnya Pemerintah Aceh fokus dalam membangun
ekonomi Aceh ke depan dengan menjadikan pertanian modern sebagai leading
sektornya.
Dengan dukungan pemerintah, mulai dari politik anggaran sampai pada
manajemen produksi dan pemasaran, akan mampu mendorong pertanian Aceh
terkonversikan dari pertanian tradisional menjadi pertanian modern. Dengan
demikian ke depan Aceh akan menjadi daerah agribisnis yang kuat di Indonesia.
Sehingga jumlah pengangguran dan kemiskinan akan mulai teratasi dengan
banyaknya peluang/lapangan kerja. Dan tingkat kesejahteraan petani akan
semakin meningkat, sehingga akan mendongkrat pendapatan ekonomi sekitar 70
persen penduduk Aceh.
Dengan demikian perdamaian abadi yang terus diharapkan oleh banyak
pihak akan semakin mudah untuk terus dipertahankan, karena akar dari konflik
adalah kesenjangan ekonomi yang terjadi dalam masyarakat, termasuk dalah hal
kriminalitas, selalu dilandasi oleh faktor ekonomi. Perdamaian dan kesejahteraan
ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan atau saling mendahului.
Keduanya harus seiring-sejalan, apabila perdamaian tidak dibarengi dengan
kesejahteraan maka perdamaian sebagai solusi dari konflik selalu akan menjadi
mata rantai yang tidak terputuskan, akan melahirkan berbagai potensi konflik baru.
Perdamaian harus diisi dengan kesejahteraan agar terus langgeng sepanjang
masa. Untuk itu Pemerintah Aceh harus memiliki kebijakan pembangunan ekonomi
yang terfokus—memiliki leading sector. Dan sektor pertanian merupakan sektor
unggulan, selain krisis pangan dunia yang mengakibatkan komuditas pertanian
menjadi buruan masyarakat dunia, Aceh juga merupakan daerah yang subur akan
pertanian. Sehingga perdamaian bisa mengubah wajah Aceh dari masa kelam

70 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
menjadi puncak kejayaannya.
Apabila perdamaian di Aceh tidak mampu diisi dengan peningkatan
kesejahteraan dan pengurangan angka pengangguran serta kemiskinan, maka
perdamaian di Aceh bertopeng sebelah.
Di satu sisi semua orang berhasrat untuk terus mempertahankan perdamaian,
sedangkan di sisi lain perdamaian hanya mampu mensejahterakan segelintir
rakyat Aceh. Dan mayoritas rakyat Aceh akan hidup dalam kondisi perekonomian
yang sama di masa konflik. Hanya kondisi kondusif yang membedakan pola hidup
mereka. Namun yang pasti perdamaian bukanlah tujuan, melainkan jalan menuju
kesejahteraan. Karena tujuan dari satu kehidupan adalah mencapai kesejahteraan.
Begitu juga tujuan bernegara adalah untuk mewujudkan kesejahteraan bagi
rakyatnya. Apabila perdamaian di Aceh tidak mampu mewujudkan kesejahteraan
bagi rakyat Aceh, maka perdamaian Aceh dan pemerintahan baru Aceh, hanya
mampu mewujudkan Aceh yang kondusif tanpa ada kesejahteraan bagi
rakyatnya. ***

P E R D A M A I A N AC E H B E R TO P E N G S E B E L A H 71
Hendra Fadli
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh

4 Tahun Tanpa Kebenaran

Tak ada alasan yang dapat diterima terhadap perilaku kekerasan, entah itu
sebagai ekses perang maupun sebagai strategi fasisme dalam melanggengkan
kekuasaan. Sebaliknya kekerasan juga tidak bisa dibenarkan sebagai konsekuensi
dari gerakan kontrafasisme atas nama perubahan. Yang jelas perilaku kekerasan
merupakan kecelakaan sejarah dari praktek kehidupan berbangsa dan bernegara
di Indonesia oleh generasi yang berseteru pada masa itu.
Belakangan wacana antikekerasan cenderung menguat pasca-berakhirnya
konflik bersenjata yang disebut sebagai fase transisi menuju kematangan demokrasi.
Namun dalam konteks konflik Aceh versus Jakarta, di mana konflik kekerasan telah
berlangsung puluhan tahun dan warisan kekerasan terlanjut berurat-akar dalam
kehidupan sosial, ekonomi dan politik, maka sedikit banyak telah mempengaruhi
cara pandang berbagai pihak dalam menafsirkan langkah-langkah penyelesaian
warisan kekerasan masa lalu tersebut. Bahkan sejak kekerasan itu terjadi sampai
dengan empat tahun perdamaian bergulir, penyelesaian warisan kekerasan masih
berada pada perdebatan wacana belaka.
Hal tersebut diyakini sebagai gejala normal dalam masa transisi di mana kekuatan
politik yang ada masih bercampur aduk antara yang pro-HAM dengan kelompok
“peragu”. Dengan demikian cukup wajar ketika muncul gagasan konvensional agar
energi positif perubahan dimaksimalkan hanya untuk menata masa depan dengan
melupakan masa lalu. Kesadaran kelompok ini tentu berangkat dari kekhawatiran
terhadap munculnya resistensi oleh sisa-sisa kekuatan politik lama yang merasa
dipersalahkan. Di lain pihak terdapat komponen prodemokratik yang berkeyakinan
bahwa terlalu sulit untuk memproyeksikan masa depan kalau masa lalu dikubur
begitu saja. Karena masa lalu merupakan kehidupan nyata yang dapat diukur dan
dinilai secara objektif perihal keunggulan sekaligus kesemrautannya.
Agaknya terlalu rumit untuk meyakinkan semua pihak bahwa kepentingan
untuk pelurusan masa lalu bukanlah bertujuan untuk mengungkit dosa-dosa para
pihak, mengingat idealnya kebenaran merupakan capaian yang diperoleh melalui
proses pengungkapan yang objektif dan transparan, melalui kesaksian, pengakuan
dan pembuktian. Dengan demikian kemungkinan mencuatnya kembali identitas
korban, pelaku, pola, dan periode kekerasan merupakan fenomena yang tidak
terhindarkan dari proses truth seeking (pengungkapan kebenaran).
Padahal secara sosiologis, memori kolektif masyarakat senantiasa terjaga
terhadap peristiwa-peristiwa tragis yang terjadi secara sistemik dan meluas. Misal,
peristiwa Simpang KKA, Peristiwa gedung KNPI, Teungku Bantaqiah, Bumi Flora dan
berbagai peristiwa lainnya yang terjadi sepanjang periode DOM sampai dengan
berakhirnya Darurat Sipil (2005). Melalui obrolan warung kopi maupun cerita
keluarga yang disampaikan secara berjenjang ke anak-cucu, ditambah lagi oleh
pemberitaan media, dengan sendirinya peristiwa-peristiwa kelam tersebut terus
dikenang secara subjektif oleh komunitas Aceh.
Pada situasi ini bukankah kebenaran justru tidak terkelola dengan baik, dan
saban waktu dapat dimanfaatkan oleh siapapun untuk kepentingan yang belum
tentu konstruktif dengan spirit pelanggengan perdamaian.

Kebenaran versi masyarakat sipil


Menarik ketika mencermati fonomena menguatnya kembali inisiatif sipil dalam
mendorong terbetuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Aceh. Inisatif

74 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
ini telah dilaksanakan dengan berbagai kegiatan yang mulai terkoordinasi dengan
baik, minimal di tingkat aliansi sipil dan korban.
Di beberapa kabupaten, lembaga advokasi HAM bersama organisasi
korban telah melakukan sosialisasi tentang instrumen hak asasi manusia dan
mekanisme penyelesaian HAM, dan ada juga yang melakukan pendataan dan
pendokumentasian peristiwa-peristiwa kekerasan yang terjadi. Pada waktu
bersamaan sejumlah LSM juga telah merampungkan tawaran konsep KKR versi sipil
yang telah diajukan kepada otoritas pemerintah daerah. Dan yang lebih menarik
lagi, di Aceh Utara saban tahun keluarga korban menggelar doa bersama untuk
mengenang tragedi simpang KKA dan tragedi Gedung KNPI.
Inisiatif sipil di atas merupakan indikator kuat betapa kebutuhan untuk
meluruskan sejarah secara perlahan mulai menjadi kesadaran publik, artinya
meskipun inisiatif formal pemerintah untuk mewujudkan KKR masih terbelenggu
berbagai pertimbangan politik dan yuridis, pengungkapan kebenaran tetap
berpeluang untuk diterapkan. Paling tidak truth seeking (pengungkapan kebenaran)
versi masyarakat sipil Aceh.
Selain alasan di atas, inisiatif pengungkapan kebenaran oleh masyarakat sipil
juga didukung beberapa argumen lainnya yaitu; pertama, kemunculan konsep
kebenaran dan rekonsiliasi dalam konteks penyelesaian HAM di bebarapa negara
merupakan alternatif penyelesaian untuk melengkapi proses yudisial. Konsep KKR
juga dikenal memiliki kekhasan tentang bentuk dan kerangka operasional yang
berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. Selain itu, proses pengungkapan
kebenaran dan rekonsiliasi juga berbeda dengan mekanisme yudisial yang memiliki
syarat dan standar dalam pembuktian serta prosedur legal lainnya.
Alasan kedua, berdasarkan Pasal 100-103 Undang-Undang No 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, masyarakat sipil berhak berpartisipasi daIam
perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia di Indonesia.
Dengan demikian upaya masyarakat sipil untuk mengungkapkan kebenaran
merupakan terobosan menarik yang sah-sah saja dilakukan, selain itu upaya
tersebut juga memiliki nilai strategis. Paling tidak dokumen yang dihasilkan
dari proses pengungkapan keberanan merupakan sumbangan berharga dalam

4 TA H U N TA N PA K E B E N A R A N 75
merajut kebolongan sejarah. Dokumen tersebut juga dapat dijadikan referensi
alternatif oleh generasi mendatang dalam memaknai sejarah, mengingat selama
ini kebenaran sejarah acapkali menjadi monopoli kekuasaan yang tentunya sarat
dengan kepentingan politik yang sempit.***

76 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
Mukhlisuddin Ilyas
Peneliti dan Penulis Buku Aceh dan Romantisme Politik

Aceh di Tangan Irwandi-Nazar

Membangun Aceh pascakonflik (1976-2005) dan tsunami (2004) tidak semudah


membayangkan ataupun direncanakan oleh berbagai pihak. Membangun
Aceh untuk sejahtera, jaya dan kondusif diperlukan banyak energi, fisik maupun
pemikiran yang konprehensif. Salah satu potensi atau kekuatan untuk memajukan
Aceh yang lebih baik adalah dengan melakukan konsolidasi rakyat dan melibatkan
semua elemen pemimpin Aceh. Mau dibawa keman Aceh ini? Kalau rakyat dan
pemerintah tidak solid dan tidak ada satu kata untuk memajukan Aceh, kapanpun
Aceh tetap terus terpuruk. Lingkaran segitiga; damai-konflik-kemiskinan, terus
menghantui rakyat yang jumlah populasinya 4 jutaan ini nantinya.
Belajar dari konflik yang berkepanjangan dan musibah tsunami yang
menakutkan, sudah saatnya semua elemen rakyat Aceh sadar dan bangun dari
mimpi-mimpi yang radikal. Untuk menggapai subtansi mimpi merdeka melalui
ranah kesejahteraan rakyat, yang kita utamakan. Kita semua mendambakan
kemerdekaan itu, bukan kemerdekaan lain.
Rakyat Aceh memerlukan perubahan yang fundamental, radikal, untuk mencapai
titik kemajuan dan kesejahteraannya. Tahapan menuju perubahan kesejahteraan
rakyat Aceh pascakonflik dan tsunami telah diberikan mandat oleh rakyat kepada
Irwandi-Nazar (2007-2012). Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar secara mutlak
menang saat pemilihan kepala daerah dengan angka 36 persen, menyisihkan 7
pasang calon gubernur lainnya. Mayoritas suara rakyat, memberi mandat upaya
perubahan itu kepada Irwandi-Nazar tiga tahun lalu. Tak ada protes dan demontrasi
ketika mandat kepemimpinan Gubernur diberikan kepada Irwandi-Nazar. Di kota,
gampong dan jurong, semua menyambut gembira dengan kemenangan mutlak
pasangan independen Irwandi Nazar memimpin Aceh (2007-2012).
Kenapa demikian? Karena rakyat Aceh mendambakan/membutuhkan
perubahan yang fundamental, radikal dan tidak dikecewakan lagi. Rakyat Aceh
sudah lama sekali menderita akibat ulah politisi, birokrasi dan ulah-ulah manipulasi
Jakarta yang membuat mereka terus hidup di ranah kemiskinan. Makanya, rakyat
Aceh berharap Irwandi-Nazar dapat membawa perubahan, kebaikan, kesejahteraan
untuk semua elemen warganya.
Sekarang, setengah perjalanan kepemimpinan Irwandi-Nazar sudah dilalui.
Perubahan apa yang fundamental dirasakan rakyat Aceh. Hanya rakyatlah yang
bisa menjawabnya secara objektif. Karena rakyat pula yang memberi mandat
kepemimpinan pada mereka.
Kalau membaca dokumen visi dan misi Irwandi-Nazar, terdapat 8 poin besar
misi yang harus dihidupkan dalam bentuk action plan pemerintahannya. Secara
jujur, saya hanya bisa mengatakan bahwa harapan untuk mencapai perubahan
fundamental, radikal pada masa Irwandi-Nazar sebagaimana termaktub dalam
dokumen visi dan misinya, ditambah dengan harapan masyarakat, bisa kita katakan
tak mengarah kepada perubahan yang signifikan dan fundamental, apalagi radikal.
Namun demikian, setidaknya pengharapan untuk menunaikan janjinya,
Irwandi-Nazar masih terbuka peluang dan kesempatan di sisa paruh kedua masa
kepemimpinannya. Kalau mampu mereka melakukan penetrasi ke semua lini
elemen masyarakat, mereka akan dikenang dalam catatan sejarah pembangunan
Aceh kelak. Setidaknya fondasi perubahan telah mereka gagas.
Jika penetrasi tidak mampu dilakukan oleh Irwandi-Nazar beserta dengan
kabinetnya, tidak jujur dalam membangun Aceh, mereka juga akan dicatat

78 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
sebagai pemimpin yang dipilih dengan suara mayoritas namun tak sukses
membawa perubahan. Ke depan, mereka tak dipercaya lagi. Itu pasti. Imbas dari
ketidakpercayaan terhadap Irwandi-Nazar tentu akan berdampak pada dinamika
politik regional di Aceh.
Salah satunya adalah memunculkan segala kesalahan dan kemunduran Aceh
di pundak Gubernur dan Wakil Gubernur beserta dengan para pendukungnya
yang dimotori oleh GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Di paruh kedua kepemimpinan
Irwandi Irwandi-Nazar yang didukung dengan Parlemen baru dari GAM, bila
tetap tidak mampu melakukan penetrasi cepat untuk membangun Aceh. Maka
tahun 2012 dan seterusnya, baik Irwandi-Nazar secara personal dan GAM secara
institutional akan ditinggalkan oleh rakyat Aceh. Irwandi, Nazar dan GAM akan mati
suri ditelan bumi. Rakyat tidak memerlukan lagi GAM, karena ketika GAM berkuasa,
harapan perubahan itu tak kunjung datang. Rakyat Aceh kembali memilih jalannya
sendiri; tak berharap lagi pada cita-cita kebohongan.
Belum lagi, rakyat Aceh saat ini sedang menonton persoalan-persoalan internal
Irwandi dan Nazar. Sudah menjadi rahasia di level provinsi bahwa Irwandi dan Nazar
sedang berada pada posisi disharmonisasi. Tampak bahwa keduanya memiliki cara
pandang yang berbeda dalam membangun Aceh pada paruh sisa waktu saat ini.
Terkesan dan rakyat bisa menyaksikan bahwa Irwandi dan Nazar memiliki personal
mission dalam segala kebijakan dan lobi-lobi politik mereka. Rakyat membaca, misi-
misi pribadi dilakukan menyangkut suksesi untuk kepentingan tahun 2012 nanti.
Naif memang, itulah politik. Di saat banyak persoalan publik yang tak kunjung
selesai, muncul pula sandiwara-sandiwara politik untuk jaringan dan berpihak
kepada golongan-gologannya saja.
Seharusnya Irwandi-Nazar harus meningkatkan lagi kerja kerasnya, melakukan
advokasi besar-besaran untuk mempercepat lahirnya sejumlah Peraturan Presiden
(PP). Karena dengan PP itulah UU Pemerintahan Aceh baru bisa dijalankan. Setelah
pengesahan UU Nomor 11 Tentang Pemerintahan Aceh. Pemerintah Pusat baru
memenuhi janjinya dengan PP Parlok dan PP Konsultasi. Selebihnya, masih dalam
tong sampah Presiden SBY. Sedangkan PP yang sangat dibutuhkan adalah PP
Sabang, PP Migas, PP Kewenangan Pemerintah Pusat di Aceh, PP Kerjasama Luar

AC E H D I TA N G A N I R WA N D I - N A Z A R 79
Negeri yang menjadi amanah Undang-Undang Pemerintahan Aceh belum juga
selesai. Belum lagi berbicara pembebasan Tahanan Politik (Tapol) yang sesuai
dengan amanah MoU Helsinki, hilang dalam perbincangan. Dalam kasus ini, dan
lainnya Irwandi-Nazar masih memiliki peluang untuk menyelesaikannya, kalau juga
tidak, ini akan menjadi preseden buruk bagi Irwandi-Nazar dan pasukan pendukung
mereka kelak.

Masalah Warisan
Aceh di tangan Irwandi-Nazar tidak sebatas membawa masalah dari diri
mereka sendiri untuk membangun Aceh (2007-2012), tapi juga harus memikul
dan melanjutkan masalah warisan dari pendahulu mereka, Gubernur sebelumnya.
Simak saja, masalah warisan setumpuk yang harus diselesaikan juga secara bijak
oleh Irwandi-Nazar. Bila tidak selesai, sumpah serapah akan dialamatkan kepada
mereka. Dari sekian banyak masalah warisan yang harus menjadi prioritas
diselesaikan adalah pertama tentu gerakan pemisahan ALA/ABAS. Munculnya
gerakan ALA/ABAS adalah buah dari ketidakadilan program pembangunan di Aceh.
Irwandi-Nazar tentu harus memikirkan cara, budget dan skenario berkelanjutan
supaya gagasan dan gerakan pemisahan wilayah tidak diwujudkan. ALA/ABAS
menjadi perhatian besar dalam perspektif politik Irwandi-Nazar, kalau tidak mereka
akan diboikot oleh kelompok pendukungnya.
Kedua masalah warisan rekontruksi pascatsunami. Ketika Irwandi-Nazar dilantik
tahun 2007. Rekontruksi sudah berlangsung 2 tahun. Dari segi perencanaan,
budgeting, dan kebijakan tentu mereka tidak mengetahuinya. Di tengah jalan
mereka terlibat. Kemudian sejak Mei 2009 lalu, Badan Rekontruksi dan Rehabilitasi
(BRR) dibubarkan oleh Presiden RI. Sedangkan pekerjaan rekontruksi ditinggal
begitu banyak, persoalan sosial, fisik dan spiritual dibiarkan begitu saja. Sejak
pembubaran BRR, otomatis Irwandi-Nazar menjadi leader juga untuk memikirkan
hal-hal yang ditinggalkan oleh BRR. Termasuk membentuk BKR (Badan Kelanjutan
Rekontruksi). Sungguh berat. Sampai-sampai Irwandi sakit, harus dirawat di
Singapura.
Ketiga masalah warisan korban konflik. Korban konflik menjadi masalah warisan

80 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
dari pemimpin sebelumnya. Kebijakan, klasifikasi penerima manfaat yang tidak
tepat sasaran menjadi persoalan tersendiri bagi Irwandi-Nazar. Dari dulu sampai
sekarang, penanganan korban konflik selalu bermasalah. Terkesan tidak memiliki
blueprint. Lebih parah lagi pada masa Irwandi-Nazar, keberadaan BRA (Badan
Reintegrasi Damai Aceh) dipimpin oleh para mantan kombatan GAM pun tak lepas
dari masalah. Karena ini adalah masalah warisan yang diterima Irwandi-Nazar, maka
diperlukan konsensus semua elemen rakyat untuk mencari jalan keluar. Kalau tidak,
Irwandi-Nazar akan dicaci-maki kemudian hari oleh para korban konflik.
Keempat masalah warisan birokrasi yang amburadul. Banyak dinas/badan
memiliki tugas dan fungsi bersamaan. Lokasi intervensi program juga sama, yang
membedakan adalah pemberian nama program. Akibatnya banyak program yang
dijalankan oleh birokrat dinas/badan melalui program provinsi maupun pusat,
baik fisik maupun pemberdayaan masyarakat terjadi tumpang tindih (double
intervention). Belum lagi berbicara etos kerja PNS, tentu menjadi masalah warisan
yang tak mudah untuk mencari jalan keluar. Di sinilah diperlukan tim penasehat
untuk memaksimalkan kinerja-kinerja birokrat di segala level di Aceh.
Kelima komunikasi dengan Jakarta. Karena Irwandi-Nazar menjadi gubernur
melalui jalur independen. Tentu tidak mudah memiliki jaringan komunikasi yang
aktif dengan para sekretaris jenderal departemen-departemen di Jakarta. Akibatnya
lobi-lobi program dan budgeting menjadi masalah bagi Irwandi-Nazar karena tidak
berpengalaman pada sistem administrasi pemerintahan RI. Ditambah dengan
masih kentara peran militer dalam komunikasi Aceh-Jakarta. Karena pada tahun
2002-2003 pemerintahan di Aceh dikendalikan oleh militer. Akibatnya, egosentris
Aceh-Jakarta menjadi batu sandungan dalam pembangunan Aceh, termasuk
pada kemimpinan Irwandi-Nazar. Pada tahun 2009-2012 perlu diperbaiki, supaya
komunikasi Aceh-Jakarta maksimal karena ini akan sangat bermanfaat bagi Aceh.
Masih banyak masalah-masalah warisan lain yang tak mungkin diungkapkan
satu persatu dalam warkah ini. Namun yang pasti akibat masalah-masalah warisan
yang tidak terbaca sebelum Irwandi-Nazar memimpin. Tentu akan menghabiskan
energi dan strategi yang harus dilakukan secepat kilat, untuk menyelesaikan
masalah-masalah warisan tersebut. Namun strategi cepat tanpa perencanaan

AC E H D I TA N G A N I R WA N D I - N A Z A R 81
matang, masterplan, tentu hasilnya juga tidak maksimal.

Ikhtitam
Hal-hal demikian yang harus menjadi catatan bagi rakyat Aceh hari ini bahwa
tidak perlu berharap banyak dalam upaya menyaksikan perubahan fundamental,
radikal dalam pembangunan Aceh pada masa Irwandi-Nazar. Karena membangun
Aceh tidak mudah, Irwandi-Nazar telah membuktikan itu, untung saja mereka tidak
melempar handuk putih, tanda mengundurkan diri. Semoga saja tidak hendaknya.
Namun demkian, kita berharap supaya di paruh sisa waktu kepemimpinan
Irwandi-Nazar untuk bisa memamfaatkan waktu sebaik mungkin guna merangkul
semua pihak dalam membangun Aceh secara jujur dan ikhlas. Salah satunya yang
perlu direalisasikan oleh Irwandi-Nazar adalah dengan mengajak para politisi
yang telah lengser dari parlemen untuk tetap menjadi timnya dalam membangun
Aceh yang lebih baik, jujur, bukan malah menjadikan Aceh sebagai ladang proyek
keluarga dan jaringannya. Ini penting dilakukan karena syahwat politisi sangat
berpengaruh untuk ”merusak” Aceh di masa Irwandi-Nazar. Apabila mereka tak
memiliki tempat yang baik dan terhormat.
Akhirnya, Aceh di tangan Irwandi-Nazar yang semula dipasang harapan besar
oleh seantero penjuru, untuk membangun Aceh yang lebih bermartabat, sejahtera,
jujur, ikhlas dan adil. Bila itu belum tercapai, waktu berjuang bagi Irwandi-Nazar
beserta dengan kabinetnya belum habis. Investasi asing masih terbuka, dengan
segala hambatannya. Tapi isyarat bahwa Irwandi-Nazar ”gagal” dalam merealisasi
misi dan visinya telah terbaca. Itulah kita manusia. Semua berlomba-lomba menjadi
pemimpin. Ketika peluang dan kesempatan diberikan bahaya adoe nibak adun. Tapi
yang pasti setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban kepemimpinannya
oleh Allah SWT, termasuk rakyat, Anda dan saya tentunya. Wassalam.***

82 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
Aryos Nivada
Aktivis ACSTF

Mandeknya Implementasi MoU dan UU PA,


Kesalahan Siapa?

Perdamaian di Aceh sudah memasuki usia 4 tahun sejak perjanjian damai MoU Helsinki
dan 3 tahun implementasi UUPA. Lalu mengapa perubahan belum dirasakan hampir
di seluruh aspek tatanan kehidupan masyarakat Aceh. Benar adanya bila dikatakan ini
sebuah proses, mengapa proses itu berjalan lambat dalam mengimplementasikan MOU
dan UUPA. Dimana letak kendalanya? Sedangkan keduanya sebagai modal kuat dalam
menata kembali Aceh dalam konflik berkepanjangan menuju pembangunan berkeadilan
dan sejahtera.

MoU antara pemerintah RI dan GAM merupakan pintu gerbang bagi perdamaian
Aceh setelah konflik berkepanjangan selama 32 tahun. Kita semua mungkin sudah
mengetahui, bahwa lahirnya MoU Helsinki merupakan sebuah resolusi secara politik
mencapai titik kesepakatan untuk mengakhir perang berkepanjangan. Tidak hanya
di situ saja tafsir dari MoU Helsinki itu sendiri, ada sebagaian orang mengartikan
sebagai wujud rekonsiliasi antara dua pihak yang berkonflik.
Hadirnya MoU telah menghentikan dampak berkepanjangan, di mana ketika
konflik berkecamuk menghancurnya struktur sosial Aceh yang secara fundamental.
Momentum perdamaian tersebut seharusnya membawa rasa keadilan dan
kesejahteraan bagi masyarakat Aceh dan korban konflik khususnya. Namun sejauh
ini, realitas proses perdamaian mengalami beberapa titik kelemahan yang bisa
berdampak pada munculnya titik jenuh yang berujung terulangnya kembali konflik
tersebut. Tentunya, situasi ini tidak seorangpun mau mengharapkannya.
Bisa diumpamakan empat tahun perdamaian di Aceh (15 Agustus 2009) ibarat
seorang anak kecil menuju proses perkembangan secara fisik dan emosionalnya.
Biasanya secara psikologis usia 4 tahun memiliki ledakan kemarahan yang sering
dialami anak usia tersebut. Itu terjadi, dikarenakan permintaannya tidak dikabulkan,
lalu menangis keras. Tapi proses anak yang masih kecil itu akan tumbuh menjadi
anak dewasa, di mana sampai pada titik kestabilan secara emosional.
Seorang psikolog berkebangsaan Jerman Dr. Herman Scheuerer – Englisch
menjelaskan, anak usia empat tahun justru mulai memiliki daya persaingan, karena
dalam proses pertumbuhan akan menemukan hal-hal baru bagi seorang anak
berusia balita. Bahkan orang tua si anak akan memikirkan perencanaan, tujuan, dan
harapan.
Tadi penulis sudah mengulas dari gambaran permukaan saja, sekarang mari
sama-sama kita bedah isi di dalam MoU apa saja yang belum terlaksana selama
rentang waktu 4 tahun perdamaian ini. Perinciannya sebagai berikut: Pertama;
Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera,
lambang dan himne. Kedua, Lembaga Wali Nanggroe akan dibentuk dengan
segala perangkat upacara dan gelarnya. Sudah diakomodasi dalam UUPA tentang
Lembaga Wali Nanggroe pasal 96 dan 97, tentang Lembaga Adat pasal 98 dan 99.
Dasar hukum masih kabur. Dalam UUPA, Wali Nanggroe hanya sebatas pemangku
adat, padahal dalam sejarah Aceh, Wali Nanggroe mempunyai kewenangan yang
lebih luas dalam pemerintahan daripada hanya sekedar pemangku adat. Ketiga,
Aceh berhak memperoleh dana melalui hutang luar negeri. Aceh berhak untuk
menetapkan tingkat suku bunga berbeda dengan yang ditetapkan oleh Bank Sentral
Republik Indonesia. sudah 4 tahun perdamaian belum ada dasar hukum tetap dan
Aceh berhak menguasai 70 persen hasil dari semua cadangan hidrokarbon dan
sumber daya alam lainnya yang ada saat ini dan di masa mendatang di wilayah
Aceh maupun laut teritorial sekitar Aceh. Ini tidak terealisasi, karena peraturan
pelaksananya atau ketentuan hukumnya tak kunjung dibuat oleh pemerintah pusat
Keempat, Aceh melaksanakan pembangunan dan pengelolaan semua
pelabuhan laut dan pelabuhan udara dalam wilayah Aceh. Anehnya hingga 4
tahun perdamaian Pelabuhan Laut dan Udara yang ada di Aceh masih dikelola oleh
badan nasional yang tunjuk langsung ke pemerintah pusat yaitu PT. Pelindo dan
PT. Angkasa Pura. Kelima, Semua kejahatan sipil yang dilakukan oleh aparat militer
di Aceh akan diadili pada pengadilan sipil di Aceh. Semua kasus kejahatan sipil

84 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
yang melibatkan aparat militer di Aceh masih menggunakan peradilan militer, dan
belum semua kasus pelanggaran disidangkan terutama kasus-kasus selama masa
DOM (1989-1998) dan Darurat Militer (2003-2005). Keenam, Sebuah Pengadilan Hak
Asasi Manusia akan dibentuk untuk Aceh dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
akan dibentuk di Aceh oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia dengan
tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi. Ditambah lagi Pemerintah
Aceh dan Pemerintah RI akan membentuk Komisi Bersama Penyelesaian Klaim
untuk menangani klaim-klaim yang tidak terselesaikan.
Bila dianalisis mengapa semua butir-butir kesepakatan yang tertuang dalam
MoU tak terlaksana. Penulis menilai ada beberapa variabel penghambatnya seperti
politik kepentingan pusat terhadap daerah sangat tinggi, kurang dibangunnya
nilai tawar Pemerintah Aceh terhadap Pemerintah pusat (sedangkan UU 11/2006
memiliki khusus tersendiri di beberapa pasal didalamnya), tidak adanya perhatian
khusus dari komponen masyarakat sipil di Aceh (karena dibutakan dengan kondisi
yang sudah damai), kurang masifnya dorongan dari pihak GAM sendiri dalam
menuntut hak-hak bagi masyarakat Aceh, terakhir sosialisasi terhadap isi MoU
kepada masyarakat Aceh sendiri masih lemah.

Penajaman Analisis
Ada hal mengapa pembentukan qanun wali nanggroe tidak terbentuk,
kurangnya komunikasi pihak DPRA kepada komponen masyarakat sipil lainnya,
termasuk dengan pihak GAM. Sehingga kesiapan belum maksimal untuk
mewujudkan hadir qanun wali nanggroe. Ini menunjukan lemahnya relasi DPRA
kepada pihak lain. Belum lagi keberangkat anggota dewan waktu lalu ke Swedia
untuk bertemu dengan Hasan Tiro tidak membuahkan hasil, walhasil hanya
mengambur-amburkan uang saja sambil bertamasya gratis dibiaya negara.
Seharusnya dana miliyaran untuk ongkos keberangkatan itu bisa digunakan untuk
pembanguan di daerah tertinggal di Aceh.
Nah, bagaimana dengan pembentukan KKR di Aceh. Sedangkan itu dimandatkan
dalam kesepakatan MoU serta berkekuatan hukum melalui UUPA. Masalahnya
terletak akibat putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 006/PUU-IV/2006 yang

M A N D E K N YA I M P L E M E N TA S I M O U D A N U U PA , K E S A L A H A N S I A PA ? 85
membatalkan UU No 27 tentang KKR. Kalau melihat kemajuan dari pembentukan
KKR di Aceh sudah hadirnya draf qanun KKR versi masyarakat sipil yang disusun
melibatkan sejumlah ahli hukum dan HAM, akademisi, ulama, tokoh adat, korban,
dan tokoh perempuan. Sehingga rancangan Qanun ini sudah mengakomodir
pendapat dan pemikiran seluruh unsur. Tapi semua itu berjalan lambat, ketika
dukungan politik dari Pemerintah Aceh kurang. Di sisi lain issue KKR tergulung
dengan isu ALA dan ABAS, Pilkada 2006, hingga pemilu dan Pilpres 2009. Tidak
hanya di situ saja, Civil Society Organitation di Aceh sudah terparsialkan dengan
agenda masing-masing, di mana mengakibatkan isu KKR bukan menjadi isu prioritas
yang harus diperjuangkan bersama. Efeknya seakan-akan CSO berlandasan HAM
saja yang wajib memperjuangkan. Ini juga akan mengarah kepada keesklusifan dari
sebuah pergerakan CSO.
Masalah pembagian hasil migas pun tak kunjung usai diselesaikan oleh
Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Aceh, tarik-ulur kepentingan politik masih
terus dimainkan oleh Pemerintah pusat. Bisa dikatakan Pemerintah Aceh dijadikan
boneka mainan dari kepentingan pusat, khususnya masalah pembagian hasil
migas tersebut. Bertujuan untuk mengeruk hasil kekayaan Aceh bagi kepentingan
elit berkuasa di pusat.

Relasi MoU dengan UUPA


Menelaah sejauhmana hubungan antara MoU dan UUPA, kalau penulis
menganalogikan seperti sepeda motor dengan bensin, sepeda motornya MoU dan
bensinnya UUPA. Intinya lahirnya UUPA, karena adanya sebuah kesepakatan antara
Pemerintah Pusat dan GAM. Kalau menilik ke belakang, tentunya lahirnya MoU
bukan buah dari Pemerintah Indonesia, tetapi berkat bantuan seluruh komponen
masyarakat sipil di Aceh dan dunia internasional.
Lalu apa yang menarik untuk membicarakan UUPA, bukannya sudah terbentuk di
Aceh. Kalau berbicara dalam tataran itu benar adanya. Hal yang harus diperhatikan
bukanlah dari sudah terbentuknya UUPA, tetapi bagaimana mandat di dalamnya
diimplementasikan semaksimal mungkin. UUPA sebuah landasan Pemerintah Aceh
dalam menata kembali pembangunan Aceh secara holistik dengan pendekatan

86 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
hak-hak dasar rakyat. Secara tegas penulis menilai kemajuan implementasi UU
No11 tahun 2006 ini belum memberikan dampak yang konstruktif untuk menjawab
keberlanjutan perdamaian dan pembangunan kesejahteraan masyarakat Aceh.
walaupun kita akui sudah berjalan dalam tataran implementasinya. Terbersit di
benak penulis apakah butir-butir kesepakatan dalam MoU sudah terakomodir
sepenuhnya dalam UUPA?
Sejauh ini, UU No11 tahun 2006 telah berjalan hampir tiga tahun lebih, dan 15
Agustus 2009 ini merupakan momen paling penting perdamaian Aceh yaitu empat
tahun MoU Helsinki. Tentunya, momentum tersebut harus menjadi masa yang
tepat bagi kita untuk melakukan refleksi sejauhmana implementasi MoU Helsinki
dan UU No.11 2006 memiliki implikasi politik pada keberlanjutan perdamaian dan
pembangunan Aceh ke depan.
Qanun sebagai aturan daerah yang dijabarkan dari UU No11 tahun 2006
merupakan regulasi penting yang seharusnya bisa mengatur berbagai kebutuhan
pembangunan dalam segala sektor, tetapi sejauh ini substansi politik dalam
kandungan aturan/qanun tersebut belum memberikan nuansa perubahan bagi
tata pemerintahan dan pembangunan Aceh. Selama ini yang selalu keluar dari
berbagai statement pemangku kepentingan di badan legislatif dan eksekutif
tentang kesulitan dan masalah yang dihadapi oleh mereka dalam berkomunikasi
dengan Pemerintah Pusat, selalu saja Pemerintah Pusat menjadi sasaran justifikasi
tentang keterlambatan pembangunan Aceh. Menurut penilaian penulis lahirnya
qanun yang seharusnya prioritas tidak diprioritaskan, karena qanun yang dihasilkan
rata-rata untuk kepentingan promodal.
Jika kita lihat dinamika ini, maka sangat kita sayangkan keberadaan mereka
belum mampu melakukan negosiasi dan komunikasi politik dengan berbagai pihak
dalam memuluskan implementasi UU No 11 tahun 2006 sehingga bisa melahirkan
rel bagi pembangunan Aceh yang berkelanjutan untuk masa 50 – 100 tahun ke
depan.
Menurut pandangan penulis yang terpenting harus dilakukan secara serius oleh
para pejabat pemerintah sebagai pelaksananya, bukan dijadikan sebuah kita suci
saja UUPA tersebut. Hadirnya UUPA harus bisa memberikan manfaat secara politik

M A N D E K N YA I M P L E M E N TA S I M O U D A N U U PA , K E S A L A H A N S I A PA ? 87
dan ekonomi bagi masyarakat Aceh. Selanjutnya agar seirama dan mendapatkan
dukungan dari rakyat, Pemerintah Aceh harus melakukan sosialisasi benar ke
grass root. Mengapa itu penting? Jujur saja, ketika penulis melakukan peninjauan
ke daerah masih banyak masyarakat yang kurang paham akan isi MoU dan UUPA.
Dampak besarnya saat ini terjadi polarisasi (multitafsir) akan kedua barang tersebut.
Tantangan terbesar adalah bagaimana agar pembiasan-pembiasan yang ada
dalam  UU PA ditindaklanjuti pembuatan melalui peraturan pelaksana maupun
qanun tujuannya untuk menghindari stagnasi dalam proses pembangunan. Saat
ini baru dua peraturan pelaksana yang terbentuk pertama tata cara konsultasi dan
pemberian pertimbangan dan kedua pendirian partai politik lokal. Sedangkan
enam lagi belum dikeluarkan, yaitu PP tentang Pelimpahan Kewenangan
Pemerintah Pusat yang Bersifat Nasional ke Aceh, PP Pelimpahan Kewenangan
Pemerintah kepada Dewan Kawasan Sabang (DKS), PP tentang Persyaratan dan
Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Sekretaris Daerah Aceh dan Sekretaris
Kabupaten/Kota, PP tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak
dan Gas Bumi, PP tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Gubernur
sebagai Wakil Pemerintah, di samping PP tentang Standar, Norma, dan Prosedur
Pembinaan dan Pengawasan PNS Aceh dan Kabupaten/Kota.
Semuanya tentunya bermuara dalam rangka menuju Aceh Baru, maka disarankan
ada perhatian khusus terhadap penyusunan perencanaan pembangunan ke
depannya, dengan sepenuhnya mendasarkan pada prinsip-prinsip tatakelola yang
baik (good governance) dan pemerintahan yang bersih (clean governance).

Revisi UUPA
Kalau berbicara ke depannya UUPA, banyak kalangan mendorong untuk
melakukan revisi untuk mengevaluasi serta kelayakan substansinya. Benar bila
terdapat pasal yang tidak perlu, maka dihapuskan dan bila belum terakomondir
kesepakatan dalam MoU, harus dimasukkan, sekaligus diperjelas mekanismenya.
Pengertian revisi adalah menghilangkan hal-hal yang bertentangan dengan
aturan umum dan bersifat duplikasi. Seharusnya pihak yang ingin mendorong
itu menimbang akan melakukan revisi, karena konstelasi perpolitikan di tingkat

88 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
nasional sangat sulit bila UUPA akan direvisi. Jelasnya, akan hadirnya poros
politik penentang. Intinya dalam melakukan revisi juga harus dilihat momen atau
menciptakan momen itu sendiri.
Momen berupa menganalisis dan melakukan monitoring dalam rentang waktu
satu dekade (10 tahun ke depannya) UUPA jangan direvisi. Tujuannya agar diberikan
ruang dan kesempatan Pemerintah Aceh melaksanakan apa yang tertuang
(termandat) dalam UUPA. Bila terdapat keganjalan (ketidaksesuaian), maka harus
dibuat daftar inventaris masalah (DIM). Kalau tetap melakukan revisi, dampak yang
akan terjadi, yaitu pertama: marwah dari UUPA tidak ada lagi, kedua: akan muncul
masalah-masalah lagi. Jadi harus sekalian, sehingga tidak dua kali kerja. Yang
terakhir, ketiga: akan memakan anggaran serta konsentrasi hanya tertuju pada
revisi, sehingga masyarakat dilupakan.
Kalau berbicara kelemahan mendasar dari implementasi dari UUPA adalah
kurangnya dukungan dari komponen masyarakat sipil. Hal ini ditunjukan dengan
kurangnya diskusi membahas sejauhmana implementasinya bagi rakyat Aceh.
Semuanya disibukkan dengan agenda masing-masing pascaperdamaian. Idealnya,
UUPA dibangun menjadi kepemilikan seluruh rakyat Aceh, bukan berpandangan
hanya untuk sekelompok orang tertentu. Ketidakjelasan itu makin terjadi ketika
pandangan sebagian dari masyarakat Aceh menilai UUPA hanya mengatur sebuah
teritorial.

Reintegrasi Politik Agenda Dominan


Reintegrasi Politik merupakan agenda dominan di tahun keempat perdamaian
Aceh, di mana proses ini sesungguhnya melengkapi agenda politik sebelumnya
pada tahun 2006. Apabila pada tahun 2006, Aceh menyelenggarakan agenda
Pilkada 2006, maka di tahun 2009 ini, Aceh menyelenggarakan Pileg dan Pilpres.
Sehingga banyak pendapat yang menyatakan bahwa usainya pesta demokrasi
pada tahun 2009 ini, maka sekaligus menandakan usainya proses reintegrasi politik
bagi Aceh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Apa sesungguhnya peran penting dari proses reintegrasi politik yang baru saja
usai bagi proses perdamaian Aceh? Pertanyaan ini sangat penting untuk diuraikan

M A N D E K N YA I M P L E M E N TA S I M O U D A N U U PA , K E S A L A H A N S I A PA ? 89
secara lebih lanjut karena menurut kami (ACSTF), wujud penyelesaian reintegrasi
politik adalah sekaligus pemicu terhadap baik-buruknya perjalanan reintegrasi ke
depan dan sekaligus bermakna sebagai cerminan daripada sikap dan perilaku elit
dari kedua kubu yang sebelumnya bertikai, yakni pihak Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) dengan pihak Pemerintah Republik Indonesia (RI).
Sebagai catatan penting atas pendapat di atas, yaitu pandangan tentang
pentingnya reintegrasi politik dari kami adalah tanpa sedikitpun bermaksud
mensubordinasikan proses reintegrasi di bidang lain, baik reintegrasi sosial maupun
reintegrasi ekonomi, yang juga menjadi bagian utuh daripada perwujudan damai
Aceh. Karena kami sangat meyakini bahwa reintegrasi politik, sosial dan ekonomi
harus berjalan bersama-sama sebagai prasyarat mutlak terciptanya wujud
perdamaian yang hakiki di Aceh.
Kembali pada pembahasan tentang pentingnya menguraikan reintegrasi
politik di atas, maka asumsi kami ini sungguh tidak berlebihan, mengingat dua hal
pokok yang menjadi latar belakangnya. Pertama, perjuangan bersenjata yang pada
awalnya menjadi fokus pilihan perjuangan GAM, maka pascapenandatanganan
MoU Perdamaian Aceh telah tergantikan dengan perjuangan politik melalui
pendirian partai politik lokal yang pendiriannya diamini oleh pemerintah pusat
bagi masyarakat Aceh. Kedua, mengingat pada pilkada 2006 lalu, Aceh menjadi
daerah pertama di Indonesia yang menyelenggarakan pemilihan kepala daerah
secara langsung.
Artinya, perjalanan reintegrasi politik di Aceh menjadi unik dalam
implementasinya, karena Aceh adalah sebagai daerah yang pertama kali
menyelenggarakan Pilkada Langsung pada tahun 2006 dan Aceh sebagai satu-
satunya daerah yang memiliki partai politik lokal sebagai peserta Pemilu 2009.
Maka diasumsikan kembali bahwa Aceh sebagai daerah pascakonflik yang sekaligus
dijadikan prototype pertama pilkada langsung di Indonesia serta memasukkan
kepesertaan Parpol lokal untuk pertama kalinya dalam penyelenggaraan Pemilu di
tahun 2009 ini, tentu akan membuka peluang besar terjadinya gesekan politik, baik
di level elit daerah, pusat, maupun masyarakat Aceh secara umum.
Berangkat daripada asumsi yang telah diuraikan inilah, maka seluruh energi dan

90 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
pikiran masyarakat Aceh pada tahun keempat perdamaian Aceh menjadi tertuju
pada Pemilu 2009, sebagaimana mengulang situasi yang sama pada tahun 2006
pada pilkada langsung untuk meredam segala potensi konflik yang diprediksikan
terjadi.
Alhasil, perjalanan reintegrasi politik di Aceh akhirnya dapat berjalan dengan
baik dan lancar. Apabila dalam pilkada langsung pada tahun 2006 sebelumnya
pasangan Irwandi-Nazar memperoleh kemenangannya sebagai representatif
pasangan calon independen, maka di tahun 2009 ini pada pemilihan legislatif di
Daerah Aceh, kemenangan DPRA/ DPRK didominasi oleh partai lokal (Partai Aceh),
sedangkan Partai Demokrat relatif mendominasi perolehan kursi DPR-RI. Selain
itu, untuk agenda Pilpres 2009, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-
Budiono-lah yang memenangkan kompetisi, baik di tingkat Nasional maupun
Aceh. Kemenangan Pasangan SBY-Boediono ini khususnya dari Daerah Aceh,
sungguh sangat fantastis prosentasenya, yakni mencapai 93 persen suara dari total
keseluruhan jumlah pemilihnya.
Inilah yang menjadi titik usainya proses reintegrasi politik Aceh dalam bingkai
NKRI. Tentunya dari hasil titik-titik kemenangan ini dapat kita peroleh sebuah
kesimpulan awal terhadap bagaimana sikap dan perilaku elit dari kedua kubu
yang sebelumnya bertikai, yakni pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan
pihak Pemerintah Republik Indonesia (RI), beserta masyarakat Aceh secara umum
pada perjalanan masa transisi di tahun keempat Perdamaian Aceh. Sesungguhnya,
telah terdapat itikad baik dari kedua pihak beserta masyarakat Aceh secara umum,
untuk menerima Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Lebih lanjut lagi dapat juga disimpulkan bahwa, berbagai pihak tetap berkomitmen
dalam upaya menjaga proses perdamaian Aceh.
Dari uraian di atas tentang usainya perjalanan reintegrasi politik di Aceh, maka
telah diperoleh secercah harapan bagi keberlangsungan proses perdamaian
di Aceh. Kendatipun, harus disinergikan juga oleh keberhasilan-keberhasilan
pemerintah pusat dan daerah dalam menyelenggarakan reintegrasi di bidang sosial
dan ekonomi Aceh guna memperoleh kepastian terciptanya wujud perdamaian
yang hakiki di tanah Serambi Mekkah.

M A N D E K N YA I M P L E M E N TA S I M O U D A N U U PA , K E S A L A H A N S I A PA ? 91
Sebagai penutup dari akhir tulisan ini penulis ingin mengatakan, saat ini Aceh
telah memasuki dimensi baru dalam artian Aceh Baru bukan lagi Aceh lama,
dimana usianya sudah beranjak 4 tahun perdamaian. Dalam mewujudkan Aceh
baru telah memiliki dua pondasi sekaligus modal penting yang dimiliki oleh rakyat
Aceh pertama MoU dan kedua UUPA. Bila bertanya apa itu Aceh baru, berdasarkan
kesepakatan masyarakat sipil mendefinisikan formulasi dari sejarah Aceh yang
gemilang, hikmah dari pengalaman pahit di masa lalu dan cita-cita masa depan
yang berperadaban tinggi. Mari jaga terus perdamaian, demi masa depan generasi
Aceh yang lebih baik.***

92 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
Morina Octavia

Potensi Ulama dalam Mempertahankan


Perdamaian Aceh

Damai adalah suatu kata yang sangat mudah diucapkan, akan tetapi sangat sulit
untuk dirasakan. Fakta berbicara telah sekian lama darah masyarakat Aceh terus
tumpah mengalir akibat terjebak dalam persoalan yang diciptakan oleh segolongan
orang untuk kepentingan tertentu. Yang paling merasa dirugikan dari pertikaian ini
adalah masyarakat sipil Aceh karena mereka harus merasakan imbas dari semua
ini kendati tidak persis tahu apa, siapa, bagaimana dan mengapa bisa terjadinya
masalah dan kapan berakhirnya yang sepertinya tidak berpangkal dan berujung.
Pada akhirnya, masyarakat Aceh merasa ‘gerah’ karenanya lalu muncullah semacam
gelora untuk bangkit dan berjuang mencari perdamaian demi memperoleh suatu
ketenangan dalam hidup yang telah diidam-idamkan selama ini hingga sampailah
pada pengakuan dunia di atas nota kesepakatan damai antara kedua belah pihak
yang bertikai.
Tugas utama sekarang adalah bagaimana menjaga perdamaian tersebut
agar dapat berlangsung lama dan abadi. Salah satu komponen masyarakat yang
diharapkan mampu mengawal dan mempertahankan perdamaian adalah ulama.
Martabat ulama dalam masyarakat Aceh amat tinggi nilainya. Hal ini dapat
dibuktikan dalam sejarah dengan begitu banyaknya kontribusi ulama selama
pemerintahan Aceh, terutama sebagai sumber meminta fatwa dan pemecah
masalah (problem solver) untuk mencapai perdamaian (islah).
Bagaimana potensi ulama dalam mempertahankan perdamaian Aceh? Langkah
apa saja yang mereka tempuh untuk meredam konflik di Aceh? Untuk menemukan
jawaban tersebut tidak ada salahnya bila kita mengawali pembahasan ini dengan
membuka pintu sejarah Aceh masa silam karena dari perjalanan sejarah ada
pelajaran berharga yang dapat dipetik untuk dijadikan contoh di masa sekarang.

Ulama dalam lintasan sejarah


Sebagaimana catatan sejarah, sepanjang hampir empat abad lamanya semenjak
Islam masuk ke wilayah Aceh, 35 orang penguasa mengendalikan kerajaan di Aceh,
yaitu 31 orang sultan dan empat orang ratu (sultanah). Fakta kejayaan itu tidak
terlepas dari campur tangan sejumlah ulama besar yang membantu sepenuhnya
dalam membuat kebijakan-kebijakan dan memberikan kontrol kepada pemerintah
untuk mempertahankan keutuhan Kerajaan Aceh Darussalam.
Keterlibatan ulama erat sekali hubungannya dengan sejarah Kerajaan Aceh
Darussalam dari sejak era kejayaannya hingga era kemundurannya. Sebagaimana
pengakuan dunia bahwa kerajaan Aceh Darussalam telah mencapai puncak
keemasannya di era pemerintahan Sultan Iskandar Muda Darma Wangsa Perkasa
Alam Syah, dan setelah itu terus menurun teristimewa setelah wafat Sultanah Seri
Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat himgga ratu terakhir, Kamalat Syah.
Sebutlah di dalamnya keterlibatan beberapa ulama besar seperti Syaikh Nuruddin
Ar-Raniry yang mendapat jabatan sebagai Qadhi Malikul Adil atau sebutan lainnya
Mufti Besar Kerajaan Aceh Darussalam. Beliau telah membantu menyelesaikan
persoalan perebutan kekuasaan (kudeta) politik yang terjadi di masa pemerintahan
Sultan Mughayat Syah Iskandar Sani hingga setelah mangkatnya, Syaikh Nuruddin
Ar-Raniry turut berperan serta dalam tegaknya pemerintahan para Ratu. Segala
alasan yang dijadikan alat oleh segelintir politikus avonturir untuk merebut
kekuasaan dengan cara menentang diangkatnya raja wanita, dapat dipatahkan
oleh Syaikh Nuruddin Ar-Raniry, karena beliau memang seorang ulama besar yang

94 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
mempunyai pengetahuan luas dalam segala bidang; politik, sejarah, tafsir, hadits,
fiqh, filsafat/mantik, tasawuf, dan sebagainya.
Kepergian Syaikh Nuruddin Ar-Raniry dari kehidupan negara masyarakat di
Aceh, diganti oleh seorang ulama besar, negarawan, dan ahli hukum terbesar yaitu
Syaikh Abdurrauf Fansury yang lebih terkenal dengan lakap Teungku Syiah Kuala.
Salah satu hal yang perlu diketahui, bahwa pada akhir tahta Ratu Kamalat Syah,
Syaikh Abdurrauf Syiah Kuala berpulang ke rahmatullah dalam usia hampir seabad,
di mana selama hayatnya terus menerus menjadi Qadhi Malikul Adil atau Mufti
Besar Kerajaan Aceh Darussalam, sejak dari Ratu Safiatuddin sampai kepada Ratu
Kamalat Syah.
Bukanlah hal yang mustahil, sekira Syaikh Abdurrauf Syiah Kuala masih hidup,
Ratu Kamalat Syah tidak akan dapat diturun-tahtakan.
Dari wacana di atas dapat disimpulkan bahwa kehadiran ulama dalam
masyarakat Aceh yang mayoritasnya Islam, memiliki kedudukan tersendiri. Oleh
karenanya, ulama sama pentingnya dengan kehadiran umara (pemimpin) yang adil,
para aghniya (saudagar) yang dermawan, kaum fuqara (fakir miskin) yang terpuji
akhlaknya, para birokrat pemerintahan yang peduli, dan para penguasa keamanan
(pejabat TNI/POLRI) yang jujur dan terpercaya.

Potensi Ulama
Di antara mulianya ulama, syari’at Islam yang telah diperjuangkan oleh rakyat
Aceh dapat dikawal oleh ulama, karena syari’at Islam mendukung tercapainya
perdamaian abadi jika masyarakat Aceh beriman dan bertakwa. Sebagaimana
firman Allah dalam surat Al-A’raaf: ayat 96, yang bunyinya: “Jika sekiranya penduduk
negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada
mereka berkat dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami)
itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” Kata ‘berkat’ yang tersurat
dalam ayat tersebut mengandung makna apa-apa yang Allah SWT berikan kepada
mereka karena keimanan dan ketakwaan padaNya, dan itulah kebaikan yang terus-
menerus, tiada hentinya.
Bukah hanya itu, ulama Aceh mampu berdakwah dengan memanfaatkan

P OT E N S I U L A M A D A L A M M E M P E R TA H A N K A N P E R D A M A I A N AC E H 95
budaya apa yang berkembang dalam masyarakat. Tidak heran banyak lahir penyair
yang ulama disebabkan masyarakat Aceh sangat menggemari hikayat pada
zamannya. Kegigihan sang ulama dalam menjaga akidah umat lewat bersyair
secara tidak langsung menjelaskan kepada kita bahwa ia masih tetap menjalankan
peranannya sebagai ulama yang selalu menganjurkan masyarakat mengikut suruh
dan menjauhkan tegah, amar ma’ruf nahi mungkar.
Begitu pula dalam hal pendidikan, sejak dulu masyarakat Aceh cenderung
memperkenalkan syari’at Islam kepada anak-anaknya dengan belajar agama
di pesantren-pesantren sebelum ada sekolah formal seperti sekarang ini. Pusat
pendidikan Islam yang banyak dipimpin oleh para ulama ini memiliki beberapa
tingkatan. Pendidikan rendah dimulai di meunasah (semacam surau), tingkat
menengah berlangsung di rangkang (semacam pesantren rendah), tingkat lebih
lanjut berlangsung di dayah (pesantren) dan dayah manyang (pesantren tinggi).
Para ulama sangat akrab dengan kegiatan keagamaan, baik dalam pengajaran
agama maupun penyampai khutbah jum’at dan tabligh. Mereka tentu sangat
menguasai ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits sebagai rujukannya. Para ulama yang
menjadi ikutan masyarakat ini, terus menanamkan ajaran agama dan mengajarkan
kedamaian secara sederhana kepada anak-anak maupun untuk lingkungan yang
lebih luas.
Demikianlah masyarakat Aceh menjadikan ulama sebagai “pelabuhan” bertanya
dan meminta fatwa tentang kompleksnya problem kehidupan. Ulama begitu mulia
dan terpandang karena selain pewaris para nabi (waratsatul anbiya) juga memiliki
keluasan dan kedalaman ilmu: agama dan umum.
Allah SWT telah mengabarkan tentang ulama secara eksplisit dalam dua
ayat. Pertama, QS. Fathir ayat 28, yang berbunyi: “Dan demikian pula di antara
binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-
macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara
hamba-hambaNya hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun”. Kedua, Allah SWT juga berfirman dalam QS. Asy-Syu’ara ayat 197 yang
bunyinya: “Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka bahwa para ulama
dari Bani Israil mengetahuinya?.”

96 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
Ada sebuah catatan penting yang tersirat dari kedua ayat di atas, yaitu suatu
penegasan bahwa telah menjadi sunatullah adanya keanekaragaman yang
terhampar di atas bumi. Ketentuan ini merupakan hukum alam yang tidak bisa
ditawar-tawar lagi. Demikianlah, Allah SWT menegaskan hal ini sehubungan
dengan keanekaragaman tanggapan manusia terhadap para nabi dan kitab-kitab
suci yang diturunkan Allah (QS. Fathir: 25).
Dengan demikian, keanekaragaman dalam kehidupan mereka merupakan
merupakan keniscayaan yang dikehendaki Allah. Termasuk dalam hal ini
perbedaan pendapat dalam bidang ilmiah, yang selanjutnya bisa sampai kepada
keanekaragaman tanggapan manusia menyangkut sistem kenegaraan dan sistem
kepemimpinan. Jadi, perbedaan adalah rahmat Allah yang tidak patut dijadikan
perdebatan kusir atau benih pertikaian dan permusuhan.
Sebagaimana telah dijelaskan terdahulu, peran ulama bagi masyarakat Aceh telah
diperlihatkan sejak Islam menapaki Bumi Serambi Mekkah. Di awal perkembangan
Islam di Aceh, ulama sekaligus menjadi orang kepercayaan para sultan (dan
sultanah) sampai geusyik memiliki seorang ulama sebagai pendampingnya dalam
memecahkan permasalahan di masyarakat.

Sikap yang harus diambil


Setelah penandatanganan MoU Helsinki, masyarakat Aceh merasakan damai
dan tentram dalam kehidupan sehari-harinya. Namun sampai kapan kedamaian
itu akan tetap bisa dinikmati? Siapapun belum bisa memastikan. Karenanya,
semua pihak perlu ambil bagian dalam menjaga perdamaian itu. Ulama sebagai
komponen terpenting dalam masyarakat juga memiliki peranan wahid yang selalu
diharapkan umat.
Tugas ulama dalam meredam konflik di Aceh: Pertama, masalah dendam.
Dendam adalah pengejawantahan dari pergolakan yang timbul dari hati. Banyak
rencana kejahatan (makar) dan kemungkaran yang dirancang asal mulanya atas
dasar ketidakpuasan hati terhadap kebijakan pemerintah. Ini merupakan wilayah
psikologi agama, semakin merontanya untuk dibebaskan, ia semakin “kesakitan”.
Dalam perdamaian di Afrika Selatan, tanggung jawab meredamkan dendam

P OT E N S I U L A M A D A L A M M E M P E R TA H A N K A N P E R D A M A I A N AC E H 97
masyarakat Apatech diberikan kepada kaum gereja (ulamanya kaum Nasrani).
Kedua, rasa benci. Masyarakat selama ini tidak percaya lagi dengan janji-janji
karena merasa kepercayaan yang pernah diberikan kepada pejabat dan tokoh
masyarakat, diselewengkan secara tercela dan berimbas kepada masyarakat pula.
Dari sinilah timbul rasa benci yang begitu membuncah.
Ketiga, rasa ketidakadilan. Ulama sangat dipercayakan untuk menumpas
ketidakadilan. Banyak sekali hadits nabi menerangkan tentang ulama berkaitan
dengan potensi ulama dalam hal ini. Ulama dituntut untuk selalu berpijak pada
kejujuran, kebenaran, keadilan, dan kepentingan kaum dhuafa.
Untuk memaksimalkan peran ulama dalam menjaga perdamaian ini tidak bisa
terlepas dari rasa kepercayaan kita yang begitu besar kepada para ulama. Meski kita
percaya kepada pemerintah (umara), adakalanya suatu waktu timbul rasa keraguan
dalam hati. Berbeda dengan rasa percaya pada ulama. Meski tak pernah bertemu
dan berbicara dengan ulama hati kita bisa dengan mudah menerima perkataan
mereka. Perumpamaan hati ibarat air mengalir tanpa ada hambatan.
Ulama juga memiliki murid dan pengikutnya yang banyak. Tentu akan dengan
mudah mengajak mereka agar terus menjaga kedamaian ini.
Sejatinya, sudah saatnya kini umara dan ulama bekerja bersama-sama masyarakat
merawat perdamaian untuk kebaikan bersama. Umara dan ulama juga perlu
menumbuhkan kesadaran politik (wa’y assiyasi) Islam di tengah-tengah masyarakat.
Kesadaran politik islam adalah pandangan dunia yang dibangun dengan landasan
ideology Islam (Zallum, 2004:88). Bila tumbuh kesadaran ini masyarakat Aceh akan
mampu membentengi dirinya dari pengaruh gembong makar dari luar dan dalam
yang tidak senang akan perdamaian ini. Dengan tercapainya kesepakatan damai di
Aceh maka semua lapisan masyarakat telah bahagia dan terbebas dari ketakutan.
Betapa nikmatnya hidup dalam keadaan damai karena masyarakat dapat beribadah,
belajar, mencari rezeki dengan tenang. Semoga kedamaian yang sedang dinikmati
ini akan terus berlanjut untuk selamanya.***

98 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
Risman A Rachman

Sensitivitas Konflik

Sebagai negeri yang sejarah perkembangannya diwarnai dengan warna-warni


konflik sudah sepantasnya seluruh rencana dan pelaksanaan pembangunan
pascakonflik dirancang dan dilaksanakan di atas landasan sensitivitas konflik.
Sensitivitas adalah pandangan, perasaan, dan tindakan yang dibangun atas
kepekaan terhadap hal-hal yang diperkirakan dapat menjadi faktor penghambat
dan pendorong capaian dari sebuah hubungan. Untuk itu, sensitivitas konflik dapat
dimaknai sebagai usaha perumusan dan pelaksanaan suatu pandangan, perasaan,
dan tindakan yang mempertimbangangkan faktor pemicu konflik dan pada saat
yang sama juga mempertimbangkan faktor-faktor pendorong perdamaian.
Pertanyaan kuncinya adalah, apakah seluruh rencana masa depan Aceh dan
pelaksanaannya yang sudah, sedang, dan akan dibangun mulai dari gampong
sampai dengan nanggroe sudah menerapkan pendekatan sensitivitas konflik?
Untuk menjawabnya tentu membutuhkan penelitian mendalam terhadap pelaku
perencana dan pelaku pelaksana pembangunan di seluruh tingkatan pembangunan.
Namun, jika dilihat dari kacamata analisis pohon masalah ditingkatan akibatnya
maka bisa dikatakan bahwa sensitivitas konflik belum menjadi pendekatan dalam
proses perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan di Aceh.
Memang benar bahwa sudah banyak program-program yang dibuat baik
berupa program mengelola konflik secara langsung, program mengelola akibat
konflik, dan program yang terkait mempengaruhi struktur sosial. Melalui program
mengelola konflik secara langsung pandangan dan pendekatan pihak-pihak utama
yang terlibat konflik dapat diubah yang dengan perubahan itulah ditemukan
jendela kesempatan untuk mengakhiri konflik Aceh yang sudah berlangsung 30
tahun lebih. Kedua pihak sadar bahwa pendekatan perang tidak mungkin dapat
mencapai maksud utama kedua pihak. Setelah gagal menemukan jalan pengakhiran
konflik melalui negosiasi akhirnya konflik Aceh dapat diselesaikan melalui dialog
yang melibatkan peran pihak ketiga, yang umum disebut dengan mediasi.
Proses pendekatan mengelola konflik secara langsung itulah yang kemudian
memungkinkan para pihak untuk melakukan dan melaksanakan program mengelola
akibat konflik baik berupa rekontruksi pascaperang, rekontruksi psikologis, dan
program rekontruksi sosial. Jika untuk program yang pertama sudah berhasil
dilalui dengan baik, apakah untuk program kedua juga sudah dilaksanakan dengan
konprehensif? Pertanyaan berikutnya adalah apakah kegiatan-kegiatan pendidikan
damai, peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan
reformasi pemerintahan menuju tata kelola pemerintahan yang baik serta program
pembangunan masyarakat madani sebagai salah berapa dari program perubahan
sosial juga sudah dilaksanakan dengan maksimal?
Jika belum maka perdamaian Aceh sesungguhnya masih berada pada level
perdamaian negatif. Artinya, damai atau tidaknya Aceh hanya akan sangat
tergantung pada sejauhmana efektif tidaknya intervensi kekuasaan para pihak
terhadap dinamika sosial-budaya-ekonomi-polkam di Aceh. Jika secara kekuasaan
para pihak sudah tidak efektif maka dengan sendirinya jalan kembali menuju
konflik akan terbuka. Dalam analisis siklus konflik, tidak ada yang disebut dengan
katup pengunci yang bisa menjamin bahwa setelah konflik diselesaikan jalan
kembali menuju konflik sudah diputuskan secara otomatis. Selalu saja terbuka
setiap saat jalan kembali menuju konflik manakala proses-proses penangganan
program pascakonflik tidak mempertimbangkan pendekatan sensitivitas konflik

100 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
terhadap seluruh program baik yang dikhususkan pada program konflik maupun
pada program non-konflik (program pembangunan).
Sebaliknya, perdamaian Aceh akan berada pada level perdamaian positif
manakala seluruh program konflik dan non-konflik dikelola dengan pendekatan
sensitivitas konflik. Artinya, harus ada jaminan bahwa program yang direncanakan
sudah dibangun atas pertimbangan mengurangi faktor-faktor pemicu konflik dan
pada saat yang sama juga mempertimbangkan penguatan faktor-faktor pendorong
perdamaian.
Untuk bisa menjamin adanya sensitivitas konflik maka segenap pemangku
kepentingan pada program pembangunan misalnya penting untuk membekali
kemampuan dasar terkait; (1) analisis konflik untuk kepentingan memvisualisasikan
siapa, apa, dan bagaimana konflik, potensi dan sumberdaya konflik, tahapan konflik,
urutan kejadian konflik, dan kekuatan konflik; (2) visioning untuk kepentingan
meletakkan landasan cita-cita dari segenap perencanaan program yang akan
disusun dan dijalankan; serta (3) kepemimpinan yang transformatif untuk
memastikan tidak hanya tindakan konflik yang akan diprioritaskan pada program
pembangunan melainkan juga perubahan pada sikap dan konteks konflik.

Analisis Konflik: Memahami hal yang sama dengan cara berbeda dan lebih
mendalam
Orang yang tidak memahami medan tidak bisa menggapai kemenangan.
Kalimat ini sudah umum diketahui oleh segenap perencana dan bahkan juga oleh
sebahagian masyarakat umum. Meski begitu, filosofi kemenangan perang itu belum
sepenuhnya diterapkan dalam tindakan perencanaan pembangunan. Umumnya
para perencana lebih mendasarkan pada listing kepentingan atau kebutuhan
pada pihak yang memiliki pengaruh dan atau mereka yang memiliki kemampuan
dalam menyampaikan usulan. Sikap praktis yang kadangkala kerap dihadapkan
pada tuntutan waktu menyebabkan para penyusun program tidak berangkat dari
pengenalan terhadap medan yang akan diintervensi dengan program.
Terkait dengan analisis konflik bukanlah bearti bahwa perencanaan program
pembangunan Aceh harus bertolak dari sejarah konflik Aceh. Analisis konflik

S E N S I T I V I TA S KO N F L I K 101
dimaksudkan untuk memvisualisasikan siapa, apa, bagaimana, peta potensi,
tahapan, urutan waktu, dan kekuatan konflik dari sikap, tindakan, dan konteks
suatu tempat atau wilayah. Bagaimana pun, faktor kependudukan, perkembangan
ekonomi, dan perubahan lingkungan akibat dari dinamika kemanusiaan kita akan
menyebabkan satu orang dengan orang lain, satu kelompok dengan kelompok
yang lain, dan satu komunitas dengan komunitas yang lain akan senantisa
mengalami perbedaan kepentingan dan kebutuhan. Di sinilah konflik senantiasa
mengikuti dinamika kemanusiaan kita dan karena itu konflik tidak untuk dihindari
melainkan untuk disikapi sebagai faktor pengingat bahwa sedang ada sesuatu yang
dengannya kita dituntut untuk selalu proaktif , kreatif dan inovatif. Tanpa konflik
sesungguhnya kita akan menjadi diri yang diam.

Visioning: Kita bangun istana di langit tapi pondasinya kita bangun di bumi
Meski ada pihak yang mengatakan tidak ada bedanya antara proyek dan
program namun jika dilihat dari filosofi program maka bisa dikatakan program
adalah implementasi dari usaha mencapai visi atau cita-cita yang sudah
ditetapkan. Sayangnya, selama ini pembangunan Aceh lebih banyak diletakkan
atas dasar pikiran seseorang atau satu kelompok saja. Akibatnya, bukan hanya
akses dan sumberdaya terbatas pada pihak-pihak tertentu saja melainkan juga
tidak terbangunnya partisipasi dari masyarakat luas. Masyarakat umum pun tidak
mengetahui secara jelas akan visi ke-Aceh-an sehingga sama sekali tidak membuat
masyarakat untuk berlomba-lomba dalam kebajikan untuk meraih masa depan
yang sudah dipahami. Justru yang terlihat adalah sebuah masyarakat yang gamang
dan senantiasa memilih tindakan pragmatis dalam mensikapi hari-hari mereka.
Jadilah suatu masyarakat yang senantiasa menghalalkan segala cara dan akhirnya
terbangunlah siklus KKN yang dari waktu ke waktu semakin menguat dalam
prakteknya yang tersembunyi.

Kepemimpinan Transformatif: Orang akan segera mandeg kala konflik


dianggap tindakan negatif.
Meski secara politik proses pemilihan kepala daerah sudah cukup demokratis

102 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
namun belum menjamin proses-proses pembangunan akan menjadi sangat
visioner dan memiliki sensitivitas konflik manakala secara pribadi para pemimpin di
Aceh belum menjadi pribadi yang terbuka yang siap dan sigap menerima masukan,
kritik, dan bahkan juga hujatan. Jika setiap masukan dipandang sebagai angin lalu
karena latarbelakang pemberi masukan, atau menganggap kritik sebagai ancaman
serta hujatan sebagai serangan maka usaha untuk menjadikan konflik sebagai
media transformasi tatanan akan menjadi sia-sia. Selebihnya, legitimasi rakyat yang
didapat dari hasil pemilu hanya dilihat sebagai faktor kemenangan politik akibat
dari suatu keadaan sebelumnya.
Sebaliknya, kepemimpinan transformatif adalah sikap dan tindakan serta konteks
yang menempatkan segenap potensi perbedaan, keragaman, dan keunikan serta
konflik sebagai faktor pemicu perubahan sehingga mendorong pemimpinan untuk
tampil sebatas motivator, fasilitator, dinamisator, dan katalisator pembangunan
karena sepenuhnya menyadari bahwa segenap potensi anak negeri adalah diri
yang potensial dan berkontribusi bagi pemajuan negeri.

Prasangka dan Komunikasi: Orang yang curiga sudah kalah sebelum ia


menyatakan maksudnya
Hal yang sangat penting untuk dipastikan juga adalah mendorong perubahan
pada pola pandang terhadap diri dan orang lain sehingga terbangun suatu
perspektif kedirian dan sosial yang mampu menempatkan keunikan setiap diri
sebagai potensi bagi penggerak perubahan, dan sekaligus melihat keragaman
setiap orang sebagai faktor pelengkap, pendukung, dan penguat satu sama lain
dalam satu bingkai keutuhan ke-Aceh-an. Seluruh keragaman dan perbedaan yang
dulunya menjadi faktor pemicu konflik sudah saatnya untuk ditinggalkan. Tidak
adalagi pikiran bahwa si A jauh lebih mulia derajatnya dari pada si B atau kelompok
A lebih utama daripada kelompok B. Semua orang adalah sosok kehambaan yang
memiliki kesempatan yang sama dan memiliki peran yang bisa dimaksimalkan
sekaligus dapat berguna untuk menggapai visi keacehan.
Hal terakhir yang juga sangat penting adalah memperbaiki pola komunikasi
sesama dan juga antarrelasi dari pola komunikasi menekan, jaga jarak, curiga,

S E N S I T I V I TA S KO N F L I K 103
perang menjadi pola komunikasi yang seimbang, setara, dan terbuka, jujur dan
santun. Dengan perubahan pada pola komunikasi maka dapat memperbaiki pola
hubungan antarsesama bahkan pada tingkatan yang lebih praktis dapat menjadi
faktor peretas bagi terbukanya sumbatan-sumbatan politik dan kerjasama bisnis
yang memang akan sangat memainkan perannya di era pembangunan. Pada
tingkatan sosial, perubahan pola komunikasi sekaligus akan mengikis sikap kita
yang selalu saja curiga dan penuh prasangka kepada pihak lain, bahkan pada kadar
yang cukup juga dapat mengikis prasangka pada diri sendiri. Semoga

Penutup
Apakah pembangunan Aceh saat ini sudah direncanakan di atas sensitivitas
konflik? Jika belum maka masih punya kesempatan untuk memastikan agar
perencanaan program pembangunan gampong, kecamatan, kabupaten, dan Aceh
dibangun dengan pendekatan sensitivitas konflik. Untuk itu, segenap pemangku
kepentingan disarankan untuk mendalami pemahaman dan kemampuan dalam
hal analisis konflik, visioning, dan kepemimpinan transformatif sehingga dalam
menyusun program tidak lagi terjebab pada sekedar pendekatan proyek, apalagi
jika hanya didasarkan pada kepentingan satu orang atau satu pihak atau satu
kelompok saja. Sebuah program yang dibangun diatas kajian visioning akan lebih
menjamin usaha-usaha membangun menjadi rangkaian berkelanjutan untuk
meraih masa depan yang dicita-citakan. Tentu saja dengan mengembangkan
sikap kepemimpinan yang transformative usaha untuk menjadikan konflik sebagai
generator perubahan akan lebih bermakna. Sungguh, dengan menyadari potensi
diri dan melihat perbedaan dalam ranah sosial-politik-budaya dan ekonomi akan
semakin memacu adrenalin kita semua untuk berlomba-lomba dalam kebajikan
bagi negeri Aceh, Aceh kita semua.***

104 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
Raihal Fajri

Makna Peringatan MoU Perdamaian RI-GAM

“Empat tahun damai Aceh pascapenandatanganan kesepahaman damai


(MoUHelsinki), namun rakyat Aceh secara keseluruhan belum merasakan arti damai
yang sesungguhnya. Belum ada perhatian yang serius dari pemerintah kepada kaum
perempuan Aceh, ibu-ibu yang kehilangan suami dan anaknya, wanita muda belia
yang diperkosa, bahkan melahirkan seorang anak dari hasil perkosaan tersebut (di
antaranya sumiati) ketika konflik mendera Aceh. Perempuan Aceh sangat mengerti,
apa yang telah hilang tak mungkin kembali, namun sampai detik ini ketika empat
tahun MoU Helsinki diperingati dengan sukacita: masih ada perempuan Aceh yang
amat berduka dan berharap agar suami mereka yang masih dipenjara sebagai
tapol/napol Aceh di Jakarta, dipulangkan ke rumah mereka”,  demikian bunyi
penggalan surat Ismuhadi pada tanggal 12 agustus 2009. Ismuhadi adalah tahanan
politik yang masih ditahan di LP Cipinang, Jakarta.
Pada tanggal 15 agustus 2005, tepatnya empat tahun silam perwakilan
Aceh Merdeka yang dipimpin Malik Mahmud dan perwakilan RI diwakili oleh
menteri hukum dan HAM, Hamid Awaluddin bertemu di Helsinki, Finlandia untuk
menandatangani perjanjian damai antara kedua belah pihak yang selama lebih
dari 30 tahun bertikai. Perjanjian tersebut dituang dalam Nota Kesepahaman
antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka yang dibagi
ke dalam  enam klausul. Perjanjian bersejarah itu disaksikan oleh Martti Ahtisari,
mantan Presiden Finlandia,  yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Direktur
Crisis Management Initiative yang menginisiasi perdamaian dan sebagai fasilitator
proses negosiasi.
Sampai saat ini Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) masih menjadi asa
yang menggantung bagi para korban pelanggaran HAM, begitupun  tapol/napol
masih ada yang mendekam dalam tahanan di pulau Jawa. Badan Reintegrasi Damai
Aceh (BRA) yang mempunyai dua tujuan untuk memfasilitasi pengembalian setiap
mantan pelaku dan korban konflik ke dalam masyarakat melalui pengelolaan
program reintegrasi termasuk monitoring dan evaluasinya sebagaimana amanat
MoU Helsinki. Mengukuhkan peran BRA sebagai agen utama dalam proses
reintegrasi serta mendukung upaya yang terkait dengan pelaksanaan dari
monitoring MoU Helsinki melalui koordinasi dan sinkronisasi peran pemangku
kepentingan di tingkat lokal, nasional maupun internasional. Badan ini juga sarat
persoalan, dana yang dikelola dan dana yang telah disalurkan menuai banyak
protes terkait mekanisme penyaluran.  
Sebagaimana disebutkan dalam klausul  III tentang Amnesti dan Reintegrasi ke
dalam masyarakat bahwa amnesti terhadap tapol/napol GAM akan diselesaikan
tidak lewat dari 15 hari setelah perjanjian damai ditandatangani namun sudah empat
tahun berlalu masih tersisa tiga orang tapol/napol GAM yang masih mendekam di
LP Cipinang. Suara-suara mendesak pembebasan terus saja bergaung di seantero
tanah rencong baik melalui aksi demonstrasi, milis, surat terbuka, email maupun
facebook. Sebagaimana dilansir oleh  beberapa media local di Aceh seperti Serambi
Indonesia, Harian Aceh dan situs berita online the globe journal. Melalui pernyataan
sikap yang disampaikan oleh koordinator lapangan aksi puluhan mahasiswa IAIN
Ar-Raniry dalam rangka memperingati empat tahun MoU Helsinki, di depan
gedung DPRA tanggal 13 Agustus 2009, ”Pemerintah Aceh juga harus mendesak
pemerintah pusat agar membebaskan tiga sisa tapol/napol yang masih ditahan di
pulau Jawa”.

106 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
Ada beberapa hal yang sering mencuat dalam diskusi-diskusi tidak resmi di
Aceh bahwa Ismuhadi cs tidak dibebaskan karena mereka divonis sebagai pelaku
kriminal jadi tidak termasuk dalam daftar amnesti dimaksud, sampai informasi
mencengangkan yang terjadi pada tanggal 7 Agustus 2009 di salah satu warung
kopi di Ulee Kareng dalam sebuah diskusi tidak resmi antara Musni Musa, Mantan
Pengurus Forum Komunikasi Tapol/Napol Aceh (FKTNA) dengan Fadlon Tripa,
warga Negara Belanda, yang dipercayakan sebagai anggota Tim Asistensi Gubernur
Aceh dan Presiden Direktur Aceh Air, dalam diskusi berbuntut perselisihan tersebut
Fadlon Tripa mengakui dengan sesungguhnya bahwa: yang menghambat
pembebasan tapol/napol Aceh (Teuku Ismuhadi  Jafar, Ibrahin Hasan dan Irwan)
adalah Gubernur Aceh, Drh. Irwandi Yusuf, Msc, karena Gubernur Aceh merasa sakit
hati atas pemberitaan media massa Harian Aceh edisi 24/03/2009 dengan judul
“Dikecam gaya irwandi berobat ke luar negeri”.
Terlepas dari berbagai fenomena di atas, selain mengangkangi klausul 3 MoU
Helsinki juga klausul 2 tentang Hak Asasi Manusia ayat 2.1 yang menyebutkan
bahwa Pemerintah RI akan mematuhi Konvenan Internasional Perserikatan Bangsa-
Bangsa mengenai hak-hak sipil dan politik dan mengenai hak-hak ekonomi, sosial
dan budaya.
Sesuai permintaan banyak pihak dan demi terwujudnya proses perdamain yang
bermartabat terlepas dari berbagai fenomena di atas seharusnya seluruh klausul
dalam MoU Helsinki ditaati dan dijalankan oleh semua pihak.***

M A K N A P E R I N G ATA N M O U P E R D A M A I A N R I - G A M 107
Bulman Satar
Antropolog

Aceh : Agenda Krusial Dalam Fase Transisi

Prolog
Nota kesepakatan damai Helsinki antara GAM dan pemerintah Republik
Indonesia pada tanggal 15 Agustus 2005, menandai berakhirnya konflik bersenjata
di Aceh yang telah berlangsung kurang lebih selama 29 tahun (1976-2005).
Sementara itu program rehab-rekon pascabencana gempa bumi dan tsunami
pun, yang keberhasilannya tidak dapat dilepaskan dari perdamaian ini, juga telah
dirampungkan oleh BRR NAD-Nias. Kedua momentum ini merupakan titik balik
dari dua bencana besar yang terjadi di Aceh, yaitu bencana kemanusian akibat
konflik bersenjata antara GAM-RI yang menelan korban ribuan jiwa warga sipil,
dan bencana alam gempa bumi dan tsunami yang menimbulkan kerusakan
infrastruktur yang sangat parah dan menelan korban lebih dari seratus ribu jiwa
manusia, (di Aceh tercatat 173.741 jiwa).
Apa arti kedua peristiwa ini? Jika dilihat dalam konteks hubungannya dengan
proyeksi (baca : cita-cita) masa depan Aceh dengan berbagai imajinasi ideal atasnya,
maka Aceh sekarang sesungguhnya dapat dikatakan sedang berada dalam fase
transisi. Sebuah titik antara yang menandai ditinggalkannya sebuah fase suram
yang diwarnai oleh perang dan bencana alam maha dahsyat, sekaligus menandai
tumbuhnya harapan dan cita-cita besar akan terciptanya sebuah “Aceh Baru”.
Namun lazimnya dalam sebuah fase transisi, cita-cita semacam ini sering
dihadapkan pada berbagai tantangan. Dalam konteks Aceh, problem-problem di
level domestik adalah tantangan yang nyata. Mulai dari gesekan politik di tingkat
lokal, kondisi keamanan yang masih terasa labil yang diwarnai aksi-aksi kriminal
bersenjata, belum maksimalnya kinerja Pemerintah Aceh, isu korupsi yang semakin
masif, program pengentasan kemiskinan yang masih jauh dari harapan, sampai
dengan isu pemekaran provinsi ALA-ABAS. Problem-problem ini adalah ancaman
potensial yang tidak hanya menjadi kerikil bagi stabilitas perdamaian, tetapi juga
berpotensi memicu konflik baru di Aceh.
Isu sustainable peace pun lalu mengemuka sebagai bentuk respon, atau lebih
tepatnya kekhawatiran terhadap nasib perdamaian Aceh yang masih sangat
rentan (fragile peace) dengan umurnya yang masih seumur jagung. Banyak pihak
sangat concern terhadap potensi re-konflik dengan menekankan pentingnya ide
keberlanjutan perdamaian bagi Aceh. “Keberlanjutan” telah menjadi stressing
point dalam banyak diskusi dan perbincangan publik terkait dengan masa depan
perdamaian di daerah ini.
Jika mau disikapi dari sudut pandang yang optimistik, keberlanjutan
perdamaian ini bukanlah hal yang mustahil untuk diwujudkan. Isu perdamaian saat
ini sesungguhnya dapat dikatakan tidak lagi sekrusial ketika ia dirintis pada masa
konflik masih berlangsung sampai menjelang penandatangan MoU kesepakatan
damai Helsinki. Jadi walaupun sangat fundamental bagi proyeksi Aceh ke depan,
dan dihadapkan pada tantangan yang juga tidak kalah serius, kini kita sesungguhnya
lebih dihadapkan pada tantangan bagaimana mengefektifkan program-program
rehabilitasi/pembangunan Aceh ke depan dengan hasil-hasil yang positif hingga
secara signifikan mampu mengeliminir, atau setidaknya meminimalisir potensi
konflik terjadi kembali, baik pada skala vertikal maupun horizontal.
Perdamaian Aceh kini telah bergerak ke fase “dipertahankan”. Ini mengandung
makna bahwa fase peace keeping sebagai hasil dari komitmen penghentian
permusuhan dan kekerasan bersenjata merupakan sebuah prakondisi yang

110 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
memungkinkan, baik Pemerintah Indonesia maupun Pemerintah Aceh untuk
mengkosilidasikan seluruh sumber daya untuk melakukan langkah-langkah
rehabilitasi Aceh secara bersama-sama.
Dalam kerangka pikir inilah, beberapa langkah berikut yang dipaparkan di bawah
ini tampaknya penting untuk diagendakan dengan segera, untuk memastikan
perdamaian dapat terus eksis sekaligus menyediakan sebuah situasi dan kondisi
yang konstruktif bagi program rehabilitasi/pembangunan Aceh ke depan.

Beberapa Agenda
Rekonfigurasi Ideologi
Dalam fase ketika konflik telah berhasil dihentikan dan konsensus politik
telah dicapai, maka sangat diperlukan adanya semacam rekonfigurasi ideologi.
Rekonfigurasi ideologi pascakonflik ini penting artinya tidak hanya untuk meredam
tumbuhnya ideologi balas dendam antarpihak pelaku konflik, tetapi juga untuk
memelihara komitmen terhadap perdamaian yang telah dicapai, sekaligus
meletakkan sebuah pondasi permanen bagi program dan upaya-upaya rehabilitasi
pascakonflik.
Inilah yang dilakukan oleh Nelson Mandela ketika ia mengatakan : “Saya ingin
Afrika berdamai dengan dirinya”. Visi politik Mandela ini telah menjadi ruh tidak
hanya bagi proses rekonsiliasi antara warga kulit hitam dan kulit putih di sana,
tetapi juga menjadi spirit bagi upaya memusnahkan virus-virus rasisme yang mana
di atasnya kemudian berdiri sebuah cita-cita besar bangsa Afrika Selatan yang lebih
demokratis, multi-ras dan kultural, yang menghormati persamaan hak warganya
tanpa memandang perbedaan ras, etnis, dan warna kulit mereka. Dengan visinya
Mandela mengajak bangsa Afrika Selatan memaknai kejatuhan rezim apartheid
sebagai “freedom for all”, kemerdekaan bagi seluruh rakyat Afrika Selatan terlepas
dari belenggu tirani, baik bagi yang tertindas maupun bagi yang menindas, tanpa
melihat ras dan warna kulit mereka.
Di Aceh sendiri, Manifesto Aceh Baru yang digagas oleh Konsorsium Aceh Baru,
salah satu elemen civil society di daerah ini, sesungguhnya juga dapat dipandang
sebagai bagian dari bentuk rekonfigurasi tersebut.

AC E H : AG E N D A K R U S I A L D A L A M FA S E T R A N S I S I 111
MANIFESTO Aceh BARU
Aceh BARU merupakan formulasi dari sejarah Aceh yang gemilang, hikmah
dari pengalaman pahit di masa lalu dan cita-cita masa depan yang
berperadaban tinggi, MAKA :
Aceh BARU dibangun atas dasar keadilan, kebebasan dan penghormatan atas
hak-hak dasar serta menghargai keberagaman dalam kehidupan.
Aceh BARU dibangun atas sistem ekonomi kerakyatan dan berkeadilan.
Aceh BARU dibangun dengan sistem pemerintahan yang bersih dan pelayanan
berkualitas pada rakyat.
Aceh BARU dibangun dengan kekuatan komunikasi politik yang terbuka dan
menghargai kerjasama antarbangsa serta budaya dunia
Aceh BARU dibangun dengan menjunjung tinggi agama, pendidikan, dan adat-
istiadat Aceh.

Walaupun poin-poin manifesto itu sendiri bukanlah sesuatu yang asing


ataupun baru di telinga kita, namun ia tetap dibutuhkan sebagai affirmation
(penegasan), untuk menstimuli ingatan dan kesadaran akan sebuah era baru yang
ideal, yang pada dasarnya adalah common expectation seluruh rakyat Aceh. Cuma
tantangannya kemudian adalah apakah manifesto ini direspon oleh seluruh elemen
di Aceh sebagai gerakan bersama (common movement) untuk kemudian diterima
sebagai nilai bersama (common values).
Tanpa adanya rekonfigurasi ideologi semacam ini, atau efektifitas penerapannya,
siklus konflik sangat berpotensi terjadi kembali. Bahkan jika dilihat dari heterogenitas
dan polaritas kepentingan, baik yang berbasis pada ideologi politik maupun etnis-
geografis yang belakangan semakin meruncing di Aceh, yang terjadi bukan hanya
siklus, tetapi juga mutasi konflik. Pergeseran konflik dari vertikal menjadi horizontal.
Salah satu gejala yang dapat dikaitkan dengan potensi mutasi ini adalah munculnya
wacana pemekaran provinsi ALA-ABAS, yang menuntut pemekaran wilayah tengah

112 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
dan barat-selatan menjadi dua provinsi yang terpisah dari Aceh, (akan dibahas di
bawah).

Implementasi Undang-Undang Pemerintahan Aceh


Salah satu pekerjaan rumah terbesar bagi Aceh saat ini adalah mempercepat
dan mengoptimalkan implementasi Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh atau sering disingkat dengan UUPA. UUPA adalah titik
kulminasi, puncak pencapaian dari seluruh rangkaian upaya dan proses perdamaian
di Aceh. Inilah vocal point sesunggunya yang menjadi modal untuk mewujudkan
kemandirian politik dan ekonomi Aceh setelah berpuluh tahun terpinggirkan akibat
politik sentralistik Jakarta. Namun sayangnya sampai saat ini ada beberapa pasal
penting dalam UUPA yang belum ditindaklanjuti melalui pembentukan peraturan
pelaksana yang lebih operasional. Amrizal J. Prang dalam Quo Vadis UUPA (Refleksi
Tiga Tahun UUPA), (Aceh Institute, 10 Agustus 2009) mencatat ada delapan pasal
yang terkait dengan kebijakan hukum kekhususan yang belum memiliki peraturan
pelaksana, yaitu pertama, Peraturan Pemerintah (PP) kawasan khusus perdagangan
bebas dan/atau pelabuhan bebas (Pasal 4); kedua, Peraturan Presiden (Perpres)
kerjasama Pemerintah Aceh dengan lembaga atau badan di luar negeri (Pasal 9);
Ketiga, PP pengelolaan bersama sumber daya alam minyak dan gas bumi Aceh
(Pasal 160); keempat, Perpres peralihan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
di Aceh dan kabupaten/kota menjadi perangkat Aceh dan kabupaten/kota (Pasal
253); dan kelima, PP kewenangan Pemerintah yang bersifat nasional di Aceh (Pasal
270). Sementara lembaga yang belum dibentuk pengadilan HAM dan KKR (Pasal 259
dan Pasal 260). Selanjutnya, belum terealisasinya secara menyeluruh penghapusan
kelurahan menjadi gampong (Pasal 267).
Padahal, sebagaimana termaktub dalam pasal 271 UUPA, ketentuan pelaksanaan
UUPA yang menjadi kewajiban pemerintah pusat dibentuk paling lambat dua tahun
sejak UUPA disahkan. Artinya paling lambat tanggal 1 Agustus 2008, dua tahun
setelah UU ini disahkan pada tanggal 1 Agustus 2006, ketentuan pelaksanaan UUPA
sudah harus diselesaikan oleh pemerintah pusat. Namun nyatanya sampai saat ini,
Aceh masih harus menunggu konsistensi pemerintah pusat.

AC E H : AG E N D A K R U S I A L D A L A M FA S E T R A N S I S I 113
Ekspektasi Aceh sangat beralasan. Setidaknya ada tiga pasal yang disebutkan
di atas yang memiliki nilai sangat strategis bagi daerah ini, yaitu Pasal 4 tentang
kawasan khusus perdagangan bebas dan/atau pelabuhan bebas, Pasal 9 tentang
kerjasama Pemerintah Aceh dengan lembaga atau badan di luar negeri, serta
Pasal 160 tentang pengelolaan bersama sumberdaya alam minyak dan gas bumi
Aceh. Ketiga pasal ini memberikan insentif yang sangat berharga bagi Aceh, baik
secara politik maupun ekonomis; Aceh memiliki peluang yang jauh lebih besar
untuk melakukan kontak-kontak ekonomi dan budaya yang memungkinkannya
mempromosikan berbagai potensi dan sumberdaya yang dimiliki ke luar negeri.
Aceh juga memiliki akses dan daya tawar yang lebih besar dalam hal pengelolaan
kawasan ekonomi strategis dan sumber-sumber minyak dan gas bumi, yang
memungkinkannya memacu pertumbuhan sentra-sentra pertumbuhan ekonomi
baru.

Akselarasi Pembangunan Ekonomi


Konflik dalam banyak kasus, termasuk konflik Aceh, terjadi tidak hanya dipicu
oleh motif-motif ideologis, tetapi juga dapat berkelindan dengan alasan-alasan
ketimpangan dan ketidakadilan ekonomi. Pengangguran, kemiskinan, dan
berbagai bentuk tekanan ekonomi lainnya, yang kemudian diperparah dengan
praktek-praktek diskrimasi dan tertutupnya akses terhadap berbagai sumber
daya, dapat menimbulkan kekecewaan akut dan ketidakpercayaan terhadap
pemerintah, hingga mewujud dalam berbagai gerakan resistensi bahkan seperasi
yang ujung-ujungnya menimbulkan konflik bersenjata antara pemerintah dengan
“pemberontak”.
Penyelesaian damai konflik Aceh yang dibarengi dengan peningkatan status
dan daya tawar politik Aceh, sudah semestinya dibarengi secara simultan dengan
kemandirian ekonomi. Untuk itu, akselarasi program-program pemberdayaan
ekonomi seperti pemberdayaan ekonomi sektor riil, penyediaan lapangan kerja,
pengembangan iklim usaha yang sehat dan sentra-sentra pertumbuhan ekonomi
baru yang berbasis sumberdaya, adalah agenda penting yang mesti dijalankan
seefektif mungkin oleh Pemerintah Aceh. Langkah-langkah ini adalah bagian dari

114 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
program pengentasan kemiskinan dan pemenuhan atas kualitas kehidupan yang
lebih baik yang sudah sepatutnya dinikmati rakyat Aceh.
Arah pembangunan ekonomi Aceh juga harus mempertimbangkan aspek
kemanfaatan maksimal. Geliat ekonomi yang cenderung terpusat di kota-kota,
sudah saatnya difokuskan sampai ke daerah-daerah, termasuk daerah terpencil dan
tertinggal sehingga dapat memperkecil kesenjangan antara kota dan desa, pusat
dan pinggiran. Pembangunan infrastruktur harus dipacu untuk menunjang aktifitas
ekonomi daerah. Infrastruktur yang telah dibangun BRR semasa program rehab-
rekon, juga mesti dimanfaatkan secara maksimal untuk mendorong ekonomi yang
berorientasi ekspor sehingga dapat diharapkan pertumbuhan ekonomi Aceh dapat
bergerak dalam trend yang positif di masa-masa yang akan datang.
Agenda ekonomi ini adalah variabel yang sangat penting dalam membangun
Aceh ke depan. UUPA, sebagaimana dibahas di atas telah menyediakan Aceh
pondasi legal dengan lingkup dan kewenangan yang lebih luas, untuk mengelola
perekonomiannya baik pada skala makro maupun mikro. Makanya, agenda ini
dengan sendirinya akan sangat tergantung pada sejauh mana ketentuan pelaksana
UUPA tersebut dapat segera dibentuk dan disahkan sebagaimana disebut di atas.
Dua agenda ini adalah saling terkait satu sama lain.

Efektifitas kinerja Pemerintahan Aceh


Dari berbagai laporan media tentang rendahnya realisasi APBA menunjukkan
bahwa kinerja Pemerintahan Aceh masih jauh dari harapan. Ketua BPK Anwar
Nasution mengatakan realisasi APBA 2008 kurang dari 40 persen dan berada di
peringkat dua terburuk di seluruh Indonesia, setelah Provinsi Sumatera Utara,
(dikutip Serambi Indonesia tanggal 17 Januari 2009). Sedangkan pada tanggal 21
Juli 2009 Serambi Indonesia merilis berita tentang realisasi APBA 2009. Disebutkan
bahwa dalam waktu tujuh bulan dari total pagu sebesar 9,7 triliun, realisasi fisik
yang dicapai baru 9,29 persen, sedangkan realisasi keuangan sebesar 8,03 persen
(per 30 Juli 2009).
Sementara itu Serambi Indonesia tanggal 2 September 2009, dalam kolom
headlinenya merilis berita demontrasi mahasiwa dengan tajuk “Dinilai Berkinerja

AC E H : AG E N D A K R U S I A L D A L A M FA S E T R A N S I S I 115
Lemah, Irwandi-Nazar Dihadiahi Ayam Sayur”. Gabungan Mahasiswa yang
menamakan diri Gerakan Mahasiswa Penyelamat Uang Rakyat (Gempur) mendemo
kantor Gubernur Aceh dan “menghadiahi” Gubernur Irwandi dengan ayam sayur
sebagai simbol atas lemahnya kinerja Pemerintah Aceh. Mereka juga menuntut
Gubernur untuk mencopot kepala dinas yang berkinerja lemah dan korupsi. Masih
pada halaman depan harian tersebut, juga di-update realisasi fisik APBA yang
disebutkan sebesar 22.24 persen, dan realisasi keuangan mencapai 13,34 persen.
Rendahnya capaian realisasi anggaran pembangunan sebagaimana disebutkan
media tersebut mengindikasikan kelemahan Pemerintah Aceh dalam memobilisasi
sumberdaya manusia dan finansial yang sebenarnya lebih dari cukup untuk
menghasilkan perubahan yang signifikan bagi Aceh. Walaupun memang kelemahan
ini tidak sepenuhnya dapat ditimpakan kepada Pemerintah Aceh sebagai eksekutif,
karena legislatif dalam hal ini DPRA, juga memiliki “sero” atas kondisi ini akibat
keterlambatan mereka dalam pembahasan anggaran di lembaga perwakilan rakyat
tersebut, namun ini tidak menutupi fakta inkompetensi Pemerintah Aceh selaku
eksekutor dalam menggerakkan roda pembangunan di Aceh.
Pendekatan yang sektoral, manajemen yang tidak terintegrasi, lemahnya visi
dan kemampuan manjerial di tingkat dinas dan instansi terkait, diperparah oleh
orientasi dan prilaku KKN aparatur, mengakibatkan tidak ada capaian yang dapat
dikatakan betul-betul berarti selama tiga tahun (tepatnya 2,6 tahun) kekuasaan
Pemerintahan Aceh. Parahnya lagi, kondisi ini tidak hanya terjadi di pemerintahan
level provinsi namun juga di level kabupaten/kota. Kelemahan ini terpola dan
terstruktur pada hampir semua level dan jenjang pemerintahan di Aceh. Porsi
pemberitaan di media lokal yang cukup banyak menyorot berbagai kasus inefisensi
dan inefektivitas pemerintahan di daerah ini adalah sebuah indikasi sekaligus sinyal
kuat bagi pemerintah lokal di Aceh untuk segera membenahi kinerjanya.
Evaluasi kinerja secara ketat dan reguler, reformasi struktur birokrasi, dan
manajemen sumber daya dengan berpijak pada prinsip the right man on the right
place, dan mengembangkan sebuah pendekatan kerja yang lebih integratif, adalah
beberapa langkah pembenahan internal yang dapat dilakukan oleh Pemerintah
Aceh.

116 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
Pemerintah Aceh juga dapat mengadopsi model kerja rehab-rekon yang telah
diterapkan oleh BRR NAD-Nias. Terlepas dari kelemahan-kelemahannya yang sering
dikritik berbagai pihak, BRR NAD-Nias telah menyelesaikan mandat besar program
rehab-rekon dengan cukup baik dan mewariskan sebuah lesson-learn yang dapat
diambil hikmahnya oleh Pemerintah Aceh. BRR juga, setelah lembaga ini dibekukan
pada April 2009 yang lalu, telah menghibahkan bebarapa perangkat lunak dan
keras untuk diadopsi dan diaplikasikan oleh Pemerintah Aceh. Sistem database,
teknologi informasi, sistem manajemen aset, ditambah model perencanaan dan
pengawasan proyek pembangunan serta pengelolaan sumberdaya manusia yang
handal, plus dengan keberadaan sebagian karyawan BRR NAD-Nias yang adalah
pegawai Pemda Aceh, maka akan menjadi sebuah keuntungan tersendiri bagi
Pemerintah Aceh untuk melakukan transfer-knowledge sehingga dapat menjadi
bagian dari capacity building mereka dalam mengemban mandat pemerintahan
dalam mengelola kerja-kerja pembangunan di Aceh.

Penanganan Isu ALA-ABAS


Selama ini pemahaman mainstream atas konflik Aceh lebih mengarah pada
konteks konflik vertikal antara RI-GAM. Namun sebenarnya, baik pada masa konflik
bahkan terlebih di masa transisi ini, ancaman yang tak kalah potensialnya adalah
konflik horizontal di tingkat lokal. Dan menjadi semakin serius jika sampai disusupi
oleh external conditioners. Timbulnya wacana pemekaran provinsi ALA-ABAS di
Aceh beberapa tahun belakangan dapat ditunjuk salah satu indikasi yang paling
relevan terkait dengan potensi perubahan aras konflik tersebut.
Kenapa tuntutan pemekaran wilayah ini bisa timbul? Oleh para pendukungnya,
ketimpangan pembangunan dan alasan untuk mempercepat pembangunan
daerah, sering dijadikan basis argumen untuk menggolkan aspirasi pemekaran
ini. Memang tak bisa dipungkiri bahwa pembangunan di dua wilayah ini (ALA
dan ABAS) masih belum optimal, namun juga tidak terbantahkan bahwa motif
politik juga sangat kental berada di balik manuver-manuver untuk mewujudkan
terbentuknya kedua provinsi ini. Jadi walaupun ketimpangan pembangunan ini
seringkali dijadikan “senjata” oleh para pendukungnya, namun insentif politik dan

AC E H : AG E N D A K R U S I A L D A L A M FA S E T R A N S I S I 117
ekonomi sebagai implikasi yang lazim dari sebuah proses pemekaran wilayah,
hampir dapat dipastikan juga turut mendorong menguatnya wacana pemekaran
wilayah ini.
Jika dilihat dalam konteks dan praktek desentralisasi di Indonesia, persoalan ALA-
ABAS ini, sebagaiama persoalan yang sama di daerah-daerah lainnya, sebenarnya
adalah turunan dari warisan saja dari kultur politik sentralistik Indonesia, terutama
pada masa Orde Baru berkuasa, yaitu apa yang dapat disebut dengan hirarki
ketimpangan/ketidakadilan. Pusat (Jakarta) tidak adil pada provinsi. Provinsi
diskriminatif terhadap kabupaten/kota. Lalu kabupaten/kota juga menerapkan
pola yang sama terhadap kecamatan-kecamatan di bawahnya, sampai terakhir
kecamatan terhadap desa-desa di bawahnya. Pola ini telah terstruktur dengan akut
dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini.
Desentralisasi yang kemudian diterapkan oleh pemerintah sesungguhnya
hanyalah salah satu alternatif solusi terhadap masalah ini. Dengan segala kelemahan
dan petensi kegagalannya, desentralisasi ini mau tidak mau harus didukung dengan
pendekatan lain yang lebih berbasis pada aspek budaya.
Kembali ke persoalan ALA-ABAS, kemunculan isu ini sesungguhnya juga tidak
terlepas dengan fakta Aceh adalah multikultural. Terdiri dari delapan etnis yang
mendiami seluruh wilayahnya, yaitu Aceh, Aneuk Jamee, Gayo, Alas, Kluet, Tamiang,
Singkil, dan Simeulue. Secara kultural Aceh termanifestasi dalam keragaman
budaya ke-delapan etnis tersebut. Oleh karena itu, dalam konteks pendekatan
budaya, klaim identitas ke-Acehan haruslah dilihat dalam kerangka relasi etnis-
etnis tersebut, bukan dominasi etnis Aceh yang mayoritas yang mendiami wilayah
Banda Aceh, Aceh Besar, sepanjang pantai Utara-Timur, dan sebagian pantai Barat-
Selatan Aceh, terhadap minoritas etnis-etnis lainnya.
Untuk itu, sudah saatnya Aceh menjadikan multikulturalisme ini sebagai prinsip
dasar atau semacam falsafah dan nilai bersama dalam relasi-relasi sosial rakyatnya.
Multikulturalisme ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengembalikan
kebanggaan kultural beberapa etnis di Aceh yang selama ini merasa dipinggirkan
sampai menuntut pemekaran provinsi, sehingga relasi yang timbul kemudian
adalah relasi-relasi kesejajaran yang saling respek dan mengakui satu sama lain

118 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
dalam sebuah bingkai semangat ke-Acehan.

Epilog
Dengan merujuk pada agenda-agenda di atas, maka konteks post-conflict
recovery dan visi Aceh Baru semestinya tidak lagi berkutat pada pembahasan
mengenai “bagaimana menjaga atau melanggengkan perdamaian”, tetapi mesti
lebih progresif diarahkan pada pertanyaan yang lebih operasional : “apa yang harus
dilakukan” untuk mengeleminir potensi konflik terulang kembali. Dalam sudut
pandang ini keberlanjutan perdamaian sesungguhnya tidak lagi dilihat sebagai
tujuan, tetapi auto-impact yang teralisir ketika program-program transformasi
pascakonflik tersebut di atas, berjalan mulus dan dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat Aceh, terutama oleh kalangan grass-root, korban konflik dan bencana
tsunami. Pertanyaan “apa yang harus dilakukan” adalah sebuah kekuatan
transformasi yang membuat kita fokus pada pertanyaan “what”, bukannya “how”.
Fokus ini memberikan semacam “obat kuat” yang kemudian memungkinkan kita
lebih progresif dalam mencapai target-target ideal sebagaimana yang diimpikan
oleh seluruh rakyat Aceh.
Agenda-agenda ini sendiri tidak berada dalam posisi yang saling terpisah dan
berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling terkait dan sinergis satu sama lain. Agenda-
agenda tersebut bergerak secara simultan dalam sebuah pendekatan yang
komprehensif sehingga dapat memberikan dampak positif yang riil dan betul-betul
efektif, dalam konteks sustainable peace and development di Aceh.
Capaian-capaian konkrit ini adalah faktor yang sangat menentukan takdir Aceh
ke depan. Untuk itu para pihak, pemangku kepentingan, berbagai elemen rakyat
Aceh, kiranya bisa saling terbuka dan memiliki komitmen untuk bersama-sama
membangun dan meletakan sebuah pondasi demokrasi di daerah ini, sehingga kita
dapat berharap Aceh Baru yang damai, sejahtera dan demokratis bukanlah sebuah
utopia, melainkan sebuah mimpi yang akan menjadi kenyataan. Semoga.***

AC E H : AG E N D A K R U S I A L D A L A M FA S E T R A N S I S I 119
Effendi Hasan
Mahasiswa program doktor bidang falsafah politik dan ideologi,
Universiti Kebangsaan Malaysia

Aceh Baru: Sebuah Wacana Pemikiran

Perundingan Helsinki telah membawa perubahan wajah Aceh, Aceh yang


dikenal sebagai wilayah perang telah berubah menjadi wilayah damai setelah
ditandatangani MoU Helsinki 15 Agustus 2005. Walaupun perdamaian telah
berjalan selama 4 tahun seiring dengan umur MoU Helsinki, akan tetapi banyak
lagi tantangan yang harus kita hadapi terutama dari pihak-pihak yang tidak
menginginkan Aceh damai. Kenyataan tersebut telah terbukti dari beberapa
kejadian selama ini yang ingin membangkitkan dendam lama. Kejadian-kejadian
tersebut jelas sekali ada indikasi untuk membawa Aceh kembali ke dalam konflik.
Mudah-mudahan rakyat Aceh tidak terjebak dalam kehidupan gemerlapan yang
telah memusnahkan peradaban Aceh sebelum ini. Di sinilah perlu kearifan dari
semua pihak terutama dari elit politik Jakarta dan Aceh untuk selalu membangun
saling kepercayaan bukan sikap saling curiga terhadap satu sama lain. Cukuplah
konsensi–konsensi perjuangan yang telah digugurkan oleh pihak GAM di Helsinki
sudah sewajarnya segala sikap kecurigaan terhadap Aceh dilenyapkan. GAM telah
memutuskan untuk berjuang dalam lunas-lunas demokrasi dalam bingkai negara
Kesatuan Republik Indonesia, bukankah itu sesuatu pilihan bijaksana yang harus
dihargai oleh semua elit politik di Jakarta.
Rakyat Aceh sudah sangat lelah dalam konflik, jangan giring mereka kembali
untuk berkonflik. Konflik telah membawa kemusnahan serta kesengsaraan bagi
rakyat Aceh. Biarlah rakyat mengecapi kedamaian yang ada di Aceh selama ini,
mudah-mudahan tetesan air mata rakyat Aceh sebagai tanda kesyukuran sewaktu
menyambut penandatanganan MoU Helsinki benar-benar akan melanggengkan
perdamaian di Aceh. Kini rakyat Aceh ingin menatap masa depan yang lebih maju
sebanding dengan kemajuan-kemajuan yang telah dicapai oleh negara-negara
lain di dunia. Maka sudah sewajarnya pemimpin Aceh baik Pemerintah Aceh,
DPRA, politisi, KPA, ulama, mahasiswa, intelektual untuk menyatukan langkah
membangun Aceh baru yang lebih maju dalam konteks keacehan, keislaman dan
demokrasi bukan tatanan Aceh baru yang bersifat cet langet.
Kita memang tidak bisa menyembunyikan keresahan serta kegelisahan selama
ini terhadap kemunduran Aceh dari segala aspek bila dibangdingkan dengan
bangsa lain. Aceh telah ketinggalan bukan seratus tahun malah seribu tahun untuk
bersaing dengan bangsa lain. Ketika bangsa lain telah berpikir untuk menjelajah
angkasa luar kita masih berpikir untuk membagi-bagi proyek BRR yang kononnya
telah banyak membantu merekontruksi Aceh. Betapa lemahnya kita menghadapi
masa depan untuk bersaing dengan bangsa-bangsa yang lebih maju. Ketika bangsa
lain berlomba-lomba meningkatkan pendidikan sebagai peneraju kebangkitan
bangsa meminjam istilah Melayu. Kita masih lagi berpikir memproyeksikan
beasiswa pendidikan dengan alasan untuk meningkatkan pendidikan, sehingga
timbul penyimpangan serta unsur nepotisme dalam pemberian beasiswa tersebut.
Alangkah sedihnya kita menatap wajah Aceh selama ini yang penuh dengan
kesuraman.
Mengapa kita terus mundur dan bagaimana harus membangun Aceh baru
yang lebih maju? Pertanyaan ini harus selalu kita pertanyakan pada diri kita yang
bergelar orang Aceh sehingga menjadi introspeksi untuk membangun Aceh yang
lebih maju. Apakah kelemahan dan kemunduran selama ini kita persalahkan
kepada para pemimpin yang tidak memperhatikan nasib Aceh. Atau akibat konflik
yang terjadi di Aceh, atau kesalahan kita terlalu open menerima budaya luar dan

122 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
menghilangkan identitas atau budaya Aceh. Faktor-faktor ini penting menjadi
kajian, sekurang-kurangnya akan membentuk pola pikir orang Aceh untuk
menyusun langkah membangun Aceh baru lebih maju. Sebagaimana Aceh lama
yang telah pernah mencapai kegemilangan pada masa Sultan Iskandar Muda.
Sejarah telah mengajari kita, sesuatu bangsa yang menjauhkan diri dari budaya
sendiri dan menerima budaya asing secara totalitas tidak akan dapat menjadikan
bangsa tersebut maju. Turki modern adalah merupakan contoh klasik, Turki
memutuskan untuk meninggalkan landasan agama serta akar budaya tradisinya,
dan lebih memilih faham sekuler dari barat dengan harapan mencapai kemajuan.
Turki tidak pernah mencapai kemajuan yang mereka inginkan. Tapi sebaliknya
Jepang telah maju menjadi sebuah negara modern tanpa meninggalkan budaya
tradisinya. Masyarakat Jepang sangat bangga dengan tradisi dan budaya mereka.
Jepang juga menerima pengaruh barat dalam beberapa hal tertentu, akan tetapi
mereka telah mendapatkan kekuatan dasarnya dari warisan budaya tradisinya
sendiri yaitu ajaran Zen Buddhism yang menjadi pegangan kuat bangsa Jepang.
Sehingga tidak salah mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad
melaungkan idenya ”dasar pandang ke Timur” untuk mengajak rakyat Malaysia
mencontohi Jepang yang telah berhasil membangun Jepang menjadi sebuah
negara maju dengan landasan nilai-nilai budaya dan tradisi masyarakat Jepang
Maka sudah sewajarnya generasi atau pemimpin Aceh mencontohi serta
mengalihkan pandangan ke Timur untuk belajar dari Jepang bagaimana
membangun kemajuan dengan landasan nilai-nilai tradisi dan budaya. Mungkinkah
kita merevolusi sistem yang ada dan kembali kepada dasar nilai-nilai tradisi
keacehan untuk membangun Aceh yang lebih maju. Kalau Jepang bisa melahirkan
masyarakat yang berpegang teguh kepada ajaran Zen Buddhism, mengapa Aceh
tidak bisa melahirkan masyarakat yang memiliki serta berpegang teguh kepada
nilai-nilai keacehan dan keislaman. Islam sebagai way of live telah menjadi bahagian
hidup masyarakat Aceh. Bukankah landasan ini “adat bak Po Teumeureuhom, hukom
bak Syiah Kuala, qanun bak Putroe Phang, Reusam bak Laksamana, hukom ngon adat,
lagee zat ngon sifeuet”, cukup kuat bagi kita untuk membentuk masyarakat Aceh
yang kental dengan nilai-nilai keacehan dan keislaman.

AC E H B A R U : S E B UA H WAC A N A P E M I K I R A N 123
Generasi yang terbentuk dari proses keislaman dan keacehan akan melahirkan
generasi Aceh baru yang terpancar jiwa merdeka, sujud, ruku’ dan setia kepada
Allah SWT. Bangga berbicara dan mengajari anak-anak mereka dengan bahasa
Aceh, memahami nilai-nilai tradisi dan budaya Aceh yang terpancar dari nilai-
nilai keislaman. Punya komitmen keacehan yang tinggi, kehadiran mereka akan
membawa makna yang positif dan mampu bertahan melintasi badai dan taufan
sejarah. Inilah sosok generasi Aceh baru ke depan yang mampu kita harapkan untuk
membangun Aceh yang lebih maju. Kita mengingikan istilah yang dipopulerkan
di Malaysia ”Tak kan Melayu hilang di dunia” akan menjadi motivasi serta spirit
keacehan bagi generasi Aceh baru untuk membangun Aceh yang lebih modern
”Tak kan Aceh hilang di dunia”.

Visi ke depan
Prasyarat untuk membangun Aceh baru yang lebih maju memerlukan pemimpin
atau generasi Aceh yang mempunyai visi masa depan, bukan pemimpin atau
generasi Aceh yang hanya pandai beretorika dengan cet langet akan tetapi kosong
dari visi yang berorentasi ke depan. Salah satu ciri bangsa yang maju adalah bangsa
yang memandang jauh ke depan (forward looking). Pemimpin atau generasi yang
punya visi masa depan biasanya diartikan ”a mental journey from the known to the
unknown, creating the future from a montage of current facts, hopes, dreams, dangers
and opportunities” suatu penjelajahan mental, bertolak dari yang diketahui kepada
yang tidak diketahui, menciptakan masa depan berdasarkan fakta, harapan, impian,
bahaya dan peluang yang wujud masa sekarang. Fakta-fakta yang wujud dewasa
ini dapat dilihat dan dianalisa sebagai indikasi yang mengisyaratkan apa yang akan
terjadi di masa depan.
Bukankah dalam kisah Nabi Yusuf As, telah mengajari kita betapa pentingnya
seseorang pemimpin atau generasi yang punya visi ke depan. Bagaimana Nabi Yusuf
As dapat meramalkan masa depan ekonomi negara dalam masa empat belas tahun
yang akan datang. Setelah melihat berbagai kemungkinan yang akan terjadi, beliau
memberi saran tentang perkembangan ekonomi dan berbagai perubahan untuk
dihadapi dengan membuat beberapa persediaan. Umar bin Khatab juga pernah

124 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
berpesan, ” didiklah anak-anak kamu, sesungguhya mereka dilahirkan untuk zaman
yang bukan zaman kamu” kata-kata tersebut merupakan manisfestasi kesadaran
generasi yang akan pergi (outgoing generation) tentang perlunya mempersiapkan
generasi penerus dengan pendidikan yang futuristik.
Dalam Al-Quran terdapat banyak ayat-ayat yang menjelaskan tentang
gambaran-gambaran futuristik. Ayat 45 surat Al-Qamar yang diturunkan di Mekkah
menjelaskan nasib yang akan menimpa kaum musyrikin Quraish yang ketika
itu masih kuat, golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur
ke belakang (surat Al-Qamar: 45). Penjelasan futuristik adalah bertujuan untuk
mempersiapkan mental dan psikologikal generasi sekarang untuk menghadapi
perubahan perubahan masa yang akan datang. Demikian juga ketika Al-Quran
menjelaskan dalam surat Ar-Rum ayat 1-5, bangsa Rome akan mengalahkan
bangsa Parsi. Penjelasan tersebut membuat umat Islam gembira, dalam analisa
mereka kemenangan bangsa Parsi akan membawa implikasi buruk terhadap
Islam. Umat Islam memang mengharapkan kemenangan bangsa Rome. Keadaan
ini menunjukkan bahwa umat Islam, walaupun masih lemah dan kecil pada saat
itu, akan tetapi mereka begitu perhatian terhadap perkembangan dunia dan
menyadari kesan-kesan positif dan negatif terhadap masa depan.
Jadi jelaslah bahwa, untuk membangun Aceh baru yang lebih maju memerlukan
generasi atau pemimpin Aceh yang mempunyai visi ke depan. Ciri-ciri Pemimpin
atau generasi Aceh baru yang futuristik adalah: pertama, mempunyai pengetahuan
yang lengkap well informed, yang akan mampu mengolah segala informasi dengan
kekuatan analisanya serta kemampuan berpikir secara integratif dan konseptual.
Kedua, generasi yang bersedia untuk belajar secara terus menerus life–long learning,
agar mereka mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan dunia yang secara
terus menerus mengalami perubahan. Ketiga, generasi Aceh yang mempuyai
kemampuan memprediksi perubahan-perubahan yang akan terjadi serta mempuyai
watak kreatif-inofatif dalam menghadapi segala tantangan dan perubahan dunia.
Berani bertanggungjawab dalam arti berani mengambil keputusan-keputusan dan
dan sanggup menghadapi segala resiko yang akan terjadi. Keempat, memiliki harga
diri dan kepercayaan pada diri sendiri yang berlandaskan iman yang kuat. Ciri-ciri

AC E H B A R U : S E B UA H WAC A N A P E M I K I R A N 125
inilah yang diperlukan bagi generasi Aceh untuk mereka mampu membangun
Aceh baru yang lebih maju dan bermartabat.
Bukankah Teungku Hasan di Tiro ketika pulang ke Aceh pada 11 Oktober
2008 juga telah mengajak rakyat Aceh untuk mempunyai visi ke depan dengan
mengambil hikmah dari apa yang telah dicapai dalam MoU Helsinki. Dalam
pidatonya yang dibacakan oleh Malik Mahmud beliau menjelaskan ” Kami
ingatkan, konflik 30 tahun yang disusuli oleh gempa dan tsunami, mengakibatkan
Aceh kehilangan segala-galanya, kita sanggup kehilangan masa depan kita. Justru
raihlah masa depan kita melalui proses yang telah ditentukan di dalam MoU
Helsinki dengan cukup teliti dan berdisiplin tinggi. Dalam perang kita telah sangat
banyak pengorbanan, akan tetapi dalam perdamaian kita juga harus bersedia
berkorban lebih banyak lagi. Memang, biaya perang sangat mahal akan tetapi
biaya memelihara perdamaian jauh lebih mahal. Peliharalah perdamaian ini untuk
kesejahteraan kita semua”... Mudah-mudahan rakyat Aceh dapat memaknai amanah
singkat Teungku Hasan di Tiro untuk memilih generasi atau pemimpin Aceh pada
pemilu 2009 yang benar-benar punya visi misi untuk membangun Aceh yang lebih
meugah. Bukan pemimpin atau generasi yang mengatasnamakan rakyat untuk
kepentingan pribadi dan kekuasaan. Wallahu a’lam.***

126 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
Effendi Hasan
Mahasiswa program doktor bidang falsafah politik dan ideologi,
Universiti Kebangsaan Malaysia

Wali dan Perjuangan Rakyat Aceh

Kepulangan Tgk Hasan Tiro pada 11 Oktober 2008 mempunyai kesan tersendiri
bagi seluruh rakyat Aceh. Selain dapat melihat wajah Wali secara langsung, mereka
juga telah mendengar amanah serta nasehat yang disampaikan Wali secara dekat
di depan Masjid Raya Baiturrahman. Sesuatu yang sangat didambakan oleh seluruh
rakyat Aceh, keinginan mereka telah terkabulkan dengan sempurna. Sehingga
tidak heran  mereka begitu antusias datang ke Banda Aceh untuk melihat serta
menyambut kepulangan Wali. Peristiwa tersebut bagaikan pengulangan sejarah
ketika rakyat berbondong-bondong datang ke Banda Aceh untuk mendukung
perjuangan referendum yang digerakkan oleh mahasiswa tahun 1999. Kepulangan
Wali seakan-akan telah membangkitkan semangat mereka kembali setelah hilang
diombang-ambing oleh gelombang Tsunami pada 26 Desember 2004 yang lalu.
Seluruh kalangan baik di tingkat nasional maupun internasional begitu kagum
melihat sambutan yang diberikan rakyat Aceh terhadap Wali. Mereka begitu
terkesima melihat rasa takzim rakyat Aceh terhadap pemimpinnya walaupun
pemimpin tersebut tinggal jauh di luar negeri. Tapi jiwa mereka bagaikan satu
ikatan yang tidak bisa dipisahkan. Sambutan tersebut sekaligus telah menciptakan
satu lagi sejarah besar di dunia, setelah sejarah penyambutan terhadap Ayatullah
Imam Khomeini di Iran. Kepulangan Ayatullah Khomeini tahun 1979 disambut
oleh ribuan rakyat Iran. Rakyat Iran menyambut kepulangan Imam Khomeini
sama seperti rakyat Aceh menyambut kepulangan Wali setelah 30 tahun beliau
tinggalkan Aceh.
Sebelum Wali menginjak kakinya di Aceh pada 11  Oktober yang lalu, beliau
telah pernah beberapa kali pulang ke Aceh, dan terakhir tahun 1976. Akan tetapi
kepulangan tersebut dilakukan secara rahasia. Dalam catatan hariannya yang
berjudul The Prince of Freedom: The Unfinished Diary of Teungku Hasan Tiro (1981),
beliau menceritakan dirinya pulang ke Aceh pada 30 Oktober 1976. Dengan
melakukan perjalanan melalui rute Seattle Amerika Serikat, Tokyo, Hongkong, dan
Thailand. Beliau masuk ke perairan Aceh melalui jalur laut menggunakan perahu
motor sewa. Dalam pelayaran tersebut beliau mendarat di desa nelayan Pasie Lhok,
Pidie. Beliau disambut oleh sejumlah pasukan bersenjata lengkap di bawah pimpinan
M. Daud Husin (Daud Paneuk) sebelum pendaratan di Kuala Tari. Beliau pulang
ke Aceh tahun 1976  adalah untuk memimpin perjuangan rakyat Aceh melawan
pemerintah Indonesia. Sehingga pada 4 Disember 1976 beliau memproklamirkan
perjuangan Aceh Merdeka (GAM) di bukit Cokan pedalaman Kecamatan Tiro. Wali 
memimpin perjuangan Aceh setelah kegagalan Darul Islam Aceh di bawah pimpinan
Teungku Daud Beureu-eh, salah seorang Ulama kharismatik sekaligus guru Wali.
Kepulangan Wali untuk melanjutkan perjuangan Aceh sebagaimana telah pernah
digerakkan oleh gurunya dengan nama yang berbeda.      
Mengapa Wali memberi nama perjuangan Aceh dengan nama GAM atau dalam
bahasa Inggris disebut Acheh Sumatra National Liberation Front  (ASNLF), dan tidak
mengikuti jejak langkah gurunya? Menurutnya, perjuangan GAM merupakan
perjuangan lanjutan dari pada perjuangan rakyat Aceh mempertahankan
kemerdekaan dari penjajahan Belanda sejak tahun 1873. Perjuangan rakyat Aceh
telah berlangsung selama 125 tahun dan Aceh tidak pernah menyerah kalah kepada
Belanda. Kalaupun Aceh sekarang berada di bawah Indonesia, itu karena kesalahan
Belanda yang telah menyerahkan kedaulatan Aceh kepada Indonesia tahun 1949.
Jadi Aceh merupakan sebuah wilayah yang lepas dari Indonesia dan memiliki

128 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
identitas serta pemerintahaan sendiri (Lukman Thaib 1997:46). Alasan-alasan inilah
yang kemudian menimbukan konflik politik yang berkepanjangan antara Aceh
dengan Jakarta selama 32 tahun sebelum ditandatangani perjanjian Helsinki.
Pemerintah Indonesia juga mengklaim Aceh adalah sebuah wilayah yang sah dalam
wilayah kesatuan Republik Indonesia. Konflik tersebut telah mengorbankan beribu
nyawa rakyat Aceh yang tidak berdosa, sehingga  telah menjadi catatan sejarah
pahit bagi rakyat Aceh mudah-mudahan tidak akan terulang kembali.  
Menurut Moch Nurhasim (2008: 67) sebenarnya sebelum Wali memproklamirkan
GAM 1976, beliau  telah pernah terlibat dalam peristiwa DI/TII, khusunya di luar
negeri-Amerika Serikat. Tulisan-tulisan tentang Indonesia, mengisyaratkan
pemikiran beliau dan gagasan yang dipikirkan tentang gerakan Aceh Merdeka
atau tentang Negara Aceh. Negara Aceh yang ingin dibentuk adalah negara Aceh
pada zaman Iskandar Muda, di mana Aceh mengalami kejayaan dan kemakmuran.
Konsepsi negara Aceh seperti itu, sesungguhnya sudah lama ada dalam benak
beliau. Itu tercermin dalam beberapa tulisan beliau ketika menjadi mahasiswa
fakultas hukum pada Columbia Universiti dan sebagai Staf Perwakilan Indonesia
di New York. Pada September 1954 nama Wali tiba-tiba dikenal oleh kalangan
Indonesia dan dunia International ketika beliau memproklamirkan dirinya sebagai
"Duta Besar Republik Islam Indonesia" di Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) dengan sebuah surat terbuka yang dkirim kepada Perdana Menteri
Ali Sastroamidjojo. Efek dari Surat tersebut paspor diplomatik beliau sempat
dibekukan atas perintah Perdana Menteri, sehingga Wali sempat ditahan oleh
pihak Imigrasi dan terkatung-katung di Amerika untuk beberapa bulan. Keberanian
serta kecerdasan beliau memang sudah sangat teruji sebelum bergelimang dalam
kancah politik peperangan serta diplomasi untuk memperjuangkan nasib rakyat
Aceh era selanjutnya.
Apa maksud di balik kepulangan Wali pada 11 Oktobber 2008 yang lalu?
Yang pasti rentetan kepulangan Wali dari dulu sampai sekarang mempunyai
hubungan dengan perjuangan Aceh. Tapi kepulangan Wali kali ini tidak sama
seperti kepulangan Wali tahun 1976, kepulangan Wali pada waktu itu untuk
memimpin serta memproklamirkan perjuangan Aceh. Tapi kepulangan tahun

WA L I D A N P E R J UA N G A N R A K YAT AC E H 129
2008 adalah  untuk mengalang misi perdamaian serta perjuangan damai rakyat
Aceh. Perjuangan rakyat Aceh telah berubah dari perjuangan bersenjata menjadi
perjuangan politik setelah ditandatangani perjanjian damai di Helsinki pada 2005
yang lalu. Misi inilah yang selalu disampaikan oleh beliau dalam setiap pertemuan
maupun ceramah politik yang dibacakan oleh Malik Mahmud di Masjid Raya
Baiturrahman di depan ribuan massa rakyat Aceh yang menjemput kepulangan
beliau. Seperti ungkapan beliau  "Di dalam perang kita telah banyak pengorbanan,
akan tetapi dalam kedamaian kita harus bersedia berkorban lebih banyak lagi.
Memang, biaya perang sangat mahal akan tetapi biaya memelihara perdamaian jauh
lebih mahal. Peliharalah perdamaian ini untuk kesejahteraan kita semua". Lebih lanjut
beliau menjelaskan "perundingan perdamaian yang panjang seru dan alot antara
pihak GAM dan pihak Pemerintah Indonesia di Helsinki, Finlandia. Telah menghasilkan
kesepakatan yang dinamakan memorandum of Understanding ataupun yang lebih
dikenal dengan MoU Helsinki. Yang ditandatangani oleh pihak GAM dan RI pada 15
Agustus 2005 adalah merupakan dasar pijakan hukum bagi terciptanya kebebasan
dan perdamaian yang menyeluruh, berkelanjutan serta bermartabat bagi semua
pihak". Ungkapan serta nasehat Wali ini mengandung makna yang sangat jauh ke
depan sebagai pandangan kepada rakyat Aceh untuk membina perdamaian serta
perjuangan Aceh ke depan.
Pidato Wali  mengandung makna yang tersirat kepada seluruh rakyat Aceh untuk
membangun perdamaian serta perjuangan politik dalam lunas-lunas demokrasi.
Demi tercipta self goverment  bagi rakyat Aceh sesuai dengan ketetapan yang telah
digariskan dalam perjanjian Helsinki. Wali mengajak seluruh rakyat Aceh untuk
dapat membaca arah serta perjuangan Aceh yang telah beliau gariskan. Perjuangan
bersenjata telah beliau tinggalkan seiring penandatanganan perjanjian Helsinki.
Kini perjuangan rakyat Aceh memasuki perjuangan politik untuk menentukan masa
depan Aceh yang lebih bermartabat. Ceramah Wali juga seirama dengan nasehat
beliau di Hotel Concorde Syah Alam Selangor, beliau mengajak rakyat Aceh agar
tidak lupa sejarah. Dalam konteks ini adalah berkaitan dengan sejarah perjuangan
politik rakyat Aceh serta sejarah kejayaan Aceh ketika masih berdiri teguh sebagai
satu wilayah yang bermartabat.

130 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
Kini Wali telah meninggalkan Aceh untuk sementara waktu setelah berada
di Aceh selama 14 hari, beliau telah kembali ke negara Swedia sebagai tempat
perjuangan beliau selanjutnya. Kepulangan serta kepergian Wali bukan berarti beliau
meninggalkan rakyat Aceh untuk selama-lamanya, hati beliau selalu dekat dengan
rakyat Aceh. Walaupun beliau berada jauh di negara Swedia, akan tetapi arah serta
pandangannya selalu memantau perjuangan politik rakyat Aceh. Apakah rakyat
Aceh dapat menangkap pesan-pesan yang telah pernah beliau sampaikan.  Apakah
perjuangan politik akan memihak rakyat Aceh, dengan kemenangan wadah politik
yang telah Wali perjuangkan serta wariskan ataupun sebaliknya. Inilah beberapa
pertayaan dan pemikiran yang akan selalu menjadi wacana bagi Wali untuk terus
memantau perjuangan politik Aceh walaupun dari jauh.     
Dengan demikian perjuangan politik Aceh ada di tangan rakyat , tiada siapapun
bisa memaksa kehendak rakyat, suara rakyat adalah suara perubahan. Kalau rakyat
Aceh menghendaki perubahan, tiada siapapun bisa menghalang kehedak tersebut,
begitu juga sebaliknya. Kita hanya bisa berharap mudah-mudahan rakyat Aceh bisa
menentukan masa depan Aceh yang lebih bermartabat dalam arena perjuangan
politik ke depan. Bukankah lunas-lunas perjuangan demokrasi untuk Aceh telah
digariskan dalam perjanjian Helsinki, sehingga kesempatan itu tidak menjadi sia-sia
tetapi sebaliknya dapat dimanfaatkan oleh seluruh rakyat Aceh untuk kemenangan
perjuangan  Aceh sesuai dengan perjuangan yang telah digariskan oleh Wali. Kita
tidak mau nasib serta perjuangan rakyat Aceh selalu berada di pinggir jalan tanpa
ada suatu perubahan, Seumpama ungkapan dalam syair sebuah lagu Aceh "Aceh
ibarat intan meusambong, seulingka hasee bumoe punoh deungon gas, tapi peuseubab
hina tatanggong, luka Aceh lon  sayang  leupah that parah" Wallahu a’lam.***

WA L I D A N P E R J UA N G A N R A K YAT AC E H 131
Suadi (Adi Laweuëng) Sulaiman
Mantan jurubicara GAM Wilayah Pidie, Anggota DPRK Pidie 2009-2014 dari Partai Aceh
dan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jabal Ghafur Sigli

Lubang Hitam di Era Transisi Aceh

Sebuah dinamika berlangsung di masa transisi yang sedang kita lalui ini, praktik
perdamaian terus diupayakan untuk dipertahankan, namun dicabik dengan pernak
pernik yang berwarna-warni. Pernak pernik ini tidak akan luntur dengan siraman
rintik hujan saja, terutama permasalahan kesatuan dan persatuan bangsa serta
agama yang mengarah kepada suatu perpecahan, dan sebagainya.
Hal ini telah membuktikan bahwa, proses perdamaian di Aceh belum mampu
dipahami oleh berbagai lapisan masyarakat yang berdomisili di tanah warisan
Sultan Iskandar Muda. Kesadaran “penghuni wilayah barat Sumatra” belum bisa
diandalkan, malah degradasi moral menurun secara signifikan pascapenandatangan
MoU Helsinki 15 Agustus 2005. Merespon suasana yang demikian, para pihak harus
memikirkan solusi terbaik untuk Aceh, supaya selamat dari konflik lanjutan.
Semua stakeholders yang bertanggungjawab atas proses damai Aceh, harus
menjaga agar tidak muncul persoalan-persoalan semula, tamsilan pepatah
Aceh “lam hudép tameu-saré, lam glé tameu-bila, lam lampôh tameu-tulóng
alang, lam blang tameu-sjèëdara.” Artinya, persaudaraan itu lebih baik dari saling
tuding menuding, kita semua harus kompak dan sepakat dalam menjaga proses
pelaksanaan perdamaian di bawah pemerintahan baru. Kalau tidak, akan terus
menjadi objek provokasi orang yang tidak ingin Aceh damai, karena “hudép prang
dengòn taki, dan hudép kheunduri dengòn do’a, (berjalan perang dengan siasat
gerilya, dan berjalan kenduri/pesta dengan doa).
Barangkali bisa kita simpulkan bahwa, Serambi Mekkah kini telah tiba pada
suatu hari yang biasa, pada suatu ketika yang telah kita ketahui. Apakah kita akan
bisa minum susu dan tertidur dengan lelap, inilah pertanyaannya.
Damai Aceh telah berlangsung empat tahun yang lalu, kedua pihak telah
melakukan kewajibannya masing-masing. Upaya demi upaya terus dilakukan untuk
mensosialisasikan, implementasi serta menjalankan hasil kesepakatan bersama,
termasuk dalam menyukseskan pemilihan kepala daerah (pilkada) 11 Desember
2006 dan pemilihan umum 9 April 2009 lalu.
Pelaksanaan Undang Undang Pemerintahan Aceh (UU-PA) pun telah dirumuskan
dalam paket Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006, walaupun masih ada pasal-
pasal dan poin-poin yang menjadi harus diamandemenkan. Ini merupakan ruhnya
bagi Pemerintahan Aceh ke depan demi mewujudkan proses damai yang hakiki
dan berkelanjutan, setelah hal-hal yang masih krusial diamandemenkan, seperti
penegasan tentang pembagian kewenangan serta kekuasaan antara Pemerintah
Pusat dengan Pemerintahan Aceh, Pengadilan HAM, begitu juga dengan point-
point lain, seperti pasal 4 UU PA, butir 1.1.2 huruf (a) MoU Helsinki, pasal 7 ayat 2
UU PA, butir 1.1.2 huruf (a) MoU Helsinki, dan lain-lain sebagianya.
Ini merupakan bagian dari tidak optimalnya penanggungjawab Aceh dalam
mensosialisasikan sikap anti kekerasan dan cinta damai kepada masyarakat yang
menjangkau ke seluruh pelosok desa. Padahal, kesempatannya sangat terbuka,
termasuk melalui pendidikan sekolah. Ada baiknya, pihak pemerintah daerah
(Pemda) memprogramkan mata pelajaran baru dalam kurikulum pendidikan.
Program yang dimaksud tentunya muatan lokal baik bahasa daerah, peradaban
dan peradatan daerah maupun yang berkaitan dengan kedamaian serta hak asasi
manusia (HAM).
Pasca-Aceh Monitoring Mission (AMM) habis masa tugasnya, sosialisasi atau
kampanye damai jarang dilakukan. Berbagai bentuk workshop dan training yang

134 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
dilakukan tidak pernah berkaitan dengan perdamaian.
Dengan demikian, kini kita singsingkan lengan baju serta langkah serentak
untuk membekali definisi damai kepada masyarakat agar damai bisa bertahan, baik
lewat media, workshop, training dan sekolah. Minimal, harapannya generasi muda
kita ke depan tidak mengalami degradasi moral serta paham tentang anti kekerasan
dan cinta damai. Dalam hal ini juga, para stakeholders harus menyiapkan kerangka-
kerangka kausalitas dengan mengidentifikasikan cikal bakal potensi konflik baru,
selanjutnya segera ditutupi.
Potensi konflik ini tidak hanya saja muncul dalam persoalan konflik langsung
(direct conflict), tapi juga konflik yang tidak langsung (indirect conflict). Tak lupa
mengenai sosial, ekonomi dan budaya, pepatah Aceh mengatakan “Ureuëng aréh
hantom kandjai, ureuëng meu-akai hantom binasa, (orang yang arif tidak pernah
rugi, orang yang bisa berpikir tidak pernah binasa).” Mungkin dengan beberapa narit
éundatu menjadi pelajaran bagi kita untuk memberi konstribusi bagi perdamaian
ini agar tetap sejati dan utuh.

Potensi konflik baru


Potensi munculnya konflik baru belakangan dipicu oleh belum tuntasnya
pelaksanaan proses damai, ketersediaan dana reintegrasi, jaminan sosial bagi
masyarakat dan kemudahan ekonomi serta akses kesehatan yang merupakan
kebutuhan utama, masyarakat belum menerimanya pemenuhan hak keadilan
dan penjagaan harga diri, serta kapasitas kelembagaan pemerintah yang belum
memadai juga perebutan kekuasaan dalam kancah politik nasional dan lokal.
Belum lagi dari kesenjangan sosial yang lahir antara korban konflik dan korban
tsunami, gesekan antara pengikut partai politik nasional dengan partai politik lokal
menjelang dalam pemilu 2009. Konkritnya adalah, dalam pembagian kompensasi
nilai politik antara elit, sebagai bukti kita telah melihat kasus-kasus penolakan
terhadap keputusan hasil pemilu 9 April 2009 yang lalu, kendatipun selanjutnya
ditetapkan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi.
Sebagai langkah antisipatif kemungkinan-kemungkinan di atas, pemerintah
pusat dan daerah serta semua stakeholders harus mengarahkan komunitas

LU B A N G H I TA M D I E R A T R A N S I S I AC E H 135
masyarakat untuk anti kekerasan serta cinta damai, setiap upaya konflik serta
pelakunya adalah musuh bersama. Format yang partisipatif dari masyarakat dalam
mengatur strategi serta mekanisme keamanan di setiap gampong, terutama dengan
memperdalami hukum-hukum adat. Dalam hal ini juga dibutuhkan kepastian
hukum yang memunculkan mekanisme rekonsiliasi untuk menyelesaikan masalah-
masalah yang belum tuntas dengan model bebas intervensi, serta rehab rekon
berversi perdamaian.

Negara Vs Masyarakat
Tidak banyak orang yang membayangkan bahwa, reformasi untuk demokrasi
akan membawa perubahan penting pada peran partai politik ke depan dan lahirnya
berdasarkan dorongan banyak elemen. Memang secara umum kepercayaan yang
berkembang adalah suatu insfrastruktur politik baru sangat dibutuhkan oleh proses
demokrasi dan spirit perdamaian yang abadi. Artinya, sebuah perubahan politik
yang lebih mendasar merupakan istilah awal yang dipercayai sebagai tuntutan
dalam perubahan yang dimaksud.
Suatu observasi wacana dominasi tentang reformasi yang merupakan fenomena
elektrik di sepanjang akhir tahun 1997 dan sepanjang tahun 1998 mengasumsikan
masalah terpokok bagi sebuah perubahan di Indonesia terdapat pada negara
(state) dan bukan masyarakat (civil society). Kekuasaan yang korup, sentralistik, dan
pengabaian terhadap hak-hak sipil serta politik rakyat, misalnya dipandang sebagai
sumber utama dari berbagai persoalan yang melilit Indonesia.
Datang dengan gagasan “reformasi total” telah beroperasinya gerakan yang
menuntut perubahan melalui tema-tema demokrasi, HAM, keadilan, rule of law, civil
supremacy dan clean government and good government, walaupun sebagian besar
tidak mempercayai pada sikap revolusioner, akan tetapi semua ini harus diarahkan
kepada proses perdamaian lanjutan di Indonesia, khususnya dalam penyelesaian
konflik Aceh yang sedang dalam masa perdamaian.
Walau datang dari berbagai latar belakang, namun dalam satu wujud yaitu,
wujud perdamaian yang kini sedang dirilis memalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
baik tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Memang, penegasan partai politik

136 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
bahwa, organisasi politik dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara
sukarela atas dasar kebersamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan
kepentingan anggota, masyarakat dan negara melalui pemilu yang termaktub
dalam pasal 1 Undang Undang Nomor 32 tahun 2002 dan Undang Undang Nomor
10 Tahun 2008.
Padahal, mandat MoU Helsinki menegaskan tentang pembentukan partai
politik lokal untuk memberikan konstribusi besar bagi calon-calon pemimpin Aceh
ke depan. Intinya, semua pihak harus bekerja keras demi kelangsungan pemilihan
umum (pemilu) tahun 2009. Mengingat sebelum pemilu berlangsung banyak kasus
yang muncul tanpa dalih. Pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh proses damai
Aceh kini kembali membangkit intifadah baru, dengan asumsi untuk merongrong
keberlangsungan damai.
Pihak yang bertindak sebagai pelaku perang kini telah berbalik tangan, senjata
dijadikan pena. Hal akan mengingatkan kita pada satu pepatah eundatu­ yakni,
Njankeuh, pat udjeun jang hana pirang, pat prang jang hana reuda (Inilah, hujan
mana yang tak teduh, perang mana yang tidak reda). Rasa terimakasih kita kepada
Allah swt yang telah memberikan kita penuh rahmat dan nikmatnya dalam masa
damai Aceh, harus kita tampilkan, begitu juga kepada pihak-pihak yang telah
menyukseskan proses ini.

Terimakasih Kepada Stakeholders


Setelah keikhlasan semua elemen dilahirkan dalam memelihara damai di
Serambi Mekkah ini, proses demi proses pun silih berganti. Katakan saja soal
pemilihan, baik pemilihan kepala daerah provinsi dan kabupaten/kota, pemilu dan
pemilihan presiden pun berbeda. Itu tentu sebuah perkembangan yang sesuai
dengan tuntutan zaman. Inilah namayan, metuka thôn meu-laen udjeun, meutuka
djameun ka laén tjara (berganti tahun lain hujannya, berganti zaman juga lain
caranya).
Setelah perang reda serta zaman berganti, keihklasan pun berubah dalam
waktu yang bersamaan. Ikhlas menjaga perdamaian, ikhlas pula dalam memilih
pemimpin. Alhamdulillah, masyarakat di Aceh dan Indonesia tidak salah pilih, kita

LU B A N G H I TA M D I E R A T R A N S I S I AC E H 137
berharap kepada mereka-mereka yang terpilih tidak asal bicara, karena yang rakyat
butuhkan adalah kerja nyata. Kita tidak mengharapkan pemenang baik partai
politik nasional maupun partai politik lokal yang lahir dari rahim MoU Helsinki akan
keok dengan janjinya sendiri. Tentu saja itu semua tidak terjadi, jangan sampai
terjadi tjèt langet!
Kenapa jangan tjèt langet? Keterpurukan Aceh pascakonflik dan bencana sangat
jelas, maka tidak perlu bernari-nari di punggung rakyat, baik dengan dalih korban
konflik maupun korban bencana yang berasumsi demi kepentingan rakyat. Padahal,
yang terjadi di lapangan terhadap rakyat adalah “demikianlah…!”
Perjanjian Helsinki telah melahirkan banyak kemudahan bagi elemen masyarakat
Aceh, antara lain proses pemilu 2009 telah berhasil dan dimenangkan oleh Partai
Aceh, partai made in ex combatan. Mulai kini, diharapkan Aceh akan berada dalam
suasana yang penuh idaman dan harapan, pemenang pemilu bisa selalu peka,
mampu berbicara dan menulis tentang ketidakadilan dalam lingkup publik serta
mengutarakan ketertindasan sekali menjadi solusi dalam penyelesaian.
Dalam teori perpolitikan dan teori-teori lainnya, jika disikapi secara positif,
semakin banyak kompetitor, maka sebaik-baik pelayanan yang dinikmati oleh
publik. Apalagi, nantinya hanya satu jurus yang akan ditampilkan, yaitu berjuang
untuk kepentingan rakyat Aceh di bawah paying perdamaian.
Harapan kita untuk ke depan, semua anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
dari berbagai partai politik yang ada agar bisa bekerjasama dengan baik demi
kepentingan Aceh dan rakyatnya. Sisi ini barangkali harus dijadikan komitmen
para wakil rakyat masing-masing, mengutip satu iklan minuman bahwa, “ngomong
boleh apa saja, tapi minumnya tetap teh sosro,” agar negara (Aceh) diuntungkan dan
kita pun diuntungkan.
Sebagai natijah dari tulisan ini, kembalikan Aceh ke asalnya dengan keikhlasan
dalam menjaga proses damai yang telah disepakati dalam Perjanjian (MoU) Helsinki,
Finlandia kinerja para angota dewan ke depan bisa menjadi ubat peunawa Aceh
yang sudah lama terluka.
Salam damai!***

138 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
Yunidar Z.A

Pasar Perdamaian

“Ulon peu troeh sigoe teuk bak droeneuh adak beusingeh ulon woe bak Allah,
dame njoe neujaga, dame nyoe beuneupejak,
beu jroeh keu geutanyoe mandum sampe keu aneuk tjutjo”
(Dr. Muhammad Hasan - Gema Damai
Nomor 4 Minggu II Desember 2008 hal 7-11)

Sejarah panjang tentang Aceh bukan saja pergolakan dengan kekerasan yang
muncul di permukaan tapi sebenarnya perebutan terhadap alam yang berlimpah
dengan isinya dan juga perdamaian di atas kertas terhadap pengakuan kebesaran
Aceh. Celakanya damai dan perang bagaikan roda berputar. Ada kearifan lokal yang
dapat menyelesaikan berbagai perkara dalam kehidupan masyarakat di Aceh lewat
adat yang bersendikan syariat.
Aceh bukan hanya sekarang sebagai sebuah peradaban yang hanya dikenal
dengan perlawanan masyarakatnya akan tetapi bagaimana peradaban, ilmu
pengetahuan dan berbagai kreatifitas masyarakatnya menjadi suatu yang sangat
menarik untuk dikaji, diteliti lebih lanjut. Dukungan Sumber Daya Alam yang sangat
berlimpah ruah menjadi Aceh sebagai sumber kehidupan  yang sangat menjanjikan
bukan saja terhadap orang Aceh namun juga terhadap bangsa luar yang telah
singgah lewat pelayaran di masa lalu seperti portugis dan berdiam di Aceh.
Dalam perjalanan laut sejarah bangsa-bangsa besar dunia ini pasti ada
persingungan Aceh dengan kekuatan dan pemaksaan terhadap nilai-nilai yang
diyakini ada pula penyelesaian lokal yang memang menjadi landasan “hukum’
yang dipatuhi kesepakatan-kesepatakan perlindungan terhadap kemanusiaan
dan lain-lain.
Orang Aceh membangun gampong (desa) suatu kehidupan kelompok,
ketergantungan, gotong royong, membangun rumah. Lebih unik lagi tercermin
dalam sistem demokrasi yang mereka realisir dalam mengukuhkan persaudaraan
saling membantu, bahkan antar-gampong saling butuh satu dengan yang lain
dan saling isi mengisi dengan kebutuhan sehinga mendapatkan kesejahteraan
ketentraman bersama, tersusun, berwibawa, megah. (Aceh Sepanjang Abad. H.
Mohammad Said. 1991, hal 13.)
Kehancuran kemudian terjadinya kemunduran Aceh akibat dari keinginan
bangsa luar untuk mendapatkan keuasaan agar dapat menjalankan ekonomi
negerinya agresi penjajah Belanda pertama ke Aceh 4 April 1873 awal dari bencana
sosial yang berkepanjangan. Angkatan Perang Belanda yang telah direncanakan
menyerbu Aceh dipimpin oleh Jenderal Mayor J.H.R Kohler, sebagai Panglima Perang
Tertinggi. Perang yang sangat dahsyat ini akhirnya menewaskan Kohler. Namun
demikian pihak Aceh dan Belanda sama-sama menanggung kerugian. Setelah kalah
perang agresi pertama kemudian Bekanda datang dengan strategi baru  untuk
menyusup ke dalam istana Raja Aceh pada waktu itu mata-mata Belanda seorang
keturunan Raja Padang , semua data-data terhadap kekuatan dan kelemahan pihak
Aceh dilaporkan kepada pihak Belanda sehingga dalam agresi selanjutnya kekuatan
Dalam telah diketahui dan pasukan Aceh dapat ditaklukkan oleh Belanda, kerugian
luar biasa di pihak Aceh masa inilah awal mula perang pendudukan Belanda,
kemudian konflik dengan kekerasan berkepanjangan di Aceh.

Konflik dengan Kekerasan


Belanda membangun kekuasaan di Kutaraja. Namun demikian tidahlah serta-
merta Aceh ditaklukkan secara sporadis terus terjadi perlawanan terhadap Belanda.
Setelah Belanda pergi datang pula penjajahan Jepang dan selanjutnya terjadi
revolusi sosial yang memberlebar jurang kebodohan akibat banyaknya korban
orang-orang cerdik pandai yang baru pulang belajar baik dalam maupun luar
negeri.

140 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
Konflik di Aceh masih berlanjut dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI), terjadinya konflik akibat dari kepentingan Pusat terhadap kekayaan alam Aceh
dan ekploitasi besar-besaran tidak menjadikan masyarakat Aceh hidup sejahtera,
kemiskinan di mana-mana. Tingkat pendidikan dan pendapatan menjadikan
masyarakat tidak bahagia ditambah dengan tekanan terhadap nilai-nilai yang telah
turun-temurun menjadikan kompleksitas konflik demikian kompleknya bagaikan
menegakkan benang yang basah demikian keadaan yang terjadi di Aceh
Operasi militer besar-besaran dan menelan korban yang sangat luar biasa
menjadikan persoalan konflik tidak pernah terselesaikan hanya membangun
masalah baru dalam lingkaran merah (setan) artinya kini bukan hanya konflik
kepentingan tapi sudah merambah ke konflik nilai dan merusak tatanan lokal,
bahkan terjadi pergeseran nilai yang sangat luar biasa, pemaksaan menjadi satu
(tunggal ika) padahal Indonesia bersatu dalam keberagaman (bhinneka) untuk
satu. Keistimenaan Aceh yang diberikan hanya omong kosong belaka tidak dapat
dilaksanakan.
Kepercayaan masyarakat terhadap pusat  menurun dan aktifitas kreatifitas sudah
tidak terlahirkan lagi akhirnya dalam kejumudan dan pemberontakan seperti tidak
ada jalan keluar menatap masa depan Aceh. Pemerintahan di Aceh pernah kacau
balau, pelayanan publik sangat buruk sehinga berpegaruh terhadap stabilitas
dan sosial ekonomi masyarakat yang terus menurun, pengangguran menjadikan
ladang baru terhadap kriminalitas.
Orde Baru tumbang akhirnya terbuka berbagai keburukan masa lalu Orde Baru
bahkan saling tuding-menuding, pengungkapan terhadap kejahatan terhadap
kemanusian membuka lembaran baru untuk reformasi dalam segala lini kehidupan
masyarakat, walaupun pada akhirnya pengungkapan kejahatan terhadap
kemanusian pengungkapan kebenaran berjalan di tempat. Namun upaya untuk
perundingan, kekerasan diupayakan untuk dibawa ke atas meja makan. Dorongan
dari berbagai pihak terutama civil society utamanya organisasi (SIRA) mendapat
simpati masyarakat internasional.
Dukungan dari pihak internasional dan promosi terhadap perdamaian
kemudian dilanjutkan dengan niat baik dari pihak-pihak yang bertikau. Berbagai

PA S A R P E R D A M A I A N 141
upaya perundingan terus digalakkan bahkan dorongan terhadap perbaikan
“reformasi” terus dikumandangkan. Tapi masih banyak pihak yang masih ragu-
ragu terhadap penyelesaian setengah hati dalam negeri terhadap kasus kekerasan
dan pelanggaran HAM di Aceh yang pada akhirnya atas keinginan dan kesadaran
para pihak merelakan terjadi perundingan damai yang difasilitasi aktor masyarakat
internasional.
 
Kesepahaman Damai di Helsinki
Musim salju di Helsinki Finlandia para tokoh pihak-pihak yang bertikai dengan
difasilitasi penggiat perdamaian Hendry Dunant Center (HDC)  berkumpul untuk
melanjutkan perundingan damai dan akhirnya ditandatangani nota kesepahaman
damai antara Republik Indonesia (RI) dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM),
masyarakat Aceh yang menonton acara penandatanganan damai menyambut
gembira dan rasa syukur. Aceh mulai masuk babak baru dalam perdamaian
walaupun banyak kalangan menilai resolusi konflik sebenarnya intervensi alam
gempa bumi yang disertai gelombang tsunami namun upaya terhadap damai dari
aktor jarinya perdamaian harus diberikan apresiasi.
Konteks umum bagi pembangunan perdamaian pascapenyelesaian adalah
apa yang oleh Grener dan Daudelin dinamakan sebagai “Pasar pembangunan
perdamaiaan” di mana perdamaiaan (penghentian kekerasan) diperdagangkan
dengan komoditi lainnya seperti peluang politik (Pemilihan Umum), dan keuntungan
ekonomi (tanah); mempertukarkan sumber-sumber kekuasaan dengan sumber-
sumber lainnya tidak diragukan lagi merupakan tipe penting “perdagangan” dalam
pembangunan perdamaiaan.
Perdamaian yang telah terjadi di Aceh memang ada proses yang sangat
berbahaya dalam hal ini ketika terdapat suasana saling tidak percaya antara para
pihak yang sangat kuat dan para pemimpin tidak hanya bernegosiasi dengan pihak
musuh tetapi juga berjuang untuk memenuhi permintaan yang berbeda dari faksi-
faksi di dalam kelompok mereka (pejuang)  sendiri atau bahkan dengan kelompok
yang mungkin tidak dapat mereka kendalikan “pasukan gelap yang terjadi setelah
perdamaian”.
 
142 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
Bagaimana membangun Aceh
Aceh bagaikan orang yang sedang menderita sakit sehingga tidak mungkin
bangkit dengan sendirinya di sinilah perlu pertolongan dari orang lain untuk
memberikan semangat, obat, pencerahan dan bersama-sama dalam suatu
pemahaman yang sama ketika kembali ke dalam masyarakat. Combatan yang
masa lalunya dalam kehidupan yang tidak menentu kini kembali dalam masyarakat
yang penuh dengan norma dan tata nilai, sangat berbeda dengan “hidup di hutan
rimba” Aceh tidak bisa sendiri bangkit untuk membangun perdamaian, semua
rakyat Indonesia khususnya yang di Aceh harus terlibat untuk mempertahankan
apa yang telah dicapai. Perdamaian lebih baik daripada masa konflik dengan
kekerasan sebelumnya, walaupun ada berbagai keuntungan yang telah dinikmati
oleh jaringan perang pada saat terjadi perang. Harus ada kerjasama dan pondasi
(akar perdamaian) bersama untuk membangun dan mempertahankan perdamaian
yang telah diraih dengan berbagai pengorbanan para pihak yang telah menggeser
kepentingan masing-masing.
Masalah perdamaiaan bukan hanya masalah yang dihadapi oleh para pihak yang
terlibat dalam konflik masa lalu. Tapi harus ada kesadaran dan diangkat kembali ke
permukaan berbagai kearifan lokal masyarat agar terus dihargai untuk melengkapi
apa-apa yang telah disepahami bersama antara para pihak. Pelibatan masyarakat
terhadap pemahaman untuk perdamaian menjadi kewajiban pemerintah dan
aktor-aktor lainnya dan ini mungkin masih dalam pengawasan terus menerus dari
masyarakat internasional sehingga nantinya perdamaian ini utuh dalam berbagai
persoalan dapat diselesaikan yang dihadapi para pihak.
Perdamaian adalah proses untuk lebih baik tidak semudah membalikkan telapak
tangan perdamaian harus dijadikan awal pondasi menuju kesejahteraan bersama.
Perhatian terhadap mantan combatan dan pihak yang mau menghancurkan senjata
dan menukar dengan cangkul untuk selanjutnya menempuh jalan politik terhadap
keinginan mereka.
 
Aceh Pascakonflik dan Wajah Aceh Pascatsunami
Aceh telah melalui dua maslah yang sangat besar dalam sejarah peradaban

PA S A R P E R D A M A I A N 143
manusia. Pertama, masalah konflik dengan kekerasan. Aceh termasuk daerah yang
sangat khas baik sosial budaya maupun dalam religiusitasnya dalam beragama lagei
zat dengan sifeut hampir tidak bisa dipisahkan adat dan kehidupan keberagamaan
di Aceh. Konflik pada masa lalu ada perang yang sangat panjang melawan
penjajahan dengan semangat prang kaphe  memerangi kafir yaitu orang asing yang
telah jelas berniat untuk menguasai tanah Aceh perang ini menelan korban yang
sangat besar baik dari pihak Aceh maupun dari pihak penjajah. Tentang keinginan
untuk menjajah Aceh bukan tidak ada sebab, Aceh kaya dengan sumberdaya alam
dan rempah-rempah yang dapat menghangatkan tubuh orang Eropa. Hasil bumi
terkenal sekali di seluruh penjuru dunia, kemiri, pala, lada, cengkeh, pinang, beras,
coklat, kelapa dan lain-lain.
Tsunami pada tahun 2004 memberi pelajaran yang sangat berharga terhadap
pemerintah Indonesia terhadap penanganan bencana yang belum profesional
keterbatasan alat juga terisolasinya Aceh sebagai daerah ’tertutup’ Operasi Militer
pada masa tersebut, hanya orang-orang tertentu yang bisa masuk ke Aceh. Tsunami
membuka lintas batas kawasan Aceh menjadi wilayah ”terbuka” masyarakat
internasional tanpa perlu persetujuan (intervensi kemanusian) masuk memberikan
bantuan kemanusian. Ribuan mayat berserakan tidak mungkin dapat dibersihkan
oleh pemerintah Indonesia saja, dan akhirnya Pemerintah mengakui keterbatasan
memberikan apresiasi terhadap masyarakat internasional yang telah membantu
pemulihan bencana alam, dan juga terlibat dalam perdamaian Aceh.
Tugas yang berat bangsa Indonesia bagaimana mengawal proses perdamaian
di Aceh berjalan dengan baik dapat memberikan kontrol pemantauan kepada
pemerintah terhadap keberlangsungan perdamaian. Pemerintah juga dapat
memberikan perhatian khusus terhadap kelangsungan kebutuhan ekonomi
mereka dan kelangsungan hidup, pendidikan dan kesejahteraan keluarga pihak
yang yang terkena dampak daripada konflik kekerasan, dengan berbagai program
tugas pokok untuk mensejahterakan masyarakat seluruhnya.

Kesimpulan dan Saran


Mengurai Aceh bagaikan mendalami mimpi yang sangat indah dan ketika

144 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
terbangun dari mimpi Aceh masih tertinggal dan jauh dari masa lalu yang gemilang.
Membangun yang telah dicapai dan menata kembali yang masih jauh dari kenyataan.
Sumberdaya alam masih berlimpah namun sumberdaya manusia jauh tertinggal
dan terbelakang dalam berbagai aspek. Masyarakat juga harus mengambil proses
berbagai kebijakan demokrasi yang telah dicanangkan oleh Pemerintah Aceh,
persiapan secara konprehensif untuk bangkit kembali menggapai cita-cita dalam
harapan kesejahteraan, dan harapan untuk mempertahankan perdamaian yang
telah dicapai dengan susah payah dengan tidak kehilangan muka para pihak.
Ancaman terhadap perdamaian adalah pengangguran, kemiskinan, akses
terhadap ekonomi, rendahnya tingkat pendidikan, menjadi tantangan bagi
keberlanjutan perdamaian di Aceh. Semoga komitmen Pemerintah Aceh dan
para pihak terhadap perdamaian bukan saja sebagai sesuatu yang bisa-bisa
saja. Tapi perdamaian harus ditata, dipromosikan, dan distrukturkan yang dapat
membongkar akar masalah yang sedang kita hadapi sehingga akhirnya terjadinya
resolusi konflik permanen sampai ke anak cucu kita.***

PA S A R P E R D A M A I A N 145
Bustami Abubakar
Dosen Antropologi pada Fakultas Adab IAIN Ar-Raniry

Menjaga Perdamaian, Memupuk Kearifan Lokal

Aceh pascatsunami adalah Aceh yang baru. Dari aspek pembangunan, kebaruan
itu terlihat dari tersedianya ragam sarana dan prasarana publik yang lebih baik. Tata
ruang wilayah terutama kawasan perkotaan juga terlihat lebih asri dan terbuka,
sehingga kesan sumpek dan awut-awutan relatif mengalami degradasi, kendati
dalam taraf yang belum maksimal. Dari aspek sosial budaya, Aceh yang baru pun
mudah diamati. Munculnya para borjuis baru yang didominasi oleh kalangan muda
merupakan sebuah indikasi terjadinya pergeseran kelas sosial dalam masyarakat.
Prilaku masyarakat juga mengalami perubahan yang cukup drastis sebagai
konsekuensi dari kosmopolitanisme Aceh terhadap kedatangan bangsa-bangsa
asing dari berbagai pelosok bumi.
Dari aspek politik, kebaruan Aceh pascatsunami berpunca dari penandatanganan
MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005. Kendati penandatanganan MoU itu merupakan
klimaks dari proses panjang yang telah dilakukan oleh kedua pihak bertikai plus
mediator asing, namun musibah tsunami tampaknya menjadi pelecut bagi
terbukanya gerbang perdamaian bagi Aceh. Inilah pembuktian dan hikmah yang
diberikan Tuhan kepada masyarakat Aceh melalui kalam-Nya yang Maha Benar:
“Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan” (Q.S. 94:6).
Aceh pascakesulitan, baik karena konflik politik yang demikian panjang
maupun karena musibah gempa dan tsunami, adalah Aceh yang memiliki banyak
kemudahan. Kemudahan itu dikarenakan oleh tersedianya sarana dan prasarana
publik yang relatif lebih baik, sehingga memberi akses kepada masyarakat untuk
menjalankan aktivitas keseharian mereka, terutama dalam rangka memutar
roda perekonomian. Kemudahan itu juga dikarenakan oleh banyaknya lembaga-
lembaga donor yang memberikan ragam bantuan kepada masyarakat, sehingga
mereka dapat lebih terberdayakan. Kemudahan lain yang cukup penting dan vital
adalah situasi dan kondisi daerah yang semakin baik, tenang, damai, dan kian
menjauh dari perang, sebagai manifestasi dari MoU Helsinki.
Lalu, setelah kemudahan-kemudahan itu kita peroleh, apa langkah berikutnya?
Merujuk kepada Q.S. 94:7, Allah menyeru Muhammad SAW untuk tidak berpangku
tangan manakala suatu pekerjaan telah berhasil dilakukan. “Maka apabila engkau
telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang
lain). Ayat inilah sejatinya yang menjadi referensi utama kita dalam menjaga
keberlangsungan ragam kemudahan yang telah diperoleh pascatsunami dan MoU
Helsinki. Ini bermakna bahwa menjaga dan melestarikan perdamaian menjadi
sebuah keniscayaan, tanpa dapat ditawar.

Beberapa Agenda
MoU Helsinki ternyata telah membawa perubahan di Aceh di luar perkiraan
banyak orang. Di antara butir MoU yang memberi peluang besar pada perubahan
masa depan Aceh adalah kewenangan menjalankan tata pemerintahan Aceh secara
khusus dan berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Kewenangan ini disahkan
secara yuridis melalui UU RI No. 11 Tahun 2006, yang kemudian dikenal dengan
nama Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Kehadiran UUPA sama sekali tidak bermakna bahwa Aceh telah menjadi bagian
yang terpisah dari kedaulatan Indonesia. Mengingat sebagian masyarakat Aceh
dalam masa konflik telah menyatakan secara eksplisit hendak memisahkan diri dari
NKRI, maka ketika MoU Helsinki ditandatangani, keinginan seperti itu mau tak mau

148 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
harus dicairkan. Oleh karena itu, langkah awal yang perlu dilakukan dalam upaya
menjaga perdamaian adalah memperkuat semangat reintegrasi masyarakat Aceh
yang sebelumnya telah mengalami penyusutan. Semangat reintegrasi ini tidak
bisa dihembuskan melalui doktrin-doktrin nasionalisme, bualan-bualan politik
konyol, atau bahkan janji-janji dari ”syurga”, melainkan melalui sikap yang tidak
diskriminatif, bersahabat dan damai yang ditunjukkan oleh Pemerintah Indonesia
kepada masyarakat Aceh. Jika semangat reintegrasi ini berhasil dipupuk dan
bersemi dengan baik, maka itu akan menjadi salah satu garansi bagi lestarinya
perdamaian di bumi Aceh.

Kebijakan yang Pro Rakyat


Kewenangan menjalankan pemerintahan Aceh dengan otonomi yang sangat
luas di tengah melimpahnya dana pembangunan yang berasal dari negara-negara
donor dan kompensasi dana Migas Aceh, senyatanya menjadi modal utama bagi
Pemerintah Aceh di bawah duet Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar untuk
membangun Aceh baru, yaitu Aceh yang bebas dari penindasan kemanusiaan
dan kapitalisme. Pembangunan Aceh baru sejatinya berbasis pada pemberdayaan
ekonomi rakyat. Pemda Aceh sepatutnya membangun infrastruktur daerah yang
memadai yang memudahkan akses bagi peningkatan produksi dan pemasaran
hasil-hasil bumi yang dikelola oleh masyarakat setempat. Sekadar contoh, sudah
saatnya Aceh memiliki industri pengolahan hasil bumi, sehingga petani Aceh
tidak langsung menjual hasil panen yang masih mentah ke Medan sebagaimana
yang terjadi selama ini. Dalam kondisi seperti sekarang, hal itu sangat mungkin
dilakukan dengan atau tanpa harus menunggu investasi dari negara asing. Sejauh
ini Pemda Aceh terlihat sangat intensif berkunjung ke berbagai negara dalam
rangka mengajak pihak asing untuk berinvestasi di Aceh. Pemda tentu punya
alasan tersendiri mengambil kebijakan demikian. Akan tetapi, kebijakan tersebut
diharapkan tidak sampai menjerumuskan Aceh ke dalam bentuk penjajahan
ekonomi baru dan terjerembab ke dalam pusaran kapitalisme internasional.
Masyarakat Aceh kini tengah menanti kebijakan Pemda untuk meletakkan
dasar-dasar pembangunan yang berorientasi pada peningkatan hajat hidup dan

M E N J AG A P E R D A M A I A N , M E M U P U K K E A R I FA N LO K A L 149
kemakmuran rakyat, hal mana yang telah cukup lama absen sebagai akibat dari
gejolak politik di daerah ini. Prasyarat untuk itu tentu saja wujudnya pemerintahan
yang baik, bersih, dan berwibawa (clean & good governance), yaitu pemerintahan
yang ditegakkan atas prinsip partisipasi, penegakan hukum, transparansi, responsif,
orientasi kesepakatan, keadilan, efektivitas dan efisiensi, serta akuntabilitas.
Selain itu, dukungan dari parlemen juga menjadi sebuah keniscayaan. Jika tidak,
kebijakan yang dihasilkan tidak akan bermuara pada peningkatan kesejahteraan
rakyat, melainkan akan berupa penggelembungan kesejahteraan golongan yang
telah sejahtera.

Masyarakat Equilibrium
Jika kebijakan pemerintah yang memihak pada peningkatan kesejahteraan
hidup rakyat telah dapat ditetaskan, maka strategi berikutnya adalah membuka
akses kepada masyarakat untuk menapaki tangga-tangga menuju kesejahteraan
itu. Akses tersebut sejatinya dibuka secara proporsional dan jauh dari diskriminasi.
Sehingga setiap anggota masyarakat Aceh memiliki kesempatan yang sama untuk
hidup sejahtera. Akses dimaksud dapat berupa pendidikan, kesehatan, lapangan
kerja, pemerolehan informasi, pembayaran upah berdasarkan prinsip keadilan,
penyaluran bantuan yang tepat sasaran, pembagian pendapatan atau tunjangan
yang berimbang, dan sebagainya. Jika ini dilakukan, maka kesenjangan sosial akan
semakin sempit yang berimplikasi pada mengerucutnya tindakan-tindakan anti
sosial, seperti perampokan, pencurian, pembunuhan, dan lain-lain.
Realitas sekarang memperlihatkan kesenjangan sosial yang begitu menganga
dalam kehidupan masyarakat Aceh. Persis bak syair yang dinyanyikan Rhoma
Irama: “yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin.” Perbedaan pendapatan
antara yang paling tinggi dengan yang paling rendah mencapai ratusan kali lipat,
sehingga menimbulkan siklus patron dan klien. Yang lebih mencengangkan adalah
disparitas tunjangan jabatan antara pegawai tingkat provinsi dengan tingkat
kabupaten/kota yang begitu senjang. Situasi ini dapat memicu kecemburuan sosial.
Dan ini merupakan bom waktu bagi ledakan social disorder.
Sudah waktunya kita membangun sebuah masyarakat equilibrium, yaitu

150 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
masyarakat baru yang memiliki keseimbangan (Effendy (2003:3). Masyarakat
equilibrium mengenal konsensus sosial, seperti kelas dan status sosial, tetapi
masyarakat ini hampir tidak menyadari adanya kesenjangan sosial. Masyarakat
equilibrium menisbikan superiority complex, mengecam homo homini lupus, dan
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.

Pelestarian Budaya Lokal


Menjaga kelestarian budaya Aceh (lokal) merupakan salah satu strategi penting
yang harus dilakukan untuk menjaga kelestarian perdamaian. Apa hubungannya
pelestarian budaya lokal dengan pelestarian perdamaian? Bagi saya, pembangunan
pascakonflik dan pelestarian perdamaian adalah sebuah proses dan sasaran yang
hendak dituju. Rentetan sebuah proses dan ketercapaian suatu sasaran sangat
ditentukan oleh aspek manusia sebagai subjek pelakunya. Karena itu, memahami
karakter dan budaya pelaku perdamaian menjadi sesuatu yang urgen dan sine qua
none.
Jika budaya masyarakat setempat tidak mengenal konsep perdamaian (natural
society), maka setiap konflik yang terjadi antarindividu atau kelompok masyarakat
itu akan cenderung diselesaikan dengan kekerasan. Lantas, bagaimana halnya
dengan budaya Aceh? Pada dasarnya, masyarakat Aceh adalah masyarakat yang
cinta perdamaian, sebagaimana anjuran agama Islam yang mereka anut. Semangat
cinta damai ini terekspresikan secara eksplisit melalui pemberian salam dengan lafal
“assalamualaikum” manakala seorang Aceh berpapasan dengan teman-temannya
bahkan dengan orang yang belum dikenal sekalipun. Jika seorang Aceh baik laki-
laki maupun perempuan bertemu dengan teman lama, kerabat yang jarang bersua,
atau orang-orang yang mereka hormati, maka setelah mengucapkan salam, mereka
saling bersalaman.
Budaya salam, baik melalui ucapan maupun berjabat tangan, ketika saling
bertemu dan berpisah, sesungguhnya merupakan ajaran bagi orang Aceh untuk
hidup damai dengan segala makhluk Allah di muka bumi. Prinsip hidup damai
sangat penting bagi orang Aceh, karena itu ia akan dipertahankan secara sungguh-
sungguh. Oleh karena itu, jika ada pihak luar yang mencoba mengganggu

M E N J AG A P E R D A M A I A N , M E M U P U K K E A R I FA N LO K A L 151
kedamaian orang Aceh, maka akan diperangi, sebagaimana halnya orang Aceh
memerangi Belanda. Akan tetapi, bila kedamaian itu terusik oleh sengketa
antarwarga masyarakat Aceh sendiri, maka sengketa itu akan dicarikan solusinya
melalui kearifan budaya lokal yang biasanya dimediasi oleh aparatur gampong,
seperti keuchik dan unsur tuha peut.
Semangat cinta perdamaian yang bersemi di kalangan orang Aceh menjadikan
mereka bersikap antipati kepada setiap bentuk pengkhianatan atau permusuhan.
Karena itu, orang Aceh hanya mengenal teman atau sahabat yang setia, yang
benar-benar seperasaan dan sependeritaan dengannya, yang tidak bersikap habis
manis sepah dibuang, yang tidak menggunting dalam lipatan atau menusuk dari
belakang. Untuk sahabat seperti ini, orang Aceh rela mengorbankan apa saja, jika
perlu harga diri dan nyawa pun dipertaruhkan.
Dalam buku-buku yang ditulis oleh orang-orang Belanda pada masa lalu, ada
yang menyebutkan bahwa orang Aceh itu pendendam. Akan tetapi, sejarawan
Aceh, Rusdi Sufi (2004:23), menolak karakteristik pendendam yang ditabalkan
orang-orang Belanda terhadap masyarakat Aceh. Menurutnya, sesuai dengan
ajaran agama Islam, orang Aceh sebenarnya hanya mengenal kata tueng bila
(menuntut bela). Sekilas konsep balas dendam dan tueng bila sulit dibedakan,
namun jika ditelaah lebih jauh maka perbedaan keduanya terlihat secara nyata. Al-
Quran melarang manusia melakukan balas dendam namun mewajibkan qishash.
Istilah yang terakhir disebutkan itulah yang dimaksud dengan tueng bila dalam
terminologi Aceh.
Sesuai dengan petunjuk Al-Quran (Q.S. 2:178; 5:45), tueng bila yang dipraktekkan
masyarakat Aceh tidaklah bermotif dendam, melainkan semata-mata dimaksudkan
untuk mengembalikan harga diri atas kerugian atau rasa malu yang telah
diterimanya. Oleh karena itu, sebagai masyarakat yang cinta akan perdamaian,
pertumpahan darah, pembunuhan, atau tindakan lain yang menjatuhkan harga
diri seseorang atau sekelompok orang (kawom) tidak selamanya diselesaikan
dengan pertumpahan darah dan pembunuhan pula, melainkan seringkali diakhiri
dengan cara perdamaian antarkeluarga di bawah tuntunan agama dan adat-istiadat
setempat. Penyelesaian seperti ini kemudian dikenal sebagai perdamaian atas adat

152 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
meulangga, yang dapat dilakukan melalui pembayaran diyat dan peusijuek.

Enkulturasi
Beberapa karakter budaya yang dimiliki masyarakat Aceh tersebut tentu tidak
terlihat kentara lagi pada masa sekarang. Banyak faktor yang mempengaruhi
perubahan karakter tersebut, di antaranya konflik dan tsunami. Akan tetapi,
tampaknya karakter tersebut belum hilang, melainkan hanya memudar atau
dalam proses perubahan. Karena itu, dalam rangka menjaga dan melestarikan
perdamaian di Aceh, kiranya karakter budaya masyarakat Aceh di atas dapat digali
dan ditumbuhkan kembali. Bagaimanapun, ia merupakan sebuah energi potensial
yang dapat diproses menjadi energi kinetik, sehingga dengan memupuk kearifan
lokal budaya masyarakat, perdamaian Aceh pun terselamatkan.
Untuk melestarikan nilai-nilai budaya lokal agar tetap eksis dan berkembang
di tengah pusaran arus perubahan, dapat dilakukan melalui enkulturasi.
Koentjaraningrat (1990:233) mengartikan enkulturasi sebagai proses pembudayaan.
Dalam enkulturasi, seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran
dan sikapnya dengan adat-istiadat, sistem norma, dan peraturan-peraturan yang
hidup dalam kebudayaannya.***

M E N J AG A P E R D A M A I A N , M E M U P U K K E A R I FA N LO K A L 153
Teuku Kemal Fasya
Ketua Komunitas Peradaban Aceh (KPA)
Dosen Antropologi FISIP Universitas Malikussaleh

Perdamaian Itu Seperti Gunung Pasir

Setelah hasil yang menakjubkan atas kemenangan Partai Aceh (PA) pada pemilu
legislatif 9 April (46,9 persen) dan hasil gemilang SBY pada pemilu presiden 8 Juli
di Provinsi Aceh (93,2 persen), apakah perdamaian Aceh akan abadi? Belum tentu.
Tembok-tembok perdamaian tidak ditegakkan oleh kemenangan-kemenangan
politis dan legitimasi eksekutorial. Proses ini memang menjadi dialektika positif,
bahwa seharusnya sejarah bergerak demikian. Namun hari ini tetap hari ini dengan
segala ancaman dan tantangannya. MoU Helsinki memang menjadi rumusan
resolusi konflik yang baik karena memiliki gigi transformasi yang kuat; dari militer ke
sipil, dari pemaksaan kehendak ke negosiasi, dari pokok jih mardeka ke tapeudong
nanggroe lam dame, dari logika el plomo (peluru) ke logika rekonstruksi, tapi itu
belum cukup.
 
Problem Parlemen
Keberhasilan PA pada pemilu legislatif adalah solusi penyelesaian konflik dan
problem sekaligus. Pemandangan DPR Aceh ke depan adalah jawaban yang harus
dinilai secara terbuka. Kelompok luar itu (outsider) kini mendarat di tengah jantung
kekuasaan parlemen. Mereka akan terlibat proses legislasi dan logika administrasi
yang rumit, melelahkan, menggoda, serba kuasa, dan bisa mengatur diri sendiri
(Selbst-Regulierung).
Bisa jadi problem administrasi akan teratasi melalui up grading atau kursus
perumusan anggaran dan tugas kedewanan, tapi seni berdiplomasi tidak
memiliki tempat kursus. Dengan menguasai 33 kursi dari 69 kursi, PA pasti
berhasil menempatkan kadernya sebagai pemimpin dewan. Hampir final PA
akan menggalang koalisi bersama Partai Demokrat yang menguasai 10 kursi.
Ini kombinasi parlok-parnas yang akan menjadi kekuatan mayoritas tunggal di
parlemen. Duet ini tidak mungkin goyah oleh intrik sepuluh partai lain meski mereka
bersatu menggalang mosi atau petisi. Bencana mungkin terjadi jika soliditas fraksi
internal retak oleh kepentingan jangka pendek atau peng bicah.
Kemampuan bernegosiasi dan berperan sebagai legislator secara benar
adalah “teori” bagi partai yang baru pertama terlibat pemilu ini. Sejarah sebagai
pembangkang (dissident) yang keras dan tak suka aturan negara musti dijauhkan.
Komunitas PA harus mampu membangun kelembutan dalam berdiplomasi dan
berkomunikasi publik. Sebagai pelayan masyarakat, sejuta lebih suara Aceh yang
telah menggantungkan kepercayaan pada partai ini patut diterjemahkan dalam
kebijakan yang populis dan demokratis. Jika dahulu komunitas ini hidup di belakang
retorika “demi kebanggaan bangsa Aceh”, kini kebanggaan itu harus diparut dalam
tindakan nyata.
Problem lain yang mungkin berkecambah adalah friksi internal PA. Sejarah PA
sebagai organisasi transformasi GAM yang militeris tidaklah sesolid berita yang
muncul harian. Sudah lama dawai-dawai konflik mengisi politik internal Komite
Peralihan Aceh (KPA), bahkan jauh sebelum muncul kasus “matahari kembar” pada
Pilkada Aceh lalu. Peta selisih yang menyejarah itu tidak sepenuhnya menjadi
arang. Ia bahkan menjadi tunas yang mekar saat muncul politik kepentingan. Ia
seperti benjolan di belakang kepala yang membengkak ketika terjadi tubrukan
interaksi personal atau persaingan antarwilayah (Pase - non-Pase, tokoh lapangan -
tokoh intelektual, pesisir timur - pesisir barat). Problem ini akan terus muncul ketika
kematangan berdiplomasi belum dimiliki.
 
156 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
Problem Pasca-Pilpres
Kemenangan SBY 93,2 persen atau tertinggi senasional merupakan hal yang
tak pernah diperkirakan sebelumnya. Kemenangan ini sekaligus menguak misteri
bahwa perdamaian Aceh adalah pilihan-pilihan yang pragmatis, tidak melulu
idealis.
Seperti diketahui, the man behind a robe perdamaian Helsinki adalah Jusuf Kalla
(JK) ad persona. Beberapa dokumen menyebutkan rintisan perdamaian Aceh telah
dimulai sebelum bencana tsunami. Menurut catatan Farid Husain, salah seorang tim
pelobi perdamaian Aceh melalui memoarnya, To See the Unseen : Kisah di Balik Damai
Aceh (2007), rapat-rapat partikelir antara pihak Indonesia dan GAM telah dilakukan
pada akhir tahun 2004 atau pada masa pemerintah masih memberlakukan darurat
sipil dan itu sepenuhnya langkah berani JK. Diskusi dilakukan di beberapa tempat
seperti di restoran Aceh daerah Benhil Jakarta, di tengah hutan belantara Aceh
Utara, Singapore, hingga Swedia dengan tim yang dibentuk tidak secara resmi.
Ketika tsunami muncul sebagai bencana yang meluluh-lantakkan Aceh, level
perundingan pun meningkat karena ada tuntutan global untuk percepatan
rekonstruksi. Proses dialog pun melibatkan mediator asing. Dialog enam babak
dimulai sejak musim dingin (27-29 Januari 2005) hingga musim panas (15 Agustus
2005) difasilitasi Crisis Management Initiative (CMI) dengan ketua Martti Ahtisaari.
Turut juga seorang intelektual-pengusaha asal Finlandia yang telah dipercayai
GAM, Juha Christensen, yang lebih lanjut banyak berperan dalam sosialisi di akar
rumput melalui lembaganya, Inter-Peace.  
Nota kesepahaman Helsinki adalah berkah perdamaian terbaik bagi Aceh
karena telah bertahan hampir empat tahun. Bandingkan dengan tiga kesepakatan
sebelumnya: Jeda Kemanusiaan (2000), Moratorium Kekerasan (2001), dan Cessation
of Hostilities Agreement/CoHA atau Kesepakatan Penghentian Permusuhan (2002)
yang semuanya gagal berumur lebih dari enam bulan.
Namun ide MoU Helsinki bukanlah mekanisme politik baru. Prinsip-prinsip
CoHA banyak menginspirasi MoU Helsinki. Namun mata sejarah berkabut menatap
masa lalu. Kegagalan CoHA adalah karena terlalu sering muncul perdebatan di
media tentang pelanggaran masing-masing pihak yang bertikai. Saat itu tokoh

P E R D A M A I A N I T U S E P E R T I G U N U N G PA S I R 157
yang gencar membangun sentimen-anti perdamaian Aceh adalah SBY (menjabat
sebagai Menko Polkam). SBY saat itu menuding pihak GAM tidak fair menjalankan
CoHA sehingga mengarah kepada krisis keselamatan negara. Pemerintah juga
siap mengancam dengan tindakan tegas untuk menghentikan CoHA (Kompas,
8/5/2003). Langkah tegas itulah yang diartikan sebagai operasi militer terpadu
yang menjadi prahara kemanusiaan terburuk pasca-Daerah Operasi Militer (DOM),
meskipun pihak yang paling bertanggungjawab adalah Megawati sebagai presiden.
Pada perjanjian terakhir, Helsinki, Presiden SBY juga sempat menolak kehadiran
Partai GAM (sebelum diubah menjadi Partai Gerakan Aceh Mandiri dan terakhir
disetujui bernama Partai Aceh). Menurutnya pembentukan partai lokal dari
kelompok separatis itu tidak sesuai dengan semangat rekonsiliasi, persatuan,
melupakan luka-luka lama, dan kembali ke negara kesatuan R.I (Antara, 10/7/2007).
Namun kenyataan ini tidak bersinergis menjadi dukungan bagi JK pada Pilpres
lalu. Walaupun kehadiran JK saat berkampanye di Aceh disambut meriah oleh tokoh-
tokoh PA, realitas di lapangan sama sekali tidak berbekas. JK hanya mendapatkan
suara kurang dari lima persen di Aceh atau terburuk senasional.
Kekalahan telak JK di Aceh mengakhiri politik simalakama, terutama di tubuh
KPA. Dukungan KPA terhadap JK adalah simpati bathin dan bukan dukungan zhahir.
Hal ini tentu saja terkait iklim politik nasional. Hingga minggu terakhir kampanye
Pilpres, kebanyakan hasil survey menunjukkan pasangan SBY-Boedi unggul jauh dari
pasangan lain. KPA tentu tidak harus mengambil resiko mendukung calon presiden
yang kalah. Lagi pula, secara nasional suara Pilpres Aceh sama sekali tidak signifikan
mendorong agregasi suara. Jika pun suara Aceh sepenuhnya mendukung JK itu
hanya menambah 1,5 persen suara nasional. Apa jadinya jika Aceh mendukung
JK tapi presiden mendatang adalah SBY? Proyeksi inilah yang menyebabkan KPA
mengambil langkah pragmatis yang terkesan kacang lupa kulitnya.
Tentu saja pilihan ini pun bukan bersih dari resiko. Berkaca dari “kepribadian”
politik SBY di masa lalu, perdamaian Aceh tetap berada dalam godaan jika ke depan
parlemen Aceh yang dikuasai PA memainkan politik sentimental yang mengarah
pada isu etnonasionalisme, seperti memaksa amandemen UU No. 11/2006
secepatnya atau tuntutan menerapkan prinsip protektoratisme berlebihan atas

158 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
nama otonomi khusus. Kata self-government yang digaungkan di masa diskusi MoU
Helsinki tidak pernah sepenuhnya diikhlaskan Jakarta. Hal ini dapat memancing
perdebatan NKRI vs anti-NKRI yang tidak produktif.

Epilog
Berkaca dari dua kasus di  atas, tersimpul bahwa potensi perdamaian di Aceh
pun bisa menjadi racun yang membusukkan perdamaian itu sekaligus. Tentu saja
karena situasi sekarang adalah situasi labil pascakonflik karena transisi belum
sepenuh-penuhnya hilang.
Demokrasi masih menjadi ajang “coba dan salah”, belum merasuk sebagai
ideologi yang diyakini dengan penuh kesadaran. Keamanan dan perdamaian yang
dirasakan saat ini adalah momentum pubertas yang lebih banyak dikawal oleh
emosi dan bukan rasionalitas. Gagasan reformasi politik dalam konteks perdamaian
Aceh, yang seharusnya mengarah kepada hubungan masyarakat (society) dan
negara (state), tidak sepenuhnya berjalan secara partisipatif. Masyarakat di Aceh
adalah definisi bagi elite politik dan belum berarti seluruh pribadi-pribadi dalam
komunitas.
Meskipun perdamaian Aceh seperti gunung pasir yang rapuh, ia adalah referensi
terbaik setelah tanah Abu Beureu-eh ini koyak-moyak oleh perang dan air mata
selama lebih seratus tahun. Dari sejak gubernur jenderal Hindia Belanda, J Loudon,
memaklumkan perang di tanah ini (26 Maret 1873) hingga perdamaian ditanda-
tangani di sebuah villa di Vantaa, Helsinki, Finlandia (15 Agustus 2005). Di musim
panas yang terasa sejuk di kulit penduduk masyarakat tropis. Di depan sebuah
danau, ketika angsa-angsa putih asik melayang-layang di seberang jendela.***

P E R D A M A I A N I T U S E P E R T I G U N U N G PA S I R 159
Iskandar Zulkarnaen dan Tubagus Erif Faturrahman
Peneliti pada Pusat Studi Sosial dan Politik Universitas Malikussaleh

Korupsi dan Perdamaian di Aceh

Pendahuluan
Ada yang menilai penyebab terjadinya pemberontakan separatisme Aceh
terhadap Pemerintah RI adalah karena perbedaan etnis atau adanya kebencian
masyarakat Aceh terhadap masyarakat Jawa yang secara kultur dan etnis memiliki
perbedaan. Menurut Heraclides1, pendapat yang mengatakan bahwa separatisme
merupakan karakter dari konflik etnis adalah sebuah kesalahan umum. Memang
secara identitas fisik, terjadi perbedaan antara masyarakat Aceh dengan penduduk
lain di pulau Jawa, Kalimantan atau bahkan Sumatera sekalipun. Tetapi perbedaan
identitas itu tidak cukup memberikan eksplanasi umum mengapa Aceh bergolak.
Separatisme atau secessionisme terjadi bukan semata karena adanya kesadaran
perbedaan identitas kolektif berbarengan dengan adanya diskriminasi dan
ketidakadilan dalam negara.2
Korupsi merupakan salah satu penyebab masalah terjadinya ketidakadilan

1
Alexis Heraclides. “The Ending of Unending Conflict: Separatist War”, Millenium;
Journal of International Studies, Vol.26, No.3, (1997), hlm.683
2
ibid
sosial dan diskriminasi. Tulisan ini bermaksud membahas persoalan korupsi di
Aceh pascaperdamaian yang melahirkan ketidakadilan serta dampaknya terhadap
stabilitas perdamaian.

Memahami Korupsi
Apakah korupsi itu? Definisi korupsi sangat beragam. Secara umum dan paling
populer, berdasarkan definisi World Bank, korupsi adalah the abuse of public power
for private benefit.3 Ini tidak berarti bahwa korupsi tidak merambah sektor privat.
Segala bentuk penyimpangan atau penyalahgunaan untuk kepentingan individu
adalah korupsi, baik bagi mereka yang bekerja di sektor publik maupun swasta.
Makna individu bukanlah semata orang secara personal, tetapi bisa berarti
sekelompok orang, golongan, partai, kerabat, keluarga dan lain-lain. Contohnya,
memberikan proyek pembangunan kepada salah satu kelompok tanpa proses
lelang atau tender yang fair. Demikian pula, bentuk korupsi tidak seluruhnya fisik
atau langsung seperti suap, mark up atau yang berkaitan dengan uang dan benda,
tetapi juga dapat berupa non-fisik atau tidak langsung. Korupsi tidak langsung atau
bukan dalam bentuk fisik adalah segala tindakan yang menyalahi atau melanggar
ketentuan yang ada. Contohnya tidak masuk kerja atau menggunakan fasilitas
publik untuk kepentingan pribadi.
Mengukur tingkat dan prilaku korupsi dalam prakteknya sangat kompleks.
Salah satu contoh yang kerap dihadapi adalah perbedaan penafsiran antara hadiah
dan suap. Secara harfiah, suap adalah tindakan pemberian oleh seseorang kepada
orang lain yang mengandung unsur resiprokal. Contohnya, A memberikan uang
kepada B dengan harapan B memberikan tender proyek untuk si A. Sedangkan
hadiah adalah pemberian yang tidak mengandung unsur resiprokal: A memberikan
sesuatu kepada B tanpa ada tujuan dan maksud apapun.
Namun demikian, kendati ada definisi yang tegas antara hadiah dan suap, dalam
prakteknya sukar untuk membedakan antara keduanya. Kapan sebuah hadiah
dikategorikan menjadi suap? Adakah perbedaan keduanya didasarkan atas ukuran?

3
Vito Tanzi, “Corruption Around the World: Causes, Consequences, Scope and
Cures”, IMF Working Paper, May 1998, hlm.8

162 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
Jika berdasar ukuran, adakah kesamaan pandangan secara kultural mengenai
ukuran besarnya hadiah? Bagaimana jika hadiah besar itu tidak diberikan kepada
yang bersangkutan tetapi kepada kerabatnya? Adakah yang disebut hadiah itu
apabila diberikan secara terang-terangan sehingga semua orang dapat melihatnya?
Apakah sesuatu yang diberikan sesudah terjadinya transaksi atau kegiatan disebut
hadiah atau suap: di satu sisi ada interpretasi itu merupakan aksi resiprokal, tetapi
di sisi lain merupakan ungkapan terimakasih yang tidak direncanakan? Berbagai
pertanyaan itu mengindikasikan bahwa mengidentifikasi suap tidaklah mudah.
Gary Becker, peraih nobel dalam bidang ekonomi, dalam kolomnya di Business
Week menulis bahwa jika kita menghapus korupsi maka kita menghapus negara.4
Jadi, menurut Becker, semakin besar peran negara, semakin besar peluang
korup. Sebaliknya, semakin kecil peluang negara, semakin kecil peluang korup.
Masalahnya, masyarakat sipil tidak akan berfungsi apabila tidak ada negara, dan
negara modern adalah negara yang memiliki peran/fungsi yang luas. Argumen
Becker ini menemukan antithesa-nya apabila dihadapkan pada contoh negara-
negara sangat modern dan berperan luas tetapi tingkat korupsinya sangat kecil,
seperti Belanda, Swedia, Finlandia, Kanada dan Denmark. Dengan demikian, solusi
menekan angka korupsi tidaklah sesederhana mengurangi peran negara. Cara
bagaimana negara memainkan perannya adalah lebih penting daripada sekedar
mengurangi perannya.
Andai korupsi dapat diukur secara fisik, korupsi tentu dapat dengan mudah
dicegah. Tidak ada cara langsung untuk mengukur korupsi. Yang bisa kita lakukan
bukanlah mengukur kuantitias, melainkan persepsi terhadap korupsi itu sendiri.
Menurut Vito Tanzi,5 pengukuran tingkat korupsi di sebuah negara atau masyarakat
dapat dilakukan melalui tiga cara. Pertama, melalui laporan tentang korupsi di
berbagai media; kedua, melalui studi kasus dan penyelidikan terhadap lembaga-
lembaga korup; dan ketiga, melalui hasil kuisioner yang berbasis survei terhadap

Vito Tanzi, “Corruption Around the World: Causes, Consequences, Scope and
4

Cures”, IMF Working Paper, May 1998, hlm.10


5
Vito Tanzi, “Corruption Around the World: Causes, Consequences, Scope and
Cures”, IMF Working Paper, May 1998, hlm.20-25

KO R U P S I D A N P E R D A M A I A N D I AC E H 163
sebagian atau seluruh lembaga. Sebagai contoh adalah survei yang dilakukan oleh
Transparancy International terhadap beberapa negara pada tahun 1995, 1996, 1997.
Skala penilaian 0-10. Nilai 10 berarti bebas korupsi, sedangkan nilai 0 berarti paling
buruk korupsinya. Penilaian didasarkan atas persepsi pelaku bisnis, pengamat dan
masyarakat umum. Dari hasil survei tersebut, Indonesia menempati peringkat 10
terbawah dengan indeks 1.94 (1995), 2.65 (1996) dan 2.72 (1997). Ini berarti korupsi
di Indonesia masih sangat parah.

Korupsi dan Mismanajemen Pemerintahan di Aceh


Bagaimana korupsi di Aceh? Apa keterkaitan korupsi dengan persoalan
perdamaian? Keterkaitan korupsi dengan stabilitas dan perdamaian sangat
kuat. Sebagaimana ditulis di atas bahwa salah satu alasan GAM melakukan
pemberontakan adalah karena tingginya persoalan ketidakadilan di Aceh.
Ketidakadilan sosial menyuburkan kekecewaan dan kekecewaan dapat melahirkan
pemberontakan. Seperti di wilayah di Indonesia pada umumnya, Aceh juga tidak

Grafik Korupsi di Aceh


Oktober 2006 – Agustus 2008

Sumber: Bank Dunia: Laporan Pemantauan Konflik Aceh Juli-Agustus 2008

164 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
bebas dari korupsi. Dari berbagai pemberitaan di media cetak dan elektronik
menggambarkan sejumlah kasus dakwaan korupsi terhadap sejumlah pejabat dan
mantan pejabat publik di Aceh dengan tuduhan korupsi.
Pemerintahan Aceh kini tengah menghadapi banyak persoalan seperti
masalah penyaluran dana reintegrasi dan program rehabilitasi dan rekonstruksi
Aceh pascatsunami. Sebenarnya, dana pembangunan dan rehabilitasi Aceh
sangat melimpah namun tidak ditunjang dengan proyek yang jelas. Kurang
berpengalamannya aparat menjadikan administrasi kacau serta tidak transparan,
serta tujuan yang tidak terarah. Kondisi ini mengakibatkan tumbuh suburnya
korupsi. Hal ini diperparah dengan maraknya aksi makelar proyek dan broker politik
yang diperankan oleh sejumlah kalangan yang terlembagakan dalam sejumlah
tim bentukan kepala daerah terpilih, yang notabene berasal dari kelompok yang
didukung oleh mantan GAM. Sejumlah petinggi KPA di beberapa daerah, disinyalir
memainkan peran yang juga dahulu diperankan oleh TNI yaitu menjadi pemerintah
bayangan bagi pemerintahan daerah di Aceh yang banyak memainkan peran dan
penentu dalam berbagai kebijakan, khususnya dalam memperoleh tender proyek
dan bagi-bagi kekuasaan.
Berhasilnya kandidat GAM yang meraih kursi kekuasaan di beberapa wilayah
melahirkan harapan bahwa mereka akan mendapatkan balas budi berupa
peningkatan kesejahteraan, pengendalian proyek serta penguasaan atas dana
pembangunan yang ada. Untuk tujuan tersebut, maka posisi strategis di tingkat
pemerintahan lokal harus diisi oleh orang-orang dari kelompoknya. Harapan
tersebut rupanya banyak yang tidak tercapai. Para pemimpin yang dahulu didukung
dianggap berkhianat karena telah memilih orang-orang diluar kelompoknya. Para
pemimpin KPA bersikeras agar keputusan pemerintah, termasuk pemilihan posisi
jabatan penting, harus dikonsultasikan kepada mereka terlebih dahulu. Dari segi
internal, para pemimpin KPA juga dinilai sebagai sosok yang kini anti kritik. KPA
telah menjadi pemerintah bayangan.6 Paradigma berpikir seperti itu menunjukkan
ketidakdewasaan dalam berpolitik serta tidak demokratis. Beberapa kantor

6
lihat laporan Bank Dunia mengenai Pemantauan Konflik Aceh bulan september dan
Oktober

KO R U P S I D A N P E R D A M A I A N D I AC E H 165
pemerintahan saat ini banyak dikuasai oleh orang-orang yang tidak jelas status
dan posisi kedudukannya. Perilaku dan tindakan tersebut dapat menggerogoti
dukungan politik yang dapat menghambat kinerja para bupati.
Secara pribadi, Irwandi-Nazar mungkin saja bersih. Tetapi banyak kebijakannya
dipertanyakan, terutama pembentukan tim ahli atau asistensi yang bertugas
membantu Kepala Pemerintahan Aceh.7 Banyak kalangan menilai tim-tim ini
dibentuk hanya untuk mengakomodasi orang-orang dekat Irwandi dan Nazar yang
dahulu berjasa dalam mengantarkan mereka ke tampuk kekuasaan. Banyaknya
pembentukan tim oleh sebagian orang justru dinilai sebagai ciri ketidakprofesionalan
di mana banyak persoalan penting dipercayakan kepada orang-orang yang tidak
memahami persoalan dan tidak memiliki kapasitas. Kordinator GeRAK, Akhiruddin
Mahyuddin mengatakan bahwa pembentukan berbagai tim tersebut merupakan
bentuk ketidakpercayaan Irwandi terhadap Satuan Kerja Pemerintahan Daerah
(SKPD) yang ada, juga cerminan ketidakpercayaan terhadap kemampuan diri
sehingga perlu bantuan orang lain dan sebagai kado terimakasih terhadap para
tim suksesnya.8 Selain itu, di tingkat kabupaten/kota, jalannya roda pemerintahan
juga tidak optimal. Di beberapa daerah dijumpai kesenjangan antara bupati dan
wakil bupati, seperti terlihat di Aceh Barat, Aceh Timur, Aceh Besar, Bireuen, Aceh
Utara dan Kota Lhokseumawe. Permasalahan umum yang dihadapi pemerintahan
di daerah ini, selain karena tekanan partai dan hubungan yang tidak harmonis
dengan wakilnya, juga karena adanya tekanan dari mantan kombatan di wilayah
tersebut. Kelompok mantan kombatan selalu memaksakan diri untuk dilibatkan
khusus.9

Korupsi dan Ancaman Perdamaian


Adakah berbagai permasalahan tersebut di atas dapat mengancam perdamaian
Aceh? Kemungkinan itu kecil, tetapi bukan mustahil terjadi apabila persoalan tidak

7
lihat Modus Aceh, Minggu I, Mei 2008
8
Modus Aceh, Minggu I, Mei 2008, hlm. 8
“Ada Kelompok Penekan?” Kontras, Tabloid Berita, No.455, th.X, 18-24 September
9

2008, hlm.5

166 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
segera diatasi. Memang permasalahan korupsi, dan mismanajemen pemerintahan
bukan monopoli Aceh tetapi terjadi di semua wilayah di Indonesia. Problem ini
menjadi unik karena Aceh adalah wilayah yang tengah healing dari derita konflik
yang membuatnya masih rentan dari letupan-letupan konflik.
Konflik sosial akan timbul manakala sebuah masyarakat merasakan kondisi
seperti ada perasaan berbeda dari yang lainnya, adanya berbagai keluhan atau
kekecewaan, adanya upaya peredusiran kekecewaan yang dialaminya yang
menimbulkan dampak terhadap masyarakat lain, dan adanya keyakinan dalam
masyarakat yang merasa kecewa bahwa perubahan hanya dapat dilakukan dengan
prilaku antagonis.10 Diskriminasi dapat menjadi sebab timbulnya pemberontakan
yang menciptakan solidaritas kuat diantara kaum pemberontak.11 Dengan demikian,
perbedaan identitas fisik Aceh dengan wilayah lain hanyalah sebuah justifikasi dari
persoalan sebenarnya, yaitu ketidakadilan sosial.
Karena itu, siapapun yang berkuasa di Aceh, apakah GAM maupun non-
GAM, selama korupsi tidak mampu diberantas, selama itu pula potensi konflik
dapat terjadi. Berbagai gejala yang terjadi menunjukkan ke arah itu. Ini sesuai
dengan teori Ted Robert Gurr yang menjelaskan bahwa selain eksplanasi kultural,
pemberontakan dapat terjadi apabila masyarakat merasakan adanya ketidakadilan
kolektif yang menimpa mereka dalam bidang ekonomi dan pembangunan,
diskriminasi politik, kontrol negara yang represif atau hal-hal yang berkaitan dengan
basic needs.12 Maslow, Burton dan Gurr percaya bahwa selama kebutuhan dasar
manusia tidak terpenuhi, maka selama itu pula potensi konflik akan tetap besar.
Tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, terutama yang berkaitan dengan
identitas dan keamanan kelompoknya, akan melahirkan hambatan bagi resolusi

10
Louis Kriesberg. Constructive Conflict; From Escalation to Resolution, (Lanham:
Rowman and Littlefield Publ., 1998), pp.58-59
I. William Zartman. “Mediating Conflicts of Need, Greed and Creed”, Orbis, Vol.44,
11

No.2, (Spring 2000), hlm.256


Ted Robert Gurr. “Minorities, Nationalistist, and Ethnopolitical Conflict”, dalam
12

Chester A. Crocker, et.al. (eds.). Sources of and Responses to International Conflict,


Washington DC, USIP, 1996, hlm. 63

KO R U P S I D A N P E R D A M A I A N D I AC E H 167
konflik.13 Apabila sebagian masyarakat Aceh merasa perdamaian yang ada tidak
memberikan perubahan kesejahteraan yang signifikan dalam kehidupan mereka,
selama itu pula gejolak akan terjadi.

Penutup
Korupsi di manapun selalu melahirkan dampak negatif bagi masyarakat. Dalam
konteks Aceh, dampak ini bukan hanya pada sebatas hadirnya ketidakadilan
dalam bidang ekonomi, tetapi memiliki implikasi yang lebih luas, yaitu gangguan
terhadap persoalan perdamaian. Beberapa teori konflik menyebutkan bahwa
bahwa salah satu cara untuk mempertahankan stabilitas perdamaian adalah
dengan menciptakan keadilan ekonomi dan sosial. Ini berarti, ketidakadilan dan
diskriminasi ekonomi merupakan potensi ancaman bagi perdamaian. Selama benih
korupsi masih tersebar, selama itu pula potensi konflik ada.
Apabila perilaku korupsi terjadi secara terus menerus tanpa ada tindakan
konkrit dari Pemerintah untuk memberantasnya, maka gelombang kekecewaan
akan tercipta. Gelombang itu kemudian berubah menjadi sebuah pemberontakan.
Pemberontakan pasti akan dihadapi dengan kekuatan bersenjata dari pemerintah.
Ini berarti konflik kekerasan dan bersenjata yang menghadirkan penderitaan bagi
rakyat kembali hadir di Aceh.***

Herbert C. Kelman. “The Interactive problem-Solving Approach”, in Chester A.


13

Croker, et.al. (eds.) Managing Global Chaos: Sources of and Responses to International
Conflict, Washington, D.C., USIP Press, 1996, hlm. 502

168 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
Ahmad Humam Hamid
Sosiolog, dosen Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala

Sabang, Pax Romana, dan Kemakmuran

Beberapa hari terakhir ini, isu tentang akan hilangnya status Sabang sebagai
pelabuhan bebas dan kawasan bebas ekonomi sangat mencuat. Tidak kurang
pimpinan daerah, baik eksekutif maupun legislatif menyampaikan kekecewaan
dan keprihatinannya bila rencana UU kawasan ekonomi khusus terwujud. Pasalnya,
bila UU itu menjadi hukum baru, maka segala impian tentang Sabang akan sirna.
Setidaknya, sebagian besar akan sirna.
Kekecewaan terhadap ancaman itu sesungguhnya tidak hanya datang
secara personal dari kedua petinggi Aceh itu. Ungkapan itu sesungguhnya lebih
mencerminkan perasaan dari hampir seluruh masyarakat yang mengimpikan
tentang kemajuan, pembangunan, dan terobosan untuk mempercepat
kemakmuran Aceh dan bagian barat wilayah nusantara. Seandainya status Sabang
sekarang benar-benar akan tergusur, maka mimpi buruk tentang pencabutan free
port Sabang pada akhir tahun 80-an oleh rezim Orde Baru kini terjadi lagi. Kali ini,
implikasi dari pencabutan status itu menjadi sangat serius, karena prospek mesin
pertumbuhan ekonomi Aceh pascaera gas dan minyak bumi hampir tidak ada.
Kecuali kucuran dari dana DAU, dan remah sisa dana migas yang semakin
menyusut, dana pembangunan Aceh ke depan masih menjadi tanda tanya besar.
Ini akan lebih serius, karena arah pembangunan kita yang masih belum terfokus.
Secara jujur kita harus mengakui bahwa skenario pembangunan kita selama ini
masih belum tuntas. Lokomotif ekonomi daerah yang hendak diandalkan juga
masih samar-samar, dan hal tentu saja membuat kita tidak nyaman. Karenanya,
ketika status Sabang yang berpotensi menjadi lokomotif ekonomi kawasan jangka
menengah dan panjang, terancam, maka asa kita menjadi tergantung.

Pax Romana
Perihal kawasan ekonomi bebas sebenarnya bukanlah barang baru. Dalam
khazanah kepustakaan sejarah perdagangan klasik, Yunani dan Romawi telah
menggunakan sistem kawasan bebas lebih dari 2000 tahun yang lalu. Konsep Pax
Romana, adalah sebuah sistem yang diperkenalkan oleh imperium Romawi yang
memberi kebebasan ekonomi, terutama kebebasan perdagangan kepada wilayah-
wilayah yang ada dalam kekuasaannya (Leigh Goeesst 2009). Sistem ini kemudian
membuat banyak kota-kota pelabuhan di kawasan Laut Tengah, Afrika Utara, dan
Timur Tengah menjadi tumbuh dan berkembang secara otonom, namun tetap
menjadi bagian dari Romawi.
Pax Romana rupanya memberi dampak budaya dan politik yang luar biasa untuk
tiga benua wilayah kekuasaan Romawi. Dan sampai hari ini para turis mengunjungi
kota Korinthos dan Thessaloniki di Yunani, mereka akan merasa aura sisa-sisa Pax
Romana lebih dari 2000 tahun yang telah lalu. Sistem ini pula yang dicatat oleh para
ahli sejarah sebagai praktik kecanggihan politik Romawi yang membuat hampir
seluruh wilayah kekuasaannya menjadi makmur hingga mengalami kejatuhan
lebih dari dua abad lamanya.
Ada dua pelajaran penting dari konsep Pax Romana. Pertama, kemakmuran
dan kesetaraan membuat persatuan menjadi langgeng. Kedua, kemakmuran yang
berasal dari perdagangan sering berjalan dengan budaya egaliter, kerja keras,
pluralisme, kosmopolit, dan kreatifitas berkelanjutan.
Tidak ada kepustakaan yang menerangkan apakah Iskandar Muda atau
penasehatnya membaca ide-ide besar Pax Romana ketika ia memimpin kerajaan

170 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
Aceh. Yang pasti ketika ia berkuasa, maka kedua sisi selat Melaka ditumbuhkannya
menjadi kawasan-kawasan perdagangan melalui pelabuhan laut. Johor, Perak,
Pahang, dan Kedah di semenanjung Malaysia dan Banda Aceh, Deli, dan Bintan
adalah kawasan perdagangan bebas rezim Iskandar Muda. Ia menempatkan para
panglimanya untuk memerintah kawasan-kawasan strategis itu.
Ketika hari ini para ahli sejarah menulis tentang kejayaan Iskandar Muda,
sesungguhnya yang mereka tulis adalah kemajuan sebuah kawasan yang dihasilkan
dari sebuah rezim ekonomi bebas yang canggih. Konsep ekonomi Iskandar Muda
menjadi lengkap ketika ia secara sengaja memperbesar peran negara dalam
merancang dan menguasai dua komoditi strategis perdagangan awal abad XVII,
yakni timah dan lada. Ia mengontrol pertambangan timah di negeri Perak, Malaysia,
dan perkebunan lada di kawasan Simpang Ulim, Idi, dan kawasan-kawasan
pedalaman lainnya di Aceh. Sulit membayangkan pergaulan Iskandar Muda dengan
raja Inggris, James I, raja Siam, Ratcha I dari dinasti Ayuthia, dan Sultan Selim II
dari Turki jika Aceh adalah negara yang kere dan tidak mempunyai kemakmuran
ekonomi yang melimpah. Kemakmuran ekonomi perdagangan dan pelabuhan laut
lah yang sesungguhnya membuat Aceh mampu mengirim duta besar Abdul Hamid
ke Eropa, mendirikan perwakilan di Istambul, dan saling menukar duta besar secara
reguler dengan kerajaan Siam.

Sabang, tragedi kecambah kemakmuran


Kematian pelabuhan bebas Sabang pada rezim Orde Baru menjadi terobati,
ketika Presiden BJ Habibie pada tahun 1999 menerbitkan kebijakan drastis yang
mengembalikan statusnya. Kewenangan yang diberikan pada Sabang juga
melebihi apa yang pernah dimilki, yakni kawasan ekonomi bebas, sebuah otonomi
ekonomi yang sangat besar. Kewenangan itu disusul dengan kucuran dana, dan
cukup memberikan harapan baru kepada Aceh untuk memiliki satu kawasan
pertumbuhan ekonomi yang strategis.
Kehadiran pelabuhan dan ekonomi bebas, sesungguhnya telah memberi
peluang baru bagi Aceh untuk menciptakan “mesin uang” dan penghela ekonomi
daerah. Sayangnya, sekalipun telah hampir 10 tahun status itu diberikan, Sabang

S A B A N G , PA X R O M A N A , D A N K E M A K M U R A N 171
masih belum menunjukkan tanda-tanda sedang bergeliat. Saat ini tiga hal yang
sangat sering berasosiasi dengan Sabang; impor mobil bekas, impor gula, dan
kucuran dana dari pemerintah pusat yang sudah melampaui 1 triliun rupiah.
Ada yang belum tuntas tentang skenario Sabang. Undang-undang sebelumnya
telah memberikan kesempatan kepada Sabang untuk tumbuh dan berkembang
secara optimal, namun kemampuan mengembangkan diri masih sangat terbatas.
Kini setelah peluang itu berusia 10 tahun dan menghabiskan dana kurang dari 2
triliun, kewenangan itu akan diciutkan. Momentum yang ada selama tahun-tahun
yang panjang telah terlewatkan.
Memang sulit mengatakan, salah siapa atas keterbatasan pengembangan
Sabang. Struktur kelembagaan dekonsentris yang setengah hati agaknya
menjadikan Sabang hidup seperti kerakap tumbuh di batu. Keterlambatan
PP Sabang yang berlarut-larut adalah signal jelas tentang betapa pada aras
kelembagaan saja Sabang masih menyimpan tanda tanya besar. Kebijakan akrab
pasar yang tak kunjung jelas dari pemerintah pusat, dan kucuran dana yang tertatih-
tatih sesungguhnya semakin menampakkan bahwa proyek politis mantan Presiden
BJ Habibie menjadikan Sabang sebagai bagian dari solusi perdamaian Aceh nyaris
terdampar. Setelah berjalan lebih dari 10 tahun, proyek politis itu ternyata belum
terkonversi dengan menjadi proyek ekonomi yang menjanjikan.
Suatu hal yang mesti diingat bahwa setiap kawasan ekonomi bebas selalu
mempunyai tujuan spesifik. Lalu akan menentukan pula terhadap strategi
pengembangannya. Dari 3000 kawasan perdagangan bebas internasional di 100
negara, semua kawasan mempunyai tujuan dan andalan spesifik (Viswanadham
2006). Amerika Serikat yang saat ini mempunyai lebih dari 230 kawasan mendesain
kawasan bebasnya sebagai pintu penerobos kuota perdagangan untuk kebutuhan
impor kebutuhan domestik. Cina merancang kawasan bebas perdagangan mereka
untuk penanaman modal asing yang tinggi dengan instrumen kebijakan sangat
ramah. Diharapkan akan berujung kepada aplikasi teknologi tinggi pada kegiatan
industri.
Di kawasan-kawasan lain, tujuan dan strategi spesifik itu dilihat pada potensi
dan lingkungan strategis yang dimiliki. Kawasan Jebel Ali dan Sharjah di Dubai

172 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
misalnya, dirancang sebagai upaya diversifikasi ekonomi terhadap mono ekonomi
migas Uni Emirat Arab. Di Polandia, karena cukup tinggi angka pengangguran,
kawasan bebas dirancang untuk menyerap tenaga kerja. Penekanan kawasan bebas
Polandia lebih kepada alternatif industri padat karya, ketimbang teknologi tinggi.
Singapura mempunyai strategi yang lebih komprehensif. Singapura memang
dirancang untuk menjadi simpul perdagangan kawasan, simpul pelayaran dan
logistik, simpul pengadaan barang, simpul jasa keuangan dan investasi, dan kini
bahkan sedang menjadi simpul perdagangan maya (e-commerce).
Ketika kawasan bebas Sabang kita tempatkan dalam prespektif perdagangan
internasional dan sebagai jalan pintas menuju kemakmuran, maka kita kembali
terperangkap dalam ketidakjelasan status dan perangkat lengkap kelembagaan.
Hal ini menjadi lebih rumit ketika status yang kini dimiliki bahkan terancam akan
dicabut. Oleh karena itu penjelasan otoritas BPKS baru-baru ini tentang pengajuan
draft PP kawasan sekali lagi harus menjadi super prioritas, sama nilainya dengan
prioritas mencegah UU Kawasan Ekonomi Khusus menggerus status Sabang.
Kejelasan perangkat hukum secara tuntas, di samping berbagai komponen
pendukung lainnya memang menjadi syarat utama pintu masuk investasi ke Sabang.
Tanpa hal itu, maka Sabang akan menjadi proyek dari “sendiri” untuk “sendiri”. Dan
memang, bila melihat kepada proses ketidaktuntasan PP Sabang selama 10 tahun
terakhir, sepertinya ada sesuatu yang tidak akan terselesaikan. Energi politik daerah
sudah sepatutnya dimaksimalkan untuk menyelesaikan masalah Sabang.
Yang diperlukan sekarang adalah kombinasi kecanggihan lobi politik daerah,
kesiapan draft yang komprehensif dan argumentatif, dan kecakapan birokrat-
teknokratis untuk dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dapat mengubah
proyek politis itu menjelma menjadi proyek ekonomi yang membawa sebesar-
besar kemakmuran untuk rakyat. Sabang kini, bak satu kecambah kecil pohon
kemakmuran yang masih sangat rapuh. Tersebab momentum yang hilang maupun
ketidakmampuan ketakmampuan mengembangkan diri. Atau pun kebijakan UU
yang tidak sensitif terhadap makna politis kawasan bebas itu. Ujian besar itu datang
lagi, dan kapal berikut navigasi perjalanan kawasan Sabang itu kini ada di tangan
elit Aceh. Selamat berjuang.***

S A B A N G , PA X R O M A N A , D A N K E M A K M U R A N 173
Abdullah Abdul Muthaleb
Alumni Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala
Manager Monitoring Parlemen pada LSM Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh

APBA dan Perdamaian di Aceh

Pendahuluan
Konflik bersenjata yang berlangsung puluhan tahun telah usai di Aceh. Semua
ini tak lepas dari ”invisible hand”1 Allah SWT. Di luar dugaan, Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia akhirnya berjabat tangan untuk damai
yang tertuang dalam sebuah Momerandum of Understanding (MoU). Nota
kesepahaman tersebut ditandatangani di Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005.
MoU yang kemudian dikenal dengan MoU Helsinki. Perjanjian ini menjadi landasan
lahirmya UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Bila kita melakukan flashback, perdamaian atas pertikaian yang telah berlangsung
lebih dari 30 tahun itu, sebenarnya juga disulut oleh rasa ”ketidakadilan” atau lebih

1
Invisible hand itu adalah bencana gempa bumi dan tsunami yang melanda sebagian
besar wilayah pesisir NAD dan Kepulauan Nias di Sumatera Utara, yang merengut
korban ratusan ribu jiwa manusia. Kerusakan material dan non material, bila merujuk
pada perkiraan Kementerian Bappenas mencapai 2,2 persen dari PDB atau senilai Rp
42,7 triliun. Pemerintah pusat dan donor multi-nasional kemudian menjanjikan bantuan
dengan jumlah yang menggiurkan dalam bentuk bantuan darurat maupun rehabilitasi &
rekonstruksi selama lima tahun, sebesar 7,5 miliar Dollar AS atau setara Rp 75 triliun.
tegasnya ”perlakuan tidak adil” dari Pemerintah Pusat terhadap Aceh. Hal ini tersirat
dalam sebuah buku2 yang dituliskan oleh Hasan Muhammad Tiro (terbit pada tahun
1958) yang mengatakan bahwa sangat tidak demokratis untuk mengalokasikan
sumber daya ekonomi kepada orang Jawa hanya karena suku Jawa mendominasi
komposisi penduduk dengan 51 persen dari seluruh penduduk Indonesia.
Wahyudi Kumorotomo kemudian menyebutkan bahwa alasan paling mendasar
dari perlawanan di Aceh adalah pembagian hasil kekayaan alam yang tidak adil antara
pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Pembagian hasil kekayaan alam menjadi
salah satu faktor penting retaknya, kemudian menjadi arena pemberontakan, antara
Aceh dan Jakarta. Penemuan cadangan gas alam yang sangat besar di Arun telah
menyumbang cukup fantantis bagi kas republik ini. Sejak tahun 1970-an, kilang
gas Arun menghasilkan pendapatan tahunan sebesar US$ 550 juta kepada PT.
Pertamina. Dan Jakarta mengambil bagian begitu besar dan hanya mengembalikan
lima sen dari setiap satu dollar dari pendapatan gas tersebut.
Dan kini saatnya bagi Aceh dengan semangat MoU Helsinki yang memuat prinsip-
prinsip dasar bagi terciptanya suasana damai, untuk dapat diimplementasikan
dengan baik. Prinsip-prinsip dasar tersebut harus diimplementasikan oleh
Pemerintah RI, termasuk Pemerintah Aceh dan GAM. Dan aspek-aspek yang perlu
diimplementasikan oleh Pemerintah RI dalam MoU cukup luas, yang mencakup
aspek ekonomi, politik, hukum, HAM, keamanan, dan aspek sosial dan kesejahteraan.
Setelah konflik berakhir, ke mana sebenarnya arah perdamaian ini berjalan?
Apakah UU No. 11 Tahun 2006 dapat menjadi ujung tombak merawat damai di
Aceh? Tegasnya lagi, apakah implementasi UU itu, terutama terkait pengelolaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) sebagai anggaran publik telah
berjalan dengan baik? Sudahkah menjadi palang pintu mewujudkan kesejahteraan
(ekonomi), rasa keadilan (politik) sehingga dapat membendung munculnya benih-
benih pergolakan baru di Aceh?

Buku tersebut berjudul “Demokrasi untuk Indonesia”. Diterbitkan kembali pada


2

tahun 1999. (Jakarta; Teplok Press). Pernyataan di atas dikutip oleh Wahyudi Kumorotomo
dalam bukunya “Desentrasilasi Fiskal : Politik dan Perubahan Kebijakan 1974-2004”.
(Jakarta; Kencana : 2008)

176 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
Benarkah lonjakan anggaran publik tersebut telah meletakkan fondasi yang
utuh, yang adil antardaerah di Aceh? Antara Pantai Barat-Selatan dengan Pantai
Timur dan Kawasan Tengah di Aceh? Dan benih konflik baru yang saya maksudkan
di sini bukan hanya munculnya konflik yang seirama dengan konflik sebelumnya,
dengan pihak-pihak yang sama di dalamnya. Konflik ke depan, boleh jadi akan lebih
luas dari itu.
Mengingat terbatasnya ruang tulisan ini, maka penulis tidak dapat menyajikan
jawaban secara gamblang. Tulisan ini hanya format kegelisan untuk mengingatkan
kita semua bahwa upaya melanggengkan damai masih membutuhkan waktu yang
panjang dan komitmen kebersamaan: bansa Aceh! Dan lonjakan APBA hingga
tahun 2018 mendatang, apakah akan semakin melanggengkan damai di Aceh?
Atau malah sebaliknya, bakal mengundang ancaman baru yang bukan hanya
berasal dari lumbung konflik sebelumnya?

Lonjakan APBD Aceh


Bila kita merujuk pada UU No. 11 Tahun 2006, maka terdapat berbagai
keistimewaan yang kembali diperoleh Aceh dibandingkan dengan provinsi-
provinsi lain di Indonesia, terutama dari sisi politik dan ekonomi (anggaran). Aceh
menjadi provinsi pertama yang diperkenankan untuk melaksanakan pemilihan
umum yang melibatkan pasangan non-partai (independen) dan partai politik lokal.
Di sisi ekonomi, UU No. 11 Tahun 2006 tersebut telah meningkatkan jumlah APBA
yang mencengangkan. Sebenarnya, sejak pemberlakukan UU No. 18 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus (Otsus) di Aceh, pendapatan di Provinsi Aceh maupun
kabupaten/kota, telah mengalami peningkatan yang siginifikan. Hal ini disebabkan
kontribusi dana Otsus dan dana pendidikan.
Apakah lonjakan anggaran pada masa Otsus ini telah memberikan perubahan
postif bagi Aceh? Sebuah riset akademis3 memberikan jawabannya, yang bagi saya
amat memperihatinkan. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa tidak ada satu

3
 Riset akademis ini adalah tesis Mohammad Kholifan (2008), seorang mahasiswa
Program Pascasarjana    Universitas Syiah Kuala. Tesis ini berjudul “Dampak Dana
Otonomoi Khusus dan Migas terhadap  Tingkat   Kemiskinan di Provinsi Aceh”.

A P B A D A N P E R D A M A I A N D I AC E H 177
pun daerah di Aceh yang menunjukkan koefisien signifikan dalam dummy. Artinya,
baik sebelum maupun sesudah pelaksanaan Otsus, belanja pemerintah pada sektor
kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur tidak berpengaruh signifikan terhadap
pengurangan angka kemiskinan. Hal ini menjadi paradoks mengingat pendapatan
pemerintah semakin besar pada era setelah pemberlakuan Otsus tersebut.
Ditemukan pula bahwa hasil regresi pada 10 kabupaten/kota yang diambil
secara purpose, dengan memasukkan income perkapita, bahkan menunjukkan
bahwa di lima kabupaten (50 persen), yakni Kabupaten Aceh Tengah, Kota Sabang,
Aceh Timur, Aceh Utara dan Pidie, tidak ada satu pun variabel yang menunjukkan
koefisien signifikan.
Hal ini mengindikasikan bahwa pengaruh pengeluaran pemerintah dalam sektor
pendidikan, kesehatan dan infrastruktur terhadap penurunan tingkat kemiskinan
menunjukkan korelasi yang lemah. Pertumbuhan ekonomi sebagaimana tercermin
dalam pendapatan perkapita juga tidak berpengaruh signifikan terhadap
penurunan angka kemiskinan. Dengan temuan ini, tentu rakyat Aceh tidak ingin
lagi pengelolaan anggaran yang semakin besar di Aceh itu bernasib sama dengan
pengelolaan masa Otsus sebelumnya. Apalagi pendapatan Aceh itu pun kian
meningkat pascapemberlakukan UU No. 11 Tahun 2006. Bila itu terus terjadi, impian
kelanggengan damai pun akan terusik lagi.
Bila kita mendalami lebih seksama, UU No. 11 Tahun 20006 mengamanatkan
Aceh mendapatkan Dana Otonomi Khusus (DOK) berupa 2 persen dari Dana
Alokasi Umum (DAU) Nasional dan dana bagi hasil minyak dan gas4. Artinya, UU
tersebut telah memberikan peluang kepada Aceh untuk mendapatkan penerimaan
yang sangat besar dan bisa dipergunakan sepenuhnya untuk meningkatkan
taraf kehidupan penduduknya. Disebutkan pula bahwa pendapatan Aceh terdiri
atas Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, DAU dan DAK, Dana
Otsus, Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas (TDBHMG) atau Migas, Dana

Kupasan terkait dengan penjabaran anggaran dalam UU No. 11 Tahun 2006 ini
4

diadopsi dari “Inventasi   untuk   Pintar dan Sehat, Laporan tentang Analisis Anggaran
Pendidikan dan Kesehatan Tahun 2006- 2007”.  Diterbitkan  oleh GeRAK Aceh (Maret
2009).

178 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
Pengembangan Masyarakat yang bersumber dari pelaku usaha (minimal 1 persen
dari harga total produksi), serta lain-lain pendapatan yang sah. Jumlah Dana Otsus
setara dengan 2 persen dari plafon alokasi DAU Nasional. Sedangkan TDB sebesar
55 persen dan 40 persen.
Pengalokasian dana Otsus dan Migas ini bertujuan utama untuk mengakselerasi
pembangunan. Sedangkan Dana Perimbangan, menurut Pasal 181 ayat (1) huruf
b, terdiri dari Dana Bagi Hasil yang bersumber dari hidrokarbon dan sumber daya
alam lain (kehutanan, perikanan, pertambangan umum, pertambangan panas
bumi, masing-masing 80 persen, serta pertambangan minyak 15 persen, dan
pertambangan gas bumi 30 persen).
Menurut UU No. 11 Tahun 2006, pada Pasal 183 ayat (2), dana Otsus berlaku
untuk jangka waktu 20 tahun, dengan rincian untuk tahun pertama sampai
dengan tahun kelima belas (2008-2022) besarnya setara dengan 2% plafon DAU
Nasional, dan untuk tahun keenam belas sampai dengan tahun kedua puluh (2023-
2028) besarnya setara dengan 1 persen plafon DAU Nasional. Menurut Pasal 183
ayat (1), Dana Otsus merupakan penerimaan Pemerintah Aceh yang ditujukan
untuk membiayai pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan
infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta
pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan.
Selain dana Otsus, Aceh juga berhak mendapatkan TDBHMG atau Migas.
Menurut UU PA Pasal 182, Pemerintah Aceh berwenang mengelola Tambahan
Dana Bagi Hasil Minyak (sebesar 55 persen) dan Gas Bumi (sebesar 40 persen) yang
merupakan pendapatan dalam APBA. Sedangkan pembagian Dana Bagi Hasil
yang bersumber dari hidrokarbon dan sumber daya alam lain antara provinsi dan
kabupaten/kota dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan (yakni
UU No 33 Tahun 2004, Pasal 19 dan 20).
Sementara itu, dana-dana yang didapatkan dari sektor ini juga sudah diatur
peruntukannya yaitu, paling sedikit 30 persen dialokasikan untuk membiayai
pendidikan di Aceh dan paling banyak 70 persen dialokasikan untuk membiayai
program pembangunan yang disepakati bersama antara Pemerintah Aceh dengan
pemerintah kabupaten/kota. Pengaturan tentang pengalokasian dana-dana ini

A P B A D A N P E R D A M A I A N D I AC E H 179
tertuang dalam dalam Qanun No 2/2008 tentang Tatacara Pengalokasian TDBHMG
dan Penggunaan Dana Otsus.
Jika pada tahun 1999 pendapatan Aceh hanya berkisar Rp 2,2 triliun, setelah
pelaksanaan UU No. 18 Tahun 2001, penerimaan Aceh tahun 2002 meningkat
menjadi hampir Rp 9 triliun. Penerimaan ini terus meningkat setelah disahkannya
UU No. 11 Tahun 2006. Pada tahun 2007 pendapatan Aceh hingga sebesar Rp
11,6 triliun, sedangkan pada tahun 2008 pendapatannya mencapai Rp 16 triliun.
Kenaikan-kenaikan pendapatan tersebut sebagai akibat transfer DOK sebesar
hingga mencapai Rp 3,59 triliun.
Demikian pula dengan transfer Dana Alokasi Umum (DAU) yang meningkat
hingga sebesar 31 persen pada 2006 dan terus meningkat pada tahun 2007 dan
2008. Hal ini berarti, penerimaan Provinsi Aceh dari Otsus dan Migas menyumbang
72 persen dari total pendapatan dalam APBA 2008. Diperkirakan, pada tahun 2011
jumlah penerimaan provinsi akan mencapai Rp 16,7 triliun.
Anda pasti akan bertanya, apakah lonjakan anggaran tersebut, konon lagi Aceh
memiliki sumber daya alam (natural resources) yang masih cukup kaya, akan mampu
membalikkan keadaaan? Menekan kemiskinan dan memperbaiki kesejahteraan
hidup rakyat sehingga dengan sendirinya benih konflik dapat diredam?
Pertanyaan ini tidak mudah untuk dijawab. Karena faktanya, tingkat kemiskinan,
kesehatan yang buruk, harapan hidup yang rendah, dan ketidaksetaraan distribusi
pendapatan dan kekayaan bersifat endemik di seluruh dunia. Dan banyak negara
memiliki tringkat pertumbuhan negatif dan teramat rendah. Bahkan sejumlah
negara yang diberkahi dengan sumber daya alam mencatat rekor pertumbuhan
yang buruk dan pendapatan per kapita yang rendah5. Dan sangat logis pula bila
Aceh adalah “korban” dari ikan yang sulit bernafas dari air jernih yang melimpah.
Kesimpulan tesis Mohammad Kholifan, sebagaimana ulasan sebelumnya, semakin
memperkuat apa yang diutarakan oleh Susan Rose-Ackerman itu.

APBA dan Ancaman Perdamaian

5
Susan Rose-Ackerman dalam Korupsi Dan Pemerintahan, Sebab, Akibat dan
Reformasi. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2006, hal 1.

180 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
Sampai tulisan ini disiapkan, usia damai Aceh telah melewati ulang tahun yang ke
empat. Tidak sedikit para pihak, baik lokal, nasional bahkan kalangan internasional
yang berkonsentrasi dengan isu damai di Aceh. Berbagai program dan kegiatan
dengan nilai yang tidak sedikit terus dilakukan. Tentu, semua dukungan di atas
patut diapresiasi sehingga komitmen damai ini dapat merasuk dalam paru-paru
kehidupan rakyat Aceh. Hanya saja, saya berpendapat bahwa Aceh hari ini tidak
boleh terus menerus menggantungkan diri pada “proposal” pihak ketiga yang
mengatasnamanakan perdamaian di Aceh.
Bagi saya, sesulit apa pun keberlangsungan damai di Aceh sangat ditentukan
oleh rakyat Aceh sendiri. Bukankah dulu saat konflik meradang dan pada saat
itu pula ketika ada pihak di luar Aceh, bicara tentang Aceh, sepertinya terbersik
keberatan dalam rongga jiwa kita. Lalu mengapa hari ini setelah damai terukir,
terkesan bila ada pihak di Aceh tidak yakin dengan sumberdaya sendiri untuk
menjaga perdamain ini?
Saya memandang bahwa salah satu sumberdaya yang sangat krusial tersebut
adalah APBA! APBA jangan hanya dilihat dari deretan angka tetapi paling tidak
APBA itu dapat dipandang dari dua sisi. Sisi pertama adalah APBA menjadi alat
untuk merawat dan memperkuat perdamaian di Aceh. Sedangkan sisi kedua
malah sebaliknya. Apabila APBA ini tidak dikelola dengan baik, adil dengan
memperhatikan kebutuhan dan kondisi wilayah di Aceh, maka pundi rupiah
tersebut akan mengancam perdamaian itu sendiri. Oleh karena itu, terkait dengan
dua sisi di atas, saya melihat ada tiga hal yang kiranya dapat menjadi refeleksi kita
sehingga lonjakan APBA itu mampu menjadi katalisator membangun kesetaraan
dan keadilan pembangunan “sesama Aceh”. Dari sinilah sebenarnya pelanggengan
kedamaian dimulai.
Pertama, Keberlangsungan damai di Aceh tidak dapat ditentukan oleh satu
faktor utama, melainkan multi-faktor pendukung di dalamnya. Salah satu faktor
penting yang menjadi inti tulisan ini adalah bagaimana memastikan bahwa dengan
meningkatnya APBA (anggaran publik) di Aceh, mampu memperbaiki taraf hidup
rakyat Aceh. Proses ini tidak dapat berdiri sendiri. Tantangan adalah sejauhmana
Pemerintah di Aceh, baik provinsi maupun kabupaten, memiliki kemampuan

A P B A D A N P E R D A M A I A N D I AC E H 181
aparatur dalam manajemen pemerintahan untuk mewujudkan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) di Aceh.
Pemerintah Aceh juga harus serius dalam upaya meningkatkan taraf hidup ini
terutama yang berada di kantong-kantong konflik tanpa mengabaikan begitu saja
daerah-daerah lain yang selama ini tidak bersentuhan langsung dengan konflik itu
sendiri. Tentu, beban ini tidak mudah dilakukan. Konon lagi apabila Pemerintah
Aceh tidak memiliki political will untuk semua ini. Dengan demikian, kemampuan
meyakinkan Pemerintah Pusat dan itikad baik mengoptimalkan program
reintegrasi di Aceh akan sangat membantu pencapaian misi suci ini. Program
reintegrasi dalam konteks yang lebih komprehensif akan dapat berjalan dengan
baik apabila Pemerintah Pusat dan Aceh memiliki komitmen yang sama tentang
urgensi kelanggengan perdamaian di Aceh.
Bila kita mau jujur, dan berlapang dada dengan fakta yang ada, munculnya
Aceh Lauser Antara (ALA) dan Aceh Barat Selatan (ABAS) tidak terlepas dari
ketidakadilan dalam membangi kue anggaran. Imbasnya kemudian berdampak
pada ketersediaan infrastruktur yang tidak berimbang antarkawasan di Aceh. Lebih
tragis lagi, sampai saat ini, Pemerintah Aceh6 belum konsisten untuk memperbaiki
kondisi ini. Keberadaan Komite Percepatan Pembanguann Daerah Tertinggal
(KP2DT) pun yang dipimpin oleh Iwan Gayo, akhirnya hanya sebatas penyelesaian
politis belaka tanpa ada kerangka dan strategi terpadu untuk mengatasi akar
masalah secara cepat dan tepat.
Padahal, dalam pembangunan perekonomian saja misalnya, harus
diselenggarakan berdasarkan atas asas kekeluargaan dan asas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan dan berwawasan

6
 Bupati Aceh Jaya, Azhar Abdurrahman usai pelantikan anggota baru DPRK Aceh
Jaya Periode 2009-2014, melontarkan kritik atas kepemimpinan Gubernur Irwandi Yusuf
dan Wakil Gubernur Muhammad Nazar yang sudah lebih dari 2,5 tahun memimpin
Aceh. Kedua pemimpin Aceh itu dinilai sangat kurang perhatiannya terhadap kawasan
Pantai Barat Aceh sehingga pembangunan jalan dan jembatan yang sangat diperlukan
pascatsunami di kawasan ini berlarut-larut, bahkan terbengkalai. Dirinya berharap
pembangunan daerah dapat dilakukan secara merata, jangan ada anak tiri. Selama ini
dinilai sangat menomorsatukan pembangunan di wilayah Pantai Timur Aceh. (Serambi
Indonesia, hal 1 edisi 15 Agustus 2009)

182 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
lingkungan serta menjaga keseimbangan kemajuan kabupaten/kota yang ada
di Aceh (UU No. 11 Tahun 2006 Pasal 154 ayat 2). Bukankah kemudian keberadan
APBA begitu strategis dalam menjalankan tiga fungsi utama anggaran yaitu fungsi
alokasi, distrubusi dan stabilisasi, sehingga keseimbangan antardaerah di Aceh
dapat diwujudkan?
Kedua, agar UU No. 11 Tahun 2006 dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Aceh,
bukan hanya satu kawasan saja, atau lebih tragis lagi oleh segelitir elit politik
(berkuasa) saja, maka desentrasilasi politik dan ekonomi harus benar-benar
dilimpahkan ke daerah tingkat dua. Pemerintah Aceh jangan terkesan menjadi
“Pemerintah Kabupaten” ke 24 di Aceh! Bergelar sebagai Pemerintah tingkat
Provinsi tetapi tingkah lakunya bak Pemerintah Tingkat Kabupaten/Kota. Menjadi
raja baru yang kemudian merasakan ejakulasi dini dengan dana yang menumpuk
sebagai imbas dari UU No. 11 Tahun 2006 itu.
Bukankah dulu Bung Hatta (Wakil Presiden RI pertama) menentang keras
keinginan elit politik nasional saat itu yang hendak melakukan sentralisasi,
mempersatukan dan mengintegrasikan bangsa ini secara politis dan ekonomis.
Mengapa? Hal ini dikarenakan pola demikian justeru bertentangan dengan
keinginan para pemimpin daerah yang berharap otonomi yang lebih besar dalam
mengurus wilayahnya.
Bila saat ini kita benar-benar sadar bahwa kita pernah diperlakukan “semaunya
Jakarta” dengan gaya sentralistiknya, maka menjadi tidak santun ketika daerah-
daerah di Aceh yang selama ini termarginalkan dibiarkan sendiri memperbaiki
nasibnya! Oleh sebab itu, tidak meratanya kemampuan manajerial dan keuangan
daerah serta daya serap anggaran yang belum efektif di daerah sudah seharusnya
menjadi bahan renungan elit pengambil kebijakan di Aceh. Sebaran dukungan
infrastruktur yang sangat kontras perbedaannya antarkawasan di Aceh harus
disikapi dengan arif dan kebijakan yang responsif kebutuhan daerah. Apabila hal
demikian diabaikan begitu saja, nuansa “pisah ranjang” yang selama ini muncul
kepermukaan sulit terbendung dengan logika apa pun.
Ketiga, kedua faktor di atas, berada dalam tantangan utama yang terus
mengemuka. Saya memandang bahwa Aceh telah berada dalam kepungan indikasi

A P B A D A N P E R D A M A I A N D I AC E H 183
“korupsi politik” yang mengkhawatirkan. Tentu, hal ini bukan hanya terjadi dalam
kurun waktu empat tahun terakhir, tetapi sebenarnya telah tumbuh subur setelah
otonomi daerah berlangsung. Akan tetapi, pascaperdamaian gejala ini semakin
mengemuka ketika kelompok-kelompok elite masyarakat baru muncul di Aceh.
Alkostar7 mendefenisikan korupsi politik merupakan suatu tindakan yang
dilakukan oleh elit politik atau pejabat pemerintahan negara yang memiliki dampak
terhadap keadaan politik dan ekonomi negara. Perbuatan ini biasanya dilakukan
oleh orang-orang dan atau pihak-pihak yang memilki jabatan atau posisi politik.
Dalam situasi demikian, maka apabila ada pihak atau kelompok yang kritis akan
dihadapi dan dibasmi oleh penguasa yang korup dengan segala macam cara.
Aceh yang kini memiliki wewenang yang lebih luas dan alokasi anggaran yang
lebih besar, korupsi politik ini semakin terbuka lebar terjadi, baik di level provinsi
maupun kabupaten kota. Kasus-kasus besar yang mengemuka seperti indikasi
bobolnya kas daerah Kabupaten Aceh Utara senilai Rp 220 milyar, maraknya indikasi
korupsi dalam pengadaan proyek barang dan jasa di berbagai daerah di Aceh, yang
mayoritas sampai saat ini tidak jelas upaya penegakan hukumnya, menunjukkan
bahwa pengelolaan keuangan daerah samakin rentan dengan korupsi politik.
Bila ini terus terjadi maka pembangunan di Aceh akan terancam. Pembangunan
yang mampu mensejahterkan rakyat akan sulit diwujudkan. Pola korupsi politik
demikian, dengan para aktor yang menonjolkan “kekuasaannya”, merasa sebagai
“anak emas” di Aceh, harus segera dihentikan. Aceh ini adalah milik seluruh
masyarakat Aceh. Bila itu tidak lakukan, saya khawatir bila benih perdamaian ini
akan mata kembali. Jika pun bertahan, maka damai yang ada itu tak lebih seperti
“api dalam sekam”.

Penutup
Kehidupan politik di Aceh setelah pelaksanaan Pilkada Tahun 2006 telah
menunjukkan perubahan fundamental. Perubahan ini hendaknya menjadi harapan
baru untuk Aceh. Meredam “masalah” baru yang tentu tak lagi diharapkan terjadi

7
Artidjo Alkostar. Korupsi Politik di Negera Modern. FH UII Press, Jogjakarta; 2008.

184 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
lagi. Semoga, ketersediaan APBA yang cukup besar, dalam kondisi Aceh yang
sedang bangkit dari keterpurukan, mendapatkan sokongan laju demokrasi yang
berjalan dengan efektif. Dan kita tidak ingin APBA menjadi sumber konflik baru
bagi Aceh.
Aceh membutuhkan demokrasi yang “hidup” tanpa intimidasi dan rongrongan
elit politik tertentu. Karena, sebuah demokrasi membutuhkan persetujuan,
persetujuan membutuhkan legitimasi, legitimasi membutuhkan kinerja, tetapi
kinerja bisa dikorbankan demi persetujuan (Larry Diamond). Semoga antara
demokrasi (termasuk roda pemerintahan yang sedang berjalan) tidak menggali
kuburan baru dengan pengelolaan APBA yang mengabaikan prinsip-prinsip
keadilan. Ketidakadilan akan mengundang ancaman, terkoyaknya benih
perdamaian yang begitu indah bersemi selama empat tahun terakhir di Aceh,
tanah endatu.***

A P B A D A N P E R D A M A I A N D I AC E H 185
Marzi Afriko

Merawat Perdamaian dengan


Memutus Rantai Siklus Konflik Aceh

Perdamaian yang berkesinambungan adalah harapan besar untuk Aceh


pascapenandatanganan nota kesepahaman damai antara RI dan GAM di Helsinki
empat tahun lalu. Untuk mewujudkan itu maka sangat dibutuhkan usaha
sungguh-sungguh semua pihak agar konflik panjang yang telah usai tidak terulang
kembali. Ulasan singkat ini ingin menyegarkan ingatan kita akan konflik yang
telah berulangkali terjadi di Aceh, dengan merefleksi beberapa persoalan besar
yang dilihat sebagai mata rantai konflik tersebut. Pascakemerdekaan tahun 1945
setidaknya dua pergolakan besar telah terjadi di Aceh, pertama pemberontakan
bersenjata menuntut otoritas pendirian pemerintahan Islam oleh tentara Darul
Islam (DI/TII) pimpinan Daud Beureu-eh tahun 1953 yang akhirnya mampu diredam
pada tahun 1962. Setelah belasan tahun damai, Aceh bergolak lagi dengan
memberontaknya Hasan Tiro pada tahun 1976 untuk memperjuangkan otoritas
putra daerah dalam pengelolaan sumberdaya alam. Di bawah payung Gerakan
Aceh Merdeka (GAM) konflik orde kedua ini memakan lebih banyak korban. Tidak
berhenti dengan pencabutan status Daerah Operasi Militer (DOM) atas kejatuhan
rezim Orde Baru tahun 1998, bahkan muncul perlawanan bersenjata yang lebih
sporadis sporadis dengan gerakan yang lebih terorganisir hingga di seluruh Aceh
hingga terwujudnya perdamaian 15 Agustus 2005.
Durasi konflik tersebut menjelaskan bahwa Aceh memiliki satu tradisi konflik
yang unik. Dalam interval waktu tertentu Aceh kembali bergolak di bawah aktor
dan kepentingan yang berbeda. Lompatan pemberontakan gerakan islamis Daud
Beureu-eh ke pemberontakan yang bermotif otoritas kapital oleh Hasan Tiro
bedanya hanya dari sisi ideologi, namun sama-sama bertujuan untuk memisahkan
diri (self determination). Namun rasanya itu sudah cukup, agar tidak lagi menambah
penantian panjang Aceh untuk membangun masa depan yang lebih baik. Panduan
mengelola konflik oleh Simon Fisher menyajikan satu pola untuk mengamati
bagaimana satu persoalan yang tidak tuntas teratasi tumbuh-berulang menjadi
eskalasi siklus konflik baru. Kasus yang sama dialami Philippina, 30 tahun sudah
dilanda konflik menghadapi pemberontakan gerilyawan Moro National Liberation
Front (MNLF) yang hingga hari ini masih belum menemukan jalan keluarnya.
Pengalaman ini semakin menguatkan keinginan kita untuk mempertahankan
perdamaian yang telah tercapai di Aceh saat ini. Berikut refleksi beberapa persoalan
yang penting diperhatikan dari sisi reintegrasi, kesatuan dan persatuan Aceh, serta
pemaknaan yang lebik kuat tentang proses demokratisasi.

Proses reintegrasi adalah tanggungjawab bersama


Secara umum proses reintegrasi Aceh sejak tahun 2005 masih menyisakan
persoalan. Sejak awal, pembatasan 3.000 nama Teuntra Nanggroe Aceh (TNA/
kombatan) oleh Komite Peralihan Aceh (KPA) berefek langsung pada kecilnya dana
kompensasi perang yang dikucurkan pemerintah. Proposal bantuan usaha yang
dikirimkan KPA Wilayah (kabupaten) memenuhi kebijakan awal BRA membuat
hanya sebagian kombatan dan sipil GAM yang menikmatinya. Meski ada kebijakan
di level wilayah dan daerah melakukan “pembagirataan” hanya membuat dana
semakin kecil. Kondisi ini banyak memunculkan kasus-kasus kekecewaan di
internal mantan GAM, bahkan terhadap pemerintah yang dinilai belum maksimal
menerapkan konsep reintegrasi.
Kedua, “kejomplangan” progres ekonomi masing-masing mantan GAM juga

188 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
menjadi persoalan tersendiri. Pascaperdamaian banyak mantan GAM yang
mendadak menjadi kontraktor (Aspinall 2008) sehingga ada lomcatan status
ekonomi yang luar biasa terutama di kalangan elit yang biasanya memiliki akses
lebih besar. Di beberapa daerah perebutan sumberdaya ini sempat menjadi
ketegangan, bahkan lebih buruk mendorong mereka untuk melakukan pungutan
liar (pajak nanggroe) terhadap proyek-proyek infrastruktur desa. Umumnya mantan
GAM mengalami kesulitan hidup kembali ke tengah masyarakat dengan kondisi
kehabisan modal, trauma berat, bahkan cacat fisik belum pulih. Program reintegrasi
Aceh baik dari pemerintah dan donor belum mampu mengatasi itu semua, sehingga
secara ekonomi kondisi mereka masih sulit.
Ketiga, mencuatnya konflik ideologis di internal mantan GAM sempat
menggamangkan kedamaian Aceh di pertengahan tahun 2008. Kasus pertikaian
antara kelompok anti dan pro-reintegrasi yang sama-sama berakar pada sejarah
perjuangan telah menewaskan pimpinan Pasukan Peudeueng di tangan salah
seorang anggota KPA Aceh Utara. Meski ini terjadi di internal mantan GAM,
namun pemerintah tentunya patut disorot, terutama terkait dengan masih
maraknya peredaran senjata api di tangan masyarakat dan juga para mantan
GAM. Tiga persoalan besar ini hendaknya terus mendapat perhatian, di samping
penanggulangan hak-hak masyarakat sipil korban konflik yang hingga saat ini juga
belum dituntaskan pemerintah.

Sadari perbedaan adalah warisan


Merunut ke belakang, salah satu kesalahan besar konflik Aceh adalah
terangkatnya isu perbedaan etnis. Aceh yang khas dengan kekayaan heterogenitas
ras asli termasuk suku berubah menjadi kacau, bahkan di kawasan khusus
transmigran dan terlebih di dataran tinggi Aceh dinamika ini menambah konflik
baru antiseparatis. Tidak dapat dibantah bahwa sejarah penumpasan gerakan
separatis di Aceh telah menyisakan kekerasan HAM yang panjang, sehingga sering
dipandang sebagai bentuk kekerasan dari pemerintah pusat terhadap daerah.
Penggunaan operasi rahasia dengan serdadu yang dikirim dari pusat semakin
memupuk dendam kebencian etnis, yang akhirnya di tahun 1998 memaksa ribuan

M E R AWAT P E R D A M A I A N D E N G A N M E M U T U S R A N TA I S I K LU S KO N F L I K AC E H 189
warga non-Aceh terpaksa eksodus dari Aceh.
Warna yang lebih kuat kemudian semakin menjadi-jadi di dataran tinggi Aceh.
Pemaksaan ideologi separatis di bawah todongan senjata dan kekerasan membuat
sekelompok masyarakat bangkit mempersenjatai diri melawan GAM. Dengan
berlatar perbedaan etnis dan juga sejarah konflik daripada wilayah pesisir timur
Aceh, sikap masyarakat sangat berbeda-besar untuk menerima atau menolak upaya
separatis pemisahan diri dari Aceh. Efek konflik jenis ini lebih panjang, bahkan dua
tahun pascaperdamaian masing-masing pendukung sebagai contoh yang terjadi di
kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah masih sulit untuk saling percaya.
Hubungan yang baru pulih ini biasanya lebih rentan dibandingkan konflik
vertikal melawan pemerintah, bahkan juga mudah dirasuki oleh berbagai
pihak, terutama mereka yang ingin memanfaatkan ini demi kepentingan politik.
Masyarakat terutama harus menyadari betapa pentingnya suatu suasana harmonis
dan rukun, sehingga roda perekonomian dapat berjalan dengan lancar. Demikian
juga aparatur pemerintah dituntut peduli dan tidak melakukan berbagai bentuk
pembiaran yang akhirnya memakan korban lagi di tengah masyarakat.

Lawan provokasi sebagai musuh bersama


Satu lagi isu yang sempat timbul-tenggelam di Aceh adalah rencana pemekaran
provinsi yang telah dimulai sejak bergulirnya era reformasi. Sejak tahun 1999
sekelompok tokoh masyarakat baik di kawasan tengah dan pantai barat Aceh telah
menyusun langkah pemisahan kawasan tersebut dari Aceh, namun atas berbagai
pertimbangan politis pemerintah pusat belum mengamini usulan tersebut. Di
tahun 2008, isu ini diangkat lagi bahkan oleh segenap masyarakat dan tokoh
pemerintah untuk berdemo hingga ke Jakarta menuntut pemekaran wilayah
tengah dan barat Aceh tersebut demi satu alasan percepatan pembangunan.
Rendahnya pertumbuhan ekonomi, pembangunan infrastruktur, dan perhatian
pemerintah provinsi terhadap kondisi masyarakat di kabupaten menjadi alasan
utama. Namun berkat kepiawaian pemerintah provinsi dapat merangkul Iwan Gayo
yang selama ini berdiri di depan barisan tersebut membuat upaya inipun berhenti
kembali. Dalam hal ini langkah pemerintah sangat strategis, dengan disusunnya

190 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
program percepatan pembangunan kawasan tersebut.
Meski secara garis besar upaya ini berhenti namun tetap saja ada kekhawatiran
terhadap momentum yang akan membuatnya muncul kembali. Sebelum itu,
kesuksesan pemerintahan GAM melalui Pilkada 2006 adalah momen kedua setelah
keinginan ini muncul pascareformasi bergulir di Indonesia. Bagi sebagian masyarakat
kawasan tengah Aceh ternyata persoalannya tidak sesederhana, bahkan ada ekses
konflik separatis yang panjang yang kemudian memupuk kepenatan di antara
mereka sehingga ingin hidup menghindar dari persoalan pemberontakan separatis,
terlebih Aceh saat ini sedang dipimpin oleh pemerintahan yang notabene mantan
GAM. Benturan-benturan kepentingan elit dan gejolak keinginan masyarakat yang
ingin cepat keluar dari persoalan kesulitan ekonomi harus terus diperhatikan untuk
mempertahankan kedamaian di daerah ini.

Demokrasi dan pembelajaran politik


Terlepas dari itu semua, Aceh masih memiliki kesempatan untuk melakukan
perubahan melalui even pemilihan kepala daerah. Kendati demikian fase-fase
ini selalu dilalui Aceh dengan suasana mengkhawatirkan. Dua pesta demokrasi
yang telah dilalui pascaperdamaian, yaitu Pilkada 2006 dan Pemilu legislatif
2009 dilalui dengan penuh ketegangan. Insiden kekerasan yang ditujukan baik
langsung maupun tidak kepada orang tertentu cukup banyak memakan korban,
terlebih kecurigaan yang semakin meninggi di masa kampanye terhadap isu-isu
kemerdekaan. Even ini akan terus berulang secara reguler sesuai dengan kebijakan
demokrasi kita, sehingga akankah Aceh selama itu akan terus diliputi konflik? Jika
seluruh komponen masyarakat dan pemerintah tidak bersikap dewasa menghadapi
ini, maka Aceh akan terus berada di lingkaran konflik yang sama. Usai Pemilu legislatif
dan Pilpres 2009, Aceh akan kembali menghadapi pemilihan kepala daerah untuk
tahun 2011 yang mungkin akan luar biasa panasnya, kemudian di tahun 2015 akan
kembali akan menghadapi Pemilu legislatif dan Presiden.
Pesta demokrasi Aceh pasca-MoU harus tetap menjadi bagian dari program
pemulihan Aceh pascatsunami dan konflik, sehingga terus menjadi pembelajaran
politik bagi segenap masyarakat. Partai Aceh (PA) beberapa saat lalu tampil sangat

M E R AWAT P E R D A M A I A N D E N G A N M E M U T U S R A N TA I S I K LU S KO N F L I K AC E H 191
fenomenal sebagai partainya sebagian besar para mantan GAM, meski kehadiran
mereka di pentas kontestasi politik nasional menyulut isu separatisme dan
berhadapan dengan partai-partai yang mengatasnamakan pro-nasionalis termasuk
partai lokal lain sekalipun. Berbagai cara dilakukan, termasuk saling melakukan black
campaign di masa kampanye, bahkan tidak tanggung-tanggung PA memainkan
politik community organizingnya dengan membentuk Majelis Ulama Nanggroe
Aceh (MUNA) sebagai mesin perolehan suara dari kalangan santri dayah. Walhasil, PA
pun memenangkan sebagian besar kursi legislatif, termasuk membungkam partai-
partai islamis lokal maupun nasional yang sebelum pemilu sempat dinominasikan
menjadi rival kuat PA. Meski secara umum belum terdapat gambaran bagaimana
kredibilitas pemerintahan Aceh ke depan, namun berbagai pelajaran dari proses
demokratisasi ini dapat dipetik sebagai modal upaya membangun Aceh lebih baik.

Kesimpulan
Inilah setidaknya empat persoalan yang akan selalu meliputi proses perjalanan
perdamaian Aceh. Jika ingin merawat perdamaian Aceh, maka inilah satu sisi
yang harus diperhatikan oleh pemerintah pusat, daerah, dan segenap masyarakat
Aceh untuk dijaga dan tidak dibiarkan berkembang sehingga tumbuh menjadi
mata rantai yang menyambungkan Aceh kepada konflik baru. Refleksi ini khusus
dipersembahkan untuk memperingati empat tahun perjalanan konflik Aceh yang
setidaknya telah cukup memuaskan semua pihak, dan semoga Aceh akan terus
dalam damai.***

192 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
Taqwaddin
Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

UUPA dan Damai Aceh

Dalam sebuah diskusi pada awal 2009 lalu, seorang warga negara asing bertanya
pada saya, bagaimana hubungan antara UUPA dan Kedamaian Aceh. Pertanyaan
yang diajukan oleh Dr. Isabella Avanza tersebut membuat saya tersentak karena
dua hal. Pertama, apakah ia serius dengan pertanyaannya ini untuk mengetahui
bagaimana kekuatan UUPA dalam mewujudkan Aceh Damai, atau, Kedua, bisa jadi
juga pertanyaan ini diajukan sebagai sebuah “gugatan”, bahwa benarkah Aceh telah
damai, mengingat de facto hampir setiap hari masih terjadi kasus kekerasan dengan
menggunakan senjata api.
Sebenarnya, Perdamaian dan UUPA adalah dua hal yang saling berkaitan. Artinya,
UUPA lahir karena adanya perdamaian atau kesepakatan damai yang diterakan
dalam MoU Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005 lalu. Perlu pula dicatat bahwa,
perdamaian ini telah melibatkan pihak-pihak masyarakat internasional, seperti Uni
Eropah, Crisis Management Initiative, dan lain-lain. Ini berarti, isu perdamaian Aceh
telah menjadi gaung internasional, dan dikehendaki tidak saja oleh para pihak,
tetapi juga oleh masyarakat dunia. Sehingga, diperlukan komitmen yang kuat dan
serius dari kedua belah pihak yang pernah bertikai untuk sama-sama memelihara
serta merawat perdamaian sebagaimana ditegaskan dalam MoU tersebut.
Dalam perspektif hukum, setiap kesepakatan yang dibuat secara sah, memenuhi
syarat subjektif dan syarat objektifnya, maka terhadap kesepakatan tersebut
berlakulah asas pacta sunt servanda, yaitu kesepakatan tersebut mengikat para
pihak bagaikan keterikatannya pada undang-undang. Sehingga, baik Pemerintah
Republik Indonesia maupun Gerakan Aceh Merdeka harus sama-sama berupaya
semaksimal mungkin untuk memelihara dan merawat perdamaian, serta sekaligus
mencegah dan mengantisipasi segala kemungkinan kerawanan yang berimplikasi
dapat mencederai perdamaian. Karenanya, masing-masing mantan pihak yang
bertikai harus “mengamankan” para anak buahnya, jika mareka bertindak di luar
koridor kesepakatan.
Dalam salah butir MoU Helsinki secara tegas dinyatakan bahwa dalam rangka
mencapai tekad bersama sehingga Pemerintahan Rakyat Aceh dapat diwujudkan
melalui suatu suatu proses yang demokratis dalam negara kesatuan dan
Konstitusi Republik Indonesia, maka akan adanya suatu Undang-Undang tentang
Penyelenggaraan Pemerintahan Aceh. Dengan demikian, membentuk Undang-
Undang tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Aceh adalah kesepakatan yang
oleh asas pacta sun servanda yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak.
Dengan mengacu pada asas hukum inilah Presiden Republik Indonesia bersama
dengan DPR RI membentuk undang-undang tersebut, yaitu Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Jadi, jelasnya, undang-
undang ini dibentuk sebagai penjabaran atau tindak lanjut dari kesepakatan damai
MoU Helsinki.
Sebagai bukti adanya relasi antara UUPA dan MoU Helsinki, Dalam Penjelasan
Umum UUPA jelas dinyatakan bahwa Nota Kesepahaman (Memorandum of
Understanding) antara Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani
pada tanggal 15 Agustus 2005 menandakan kilas baru sejarah perjalanan Provinsi
Aceh dan kehidupan masyarakatnya menuju keadaan yang damai, adil, makmur,
sejahtera, dan bermartabat. Nota Kesepahaman (MoU) merupakan suatu bentuk
rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, dan politik
di Aceh secara berkelanjutan.

194 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
Berdasarkan penjelasan umum UUPA di atas dapatlah dipahami betapa eratnya
relasi antara kesepakatan damai dan UUPA. Tegasnya, UUPA ini lahir karena
adanya perdamaian dan untuk melanggengkan perdamaian guna mewujudkan
pembangunan sosial, ekonomi, dan politik di Aceh secara berkelanjutan. Semua
itu dimaksudkan untuk menuju masyarakat Aceh yang adil, makmur, sejahtera, dan
bermartabat.
Masalahnya adalah, jika UUPA itu lahir sebagai mandat dan penjabaran MoU
Helsinki untuk mewujudkan perdamaian secara berkelanjutan, namun mengapakah
masih maraknya aksi kekerasan di Aceh akhir-akhir ini. Berbagai kejahatan seperti
penembakan, perampokan bersenjata, pembakaran kantor partai, pemukulan
terhadap warga, pemerasan, dan berbagai macam kekerasan lainnya semakin
tinggi intensitasnya. Ini mengindikasikan, Aceh seakan-akan belum damai—atau
paling tidak belum aman.
Setelah membaca berita beberapa penyanderaan dan perampokan bersenjata
yang marak akhir-akhir ini, saya teringat kembali pertanyaan yang diajukan oleh
expert asing pada awal 2009 lalu. Dan, sebetulnya, apa yang disiratkan dalam
pertanyaan tersebut telah pula pernah saya tuliskan dalam opini harian Serambi
dengan judul “Bolehkah Aceh Damai” (Taqwaddin, opini, Serambi Indonesia, 30 Mei
2007). Dalam tulisan ini, saya tak bermaksud mengulas kembali apa yang pernah
saya bahas dalam tulisan tersebut, walaupun permasalahan-permasalahan yang
saya tulis dua tahun lalu masih relevan saat ini.
Saat opini Bolehkah Aceh Damai dimuat di Serambi (30-5-2007). Saya mendapat
banyak respon yang pro dan kontra. Bahkan ada yang menyatakan “aneh” terhadap
pertanyaan saya; mana mungkinlah Aceh tidak damai, yang sudah diperjuangkan
secara bersusah payah dengan berkali-kali meeting di luar negeri. Ini salah satu
ungkapan optimistis dari salah seorang pembaca. Yang lain lagi, mengungkapkan
keheranannya, kenapa saya bertanya bolehkah Aceh damai. Ternyata, apa yang
saya permasalahkan dalam tulisan tersebut, kini benar adanya. UUPA belum
menampakkan keberhasilannya dalam mewujudkan Aceh Damai.
Padahal, hemat saya, substansi UUPA sudah mengakomodasikan MoU Helsinki.
Sehingga idealnya, keberadaan dan keberlakuan UUPA harus mampu membina

U U PA D A N D A M A I AC E H 195
dan melanggengkan perdamaian di Aceh. Apalagi jika kita membaca MoU Helsinki,
telah secara eksplisit di dalamnya menyebutkan bahwa semua aksi kekerasan
harus sudah berakhir dengan ditandatanganinya MoU ini. Namun faktanya, aksi
kekerasan hari-hari ini makin menjadi-jadi.
Fakta ini makin membenarkan sinyalemen Jaleswari (Peneliti LIPI) bahwa
banyak pemain di Aceh (Modus, No 43. Minggu II, Februari 2008). Sinyalemen
banyak pemain di Aceh muncul dalam wawancara khusus menanggapi berbagai
aksi kekerasan bersenjata yang kini kambuh kembali di Aceh.
Benarkah banyak pemain di Aceh yang berpotensi merusak perdamaian,
Siapakah mereka, Apakah latarbelakang dan modus operandinya, Siapakah yang
diuntungkan dengan ketidak-damaian Aceh, adalah beberapa pertanyaan yang
dapat diajukan untuk menjelaskan maraknya aksi kekerasan bersenjata. Pertanyaan
ini masih bisa lagi dilanjutkan dengan; berapa kekuatan bersenjata ilegal di
Aceh, dan dari mana saja sumbernya, serta pada akhirnya bagaimanakah kinerja
kepolisian kita dalam menghadapi aksi-aksi ini yang kian meresahkan masyarakat.
Selain serangkaian pertanyaan di atas, layak pula dikembangkan hipotesis
relasional antara UUPA dengan keberadaan masyarakat Aceh yang belum makmur
dan sejahtera. Adakah hubungan signifikan antara kemiskinan dengan maraknya
aksi kekerasan, Sehingga warga masyarakat yang merasa belum makmur sejahtera,
merasa kecewa, lalu meresponnya dengan melakukan aksi bersenjata.
Hipotesis ini layak diajukan karena selain semangat menyelesaikan konflik
dan merawat perdamaian, dengan UUPA pun sangat diharapkan terjadinya
pembangunan sosial, ekonomi, dan politik guna mewujudkan masyarakat Aceh
yang makmur sejahtera. Sehingga pihak-pihak yang merasa belum makmur
sejahtera meresponnya dengan membuat aksi kekerasan untuk menggapai
kesejahteraannya. Atau mungkin pula, justru, dengan adanya UUPA telah membuat
mereka yang dulunya makmur sejahtera, kini menjadi miskin menderita, dan juga
meresponnya dengan melakukan aksi bersenjata.
Berkaitan dengan hipotesis di atas, Dr A. Humam Hamid mensinyalir
bahwa kekerasan “bersaudara” dengan keberlimpahan sumberdaya (Serambi,
opini, 14/2/2009). Karena keberlimpahan sumberdaya alam, maka seringkali

196 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
komunitas lokal atau bahkan rakyatnya justru menjadi tawanan (korban), baik
oleh pemerintahnya sendiri, atau dengan perkongsian pemerintahannya dengan
perusahaan asing karena persoalan penguasaan sumberdaya alam. Akibatnya,
perang tumbuh dalam kaitannya dengan penguasaan SDA. Persoalan Aceh, bisa
jadi juga relevan dengan apa yang digambarkan oleh Humam dalam opininya.
Solusinya, untuk mewujudkan Aceh Damai, tidak cukup hanya dengan adanya
UUPA. Tetapi yang lebih penting lagi adalah UUPA tersebut diimplementasikan
dalam tataran empirik oleh para pejabat public. Keberadaan UUPA harus sesegera
mungkin memberi manfaat nyata bagi masyarakat Aceh. Dan agar masyarakat
Aceh memiliki pemahaman terhadap UUPA beserta kandungannya, maka tidak
bisa tidak, upaya sosialisasi harus dilakukan secara massif kepada sebesar mungkin
komponen rakyat Aceh. Hal ini dimaksudkan agar seluruh rakyat memahami
kandungan dan sekaligus dapat melibatkan diri dalam upaya penerapan UUPA
untuk kemaslahatan rakyat Aceh.
Dari telaahan juridis, jelas adanya relevansi signifikan antara keberadaan UUPA
dengan peningkatan kesejahteraan rakyat Aceh dan langgengnya perdamaian.
Tinggal lagi, kini, dengan dukungan sepenuhnya dari Jakarta, para pejabat publik
Aceh bersama DPRA harus segera membuktikan secara empiris dan faktual bahwa
Aceh akan benar-benar damai karena UUPA.***

U U PA D A N D A M A I AC E H 197
As’adi Muhammad Ali

Sebiji Lada untuk Perdamaian

Berfikir, bertindak dan berbuat untuk perdamaian tidak mesti harus terlibat
langsung dalam instansi atau lembaga-lembaga pelaku perdamaian. Semua
orang berkesempatan melakukan kegiatan-kegiatan untuk mendukung atau
mewujudkan perdamaian. Sekecil apapun kesempatan itu harus dapat difungsikan
dan dimanfaatkan demi terwujudnya pedamaian menurut profesinya masing-
masing.
Lingkungan kita selama ini seolah-olah mengajak manusia untuk selalu
hidup dalam kekerasan, menindas, balas dendam dan menipu untuk mencapai
kebahagiaan. Lihat bagaimana film-film yang menjadi tontonan kita, hampir
semuanya menampilkan kekerasan, mulai dari perang, perkelahian sampai
pembantaian. Konflik keluarga dan kelompok sering menjadi bagian dari tema film
dan juga berita-berita di media massa. Sepertinya manusia tidak bisa hidup dan
sukses tanpa memenangkan konflik itu dan melakukan kekerasan.
Sejak awal rencana penciptaan manusia, para malaikat mempertentangkan
rencana Tuhan itu. Kekhawatiran “Pembantu” Tuhan terhadap penciptaan manusia,
bahwa kelak mereka akan menjadi makhluk yang saling bertumpah darah.
Kekhawatiran itu pula langsung terbukti pada anak Adam antara Habil dan Qabil.
Perselisihan dan pertumpahan darah di muka bumi mulai terjadi.
Pembunuhan terhadap Habil oleh Qabil, dalam banyak sumber menyebutkan
karena pengingkaran Qabil pada undang-undang yang menghalangi
kepentingannya. Konflik kepentingan ini menjadi awal dari munculnya kekerasan di
bumi. Secara kodrati manusia mempunyai kepentingan yang berbeda. Perbedaan
ini bila tidak dikelola dengan benar akan menjadi konflik. Maka, dalam hal ini
Chief berkesimpulan bahwa konflik itu alami. Karena perbedaan yang terjadi pada
manusia itu alami. Dapat dipahami bahwa terjadinya perselisihan antarindividu
atau kelompok merupakan suatu kewajaran dalam hidup manusia.
Di balik perselisihan itu, pada dasarnya yang ingin diwujudkan adalah kedamaian
dan ketentraman pribadi. Karena manusia makhluk yang bermasyarakat cara
perwujudan kedamaian dan ketentraman itu sering bertentangan dengan cara
dan poroses yang dilakukan orang lain. Walaupun secara universal nilai-nilai umum
untuk mencapai kedamaian dan kesejahteraan antarmanusia itu sama. Bila cara dan
usaha yang dilakukan oleh setiap individu untuk mewujudakan ketentraman dan
kesejahteraan hidupnya saling mendukung dan melengkapi maka kesejahteraan
dan kebahagiaan bersama akan dicapai. Itulah yang menjadi cita-cita hidup
manusia.
Kebersamaan usaha untuk mencapai kedamaian itulah yang sangat sulit
diwujudkan. Lingkungan dan kultur kehidupan manusia di belahan dunia sekarang
belum membentuk pola pikir kita untuk hidup meraih kebahagian secara bersama-
sama. Sebaliknya yang terjadi adalah cara hidup yang saling mengalahkan
dan menjatuhkan orang lain untuk kesuksesan dan kebahagiaan pribadi atau
kelompoknya.
Sistem dan tradisi pendidikan kita selama ini membentuk pola hidup manusia
bersaing untuk saling mengalahkan, bukan untuk menang bersama (win-win
solution). Dampak dari pola hidup yang demikian terbentuk suatu masyarakat
yang tidak bisa menerima dan menghargai kelebihan dan kesusksesan orang
lain. Akhirnya muncul sifat iri (ku`eh) yang berujung pada tindakan kriminal untuk
menjatuhkan orang lain. Di sini timbul kekerasan yang membuat orang/masyarakat

200 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
tidak bisa hidup tenang.
Di samping itu, tontonan kita, baik itu film, teater maupun sosiodrama lainnya
selalu menyajikan tema-tema dan adegan-adegan kekerasan. Hampir 90 persen
film, terutama film-film Barat dan Hongkong menceritakan tentang kejahatan
suatu kelompok yang kemudian terjadi aksi balas dendam. Adegan perang,
perkelahian, pengeroyokan dan pembantaian menjadi trend film, yang sepertinya,
tidak sah sebuah film bila tidak ada adegan-adegan itu. Bagi penikmat film pun
yang dicari untuk ditonton adalah film-film yang banyak adegan-adegan kekerasan
di dalamnya, baik itu perang atau kungfu.
Sebenarnya, adegan kekerasan tidak menjadi masalah bila itu sebagai media
menyampaikan pesan-pesan moral oleh produser kepada penontonnya. Pesan
yang disampaikan untuk membangun karakter masyarakat yang pemaaf, berfikir
positif, semangat solidaritas dan membantu sesama. Tetapi selama ini yang kerap
ditampilkan sikap balas dendam, bahkan pada beberapa film dendam itu diwarisi
kepada anak dan keluarga besarnya, atau perang agresi suatu negara kuat terhadap
negara lemah. Tema dan adegan film yang demikian secara tidak langsung
membentuk pola pikir penonton untuk melakukan hal yang sama dengan apa yang
diperagakan di film.
Ditambah lagi dengan media televisi yang sering memberitakan kejadian
kriminal secara berulang-ulang. Bahkah dilakukannya acara reka ulang bagaimana
kekerasan itu dilakukan. Kita menyaksikan berbagai acara televisi yang menyajikan
berita kekerasan, seperti Sergap, Sidik dan lain-lain. Tujuan pemberitaan yang pada
awalnya untuk memberi informasi kepada masyarakat malah kemudian menjadi
media pendidikan tentang cara dan strategi melakukan kejahatan yang lebih
profesional.
Media cetak mendeskripsikan berita-berita kekerasan dan pembunuhan secara
gamblang, kronologinya diceritakan secara terbuka. Tidak diramu dengan alur
cerita dan ending dengan pesan dan bahasa yang dapat menyejukkan pembaca.
Malah sebaliknya, memancing pembaca untuk membenci sang pelaku dan
memunculkan dendam bagi kerabat korban. Lebih jauh dari itu, dalam beberapa
kasus, pemberitaan yang disajikan sering menimbulkan respon yang kontraversial

SEBIJI LADA UNTUK PERDAMAIAN 201


dari masyarakat. Baik disebabkan oleh sumber pemberitaan yang tidak seimbang,
maupun kesengajaan wartawan untuk mencari sensasi dan memenuhi kebutuhan
komersialitas perusahaan media. Di sisi lain juga bisa disebabkan oleh keberpihakan
wartawan kepada kasus-kasus tertentu.
Hal lain yang dapat mengakibatkan ketidaktentraman dan ketidakdamaian
dalam masyarakat adalah pelaksanaan pertandingan atau sayembara yang
penilaian atau penjuriannya tidak adil serta pemain dan ofisialnya tidak sportif.
Perilaku yang semacam ini juga bisa menimbulkan keresahaan, karena sering kali
itu menjadi pemicu terjadinya kekerasan.
Berbagai realitas penulis angkat di atas merupakan bagian dari kondisi
lingkungan kita yang mendidik dan menggiring manusia (baca masyarakat) untuk
saling membunuh, berfikir pada bersikap jahat, mengalahkan dan menindas orang
lain, melakukan upaya-upaya balas dendam, dan menyelesaikan permasalahan
dengan menggunakan kekerasan. Memang kekerasan itu sediri sudah ada sejak
dari generasi kedua keberadaan manusia di bumi ini. Namun kekerasan, hidup
dalam ketidaknyamanan bukanlah cita-cita hidup manusia seutuhnya.
Inti dari hidup manusia ialah mencari kebahagiaan. Kebahagiaan dapat
terwujud dengan adanya kehidupan yang damai, aman dan tentram. Ketiga hal ini
dapat dicapai bila semua lapisan dan komponen masyarakat di berbagai belahan
bumi ini berfikir dan bertindak untuk mewujudkannya. Tradisi dan orientasi dari
apapun yang akan kita hasilkan harus diubah dan diarahkan kepada hal-hal yang
bisa memberikan kesejukan dan kenyamanan bagi konsumennya.
Para pembuat film, dengan kecanggihan teknologinya, harus mendesain film-
film yang akan dihasilkannya tidak lagi berbentuk peperangan yang di dalamnya
penuh dengan adegan-adegan kekerasan. Kalaupun film perang harus dibuat
dalam rangka kebutuhan visualisasi sejarah atau ajang promosi kecanggihan alat
perangnya, maka harus dibalut dengan pesan-pesan perdamaian di dalamnya.
Seyogiyannya film-film yang dihadirkan kepada masyarakat dapat membangkitkan
semangat hidup rakyat, berfikir positif terhadap segala gejala sosial di sekitarnya,
membangun kesadaran terhadap pentingnya pendidikan bagi rakyat dan
solidaritas saling membantu untuk kehidupan sejahtera dan maju bersama. Seperti

202 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
film: “Nagabonar Jadi Dua”, “Denias”, “Kiamat Sudah Dekat”, “Laskar Pelangi” dan
“Para Pencari Tuhan”. Kesemuanya film itu dapat memberikan pencerahan bagi
masyarakat.
Pihak pengelola televisi dan media cetak juga harus mendesain siaran dan
pemberitaannya yang mengandung nilai-nilai perdamaian. Adanya kesejukan
jiwa bagi yang menonton dan membacanya. Maraknya gerakan jurnalisme
damai selama ini kiranya menjadi salah satu model siaran dan pemberitaan yang
dapat memberikan ketentraman dan kenyamanan dalam masyarakat. Berita-
berita kekerasan selayaknya tidak diulang-ulang penayangannya sehingga dapat
menimbulkan keresahan bagi masyarakat. Apalagi diuraikan secara lengkap setiap
kronologinya. Untuk sebuah informasi itu penting, tetapi siaran dan berita itu
jangan sampai menjadi sarana pembelajaran bagi masyarakat untuk melakukan
kejahatan yang sama atau lebih dari itu. Atau bagi pihak yang menjadi korban
dari berita yang ditampilkan tidak membuat trauma yang berkepanjangan karena
ingatannya secara berulang-ulang terus membayanginya.
Untuk jangka panjang, sistem pendidikan kita harus dapat membangun nilai-
nilai kebersamaan untuk sukses dan maju bersama. Bukan saling mengalahkan,
menindas dan berlaku tidak adil untuk kemenangan pribadi. Game-game
(permainan) sebagai studi kasus pada setiap pelajaran di sekolah harus mengandung
nilai kebersamaan dan meniadakan kecenderungan dominasi suatu kelompok
terhadap lainnya. Menghilangkan rasa dendam, kemudian terus bersama merintis
dan membangun kesuksesan bersama.
Demikian juga dalam pendidikan keluarga. Orang tua tidak mendidik anaknya,
demi mempertahankan jati diri kelaki-lakiannya, dengan mendoktrinnya biar tidak
pernah kalah dalam perkelahian sesama temannya. “Kalau kamu dipukul oleh
kawan kamu, jangan pulang ke rumah sebelum kamu membalasnya”. Ini contoh
dari penanaman prinsip yang menyesatkan dan tidak ada nilai kemaafan dan
perdamaian di dalamnya.
Satu hal lagi yang tidak kalah penting dalam rangka berfikir dan bertindak
untuk perdamaian, bahwa pembuatan undang-undang (qanun) yang berisikan
hukuman bagi pelanggar atau penyelesaian sengketa salah satu penyelesaian

SEBIJI LADA UNTUK PERDAMAIAN 203


harus ada ruang kemaafan dari pihak korban. Proses meminta maaf oleh pelaku
dan memberi maaf oleh korban harus dikedepankan dalam setiap penyelesaian
perkara perselisihan. Di sini akan menghilangkan rasa dendam antara kedua belah
pihak. Selama ini putusan hukuman dari pengadilan sering tidak memuaskan salah
satu pihak. Maka kemaafan adalah solusi untuk saling menghargai sesama dan
menyelesaikan bersama.
Pola pikir kebersamaan dalam menjalani proses hidup ini merupakan salah satu
upaya mengurangi kekerasan dan penindasan. Hidup tanpa adanya kekerasan
dan penindasan jalan menuju kedamaian dan ketentraman. Untuk itu semua
pihak, siapa saja, punya peran dan tanggung jawab mewujudkan kedamaian
dalam hidup ini. Sekecil apapun perannya dalam masyarakat, walaupun hanya
sebesar biji lada karya yang dihasilkan harus berorientasikan untuk melahirkan
kedamaian dan ketentraman dalam masyarakat. Kita semua punya profesi yang
berbeda, tanamkanlah prinsip, apapun yang dilakukan dari profesi itu tidak
akan menimbulkan keresahan dalam masyarakat dan tidak akan menjadi media
pembelajaran kejahatan bagi orang lain. Janganlah kita menjadi sumber masalah
dalam masyarakat, sekecil apapun peran kita. Mari kita wujudkan bumi ini yang
bebas dari kekerasan dan penindasan.***

204 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
Sri Wahyuni
Caleg dari PRA pada Pemilu 2009
Peneliti pada Center for Peace and Resolution Conflict Studies (CPCRS) Unsyiah

Perempuan dan Pemilu Pascadamai di Aceh

Pemilu legislatif yang dilakukan pada 9 April 2009 yang lalu adalah pemilihan
umum kedua dilakukan di Aceh pascaperjanjian damai. Sebelumnya pada tahun
2006 Aceh sukses menggelar Pilkada yang berlangsung damai meskipun dalam
kacamata demokrasi masih banyak kekurangan di sana-sini (baca laporan: World
Bank,Peaceful Pilkada, Dubios Democracy, Aceh Post-conflict Elections and their
implications).
Pemilu 2009 ini kembali menyuguhkan sesuatu yang istimewa di Aceh, kalau
pada Pilkada Aceh adalah daerah pertama yang mengikutkan peserta dari calon
independent (non partai) maka tahun ini Aceh untuk pertama kali mempunyai
partai lokal yaitu partai yang hanya berbasis di Aceh. Faktor yang terakhir ini menjadi
penyebab pemilu legislatif ini menjadi lebih meriah dan menambah antusiasme
masyarakat.
Dalam riuh rendah pelaksanaan Pemilu 2009 ini kembali muncul pertanyaan
dimana kah keberadaan perempuan Aceh? Apa perannya? Sejauh mana
keberhasilannya? Pertanyaan ini tidak serta merta muncul tetapi karena kita semua
faham bahwa perempuan Aceh sejak di masa lalu adalah kaum yang berperan
besar dalam mewarnai perjalanan perpolitikan Aceh baik di masa damai atau di
masa perang.
Berdasarkan DPT perempuan mendominasi di Aceh, total pemilih berjumlah
3.006.481, di mana perempuan 1.522.708 suara dan laki-laki 1.483.773 suara. (www.
rakyataceh.com). Bila merujuk pada kuantitas sepatutnya perempuan menduduki
lebih dari setengah kursi di parlemen mengingat konstituen perempuan lebih
besar dari pada konstituen laki-laki di Aceh.

Pengalaman perempuan Aceh dalam pemilu 2009


Keberadaan partai lokal di Aceh sempat menjadi semacam angin segar yang
dianggap akan memberi peluang lebih besar bagi perempuan untuk duduk di kursi
parlemen. Harapan ini didasarkan pada UUPA yang menyatakan bahwa lembaga-
lembaga publik termasuk partai politik harus menempatkan 30 persen perempuan
dalam kepengurusannya. Ditambah dengan kewajiban partai untuk mendaftarkan
30 persen caleg perempuan. Partai lokal yang berbasis di Aceh awalnya diharapkan
lebih progresif untuk menempatkan perempuan pada nomor urut jadi dengan
menjangkau kader perempuan secara lebih luas.
Dalam Pemilu ini 3000 perempuan terlibat sebagai caleg di seluruh Aceh. Dari
dari 44 partai peserta pemilu hanya 21 partai yang memenuhi quota, untuk parlok
hanya PAAS dan PBA. Secara umum partai yang telah berdiri lama lebih mudah
memenuhi quota karena sudah memiliki kader, partai-partai baru dihadapkan pada
kesulitan mencari caleg yang memenuhi syarat di samping minat dan keberanian
perempuan yang belum ada. Kondisi ini wajar saja terjadi karena kesempatan yang
luas seperti ini masih baru bagi perempuan pada umumnya.

Perempuan kalah telak!


Tibalah masa pemilihan dan hasil sudah dimaklumi, tak dapat dihindari
kekecewaan menyeruak terutama di kalangan aktifis perempuan saat melihat hasil
perolehan suara, perempuan Aceh kalah telak pada pemilu 2009 ini!
Banyak pihak yang menanggapi dengan ragam pandangan, ada yang
menyimpulkan bahwa memang perempuan belum layak berpolitik, ada yang

206 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
menyalahkan perempuan karena tidak mau memilih perempuan dan lain-lain.
Padahal bila mau lebih bijak kekalahan ini tentu bukan lahir tanpa sebab, ada
banyak banyak faktor yang mempengaruhinya.
Tanpa ingin mencari-cari atau menyalahkan pihak-pihak tertentu tulisan
berikut ini ingin membedah apa saja fakta-fakta yang dihadapi perempuan selama
berjibaku di masa kampanye, hari pencoblosan dan bagaimana perempuan
melakukan pengawasan agar suaranya tidak dicuri atau diperjual belikan.
Berikut adalah analisa mengenai perolehan kursi perempuan di tingkat provinsi
dan kabupaten se-Aceh.
Untuk tingkat provinsi perempuan mendapat 4 kursi dari total 69 kursi yang
diperebutkan atau setara dengan 5,7 persen saja. Di tingkat kabupaten dari total
2.693 caleg perempuan yang memperebutkan 645 kursi di 23 kabupaten kota
perempuan hanya mampu menduduki 43 kursi di mana Subulussalam tertinggi
(20 persen), Aceh utara dan Pidie hanya mendapat 1 kursi (2,2 persen) dari total
45 kursi. Kabupaten yang sama sekali tidak memiliki anggota legislatif perempuan
pada periode 2009-2014 adalah Aceh Jaya, Aceh Barat Daya dan Aceh Selatan.
Perolehan kursi legislatif perempuan di Aceh berbanding terbalik dengan angka
nasional yang konon meningkat dari 11,6 persen menjadi 18 persen.
Partai nasional adalah penyumbang caleg perempuan terbanyak di legislatif
Aceh. Dari 47 aleg perempuan di DPRA dan DPRK 40 orang berasal dari partai
nasional, Golkar 13 kursi,Demokrat 7 kursi, PAN 5 kursi, PKPI 4 kursi, Hanura 1 kursi,
PKB 1 kursi, Gerindra 2 kursi, PKS 1 kursi, Patriot 1 kursi, PBR 1 kursi, PPP 3 kursi,
sisanya 7 anggota legislatif perempuan berasal dari partai lokal 6 kursi untuk PA dan
1 kursi untuk PBA.

Faktor-faktor kekalahan dan dinamika caleg Perempuan


Perempuan mengalami tantangan yang jauh lebih berat dibandingkan
dengan laki-laki di dunia politik. Misalnya kebijakan yang tidak berpihak meskipun
sudah ada aturan caleg 30 persen tetapi tidak ada sanksi bagi partai yang tidak
memenuhi quota. Partai juga tidak terikat dengan aturan zipper pada kenyataannya
perempuan masih berada di nomor urut sepatu, untuk konteks Aceh partai lokal

P E R E M P UA N D A N P E M I LU PA S C A D A M A I D I AC E H 207
yang diramalkan akan menang justru tidak memposisikan perempuan di nomor
urut jadi.
Selain nomor urut caleg perempuan juga mengalami masalah keuangan,
kedekatan dengan struktur (terutama bagi caleg yang datang dari luar partai atau
non basis). Kedekatan terhadap struktur menjadi penting karena partai belum
memiliki perspektif gender yang cukup untuk mendorong perempuan menang di
Pemilu.
Seorang caleg dari partai lokal mengaku salah satu penghambat kemenangannya
pada pemilu kemaren adalah tidak adanya pengakuan dari struktur partai yang
didominasi laki-laki kepadanya karena dia dianggap berasal dari kelompok yang
bukan merupakan basis dari partai tersebut. Caleg perempuan yang aktif sejak
menjadi mahasiswa lebih kurang 10 tahun yang lalu ini merasa dianak-tirikan,
bahkan ada kampanye dari ulama di daerah pilihannya yang mengatakan bahwa
tidak layak memilih perempuan sebagai pemimpin. Diskriminasi dan intimidasi
yang ditujukan padanya membuat perjalanannya menuju kursi dewan jauh lebih
sulit bila dibandingkan dengan teman-teman separtai terutama yang laki-laki.
Karena perempuan baru saja bergabung atau tidak memiliki posisi penting
di partai berakibat pada kesulitan mengakses bantuan untuk kampanye.
Biasanya pengurus yang dekat dengan kepemimpinan partai atau yang memiliki
kewenangan lah yang lebih bisa menikmati fasilitas-fasilitas partai. Sementara kita
juga memahami bahwa perempuan selalu kesulitan mencari sumber dana karena
biasanya di dalam keluarga uang atau kekayaan lebih banyak dikelola atau hak
milik laki-laki (ayah,suami, saudara laki-laki dan lain-lain)
Minimnya pengalaman perempuan dalam pemilu dan keengganan
menghalalkan segala cara juga menjadi hal yang mempengaruhi kalah atau
menangnya seorang caleg. Pengalaman dalam hal ini maknanya bisa sangat luas,
mulai dari memahami aturan main yang dicantumkan di dalam undang-undang
sampai bagaimana memainkan trik dan peluang-peluang di lapangan. Kelihaian
melakukan praktek-praktek “kotor” misalnya, lebih dikuasai oleh caleg laki-laki yang
memang sudah memiliki pengalaman dan jaringan yang lebih dahulu ada.
Seorang caleg perempuan dari partai nasional di pesisir barat Aceh mengaku

208 M E R A N G K A I K ATA D A M A I
sulit mengawal suara di DP-nya karena temannya dari partai yang sama melakukan
praktek money politic secara terang-terangan, dan praktek ini efektif dalam
menjaring suara sementara dirinya tidak berani melakukan hal itu. Meskipun secara
kapasitas sicaleg perempuan ini bukanlah orang baru di gerakan perempuan di
daerahnya. Banyak jasa dan aktifitas kemasyarakatan yang sudah berjalan di bawah
kepemimpinannya demi kemajuan kaum perempuan.
Penetapan suara terbanyak oleh MK yang banyak yang dikhawatirkan
akan merugikan caleg perempuan tidak sepenuhnya benar. Masyarakat masih
memandang nomor urut merupakan hal penting, terbukti 81 persen perempuan
yang menang adalah caleg yang berada di nomor urut 1-3.
PA sebagai partai yang memenangkan pemilu di Aceh adalah partai yang paling
sedikit menghasilkan anggota legislatif perempuan. Di tingkat provinsi dari total
33 kursi yang dimenangkan PA tidak ada satupun diberikan ke caleg perempuan,
demikian juga di tingkat kabupaten di mana PA menang telak (diatas 50 persen)
seperti Pidie dan Aceh Utara justru menjadi daerah yang jumlah anggota legislatif
perempuannya sangat rendah hanya 2,2 persen angka inipun bukan berasal dari
PA tetapi partai lain yaitu Golkar dan Demokrat. Hal ini memang menjadi salah
satu keprihatinan kita semua di mana partai lokal yang diharapkan bisa lebih maju
dalam mendukung perempuan ternyata masih menunjukkan praktek-praktek
diskriminasi yang sangat kasat mata bagi kemajuan perempuan di dunia politik.

Peran CSO dan strategi ke depan


Belajar dari kekalahan perempuan pada Pemilu legislatif 2009 yang lalu sudah
menjadi keharusan berbagai kelompok perempuan dan juga terutama partai
untuk mulai menyusun strategi baru guna memenangkan perempuan di pemilu
legislatif 2014. Patut menghargai apa yang sudah dimulai oleh kelompok-kelompok
perempuan di Aceh dengan mendorong capacity building caleg perempuan. Namun
apa yang dialkukan selama ini belum cukup dan belum mengarah pada bagaimana
gerakan perempuan mampu mengsinergikan diri dengan perpolitikan itu sendiri.
Pemahaman kelompok-kelompok perempuan tentang geopol Aceh juga masih
lemah sehingga hal ini berpengaruh pula pada bagaimana menyusun strategi

P E R E M P UA N D A N P E M I LU PA S C A D A M A I D I AC E H 209
memenangkan caleg perempuan. CSO (bukan saja yang berbasis perempuan)
masih terkesan takut-takut untuk menunjukkan dukungannya yang tegas terhadap
perempuan di ranah politik.
Bagi perempuan sendiri yang sudah menjatuhkan pilihan untuk terjun di dunia
politik Pemilu 2009 hanyalah awal perjuangan yang sesungguhnya. Anggap saja
sebagai tempat melatih diri. Apa yang sudah dilakukan oleh para caleg perempuan
yang belum berhasil duduk tahun ini adalah sebuah investasi politik yang pasti
berguna di masa yang akan datang, selama invetasi itu terus bisa dijaga dan
dipelihara sehingga akan berbuah menjadi dukungan yang meluas bagi perempuan
pada pemilu-pemilu berikutnya.
Yang harus dilakukan adalah terus membangun kekuatan diri seperti
meningkatkan pengetahuan tentang dunia politik, rebut posisi penting di partai,
memperluas jaringan diluar partai sambil membangun citra diri yang positif. yang
terakhir yang tidak kalah penting adalah membangun sumber-sumber keuangan.
Karena semua kita tentu sepakat bahwa politik itu adalah salah satu belanja
termahal di dunia.***

210 M E R A N G K A I K ATA D A M A I

You might also like