You are on page 1of 86

PANDUAN BAGI PRAKTISI;

MENGELOLA HUTAN
BERNILAI KONSERVASI
TINGGI DI INDONESIA
studi kasus di Kalimantan Timur
Bekantan

The Nature Conservancy (TNC) adalah organisasi internasional non pemerintah yang
bekerjasama dengan masyarakat umum, kalangan bisnis dan orang-orang seperti anda sejak
tahun 1951 untuk melindungi hampir 117 juta are kawasan (setara dengan 476.420 juta m2) di
seluruh dunia. TNC mempunyai misi melindungi tumbuhan, hewan dan komunitas alami yang
mewakili kekayaan hidup di muka Bumi melalui perlindungan tanah dan air yang diperlukan
agar dapat bertahan hidup.
Sejak tahun 1991, TNC telah bermitra dengan pemerintah dan masyarakat Indonesia
untuk melindungi kekayaan alam negeri ini yang tak bisa digantikan. Di Kalimantan Timur,
fokus kegiatan TNC adalah pada luar kawasan yang telah dilindungi secara formal. Sebab ter-
dapat kekayaan biologi dalam jumlah besar di kawasan tersebut, namun masih sedikit mendapat
perlindungan oleh perundangan Indonesia dan keberadaannya pun sangat terancam.
TNC bersama para mitranya melakukan pendekatan konservasi komprehensif dari
pegunungan sampai terumbu karang. Mengingat ketergantungan Indonesia terhadap sumber-
daya alam bagi perkembangan ekonomi dan desentralisasi pemerintahan saat ini, TNC percaya
bahwa perlindungan habitat yang penting melalui pembentukan taman nasional atau cagar alam
baru bukan pilihan yang memungkinkan dalam waktu dekat ini. Sebagai gantinya, TNC meng-
gunakan pendekatan target untuk mengkonservasi daerah-daerah penting yang diidentifikasi
melalui pengkajian ekoregional.
Salah satu fokus upaya konservasi TNC di Kalimantan Timur adalah menjaga keber-
langsungan habitat hutan. Para ahli percaya bahwa Daerah Aliran Sungai Kelay di propinsi ini
adalah rumah bagi lebih dari 10 persen populasi orangutan yang tersisa di dunia. Karena keter-
gantungannya terhadap tiga tipe hutan, orangutan diidentifikasikan sebagai “spesies unggulan”
(flagship species). Keberhasilan perlindungan habitat orangutan akan menjadi ukuran keberhasi-
lan konservasi daerah tersebut dalam skala luas.

Didanai oleh USFS TA, Forestry Alliance.


Rekomendasi untuk sitasi :
Meijaard, E., Stanley, S.A., Pollard E. H. B., A. Gouyon, and G. Paoli (2006). Panduan bagi Praktisi; Mengelola Hutan
Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia, Studi kasus di Kalimantan Timur.The Nature Conservancy, Samarinda, Indonesia.

Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia


PANDUAN BAGI PRAKTISI;
MENGELOLA HUTAN
BERNILAI KONSERVASI
TINGGI DI INDONESIA
studi kasus di Kalimantan Timur

Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia i


ii Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia
daftar isi
daftar singkatan & kosakata 2
ucapan terima kasih 5
pengantar 7
executive summary & recommendations 9
bagian 1: pendahuluan 13
Apa tujuan panduan ini? 13
Kenapa panduan ini diperlukan? 14
Untuk siapa panduan ini? 14
Bagaimana menggunakan panduan ini? 15

bagian 2: apakah Hutan Bernilai Konservasi Tinggi (HCVF) itu? 17


Sertifikasi Hutan 17
Prinsip Sembilan Forest Stewardship Council (FSC) 18
Apakah anda memiliki Hutan Bernilai Konservasi Tinggi? 19

bagian 3: bagaimana anda mengidentifikasi HCVF? 25


bagian 4: bagaimana anda mengelola HCVF? 29
Mengembangkan strategi-strategi pengelolaan HCVF 30
Mengidentifikasi yang terjadi di dalam suatu nilai 33
Mengidentifikasi hal-hal yang menyebabkan perubahan terhadap nilai 35
Mengembangkan strategi-strategi bagi HCV sosial 36
Pengelolaan HCV 37

bagian 5: apakah strategi pengelolaan yang sekarang berhasil? 47


Apa itu pemantauan? 47
Mengapa memantau? 48
Apa yang dipantau? 48
Data-dasar (Baselines) 50
Bagaimana memantau HCVF 50
Rencana Pemantauan Partisipatif 56
Bagaimana menggunakan hasil-hasil pemantauan 57

kesimpulan 59
lampiran 1: contoh-contoh beberapa masalah dan sumber masalah untuk nilai konservasi penting
di Kalimantan Timur 61
lampiran 2: ringkasan potensi ancaman terhadap nilai-nilai 66
lampiran 3: potensi strategi pengelolaan yang direkomendasikan 68
lampiran 4: daftar jenis vertebrata rawan, terancam dan endemik yang dapat ditemukan di
Kalimantan Timur 71

daftar pustaka dan rekomendasi bahan bacaan 75

Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia 1


daftar singkatan & kosakata
BAPPEDA Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

Birdlife Int. aliansi global organisasi konservasi burung

BRLKT Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah

CBD Convention on Biodiversity (Konvesi Keanekaragaman Hayati)

CIFOR Center for International Forestry Research (Pusat Penelitian Kehutanan Internasional)

CITES Convention on International Trade of Endangered Species

DAS Daerah Aliran Sungai

Dephut Departemen Kehutanan R.I.

EBA Endemic Bird Area (Kawasan Burung Endemik)

ENSO El Nino and Southern Oscillation (perubahan iklim karena pengaruh el nino dan la nina)

ERP Eco Regional Planning (Perencanaan Ekoregional)

FSC Forest Stewardship Council (Lembaga sertifikasi internasional)

FMU Forest Management Unit (Unit Manajemen Hutan)

HCV High Conservation Value (Nilai Konservasi Tinggi)

HCVF High Conservation Value Forest (Hutan Bernilai Konservasi Tinggi)

HL hutan lindung

HPH Hak Pengusahaan Hutan

HTI Hutan Tanaman Industri

IBA Important Bird Area (Kawasan Penting bagi Burung)

ITTO International Tropical Timber Organization

IUCN The World Conservation Union

KPA Kawasan Pelestarian Alam

KSA Kawasan Suaka Alam

LATIN Lembaga Alam Tropika Indonesia

LEI Lembaga Ekolabel Indonesia

LLFO Lore Lindu Field Office (Kantor Lapangan Lore Lindu)

LSM Lembaga Swadaya Masyarakat

NASA National Aeronautics and Space Administration

PCP(PKP) Participatory Conservation Planning (Perencanaan Konservasi Partisipatif)

PDB Pendapatan Domestik Bruto

2 Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia


ProForest Perusahaan independen untuk pengelolaan sumberdaya alam khususnya melalui pendekatan
praktis untuk kelestarian

PSP Permanent Sample Plot (Sampel Plot Permanen)

PT Perseroan Terbatas

RIL Reduced Impact Logging (Pemanenan Ramah Lingkungan)

RSPO Roundtable on Sustainable Oil Palm (Inisiatif multistakhoder global untuk kelestarian minyak
sawit)

SFO Samarinda Field Office (Kantor Lapangan Samarinda)

SIG Sistem Informasi Geografis

Skyline Tehnik penyaradan kayu dengan prinsip kerja katrol dan tiang pancang

SLJ Sumalindo Lestari Jaya

Smartwood Lembaga independen dunia untuk sertifikasi hutan

SOP Standard Operation Procedure (Prosedur Operasional Standar)

Stepwise
Approach Pendekatan bertahap menuju sertifikasi

TNC The Nature Conservancy

USAID United States Agency for International Development

USFS United States Forest Services

WWF World Wide Fund for Nature

Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia 3


4 Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia
Orang Dayak

ucapan terima kasih


Penelitian ini merupakan bagian dari kegiatan the Global
Development Alliance project, kolaborasi antara The
Nature Conservancy dan the World Wide Fund for Nature
(WWF), yang didanai oleh the United States Agency for
International Development (USAID) dan the United States
Forest Service Technical Assistance (USFS TA).

Kami mengucapkan terima kasih kepada para ahli yang telah


terlibat dan bekerjasama dengan kami, yaitu: Dr. Mark
Leighton (Harvard University), Dr. Jim Jarvie (konsultan
independen), Ms. Daryatun (TNC), dan Mr. Agus Salim
(TNC). Kami juga berterima kasih kepada para staf dari PT
Sumalindo Lestari Jaya, PT Daisy Timber, dan PT Intraca
yang telah mendukung, memberi masukan dan berkomitmen
untuk bekerja dengan konsep Hutan Bernilai Konservasi
Tinggi.

Teks oleh Erik Meijaard, Scott Alexander Stanley, Edward


H. Pollard, Anne Gouyon, dan Gary Paoli.

Lay out dan ilustrasi oleh Donald Bason.

Juni 2006.

Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia 5


6 Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia
Rangkong papan
pengantar
Hutan Bernilai Konservasi Tinggi atau HCVF merupakan hal yang baru bagi pemerintah
maupun kalangan industri sehingga menimbulkan bermacam pertanyaan mengenai apa itu
HCVF, bagaimana mengidentifikasi dan pengelolaannya. Forest Stewardship Council (FSC)
– Lembaga sertifikasi internasional mengembangkan konsep HCVF pada tahun 1999 dan me-
masukkannya dalam prinsip dan kriteria sertifikasi hutan.

Sebelumnya digunakan pengertian hutan yang telah berusia tua, namun kemudian banyak prak-
tisi merasa bahwa pengertian tersebut tidak tepat karena tidak mencakup kepentingan hutan
secara ekologi dan situasi sosial juga keadaan iklim tropis. Demi membantu para pengelola hu-
tan di Indonesia untuk mengidentifikasi HCVF, pada tahun 2004, Proforest dan Smartwood
mengembangkan perangkat HCVF khusus Indonesia.

Tujuan dari panduan ini adalah untuk mengembangkan perangkat HCVF, khususnya dengan
pemaparan berbagai contoh tentang bagaimana mengelola HCVF dan ide-ide bagaimana me-
mantau tentang kesehatan kawasan yang telah dilindungi.

Sejak tahun 2002, The Nature Conservancy (TNC) telah menginisiasi peran terkait dalam
upaya identifikasi dan penawaran rekomendasi untuk pengelolaan kawasan bernilai konservasi
tinggi. Saat ini TNC bekerjasama dengan tiga perusahaan pemegang konsesi hutan telah men-
gidentifikasi 185.000 ha hutan bernilai konservasi tinggi di Kalimantan Timur. Rencananya
luasan tersebut menjadi dua kali lipat pada tahun 2007. TNC sangat tertarik pada konsep ini
karena memahami bahwa pelayanan ekosistem dan fungsi proses ekologis pada skala besar atau
lansekap ekstrem dan pada sebagian besar kawasan dilindungi tidak mampu mencukupi untuk
menjamin berlangsungnya proses ini. Karena itu kawasan konservasi tinggi yang secara efektif
dikelola dapat meningkatkan dan menguatkan sistem nasional pada kawasan yang dilindungi.
Lebih jauh lagi, area HCVF dikelola dan dibiayai oleh sektor swasta sehingga tidak bergantung
dan menjadi beban anggaran pemerintah pusat.

Pertanyaan penting selanjutnya adalah mengapa kalangan industri dan pemerintah harus
tertarik pada HCVF ini? Permintaan sertifikasi hutan saat ini semakin meningkat oleh para
pembeli dari Eropa maupun Amerika Utara, dan kompleksitas sertifikasi menjadikan banyak

Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia 7


perusahaan mengambil kebijakan step-wise approach untuk dapat memenuhi keseluruhan
prinsip dan kriteria HCVF.

Prinsip sembilan pada HCVF sangat unik dengan mengkombinasikan komponen ekologi
maupun sosial yang bekerja pada dua skala yang berbeda. Bilamana dibandingkan luasan seluruh
propinsi, maka luas hutan yang masih baik dan belum terjamah masuk dalam kawasan bernilai
konservasi tinggi. Dan, pada tingkatan unit pengelolaan hutan, suatu upaya dibuat untuk meng-
konfirmasi apakah terdapat kumpulan spesies langka, genting dan terancam serta dalam kondisi
lingkungan yang seperti apa komunitas itu bergantung pada hutan alam yang ada. Berdasar pada
kombinasi faktor-faktor tersebut, banyak HPH yang berharap mampu menunjukkan komit-
men terhadap pengelolaan hutan yang berkelanjutan dengan menjadikan pengkajian HCVF
sebagai langkah awalnya.

Lebih jauh lagi konsep HCVF telah masuk dalam konteks FSC dan saat ini telah digunakan
dalam sektor pengelolaan kelapa sawit dan tambang. The Roundtable on Sustainable Palm
Oil telah membuat kesepakatan untuk secara khusus mengurangi dampak ekologi dan sosial
pada kawasan perkebunan kelapa sawit. Mereka telah memiliki rancangan yang sesuai dengan
seperangkat prinsip bahwa tidak ada konversi pada area HCVF.

Pengkajian HCVF pada skala lansekap berguna sebagai informasi bagi BAPPEDA tingkat
propinsi dan kabupaten. Pada kebanyakan kawasan hutan yang teridentifikasi sebagai HCVF
terletak pada kawasan hulu daerah aliran sungai yang merupakan pusat keanekaragaman hayati
sekaligus yang melindungi kawasan hilir dari bahaya banjir serta sebagai sumber air bersih.
Karena begitu maka BAPPEDA harus menjamin bahwa area HCVF tidak termasuk dalam
kawasan konversi, dan keberadaan area konservasi tinggi yang sebelumnya termasuk dalam ka-
wasan konversi perlu dikaji kembali. Peran penting lain pemerintah adalah harus memberikan
insentif bagi upaya sertifikasi, terutama kepada area yang dinyatakan sebagai HCVF. Antara lain
berupa penghapusan pajak area HCVF dan mengeluarkannya dari dari kawasan target produk-
si. Hal ini akan cukup memberikan manfaat yang tak terhitung banyaknya untuk kawasan hilir.

Konsep HCVF sendiri telah mendapat dukungan dari sektor perbankan internasional. Saat ini,
HSBC dan Rabobank telah menyatakan bahwa mereka tidak akan mendanai konversi pada
kawasan yang telah dinyatakan sebagai area HCVF.

Sementara laju deforestasi di Indonesia terus berlangsung dan semakin cepat terjadi pada hu-
tan-hutan di Kalimantan dan Sumatera. Konsep Hutan Bernilai Konservasi Tinggi merupakan
perangkat yang sangat berguna untuk melindungi area tersisa yang kritis secara ekologi dan
sosial. Salah satu tujuan dari TNC adalah menyediakan informasi penting dan praktis untuk
para pengelola hutan guna mengurangi dampak yang ditimbulkan. Dan, panduan ini diharapkan
dapat menjadi jawaban tujuan tersebut.

Scott Alexander Stanley


Senior Advisor

8 Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia


Macan Dahan

ringkasan eksekutif dan


rekomendasi
Konteks politik untuk analisa HCVF
Di Asia Tenggara, Konsep Hutan Bernilai Konservasi Tinggi - High Conservation Value Forest (HCVF)
menjadi perangkat yang sangat penting dalam mendesain kawasan yang mempunyai kepentingan
perlindungan khusus di luar jaringan kawasan lindung formal. Sejauh ini pengkajian HCVF telah
dilaksanakan di Indonesia, Malaysia, Vietnam, dan Papua New Guinea. Pengkajian HCVF yang dilak-
sanakan fokus pada hutan produksi dan kawasan perkebunan kehutanan, yang juga tertarik akan
konsep HCVF adalah perkebunan kelapa sawit dan industri pertambangan. Namun sejalan dengan
peningkatan kebutuhan akan penerapan konsep HVCF, masih banyak orang-orang kunci dalam
pemerintahan, industri dan LSM, yang belum mengetahui secara benar tentang HCVF. Panduan ini
merupakan tahapan selangkah lebih maju dalam upaya meningkatkan pertukaran informasi, out-
reach dan pelatihan tentang (a) pelaksanaan pengkajian HCVF, (b) mengelola HCVF dan (c) peman-
faatan HCVF sebagai alat perencanaan dan advokasi.
Secara ideal, pembuatan panduan HCVF, praktek dan praktisi harus berusaha menggali banyak masukan
penerapannya dalam suatu wilayah harus dipimpin dari stakeholder lain dan memperbaiki perangkat
oleh kelompok kerja multi-stakeholder. Kelompok yang ada, sesuai dengan kepentingan stakeholder
kerja FSC nasional dapat menjalankan peran ini, dan pembelajaran dari pengalaman pengkajian
dan stakeholder tambahan yang dibutuhkan dapat sebelumnya.
dilibatkan berdasar berbagai kasus yang timbul
dalam mengkaji dan mengelola HCVF, tidak dalam isu cakupan dan skala: apa yang dapat
rangka memperoleh sertifikasi hutan (misal; ketika
identifikasi HCVF terkait dengan perencanaan tata
dan tidak dapat dipetakan
ruang pemerintah atau HCVF dilaksanakan oleh HCVF bekerja pada level yang berbeda: lansekap
industri yang tidak mengkhususkan pada sertifikasi dan unit manajemen hutan - forest management
hutan seperti perkebunan kelapa sawit dan sektor unit (FMU). HCVF lansekap dapat secara mudah
tambang). Di Negara-negara seperti Indonesia, dikenali karena dapat diidentifikasikan hanya dengan
dimana perangkat dikembangkan oleh para ahli yang menggunakan citra satelit sedangkan ketergantungan
tidak termasuk kelompok formal (pemerintah), para desa sekitar pada sumberdaya hutan yang ada hanya

Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia 9


dapat didentifikasikan melalui kegiatan konsultasi. untuk menjamin partisipasi masyarakat yang cukup
Laporan ini membahas skala lansekap berikut skala dalam prosesnya berikut dengan melibatkan staf
FMU sekaligus juga melihat hubungan spasial antara dari perusahaan hutan, sehingga mereka memahami
keduanya yakni hubungan HCVF berbasis FMU hasil dan respon yang diperoleh. Lebih lanjut terdapat
dengan keseluruhan lansekap. Nilai Konservasi Tinggi kebutuhan untuk memperbaiki pendekatan berdasar
~ High Conservation Values (HCV) adalah statis, ekspose masyarakat pada pengaruh pembangunan
sedangkan nilai yang lain yakni ekologi dan sosial dari luar, misalnya seringkali dikunjungi oleh
dapat berubah sejalan dengan waktu. Tantangannya orang luar atau tidak. Terdapat kebutuhan untuk
adalah menyediakan batas HCVF yang terdeliniasikan meningkatkan masukan dari sisi sosial. Saat ini kajian
dalam peta, sehingga perusahaan hutan dapat secara sosial tidak memberikan hasil identifikasi
mengintegrasikannya dalam perencanaan jangka HCV yang realistik ketika perubahan ekonomi besar
panjang sekaligus mempertimbangkan perubahan akan terjadi nantinya. Lebih jauh lagi masukan harus
dinamis alam baik secara spasial dan temporal pada diatur secara berbeda terkait dengan apakah FMU
HCV. Pertanyaan tambahan mengenai kajian ini melakukan penebangan selektif di hutan alam atau
adalah apakah dapat benar-benar mencakup semua melakukan konversi lahan. Sehingga masukan akan
nilai-nilai sosial melalui proses konsultasi masyarakat menjadi sangat krusial. Akan susah mendapatkan
dan apakah masyarakat yang telah dilakukan masukan namun hal ini sangatlah penting. Di sisi lain
konsultasi juga akan sadar dengan konsekuensi hal ini memunculkan pertanyaan akan transparansi
dari proses konsultasi ini. Perlu ekstra kehati-hatian yang menjadi dasar penentuan keputusan HCV dan
dalam menggambarkan batas HCV berdasarkan nilai menjadi tantangan saat ini. Kemungkinan perubahan
ekonomi dan sosial, khususnya dalam perkebunan masukan atau penyusunan masukan yang adaptif
kelapa sawit dan pulp plantations yang terletak di dapat menjadi solusi.
luar kawasan HCVF yang hutannya akan menjadi
terbuka karena penebangan/dipanen. Pada beberapa
kawasan khusus, pengkaji bisa jadi tidak dapat
mengelola & monitoring HCVF
meletakan batas-batas kecuali telah melalui proses Mengelola HCVF tidak secara otomatis akan menu-
konsultasi yang mendalam. Menggunakan HCVF tup rapat hutan atau tidak dapat melakukan pene-
sebagai perangkat yang dinamis memungkinkan bangan selektif. Pada beberapa kasus, manfaat dari
perbaikan reguler berbasis pengalaman lapangan penebangan selektif dapat secara aktual membantu
dan perubahan kondisi sosial-ekonomi sembari untuk melindungi kawasan dari kerusakan hutan,
menyisakannya untuk kepentingan HCV. bilamana manfaat juga dirasakan oleh masyarakat
sekitar. Terdapat beberapa pilihan yang juga dapat
melindungi HCVF dengan memperbolehkan beber-
kebingungan dalam metoda – teknik apa pengambilan sumberdaya yang ramah lingkun-
identifikasi HCV sosial gan dan berkelanjutan di kawasan HCVF. Bilamana
Panduan ini menyediakan secara detil pembahasan terdapat spesies payung yang terancam punah
pada pengkajian dan pengelolaan nilai-nilai sosial. (seperti harimau atau badak), memelihara populasi
Banyak pertanyaan mengenai hal ini yakni bagaimana yang tersisa dapat dipertimbangkan sebagai dasar
cara pengkajiannya? Salah satu pertanyaan yang penentuan HCVF juga. Mengkaji kapasitas HCVF
lain adalah apakah prosedur HCVF mempunyai akan sulit secara statistik khususnya karena kurang-
waktu yang cukup untuk mengkaji nilai-nilai sosial nya data di Asia Tenggara. Kurangnya data dapat
yang ada? Seorang antropologis yang mengerjakan dikarenakan karena sedikitnya/tidak adanya survey
pengkajian selama 3 bulan masih merasa belum puas terhadap spesies kunci. Juga beberapa penyusunan
dengan hasil yang ada, padahal pengkajian HCVF di prioritas yang relevan dan analisa skala yang tepat
lapangan seringkali kurang dari satu minggu. Kami seperti yang dilakukan oleh BirdLife’s Important
menekankan bahwa prosedur HCVF merupakan Bird Areas menyediakan/mengindikasikan kawasan
proses yang masih terus berlanjut yang bilamana sebagai pilihan atau pertimbangan untuk kawasan
terdapat informasi sosial yang baru, perencanaan konsentrasi keanekaragaman hayati. Penggunaan
yang sudah ada kemungkinan perlu diadaptasikan kategori spesies oleh IUCN sebagai dasar untuk
kembali. Menindaklanjuti pertemuan stakeholder pengkajian HCV perlu dipertimbangkan. Pengkaji
oleh perusahaan hutan akan menjadi penting bagi perlu menjustifikasi apakah kriteria IUCN dimasuk-
kesuksesan HCVF. kan atau tidak.

Sebelum memulai pengkajian HCVF dengan


menggunakan metoda standar, sangat penting

10 Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia


HCVF – apakah ada kehidupan di bahwa HCVF yang dikelola dengan baik adalah
kawasan yang kaya akan spesies. dan 2. Pemerintah
luar FSC? secara legal mengakui HCVF sebagai bagian dari
Beberapa pengkajian HCVF terkini di Indonesia telah jaringan kawasan konservasi. Hal ini akan membantu
menunjukkan bagaimana HCVF dapat diterapkan pemerintah memenuhi kesepakatan internasional
di luar konteks sertifikasi hutan, misalnya dalam untuk menyelamatkan dan mengelola secara efektif
perkebunan sawit dimana sertifikasi hutan tidaklah persentase dari luasan kawasan hutan nasional.
menjadi goal perusahaan. Dari pengkajian HCVF
dan komitmen perusahaan terkait untuk melindungi
kawasan ini, hal ini jelas menunjukkan bahwa
HCVF merupakan perangkat konservasi yang kuat
yang dapat memperkuat jaringan kawasan lindung
Negara yang tidak harus dikaitkan langsung dengan
sertifikasi.

Ular hijau(Ahaulla prasina)

peran pemerintah
HCVF menjadi perangkat yang sangat kuat guna
upaya advokasi pemeliharan blok hutan yang utuh
dan kawasan penting yang sangat bernilai dan
tersisa dalam skala lansekap besar. Namun dalam
penerapannya sebagai alat advokasi dan perencanaan
yang efektif pada level lansekap, proponen HCVF harus
terintegrasi dengan proses perencanaan tata ruang
pemerintah Hal ini akan mengijinkan adanya mosaik
yang saling berkesinambungan (misal; hubungan
antara HCVF berbasis FMU dengan kawasan lindung
yang ada).

Pemerintah harus terlibat dalam pengkajian HCVF


pada level lansekap. Pada level FMU, pemerintah harus
terlibat dalam pemberian insentif (misal pengurangan
pajak, investasi perlindungan). Banyak perusahaan di
Indonesia hanya mempunyai investasi perlindungan
yang sedikit sehingga hal ini kemungkinan dapat
menjadi hal yang menarik bagi mereka. Dengan
memberikan insentif finansial, penerimaan dan
penggunaan HCVF di antara perusahaan kehutanan
akan meningkat secara signifikan.

Hal ini penting untuk memfasilitasi dan mendorong


komunikasi langsung antara pemerintah dan
perusahaan. Pemerintah mendapat manfaat secara
internasional dengan mengakui HCVF sebagai alat
yang penting untuk melindungi keanekaragamanhayati
yang mencakup 1. Secara internasional diterima

Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia 11


12 Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia
Orangutan
bagian 1

pendahuluan
Apa tujuan panduan ini?
Penebangan selektif menimbulkan dampak negatif langsung yang lebih kecil bagi kebanyakan jenis
hidupan liar daripada dugaan pada umumnya (Meijaard dkk. 2005), sementara para ahli konservasi
menekankan betapa penting peranan pengelolaan hutan berkelanjutan untuk konservasi jangka
panjang hutan dan hidupan liar. Pembentukan Hutan Bernilai Konservasi Tinggi (High Conserva-
tion Value Forest-HCVF) yang merupakan pengelolaan konservasi dalam zone pemanfaatan hutan
akan menjadi alat untuk mempertahankan integritas alami dan budaya dari daerah hutan produksi.
Satu tantangan bersama dari pengelola hutan di In- fikasi Forest Stewardship Council (FSC). Sertifikasi
donesia adalah identifikasi dan pengelolaan HCVF itu juga bermanfaat sebagai jaminan pengelolaan
ini. Identifikasi dan pengelolaan HCVF adalah bagian hutan berkelanjutan secara umum dan pemeliharaan
penting dari prinsip-prinsip serta kriteria untuk serti- ekosistem fungsional.

Definisi dan penjelasan Hutan Bernilai Konservasi Tinggi terdapat dalam bab 2 dan 3

Pemeliharaan HCVF dalam Unit


The Forest Stewardship Council (FSC) Manajemen Hutan (forest manage-
adalah organisasi nirlaba internasional ment unit - FMU) memerlukan iden-
yang dibentuk tahun 1993 untuk mendu- tifikasi dan pengelolaan dalam skala
kung pengelolaan hutan dunia yang tepat lansekap. Panduan praktis untuk
secara lingkungan, menguntungkan secara identifikasi HCVF di Indonesia telah
sosial dan memungkinkan secara ekonomi. terbit (Proforest / SmartWood 2003);
Organisasi ini merupakan asosiasi dari Panduan ini fokus pada sebagian
berbagai anggota yang terdiri dari beragam kelompok yang dari permasalahan yang ada — yaitu,
bagaimana mengelola HCVF di Indo-
merupakan perwakilan dari kelompok lingkungan dan sosial,
nesia. Panduan ini dibuat berdasar-
kelompok profesi pedagang kayu dan kehutanan, organisasi kan studi kasus di Kalimantan Timur.
masyarakat asli, kelompok masyarakat kehutanan dan organ- Walaupun beberapa isu biologis,
isasi sertifikasi hasil hutan dari seluruh dunia. Keanggotaan sosial dan budaya yang difokuskan
organisasi ini terbuka untuk semua kelompok yang bergerak spesifik Kalimantan Timur, namun
di bidang kehutanan atau hasil hutan yang bersedia berbagi metoda dan rekomendasi yang dipa-
arah serta tujuan mereka (www.fsc.org) parkan relevan dan dapat digunakan
di tempat lain di Indonesia.

Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia 13


Kenapa panduan ini diperlukan?
Kurang lebih 30 tahun lalu, hutan-hutan perawan titik temu antara kebutuhan akan konservasi dan
yang luas menutupi jutaan hektar permukaan Pulau pembangunan ekonomi melalui promosi pengelolaan
Kalimantan, utamanya di propinsi-propinsi Kaliman- hutan berkelanjutan. Salah satu upaya tersebut
tan, Indonesia. Namun sejak tahun 1970-an, seba- adalah sistem sertifikasi dari FSC. Sistem ini terdiri dari
gian besar dari daerah ini telah rusak dan hancur sembilan prinsip yang menyediakan kerangka kerja
oleh konversi hutan, kebakaran dan pola pembalakan bagi pengelolaan hutan alam, mulai dari formulasi
yang merusak. Kehilangan hutan terbesar terdapat di rencana pengelolaan sistematik sampai dengan
dataran rendah. Bilamana kecenderungan ini terus pelaksanaan rencana aksi konservasi. Beberapa HPH
berlanjut maka diperkirakan hampir seluruh hutan di propinsi Kalimantan Timur, saat ini berusaha untuk
dataran rendah tersebut akan hancur pada tahun mendapatkan sertifikasi FSC. Salah satu hambatan
2010 (Holmes 2002; Curran dkk. 2004). Hutan da- yang kerap dijumpai untuk memperoleh sertifikasi
taran rendah di Kalimantan adalah salah satu eko- FSC ini adalah identifikasi dan pengelolaan Hutan
sistem daratan yang memiliki keanekaragaman haya- Bernilai Konservasi Tinggi (HCVF), seperti yang
ti tertinggi di dunia. Hutan-hutan itu adalah pusat disyaratkan dalam Prinsip 9 dalam sistem FSC.
keanekaragaman bagi berbagai jenis rotan, mangga,
tanaman kantong semar, pohon-pohon berkanopi Para pemegang konsensi HPH menyatakan
Dipterocarpacea, dan juga rumah bagi berbagai jenis kesulitannya dalam memahami konsep HCVF dalam
hewan seperti orangutan, badak dan burung rang- konteks Indonesia sehingga sulit untuk memenuhi
kong. kriteria yang sesuai untuk mendapatkan sertifikasi.
Seringkali HPH-HPH kekurangan sumberdaya
Walaupun terdapat kebutuhan mendesak untuk manusia sebagai pelaksana untuk mengidentifikasi
mengelola hutan hujan tropis di Asia Tenggara atas dan mengelola HCVF. The Nature Conservancy,
nama kepentingan konservasi keanekaragaman dengan pengalaman lebih dari 50 tahun mengelola
hayati dalam segala bentuknya, namun negara-negara kawasan konservasi di seluruh dunia, telah memberi
berkembang seperti Indonesia ternyata tidak memiliki prioritas utama kepada Program Kalimantan Timur
kemampuan untuk menyisihkan semua hutannya agar HPH-HPH memiliki keahlian yang diperlukan
yang tersisa untuk tujuan non-produksi. Penghasilan untuk meningkatkan aspek konservasi dari
yang diperoleh dari pemanenan dan pemrosesan pengelolaan mereka sejalan dengan prinsip-prinsip
kayu adalah bagian penting bagi perekonomian. Bagi FSC. Tujuan keseluruhan dari program ini adalah
Indonesia, sektor ekonomi hasil hutan menyumbang untuk melakukan konservasi pada daerah hutan
sekitar 9% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) yang kaya secara biologis dalam area konsesi hutan
pada tahun 2003. Oleh karenanya di tahun-tahun menggunakan sertifikasi sebagai salah satu strategi
terakhir ini dilakukan berbagai upaya untuk mencapai utama.

The Nature Conservancy adalah organisasi


konservasi internasional yang misinya adalah
“melindungi tumbuhan, hewan dan komunitas
alami yang mewakili kekayaan hidup di muka
Bumi melalui perlindungan tanah dan air yang
diperlukan agar dapat bertahan hidup”

Untuk siapa panduan ini?


Panduan ini terutama didesain untuk digunakan implementasi dari praktek-praktek pengelolaan
oleh para pengelola hutan dalam pengelolaan hutan FMU. Oleh karenanya, dokumen ini dapat menjadi
konsesi yang masih aktif. Termasuk didalamnya para panduan untuk keseluruhan kebijakan pengelolaan
personil senior pada perusahaan yang memiliki yang dijalankan oleh sebuah perusahaan kehutanan,
konsesi pemanenan sampai pengelola operasional sekaligus mempengaruhi praktek-praktek spesifik
di lapangan yang bertanggungjawab terhadap dalam pengelolaan hutan.

14 Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia


Bagaimana menggunakan
panduan ini?
Panduan ini didesain untuk membantu pengguna
melalui proses mengidentifikasi, mengelola dan Sebuah Unit Manajemen Hutan
monitoring HCVF dalam lingkup terbatas. Dalam
(FMU)) adalah sebuah area
panduan ini banyak digunakan istilah-istilah
baru, tidak umum dan spesifik. Setiap kali istilah
hutan yang dikelola untuk
ini diperkenalkan maka akan ditonjolkan dalam produksi kayu atau hasil non-
tulisan yang dipertebal dan sebuah kotak sisi akan kayu. Di Indonesia, hal ini
diberikan untuk menjelaskan definisi singkat atau dimungkinkan meliputi
penjelasan konsep. lisensi ekploitasi komersial
berskala besar yang dikeluar-
Panduan ini sedapat mungkin ditulis secara jelas kan bagi perusahaan swasta atau
dan instruktif. Walaupun demikian tidaklah mungkin hutan yang dikelola masyarakat
dapat menjelaskan setiap skenario atau pemecahan berskala kecil. FMU tidak termasuk
masalah yang mungkin terjadi. Untuk menjelaskan kawasan Taman Nasional atau
berbagai situasi banyak contoh-contoh dikemukakan kawasan perlindungan tangkapan
dalam panduan ini. Perla ditekankan bahwa panduan
air yang dikelola untuk konservasi
ini tidak menyediakan semua jawaban namun
diharapkan dapat membantu pengelola untuk berpikir
keanekaragaman hayati atau
secara logis dan sistematis tentang pengelolaan perlindungan sumberi air.
HCVF sebab setiap FMU memiliki keunikan tersendiri
dan berbeda dengan yang lain.

Struktur dari Panduan ini adalah sebagai berikut:


Bagian 2: Apakah Hutan Bernilai Konservasi Tinggi (HCVF)?
Bagian 2 memperkenalkan konsep HCVF dan pentingnya hutan di Kalimantan Timur secara
umum. Bagian ini secara singkat menjelaskan sertifikasi hutan dan bagaimana HCVF didefinisikan
oleh FSC sekaligus mengulas perangkat yang dikembangkan oleh Proforest/SmartWood (2003) untuk
mengidentifikasi HCVF di Indonesia. Bagian ini juga mendefinisikan keragaman dari Nilai Konservasi
Tinggi (HCV) yang terdapat dalam hutan Indonesia dan menjelaskan contoh-contoh dari nilai-nilai ini di
Kalimantan Timur.

Bagian 3: Bagaimana anda dapat mengidentifikasi HCVF?


Bagian 3 secara ringkas mendiskusikan metoda-metoda untuk mengidentifikasi HCVF.

Bagian 4: Bagaimana anda mengelola HCVF?


Bagian 4 adalah bagian utama dari panduan ini dan terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama,
mendeskripsikan suatu proses mengidentifikasi ancaman-ancaman terkini dan yang akan datang
terhadap nilai konservasi tertentu dalam sebuah FMU. Bagian kedua memberikan saran atas
strategi pengelolaan yang dapat mengurangi atau menghilangkan ancaman-ancaman dalam rangka
mempertahankan nilai-nilai tersebut di bawah pengelolaan. Bagian ketiga, akan diberikan deskripsi detil
untuk beberapa strategi kunci yang penting bagi pengelolaan HCVF.

Bagian 5: Apakah strategi pengelolaan yang sekarang berhasil?


Bagian 5 memperkenalkan konsep pemantauan dan manajemen adaptif. Bagian ini memberikan
saran-saran bagaimana praktek pengelolaan HCVF dapat dipantau, dan menjelaskan kenapa informasi
tersebut penting digunakan dalam membuat keputusan pengelolaan di masa yang akan datang.

Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia 15


Dengan mengikuti panduanini serta melaksanakan
praktek-praktek pengelolaan baru, pengelola hutan
akan membuat kemajuan penting menuju pengelolan
hutan berkelanjutan dan memenuhi kriteria prinsip
9 FSC. Bila telah melaksanakan seluruh strategi
pengelolaan ini, maka akan terpenuhi pula aspek
sosial dan ekologis FSC. Sepanjang pelaksanaan,
sangatlah penting adanya dokumentasi penuh dari
semua pertimbangan, keputusan dan langkah-
langkah saat pengelola mengembangkan dan
melaksanakan strategi pengelolaan hutan. Jika
sebuah tim pengelolaan tidak dapat menjelaskan
kenapa mereka melakukan apa dan bagaimana
tindakan itu dapat mempertahankan nilai, maka
sangatlah tidak mungkin strategi itu bisa dilakukan
secara efektif.

16 Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia


bagian 2

apakah
Hutan
Bernilai
Konservasi Tinggi
(HCVF) itu?
Sertifikasi Hutan
Sertifikasi hutan adalah sebuah istilah mengenai berbagai standar berbeda yang dirancang untuk
mendukung pengelolaan hutan yang berkelanjutan, atau secara sederhana bisa disebut sebagai
pengelolaan hutan yang baik. Pada sepuluh tahun terakhir, permintaan konsumen akan produk kayu
asal hutan yang dikelola secara berkelanjutan dengan dampak terbatas terhadap keanekaragaman
hayati dan masyarakat asli yang hidup di dalam dan di sekitar hutan telah meningkat. Sertifikasi
adalah suatu sistem dimana konsesi hutan dapat disetujui, atau diberi ‘sertifikat’, jika mereka mam-
pu memenuhi berbagai standar yang mendefinisikan proses sertifikasi. Standar tersebut seringkali
dikenal sebagai prinsip-prinsip dan kriteria.
Walaupun sertifikasi tidak selalu menjawab semua Saat ini terdapat dua sistem sertifikasi yang dianut
kebutuhan akan pertanggungjawaban konservasi di Indonesia yaitu: FSC (The Forest Stewardship
dan sosial, namun demikian hal ini adalah salah satu Council) dan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI).
cara terbaik untuk mempromosikan isu-isu tersebut Keduanya telah mengembangkan Prinsip-prinsip
dalam kondisi saat ini. dan Kriteria dalam pengelolaan hutan. Panduan ini

Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia 17


fokus pada aspek-aspek yang berhubungan dengan Informasi lebih banyak tentang sertifikasi LEI dapat
sertifikasi FSC. FSC telah mendefinisikan pengelolaan diperoleh dari http://www.lei.or.id/
hutan alam yang bertanggungjawab berdasarkan
9 prinsip (Lampiran 1), yang kesemuanya harus
dipenuhi untuk mendapatkan sertifikasi. Sertifikat
diberikan berdasarkan hasil pengkajian pihak ketiga
yang independen.

Prinsip Sembilan Forest Stewardship Council (FSC)


Prinsip Sembilan dari FSC dan kriteria yang terkait digunakan untuk memberikan pengenalan khusus
terhadap hutan-hutan bernilai konservasi tinggi (HCVF) dan memerlukan perlindungan khusus karena
adanya satu atau lebih kehidupan yang berhubungan dengan sifat-sifat ekosistem, jasa lingkungan dan
nilai sosial.

Secara khusus Prinsip 9 menyatakan (FSC 2000):

PENGELOLAAN HUTAN BERNILAI KONSERVASI TINGGI


Kegiatan pengelolaan dalam Hutan Bernilai Konservasi Tinggi harus menjaga atau meningkatkan sifat-
sifat yang mendefinisikan hutan tersebut. Keputusan mengenai Hutan Bernilai Konservasi Tinggi harus
selalu dipertimbangkan dalam konteks pendekatan kehati-hatian.

9.1 Pengkajian untuk menentukan keberadaan dari sifat-sifat yang konsisten dengan Hutan Bernilai
Konservasi Tinggi akan dilengkapi, sesuai dengan skala dan intensitas dari pengelolaan hutan.
9.2 Bagian konsultatif dari proses sertifikasi harus menekankan pada sifat-sifat konservasi yang telah
diidentifikasi, dan pilihan-pilihan untuk pemeliharaan selanjutnya.
9.3 Rencana pengelolaan hendaknya meliputi dan mengimplementasikan tindakan-tindakan spesifik
untuk menjamin pemeliharaan dan/atau peningkatan sifat-sifat konservasi yang dapat diterapkan
konsisten dengan pendekatan kehati-hatian. Tindakan-tindakan ini hendaknya secara spesifik
dimasukkan dalam ringkasan rencana pengelolaan yang tersedia bagi publik.
9.4 Pemantauan tahunan akan dilakukan untuk menilai efektivitas langkah-langkah yang diterapkan
untuk memelihara atau meningkatkan sifat-sifat konservasi yang dapat diterapkan.

Prinsip ini relatif baru dikembangkan untuk menggantikan konsep lama dari hutan yang sudah tumbuh
lama atau hutan perawan: Kelompok kerja pertama yang mempertimbangkan teks dari Prinsip 9 yang
diciptakan oleh FSC pada tahun 1998 (FSC, 2001).

FSC mendefinisikan Hutan Bernilai Konservasi Tinggi sebagai:

Hutan-hutan yang memiliki satu atau lebih dari sifat-sifat di bawah ini:

HCV1 Kawasan hutan yang secara global, regional atau nasional memiliki konsentrasi nilai
keanekaragamanan hayati yang signifikan (misalnya endemisme, spesies yang genting, tempat
perlindungan).
HCV2 Kawasan hutan yang secara global, regional atau nasional mempunyai luasan lansekap hutan
yang signifikan, yang termasuk dalam, atau memiliki unit pengelolaan, dimana penyebaran dan
kelimpahan populasi yang ada dari hampir semua atau semua jenis alami didalamnya ditemui
dalam pola alami.
HCV3 Kawasan hutan yang berada dalam atau memiliki ekosistem langka, terancam atau genting.
HCV4 Kawasan hutan yang memberikan jasa-jasa dasar alami dalam situasi kritis (misalnya perlindungan
daerah tangkapan air, pengontrol erosi).

18 Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia


HCV5 Kawasan hutan yang penting untuk memenuhi kebutuhan dasar dari masyarakat lokal (misalnya
sumber penghidupan, kesehatan).
HCV6 Kawasan hutan yang penting bagi identitas budaya masyarakat lokal (daerah yang memiliki
kepentingan budaya, ekologis, ekonomis atau keagamaan yang ditentukan bersama-sama dengan
masyarakat lokal yang ada).

Kunci dari prinsip ini adalah konsep nilai-nilai. Prinsip 9 tidak menekankan pada konservasi satu spesies
langka atau hak-hak masyarakat. Hal tersebut telah diatur di bidang lain. Prinsip 9 lebih bersifat umum
dan konsekuensinya lebih sulit didefinisikan. Nilai-nilai tersebut lebih berhubungan dengan fungsi
sebuah hutan pada skala lokal, regional atau global. Fungsi-fungsi tersebut dapat didefinisikan dengan
jelas dan memiliki keterkaitan ekonomis yang langsung, seperti perlindungan daerah tangkapan air atau
pemeliharaan sumber makanan bagi masyarakat lokal. Sebaliknya, fungsi tersebut juga termasuk nilai-nilai
dasar, seperti konservasi dari spesies endemik di dalam suatu hutan, yang mungkin tidak memiliki nilai
ekonomis yang jelas namun penting untuk mempertahankan keanekaragaman hayati.

Spesies endemik adalah spesies unik yang hanya


ditemukan pada satu wilayah geografis tertentu dan
tidak ada di tempat lain. Dalam konteks Indonesia,
endemisme seringkali didasarkan pada penyebaran
dalam pulau. Sebagai contoh lutung merah (Presbytis
rubicunda) adalah endemik Borneo karena hanya
ditemukan pada pulau itu saja.

Lutung merah

Menurut Prinsip 9, Pengelolaan HCVF harus dilakukan di dalam sebuah HCVF sepanjang kegiatan
mempertahankan atau meningkatkan nilai-nilai dari tersebut tidak merusak nilai-nilai dari hutan.
kepentingan yang ada. Namun demikian, hal ini tidak
berarti meniadakan aktivitas pembalakan dalam Prinsip 9 sangat relevan bagi Indonesia, di mana
hutan. Sebagai contoh, pemanenan kayu mungkin terdapat konteks ekologis, lingkungan dan sosial
diperbolehkan pada daerah tangkapan air yang yang unik yang membuat hampir semua pengelola
kritis sepanjang metode pembalakan yang dilakukan dari hutan alam bekerja dalam sebuah HCVF. Oleh
tidak mempengaruhi kualitas air dan fungsi- karenanya, untuk mengenali hal ini, para pemegang
fungsi hidrologis. Hal serupa adalah kegiatan bisa konsesi hutan di Indonesia yang berminat untuk
dilakukan di daerah-daerah yang memiliki nilai sosial mendapatkan sertifikasi dari FSC harus mempelajari,
tinggi namun pengelolaan harus tidak berdampak bagaimana mengintepretasikan kriteria yang
negatif bagi nilai-nilai yang dianggap mendasar bagi berhubungan dengan Prinsip 9, dan bagaimana
masyarakat lokal. Jadi, menurut Prinsip 9, sejumlah memenuhi kriteria tersebut.
besar aktifitas pengelolaan dan produksi masih dapat

Apakah Anda Memiliki Hutan Bernilai Konservasi Tinggi?


Sebagai usaha untuk mengatasi permasalahan mengelola HCVF (Toolkit for identifying and managing
dalam mengidentifikasi, memantau dan mengelola HCVF) (Jennings dkk. 2003).
HCVF, organisasi ProForest telah mengembangkan
satu panduan dengan pedoman umum yang dapat Panduan yang dikenal sebagai ‘Perangkat
diterapkan secara luas di seluruh dunia. Panduan ini ProForest’ terdiri dari dua tahap proses untuk
disebut sebagai Perangkat untuk mengidentifikasi dan mengidentifikasi HCVF: pertama, sebuah pengkajian

Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia 19


awal untuk menentukan apakah benar terdapat untuk menentukan dengan tepat nilai-nilai tersebut
nilai-nilai konservasi tinggi (HCV) dalam sebuah (Gambar 1).
unit pengelolaan, dan kedua, pengkajian penuh

Pengkajian Awal
Identifikasi ada atau tidaknya
HCV tidak Dokumentasikan kenapa
potensial HCV
ada setiap nilai tertentu tidak
bagian 2
ada.
Potensi HCV ada Beri alasan bagi setiap
keputusan.

Setiap nilai yang


diidentifikasi harus kelola
secara benar.
Pengkajian Penuh Untuk FSC harus
Identifikasi ada atau tidaknya HCV HCV tidak dilakukan sebagai bagian
secara aktual ada dari persyaratan untuk
bagian 2 Prinsip 1 -8.
FSC kriteria 9.1

HCV ada

Pengelolaan Adaptasi pengelolaan


Pengelolaan HCVF untuk menjamin berdasarkan hasil
bahwa HCV teleh dipertahankan atau monitoring
ditingkatkan
bagian 3
FSC kriteria 9.3

Monitoring
Monitoring HCV untuk mengkonfirmasi
bahwa HCV teleh dipertahankan atau Gambar 1: Pendekatan perangkat
ditingkatkan ProForest untuk mengidentifikasi,
bagian 4 mengelola dan memantau HCVF
FSC kriteria 9.4
(sumber Jennings, Nussbaum dan
Synnott 2002)

Panduan umum dari ProForest selanjutnya diadaptasi Perangkat tersebut mencakup rincian perbab untuk
untuk menghasilkan perangkat bagi Indonesia. tiap jenis dari enam jenis Nilai Konservasi Tinggi
Para pengelola hutan sebaiknya menggunakan (HCV), dan sebuah daftar komponen HCV untuk
panduan yang berjudul “Mengidentifikasi, Mengelola, Indonesia. Setiap komponen didiskusikan tersendiri
dan Memantau Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di dan termasuk didalamnya alasan penggunaan
Indonesia: Sebuah Perangkat bagi para Pengelola Hutan dan pedoman bagi pengguna untuk (i) bagaimana
dan Pemangku Kepentingan” (ProForest/SmartWood menentukan keberadaan nilai tersebut, (ii) bagaimana
2003) untuk menentukan keberadaan dan nilai- mengelola hal tersebut, dan (iii) bagaimana melakukan
nilai yang terdapat dalam FMU. Bagian-bagian dari pemantauan untuk memastikan terjaganya nilai-nilai
panduan tersebut dikutip dibawah ini. tersebut. Ketiga bagian ini menjadi inti dari perangkat
HCVF untuk konteks Indonesia,dan akan didiskusikan
lebih lanjut pada Bagian 2, Bagian 3 dan Bagian 4.

20 Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia


Pengkajian awal adalah suatu metode sederhana untuk Pengkajian penuh merupakan metodologi yang
memastikan ada tidaknya HCV. Penilaian ini berfungsi memakan waktu lebih lama untuk mengidentifikasi
sebagai saringan kasar, untuk mengeluarkan semua potensi HCV secara detil atau untuk mengklarifikasi
hutan yang secara pasti tidak mengandung HCV, dan bahwa tidak ada HCV. Pengkajian yang lebih rinci
untuk mengidentifikasi hutan-hutan yang berpotensi dari berbagai karakteristik sebuah kawasan atau
memiliki HCV tertentu. Pengkajian awal haruslah pemanfaatan hutan dan memerlukan lebih banyak
cukup singkat dan mudah sehingga dapat dilakukan informasi dan keahlian. Dalam sebuah pengkajian
oleh kebanyakan orang termasuk pengelola hutan penuh pengguna perangkat biasanya perlu
dan pembeli kayu. Pengkajian awal biasanya dalam melakukan hubungan dengan para ahli dan pihak
bentuk sebuah pertanyaan “ya atau tidak” mengenai terkait yang relevan dan/atau mengadakan penelitian
keberadaan suatu nilai tertentu. Sebagai contoh, dan konsultasi khusus.
sebuah pengkajian awal mungkin dapat ditanyakan
kepada pengguna untuk mengidentifikasikan apakah Di bawah ini adalah definisi
terdapat masyarakat atau kawasan lindung terdapat Perangkat dari komponen-
di sekitar FMU yang sedang dikaji. Jika jawaban dari komponen Hutan Bernilai
pengkajian awal tersebut adalah ya, maka pengguna Konservasi Tinggi di Indonesia.
perangkat perlu melakukan pengkajian lebih lengkap Untuk setiap HCV, kami membuat
atau pengkajian penuh terhadap nilai tersebut. Jika daftar komponen-komponen yang
pengguna perangkat menetapkan bahwa sebuah relevan, memberikan definisi setiap
kawasan hutan tidak memiliki karakteristik seperti itu konsep kunci, dan memberikan
maka tidak perlu diadakan pengkaian lebih lanjut dari contoh dengan referensi khusus
HCV. Kalimantan Timur

HCV1. Kawasan hutan yang secara global, regional atau nasional


memiliki konsentrasi nilai keanekaragamanan hayati yang signifikan
(misalnya endemisme, spesies yang genting, refugia/tempat perlindungan).
HCV berkenaan dengan FMU dan semua dampak 1.1 Kawasan dilindungi
dari kegiatan yang ada, yang berpengaruh pada
1.2 Spesies-spesies yang hampir punah.
hutan, pesisir, laut lepas dan lansekap lainnya, baik
dilindungi maupun tidak. 1.3 Konsentrasi spesies hampir punah,
terancam atau endemik.
Dalam konteks Indonesia perangkat ini meng-
1.4 Konsentrasi temporal yang kritis.
identifikasi komponen-komponen di bawah ini:

Kupu-kupu Monarch
Refugia adalah area dalam kawasan hutan
yang memiliki ketangguhan terhadap
perubahan yang disebabkan oleh faktor luar,
misalnya cuaca. Sebagai contoh, sebuah refugia
hutan bisa saja berupa sebuah area dalam hutan
yang memiliki karakteristik geografis atau
geologis lokal yang menyediakan peredam
atas kejadian-kejadian cuaca ekstrim,
misalnya musim kering berkepanjangan
karena faktor ENSO. Sementara hutan lainnya
mungkin rentan terhadap api dan terbakar, namun
refugia hutan ini tidak. Sebuah contoh dari konsentrasi temporal suatu
spesies yang kritis, adalah sebuah daerah bergunung yang relatif kecil di
Meksiko yang menjadi tempat berkumpul yang sangat penting bagi sebagian besar populasi
kupu-kupu Monarch (Danaus plexippus) di Amerika Serikat di saat bulan-bulan musim dingin.

Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia 21


HCV1 di Kalimantan Timur
Sebuah peta dari kawasan dilindungi dan daerah hutan lindung di Kalimantan Timur bisa dilihat pada Lampiran
(Peta 1). Sebuah daftar dari jenis-jenis genting, terancam dan endemik yang dapat ditemukan di Kalimantan
Timur terdapat pada Lampiran 2.

HCV2. Kawasan hutan yang secara global, regional atau nasional


mempunyai luasan lansekap hutan yang signifikan, yang termasuk
dalam, atau memiliki unit pengelolaan, dimana penyebaran dan
kelimpahan populasi yang ada dari hampir semua atau semua jenis
alami di dalamnya ditemui dalam pola alami.
Dalam konteks Indonesia perangkat ini telah HCV2 di Kalimantan Timur
mengidentifikasi komponen-komponen berikut: TNC telah melaksanakan analisis kondisi hutan
di seluruh Kalimantan Timur. Kegiatan ini meng-
2.1 FMU adalah lansekap hutan yang luas gunakan citra satelit dan kondisi yang dikaji ber-
dasarkan pada ada atau tidak adanya jalan raya,
2.2 FMU adalah bagian penting dari suatu tipe vegetasi dan derajat gangguan (sebagai con-
lansekap hutan yang lebih luas toh lihat Peta 6, yang menunjukkan analisa untuk
Kabupaten Berau). Peta-peta seperti ini dapat di-
2.3 FMU menjaga keberadaan populasi yang gunakan untuk membantu mengkaji apakah FMU
dapat hidup dari spesies yang ada secara di Kalimantan Timur adalah bagian dari tingkatan
alami hutan pada lansekap yang luas (seperti didefinisi-
kan dalam perangkat).

Hampir sama sekali tidak diketahui apakah yang


menentukan keberadaan populasi berbagai spesies
di Kalimantan Timur. Hanya sedikit spesies yang
dipahami secara ekologi dari keseluruhan spesies
yang terdapat di Kalimantan, sampai hal ini benar-
benar dapat dibuktikan. Di lain pihak para pengelola
hutan harus berasumsi bahwa jika FMU besar, dengan
hutan yang relatif utuh, maka kemungkinan semua
spesies yang seharusnya ada akan ditemukan. Ini yang
disebut sebagai prinsip kehati-hatian; saat ragu-
ragu, lebih baik salah karena waspada.

Kucing Tandang

HCV3. Kawasan hutan yang berada dalam atau memiliki ekosistem


langka, terancam atau hampir punah.
HCV3 fokus pada ekosistem, artinya pengelola hutan daerah yang sangat miskin hara dan tanah berpasir
harus menginterpretasikan berbagai tipe hutan yang yang memiliki penyebaran geografis terbatas. Hal
luas. Beberapa tipe hutan yang luas secara alami serupa juga mengenai hutan gamping yang hanya
jarang ditemukan di wilayah lain atau pulau-pulau terdapat pada daerah dengan deposit batuan
tertentu di Indonesia. Hutan kerangas, contohnya, gamping, yang penyebaran geografisnya juga sangat
secara luasan terbatas karena hanya ditemukan di terlokalisasi.

22 Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia


Tipe hutan luas lainnya kini menjadi langka karena
banyaknya ancaman yang akhir-akhir ini lebih HCV3 di Kalimantan Timur
dikarenakan kegiatan manusia, seperti pembalakan, Beberapa kelompok telah mencoba memetakan
kebakaran dan konversi menjadi lahan pertanian. tipe-tipe hutan di Kalimantan Timur. Peta-peta
tersebut dapat digunakan sebagai data dasar bagi
HCV ini didesain untuk memastikan konservasi tipe pengkajian keberadaan tipe hutan dalam sebuah
hutan yang terancam atau hampir punah. Penekanan FMU. Namun, perlu ditekankan bahwa peta-peta
tersebut menggunakan skala kasar dan dengan
khusus diberikan kepada hutan-hutan yang dulunya
demikian tidak mungkin untuk digunakan sebagai
tersebar luas dan kini menjadi langka karena
alat penentuan akhir apakah suatu jenis hutan
penyebaran terbatas dari kondisi lingkungan dimana ada dalam suatu FMU. Untuk mengetahui dengan
mereka hidup, misalnya hutan kerangas, gamping jelas jenis-jenis hutan yang ada, diperlukan peta-
atau hutan rawa air tawar. peta yang lebih akurat yang disiapkan untuk FMU
tertentu berdasarkan pekerjaan di lapangan dan
Perangkat ini tidak membedakan komponen- peta-peta geologis dan tanah lokal yang detil.
komponen dari HCV3.

HCV4. Kawasan hutan yang memberikan jasa-jasa dasar alami dalam


situasi kritis (misalnya perlindungan daerah tangkapan air, pengontrol erosi).
HCV ini berkenaan dengan jasa-jasa ekologis penting
yang diberikan oleh ekosistem hutan. Komponen HCV HCV4 di Kalimantan Timur
yang teridentifikasi antara lain: Berbagai peta dari daerah tangkapan air yang di-
ketahui atau diprediksi dibuat berdasarkan analisis
4.1 Sumber air minum penting peta topografis propinsi secara keseluruhan den-
gan skala yang kasar. Peta daerah tangkapan air
4.2 Hutan-hutan yang berfungsi sebagai daerah
yang lebih akurat dalam sebuah FMU harus dibuat
tangkapan air atau pengontrol erosi berdasarkan peta berskala lebih kecil dan pen-
4.3 Hutan-hutan yang menyediakan pembatas elusuran di lapangan. Peta seperti ini menentukan
bagi penyebaran api daerah tangkapan air penting di bagian hulu yang
dianggap memberikan pasokan air yang besar ter-
4.4 Hutan-hutan dengan dampak yang kritis hadap sungai-sungai terkait. Daerah aliran sungai
terhadap kegiatan pertanian dan budidaya inilah yang merupakan daerah tangkapan air kritis.
air

HCV5. Daerah hutan yang penting


untuk memenuhi kebutuhan dasar
dari masyarakat lokal (misalnya
nafkah, kesehatan).
Tidak ada komponen terpisah dari Nilai ini. Perangkat
menyediakan instruksi detil tentang bagaimana
mengidentifikasikan hutan-hutan yang penting untuk
memenuhi kebutuhan dasar dari masyarakat lokal.

HCV6. Daerah hutan yang penting


bagi identitas budaya masyarakat
lokal (daerah yang memiliki kepentingan
budaya, ekologis, ekonomis atau keagamaan
yang ditentukan bersama-sama dengan
masyarakat lokal yang ada).
Tidak ada komponen terpisah dari HCV6. Perangkat
ini menyediakan instruksi detil tentang bagaimana
mengidentifikasikan hutan-hutan yang kritis bagi
indentitas budaya tradisional masyarakat lokal. Kepala Suku Dayak

Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia 23


24 Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia
bagian 3

Rhaphidophora dursiva bagaimana


anda
mengidentifikasi
HCVF?
Sejak tahun 2004, TNC telah melakukan berbagai pengkajian HCVF di Kalimantan Timur, termasuk
kawasan HPH dan HTI. Pada setiap kasus, TNC membentuk sebuah tim multi-disiplin yang terdiri
dari para ahli di bidang sosial dan ekologi untuk melakukan pengkajian. Keahlian yang digunakan
termasuk pengkajian habitat dan ekologi di hutan tropis, sosial ekonomi dari masyarakat pedesaan,
Sistem Informasi Geografis (SIG), dan aplikasi metode sertifikasi hutan yang independen.

TNC telah menggunakan metode yang dikembangkan


oleh ProForest dan Smartwood dalam Perangkat
HCVF yang spesifik Indonesia. Fokus dari metode ini
adalah satu set pertanyaan untuk setiap HCV, seperti
yang dicontohkan pada Tabel untuk HCV1.1.

Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia 25


Tabel 1. Contoh pertanyaan yang perlu dijawab untuk menentukan apakah suatu daerah tertentu adalah HCVF.

Pertanyaan Jawaban Panduan


1.1.1 : Apakah daerah hutan Ya Jika anda melakukan analisis lansekap, semua
tersebut adalah kawasan kawasan lindung nasional atau propinsi yang aktual
lindung? atau yang diusulkan adalah HCVF. Kawasan lindung
mencakup semua hutan khusus yang didesain untuk
berbagai alasan biologis/ekologis*.
Tidak Jika tidak lanjutkan ke pertanyaan 1.1.2
1.1.2 : Apakah hutan terletak dekat Ya Lanjut ke pertanyaan 1.1.3. Perhatikan bahwa
sebuah kawasan lindung? kawasan lindung juga ada di negara-negara
tetangga. Lokasi bersebelahan atau dekat Kawasan
Lindung di negara lain perlu dievaluasi.
Tidak Elemen ini tidak ada
1.1.3 : Apakah hutan memiliki Ya Sebagai contoh, apakah hutan memiliki jenis hutan
karakter yang sama dengan yang sama, dalam kondisi hampir alami, dalam
Kawasan Lindung lansekap yang sama, dengan ukuran yang cukup
wajar (> 350 Ha). Lanjut ke pertanyaan 1.1.4
Tidak Elemen ini tidak ada
1.1.4 : Apakah daerah hutan Ya Hutan itu adalah HCVF
berbatasan dengan sebuah
Tidak Elemen ini tidak ada, lanjutkan pe pertanyaan 1.1.5
Kawasan Lindung atau
terletak dalam zone buffer ?

1.1.5 : Apakah hutan membentuk Ya Hutan itu adalah HCVF


sebagian atau keseluruhan Tidak Elemen ini tidak ada
koridor hutan alami antara
dua Kawasan Lindung?

1
Hal
dalam HCV5 atau HCV6.

Dengan secara sistematis menjawab semua Long Bagun, berdasarkan penilaian nilai-nilai HCV.
pertanyaan dalam perangkat menggunakan survey TNC saat ini sedang mengembangkan beberapa
lapangan dan perencanaan partisipatif dan teknik teknik pengkajian singkat (rapid assesment),
appraisal, daerah hutan dapat dideliniasikan dalam khususnya menentukan kemelimpahan hidupan liar
peta. Boks 1 merupakan contoh daerah HCVF yang dalam konsesi kayu dan tekanan perburuan lokal.
diidentifikasi di area Sumalindo Lestari Jaya Unit II,

Anak Dayak

26 Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia


Boks 1. Berdasarkan evaluasi HCV di Sumalindo Jaya Lestari Unit II (SLJ II), Long Bagun, Kalimantan Timur, beberapa
daerah dalam konsesi kayu ini disisihkan sebagai HCVF.

Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia 27


Boks 2. Zone Konservasi yang diusulkan dalam Sumalindo Lestari Jaya unit II

Daerah yang Dasar Pemikiran HCV yang dikonservasi Luas


diusulkan (Ha)

A (utara) Daerah ini terletak di utara dari Desa Long  1 (tumbuhan) 7,366
Lebusan dan Mahak Baru. Merupakan daerah  2 (bagian dari blok
tangkapan air yang menyediakan sumber hutan yang luas)
air kritis bagi desa-desa. Kemungkinan juga  3 (hutan dataran
daerah sumber pemenuhan kebutuhan bagi rendah)
masyarakat lokal (walaupun perlu dikonfirmasi).  4 (daerah tangkapan
Daerah ini memiliki bagian bawah lembah air kritis bagi 2
yang relatif datar (600m) dengan hutan masyarakat)
Dipterocarpaceae dataran rendah. Namun  5 (pengumpulan
kemungkinan daerah ini digunakan untuk sumberdaya TBC)
berburu. Kemelimpahan dari beberapa  6 (tanah ulen TBC)
jenis mamalia dan burung akan rendah dan
daerah ini yang kemungkinan tidak mewakili
konsentrasi keragaman fauna.

B (tengah, Daerah ini memiliki gradien formasi hutan  1 (konsentrasi dari 13,458
Timur dari yang lengkap, mulai dari hutan di sepanjang keanekaragaman
Boh) sungai Boh, lalu hutan dataran rendah dataran rendah dan
lembah Boh pada sekitar 300 m/dpl sampai pegunungan)
hutan pegunungan bagian bawah dengan  2 (bagian dari blok
ketinggian diatas 1,000m dpl. Merupakan hutan luas dan
perbatasan menuju sebuah daerah hutan perbatasan dari
lindung yang secara efektif meningkatkan sebuah daerah hutan
luasan daerah konservasi dan membantu upaya lindung)
perlindungannya. Daerah ini terpencil dan sulit  3 (hutan dataran
untuk diakses sehingga membatasi jumlah rendah dan
perburuan di daerah ini. Termasuk di dalamnya pegunungan bagian
daerah terjal yang sangat rawan terhadap erosi bawah)
dan longsoran jika terjadi pembukaan hutan.  4 (daerah tangkapan
Daerah terjal dibawah 600m dapat berarti air Boh dan terutama
bahwa tempat ini bukan hutan dataran rendah kelerengan terjal)
yang paling beragam. Namun demikian lokasi
terpencil dan ukuran besar dari daerah ini akan
mendukung konservasi keanekaragaman hayati.

C (selatan) Daerah ini termasuk sejumlah daerah hutan  1 (konsentrasi dari 11,372
dataran rendah di bawah 400m yang luas keanekaragaman
dan belum dibuka dan diambil kayunya. dataran rendah dan
Kebanyakan dari daerah dataran rendah ini pegunungan)
relatif datar. Termasuk dalam Daerah Burung  2 (bagian dari blok
Penting (Important Bird Areas/IBA) yang hutan luas dan per-
ditetapkan oleh Birdlife International. Termasuk batasan dari sebuah
di dalamnya sejumlah formasi hutan dalam daerah hutan lindung)
berbagai ketinggian serta sebuah daerah hutan  3 (hutan dataran
lindung. Hutan ini memiliki fungsi penting untuk rendah dan pegun-
mengatur aliran air dari lereng dan tebing- ungan bagian bawah)
tebing terjal dalam daerah hutan lindung.  4 (daerah tangkapan
air Boh dan suplai air
basecamp)

28 Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia


bagian 4

bagaimana anda
mengelola HCVF?
Setelah ditetapkan bahwa ada suatu bentuk HCVF di dalam sebuah FMU, langkah berikutnya adalah
menentukan bagaimana hutan tersebut harus dikelola. Kunci dalam mengelola HCVF menurut Prin-
sip 9 FSC adalah bahwa strategi-strategi harus dirancang untuk memelihara atau meningkatkan
nilainya. Hal ini berarti bahwa berbagai strategi pengelolaan mungkin cocok untuk diterapkan pada
suatu FMU tertentu, tergantung pada nilai yang dipertimbangkan dan ancaman terhadap nilai terse-
but. Menjadi catatan bahwa HCVF harus dikelola untuk meningkatkan atau memelihara nilai yang
tercantum dalam Kriteria 9.3, dan hal ini merupakan aspek yang paling penting dari Prinsip 9:
9.3 Rencana pengelolaan hendaknya meliputi hutan lindung yang dikeluarkan dari produksi. HCVF
dan mengimplementasikan tindakan-tindakan semata-mata merupakan indikasi bahwa ada sesuatu
spesifik untuk menjamin pemeliharaan dan/atau yang khusus mengenai kawasan tersebut yang
peningkatan sifat-sifat konservasi yang dapat mungkin memerlukan suatu bentuk pengelolaan yang
diterapkan secara konsisten dengan pendekatan terencana dengan khusus dan hati-hati. Kehadiran
kehati-hatian. Tindakan-tindakan ini hendaknya HCVF adalah sesuatu yang merupakan kebanggaan,
secara spesifik dimasukkan dalam ringkasan bukan ketakutan, mengingat bahwa para pengelola
rencana pengelolaan yang tersedia bagi publik. dan staf memiliki peluang unntuk mengelola suatu
sumberdaya alam yang merupakan kepentingan
Penting untuk ditekankan bahwa adanya HCVF dalam nasional atau bahkan kepentingan global.
suatu FMU seharusnya tidak dipandang oleh para
pengelola sebagai sesuatu yang buruk. Keberadaan Di bawah ini kami akan mendiskusikan beberapa
HCVF dalam suatu FMU tidak selalu mengurangi aspek pengelolaan HCVF. Kami akan memberikan
potensi pendapatan (revenue) yang dapat dihasilkan, contoh-contoh berdasarkan atas penilaian sebuah
dan tidak juga berarti bahwa FMU harus menjadi HCVF di Kalimantan Timur (Daryatun dkk. 2002).

Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia 29


Mengembangkan strategi-
strategi pengelolaan HCVF
Untuk memutuskan strategi pengelolaan mana yang
sesuai, penting bagi para pengelola hutan untuk
mengidentifikasi status nilainya saat ini (Lihat Boks
1). Apakah nilai saat ini tinggi? Apakah ada ancaman
terhadap nilai yang mungkin dapat mengakibatkan
penurunannya, dan jika ada, apakah ancaman-
ancaman tersebut? Tanpa pemahaman yang jelas
mengenai ancaman terhadap suatu nilai, pengelola
hutan mungkin menerapkan cara-cara pengelolaan
yang tidak akan memberi dampak atau bahkan
menurunkan nilainya.

Ketika status nilai serta ancaman terhadap nilai telah


diidentifikasi, maka dapat diikuti dengan pengelolaan
yang sesuai. Cara paling sederhana dalam
melaksanakan analisis ancaman adalah dengan
mendaftar semua kemungkinan ancaman yang
mempengaruhi nilai. Walaupun demikian, sekedar
mengidentifikasi suatu ancaman tidak memberikan
informasi tentang mengapa hal tersebut merupakan
ancaman dan bagaimana dampaknya terhadap nilai
konservasi. Pendekatan sederhana ini karenanya
merupakan alat terbatas untuk mengembangkan
suatu strategi pengelolaan. Untuk memfasilitasi
perencanaan yang lebih efektif, The Nature
Conservancy meneliti ancaman-ancaman secara lebih
dekat, lalu memecahnya ke dalam dua komponen:
- tekanan (stresses) dan - sumber (sources) (TNC
2000; Margules dan Pressey 2000; Groves dkk.2002).
Di bawah ini kami menggambarkan secara ringkas
bagaimana metode ini digunakan untuk memandu
pengembangan kebijakan-kebijakan pengelolaan.

Tekanan (Stresses) mengacu pada perubahan-


perubahan spesifik dalam suatu nilai (atau target
konservasi). Sebagai contoh, jika nilainya adalah
konsentrasi keanekaragaman hayati, maka tekanan
dapat berupa kepunahan spesies atau perubahan
dalam kemelimpahan relatif dari suatu spesies.

Sumber (Sources) mengacu pada proses-proses


yang menyebabkan terjadinya tekanan. Sebagai
contoh, jika tekanannya adalah kepunahan spesies,
maka sumbernya mungkin berupa hilangnya
habitat akibat pembalakan atau pemanenan yang
berlebihan.

30 Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia


Boks 3. Contoh-contoh pengkajian HCV 1, 4, dan 5 dari Sumalindo Lestari Jaya Unit II (SLJ II)

1.2 Unit Pengelolaan Hutan memuat (atau mungkin memuat) spesies langka, terancam atau hampir punah.
(a) Terdaftar oleh otoritas internasional? YA
(b) Digolongkan sebagai langka, terancam atau hampir punah menurut peraturan nasional, regional atau
propinsi? YA
Meskipun daftar lengkap spesies yang dijumpai di konsesi SLJ II tidak ada, telah tersedia cukup informasi untuk
memenuhi kriteria ini. Konsesi terdiri dari hampir 270 000 ha hutan bukit dipterocarpace dan hutan pegunungan
rendah. Sebagian besar hutan ini belum dieksploitasi secara komersil untuk kayu dan masih dalam kondisi
asli. Staf TNC dan SLJ berasumsi bahwa semua spesies yang diharapkan terdapat di hutan bukit dipterocarp
di Kalimantan Tengah masih terdapat di areal konsesi. Di bawah berikut beberapa contoh dari spesies yang
diketahui dan diduga ada di dalam kawasan Sumalindo Lestari Jaya Unit II (E. Pollard pers obs and SLJ staff pers
com).

Nama Latin Nama Inggris Status Perlindungan Keberadaan di SLJ II


Hylobates muelleri Bornean Gibbon • Mendekati terancam punah Diketahui ada
menurut IUCN (near threatened),
direkomendasikan ‘rentan’
(‘vulnerable’) (Nijman 2001).
• CITES appendix 1
• Dilindungi oleh UU RI
Ursus malayanus Malayan Sun Bear • CITES appendix 1 Diketahui ada
• Dilindungi oleh UU RI
Neofelis nebulosa Clouded Leopard • Rentan (IUCN). Diketahui ada
• CITES appendix 1
• Dilindungi oleh UU RI
Spizaetus nanus Wallace’s Hawk-eagle • Rentan (IUCN) Diketahui ada
• Dilindungi oleh UU RI
Cervus unicolor Sambar Deer • Dilindungi oleh UU RI Diketahui ada
Buceros rhinoceros Rhinoceros Hornbill • Dilindungi oleh UU RI Diketahui ada
Cynogale bennettii Sunda Otter Civet • Langka (IUCN) Kawasan mengandung
• Dilindungi oleh UU RI habitat potensial
Pseudibis davisoni White-shouldered Ibis • Kritis (IUCN) Kawasan mengandung
• Dilindungi oleh UU habitat potensial

4.1 FMU secara penting menyediakan suplai air minum. YA


SLJ II merupakan sumber keseluruhan suplai air bagi 3 desa di dalam konsesi. Jumlahnya meliputi hampir 1000
orang. 500 orang lainnya yang bekerja bagi SLJ di dalam kawasan juga tergantung pada suplai air dari konsesi.
Pengkajian yang dilakukan untuk mengidentifikasi sungai dan Tanah ulen sebagai dua sistem. Keduanya
digunakan sebagai sumber air. Para penduduk desa yang berpartisipasi dalam penilaian ini juga menetapkan
urutan “sangat penting” bagi air minum dari hutan.

5.1 Masyarakat lokal memanfaatkan FMU untuk kebutuhan dasar atau mata pencaharian. YA
Ada 3 desa dalam SLJ II dan sedikitnya 2 desa yang secara langsung berbatasan dengan FMU. Seluruh
masyarakat ini memanfaatkan sumberdaya dari kawasan SLJ II. PKP mengungkapkan 4 sistem yang merupakan
sumberdaya hutan: kayu bangunan, obat-obatan, buah-buahan hutan dan hasil hutan non-kayu (meliputi
gaharu, rotan, damar, dan satwa buru). Urutan kepentingan dari sumberdaya ini memperlihatkan bahwa
sumberdaya tersebut jelas sangat penting untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat lokal (Lihat Tabel di
bawah)
Sumber: Daryatun et al. (2002)

Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia 31


Tabel 2. Kepentingan berbagai sumberdaya hutan bagi masyarakat lokal

Urutan Kepentingan1

Kebutuhan Dari Dari areal Sumber Catatan


Masyarakat Hutan Pertanian lain (pasar,
(swidden + pemerintah,
fallows) perusahaan, dll.)

Pangan: Buah dapat berasal baik dari hutan


- energi 3 5 1 atau lahan budidaya, tergantung
(karbohidrat) musim.

- protein (daging, Binatang peliharaan (babi) paling


dedaunan, kacang- 5 4 1
banyak digunakan dalam kasus-kasus
kacangan) darurat (ritual, perayaan), biasanya
satwa buru yang lebih banyak
- vitamin/mineral 5 4 1 digunakan sebagai bahan pangan.
(buah-buahan,
sayuran)

Bahan bangunan 5 0 0
dan kerajinan

Kebutuhan lain: Perusahaan menyediakan bahan


- Bahan bakar bakar untuk generator listrik, tidak
4? 5? 2 semua penduduk memiliki akses.
- Makanan Ternak 0 5 0
Transportasi di luar desa melalui jalan
- Obat-obatan 5 0 4
raya dan pesawat terbang
- Transportasi 4 0 5

Pendapatan berupa 5 ? Mengingat biaya transportasi, hanya


uang barang-barang dengan nilai tinggi per
satuan berat yang dapat dijual di luar,
dan semuanya berupa hasil hutan.

Urutan sebagai berikut:


5 (Sangat penting) berarti bahwa lebih dari 50% penduduk bergantung pada sumber ini untuk 50% cakupan
kebutuhannya di dalam pertanyaan. Hal ini berarti bahwa segala sesuatu yang memengaruhi kualitas sumberdaya
ini cenderung mengakibatkan krisis besar pada sebagian besar mata pencaharian penduduk.

4 (Penting) berarti bahwa lebih dari 50% penduduk bergantung pada sumberdaya ini untuk memenuhi lebih dari
15% kebutuhannya. Hal ini berarti segala sesuatu yang memengaruhi kualitas sumberdaya akan mengakibatkan
penyesuaian yang signifikan terhadap kebutuhan sebagian besar penduduk.

3 (Sangat penting bagi sebagian masyarakat) berarti bahwa paling sedikit 15% (tetapi kurang dari 50%) dari
penduduk bergantung pada sumberdaya ini untuk memenuhi lebih dari separuh kebutuhan tertertentu. Hal ini
berarti bahwa segala sesuatu yang terjadi terhadap sumberdaya ini akan mengakibatkan krisis bagi sebagian
masyarakat.

2 (Penting bagi sebagian dari masyarakat) berarti bahwa paling sedikit 15% penduduk memenuhi antara 15
sampai 49% kebutuhan tertentu dari sumberdaya ini. Segala sesuatu yang memengaruhi sumberdaya ini akan
mengakibatkan penyesuaian kebutuhan yang signikan terhadap sebagian masyarakat.

1 (Marjinal) berarti bahwa kurang dari 15% penduduk memanfaatkan sumberdaya ini, atau hal tersebut mencakup
kurang dari 15% kebutuhan setiap orang. Hal ini berarti bahwa setiap perubahan yang mengaruhi sumberdaya
ini harus disertai dengan penyesuaian minor dalam kebutuhan. Walaupun demikian, tetap harus diperiksa siapa
orang yang bergantung pada sumberdaya ini dan bagaimana mekanisme untuk mengatasi masalah ini.

32 Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia


Melihat pada kedua komponen ini secara terpisah, Participatory Conservation Planning (PCP) - (TNC-
dan membandingkan kepentingan relatif dari berbagai LLFO 2002) untuk memfasilitasi proses ini. Alat ini
sumber yang mempengaruhi suatu tekanan tertentu pada awalnya dirancang untuk konsultasi dengan
akan memandu kepada pengembangan strategi- masyarakat, dan hal tersebut penting bagi identifikasi
strategi yang sesuai. HCV 4-6 yang diuraikan di atas. Elemen-elemen alat
ini juga telah diadaptasi untuk digunakan oleh para
Istilah-istilah ini mungkin membingungkan. Untuk pengelola hutan dalam mengembangkan strategi-
mudahnya dapat digunakan analogi seseorang strategi pengelolaan nilai-nilai lingkungan yang
yang terserang sakit kepala. Tekanan atau stress termasuk dalam HCV 1-4.
adalah gejala sedangkan sumber atau source
adalah penyebabnya. Jadi sakit kepala adalah Untuk menjamin bahwa diagnosis dilakukan secara
tekanan, dan sumber-nya mungkin karena terlalu sistematis, disarankan bahwa satu orang, atau dua
lama memandang layar komputer atau merupakan orang, yang dipekerjakan oleh pengusaha kehutanan
pertanda awal sakit. Seseorang harus mengetahui diberi tanggung jawab untuk melaksanakandan
kedua sisi penyakit (tekanan dan sumber) sebelum mendokumentasikan proses ini. Mereka harus
suatu cara pengobatan yang tepat, atau strategi dapat memiliki tanggung jawab untuk mengumpulkan
dilakukan. Jika sakit kepala tersebut disebabkan tim dan data yang diperlukan. Mendokumentasikan
oleh komputer, maka pengobatan jangka pendek semua proses merupakan suatu hal yang sangat
mungkin berupa aspirin, dan jangka panjang adalah penting. Alasan-alasan yang melatarbelakangi suatu
mengurangi waktu di depan komputer. Jika sakit keputusan harus dicatat dengan jelas, karena informasi
kepala disebabkan oleh malaria, maka pengobatan ini nantinya akan dapat digunakan untuk membantu
jangka pendek mungkin berupa kina, dan jangka memberi justifikasi suatu strategi pengelolaan. Para
panjang adalah menghindari nyamuk. Analogi koordinator ini juga harus menjadi orang-orang
merupakan ilustrasi bahwa pengobatan, atau strategi yang memfasilitasi proses tersebut. Mereka harus
pengelolaan, dapat terdiri atas dua macam: strategi membiasakan diri dengan proses tersebut, dan jika
yang menyelesaikan permasalahan dalam jangka mungkin mengujinya dengan orang lain, sebelum
pendek, seperti aspirin atau kina, dan strategi yang melaksanakan konsultasi penuh dengan keseluruhan
mencegah agar permasalahan tidak muncul kembali perusahaan.
di masa yang akan datang.
Untuk melengkapi proses ini, sebuah tim dari staf
Para pengelola hutan harus melakukan “diagnosis” FMU yang memiliki pengetahuan tentang ekologi
yang semacam ini untuk semua nilai konservasi hutan, masyarakat lokal, dan pengelolaan hutan
tinggi yang telah diidentifikasi dalam suatu FMU. harus dibentuk. Pakar dari luar di bidang ekologi
Disini, kami menyediakan rekomendasi mengenai hutan atau masyarakat yang bergantung pada hutan
bagaimana melakukan diagnosis tersebut. TNC mungkin diperlukan juga. Tidak diperlukan peralatan
telah mengembangkan suatu alat yang disebut yang canggih dalam proses ini, hanya pena, spidol,
Perencanaan Konservasi Partisipatif (PKP) - kertas, dan papan tulis (whiteboard).

Mengidentifikasi yang
terjadi di dalam suatu nilai
TNC menyebut apa yang terjadi terhadap suatu target
konservasi, atau nilai, sebagai tekanan. Tekanan
adalah perubahan-perubahan negatif dalam ciri-ciri
nilai tersebut. Tekanan bukanlah hal yang mendorong
terjadinya perubahan, tetapi sekedar apa yang yang
ada pada suatu nilai.

Untuk membantu mengidentifikasi tekanan, akan


membantu apabila tim memutuskan apa yang telah
terjadi terhadap nilai tersebut sejak FMU memulai
kegiatannya. Apakah kondisi dari nilai tersebut
mengalami penurunan? Tim juga harus meramalkan
apa yang akan terjadi terhadap nilai tersebut jika
kondisi sekarang tetap berlangsung. Bagaimana
kondisi nilai tersebut 10 tahun dari sekarang?

Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia 33


Kondisi nilai dapat dipandang dalam berbagai cara. Kondisi
dapat berupa ukuran kuantitas (misalnya jumlah spesies per
total wilayah) atau kualitas (misalnya jumlah fragmentasi,
komposisi jenis, ukuran panen atau kejernihan air). Ideal-
nya, baik aspek kuantitatif dan kualitatif harus diper-
timbangkan. Catatan yang baik harus dilakukan
mengenai bagaimana tim menentukan
“kondisi”.

Lingsang Linsang (Prionodon linsang)


Proses langkah-demi-langkah:
1. Untuk setiap nilai, secara bergantian, mintalah para partisipan menilai kondisinya dengan menggunakan
diagram yang telah dibuat sebelumnya. Diagram tersebut memiliki empat zona berwarna: merah=kurang;
kuning=sedang; hijau muda=baik; hijau tua=sangat baik (lihat Gambar 3). Untuk setiap nilai harus
digunakan diagram terpisah.
2. Tim mengurutkan semua kondisi dari nilai. Mulai dengan kondisi saat ini; yaitu mewakili status nilai hari ini,
atau saat waktu = T. Kemudian prakirakan kondisi nilai tersebut saat pengelolaan hutan dimulai; apakah
saat itu lebih tinggi atau lebih rendah? Hal ini mengacu pada kondisi nilai pada saat =T dimulai. Kemudian
mulailah suatu diskusi mengenai kondisi yang kira-kira akan terjadi di masa datang; misalnya ketika
T=T+10 tahun. Skor bagi setiap nilai kemudian diplotkan dan diberi label pada diagram.
3. Harus dibuat catatan mengenai apa yang dipikirkan tim tentang apa yang tengah terjadi terhadap nilai.
4. Sebuah garis kemudian ditarik untuk menghubungkan titik-titik bagi setiap nilai. Dengan tiga titik acuan
sekaligus akan memeperlihatkan suatu kecenderungan (tren) mengenai kondisi nilai yang dianggap oleh
tim. Hasilnya didiskusikan untuk disetujui bagi setiap sistem. Pengecekan ulang yang lebih rinci dapat
dibuat dengan menggunakan peta kawasan, foto-foto, citra satelit dan tinjauan lapangan.

Gambar 2 : Contoh Diagram Waktu dari Kondisi

Kondisi sebelumnya
Sangat baik
Sangat baik (hijau tua)

Baik Kondisi saat ini


Baik (hijau muda) tetapi

Sedang Menurun secara cepat


sejalan dengan waktu
Kurang

T - 10 Saat ini T + 10
Waktu

Sampai disini, disarankan untuk membagi tim ke dalam dua kelompok. Satu kelompok harus memfokuskan
pada menentukan tekanan-tekanan terhadap nilai-nilai ekologi, HCV 1 sampai 4. Kelompok ini harus terdiri
atas orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang hutan dan ekologinya. Kelompok lain harus dibentuk
untuk berkonsentrasi pada tekanan-tekanan terhadap nilai-nilai sosial-budaya, HCV 4 sampai 6. Kelompok ini
harus terdiri atas orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang masyarakat lokal.

34 Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia


Proses langkah-demi-langkah:
1. Setiap nilai harus ditulis di tengah-tengah sehelai kertas yang besar.
2. Kelompok harus mengklarifikasi apakah ancaman-ancaman yang tengah memengaruhi kondisi nilai.
Seluruh kemungkinan tekanan harus didaftar.
3. Setiap tekanan harus diberi tanda yang berhubungan dengan nilai pada sehelai kertas besar
4. Apabila proses ini telah lengkap untuk setiap nilai, tekanan-tekanan ini dapat dimasukkan ke dalam matriks
yang disediakan pada Lampiran 7
5. Selain itu, kelompok mungkin juga mau memasukkan sebuah catatan ke dalam matriks yang menyatakan
bagi setiap tekanan apakah dianggap memiliki dampak tinggi, sedang atau rendah terhadap nilai.

Sebuah daftar berbagai tekanan yang mungkin PKP harus digunakan dengan konsultasi bersama
bagi setiap Nilai Konservasi Tinggi diberikan pada desa-desa di sekeliling FMU, dan suatu panduan
Lampiran 4. Penting dicatat bahwa daftar ini tidak penggunaannya disediakan dalam Lampiran 3.
lengkap. Contoh-contoh tekanan ini mungkin sekali Informasi yang dikumpulkan melalui proses ini harus
terdapat di kebanyakan hutan di seluruh Kalimantan digunakan untuk mengembangkan strategi-strategi
Timur, tetapi beberapa dari tekanan yang didaftar bagi HCV 1-6. PKP membantu untuk mengidentifikasi
mungkin tidak relevan bagi FMU tertentu, dan tidak hanya nilai-nilai yang penting bagi masyarakat
beberapa tekanan yang penting mungkin tidak ada lokal, tetapi juga tekanan-tekanan terhadap nilai-nilai
dalam daftar. Para pengelola harus mengidentifikasi tersebut. Lebih jauh lagi, PKP memberikan ide-ide
tekanan-tekanan mana yang terjadi dan mana yang bagi kemungkinan strategi-strategi pengelolaan yang
tidak dalam FMU mereka. dikembangkan oleh masyarakat sendiri, sehingga
meningkatkan peluang keberhasilan bahwa suatu
PKP adalah suatu alat yang sangat bermanfaat untuk usulan kegiatan pengelolaan akan diterima oleh para
mengumpulkan informasi dari masyarakat lokal. anggota masyarakat.

Mengidentifikasi hal-hal yang menyebabkan perubahan


terhadap nilai
Di dalam kerangka kerja TNC proses-proses yang 2. Suatu sumber tertentu harus disambungkan
mendorong terjadinya atau menyebabkan tekanan kepada beberapa tekanan yang berbeda pada
terhadap sebuah nilai disebut sumber. Hal ini satu atau lebih nilai.
serupa dengan apa yang mungkin disebut ancaman,
3. Diagram yang lengkap dikenal sebagai diagram
tetapi khusus mengenai suatu tekanan tertentu.
situasi (Gambar 3); semua informasi ini harus
Mengidentifikasi tekanan-tekanan akan membantu
dicatat di dalam matriks diagnosis (Lampiran 6).
dalam mengembangkan strategi yang lebih spesifik
untuk memelihara atau mengembangkan suatu nilai. 4. Untuk membantu melihat sumber-sumber yang
tengah memiliki dampak terhadap nilai-nilai
Proses informasi dari matriks pertama dapat disusun
Di dalam kelompok yang sama yang telah ulang. (Lampiran 5).
mendefinisikan tekanan terhadap setiap nilai,
sekarang definisikan sumber-sumber yang bekerja
terhadap setiap tekanan.

1. Sumber-sumber harus ditulis pada lembaran-


lembaran kartu berwarna dan ditempatkan pada
diagram yang telah dihasilkan di atas, yang
menggambarkan nilai-nilai dan tekanan-tekanan;
hubungan-hubungan harus dibuat dari setiap
sumber kepada tekanan (atau tekanan-tekanan)
yang dipengaruhi.

Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia 35


Gambar 3. Contoh diagram situasi
Sumber 1.1

NILAI
Tekanan 1 X.X Tekanan 2 Sumber 2.1

Sumber 1.2

Mengembangkan strategi-strategi bagi HCV sosial


Pengembangan strategi-strategi bagi HCV sosial harus menggunakan konsultasi-konsultasi PKP. Suatu
panduan terhadap alat ini disediakan pada Lampiran 3. Prosesnya harus mencakup langkah-langkah berikut:

• Mengidentifikasi kontak-kontak kunci, dengan konsultasi bersama tokoh masyarakat, memilih anggota
masyarakat yang diterima bersama sebagai kontak utama.

• Di dalam setiap desa, perkenalkan kontak perusahaan kepada anggota masyarakat; kontak adalah
perwakilan perusahaan yang dapat dihubungi untuk ditanya dan berdiskusi.

• Lakukan pertemuan-pertemuan awal untuk menginformasikan kepada tokoh masyarakat tentang rencana-
rencana yang akan datang.

• Lakukan pemetaan sosial desa untuk mendokumentasikan pemisahan sosial yang ada di dalam masyarakat
sebagai suatu dasar untuk menjamin bahwa para anggota seluruh kelompok sosial diundang untuk dan
berpartisipasi dalam konsultasi-konsultasi di masa yang akan datang.

• Pilih waktu untuk konsultasi PKP yang memaksimalkan partisipasi masyarakat.

• Latih fasilitator-fasilitator tingkat desa

• Siapkan konsultasi PKP.

• Laksanakan suatu konsultasi PKP, pastikan bahwa partisipasi mewakili seluruh kategori sosial di dalam
desa. Jika perlu, lakukan beberapa konsultasi independen dengan kelompok yang berbeda.

• Lakukan penilaian terhadap hasil PKP dan identifikasi kemungkinan-kemungkinan ketidak pastian yang
mungkin menuntut perusahaan untuk melaksanakan survei tambahan atau wawancara-wawancara untuk
mengecek-silang hasil-hasil yang mencurigakan atau mengklarifikasi unsur-unsur tertentu.

36 Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia


Pengelolaan HCV konsentrasi tinggi, terutama melalui pengurangan
kerusakan yang tak disengaja terhadap pohon-pohon
Lampiran 5 memberi ilustrasi bahwa kebanyakan yang tidak dipanen (Bertault dan Sist 1997). Kedua,
ancaman memberi dampak terhadap beberapa RIL membantu meminimalkan pembangunan jalan,
nilai. Juga ditunjukkan bahwa beberapa sumber yang pada gilirannya mengurangi fragmentasi hutan
mempengaruhi banyak tekanan. Dengan demikian dan memelihara kesinambungan spasial dari hutan-
dimungkinkan bahwa beberapa strategi pengelolaan hutan dalam skala lansekap yang luas. Ketiga, sistem
mungkin membantu dalam mengembangkan atau jaringan jalan yang direncanakan terlebih dahulu
memelihara lebih dari satu nilai dengan mengurangi sesuai dengan prinsip-prinsip RIL dapat dirancang
atau mencegah suatu ancaman spesifik. Lampiran 6 untuk menghindari atau meminimalkan kerusakan
mendaftar beberapa strategi yang direkomendasikan terhadap ekosistem-ekosistem yang langka dan
untuk menangani tekanan-tekanan spesifik dan nilai- terancam punah. Keempat, pemanfaatan RIL memiliki
nilai yang terpengaruh. dampak utama positif terhadap pemeliharaan aliran-
aliran air, sehingga mengawetkan aliran dan kualitas
Sebagaimana terlihat dalam Lampiran 6, banyak air alam. Sebagai contoh, studi-studi di Semenanjung
kemungkinan strategi pengelolaan yang dapat Malaysia (Kasran 1988, dikutip dalam Pringle dan
dilaksanakan untuk memelihara atau meningkatkan Bernstead 2001) memperlihatkan bahwa dalam satu
HCV. Di antara banyak strategi ini, secara khusus tahun pertama setelah pembalakan komersial dari
lima diantaranya dapat berlangsung sangat lama suatu hutan di daerah tangkapan air, endapan sungai
untuk menyelamatkan nilai-nilai ekologi dan sosial: yang tertahan sebanyak 12 kali lebih tinggi daripada
penyisihan untuk konservasi, pengurangan dampak di suatu DAS yang tidak dibalak; tingkat yang tinggi
pembalakan, pengawasan perburuan, pengelolaan ini bertahan selama 5 tahun. Hal ini berbeda dengan
kolaboratif dengan masyarakat lokal dan kemitraan wilayah tangkapan air yang berdekatan dimana teknik
dengan pemerintah lokal. Di bawah ini, masing- RIL diterapkan, dan dimana sedimen yang tertahan
masing dari 5 strategi dibahas secara rinci. hanya 2 x lebih tinggi dari wilayah kontrol yang tidak
dibalak, dan kembali ke tingkat normal setelah 2 tahun
kemudian. Peningkatan sedimentasi disebabkan
Implementasi Strategi- oleh erosi tanah dimana pembalakan terjadi, dan
memiliki dampak negatif pada lokasi karena erosi
Strategi Pengelolaan tanah lapisan atas dan hilangnya kesuburan tanah,
dan juga di luar lokasi di hilir dimana fauna dan flora
Pemanenan Ramah Lingkungan perairan serta populasi manusia menderita karena
(Reduced Impact Logging /RIL) menurunnya kualitas air (Gambar 5).
Teknik-teknik bagi Pemanenan Ramah Lingkungan Kekuatan utama dari pendekatan RIL adalah untuk
(selanjutnya disebut sebagai RIL) secara substansial mengurangi dampak pembalakan terhadap lingkungan
dapat menurunkan dampak negatif dari pemanenan dengan cara meningkatkan kualitas pembangunan
terhadap lingkungan, dan telah disarankan secara jalan dan metode-metode yang digunakan untuk
luas untuk digunakan di hutan-hutan tropis (Fimbel, menebang dan mengeluarkan (mengambil) kayu
Grajal dan Robinson 2001, Mason dan Putz 2001, (dari dalam hutan). Meijaard dkk. (2005) dan Pringle
Sist, Dykstra dan Fimbel 1998; Meijaard dkk.2005). dan Bernstead (2001) meringkas kegiatan-kegiatan
Uraian resep rinci teknik-teknik RIL di luar ruang yang seharusnya merupakan bagian dari program
lingkup dari dokumen ini, tetapi Sist dkk.(1998) dan pengurangan dampak pembalakan pada masing-
Meijaard dkk.(2005) telah menulis panduan terhadap masing bidang. Untuk pembangunan jalan, kegiatan-
penggunaan RIL pada hutan-hutan dipterocarpacea kegiatan tersebut meliputi :
dataran rendah dan perbukitan di Indonesia. Para • Perencanaan pengeluaran kayu (dari dalam hutan)
pengelola harus mengacu panduan-panduan ini yang tepat untuk menghindari periode basah dan
untuk informasi lanjut; salinan Sist dkk.(1998) dapat kawasan-kawasan hutan yang khususnya peka
diperoleh secara cuma-cuma dari CIFOR melalui situs terhadap gangguan (lihat di bawah).
web http://www.cifor.cgiar.org/.
• Perencanaan jalan dan pengumpulan log (kayu
RIL membantu dalam pemeliharaan HCV 1-4 bulat) yang hati-hati termasuk pembuatan jalan-
melalui cara-cara sebagai berikut : Pertama, RIL jalan di sepanjang puncak tebing (ridge crest) dan
meningkatkan konservasi keanekaragaman mamalia, membatasi gradien (kemiringan) jalan maksimum,
burung, serangga dan reptilia (lihat makalah-makalah menyediakan pembuangan air yang cukup dan
dalam Fimbel, Grajal dan Robinson 2001). RIL juga mencegah erosi tanah dan aliran permukaan agar
membantu memelihara keanekaragaman tumbuhan tidak mencapai aliran-aliran sungai.

Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia 37


• Meminimumkan penyeberangan sungai dan aliran Teknik-teknik RIL bertujuan untuk meningkatkan
air dan pembangunan jembatan, apabila secara metode-metode penebangan dan penyaradan melalui
teknis dan ekonomis dimungkinkan. berbagai cara. Mason dan Putz (2001) meringkas
teknik-teknik yang paling penting sebagai berikut :
• Menggunakan kendaraan dengan tekanan ban
yang dikurangi untuk mengurangi pemampatan • Penebangan terarah. Pohon direbahkan sedemikian
dan gangguan tanah. rupa untuk meminimumkan gangguan pada
vegetasi sekitarnya. Idealnya pohon harus
• Pengeluaran log (kayu bulat) ke arah bukit.
direbahkan pada 30 derajat terhadap jalan sarad
• Penggunaan sistem skyline atau katrol apabila dan tidak boleh direbahkan ke bawah lereng atau
mungkin (lihat di bawah). ke daerah penyangga-penyangga tepi sungai.
• Pemberian mulsa dan (penyebaran biji) pada • Penyaradan terencana. Jalur-jalur sarad harus
jalan-jalan angkut dan jalan sarad sesegera direncanakan di depan dan ditandai di lapangan
mungkin setelah pembalakan selesai. sependek mungkin. Penyaradan juga harus
menghindari penyangga-penyangga tepi sungai,
• Pemeliharaan jalur-jalur penyangga tepi sungai di
dan gunakan katrol sebanyak mungkin.
sepanjang sungai-sungai tetap (aliran-aliran air).
Penggunaan sistem kabel skyline juga dapat
Pemanfaatan tumbuhan penutup dan jenis-jenis
digunakan untuk mengurangi dampak pembalakan
pohon asli yang cepat tumbuh untuk menghutankan
terhadap hutan dibanding
kembali jalan-jalan dan jalur-jalur sarad yang
dengan metode-
ditinggalkan akan menstabilkan tanah setelah
metode sarad
pemanena. Hal ini akan mengurangi erosi dan
tradisional.
mengurangi beban sedimen yang tertahan di sungai-
sungai. Selain itu, stabilisasi tanah akan memfasilitasi
regenerasi hutan alam. Bukaan hutan akan tertutup
lebih cepat, dan DAS serta nilai-nilai lansekap akan
terpelihara.

Dalam konteks pengelolaan hutan alam di


Kalimantan Timur istilah asli berarti setiap
spesies pohon yang secara alami ditemukan
di Pulau Kalimantan (Borneo). Jenis-jenis
yang cepat tumbuh yang cocok termasuk
Anthocephalus chinensis (jabon) dan Pernema
canescens (sungkai).
Anthocephalus chinensis

Pembangunan jalan tidak boleh ada di kawasan- Karena jalan-jalan sarad tidak dibangun, hal ini
kawasan hutan pegunungan, kerangas dan gambut. mengurangi dampak terhadap struktur hutan,
Jika peta-peta tipe hutan yang akurat tidak ada, keanekaragaman hayati, serta struktur dan kesuburan
hutan pegunungan harus dianggap sebagai setiap tanah. Erosi dikurangi dan regenerasi hutan lebih
hutan yang berada pada ketinggian lebih dari 1000 cepat.
m dpl. Hutan pegunungan jarang terdapat di FMU
Kalimantan Timur, tetapi hutan ini sangat peka Pengeluaran kayu dengan skyline juga
terhadap gangguan, sehingga pengecualiannya direkomendasikan sebagai suatu alat konservasi.
dari pembangunan jalan akan memberikan manfaat Penggunaannya lebih disukai pada kawasan-
konservasi substansial dengan biaya ekonomi yang kawasan dengan nilai konservasi yang tinggi,
kecil. misalnya hutan-hutan di kawasan DAS dan hutan-
hutan yang digunakan oleh masyarakat lokal
Hutan-hutan kerangas dan gambut harus juga disarankan penggunaan skyline pada hutan
dikecualikan, karena regenerasi hutan pada habitat- dipterocarpacea dataran rendah pada tanah-tanah
habitat tersebut lambat, memerlukan waktu yang datar, yang seringkali merupakan tanah alluvial.
lama untuk kembali ke asalnya (recover) setelah Formasi hutan ini memiliki keanekaragaman hayati
mengalami gangguan. tertinggi dari seluruh tipe di Kalimantan Timur dan

38 Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia


termasuk daerah yang kritis baik pada skala global, dirancang dengan baik akan dapat membantu
regional maupun nasional. Identifikasi secara tepat memelihara HCV 1-4. Disarankan bahwa kawasan
tentang wilayah-wilayah ini memerlukan penataan konservasi yang disisihkan minimum 10.000 ha
rinci dan inventarisasi. Tetapi secara umum dapat di dalam suatu wilayah yang cukup besar untuk
dikategorikan sebagai kawasan-kawasan di bawah memelihara kebanyakan spesies burung hutan
500 m dpl dengan kelerengan kurang dari 15%. (Zakaria dan Francis 2001), tetapi penilaian ini
mungkin terlalu optimis (lihat Lambert dan Collar
Intensitas pemanenan yang tinggi (pohon yang 2002). Penyisihan kawasan juga akan membantu
ditebang per ha) memiliki dampak besar terhadap melestarikan konsentrasi keanekaragaman serangga,
keanekaragaman hayati. Pada beberapa kawasan amfibia, reptilia dan mamalia (Bab 4, 5, 9, 11 dan 12
kunci, disarankan bahwa intensitas pemanenan tidak dalam Fimbel, Grajal dan Robinson 2001). Pelarangan
melebihi 4 pohon per ha. Kawasan-kawasan kunci ini konstruksi jalan dan pengembangan infrastruktur
adalah hutan-hutan dipterocarpaceae dataran rendah lainnya di dalam kawasan yang disisihkan untuk
pada lereng-lereng landai di bawah 500 m. Sist (2001) konservasi mengurangi fragmentasi hutan-hutan
dan Sist dkk.(2003) lebih jauh merekomendasikan skala lansekap luas (landscape level forest) dan
untuk memastikan jarak minimum antar pohon yang ekosistem-ekosistem langka terlindungi secara lebih
dipanen sejauh 35 m dan untuk menetapkan batas baik. Wilayah-wilayah daerah aliran sungai yang
diameter tebang maksimum dan tidak memanen penting terlindungi dari gangguan dan perangkat
pohon-pohon dengan diameter dbh >100 cm. Aturan- pengontrol aliran air terpelihara.
aturan ini bertujuan untuk mengurangi intensitas
tebangan dan aturan gap/bukaan, dan untuk Penempatan yang hati-hati dari kawasan yang
memelihara potensi reproduktif tegakan sisa. Dengan disisihkan juga dapat merupakan strategi efektif untuk
meninggalkan pohon-pohon besar tetap masih bisa memelihara atau meningkatkan nilai-nilai sosial-
mendapatkan hasil panen yang tinggi, sebab potensi budaya (HCV 5 dan 6) (Marcot dkk.2001). Kawasan
hutan-hutan dipterocarpaceae di Asia Tenggara rata- yang disisihkan dapat tumpang tindih dengan
rata 10-11 batang/ha dengan diameter (dbh) 60-100 wilayah-wilayah yang penting bagi budaya atau
cm (Sist dkk.2003). spiritual (HCV 6) atau wilayah-wilayah pengumpulan
SDA yang penting (lihat Wadley dan Colfer 2004).
Menyisihkan Kawasan untuk Merupakan suatu hal yang vital bahwa perusahaan
Konservasi pembalakan dan penduduk desa sama-sama setuju
terhadap aturan-aturan tentang pengambilan SDA
Sebagai bagian dari suatu rencana konservasi yang dari wilayah-wilayah ini. Pengambilan sumberdaya
menyeluruh FMU harus mengembangkan suatu yang tidak terkontrol khususnya perburuan akan
sistem zona-zona konservasi di dalam konsesinya. membatasi kapasitas dari kawasan yang disisihkan
Tujuan dari zona-zona ini adalah untuk menjamin dalam melestarikan nilai-nilai lingkungan, misalnya
perlindungan habitat yang memungkinkan bagi seperti konsentrasi-konsentrasi keanekaragaman
jenis-jenis langka, terancam punah dan jenis-jenis hayati.
endemik, mewakili seluruh tipe habitat yang ada
dalam konsesi; dan membantu melindungi nilai Beberapa faktor harus dipertimbangkan dalam
konservasi tinggi yang sudah teridentifikasi (Fimbel, rancangan kawasan-kawasan konservasi (Marcot
Grajal dan Robinson 2001). Tidak ada pembangunan dkk.2001).
infrastruktur, penebangan atau pembangunan jalan 1. Ukuran: Secara umum, semakin luas suatu zona
yang boleh diijinkan di dalam zona konservasi. konservasi, semakin baik. Kawasan yang luas
mendukung lebih banyak jenis dan populasi suatu
Disarankan kurang lebih 10% dari suatu konsesi
jenis yang lebih besar.
sebaiknya disisihkan bagi tujuan-tujuan konservasi
(Blockhus dkk.1992, Mason dan Putz 2001). Kawasan 2. Bentuk: Zona-zona konservasi yang cenderung
10% ini harus merupakan tambahan dari setiap berbentuk lingkaran lebih baik daripada yang
kawasan yang telah disisihkan menurut hukum panjang dan sempit. Efek tepian diminimalkan
Indonesia (Bennet dan Gumal 2001), atau kawasan dalam kawasan-kawasan konservasi yang
yang disisihkan akibat rendahnya potensi kayu atau berbentuk melingkar (sirkular).
aksesibilitas rendah seperti kawasan yang termasuk 3. Gradien ekosistem: Jika mungkin gradien ekosistem
dalam lereng E, dengan kemiringan >40%, dan harus dicakup dalam zona konservasi. Keberadaan
hutan-hutan penyangga tepian sungai tidak boleh beberapa spesies tergantung pada berbagai tipe
dimasukkan dalam ke- 10% kawasan konservasi hutan pada berbagai ketinggian atau tipe tanah.
yang disisihkan. Jaringan zona konservasi yang Memelihara kelengkapan gradien dari suatu

Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia 39


sungai sampai puncak gunung, sebagai contoh yang lebarnya 200-400 m (Fimbel, Grajal dan
akan membantu keterkaitan/kesinambungan Robinson 2001). Hal ini akan memfasilitasi
habitat bagi jenis-jenis nomadik. pergerakan dan dispersal (pemencaran) jenis-
4. Tata guna lahan yang berbatasan dengan kawasan jenis ke seluruh wilayah konsesi (Davies dkk.2001,
konservasi: Untuk meningkatkan efektivitas suatu Fimbel, Bennett dan Kremen 2001). Dalam banyak
zona konservasi, lebih baik jika zona tersebut kasus, kawasan-kawasan zona penyangga tepi
berbatasan dengan hutan-hutan yang dilindungi sungai dapat membentuk koridor-koridor yang
lainnya atau kawasan-kawasan dimana penutupan sesuai; tetapi jika sungai jarang ditemukan pada
hutan akan dijaga (misal kawasan-kawasan yang FMU, atau jika tidak terhubung dengan kawasan
dilindungi – KPA, KSA, atau hutan tangkapan air yang disisihkan untuk konservasi; maka koridor-
- HL). Pembukaan atau konversi hutan di sekitar koridor tambahan harus ditetapkan.
kawasan konservasi akan memiliki dampak di 6. Perwakilan ekosistem: Semua formasi hutan yang
dalam kawasan konservasi. ada di dalam konsesi harus diwakili dalam zona-
5. Koridor: Apabila mungkin, disarankan untuk zona konservasi termasuk kawasan yang biasanya
menghubungkan zona-zona konservasi dengan ditebang.
koridor-koridor hutan-hutan yang tidak terganggu

Pengaruh atau efek tepi mengacu pada dampak suatu tepi


hutan terhadap suatu kawasan hutan. Dampak gangguan
dapat memasuki hutan jauh melalui batas resmi dari suatu
kawasan konservasi. Sebagai contoh, perubahan intensitas
cahaya dan perubahan iklim mikro dapat terjadi 10-100 m dari
tepi jalan. Pengurangan terhadap rasio tepi terhadap luasan dari
suatu kawasan yang disisihkan untuk konservasi akan mengurangi
kawasan yang terkena dampak dari efek tepi.

Anrek hutan
Pengendalian Perburuan dan yang bergantung pada daging dari satwaliar sebagai
Penangkapan Ikan sumber proteinnya. Mengendalikan perburuan pada
tingkat yang lestari dengan demikian mungkin perlu
Perburuan satwaliar yang berlebihan oleh untuk pemeliharaan HCV 5.
penduduk desa setempat, orang luar dan staf
perusahaan dapat memiliki dampak yang sangat Bennet dan Gumal (2001) membuat saran-saran
negatif terhadap keanekaragaman binatang/satwa berikut untuk mengendalikan perburuan dalam
(Bennet dan Robinson 2000; Bennet dan Gumal FMU.
2001). Mengendalikan perburuan secara langsung
• Pengawasan akses. Menutup jalan-jalan dengan
meningkatkan pemeliharaan konsentrasi-konsentrasi
parit atau penghalang alam (earth blocade) akan
keanekaragaman hayati yang dinyatakan dalam
membatasi akses terhadap hutan oleh orang luar
HCV 1. Secara tidak langsung juga meningkatkan
yang menggunakan kendaraan. Selain itu hal ini
pemeliharaan nilai-nilai lain, seperti perlindungan
akan membantu mengendalikan pengambilan
interaksi-interaksi ekologi seperti penyebaran biji,
kayu secara ilegal.
penyerbukan, hubungan predator mangsa dan
herbivor. Dengan demikian memelihara populasi • Pengawasan metode. Pelarangan pemilikan
jenis-jenis satwa akan membantu memelihara jenis- senjata api bagi staf perusahaan akan secara
jenis tumbuhan lain. Pada gilirannya hal ini akan drastis mengurangi laju potensi panen maksimum
membantu memelihara hutan-hutan skala lansekap per pemburu.
luas dan proses-proses ekologi di dalamnya (HCV
• Sumber protein alternatif. Menyediakan
2), sebagaimana juga integritas (kesatuan) dari
sumber-sumber protein alternatif bagi para
ekosistem-ekosistem yang langka dan terancam
pekerja perusahaan penebangan dapat secara
punah (HCV 3). Selain itu, perburuan yang berlebihan
jelas mengurangi tekanan perburuan satwaliar.
dapat mengakibatkan kepunahan lokal dari beberapa
Terutama penting untuk menghentikan perburuan
jenis, dapat memberi dampak terhadap penduduk lokal

40 Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia


oleh tim cruising. Kelompok-kelompok ini berada kewenangan masyarakat terhadap sumberdaya
di dalam hutan sebelum pembalakan, dan hutan (yang diajukan) oleh sebuah desa Dayak
perburuan oleh mereka akan mengurangi populasi yang besar mungkin mencakup luasan sampai
satwa sebelum pembalakan. Beberapa satwa, 1000 km2. Peta-peta sumberdaya masyarakat
seperti kijang kuning (Muntiacus atherodes) harus menunjukkan kawasan-kawasan kunci
dan kancil (Tragulus spp) merupakan spesies- yang diperlukan untuk menyediakan akses atau
spesies yang sangat terkena dampak kegiatan untuk melestarikan sumber-sumber daya hutan
pembalakan (Davies dkk.2001; Heydon and Bulloh yang kritis.
1997). Penurunan populasi akibat perburuan
• Melaksanakan konsultasi-konsultasi dengan
sebelum pembalakan akan dapat memiliki
staf operasional hutan, anggota masyarakat atau
dampak kombinasi yang menghancurkan setelah
lembaga-lembaga lain yang relevan (misalnya
pembalakan.
lembaga akademik, badan-badan pemerintah,
• Peningkatan pendidikan konservasi. Pendidi- LSM) untuk mengevaluasi potensi dampak yang
kan yang ditujukan pada baik staf maupun merusak dari kegiatan operasional hutan terhadap
masyarakat lokal mengenai pentingnya satwaliar sumberdaya yang ada.
akan memfasilitasi upaya-upaya untuk melakukan
• Sepakat dengan masyarakat tentang kawasan-
perburuan secara berkelanjutan.
kawasan yang harus dikeluarkan dari kegiatan
Selain itu penangkapan ikan yang berlebihan pada pembalakan, karena mengandung sumberdaya
sungai-sungai pada sebuah FMU akan memiliki yang tinggi bagi masyarakat. Strategi-strategi
dampak negatif terhadap keanekaragaman hayati untuk mengontrol akses harus semaksimum
dan fungsi ekosistem perairan tawar atau laut. mungkin konsisten dengan aturan-aturan dan
Metode-metode penangkapan ikan yang merusak, kelembagaan adat. Contoh di Kalimantan Timur,
seperti bom dan racun, harus dilarang dan diawasi aturan Tanah Ulen (kawasan konservasi tradisional
secara ketat. yang disisihkan untuk memanen pohon-pohon
yang bermanfaat atau melindungi aliran suatu
Perlu dicatat bahwa pada saat ini masih belum
hutan DAS yang kritis) dapat digunakan untuk
jelas bagaimana para pengelola konsesi harus
mendefinisikan secara bersama daerah konservasi
menangani perburuan oleh masyarakat yang tinggal
di hutan yang berfungsi sebagai tangkapan air
di dalam atau bersebelahan dengan konsesi. Prinsip
penting. Jika memungkinkan, pemerintah lokal
3 FSC menyatakan bahwa hak-hak hukum dan adat
(daerah) harus diyakinkan untuk menyetujui
masyarakat asli untuk memiliki, menggunakan dan
penetapan-penetapan semacam itu sebagai
mengelola lahan, teritori dan sumberdaya mereka
suatu dukungan pemerintah dalam perlindungan
harus diakui dan dihargai. Di sisi lain, konsesi
kawasan-kawasan tersebut terhadap ancaman-
semestinya mengontrol perburuan, penangkapan
ancaman lain.
ikan, penjeratan dan pengumpulan yang tidak sesuai.
Karena itu diperlukan klarifikasi tentang kepastian • Mengembangkan suatu paket prosedur
tanggung jawab para pengelola konsesi dalam kaitan operasional standar (SOP – Standard Operational
dengan perburuan oleh masyarakat lokal. Procedure) untuk memastikan bahwa staf yang
bertanggungjawab dalam operasional hutan
Pengelolaan Secara Kolaborasi sadar akan
keputusan-keputus-
Berdasarkan atas hasil PKP yang diuraikan di atas, an secara prosedur
perusahaan perlu mengkonsep suatu strategi bagi dan tahu apa
konservasi dari ciri HCV sosial. Hal tersebut harus yang harus dilaku-
mencakup langkah-langkah berikut : kan untuk
• Dengan konsultasi bersama penduduk lokal, menerapkannya.
mengembangkan peta-peta yang menunjukkan • Mengembangkan
sumberdaya hutan yang diperlukan untuk suatu prose-
memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Peta- dur untuk
peta ini harus dibuat sebelum ada kegiatan produksi memantau
di dalam suatu konsesi hutan. Penting disadari ekaligus meng-
bahwa kawasan hutan yang diperuntukkan untuk evaluasi implement-
memenuhi kebutuhan masyarakat akan jauh lebih asi SOP-SOP ini.
besar dari kawasan enklave mereka. Abdoeallah
dkk. (1993) menerangkan bahwa klaim untuk
Babi berjanut (Sus barbatus)

Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia 41


Boks 4. Contoh-contoh kawasan HCVF yang didelineasi untuk konservasi tanah dan air pada HPH PT Hutansanggam
Labanan Lestari (82,340 ha) di Kabupaten Berau, Kalimantan (menurut Sulistioadi 2004)

HCVF 4.1. Kawasan-kawasan hutan yang berfungsi sebagai sumber –sumber air minum yang
khas.
Berdasarkan pembagian daerah tangkapan air yang sudah didelineasi dan informasi mengenai sumber
air minum bagi masyarakat (pemanfaatan sungai atau sumur-sumur) di dalam kawasan pemilihan
dilakukan untuk menentukan daerah tangkapan mana yang berfungsi sebagai sumber-sumber air minum
yang khas. Penilaian menunjukkan kawasan-kawasan yang mengandung unsur-unsur HCV 4.1. yang
luasnya berjumlah 17.542 ha.

HCVF 4.2. Kawasan-kawasan hutan sebagai bagian daerah tangkapan air utama yang kritis/
penting
Berdasarkan atas definisi untuk DAS UTAMA yang kritis (critical Major Catchments) oleh Depart-emen
Kehutanan (Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah BRLKT 2003) dan perhitungan sejauh mana
daerah tangkapan yang diteliti menyumbang terhadap daerah tangkapan utama (DAS utama), ditemukan
bahwa kawasan yang diteliti menyumbang <10% terhadap DAS-DAS utama dan kawasan tidak
mengandung unsur-unsur HCV 4.2.

HCVF 4.3. Kawasan-kawasan hutan yang kritis untuk pengendalian erosi


Kehilangan tanah tahunan diduga menggunakan peta raster dari erosivitas curah hujan, erodivitas tanah,
panjang lereng dan kecuraman, serta penutupan getasi dan pengelolaan. Menggunakan batasan bagi
laju kehilangan tanah 11 ton/ha/tahun distribusi awasan hutan dengan resiko erosi tinggi dihitung dan
berjumlah 7.934 ha.
Peta hasil identifikasi HCVF diperlihatkan di bawah.

42 Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia


Rencana pengelolaan untuk komponen sosial dari
HCVF juga harus mencakup mekanisme penyelesaian
Kebutuhan dasar adalah
konflik, antara lain kasus-kasus dimana beberapa
persyaratan bagi anggota masyarakat percaya bahwa sumberdaya
suatu individu hutannya telah dirusak, dan untuk kasus-kasus
atau kelompok dimana kawasan konservasi atau aturan-aturan yang
untuk bertahan disepakati bersama telah dilanggar. Hal ini harus
secara ekonomi mencakup :
atau bio- • Kesepakatan tentang perwakilan dari masyarakat
psikologi.* dan perusahaan yang akan bertanggungjawab
untuk menyelesaikan kasus konflik.
• Kesepakatan tentang prosedur kompensasi
standar dan jumlah uang untuk tipe-tipe kerusakan
yang mungkin terjadi (misalnya kerusakan pohon
buah-buahan, pohon penghasil madu dan lain-
lain).
• Kesepakatan tentang mekanisme dan kewenangan
arbitrase.
• Kesepakatan ini harus didokumentasikan secara
tertulis oleh perwakilan dari kedua belah pihak.

*(FSC, 2001) • Perusahaan harus menyimpan catatan tertulis


dari semua konflik dan langkah-langkah yang
Orang Dayak telah diambil untuk menyelesaikannya.
Ancaman-ancaman terhadap sumberdaya hutan Aspek penting lain dari suatu rencana pengelolaan
bagi masyarakat lokal mungkin bukan hanya berasal kolaborasi adalah mengidentifikasi kemungkinan
dari perusahaan penebangan, tetapi juga dari konflik-konflik antara aspek ekologi dan sosial
dalam masyarakat itu sendiri atau dari pemangku pada HCVF dengan cara mendiskusikannya dengan
kepentingan lain. Akan sia-sia merancang suatu masyarakat. Jika perlu perusahaan dan masyarakat
rencana konservasi dan pengelolaan tanpa harus mengembangkan suatu strategi untuk
memaduserasikan sudut pandang lainnya ini. menjamin partisipasi masyarakat di dalam konservasi
Dengan demikian langkah-langkah berikut harus aspek-aspek ekologi HCVF. Situasinya akan sulit
diambil : jika nilai-nilai ekologi dan sosial secara langsung
berlawanan, misal menyangkut perburuan satwa
• Mengidentifikasi ancaman-ancaman lain langka. Dalam kasus-kasus semacam itu, perusahaan
terhadap sumberdaya hutan yang fundamental harus memulai suatu program pendidikan lingkungan
bagi penduduk, menggunakan hasil PKP. dan sosialisasi sebelum menegosiasikan suatu
• Bersama masyarakat melakukan konsultasi, kesepakatan dengan masyarakat untuk memodifikasi
mengidentifikasi para pemangku kepentingan yang kebiasaan-kebiasaannya. Bantuan dari luar, misalnya
terlibat secara langsung (mereka yang melakukan dari badan-badan penegak hukum, LSM atau institusi
aktivitas yang mengancam) dan yang terlibat akademik mungkin diperlukan.
secara tidak langsung (mereka yang mengatur,
mendanai atau mempengaruhi kegiatan-kegiatan Dukungan Pemerintah Daerah
tersebut). Hal ini dapat dilakukan segera setelah
Tidaklah mungkin bagi suatu perusahaan
PKP sebagai suatu kelanjutan dari proses ini.
pengusahaan hutan untuk mengelola seluruh HCVF
• Merancang strategi-strategi untuk mendekati di dalam suatu FMU tanpa dukungan dari Pemerintah
para pemangku kepentingan ini dan mencapai Daerah. Peranan pemerintah daerah menjadi penting,
kesepakatan yang mengarahkan pada antara lain untuk misal pemeliharaan hutan-hutan
pengurangan ancaman yang signifikan terhadap skala lansekap luas (HCV.2) dapat menjangkau
sumberdaya hutan. jauh ke luar batasan wilayah yang dikelola oleh
• Memasukkan penilaian lanjutan terhadap suatu perusahaan. Hal tersebut berarti bahwa
kegiatan-kegiatan para pemangku kepentingan strategi-strategi pengelolaan HCVF oleh perusahaan
ini di dalam rencana pemantauan. mungkin tidak dapat dilaksanakan tanpa dukungan

Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia 43


dari pejabat-pejabat yang mengelola hutan-hutan di dikurangi. Sebaliknya, perluasan FMU akan
sekitarnya. Pada kondisi seperti ini, suatu perusahaan membantu dalam pengelolaan sebagian besar
HPH akan memerlukan dukungan dari pemerintah nilai-nilai konservasi.
daerah dan/atau pemerintah pusat.
• Pendekatan (lobi) untuk memelihara penutupan
Satu ciri menonjol dalam era transisi dan demokrasi di lahan di sekitar FMU. Semaksimal mungkin,
Indonesia saat ini adalah desentralisasi kewenangan perencanaan penatagunaan regional dan propinsi
pengelolaan lahan dari badan-badan pemerintahan harus dilakukan untuk meningkatkan pemeliharaan
pusat kepada pemerintah daerah atau propinsi. hutan utuh yang tersisa di sekitar FMU yang
Sebagai hasil dari proses otonomi daerah atau memiliki HCVF. Konversi kepada penggunaan
otonomi regional banyak aspek dari undang-undang lahan lain dari hutan-hutan yang berdekatan
dan kebijakan kehutanan menjadi tidak jelas. Di dalam dengan FMU cenderung akan mengurangi
iklim ini, tidaklah mungkin membuat rekomendasi HCVF di dalam suatu FMU karena kombinasi
yang pasti tentang bagaimana para pengusaha berbagai faktor, termasuk efek tepi, pengurangan
pembalakan dapat bekerja secara kooperatif pergerakan satwa akibat fragmentasi hutan dan
dengan pemerintah untuk mengelola HCVF, tetapi peningkatan resiko kebakaran dan perburuan.
banyak terdapat pendekatan potensial. Di sini kami HCV yang berasosiasi dengan hutan-hutan
menyarankan beberapa contoh dan bagaimana suatu skala lansekap luas di dalam dan di luar suatu
perusahaan dapat bekerjasama dengan pemerintah FMU secara khusus akan rentan. Perusahaan-
untuk mengelola HCVF dan/atau untuk menciptakan perusahaan pengusahaan hutan yang ingin
insentif-insentif finansial dan legal bagi perusahaan memelihara nilai ini di dalam areal konsesinya
untuk melaksanakan praktek-praktek ini sendiri : harus mendorong kebijakan-kebijakan yang
meningkatkan pemeliharaan penutupan hutan.
• Negosiasi untuk mengurangi pajak atas
penggunaan lahan. FMU di negara-negara lain • Kontrol terhadap pembangunan infrastruktur
(misalnya Bolivia) telah diberi pengecualian dan migrasi penduduk ke dalam kawasan.
pembayaran pajak lahan bagi lahan-lahan yang Pembuatan jalan-jalan baru atau desa-desa
disisihkan untuk konservasi. Ini mengurangi di dalam suatu FMU akan meningkatkan laju
biaya ekonomi dari penyisihan untuk konservasi perpindahan ke dalam kawasan dan dengan
bagi suatu perusahaan, sehingga mendorong demikian meningkatkan tekanan terhadap
pembentukannya (Mason dan Putz 2001). hutan dan sumberdayanya. Peningkatan jumlah
populasi akan mengakibatkan meningkat laju
• Negosiasi tentang perpanjangan atau pembaruan
konversi hutan untuk pertanian, pengambilan
sewa. FMU dengan suatu komitmen terhadap
kayu secara ilegal dan mungkin pertambangan,
praktek-praktek kehutanan dan konservasi
yang berdampak negatif pada HCV 1 sampai 6 .
yang baik seharusnya berada pada posisi kuat
Dengan demikian perusahaan harus bernegosiasi
untuk berargumentasi bagi perpanjangan hak
dengan pemerintah daerah untuk membatasi
pembalakan. Pengelolaan jangka panjang dan
pembangunan jalan-jalan baru di dalam FMU
komitmen dari suatu perusahaan pengusahaan
apabila jalan-jalan tersebut akan memberikan
hutan diperlukan untuk menjamin keberhasilan
dampak negatif kepada HCV. Kebijakan-kebijakan
strategi-strategi pengelolaan HCVF (Fimbel, Grajal
yang mendukung migrasi ke dalam kawasan harus
dan Robinson 2001).
ditentang.
• Pemeliharaan kesatuan (integritas) FMU. Untuk
konservasi banyak nilai (khususnya hutan skala
lansekap, ekosistem langka dan pengawetan
fungsi-fungsi ekosistem) akan penting bagi
FMU untuk tetap menjadi blok-blok hutan yang
utuh dan berkesinambungan. Memecah FMU ke
dalam unit-unit yang lebih kecil yang dikelola oleh
perusahaan-perusahaan lain, atau pengeluaran
beberapa bagian dan FMU untuk penggunaan
lain (misalnya konversi rawa mangrove pesisir
menjadi tambak-tambak atau pemberian ijin
pembukaan hutan yang dikenal sebagai IPPK)
akan memberi dampak negatif pada pengelolaan
HCVF. Perusahaan pembalakan harus bernegosiasi
untuk menjamin bahwa FMU tidak dipecah atau

44 Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia


Kotak 5. Ancaman dan strategi konservasi bagi HCV yang diidentifikasi di SLJ II

Metode
Nilai Ancaman Tujuan Konservasi Strategi Potensial
Konservasi
HCV1 • Perburuan • Melestarikan • Larang perburuan • Menegakkan larangan semua
Konsentrasi • Penangkapan ikan populasi jenis- jenis spesifik perburuan oleh staf SLJ.
keanekarag- yang merusak jenis yang langka, • Larang pengambilan • Pendidikan lingkungan untuk
aman hayati • Pembangunan terancam punah, ikan yang merusak mendorong masyarakat lokal tidak
jalan genting dan berburu jenis dilindungi.
• Penebangan and endemik. • RIL
• Perbaikan teknik-teknik RIL
penyaradan • Melestarikan • Zona konservasi dan penggunaan skyline untuk
keseluruhan meminimumkan dampak
keanekaragaman lingkungan
hayati tingkat- • Zona-zona konservasi representatif
tingkat tinggi mencakup contoh-contoh dari
semua ekosistem

HCV2 Hutan • Deforestasi • Melestarikan • Pembuatan jalan • Zona-zona konservasi yang


skala Lansekap • Fragmentasi blok-blok skala yang dikurangi dirancang dengan baik di sekeliling
besar hutan • RIL area-area hutan lindung.
dipterocarpace • Zona konservasi • Bekerja dengan mitra-mitra untuk
dataran rendah • Melobi pemerintah menghasilkan rencana pengelolaan
(>50,000 ha) untuk mencegah pada tingkat lanskap di hulu DAS
• Memelihara konversi hutan di Mahakam. Suatu rencana yang
kebersambungan sekitar konsesi menjamin terjaganya penutupan
blok hutan SLJ • Mempertahankan alami hutan.
dengan blok hutan konsesi sebagai
besar lainnya sebuah FMU
tunggal

HCV3 • Deforestasi • Melestarikan • RIL • Perbaikan teknik RIL dan


ekosistem • Fragmentasi hutan dipterocarp • Zona-zona penggunaan skyline untuk
langka, • Kegiatan dataran rendah konservasi meminimumkan dampak
terancam pembalakan • Melestarikan • Melobi pemerintah lingkungan
punah dan hutan dataran untuk mencegah • Zona-zona konservasi representatif
genting rendah. konversi hutan di mencakup contoh-contoh semua
sekitar konsesi ekosistem

HCV4 Layanan • Pembuatan jalan • Mempertahankan • RIL • Perbaikan teknik RIL dan
dasar • Deforestasi nilai-nilai • Zona-zona penggunaan skyline untuk
• Pembukaan lahan perlindungan DAS konservasi meminimumkan dampak
pertanian Boh lingkungan
• Zona-zona konservasi yang baik di
sekeliling area-area hutan lindung.

HCV5 • Eksploitasi • Pasokan • Zona-zona • Terus berkonsultasi dengan desa


Kebutuhan berlebih kebutuhan dasar pemanfaatan desa • Pemetaan partisipatif pemanfaatan
dasar • Deforestasi yang berkelanjutan • Pengakuan atas sumberdaya alam oleh masyarakat
masyarakat • Pengrusakan • Pasokan tanah ulen lokal
pohon-pohon pendapatan yang • Larang penebangan • Penetapan zona-zona dan aturan-
kunci untuk berkelanjutan pohon-pohon aturan pemanfaatan sumberdaya
buah-buahan dan buah-buahan, madu alam secara partisipatif
madu dan pohon penting • Resolusi konflik
lainnya

HCV6 Identitas • Eksploitasi • Terjaganya nilai- • Zona-zona • Terus berkonsultasi dengan desa
kebudayaan berlebih nilai budaya. pemanfaatan desa • Pemetaan partisipatif pemanfaatan
• Deforestasi • Pengakuan atas sumberdaya alam oleh masyarakat
tanah ulen lokal
• Penetapan zona-zona dan aturan-
aturan pemanfaatan sumberdaya
alam secara partisipatif.

Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia 45


46 Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia
bagian 5

apakah strategi
pengelolaan yang sekarang
berhasil?
Bagi para pengelola hutan yang ingin menilai apakah strategi pengelolaannya berhasil baik—atau,
secara lebih spesifik, apakah nilai-nilai konservasi terpelihara atau meniingkat —dibutuhkan pelak-
sanaan suatu sistem pemantauan. Pemantauan atau monitoring adalah sebuah bagian kunci dari
prinsip 9 FSC, sebagaimana dikodifikasi dalam Kriteria 9.4:
9.4 Pemantauan tahunan akan dilakukan untuk menilai efektivitas langkah-langkah yang diterapkan
untuk memelihara atau meningkatkan sifat-sifat konservasi yang dapat diterapkan.

Apa itu pemantauan?


Semua rencana pengelolaan selalu memiliki sebuah Dengan menggabungkan kedua arti tersebut, peman-
program pemantauan. Pemantauan adalah sesuatu tauan dapat dimengerti sebagai “Pengumpulan dan
yang sering dibahas, tetapi secara umum peman- evaluasi data periodik relatif terhadap tujuan, sasaran
tauan dilaksanakan secara buruk dan hasil-hasilnya dan kegiatan-kegiatan yang telah ditetapkan” (Mar-
jarang diintegrasikan ke dalam rencana masa depan goluis dan Salafsky 1998). Pemantauan adalah sebuah
(Kremen dkk. 1994). Dua penjelasan untuk hal ini kegiatan menyelidiki bagaimana keadaan-keadaan
adalah (i) suatu pemahaman yang dangkal tentang berubah dalam perjalanan waktu. Keadaan-keadaan
pentingannya pemantauan bagi pengelolaan hutan, dapat diramalkan berubah oleh sebab-sebab alamiah
dan (ii) kebingungan yang sesungguhnya tentang atau antropogenik (seperti suatu intervensi pengelo-
arti istilah ‘pemantauan’. laan), atau keadaan-keadaan itu dapat diramalkan
tetap stabil. Perbedaan kunci antara pemantauan dan
Pemantauan mempunyai dua arti yang terpisah tetapi sebuah survei adalah pemantauan dilakukan sejalan
kompatibel: dengan waktu dan survey dilakukan sekali waktu.
Pertama, pemantauan merujuk kepada pengamatan Jadi pemantauan memungkinkan kita untuk melihat
dan pendokumentasian kegiatan-kegiatan proyek: watak perubahan temporal dari keadaan-keadaan,
Apakah kegiatan-kegiatan yang dinyatakan dalam sementara sebuah survei sekedar menyediakan suatu
rencana kerja telah diselesaikan? Kedua, pemantau- potret-cepat dari keadaan-keadaan pada waktu ter-
an merujuk kepada penilaian dampak dari kegiatan- tentu.
kegiatan pengelolaan.

Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia 47


Pemantauan seharusnya dilakukan untuk dua maksud
utama; Pertama, untuk memperoleh lebih banyak in-
Mengapa memantau?
formasi tentang keanekaragaman hayati yang ada
dan kepentingannya bagi masyarakat sekitar. Kedua, Pemantauan adalah vital untuk menilai keberhasi-
untuk mengevaluasi efektivitas dari upaya-upaya lan kegiatan pengelolaan. Tanpa pemantauan, tidak
konservasi perusahaan dalam mengidentifikasi dae- mungkin mengetahui apakah kegiatan-kegiatan me-
rah-daerah HCV. Tidaklah cukup pengelolaan hanya miliki hasil yang diinginkan. Pemantauan dapat me-
ditekankan pada pengkajian awal yang hanya me- nolong memperlihatkan kegiatan mana yang berha-
nyediakan data awal yang digunakan tim untuk me- sil dan yang tidak (Kremen dkk. 1994). Pemantauan
nentukan ada tidaknya HCV, dan kemudian secara adalah suatu bagian integral dari daur program yang
kasar diestimasikan batas-batas dari daerah-daerah klasik dan esensial untuk pengelolaan adaptif.
ini, yang kebanyakan didasarkan atas citra overflight Pemantauan juga dapat memandu prioritas-prioritas
digital 2004. Setelah selesainya survei yang lebih eks- penelitian. Misal. jika ada suatu pola yang menarik
tensif, daerah-daerah HCV dapat dihilangkan atau selama pemantauan, seperti suatu penurunan popu-
ditambah, tetapi perusahaan tersebut harus memiliki lasi yang mencolok dari satwa tertentu maka suatu
alasan yang benar untuk keputusan-keputusannya. penelitian dapat digagas untuk mencari tahu penye-
Dalam rangka mendemonstrasikan suatu transpar- babnya.
ansi tingkat tinggi, direkomendasikan bahwa sebuah
pihak ketiga terlibat memantau keutuhan daerah- Apa yang dipantau?
daerah HCV yang teridentifikasi. Paling tidak, staf
konsesi harus memperlihatkan bahwa mereka melak- Berikut ini beberapa faktor penting untuk mengukur
sanakan suatu proses pemantauan tahunan yang keberhasilan pelaksanaan suatu program pemantau-
sistematik. Proses pemantauan seharusnya terfokus an. Program-program pemantauan seharusnya:
pada keutuhan seluruh area hutan, dan paling baik • Memiliki sasaran-sasaran yang jelas.
dipantau melalui pengindraan jarak jauh, dan HCV-
HCV yang teridentifikasi. Dalam hampir semua kasus, • Direncanakan sebelumnya dan melekat kepada
pemantauan kemelimpahan jenis tidak disarankan rencana-rencana ini.
karena sampling error hampir selalu besar, sebab • Mengikuti metode-metode baku selama dan
membuat deteksi penurunan suatu populasi sangat setiap periode pemantauan.
sulit dilakukan dalam waktu pendek. Seringkali, lebih
efektif memantau tingkat ancaman, seperti tingkat • Dilaksanakan secara teratur sesuai dengan jadwal
perburuan daripada spesies target yang sebenarnya yang tetap.
dengan menggunakan asumsi bahwa jika tingkat an- • Mencakup rencana rinci untuk analisis,
caman dikurangi dan habitat tetap utuh, spesies yang interpretasi dan terintegrasi dalam kegiatan-
diminati akan pulih. kegiatan pengelolaan masa depan.

Pengelolaan adaptif adalah suatu proses sistematik untuk secara terus menerus
meningkatkan praktek-prakeik pengelolaan lewat belajar terus menerus dari
hasil kegiatan-kegiatan terdahulu, dan kemudian untuk memperbaiki praktek-
praktek untuk masa depan. Pemantauan adalah suatu komponen sangat penting
dari pengelolaan adaptif, karena pemantauan menyediakan suatu landasan untuk
mengevaluasi hasil dari suatu praktek pengelolaan dan mengidentifikasi perubahan-
perubahan yang diperlukan untuk mencapai peningkatan masa depan. Bentuk
pengelolaan yang paling efektif – yang diketahui sebagai pengelolaan adaptif “aktif ”
– yaitu menyiapkan program-program kegiatan dan pemantauan sesuai dengan
suatu rancangan eksperimen bagi pengelola untuk belajar lebih banyak tentang
sistem yang dikelola dan untuk mengevaluasi praktek pengelolaan mana yang
paling efektif. Pemantauan kekayaan, kesehatan dan faktor-faktor sosial-ekonomis
lainnya dibutuhkan untuk menentukan keberhasilan dari penyuluhan pertanian
dan pembangunan ekonomi dan program-program sosial. Pemantauan ekologis
diperlukan untuk melacak keadaan ekosistem-ekosistem
Orang Dayak

48 Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia


Untuk membantu meningkatkan pelaksanaan pro- • Mudah untuk diidentifikasi dan dicatat oleh semua
gram-program pemantauan, program-program terse- pengamat.
but seharusnya:
• Mudah untuk diambil sampelnya secara kuantita-
• Sederhana tetapi tegas. tif atau kualitatif oleh semua pengamat.
• Memberikan aturan yang jelas untuk menetapkan • Tersebar luas di seluruh daerah yang dipantau.
kapan harus berhenti.
• Rendah dalam keragaman temporal dan spasial
• Efektif biaya. yang disebabkan oleh faktor-faktor selain dari
yang diperhatikan oleh kegiatan pengelolaan.
Untuk mencapai tujuan-tujuan ini, kebanyakan pro-
gram pemantauan bergantung kepada indikator- • Menarik. Pemantauan adalah pekerjaan berat;
indikator yang mampu mewakili keadaan-keadaan indikator yang menarik akan membantu memeli-
yang dipantau yang seringkali kompleks. Indikator hara minat pada pengumpul data.
yang ideal seharusnya:
Tabel 3 menampilkan suatu tinjauan atas HCV yang
membutuhkan pemantauan.

Tabel 3. Apa yang dipantau dalam sebuah konsesi pembalakan

HCV Pemantauan yang disarankan

Kawasan yang dilindungi Setiap kawasan lindung atau hutan lindung baru di dalam atau di luar
daerah konsesi harus didaftarkan sebagai HCVF. Perusahaan harus
menggunakan teknik-teknik penginderaan jauh untuk memantau setiap
pembalakan liar dari daerah-daerah ini.

Spesies Data spesies harus dipegang dengan tujuan spesifik untuk mendata
spesies-spesies yang terancam, langka, endemik dan spesies payung.
Kehadiran spesies tersebut di daerah tertentu seharusnya membuat
daerah tersebut dikelompokkan menjadi HCV. Juga dampak dari
kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pembalakan terhadap
populasi satwaliar seharusnya dipantau, termasuk dampak perburuan.

Penggunaan temporal yang kritis Informasi tentang perubahan-perubahan temporal dan spasial dari
populasi satwaliar harus dikumpulkan, secara spesifik untuk memantau
dampak pemanfaatan hutan atau untuk mendeteksi pemanfaatan
temporal yang kritis.

Hutan level lanskap dan koridor Pemantauan berskala besar sangat penting dilakukan atas posisi
hutan fungsional dari sebuah konsesi tertentu dalam hubungan dengan
wilayah-wilayah hutan lainnya. Contohnya, sebuah konsesi mungkin
menyediakan suatu koridor antara dua lanskap hutan yang lebih besar.

Keadaan hutan Pemutakhiran data tahunan dibutuhkan untuk memantau dampak


pemanfaatan hutan terhadap keadaan hutan keseluruhan.

Pemanfaatan air Pemantauan perubahan kebutuhan-kebutuhan masyarakat akan air.

Kebakaran Semua titik-panas kebakaran seharusnya didata, dan jika memungkinkan


juga penyebab langsung kebakaran (pembakaran pertanian, pembersihan
lahan dengan api dari daerah-daerah tetangga dsb.)

Basic needs of communities Survei-survei sosial yang teratur harus menentukan apakah terjadi
perubahan ketergantungan masyarakat akan hutan.

Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia 49


Data-dasar (Baselines) (i) Penginderaan jauh dan Sistem Infor-
masi Geografis
Pemantauan memiliki sesuatu yang khas yaitu bahwa Penginderaan jauh menggunakan citra satelit atau
catatan hasil pemantauan untuk diperbandingkan foto udara untuk memeriksa perubahan-perubahan
dengan suatu set data dasar. Data dasar adalah suatu vegetasi dan penutupan lahan. Ada beberapa je-
“potret sesaat sebuah lokasi sebelum atau pada tahap nis citra satelit, tetapi mungkin yang paling berguna
awal dari sebuah kegiatan” (Russel dan Hasselbarger dalam pemantauan hutan adalah citra LandSat 7. Ci-
1998). Banyak metode dipakai untuk mengumpul- tra ini mudah diperoleh dan relatif tidak mahal. Be-
kan data dasar. Tidak perlu menggunakan metode- berapa citra (disebut sebagai scenes) dari suatu dae-
metode pengumpulan data yang sama untuk data rah tersedia setiap tahun dan dapat dibeli dari situs
dasar dan pemantauan. Biasanya jauh lebih banyak web NASA (http://geo.arc.nasa.gov/sge/landsat/landsat.
data dikumpulkan pada data dasar dibandingkan html). Citra-citra satelit secara khusus meliputi suatu
dengan yang kemudian dipakai dalam pemantauan. wilayah yang luas—contohnya, sebuah citra LandSat
Kunci untuk pemantauan adalah memastikan bahwa 7 yang baku menampilkan 3.536.235 ha. Ini membuat
protokol pemantauan adalah kompatibel dengan data citra LandSat 7 sangat berguna untuk pemantauan
dasar agar dapat diperbandingkan. pada skala spasial yang luas, seperti seluruh wilayah
Contoh-contoh alat yang digunakan dalam data dasar sebuah FMU dan lansekap di sekelilingnya, tetapi
untuk isu-isu sosial ekonomi adalah RRA (Rapid Ru- terbatas untuk digunakan dalam memeriksa peruba-
ral Appraisal), PRA (Participatory Rural Appraisal) dan han-perubahan pada suatu skala lokal, misalnya 10-
kuesioner formal. Dalam pemantauan ekologis, data 100 ha. Jadi, analisis citra LandSat 7dapat menjadi
dasar dapat ditentukan dari, antara lain, survei popu- alat yang berguna untuk pemantauan HCV 2 dan
lasi, penginderaan jauh dan plot permanen. 3—Hutan-hutan pada tingkat lansekap dan keadaan
ekosistem-ekosistem yang langka atau terancam.

Bagaimana memantau Alat-alat esensial yang dibutuhkan untuk melakukan


jenis analisis ini adalah suatu program komputer SIG,
HCVF dan seorang operator yang trampil. Dari berbagai
program SIG mungkin yang paling berguna dan ban-
Pemantauan dampak kegiatan pengelolaan terha- yak digunakan adalah program-program ARCVIEW
dap HCVF (Gambar 6) merupakan bidang yang be- dan ARCGIS produksi ESRI. Program-program ini
lum teruji. Sampai saat ini, belum ada standar untuk dapat digunakan untuk melihat citra-citra satelit dan
tingkat-tingkat gangguan yang dapat diterima atau melakukan jenis-jenis analisis seperti di bahas di
indikator-indikator yang cocok untuk berbagai ke- bawah ini.
adaan ekologis yang menarik. Sejak 1980-an, telah Sebuah program pemantauan yang ideal seharusnya
cukup banyak penelitian tentang dampak pembal- menyediakan citra-citra LandSat 7 tahunan yang me-
akan terhadap satwaliar (Fimbel, Grajal dan Robin- liputi seluruh wilayah FMU dan sekitarnya. Citra-citra
son eds. 2001; untuk tinjauan keadaan di Borneo, lihat dapat diperbandingkan untuk memeriksa:
Meijaard dkk. 2005), tetapi dalam kebanyakan kasus
hasil-hasilnya tidak konklusif atau tidak mencukupi • Apakah ada pembukaan hutan di sekeliling FMU
untuk memandu perancangan program-program yang mungkin memengaruhi HCV2.
pemantauan. Dengan tidak adanya informasi yang • Apakah jalan-jalan dan jalan sarad dibangun
tepat, hanya panduan kasar yang dapat diberikan un- dalam konsesi sesuai dengan rencana.
tuk tipe-tipe kegiatan pemantauan yang seharusnya
• Apakah ada pembukaan hutan oleh masyarakat
digunakan.
lokal atau pendatang di luar daerah-daerah yang
sudah disepakati sebelumnya.
Pemantauan Ekologis • Jarak kebakaran-kebakaran yang tak terkendali
(wildfires) dari FMU untuk menentukan risiko ke-
Metode-metode yang disarankan untuk pengumpu- bakaran pada masa depan.
lan data, dan jenis data yang dapat dikumpulkan, un-
• Apakah aturan-aturan pembatasan pembangu-
tuk melaksanakan pemantauan ekologis mencakup:
nan infrastruktur di wilayah konservasi yang telah
(i) penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis
disisihkan telah dipatuhi.
(SIG); (ii) plot vegetasi permanen; (iii) transek sat-
waliar; (iv) spesies indikator; dan (v) erosi tanah dan
kualitas air.

50 Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia


Situs-situs http://www.crisp.nus.edu.sq/ dan http:// an, plot-plot ini jarang dimanfaatkan potensinya se-
www.haze-online.or.id/ menyediakan informasi dan cara penuh, walaupun demikian merupakan titik
peta-peta mutakhir tentang titik-titik panas keba- awal yang bagus untuk membangun suatu sistem
karan di Indonesia. Selama musim kemarau, teruta- pemantauan vegetasi yang komprehensif. Jaringan
ma selama kemarau panjang yang berkaitan dengan antar PSP yang dirancang dan dipantau dengan baik
kejadian-kejadian ENSO, situs ini seharusnya dikon- dapat memberikan informasi yang sangat berharga
sultasikan untuk menetapkan apakah kebakaran ter- tentang dampak berbagai strategi pengelolaan. PSP
jadi dalam atau dekat dengan (kurang dari 10 km) dapat memberikan informasi pada level-level keanek-
dari FMU. aragaman (HCV1) dan data tentang regenerasi hutan
sesudah pembalakan (HCV 1-4). PSP tidak perlu ma-
Selain untuk analisis citra satelit, SIG dapat digu-
hal dalam pembangunannya atau membuang banyak
nakan pada skala yang lebih lokal untuk mendu-
waktu dalam pemantauannya. Dalam kenyataannya,
kung program-program monitoring. Dengan perlua-
untuk beberapa maksud, seperti pemantauan pe-
san-perluasan seperti ‘analisis jaringan’ dan ‘analisis
rubahan dalam kekayaan jenis pohon berkanopi be-
spasial’, ARCVIEW dapat digunakan untuk menduga
sar, tidak perlu mengukur-kembali plot-plot setiap ta-
pengubah-pengubah seperti intensitas pemanenan
hun. Meskipun demikian, yang penting adalah bahwa
(jumlah pohon yang ditebang per hektar) dan ker-
(i) plot-plot dibangun secara hati-hati dan mencakup
apatan jalan. Pada gilirannya, informasi ini dapat
jumlah plot kontrol yang memadai; (ii) lokasi dan
digunakan dalam kombinasi dengan data dari plot
jumlah plot memungkinkan pengelola menarik kes-
sampel permanen dan transek-transek satwaliar (li-
impulan-kesimpulan yang kokoh yang dapat digen-
hat di bawah) untuk menyelidiki kaitan-kaitan antara
eralisasikan kepada keseluruhan FMU; dan (iii) data
intensitas pemanenan dan temuan satwa liar, atau
dianalisa secara benar dan berguna sehingga hasil-
regenerasi hutan.
hasilnya dapat diterapkan pada pengelolaan. Dewasa
ini, sedikit perusahaan yang memiliki staf yang mam-
(ii) Plot Vegetasi Permanen pu menciptakan dan menganalisa PSP dengan baik.
Tantangan utama untuk memantau perubahan-pe- Jadi, mungkin perlu menggunakan tenaga ahli luar
rubahan keanekaragaman hayati dalam ekosistem dari LSM atau universitas untuk menolong menyiap-
hutan di seluruh dunia adalah sangat lambatnya kan plot-plot awal dan melatih staf perusahaan.
dinamika populasi tumbuhan. Masalah ini selanjut- Jenis-jenis pemantauan yang dapat dilaksanakan
nya semakin rumit di Kalimantan, di mana reproduksi dengan menggunakan PSP:
banyak jenis pohon terkait dengan kejadian ENSO
yang terjadi pada daur supra-tahunan 3-7 tahun. • Plot-plot dalam kawasan-kawasan yang disisih-
Terkait dengan kenyataan ini, maka untuk mem- kan untuk konservasi dan koridor-koridor konser-
peroleh data untuk menjawab pertanyaan-pertan- vasi yang diukur-kembali setiap 2-4 tahun dapat
yaan tertentu tentang konservasi keanekaragaman digunakan untuk menetapkan apakah daerah
hayati tumbuhan, seperti apakah populasi jenis ter- konservasi tersebut betul-betul memelihara ke-
tentu sedang menurun, membutuhkan pemantauan anekaragaman tumbuhan dan mengkonservasi
selama puluhan tahun. Meski demikian, untuk men- ekosistem (HCV1 dan 3).
jawab pertanyaan lain, seperti bagaimana pembal- • Di area produksi, plot-plot yang dibangun sebe-
akan mempengaruhi regenerasi benih dari spesies lum pembalakan dapat digunakan untuk mem-
target, mungkin membutuhkan periode pemantauan bandingkan keanekaragaman dan tingkat-tingkat
yang lebih pendek apabila rancangan sampling- kerusakan cabang yang disebabkan oleh pene-
nya kuat. Karena itu, para pengelola harus berpikir bangan sebelum dan sesudah pembalakan.
dengan hati-hati tentang (i) pertanyaan-pertanyaan
mana yang paling penting untuk dijawab; (ii) apak- • Pengukuran berulang pada plot-plot setelah
ah pertanyaan-pertanyaan ini akan membutuhkan pemanenan (yaitu 1, 3, dan 5 tahun dan selanjut-
sampling berjangka waktu pendek, menengah atau nya selang 5 tahunan), dapat memperlihatkan laju
panjang sebelum dapat dijawab; dan (iii) menyusun regenerasi hutan, pertumbuhan pohon dan apak-
sebuah sistem pemantauan yang efisien, kuat secara ah keanekaragaman terpelihara di area produksi.
ilmiah dan menyediakan data yang memadai untuk • Suatu seri plot dalam berbagai rezim pengelolaan
menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. atau tipe hutan dapat digunakan untuk mem-
Plot sampel permanen (PSP) untuk memantau per- perlihatkan dampak kegiatan ini terhadap ke-
tumbuhan dan kematian pohon terdapat di semua anekaragaman dan regenerasi. Sebagai contoh,
FMU di Kalimantan Timur sebagaimana disyaratkan plot-plot seharusnya diciptakan pada semua tipe
oleh hukum kehutanan Indonesia. Meskipun demiki- hutan yang diambil kayunya dengan menggunak-

Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia 51


an berbagai metode (contohnya penebangan dan • Transek-transek pada kawasan-kawasan yang
ekstraksi konvensional, ekstraksi ‘skyline’, teknik disisihkan untuk konservasi dan koridor-kori-
RIL) untuk membandingkan pengaruh-pengaruh dor yang disurvei setiap 3-5 tahun sekali dapat
dari berbagai metode tersebut terhadap keanek- digunakan untuk menemukan apakah area-
aragaman dan gangguan kepada struktur hutan. area tersebut dalam kenyataannya efektif dalam
memelihara keanekaragaman hayati dan meng-
Tujuan-tujuan lain dari pemantauan keanekaragaman
konservasi ekosistem-ekosistem langka (HCV1
hayati tumbuhan mungkin tidak dapat sepenuhnya
dan 3). Survei harus dilakukan pada musim yang
dilayani oleh suatu jaringan besar PSP, bagaimana
sama ketika setiap kali survei diulangi. Musim-
pun bagusnya rancangan jaringan tersebut, dan
musim yang berbeda dapat menghasilkan dam-
karena itu membutuhkan metode-metode alternatif.
pak yang besar terhadap populasi beberapa jenis
Sebagai contoh, misalnya satu jenis tumbuhan lang-
satwa. Survei pada musim kering akan lebih nya-
ka dan terancam teridentifikasi dalam FMU (Misalnya
man bagi pengamat dan satwa-satwa cenderung
Aquilaria malaccensis) dan pengelolaannya menjadi
akan lebih aktif pada musim kering (Fimbel, Ben-
suatu tujuan dari pengelolaan HCVF. Jenis langka,
net dan Kremen 2001). Di Kalimantan, di mana
menurut definisinya, terdapat dalam kerapatan ren-
keragaman dalam—dan terutama antar—tahun
dah dan karenanya, kemungkinan besar hanya ter-
dalam ketersediaan buah tinggi, sangatlah pent-
dapat beberapa individual dalam PSP. Pengelolaan
ing untuk mempertimbangkan “faktor waktu” ke-
dan pemantauan populasi jenis seperti ini dapat dica-
tika melaksanakan dan menafsirkan data transek
pai lebih baik melalui kombinasi pemantauan (i) re-
hidupan liar.
produksi pohon-pohon dewasa yang ditandai secara
permanen yang ditemukan lewat survei transek; (ii) • Transek-transek yang dibuat sebelum pembalakan
Pola pertumbuhan dan ketahanan hidup dari kekua- dapat digunakan sebagai tolak ukur keragaman
tan regenerasi saat ini; (iii) studi-studi ekologis yang satwa sebelum pembalakan. Transek-transek yang
bertujuan pada penetapan syarat-syarat regenerasi disurvei ulang segera sesudah pembalakan mem-
jenis tersebut dan kontrol-kontrol lain pada ukuran perlihatkan tingkat penurunan jangka pendek dan
populasinya. memungkinkan penilaian apakah penurunan ini
dalam batas-batas yang dapat diterima.
Sebagaimana disebutkan di atas, informasi yang
diperoleh dari PSP-PSP atau plot-plot vegetasi lain • Survei-kembali transek-transek sesudah pem-
dapat digabung dengan data SIG lain, seperti intensi- balakan secara sering (misalnya sesudah 1, 3,
tas panen, untuk menyelidiki dampak-dampak pem- 5 tahun dan setiap 5 tahun sesudahnya), dapat
balakan yang lebih luas. memperlihatkan apakah satwa-satwa kembali ke
hutan yang sudah ditebang, dan apakah keanek-
(iii) Transek hidupan liar aragaman atau hutan-hutan berlevel lansekap
terpelihara.
Transek hidupan liar adalah jalur-jalur panjang dalam
hutan yang disurvei dengan cara yang baku untuk • Suatu seri transek di hutan-hutan yang berbeda
mengamati hidupan liar atau bukti keberadaan hidu- dengan berbagai rezim pengelolaan atau tipe
pan liar (seperti jejak, kotoran, sarang, suara dan hutan dapat digunakan untuk memperlihatkan
sebagainya). Terdapat berbagai metode transek, dan dampak kegiatan-kegiatan ini terhadap keanek-
banyak data dapat diperoleh dari metode-metode ini, aragaman. Sebagai contoh, transek-transek harus
tetapi harus ditekankan bahwa kecil kemungkinan- dibuat di semua tipe hutan yang diambil kayunya
nya untuk membuat dugaan populasi absolut dengan dan di daerah-daerah di mana metode-metode
ketepatan tingkat tinggi. Dalam hal PSP, pembuatan ‘skyline’ atau RIL digunakan.
dan analisis transek hidupan liar adalah relatif kom- • Transek-transek yang dekat dan jauh dari desa-
pleks (Rabinowitz 1992), sehingga bantuan dari luar desa dapat menolong keberhasilan setiap pro-
mungkin dibutuhkan juga pada tahap awal pelaksa- gram untuk mengendalikan perburuan satwa liar.
naan dan analisis dari kegiatan pemantauan.
• Penggunaan temporal bagian-bagian tertentu
Jenis pemantauan yang dapat dari konsesi harus dipantau. Jenis-jenis tertentu
dilakukan dengan menggu- mengumpul di daerah tertentu untuk mencari
nakan metode-metode tran- makan dan berbiak. Sebagai contoh, seluruh pop-
sek, dan pertanyaan-pertan- ulasi kupu-kupu monarch (Danaus plexippus) di
yaan yang dapat dihadapi, AS melewati musim dingin hanya pada areal se-
mencakup: luas 1.000 ha di Meksiko. Jika daerah seperti itu
ditemukan dalam sebuah konsesi adalah penting
jejak Kucing Batu

52 Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia


untuk memantau jumlah satwa dan menyelidiki itu bergantung kepada suatu aspek ekologis terten-
pengaruh-pengaruh potensial dari pemanfaatan tu dari hutan. Jadi suatu perubahan kerapatan un-
hutan terhadap keberlangsungan hidup jenis tuk spesies indikator ini secara tak langsung berarti
tersebut. Ini juga dapat mencakup jenis seperti suatu perubahan dalam sebuah pengubah ekologis
Babi Berjanggut (Sus barbatus) yang menggu- tertentu, yang mungkin sedikit relevansinya dengan
nakan area tertentu selama bermigrasi. aspek-aspek lain dari ekologi hutan. Kemungki-
nannya adalah ‘indikator-indikator’ ini tidak dapat
(iv) Road counts (survey temuan) memprediksikan kesehatan hutan dengan baik. Pe-
rusahaan-perusahaan pengusahaan hutan, akade-
Survei temuan di konsesi pembalakan dapat mene- misi dan peneliti perlu bekerja sama untuk menguji
tapkan tingkat perjumpaan relatif dari suatu spesies lebih lanjut asumsi-asumsi tentang indikator-indika-
di bagian-bagian tertentu konsesi. Jika dilakukan se- tor potensial ini. Di bawah adalah beberapa spesies
cara konsisten dan sistematis survei-survei tersebut vertebrata yang peka terhadap pengaruh-pengaruh
juga dapat memberikan petunjuk mengenai peruba- pemanenan kayu dan mungkin berpotensi untuk di-
han-perubahan temporal populasi satwa. Sebagai gunakan sebagai indikator kesehatan hutan (untuk
contoh, survei-survei tersebut dapat memberikan informasi lanjut mengenai spesies indikator lihat Mei-
petunjuk bahwa jenis tertentu menjadi langka di jaard dkk. 2005).
area-area yang sedang dibalak, tetapi kembali sesu-
dah pembalakan. Juga, survei-survei tersebut secara • Burung-burung frugivora dan insektivora
potensial dapat mendeteksi perubahan-perubahan terestrial. Beberapa survei telah menyarankan
besar dalam tingkat perjumpaan untuk jenis tertentu, bahwa burung-burung yang hidup di tanah yang
sebagai contoh, jika tekanan perburuan terhadap memakan biji-bijian, buah dan/atau serangga
jenis tersebut telah meningkat dengan nyata. Road memperlihatkan penurunan yang jelas sesudah
counts seperti itu tidaklah cocok untuk menetapkan pembalakan (survei-survei dikutip dalam Zakaria
kerapatan jenis absolut. dan Francis 2001). Penurunan-penurunan itu
bisa sangat kuat bagi spesies khusus pemakan
TNC telah mengembangkan sebuah metodologi
‘road count’ yang sederhana untuk mamalia di mana
para supir konsesi mencatat semua jenis mamalia
yang mudah diidentifikasi pada perjalanan seming-
gu sekali melintasi konsesi. Dengan menggunakan
gambar-gambar dari jenis-jenis yang paling banyak
dijumpai, para supir dapat mencatat di mana dan ka-
pan jenis-jenis tersebut terlihat, berapa banyak, dan
apakah satwa tersebut muda. Selanjutnya, data ini
dimasukkan ke suatu SIG untuk analisis spasial dan
temporal.

(v) Spesies indikator potensial


Indikator-indikator seringkali merupakan bagian
penting dari program-program pemantauan (Kremen
1992, tetapi lihat Meijaard dkk. 2005). Tetapi peng-
gunaannya dalam pemantauan dampak kegiatan-ke-
giatan pembalakan di Kalimantan Timur belum teruji.
Beberapa spesies, atau kelompok spesies telah disa-
rankan sebagai indikator-indikator yang mungkin,
tetapi masih banyak pertimbangan harus dilakukan
untuk menilai apakah spesies-spesies tersebut co-
cok sebagai indikator-indikator ekologis. Salah satu
masalah potensial yang berkaitan dengan pertimban-
gan tentang spesies indikator adalah bahwa spesies-
spesies ini dipilih karena mereka memiliki kepekaan Pelatuk Tundang
yang tinggi terhadap proses-proses dalam peman- (Reinwardtipicus validus)
enan kayu. Penelitian yang dilakukan oleh Meijaard
dkk. (2005) menunjukkan bahwa spesies-spesies
ini cenderung bersifat spesialis ekologis dan karena

Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia 53


tipe-tipe makanan tersebut. Di Kalimantan Timur, indikator keanekaragaman hayati dan/atau mutu
contoh-contoh dari burung seperti itu mencakup ekosistem (Cleary 2003; 2004; Cleary dan Genner
kelompok kuau dan merak, puyuh-puyuhan, be- 2004; Cleary dan Mooers 2004).
berapa burung pelanduk (babblers) dan berencet
(wren-babblers). Suatu kelemahan potensial (vi) Pengkajian berbasis jalan atas
dalam penggunaan spesies-spesies tersebut se- tekanan perburuan dan kerapatan hidu-
bagai indikator adalah tingginya ketrampilan yang
dibutuhkan oleh pengamat untuk mencari dan
pan liar umum
mengidentifikasi spesies yang relevan, dan untuk Di banyak tempat di tropika basah, perburuan mem-
menetapkan kerapatan spesies-spesies tersebut berikan ancaman yang lebih besar terhadap fauna
secara terpercaya. hutan besar daripada pemanenan kayu (contohnya,
Wilkie & Carpenter 1999; Auzel & Wilkie 2000; Rob-
• Burung-burung yang mencari makan di kulit
inson & Bennet 2000; Bennet dkk. 2002; Mathews &
batang pohon (Bark gleaning). Burung-burung
Mathews 2002; Linkie dkk. 2003; Walsh dkk. 2003).
ini mencari dan memakan serangga yang hidup
Kadang-kadang perburuan, walautidak selalu, meru-
dalam atau di balik kulit batang pohon. Di Kali-
pakan suatu ancaman yang lebih besar terhadap
mantan Timur, pelatuk adalah contoh utama dari
hidupan liar daripada hilangnya habitat (Bennet dkk.
kelompok burung ini. Banyak survei telah mem-
2002, untuk area yang kurang terpengaruh lihat Rob-
perlihatkan bahwa kelompok burung ini menurun
ertson & van Schaik 2001; Kinnaird dkk. 2003: Hedges
kemelimpahan relatifnya sesudah pembalakan,
dkk. dalam tinjauan). Banyak vertebrata yang lebih be-
walaupun beberapa spesies memperlihatkan ad-
sar di Kalimantan dan beberapa spesies target spe-
anya keuntungan dari pembalakan (lihat Lammer-
sifik seperti penyu, buaya, dan burung tertentu telah
tink 2004; Styring dan Hussin 2004). Walaupun
diburu sampai sudah bisa dianggap punah (Bennet
hanya ada informasi terbatas tentang keberlan-
dkk. 1997, 1999; Robinson dkk. 1999; Bennet & Robin-
jutan spesies pelatuk sebagai indikator di Kali-
son 2000). Perburuan yang berlebihan menyebabkan
mantan Timur, namun terdapat dua spesies calon
perubahan-perubahan dalam kerapatan populasi,
untuk indikator yaitu Reinwardtipicus validus dan
distribusi, dan demografi hidupan liar yang kemudian
Mulleripicus pulverulentus, karena kedua jenis ini
dapat menyebabkan perubahan-perubahan dalam
tampaknya peka terhadap pembalakan dan relatif
penyebaran biji, pencarian makan, kompetisi, predasi,
mudah dilihat dan diidentifikasi.
dan dinamika-dinamika lain pada tingkat komunitas.
• Owa. Di Kalimantan Timur terdapat satu jenis
TNC sedang mengembangkan teknik penilaian yang
owa, yakni Owa Kalawat (Hylobates muelleri).
sederhana untuk menetapkan kerapatan hidupan liar
Owa ini terkenal dan memiliki suara yang akrab
umum di konsesi kayu, yang akan memberikan be-
yang mudah diidentifikasi dan mudah disurvei.
berapa indikasi mengenai tekanan perburuan di ba-
Ada teknik baku yang relatif sederhana untuk me-
gian-bagian tertentu konsesi.
nentukan kerapatan populasi owa di area hutan.
Semua faktor ini menunjukkan bahwa owa mung-
kin dapat berfungsi sebagai indikator yang baik (vii) Erosi dan mutu air
dari gangguan terhadap hutan. Meski demikian, Salah satu tujuan terpenting dari pemantauan ling-
hanya terdapat sedikit kesinambungan di antara kungan dalam HCVF adalah menghitung -kuantitas
survei-survei yang meneliti dampak pembalakan tingkat erosi tanah dan perubahan-perubahan mutu
terhadap populasi owa (Plumptre dan Grieser air yang dihasilkan dari berbagai kegiatan penge-
Johns 2001; Meijaard dkk. 2005). Owa dapat ber- lolaan hutan. Metoda-metoda baku dan sederhana
tahan dalam hutan yang terganggu berat (wa- telah dikembangkan untuk mengukur erosi dan mutu
laupun pada kerapatan yang berkurang) di mana dan kuantitas air (Hartanto dkk. 2003; Douglas dkk.
banyak spesies lain telah punah, oleh karena itu 1992; Chunkao 1978). Metode-metode yang digunak-
owa mungkin tidak cocok sebagai indikator dari an oleh perusahaan pengusahaan hutan di Kaliman-
keanekaragaman hayati keseluruhan. tan Timur mencakup pengukuran level air pada titik-
• Serangga. Beberapa kelompok serangga, teruta- titik sampling permanen di sepanjang sungai untuk
ma kupu-kupu (Polard 1977), telah dimungkinkan menghitung debit air, area tangkapan endapan, dan
untuk diusulkan sebagai indikator. Kelompok ini pengumpulan contoh air untuk mengukur beban dan
mudah dilihat dan relatif mudah untuk dipantau kimia sedimen. Salah satu kunci untuk pengumpulan
bagi pengamat tanpa ketrampilan. Di Kaliman- dan penggunaan informasi ini, terutama dalam kaitan
tan Timur beberapa studi telah dilakukan untuk dengan pemeliharaan HCV4, adalah bahwa koleksi
menguji apakah serangga dapat dipakai sebagai sampel haruslah dibakukan dan analisis sampel ha-
rus diselesaikan sesuai dengan waktunya (lihat di

54 Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia


Ecological monitoring
Kotak 5. Contoh lembar identifikasi spesies yang digunakan oleh para supir dalam SLJ II
(dari Payne dkk. 1985; diadaptasi oleh Graham Usher; dengan ijin dari Karen Phillips).

Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia 55


bawah). Mengumpulkan data tanpa menggunakan- balakan mempengaruhi sedimentasi di hilir. Demikian
nya hanyalah memboroskan waktu dan uang, tidak pula, pemantauan erosi tanah pada lereng yang lan-
memberikan manfaat kepada pengelola hutan dan dai, sementara pembalakan terjadi di lereng-lereng
akhirnya menghancurkan moral staf yang bertugas yang lebih curam, akan memberikan hasil besaran
dalam pemantauan. Kunci kedua, yang jarang di- erosi yang disebabkan oleh pembalakan yang lebih
perhatikan, untuk pemantauan air dan erosi adalah rendah dari sebenarnya. Untuk itu, mungkin perlu
penyusunan spasial, replikasi dan penetapan waktu bagi pengelola untuk memanggil bantuan dari luar
pengumpulan sampel harus memadai untuk menilai untuk menyiapkan dan melaksanakan program-pro-
apakah kegiatan pengelolaan, dalam kenyataannya, gram pemantauan air dan erosi yang memiliki efek-
memberikan dampak terhadap parameter-parameter tivitas biaya tinggi dan memberikan informasi yang
ini. Pemantauan mutu air sungai yang tidak terjadi dapat secara nyata, digunakan untuk menginforma-
pembalakan di hulunya tidak memberikan suatu jaw- sikan perubahan-perubahan pengelolaan.
aban kepada pertanyaan bagaimana kegiatan pem-

Rencana Pemantauan Partisipatif


Perusahaan harus mengembangkan dan melak- • Putuskan sebuah metode untuk menjamin um-
sanakan suatu rencana pemantauan partisipatif un- pan-balik dari hasil-hasil kepada masyarakat.
tuk melayani HCV 5 dan 6. Pengelola-pengelola hutan Suatu pertemuan tahunan adalah gagasan yang
seharusnya juga mempertimbangkan pemantauan baik.
berbasis wawancara atas HCV 1-3, untuk mengum- • Tulis laporan dan sampaikan hasil-hasil ini kepada
pulkan persepsi lokal terhadap perubahan-peruba- pengelola perusahaan.
han ekologis. Rencana ini harus mencakup langkah-
langkah berikut: Komponen terakhir dari suatu program pemantauan
sosial adalah mengembangkan metode-metode un-
• Definisi dari parameter-parameter yang dipantau tuk menggunakan informasi untuk menyesuaikan
untuk setiap sistem dan indikator-indikatornya. Ini strategi-strategi masa depan. Pertemuan-pertemuan
harus dilaksanakan berdasarkan atas hasil-ha- konsultatif seharusnya dilakukan sekali dalam seta-
sil PKP. Konsultasi-konsultasi tambahan dengan hun dengan masyarakat untuk:
anggota masyarakat, akademisi atau LSM relevan
dapat menolong perusahaan menetapkan indika- • Mempresentasikan dan mendiskusikan hasil-ha-
tor-indikator yang diterima. sil pemantauan partisipatif (lihat di atas)
• Setiap indikator harus terpercaya dan sederhana • Mengevaluasi pelaksanaan strategi-strategi kon-
untuk diukur oleh anggota masyarakat. servasi
• Untuk setiap indikator, dikembangkan protokol • Mengevaluasi mekanisme-mekanisme resolusi
sederhana untuk pengukuran pada selang waktu konflik
yang ditentukan dan periode waktu yang memadai • Memutuskan perubahan-perubahan yang mung-
bagi indikator yang bersangkutan, dengan mem- kin dibutuhkan.
pertimbangkan variasi musim alamiah. Metode
tersebut harus sederhana, mudah dilaksanakan
dan secara konsisten diterapkan oleh semua pen-
gamat.
• Bahas metode pengumpulan data yang diusulkan
dengan para anggota ,masyarakat untuk menge-
sahkan kelayakannya.
• Dalam berkonsultasi dengan masyarakat, pilih ses-
eorang atau satu kelompok kecil untuk memimpin
kegiatan pemantauan. Pemimpin-pemimpin ke-
lompok pemuda sering merupakan calon yang
baik. Pemantauan bahkan dapat menjadi bagian
dari sebuah program sekolah.
• Tindak-lanjuti survei-survei awal pada selang
yang teratur dan memadai.

56 Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia


Bagaimana menggunakan hasil-hasil pemantauan
Melaksanakan pemantauan ekologis atau sosial Contoh-contoh di mana hasil-hasil pemantauan dapat
tanpa menganalisa atau menggunakan data meru- digunakan untuk mengubah pengelolaan dapat men-
pakan pemborosan waktu, uang dan tenaga. Seba- cakup:
liknya, menggunakan hasil-hasil pemantauan untuk
• Pencitraan satelit yang memperlihatkan bahwa
menetapkan keefektifan strategi pengelolaan dapat
kawasan-kawasan di sekitar dan di dalam FMU
meningkatkan efisiensi dan kinerja. Menggunakan
sedang dibuka. Perusahaan mungkin harus men-
hasil-hasil pemantauan untuk mengubah strategi-
gubah strategi hubungan dengan pemerintah
strategi pengelolaan yang memiliki kelemahan, atau
agar dapat memberikan pengaruh yang lebih be-
untuk meneruskan yang berhasil adalah inti dari
sar pada rancangan tata guna lahan di luar FMU.
pengelolaan adaptif (Salafsky, Margoluis dan Red-
ford 2001). Pengelolaan adaptif mengikuti suatu • Data plot permanen dengan informasi panenan
daur mengembangkan strategi, melaksanakannya, memperlihatkan bahwa regenerasi berjalan lebih
memantau hasil-hasilnya dan kemudian mengubah lambat daripada batas-batas yang dapat diterima
strategi-strategi pengelolaan untuk meningkatkan dalam intensitas pemanenan yang sedang ber-
efektifitas (Gambar 4). langsung. Untuk mendorong keberlanjutan, maka
intensitas pemanenan yang sedang berlangsung
itu harus dikurangi.
Gambar 4. Skema pengelolaan adaptif
• Transek-transek hidupan liar di sebuah koridor
menunjukkan bahwa koridor tersebut tidak digu-
Kumpulkan informasi nakan oleh mamalia besar. Mungkin dibutuhkan
sebuah koridor baru, atau gangguan manusia di
koridor itu harus dikurangi.
Adaptasi • Ketika endapan yang tertahan di sungai-sungai
Kembangkan strategi
diperbandingkan dengan kerapatan jalan, dite-
mukan bahwa di atas kerapatan jalan tertentu,
beban endapan menjadi terlalu tinggi. Karena itu,
dalam perencanaan jalan, kerapatan jalan dan
Pantau
jalur sarad harus dikurangi.
Laksanakan
hasil-hasil strategi

Sebuah perusahaan pengusahaan hutan seharus-


nya menyiapkan sebuah tim untuk secara spesifik
melaksanakan pemantauan. Tugas-tugas tim ini ha-
rus mencakup merancang program-program peman-
tauan yang memadai, melaksanakannya dan men-
ganalisanya. Tim ini seharusnya menilai efektivitas
program pemantauan setiap tahun dan lebih pent-
ing lagi efektivitas strategi-strategi pengelolaan. Tim
pemantau seharusnya melapor ke pengelola sesuai
dengan indikasi-indikasi tentang suatu strategi yang
gagal, dan bilamana memungkinkan memberikan
masukan tentang bagaimana memodifikasi strategi
untuk mencapai hasil yang diinginkan.

Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia 57


58 Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia
Macan Dahan

kesimpulan
Identifikasi, pengelolaan dan pemantauan HCVF dapat menjadi suatu tugas yang relatif panjang
dan kompleks. Walaupun demikian perlu disadari bahwa pengelolaan HCVF diperlukan tidak hanya
untuk mendapatkan sertifikasi, tetapi juga untuk mencapai pengelolaan hutan yang berkelanjutan
dan bertanggungjawab. Pemeliharaan HCVF penting bagi kesehatan ekosistem-ekosistem hutan.
Strategi-strategi seperti kawasan yang disisihkan untuk konservasi yang membentuk reservoir untuk
polen, biji dan penyebar biji penting bagi regenerasi hutan dimasa yang akan datang. Pengakuan
akan nilai-nilai budaya sebagai hubungan antara para pengelola dengan masyarakat lokal, dan me-
menuhi tanggungjawab etika dari para pengelola untuk mengakui budaya dan nilai-nilai dari ma-
syarakat dimana mereka tinggal bersama.. Bahkan tanpa sertifikasi hutan, suatu komitmen terhadap
pengelolaan hutan berkelanjutan berarti suatu komitmen terhadap pengelolaan HCV-HCV.

Panduan ini semata-mata merupakan panduan bagi rencana pengelolaan bagi FMU harus memasukkan
pengelolaan HCVF. Panduan ini memberikan latar be- secara eksplisit acuan terhadap pengelolaan HCV.
lakang dan bantuan kepada pengelola, tetapi tidak Implementasi di lapangan harus memenuhi standar
menyediakan jawaban terhadap semua pertanyaan yang sangat tinggi. Hal ini mungkin mensyaratkan
yang akan muncul sehubungan dengan pengelolaan modifikasi berbagai aspek pengelolaan hutan, tetapi
HCVF. Jika HCVF terdapat dalam sebuah FMU, maka perubahaan semacam itu diperlukan dalam rangka
hutan harus dikelola untuk memelihara nilai-nilai meningkatkan operasional pengelolaan secara ke-
yang ada. Prosedur standa operasional untuk bekerja seluruhan dan untuk mencapai pengelolaan hutan
dalam kawasan HCVF harus ditulis dan keseluruhan secara berkelanjutan.

Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia 59


60 Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia
Lampiran 1
contoh-contoh beberapa masalah dan sumber
masalah untuk nilai konservasi penting di
Kalimantan Timur
HCV1. Kawasan hutan yang secara global, regional atau nasional memiliki konsentrasi nilai ke-
anekaragamanan hayati yang signifikan (misalnya endemisme, spesies genting, tempat perlindungan)

Apa yang terjadi / Potensi dam- Penyebab/Sumber (yang mungkin Catatan/Contoh


tekanan pak pada nilai menyumbang kepada tekanan)

Hilangnya jenis/ Sangat tinggi • Perburuan & Perikanan (tinggi) Badak bercula dua kemungkinan kini
kepunahan • Perebahan (tinggi) telah punah di Kalimantan Timur. Tekanan
• Penyaradan (medium) perburuan yang tinggi merupakan faktor
• Pembuatan jalan dan tempat peng- penyumbang (Rabinowitz 1995; Meijaard
umpulan kayu (medium) 1996)
• Pembukaan Hutan/Pertanian
(rendah)
• Pembukaan hutan/penggunaan
lahan lainnya (medium)

Perubahan komposisi Tinggi • Perburuan & Perikanan (tinggi) Kegiatan pembalakan mengakibatkan pen-
jenis • Perebahan (sangat tinggi) ingkatan persentase jenis tumbuhan pionir
• Penyaradan (tinggi) (Fimbel et al 2001).
• Pembuatan jalan dan tempat peng- Beberapa jenis burung sangat terkena
umpulan kayu (tinggi) dampak pembalakan dan populasinya
• Pembukaan Hutan/Pertanian (tinggi) menurun (Zakaria & Francis 2001).
• Pembukaan hutan/penggunaan Setelah pembalakan populasi Rusa
lahan lainnya (sangat tinggi) Muntjak (Muntiacus muntjak) meningkat
dan populasi Rusa kuning (M. atherodes)
menurun.

Perubahan perilaku Rendah • Perebahan (tinggi) Ukuran luas jelajah owa meningkat setelah
• Pembuatan jalan dan tempat peng- pembalakan dan mereka menjadi kurang
umpulan kayu (tinggi) bersuara. Kemungkinan disebabkan oleh
berkurangnya persediaan pakan (Johns
1986)

Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia 61


HCV2. Kawasan hutan yang secara global, regional atau nasional mempunyai luasan lansekap
hutan yang signifikan ,yang termasuk dalam, atau memiliki unit pengelolaan, dimana penyebaran
dan kelimpahan populasi yang ada dari hampir semua atau semua jenis alami di dalamnya ditemui
dalam pola alami.

Apa yang terjadi / Potensi dam- Penyebab/Sumber (yang mungkin Catatan/Contoh


tekanan pak pada nilai menyumbang kepada tekanan)

Fragmentasi Tinggi • Pembuatan jalan dan tempat peng- Jalanan memecah hutan dan membentuk
umpulan kayu (sangat tinggi) pembatas bagi banyak hewan (terutama
• Desa dan pertanian (tinggi) serangga).
• Perebahan dan penyaradan (rendah) Curren dkk (1999) membuat hipotesis bah-
wa fragmentasi menyebabkan berkurang-
nya tiang dan sangat berkurangnya rekruit-
men dari anakan dipterocarp

Deforestasi Sangat Tinggi • Kebakaran tak terkendali (sangat Laju deforestasi di Kalimantan Timur san-
tinggi) gat tinggi pada 20 tahun terakhir ini (Hol-
• Tebang habis / hutan tanaman (San- mes 2002), 5,2 juta Ha hutan di Kalimantan
gat tinggi) Timur terbakar pada tahun 1997 dan 1998
• Desa dan pertanian (tinggi) (Siebert dkk 2001)
• Pembuatan jalan dan tempat peng-
umpulan kayu (medium)

Dampak tepi Medium • Pembuatan jalan dan tempat peng-


umpulan kayu (tinggi)
• Perebahan (rendah)
• Pembukaan hutan (tinggi)

62 Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia


HCV3. Kawasan hutan yang berada dalam atau memiliki ekosistem langka, terancam atau genting

Apa yang terjadi / Potensi dam- Penyebab/Sumber (yang mungkin Catatan/Contoh


tekanan pak pada nilai menyumbang kepada tekanan)

Fragmentasi Tinggi • Pembuatan jalan dan tempat peng- Curren dkk (1999) membuat hipote-
umpulan kayu (sangat tinggi) sis bahwa fragmentasi menyebabkan
• Desa dan pertanian (tinggi) berkurangnya tiang dan sangat berkurang-
• Perebahan dan penyaradan(rendah) nya rekruitmen dari anakan dipterocarp
• Tebang habis / hutan tanaman
(tinggi)

Deforestasi Sangat tinggi • Kebakaran tak terkendali (sangat Para ahli memperkirakan hutan
tinggi) dipterocarp dataran rendah akan hilang
• Tebang habis / hutan tanaman (san- sama sekali dari Kalimantan pada tahun
gat tinggi) (Holmes 2002). Hutan-hutan paling
• Desa dan pertanian (tinggi) beragam di tanah alluvial datar akan
• Pembuatan jalan dan tempat peng- menjadi yang terparah dengan hanya 23 %
umpulan kayu (medium) tersisa di Borneo.
Mangrove telah diubah menjadi tambak
udang dalam skala luas, kurang dari 20%
delta Mahakam tersisa tanpa gangguan
(A Salim/TNC pers com)

Berkurangnya luas Rendah • Perebahan dan Penyaradan (Pinard dan Putz 1996)
basal

Perubahan komposisi Medium • Perburuan & Penangkapan ikan


jenis (tinggi)
• Perebahan (sangat tinggi)
• Penyaradan (tinggi)
• Pembuatan jalan dan tempat peng-
umpulan kayu (tinggi)
• Pembukaan hutan/Pertanian (tinggi)
• Pembukaan hutan/penggunaan
lahan lainnya (sangat tinggi)

Hilangnya jenis/kepu- Medium • Perburuan & Penangkapan ikan Hutan-hutan Pegunungan bagian atas di
nahan (tinggi) Borneo umumnya terbatas pada puncak-
• Perebahan (sangat tinggi) puncak gunung di atas 1800m dpl. Kekay-
• Penyaradan (tinggi) aan jenis relatif rendah namun endemisme
• Pembuatan jalan dan tempat peng- tinggi, sebagai contoh 75% dari burung
umpulan kayu (tinggi) endemik Borneo adalah jenis pegunungan
• Pembukaan hutan/Pertanian (tinggi) (MacKinnon dkk 1996). Gangguan pada
• Pembukaan hutan/penggunaan hutan pegunungan dapat menyebabkan
lahan lainnya (sangat tinggi) kepunahan lokal jenis-jenis endemik dan
mempengaruhi dinamika hutan

Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia 63


HCV4. Kawasan hutan yang memberikan jasa-jasa dasar alami dalam situasi kritis (misalnya
perlindungan daerah tangkapan air, pengontrol erosi).

Apa yang terjadi / Potensi dam- Penyebab/Sumber (yang mungkin Catatan/Contoh


tekanan pak pada nilai menyumbang kepada tekanan)

Pemampatan tanah Medium • Pembuatan jalan dan tempat peng- Jalanan dan jalan sarad memampatkan
umpulan kayu (sangat tinggi) tanah, mengurangi porositas. (referensi
• Penyaradan dalam Pringle dan Benstead 2001)

Peningkatan erosi Tinggi • Pembuatan jalan dan tempat peng- Berkurangnya kanopi dan serasah daun
umpulan kayu (sangat tinggi) meningkatkan erosi dari percikan hujan.
• Penyaradan Tanah telanjang pada jalanan dan jalan
• Pembukaan hutan/Pertanian (tinggi) sarad (skid trails) tererosi oleh limpasan
• Pembukaan hutan/penggunaan air. Berpotensi meningkatkan erosi tepian
lahan lainnya (sangat tinggi) sungai dari peningkatan aliran air dan
sampah-sampah saat hujan deras (refer-
ensi dalam Pringle dan Benstead 2001)

Peningkatan masukan Tinggi • Pembuatan jalan dan tempat peng- Pembalakan di sebuah hutan di Malaysia
sedimen tersuspensi umpulan kayu (sangat tinggi) meningkatkan masukan sedimen dari
• Penyaradan 100 Kg/ha menjadi 277 Kg/ha dalam satu
• Pembukaan hutan/Pertanian (tinggi) tahun, dan sampai 397 Kg/ha dalam tahun
• Pembukaan hutan/penggunaan kedua setelah pembalakan (referensi dalam
lahan lainnya (sangat tinggi) Pringle dan Benstead 2001)

Peningkatan debit air Sangat tinggi • Pembuatan jalan dan tempat peng- Penurunan dalam evapotranspirasi dan
umpulan kayu (sangat tinggi) peningkatan pengeluaran serta limpasan
• Penyaradan air setelah hujan deras meningkatkan
• Pembukaan hutan/Pertanian (tinggi) aliran dan fluktuasi sungai setelah pem-
• Pembukaan hutan/ penggunaan balakan dan pembersihan (referensi dalam
lahan lainnya (sangat tinggi) Pringle dan Benstead 2001)

Peningkatan resiko Tinggi • Perebahan dan penyaradan(medium) Kebakaran di Kalimantan Timur pada tahun
kebakaran • Pembuatan jalan dan tempat peng- 1997 dan 1998 sangat erat berhubungan
umpulan kayu dengan daerah-daerah pembalakan hebat
• Pembukaan hutan/Pertanian (tinggi) dan berulang (Siebert dkk 2001)
• Pembukaan hutan/ penggunaan
lahan lainnya (sangat tinggi)

Penurunan kontrol Medium • Pembukaan hutan/Pertanian (tinggi) Hilangnya hutan dilaporkan meningkatkan
hama • Pembukaan hutan/ penggunaan hama serangga, burung dan mamalia yang
lahan lainnya (sangat tinggi) menyerang tanah pertaniah (E Pollard
pengamatan pribadi)

Berkurangnya kemam- Medium • Pembukaan hutan/Pertanian (tinggi)


puan pertanian untuk • Pembukaan hutan/ penggunaan
pulih lahan lainnya (sangat tinggi)

64 Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia


HCV5. Kawasan hutan yang penting untuk memenuhi kebutuhan dasar dari masyarakat lokal
(misalnya nafkah, kesehatan).

Apa yang terjadi / Potensi dam- Penyebab/Sumber (yang mungkin Catatan/Contoh


tekanan pak pada nilai menyumbang kepada tekanan)

Berkurangnya ikan dan Sangat tinggi • Pemanenan berlebih (Sangat tinggi) Suku Punan di Lembah Kelai, Kabupaten
buruan • Gangguan dari kegiatan pembalakan Berau tergantung pada buruan alam dan
(Tinggi) ikan untuk lebih dari 90% protein mereka
• Hilangnya habitat hutan (Tinggi) (E. Pollard pengamatan pribadi)
• Pencemaran Sungai (Medium)

Berkurangnya jumlah/ Sangat tinggi • Pemanenan berlebih (medium) Lebih dari 50% masyarakat dari desa Ma-
kualitas dari buah- • Gangguan dari kegiatan pembalakan hak Baru memperoleh lebih dari 50% buah
buah dan sayur-say- (Tinggi) dan sayuran dari sumber daya di alam
uran hutan • Hilangnya habitat hutan (Tinggi) (TNC-SFO 2002)

Berkurangnya jumlah/ Tinggi • Pemanenan berlebih (Tinggi)


kualitas dari hasil hutan • Gangguan dari kegiatan pembalakan
non kayu lainnya (Tinggi)
• Hilangnya habitat hutan (Tinggi)

Berkurangnya jumlah/ Medium • Pemanenan berlebih (Medium) Kayu dari hutan adalah satu-satunya
kualitas bahan bangu- • Gangguan dari kegiatan pembalakan bahan bangunan untuk kebanyakan ma-
nan kayu (Tinggi) syarakat hutan yang terisolasi.
• Hilangnya habitat hutan (Tinggi)

HCV6. Kawasan hutan yang penting bagi identitas budaya masyarakat lokal (daerah yang memiliki
kepentingan budaya, ekologis, ekonomis atau keagamaan yang ditentukan bersama-sama dengan
masyarakat lokal yang ada).

Apa yang terjadi / tekanan Potensi dam- Penyebab/Sumber (yang mung- Catatan/Contoh
pak pada nilai kin menyumbang kepada tekanan)

Gangguan terhadap/kehilangan akan lokasi Tinggi • Kegiatan pembalakan


spiritual misalnya tempat pemakaman • Tebang habis / hutan tanaman

Berkurangnya pengenalan terhadap adat yang Medium • Migrasi- masuk


terkait dengan hutan • Migrasi-keluar

Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia 65


Lampiran 2
ringkasan potensi ancaman terhadap nilai-nilai
Penyebab / sumber Dampak/Tekanan Nilai yang terancam

Perburuan dan Perikanan • Hilangnya jenis/kepunahan 1, 3


• Perubahan komposisi jenis

Perebahan • Hilangnya jenis/kepunahan 1, 2, 3


• Perubahan komposisi jenis
• Perubahan perilaku
• Fragmentasi
• Dampak tepi
• Turunnya luas basal
• Peningkatan resiko kebakaran

Penyaradan • Hilangnya jenis/kepunahan 1, 2, 3, 4


• Perubahan komposisi jenis
• Fragmentasi
• Pemampatan tanah
• Peningkatan erosi
• Peningkatan masukan sedimen tersuspensi
• Peningkatan debit air
• Peningkatan resiko kebakaran

Pembuatan jalan dan tempat • Hilangnya jenis/kepunahan 1, 2, 3, 4


pengumpulan kayu • Perubahan komposisi jenis
• Perubahan perilaku
• Fragmentasi
• Deforestasi
• Dampak tepi
• Pemampatan tanah
• Peningkatan erosi
• Peningkatan masukan sedimen tersuspensi
• Peningkatan debit air
• Peningkatan resiko kebakaran

Pembukaan hutan / pertanian • Hilangnya jenis/kepunahan 1, 2, 3, 4


• Perubahan komposisi jenis
• Fragmentasi
• Deforestasi
• Dampak tepi
• Peningkatan erosi
• Peningkatan masukan sedimen tersuspensi
• Peningkatan debit air
• Peningkatan resiko kebakaran
• Turunnya kontrol hama
• Turunnya kapasitas pertanian untuk pulih

Pembukaan hutan / penggu- • Hilangnya jenis/kepunahan 1, 2, 3, 4


naan lahan lainnya • Perubahan komposisi jenis
• Fragmentasi
• Deforestasi
• Dampak tepi
• Peningkatan erosi
• Peningkatan masukan sedimen tersuspensi
• Peningkatan debit air
• Peningkatan resiko kebakaran
• Turunnya kontrol hama

66 Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia


Penyebab / sumber Dampak/Tekanan Nilai yang terancam

Pembukaan hutan / penggu- • Turunnya kapasitas pertanian untuk pulih


naan lahan lainnya • Gangguan akan/kehilangan tempat spiritual

Daerah pedesaan • Fragmentasi 2, 3


• Deforestasi

Kebakaran tak dapat diken- • Deforestasi 2,3


dalikan

Pemanenan berlebih • Berkurangnya ikan dan buruan 5


• Berkurangnya buah dan sayur-sayuran
• Berkurangnya Hasil Hutan non Kayu lainnya
• Kurangnya bahan bangunan

Gangguan dari pembalakan • Berkurangnya ikan dan buruan 5


• Berkurangnya buah dan sayur-sayuran
• Berkurangnya Hasil Hutan non Kayu lainnya
• Kurangnya bahan bangunan

Habitat berkurang • Berkurangnya ikan dan buruan 5


• Berkurangnya buah dan sayur-sayuran
• Berkurangnya Hasil Hutan non Kayu lainnya
• Kurangnya bahan bangunan

Pencemaran sungai • Berkurangnya ikan dan buruan 5

Kegiatan pembalakan umum • Gangguan akan/kehilangan tempat spiritual 6

Migrasi- masuk • Berkurangnya pengenalan terhadap adat yang 6


terkait dengan hutan

Migrasi-keluar • Berkurangnya pengenalan terhadap adat yang 6


terkait dengan hutan

Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia 67


Lampiran 3
potensi strategi pengelolaan yang
direkomendasikan
Strategi Tekanan yang bisa dikurangi Pemangku Nilai-nilai yang
kepentingan bisa dilindungi

Sistem jalan yang terencana Hilangnya jenis/kepunahan Perusahaan HPH 1, 2, 3, 4


dan lebih sempit Perubahan komposisi jenis
Perubahan perilaku
Fragmentasi
Deforestasi
Dampak tepi
Pemampatan tanah
Peningkatan erosi
Peningkatan masukan sedimen tersuspensi
Peningkatan debit air
Peningkatan resiko kebakaran
Peningkatan Penyebaran flora dan fauna eksotis
Peningkatan akses pemburu

Perencanaan dan mengurangi Hilangnya jenis/kepunahan Perusahaan HPH 1, 2, 3, 4


dampak Penyaradan Perubahan komposisi jenis
Fragmentasi
Pemampatan tanah
Peningkatan erosi
Peningkatan masukan sedimen tersuspensi
Peningkatan debit air
Peningkatan resiko kebakaran

Perebahan searah Hilangnya jenis/kepunahan Perusahaan HPH 1, 3, 4


Perubahan komposisi jenis
Perubahan perilaku
Fragmentasi
Dampak tepi
Turunnya Luas basal
Peningkatan resiko kebakaran

Menyimpan kayu mati Hilangnya jenis/kepunahan Perusahaan HPH 1, 2


Perubahan komposisi jenis
Perubahan perilaku

Mengurangi pemotongan Hilangnya jenis/kepunahan Perusahaan HPH 1, 2


tanaman rambat dan vegetasi Perubahan komposisi jenis
bawah Perubahan perilaku
Dampak tepi

Menetapkan maksimum dbh Hilangnya jenis/kepunahan Perusahaan HPH 1, 2


untuk penebangan Perubahan komposisi jenis Pemerintah daerah
Perubahan perilaku dan nasional
Turunnya Luas basal

Mencegah penghancuran Hilangnya jenis Perusahaan HPH 1, 3


jenis-jenis kunci (keystone Perubahan komposisi jenis
species)

68 Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia


Strategi Tekanan yang bisa dikurangi Pemangku Nilai-nilai yang
kepentingan bisa dilindungi

Menyisihkan daerah Hilangnya jenis/kepunahan Perusahaan HPH, 1, 2, 3, 4, 5, 6


konservasi Perubahan komposisi jenis Pemerintah daerah,
Perubahan perilaku LSM,
Fragmentasi Masyarakat lokal
Deforestasi Badan perencana
Dampak tepi pembangunan daerah
Pemampatan tanah
Peningkatan erosi
Peningkatan masukan sedimen tersuspensi
Peningkatan debit air
Peningkatan resiko kebakaran
Berkurangnya ikan dan buruan
Berkurangnya buah dan sayur-sayuran
Berkurangnya Hasil Hutan non Kayu lainnya
Kurangnya bahan bangunan
Konektivitas berkurang

Membuat buffer di sekitar Fragmentasi Perusahaan HPH 1, 3, 4, 5


sungai Dampak tepi
Peningkatan erosi
Peningkatan masukan sedimen terlarut
Peningkatan debit air
Peningkatan resiko kebakaran
Berkurangnya ikan dan buruan
Berkurangnya buah dan sayur-sayuran
Berkurangnya Hasil Hutan non Kayu lainnya
Kurangnya bahan bangunan

Kontrol perburuan Hilangnya jenis/kepunahan Perusahaan HPH, 1, 3, 5


Perubahan komposisi jenis Masyarakat lokal
Perubahan perilaku Pemerintah
Turunnya buruan
Pengurangan kemandirian masyarakat

Kontrol perikanan yang Hilangnya jenis/kepunahan Perusahaan HPH, 1,3,5


merusak Perubahan komposisi jenis Masyarakat lokal
Berkurangnya ikan

Pemetaan desa Berkurangnya ikan dan buruan Perusahaan HPH, 4, 5, 6


Berkurangnya buah dan sayur-sayuran Pemerintah daerah,
Berkurangnya Hasil Hutan non Kayu lainnya LSM,
Kurangnya bahan bangunan Masyarakat lokal
Gangguan akan/kehilangan tempat spiritual

Konsultasi desa Fragmentasi Perusahaan HPH, 2, 3 ,5, 6


Deforestasi Pemerintah daerah,
Dampak tepi Masyarakat lokal
Berkurangnya ikan dan buruan
Berkurangnya buah dan sayur-sayuran
Berkurangnya Hasil Hutan non Kayu lainnya
Kurangnya bahan bangunan
Gangguan akan/kehilangan tempat spiritual

Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia 69


Strategi Tekanan yang bisa dikurangi Pemangku Nilai-nilai yang
kepentingan bisa dilindungi

Resolusi Konflik Fragmentasi Perusahaan HPH, 2, 3, 5, 6


Deforestasi Pemerintah daerah,
Dampak Tepi LSM,
Berkurangnya ikan dan buruan Masyarakat lokal
Berkurangnya buah dan sayur-sayuran
Berkurangnya Hasil Hutan non Kayu lainnya
Berkurangnya bahan bangunan
Berkurangnya pengenalan terhadap adat
yang terkait dengan hutan
Peningkatan resiko kebakaran

Pendidikan Lingkungan Hilangnya jenis/kepunahan Perusahaan HPH, 1, 5, 6,


Perubahan komposisi jenis Pemerintah daerah,
Fragmentasi LSM,
Deforestasi Masyarakat lokal
Dampak Tepi
Berkurangnya ikan dan buruan
Berkurangnya buah dan sayur-sayuran
Berkurangnya Hasil Hutan non Kayu lainnya
Berkurangnya bahan bangunan

Adat atau hukum tradisional Hilangnya jenis/kepunahan Perusahaan HPH, 1, 5, 6


Perubahan komposisi jenis Pemerintah daerah,
Fragmentasi LSM,
Deforestasi Masyarakat lokal
Dampak Tepi
Berkurangnya ikan dan buruan
Berkurangnya buah dan sayur-sayuran
Berkurangnya Hasil Hutan non Kayu lainnya
Berkurangnya bahan bangunan
Berkurangnya pengenalan terhadap adat
yang terkait dengan hutan

Lobbying Fragmentasi Perusahaan HPH, 1, 2, 3, 4, 5, 6


Deforestasi Pemerintah daerah,
Berkurangnya pengenalan terhadap adat LSM,
yang terkait dengan hutan Masyarakat lokal

70 Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia


Lampiran 4
daftar jenis vertebrata rawan, terancam dan endemik
yang dapat ditemukan di Kalimantan Timur
Nama ilmiah Nama Indonesia/Melayu IUCN Ordo

Pseudibis davisoni IBIS KARAU CR burung


Batagur baska BIUKU MUDA CR reptilia
Callagur borneoensis BELUKU CR reptilia
Chitra chitra LABI-LABI BINTANG CR reptilia
Crocodylus siamensis BUAYA BADAG HITAM CR reptilia
Ciconia stormi BANGAU STORM EN burung
Polyplectron schleiermacheri KUAU-KERDIL KALIMANTAN (E) EN burung
Bos javanicus BANTENG EN mamalia
Catopuma badia KUCING MERAH (E) EN mamalia
Cynogale bennettii MUSANG AIR EN mamalia
Elephas maximus GAJAH ASIA EN mamalia
Hesperoptenus doriae ? BANGKALIT SEDANG (E) ? EN mamalia
Nasalis larvatus BEKANTAN (E) EN mamalia
Pongo pygmaeus ORANG-UTAN KALIMANTAN (E) EN mamalia
Heosemys spinosa KURA-KURA DURI EN reptilia
Manouria emys BANING COKLAT EN reptilia
Orlitia borneensis BAJUKU (E) EN reptilia
Tomistoma schlegelii SENYULONG EN reptilia
Caprimulgus concretus CABAK KOLONG (E) VU burung
Centropus rectunguis BUBUT TERAGOP VU burung
Ducula pickeringii PERGAM KELABU VU burung
Egretta eulophotes KUNTUL CINA VU burung
Leptoptilos javanicus BANGAU TONGTONG VU burung
Lophura bulweri SEMPIDAN KALIMANTAN (E) VU burung
Lophura erythrophthalma SEMPIDAN MERAH VU burung
Malacocincla perspicillata ? PELANDUK KALIMANTAN (E) VU burung
Pitta baudii PAOK KEPALA-BIRU (E) VU burung
Pitta nympha PAOK BIDADARI VU burung
Ptilocichla leucogrammica BERENCET KALIMANTAN (E) VU burung
Pycnonotus zeylanicus CUCAK RAWA VU burung
Rhinomyias brunneata SIKATAN-RIMBA COKLAT VU burung
Setornis criniger EMPULOH PARUH-KAIT (E) VU burung
Spilornis kinabaluensis ELANG-ULAR KINABALU (E) VU burung
Spizaetus nanus ELANG WALLACE VU burung
Treron capellei PUNAI BESAR VU burung
Dendrogale melanura TUPAI EKOR-KECIL VU mamalia
Diplogale hosei ? MUSANG GUNUNG (E)? VU mamalia
Hipposideros coxi BARONG SARAWAK VU mamalia
Hystrix brachyura LANDAK RAYA VU mamalia
Lariscus hosei BAJINGTANAH BERGARIS EMPAT VU mamalia
Lutrogale perspicillata BERANG-BERANG WREGUL VU mamalia

Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia 71


Nama ilmiah Nama Indonesia/Melayu IUCN Ordo

Macaca nemestrina MONYET BERUK VU mamalia


Neofelis nebulosa MACAN DAHAN VU mamalia
Pardofelis marmorata KUCING BATU VU mamalia
Prionailurus planiceps KUCING TANDANG VU mamalia
Sundasciurus jentinki BAJING JENTINK (E) VU mamalia
Amyda cartilaginea BULUS VU reptilia
Cuora amboinensis KUYA BATOK VU reptilia
Notochelys platynota BEIYOGO VU reptilia
Helarctos malayanus BERUANG MADU DD mamalia
Hipposideros doriae BARONG --- (E) DD mamalia
Lutra sumatrana BERANG-BERANG SUMATRA DD mamalia
Presbytis frontata LUTUNG DAHI PUTIH (E) DD mamalia
Presbytis hosei LUTUNG BANGGAT(E) DD mamalia
Aceros comatus ENGGANG JAMBUL LR/nt burung
Aegithina viridissima CIPOH JANTUNG LR/nt burung
Anhinga melanogaster PECUK-ULAR ASIA LR/nt burung
Batrachostomus mixtus PARUH-KODOK BESAR (E) LR/nt burung
Buceros rhinoceros RANGKONG BADAK LR/nt burung
Buceros vigil RANGKONG GADING LR/nt burung
Carpococcyx radiatus TOKHTOR SUNDA (E) LR/nt burung
Iole olivacea BRINJI MATA-PUTIH LR/nt burung
Limnodromus semipalmatus TRINIL-LUMPUR ASIA LR/nt burung
Malacocincla malaccensis PELANDUK EKOR-PENDEK LR/nt burung
Malacopteron affine ASI TOPI-JELAGA LR/nt burung
Meiglyptes tukki CALADI BADOK LR/nt burung
Pycnonotus cyaniventris CUCAK KELABU LR/nt burung
Pycnonotus eutilotus CUCAK RUMBAI-TUNGGING LR/nt burung
Cyclemys dentata KURA-KURA BERGIGI LR/nt reptilia
Batrachostomus auritus PARUH-KODOK BESAR LR/nt burung
Batrachostomus harterti ? PARUH-KODOK DULIT LR/nt burung
Batrachostomus stellatus PARUH-KODOK BINTANG LR/nt burung
Calyptomena hosii MADI-HIJAU PERUT-BIRU (E) LR/nt burung
Calyptomena viridis MADI-HIJAU KECIL LR/nt burung
Eupetes macrocerus SIPINJUR MELAYU LR/nt burung
Harpactes duvaucelii LUNTUR PUTRI LR/nt burung
Harpactes kasumba LUNTUR KASUMBA LR/nt burung
Harpactes orrhophaeus LUNTUR TUNGGING-COKLAT LR/nt burung
Harpactes whiteheadi ? LUNTUR KALIMANTAN (E)? LR/nt burung
Ichthyophaga humilis ELANG-IKAN KECIL LR/nt burung
Indicator archipelagicus PEMANDU-LEBAH ASIA LR/nt burung
Ixos malaccensis BRINJI BERGARIS LR/nt burung
Kenopia striata BERENCET LORENG LR/nt burung
Lophura ignita SEMPIDAN BIRU LR/nt burung
Macronous ptilosus CIUNG-AIR PONGPONG LR/nt burung
Malacopteron albogulare ASI DADA-KELABU LR/nt burung
Megalaima henricii TAKUR TOPI-EMAS LR/nt burung

72 Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia


Nama ilmiah Nama Indonesia/Melayu IUCN Ordo

Microhierax latifrons ? ALAP-ALAP DAHI-PUTIH (E)? LR/nt burung


Prionochilus thoracicus PENTIS KUMBANG LR/nt burung
Ptilinopus jambu WALIK JAMBU LR/nt burung
Pycnonotus squamatus CUCAK BERSISIK LR/nt burung
Rhinomyias umbratilis SIKATAN-RIMBA DADA-KELABU LR/nt burung
Stachyris leucotis TEPUS TELINGA-PUTIH LR/nt burung
Stachyris maculata TEPUS TUNGGIR-MERAH LR/nt burung
Trichastoma rostratum PELANDUK DADA-PUTIH LR/nt burung
Anthracoceros malayanus KANGKARENG HITAM LR/nt burung
Argusianus argus KUAU RAJA LR/nt burung
Batrachostomus poliolophus PAH-KODOK KEPALA PUCAT LR/nt burung
Chloropsis cyanopogon CICA-DAUN KECIL LR/nt burung
Esacus magnirostris WILI-WILI BESAR LR/nt burung
Harpactes diardii LUNTUR DIARD LR/nt burung
Ichthyophaga ichthyaetus ELANG-IKAN KEPALA-KELABU LR/nt burung
Malacopteron magnum ASI BESAR LR/nt burung
Megalaima rafflesii TAKUR TUTUT LR/nt burung
Napothera atrigularis BERENCET LEHER-HITAM LR/nt burung
Phaenicophaeus diardi KADALAN BERUANG LR/nt burung
Philentoma velatum PHILENTOMA KERUDUNG LR/nt burung
Psittacula longicauda BETET EKOR-PANJANG LR/nt burung
Psittinus cyanurus NURI TANAU LR/nt burung
Pycnonotus melanoleucos CUCAK SAKIT-TUBUH LR/nt burung
Stachyris nigricollis TEPUS KABAN LR/nt burung
Tanygnathus lucionensis BETET-KELAPA FILIPINA LR/nt burung
Megalaima mystacophanos TAKUR WARNA-WARNI (E) LR/nt burung
Pericrocotus igneus SEPAH TULIN LR/nt burung
Phaenicophaeus sumatranus KADALAN SAWAH LR/nt burung
Rollulus rouloul PUYUH SENGAYAN LR/nt burung
Charadrius peronii CEREK MELAYU LR/nt burung
Cuculus vagans KANGKOK KUMIS LR/nt burung
Cyornis turcosus SIKATAN MELAYU LR/nt burung
Dicaeum everetti ? CABAI TUNGGIR-COKLAT ? LR/nt burung
Dinopium rafflesii PELATUK RAFFLES LR/nt burung
Enicurus ruficapillus MENINTING CEGAR LR/nt burung
Numenius madagascariensis GAJAHAN TIMUR LR/nt burung
Oriolus hosii ? KEPUDANG HITAM (E)? LR/nt burung
Oriolus xanthonotus KEPUDANG KERUDUNG HITAM LR/nt burung
Pitta caerulea PAOK SINTAU LR/nt burung
Pitta granatina PAOK DELIMA LR/nt burung
Pityriasis gymnocephala TIONG-BATU KALIMANTAN (E) LR/nt burung
Platylophus galericulatus TANGKAR ONGKLET LR/nt burung
Threskiornis melanocephalus IBIS CUCUK-BESI? LR/nt burung
Treron fulvicollis PUNAI BAKAU LR/nt burung
Trichixos pyrropyga KUCICA EKOR-KUNING LR/nt burung
Zoothera everetti ? ANIS KINABALU (E)? LR/nt burung

Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia 73


Nama ilmiah Nama Indonesia/Melayu IUCN Ordo

Zosterops flavus ? KACAMATA JAWA (E)? LR/nt burung


Hylobates muelleri OWA KALAWAT (E) LR/nt mamalia
Kerivoula intermedia ? LENAWAI SABAH? LR/nt mamalia
Kerivoula minuta ? LENAWAI KECIL? LR/nt mamalia
Macaca fascicularis MONYET KERA LR/nt mamalia
Manis javanica TRENGGILING PEUSING LR/nt mamalia
Murina aenea RIPO PERUNGGU LR/nt mamalia
Murina rozendaali RIPO ROZENDAL LR/nt mamalia
Myotis montivagus LASIWEN KAKI-KECIL-COKLAT LR/nt mamalia
Myotis ridleyi LASIWEN RIDLEY LR/nt mamalia
Pipistrellus kitcheneri NIGHI KALIMANTAN LR/nt mamalia
Rhinolophus creaghi KELELAWAR-LADAM CREAGH LR/nt mamalia
Rhinolophus philippinensis KELELAWAR-LADAM FILIPINA LR/nt mamalia
Sundasciurus brookei BAJING BROOKE (E) LR/nt mamalia

Sumber: The 2004 IUCN Red List of Threatened Species. <www.redlist.org>. Download pada tanggal 28 Januari
2005. Tanda “?” menunjukkan bahwa jenis ini terdapat di Kalimantan tetapi keberadaannya di Kalimantan Timur perlu
dikonfirmasikan. “(E)” menunjukkan bahwa jenis ini endemik Kalimantan. Kode di kolom ketiga dijelaskan di bawah.

KRITIS ( CRITICALLY ENDANGERED, CR )


Sebuah taksa Kritis apabila bukti terbaik yang tersedia menunjukkan bahwa keadaannya memenuhi kriteria A sampai E
untuk Kritis, dan karena itu dianggap menghadapi risiko kepunahan yang sangat tinggi di alam.

GENTING ( ENDANGERED, EN )
Sebuah taksa Genting apabila bukti terbaik yang tersedia menunjukkan bahwa keadaannya memenuhi kriteria A sampai
E untuk Genting, dan karena itu dianggap menghadapi risiko kepunahan yang sangat tinggi di alam.

RENTAN ( VULNERABLE, VU )
Sebuah taksa Rentan apabila bukti terbaik yang tersedia menunjukkan bahwa keadaannya memenuhi kriteria A sampai E
untuk Rentan, dan karena itu dianggap menghadapi risiko kepunahan yang sangat tinggi di alam.

MENDEKATI TERANCAM PUNAH ( NEAR THREATENED, NT )


Sebuah taksa Mendekati Terancam Punah apabila taksa tersebut telah dievaluasi berdasarkan atas kriteria-kriteria
tersebut di atas tetapi tidak memenuhi syarat untuk Kritis, Genting atau Rentan saat ini, tetapi hampir memenuhi, atau
dalam waktu dekat berpeluang besar memenuhi, kategori terancam.

TIDAK MENGKHAWATIRKAN ( LEAST CONCERN, LC )


Sebuah taksa Tidak Mengkhawatirkan apabila taksa tersebut telah dievaluasi berdasarkan atas kriteria-kriteria di atas
tetapi tidak memenuhi syarat untuk Kritis, Genting, Rentan atau Mendekati Terancam Punah. Taksa yang tersebar luas
dan berlimpah termasuk dalam kategori ini.

KURANG DATA ( DATA DEFICIENT, DD )


Sebuah taksa Kurang Data apabila tidak cukup informasi untuk membuat suatu penilaian, langsung atau tidak langsung,
atas risiko kepunahan yang didasarkan atas status distribusi dan/atau populasinya. Sebuah taksa dalam kategori ini
mungkin telah diteliti dengan baik, dan segi biologinya banyak diketahui, tetapi data yang memadai tentang kelimpahan
dan/atau distribusinya tidak tersedia. Karena itu Kurang Data bukan suatu kategori keterancaman. Mendaftarkan sebuah
taksa dalam kategori ini menunjukkan bahwa lebih banyak informasi dibutuhkan dan mengakui kemungkinan bahwa
penelitian-penelitian masa depan akan memperlihatkan bahwa klasifikasi keterancaman adalah memadai. Penggunaan
yang positif dari berbagai macam data yang tersedia adalah penting. Dalam banyak kasus pemilihan antara status DD
dan status keterancaman harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Jika ruang hidup sebuah taksa dicurigai relatif
terbatas, dan telah terlewati periode waktu yang dianggap lama sejak catatan terakhir taksa tersebut dibuat, maka
mungkin beralasan untuk memberikan status keterancaman.

74 Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia


daftar pustaka dan rekomendasi bahan bacaan
Abdullah, O., Lahjie, A.B., and S.S. Wangsadidiaja (1993). Communities and Forest Management in East Kalimantan :
Pathway to Environmental Stability. Research Network Report No. 3. Center for Southeast Asia Studies, University of
California, Berkeley.
Auzel, P., and D. S. Wilkie. 2000. Wildlife use in Northern Congo: Hunting in a commercial logging concession. Pages 413-
426 in J. G. Robinson, and E. L. Bennett, editors. Hunting for sustainability in tropical forests. Columbia University
Press, New York.
Bahuchet, S. (ed.) (1995). The situation of indigenous peoples in tropical forests. Research for the DG XI, European
Community Commission. Université Libre de Bruxelles.
Bennett, E. L., A. J. Nyaoi, and J. Sompud. 1997. Hornbills Buceros spp. and culture in Northern Borneo: Can they continue to
coexist? Biological Conservation 82:41-46.
Bennett, E. L., A. J. Nyaoi, and J. Sompud. 2000. Saving Borneo’s bacon: The sustainability of hunting in Sarawak and Sabah.
Pages 305-324 in J. G. Robinson, and E. L. Bennett, editors. Hunting for sustainability in tropical forests. Columbia
University Press, New York.
Bennett, E. L., and J. G. Robinson. (2000) Hunting of wildlife in tropical forests. Implications for biodiversity and forest
peoples. The World Bank, Washington, D.C.
Bennett, E. L., and M T. Gumal (2001) The interrelationships of commercial logging, hunting and wildlife in Sarawak :
recommendations for forest management pp 359-374 in The Cutting Edge. Conserving wildlife in logged tropical forest.
R A Fimbel, A Grajal & J Robinson (eds). Columbia University Press, New York, USA.
Bennett, E. L., E. J. Milner-Gulland, M. Bakarr, H. E. Eves, J. G. Robinson, and D. S. Wilkie. 2002. Hunting the world’s wildlife
to extinction. Oryx 36:328-329.
Benoît, D. & Levang, P. (1990) Farming systems and demographic breakpoints. An Indonesian example: the province of
Lampung. Regional Conference on Asian Pacific Countries, International Geographical Union, August 13-20, Beijing.
Bertault, J. G. and P. Sist (1997) An experimental comparison of different harvesting intensities with reduced-impact and
conventional logging in East Kalimantan, Indonesia. Forest Ecology and Management 94: 209-218.
Birdlife International (2001) Threatened Birds of Asia: the Birdlife International Red Data Book. Cambridge, UK.
Birdlife International (2004) Important Bird Areas in Asia: Key Sites for Conservation. Cambridge, UK.
Blokhus, J. M., M. Dillenbeck, J Sayer and P. Wegge (1992) Conserving Biological Diversity in managed tropical forest.
IUCN, Gland.
Borrini-Feyerabend, G., Farvar, M. T., Nguinguiri, J. C. and V.A. Ndangang (2000) Co-management of Natural Resources:
Organising, Negotiating and Learning-by-Doing. GTZ and IUCN, Kasparek Verlag, Heidelberg (Germany).
BRLKT (2003) List of major water catchment priorities in East Kalimantan. Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah
- Land Rehabilitation and Soil Conservation Agency, Mahakam-Berau, Samarinda, East Kalimantan.
Brown, M. and B. Wyckoff-Baird (1991) Integrated Conservation and Development Projects: Lessons learned and
Implications for Design. Natural Resource Management Project and World Wildlife Fund.
Cannon, C. H., D. Peart, and M. Leighton (1998) Tree species diversity in commercially logged Bornean Rainforest. Science
281:1366-1368.
Cannon, C. H., D. Peart, M. Leighton, and K. Kartawinata (1994) The structure of Lowland rainforest after selective logging
in West Kalimantan, Indonesia. Forest Ecology and Management 67: 49-68.
Chamberts, R. (2002) Participatory Workshops, a Sourcebook of 21 Sets of Ideas and Activities. Earthscan Publications,
London.
Chin, S. (1985) Agriculture and resource utilization in a lowland rainforest Kenyah community. Sarawak Museum Journal
35(56), Special monograph 4, Sarawak Museum.
Chindley, C. (2002) Forests, People and Rights. A Special Report by Down to Earth International Campaign for Ecological
Justice in Indonesia.
Chunkao, K. (1978) The effects of logging on soil erosion. Pages 65-72 in R. S. Suparto, I. Soerianegara, Z. Hamzah, H. J.
Haeruman, S. Hadi, S. Manan, H. Basjarudin, and W. Sukotjo, editors. Proceeding of the symposium on the long-term
effects of logging in Southeast Asia. BIOTROP, Bogor.

Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia 75


Cleary, D. F. R. (2003) An examination of scale of assessment, logging and ENSO-induced fires on butterfly diversity in
Borneo. Oecologia 135: 313-321.
Cleary, D. F. R. (2004) Assessing the use of butterflies as indicators of logging in Borneo at three taxonomic levels. Journal of
Economic Entomology 97: 429-435.
Cleary, D. F. R. and A. O. Mooers (2004) Butterfly species richness and community composition in forests affected by enso-
induced burning and habitat isolation in Borneo. Journal of Tropical Ecology 20: 359-367.
Cleary, D. F. R. and M. J. Genner (2004) Changes in rain forest butterfly diversity following major ENSO-induced fires in
Borneo. Global Ecology & Biogeography 13:129-140.
Colchester, M. (2000) Towards A Socially Appropriate Notion Of ‘High Conservation Value Forests’ 2nd Input To Safeguards
And Definitions Focus Group Of The Technical Advisory Group. Forest Peoples Programme, UK.
Curran, L, M and M. Leighton (2000) Vertebrate responses to spatiotemporal variation in seed production of mast-fruiting
Dipterocarpaceae. Ecological Monographs 70: 101-128.
Curran, L. I. Caniago, G. Paoli, D. Astianti, M. Kusmeti, M. Leighton, C. Nirarita, and H. Haeruman (1999) Impact of El Nino
and logging on canopy tree recruitment in Borneo. Science 286: 2033-2220.
Curran, L. M., S. N. Trigg, A. K. McDonald, D. Astiani, Y. M. Hardiono, P. Siregar, I. Caniago, and E. Kasischke. (2004)
Lowland forest loss in protected areas of Indonesian Borneo. Science 303:1000-1003.
Daryatun, A. Gouyon, M. Hiller, E. Pollard, and S. Stanley (2002) Preliminary High Conservation Value Forest assessment
for PT Sumalindo Lestari Jaya HPH Unit II. The Nature Conservancy, Samarinda, Indonesia.
Davies, G. M Haydon, N Leader-Williams, J. MacKinnon, and H Newing (2001) The effects of logging on tropical forest
ungulates pp 93-124 in The Cutting Edge. Conserving wildlife in logged tropical forest. R A Fimbel, A Grajal & J
Robinson (eds). Columbia University Press, New York, USA.
Douglas, I., T. Spencer, T. Greer, K. Bidin, and W. Sinun. (1992) The impact of selective commercial logging on stream
hydrology, chemistry and sediment loads in the Ulu Segama Rain Forest, Sabah, Malaysia. Philosophical Transaction of
the Royal Society of London. Series B. Biological Sciences 235: 397-406.
EIA/Telepak (1999) The Final Cut: ‘Illegal logging’ in Indonesia’s orangutan parks. EIA & Telepak, London/Jakarta.
Fay, C. and H. de Foresta (1998) Progress Towards Increasing the Role Local People in Forest Lands Management in
Indonesia. Prepared for the Workshop on Participatory Natural Resource Management in Developing Countries,
Mansfield College, Oxford, April 6 –7, 1998.
Fimbel, R. A, E. L. Bennett, and C. Kremen (2001) Programs to assess the impacts of timber harvesting on tropical forest
wildlife and their habitat pp 423-445 in The Cutting Edge. Conserving wildlife in logged tropical forest. R A Fimbel, A
Grajal & J Robinson (eds). Columbia University Press, New York, USA.
Fimbel, R. A., A. Grajal, and J. G. Robinson (2001) Logging and wildlife in the tropics : Impacts and the options for
conservation pp 667-695 in The Cutting Edge. Conserving wildlife in logged tropical forest. R A Fimbel, A Grajal & J
Robinson (eds). Columbia University Press, New York, USA.
FSC (2000) FSC Principles and Criteria. Document 1.2. Forest Stewardship Council. Bonn, Germany.
FSC (2001) Principle 9 Advisory Panel Recommendation Report, Version 1.1. Forest Stewardship Council, Oaxaca, Mexico.
Fuller, D. O., T. C. Jessup, and A. Salim (2003) Loss of forest cover in Kalimantan, Indonesia, since the 1997-1998 El Niño.
Conservation Biology 18:249-254.
FWI/GFW (2002) The state of the forest : Indonesia. Bogor Indonesia : Forest Watch Indonesia, and Washington DC :
Global Forest Watch
Ghazoul, J. and J. Hill (2001) The effects of selective logging on tropical forest invertebrates pp 261-288 in The Cutting
Edge. Conserving wildlife in logged tropical forest. R. A. Fimbel, A. Grajal & J. Robinson (eds). Columbia University
Press, New York, USA.
Goldsmith, F. B. (1991) Monitoring for conservation and ecology. Chapman and Hall. London
Gonner, C. (2002) A Forest Tribe of Borneo. Man and Forest Series 3. D.K. Printworld (P) Ltd. New Delhi.
Gouyon, A. (2002) Rewarding The Upland Poor For Environmental Services: A Review Of Initiatives From Developed
Countries. International Center for Research on Agroforestry (ICRAF), Bogor.
Grieser Johns, A. (1997) Timber Production and Biodiversity Conservation in Tropical Rain Forests. United Kingdom:
Cambridge University Press.

76 Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia


Grieser Johns, A. and B. Grieser Johns (1995) Tropical forest primates and logging: long term coexistence? Oryx 29: 205-
211.
Grossmann, C.M. (1997) Significance and Development Potential of Non-Wood Forest Products in Central East Kalimantan:
A Case Study From PT. Limbang Gane ca, Long Lalang and Ritan Baru. Indonesian – German Technical Cooperation:
Ministry of Forest in Cooperation with Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ): Promotion of
Sustainable Forest Management Systems (SFMP) in East Kalimantan, Samarinda.
Groves, C, Jenson D, Valutis L, Redford K, Shaffer, M. Scott, J. M. Baumgartner, J. Higgins, J. Beck, M. and M Anderson
(2002). Planning for Biodiversity conservation : putting the conservation science into practice. Bioscience 52:499-512.
Groves, C. P. (2001) Primate Taxonomy. Smithsonian Institution Press, Washington DC, United States of America.
Hartanto, H., R. Prabhu, A. S. E. Widayat, and C. Asdak. (2003). Factors affecting runoff and soil erosion: plot-level soil loss
monitoring for assessing sustainability of forest management. Forest Ecology & Management 180:361-374.
Hedges, S., M. J. Tyson, A. F. Sitompul, M. F. Kinnaird, D. Gunaryadi, and A. Baco. in review. Distribution, status, and
conservation needs of Asian elephants (Elephas maximus) in Lampung Province, Sumatra, Indonesia. Biological
Conservation.
Helming, S. and M. Gobel (1997) ZOPP, Objectives-Oriented Project Planning: a Planning Guide for New and Ongoing
Projects and Programmes. Deutsche Gesellschaft fur Zusammenarbeit (GTZ), Eschborn, Germany.
Heydon, M. J. and P. Bulloh (1997) Mousedeer densities in a tropical rainforest : the impact of selective logging. Journal of
Applied Ecology 34: 484-496.
Holmes, D. (1998) Rainfall and Droughts in Indonesia. A Study for the World Bank.
Holmes, D. (2002). Indonesia, Where have all the forests gone? Environment and Social Development East Asia and Pacific
Region Discussion Paper, World Bank.
Holmes, D. W. Rombang, and D. Octaviani (2000) Daerah Penting bagi burung Kalimantan. Birdlife International Indonesia
Program.
Jacoby, K. (2001) Crimes against Nature: Squatters, Poachers, Thieves, and the Hidden History of American Conservation.
University of California Press.
Jarvie, J. Hiller, M., and A. Salim (2002) HCVF Guidelines for Forest Managers in Indonesia. Sponsored by The Nature
Conservancy and The United States Forest Service.
Jennings, S and J. Jarvie (2004) A Sourcebook for Landscape Analysis of High Conservation Value Forests. ProForest.
Oxford. UK.
Jennings, S. Nussbaum, R., and T. Sysnnott (2002) A Toolkit for identifying and managing High Conservation Value Forests:
Review Draft 1. Prepared by ProForest. Oxford. UK
Jennings, S. (2004). HCVF for Conservation Practitioners. ProForest. Oxford. UK
Jennings, S. Nussbaum, R. Judd, N. and T Evans. (2003) The High Conservation Value Forest Toolkit (Parts 1 – 3). ProForest.
Oxford.
Jepson, P. Jarvie J. K, MacKinnon, and K. A Monk (2001) The end for Indonesia’s lowland forests? Science 292: 859.
Johns, A. D (1986) Effects of selective logging on the behavioral ecology of West Malaysian promates. Ecology 67: 684-694.
Johns, A. D. (1988) Effects of ‘selective’ timber extraction on rain forest structure and composition and some consequences
for frugivores and foliovores. Biotropica 20:31-37.
Kinnaird, M. F., E. W. Sanderson, T. G. O’Brien, H. T. Wibisono, and G. Woolmer. 2003. Deforestation trends in a tropical
landscape and implications for endangered large mammals. Conservation Biology 17:245-257.
Kremen, C. (1992). Assessing the indicator properties of species assemblages for natural areas monitoring. Ecological
Applications 2: 203-217.
Kremen, C. I. Raymond, and K. Lance (1998). An interdisciplinary tool for monitoring conservation impacts in Madagascar.
Conservation Biology 12: 549-563.
Kremen, C., A. Merenlender, and D. Murphy (1994). Ecological Monitoring: a vital need for integrated conservation and
development programs in the tropics. Conservation Biology 8: 388-397.
Lammertink, M. (2004). A multiple-site comparison of woodpecker communities in bornean lowland and hill forests.
Conservation Biology 18:746-757.

Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia 77


Levang, P. (1991) Jachère arborée et culture sur brûlis dans les îles extérieures de l’archipel Indonésien. In Atelier
International La jachère en Afrique de l’Ouest, Montpellier (FRA), 1991/12/35, ORSTOM.
Linkie, M., D. J. Martyr, J. Holden, A. Yanuar, A. T. Hartana, J. Sugardjito, and N. Leader-Williams. 2003. Habitat destruction
and poaching threaten the Sumatran tiger in Kerinci Seblat National Park, Sumatra. Oryx 37:41-48.
MacKinnon, K. G Hatta, G. Halim, A. Mangalik (1996). Ecology of Kalimantan. Periplus, Singapore.
Marcot, B. G., R. E. Gullison and J. R. Barborak (2001). Protecting habitat elements and natural areas in the managed
forest matrix pp 523-558 in The Cutting Edge. Conserving wildlife in logged tropical forest. R A Fimbel, A Grajal & J
Robinson (eds). Columbia University Press, New York, USA.
Margoluis, R and N. Salafsky (1998). Measures of Success: Designing, Managing and Monitoring Conservation and
Development Projects. Island Press.
Margules, C. R. and R. L. Pressey (2000) Systematic conservation planning. Nature 405: 243-253.
Marshall, A. (2002). Orangutan population survey of Gunung Gajah in Berau district, East Kalimantan. Report to TNC.
Mason, D. J. and F. E. Putz (2001). Reducing the impacts of tropical forestry on wildlife. pp 473 – 510 in The Cutting Edge.
Conserving wildlife in logged tropical forest. R A Fimbel, A Grajal & J Robinson (eds). Columbia University Press, New
York, USA.
Mathews, A., and A. Matthews. 2002. Distribution, population density, and status of sympatric cercopithecids in the Campo-
Ma’an area, Southwestern Cameroon. Primates 43:155-168.
Mayers, J. and S. Vermeulen (2002) Company-community forestry partnerships: From raw deals to mutual gains?
Instruments for sustainable private sector forestry series. International Institutes for Environment and Development
(IIED), London.
Meijaard, E. (1996) The Sumatran rhinoceros (Dicerorhinus sumatrensis) in Kalimantan, Indonesia: its possible distribution
and conservation prospects. Pachyderm 21:17-23.
Meijaard, E. (2003a) Solving mammalian riddles. A reconstruction of the Tertiary and Quaternary distribution of mammals and
their palaeoenvironments in island South-East Asia. Department of Anthropology and Archaeology. Australian National
University, Canberra, Australia.
Meijaard, E. (2003b) Forest, pigs and people. A plan for the sustainable management of Bearded Pig populations in and
around the Kayan Mentarang National Park, East Kalimantan, Indonesia. Unpubl. Report for WWF-Indonesia. WWF-
Indonesia, Jakarta, Indonesia.
Meijaard, E., D. Sheil, R. Nasi, D. Augeri, B. Rosenbaum, D. Iskandar, T. Setyawati, M. J. Lammertink, I. Rachmatika,
A. Wong, T. Soehartono, S. Stanley, and T. O’Brien. (2005.) Life after logging: Reconciling wildlife conservation and
production forestry in Indonesian Borneo. CIFOR, WCS and UNESCO, Bogor, Indonesia.
Myers, N., R. Mittermeier, C. Mittermeier, G. da Fonseca and J. Kentet (2000) Biodiversity hotspots for conservation
priorities. Nature 403: 853-858.
Nabasa, J., G. Rutwara, F. Walker, and C. Were (1994) Participatory Rural Appraisal. Practical Experiences. Natural
Resources Institute, Overseas Development Administration, UK.
Noss, R. F. (1999) Assessing and monitoring forest biodiversity : A suggested framework and indicators. Forest Ecology and
Management 115: 135-146.
Olsen, D. M. and E. Dinerstein (1998) The Global 200: a representation approach to conserving the Earth’s most biologically
valuable ecoregions. Conservation Biology 12: 502-515.
Payne, J., C. M. Francis, and K. Phillipps (1985) A field guide to the mammals of Borneo. The Sabah Society, Kota Kinabalu.
Peters, C (1994) Sustainable Harvest of non-timber plant resources in tropical moist forest : an ecological primer.
Biodiversity Support Program. Washington DC.
Plumptre A. J. and A Grieser Johns (2001) Changes in primate communities following logging disturbance. pp 71-92
in The Cutting Edge. Conserving wildlife in logged tropical forest. R A Fimbel, A Grajal & J Robinson (eds). Columbia
University Press, New York, USA.
Pollard, E. (1977) A method for assessing changes in abundance of butterflies. Biological Conservation 12: 115-131.
Pringle, C. M. and J.P Benstead (2001) The effects of logging on tropical river ecosystems. pp 305-325 in The Cutting
Edge. Conserving wildlife in logged tropical forest. R A Fimbel, A Grajal & J Robinson (eds). Columbia University Press,
New York, USA.

78 Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia


Proforest/SmartWood (2003) Identifying, Managing and Monitoring High Conservation Value Forests in Indonesia: A Toolkit
for Forest Managers and other Stakeholders. SmartWood Asia Pacific Program.
Putz, F. E, K. H Redford, J. G. Robinson, R. Fimbel, and G. M. Blate (2000) Biodiversity conservation in the context of tropical
forest management. Environment department papers, Biodiversity series - Impact studies. The World Bank
Rabinowitz, A. (1993) Wildlife Field Research and Conservation training manual. Wildlife Conservation Society. New York.
Rabinowitz, A. (1995) Helping a species go extinct: The Sumatran rhino in Borneo. Conservation Biology 9: 482-488.
RECOFTC (2000) Tools for Negotiating and Recognizing Local Forest Management Agreements. Experiences from
Cambodia, India, Indonesia, Lao PDR, Thailand. Asia-Pacific Community Forestry Newsletter 13(2). Regional Community
Forestry Training Center for Asia and the Pacific (RECOFTC), Bangkok.
Redford, K. and A. Taber (2000) Writing the Wrongs : Developing a Safe-fail culture in Conservation. Conservation Biology
14:1567-1568.
Republik Indonesia (1999) Undang-undang Republik Indonesia: Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
Robertson, J. M. Y., and C. P. van Schaik. 2001. Causal factors underlying the dramatic decline of the Sumatran orang-utan.
Oryx 35:26-38.
Robinson, J. G., K. H. Redford, and E. L. Bennett. 1999. Wildlife harvest in logged tropical forests. Science 284:595-596.
Russell, D. and C. Hasselberger (1998) Studying the social dimensions of Community-based conservation. Unpublished
report from the Biodiversity Conservation Network.
Salafsky, N., B. L. Dugelby, and J. W. Terborgh (1993) Can extractive reserves save the rain forest? An ecological and
socio-economic comparison of nontimber forest product extraction systems in Peten, Guatemala and West Kalimantan,
Indonesia. Conservation Biology 7: 39-52.
Salafsky, N., R. Margoluis, and K. Redford (2001) Adaptive Management : A tool for conservation practitioners. Biodiversity
Support Program. Washington DC
Saterson, K., R. Margoluis, and N. Salafsky (1999) Measuring conservation impact : An interdisciplinary approach to project
monitoring and evaluation. BSP, Washington DC.
Sheil, D. (2001) Conservation and biodiversity monitoring in the tropics: Realities, priorities, and distractions. Conservation
Biology 15:1179-1182.
Sheil, D., R. Nasi, and B. Johnson (2004) Ecological criteria and indicators for tropical forest-landscapes: Challenges in the
search for progress. Ecology and Society 9:article 7. http://www.ecologyandsociety.org/vol9/iss1/art7.
Siegert, F. G., Ruecker, A. Hinrichs and A. A. Hoffmanss (2001) Increased damage from fires in logged forests during
droughts caused by El Nino. Nature 414: 437-440
Sist, P. (2001) Why RIL won’t work by minimum-diameter cutting alone. ITTO Newsletter 11.
Sist, P. D. Dykstra and R. A. Fimbel (1998) Reduced impact logging guidelines for hill dipterocarp forests in Indonesia.
CIFOR, Occasional Paper 15. Bogor, Indonesia.
Sist, P., R. Fimbel, D. Sheil, R. Nasi, and M. H. Chevallier (2003) Towards sustainable management of mixed dipterocarp
forests of South-east Asia: moving beyond minimum diameter cutting limits. Environmental Conservation 30:364-374.
Sist, P., T. Nolan, J-G. Bertault and D. Dykstra (1998) Harvesting intensity versus sustainability in Indonesia. Forest Ecology
and Management 108: 251-260
Slik, J.W.F., A.D. Poulsen, P.S. Ashton, C.H. Cannon, K.A.O. Eichhorn, K. Kartawinata, I. Lanniari, H. Nagamasu, M.
Nakagawa, M.G.L. van Nieuwstadt, J. Payne, Purwaningsih, A. Saridan, K. Sidiyasa, R.W. Verburg, C.O. Webb and P.
Wilkie (2003) A floristic analysis of the lowland dipterocarp forest of Borneo. Journal of Biogeography 30:1517-1531.
SmartWood (2003) Identifying, Managing and Monitoring High Conservation Value Forests in Indonesia: A Toolkit for Forest
Managers and other Stakeholders. SmartWood Asia Pacific Program.
Stattersfield, A. M. Crosby, A. Long, and D. Wege (1998): Endemic Bird Areas of the World: Priorities for Biodiversity
Conservation. Cambridge: BirdLife International.
Styring, A. R. and M. Z. Hussin (2004) Effects of logging on woodpeckers in a Malaysian rainforest: the relationship between
resource availability and woodpecker abundance. Journal of Tropical Ecology 20: 495-504.
Sulistioadi, Y. B. (2004) Identification of High Conservation Value Forest (HCVF) related to soil and water conservation. The
use of remote sensing and GIS to support forest certification in Indonesia. MSc Thesis. International Institute for geo-
information science and earth observation, Enschede, the Netherlands.

Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia 79


TNC – Berau FO (2002) Baseline socio-economic survey in Kecematan Kelai, East Kalimantan. Report prepared by The
Nature Conservancy Berau Field Office, Tanjung Redeb, Indonesia
TNC – Berau FO (2003) Participatory conservation planning in Kelai. Report prepared by The Nature Conservancy Berau
Field Office, Tanjung Redeb, Indonesia
TNC - LLFO. (2002). Participatory Conservation Planning: A methodology for Community consultation. The Nature
Conservancy. Palu, Indonesia.
TNC (2000) The Five-S framework for site conservation : a practitioners handbook of Site Conservation Planning and
measuring conservation success. The Nature Conservancy, Arlington VA, USA
TNC-SFO (2002) Preliminary High Conservation Value Forest assessment for Sumalindo Lestari Jaya unit II. Report prepared
by The Nature Conservancy Samarinda field office, Samarinda, Indonesia
Van Nieuwstadt, M. G. L., D. Sheil, and K Kartawinata (2001) The ecological consequences of logging in burned forests of
East Kalimantan, Indonesia. Conservation Biology 15: 1183-1186.
Wadley, R. L., and C. J. P. Colfer (2004) Sacred forest, hunting, and conservation in West Kalimantan, Indonesia. Human
Ecology 32: 313-338.
Walsh, P. D., K. A. Abernethy, M. Bermejo, R. Beyersk, P. De Wachter, M. E. Akou, B. Huljbregis, D. I. Mambounga, A. K.
Toham, A. M. Kilbourn, S. A. Lahm, S. Latour, F. Maisels, C. Mbina, Y. Mihindou, S. N. Obiang, E. N. Effa, M. P. Starkey,
P. Telfer, M. Thibault, C. E. G. Tutin, L. J. T. White, and D. S. Wilkie. 2003. Catastrophic ape decline in western equatorial
Africa. Nature 422:611-614.
Webb, C and M. Yani (1999). Methods for monitoring forest quality and floristics to be implemented by local personnel at
Lore Lindu National Park, Central Sulawesi, Indonesia. Report to TNC and Balai Taman Nasional Lore Lindu.
Whitten. T, D. Holmes and K. MacKinnon (2001) Conservation biology: a displacement behaviour for academia.
Conservation Biology 15: 1-3
Wikramanayake E, E. Dinerstein, J. L Loucks, D. M. Olsen, J Morrison, J Lamoreux, M. McKight and Prashant Hedao
(2002) Terrestrial Ecoregions pf the Indo-Pacific. A conservation assessment. Island Press. Washington.
Wilkie, D. S., and J. F. Carpenter. 1999. Bushmeat hunting in the Congo Basin: an assessment of impacts and options for
mitigation. Biodiversity & Conservation 8:927-955.
World Bank (1996) The World Bank Participation Sourcebook. Environmentally Sustainable Development Publications.
Washington.
Wulffraat, S. (2000) An overview of the biodiversity of Kayan Mentarang National Park. WWF Indonesia Program.
WWF and IUCN (1995) Centres of Plant Diversity: A guide and strategy for their conservation. Vol 2. Asia, Australia and the
Pacific. Cambridge. UK
Zakaria, M and C. M. Francis (2001) The effects of logging on birds in tropical forests of Indo-Australia pp 193-221 in The
Cutting Edge. Conserving wildlife in logged tropical forest. R A Fimbel, A Grajal & J Robinson (eds). Columbia University
Press, New York.

80 Panduan bagi praktisi; mengelola Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia


The Nature Conservancy in Indonesia
e-mail: tncindonesia@cbn.net.id
Tel. +62 21 724 7152 Fax. +62 21 724 7162

Palu Field Office:


Jl. Rajawali No. 9, Palu, 94112
Tel. +62 451 456876 Fax. + 62 451 423544

East Kalimantan Portfolio Office:


Jl. Gamelan No. 4. Komp. Prefab, Samarinda 75123
Tel. +62 541 744 069/070/071 Fax. + 62 541 738 127
e-mail: tnc@samarinda.org

Berau Field Office:


Jl. Pemuda No. 92, Tanjung Redeb, Berau, Kalimantan Timur
Tel. +62 554 23627 Fax. + 62 544 21293

nature.org

Departemen Kehutanan
Republik Indonesia

You might also like