You are on page 1of 16

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Laut Cina Selatan merupakan bagian dari Samudera Pasifik, yang meliputi sebagian
wilayah dari Singapura dan Selat Malaka hingga ke Selat Taiwan dengan luas sekitar 3.5 juta
km.1 Berdasarkan ukurannya, Laut Cina Selatan ini merupakan wilayah perairan terluas atau
terluas kedua setelah kelima samudra. Negara-negara dan wilayah yang berbatasan dengan
Laut Cina Selatan adalah (searah jarum jam dari utara) Republik Rakyat Cina (RRC)
termasuk (Makau dan Hongkong), Taiwan, Filiphina, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei,
dan Vietnam. Adapun sungai-sungai besar yang bermuara di Laut Cina Selatan antara lain
sungai Mutiara (Guangdong). Min, Jiulong, Red, Mekong, Rajang, Pahang, dan Pasig.2
Kawasan Laut Cina Selatan bila dilihat dalam tata Lautan Internasional, merupakan
kawasan yang memiliki nilai ekonomis, politis, dan strategis. Karena, kawasan Laut Cina
Selatan memiliki kandungan minyak bumi dan gas alam serta peranannya yang sangat penting
sebagai jalur perdagangan dan distribusi minyak dunia.3 Salah satu gugus pulau di perairan ini
yang memiliki cadangan gas dan minyak berlimpah adalah pulau Spartlay dan
Paracel.4Estimasi kandungan minyak di kawasan Laut China Selatan sebanyak 213 bbl
(billion barrels). Seperti halnya minyak bumi, kandungan gas alam di kawasan Laut China
Selatan juga beragam.
Selain sumber daya alam Laut China Selatan, jalur pelayaran juga menjadi latar
belakang kuat bagi negara-negara maju untuk menjadikan stabilitas kawasan Laut China
Selatan sebagai prioritas dalam aktivitas politik luar negerinya. Sebut saja Jepang, 80% impor
minyaknya diangkut melalui jalur kawasan Laut China Selatan. Amerika Serikat juga sangat
membutuhkan kawasan ini untuk mendukung mobilitas pasukan militernya dalam
melancarkan dominasi globalnya. Selain itu, Amerika Serikat juga mempunyai angka

Laut Cina Selatan. www.anneahira.com/laut-cina-selatan.htm: diakses pada 27 Desember 2013 pukul 18.35
Laut Cina Selatan http://id.wikipedia.org/wiki/Laut_Cina_Selatan: diakses pada 27 Desember 2013 pukul
18.40
3
Laut Cina Selatan. www.anneahira.com/laut-cina-selatan.htm: diakses pada 27 Desember 19.00
4
Sengketa Wilayah Laut Cina Selatan.
http://apdforum.com/id/article/rmiap/articles/online/features/2012/12/31/aayear-end-story: diakses pada 27
Desember pukul 19.38
2

2
kerjasama perdagangan yang tinggi dengan negara-negara di kawasan Laut China Selatan.5
Seiring dengan mencuatnya kabar mengenai kekayaan sumber daya alam yang
berada di Laut Cina Selatan, sejumlah aksi agresif dilakukan oleh negara-negara yang
berbatasan langsung dengan kawasan ini dan

mengklaim wilayah tersebut merupakan

miliknya.6
Indonesia sebagai salah satu negara di kawasan Asia Tenggara memang tidak terlibat
secara langsung di dalam konflik perebutan wilayah di Laut Cina Selatan. Akan tetapi, Asia
Tenggara merupakan lahan strategis bagi Indonesia yang memiliki sejumlah potensi
regionalitas di dalam keanggotaan ASEAN. Singkat kata, apabila stabilitas regional di dalam
tubuh ASEAN terancam karena sengketa di kawasan Laut Cina Selatan, maka hal tersebut
akan berdampak pada ketidaksesuaian terhadap kredibilitas dan postur keamanan ASEAN
yang akan berpengaruh bagi Indonesia.7
Pertimbangan atas konflik ini diperkirakan akan menimbulkan sebuah permasalahan
yang besar apabila dibiarkan semakin memuncak. Sehingga, walaupun Indonesia bukan
merupakan aktor yang langsung terlibat di dalam sengketa wilayah ini, akan tetapi Indonesia
memiliki potensi untuk menjadi aktor kunci yang dapat memberikan peran secara konstruktif
dalam upaya penyelesaian masalah konflik di Laut Cina Selatan secara damai.8
Diperlukan suatu upaya yang mampu untuk tetap menjaga stabilitas kawasan,
keamanan hingga kondusifitas hubungan hingga akhirnya konflik ini dapat terselesaikan.
Upaya yang Indonesia lakukan adalah melalui jalur diplomasi yang kemudian lebih dikenal
sebagai langkah awal diplomasi preventif Indonesia.9 Salah satu cara dalam diplomasi
preventif Indonesia adalah dengan membangun serta meningkatkan rasa saling percaya
(confidencebuilding measures) antara pihak-pihak yang bertikai.10

Yudha Kurniawan, "Kontribusi Indonesia dalam Penyelesaian Konflik Laut China Selatan
http://kurniawan08.blogspot.com, Paper ini dipresentasikan pada Konvensi Nasional Asosiasi Ilmu Hubungan
Internasional Indonesia (AIHII) II, Bandung, 2011 diakses pada 27 Desember 2013 pukul 20.49
6
Ibid
7
Ibid
8
Ibid
9
Indonesia Berusaha Redakan Ketegangan di Laut Cina Selatan.
http://www.voaindonesia.com/content/indonesia-berusaha-redakan-ketegangan-di-laut-cinaselatan/1454236.html:diakses pada 27 Desember 2013. Pukul 21.00 WIB
10
Ibid.

3
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa latar belakang timbulnya sengketa Laut Cina Selatan?
1.2.2 Bagaimana upaya diplomasi preventif yang dilakukan Indonesia dalam
sengketa Laut Cina Selatan?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Mengetahui latar belakang timbulnya sengketa Laut Cina Selatan
1.3.2 Megetahui bagaimana upaya diplomasi preventif yang dilakukan Indonesia
dalam sengketa Laut Cina Selatan
1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1 Diharapkan bagi mahasiswa atau akademisi, dapat menjadikan fenomena
sengketa Laut CIna Selatan sebagai bahan diskusi ilmiah yang melahirkan
gagasan baru tentang penyelesaian konflik Laut Cina Selatan
1.4.2 Diharapkan bagi pemerintah atau pengambil kebijakan, agar pemerintah lebih
memperhatikan batas-batas wilayah dalam negaranya

4
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kelautan
Wilayah suatu negara selain kita kenal udara dan darat juga lautan. Namun masalah
kelautan atau wilayah laut tidak dimiliki oleh setiap negara, hanya negara-negara tertentulah
yang mempunyai wilayah laut yaitu negara di mana wilayah daratnya berbatasadengan laut.
Laut adakalanya merupakan batas suatu negara dengan negara lain dengan titik batas yang
ditentukan melalui ekstradisi bilateral atau multilateral yang berarti pula merupakan batas
kekuasaan suatu negara, sejauh garis terluar batas wilayahnya.11
Dalam perkembangan hukum internasional, batas kekuasaan yang merupakan batsa
wilayah suatu negara sangat dipegang erat, pelanggaran terhadap wilayah suatu negara dapat
berakibat fatal bahkan dapat menimbulkan kerenggangan hubungan apabila berlarut-larut
akan berakibat peperangan. Dengan batas wilayah dituntut hubungan yang baik bagi setiap
negara dan perjanjian perjanjian yang diciptakan perlu ditaati agar tidak merugikan
kepentingan negara lain. Penentuan batas wilayah yang meliputi kelautan di dalam
pembuatannya selalu memperhatikan bentuk konsekuensi dan pertimbangan lain sehingga
kepentingannya sama-sama berjalan. Dalam pertimbangannya secara umum dapat
memperhatikan: keadaan geografi; strategi (Keuntungan dan kerugian dalam pertahanan dan
keamanan); kesamarataan (tingkatan). Bagi negara yang wilayahnya berbatasan dengan
wilayah negara lain batasnya tidak ditentukan secara sepihak, melainkan memperhatikan:
historisnya dan perjanjian yang dilakukan12
Dalam sejarah hukum internasional, selalu megupayakan penetapan batas laut
teritorial yang berlaku secara universal dengan memberikan catatan bagi negara-negara pantai
dan pelintas. Semula batas laut teritorial suatu negara ditentukan berdasarkan kebiasaankebiasaan yang berlaku dalam praktek ketatanegaraan negara yang bersangkutan dengan
memperhatikan kepentingan negara lainnya.13Penentuan batas laut demikian sangatlah
subyektif dan tidak mustahil hanya kepentingan sendirilah yang diutamakan sehingga di
dalam penentuan batasnya disesuaikan kepentingannya masing-masing. Bagi hukum
11

I Wayan Parthiana, S.H., M.H. Landas Kontinen dalam Hukum Laut Internasional. Mandar Maju (Bandung,
2005) hal 13
12
Ibid
13
P. Joko Subagyo, Perkembangan Hukum Laut Indonesia, Ghalia Indonesia (Jakarta, 1985) hal. 31

5
internasional, banyak menimbulkan keresahan keresahan khususnya bagi negara pelintas,
karena

dalam

penyelesaiannya

tidak

dapat

diterapkan

ketentuan

yang

bersifat

umum/universal.
Upaya yang dilakukan untuk membentuk dan melahirkan ketentuam yang dapat
diterapkan secara internasional terus dilakukan dengan melihat gambaran keadaan praktek
penentuan batas wilayah laut dari masing-masing negara pantai.
2.1.1 Pada tahun 1936 telah diadakan Konferensi Kodifikasi d Den Haag
2.1.2 Pada tahun 1939, dikeluarkan Ordonansi yang mengatur batas lebar laut
teritorial sejauh 3 mil laut
2.1.3 Pada tahun 1958, diadakan Konferensi Hukum Laut di Jenewa belum mampu
menghasilkan kesepakatan internasional dalam jarak 3 mil laut
2.1.4 Pada tahun 1960, diadakan konferensi di Jenewa (Hukum Laut II) belum
menghasilkan kesepakatan
2.1.5 Pada tahun 1974, diadakan Konferensi Hukum Laut di Caracas Venezuela yang
menentukan jarak wilayah laut teritorial sejauh 12 mil
2.1.6 Pada tahun 1982, diadakan Konferensi Hukum Laut III (UNCLOS) dan
diperoleh kesepakatan bersama dalam jarak sejauh 12 mil laut14

2.2 Kebijakan Luar Negeri


Studi mengenai politik internasional seringkali didominasi oleh studi mengenai
kebijakan luar negeri. Studi tersebut memusatkan perhatian pada deskripsi kepentingan,
tindakan dan unsur kekuatan negara. Kebijakan (politik) luar negeri adalah tindakan konkrit
yang digunakan suatu negara untuk mencapai kepentingan nasional. Tujuan kebijakan luar
negeri sebenarnya adalah fungsi dari tujuan negara. Tujuan tersebut dipengaruhi oleh sasaran
yang dilihat dari masa lalu dan aspirasi untuk masa yang akan datang. Secara terperinci tujuan
kebijakan luar negeri dirancang, dipilih dan ditetapkan oleh pembuat keputusan serta
dikendalikan untuk mengubah kebijakan atau mempertahankan kebijakan ihwal kenegaraan
tertentu di lingkungan internasional.15

14

P. Joko Subagyo, S.H. Hukum Laut Indonesia. Rineka Cipta (Jakarta, 2005) hal 3
Perwita, A.A Banyu dan Yani, Yamyan Muhammad. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Remaja Rosda
Karya (Bandung, 2006) hal.49-51
15

6
Kebijakan luar negeri merupakan strategi atau rencana tindakan yang dibuat oleh
para pembuat keputusan negara dalam menghadapi negara lain atau unit politik internasional
lainnya dan dikendalikan dalam rangka mencapai tujuan spesifik nasional dalam terminologi
national interest.16 Lebih jauh, Holsti (1987) menjelaskan lingkup kebijakan luar negeri
meliputi semua tindakan serta aktifitas negara terhadap lingkunganeksternalnya dalam upaya
memperoleh keuntungan dari lingkungan tersebut, serta hirau akan berbagi dalam
kondisiinternal yang menopang formulasi tindakan tersebut.17
Menurut Holsti (1987), kebijakan luar negeri memiliki tiga komponen yang
mencerminkan kepentingan yang lebih luas18, yaitu: (1) Sebagai sekumpulan orientasi (as a
cluster of orientation), suatu pedoman untuk mengahadapi kondisi eksternal yang menuntut
pembuat keputusan dan tindakan berdasarkan orientasi prinsip dan tendensi umum yang
terdiri dari sikap, persepsi dan nilai yang dijabarkan dari pengalaman sejarah dan kondisi
strategis penentu posisi negara dalam politik internasional, (2) Sebagai seperangkat komitmen
dan rencana untuk bertindak (as a set of commitments to and plans for action), berupa rencana
dan komitmen konkrit termasuk tujuan dan alat yang spesifik untuk mempertahankan situasi
lingkungan eksternal yang konsisten dengan orientasi kebijakan luar negeri, (3) Sebagai
bentuk perilaku atau aksi (as a form of behaviour), berupa langkah nyata berdasarkan
orientasi umum, dengan komitmen dan sasaran yang lebih spesifik, yang berhubungan dengan
kejadian dan situasi di lingkungan eksternal.
2.3 Diplomasi Preventif
Menurut Griffiths (2002), diplomasi menjadi salah satu faktor determinan bagi
negara untuk mencapai kepentingannya dan menjalin hubungan baik dengan negara lain.
Diplomasi menjadi alat yang digunakan negara untuk menjalankan misinya tanpa
membangkitkan rasa permusuhan dengan negara lain.19 Diplomasi mewakili tekanan politik,
ekonomi dan militer kepada negara-negara yang terlibat dalam aktivitas diplomasi, yang
diformulasikan dalam pertukaran permintaan dan konsesi antara para pelaku negosiasi.
Diplomasi memiliki kaitan yang erat dengan politik luar negeri yang dilakukan oleh pejabat-

16

Ibid.
Ibid.
18
Ibid.
19
International Relations Study. http://nurlaili-laksmi-w-fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-71684Semester%20III-Detail%20Diplomasi.html: diakses pada 28 Desember 2013 pukul 08.00
17

7
pejabat resmi yang terlatih.20
Salah satu istilah diplomasi yang sering digunakan adalah diplomasi preventif.
Diplomasi preventif mulai berkembang setelah Perang Dingin. 21Diplomasi ini cenderung
lebih banyak dilakukan oleh negara-negara dunia ketiga. Diplomasi ini bertujuan untuk
mencegah timbulnya konflik yang berpotensi hingga perang senjata. Diplomasi preventif
secara umum digunakan untuk mencegah keterlibatan negara-negara adidayayang mencoba
untuk melakukan intervensi. Hal ini disadari sebagai keinginan setiap negara yang sedang
bertikai untuk mampu menyelesaikan ihwal kenegaraannya secara independen.22

20

Sukawarsini Djelantik. Diplomasi antara Teori dan Praktik. Graha Ilmu ( Yogyakarta,2008) hal 4
Roy, S L, Diplomasi. Rajawali Pers (Jakarta, 1991) hlm. 1
22
Ibid.
21

8
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Latar Belakang Timbulnya Konflik Laut Cina Selatan


Pada bulan April tahun 1988 terjadi ketegangan di Kepulauan Spratly antara Vietnam
dengan Cina. Dua puluh kapal perang Cina yang sedang berlayar di Laut Cina Selatan
mencegat Angkatan Laut Vietnam sehingga terjadi bentrokan. Bentrokan antara Cina dan
Vietnam ini terjadi di Karang Johnson Selatan di Kepulauan Spratly pada 14 Maret 1988 yang
mengakibatkan hilangnya 74 tentara Vietnam. Peristiwa ini dikenal sebagai peristiwa 14
Maret 1988.23
Kepulauan Spratly adalah sebuah gugusan pulau-pulau kecil dan pulau-pulau karang
kira-kira jumlahnya sebanyak 600-an dan 100-an diantaranya kerap tertutup permukaan air
laut jika sedang pasang. Kepulauan Spratly, bila dilihat dalam tata lautan internasional
merupakan kawasan bernilai ekonomis, politis, dan strategis. Kawasan kepulauan ini menjadi
sangat penting karena kondisi potensi geografisnya maupun potensi sumber daya alam yang
dimilikinya, seperti minyak, gas, dan bahan tambang lainnya. Ini berarti mendapatkan
kepulauan tersebut sudah dapat diperkirakan akan mengurangi ketergantungan minyak dari
negara-negara kawasan Teluk. Selain itu, kawasan tersebut merupakan jalur pelayaran, kapal
perdagangan internasional, dan komunikasi internasional (jalur lintas laut perdagangan
internasional), sehingga menjadikan kawasan itu mengandung potensi konflik sekaligus
potensi kerjasama.
Jika diamati, peta yang dikeluarkan masing-masing negara yang terlibat sengketa
kepulauan inii menamainya dengan berbeda-beda. Taiwan misalnya menamakan Kepulauan
Spratly dengan Shinnengunto, Vietnam menyebut dengan Dao Truong Sa (Beting Panjang),
Filipina menyebut Kalayaan (kemerdekaan), Malaysia menyebut dengan Itu Aba dan
Terumbu Layang, sedangkan Cina lebih suka menyebut Nansha Quadao (kelompok Pulau
Selatan). Perbedaan nama dimaksudkan agar kepulauan tersebut terisyaratkan sebagai milik

23

Konflik Kepulauan Spartly http://jurnal-politik.blogspot.com/2009/01/konflik-kepulauanseparatly.html:diakses pada 30 Desember 2013 pukul 07.15

9
negara yang memberikan nama. Nama internasional yang lazim diberikan kepada gugusan
kepulauan itu ialah Spratly.24
Kenyataannya terjadi perang klaim dan upaya-upaya penguasaan atas wilayahwilayah dii Kepulauan Spratly itu. Persoalannya menjadi lebih berat karena klaim-klaim
tersebut saling tumpang tindih karena masing-masing negara mendasarkan klaimnya pada
kebenaran versinya sendiri, baik historis maupun legal formal. Yang kemudian menarik
untuk disoroti adalah proses penguasaan dan dasar argumentasi yang dikemukakan masingmasing negara itu untuk menguasai gugusan pulau yang terdapat di Spratly.
Tuntutan Cina terhadap Spratly didasarkan pada sejumlah catatan sejarah, penemuan
situs, dokumen-dokumen kuno, peta-peta, dan penggunaan gugus-gugus pulau oleh
nelayannya. Berdasarkan penemuan-penemuan tersebut Cina menyatakan bahwa Kepulauan
Spratly secara historis merupakan wilayah kekuasaan Cina sejak masa kekaisaran Dinasti
Han, yakni 206-220 SM sampai ke masa Dinasti Ming dan Dinasti Ching yang berkuasa pada
tahun 1400-an M. Klaim ini didukung bukti-bukti arkeologis Cina dari Dinasti Han.25
Vietnam menentang pendapat Cina dengan menyebutkan bahwa Kaisar Gia Long dari
Vietnam pada tahun 1802 telah mencantumkan Spratly sebagai wilayah kekuasaannya.
Nelayan Vietnam pun telah lama sebelumnya melakukan pelayaran ke dan di wilayah
Kepulauan Spratly itu.26
Sedangkan Filipina menduduki kelompok gugus pulau di bagian Timur kepulauan
Spartly yang disebut sebagai Kalayaan. Tahun 1978 menduduki lagi gugus pulau Panata.
Alasan Filipina menduduki kawasan tersebut karena kawasan itu merupakan tanah yang tidak
sedang dimiliki oleh negara-negara manapun. Filipina juga menunjuk perjanjian perdamaian
San Francisco 1951, yang menyatakan bahwa Jepang telah melepaskan haknya terhadap
Kepulauan Spartly selama PD II dan meninggalkannya setelah kekalahannya tanpa
menyebutkan kepada siapa kepulauan tersebut akan diserahkan.
Malaysia mengatakan bahwa sebagian dari Kepulauan Spratly merupakan wilayah
negara bagian Sabah yang dinamai Terumbu Layang. Menurut Malaysia, Langkah itu diambil
24

Konflik Kepulauan Spartly http://jurnal-politik.blogspot.com/2009/01/konflik-kepulauanseparatly.html:diakses pada 30 Desember 2013 pukul 13.14


25
Dilema Keamanan ASEAN dalam Konflik Laut Cina Selatan
http://dewitri.wordpress.com/2009/01/03/dilema-keamanan-asean-dalam-konflik-laut-cina-selatan/:diakses pada
30 Desember 2013 pukul 14.39
26
Konflik Kepulauan Spartly http://jurnal-politik.blogspot.com/2009/01/konflik-kepulauanseparatly.html:diakses pada 30 Desember 2013 pukul 15.00

10
berdasarkan peta Batas Landas Kontinen Malaysia tahun 1979, yang mencakup sebagian dari
Kepulauan Spartly. Dua kelompok gugus pulau lain, juga diklaim Malaysia sebagai
wilayahnya yaitu Terumbu Laksamana yang diduduki oleh Filipina dan Amboyna yang
diduduki Vietnam. Sementara Brunei Darussalam yang memperoleh kemerdekaan secara
penuh dari Inggris pada 1 Januari 1984 kemudian juga ikut mengklaim wilayah di Kepulauan
Spratly. Namun, Brunei hanya mengklaim peraian dan bukan gugus pulau. Akhirnya, Taiwan
mengklaim Kepulauan Spratly sebagai bagian dari warisan kekaisaran Cina dengan dalih yang
sama dengan dalih klaim yang diajukan Cina.27
Klaim tumpang tindih tersebut mengakibatkan adanya pendudukan terhadap seluruh
wilayah kepulauan bagian selatan kawasan Laut Cina Selatan. Sampai saat ini, negara yang
aktif menduduki di sekitar kawasan ini adalah Taiwan, Vietnam, Filipina, dan Malaysia.
Sementara Cina sendiri baru menguasai kepulauan tersebut pada tahun 1988, secara agresif
membangun konstruksi dan instalansi militer serta menghadirkan militernya secara rutin di
kepulauan tersebut.
Sikap dan tindakan Cina itu merupakan bentuk frontal penolakan terhadap serentetan
protes yang dilakukan Vietnam dan seruan agar diadakan perundingan-perundingan mengenai
Kepulauan Spratly. Hal ini semakin jelas karena Cina berusaha mengukuhkan kehadirannya
di Laut Cina Selatan secara de jure, dengan mengeluarkan Undang-Undang tentang Laut
Teritorial dan Contiguous Zone pada tanggal 25 Februari 1992, dan telah diloloskan parlemen
Cina yang memasukkan Kepulauan Spratly sebagai wilayahnya. Secara de facto, Cina telah
memperkuat kehadiran militernya di kawasan tersebut serta melakukan modernisasi kekuatan
pertahanan menuju ke arah tercapainya armada samudera.28

3.3 Upaya Diplomasi Preventif Indonesia dalam Konflik Laut Cina Selatan
Indonesia sebagai negara penengah yang ditunjuk untuk menangani konflik di
kawasan Laut Cina Selatan juga memiliki latar belakang tersendiri. Keterlibatan Indonesia
bukan tanpa alasan yang sifatnya strategis. Indonesia diharuskan untuk turut terlibat demi
27

Dilema Keamanan ASEAN dalam Konflik Laut CIna Selatan


http://dewitri.wordpress.com/2009/01/03/dilema-keamanan-asean-dalam-konflik-laut-cina-selatan/. Diakses pada
30 Desember 2013 pukul 15.13
28

Ibid

11
mencapai kepentingan ekonomi nasional. Lebih lanjut, apabila kawasan di Laut Cina Selatan
dapat kembali tertib dan bebas dari segala ancaman, maka aktivitas perdagangan dan
eksplorasi alam Indonesia di kawasan ini pun dapat berjalan lancar.29
Terlepas dari upaya Indonesia untuk mencapai kepentingan ekonomi nasional,
ancaman lain terhadap pelanggaran hukum laut, kekerasan navigasi serta kedaulatan menjadi
kepentingan lain untuk senantiasa diperjuangkan. Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki
pertimbangan bahwa apabila terdapat kerusakan lingkungan di kawasan Laut Cina Selatan
akan secara tidak langsung turut berdampak bagi ekosistem di perairan Indonesia.30 Lain hal
ketika Indonesia berusaha melakukan sekuritisasi disekitar Laut Natunayang berlimpah
akan gas alam. Kepentingan Indonesia untuk menarik garis perbatasan ini disebabkan oleh
ancaman dari Cina , yang apabila tetap bersikeras mempertahankan bukti historis melalui peta
yang dibuat pada tahun 1947, akan menyebabkan interupsi pada wilayah Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE) serta landas kontinen Indonesia.31
Oleh karena itu, peran Indonesia ditunjukkan melalui sejumlah perundingan yang
dibentuk diantara negara-negara yang bertikai. Salah satu wujud upaya Indonesia adalah
dengan melaksanakan South China Sea Informal Meetings yang diadakan hampir setiap
tahun.32 Signifikansi pertemuan ini menghasikan sebuah kesepakatan antara Indonesia dan
negara-negara yang bertikai untuk mendirikan sebuah wilayah politik guna melancarkan
hubungan diplomatik dan kerjasama satu sama lain. Selain itu, usaha untuk meningkatkan
confidence building measures menjadi bagian penting disetiap agenda pertemuan.33 Selain
South China Sea Informal Meetings, upaya Indonesia juga diwujudkan dalam sejumlah
perundingan damai lainnya, seperti Technical Working Groups (TWGs), Groups of Experts
(GEs) dan Study Groups (SGs).34
Penggunaan mekanisme diplomasi preventif memberikan pengaruh yang cukup
determinan dalam penyelesaian konfilik secara damai. Negara-negara terkait menyadari
bahwa konfrontasi militer yang dilakukan sebelumnya hanya akan berdampak buruk bagi

29

Indonesia, Motor Diplomatik ASEAN http://tarafaza.wordpress.com. diakses pada 1 Januari 2014 pukul
08.04
30
Ibid.
31
Ibid.
32
Peran Diplomasi Preventif Indonesia http://fitriyaniriduan.blogspot.com/2008/07/peran-diplomasi-preventifindonesia.html diakses pada 1 Januari 2014 pukul 13.20
33
Ibid.
34
Ibid.

12
semua pihak serta anggaran biaya yang terlalu besar. Sebagai negara yang memprakarsai pola
interaksi second track diplomacy dalam upaya penyelesaian konflik di kawasan Laut Cina
Selatan,partisipasi Indonesia diakui dunia internasional sebagai pihak aktif dalam mencari
celah konsolidasi politik dan menyerukan arti penting kawasan Laut Cina Selatan yang tidak
hanya dianggap signifikan bagi negara-negara yang beradadi wilayah sekitarnya melainkan
turut dirasakan demikian bagi dunia internasional.35

35

Ibid.

13
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Konflik di kawasan Laut Cina Selatan merupakan konflik yang cukup rumit. Dengan
melibatkan enam negara beserta kepentingan masing-masing negara menyebabkan tingkat
kompleksitas konflik ini semakin tinggi. Hal ini turut berpengaruh pada kompleksitas
keamanan regional, dalam hal ini ASEAN sebagai organisasi tunggal di kawasan Asia
Tenggara tampil sebagai lahan representatif bagi empat negara anggota ASEAN yang terlibat.
Walaupun Indonesia tidak secara langsung terlibat, namun potensi ancaman dari konflik ini
tetap harus dihadapi Indonesia. Argumen ini didasarkan pada asumsi bahwa konflik yang
terjadi disebuah kawasan dapat menimbulkan suatu instabilitas keamanan pada wilayah lain
karena adanya suatu interdependensi antara satu kawasan dengan kawasan lainnya.
Diplomasi menjadi tonggak penting dalam pencapaian kepentingan nasional sebuah
negara. Bagi Indonesia, dinamika politik global yang dinamis harus mampu dihadapi dengan
strategi yang tepat, salah satunya dalam bentuk diplomasi preventif. Wujud diplomasi
preventif dan upaya yang Indonesia impelentasikan dalam konflik di kawasan Laut Cina
Selatan adalah dengan menjaga perdamaian dan mengubah potensi konflik menjadi potensi
kerjasama melalui sejumlah perundingan damai demi terselenggaranya kerjasama yang aktif,
produktif dan efektif bagi negara-negara terkait dan tatanan dunia global. Yaitu dengan
melaksanakan South China Sea Informal Meetings, Technical Working Groups (TWGs),
Groups of Experts (GEs) dan Study Groups (SGs).
4.2 Saran
4.2.1 Bagi pemerintah Indonesia sebagai salah satu anggota ASEAN, sebaiknya
memperhatikan konflik yang terjadi di Laut Cina Selatan menanggapi dengan
serius masalah klaim teritorial yang terjadi di Laut Cina Selatan, dapat
mengambil tindakan dan melakukan penanganan secara cepat dan tepat.
4.2.2 Dalam suatu perundingan, atau pertemuan-pertemuan yang diadakan dengan
melibatkan semua negara pengklaim Laut Cina Selatan, dalam perundingan
tersebut dapat disarankan bagi negara-negara pengklaim untuk bersama-sama
dalam memanfaatkan berbagai potensi yang dimiliki Laut Cina Selatan, baik
potensi sumber daya alam, maupun potensi geografisnya. Sehingga terjadi

14
suatu kerja sama dalam pengengelolaan potensi yang dimiliki Laut Cina
Selatan secara bersama-sama.

15
DAFTAR PUSTAKA

Djelantik, Sukawarsini. 2008. Diplomasi antara Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu
Parthiana, I Wayan. 2005. Landas Kontinen dalam Hukum Laut Internasional. Bandung:
Mandar Maju
Perwita, A.A Banyu et al. 2006. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: Remaja
Rosda Karya

S.L, Roy. 1991. Diplomasi. Jakarta:Rajawali Pers


Subagyo, P. Joko. 1985. Perkembangan Hukum Laut Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia
____,_____. Hukum Laut Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta
Anne Ahira. 2013. Laut Cina Selatan. (online) (www.anneahira.com/laut-cina-selatan.htm)
diakses pada 27 Desember 2013 pukul 18.35
Anonim. 2013. Laut Cina Selatan. (online) (http://id.wikipedia.org/wiki/Laut_Cina_Selatan)
diakses pada 27 Desember 2013 pukul 18.40
Anonim1. 2013. Indonesia Berusaha Redakan Ketegangan di Laut Cina Selatan. (online)
(http://www.voaindonesia.com/content/indonesia-berusaha-redakan-ketegangandi-laut-cina-selatan/1454236.html)diakses pada 27 Desember 2013. Pukul 21.00
WIB
Anonim2. Konflik Kepulauan Spartly. (online) ( http://jurnalpolitik.blogspot.com/2009/01/konflik-kepulauan-separatly.html) diakses pada 30
Desember 2013 pukul 13.14
Dewitri. Dilema Keamanan ASEAN dalam Konflik Laut Cina Selatan. (online)
(http://dewitri.wordpress.com/2009/01/03/dilema-keamanan-asean-dalam-konfliklaut-cina-selatan/)diakses pada 30 Desember 2013 pukul 14.39
Fitriani Ridwan. Peran Diplomasi Preventif Indonesia(online)
( http://fitriyaniriduan.blogspot.com/2008/07/peran-diplomasi-preventifindonesia.html )diakses pada 1 Januari 2014 pukul 13.20
Nurlaili Laksmi. 2013. International Relations Study. (online) (http://nurlaili-laksmi-wfisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-71684-Semester%20IIIDetail%20Diplomasi.html) diakses pada 28 Desember 2013 pukul 08.00
Suci Irawati. 2013. Sengketa Wilayah Laut Cina Selatan. (online)
(http://apdforum.com/id/article/rmiap/articles/online/features/2012/12/31/aayearend-story) diakses pada 27 Desember pukul 19.38

16
Tara Faza. Indonesia, Motor Diplomatik ASEAN. (online) (http://tarafaza.wordpress.com)
diakses pada 1 Januari 2014 pukul 08.04
Yudha Kurniawan. Kontribusi Indonesia dalam Penyelesaian Konflik Laut China Selatan.
Paper ini dipresentasikan pada Konvensi Nasional Asosiasi Ilmu Hubungan
Internasional Indonesia (AIHII) II, Bandung, 201. Dalam
(http://kurniawan08.blogspot.com) diakses pada 27 Desember 2013 pukul 20.49

You might also like