You are on page 1of 4

Konflik Batas Daerah dan Isu Pemilukada Haltim 2015

Konflik Data/Informasi, Geografis dan Struktur


Penentuan batas wilayah merupakan isu strategis sejalan dengan pelaksanaan
otonomi daerah seperti diamanatkan dalam Undang Undang. Ini merupakan unsur
penting dalam daerah otonom, sebagai kesatuan hukum guna menentukan kepastian
bagi pemerintah dan masyarakat dalam melakukan interaksi hukum misalnya pada
penetapan kewajiban tertentu sebagai warga masyarakat serta pemenuhan fungsi
pelayanan umum pemerintahan dan peningkatan kesejahteraan secara luas kepada
masyarakat setempat. Selain itu, batas daerah berkaitan dengan pengelolaan sumber
daya yang dimiliki oleh suatu daerah. Bagaimana potensi sumberdaya yang dimiliki
daerah dapat dipotimalkan? Kalau batas daerah saja belum ditentukan dengan tegas.
Kemendagri (2012) dari jumlah perbatasan yang terdiri dari 966 segmen (805
adalah segmen Kab/Kota) yang terselesaikan 151 segmen dan yang sudah ditetapkan
dengan Permendagri baru 79 dan dalam proses 206 segmen sementara 681 segmen lagi
belum tersentuh. Sehingga saat ini, konflik masih menjadi fakta sosial yang terus
terjadi di berbagai pelosok negeri. Data terakhir program Sistem Nasional Pemantauan
Kekerasan (SNPK) yang dilakukan di tiga belas Provinsi termasuk Maluku Utara periode
Mei - Agustus 2014 menunjukkan masih tingginya insiden dan dampak kekerasan
dikalangan masyarakat yaitu 2.827 kejadian. Dampak dari konflik yang disebabkan
oleh sumber daya terutama karena sengketa lahan menyumbang 67 % Kerusakan dan
Korban.
Ini menunjukkan bahwa konflik terkait lahan sangat rentan, sehingga
menyebabkan adanya korban kekerasan serta pengrusakan. Terkait dengan konflik
penegasan batas daerah, Menurut Moore (1986), salah satu diantara penyebab
sengketa batas wilayah/daerah adalah konflik data/informasi. Konflik data/informasi
ini terkait kurangnya data dan informasi yang digunakan dalam mengambil keputusan,
beda cara pandang dalam menterjemahkan data dan informasi, atau beda interpretasi
dan analisis terhadap data dan informasi. Sementara itu Prescott (2010) menyebutkan
faktor geografis (klaim klasik berdasarkan batas alam) dan sejarah (klaim berdasarkan
sejarah kepemilikan (pemilikan pertama) atau lamanya kepemilikan) merupakan dua
aspek penyebab konflik. Dalam hal ini data dan infromasi geospasial yaitu kualitas
peta lampiran dari UUPD No. 1 Tahun 2003 yang tidak memenuhi syarat sebagai dasar
dalam penegasan batas daerah sebagaimana diatur dalam Permendagri No. 76 Tahun
2012. Sehingga, penandatanganan Berita Acara Kesepakatan Pemerintah Daerah

Kabupaten Halmahera Timur dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Tengah


untuk menyesuaikan Peta sebagaimana terlampir dalam UU Nomor 1 Tahun 2003 tentu
tidak memenuhi syarat data dan informasi yang cukup, serta tidak dipelajarinya
secara struktur dan geografis dalam melengkapi keterbatasan lampiran peta UU
tersebut. Pemerintah Daerah - yang menandatangani kesepatakan ini - terkesan tidak
mempedulikan faktor-faktor ini dan juga tidak mengikutsertakan masyarakat dalam
penandatanganan kesepakatan tersebut, ini kemudian memicu ketidakpuasan
masyarakat yang berakibat pada pengrusakan Kantor Bupati dan Rumdis Sekda
Kabupaten Halmahera Timur.
Masyarakat memiliki alasan kuat ketika melakukan penolakan atas kebijakan
yang terkait dengan tanah, sebab soal tanah bukan hanya soal kepemilikan atau aset,
namun tanah merupakan satu kesatuan tak terpisahkan dari komunitas dimana
berkaitan erat dengan ruang hidup, kebudayaan serta identitas masyarkat atau
komunitas (Avery Kollers ; Land, conflict and justice. A political theory of territory).

Isu Pemilukada Haltim 2015 dalam Konflik Batas Daerah.


Pada dasarnya pemerintah memiliki kuasa dalam menyelesaikan konflik karena
memiliki legitimasi untuk memaksakan (coercive), namun pada kenyataanya
pemerintah tidak bisa melakukan pemaksaan dalam penyelesain konflik yang mampu
memberikan kepuasan bagi seluruh unsur yang terlibat. Terlebih dengan kasus konflik
batas teritorial yang terjadi saat ini, karena kebijakan dari pihak pemerintah
merupakan bagian utama yang menjadi sumber terjadinya penolakan oleh masyarakat
(konflik).
Sejauh ini upaya yang dibangun oleh masyarakat setelah beberapa warga yang
ditahan atas dugaan sebagai pelaku pengrusakan, kemudian terbentuknya tim
Penegasan Batas Daerah (PBD), bukan berarti bahwa konflik tersebut telah benarbenar selesai, sebab konflik bukan hanya ketika kekerasan secara fisik terjadi seperti
yang diungkapkan oleh Cahn dan Lulofs bahwa conflicts are inevitable part of our
interaction with others - bagian tak terelakkan dari interaksi kita dengan orang lain,
hal ini berarti selama interaksi terjadi, maka konflik sangat tidak bias dihindari.
Terlebih jika ada kelompok masyarakat yang merasa tidak puas akibat kebijakan yang
dibuat oleh pemerintah terkait dengan batas wilayah yang sangat potensial
menimbulkan gerakan sosial (social movements) yang lebih besar jika tidak benarbenar diselesaikan secara adil dan dapat di terima oleh seluruh pihak terkait.

Dalam rangka mendukung upaya penyelesaian Penegasan Batas Daerah yang


terkesan terlambat akibat kelalaian pemerintah daerah ini. Maka, pembentukan tim
semestinya dibuat oleh pihak independen dalam hal ini pemerintah Provinsi, atau
unsur pemerintah yang diatas Kabupaten, karena jika di bentuk oleh pemerintah
ditingkatan kabupaten berpotensi memiliki tendensi politik yang tinggi. Dalam hal ini
bisa di bentuk oleh pihak provinsi dan melibatkan seluruh pihak terkait dan ahli
professional yang independen. Lalu kemudian melakukan penelitian dokumen oleh
terhadap dokumen yang berkaitan dengan batas daerah seperti : Peraturan Daerah
tentang batas daerah pada kabupaten induk sebelum adanya pemekaran, dokumen
pemekaran daerah, prasasti atau riwayat adat mengenai batas daerah dan lain-lain,
yang melibatkan pimpinan-pimpinan desa, serta tokoh adat (Sangaji Bicoli) secara
geografis dan adat (struktur) mencakup kawasan batas wilayah yang sementara
disengketakan dan merasa dirugikan dalam sengketa ini.
Langkah diatas berkemungkinan dapat membantu penyelasain konflik secara
damai untuk menghindari gerakan sosial (Social movements) yang berpotensi
mengakibatkan kerugian materil ataupun moril bagi banyak pihak. Dharmawan
(Sosiolog IPB) menyebutkan bahwa apapun bentuk benturan sosial yang berlangsung
akibat dari konflik sosial, maka akibatnya akan selalu sama yaitu stress sosial,
kepedihan (bitterness), disintegrasi sosial yang seringkali juga disertai oleh
musnahnya aneka aset-aset material dan non-material. Kehancuran aset - aset nonmaterial yang paling nampak ditemukan dalam wujud dekapitalisasi modal sosial
yang ditandai oleh hilangnya kepercayaan (trust) di antara para - pihak yang bertikai,
rusaknya networking, dan hilangnya compliance (kepatuhan) pada tata aturan norma
dan tatanan sosial yang selama ini disepakati bersama-sama.
Perlu diingat bahwa, berapa tahun sebelum ini telah terjadi gesekan
antarwarga yang berada diderah perbatasan dari kedua wilayah ini. Upaya-upaya
nonlitigasi juga telah dilakukan oleh warga dalam beberapa pekan sebelumnya, tidak
menunjukkan progressifitas penyelesaian yang lebih baik juga dikarenakan tidak
mendapat tanggapan positif, karena para pemimpin daerah selalu berada diluar
haltim. Kondisi ini tentu tidak memberi warga kepercayaan dan juga sangat
mengganggu aktifitas pemerintah, kesannya pemerintah daerah tak mampu
menyelesaikan konflik ini sehingga berlarut-larut. Untuk menghindari konflik,
sebagaimana diatur dalam PERMENDAGRI No. 76 Tahun 2012, bahwa tim yang
dibentuk, segera mengambil keputusan menyelesaikan masalah ini. Mengingat saat
ini, beberapa masyarakat yang terlibat dalam kasus tersebut, telah ditahan oleh pihak
kepolisian. Tentu ini sangat mempengaruhi kondisi rumah tangga serta suasana
psikologis masyarakat secara umum.

Hingga saat ini, belum ada kemajuan menuju titik penyelesain sengketa,
kondisi ini juga sangat mungkin dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu sebagai
komoditas politik menjelang Pilkada Haltim 2015. Terlebih saat ini, sudah terdengar
gonjang ganjing politisasi dari akar aksi masyarakat yang berujung pada pengrusakan
Kantor Bupati dan Rumdis Sekda. Jika data/informasi, penentuan geografis dan
stuktur telah tersedia dan dapat dipahami dengan baik, tetap menjaga emosi dari
perilaku negatif. Maka kemudian yang diperlu dihindari selanjutnya - meskipun hampir
juga tak bisa menghindari - adalah politisasi (konflik elit politik di pedesaan) yang
tidak bersesuaian dengan kerja-kerja tim, bahkan dengan tegas tim harus menolak
dimanfaatkan dan tetap fokus menyelesaikan konflik penegasan batas daerah. Seluruh
stakeholder yang terkait perlu menciptakan keterkaitan politisasi, karena yang
diperlukan adalah niatan dan itikad baik untuk segera menyelesaikan konflik tapal
batas, tidak hanya mondar mandir diluar daerah, segera selesaikan demi menghindari
benturan sosial yang dapat merusak tatanan kehidupan bermasyarakat Halmahera
Timur. Terima kasih.

You might also like