Professional Documents
Culture Documents
Tuberculosa Paru
Dokter Pembimbing :
dr. Luluk Adipratikto, Sp.P, M.Kes
Disusun Oleh :
Christian Salim
(11.2013.296)
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN
RUMAH SAKIT MARDI RAHAYU KUDUS
BAB I
PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) paru adalah salah satu dari penyakit yang paling menular dan
mematikan di seluruh dunia. M tuberkulosa adalah organisme penyebab infeksi TB yang
menginfeksi sepertiga dari jumlah populasi dunia. Pada tahun 2009, terdapat 9.4 juta kasus
baru di seluruh dunia dengan 1.7 juta orang menderita karena infeksi tersebut. Di United
States, diperkirakan 11 juta orang terinfeksi M Tuberculosa.1 Sekitar 75% pasien TB adalah
kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15 20 tahun). Diperkirakan seorang
pasien TB dewasa, akan kehilangan rata rata waktu kerjanya 3 4 bulan. Hal tersebut
berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20 30%. Jika ia
meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain
merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial stigma
bahkan dikucilkan oleh masyarakat.
Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara lain adalah:
Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara negara yang
sedang berkembang
Pengobatan kasus TB merupakan salah satu strategi utama pengendalian TB karena dapat
memutuskan rantai penularan. Meskipun program pengendalian TB nasional telah berhasil
mencapai target angka penemuan dan angka kesembuhan, penatalaksanaan TB di sebagian
besar RS dan praktik swasta belum sesuai dengan strategi Directly Observed Treatment
Short-Course (DOTS) dan penerapan standar pelayanan berdasar Internasional Standards
For Tuberculosis Care (ISTC).
Ketidakpatuhan untuk berobat secara teratur bagi penderita TB tetap menjadi hambatan
untuk mencapai angka kesembuhan yang tinggi. Tingginya angka putus obat mengakibatkan
tingginya kasus resistensi kuman terhadap OAT (obat anti TB) yang membutuhkan biaya
yang lebih besar dan bertembahnya lamanya pengobatan. Banyak faktor yang memengaruhi
terjadinya kasus putus obat pada pasien TB paru. Komunikasi yang baik antara petugas
kesehatan dengan pasien merupakan faktor penting
pengobatan.
Penelitian di India pada tahun 2004 menyimpulkan bahwa putus obat berhubungan
dengan jenis kelamin, konsumsi alkohol, usia, status pengobatan TB dan jumlah kuman BTA
pada awal pemeriksaan. Penelitian di Uzbekistan pada tahun 2005 menyatakan bahwa putus
obat juga berhubungan dengan status pekerjaan. Selain itu juga terdapat beberapa penelitian
lain yang menyatakan bahwa putus obat berhubungan dengan status perkawinan, jarak rumah
ke tempat pengobatan (RS), penghasilan, efek samping pengobatan, tingkat pendidikan,
penyakit penyerta (DM, hepatitis, tumor paru, dll), sumber biaya pengobatan, jenis
pengobatan yang digunakan dan pengawas menelan obat (PMO).3.4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi kasus TB
Definisi kasus TB dibagi menjadi dua, yaitu:
Kasus TB definitif adalah kasus dengan salah satu dari spesimen biologis positif
dengan pemeriksaan mikroskopis apusan dahak, biakan atau diagnostik cepat yang
telah disetujui oleh WHO (seperti Xpert MTB/RIF). (Pada revisi guideline WHO
tahun 2013 definisi kasus TB definitif ini direvisi menjadi kasus TB dengan
konfirmasi bakteriologis).
Kasus TB diagnosis klinis adalah kasus TB yang tidak dapat memenuhi kriteria
konfirmasi bakteriologis walau telah diupayakan maksimal tetapi ditegakkan
diagnosis TB aktif oleh klinisi yang memutuskan untuk memberikan pengobatan TB
berdasarkan foto toraks abnormal, histologi sugestif dan kasus ekstraparu. Kasus yang
ditegakkan diagnosis secara klinis ini bila kemudian didapatkan hasil bakteriologis
positif (sebelum dan setelah pengobatan) harus diklasifikasikan kembali sebagai kasus
TB dengan konfirmasi bakteriologis. 3
Klasifikasi TB
Diagnosis TB dengan konfirmasi bakteriologis atau klinis dapat diklasifikasikan berdasarkan:
hasil bakteriologis dan uji resistensi OAT; (pada revisi guideline WHO tahun 2013
hanya tercantum resisten obat)
status HIV.
setelah
bakteriologis.
diupayakan
semaksimal
mungkin
dengan
konfirmasi
Kasus baru adalah pasien yang belum pernah mendapat OAT sebelumnya atau
riwayat mendapatkan OAT kurang dari 1 bulan.
bila HIV negatif (atau status HIV tidak diketahui tetapi tinggal di daerah dengan
prevalens HIV rendah), tidak respons dengan antibiotik spektrum luas (di luar
OAT dan fluorokuinolon dan aminoglikosida).
Kasus TB paru tanpa pemeriksaan apusan dahak tidak diklasifikasikan apusan negatif tetapi
dituliskan sebagai apusan tidak dilakukan 3
Kasus TB dengan HIV positif adalah kasus TB konfirmasi bakteriologis atau klinis
yang memiliki hasil positif untuk tes infeksi HIV yang dilakukan pada saat ditegakkan
diagnosis TB atau memiliki bukti dokumentasi bahwa pasien telah terdaftar di register
HIV atau obat antiretroviral (ARV) atau praterapi ARV.
Kasus TB dengan HIV negatif adalah kasus TB konfirmasi bakteriologis atau klinis
yang memiliki hasil negatif untuk tes HIV yang dilakukan pada saat ditegakkan
diagnosis TB. Bila pasien ini diketahui HIV positif di kemudian hari harus
disesuaikan klasifikasinya.
Gejala klinis
Suspek TB adalah seseorang dengan gejala atau tanda sugestif TB Gejala umum TB
adalah batuk produktif lebih dari dua minggu yang disertai gejala pernapasan seperti sesak
napas, nyeri dada, batuk darah dan / atau gejala tambahan seperti menurunnya nafsu makan,
menurun berat badan, keringat malam dan mudah lelah.3 Batuk kronis adalah gejala yang
paling umum ditemukan pada TB paru. Pada awalnya batuk bersifat kering, tetapi biasanya
menjadi batuk produktif dengan sputum purulen akibat progresifitas infeksi TB. Bercak darah
pada sputum umum terjadi, tetapi hemoptisis yang signifikan jarang terjadi dan bisa
mengancam nyawa pada kasus yang lanjut. Sesak napas jarang terjadi, tetapi muncul jika
infeksi sudah meluas. Asimptomatik bisa terjadi pada kasus yang jarang. 1.4
Diagnosis tuberkulosis
Diagnosis TB ditegakkan berdasarkan terdapatnya paling sedikit satu spesimen
konfirmasi M. tuberculosis atau sesuai dengan gambaran histologi TB atau bukti klinis sesuai
TB.
Semua pasien dengan riwayat OAT. TB resisten obat banyak didapatkan pada pasien
dengan riwayat gagal terapi.
Semua pasien dengan HIV yang didiagnosis TB aktif khususnya mereka yang tinggal
di daerah dengan prevalens sedang atau tinggi TB resisten obat.
Semua pasien baru di daerah dengan kasus TB resisten obat primer >3%.
WHO juga merekomendasi uji resistensi obat selama pengobatan berlangsung pada situasi
berikut ini:
Pasien baru atau riwayat OAT dengan apusan dahak BTA tetap positif pada akhir fase
intensif maka sebaiknya melakukan apusan dahak BTA pada bulan berikutnya. Jika
hasil apusan BTA tersebut masih positif maka biakan M. tuberculosis dan uji
resistensi obat atau pemeriksaan Xpert MTB/RIF harus dilakukan. 3
Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini
pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB
paru BTA positif.
Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT.
Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan
penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis eksudativa, efusi perikarditis atau
efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan
bronkiektasis atau aspergiloma).2
resisten obat dengan uji kepekaan obat konvensional masih digunakan sebagai baku emas
(gold standard). Penggunaan Xpert MTB/RIF tidak menyingkirkan kebutuhan metode biakan
dan uji resistensi obat konvensional yang penting untuk menegakkan diagnosis definitif TB
pada pasien dengan apusan BTA negatif dan uji resistensi obat untuk menentukan kepekaan
OAT lainnya selain rifampisin.3
Diagnosis TB ditegakkan berdasarkan terdapat paling sedikit satu spesimen
konfirmasi M. tuberculosis atau sesuai dengan gambaran histologi TB atau bukti klinis dan
radiologis sesuai TB.
*PNPK TB 20133
*PNPK TB 20133
Semua pasien (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum pernah diobati
harus diberi paduan obat yang disepakati secara internasional menggunakan obat yang
bioavailabilitasnya telah diketahui. Fase inisial seharusnya terdiri atas isoniazid, rifampisin,
pirazinamid, dan etambutol. Fase lanjutan seharusnya terdiri atas isoniazid dan rifampisin
yang diberikan selama 4 bulan. Dosis obat anti TB yang digunakan harus sesuai dengan
rekomendasi internasional. Kombinasi dosis tetap yang terdiri atas kombinasi 2 obat
(isoniazid), 3 obat (isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid), dan 4 obat (isoniazid, rifampisin,
pirazinamid, dan etambutol) sangat direkomendasikan. 3
Paduan 2RHZE/6HE didapatkan lebih banyak menyebabkan kasus kambuh dan kematian
dibandingkan paduan 2RHZE/4RH. Berdasarkan hasil penelitian metaanalisis ini maka WHO
merekomendasikan paduan 2RHZE/4RH dengan asumsi atau diketahui peka OAT.
Pasien yang menerima OAT tiga kali seminggu memiliki angka resistensi obat yang lebih
tinggi dibandingkan dengan yang menerima pengobatan harian. Oleh sebab itu WHO
merekomendasikan pengobatan dengan paduan harian sepanjang periode pengobatan OAT
(2RHZE/4RH) pada pasien dengan TB paru kasus baru (rekomendasi A) dengan alternatif
paduan 2RHZE/4R3H3 (rekomendasi B) yang harus disertai pengawasan ketat secara
langsung oleh pengawas menelan obat (PMO).2,11 Obat program yang berasal dari
pemerintah Indonesia memilih menggunakan paduan 2RHZE/4R3H3 dengan pengawasan
ketat secara langsung oleh PMO.3
Global Plan to Stop TB 2006-2015 mencanangkan target untuk semua pasien dengan
riwayat pengobatan OAT harus diperiksa uji resistensi OAT pada awal pengobatan. Uji
resistensi obat dilakukan sedikitnya untuk isoniazid dan rifampisin dan tujuannya adalah
mengidentifikasi TB resisten obat sedini mungkin sehingga dapat diberikan pengobatan yang
tepat.
Jenis pengobatan OAT ulang bergantung pada kapasitas laboratorium daerah
setempat. Bila terdapat laboratorium yang dapat melakukan uji resistensi obat berdasarkan uji
molekular cepat dan mendapatkan hasil dalam 1-2 hari maka hasil ini digunakan untuk
menentukan paduan OAT pasien. Bila laboratorium hanya dapat melakukan uji resistensi
obat konvensional dengan media cair atau padat dan mendaparkan hasil dalam beberapa
minggu atau bulan maka daerah tersebut sebaiknya menggunakan paduan empiris sambil
menunggu hasil uji resistensi obat. Pasien dengan kasus seperti ini dapat menerima kembali
paduan OAT lini pertama (2RHZES/1RHZE/5RHE). Perlu dicatat bahwa pengobatan ulang
dengan paduan OAT lini pertama ini tidak didukung oleh bukti uji klinis. Metode ini didesain
untuk digunakan pada daerah dengan prevalens rendah TB resisten obat primer dan bagi
pasien yang sebelumnya diobati dengan paduan yang mengandung rifampisin pada fase 2
bulan pertama.
Neuropati perifer seperti kebas atau rasa seperti terbakar pada tangan atau kaki sering
terjadi pada perempuan hamil, infeksi HIV, penyalahgunaan alkohol, malnutrisi, diabetes,
penyakit hati kronik, gagal ginjal. Pada pasien seperti ini sebaiknya diberikan pengobatan
pencegahan dengan piridoksin 25 mg/ hari bersama dengan OAT.
Efek tidak diinginkan OAT dapat diklasifikasikan mayor dan minor. Pasien yang
mengalami efek samping OAT minor sebaiknya melanjutkan pengobatan dan diberikan terapi
simptomatik. Pada pasien yang mengalami efek samping mayor maka paduan OAT atau
OAT penyebab sebaiknya dihentikan pemberiannya. 3
*PNPK TB 20133
BAB III
LAPORAN KASUS
I.
IDENTITAS
Usia : 26 tahun
Agama : Islam
Pendidikan: SMP
Pekerjaan : Penjahit
Ruang : cempaka 1
II.
PEMERIKSAAN SUBJEKTIF
Riwayat penyakit dahulu : asma (-), alergi (-), TB (+) , hipertensi (-), DM (-)
Riwayat penyakit keluarga : asma (-), alergi (-), TB (-), hipertensi (-), DM (-)
Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien bekerja sebagai penjahit. Biaya pengobatan ditanggung BPJS
Kesan : Ekonomi kurang.
III.
PEMERIKSAAN OBJEKTIF
Keadaan Umum
: Tampak lemas
Kesadaran
: Compos Mentis
Tanda Vital
Tekanan Darah
: 110 / 70 mmHg
Nadi
Frekuensi Napas
: 26 x / menit
Suhu
: 37,5C
Berat badan
: 40 Kg
Tinggi badan
: 150 cm
BMI
: 17.8 (kurang)
Pemeriksaan fisik
Kulit
Kepala
Mata
: Oedem palpebra (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
(3 mm) (+/+), reflek cahaya dan konsensual (+/+)
Hidung
: pernafasan cuping hidung (-), deviasi septum (-), sekret (-), darah (-)
Telinga
Mulut
: bibir sianosis (-), bibir kering (-), T1-T1, faring hiperemis (-)
Leher
: JVP (5-2 cm), tidak ada pembesaran kelenjar getah bening dan kelenjar tiroid
Thorax
Anterior
Inspeksi
Bentuk
thorax
normal,
Posterior
pernapasan Vertebra
normal,
tipe
pernapasan
torako
Sela iga tidak melebar, nyeri tekan (-), Fremitus taktil simetris,
fremitus simetris, ictus cordis teraba 1 cm nyeri tekan (-)
medial ICS IV linea midclavicula sinistra
Perkusi
paru
hati
di
ICS
linea paru
midclavicula dextra
Batas jantung kanan = ICS IV linea
sternalis dextra, atas = ICS II linea
sternalis sinistra, pinggang = ICS III linea
parasternalis sinistra, kiri = ICS V linea
midclavicula sinistra
Auskultasi
(+)
kasar (+)
Abdomen
Inspeksi
dan
ronki
basah
IV.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Pasien
Nilai normal
Hemoglobin
13.3
Leukosit
9.9
4.0-12.0 10^3/ul
Eosinofil
L 0.6
2-4%
Basofil
1.0
0-1%
Neutrofil
65.1
50-70%
Limfosit
L 18.5
25-40%
Monosit
H 14.5
2-8%
MCV
81.7
80-100 fl
MCH
L 22.8
27-31 pg
MCHC
L 27.9
33-37 g/dl
Hematokrit
H 47.7
36-47 %
Trombosit
H 454
150-400 10^3/ul
Eritrosit
5.84
4.4-5.9 jt/dl
RDW
13.2
10-15 %
PDW
L 9.8
10-18 fl
MPV
9.0
6.5-11 fl
V.
Daftar abnormalitas
Anamnesis
1. Sesak nafas 7 hari
2. Batuk produktif 7 hari dan riwayat batuk lama 6 tahun
3. lemas, meriang & keringat malam hari
4. tidak nafsu makan
5. riwayat TB paru 1 tahun dengan hanya 3 hari pengobatan
Pemeriksaan fisik
1. wheezing & rhonki basah kasar pada lapang paru dextra anterior dan posterior.
2. Retraksi sela iga
Pemeriksaan penunjang
1. Hematokrit : 47.7 ()
2. Eosinofil : 0,6 % ()
3. Limfosit : 18.5 ()
4. Monosit : 14.5 ()
5. Trombosit : 454 ribu ()
6. PDW : 42.6 ()
7. Pemeriksaan apusan BTA sputum pertama 27 08 2014 = + 3
8. Pemeriksaan apusan BTA sputum kedua 28 08 2014 = + 2
VI.
Assestment
1. TB paru
Initial Plan Diagnosis
-
TTV
Initial
Plan
Konsultasi tentang penyakit pasien, pengobatan dan efek samping OAT kepada pasien
dan keluarganya
VII.
Education
PROGNOSIS
Ad vitam
: dubia ad bonam.
Ad functionam
: dubia ad bonam
Ad sanationam
: dubia
Kesimpulan
Pada anamnesis didapatkan gejala klinis TB paru dimana pasien ada keluhan batuk
produktif lebih dari dua minggu yang disertai gejala pernapasan yaitu sesak napas dengan
gejala tambahan yaitu menurunnya nafsu makan, keringat malam dan mudah lelah. Pasien
juga mempunyai riwayat pengobatan TB satu tahun lalu dengan riwayat pengobatan OAT
selama tiga hari.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pernafasan 26x permenit (takipneu), suara napas di
lapang paru dextra baik anterior dan posterior didapatkan wheezing dan ronki basah kasar.
Pada pemeriksaan apusan BTA pertama didapatkan +3 dan kedua didapatkan +2.
Meskipun pasien mempunyai riwayat pengobatan TB, pasien ini diklasifikasikan
dengan TB kasus baru karena pasien menjalani pengobatan selama kurang dari 1 bulan (3
hari) dimana akan diberi OAT yang terdiri dari 2RHZE fase inisial dan 4 RH selama 4 bulan.
Pasien juga diberi obat pengencer dahak yaitu ambroxol untuk batuk produktif.
Pasien perlu dipantau mengenai respon pengobatannya. Pasien diminta melaporkan
gejala TB yang menetap atau muncul kembali, gejala efek samping OAT atau terhentinya
pengobatan. Berat badan pasien harus dipantau setiap bulan dan dosis OAT disesuaikan
dengan perubahan berat badan. Pasien juga akan dilakukan apusan dahak BTA pada akhir
bulan kedua untuk memantau respon pengobatannya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Papadakis M, Mcphee SJ. Current Medical Diagnosis & Treatment 2014. Edisi 1. Mc
Graw Hill; 2014 h. 450-52.
2. Departemen Kesehatan RI .Pedoman nasional penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2.
Depkes RI: 2007.h.4-17
3. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman nasional pelayanan kedokteran tatalaksana
tuberkulosis. Edisi 1.Kemkes RI: 2013.h.22- 41
4. Amin Z, Bahar A. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid III. Edisi V. Jakarta: EGC;
2009.h.2230-48