You are on page 1of 21

BAB I

KASUS
I.

IDENTITAS PASIEN
Nama
: An. M.R.P
Umur
: 6 bulan 6 hari
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Klender
Tanggal Masuk : 29 September 2014
Tanggal Keluar : 3 Oktober 2014
Ruang Rawat
: Bougenville Atas

II.

IDENTITAS ORANG TUA / WALI

Nama
Umur
Umur saat menikah
Pekerjaan
Pendidikan
Penghasilan
Alamat

Agama
Suku Bangsa
III.

Ayah/wali
Tn. Rosadi
24 tahun
22 tahun
Wiraswasta
SMA
Rp 2.000.000,00 / bulan
Kel. Klender Kec. Duren
Sawit Kab. Kota Jakarta Timur
DKI Jakarta
Islam
Betawi

Ibu/wali
Ny. Ruli
21 tahun
19 tahun
Ibu Rumah Tangga
SMA
Kel. Klender Kec. Duren
Sawit Kab. Kota Jakarta
Timur DKI Jakarta
Islam
Betawi

ANAMNESIS
Berdasarkan Alloanamnesis dengan Ibu Pasien tanggal 29 September pukul 15.00
Keluhan Utama
: Sesak nafas yang semakin memberat sejak 10 jam SMRS
Keluhan Tambahan
: Batuk, demam, pilek, nafsu makan berkurang
Riw. Penyakit Sekarang :
Sejak 2 hari SMRS pasien batuk, batuk berdahak berwarna putih kental, darah (-).
Batuk timbul mendadak dan terjadi terus menerus, tidak berhubungan dengan waktu,
batuk juga disertai dengan pilek. Demam (+), demam timbul perlahan pada sore hari,
dengan suhu berkisar antara 38C hingga 38,5C, demam dirasakan naik turun, naik
saat sore dan malam hari dan mereda saat pagi hari, namun suhu tidak pernah
mencapai normal. Menggigil (-), kejang (-), BAB cair (-), BAK normal, penurunan
kesadaran (-), ruam ruam kemerahan pada kulit (-), penurunan BB tidak diketahui
secara pasti. Pasien juga menjadi sulit makan, muntah (-), sesak (-). Pada malam hari
1

pasien dibawa ke bidan dan diberikan obat Paracetamol syrup dan obat batuk syrup,
namun setelah minum obat, demam hanya turun beberapa saat kemudian naik lagi
dan batuk tidak ada perubahan.
Sejak 1 hari SMRS pasien sesak, sesak timbul mendadak saat siang hari, sesak
tidak disertai suara ngik-ngik maupun bunyi seperti orang mengorok. Saat itu ibu
pasien mengatakan pasien terlihat bernapas pendek dan cepat, sesak tidak
berhubungan dengan aktifitas, cuaca dan keadaan lingkungan seperti dingin atau
debu. Biru pada sekitar mulut atau pada ujung jari tangan atau kaki disangkal, sesak
juga tidak dipengaruhi oleh perubahan posisi. Riwayat tersedak saat minum ASI
disangkal, trauma disangkal, keluhan demam, batuk dan pilek menetap. Muntah (+),
muntah dialami pasien sebanyak 3 kali dalam sehari, berisi ASI yang diminum oleh
pasien.
Sejak 10 jam SMRS sesak dirasakan semakin memberat, anak terlihat seperti
megap-megap dan bernafas pendek dan cepat, pasien tampak gelisah, sesak tidak
disertai suara ngik-ngik dan bunyi seperti mengorok. Biru pada sekitar mulut dan
ujung jari tangan atau kaki disangkal. Ibu pasien kemudian membawa pasien ke IGD
Bunda Aliyah kemudian pasien dirujuk ke Rumah Sakit Persahabatan.
Riw. Penyakit Dahulu

Keluhan sesak nafas sebelumnya :

Alergi

Asma

Penyakit Jantung

Penyakit Ginjal

Penyakit Paru

Trauma

Riw. Penyakit Keluarga

Keluhan serupa (sesak nafas) tidak ada, Riwayat atopi (asma, Rhinitis dan
Dermatitis) disangkal, riwayat kontak TB disangkal. Ibu pasien diketahui mengalami
batuk dan pilek 1 minggu sebelum pasien masuk rumah sakit.
Riw. Sosial dan Lingkungan
Pasien tinggal di lingkungan padat penduduk. Tinggal di rumah bersama
Ayah dan Ibunya. Ayah pasien bekerja sebagai wiraswasta dan Ibu pasien bekerja
sebagai Ibu Rumah Tangga. Rumah pasien beralaskan ubin, berdinding tembok,
2

jendela hanya berada di depan rumah. Jumlah kamar ada dua dengan satu kamar
mandi dengan WC jongkok. Rumah berada di pinggir jalan, tidak terdapat sungai dan
pabrik di sekitar rumah pasien. Ayah pasien memiliki kebiasaan merokok di rumah,
tidak ada tetangga maupun warga sekitar rumah yang memiliki keluhan serupa.
Riwayat Antenatal:
Perawatan antenatal biasanya rutin dilakukan di bidan dekat rumah.
Trimester 1, kontrol setiap 4 minggu sekali, didapatkan bayi tunggal,
tafsiran berat sesuai dengan usia, kelainan/cacat (-). Demam, keputihan, batuk-pilek,
infeksi selama kehamilan trimester 1 disangkal.
Trimester 2, kontrol setiap 2 minggu sekali. Tafsiran berat sesuai masa
kehamilan, DJJ (+), kelainan/cacat (-). Demam, keputihan, batuk-pilek, infeksi lain
selama kehamilan trimester 2 disangkal.
Trimester 3, kontrol setiap 1 minggu sekali, Tafsiran berat sesuai masa
kehamilan. Kelainan cacat/bawaan (-). Demam, keputiha, batuk-pilek, infeksi lain
selama kehamilan trimester 3 disangkal.
Penggunaan obat-obatan selama kehamilan disangkal. Ibu pasien hanya
mengkonsumsi suplemen zat besi yang mulai diberikan pada trimester ke-2.
Kesan

: kontrol rutin, kelainan selama kehamilan tidak ada

Riwayat Kelahiran
Pasien merupakan anak pertama dari pernikahan pertama. Lahir spontan di
RSP dibantu oleh dokter pada usia kehamilan 38 minggu, dengan berat badan lahir
3250 gr, panjang badan lahir 48 cm, langsung menangis spontan, nilai APGAR tidak
tahu, tidak ada kelainan bawaan, riwayat biru maupun kuning (-)
Kesan : bayi lahir spontan, neonatus cukup bulan, sesuai masa kehamilan,
dengan riwayat persalinan baik

Riwayat nutrisi
UMUR
0-3 bulan
3-saat ini

Kesan

ASI/PASI/SF
BUAH/BISKUIT
ASI
Susu Formula ( 1
botol susu 200
cc, 2 kali sehari)
: kualitas kurang, kuantitas kurang

BUBUR SUSU

NASI TIM

Bubur susu (2
kali sehari
mangkuk bayi)
3

Riwayat Imunisasi
Imunisasi biasanya dilakukan di Puskesmas
VAKSIN

DASAR

BCG
Hepatitis B
DPT/Polio
Campak

2 bulan
0,1,6 bulan
0,2,4 dan 6 bulan
-

ULANGAN
-

Riwayat Perkembangan
Berdasarkan Denver II
Motorik kasar : sudah dapat tengkurap
Motorik halus : sudah dapat meraih benda dan mengikuti objek
Bahasa

: sudah dapat mengoceh, berteriak dan menoleh ke arah suara

Sosial

: sudah dapat memasukkan makanan ke mulut, menggapai mainan


dan mengamati tangan

Kesan : perkembangan sesuai dengan anak seusianya


(lembar Denver II terlampir)
IV. PEMERIKSAAN FISIK (29 September 2014, pukul 16.00 di Bougenville Atas)
Kesan umum

: tampak sakit sedang, gelisah, sesak

Kesadaran

: compos mentis

Frekuensi Nadi

: 144 kali/menit, kuat, regular, isi cukup

Frekuensi Napas

: 63 kali/menit

Suhu Tubuh

: 37,1C

Berat Badan

: 6,2 kg

Panjang Badan

: 64 cm

Status Gizi
BB/U : 6,2 : 8 x 100% = 75% Gizi Kurang
4

TB/U : 64 : 67 x 100% = 95,5% normal


BB/TB : 6,2 : 7,1 x 100% - 87,3% Gizi Kurang
Kesan :Status Gizi Kurang
Kepala

: Lingkar kepala 45 cm, UUB besar belum menutup dan datar


Kesan : berdasarkan kurva Nellhaus z score lingkar kepala pada pasien
adalah -2 < z score < +2 normocephal

Rambut

: Hitam kecoklatan, distribusi merata dan tidak mudah dicabut

Mata

: edema palpebra -/- , palpebra cekung -/-, konjungtiva pucat -/-, sclera
ikterik -/-, air mata +/+, pupil isokor 2mm/2mm, reflek cahaya +/+

Telinga

: bentuk normal, liang telinga lapang, otorea -/-

Hidung

: bentuk normal, deformitas (-), sekret (-), pernapasan cuping hidung (+)

Tenggorokan

: mukosa bibir dan lidah lembab, sianosis pada bibir (-), stomatitis (-),
erupsi gigi (-), faring hiperemis (-), tonsil T1-T1 tenang

Leher

: JVP normal, massa (-), tidak terdapat pembesaran KGB servikal

Thoraks

: Bentuk dinding dada normal (normochest), deformitas (-)

Jantung

:I

: Iktus Kordis tak tampak

Pa

: Iktus Kordis teraba di ICS IV MCS, Thrilling (-)

Pe

: Batas Kiri Linea Midclavicularis Kiri


Batas Kanan Linea Parasternalis Kanan

Au

: S1 normal tunggal, S2 tidak konstan, murmur (-), gallop (-)

Kesan : Kardiomegali (-), bising (-)


Pulmo

:I

: Pergerakan dinding dada simetris baik saat statis maupun


dinamis, retraksi suprasternal (+), retraksi iterkosta (-), retraksi
subkostal (+)

Pa

: vocal fremitus kanan sama dengan kiri


5

Pe

: Sonor pada seluruh lapang paru

Au

: vesikuler (+/+) normal, ekspirasi memanjang, ronkhi basah halus


(+/+), wheezing (+/+)

Abdomen

:I

: cembung (-)

Au

: Bising usus (+)

Pa

: supel, turgor kulit kembali cepat, hepar dan lien tidak teraba
pembesaran

Pe

: timpani

Genitalia

: laki-laki, fimosis (-)

Ekstremitas

: Akral hangat, CRT 3 detik, sianosis (-), clubbed fingers (-)

V. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

29 September 2014, pukul 03.43


HEMATOLOGI (DARAH RUTIN)
Leukosit
Hitung Jenis
Neutrofil
Limfosit
Monosit
Eosinofil
Basofil

19.020/ mm3

5~14,5

73,9 %
19,4 %
4,7 %
0,3 %
1,6 %

17~60
20~70
1~11
1~5
0~1

Eritrosit
Hb
Ht
MCV
MCH
MCHC
RDW-CV
Trombosit

5,11 juta/uL
12,6 g/dL
36 %
70,8 Fl
24,6 pg
34,7 %
13,28 %
606 ribu/mm
KIMIA KLINIK
ANALISIS GAS DARAH

3,87~5,39
11,5~13,5
34~40
75~87
24~30
31~37
11,5~14,5
150~440

Ph
pCO2
pO2
HCO3
TCO2
BE
Std. HCO3
Saturasi O2
Natrium
Kalium
Klorida
CRP Kuantitatif

7,343
31,0 mmHg
72,5 mmHg
16,4 mmol/L
17,3 mmol/L
-8,2
18,2 mmol/L
93,7 %
ELEKTROLIT
144,0 mmol/L
4,90 mmol/L
107,0 mmol/L
1,52 mmol/L

7,34~7,44
35~45
85~95
22~26
23~27
-2,5~2,5
22~26
96~97
135~145
3,5~5,5
98~109
0,0~0,3

VI. DIAGNOSA KERJA


Bronkiolitis
VII.

DIAGNOSA BANDING

Pneumonia
VIII. USULAN PEMERIKSAAN TAMBAHAN
Rontgen Thoraks AP/Lateral
IX. TATA LAKSANA
O2
Kanul Nasal 2 liter/menit
Diet Puasa sementara, pasang NGT
IVFD KaEN 1B 25 tpm mikro
Kebutuhan cairan rumatan anak dengan BB 6,2 kg :
{(6,2 x 100 cc) x 60}: {24 x 60} = 620 : 24 = 25 tetes/menit (mi)
Obat
1. Inj. Cefotaxime (50-100 mg/kgBB/hari) 310-620 mg/hari; 3 x 500mg
2. Dexamethasone i.v (0,5 1 mg/kgBB/hari (3 kali) 3,1 mg 6,2 mg / hari;
Kalmetason 3 x 1 mg dalam NS 10 ml
3. Inhalasi ventolin 1 respule + NS 2,5 ml (4 kali/hari)
4. Paracetamol drops (10-15 mg/kgBB/kali); Sanmol drops 4 x 0,7 ml
Edukasi
Edukasi tentang kebersihan tangan dan cara disinfeksinya pada keluarga pasien dengan
alkohol atau sabun antiseptic
Monitoring Frekuensi Napas, Suhu Tubuh, retraksi, intake,komplikasi (gagal napas
hipoksia yang memberat dan distress pernapasan)
7

X. FOLLOW UP
Hari/tanggal S
30/9/2014
Batuk (+),
pilek (+),
sesak (+),
demam (+),
Muntah (-)

1/10/14

2/10/14

Batuk (+),
pilek (+),
sesak (+),
demam (-),
Muntah (-)

Batuk (+),
pilek (+),
sesak (-)
demam (-),
Muntah (-)

O
Ku/Kes: Baik/Cm
N: 140x/m
RR: 58 x/menit
S: 38C
Mata: CA -/-, cekung
-/Thorax:
Cor dbn,
Paru : Ves +/+, Ronkhi
+/+, Wheezing +/+
Abdomen:
Datar, BU(+/N),
turgor baik
Ekstremitas:
Akral hangat, crt < 3
detik
Ku/Kes: Baik/Cm
N: 140x/m
RR: 55 x/menit
S: 37,3C
Mata: CA -/-, cekung
-/Thorax:
Cor dbn,
Paru : Ves +/+, Ronkhi
+/+, Wheezing -/Abdomen:
Datar, BU(+/N),
turgor baik
Ekstremitas:
Akral hangat, crt < 3
detik
Ku/Kes: Baik/Cm
N: 140x/m
RR: 55 x/menit
S: 37,3C
Mata: CA -/-, cekung
-/Thorax:

A
Bronkioliti
s

P
- IVFD KaEN 1B 25
tpm mikro
- Kalmetason 3 x 1 mg
- Inhalasi ventolin 1
respule + NS 2,5 ml
(4 kali/hari)
- Sanmol drops 4 x 0,7
ml
- Diet : LLM 8x75 ml

Bronkioliti
s

Bronkioliti
s

IVFD KaEN 1B 25
tpm mikro
Kalmetason 3 x 1 mg
Inhalasi ventolin
1 respule + NS 2,5
ml (4 kali/hari)
Sanmol drops 4 x 0,7
ml
Diet : LLM 8x75 ml

IVFD KaEN 1B 25
tpm mikro
Kalmetason 3 x 1 mg
Inhalasi ventolin
1 respule + NS 2,5
ml (4 kali/hari)
Sanmol drops 4 x 0,7
ml
8

3/10/14

Batuk (+),
pilek (+),
sesak (-)
demam (-),
Muntah (-)

XI. Prognosis
Quo ad vitam
Quo ad functionam
Quo ad sanationam

Cor dbn,
Paru : Ves +/+, Ronkhi
+/+, Wheezing -/Abdomen:
Datar, BU(+/N),
turgor baik
Ekstremitas:
Akral hangat, crt < 3
detik
Ku/Kes: Baik/Cm
N: 140x/m
RR: 55 x/menit
S: 37,3C
Mata: CA -/-, cekung
-/Thorax:
Cor dbn,
Paru : Ves +/+, Ronkhi
+/+, Wheezing -/Abdomen:
Datar, BU(+/N),
turgor baik
Ekstremitas:
Akral hangat, crt < 3
detik

Bronkioliti
s

Diet : LLM 8x75 ml

IVFD KaEN 1B 25
tpm mikro
Kalmetason 3 x 1 mg
Inhalasi ventolin
1 respule + NS 2,5
ml (4 kali/hari)
Sanmol drops 4 x 0,7
ml
Diet : LLM 8x75 ml

: ad bonam
: ad bonam
: dubia ad bonam

BAB II
9

TINJAUAN PUSTAKA
III.1 Definisi
Bronkiolitis merupakan sindroma infeksi saluran pernapasan yang ditandai oleh obstruksi
inflamasi saluran napas kecil (bronkiolus). Bronkiolitis termasuk penyakit IRA-bawah yang
ditandai dengan adanya inflamasi pada bronkiolus. Umumnya, infeksi tersebut disebabkan oleh
virus. Secara klinis ditandai dengan episode pertama wheezing pada bayi yang didahului dengan
gejala IRA.
III.2 Insidensi
Bronkiolitis terutama menyerang anak-anak berusia di bawah dua tahun dengan insidensi
tertinggi pada usia enam bulan. Bronkiolitis akut yang terjadi di bawah umur satu tahun kurang
lebih 12% dari seluruh kasus, sedangkan pada tahun kedua, frekuensi insidensinya lebih jarang
lagi, yaitu sekitar setengah dari frekuensi tahun pertama (sekitar enam persen).
III.3 Etiologi
Bronkiolitis akut menimbulkan angka morbiditas terbanyak dari semua infeksi saluran
napas bawah pada anak-anak. Etiologi yang paling sering adalah Respiratory syncytial
virus (RSV), berkisar antara 45--55% dari total kasus yang ada. Sedangkan virus-virus lainnya,
seperti Parainfluenza virus, Rhinovirus, Adenovirus dan Enterovirus sekitar 20%. Bronkiolitis
juga dapat disebabkan oleh Eaton agent (Mycoplasma pneumoniae) dan bakteri, walau
frekuensinya relative sedikit yang sampai menyebabkan bronkiolitis pada bayi.
Sekitar 70% kasus kejadian bronkiolitis pada bayi terjadi gejala yang berat sehingga
harus dirawat di rumah sakit, sedangkan sisanya biasanya dapat dirawat di poliklinik.
Sebagian besar infeksi saluran napas transmisinya melalui droplet infeksi. Infeksi primer
oleh RSV biasanya tidak menimbulkan gejala klinik, tetapi infeksi sekunder pada anak-anak di
tahun-tahun pertama kehidupan yang bermanifestasi berat.
RSV lebih virulen daripada virus lain dan imunitas yang dibentuk oleh tubuh tidak dapat
bertahan lama. Infeksi ini pada orang dewasa tidak menimbulkan gejala klinis. Hal ini mungkin
dikarenakan toleransi yang lebih tinggi.

10

RSV adalah golongan paramiksovirus dengan envelope lipid serupa dengan virus
parainfluenza, tetapi RSV hanya mempunyai satu antigen permukaan berupa glikoprotein dan
nukleokapsid RNA heliks linear. Tidak adanya genom yang bersegmen dan hanya mempunyai
satu antigen envelope menandakan bahwa komposisi antigen RSV relatif stabil dari tahun ke
tahun.
Infeksi virus sering berulang terutama pada bayi. Hal ini disebabkan oleh:
1.

Kegagalan sistem imun host untuk mengenal epitope protektif dari virus.

2.

Kerusakan sistem memori respons imun untuk memproduksi interleukin I inhibitor

dengan akibat tidak bekerjanya sistem APC (antigen presenting cell).


3.

Penekanan pada sistem respons imun sekunder oleh infeksi virus dan kemampuan virus

dalam menyebabkan infeksi, baik pada makrofag maupun limfosit. Akibatnya, terjadi gangguan
fungsi seperti kegagalan produksi interferon, interleukin I inhibitor, hambatan terhadap antiobodi
neutralizing dan kegagalan interaksi dari sel ke sel.
Bronkiolitis yang disebabkan oleh virus jarang terjadi pada masa neonatus. Hal ini
karena neutralizing antibody ibu masih tinggi pada 4 - 6 minggu kehidupan, yang akan menurun
pada bulan-bulan berikutnya. Antibodi tersebut mempunyai daya proteksi terhadap infeksi
saluran napas bawah, terutama terhadap virus.
III.4 Patofisiologi
Invasi virus pada percabangan bronkus kecil menyebabkan edem, akumulasi mukus dan
debris seluler (eksudat) hingga terjadi obstruksi saluran napas kecil (bronkiolitis). Karena
perbandingan nilai resistensi aliran udara saluran napas berbanding terbalik dengan radius
pangkat empat dari saluran nafas, maka sedikit penebalan dinding bronkus sudah memberikan
akibat cukup besar terhadap aliran udara pada saluran nafas, terutama pada saluran nafas bawah.
Resistensi aliran udara pada saluran napas kecil sama-sama meningkat baik pada fase
inspirasi maupun ekpirasi. Tetapi, oleh karena radius pada saluran napas lebih kecil selama fase
ekpirasi bial dibandingkan dengan fase inspirasi, maka terdapat suatu mekanisme klep, dimana
udara yang ada akan terperangkap (air trapping). Keadaan ini pada akhirnya dapat menimbulkan
hiperinflasi dari rongga dada.
Obstruksi pada saluran bronkiolus dapat terjadi secara parsial maupun total. Apabila
obstruksi hanya sebagian, maka dapat timbul emfisema. Atelektasis dapat terjadi bila terjadi
11

obtruksi total dan dari udara yang diserap sebelumnya. Proses patologik ini akan menimbulkan
gangguan pada proses pertukaran udara di paru, ventilasi berkurang, dan hipoksemia. Pada
umumnya, hiperkapnia tidak terjadi kecuali pada keadaan yang sangat berat.
Pada dinding bronkus terdapat infiltrat-infiltrat sel radang. Selain itu, terdapat peradangan
pada daerah peribronkial dan di jaringan interstitiel.
Berbeda dengan bayi, anak besar dan orang dewasa dapat mentoleransi edem saluran
napas dengan lebih baik. Oleh karena itu, angka morbiditas untuk terjadinya bronkiolitis pada
anak besar dan orang dewasa jarang terjadi.
III.5 Manifestasi Klinis
Mula-mula terjadinya bronkiolitis akut didahului dengan infeksi saluran napas bagian
atas yang relatif ringan. Infeksi saluran nafas ini dapat berupa batuk-batuk paroksismal, pilek
encer, bersin-bersin dan bisa disertai demam subfebril atau tanpa demam. Kadang-kadang, pada
bayi yang tidak mempunyai riwayat ataupun demam sama sekali, dapat terjadi suatu keadaan
hipotermi. Gejala-gejala ini biasanya berlangsung beberapa hari.
Kemudian timbul distres pernafasan yang ditandai dengan keadaan dimana anak-anak
menunjukkan gejala, seperti sesak nafas yang sifatnya progresif, pernafasan cuping hidung yang
disertai dengan retraksi interkostal dan suprasternal. Pada keadaan yang berat dapat terdengar
suara mengi. Keadaan ini dikompensasi dengan pernafasan Kussmauls (pernafasan cepat dan
dalam). Pada akhirnya, anak-anak menjadi gelisah, iritabel dan tampak sianosis.
Selain itu, gejala lainnya dapat berupa kesulitan minum terutama pada bayi. Hal ini
disebabkan karena frekuensi napas yang cepat sehingga menghalangi terjadinya proses menelan
dan menghisap. Pada kasus yang ringan, gejala-gejala tersebut menghilang dalam kurun waktu
satu sampai tiga hari hari. Sementara, pada kasus yang berat, gejalanya dapat tetap ada sampai
beberapa hari dan perjalanan penyakitnya berlangsung cepat.
Pada pemeriksaan fisik, dapat dilihat adanya distres pernapasan (keadaan dimana
frekuensi napas sekitar 60 x/menit, dengan pernapasan cuping hidung, penggunaan otot
pernapasan tambahan, retraksi dan juga sianosis). Namun, pada bronkiolitis akut retraksi
biasanya tidak dalam karena adanya hiperinflasi paru (terperangkapnya udara dalam paru). Hepar
dan limpa dapat teraba karena terdorong oleh diafragma akibat hiperinflasi paru-paru. Kadang
terdengar ronki basah byaring halus pada akhir fase inspirasi atau pada permulaaan fase ekpirasi.
12

Fase ekpirasinya memanjang dan mengi pada keadaan tertentu dapat terdengar dengan jelas.
Pada keadaan yang amat beratm suara pernafasan dapat tidak terdengar. Hal ini dapat
dikarenakan obstruksi yang terjadi sifatnya hampir menyeluruh.
Gambaran radiologik
Gambaran radiologik foto toraks dapat memberikan gambaran normal atau hiperinflasi
(hiperaerasi) paru dengan diameter anteroposterior meningkat pada foto lateral. Pada sepertiga
penderita, dapat ditemukan bercak-bercak pemadatan (konsolidasi) yang tersebar merata akibat
atelektasis sekunder terhadap obstruksi atau peradangan (inflamasi) alveolus.
Pemeriksaan laboratorium
Pada apusan darah tepi menunjukkan gambaran dalam batas normal. Limfopenia yang
sering ditemukan pada infeksi virus lain jarang ditemukan pada brokiolitis. Pada keadaan yang
berat, gambaran analisis gas darah akan menunjukkan tanda-tanda asidosis metabolik maupun
metabolik, yang dapat ditandai dengan hiperkapnia, karena karbondioksida tidak dapat
dikeluarkan, akibat edem dan hipersekresi bronkiolus. Pada usapan nasofaring hanya didapat
flora komensal.
III.6 Diagnosis dan diagnosis banding
Berdasarkan manifestasi klinisnya yang khas tersebut, maka bronkiolitis akut harus dibedakan
dengan asma yang juga dapat timbul pada usia muda. Dalam hal ini, dua keadaan ini dapat
dibedakan

dengan

pemberian

bronkodilator.

Pada

asma

didapat

respon

terhadap

pengobatan dengan bronkodilator, sementara pada bronkiolitis akut tidak didapat respon tersebut.
Selain asma, keadaan ini harus dapat dibedakan dengan bronkopneumonia yang disertai
emfisema obstruktif dan keadaan gagal jantung.

III.7 Prognosis
Serangan bronkiolitis akut ini dapat segera teratasi setelah 48 72 jam. Angka mortalitasnya
kurang dari 1 persen. Kematian dapat terjadi dikarenakan anak jatuh dalam keadaan apnoe yang
berlangsung lama atau pada keadaan asidosis respiratorik yang tidak terkoreksi atau pada
13

keadaan dehidrasi yang timbul karena takipnoe dan kurangnya intake makanan dan minuman.
Komplikasi seperti otitis media akut, pneumonia bakterialis dan gagal jantung relatif jarang
dijumpai.
III.8 Pengobatan dan tata laksana
Infeksi oleh virus RSV biasanya bersifat self limiting disease, sehingga pengobatan yang
ditujukan biasanya hanya berupa pengobatan suportif. Prinsip pengobatannya adalah:
1.

Oksigenasi
Oksigenasi sangat penting untuk menjaga agar jangan sampai terjadi hipoksia
jaringan yang justru akan lebih memperberat penyakitnya. Hipoksia jaringan terjadi
akibat gangguan perfusi ventilasi dari paru-paru. Oksigenasi harus tetap diberikan
walaupun anak belum dalam keadaan sianosis.
Oksigenasi dengan kadar oksigen 30 - 40% sering digunakan untuk mengatasi
keadaan ini. Apabila tidak terdapat oksigen, maka anak harus ditempatkan dalam ruangan
dengan kelembaban udara yang tinggi, sebaiknya dengan uap dingin (mist tent).
Tujuannya unutuk mencairkan sekret pada tempat peradangan.

2.

Cairan
Pemberian cairan sangat penting untuk mengoreksi keadaan asidosis metabolic
dan respiratorik yang mungkin timbul dan mencegah terjadinya dehidrasi akibat
keluarnya cairan melalui mekanisme penguapan tubuh (evaporasi), karena pola
pernapasan yang cepat dan kesulitan minum. Jika tidak terjadi dehidrasi, dapat diberikan
cairan rumatan.
Cara pemberian cairan ini bisa melalui intravena atau nasogastrik. Akan tetapi,
harus kita harus hati-hati, khususnya pada pemberian cairan melalui lambung karena
dapat terjadi aspirasi yang dapat memperberat sesak napas yang ada, akibat lambung
yang terisi cairan menekan diafragma ke paru-paru.

3.
a.

Obat-obatan
Antivirus (Ribavirin)
Bronkiolitis paling banyak disebabkan oleh virus sehingga ada pendapat
untuk mengurangi beratnya penyakit dapat diberikan antivirus. Ribavirin adalah

14

obat antivirus yang bersifat virus statik. Tetapi, penggunaan obat ini masih
kontroversial baik mengenai efektivitas maupun keamanannya.
The American of Pediatric merekomendasikan penggunaan ribavirin pada
keadaan yang diperkirakan penyakitnya akan menjadi lebih berat seperti pada
penderita bronkiolitis dengan kelainan jantung, fibrosis kistik, penyakit paru-paru
kronik, immunodefisiensi, dan pada bayi-bayi premature. Penggunaan ribavirin
terhadap penderita bronkiolitis dengan penyakit jantung, didapatkan bahwa
ribavirin dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas jika diberikan sejak
awal.
Penggunaan ribavirin biasanya dengan cara nebulizer aerosol 12 - 18 jam
per hari atau dalam dosis kecil.
b.

Antibiotik
Penggunaan antibiotik biasanya tidak diperlukan pada penderita
bronkiolitis, karena sebagian besar disebabkan oleh virus, kecuali bila didapat
adanya tanda-tanda infeksi bacterial sekunder. Antibiotik yang dipakai biasanya
yang bersifat broad-spectrum.
Bila diketahui etiologi penyebabnya adalah Mycoplasma pneumoniae,
maka dapat dengan pemberian eritromisin.
Penggunaan antibiotik justru akan meningkatkan infeksi sekunder oleh
kuman yang resisten terhadap antibiotik tersebut.

c.

Bronkodilator dan Antiinflamasi (kortikosteroid)


Kedua macam obat tersebut masih kontroversial penggunaannya pada
bronkiolitis. Bronkodilator merupakan kontra indikasi, karena dianggap dapat
memperberat keadaan anak, karena menyebabkan anak menjadi lebih gelisah
sehingga kebutuhan oksigennya akan ikut meningkat.
Namun, ada beberapa penelitian yang mengatakan bahwa penggunaan
bronkodilator dan antiinflamasi dapat mengurangi beratnya penyakit dan
mencegah terjadinya mengi di kemudian hari

d.

Sedativa

15

Penggunaan golongan sedative tidak diperbolehkan, karena dapat


menimbulkan depresi pernafasan. Bila memang diperlukan, maka dapat
dipertimbangkan untuk penggunaan kloralhidrat.

BAB IV
PEMBAHASAN
16

Diagnosis bronkiolitis pada pasien ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik


dan pemeriksaan penunjang.
Pasien adalah seorang anak laki-laki berusia 6 bulan. Bronkiolitis merupakan infeksi
saluran respiratori tersering pada bayi. Berdasarkan epidemiologinya bronkiolitis paling sering
terjadi pada usia 2-24 bulan, dengan insiden puncaknya pada usia 2-8 bulan. 95% kasus terjadi
pada anak berusia dibawah 2 tahun dan 75% diantaranya terjadi pada anak berusia di bawah 1
tahun. Berdasarkan jenis kelamin, bronkiolitis lebih sering terjadi pada bayi laki-laki berusia 3
sampai 6 bulan yang tidak mendapat ASI dan hidup di lingkungan padat penduduk. Selain
oreinstein, Louden menyatakan bahwa bronkiolitis terjadi 1,25 kali lebih banyak pada anak lakilaki daripada anak perempuan.
Pada anammnesa didapatkan keluhan sesak nafas yang semakin memberat sejak 10 jam
SMRS. Keluhan sesak nafas ini awalnya didahului oleh adanya keluhan batuk berdahak, pilek
dan demam 2 hari sebelumnya. Adanya keluhan ini menandakan adanya infeksi saluran
pernapasan pada pasien. Hal ini sesuai dengan bronkiolitis, dimana gejala awal terjadinya
bronkiolitis didahului dengan infeksi saluran napas bagian atas yang relatif ringan akibat virus,
seperti pilek ringan disertai rinorea, batuk, demam. Demam biasanya tidak ada, namun jika ada
biasanya berkisar antara 38,5C sampai 39C atau subfebris. Hal ini semakin diperkuat dengan
adanya riwayat infeksi saluran napas pada ibu pasien dimana sang ibu diketahui juga sedang
mengalami batuk dan pilek 1 minggu sebelum pasien masuk rumah sakit. Karena seringkali
infeksi saluran napas bawah pada bayi disebabkan oleh tertularnya bayi oleh anggota keluarga
yang tinggal satu rumah.
Kemudian keluhan ini diikuti dengan sesak yang ditandai dengan bernapas pendek dan
cepat dan napas cuping hidung dan adanya tarikan otot-otot di dada maupun di perut. Dari
keterangan ini disimpulkan bahwa pasien mengalami takipnea, dimana pasien bernapas cepat dan
dangkal yang disertai dengan otot bantu napas. Keterangan ini kemudian akan dikonfirmasi dari
pemeriksaan fisik yang didapatkan adanya usaha-usaha pernapasan yang dilakukan anak untuk
mengatasi obstruksi yang akan menimbulkan napas cuping hidung dan retraksi interkosta. Pada
bronkiolitis didapatkan gejala awal berupa gejala infeksi respiratori atas dan satu hingga dua hari
kemudian timbul batuk yang disertai dengan sesak napas. Selanjutnya dapat ditemukan

17

wheezing, sianosis, merintih (grunting), napas berbunyi, muntah setelah batuk, rewel dan
penurunan nafsu makan karena terganggu oleh takipnea yang dialami oleh pasien..
Dari pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal, kecuali
frekuensi pernapasan pasien 63 kali per menit, dangkal, dan tampak adanya retraksi suprasternal
dan subkostal. Dengan demikian disimpulkan bahwa pasien mengalami takipnea dan
penggunaan otot bantu napas yang menandakan pasien sesak. Pada auskultasi didapatkan suara
napas vesikuler pada kedua lapangan paru, dengan adanya wheezing dan rhonki basah kasar.
Adanya wheezing menandakan adanya obstruksi pada saluran napas bawah. Dengan demikian
dipikirkan kemungkinan pasien mengalami bronkiolitis, namun masih didiagnosis banding
dengan pneumonia. Dari pemeriksaan perkusi tidak didapatkan hipersonor pada paru, atau redup
sehingga tidak dapat menyingkirkan salah satu di antaranya. Namun, jika data ini ditambahkan
dengan anamnesis dan klinis pasien, yaitu usia di bawah 2 tahun, adanya infeksi saluran napas,
dan adanya wheezing, maka diagnosis lebih cenderung ke arah bronkiolitis.
Rencana tatalaksana pada pasien ini adalah mengatasi sesak dan menjaga agar oksigen dalam
darah tercukupi. Karena sesak yang terjadi disebabkan oleh obstruksi akibat inflamasi, maka
diberikan kortikosteroid untuk mengurangi inflamasi yang terjadi sehingga edema pada saluran napas
bawah berkurang dan aliran udara ke alveolus dapat meningkat. Pilihan kortikosteroid pada pasien
adalah deksametason dengan dosis 0,5 mg- 1 mg/kgBB/hari , sehingga dengan berat badan pasien
sebesar 6,2 kg seharusnya diberikan 3,1 mg 6,2 mg. Namun, pada pasien ini diberikan sebanyak
3x1 mg secara intravena. Kemungkinan pertimbangan pemberian deksametasone dengan dosis 3x1
mg ini adalah kondisi pasien yang bersifat gawat darurat, yaitu sesak dengan adanya penggunaan
otot-otot bantu napas, sehingga pemberian dosis ini diharapkan dapat mengurangi obstruksi saluran
napas yang terjadi.

Pemberian deksametason bertujuan untuk mengurangi edema akibat inflamasi. Setelah


saluran napas ini kembali lagi terbuka, maka CO2 yang terperangkap dapat keluar. Dengan
demikian, diberikan juga O2 melalui nasal kanul sebanyak 2 liter per menit. Adanya infeksi
saluran pernapasan yang terjadi pada pasien menjadi indikasi pemberian antibiotik,terutama pada
pasien sulit dibedakan apakah pasien mengalami bronkiolitis atau pneumonia. Dengan demikian
diberikan sefotaksim 3x500 mg secara intravena.

18

Setelah pemberian tatalaksana ini, perlu dilakukan edukasi terhadap orang tua agar
menjauhkan pasien dari anggota keluarga yang menderita infeksi saluran pernapasan dan yang
merokok. Kemudian disarankan juga agar ventilasi di rumah ditambah dan dilakukan
pembersihan secara rutin baik pada lingkungan rumah maupun ventilasi, sehingga tidak
menyimpan debu.

19

DAFTAR PUSTAKA

1. Zain, MS. Bronkiolitis. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku Ajar
Respirologi Anak. Edisi Pertama. Jakarta: Badan Penerbit IDAI,2012.
2. Sastroasmoro S. Bronkiolitis. Dalam: Sastroasmoro S. Panduan Pelayanan Medis
Departemen Ilmu Penyakit Anak. Jakarta: RSCM,2007.
3. Guyton AC, Hall JE. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi 11. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 2006.
4. Basir D, Rahajoe NN, Setyanto DB, Setiawati L. Pendekatan diagnostik respiratorik
anak. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku Ajar Respirologi Anak.
Edisi pertama. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2012.
5. AAP. Diagnosis and management of bronchiolitis. Pediatrics; 2006
6. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J.
Harrisons principles of internal medicine. 17thed. New York: The McGraw Hill
Companies, 2008.

20

21

You might also like