You are on page 1of 58

PERANAN LINGUISTIK TERAPAN

DALAM PEMBELAJARAN
(LAPORAN KELAS)

OLEH:
1. I NYOMAN ADI SUSRAWAN
(1029011005)
2. NI PUTU CANDRA GUNASARI
(1029011006)
3. NI WAYAN EMINDA SARI
(1029011007)
4. NYOMAN DENI WAHYUDI
(1029011008)
5. I PUTU MAS DEWANTARA
(1029011010)
6. GEDE SUKALIMA AKSIRNAKA
(1029011012)
7. I KADEK SURYA KENCANA
(1029011013)
8. NI MADE YENI HANDAYANI
(1029011014)
9. NI KETUT NORIASIH
(1029011015)

PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA
KONSENTRASI BAHASA INDONESIA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
2011
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Linguistik adalah ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya (Chaer,
2007:6; Pateda, 1991:15). Parera (1991:20) mengatakan bahwa linguistik merupakan satu
ilmu yang otonom dan menggunakan metode-metode ilmiah. Lebih lanjut dijelaskan
bahwa studi bahasa secara ilmiah dengan nama Linguistik baru dimulai pada akhir abad
kesembilan belas. Dewasa ini, perkembangan linguistik sangat pesat. Aspek lain yang
berkaitan dengan bidang-bidang kajian bahasa juga berkembang. Kajian tentang bahasa
tidak hanya meliputi satu aspek saja, tetapi telah meluas ke bidang atau aspek-aspek di
luar bahasa yang berkaitan dengan penggunaan bahasa dan kehidupan manusia. Teori
linguistik terapan merupakan cabang linguistik yang memusatkan perhatian pada teori
umum dan metode-metode umum dalam penelitian bahasa. Cabang linguistik bisa terbagi
atas fonologi, morfologi, sintaksis, dan Semantik. Oleh karena itu, linguistik terapan ini
bisa diterapkan dalam segala bidang. Salah satunya adalah bidang pendidikan. Lebih
tepatnya dalam hal pembelajaran bahasa.
Dewasa ini, perkembangan linguistik sangat pesat. Aspek lain yang berkaitan
dengan bidang-bidang kajian bahasa juga berkembang. Kajian tentang bahasa tidak hanya
meliputi satu aspek saja, tetapi telah meluas ke bidang atau aspek-aspek di luar bahasa
yang berkaitan dengan penggunaan bahasa dan kehidupan manusia. Teori linguistik
terapan merupakan cabang linguistik yang memusatkan perhatian pada teori umum dan
2

metode-metode umum dalam penelitian bahasa. Cabang linguistik bisa terbagi atas
fonologi, morfologi, sintaksis, dan Semantik. Oleh karena itu, linguistik terapan ini bisa
diterapkan dalam segala bidang. Salah satunya adalah bidang pendidikan. Lebih tepatnya
dalam hal pembelajaran bahasa.
Analisis ilmiah atas berbagai gejala yang terumuskan menjadi kaidah fonologik,
morfologik dan sintaktis diproses menjadi bahan ajar dalam pengajaran bahasa. Hasil
pembahasan akademik dan hasil penelitian yang punya bobot teoritik kebahasaan
ditransfer menjadi dalil-dalil pemandu pemakaian bahasa yang baik dan benar melalui
kegiatan pendidikan bahasa. Kalau kita umpamakan linguistik dan pengajaran sebagai
dua kutub, maka antara dua kutub itu perlu adanya penyambung yang dapat melayani
keduanya dengan sebaik-baiknya. Sarana pelayanan itu adalah suatu disiplin baru yang
disebut linguistik terapan. Bagi kepentingan pengajaran bahasa, linguistik terapan
tersebut memusatkan perhatiannya pada butir-butir teoritik yang mempunyai keabsahan
kuat dalam linguistik, dan berbagai kemungkinan dan alternatif untuk memandu
pelaksanaan pengajaran bahasa. Kemungkinan dan alternatif itu diupayakan agar seiring
dan sejalan dengan butir teoritik dalam linguistik.
Dalam proses pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, peranan linguistik
terapan sangatlah penting. Linguistik terapan mampu memberikan panduan agar semua
pihak yang ikut andil dalam pembelajaran mampu mengaplikasikan teori-teori linguistik
secara tepat. Penyusunan buku pelajaran pun harus memperoleh perhatian yang lebih
dengan mendasarkan diri pada ranah linguistik terapan. Buku pelajaran khususnya mata
pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia pada tingkat SD, SMP, maupun SMA selain
berpatokan pada kurikulum dan silabus yang diberlakukan, juga harus memperhatikan
teori-teori linguistik terapan khususnya linguistik edukasional.

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian pada bagian latar belakang, permasalahan yang diangkat dalam
makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
1) Bagaimanakah kontruksi materi dalam dua materi sama dari penulis yang
berbeda? Yang menyangkut:
(1) Bagaimanakah keterkaitan kosakata dengan teori psikologi pendidikan?
(2) Bagaimanakah kontruksi kalimat dilihat dari segi:
a) Panjang pendeknya kalimat
b) Kelengkapan struktur
c) Ide
2) Bagaimanakah modus berpikir dari kedua penulis tersebut?

1.3 Tujuan Penulisan


Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah yang diangkat dalam makalah
ini, tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1) Mendeskripsikan kontruksi materi dalam dua materi dari dua penulis berbeda
yang menyangkut:
(1) Keterkaitan kosakata dengan teori psikologi pendidikan
(2) Kontruksi kalimat dilihat dari segi:
a) Panjang pendeknya kalimat
b) Kelengkapan struktur
c) Ide
2) Mendeskripsikan modus berpikir dari kedua penulis tersebut.

BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Belajar dan Mengajarkan Bahasa
Menurut Sudijono (2009) pembelajaran bahasa termasuk pembelajaran bahasa
Indonesia, tidak terlepas dari pengaruh pendekatan yang berkembang, terutama
pendekatan, asumsi, teori, atau pandangan terhadap bahasa atau linguistik. Dengan kata
lain, perubahan cara pandang terhadap bahasa atau pendekatan linguistik akan membawa
perubahan pula pada konsep penyelenggaraan pengajaran bahasa yang termuat dalam
kurikulum mata pelajaran bahasa. Jika pendekatan linguistik yang menjadi acuan
kurikulum bahasa berubah, penyelenggaraan pengajaran bahasa yang ada berubah pula.
Pendekatan linguistik yang menonjol dan membawa pengaruh besar terhadap
konsep-konsep dan pelaksanaan pengajaran bahasa pada dasarnya dapat dibedakan atas
pendekatan formal dan pendekatan fungsional. Sifat kajian bahasa yang ada dalam kedua
pendekatan tersebut dilandasi oleh asumsi para linguis dalam memandang hakikat bahasa
sebagai objek kajian mereka.
Pendekatan formal adalah pandangan yang mengasumsikan bahwa bahasa sebagai
sistem tanda yang terpisah dari faktor-faktor eksternal bahasa. Bahasa bersifat sistemis
dan sistematis, artinya bahasa terdiri dari beberapa subsistem, yaitu subsistem fonologi,
subsistem gramatika (morfologi dan sintaksis), dan subsistem leksikon yang
dikombinasikan oleh kaidah-kaidah yang dapat diramalkan. Bahasa yang sebenarnya
adalah bahasa lisan seperti yang digunakan masyarakat. Berdasarkan asumsi tersebut,
deskripsi bahasa yang dihasilkan berupa ciri-ciri formal bahasa, yakni unsur-unsur bahasa
dan kaidah-kaidah bahasa atau struktur bahasa. Pendekatan formal dikenal secara luas
sebagai pendekatan struktural. Hal ini terungkap pada pendapat yang menyatakan
prinsip yang dianut pandangan struktural adalah bahasa terbentuk oleh seperangkat
kaidah.
Berdasarkan pendekatan struktural, dikembangkan metode audiolingual bertolak
dari teori belajar behaviorisme, yaitu bahasa target diajarkan dengan mencurahkan pada
lafal kata dan pola-pola kalimat dengan cara latihan berkali-kali. Tujuan pengajaran
5

bahasa diarahkan pada penguasaan kaidah-kaidah gramatika yang pada gilirannya juga
menimbulkan perbedaan realisasi pada bahasa yang digunakan. Pembelajaran bahasa
perlu dititikberatkan pada pengetahuan tentang struktur bahasa yang mencakup fonologi,
morfologi, dan sintaksis. Dalam hal ini pengetahuan tentang pola-pola kalimat, pola-pola
kata, dan suku kata menjadi sangat penting.
Metode audiolingual mencapai puncak ketenarannya tahun 1950-an dan
permulaan tahun 1960-an. Tetapi, para ahli linguistik mulai mengecamnya dari dua segi,
yakni (1) teori-teori yang mendasarinya (strukturalisme dan behaviorisme) yang
menekakan pada pemahaman dan latihan-latihan menggunakan struktur bahasa, dan (2)
hasil-hasil pelajaran yang kurang memuaskan karena para pelajar tetap belum lancar
menggunakan bahasa target dalam berkomunikasi. Pengajaran bahasa Indonesia
berdasarkan pendekatan struktural pernah diterapkan di sekolah-sekolah, yaitu pada saat
berlakunya kurikulum 1975. Kurikulum ini akhirnya dianggap tidak cocok untuk
pengajaran bahasa Indonesia dengan alasan yang lebih kurang sama dengan alasan yang
baru saja disampaikan.
Selanjutnya, pendekatan fungsional memandang bahasa sebagai sistem terbuka.
Bahasa tidak bisa lepas dari keberadaan faktor eksternal bahasa, yaitu ciri sosial, ciri
biologis, ciri demografi, dan sebagainya. Konteks sosial penggunaan bahasa merupakan
sentral dalam analisisnya berdasarkan pandangan bahwa fungsi bahasa tidak saja untuk
berkomunikasi, tetapi juga menunjukkan identitas sosial, bahkan budaya pemakainya.
Pendekatan fungsional pada prinsipnya mendasarkan pemerian bahasa pada fungsi
eksternal bahasa, yaitu pada pemakaian bahasa yang sebenarnya dalam masyarakat pada
kerangka dan latar interaksi berbeda dan hasilnya memperlihatkan berbagai penggunaan
bahasa dengan berbagai fungsi dalam kerangka dan latar interaksi sosial masyarakat.
Pendekatan fungsional merupakan pendekatan yang digunakan antara lain dalam
sosiolinguistik dan pragmatik.
Prinsip-prinsip pandangan fungsional yang menyatakan bahwa bahasa sebagai alat
komunikasi dalam kerangka dan latar interaksi sosial masyarakat membawa perubahan
atau pengaruh terhadap pengajaran bahasa. Berdasarkan pandangan tersebut muncul
pendekatan komunikatif dan pragmatik. Pada pendekatan komunikatif, kontribusi fungsi
6

sosiolinguistik tampak pada orientasi kompetensi komunikatif. Kompetensi komunikatif


ini merupakan perluasan kompetensi ala Chomsky sebagai pengetahuan aturan-aturan
pembentukan kalimat. Kompetensi komunikatif ini dimaknai sebagai kompetensi untuk
menggunakan kalimat dalam konteks-konteks yang berbeda-beda, yaitu siapa, dengan
siapa, di mana, dan kapan berbicara menurut norma sosial budaya tertentu. Selanjutnya,
Nababan (1993:37) menambahkan bahwa pendekatan pragmatik dikembangkan
berdasarkan prinsip bahwa bahasa sebagai alat interaksi yang menekankan keterlibatan
konteks dalam berbahasa. Pragmatik dapat dianggap perkembangan lebih lanjut dari
pendekatan komunikatif. Dalam pendekatan pragmatik, bahasa digunakan dalam interaksi
sosial oleh penutur dan lawan tutur sesuai dengan perkembangan situasi dalam interaksi
yang terjadi.
Dalam kurikulum 1984, pragmatik dicantumkan sebagai pokok bahasan dan
sebagai pendekatannya adalah pendekatan komunikatif. Dalam kaitan ini Sumarsono
menyatakan bahwa sebenarnya, para pengajar bahasa tidak puas jika pragmatik diajarkan
sebagai pokok bahasan belaka. Karena hakikatnya pragmatik itu adalah penggunaan
bahasa, sehingga pragmatik berfungsi dan berperan sebagai pendekatan. Sebagai
pendekatan, pragmatik serupa dan sebangun dengan pendekatan komunikatif. Kurikulum
bahasa Indonesia 1984 belum sepenuhnya menggunakan pendekatan komunikatif karena
masih mencantumkan pokok bahasan struktur. Pencantuman pokok bahasan struktur
menunjukkan bahwa pendekatan struktural masih dipakai dalam kurikulum bahasa
Indonesia dan pembelajaran bahasa masih ditekankan pada penguasaan struktur bahasa.
Hal ini merupakan sumber kegagalan kurikulum mata pelajaran Bahasa Indonesia 1984
dan diganti dengan kurikulum mata pelajaran bahasa Indonesia 1994 yang disempurnakan
tahun 2004 yang menjadi masih berlaku hingga sekarang. Kurikulum tersebut sudah
menunjukkan pembelajaran yang menekankan pada keterampilan berbahasa sesuai
dengan pandangan atau pendekatan komunikatif yang memandang bahwa belajar bahasa
adalah belajar berkomunikasi menggunakan bahasa dalam interaksi sosial sesuai dengan
norma sosial budaya yang berlaku.

2.2 Hakikat Sosiologi, Psikologi, dan Antropologi


Ilmu sosial lahir pada tahun 1842 yang dirintis oleh "Auguste Comte" dari Perancis
melalui bukunya"Positive Philosophy".Fokus kajiannya adalah segala bentuk kehidupan
masyarakat.Oleh karena jasanya yang besar,ia disebut Bapak Sosiologi. Tokoh-tokoh
sosiologi berikutnya adalah Herbert Spencer (Inggris),Karl Max dan Max Weber
(Jerman),Pitrim A.Sorokan (Rusia),Vitredo Pareto (Italia),C.H Cooley dan Laster F. Ward
(USA),Emile Durkheim (Perancis).Di indonesia,sosiologi baru diperkenalkan tahun 1948
oleh Prof. Sunario Kolopaking di UGM. Kemudian disusul oleh tokoh-tokoh
lainnya,yaitu Mr. Djody Gondokusumo, Hassan Shadily, MA. Mayor Polak, Satjipto
Raharjo, Soerjono Soekanto, Selo Soemardjan, dan sebagainya.
a. Beberapa Konsep Dasar Sosiologi Menurut Para Sosiolog
1.

G.A. Lunberg:Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku sosial orang
seorang dan kelompok.

2. Roucek and Warren:Sosialogi adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal-balik


antar manusia dalam masyarakat.
3. Bierens De Haan:Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari pergaulan hidup manusia
dalam masyarakat.
4. Prof. Selo Soemardjan:Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial,proses
sosial, dan perubahan-perubahan sosial.Struktur sosial adalah keseluruhan jalinan
antara unsur- unsur sosial yang pokok,yaitu kaidah-

kaidah sosial,lembaga-

lembaga sosial,kelompok- kelompok sosial,dan lapisan soial.Proses sosial adalah


pengaruh timbal-balik dari berbagai segi

kehidupan sosial (ekonomi dan

politik,hukum,dan agama).
5. Pitirim A.Sorokin:Sosialogi adalah ilmu yang me,pelajari hubungan dan pengaruh
timbal balik antara aneka macam gejala sosial,hubungan dan pengaruh gejala sosial
dengan nonsosial,dan ciri-ciri umum dari semua jenis gejala sosial.
6. Auguste Comte (Bapak Sosiologi):Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi
manusia di dalam masyarakat (antarndividu,antar
antara kelompok dan kelompok.

individu dan kelompok,dan

7.

Anthony Giddens: Sosiologi adalah studi tentang kehidupan sosial antar manusia,
kelompok, dan masyarakat.

b. Psikologi
Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari perilaku manusia dan proses
mental. Psikologi merupakan cabang ilmu yang masih muda atau remaja. Sebab, pada
awalnya psikologi merupakan bagian dari ilmu filsafat tentang jiwa manusia. Menurut
Plato, psikologi berarti ilmu pengetahuan yang mempelajari sifat, hakikat, dan hidup jiwa
manusia (psyche = jiwa ; logos = ilmu pengetahuan).
Jiwa secara harfiah berasal dari perkataan sansekerta JIV, yang berarti lembaga
hidup (levensbeginsel), atau daya hidup (levenscracht). Oleh karena jiwa itu merupakan
pengertian yang abstrak, tidak bisa dilihat dan belum bisa diungkapkan secara lengkap
dan jelas, maka orang lebih cenderung mempelajari jiwa yang memateri atau gejala
jiwa yang meraga/menjasmani, yaitu bentuk tingkah laku manusia (segala aktivitas,
perbuatan, penampilan diri) sepanjang hidupnya. Oleh karena itu, psikologi butuh
berabad-abad lamanya untuk memisahkan diri dari ilmu filsafat.
Perkataan tingkah laku/perbuatan mempunyai pengertian yang luas sekali. Yaitu
tidak hanya mencakup kegiatan motoris saja seperti berbicara, berjalan, berlari-lari,
berolah-raga, bergerak dan lain-lain, akan tetapi juga membahas macam-macam fungsi
seperti melihat, mendengar, mengingat, berpikir, fantasi, pengenalan kembali, penampilan
emosi-emosi dalan bentuk tangis, senyum dan lai-lain.
Kegiatan berpikir dan berjalan adalah sebuah kegiatan yang aktif. Setiap
penampilan dari kehidupan bisa disebut sebagai aktivitas. Seseorang yang diam dan
mendengarkan musik atau tengah melihat televisi tidak bisa dikatakan pasif. Maka situasi
dimana sama sekali sudah tidak ada unsur keaktifan, disebut dengan mati.
Pada pokoknya, psikologi itu menyibukkan diri dengan masalah kegiatan psikis,
seperti berpikir, belajar, menanggapi, mencinta, membenci dan lain-lain. Macam-macam

kegiatan psikis pada umumnya dibagi menjadi 4 kategori, yaitu: 1) pengenalan atau
kognisi, 2) perasaan atau emosi, 3) kemauan atau konasi, 4) gejala campuran.
Namun hendaknya jangan dilupakan, bahwa setiap aktivitas psikis/jiwani itu pada
waktu yang sama juga merupakan aktifitas fisik/jasmani. Pada semua kegiatan jasmaniah
kita, otak dan perasaan selalu ikut berperan ; juga alat indera dan otot-otot ikut
mengambil bagian didalamnya.
Penyelidikan terhadap organ-organ manusia digolongkan dalam ilmu fisiologi.
Yaitu meneliti peranan setiap organ dalam fungsi-fungsi kehidupan seperti meneliti segala
sesuatu tentang mata, ketika subyek bisa melihat dan juga meneliti pengaruh kerja otak
untuk mengkoordinir semua perbuatan individu guna menyesuaikan dengan
lingkungnnya. Jika fungsi segenap organ dan tingkah laku banyak dijelaskan oleh
fisiologi, maka masih perlukah bidang keilmuan psikologi?
Fisiologi memberikan penjelasan macam-macam tingkah laku lahiriah yang
menjasmani sifatnya. Cukup manusia merupakan suatu totalitas jasmaniah rokhani.
Semua bentuk dorongan dan impuls dalam diri manusia yang menyebabkan timbulnya
macam-macam aktifitas fisik dan psikis, dijelaskan oleh psikologi. Misalnya, jika
seseorang menaruh rasa semangat yang tinggi , ketika ia mengahadapi suatu masalah
tertentu maka ia akan menaggapi masalah itu dengan semangat untuk menyelesaikannya.
c. Antropologi
Antropologi berasal dari kata Yunani (baca: anthropos) yang berarti
"manusia" atau "orang", dan logos yang berarti ilmu. Antropologi mempelajari manusia
sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial. Antropologi memiliki dua sisi
holistik dimana meneliti manusia pada tiap waktu dan tiap dimensi kemanusiaannya. Arus
utama inilah yang secara tradisional memisahkan antropologi dari disiplin ilmu
kemanusiaan lainnya yang menekankan pada perbandingan/perbedaan budaya antar
manusia. Walaupun begitu sisi ini banyak diperdebatkan dan menjadi kontroversi

10

sehingga metode antropologi sekarang seringkali dilakukan pada pemusatan penelitian


pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal.
Definisi Antropologi menurut para ahli

William A. Havilland: Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha


menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta
untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.

David Hunter:Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak
terbatas tentang umat manusia.

Koentjaraningrat: Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada


umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta
kebudayaan yang dihasilkan.

Dari definisi-definisi tersebut, dapat disusun pengertian sederhana antropologi, yaitu


sebuah ilmu yang mempelajari manusia dari segi keanekaragaman fisik serta kebudayaan
(cara-cara berprilaku, tradisi-tradisi, nilai-nilai) yang dihasilkan sehingga setiap manusia
yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda. Dengan, demikain antropologi merupakan
hal yang mempelajari seluk-beluk yang terjadi dalam kehidupan manusia.Dapat dilihat
dari perkembang pada masa saat ini, yang merupakan salah dari fenomena- fenomena
yang terjadi ditengah- tengah masyarakat sekarang ini.

2.1.1

Sosiolinguistik
Sosiolinguistik adalah cabang linguistik yang mengkaji hubungan antara bahasa

dan masyarakat penuturnya. Ilmu ini merupakan kajian kontekstual terhadap variasi
penggunaan bahasa masyarakat dalam sebuah komunikasi yang alami. Variasi dalam
kajian ini merupakan masalah pokok yang dipengaruhi atau mempengaruhi perbedaan
aspek sosiokultural dalam masyarakat.

11

Kelahiran Sosiolinguistik merupakan buah dari perdebatan panjang dan


melelahkan dari berbagai generasi dan aliran. Puncak ketidakpuasan kaum yang
kemudian menamakan diri sosiolinguis ini sangat dirasakan ketika aliran Transformasional yang dipelopori Chomsky tidak mengakui realitas sosial yang sangat heterogen
dalam masyarakat. Oleh Chomsky dan pengikutnya ini, heterogenitas berupa status sosial
yang berbeda, umur, jenis kelamin, latar belakang suku bangsa, pendidikan, dan
sebagainya diabaikan sebagai faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan pilihanpilihan berbahasa. Berpijak dari paradigma ini Sosiolinguistik berkembang ke arah studi
yang memandang bahwa bahasa tidak dapat dijelaskan secara memuaskan tanpa
melibatkan aspek-aspek sosial yang mencirikan masyarakat.
(http://sigodang.blogspot.com/2008/10/pengertian-sosiolinguistik-selengkapnya.html)
Istilah sosiolinguistik sendiri sudah digunakan oleh Haver C. Curie dalam sebuah
artikel yang terbit tahun 1952, judulnya A Projection of Sociolinguistics: the
relationship of speech to sosial status yang isinya tentang masalah yang berhubungan
dengan ragam bahasa seseorang dengan status sosialnya dalam masyarakat. Kelompokkelompok yang berbeda profesi atau kedudukannya dalam masyarakat cenderung
menggunakan ragam bahasa yang berbeda pula.
2.1.2

Psikolinguistik
Secara etimologis, istilah psikolinguistik berasal dari dua kata, yakni psikologi dan

linguistik. Seperti yang telah diketahui bahwa kedua kata tersebut masing-masing
merujuk pada nama sebuah disiplin ilmu. Secara umum, psikologi sering didefinikan
sebagai ilmu yang mempelajari perilaku manusia dengan cara mengkaji hakikat stimulus,
hakikat respon, dan hakikat proses-proses pikiran sebelum stimulus atau respon itu
terjadi. Pakar psikologi sekarang ini cenderung menganggap bahwa psikologi sebagai
ilmu yang mengkaji proses berpikir manusia dan segala manifestasinya yang mengatur
perilaku manusia itu. tujuan mengkaji proses berpikir itu ialah untuk memahami,
menjelaskan, dan meramalkan perilaku manusia.
Psikolinguistik merupakan ilmu yang menguraikan proses-proses psikologis yang
terjadi apabila seseorang menghasilkan kalimat dan memahami kalimat yang didengarnya
12

waktu berkomunikasi dan bagaimana kemampuan berbahasa itu diperoleh manusia


Simanjuntak (dalam Harras dan Bachari). Aitchison (1984) membatasi psikolinguistik
sebagai studi tentang bahasa dan pikiran. Psikolinguistik merupakan bidang studi yang
menghubungkan psikologi dengan linguistik. Tujuan utama seorang psikolinguis adalah
menemukan struktur dan proses yang melandasi kemampuan manusia untuk berbicara
dan memahami bahasa. Psikolinguis tidak tertarik pada interaksi bahasa di antara para
penutur bahasa. Hal yang menjadi objek psikolinguistik adalah menggali sesuatu yang
terjadi ketika individu berbahasa. Menurut Aitchison (1984) ada tiga hal yang menarik
perhatian psikolinguistik, yakni (1) masalah pemerolehan bahasa, (2) hubungan antara
pengetahuan bahasa dan penggunaan bahasa, (3) proses produksi dan pemahaman tuturan.

Peranan Psikolinguistik dalam Pembelajaran Keterampilan Berbahasa


Studi Psikolinguistik telah berhasil mencerahkan hubungan bahasa dengan proses

mental pada saat proses resepsi dan produksi bahasa terjadi. Proses resepsi meliputi
aktivitas menyimak dan membaca; cukupkan proses produksi meliputi aktivitas berbicara
dan menutis. Keempat aktivitas tersebut sering disebut empat keterampilan berbahasa.
Manfaat berbagai temuan studi Psikolinguistik terhadap pembelajaran keempat aktivitas
tersebut dikemukakan pada kegiatan belajar ini. Uraian ini didasarkan pada pendapat
Sumadi (1995) . Secara praktis, manfaat itu dikaitkan dengan kurikulum pembelajaran
bahasa Indonesia tahun 1994.
a) Teori Pemahaman
Ada dua pendekatan dalam pemahaman (comprehension) yaitu pendekatan
sintaktik dan pendekatan semantik. Melalui pendekatan sintaktik, pemahaman tersebut
dilakukan dengan pertama-tama mendasarkan diri pada struktur kalimat. Pemahaman
dilakukan dengan mengenali bunyi, kata, dan maujud yang terdapat dalam kalimat untuk
menangkap makna pernyataan yang terkandung dalam kalimat tersebut. Pemahaman
dengan pendekatan semantik berarti bahwa pemahaman tersebut dilakukan dengan
memberikan penafsiran makna pernyataan kalimat yang diterimanya berdasarkan

13

konteks, fakta, dan fungsi, baru kemudian mengidentifikasi bunyi, kata, dan konstituen
yang mendukung penafsiran tersebut. Menurut pendekatan ini, makna tidaklah
"memancar" dari teks, melainkan -I'diberikan" oleh penyimak/pembaca sesuai dengan
skemata yang dimilikinya (Hamied, 1995). Kedua pendekatan tersebut pada praktiknya
dapat digunakan secara bersamaan.
Sesuai dengan pendekatan yang digunakan dalam kurikulum bidang studi bahasa
Indonesia 1994, misalnya, aspek pemahaman harus diajarkan dengan menggunakan
pendekatan komunikatif. Hal ini berarti bahwa pengajaran pemahaman harus dilakukan
dalam bentuk pemahaman ujaran yang alamiah, yaitu bacaan yang digunakan dalam
peristiwa komunikasi yang sesungguhnya. Selanjutnya, guru menjelaskan proses
pemahaman dari pendekatan sintaktik dan semantik secara rinci proses dan hasil yang
diperolehnya sehingga menemukan makna proposisi tertentu. Penggunaan kedua
pendekatan tersebut selanjutnya dipadukan untuk meyakinkan kebenaran proposisi yang
diperolehnya. Jika hasilnya sama, kita semakin yakin kebenaran makna dari pernyataan
yang ditemukan. Jika hasilnya berbeda, dibahas selanjutnya mengapa berbeda. Demikian
seterusnya sehingga ditemukan pendekatan yang cocok sesuai dengan siswa.
Untuk mendukung pendekatan keterampilan proses dan cara belajar siswa aktif
yang dikehendaki dalam kurikulum 1994, tahapan pengajaran berikutnya adalah
pemberian tugas. Pemberian tugas dimulai dari mencari "teks" lisan atau tulis dengan
tema tertentu, selanjutnya siswa ditugasi untuk memahami proposisi yang terkandung di
dalamnya dengan pendekatan yang sudah diterimanya. Tugas ini dapat dilakukan secara
individual maupun kelompok. Hasil pengerjaan tugas tersebut selanjutnya dilaporkan dan
dibahas dalam diskusi kelas sehingga melibatkan beberapa aspek keterampilan menulis
atau kemahiran mengarang. Cukupkan pelaksanaan diskusi dalam kelas tentunya
melibatkan aspek keterampilan menyimak dan berbicara. Pengajaran pemahaman yang
demikian itu menunjukkan sumbangan Psikolinguistik terhadap pengajaran pemahaman
bahasa Indonesia. Namun, dalam kurikulum 1994 bidang studi bahasa Indonesia,
sumbangan Psikolinguistik tersebut tidak disebutkan secara ekplisit.
b) Teori Mendengarkan Selektif
14

Suatu fenomena yang merupakan penjelajahan khusus terhadap teori persepsi


ujaran adalah cocktail party phenomenon (fenomena pesta minum) Dalam teori ini
dibayangkan seseorang yang berbicara kepada orang lain dalam situasi pesta. yang sangat
ramai, ternyata orang yang diajak bicara tersebut masih dapat memahami kalimat-kalimat
yang digunakan mitra bicaranya. Ini terjadi karena pendengar melakukan kegiatan
mendengarkan selektif.
Teori di atas berguna dalam pengajaran berbicara dan menyimak yang dilakukan
secara terintegrasi. Pada kenyataan berbahasa Indonesia, kita sering berbicara dan
menyimak dalam situasi gaduh seperti dalam kendaraan sehingga deru mesin kendaraan
tersebut sangat mengganggu, dalam pesta atau rapat yang sangat banyak pengunjungnya,
dan sebagainya. Dalam kondisi seperti itu, kita sebagai pendengar harus menggunakan
teori mendengarkan secara setektif agar terus dapat mengikuti pembicara. Begitulah
komunikasi dengan bahasa yang sesungguhnya di masyarakat. Oleh sebab itu, pengajaran
bahasa Indonesia dengan pendekatan komunikatif harus menciptakan pengajaran yang
mencerminkan penggunaan bahasa yang sesungguhnya dalam masyarakat. Hal ini perlu
bagi pembelajar, karena kemampuan menyimak pembelajar perlu dilatih, termasuk
kemampuan menyimak selektif atau kemampuan mendengarkan selektif, agar
kemampuan mendengarkan pembelajar tersebut bertambah baik.
Teori produksi bermanfaat dalam mengajarkan berbicara dan menulis. Teori ini
menyatakan bahwa produksi bahasa melibatkan dua aktivitas utama, yaitu perencanaan
dan pelaksanaan. Dalam berbicara, misalnya, seorang penutur terlebih dahulu
merencanakan bagaimana dia bertutur untuk mempengaruhi mental pendengarnya.
Kemudian, ia melaksanakannya.
Dengan mengeluarkan segmen bunyi, kata, frasa, dan kalimat. Secara garis besar,
proses ini terdiri atas (1) rencana wacana, yaitu si penutur memutuskan wacana apa yang
akan dihasilkannya, (2) rencana kalimat, yaitu si penutur memutuskan tindak ujar apa
yang akan digunakan, mana yang given dan mana yang new, apakah disampaikan secara
langsung atau tidak, (3) rencana konstituen, yaitu si penutur memilih bunyi, kata, frasa,
idiom, beserta urutannya, (4) program artikulasi, yaitu si penutur menyimpan bunyi, kata,
frasa, idiom, beserta urutannya tersebut dalam memori lengkap dengan segmen
15

fonetisnya, dan (5) artikulasi, yaitu si penutur mengaktifkan otot-otot artikulatori untuk
menghasilkan program artikulasi yang telah disusun tadi.
c) Teori Penyangkalan
Penyangkalan atau denial merupakan bentuk pernyataan khusus. Penyangkatan
seperti subposisi dengan pembatalannya merupakan satu kesatuan. Penyangkalan
membiarkan informasi lama dan menegaskan informasi baru. Misalnya, "Ingot, kemarin
ketika saya berkata kepada Anda adalah John yang memukul Bill. Baiklah, saya salah."
Dalam kalimat yang kedua, terdapat pernyataan bahwa adalah John yang memukul Bill
tidak benar. Lalu apa yang ingin dibatalkan? Apakah John melakukan sesuatu, tetapi
bukan memukul Bill? Apakah John memukul seseorang, tetapi bukan Bitl? Apakah
sesuatu terjadi, tetapi bukan pemukulan Bill oleh John? Dalam pernyataan itu penutur
ingin menyatakan given information bahwa X memukul Bill adalah benar dan
rnembatalkankan new information bahwa X adatah John.
Bentuk-bentuk penyangkalan beserta penafsirannya seperti itu tepat diajarkan
kepada pembelajar bahasa Indonesia sesuai dengan kurikulum 1994. Hal ini sesuai
dengan pendekatan komunikatif yang digunakannya, pembelajar harus diajak untuk
memahami dan menggunakan kalimat-kalimat dalam latar komunikasi yang
sesungguhnya.
Dalam peristiwa komunikasi seperti itu, tentu tidak disangkal lagi penggunaan
kalimat-kalimat yang beberapa di antaranya adalah kalimat penyangkalan.Oleh karena
itu, guru perlu menjelaskan pembentukannya, pemahamannya, serta penggunaannya
dengan teori penyangkalan.
d) Teori Ambiguitas
Pada dasarnya terdapat dua teori ambiguitas, yaitu teori garden path dan teori
many meanings (Sumadi, 1994).
1. Teori garden path menyatakan bahwa manusia tidak menganggap suatu kalimat
sebagai ambigu karena hanya ada satu penafsiran terhadapnya. Cukupkan teori
meanings menyatakan bahwa pendengar membuat dua atau lebih tafsiran yang
16

berbeda untuk setiap kalimat ambigu dan segera memutuskannya mana yang benar
berdasarkan konteks. Di samping itu, ada teori no meaning yang menyatakan bahwa
pendengar mula-mula tidak memberikan tafsiran apa-apa terhadap kalimat, tetapi
menunggu sampai konteks menentukan sendiri tafsiran makna yang tepat.
2. Kedua teori tersebut, yaitu teori garden path dan teori many meanings selanjutnya
bergabung menjadi teori mixed. Teori ini menyatakan (1) ketika pendengar
menjumpai konstruksi yang ambigu, mereka memberikan penafsiran ganda.
3. Dengan bantuan konteks, mereka memilih tafsiran yang paling tepat, (3) kalau
keambiguan belum juga terpecahkan, mereka memilih untuk berpedoman pada satu
tafsiran saja, dan (4) jika konteks yang lebih tuas menotak tafsiran yang telah dipilih,
mereka melihat kembali struktur lahirnya dan memberikan tafsiran baru. yang lebih
sesuai.
Dalam penggunaan bahasa sering dijumpai penggunaan kalirnat-kalimat yang
ambigu. Dengan demikian, pengajaran bahasa Indonesia yang berpedoman pada
kurikulum 1994 yang menggunakan pendekatan komunikatif juga harus mengangkat
bahan ajar yang berapa di antaranya berupa kalimat-kalimat yang ambigu. Selanjutnya,
guru berusaha untuk mengajak pembelajar memahami dari berlatih membuat kalimatkalimat ambigu. tersebut agar pada saat diperlukan pembelajar sudah terbiasa
menggunakannya. Dikatakan pada saat diperlukan, karena memang kalimat-kalimat
ambigu itu pada saat tertentu harus digunakan. Kalimat ambigu tidak harus dihindari.
Misalnya, pada saat memimpin rapat dan pada rapat tersebut muncul pendapat-pendapat
yang sulit dipertemukan, seorang pemimpin rapat akan lebih baik menggunakan kalimat
ambigu. "Pendapat Saudara kami pertimbangkan". Apakah pendapat tersebut akan
digunakan? Belum tentu. Karena pembelajar bahasa Indonesia nanti akan terjun ke
masyarakat dan kemungkinan juga akan menghadapi situasi seperti itu, maka pengajaran
bahasa Indonesia yang baik juga harus memberikan sejumlah bekal, termasuk penguasaan
kalimat-kalimat ambigu. tersebut. Bagaimana guru mengajarkannya, bisa menggunakan
teori yang disebutkan di atas.
e) Teori Fitur Pembeda Bunyi (Features Distingtif)

17

Teori ini menyatakan bahwa setiap bunyi mempunyai sejumlah fitur sebagai
pembeda bunyi. Apakah bunyi itu konsonantal, apakah bunyi itu vokal, apakah bunyi itu
anterior, apakah bunyi itu coronal, apakah bunyi itu voice, apakah bunyi itu nasal, apakah
bunyi itu strident, dan apakah bunyi itu contonuart? Hasil analisis itu akan menghasilkan
fitur bunyi [b] sebagai pembeda dengan bunyi-bunyi yang lain.
Teori tersebut bermanfaat untuk mengajarkan bunyi bahasa Indonesia. Beberapa
bunyi dalam bahasa Indonesia sangat mirip, sehingga kedengarannya sama. Padahal
bunyi-bunyi tersebut sebenarnya berbeda. Misalnya, bunyi [f] dan [v], bunyi [s] dan [sy].
Guru akan dapat mengajarkan bunyi-bunyi tersebut dengan menggunakan fitur pembeda
bunyi. Pengajaran bunyi seperti itu diperlukan untuk menjelaskan pemakaian bunyi dalam
peristiwa komunikasi yang hampir sama tetapi sebenarnya berbeda
f) Teori Kontinuitas
Teori kontinuitas menyatakan bahwa penguasaan segmen bahasa berhubungan
langsung dengan segmen bahasa yang sudah dikuasai. Teori ini bermanfaat dalam
pengajaran bahasa Indonesia sesuai dengan kurikulum 1994. Dalam pengajaran kalimat,
misalnya, terlebih dahulu diajarkan kalimat-kalimat sederhana dan selanjutnya diajarkan
kalimat-kalimat luas yang terdiri atas dua klausa, tiga klausa, empat klausa, dan
seterusnya. Teori ini pula yang mendasari dipakainya pendekatan spiral dan
meninggalkan pendekatan blok sejak kurikulum 1984 diberlakukan.
Untuk merealisasikan penggunaan pendekatan komunikatif, tematik dan integratif,
serta pendekatan keterampilan proses dan cara belajar siswa aktif, pengajaran kalimat
bahasa Indonesia dilakukan dengan memberikan tugas kepada siswa. Siswa ditugaskan
untuk mengamati dan mencatat kalimat-kalimat yang digunakan penutur dalam peristiwa
komunikasi dengan tema tertentu. Kalimat-kalimat yang sudah diperoleh selanjutnya
dipilah-pilah berdasarkan jumlah klausanya dan hasilnya dilaporkan secara tertulis untuk
selanjutnya digunakan sebagai bahan diskusi kelas. Selanjutnya, pembelajar ditugasi
bermain peran dengan menggunakan kalimat-kalimat tertentu, misalnya, menggunakan
kalimat yang terdiri atas satu klausa sampai tiga klausa. Dengan demikian, pengajaran
kalimat dapat dilakukan secara lebih mendalam sehingga hasilnya diharapkan lebih baik.
18

g) Teori Direktif dan Komisif


Grimm (dalam Clark 1977) menemukan bahwa anak lima tahun sudah dapat
meminta, menyuruh, dan melarang seseorang untuk melakukan sesuatu. Namun, masih
sulit mengijinkan seseorang atau membuat tindak ujar komisif. Pada usia tujuh tahun,
anak sudah dapat menggunakan tindak ujar meminta, memerintah, melarang, dan
mengijinkan, tetapi masih sulit membuat janji. Dari penelitian tersebut tampaknya tindak
direktif diperoleh anak lebih awal daripada tindak komisif, karena tindak komisi
meletakkan kewajiban pada penutur itu sendiri.
Pengajaran bahasa Indonesia berdasarkan kurikulum 1994 mewajibkan guru
mengajarkan dan mengajak pembelajar untuk memahami dan menggunakan kalimatkalimat sebagai tindak ujar. Dalam pengajaran bahasa seperti itu, perlu dipikirkan tindak
ujar apa yang perlu diajarkan terlebih dahulu dan tindak ujar apa yang perlu diajarkan
kemudian. Sebagai contoh, hasil penelitian Grimm tersebut dapat diterapkan untuk
pengajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar. Tindak ujar direktif sebaiknya diajarkan
terlebih dahulu, cukupkan tindak ujar komisif
2.2.3 Antropolinguistik
Bahasa adalah bahagian dari kebudayaan yang erat hubungannya dengan berpikir.
Dengan demikian, masyarakat dengan budayanya memiliki cara berpikir tertentu yang
diekspresikan dalam bahasanya. Bahasa adalah alat intelektual yang paling fleksibel dan
yang paling berkekuatan yang dikembangkan oleh manusia. Salah satu fungsinya adalah
kemampuannya merefleksikan dunia dan dirinya sendiri. Bahasa dapat kita gunakan
untuk membicarakan bahasa itu sendiri. Demikian juga bahasa itu dapat mendeskripsikan
budaya masyarakat pemakai bahasa itu, dan melalui bahasanya kita dapat memahami
budaya pemakai bahasa itu yang di dalamnya tercakup juga cara berpikir masyarakatnya.
Sebagaimana kita ketahui bahwa di dunia terdapat beragam bahasa yang
digunakan dalam kehidupan sehari-hari, mereka menggunakan bahasa agar mereka
berkomunikasi secara lisan maupun tulisan. Sebelum menjelaskan lebih lanjut mengenai
Antropologi Linguistik, bagaimana bahasa yang di gunakan mempengaruhi budaya atau
19

budaya yang mempengaruhi bahasa. Hampir semua ahli bahasa sepaham dengan isi
definisi bahasa yang mengatakan bahwa bahasa adalah sistem lambang yang digunakan
oleh masyarakat sebagai alat komunikasi walaupun banyak definisi bahasa yang diberikan
para ahli atau pemerhati bahasa.
Bahasa dan budaya merupakan dua sisi mata uang yang berbeda, tetapi tidak dapat
dipisahkan, karena bahasa merupakan cermin budaya dan identitas diri penuturnya. Hal
ini berarti, apakah bahasa dapat mempengaruhi budaya masyarakat atau sebaliknya?
sehingga bahasa dapat menentukan kemajuan dan mematikan budaya bangsa. Bahasa
sebagai salah satu alat komunikasi digunakan oleh seluruh umat manusia untuk
berkomunikasi, berbagi ide, pikiran, perasaan, emosi, dan lain-lain.
Bahasa berkembang bersama dengan budaya. Sulit untuk menentukan apakah
bahasa mempengaruhi budaya ataukah budaya yang mempengaruhi bahasa. Berkenaan
dengan itu, lahir ilmu 'sociolinguistik' yang merupakan sebuah cabang ilmu linguistic
yang mempelajari tentang bahasa dan budaya. Linguistik modern berasal dari sarjana
swiss Ferdinand de Saussure, yang bukunya Cours de linguistique generale (mata
pelajaran linguistik umum) terbit tahun 1916, secara anumerta. Dalam bahasa Indonesia
ahli linguistik disebut linguis, yang dipinjam dari kata Inggris linguist. Dalam bahasa
(inggris) sehari-hari, linguist berarti seorang yang fasih dalam berbagai bahasa.
Dengan mendengar istilah Antropolinguistik, paling sedikit ada tiga relasi penting
yang perlu diperhatikan. Pertama, hubungan antara satu bahasa dengan satu budaya yang
bersangkutan. Artinya, ketika kita mempelajari suatu budaya, kita juga, bahkan harus
mempelajari bahasanya dan ketika kita mempelajari budayanya. Kedua, hubungan antara
bahasa dengan budaya secara umum. Dalam hal ini, kita tahu bahwa setiap ada satu
bahasa dalam satu masyarakat, maka ada satu budaya dalam masyarakat itu. Bahasa
mengindikasikan budaya: perbedaan bahasa berarti perbedaan budaya atau sebaliknya.
Oleh karena itu, penghitungan bahasa seolah-olah relevan dengan penghitungan budaya
bahkan penghitungan etnik. Ketiga, hubungan antara linguistik sebagai ilmu bahasa
dengan antropologi sebagai ilmu budaya.
Menurut Segall dkk (http://achokonyol.blogspot.com) bahwa istilah emik-etik
pada mulanya dicetuskan oleh Pike yang kemudian disepakati hingga sekarang oleh para
20

sarjana psikologi lintas budaya. Pike mula-mula melihat adanya gagasan yang sejalan
dalam pendekatan antara rumusan dan pengetrapan teori dengan fonetik dan fonemik.
Dalam bidang linguistik, fonemik adalah mempelajari pola-pola bunyi yang digunakan
dalam suatu bahasa tertentu. Sedangkan fonetik mencoba untuk mengeneralisir hasil-hasil
penelitian fonemik dari berbagai bahasa menjadi satu patokan pola-pola bunyi untuk
semua bahasa. Dari fonemik dan fonetik Pike mencopot istilah etik dan emik. Berry
(http://achokonyol.blogspot.com) merangkum komentar-komentar Pike pada pemilahan
emik-etik sebagaimana yang dipakai dalam psikologi,
Bahasa yang berbeda sangat menyulitkan masyarakat yang berkunjung ke daerah
yang lain. Misalnya seorang Bugis yang datang ke Bali. Tentu sangat sulit untuk
melakukan komunikasi. Atau ada pemberitahuan yang disampaikan kepada khalayak
ramai dengan menggunakan bahasa daerah, tentu menimbulkan kesalahpahaman bagi
pihak yang tidak mengerti.
Peranan bahasa sangat penting dalam memahami kebudayaan, dan peranan
kebudayaan juga sangat penting dalam memahami bahasa. Banyak terjadi kekeliruan,
kesalahpahaman, bahkan perselisihan karena orang tidak dapat menggunakan bahasa
yang sesuai dengan budaya peserta komunikasi. Di sisi lain, kemarahan dapat menjadi
reda apabila salah satu peserta komunikasi dapat menggunakan bahasa yang santun dan
mencerminkan budi yang baik. Secara singkat, dapat dikatakan bahwa komunikasi
melalui bahasa akan mencapai sasarannya apabila peserta komunikasi menempatkan
bahasa didalam konteks budayanya.
Keeratan hubungan antara bahasa dengan kebudayaan telah lama dirasakan para
linguis dan antropolog sehingga pembicaraan mengenai relasi kedua bidang itu bukanlah
topik baru dalam dunia ilmiah, di bawah ada beberapa hubungan bahasa dengan
kebudayaan.
1.Bahasa sebagai alat atau sarana kebudayaan
Dalam hubungan ini, bahasa berperan sebagai alat atau sarana kebudayaan, baik
untuk perkembangan, transmisi maupun penginventarisannya. Kebudayaan Indonesia
dikembangkan melalui bahasa Indonesia. Pemerkaan khazanah kebudayaan Indonesia
21

melalui kebudayaan daerah dan kebudayaan asing, misalnya, dilakukan dengan


menggunakan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Khazanah kebudayaan Indonesia
tersebut juga disebarkan atau dijelaskan melalui bahasa Indonesia sebab penerimaan
kebudayaan hanya bisa terwujud apabila kebudayaan itu dimengerti, dipahami, dan
dijunjung masyarakat pemilik kebudayaan itu sendiri. Dengan demikian, bahasa
memainkan peranan penting. Bahkan, sering dinyatakan bahwa kebudayaan dapat terjadi
apabila bahasa ada karena bahasalah yang menginginkan terbentuknya kebudayaan.
Bahasa digunakan sebagai ekspresi nilai-nilai budaya. Nilai-nilai budaya yang
dapat disampaikan oleh bahasa sebagai jalur penerus kebudayaan terbagi atas tiga bagian
kebudayaan yang saling berkaitan, kebudayaan ekspresi, kebudayaan tradisi, dan
kebudayaan fisik.
2.Bahasa sebagai bagian dari kebudayaan
Bahasa dikatakan sebagai bagian dari kebudayaan karena pembendarahan suatu
bangsa (http://achokonyol.blogspot.com) ialah jumlah kekayaan rohani dan jasmani
bangsa yang empunya bahasa itu. Tiap-tiap yang berpikir, tiap-tiap yang berbuat, tiap-tiap
yang dialami, malahan tiap-tiap yang ditangkap oleh pancaindra bangsa itu dengan sadar
dan yang menjadi pengertian dalam kehidupannya, terjelma dalam kata dan menjadi
sebagian dari kekayaan perbendaharaan kata bangsa itu. Dan kata yang berpuluh-puluh
dan berates-ratus ribu jumlahnya itu sekali lihat rupanya terpisah-pisah dan cerai-berai,
tetapi pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan kebudayaan bangsa yang empunya
bahasa itu.

3.Bahasa merupakan hasil dari kebudayaan


Dikaitkan bahwa bahasa (Levi-Strauss dalam http://achokonyol.blogspot.com)
merupakan hasil kebudayaan. Artinya, bahasa yang dipergunakan atau diucapkan oleh
suatu kelompok masyarakat adalah suatu refleksi atau cermin keseluruhan kebudayaan

22

masyarakat tersebut. Pada pelaksanaan upacara ritual, yang masing-masing menggunakan


bahasa. Peristiwa budaya semacam itu akan menghasilkan bahasa.
4.Bahasa hanya mempunyai makna dalam latar kebudayaan yang menjadi wadahnya
Bentuk bahasa yang sama mempunyai makna yang berbeda sesuai dengan
kebudayaan yang menjadi wadahnya. Jika dibandingkan antara 2dua suku bangsa, kita
akan melihat perbedaan makna tersebut.
5.Bahasa sebagai persyaratan kebudayaan
Pengertian bahasa sebagai persyaratan kebudayaan dapat diartikan dalam dua
cara. Pertama, bahasa merupakan persyaratan budaya secara diakronis karena kita
mempelajari kebudayaan melalui bahasa. Kedua, berdasarkan sudut pandang yang lebih
teoritis, bahasa merupakan persyaratan kebudayaan karena materi atau bahan pembentuk
keseluruhan kebudayaan, yakni relasi logis, oposisi, korelasi dan sebagainya.
6.Bahasa mempengaruhi cara berpikir
Bahasa dan berpikir dalam kehidupan manusia adalah dua hal yang sangat
mendasar dan saling berhubungan. Kedua hal ini secara khas dan jelas membedakan
manusia dari binatang. Dengan bahasa, orang berkomunikasi dengan dirinya sendiri
dengan orang lain, sedangkan dengan berpikir, dia dapat memecahkan berbagai masalah
kehidupan yang dihadapinya. Berpikir adalah upaya yang kita lakukan dengan jalan
mengorganisasikan serta menggunakan berbagai konsep, berbagai pertimbangan, berbagai
kebiasaan, dan berbagai kaidah sebelum suatu tindakan dilakukan.

7.Cara berpikir mempengaruhi bahasa


Sebaliknya, ada anggapan bahwa cara berpikir mempengaruhi cara berbahasa atau
dengan kata lain, pikiran yang termasuk kebudayaan mental mempengaruhi bahasa.
Dalam hal ini, kebudayaan suatu masyarakat (Wardhaug dalam
http://achokonyol.blogspot.com) berefleksi di dalam bahasa yang mereka pergunakan.
23

Pikiran (kebudayaan mental) mengarah bahasa menjadi bahasa yang berisi, bermakna,
dan bermanfaat. Kerusakan pikiran seseorang akan mempengaruhi bahasanya. Jika
pikiran seseorang kacau, maka bahasanya juga akan kacau. Pada suatu saat bahasa
seseorang mungkin bagus dan terpelihara, tetapi di saat lain bahasanya kurang terjaga.
Hal itu sangat tergantung pada keadaan pikiran ketika dia berbahasa. Mungkin, bahasa
orang gila masih dapat dimengerti, tetapi makna, manfaat, dan tujuannya tidak dapat
dipahami. Padahal, bahasa sebagai suatu system komunikasi harus dapat dipahami makna
dan tujuannya terutama bagi peserta komunikasi (penyapa dan pesapa).
8.Tata cara berbahasa dipengaruhi norma-norma budaya
Hubungan lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa di dalam tindak komunikasi,
kita tunduk pada norma-norma budaya. Tata cara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan
norma-norma budaya yang hidup dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunakan
bahasa tersebut. Apabila tata cara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan norma-norma
budayanya, maka dia tidak jarang dituduh orang yang aneh, egois, sombong, acuh, tidak
beradat atau bahkan tidak berbudaya.
9.Bahasa ditransmisi secara kultural
Artinya, kemampuan berbahasa ditransmisi dari generasi kegenerasi dengan
proses belajar dan bukan secara genetik. Pernyataan ini bukanlah menyangkal bahwa
anak-anak dilahirkan dengan kemampuan bawaan (batiniah) terhadap bahasa, melainkan
menegaskan perbedaan antara bahasa manusia dengan system komunikasi hewan.

10.Kebudayaan merupakan hasil komunikasi


Inti dasar kebudayaan sebagaimana sudah dijelaskan di atas adalah segala sesuatu
dalam rangka kehidupan masyarakat sebagai hasil proses belajar. Sesuatu yang dimaksud
di sini adalah ide, tindakan, dan hasil karya manusia. Ketiga-tiganya tercipta dan menjadi
bermanfaat dalam kehidupan manusia karena interkasi antar manusia di dalam
24

masyarakat itu. Interaksi manusia hanya akan dapat terwujud apabila terjadi komunikasi.
Tiada interaksi tanpa komunikasi. Itulah sebabnya interaksi sering diasosiasikan dengan
komunikasi.
11.Perubahan kebudayaan mempengaruhi perubahan bahasa
Hubungan antara bahasa dengan kebudayaan yang masih sangat perlu mendapat
perhatian adalah mengenai perubahan bahasa yang diakibatkan perubahan budaya.
Perubahsan bahasa yang diakibatkan perubahan budaya lebih menonjol pada aspek
leksikon (kosakata) daripada aspek-aspek linguistik lain baik mengenai bentuk maupun
mengenai makna leksikon itu. Perubahan bahasa secara leksikon dapat dilihat dari
beberapa segi, yaitu: (1) penghilangan, (2) penambahan, (3) perluasan, (4) penyempitan,
dan (5) pertukaran. Kelima hal itu akan dijelaskan dalam tulisan ini dengan mengambil
contoh-contoh dari bahasa Indonesia dan sedikit dari salah satu bahasa daerah di
Sumatera Utara.
12.Bahasa sebagai perekat emosi budaya
Hubungan bahasa sebagai perekat emosi budaya ini perlu juga dibuktikan dengan
pergi ke Berastagi untuk membeli jeruk dengan menggunakan bahasa Karo dan bahasa
Inggris. Mungkin, harga jeruk itu lebih murah dengan menggunakan bahasa Inggris.
Kalau begitu, hubungan bisnis kita dengan orang Tionghoa akan lebih lancar jika kita
dapat menggunakan bahasa Cina.
13.Bahasa sebagai pengarah pikiran
Pengarah pikiran ini akan lebih efektif lagi apabila pembicara menggunakan
kemampuan berbahasa, kemampuan komunikasi, dan kemampuan retorika yang memiliki
daya pikat seperti yang diperankan oleh seorang dosen, penceramah, juru kampanye, dan
ahli pidato yang komunikatif.
2.3 Teori Pendidikan

25

Pembelajaran bahasa merupakan sebuah proses. Hal ini berarti dalam


pembelajaran bahasa terdapat rangkaian perilaku yang menyebabkan terjadinya berbagai
perubahan, yaitu penggantian secara bertahap sebuah kondisi dengan kondisi lain yang
mengarah pada keadaan akhir yang diharapkan. Hal ini berarti pada bahwa pembelajaran
bahasa : (a) memerlukan waktu, tidak terjadi secara tiba-tiba: dan (b) disengaja atau
direncanakan, tidak terjadi secara kebetulan. (Kholid A. Harras dan Andika Dutha Bachari
: 92).
Belajar bahasa pada hakikatnya adalah belajar komunikasi. Oleh karena itu,
pembelajaran bahasa diarahkan untuk meningkatkan kemampuan pebelajar dalam
berkomunikasi, baik lisan maupun tulis (Depdikbud, 1995). Hal ini relevan dengan
kurikulum 2004 bahwa kompetensi pebelajar bahasa diarahkan ke dalam empat subaspek,
yaitu membaca, berbicara, menyimak, dan mendengarkan.
Wiliam G. Moulton (dalam Parera, 1986:21-23) memberikan prinsif pengajaran
bahasa sebagai berikut:
(1) Bahasa adalah ujaran dan bukan tulisan. Prinsif ini disesuaikan dengan
manifestasi pertama bahasa. Bahasa merupakan lambing bunyi. Bagi para guru
prinsif ini pada mulanya mengejutkan karena bagimereka belajar bahasa
adalah belajar membaca dan menulis. Anak-anak dapat berbahasa tanpa
mengenal satu sistem tulisan. Jadi, dalam pengajaran bahasa unsure
permulaannya ialah dengan dan bicara. Baca dan tulis merupakan manifestasi
kedua dalam pengajaran bahasa.
(2) Bahasa adalah seperangkat kebiasaan.
Seorang pembicara selalu sadar akan apa yang hendak ia katakan akan tetapi
ia tidak sadar tentang bagaimana ia menngatakan itu. Ia tidak sadar akan
mekanisme ujarannya. Ini sudah menjadi suatu kebiasaan yang ia warisi baik
secara genetis maupun secara lingkungan. Dan untuk mencapai kebiasaan itu
metode tingkat tiru dan ingat.
(3) Ajarkan bahasa dan bukan tentang bahasa.

26

Kita masih ingat dan mungkin masih menjumpai kenyataan bahwa pengajaran
bahasa Indonesia dan bahasa asing di Indonesia dijuruskan kepada
pemahaman dan penghafalan kaidah-kaidah tata bahasa. Hal ini
mengakibatkan para pelajar bahasa pandai menguraikan tata bahasa dan
mungkin dapat menghafalkan kaidah-kaidah tata bahasa sebuah bahasa akan
tetapi tidak dapat menggunakan bahasa itu dalam komunikasi dengan baik dan
benar. Mereka pandai membuat pernyataan-pernyataan tentang bahasa akan
tetapi mereka tidak dapat berbicara dalam bahasa tersebut. Mereka menjadi
ahli bahasa dan bukan pembicara.
(4) Bahasa-bahasa itu tidak sama.
Setiap bahasa mempunyai identitas dalam struktur dan makna. Itu sebabnya,
setiap bahasa harus diperlakukan sesuai dengan strukturnya secara otonomi.
Hal ini perlu dikatakan karena ada kecendrungan untuk menganalisis sebuah
bahasa dalam istilah dan konsep bahasa yang lain dan biasanya bahasa-bahasa
itu dianalisis dan dikonsepkan berdasarkan konsep tata bahasa Latin dan
Yunani.
Menurut Stern (dalam http://www.anakshaleh.com/2008/11/pengajaran-berbasisinkuiri.html) ada lima variabel yang perlu diperhatikan kalau kita membicarakan model
pengajaran bahasa. Kelima variabel itu, ialah (a) konteks sosial, (b) karakteristik si
terdidik (c) kondisi belajar. (d) proses belajar. dan (e) hasil belajar.
a.

Keadaan sosial mempengaruhi kondisi balajar dan karakteristik si terdidik.


Keadaan sosial yang berhubungan dengan faktor-faktor ekonomi, budaya, dan
bahasa, turut mempengaruhi proses belajar bahasa. Dapat dilihat apabila anak
berasal dari status ekonomi baik penguasaan bahasanya akan lebih cepat dari
pada anak yang tinggal dalam lingkungan kurang baik.

b. Variabel kedua yakni karakteristik si terdidik, yang berhubungan dengan


karakteristik si terdidik adalah umur, karakteristik kognitif, karakteristik afektif
dan karakteristik kepribadian. Berdasarkan karakteristik si terdidik adalah umur,
27

hal ini bararti orang yang berumur lebih tua lebih mudah di beri pembelajaran
dari pada orang yang lebih muda. Karakteristik kognitif berarti apabila orang
yang mempunyai intelegensi tinggi biasanya lebih cepat menerima dan menyerap
pembelajaran dari pada orang yang mempunyai intelejensi rendah. Karakteristik
afektif ini berhubungan dengan faktor emosi yang turut menentukan faktor
belajar, jadi apabila seorang anak mempunyai keberanian yang lebih maka dia
akan berani menampakan diri dalam praktek berbahasa. Hal ini akan
memunculkan karakteristik kepribadian mereka.
c. Variabel ketiga yang mempengaruhi model belajar bahasa adalah kondisi belajar.
Apabila kondisi belajar mendukung maka proses belajar lebih mudah jika
dibandingkan dengan kondisi belajar yang tidak mendukung.
d. Variabel keempat, yakni proses belajar. Proses belajar berkaitan dengan strategi,
teknik dan pelaksanaannya. Anak harus diberikan kesempatan untuk melakukan
percobaan, pengamatan sendiri menghadiri sesuatu membedakan, meniru,
mengingat, melatih berbagai keterampilan, mengambil kesimpulan, menduga.
membandingkan, membentuk hipotesis, memeriksa, membuat penilaian, dan
membuat sendiri.
e. Variabel terakhir, yakni hasil belajar. Hasil belajar berhubungan dengan
kompetensi dan performansi. Kompetensi berhubungan dengan kematangan si
terdidik menguasai kaidah bahasa yang dipelajari. Kaidah bahasa ini akan
tampak pada performansi terdidik, Performansi berkaitan dengan kecakapan dan
ketuntasan menggunakan kaidah bahasa sehingga penggunaan bahasa sesuai
dengan situasi dan kaidah yang benar, kalau si terdidik belajar bahasa Indonesia,
maka hasil belajarnya adalah kemantapannya dalam penggunaan kaidah bahasa
ketika Ia berkomunikasi secara resmi.

28

Menurut Stern, metodologi pengajaran bahasa atau teori pembelajaran bahasa pada
umumnya didasarkan pada empat konsep kunci, yaitu bahasa, belajar, mengajar bahasa,
dan konteks (Parera, 1986 : 6-7).
1. Pembelajaran bahasa membutuhkan suatu konsep tentang hakikat bahasa. Secara
implisit dan eksplisit seorang guru bahasa mengajar berdasarkan teori-teori tentang
bahasa. Oleh karena itu, bidang ilmu yang terkait dengan pembelajaran bahasa
adalah linguistk, psikolinguistik,, sosiolinguistik, dan studi khusus tentang bahasabahasa tertentu (linguistik deskriptif)
2. Pembelajaran bahasa membutuhkan pandangan dan wawasan tentang pelajar dan
hakikat belajar bahasa. Pertanyaannya adalah : Pelajar bahasa yang manakah
diramalkan oleh teori ini dan bagaimana pelajar melihat pelajaran bahasa? Bidang
ilmu yang berhubungan dengan pertanyaan ini adalah: psikologi, psikologi
pendidikan, dan psikolinguistik untuk pelajaran bahasa dan penggunaan bahasa.
3. Pembelajaran bahasa melibatkan guru bahasa dan pengajaran bahasa. Pertanyaan
yang diajukan ialah bagaimana teori-teori itu mengartikan pengajaran bahasa? Apa
peranan dan tugas yang dibebankan pada guru? Bagaimana pengajaran bahasa
dideskripsikan dan dianalisis? Bidang ilmu berkaitan dengan pertanyaan ini adalah
studi pendidikan.
4. Pembelajaran bahasa terjadi pada konteks tertentu. Penafsiran konteks amat penting
dalam teori ini. Bahasa, belajar, dan mengajar pasti selalu dipandang dari satu
konteks, setting, dan latar belakang. (1) Konteks bahasa adalah bahasa pertama
pelajar dan bahasa sasaran yang merupakan pengejawantaan diri dalam konteks
social, kultur, dan politik tertentu yang termuat dalam pelajaran bahasa. Dalam
pengembangan sebuah teori pengajaran bahasa. Pertanyaan yang perlu diajarkan.
Apa konteks sosiolinguistik tempat bahasa A atau B diajarkan? Ilmu-ilmu sosialsosiologi, sosiolinguistik, psikologi sosial, dan antropologi memudahkan kita
menjawab pertanyan-pertanyaan itu? (2) Setting pendidikan. Pertanyaan yang dapat
diajukan : Apa tempat bahasa-bahasa dalam setting pendidikan, umpamanya
pendidikan nasional ; dan bagaimana pengajaran bahasa kedua disesuaikan dengan
konteks pendidikan yang khusus? Pertanyaan ini memerlukan analisis pendidikan
29

yang didukung oleh analisis sosiologi dan sosiolinguistik. (3) Latar belakang
pengajaran. Konteks pengajaran bahasa dapat diartikan dengan cara yang lain.
Pengertian yang relevan itu ialah setting pengajar bahasa itu sendiri secara historis
dsn secara kontemporer. Pengajaran bahasa berhadapan dengan latar belakang yang
ada dan perkembangan-perkembangan yang silam dalam pedagogi bahasa. Latar
belakang ini melahirkan pertanyaan: Apa peristiwa-peristiwa yang mendahului teori
ini, dan apa tempatnya dalam perkembangan sejarah pengajaran bahasa? Sejarah
pengajaran bahasa, teori pendidikan, dan interpretasi tentang keadaan yang
berkembang sekarang merupakan sumber analisis untuk menjawab pertanyaanpertanyaan itu.Dengan pengajaran dan usaha menjawab pertanyaan-pertanyaan
tersebut orang dapat mengembangkan, menghaluskan, meramalkan, dan
mengevaluasi teori-teori pengajaran bahasa. Jawaban dan sumber analisisnya dapat
menempatkan guru bahasa sebagai satu profesi yang profesional.
Krashen (1981,1985) menyatakan bahwa dalam belajar bahasa asing atau bahasa
kedua, agar terjadi pemerolehan bahasa. Para pebelajar perlu memahami bahasa input
yang mengandung butir-butir bahasa yang agak berbeda di luar kompetensi bahasa yang
dimiliki pada saat itu. Pebelajar memahami bahasa yang demikian itu dengan memakai
kunci atau petunjuk-petunjuk pada situasi tertentu. Kadang-kadang dikatakan bahwa
kemampuan untuk memproduksi bahasa itu bisa terjadi secara alami dan tidak perlu diajar
secara langsung. Hipotesis input ini sama dengan hipotesis masukan yang menyatakan
bahwa cara seseorang memperoleh bahasa adalah melalui masukan yang dapat dipahami,
utamanya lewat pendengaran, dengan fokus pada pesan yang terkandung dalam apa yang
didengarnya, bukan bentuknya. Bagi anak-anak yang memperoleh bahasa ibunya, hal itu
terjadi sebelum mereka mampu berbicara, karena bagi mereka, kemampuan berbicara itu
menunggu antara lain kematangan fisik. Hipotesis ini dapat diterapkan pada pengajaran
B2 bagi orang dewasa. Pebelajar B2 dianggap mengalami suatu perkembangan dari
tahapan i (kompetensi sekarang) menuju tahapan i + l. Untuk menuju tahapan i+l, dituntut
suatu syarat bahwa pebelajar sudah mengerti mengenai masukan yang berisi i+l itu.

30

Teori yang diajukan oleh Krashen (1978) membedakan dua proses yang berbeda
dalam perkembangan dan penggunaan bahasa kedua atau bahasa asing. Pertama, yang
disebut pemerolehan, suatu proses bawah sadar yang membawa ke arah perkembangan
kompetensi dan tidak bergantung kepada pengajaran kaidah gramatikal. Proses kedua,
disebut pembelajaran, mengacu kepada kajian dan pengetahuan sadar tentang kaidah
gramatikal. Dalam memroduksi ujaran, pebelajar mula-mula menggunakan sistem kaidah
yang telah mereka peroleh. Pembelajaran dan belajar kaidah hanya mempunyai satu
fungsi, yaitu bertindak sebagai monitor atau editor (penyunting) ujaran yang oleh sistem
yang telah diperoleh (dikuasai) dan belajar tidak bisa menghasilkan pemerolehan. Konsep
tentang pemantau cukup rumit dan ditentang oleh Barry McLaughlin karena gagal dalam
hal ketidaktuntasan monitor dalam melakukan pemantauan terhadap pemakaian B2.
Penerapan monitor dapat menghasilkan efektifitas jika pemakai B2 memusatkan
perhatian pada bentuk yang benar. Syarat memahami kaidah merupakan syarat paling
berat sebab struktur bahasa sangat rumit. McLaughlin menyatakan bahwa (1) Monitor
jarang dipakai di dalam kondisi normal pemakaian dan dalam pemerolehan B2 dan (2)
Monitor secara teoritis merupakan konsep yang tidak berguna. Secara esensial
pemerolehan B2 (dan bahasa asing) sama prosesnya dengan pemerolehan B1 pada anakanak dan bahwa proses pemerolehan B2 itu berbeda dari proses pembelajaran.
a. Hipotesis Periode Kritis
Hipotesis ini mengklaim bahwa dalam perkembangan anak ada suatu
periode yang dapat lebih mudah dipakai untuk memperoleh bahasa daripada
periode lain. Menurut pakar biologi Lenneberg, periode kritis itu berakhir sampai
remaja (sekitar 12-13 tahun) dan sejalan dengan perkembangan biologisnya.
Lenneberg menyatakan bahwa mempelajari bahasa mungkin lebih sulit jika
dilakukan setelah remaja karena otak pebelajar sudah kurang mampu
mengadaptasi. Ia percaya bahwa hal ini disebabkan oleh fungsi bahasa dari otak
sudah mapan pada salah satu bagian otak tertentu atau karena lateralisasi pada
waktu itu sudah terjadi. Hipotesis yang mengklaim bahwa ada suatu tahap dalam
kematangan pada seseorang manusia yang memungkinkannya memperoleh bahasa
31

secara alami. Sebelum dan setelah periode itu, pemerolehan bahasa yang
sebenarnya tidak dapat terjadi. Ini sesuai dengan pandangan umum bahwa anakanak mampu belajar B2 dengan berhasil baik, sedangkan orang dewasa tidak.
Namun, bukti-bukti tentang kajian B2 belum memberi kepastian. Eksplanasi
tentang tingkat keberhasilan belajar dan usia tersebut dapat dilihat dari beberapa
sisi. Eksplanasi fisiologis merentang dari hilangnya kelenturan dalam otak, ke
spesialisasi otak menjadi dua hemisfer, sampai kepada tumbuhnya sel-sel gyrus
granule di dalam otak. Eksplanasi sosial berbicara tentang perbedaan situasi dan
masukan bahasa pada anak dan orang dewasa. Eksplanasi afektif berbicara tentang
alangan afektif yang muncul pada usia belasan tahun antara pebelajar dengan
masukan. Eksplanasi kognitif berbicara tentang kesulitan belajar bahasa bagi
mereka pada tahap-tahap akhir perkembangan kognitif dan tahap pembentukan
ego bahasa yang sulit untuk dirasuki. Eksplanasi linguistik berbicara tentang
kurangnya akses ke tata bahasa universal dalam B2.
Ciri yang dikemukakan di sini adalah ciri tata bahasa pendidikan yang
berorientasi ke bahasa Indonesia, yakni :
a) Menunjukkan bagaimana menggunakan unsur-unsur kebahasaan dalam rangka
menperoleh kemampuan berbahasa, baik secara lisan maupun tertulis.
b) Menjadi sumber untuk menyajikan bahan pengajaran bahasa Indonesia disetiap
jenjang pendidikan.
c) Berusaha memberikan sumbangan dalam pengajaran bahasa terutama yang
berkenaan dengan pola-pola kebahasaan.
d) Digunakan istilah dengan urutan kriteria yang telah ada, dikenal umum, lazim
digunakan oleh ahli bahasa Indonesia dan dapat dipertanggung jawabkan secara
ilmiah.
e) Rumusan kaidah dibuat sederhana dan semudah mungkin yang sifatnya bukan
memerikan melainkan menunjukkan penggunaannya.
f) Kaidah dirumuskan berdasarkan bahaa yang digunakan oleh pemakai bahasa.
g) Setiap kaidah perlu diberi saran pada jenjang atau peringkat mana kaidah tersebut
sebaiknya diberikan.
32

a. Penerapan dalam Fonologi


Bahan yang diajarkan dalam bidang fonem terkait dengan pelafalan dan ejaan.
Persoalan yang ada di sini adalah bagaimana cara guru merumuskan aturan fonem bahasa
Indonesia agar dapat dipahami oleh si terdidik sehingga dapat menolong si terdidik ketika
menggunakan bahasa dalam kegiatan sehari-hari.
Chaer (dalam Pateda, 1991:163) merumuskan, misalnya untuk vokal /a/ dilafalkan
dengan cara menarik lidah ke belakang dan ke bawah, disertai dengan menghembuskan
udara ke luar dan mulut dibuka lebar-lebar membundar. Agar si terdidik lebih memahami
rumusan tersebut, perlu diberikan contoh dalam bentuk kata yang kemudian digunakan
dalam kalimat.
Hal lain yang berkaitan dengan fonologi adalah ejaan. Ejaan adalah kaidah
penyalinan bahasa lisan ke dalam bahasa tulis. Selain berisi kaidah, ejaan juga memuat
tanda baca yang lazim digunakan dalam berbahasa. Latihan mengenai ejaan ini dapat
diberikan contohnya dengan menerapkannya dalam menulis surat, baik surat resmi
maupun surat pribadi.
b. Penerapan dalam Morfologi
Morfologi berhubungan dengan tata bentuk, wilayah kajiannya mulai dari yang
terkecil seperti morfem dan yang terbesar adalah kata. Untuk menerapkannya kita
memerlukan pokok bahasan dan subpokok bahasan yang telah digariskan dalam
kurikulum. Lalu uraian lebih lanjut dapat dengan mengklasifikasikan kata ke dalam
bentuknya disertai dengan penjelasan kaidah penggunaannya.
Salah satu contoh penerapan dalam morfologi adalah pada pokok bahasan
mengenai kata benda. Pembelajaran dapat dilakukan dengan pemberian ciri kata benda
kemudian dapat dilanjutkan dengan jalan mengklasifikasikan kata benda tersebut. Lalu
pembelajaran dapat dilanjutkan dengan memberikan penjelasan tentang kata benda
disertai kaidah penggunaannya.

33

c. Penerapan dalam Sintaksis


Sintaksis mempersoalkan antara lain bagaimana membangun sebuah kalimat
gramatikal. Cakupannya adalah frase, klausa, dan kalimat. Hal yang berkaitan dengan tata
bahasa pendidikan dalam persoalan sintaksis yakni bagaimana rumusan mengenai
cakupannya dapat dipahami dan diterapkan oleh si terdidik dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu contoh penerapan dalam sintaksis adalah saat pembelajaran mengenai
kalimat berita. Kegiatan yang dapat dilakukan guru dalam pembelajaran kalimat berita ini
dapat dilakukan dengan menyampaikan tujuan khusus pembelajaran, menyampaikan
hakikat kaliamat berita dan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam membuat kalimat
berita.
d. Penerapan dalam Semantik
Semantik membicarakan makna, baik makna gramatikal maupun leksikal, untuk
merumuskannya maka sumber utama yang digunakan adalah kamus. Untuk merumuskan
makna kata dapat dipakai beberapa cara:
a. menggunakan asosiasi kata
b. konsep makna kata itu digambar
c. menempatkan kata dalam kalimat
d. menterjemahkaan ke dalam bahasa yang diketahui si terdidik
e. membuat kata lain yang berasal dari morfem dasarnya
f. latihan
g. mencari sinonim
h. mencari antonym
i. memerikan kata berdasarkan komponen yang terdapat dalam konsep kata itu.
2.4 Pemerolehan B1 dan B2 Sebagai Dasar Kajian Linguistik Terapan
Proses anak mulai mengenal komunikasi dengan lingkungannya secara verbal
disebut dengan pemerolehan bahasa anak/bahasa pertama. Pemerolehan bahasa pertama
(B1) (anak) terjadi bila anak yang sejak semula tanpa bahasa kini telah memperoleh satu

34

bahasa. Pada masa pemerolehan bahasa anak, anak lebih mengarah pada fungsi
komunikasi daripada bentuk bahasanya.
Pemerolehan bahasa anak-anak dapat dikatakan mempunyai ciri kesinambungan,
memiliki suatu rangkaian kesatuan, yang bergerak dari ucapan satu kata sederhana
menuju gabungan kata yang lebih rumit.
Ada dua pengertian mengenai pemerolehan bahasa. Pertama, pemerolehan bahasa
mempunyai permulaan yang mendadak, tiba-tiba. Kedua, pemerolehan bahasa memiliki
suatu permulaan yang gradual yang muncul dari prestasi-prestasi motorik, sosial, dan
kognitif pralinguistik.
Pemerolehan bahasa pertama (B1) sangat erat hubungannya dengan
perkembangan kognitif yakni pertama, jika anak dapat menghasilkan ucapan-ucapan yang
berdasar pada tata bahasa yang teratur rapi, tidaklah secara otomatis mengimplikasikan
bahwa anak telah menguasai bahasa yang bersangkutan dengan baik. Kedua, pembicara
harus memperoleh kategori-kategori kognitif yang mendasari berbagai makna ekspresif
bahasa-bahasa alamiah, seperti kata, ruang, modalitas, kausalitas, dan sebagainya.
Persyaratan-persyaratan kognitif terhadap penguasaan bahasa lebih banyak dituntut pada
pemerolehan bahasa kedua (PB2) daripada dalam pemerolehan bahasa pertama (PB1).
Manusia memiliki warisan biologi yang sudah dibawa sejak lahir berupa
kesanggupannya untuk berkomunikasi dengan bahasa khusus manusia dan itu tidak ada
hubungannya dengan kecerdasan atau pemikiran. Kemampuan berbahasa hanya sedikit
korelasinya terhadap IQ manusia . Kemampuan berbahasa anak yang normal sama
dengan anak-anak yang cacat. Kemampuan berbahasa sangat erat hubungannya dengan
bagian-bagian anatomi dan fisiologi manusia, seperti bagian otak tertentu yang mendasari
bahasa dan topografi korteks yang khusus untuk bahasa. Tingkat perkembangan bahasa
anak sama bagi semua anak normal; semua anak dapat dikatakan mengikuti pola
perkembangan bahasa yang sama, yaitu lebih dahulu menguasai prinsip-prinsip
pembagian dan pola persepsi. Kekurangan hanya sedikit saja dapat melambangkan
perkembangan bahasa anak. Bahasa tidak dapat diajarkan pada makhluk lain. Bahasa
bersifat universal. Pemerolehan bahasa pertama erat kaitannya dengan permulaan yang
gradual yang muncul dari prestasi-prestasi motorik, sosial, dan kognitif pralinguistik
Pemerolehan bahasa pertama erat sekali kaitannya dengan perkembangan sosial
anak dan karenanya juga erat hubungannya dengan pembentukan identitas sosial.
35

Mempelajari bahasa pertama merupakan salah satu perkembangan menyeluruh anak


menjadi anggota penuh suatu masyarakat. Bahasa memudahkan anak mengekspresikan
gagasan, kemauannya dengan cara yang benar-benar dapat diterima secara sosial. Bahasa
merupakan media yang dapat digunakan anak untuk memperoleh nilai-nilai budaya,
moral, agama, dan nilai-nilai lain dalam masyarakat. Dalam melangsungkan upaya
memperoleh bahasa, anak dibimbing oleh prinsip atau falsafah jadilah orang lain dengan
sedikit perbedaan, ataupun dapatkan atau perolehlah suatu identitas sosial dan di
dalamnya, dan kembangkan identitas pribadi Anda sendiri.
Sejak dini bayi telah berinteraksi di dalam lingkungan sosialnya. Seorang ibu
seringkali memberi kesempatan kepada bayi untuk ikut dalam komunikasi sosial
dengannya. Kala itulah bayi pertama kali mengenal sosialisasi, bahwa dunia ini adalah
tempat orang saling berbagi rasa
Melalui bahasa khusus bahasa pertama (B1), seorang anak belajar untuk menjadi
anggota masyarakat. B1 menjadi salah satu sarana untuk mengungkapkan perasaan,
keinginan, dan pendirian, dalam bentuk-bentuk bahasa yang dianggap ada. Ia belajar pula
bahwa ada bentuk-bentuk yang tidak dapat diterima anggota masyarakatnya, ia tidak
selalu boleh mengungkapkan perasaannya secara gamblang.
Apabila seorang anak menggunakan ujaran-ujaran yang bentuknya benar atau
gramatikal, belum berarti bahwa ia telah menguasai B1. Agar seorang anak dapat
dianggap telah menguasai B1 ada beberapa unsur yang penting yang berkaitan dengan
perkembangan jiwa dan kognitif anak itu. Perkembangan nosi-nosi (notion) atau
pemahaman seperti waktu, ruang, modalitas, sebab akibat, dan deiktis merupakan bagian
yang penting dalam perkembangan kognitif penguasaan B1 seorang anak.
Sistem pikiran yang terdapat pada anak-anak dibangun sedikit demi sedikit apabila
ada rangsangan dunia sekitarnya sebagai masukan atau input (yaitu apa yang dilihat anak,
didengar, dan yang disentuh yang menggambarkan benda, peristiwa dan keadaan sekitar
anak yang mereka alami). Lama kelamaan pikirannya akan terbentuk dengan sempurna.
Setelah itu sistem bahasanya lengkap dengan perbendaharaan kata dan tata bahasanya pun
terbentuk.
2.5 Konstruksi Materi

36

1)

Keterkaitan Kosakata dengan Psikologi Pendidikan


Kualitas keterampilan berbahasa seseorang jelas bergantung kepada kualitas dan

kuantitas kosakata yang dimilikinya. Semakin kaya kosakata yang dimiliki, maka
semakin besar pula kemungkinan seseorang terampil berbahasa. Perlu disadari dan
dipahami benar-benar bahwa kenaikan kelas para siswa di sekolah ditentukan oleh
kualitas keterampilan berbahasa mereka. Kenaikan kelas itu berarti pula merupakan suatu
jaminan akan peningkatan kuantitas dan kualitas kosakata mereka dalam segala bidang
studi yang mereka peroleh sesuai dengan kurikulum. Banyak orang yang kurang
menyadari bahwa nilai yang tertera pada rapor siswa merupakan cermin akan kualitas dan
kuantitas kosakata siswa. Baik atau buruk nilai rapor itu mencerminkan baik atau
tidaknya keterampilan berbahasa mereka.
Kalau masalah ini di perhatikan dengan benar-benar, maka dapat dimengerti betapa
pentingnya pembelajaran kosakata yang bersistem di sekolah-sekolah sedini mungkin.
Kuantitas dan kualitas kosakata seseorang siswa turut menentukan keberhasilan dalam
kehidupan. Kualitas dan kuantitas, tingkatan dan kedalaman kosakata sesorang
merupakan indeks pribadi yang terbaik bagi perkembangan mentalnya.
Perkembangan kosakata ialah merupakan perkembangan konseptual, yakni suatu
tujuan pendidikan dasar bagi setiap sekolah atau perguruan. Semua pendidikan pada
prinsipnya ialah perkembangan kosakata yang juga merupakan perkembangan
konseptual. Suatu program yang sistematis bagi perkembangan kosakata akan
dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, pendapatan, kemampuan, bawaan, dan status sosial
serta fator-faktor geografis. Seperti halnya dalam proses membaca yang membimbing
siswa dari yang telah diketahui menuju ke arah yang belum atau tidak diketahui. Oleh
karena itu, telaah kosakata yang efektif haruslah beranjak dengan arah yang sama atau
tidak diketahui (Tarigan, 1986:2 ). Jadi jelaslah bahwa bertambahnya kosakata pada diri
seseorang itu seiring dengan perkembangan umur dan pengalaman seseorang. Sebagai
contohnya manusia saat baru lahir yang belum mampu untuk berbicara, namun seiring
dengan perkembangan jiwa dan umurnya, maka sang bayi akan mampu menilai sesuatu

37

dengan kata serta mampu mengapresiasikan kehendaknya dengan bahasa dan ungkapanungkapan.
Sudah jelas bahwa uraian di atas mencerminkan hakikat pembelajaran bahasa, yaitu
siswa mampu berkomunikasi baik secara lisan maupun tertulis. Untuk mencapai hal itu
siswa perlu dibekali kemampuan penguasaan kosakata yang memadai. Sebab kalau tidak
demikian maka siswa tidak dapat berkomunikasi secara optimal. Sesuai hakikatnya
pembelajaran bahasa, pembelajaran kosakata tidak diajar kata-kata lepas atau kalimatkalimat lepas, tetapi terlibat dalam konteks wacana, berkaitan dengan mata pelajaran dan
berkaitan pula dengan bidang-bidang tertentu.

2)

Analisis Konstruksi Kalimat berdasarkan Panjang Pendeknya Kalimat


Buku pelajaran yang baik menyajikan bahan secara lengkap, sistematis, sesuai

dengan tuntutan pembelajaran yang berpusat pada siswa, dan cara penyajian yang
membuat enak dibaca dan dipelajari. Berikut adalah point khusus dalam penyajian materi:
a. Penyajian konsep disajikan secara runtun mulai dari yang mudah ke sukar, dari
yang konkret ke abstrak dan dari yang sederhana ke kompleks, dari yang dikenal
sampai yang belum dikenal.
b. Terdapat uraian tentang apa yang akan dicapai peserta didik setelah mempelajari
bab tersebut dalam upaya membangkitkan motivasi belajar.
c. Terdapat contoh-contoh soal yang dapat membantu menguatkan pemahaman
konsep yang ada dalam materi.
d. Soal-soal yang dapat melatih kemampuan memahami dan menerapkan konsep
yang berkaitan dengan materi dalam bab sebagai umpan balik disajikan pada
setiap akhir bab.
e. Penyampaian pesan antara subbab yang berdekatan mencerminkan keruntutan dan
keterkaitan isi.
f. Pesan atau materi yang disajikan dalam satu bab/subbab/alinea harus
mencerminkan kesatuan tema.

38

3)

Analisis Konstruksi Kalimat berdasarkan Kelengkapan Struktur


Bahasa sebagai suatu sistem berarti bahwa bahasa itu mempunyai struktur sebagai

suatu ketetapan kaidah. Struktur yang membentuk sistem dalam pemakaiannya tidak
dapat dipisahkan. Bahasa merupakan kesatuan struktur yang bersistem. Oleh karena itu,
materi peljaran bahasa harus mencakup system dan struktur yang meliputi: fonologi,
morfologi, sintaksis, wacana, semantik.
Pemakaian bahasa dalam masyarakat tentu bertolak dari sistem dan struktur yang
ada. Oleh karena itu, materi pelajaran bahasa harus mencakup pemakaian bahasa dengan
jangkauan materi di bidang-bidang kosa kata, ungkapan, istilah, dan lain sebagainya.
Bahasa yang dipelajari tentu mempunyai perkembangan. Sejarah perkembangannya tidak
bisa terlupakan. Jangkauan materi pelajaran harus mempertimbangkan sejarah bahasa,
gejala baru yang tampak dalam bahasa yang dipelajari, dan masalah-masalah interferensi
bahasa pertama ke dalam bahasa kedua.

4)

Analisis Konstruksi Kalimat berdasarkan Ide


Cara seorang penulis menyampaikan ide tentunya berbeda-beda. Penyampaian ide

biasanya dilakukan melalui dua cara, yaitu ide disampaikan di awal tulisan yang
kemudian disusul oleh kalimat-kalimat penjelas (termasuk contoh atau ilustrasi) dan ide
yang disampaikan di akhir pemaparan. Dengan cara kedua, penulis akan menampilkan
ide-ide penjelas terlebih dahulu yang kemudian ditutup atau disimpulkan dengan ide
utama tulisan tersbut.

2.6 Modus Berpikir (Robert Kaplan)


Retorika, dalam sejarahnya yang panjang, bermula dari para pemikir Yunani Kuno
dan terus berkembang sampai zaman modern ini. Dalam kaitannya dengan wacana tulis

39

atau teks, retorika berarti modus berpikir. Bagi umat manusia, kemampuan berpikir dan
berbahasa merupakan suatu ciri universal. Namun modus berpikir, terutama dalam
wacana tulis, ternyata berbeda jika ditinjau secara lintas-budaya. Dalam membicarakan
retorika perbandingan, Robert Kaplan (dalam http://sastra.um.ac.id/wpcontent/uploads/2009/11/009-Terjemah-Quran-NJ-Dawood.dc1.pdf) adalah ilmuwan
modern yang terkenal dengan empat hipotesisnya: (1) modus berpikir dalam kelompok
budaya Ango-Saxon (terutama penutur bahasa Inggris) adalah linier atau lurus; (2) modus
berpikir kelompok budaya Roman (misalnya bangsa Italia, Perancis, dan Rusia) adalah
digresif atau maju-mundur; (3) modus berpikir kelompok budaya Semitik (terutama
bangsa Arab) adalah paralel atau koordinatif; dan (4) modus berpikir kelompok budaya
Oriental atau Timur (misalnya bangsa Cina, Jepang, dan Indonesia) adalah sirkuler atau
melingkar.
1. Modus Retorika Anglo-Saxon
Modus retorika ini berkembang dari cara berpikir Plato-Aristotelian yang
kemudian diikuti oleh pemikir-pemikir dunia Barat sejak zaman Yunani Kuno,
Romawi, Abad Pertengahan, Renaisance, sampai sekarang (ilmuwan seluruh
dunia). Modus retorika ini bersifat linear, yakni menggunakan metode
pengembangan pikiran dengan teknik deduksi atau induksi atau dari umum ke
khusus (deduktif), khusus ke umum (induktif). Kalimat topik ke kalimat penjelas
(contoh, ilustrasi, dsb) = deduksi; kalimat penjelas ke kalimat topik = induksi
2. Modus Retorika Franco-Italia
Modus berpikir kelompok budaya Roman (misalnya bangsa Italia, Perancis, dan
Rusia) adalah digresif atau maju-mundur. Modus retorika ini berkembang dari
kebudayaan di Perancis, Italia termasuk Spanyol. Pemakaian kata-kata yang boros
dan berbunga-bunga sebelum sampai pada inti persoalan. Model ini terkesan
puitis (romantis).
3. Modus Retorika Semitik
Modus retorika ini berkembang dari budaya Arab-Persia. Modus berpikir
kelompok budaya Semitik (terutama bangsa Arab) adalah paralel atau koordinatif.
penggunaan paralelisme berlebihan, misalnya dan atau tetapi. Pemakaian kalimat
majemuk setara jauh lebih banyak dari kalimat majemuk bertingkat.
4. Modus Retorika Asiatik
40

Modus retorika ini berkembang dari budaya bangsa-bangsa di Asia (termasuk


Indonesia). modus berpikir kelompok budaya Oriental atau Timur (misalnya
bangsa Cina, Jepang, dan Indonesia) adalah sirkuler atau melingkar. Modus
berpikir sirkuler atau melingkar adalah cara berpikir tidak langsung ke inti
persoalan, tidak berterus terang, dan berputar-putar.

41

BAB III
PEMBAHASAAN
3.1 Kontruksi Materi
Identitas Buku
1. I Nyoman Adi Susrawan
Judul Buku

: Aktif Berbahasa Indonesia untuk SMP/MTs Kelas VII

Penulis

: Dewi Indrawati dan Didi Durianto

Tahun Terbit

: 2007

Nama Penerbit : Pusat Perbukuan depertemen Pendidikan Nasional


Tebal Buku

: 193 halaman

Judul Buku

: Bahasa dan Sastra Indonesia 1 untuk SMP/MTs Kelas VII

Penulis

: Maryati dan Sutopo

Tahun Terbit

: 2008

Nama Penerbit : Pusat Perbukuan depertemen Pendidikan Nasional


Tebal Buku

: 122 halaman

2. Ni Wayan Eminda Sari


Judul buku
: Bina Bahasa Indonesia
Kelas
: VI
Karangan
: Tim Bina Karya Guru
Materi

a. Membaca
b. Menulis

: Membaca laporan hasil pengamatan


: Mengenal penggunaan tanda baca garis miring (/)

42

Judul buku
Kelas
Karangan
Materi
a. Membaca
b. Menulis

: Bahasa Indonesia
: VI
: Umri Nuraini dan Indriyani
:
: Mendeskripsikan laporan pengamatan
: Menggunakan tanda baca titik dua (:) dan garis miring (/)

3. Ni Putu Candra Gunasari


a) Buku Karangan Edi Warsidi dan Farika
1) Mendengarkan: Mendengarkan cerita anak
2) Berbicara: Berwawancara dengan narasumber
3) Membaca: Membaca puisi
4) Menulis:Menulis surat undangan
b) Buku Karangan Hesti Puji Rastuti, dkk
1) Mendengarkan: Mendengarkan cerita
2) Berbicara: Berwawancara
3) Membaca: Membaca puisi
4) Menulis: Menulis surat
4. Ni Ketut Noriasih
a. Buku yang berjudul Kreatif Berbahasa dan Bersastra Indonesia Pelajaran Bahasa
Indonesia untuk SMP Kelas VIII ditulis oleh Rusmiyanto dan Wahono penerbit
Ganeca Exact. Sesuai silabus dengan kompetensi dasar menulis surat dinas yang
berhubungan dengan sekolah, aspek ketrampilannya adalah menulis.
b. Buku yang berjudul Seribu Pena BAHASA INDONESIA untuk SMP/ MTs kelas
VIII, Rangkuman Materi, Contoh Soal & Pembahasan, Soal-Soal Latihan &
Evaluasi,
pengarang Tim Abdi Guru, penerbit Erlangga.
5. Ni Made Yeni Handayani
Penulis menganalisis dua buah buku teks untuk kelas 2 SMP (kelas VIII). Buku
pertama adalah Belajar Bahasa Indonesia Untuk Kelas 2 SLTP Materi Disesuaikan
Dengan Kurikulum 1994, Penerbit PT. Mapan. Buku kedua ialah Seribu Pena Bahasa
Indonesia untuk SMP/MTs Kelas VIII, Penerbit Erlangga. Adapun materi yang
dianalisis pada kedua buku tersebut adalah
1. Menyusun Laporan Kegiatan
2. Menulis Pengalaman Pribadi yang Menarik dalam Bentuk Puisi atau
3. Menyusun Kalimat untuk Poster, Imbauan, Slogan, atau Iklan
43

Cerpen

6. Gede Sukalima Aksirnaka


Buku yang dianalisis adalah :
1. Buku Kompetensi Berbahasa dan Bersastra Indonesia Bahasa dan Sastra
Indonesia untuk SMA dan MA Kelas XII karangan Mohammad Rohmadi
Penerbit Grahadi.
2. Buku Cendikia Berbahasa Bahasa dan Sastra Indonesia untuk KELAS XII
SMA/MA PROGRAM IPA/IPS karanagn Erwan Juhara, Eryandi Budiman, Rita
Rohayati Penerbit PT Setia Purna
Materi yang dianalisis adalah :

-Membaca Teks Pidato


-Menulis paragraf Deduktif dan Induktif
-Membaca cerpen

7. Nyoman Deni Wahyudi


Analisis perbandingan yang penulis lakukan dalam laporan ini adalah dengan
menggunakan dua buah buku pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia untuk siswa SD
Kelas 6 khususnya di SD Negeri 4 Sukasada. Kedua buah buku tersebut antara lain
sebagai berikut.
(a) Buku I
Judul

: Bahasa Indonesia untuk Sekolah Dasar Kelas VI

Penulis

: Umri Nuraini dan Indriyani

Penerbit

: Pusat Pebukuan Departemen Pendidikan Nasional

Tahun Terbit

: 2008

Jumlah Halaman

: 136 halaman

Sajian Materi Pelajaran yang Dianalisis :


(1) Berbicara
Mengkritik sesuatu disertai alasan.
(2) Menulis
Menyusun naskah pidato.
(b) Buku II
Judul

: Bina Bahasa dan Sastra Indonesia untuk Sekolah Dasar Kelas VI


(6A/Semester 1)

44

Penulis

: Tim Bina Karya Guru

Penerbit

: Erlangga

Tahun Terbit

: 2004

Jumlah Halaman

: 162 halaman

Sajian Materi Pelajaran yang Dianalisis :


(1) Berbicara
Mengkritik sesuatu disertai alasan.
(2) Menulis
Menulis naskah pidato
8. I Kadek Surya Kencana
Terkait konstruksi materi, buku yang dianalisis dalam makalah ini terdiri atas dua
buah buku, yakni buku Bahasa Indonesia Membuatku Cerdas 6 untuk Kelas VI Sekolah
Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah yang diterbitkan oleh Pusat Perbukuan Departemen
Pendidikan Nasional dan buku Mandiri (Mengasah Kemampuan Diri) Bahasa Indonesia
Jilid 6 untuk SD/MI Kelas VI yang diterbitkan oleh Penerbit Erlangga. Konstruksi materi
ajar yang dibandingkan dalam makalah ini terdiri atas materi berpidato, membaca puisi
karya sendiri, dan memahami drama.
9. I Putu Mas Dewantara
1) Judul

: Bahasa Indonesia: SD/MI Kelas 6

Penulis

: Samidi dan Tri Puspitasari

Penerbit

: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional

Tahun

: 2008

Jumlah Halaman

: 160 halaman

Halaman Kajian

: 103-106

2) Judul

: Bahasa Indonesia Membuatku Cerdas: untuk Kelas VI SD/MI

Penulis

: Edi Warsidi dan Farika

Penerbit

: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional

Tahun

: 2008

Jumlah Halaman

: 112 halaman

Halaman Kajian

: 72-76
45

3.1.1 Keterkaitan Kosakata dengan Psikologi Pendidikan


1) Buku Teks SD
Tingkat kesulitan kata merupakan faktor yang mempengaruhi keterbacaan suatu
teks (http://rengga92.blogdetik.com/2011/03.htm). Penggunaan kosakata tertentu dalam
teks hendaknya selalu disesuaikan dengan tingkat perkembangan kognitif siswa.
Contohnya saja penggunaan kata-kata yang bersifat abstrak pada kelas-kelas rendah
tentunya akan sangat menyulitkan siswa. Guru-guru dipandang perlu untuk memiliki
kemahiran dalam memperkirakan tingkat kesulitan materi cetak. Sebab, bagaimana pun
salah satu faktor pendukung keberhasilan belajar anak adalah tersedianya sumber ilmu
yang dapat diperoleh dan dicerna anak dengan mudah. Salah satu cara untuk beroleh ilmu
pengetahuan dimaksud melalui kegiatan membaca. Lebih baik jika kegiatan membaca
dimaksud adalah kegiatan membaca mandiri yang tidak memerlukan bimbingan pihak
lain.
Terkait dengan buku teks SD, dari hasil temuan dapat dikatakan bahwa kosakata
yang digunakan dalam buku teks SD sesuai dengan kognitif siswa walaupun dalam
beberapa temuan seperti dalam temuan Deni Wahyudi terdapat buku teks yang
mengandung kosakata yang tergolong sulit dipahami. Contoh kosakata tersebut tampak
pada kosakata Dirjen Dikdasmen, hasta karya, dan sekretariat. Munculnya kosakatakosakata tersebut harus mendapatkan perhatian maksimal oleh guru yang bersangkutan.
Sedangkan pada temuan yang lain, kebanyakan menyatakan bahwa kosakata SD sesuai
dengan tingkat kognitif siswa yang relative mudah dipahami.
2) Buku Teks SMP
Jika dilihat dari psikologi pendidikan, buku teks SMP/MTs telah memperhatikan
psikologi peserta didik. Kesesuian kedua buku pelajaran tersebut dapat diamati bahwa
setiap bab atau tema pada masing-masing buku teks ini sudah disediakan pengajaran
bahasa yang meliputi tiga aspek seperti yang dikemukakan oleh Bloom, yaitu aspek
kognitif, aspek psikomotor, dan aspek afektif, namun kuantitas ketiga aspek tersebut
berbeda-beda.

46

Dalam buku teks SMP, ranah kognitif, afektif, dan psikomotor mendapat penekanan
yang seimbang. Pada aspek afektif siswa diharapkan memahami dan mengenali potensi
dirinya sendiri. Mampu menumbuhkan sikap positif, dan memacu motivasinya untuk
meningkatkan kecakapan hidupnya (life skill). Pada ranah kognitif, siswa ditunut
memahami materi pelajaran sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya.
Pada aspek psikomotor, buku teks memberikan kemungkinan pada siswa untuk berkreasi
dan menunjukkan pribadi yang mandiri dan mantap. Hal ini terlihat pada penelitian Yeni
Handayani dan Adi Susrawan. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh dua orang
tersebut terlihat kosakata yang digunakan sesuai dengan perkembangan peserta didik. Hal
ini seperti tampak pada table kosakata berikut.
Tabel Kosakata
No.

Kosakata

Jenis kata

Kategori

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.

laporan
disusun
melaporkan
kegiatan pengamatan
membaca buku
di perpustakaan
percobaan
kegiatan seseorang
melakukan
pekerjaan
tugas
diberikan kepadanya
disajikan
salah satu contoh
hasil pengamatan
lingkungan
kampung jati karya
hari, tanggal

kata benda
kata kerja pasif
kata kerja
kata kerja
kata kerja
kata benda
kata benda
kata kerja
kata kerja
kata benda
kata benda
kata kerja pasif
kata kerja pasif
kata benda
kata benda
kata benda
kata benda
kata benda

Pemahaman Siswa
mudah
mudah
mudah
mudah
mudah
mudah
mudah
mudah
mudah
mudah
mudah
mudah
mudah
mudah
mudah
mudah
mudah
mudah

19.
20.
21.
22.
23.

pengamatan
lokasi pengamatan
pengamat
hasil pengamatan
sabtu
18 januari 2003

kata benda
kata benda
kata benda
kata keterangan waktu
kata keterangan waktu

mudah
mudah
mudah
mudah
mudah

47

24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.

tidak tertata rapi


rumah-rumah
penduduk
di kawasan
sebagian besar
dibangun
tidak mengikuti
peraturan pemerintah

kata keterangan
kata benda
kata benda
kata benda
kata sifat
kata kerja
kata kerja
kata benda

mudah
mudah
mudah
mudah
mudah
mudah
mudah
mudah

32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39.
40.
41.
42.
43.
44.
45.
46.
47.
48.
49.
50.
51.

daerah
bangunannya
berimpitan
satu sama lain
sirkulasi udara
mempunyai
halaman
kebanyakan
tidak ditanami
tanam-tanaman
ditutup
dengan semen
kesadaran
warga
kebersihan
masih rendah
sampah
berserakan
di mana-mana
saluran air
banyak mampat

kata benda
kata kerja
kata keterangan
kata benda
kata kerja
kata benda
kata benda
kata kerja
kata benda
kata kerja
kata keterangan
kata benda
kata benda
kata benda
kata sifat
kata benda
kata kerja
kata tugas
kata benda
kata sifat

mudah
mudah
mudah
mudah
mudah
mudah
mudah
mudah
mudah
mudah
mudah
mudah
mudah
mudah
mudah
mudah
mudah
mudah
mudah
mudah

3) Buku Teks SMA


Kosakata pada buku teks SMA tampaknya juga telah sesuai dengan taraf
perkembangan psikologi pembaca buku teks tersebut. Pada tahap ini siswa SMA tentunya
telah berada pada tahap mampu berpikir abstrak. Kosakata yang digunakan dalam buku
teks telah menyesuaikan dengan tujuan pembelajaran. Hal ini tampak pada penelitian
yang dilakukan oleh Suka Lima Aksirarnaka.
3. 1.2 Analisis Konstruksi Kalimat
3.1.2.1 Analisis Konstruksi Kalimat Berdasarkan Panjang Pendek Kalimat
1) Buku Teks SD
48

Buku teks SD pada umumnya memiliki konstruksi kalimat dengan tampilan kalimat
yang dibuat pendek-pendek. Hal ini tentu saja bertujuan untuk memudahkan pembacanya
dalam memahami rangkaian ide yang dipaparkan oleh penulisnya. Hal ini dibuktikan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Eminda Sari, Mas Dewantara, Surya Kencana, dan
Deni Wahyudi bahwa struktur kalimat yang digunakan kebanyakan berupa kalimat
tunggal. Kalimat-kalimat pendek ternyata lebih mudah dipahami dibandingkan dengan
penggunaan kalimat-kalimat panjang pada beberapa buku teks untuk SD.
2) Buku Teks SMP
Pada buku teks SMP, struktur kalimat dilihat dari panjang pendeknya lebih panjang
dibandingkan dengan struktur kalimat dalam buku teks SD. Kalimat yang lebih pendek
lebih mudah dipahami. Berikut ini disajikan sebuah kutipan materi terkait dengan
panjang-pendeknya kalimat yang digunakan oleh masing-masing penulis dalam
menyajikan materi yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan oleh Adi Susrawan.
Apabila kamu ingin berhasil dalam bercerita, maka lakukan hal-hal berikut.
a. Baca dan kuasai naskah asli cerita yang akan kamu ceritakan.
b. Berlatihlah menceritakan kembali cerita yang kamu baca.
c. Bersikaplah wajar dan tidak terlihat gugup saat bercerita.
d. Sikap yang tenang dapat mendukung kelancaran bercerita.
e. Gunakan pelafalan yang jelas.
f. Jangan tergesa-gesa. (buku pertama, halaman 22)
Supaya cerita yang akan disampaikan dapat berhasil, maka ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan.
1.
2.
3.
4.

Baca terlebih dahulu naskah cerita


Bersikap tenang dalam penyampain cerita
Pelapan harus jelas
Bersikap tenang (buku pertama, halaman 22)
Kalimat-kalimat penyusun materi pertama lebih panjang dibandingkan dengan

materi kedua. Selain itu, rincian pada pernyataan pada buku pertama lebih lengkap

49

dibandingkan dengan buku kedua. Oleh karena itu, teks pertama lebih mudah dipahami
daripada teks kedua.
3) Buku Teks SMA
Dibandingkan dengan buku teks SD dan Buku teks SMP, buku teks SMA memiliki
struktur kalimat yang lebih panjang. Dari hasil penelitian yang dilakukan terlihat bahwa
penggunaan kalimat-kalimat pendek untuk mengutarakan maksud atau ide lebih mudah
dipahami dibandingkan dengan penggunaan kalimat-kalimat panjang.
3.1.2.2 Analisis Konstruksi Kalimat Berdasarkan Kelengkapan Struktur
1) Buku Teks SD
Pemaparan ide-ide dalam buku teks SD menggunakan struktur-struktur kalimat
tunggal (S-P). Penggunaan kalimat-kalimat tunggal tentunya lebih mudah dipahami siswa
dibandingkan dengan penggunaan kalimat-kalimat majemuk. Hal ini tentunya sesuai
dengan tahap perkembangan psikologi siswa untuk lebih mudah memahami struktur
sederhana dibandingkan dengan struktur kalimat kompleks. Hal ini terlihat seperti dalam
penelitian Mas Dewantara berikut ini.
Struktur sebuah kalimat paling tidak harus mengandung unsur pengisi subjek (S)
dan predikat (P). Ketiadaan salah satu unsur tersebut selain menyebabkan kekacauan
struktur juga dapat mengganggu pemahaman pembaca. Berikut ini adalah contoh kalimat
tanpa unsur S atau P.
1) Berpakaian yang rapi, bersih, dan tidak berlebihan (TP, h.104).
2) Pada akhir pidato, sampaikan maaf jika ada kesalahan dan ucapkan terima
kasih kepada para pendengar (TP, h.104).
Kutipan (1) tidak dapat disebut kalimat karena tidak adanya unsur pengisi
predikat. Lebih tepatnya kutipak (1) adalah frase perluasan unsur subjek. Hal ini ditandai
dengan kata yang yang merupakan penanda perluasan kata berpakaian yang
menduduki fungsi subjek. Sama halnya dengan kutipan (1), kutipan (2) juga terasa
janggal karena ketiadaan salah satu unsur pengisi fungsi kalimat, yaitu unsur pengisi
subjek. Perbaikan kalimat tersebut agar menjadi kalimat yang memiliki struktur lengkap
tentunya dapat dilakukan dengan mengeksplisitkan unsur pengisi subjek pada kutipan (2)
dan menambahkan unsur pengisi predikat pada kutipan (1).

50

Kedua kutipan tersebut dapat dipahami siswa walaupun struktur kedua kutipan
tersebut tidak lengkap. Namun, tentunya siswa akan lebih mudah memahami teks jika
kalimat-kalimat tersebut memiliki struktur lengkap. Berikut ini adalah contoh perbaikan
kedua kutipan tersebut.
3) Berpakaian yang rapi, bersih, dan tidak berlebihan adalah syarat yang harus
dipenuhi saat berpidato.
4) Pada akhir pidato, kamu hendaknya menyampaikan maaf jika ada kesalahan
dan ucapkan terima kasih kepada para pendengar
Pada kalimat (3) tersebut fungsi predikat diduduki oleh kata adalah yang
mengakibatkan kalimat tersebut menjadi kalimat majemuk bertingkat anak kalimat
pengganti presikat. Sedangkan kata kamu pada kutipan (4) menduduki fungsi subjek.
Untuk lebih menunjukkan perbedaan kemudahan pemahaman antara struktur
kalimat yang memiliki unsur pengisi subjek dan predikat yang lengkap, beberapa kutipan
berikut dapat dibandingkan dengan kutipan (1) dan (2) yang memiliki struktur kalimat
yang tidak lengkap.
5) Kita harus memerhatikan lafal, intonasi, dan sikap yang tepat dalam
berpidato (TP, h.103).
6) Pada pelajaran ini, kamu akan belajar berpidato dengan membaca naskah
(TK, h.74).
7) Pada pelajaran ini, kamu akan belajar berpidato dengan baik (TK, h.74).
8) Setelah pelajaran ini, kamu dapat mengetahui macam-macam teknik
berpidato dan mengetahui hal-hal penting (tujuan, nama, acara, dan
undangan yang hadir) dalam naskah pidato (TK, h.74).
Jika dibandingkan dengan kutipan (1) dan (2), kutipan (5), (6), (7), dan (8)
tentunya lebih mudah dipahami oleh siswa. Kelengkapan struktur pada kalimat-kalimat
tersebut tentunya merupakan penyebab lebih mudahnya kalimat tersebut dipahami oleh
siswa.
2) Buku Teks SMP
Buku teks SMP menggunakan struktur kalimat yang lebih kompleks dibandingkan
dengan struktur kalimat pada buku teks SD. Struktur kalimat buku teks SMP seperti
51

penelitian yang dilakukan Adi Susrawan dan Noriasih mengungkapkan bahwa struktur
SPOK sudah digunakan dalam buku teks SMP namun, struktu kalimat yang terdiri atas S
dan P masih tampak dominan digunakan pada buku teks SMP. Berikut adalah contoh
penggunaan struktur SP dari hasil penelitian Adi Susrawan.
Siswa yang akan bercerita (S) harus memperhatikan hal-berikut ini (P). (buku
kedua, halaman 43 )
3) Buku Teks SMA
Dibandingkan dengan buku teks SD dengan buku teks SMP, pola yang digunakan
pada buku teks SMA lebih kompleks. Hal ini didasarkan pada tingkat kematangan para
pembaca teks yang telah mampu menganalisis teks pada struktur teks yang lebih
kompleks. Pada teks-teks SMA telah ditemukan banyaknya penggunaan kalimat
majemuk, baik itu kalimat majemuk setara maupun kalimat majemuk bertingkat.
3.1.2.3 Analisis Konstruksi Kalimat Berdasarkan Ide
Uraian materi yang dikemas secara singkat dan jelas dapat dengan mudah
menunjukkan ide apa yang terkandung di dalamnya. Dari hasil penelitian Mas Dewantara
ditemukan bahwa ide dalam sebuah tulisan atau teks disampaikan dengan cara yang
berbeda oleh pengarang yang satu dan oleh pengarang yang lain. Pada TP (Teks Pertama)
yang menjadi kajian, ditemukan bahwa ide disampaikan dengan cara memberikan
kalimat-kalimat penjelas di awal dan kemudian di susul dengan pemberian konsep yang
merupakan inti dari ide penulis. Pada TP bagian awal penulis mengungkapkan bahwa
berpidato bermanfaat untuk melatih keberanian dan memaparkan hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam berpidato. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut.
Latihan berpidato atau presentasi bermanfaat untuk melatih keberanian kita
berbicara di depan umum. Percaya diri adalah modal kita dalam berpidato.
Selain itu, kita harus memerhatikan lafal, intonasi, dan sikap yang tepat dalam
berpidato (TP, h.103).
Penulis kemudian memberikan sebuah contoh pidato yang berjudul Pidato
Memperingati HUT RI Ke-62 setelah pemberian contoh tersebut, penulis memaparkan
pengertian pidato dan bagian-bagian pidato yang kemudian disusul dengan rincian
mengenai hal-hal yang perlu dikuasai saat berpidato. Ini berarti penulis menggunakan
metode induktif dalam penyampaian idenya.

52

Pada TK (Teks Kedua) ditemukan terdapat perbedaan dalam hal kontruksi kalimat
dari segi ide jika dibandingkan dengan TP. Pada TK, penulis memaparkan pengertian
pidato terlebih dahulu, kemudian penyampaian struktur sebuah pidato, contoh struktur
sebuah pidato dan barulah pemberian contoh pidato. Hal ini berarti penulis menggunakan
metode deduktif dalam penyampaian idenya.
Dilihat dari kemudahan pemahaman, teks dengan cara pemberian konsep terlebih
dahulu kemudian disertai dengan contoh (cara deduktif) dirasakan lebih mudah oleh
siswa dibandingkan pemberian contoh yang kemudian disertai dengan konsep teori yang
merupakan ide dari tulisan tersebut. Namun, siswa lebih kreatif dan lebih tertantang untuk
memahami sesuatu jika contoh diberikan di awal yang kemudian disertai dengan
penyimpulan konsep dari contoh yang diberikan (cara induktif). Jadi, teks dengan gaya
penyampaian mana yang lebih mudah dipahami sangat ditentukan oleh tingkat intelektual
para peserta didik.
Hasil penelitian Mas Dewantara ini sejalan dengan hasil penelitian rekan-rekan
yang lain, yaitu hasil penelitian Deni Wahyudi, Eminda Sari, Adi Sustrawan, Surya
Kencana, Yeni Handayani, Candra Gunasari, Suka Lima Aksirnaka, dan Noriasih.
3.4 Modus Berpikir
Berdasarkan temuan-temuan yang ditemukan melalui hasil analisis buku-buku di
atas, maka dapat ditarik simpulan bahwa materi dalam buku-buku tersebut menggunakan
modus berpikir sirkuler atau melingkar yang umumnya digunakan oleh masyarakat
Indonesia. Modus berpikir ini tampak dari penyajian materi dalam buku pelajaran Bahasa
Indonesia. Penulis memaparkan materi pelajaran yang dimulai dari pemaparan hal-hal
yang bersifat sederhana menuju ke hal-hal yang bersifat lebih kompleks. Temuan ini
tampak dari adanya penyajian materi yang dimulai dengan apersepsi yang menyinggung
pengalaman belajar dan pengetahuan awal yang telah dimiliki siswa mengenai materi ajar
yang sudah dikuasainya sebelum siswa diajak mempelajari materi ajar lanjutan dari
materi sebelumnya yang bersifat sekuler. Temuan ini tampak pada baik buku teks SD,
SMP, maupun SMA. Berikut contoh sajian materi ajar yang menggunakan modus berpikir
sekuler.

53

Ada beberapa hal yang perlu dikuasai pada saat berpidato, di antaranya
sebagain berikut.
a. Intonasi
Intonasi di sini mencakup tempo, jeda, dan tekanan suara. Tekanan berhubungan
dengan keras atau lemahnya suatu kata dan frase yang diucapkan.
b. Lafal
Lafal merupakan cara mengucapkan kata-kata secara jelas, enak, dan mudah
didengar sesuai dengan makna yang terkandung dalam kata-kata yang
diucapkan.
c. Volume Suara
Dalam berpidato pakailah volume suara yang keras dan besar, sehingga suara
akan terasa berbobot, mantap, dan berwibawa.
d. Sikap Pidato
1) Berpidato dengan rendah hati dan tidak mengunggulkan kelebihan diri sendiri.
.... (TP, h.104).
Ada berbagai macam cara berpidato, yaitu membaca naskah,
menghafalkan naskah, menggunakan kerangka pidato, dan tanpa naskah. Pada
pelajaran ini, kamu akan belajar berpidato dengan membaca naskah.
Pada pelajaran sebelumnya, kamu sudah belajar menyusun naskah pidato.
Naskah pidato tersebut harus dibacakan dengan intonasi yang tepat agar menarik
perhatian orang yang mendengarkannya.
Kamu mungkin pernah mendengarkan seseorang yang berpidato. Ada yang
berpidato dengan menarik, ada pula yang tidak. Agar kamu dapat berpidato
dengan baik, bacalah dan pahami naskah pidato dengan baik. Persiapan yang
baik sebelum berpidato akan mengurangi rasa gugupmu ketika berpidato
sehingga kamu pun dapat berpidato dengan baik.
Hal-hal yang harus diperhatikan ketika berpidato menggunakan naskah
adalah sebagai berikut.
1. Sebelum berpidato, bacalah naskah untuk memahami isinya.
2. Mengetahui hal-hal penting (tujuan, nama acara, dan undangan yang hadir)
dalam naskah.
3. Ketika berpidato, gunakan intonasi yang tepat.
4. Pandangan mata jangan selalu terarah pada naskah. Sesekali mata diarahkan
pada hadirin (TK, h.74-75).
Penyampaian informasi seperti pada TP yang disampaikan secara langsung dapat
dikategorikan sebagai modus berpikir linier, sedangkan gaya penyampaian seperti pada
TK yang disampaikan secara tidak langsung dapat dikategorikan ke dalam modus berpikir
sirkuler atau melingkar. Modus berpikir sirkuler atau melingkar ini lebih mudah dipahami
oleh siswa karena sebelum masuk ke materi/ide pokok, siswa atau pembaca disuguhi
ilustrasi-ilustrasi yang mampu menarik perhatian siswa untuk memokuskan pikiran.
54

Berbeda halnya dengan penyampaian informasi secara langsung seperti TP yang


mengakibatkan siswa merasa bahwa teks yang dibaca hanya bersifat hapalan karena
disampaikan tanpa adanya ilustrasi atau penjelasan yang dapat memberikan imajinasi
kepada siswa.

55

BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
Dari temuan dan pembahasan pada bab III, dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk
buku orang Indonesia sebaiknya memerhatikan hal-hal berikut ini.
(1) Kosa kata yang tepat digunakan dalam meyajikan sebuah buku adalah kosa kata
yang sesuai dengan psikologi pembaca, baik berhubungan dengan usia, tingkat
kesulitan pemahaman, maupun perkembangan kognitif pembaca. Pemilihan
kosakata (diksi) yang tepat dan sesuai dengan keadaan dan tingkat psikologi
pendidikan pembaca akan mempermudah proses pemahaman. Semakin diterima
sajian kosa kata dalam sebuah buku, maka akan semakin mudah pembaca untuk
memahaminya. Demikian juga sebaliknya, semakin sulit sajian kosakata dalam
sebuah buku, maka akan semakin sulit pembaca memahami uraian buku tersebut.
(2) Konstruksi kalimat apabila dikaji pada tataran panjang pendeknya kalimat
memperlihatkan bahwa semakin panjang sebuah kalimat yang ada pada suatu
buku khususnya buku pelajaran maka pembaca akan cenderung mengalami
kesulitan untuk memahaminya. Demikian pula sebaliknya, semakin pendek sajian
kalimat dalam suatu buku khususnya buku pelajaran maka pembaca akan
cenderung lebih memahami sajian dalam buku tersebut.
(3) Konstruksi materi apabila dikaji pada tataran kelengkapan struktur kalimat
memperlihatkan bahwa semakin lengkap struktur kalimat yang disajikan dalam
sebuah buku khususnya buku pelajaran, pembaca cenderung akan lebih mudah
melakukan pemahaman terhadap materi-materi yang ada di dalam buku tersebut.
Struktur kalimat lengkap (minimal terdapat unsur S dan P) lebih mudah dipahami
daripada kalimat tanpa S atau tanpa P.
(4) Konstruksi materi apabila ditinjau dari tataran penyampaian ide memperlihatkan
bahwa ide-ide yang disampaikan dengan kalimat-kalimat runtut lebih mudah
dipahami. Ketepatan penyampaian ide yang disampaikan oleh penulis buku sangat

56

menentukan keberhasilan pembaca dalam memahami uraian materi yang terdapat


pada buku tersebut.
(5) Modus berpikir yang digunakan dalam pola pikir masyarakat di Indonesia adalah
modus berpikir sirkuler atau melingkar. Modus berpikir sirkuler atau melingkar
merupakan modus berpikir yang dimulai dari hal-hal yang sederhana menuju ke
hal-hal yang lebih bersifat kompleks. Buku-buku yang ditulis oleh orang
Indonesia cenderung mengajak para pembacanya untuk menjalankan pola pikir
sirkuler (melingkar). Orang Indonesia lebih mudah memahami teks yang
menggunakan modus berpikir sirkuler.
4.2 Saran
Berdasarkan temuan dan pembahasan di atas, kami dapat menyampaikan beberapa
saran antara lain sebagai berikut.
(a) Penulis buku khususnya mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia harus
memperhatikan rambu-rambu penulisan buku yang digunakan dan mudah
dipahami masyarakat Indonesia yakni dengan menggunakan modus berpikir
sirkuler atau melingkar.
(b) Penulis buku khususnya mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia harus
memperhatikan penggunaan kalimat yang sederhana namun efektif, struktur
kalimat yang lengkap, dan ide yang disajikan secara baik.
(c) Penerapan Linguistik Terapan dan Linguistik Edukasional dalam proses belajar
mengajar khususnya dalam penyusunan buku pelajaran akan mampu membuat
peserta didik untuk lebih mudah mempelajari bahasa yang disesuaikan dengan
tingkat kognitif dan perkembangan psikologisnya.

57

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Chaer. 2003. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Parera, Jos Daniel. 1991. Kajian Linguistik Umum Historis Komparatif dan Tipologi
Struktural. Jakarta: Erlangga.
Pateda, Mansoer. 1991. Linguistik Terapan. Yogyakarta: Nusa Indah.
http://achokonyol.blogspot.com. Diakses 10 Juni 2011.
http://sastra.um.ac.id/wp-content/uploads/2009/11/009-Terjemah-Quran-NJDawood.dc1.pdf. Diakses 10 Juni 2011.
http://www.anakshaleh.com/2008/11/pengajaran-berbasis-inkuiri.html. Diakses 10 Juni
2011.

58

You might also like