You are on page 1of 16

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Pendahuluan
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau keduanya. (1)
Diabetes militus tipe II adalah suatu penyakit kronik yang disebabkan oleh
ketidakmampuan tubuh menggunakan insulin atau memproduksi insulin. Seorang
dikatakan menderita diabetes jika memiliki kadar gula darah puasa 126 ml/dL
dan sewaktu 200 mg/dL. Diabetes militus tipe II adalah adanya gangguan
sekresi insulin ataupun gangguan kerja insulin (resistensi insulin) pada organ
target terutama hati dan otot (4)(2).
Cara hidup yang sangat sibuk dengan pekerjaan dari pagi sampai sore bahkan
kadang-kadang sampai malam hari duduk dibelakang meja menyebabkan tidak
adanya kesempatan untuk berekreasi atau berolah raga, apalagi bagi para
eksekutif hampir tiap hari harus lunch atau dinner dengan para relasinya dengan
menu makanan yang cepat saji. Pola hidup berisiko seperti inilah yang
menyebabkan tingginya kekerapan penyakit jantung koroner, hipertensi, diabetes,
dan hiperlipedemia(2).
Diantara penyakit degeneratif, diabetes adalah salah satu diantara penyakit
tidak menular yang akan meningkat jumlahnya dimasa datang. Diabetes sudah
merupakan salah satu ancaman utama bagi kesehatan umat manusia pada abad
21. Perserikatan bangsa-bangsa (WHO) membuat perkiraan bahwa pada tahun
2000 jumlah pengidap diabetes diatas umur 20 tahun berjumlah 150 juta orang
dan dalam kurung waktu 25 tahun kemudian, pada tahun 2025, jumlah itu akan
membengkak menjadi 300 juta orang(2).
Meningkatnya prevalensi diabetes melitus di beberapa negara berkembang,
akibat peningkatan kemakmuran dinegara bersangkutan, akhir-akhir ini banyak
disoroti. Peningkatan pendapatan per kapita dan perubahan gaya hidup terutama

dikota-kota besar, menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit degeneratif,


seperti penyakit jantung koroner (PJK), hipertensi, hiperlipedimia, diabetes dan
lain-lain(2).
Dalam meyelenggarakan upaya pencegahan ini diperlukan suatu strategi yang
efisien dan efektif untuk mengdapatkan hasil yang maksimal. Seperti juga pada
pencegahan penyakit menular, ada 2 macam strategi untuk dijalankan, antara lain:
-

Pendekatan populasi, merupakan upaya yang bertujuan untuk mengubah


perilaku masyarakat umum. Yang dimaksud adalah mendidik masyarakat
agar menjalankan cara hidup sehat dan menghindari cara hidup beresiko.
Upaya ini ditujukan tidak hanya untuk mencegah diabetes tetapi juga
untuk mencegah penyakit lain sekaligus. Upaya ini sangat berat karena
target populasinya sangat luas, oleh karena itu harus dilakukan tidak saja
oleh profesi tetapi harus oleh segala lapisan masyarakat termasuk

pemerintah dan swasta.


Pendekatan individu berisiko tinggi. Semua upaya

pencegahan yang

dilakukan oleh individu-individu yang berisiko untuk menderita diabetes


pada suatu saat kelak. Pada golongan ini termasuk individu yang :
berumur > 40 tahun, gemuk, hipertensi, riwayat keluarga DM, riwayat
melahirkan bayi >4 k, riwayat DM pada saat

kehamilan, dan

dislipedemia(2).
Saat ini epidemi penyakit tidak menular muncul menjadi penyebab kematian
terbesar di Indonesia, sedangkan epidemi penyakit menular juga belum tuntas,
selain itu semakin banyak pula ditemukan penyakit infeksi baru dan timbulnya
kembali penyakit infeksi yang sudah lama menghilang, sehingga Indonesia
memiliki beban kesehatan ganda yang berat. Berdasarkan studi epidemiologi
terbaru, Indonesia telah memasuki epidemi diabetes melitus tipe 2. Perubahan
gaya hidup dan urbanisasi nampaknya merupakan penyebab penting masalah ini,
dan terus menerus meningkat pada milenium baru ini(1).

Diperkirakan masih banyak (sekitar 50%) penyandang diabetes yang belum


terdiagnosis di Indonesia. Selain itu hanya dua pertiga saja dari yang terdiagnosis
yang menjalani pengobatan, baik nonfarmakologis maupun farmakologis. Dari
yang menjalani pengobatan tersebut hanya sepertiganya saja yang terkendali
dengan baik. Bukti-bukti menunjukkan bahwa komplikasi diabetes dapat dicegah
dengan kontrol glikemik yang optimal(2) .
Sangatlah penting, namun demikian di Indonesia sendiri target pencapaian
kontrol glikemik belum tercapai, rerata HbA1c masih 8%, masih di atas target
yang diinginkan yaitu 7%. Oleh karena itu, diperlukan suatu pedoman
pengelolaan yang dapat menjadi acuan penatalaksanaan diabetes melitus(2).
Dalam 5 tahun terakhir setelah diterbitkannya Konsensus Pengelolaan
diabetes Melitus tipe 2 pada tahun 2006, banyak penelitian yang dilakukan
berhubungan dengan usaha pencegahan dan pengelolaan baik diabetes maupun
komplikasinya(2).
1.2 Patofisiologi
Pankreas adalah sebuah kelenjar memanjang yang terletak di belakang dan di
bawah lambung, di atas lengkung pertama duodenum. Kelenjar campuran ini
mengandung jaringan eksokrin dan endokrin. Bagian eksokrin yang predominan
yang terdiri dari kelompok-kelompok sel sekretorik mirip anggur yang
membentuk kantung yang dikenal sebagai asinus, yang berhubungan dengan
duktus yang akhirnya bermuara di duodenum. Bagian endokrin yang lebih kecil
terdiri dari pulau-pulau jaringan endokrin terisolasi, pulau-pulau langerhans,
yang tersebar diseluruh pangkreas. Hormon-hormon terpenting yang disekresikan
oleh sel pulau-pulau langerhans adalah insulin dan glukagon. Pankreas eksokrin
dan endokrin berasal dari jaringan berbeda selama perkembangan. Meskipun
sama-sama terlibat dalam metabolisme molekul nutrien namun keduanya
memiliki fungsi berbeda dibawah kontrol mekanisme regulatorik yang
berlainan(3).

Pankreas eksokrin mengeluarkan getah pangkreas yang terdiri dari dua


komponen :
(1) Enzim pankreas yang secara aktif disekresikan oleh sel asinus yang
membentuk asinus yang membentuk asinus dan
(2) larutan cairan basa yang secara aktif disekresikan oleh sel duktus yang
melapisi duktus pankreatikus. Komponen cairan alkalis banyak mengandung
natrium bikarbonat (NaHCO3)(3).
Pankreas endokrin berhubungan dengan banyaknya sel (beta), tempat
sintesis dan sekresi insulin, dan sel (alfa), yang menghasilkan glukagon. Sel D
(delta), yang lebih jarang, adalah tempat sintesis somatostatin. Sel pulau
langerhans yang paling jarang, sel PP (polipeptida pankreas). Yang mungkin
berperan dalam mengurangi nafsu makan dan asupan makanan(2).
Somatostatin pankreas menghambat saluran cerna dalam berbagai cara,
dengan efek keseluruhan adalah menghambat pencernaan nutrien dan
mengurangi penyerapannya. Somatostatin dikeluarkan oleh sel D pankreas
sebagai respon langsung terhadap peningkatan glukosa darah dan asam amino
darah selama penyerapan makanan. Dengan menimbulkan efek inhibisi,
somatostatin pankreas bekerja melalui mekanisme umpan balik negatif untuk
mengerem kecepatan pencernaan dan penyerapan makanan sehingga kadar
nutrien dalam plasma tidak berlebihan. Somatostatin pankreas juga berperan
parakrin dalam menatur sekresi hormon pankreas. Keberadaan lokal somatostatin
mengurangi sekresi insulin, glukagon, dan somatostatin itu sendiri(3).
Insulin memiliki efek penting pada metabolisme karbohidrat, lemak, dan
protein. Hormon ini menurunkan kadar glukosa, asam lemak, dan asam amino
darah serta mendorng penyimpanan bahan-bahan tersebut. Sewaktu molekul
nutrien ini masuk kedarah selama keadaan absortif, insulin mendorong
penyerapan bahan-bahan ini oleh sel dan pengubahnya masing-masing menjadi
glikogen, triglesirida, dan protein. Insulin melaksanakan banyak fungsinya

dengan mempengaruhi transfor nutrien darah spesifik masuk kedalam sel atau
mengubah aktivitas enzim-anzim yang berperan dalam jalur-jalur metabolik
tertentu(3).
Karbohidarat dalam memelihara homeostatis merupakan salah satu fungsi
penting

pankreas.

Konsentrasi

glukosa

dalam

darah

ditentukan

oleh

keseimbangan antara proses-proses berikut : penyerapan glukosa dari saluran


cerna, pemindahan glukosa ke dalam sel, produksi glukosa oleh hati, dan (secara
abnormal) ekskresi glukosa urin(3).
Insulin memilki empat efek yang menurunkan kadar glukosa darah dan
mendorong penyimpanan karbohidrat :
1. Insulin mempermudah transfor glukosa kedalam sebagian besar sel.
2. Insulin merangsang glikogenesis, pembentukan glikogen dari glukosa, di
otot rangka dan hati.
3. Insulin menghambat glikogenolisis, penguraian glikogen menjadi glukosa.
Dengan menghambat penguraian glikogen menjadi glukosa. Dengan
menghambat penguraian glikogen menjadi glukosa maka insulin
cenderung menyebabkan penyimpanan karbohidrat dan mengurangi
pengeluaran glukosa oleh hati.
4.
Insulin juga menurunkan pengeluaran glukosa oleh hati dengan
menghambat glukoneogenesis, perubahan asam amino menjadi glukosa di
hati. Insulin melakukannya dengan mengurangi jumlah asam amino di
darah yang tersedia bagi hati untuk glukoneogenesis dan dengan
menghambat enzim-enzim hati yang diperlukan untuk mengubah asam
amino menjadi glukosa(3).
Karena itu, insulin mengurangi konsentrasi glukosa darah dengan mendorong
penyerapan glukosa oleh sel dari darah untuk digunakan dan disimpan, dan
secara bersamaan menghambat dua mekanisme pembebasan glukosa oleh hati
kedalam darah (glikogenolisis dan glukoneogenisis). Insulin adalah satu-satunya
hormon yang mampu menurunkan kadar glukosa darah. Insulin mendorong

penyerapan glukosa oleh sebagian besar sel melalui rekrutmen pengangkut


glukosa(3).
Lemak sangat dipengaruhi oleh insulin terutama pada penurunan lemak darah
dan mendorong penyimpanan trigleserida :
1.

Insulin meningkatkan pemasukan asam lemak dari darah kedalam

2.

jaringan lemak.
Insulin meningkatkan transfor glukosa kedalam sel jaringan lemak
malalui rekrutment GLUT-4. Glukosa berfungsi sebagai prekursor untuk
pembentukan asam lemak dan gliserol, yaitu asam lemak untuk

3.

membentuk trigleserida.
Insulin medorong reaksi-reaksi kimia yang akhirnya menggunakan

4.

turunan asam lemak dan glukosa untuk sintesis trigleserida.


Insulin menghambat lipolisis (penguraian lemak),

mengurangi

pembebasan asam lemak dari jaringan kedalam darah(3).


Protein juga dipengaruhi oleh insulin dalam penurunan kadar asam amino
darah dan meningkatkan sintesis protein melalui efek :
1. Insulin mendorong transfor aktif asam amino dari darah ke dalam otot dan
jaringan lain. Efek ini menurunkan kadar asam amino dalam darah dan
menyediakan bahan-bahan untuk membentuk protein didalam sel.
2. Insulin meningkatkan laju inkorporasi asam amino menjadi protein oleh
perangkat pembentuk protein yang ada di sel.
3. Insulin menghambat penguraian insulin(3).
Pasien diabetes tipe II mempunyai dua defek fisiologik : sekresi
insulin abnormal dan resistensi terhadap kerja insulin pada jaringan sasaran.
Abnormalitas mana yang utama tidak diketahui. Secara deskriptif , tiga fase
dapat dikenali pada urutan klinis yang biasa. Pertama, glukosa plasma tetap
normal meskipun terlihat resistensi insulin karena kadar insulin meningkat.
Pada fase kedua, resistensi insulin semakin memburuk hingga meskipun
konsentrasi insulin meningkat, tampak intoleransi glukosa dalam bentuk
hiperglikemia setelah makan. Pada fase ke tiga resistensi insulin tidak
berubah, tetapi sekresi insulin menurun menyebabkan hiperglikemia dan
6

menyebabkan diabetes yang nyata. Kebanyakan yakin bahwa resistensi


insulin merupakan hal yang pertama, hiperinsulinemia yang kedua, jadi
sekresi insulin merupakan kompensasi dari keadaan resisten. Namun,
hipersekresi insulin menyebabkan resistensi insulin : yaitu defek sel
pankreas primer menyebabkan hipersekresi insulin dan sebaliknya
hipersekresi insulin menyebabkan resistensi insulin. Hipotesis yang
menjelaskan melibatkan sintesis lemak terstimulasi insulin dalam hati
dengan traspor lemak menyebabkan penyimpanan lemak sekunder dalam
otot. Peningkatan oksidasi lemak akan menggangu ambilan glukosa dan
sintesis glikogen. Penurunan pelepasan insulin yang terlambat dapat
disebabkan oleh efek toksik glukosa terhadap pola pangkreas atau akibat
defek genetik yang mnedasari. Sebagian besar NIDDM (noninsulin
dependent diabetes mellitus) adalah merka yang obesitas itu sendiri
menyebabkan resistensi insulin. Namun penderita NIIDDM
mengalami

hiperinsulinemia

dan

pengurangan

kepekan

dapat
insulin,

membuktikan bahwa obesitas bukan merupakan penyebab resisitensi satusatunya. Defek sekresi insulin dan resistensi insulin merupakan ciri khas
NIDDM. Individu yang sangat obes dengan resistensi insulin yang nyata
dapat mempunyai toleransi glukosa normal(5).
1.3 Gejala klinis
Kelainan pada diabetes yang tidak tergantung insulin biasanya mulai pada
pertengahan umur atau lebih, pasien khas biasanya gemuk, gejalanya bertahap
dibandingkan dengan yang tergantung insulin. Diagnosa sering dibuat jika
individu tanpa gejala ditemukan mempunyai peningktan glukosa plasma pada
pemeriksaan laboratorium rutin(4).
Gejalah klasik diabetes adalah polidipsi, poliuria, polifagi serta berat badan
yang turun dengan cepat. Di samping itu kadang-kadang ada keluhan lemah,
kesemutan pada jari tangan dan kaki, cepat lapar, gatal-gatal, penglihatan kabur,
gairah sek menurun, luka sukar sembuh (1).
1.4 Pemeriksaan penunjang

Evaluasi Laboratoris/penunjang lain


Glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial
A1C
Profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, high density lipoprotein,
Low density lipoprotein, dan trigliserida)
- Kreatinin serum
- Albuminuria
- Keton, sedimen, dan protein dalam urin
- Elektrokardiogram
- Foto sinar-x dada(6).
1.5 Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan
diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan
darah utuh (wholeblood), vena, ataupun angka kriteria diagnostik yang berbeda
sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil
pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah
kapiler dengan glukometer.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:
1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu
>200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.
2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dL dengan adanya keluhan
klasik.
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g

glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa


plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO
sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang
dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus(5).
Kriteria diagnosis DM untuk dewasa tidak hamil dapat dilihat pada.
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM,
bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam

kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa


terganggu (GDPT).
1. TGT : Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO
didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 199 mg/dL
(7,8-11,0 mmol/L).
2. GDPT : Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa
plasma puasa didapatkan antara 100 125 mg/dL (5,6 6,9 mmol/L) dan
pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dL.
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat
pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir
Atau
2. Gejala klasik DM
+
Kadar glukosa plasma puasa 126 mg/dL (7.0 mmol/L)
Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
Atau
3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa
yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.
* Pemeriksaan HbA1c (>6.5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salah
satu kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah
terstandardisasi dengan baik.

Cara pelaksanaan TTGO :


Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan seperti kebiasaan seharihari (dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani
seperti biasa
Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan,
minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan
Diperiksa kadar glukosa darah puasa
Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anakanak), dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit
Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk

pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai


Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa
Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat
dan tidak merokok(perkeni)
TTGO

GD 2 jam pasca pembebanan

200

140-199

<140

DM

TGT

Normal

Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca pembebanan dibagi menjadi 3


yaitu:
-

< 140 mg/dL normal


140- < 200 mg/dL toleransi glukosa tergangu
200 mg/dL diabetes(6)(2)
.

1.6 Penatalaksanaan
- Jangka pendek: menghilangkan keluhan dan tanda DM,
mempertahankan rasa nyaman, dan mencapai target pengendalian
glukosa darah.
Jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati.
- Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan
mortalitas DM.
Pilar penatalaksanaan DM

10

1. Edukasi
2. Terapi gizi medis
3. Latihan jasmani
4. Intervensi farmakologis(6).
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum
mencapai sasaran, dilakukan Intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik
oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera
diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam
keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat
badan yang menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat segera
diberikan(6).
Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan
partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi
pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan
perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya
peningkatan motivasi. Berbagai hal tentang edukasi dibahas lebih mendalam di
bagian promosi perilaku sehat. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah
mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan
kepada pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri,
setelah mendapat pelatihan khusus(6).
Terapi Nutrisi Medis
-

Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes


secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh
dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien
dan keluarganya).

11

Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan

kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi.


Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan
anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan
sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada
penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam
hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang
menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin(5).

Latihan jasmani

Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam
pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar,
menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan (lihat tabel 4). Latihan
jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan
memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa
darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat
aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan
jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk
mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara
yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan
hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan(6).
Terapi farmakologis

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan


makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari
obat oral dan bentuk suntikan.
1. Obat hipoglikemik oral
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:
A. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid
B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion

12

C. Penghambat glukoneogenesis (metformin)


D. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase
alfa.
E. DPP-IV inhibitor
2. Suntikan
A. Insulin
B. Agonis GLP-1/incretin mimetic
Insulin diperlukan pada keadaan:
- Penurunan berat badan yang cepat
- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
- Ketoasidosis diabetik
- Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
- Hiperglikemia dengan asidosis laktat
- Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
- Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
- Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali
-

dengan perencanaan makan


Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Jenis dan lama kerja insulin berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi
empat jenis, yakni:
Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
Insulin kerja pendek (short acting insulin)
Insulin kerja menengah (intermediate actinginsulin)
Insulin kerja panjang (long acting insulin)
Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin)(5).
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru

untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang


penglepasan insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan
berat badan yang biasanya terjadi pada pengobatan dengan insulin ataupun
sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan berat badan. Efek
agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat penglepasan glukagon yang
diketahui berperan pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat
ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Insulin merupakan obat

13

pilihan karena tidak teratogen pada kehamilan, namun memiliki kelemahan yaitu
memerlukan suntikan, risiko hipoglikemia, berat badan berlebihan dan biaya
Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan
muntah. Metformin meningkatkan kontrol glikemik pada diabetes tipe 2 dengan
menghambat produksi glukosa hepatik dan glukoneogenesis serta meningkatkan
sensitivitas insulin jaringanperifer (otot) (6)(8)(10).
1.7 Komplikasi
Ketoasidosis diabetik (KAD) Merupakan komplikasi akut diabetes yang
ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dL),
disertai dengan adanya tanda dan gejala asidosis dan plasma keton(+) kuat.
Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/mL) dan terjadi peningkatan anion
gap(5).
Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH) Pada keadaan ini terjadi
peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-1200 mg/dL), tanpa tanda dan
gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat (330-380 mOs/mL), plasma
keton (+/-), anion gap normal atau sedikit meningkat(5).
keadaan (KAD dan SHH) tersebut mempunyai angka morbiditas dan
mortalitas yang tinggi. Memerlukan perawatan di rumah sakit guna mendapatkan
penatalaksanaan yangmemadai(5).
Hipoglikemia hipoglikemia dan cara mengatasinya hipoglikemia ditandai
dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg/dL bila terdapat penurunan
kesadaran pada penyandang diabetes harus selalu dipikirkan kemungkinan
terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh penggunaan
sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung
lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat
telah habis. Terkadang diperlukan waktu yang cukup lama untuk pengawasannya
(24-72 jam atau lebih, terutama pada pasien dengan gagal ginjal kronik atau yang
mendapatkan terapi dengan OHO kerja panjang). Hipoglikemia pada usia lanjut
merupakan suatu hal yang harus dihindari, mengingat dampaknya yang fatal atau

14

terjadinya kemunduran mental bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada


DM usia lanjut sering lebih lambat dan memerlukan pengawasan yang lebih
lama(6).
Makroangiopati pembuluh darah jantung pembuluh darah tepi: penyakit arteri
perifer sering terjadi pada penyandang diabetes. Biasanya terjadi dengan gejala
tipikal claudicatio intermittent, meskipun sering tanpa gejala. Terkadang ulkus
iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul dan pembuluh darah otak
Mikroangiopati juga terjadi pada penderita diabetes tipe 2 diantaranya:
-

Retinopati diabetik
Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko dan

memberatnya retinopati. Terapi aspirin tidak mencegah timbulnya retinopati


Nefropati diabetik
Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi
risiko nefropati

Pembatasan asupan protein dalam diet (0,8 g/kgBB) juga akan mengurangi

risiko terjadinya nefropati


Neuropati(6).
Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer,
berupa hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki
dan amputasi gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar
sendiri, dan lebih terasa sakit di malam hari Setelah diagnosis DM ditegakkan,
pada setiap pasien perlu dilakukan skrining untuk mendeteksi adanya
polineuropati distal dengan pemeriksaan neurologi sederhana, dengan
monofilamen 10 gram sedikitnya setiap tahun(5)(6) .
Pasien yang lama menderita DM dikhawatirkan akan mengalami
komplikasi apabila kadar gula darah tidak terkontrol. Komplikasi yang terjadi
salah satunya adalah nefropati diabetika merupakan komplikasi DM pada
fungsi ginjal yang dapat berakhir sebagai gagal ginjal(5)(8).

1.8 Prognosis

15

Prognosis penyakit diabetes millitus tipe 2 tergantung pada jenis keparahan


penyakit dan komplikasinya (6).

16

You might also like