You are on page 1of 11

STUDI KONSERVASI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) UNTUK PENGENDALIAN

PENCEMARAN KUALITAS AIR


(Studi Kasus di Waduk Selorejo, Malang ,Jawa Timur, Indonesia)
BAMBANG PARI PURWANTO
Program Studi Teknik Sipil Sumber Daya Air Pasca Sarjana Universitas Brawijaya

Jl. Mayjen Haryono No.167, Telp. 0341-553286, 587710, 587711, Fax. 0341-551430 Malang
65145
Email : goparipung@yahoo.com

ABSTRAK
Pengaruh pupuk pada lahan pertanian menjadi salah satu penyebab terjadinya penurunan kualitas air yang
dapat mengakibatkan bahaya Eutrofikasi. Methode analisa yang dipakai adalah metode analisa pemodelan
menggunakan AVSWAT 2000, pada karakteristik lokasi studi yang akan dimodelkan adalah : DAS Waduk
Selorejo 237.312 km2, dalam simulasi dibagi menjadi 62 sub DAS meliputi : Hutan 0.395 %, Kebun
Campuran 0.128 %, Sawah Irigasi 0.214 %, Tegalan 0.154 %, Perumahan 0.088 %, Waduk 0.021 %.Hasil
menyimpulkan bahwa daya dukung sungai terhadap beban pencemar pada golongan III. Dari hasil running
2003-2005 telah terjadi penurunan kualitas air 18.5 % dan 23.5% untuk polutan Total N (Mesotropik) dan
Total P (Eutrofik).Pemodelan dengan dilengkapi kontruksi Wetland mampu meruduksi hingga 8 % - 73 %
untuk di aliran sungai dan 8 % hingga 63 % polutan yang masuk Waduk Selorejo, kondisi kualitas mutu air
di perairan waduk selorejo menjadi meningkat yaitu golongan kelas II/III menjadi golongan I baku mutu air.
Penyimpangan hasil simulasi AVSWAT 2000, terhadap Debit pemodelan dan Lapangan, nilai R2 =
0.9303,level signifikan 10. Terhadap Load Polutan, nilai R2 = 0.907, level signifikan 10%. Hasil
pemodelan tidak bersifat tidak homogen terhadap lapangan dalam tinjauan nilai tiap waktu namun bersifat
homegen antara hasil pemodelan terhadap nilai dilapangan.
Kata Kunci : Daya Dukung sungai , Mesotropik, Eutrofik

ABSTRACT
The Efect of fertilizer in land agriculture has become decreasing water quality that
cousing Eutrophication. Analysis Method that used is analysis model with AVSWAT 2000, at characteristic
of study area are : 237.312 km2 catchment area of Selorejo Dam, simulation devide in 62 sub area
cacthment, including : Forest 0.395 %, garden 0.128 %, Rice Field 0.214 %, dry land 0.154 %, Urban 0.088
%, lake 0.021 %. The result show that the power river concerning to load polutant is calss III. From
simulation model 2003-2005 has become decreasing water quality, 18.5 % dan 23.5 %, total N
(Mesotrophic)and Total P (Eutrophic. The model completed by Wetland construction can reduce up to 8% to
73 % at stream and 8% to 63 % flowing in lake of selorejo., water quality has become increase from class
II/III to class I water qualyty standart forms. The deviation of Model AVSWAT 2000, concerning to discarge
model and measurement, R2 value is 0.9303, significance level 10, concerning to load polutant, R2 value is
0.907, significance level 10. The result of models are nonhomogeneous form time by time but homogeneous
form space model and measurement.
Keywords : power river, Mesotrophic, Eutrophic

PENDAHULUAN
Pada Waduk Selorejo, telah diidentifikasi
bahwa kondisi kandungan polutan semakin
meningkat, hal ini dibuktikan pada hasil
pengukuran dilapangan, seperti pada record
data di bawah ini :

Gambar 1 Record Data Pengukuran COD di


Waduk Selorejo

Gambar 2 Record Data Pengukuran DO di Waduk


Selorejo

Gambar 3 Record Data Pengukuran NO2


di Waduk Selorejo

kualitas air :: AVSWAT2000 (Soil and Water


Assessment Tool 2000).
Tujuan studi ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk memprediksi besarnya tingkat
bahaya Eutrofikasi/Eutrophication akibat
pencemaran limbah pertanian dari unsur
(Nitrogen) N dan (Phospor) P di Sub
DAS Kali Konto dan Waduk Selorejo,
sehingga dapat diketahui bagaimana daya
dukung sungai tersebut.
2. Studi uji coba alternatif desain usaha
konservasi kualitas Sumber Daya Air
yaitu dengan menambahkan imbuhan
buatan : Wetland terhadap besaran
sebaran polutan pada sistem jaringan
sungai DAS Waduk Selorejo.
TINJAUAN PUSTAKA
Siklus Hidrologi
Siklus air atau hidrologi adalah pola
sirkulasi air dalam ekosistem. Secara alamiah
daur hidrologi dapat ditunjukkan seperti
terlihat pada gambar 2.1, dengan selama
berlangsungnya daur hidrologi tersebut air
berjalan dari permukaan laut ke atmosfer
kemudian ke permukaan tanah dan kembali
lagi ke laut secara terus menerus, air tersebut
akan tertahan (sementara) di sungai, danau
(waduk), dan dalam tanah sehingga dapat
dimanfaatkan oleh manusia atau makhluk
hidup lainnya.

Gambar 4 Record Data Pengukuran NO3 di


Waduk Selorejo

Sehingga kondisi tersebut, kiranya sangat


perlu untuk dilakukan satu monitoring dan
tindakan antisipasi secara dini.
Maksud Tujuan
Maksud dari studi ini adalah untuk
memberikan suatu informasi tentang nilai dan
pola penyebaran polutan akibat pengolahan
lahan pertanian di daerah lokasi studi,
sebagai referensi khusus terhadap monitoring
resiko penurunan kualitas air Waduk
Selorejo, dan untuk alat uji kebenaran
penggunaan paket pemodelan hidrologi dan

Gambar 5. Siklus Hidrologi

Pada daur siklus hidrologi inilah, mekanisme


transport
polutan
terjadi,
sehingga
berdasarkan siklus tersebut mekanisme
polutan dapat di bagi menjadi 2 fase yaitu :
1. Siklus hidrologi pada fase/tahap
terjadi di satu luasan lahan, sebagai
kontrol jumlah air, sedimen, nutrisi dan
pestisida yang akan masuk ke sistim
jaringan sungai.

2. Siklus hidrologi pada fase/tahap pada


Aliran Sungai yang dapat didefinisikan
sebagai pergerakan air, sedimen, nutrisi
dan pestisida melalui aliran sungai
menuju ke outlet masing-masing Sub
DAS.
A.
Fase Pada Lahan
Siklus hidrologi yang menjadi dasar
pepersamaanan persamaan adalah Water
Ballance :
(2.1)
Dengan :
SW1 = kandungan air dalam tanah
(mm H2O)
SWo = kandungan air dalam tanah
pada awal periode (mm H2O)
t
= waktu (hari)
R
= besaran hujan yang terjadi
pada hari ke i (mm H2O)
Qsurf = tinggi limpasan permukaan
pada periode waktu ke i ((mm
H2O)
Ea
= besar evapotranspirasi pada
periode waktu ke i (mm H2O)
Wseep = jumlah air yang masuk zona
lapisan tanah keras pada
periode waktu ke i (mm H2O)
Wgw = jumlah air pada aliran air tanah
pada periode waktu ke i (mm
H2O)
B.

1.
2.
3.
4.

Fase Pada Sungai


Penelusuran/Routing pada sungai-sungai
utama dapat dibagi menjadi 4
komponen :
Penelusuran Banjir.
Penelusuran Sedimen.
Penelusuran Nutrient.
Penelusuran Pestisida

Mekanisme Transport Polutan


Sehingga dalam studi ini akan terbagi
menjadi 3 bagian pokok bahasan yang harus
di selesaikan secara berurutan dan sitematis,
yaitu :
1. Pola potensi penyebaran polutan
dilahan DAS Waduk Selorejo
2. Pola penyebaran Polutan Di Sungai
dan Anak Sungai yang bermuara di
waduk Selorejo
3. Kandungan Polutan di Waduk Selorejo

Wet Land
Ekosistem buatan Wetland sebagai usaha
alternatif treatment pengelolaan kualitas air
di negara indonesia, dengan penjelasan
sebagai berikut :
Untuk mengatasi masalah pencemaran air
ini, jalan keluar yang cukup efektif adalah
mencegah masuknya bahan pencemar
kedalam system perairan. Biasanya limbah
cair dari rumah tangga atau industri diolah
terlebih dahulu difasilitas pembersih sebelum
dibuang kesungai.

Gambar 6. Sistem Kontruksi Wetland


Tipe Dari Wetland Buatan

Pembuatan
Wetland
untuk
pengelolaan limbah dapat dikategorikan atas
Free Water Surface atau sub surface Flow.
Pada system FWS aliran air adalah posisinya
diatas permukaan tanah, dan tanaman
mengakar pada lapisan sediment yaitu pada
dasar zona air. sedangkan pada sistem SSF
aliran air melewati media porositas seperti
kerikil, atau suatu agregat lainnya, dimana
terdapat akar tanaman.

Gambar 7. Tipe Wetland Sub Surface dan


Surface flow

System FWS sangat tepat untuk


memperbaiki urutan pembuangan, dan untuk
menyediakan habitat. Perlengkapan pada
system fws biasanya aerobic pada, dan
didekat, permukaan, cenderung mengarah
pada kondisi anoxic daerah sediment dasar.
Film microbial tumbuh pada semua lapisan
tanaman yang tersedia , dan merupakan
mekanisme pemurnian polutan yang utama .
METHODE PENELITIAN

SUBBASIN
1 Kewayangan Sub Basin
Konto Sub Basin

2 (Up Stream)

3 Konto Sub Basin


(Down Stream)

4 Penjal Sub Basin

Gambar 8. Daerah Lokasi Studi DAS Kali


Konto Outelt Waduk Selorejo

Wilayah
Waduk
Selorejo
secara
administratif berada pada propinsi Jawa
Timur,Kabupaten Malang dan tepatnya
berada pada kecamatan Ngantang, desa
Selorejo.
Metode Pnelitian
Metode Pengumpulan Data
1. Data Primer
Data
primer
diperoleh
melalui
pengambilan/pengukuran langsung di
lapangan berupa sampel air dan data
tanah untuk dilakukan analisis
2. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data dasar
yang diperlukan untuk analisa model.
Adapun jenis data sekunder yang
dibutuhkan adalah :
1. Data curah hujan mulai 1990 2008,
2. Data jenis tanah tahun 2004
3. Peta topografi Bakosurtanal skala 1 :
25000
4. Peta Tataguna Lahan Skala 1 :
25000.
5. Data klimatologi,

6. Data peta jaringan sungai


7. Data pertanian
8. Pengolahan peta jenis tanah :
Metode Analisis
Pendekatan yang dilakukan untuk
menganalisis dan mengevaluasi terhadap
kandungan polutan nutrien, adalah dengan
metode
simulasi
pemodelan
yaitu
AVSWAT2000.
Simulasi Penambahan Imbuan Buatan
(Wetland)
Simulasi pemodelan ini memiliki tujuan
untuk mengetahui bagaimana dampak
pengaruh dari imbuhan buatan : wetland
terhadap besaran sebaran polutan pada sistem
jaringan sungai DAS Waduk Selorejo.
Methode pengerjaan simulasi pemodelan
ini adalah menggunakan methode penyamaan
ekosistem dari pada kontruksi Wetland,
Model AVSWAT telah menyediakan tools
input kontruksi Wetland secara khusus,
sehingga optional daripada tools isian akan di
inputkan sesuai dengan kondisi ekosistem
Wetland.Namun dalam studi ini juga akan di
coba kontruksi Wetland di Badan Air, yakni
dengan menambahkan optional reservoir,
dimana initial kondisi daripada reservoir
tersebut di samakan dengan kondisi pada
kontruksi Wetland.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kajian Sebaran Polutan Fase di Lahan
DAS Waduk Selorejo.
Berdasarkan hasil simulasi pemodelan
perubahan tataguna lahan untuk tahun 20032005 terhadap perubahan tataguna lahan
tahun 2010 terdapat perbedaan di masingmasing parameter Nitrogen dan Phospor.:

Gambar 9. Perbandingan Rerata


Kandungan Sedimen Yield di Lahan Tahun
2003 2005 dan Tahun 2010 DAS Waduk
Selorejo

Kajian Sebaran Polutan Fase di Sungai


DAS Waduk Selorejo

Gambar 10.
Perbandingan Rerata
Kandungan Organik_N di Lahan Tahun 2003
2005 dan Tahun 2010 DAS Waduk Selorejo

Gambar 11.Gambar 5.3 Perbandingan


Rerata Kandungan Organik_P di Lahan
Tahun 2003 2005 dan Tahun 2010 DAS
Waduk Selorejo

Gambar 12.
Perbandingan Kandungan
Nitrat (NO3) di Lahan DAS Tahun 2003
Gambar 13.
2005 dan Tahun 2010 DAS
Waduk Selorejo

Berdasarkan hasil tersebut diatas maka dapat


di analisa bahwa kandungan sebaran polutan
dilahan mengalami peningkatan hingga pada
simulasi pendekatan Tahun 2010. Pendekatan
tersebut dapat dijadikan satu indikator bahwa
lahan DAS dalam kondisi yang tidak aman
atau berpotensi positif terhadap penurunan
kualitas air DAS waduk selorejo.

Gambar 14.
Perbandingan Rerata
Kandungan Total N Tahun 2003-2005 dan
Tahun 2010 di Sungai DAS Waduk Selorejo

Gambar 15.
Perbandingan Rerata
Kandungan Total P Tahun 2003-2005 dan
Tahun 2010 di Sungai DAS Waduk Selorejo
Berdasarkan perbandingan kandungan
Total N dan Total P di sungai DAS Waduk
Selorejo antara tahun 2003 2005 dan tahun
2010 telah ditemukan adanya peningkatan
polutan dari tahun ke tahun terhadap
perubahan tataguna lahan, yaitu dapat
disimpulkan
bahwa
Total_N
terjadi
peningkatan hingga 80%. Di lain segi untuk
Total_P terjadi peningkatan 24% dan sudah
mengakibatkan tingkat kesuburan di sungai
masuk dalam kriteria Eutrofik.
Kajian Sebaran Polutan Fase di Waduk
Selorejo
Tabel 5.5 Total N dan Total P Tahun 2003
2010
Subbasin

Bln/Thn

Total N (mg/lt)

39
39
39
39
39
39
39
39

2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010

1.5236
0.9507
1.2406
1.287
0.805
0.808
1.299
3.277

Total P
(mg/lt)
0.863
0.418
0.660
0.597
0.246
0.377
0.611
0.604

Sumber : Analisa Hasil Pemodelan AVSWAT


2000

Sub
Das

Gambar 16.
Rerata Kandungan Total_N
Terhadap Kriteria Tingkat Eutrofikasi di
Waduk Selorejo Tahun 2003 2010

Gambar 17.
Rerata Kandungan Total_P
Terhadap Kriteria Tingkat Eutrofikasi di
Waduk Selorejo Tahun 2003 2010

Pemodelan Desain Kontruksi Wetlad


Kontruksi Wetland Pada areal Lahan
Desain Wetland yang dimaksud dari pada
pembahasan ini adalah desain tampungan
wetland yang besumber dari debit limpasan
permukaan lahan yang kemudian dialirkan
masuk sebagai iflow debit pada Wetland.
Desain kontruksi Wetland, hal utama
yang harus diperhatikan dalam mendesain
yaitu menentukan menentukan luasan area
yang dibutuhkan. Desain area luasan Wetland
ini ditentukan oleh parameter yang disebut
HRT (Hydroulik Retaint Time) yakni
kemampuan tampungan dalam menahan air
selama waktu yang ditentukan.
Dalam hal ini penelitian yang sudah
dilakukan untuk kondisi iklim dan jenis
vegetasi Wetland tyang sudah ada di
Indonesia, adalah untuk meefektifkan sistem
pemurnian air membutuhkan 5 hari waktu
terhannya air di Wetland.
Maka berikut di bawah ini merupakan
hasil perhitungan penentuan luasan area
Wetland yang dibutuhkann dengan desain
kedalaman Wetland = 2.5 m :
Tabel 5.14 Penentuan Luasan Area Wetland

Lahan
Pengaruh

Luas
DAS

Debit
Limpasan

HRT

Volume
Yang
Dibutuhkan
m3

luas m2

466.00

0.04

5.00

17971.20

2.50

656.00

0.03

5.00

11452.04

2.50

326.75

0.02

5.00

9962.27

2.50

680.25

0.05

5.00

21720.96

2.50

355.75

0.10

5.00

41977.82

2.50

11

1067.25

0.13

5.00

56061.44

2.50

1531.00

0.31

5.00

135097.82

2.50

812.75

0.01

5.00

4639.21

2.50

20

483.75

0.03

5.00

14644.96

2.50

18

774.75

0.19

5.00

81506.31

2.50

14.25

0.01

5.00

3450.22

2.50

280.75

0.10

5.00

45057.30

2.50

23

287.00

0.03

5.00

11474.56

2.50

27

446.50

0.05

5.00

21603.67

2.50

29

211.75

0.06

5.00

27990.53

2.50

34

410.50

0.30

5.00

130408.33

2.50

38

436.75

0.24

5.00

105624.24

2.50

52

763.25

0.27

5.00

117073.80

2.50

57

1052.50

0.20

5.00

85840.11

2.50

43

581.75

0.10

5.00

43584.03

2.50

44

261.75

0.10

5.00

41459.27

2.50

47

151.50

0.02

5.00

7313.58

2.50

39

17.50

0.00

5.00

1244.10

2.50

40

101.25

0.02

5.00

9556.90

2.50

42

320.50

0.78

5.00

337759.99

2.50

45

97.25

0.03

5.00

14715.48

2.50

61

13.00

0.00

5.00

724.40

2.50

17

19

22
21

Gambar 18.
Dampak Perubahan Kualitas
Air Pada Aliran Sungai Tiap Sub Das Yang
Dikaji Setelah Treatment Wetland Di Areal
Lahan Parameter Organik N

Sumber : Perhitungan dan Pengolahan Data

Kontruksi Wetland Pada areal Badan Air


Perbedaan desain kontruksi Wetland
diatas adalah kontruksi ini diambilkan secara
langsung dari karakteristik aliran pada
sungai, dimana aliran tersebut dimasukkan
seluruh/sebagian sebagai inflow Wetland,
Sehingga luasan wetland yang dibutuhkan
ditentukan oleh debit aliran sungai yang akan
masuk ke wilayah Wetlend tersebut.
Pembahasan Pemodelan
Sebagai hasil indikator penilaian
keberhasilan dari treatment masing-masing
tipe Wetland diatas, maka hasil pemodelan
Wetland dibandingkan dengan hasil kondsi
eksisting pada aliran sungai sebelum imbuan
Wetland,

Gambar 19.
Dampak Perubahan Kualitas
Air Pada Aliran Sungai Tiap Sub Das Yang
Dikaji Setelah Treatment Wetland Di Areal
Lahan Parameter Organik P

Gambar 20.
Dampak Perubahan Kualitas
Air Pada Aliran Sungai Tiap Sub Das Yang
Dikaji Setelah Treatment Wetland Di Areal
Lahan Parameter Nitrat (NO3) (Kg_N)

Gambar 21.
Dampak Perubahan Kualitas
Air Pada Aliran Sungai Tiap Sub Das Yang
Dikaji Setelah Treatment Wetland Di Areal
Lahan Parameter No2 (Kg_N)

Gambar 22.
Dampak Perubahan Kualitas
Air Pada Aliran Sungai Tiap Sub Das Yang
Dikaji Setelah Treatment Wetland Di Areal
Lahan Parameter NH4 (Kg_N)

Gambar 23.
Dampak Perubahan Kualitas
Air Pada Aliran Sungai Tiap Sub Das Yang
Dikaji Setelah Treatment Wetland Di Areal
Lahan Parameter Mineral_P (Kg_P)

Gambar 24.
Dampak perubahan kualitas
air pada Waduk Selorejo setelah treatment
Wetland di areal lahan

Berdasarkan
hasil
diatas
maka
penambahan kontuksi Wetland pada areal
lahan, telah mengurangi jumlah transpor
polutan lahan menuju sungai hingga 8 % - 73
% untuk di aliran sungai dan 8 % hingga 63
% polutan yang masuk Waduk Selorejo.
Sedangkan berikut ini merupakan
simulasi imbuhan kontruksi wetland yang di
posisikan pada badan sungai dengan debit
inflow sungai. Simulasi ini merupakan
gambaran penambahan kontruksi Wetland,
yaitu model gabungan antara wetland di
lahan dan wetland pada badan sungai.
Skenario pemasangan wetland di Badan
Sungai ini adalah dipilih dari hasil treatment
pertama (I) yang memiliki tingkat porsentase
keberhasilan yang kecil yaitu pada : Sungai
Sub DAS 38 yang dpengarui oleh sungaisungai bagian hulunya yaitu Sub DAS 43, 44,
47, 52, 57.
Berikut hasil pemodelan imbuhan
wetland gabungan badan sungai dan lahan
pada Sub DAS 38, 43, 44, 47, 57 :
Perubahan tingkat reduksinya adalah
sebagai berikut :
a. Tingkat reduksi untuk polutan organik N
(kg n) meningkat dari 9.23 % menjadi
18.08 %
b. Tingkat reduksi untuk polutan organik P
(kg p) meningkat dari 8.15 % menjadi
19.63 %
c. Peningkatan kemampuan reduksi untuk
polutan nitrat/NO2 (kg N) yaitu dari 16.61
% menjadi 18.25 %

d. Peningkatan kemampuan reduksi untuk


0polutan mineral P (kg P) yaitu dari
46.09 % menjadi 51.72 %
Namun dalam pemodelan Wetland ini tidak
semua berhasil meningkatkan tingkat reduksi
pencemar, seperti parameter NO3 dan NH4.
Secara berurutan penurunan kemampuan
reduksi kedua parameter tersebut adalah:
NO3dari 63.39 5% menjadi 62.49 % dan NH4
penurunan menjadi 17.92 % menjadi 3.05%.
Hal ini menunjukkan bahwa dalam aplikasi
lapangan membutuhkan perlakuan khusus
untuk kedua kontrol parameter ini, semisal
dengan cara manual yaitu seringnya di
lakukan kegiatan removal dan pembersian
areal Wetland di badan air tersebut.

Gambar 25.
Dampak perubahan kualitas
air pada Waduk Selorejo setelah treatment
Wetland di areal lahan dan badan sungai

Berdasarkan hasil pemodelan AVSWAT


diatas, dapat diambil beberapa kesimpulan
bahwa imbuhan Wetland sangat efektif untuk
dilaksanakan sebagai upaya perbaikan
kualitas air. Desain kontruksi Wetland dalam
pemodelan ini yang paling tepat dan efektif
adalah wetland yang ditempatkan pada areal
lahan tidak langsung di badan sungai, dimana
treatment tersebut tidak berhasil sebagai
usaha reduksi polutan parameter NO3 dan
NH4.
Berdasarkan semua hasil diatas poin
penting yang dapat di ambil sebagai wacana
dan inovasi baru yaitu : Wetland dapat
dijadikan satu bentuk kontruksi sipil
pengairan sebagai satu usaha alternatif di
bidang konservasi kualitas air. Waduk
Selorejo dengan kaitannya usaha konservasi
ini membutuhkan 27 areal

KESIMPULAN
Berdasarkan
hasil
pembahasan
sebelumnya, maka dapat diambil beberapa
kesimpulan untuk menjawab rumusan
masalah, antara lain :
1. Berdasarkan dari hasil model AVSWAT
2000, untuk Sub DAS Waduk Selorejo
daya dukung sungai terhadap beban
pencemar yang ada masih mampu
ditanggung DAS Waduk Selorejo, artinya
kondisi mutu air pada DAS Waduk
Selorejo masih dalam kondisi yang
sesuai standar yaitu golongan III. Kondisi
standar
kualitas
air
ditentukan
berdasarkan
Peraturan
Pemerintah
Nomor 82 Tahun 2001. Namun halnya
pada tahun tahun mendatang terdapat
resiko potensi peningkatan besar
pencemar di waduk Selorejo.
2. Dari hasil running 2003-2005 telah
terjadi penurunan 18.5 % untuk
kandungan
polutan
Total_N,
diklasifikasikan pada tingkat Mesotrofik.
Untuk kandungan Total_P juga terjadi
penurunan sebesar 23.5 % hal ini
menunjukan bahwa kandungan Total_P
diklasifikasikan tingkat kesuburannya
pada kriteria Eutrofik.
3. Berdasarkan hasil running simulasi
prediksi tahun 2010 dengan adanya
perubahan tataguna lahan dari tahun
2003

2005
kecenderungannya
kandungan polutan mengalami fluktutif
sehingga
menyebabkan
pengaruh
kesuburan di Waduk dari waktu ke
waktu.
4. Pemodelan kontruksi daripada Wetland
mampu meruduksi hingga 8 % - 73 %
untuk di aliran sungai dan 8 % hingga 63
% polutan yang masuk Waduk Selorejo,
untuk penempatan kontruksi Wetland di
lahan, sedagkan kesimpulan imbuhan
wetland gabungan antara lahan dan di
badan sungai memberikan hasil lebih
baik dibanding dengan penambahan
Wetland di lahan saja. Perubahan tingkat
reduksinya adalah sebagai berikut :
a. Tingkat reduksi untuk polutan
organik N (kg n) meningkat dari 9.23
% menjadi 18.08 %

b. Tingkat reduksi untuk polutan


organik P (kg p) meningkat dari 8.15
% menjadi 19.63 %
c. Peningkatan kemampuan reduksi
untuk polutan nitrat/NO2 (kg N)
yaitu dari 16.61 % menjadi 18.25 %
d. Peningkatan kemampuan reduksi
untuk polutan mineral P (kg P) yaitu
dari 46.09 % menjadi 51.72 %
e. Namun dalam pemodelan Wetland
ini
tidak
semua
berhasil
meningkatkan
tingkat
reduksi
pencemar, seperti parameter NO3
dan
NH4.
Secara
berurutan
penurunan
kemampuan
reduksi
kedua parameter tersebut adalah:
NO3dari 63.39 5% menjadi 62.49 %
dan NH4 penurunan menjadi 17.92
% menjadi 3.05%. Hal ini
menunjukkan bahwa dalam aplikasi
lapangan membutuhkan perlakuan
khusus
untuk
kedua
kontrol
parameter ini, semisal dengan cara
manual yaitu seringnya di lakukan
kegiatan removal dan pembersian
areal Wetland di badan air tersebut.
5. Penyimpangan hasil simulasi AVSWAT
2000 :
Terhadap Debit pemodelan dan
Lapangan
22 % untuk penyimpangan sebelum
kalibrasi dengan nilai R 2 = 0.7877 dan
10% untuk penyimpangan sesudah
kalibrasi dengan nilai R2 = 0.9303,
sedangkan
secara
volume
diuji
menggunakan methode Cp menghasilkan
kategori uji sempurna. Berdasarkan
tinjauan statistik kesamaan terhadap nilai

DAFTAR PUSTAKA
Aronoff,
STAN.
1993.
Geographic
Information System. A Management
Perspective.
WDL. Publication
Ottawa, Canada
Arnold G.J. Luzio Di M; Srinivasan R. 2002.
ArcView Interface for SWAT 2000.
Usars Manual. Blackland Research &
Extension Center Texas Agriculture
Experiment Station, Texas.
Asdak,
Chay.
2002.
Hidrologi
dan
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

rerata model dan lapangan disimpulkan


bahwa hasil pemodelan memiliki
kesamaan nilai rata-rata yang sama
terhadap nilai debit lapangan dengan
level signifikan 10%. Hasil pemodelan
tidak
bersifat
homogen
terhadap
lapangan dalam tinjauan nilai tiap
bulannya namun bersifat homegen secara
keseluruhan hasil pemodelan terhadap
nilai dilapangan.
Terhadap Load Polutan Pemodelan
dan Lapangan
15 % untuk penyimpangan sebelum
kalibrasi dengan nilai R2 = 0.85 dan 10%
untuk penyimpangan sesudah kalibrasi
dengan nilai R2 = 0.907, sedangkan
secara volume diuji menggunakan
methode Cp menghasilkan kategori uji
sempurna. Berdasarkan tinjauan statistik
kesamaan terhadap nilai rerata model dan
lapangan disimpulkan bahwa hasil
pemodelan memiliki kesamaan nilai ratarata yang sama terhadap nilai debit
lapangan dengan level signifikan 10%.
Hasil pemodelan tidak bersifat homogen
terhadap lapangan dalam tinjauan nilai
tiap waktu namun bersifat homegen
secara keseluruhan hasil pemodelan
terhadap nilai dilapangan.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih di ucapkan kepada ibu Dr. Ir.
Aniek Masrevaniah Dipl.HE, Ir Gunawan
Wibisono, Dipl.H, Ph.D, Ir.Suwanto M, MS
atas bimbingannya, dan program penelitian
BPP Fakultas Teknik sehingga studi ini dapat
terselesaikan.

Gajahmada
University
Perss.
Yogjakarta
Budianto, Eko.2002. Sistem Informasi
Geografis menggunakan ArcView GIS.
ANDI Yogjakarta.
Colosimo. C; G. Mendicino.1996. GIS for
Distrbuted Rainfall-Runoff Modeling.
Dalam
Geographical Information
System in Hydrology,195 235. diedit
oleh Vijay P. Sigh; M, Florentino.
Kluwer Academic Publisher, London.
Di Luzio M; Srinivasan R; Arnold, J.G;
Neitsch S.L. 2001. ArcView Interface

for SWAT 2000 Users Guide,


Grassland, Soil and Water Research
Laboratory.
USDA
Agriculture
Research
Service. Temple, Texas.
Blackland Research and Extension
Centre. Texas Agricultural Experiment
Station. Temple, Texas. Published 2002
By Texas Water Resources Institute.
CollegeStation, Texas,
ftp.brc.tamus.edu/pub/swat.http://www.
brc.tamus.edu/swat/.
Kilgore, L; Jennifer. 1997. Development and
Evaluation of A GIS Based Spatially
Distributed Unit Hydrograph Model.
Virginia Polythechnic Institute.
Muzik I. 1996. Lumped Modelling and GIS in
Flood Prediction. Dalam Geographical
Information System In Hydrology 269 301. Diedit oleh Vijay P. Sigh; M.
Florentino.
Kluwer
Academic
Publishers, London.
Neitsch, S.L; Arnold J.G.: Kiniry J.R;William
J.R.; King K.W.,2002. Soil and Water
Assestment
Tool
Theoritical
documentation
version
2000.
Grassland, Soil and Water Research
Laboratory.
Agriculture
Reaserch
Service. Temple. Texas Blackland
Research and Extension Centre. Texas
Agricultural
Experiment
Station.
Temple, Texas. Published 2002 By
Texas Water Resources Institute.
CollegeStation, Texas,
Sugiarto, 1987. Dasar-Dasar Pengelolaan Air
Limbah.
Penerbit
Universitas
Indonesia, Jakarta.
Sutamihardja, Dr.RTM. 1986. Studi
Pencemaran Air Sungai Kali Brantas,
Laporan Akhir. Kerjasama antara Dirjen
Pengairan Departemen Pekerjaan
Umum dengan Lembaga Penelitian
Institut Pertanian Bogor.
Anonim. 2002, Pengkajian Awal Kasus
Pencemaran Waduk Karangkates
Malang Jawa Timur, Departemen
Permukiman dan Prasarana Wilayah.
Malang.
Asdak,
Chay.
2002.
Hidrologi
dan
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai,
Gajah Mada University Press,
Yogyakarta.

You might also like