You are on page 1of 31

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Cedera kepala merupakan cedera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak.
Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yang serius diantara penyakit
neurologik dan merupakan proporsi epidemic sebagai hasil kecelakaan jalan raya (Smeltzer
& Bare 2001).Resiko utama pasien yang mengalami cedera kepala adalah kerusakan otak
akibat

atau pembekakan otak sebagai respons terhadap cedera dan menyebabkan

peningkatan tekanan intrakranial.


Tulang tengkorak yang tebal dan keras membantu melindungi otak, tetapi meskipun
memiliki helm alami, otak sangat peka terhadap berbagai jenis cedera. Cedera kepala telah
menyebabkan kematian dan cacat pada usia kurang dari 50 tahun, dan luka tembak pada
kepala merupakan penyebab kematian pada usia kurang dari 35 tahun.
Kerusakan otak bisa terjadi pada titik benturan dan pada sisi yang berlawanan, cedera
percepatan-perlambatan (coup contrecoup). Cedera kepala yang berat dapat merobek,
menghancurkan saraf, pembuluh darah dan jaringan di dalam atau di sekeliling otak. Bisa
terjadi kerusakan pada jalur saraf, perdarahan atau pembengkakan hebat. Perdarahan,
pembengkakan, atau penimbunan cairan memiliki efek yang sama yang ditimbulkan oleh
p[ertumbuhan massa di dalam tengkorak. Karena otak tidak dapat bertambah luas, maka
peningkatan tekanan bisa merusak atau menghancurkan jaringan otak. Dan karena
posisinya di dalam tengkorak, maka tekanan cenderung mendorong otak ke bawah. Otak
sebelah atas bisa terdorong ke dalam lubang yang menghubungkan otak dengan batang
otak, keadaan yang disebut herniasi. Sejenis herniasi serupa bisa mendorong otak kecil dan
batang otak melalui lubang di dasar tengkorak (foramen magnum) ke dalam medula
spinalis. Herniasi ini bisa berakibat fatal karena batang otak mengendalikan fungsi vital
(denyut jantung dan pernapasan.
Kerusakan otak seringkali menyebabkan kelainan fungsi yang menetap, yang bervariasi
tergantung kerusakan yang terjadi, apakah terbatas (terlokalisir) atau lebih menyebar
(difus). Kelainan fungsi yang terjadi juga tergantung pada bagian otak mana yang terkena.
Gejala yang terlokalisir bisa berupa perubahan dalam gerakan, sensasi, berbicara,

penglihatan atau pendengaran. Kelainan fungsi otak yang difus bisa memengaruhi ingatan
dan pola tidur penderita, dan bisa menyebabkan kebingungan dan koma.
1.2. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan Cedera kepala?
2. Apa etiologi dan predisposisi Cedera kepala?
3. Bagaimana patofisiologi dan mekanisme terjadinya manifestasi klinis pada Cedera
kepala ?
4. Bagaimana penegakkan diagnosis pada Cedera kepala ?
5. Bagaimana penatalaksanaan pasien Cedera kepala ?
6. Bagaimana komplikasi dan prognosis pasien Cedera kepala ?
1.3.
1.
2.
3.

TUJUAN
Mengetahui definisi Cedera kepala .
Mengetahui etiologi dan predisposisi Cedera kepala .
Memahami patofisiologi dan mekanisme terjadinya manifestasi klinis pada Cedera

kepala .
4. Mengetahui penegakkan diagnosis pada Cedera kepala .
5. Mengetahui penatalaksanaan pasien Cedera kepala .
6. Mengetahui komplikasi dan prognosis pasien Cedera kepala .
1.4. MANFAAT
1.4.1. Manfaat untuk Penelaah
1. Menambah ilmu pengetahuan tentang Cedera kepala.
2. Khususnya dapat memahami tentang Cedera kepala baik itu patofisiologi, cara
penegakan diagnosa serta penatalaksanaannya.
1.4.2. Manfaat untuk Pembaca
1. Menambah ilmu pengetahuan tentang Cedera kepala.
2. Memahami tentang Cedera kepala baik itu patofisiologi, cara penegakan diagnosa
serta penatalaksanaannya.
3. Sebagai bekal bagi para dokter muda, khususnya mahasiswa FK Unisma dalam
prakteknya dan aplikasinya di lapangan sesuai dengan kompetensi dokter umum.
1.4.3. Manfaat untuk Ilmu Pengetahuan
1. Sebagai salah satu literatur dalam mengembangkan ilmu pengetahuan tentang
kedokteran, khususnya Cedera kepala.
2. Memberikan inspirasi kepada para ilmuwan untuk dapat mengembangkan ilmu
pengetahuan dalam bidang kedokteran.

BAB II
STATUS PENDERITA
2.1. IDENTITAS PENDERITA
Nama

: Tn. I

Umur

: 58 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Pekerjaan

: Buruh bangunan

Agama

: Islam

Alamat

: Dampit

Status perkawinan

: Menikah

Suku

: Jawa

Tanggal MRS

: 20 November 2014

Nomor register

: 363130

2.2. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama:
Kepala pusing
2. Riwayat Penyakit Sekarang ::
Pasien datang dengan keluhan kepala pusing sejak 1 hari yang lalu. Kepala pusing
ini lebih dirasakan pada kepala bagian tengah. Keluhan ini dirasakan terus menerus yang
disertai muntah-muntah sebanyak 2 kali. Pasien juga tampak gelisah sejak 1 hari yang
lalu dan tampak kesakitan. Menurut keterangan keluarga, pasien terjatuh dari bangunan
ditempat kerjanya pada pukul 08.00 WIB dan sempat pingsan 5 menit setelah terjatuh,
kemudian dibawa oleh rekan kerjanya ke Puskesmas Dampit pada pukul 09.00 WIB.
Pada pukul 11.00 WIB pasien dibawa ke UGD RSUD Kanjuruhan.
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien tidak pernah mengalami sakit serupa. Tidak ada riwayat penyakit darah
tinggi, sakit gula, sakit jantung, alergi, riwayat mondok, riwayat operasi maupun sakit
lainnya.
4.

Riwayat Pengobatan :
Pasien belum pernah berobat sebelumnya.

5.

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak didapatkan riwayat darah tinggi, sakit gula, sakit jantung, maupun sakit lainnya
dalam keluarga.

6.

Riwayat Kebiasaan :
Pasien merokok dan minum kopi.

7.

Riwayat Sosial Ekonomi :


Penghasilan satubulannya cukup untuk kehidupan sehari-hari (ekonomi menengah ke
bawah).

8.

Riwayat Gizi :
Sebelum sakit nafsu makan tidak ada masalah, makan 3 kali sehari.

2.3. ANAMNESIS SISTEM


1. Kulit

2. Kepala :

kulit gatal (-), sakit (-)


Pusing kepala (+), rambut kepala tidak rontok, luka

pada kepala (+), benjolan/borok di kepala (-)


3. Mata

pandangan

mata

berkunang-kunang

(-/-),

penglihatan kabur (-/-), ketajaman penglihatan dalam batas


normal
4. Hidung :

tersumbat (-/-), mimisan (-/-)

5. Telinga :

pendengaran berkurang (-/-), berdengung (-/-), keluar

cairan (-/-)
6. Mulut :

sariawan (-), mulut kering (-), lidah terasa pahit (-)

7. Tenggorokan :

sakit menelan (-), serak (-)

8. Pernafasan

sesak nafas (-), batuk (-), mengi (-)

9. Kadiovaskuler :

berdebar-debar (-), nyeri dada (-), ampeg (-)

10. Gastrointestinal

mual (-), muntah (+), diare (-), nafsu

makan turun (-), nyeri perut kanan bawah (-), nyeri ulu hati (-),
BAB normal.
11. Genitourinaria
batas normal.

BAK lancar,warna dan jumlah dalam

12. Neurologik

: kejang (-), lumpuh (-), kesemutan dan rasa tebal

pada kedua kaki (-)


13. Psikiatri

: emosi stabil, mudah marah (-)

14. Muskuloskeletal

kaku sendi (-), nyeri/linu-linu pada

lutut kanan-kiri (-), nyeri otot (-)


15. Ekstremitas :
o Atas kanan

: bengkak (-), sakit (-), luka (-)

o Atas kiri

: bengkak (-), sakit (-), luka (-)

o Bawah kanan

:bengkak (-), sakit (-),luka (-)

o Bawah kiri

: bengkak (-), sakit (-), luka (-)

2.4. PEMERIKSAAN FISIK


1.
Keadaan Umum: tampak gelisah dengan kesadaran compos mentis
GCS 3-3-6.
2.

Tanda Vital
Tensi
: 120/80 mmHg
Nadi
: 106 x/menit
Pernafasan
: 24 x/menit
Suhu
: 36 C
3. Kulit
:
Turgor baik, ikterik (-), sianosis (-), pucat (-), venektasi (-), petechie (-), spider nevi
(-).
4. Kepala
:
Luka (+), rambut tidak mudah dicabut, keriput (-), makula (-), papula (-), nodula (-),
kelainan mimik wajah / bells palsy (-).
5. Mata
:
Mata tidak cowong, konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), pupil isokor (+/+),
reflek kornea (+/+), radang (-/-), warna kelopak mata (coklat kehitaman).
6. Hidung
:
Nafas cuping hidung (-/-), secret (-/-), epistaksis (-/-), deformitas hidung (-/-),
hiperpigmentasi (-/-).
7. Mulut
:
Bibir pucat (-), bibir kering (-), lidah kotor (-), papil lidah atrofi (-), tepi lidah hiperemi
(-), gusi berdarah (-), sariawan (-).
8. Telinga
:

Nyeri tekan mastoid (-/-), sekret (-/-), pendengaran berkurang (-/-), cuping telinga
dalam batas normal.
9. Tenggorokan :
Tonsil membesar (-/-), faring hiperemis (-)
10. Leher
:
Trakea di tengah, pembesaran kelenjar limfe (-), lesi pada kulit (-).
11. Toraks
:
Normochest, simetris, pernafasan thorakoabdominal, retraksi (-), spidernevi (-), pulsasi
intrasternalis (-), sela iga melebar (-)
Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi
: ictus cordis kuat angkat
Perkusi : Batas kiri atas
: ICS II linea para sternalis sinistra
Batas kanan atas
: ICS II linea para sternalis dekstra
Batas kiri bawah
: ICS V linea medio clavicularis sinistra
Batas kanan bawah : ICS IV linea para sterna dekstra
Pinggang jantung
: ICS II linea para sternalis sinistra (kesan jantung
Auskultasi
Pulmo
Inspeksi
Palpasi
Perkusi

tidak melebar)
: Bunyi jantug I-II intensitas noral, regular, bising
: Pengembangan dada kanan sama dengan kiri, benjolan (-), luka (-)
: Fremitus taktil kanan sama dengan kiri, nyeri tekan (-), krepitasi (-)

Sonor
Sonor
sonor

Sonor
sonor

Auskultasi : suara dasar vesikular


+
+
+
+
+

suara tambahan: Ronkhi


12. Abdomen
:
Inspeksi
: Dinding

wheezing
-

perut sejajar dengan dinding dada, bentuk

supel, venektasi (-), jaringan parut/bekas luka (-), tumor/benjolan (-).


Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi
: Nyeri tekan (-),hepar dan lien tidak teraba.

Perkusi
: timpani
13. Sistem Collumna Vertebralis
:
Inspeksi : Deformitas (-), skoliosis (-), kiphosis (-), lordosis (-)
Palpasi
: Nyeri tekan (-)
Perkusi : NKCV (-)
14. Ektremitas : palmar eritema (-/-)
Akral dingin
Edem
- - - - 15. Sistem genetalia : BAK, darah (-), nanah (-)
16. Pemeriksaan Neurologik :
A. Kesan Umum
Kesadaran

: GCS 336

Pembicara

: Disartri (-), afasia (-), monoton (-), scanning (-)

Kepala

: simetris

B. Pemeriksaan Khusus
1. Rangsangan selaput otak : tidak dilakukan
2. Saraf Otak
N.I
: tidak dapat dievaluasi (pasien gelisah)
N.II
: tidak dapat dievaluasi (pasien gelisah)
N. III, IV, VI : tidak dapat dievaluasi (pasien gelisah)
N.V
: tidak dapat dievaluasi (pasien gelisah)
N. VII
: kerutan dahi (waktu diam)
N.VIII
: tidak dapat dievaluasi (pasien gelisah)
N.IX, X
: tidak dapat dievaluasi (pasien gelisah)
N.XI
: tidak dapat dievaluasi (pasien gelisah)
N.XII
: tidak dapat dievaluasi (pasien gelisah)
3. Saraf Motorik
:
5
5
5
5
4. Kekuatan
(i) Saraf Sensoris :
N
N
N
N
Rasa nyeri
(ii) Reflek-refleks :
Reflek fisiologis:
-

Refleks Biceps

: tidak dapat dievaluasi (pasien gelisah, dalam posisi

tangan dan kaki terikat).


-

Refleks Triceps

: tidak dapat dievaluasi (pasien gelisah, dalam posisi

tangan dan kaki terikat).

Refleks Patella

: tidak dapat dievaluasi (pasien gelisah, dalam posisi

tangan dan kaki terikat).


-

Refleks Achilles : tidak dapat dievaluasi (pasien gelisah, dalam posisi


tangan dan kaki terikat).

Reflek patologis:
- Babinski: +/- Chaddock: +/- Openheim: -/- Gonda: -/5. Susunan saraf otonom : BAK, BAB (-).
1 Pemeriksaan psikiatrik
Penampilan: Perawatan diri kurang.
Kesadaran: kualitatif tidak dapat dievaluasi, kuantitatif menurun.
Psikomotor: hiperaktif.
Proses pikir: tidak dapat dievaluasi
Insight: tidak dapat dievaluasi
2.5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan CT-scan (Tanggal 23-11-2014)

Kesimpulan: CKS + SDH Temporal (S)


Pemeriksaan laboratorium (Tanggal 24-11-2014)
Item Periksa
Darah Lengkap
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Trombosit

Hasil

Nilai Normal

Satuan

12,7
33,8
15.220
201.000

L=13,5-18; P= 12 16
L=40-54; P=35-47
4.000-11.000
150.000 450.000

g/dl
%
set/mm3
set/mm3

Eritrosit
Kimia Darah
GDS
SGOT
SGPT
Ureum
Kreatinin

3,98

L=4,5-6,5; P=3-6

juta/mm3

109
31
19
25
0,51

< 140
L<43; P<36
L<43; P<36
20-40
L=0,6-1,1; P=0,5-0,9

mg/dl
u/l
u/l
mg/dl
mg/dl

Kesimpulan: anemia ringan + leukositosis dengan CKS.


Pemeriksaan laboratorium (Tanggal 24-11-2014)
Item Periksa
Hasil
Elektrolit
Natrium
130
Kalium
3,4
Klorida
100
Kesimpulan: dalam batas normal.
2.6. RESUME

Nilai Normal

Satuan

136-145
3,5-5,1
97-111

mmol/l
mmol/l
mmol/l

Pasien laki-laki 58 tahun datang dengan keluhan kepala pusing sejak 1 hari yang
lalu setelah terjatuh dari bangunan ditempat kerjanya pada pukul 08.00 WIB dan
sempat pingsan 5 menit. Kepala pusing lebih dirasakan pada kepala bagian tengah
dan dirasakan terus menerus yang disertai muntah-muntah sebanyak 2 kali, tampak
gelisah sejak 1 hari yang lalu.
Pada pemeriksaan fisik keadaan umum tampak gelisah compos mentis GCS 3-3-6,
ditemukan luka pada bagian temporal kepala. Pada pemeriksaan laboratorium
didapatkan adanya penurunan hemoglobin, peningkatan leukosit, penurunan eritrosit.
2.7. DIAGNOSIS
Cedera Kepala Sedang dengan Subdural Hematome Temporal S
1. Non-operatif
a. Non-medikamentosa
KIE (Komunikasi Informasi dan Edukasi)
b. Medikamentosa
O2 nasal canule
Infus NS 0,9% 2000 cc/24 jam
injeksi ATS 1500 mg IM
2. Operatif
Trepanasi
2.1. PROGNOSIS
Dubia ad malam

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. DEFINISI
Cedera kepala merupakan keadaan pasien yang mengalami riwayat benturan di kepala
atau adanya luka di kulit kepala atau menunjukkan perubahan kesadaran setelah cedera
tertentu (Jennett dan MacMillan, 1981). Menurut Brain Injury Assosiation of America
cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan
kognitif dan fungsi fisik. Menurut David A. Olson dalam artikelnya cedera kepala
didefinisikan sebagai beberapa perubahan pada mental dan fungsi fisik yang disebabkan
oleh suatu benturan keras pada kepala.
3.2. ANATOMI
Berdasarkan ATLS (2004), anatomi yang bersangkutan antara lain :
1) Kulit Kepala (Scalp)
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu :
a. Skin atau kulit
b. Connective Tissue atau jaringan penyambung
c. Aponeurosis atau galea aponeurotika
d. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar
e. Perikranium.
Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari perikranium dan
merupakan tempat tertimbunnya darah (hematoma subgaleal). Kulit kepala memiliki
banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala
akan menyebabkan banyak kehilangan darah, terutama pada bayi dan anak-anak.

Gambar 1: Kulit Kepala


2) Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Kalvaria khususnya
di bagian temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporal. Tulang
sebenarnya terdiri dari dua dinding atau tabula yang dipisahkan oleh tulang berongga.
Dinding luar disebut tabula eksterna, dan dinding bagian dalam disebut tabula interna.
Struktur demikian memungkinkan suatu kekuatan dan isolasi yang lebih besar, dengan
bobot yang lebih ringan. Tabula interna mengandung alur-alur yang berisikan arteri
meningea anterior, media dan posterior.Basis kranii berbentuk tidak rata sehinga dapat
melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi.
Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior, fosa media, dan fosa
posterior. Fosa anterior adalah tempat lobus frontalis, fosa media adalah tempat lobus
temporalis, dan fosa posterior adalah ruang bagian bawah batang otak dan serebelum.

Gambar 2: Tulang Tengkorak


3) Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu:
duramater, araknoid dan piamater. Duramater adalah selaput yang keras, terdiri atas
jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena
tidak melekat pada selaput araknoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial
(ruang subdural) yang terletak antara duramater dan araknoid, dimana sering dijumpai
perdarahan subdural.

Gambar 3: Meningen
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak
menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat
mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior
mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinussinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.

Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium
(ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada
arteri-arteri ini dan dapat menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering
mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis
(fosa media).
Dibawah duramater terdapat lapisan kedua dari meningen, yang tipis dan tembus
pandang disebut lapisan araknoid. Lapisan ketiga adalah piamater yang melekat erat
pada permukaan korteks serebri. Cairan serebrospinal bersirkulasi dalam ruang sub
araknoid.
4) Otak
Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak. Serebrum terdiri
atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri yaitu lipatan duramater
dari sisi inferior sinus sagitalis superior. Pada hemisfer serebri kiri terdapat pusat bicara
manusia. Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara sering disebut sebagai hemisfer
dominan.

Gambar 4: Otak
Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fiungsi motorik, dan pada sisi
dominan mengandung pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi
sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori. Lobus oksipital
bertanggung jawab dalam proses penglihatan.

Batang otak terdiri dari mesensefalon (mid brain), pons, dan medula oblongata.
Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi
dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat
kardiorespiratorik, yang terus memanjang sampai medulla spinalis dibawahnya. Lesi
yang kecil saja pada batang otak sudah dapat menyebabkan defisit neurologis yang
berat.
Serebelum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan, terletak
dalam fosa posterior, berhubungan dengan medula spinalis, batang otak, dan juga
kedua hemisfer serebri.
5) Cairan serebrospinal
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh pleksus khoroideus dengan kecepatan
produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui foramen
monro menuju ventrikel III kemudian melalui aquaductus sylvii menuju ventrikel IV.
Selanjutnya CSS keluar dari sistem ventrikel dan masuk ke dalam ruang subaraknoid
yang berada di seluruh permukaan otak dan medula spinalis. CSS akan direabsorbsi ke
dalam sirkulasi vena melalui vili araknoid.

Gambar 5: Cairan Serebrospinal


6) Tentorium
Tentorium serebelli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supra tentorial
(terdiri atas fossa kranii anterior dan fossa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi
fosa kranii posterior).

Gambar 6: Tentorium
3.3. ETIOLOGI
Penyebab cedera kepala antara lain :

Kecelakaan sepeda motor


Jatuh
Pukulan keras
Luka tembakan.

3.4. KLASIFIKASI
Secara umum cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan tiga hal, yaitu:
1) Berdasarkan mekanisme terbagi atas 2:

Static loading

Dynamic loading: (a) Lesi impact dan (b) Lesi akselerasi-deselerasi

a. Static loading
Gaya langsung bekerja pada kepala, lamanya gaya yang bekerja lambat, lebih
dari 200 milidetik, mekanismestatic loading ini jarang terjadi, tetapi kerusakan yang
dihasilkan sangat berat mulai dari cidera pada kulit kepala sampai kerusakan tulang
kepala, jaringan otak dan pembuluh darah otak.
b. Dynamic loading
Gaya mengenai kepala terjadi secara cepat (kurang dari 50 milidetik), gaya yang
bekerja pada kepala dapat secara langsung (Impact injury) ataupun gaya tersebut
bekerja tidak langsung (Accelerated-decelerated injury), mekanisme cidera kepala
dynamic loading ini paling sering terjadi.

Impact injury
Gaya langsung bekerja pada kepala, gaya yang terjadi akan diteruskan
kesegala arah, jika mengenai jaringan lunak akan diserap sebagian dan sebagian
yang lain akan diteruskan sedangkan jika mengenai jaringan yang keras akan
dipantulkan kembali. Gaya impact ini dapat juga menyebabkan lesi akselerasideselerasi. Akibat dari impact injury akan menimbulkan lesi:
o Cidera pada kulit kepala (SCALP): Vulnus apertum, Excoriasi, Hematom
o Cidera pada tulang atap kepala: Fraktur linier, Fraktur diastase, Fraktur
steallete, Fraktur depresi
o Fraktur basis kranii.
o Hematom intrakranial: Hematom epidural, Hematom subdural, Hematom
intraserebral, Hematom intraventrikular
o Kontusio serebri: Contra coup kontusio, Coup kontusio
o Laserasi serebri
o Lesi diffuse: Komosio serebri, Diffuse axonal injury.(DAI)

Lesi akselerasi deselerasi


Gaya tidak langsung bekerja pada kepala tetapi mengenai bagian tubuh yang
lain tetapi kepala tetap ikut terkena gaya. Oleh karena adanya perbedaan densitas
antara tulang kepala dengan densitas yang tinggi dan jaringan otak dengan
densitas yang lebih rendah, maka jika terjadi gaya tidak langsung maka tulang
kepala akan bergerak lebih dahulu sedangkan jaringan otak dan isinya tetap
berhenti, sehingga pada saat tulang kepala berhenti bergerak maka jaringan otak
mulai bergerak dan oleh karena pada dasar tengkorak terdapat tonjolan-tonjolan
maka akan terjadi gesekan antara jaringan otak dan tonjolan tulang kepala
tersebut akibatnya terjadi lesi intrakranial berupa:
o Hematom subdural
o Hematom intraserebral
o Hematom intraventrikel
o Contra coup kontusio

Selain itu gaya akselerasi dan deselerasi akan menyebabkan gaya tarikan
ataupun robekan yang menyebabkan lesi diffuse berupa:
o Komosio serebri
o Diffuse axonal injury
2) Berdasarkan morfologi
a. Fraktur kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat
terbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur dasar
tengkorak biasanya merupakan pemeriksaan CT Scan untuk memperjelas garis
frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk
kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.Tanda-tanda tersebut antara
lain:

Ekimosis periorbital ( Raccoon eye sign)


Ekimosis retro aurikuler (Battle`sign )
Kebocoran CSS ( rhonorrea, ottorhea) dan
Parese nervus facialis ( N VII )
Sebagai patokan umum bila terdapat fraktur tulang yang menekan ke dalam,

lebih tebal dari tulang kalvaria, biasanya memeerlukan tindakan pembedahan.


Gambar 7. Fraktur Basis Cranii

b. Lesi Intrakranial
Lesi ini diklasifikasikan dalam lesi local dan lesi difus, walaupun kedua jenis
lesi sering terjadi bersamaan. Termasuk lesi local :
1) Perdarahan Epidural

Hematoma epidural terletak diantara dura dan calvaria. Umumnya terjadi


pada regon temporal atau temporopariental akibat pecahnya arteri meningea
media (Sudiharto 1998). Manifestasi klinik berupa gangguan kesadaran
sebentar dan dengan bekas gejala (interval lucid) beberapa jam. Keadaan ini
disusul oleh gangguan kesadaran progresif disertai kelainan neurologist
unilateral. Kemudian gejala neurology timbul secara progresif berupa pupil
anisokor, hemiparese, papil edema dan gejala herniasi transcentorial.

Gambar 8. Epidural Hematom


Perdarahan epidural difossa posterior dengan perdarahan berasal dari sinus
lateral, jika terjadi dioksiput akan menimbulkan gangguan kesadaran, nyeri
kepala, muntah ataksia serebral dan paresis nervi kranialis. Cirri perdarahan
epidural berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung
2) Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural (kirakira 30 % dari cedera kepala berat). Perdarahan ini sering terjadi akibat
robeknya vena-vena jembatan yang terletak antara kortek cerebri dan sinus
venous tempat vena tadi bermuara, namun dapat terjadi juga akibat laserasi
pembuluh arteri pada permukaan otak. Perdarahan subdural biasanya menutupi
seluruh permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak dibawahnya lebih berat
dan prognosisnya jauh lebih buruk daripada perdarahan epidural.

Gambar 9. Subdural Hematom


3) Kontusio Dan Perdarahan Intracerebral
Kontusio cerebral sangat sering terjadi di frontal dan lobus temporal, walau
terjadi juga pada setiap bagian otak, termasuk batang otak dan cerebellum.
Kontusio cerebri dapat saja terjadi dalam waktu beberapa hari atau jam
mengalami evolusi membentuk perdarahan intracerebral. Apabila lesi meluas
dan terjadi penyimpangan neurologist lebih lanjut

Gambar 10. Intracerebral hematom


4) Cedera Difus
Cedera otak difus umumnya menunjukkan gambaran CT Scan yang normal,
namun keadaan klinis neurologis penderita sangat buruk bahkan dapat dalam
keadaan koma. Berdasarkan pada dalamnya koma dan lamanya koma, maka
cedera otak difus dikelompokkan menurut kontusio ringan, kontusio klasik, dan
Cedera Aksona Difus (CAD). Cedera otak difus merupakan kelanjutan
kerusakan otak akibat akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang
lebih sering terjadi pada cedera kepala. Komosio Cerebro ringan akibat cedera

dimana kesadaran tetap tidak terganggu, namun terjadi disfungsi neurologist


yang bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi,
namun karena ringan sering kali tidak diperhatikan, bentuk yang paling ringan
dari kontusio ini adalah keadaan bingung dan disorientasi tanpa amnesia
retrograd, amnesia integrad ( keadaan amnesia pada peristiwa sebelum dan
sesudah cedera) Komusio cedera klasik adalah cedera yang mengakibatkan
menurunya atau hilangnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan
amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya
cedera. Hilangnya kesadaran biasanya berlangsung beberapa waktu lamanya
dan reversible. Dalam definisi klasik penderita ini akan sadar kembali dalam
waktu kurang dari 6 jam. Banyak penderita dengan komosio cerebri klasik pulih
kembali tanpa cacat neurologist, namun pada beberapa penderita dapat timbul
deficit neurogis untuk beberapa waktu. Defisit neurologist itu misalnya :
kesulitan mengingat, pusing ,mual, amnesia dan depresi serta gejala lainnya.
Gejala-gejala ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup
berat. Cedera Aksonal difus ( Diffuse Axonal Injuri,DAI) adalah dimana
penderita mengalami coma pasca cedera yang berlangsung lama dan tidak
diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan iskemi. Biasanya penderita
dalam keadaan koma yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktu,
penderita sering menunjukkan gejala dekortikasi atau deserebasi dan bila pulih
sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita
sering menunjukkan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis
dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedera batang otak primer.
3) Berdasarkan tingkat keparahan
Tingkat kesadaran yang diukur dengan Glasgow Coma Scale (GCS) telah digunakan
untuk mengklasifikasikan derajat keparahan cedera kepala yang tersaji dalam tabel
berikut:
a. Cedera kepala ringan
GCS : 14-15 bisa disertai disorientasi, amnesia, sakit kepala, mual, muntah.
b. Cedera kepala sedang

GCS : 9-13 atau lebih dari 12 tetapi disertai kelainan neurologis fokal.Disini
pasien masih bisa mengikuti/menuruti perintah sederhana.
c. Cedera kepala berat
GCS : 8 atau kurang (penderita koma), dengan atau tanpa disertai gangguan
fungsi batang otak. Perlu ditekankan di sini bahwa penilaian derajat gangguan
kesadaran ini dilakukan sesudah stabilisasi sirkulasi dan pernafasan guna
memastikan bahwa defisit tersebut diakibatkan oleh cedera otak dan bukan oleh
sebab yang lain. Skala ini yang digunakan untuk menilai derajat gangguan
kesadaran, dikemukakan pertama kali oleh Jennet dan Teasdale pada tahun 1974.
Penilaiannya adalah berdasarkan respons membuka mata (= E), respon motorik (=
M) dan respon verbal (= V).
Daftar penilaian GCS selengkapnya adalah seperti terlihat pada tabel di bawah ini.
Kemampuan membuka kelopak mata (E)

Secara spontan 4
Atas perintah 3
Rangsangan nyeri 2
Tidak bereaksi 1

Kemampuan komunikasi (V)

Orientasi baik 5
Jawaban kacau 4
Kata-kata tidak berarti 3
Mengerang 2
Tidak bersuara 1

Kemampuan motorik (M)

Kemampuan menurut perintah 6


Reaksi setempat 5
Menghindar 4
Fleksi abnormal 3
Ekstensi 2
Tidak bereaksi 1

* GCS sum score = (E + M + V); best possible score = 15; worst possible score = 3
Menilai tingkat keparahan cedera kepala :
a. Cedera kepala ringan (kelompok resiko rendah)

1) Skor skala koma glasglow 14-15 (sadar penuh atentif dan orientif).
2) Tidak ada hilang kesadaran (misal konkusio).
3) Tidak ada intoksikasi alcohol atau obat terlarang.
4) Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing.
5) Tidak adanya kriteria cedera (sedang-berat).
b. Cedera kepala sedang (kelompok resiko sedang).
1) Skor skala koma glasglow 9-12 (konfusi, latergi atau tupar)
2) Konkusi.
3) Amnesia pasca trauma dan disorientasi ringan (bingung).
4) Muntah.
5) Tanda kemungkinan fraktur kranium.
6) Kejang.
c.

Cedera kepala berat (kelompok resiko berat)


1) Skor skala koma glasglow 3-8 (coma)
2) Penurunan derajat kesehatan secara progresif.
3) Tanda neorologi lokal.
4) Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium.

3.5. PATOFISIOLOGI
1) Cedera primer
Luka primer termasuk transfer eksternal dari energi kinetik ke berbagai komponen
stukrtur otak (misal neuron, sinaps saraf, sel glial, akson, dan pembuluh darah
cerebral). Desakan zat biokimia bertanggung jawab terhadap luka otak primer dapat
diklasifikasikan secara umum sebagai concussive/compressive (misal pukulan benda
tumpul, luka penetrasi peluru) dan akselerasi/deselerasi (misal pergerakan otak akibat
kecelakaan bermotor). Luka primer terkategori selanjutnya sebagai fokal (misal luka
memar, hematoma) atau difusse.
2) Cedera sekunder
Suatu rangkaian patofisiologi yang kompleks dipercepat oleh cedera otak primer
dapat mengganggu secara serius terhadap keseimbangan antara kebutuhan dan supply
oksigen di CNS. Hipotensi selama periode awal pasca trauma merupakan penyumbang
utama terhadap ketidakseimbangan yang terjadi dan faktor yang menentukan outcome.
Hasil akhir dari ketidakseimbangan ini dapat menimbulkan iskemia cerebral, yang
merupakan kunci patofisiologi pemicu luka sekunder. Bagan berikut merupakan skema
sederhana dari proses luka sekunder dan hubungan timbal baliknya.

3.6. GAMBARAN KLINIS

Umum: derajat kesadaran dalam rentang bangun sampai tidak berespon sama sekali

Gejala: amnesia pasca trauma (lebih dari 1 jam), pusing yang bertambah, sakit kepala
sedang sampai berat, kelemahan anggota badan, atau paresthesia mungkin
mengindikasikan cedera yang lebih berat

Tanda: CSF otorrhea atau rhinorhea dan kejang mungkin mengindikasikan cedera yang
lebih berat. Kemunduran status mental yang cepat sangat menandakan adanya lesi yang
meluas dalam tengkorak

Tes laboratorium : ABGs (Arterial Blood Gas) mengindikasikan hipoksia (penurunan


PaO2) atau hypercapnia yang menandakan gangguan ventilasi/pernafasan

Tes diagnosa lain : CT scan kepala merupakan alat diagnosa yang penting untuk
mendeteksi adanya massa lesi

Menurut Reissner (2009), gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:
Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah:
a. Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid)
b. Hemotipanum (perdarahan di daerah membran timpani telinga)
c. Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)
d. Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)
e. Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)
Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan;
a. Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian sembuh.
b. Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan.
c. Mual atau dan muntah.
d. Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun.
e. Perubahan keperibadian diri.
f. Letargik.
Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat;
g. Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di otak menurun
atau meningkat.
h. Perubahan ukuran pupil (anisokoria).

i. Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan).


j. Apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau posisi abnormal
ekstrimitas.
3.7. DIAGNOSA
Kriteria diagnosa:

Riwayat trauma kapitis

Sakit kepala/pusing, muntah, tidak sadar, amnesia, kesadaran menurun

Defisit neurologis fokal:


o Lateralisasi : pupil anisokor, refleks cahaya menurun / hemiparesis / plegi, dll
o Kejang

Gradasi cedera kepala:


o Tingkat I : sadar penuh (dapat disertai sakit kepala, muntah, atau amnesia)
o Tingkat II : tidak sadar tetapi masih dapat melaksanakan perintah sederhana,
atau sadar penuh tetapi terdapat defisit neurologis
o Tingkat III: tidak sadar dan tidak dapat melaksanakan perintah sederhana
o Tingkat IV: mati otak

Pemeriksaan penunjang:
Rontgen tengkorak, CT scan, MRI, EEG
3.8. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan untuk
memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki
keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak
yang sakit. Penatalaksanaan cedera kepala tergantung pada tingkat keparahannya, berupa
cedera kepala ringan, sedang, atau berat(ariwibowo, 2008).
Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam
penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway, breathing,
circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada
penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah

penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis otak(ariwibowo,
2008).

Gambar 11: Penatalaksanaan Awal pada Cedera Kepala

Penatalaksanaan terapi untuk pasien yang tidak sadar (Standar Pelayanan Medik, 2009):
1. Suportif ABC
a. A airway (jalan nafas)
b. B breathing (pernafasan)
c. C circulation (sirkulasi/peredaran darah)
Mengatasi syok hipovolemik
Infus dengan cairan kristaloid :

Ringer laktat
NaCl 0,9%; D5%; 0,45 saline
Infus dengan cairan koloid
Transfusi darah

2. Pengendalian peningkatan tekanan intrakranial


a. Manitol 0,5-1 gr/kgBB, diberikan dalam waktu 20 menit diulangi tiap 4-6 jam
b. Furosemid 1-2 mg/kgBB
c. Hiperventilasi dengan mempertahankan PaCO2 25-30 mmHg
3. Koreksi gangguan elektrolit asam basa

4. Antikonvulsan bila perlu


5. Antibiotik profilaksis
6. Nutrisi
7. Operasi Cedera Kepala
Hasil segera yang ingin dicapai dari operasi adalah kembalinya pergeseran garis tengah,
kembalinya tekanan intrakranial ke dalam batas normal, kontrol pendarahan dan mencegah
perdarahan ulang.
lndikasi operasi pada cedera kepala harus mempertimbangkan hal dibawah ini :

Status neurologis
Status radiologis
Pengukuran tekanan intrakranial

Secara umum indikasi operasi pada hematoma intrakranial :

Massa hematoma kira-kira 40 cc


Masa dengan pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm
EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis tengah>4 cm dengan

GCS 8 atau kurang.


Kontusio cerebri dengan diameter 2 cm dengan efek massa yang jelas atau pergeseran

garis tengat lebih dari 5 mm.


Pasien pasien yang menurun

berkembangnya
tanda-tanda lokal dan peningkatan tekanan intraknial lebih dari 25 mm Hg.

kesadarannya

dikemudian

waktu

disertai

lndikasi Burr hole eksplorasi dilakukan bila pemeriksaan CT Scan tidak memungkinkan
dan didapat :

Dilatasi pupil ipsilateral


Hemiparese kontralateral
Lucid interval/penurunan GCS tiba-tiba

3.9. EVALUASI PASCA CEDERA

Komplikasi kejang dan meningitis tidak selalu terjadi ketika berada di rumah sakit dan
dapat terjadi kemudian

Jika terjadi kejang maka penting bagi pasien untuk menemukan tempat tertentu yang
aman bagi pasien dan tidak lupa menyarankan memanggil ambulan

Jika terjadi sakit kepala yang semakin meningkat, penting untuk segera menghubungi
dokter dan bila keluar cairan dari hidung penting bagi pasien untuk segera ke instalasi
gawat darurat

Jika pasien mulai merasa tidak nyaman, demam atau terjadi kekakuan pada leher atau
tidak mampu mentolerir cahaya terang maka penting untuk segaera dibawa ke rumah
sakit.

3.10. KOMPLIKASI

Kejang Pasca Trauma


Pada sebagian penderita trauma kapitis dapat terjadi serangan kejang. Serangan ini
dapat timbul dini pada minggu-minggu pertama sesudah trauma, mungkin pula timbul
berbulan-bulan sesudahnya. Epilepsi lambat cenderung terjadi pada pasien yang
mengalami serangan kejang dini, fraktur impresi dan hematoma akut. Epilepsi juga
lebih sering terjadi pada trauma yang menembus durameter. Lesi di daerah sekitar
sulkus sentralis cenderung menimbulkan epilepsi fokal. Insiden epilepsi setelah fraktur
impresi sebesar 7 sampai 9,5 persen, dan semata-mata ditentukan oleh kerusakan otak
pada saat impak.

Infeksi (meningoencephalitis)

Hematom Intrakranial

BAB IV
PENUTUP
4.1. KESIMPULAN
Cedera kepala bisa menyebabkan kematian tetapi juga penderita bisa mengalami
penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan beratnya
kerusakan otak yang terjadi.Terjadinya cedera kepala, kerusakan dapat terjadi dalam dua
tahap, yaitu cedera primer yang merupakan akibat yang langsung dari suatu ruda paksa.
Dan cedera sekunder yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai
tahaplanjutan dari kerusakan otak primer.
Aspek-aspek terjadinya cedera kepala dikelompokan menjadi beberapa klasifikasi yaitu
berdasarkan mekanisme cedera kepala, beratnya cedera kepala, dan morfologinya. Tetapi
dari beberapa referensi, trauma maxillofacial juga termasuk dalam bahasan cedera kepala,
yang walaupun bukan merupakan penyebab kematian namun merupakan penyebab
kecacatan yang akan menetap seumur hidup yang perlu dipertimbangkan.
Kerusakan otak sering kali menyebabkan kelainan fungsi yang menetap, yang bervariasi
tergantung kepada kerusakan yang terjadi, apakah terbatas (terlokalisir) atau lebih
menyebar (difus). Kelainan fungsi yang terjadi juga tergantung kepada bagian otak mana
yang terkena. Gejala yang terlokalisir bisa berupa perubahan dalam gerakan, sensasi,
berbicara, penglihatan dan pendengaran. Kelainan fungsi otak yang difus bisa
mempengaruhi ingatan dan pola tidur penderita, dan bisa menyebabkan kebingungan dan
koma.Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh beberapa area, sehinnga area yang tidak
mengalami kerusakan bisa menggantikan fungsi dari area lainnya yang mengalami
kerusakan. Tetapi semakin tua umur penderita, maka kemampuan otak untuk menggantikan
fungsi satu sama lainnya, semakin berkurang.

DAFTAR PUSTAKA
Cedera Kepala dalam American College of Surgeon. Advance Trauma Life Support. 1997. USA:
First Impression. Halaman 196-235.
Cedera Kepala. Kuliah Bedah Saraf. 2004
Chesnut RM, Gautille T, Blunt BA, et al. The localizing value of asymmetry in pupillary size in
severe head injury: relation to lesion type and location. Neurosurgery. May 1994;34(5):840-5;
Dwliel F.Kelly.Curtis.D.Donald P.Becker: 1996 General principles of head injury management
dalam Narayan Raj.K, James E. Wilberger Jr, Jhon.Povlishock (ed); Neuro trauma
Daniel F.Kelly,D.L.Nikos,D.P.Becker: 1996, Diagnosis and treatmen of moderate and severe
head injuries (ed) neurological surgery, Philadelphia, USA, W.B.Sauders and co.
Gennarelli TA, Thibault LE. Biomechanics of acute subdural hematoma. J Trauma. Aug
1982;22(8):680-6.
G.M.Teasdale, S.Galbrath: 1989, head injuries, Rob & Smith's (ed) Operative surgery,London.
Hamilton MG, Frizzell JB, Tranmer BI. Chronic subdural hematoma: the role for craniotomy
reevaluated.
Melbourne Neurosurgery. Skull Fracture. 2000.
Narayan. K. Raj: 1994, closed head injuries, Setti. S.Rengachary, Robert H. Wilkins (ed)
principles of neurosurgery, Minnesota, USA, World Publishing.
Jennet Bryan: 1997; Outcome after severe head injury, Peter Reilly, Ross Bullock (ed)head
injury, London, UK, Chapman and Hall.
Krauss F.Jess: 1993; Epidemology of head injury, Cooper R.Paul (ed) head injury, Baltimore,
USA, William & Wilkins.
Mark S.Greenberg; 1994; handbook of neurosurgery, Greenberg graphics inc.
Tondi MT, Patofisiologi Cedera Kepala dalam Referat Malam Klinik. 2002.

You might also like