You are on page 1of 13

BAB I

PENDAHULUAN
Neuralgia atau nyeri seperti didefinisikan oleh International Association for Study of
Pain (IASP), adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat
kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial, atau yang digambarkan dalam bentuk
kerusakan tersebut. Dari definisi tersebut, nyeri terdiri atas dua komponen utama, yaitu
komponen sensorik (fisik) dan emosional (psikogenik). Nyeri bisa bervariasi berdasarkan: waktu
dan lamanya berlangsung (transien, intermiten, atau persisten), intensitas (ringan, sedang dan
berat), kualitas (tajam, tumpul, dan terbakar), penjalarannya (superfisial, dalam, lokal atau difus).
Di samping itu nyeri pada umumnya memiliki komponen kognitif dan emosional yang
digambarkan sebagai penderitaan. Selain itu nyeri juga dihubungkan dengan refleks motorik
menghindar dan gangguan otonom yang oleh Woolf (2004) disebut sebagai pengalaman
nyeri 1,2,3,4,5.
Pada dasarnya susunan saraf terdiri dari sel-sel spesifik yang berfungsi menerima
rangsangan sensorik dan meneruskannya ke organ-organ efektor, baik muskular maupun
kelenjar. Stimulus yang diterima baik dari luar maupun dari dalam tubuh dihubungkan di dalam
susunan saraf. Saraf-saraf ini mempunyai spesifikasi yang tertentu sehingga ia mampu menerima
rangsangan yang khusus. 12
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri.
Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang
berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut
juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada
juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer. 11,13
Untuk berbicara lebih lanjut tentang neuralgia (nyeri pada daerah distribusi saraf), harus
diketahui terlebih dahulu tentang kerja saraf yang membawa rangsangan nyeri ini. Sinyal nyeri
dalam tubuh kita dibawa oleh beberapa serabut saraf yang kecil yaitu serabut saraf tipe A-delta
dan tipe C. Serabut saraf tipe A-delta (serabut tebal) berdiameter 1-4 , dengan kecepatan 5-15
m/s sedangkan serabut saraf tipe C (serabut halus) berdiameter lebih kecil sebesar 0,2-1,0 dan
membawa stimulus dengan kecepatan 0,2-2,0 m/s. Ini bermakna, serabut tipe A lebih besar dan
mampu menghantar stimulus dengan kecepatan yang lebih tinggi. Stimulus yang dihantar oleh
kedua serabut saraf ini juga memberi sensasi nyeri yang berbeda. Serabut saraf tipe A membawa
nyeri tajam, tusuk dan selintas sedangkan serabut saraf tipe C membawa nyeri lambat dengan
rasa terbakar dan berkepanjangan.11
Antara kerusakan jaringan sebagai sumber rangsang nyeri, sampai dirasakan sebagai
persepsi nyeri, terdapat suatu rangkaian proses elektro fisiologik yang secara kolektif disebut
nosisepsi (nociception). Ada empat proses yang jelas yang terjadi pada suatu nosisepsi,
yakni:2,11,13
1. Proses Transduksi (transduction), merupakan proses di mana suatu rangsang nyeri (noxious
stimuli) diubah menjadi suatu aktifitas listrik, yang akan diterima oleh ujung-ujung saraf (nerve

endings).
Rangsang
ini
dapat
berupa
rangsang
fisik,
suhu,
ataupun
kimia;http://kuliahitukeren.blogspot.com/
2. Proses Transmisi (transmission), dimaksudkan sebagai perambatan rangsang melalui saraf
sensoris menyusul proses transduksi
3. Proses Modulasi (modulation), adalah proses di mana terjadi interaksi antara sistem analgesilk
endogen dengan asupan nyeri yang masuk ke kornu posterior. Jadi merupakan proses desendern
yang dikontrol oleh otak seseorang. Analgesik endogen ini meliputi endorfin, serotonin, dan
noradrenalin yang memiliki kemampuan menekan asupan nyeri pada kornu posterior. Kornu
posterior ini dapat diibaratkan sebagai pintu gerbang yang dapat tertutup atau terbuka dalam
menyalurkan asupan nyeri. Peristiwa terbuka dan tertutupnya pintu gerbang tersebut diperankan
oleh sistem analgesik endogen di atas. Proses modulasi inilah yang menyebabkan persepsi nyeri
menjadi sangat pribadi dan subjektif pada setiap orang. Hal ini sangat dipengaruhi oleh latar
belakang budaya, pendidikan, atensi, serta makna atau arti dari suatu rangsang
4. Persepsi (perception), adalah hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik yang
dimulai dari proses transduksi, transmisi, dan modulasi yang pada gilirannya menghasilkan suatu
perasaan yang subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri.
Susunan saraf, baik di pusat atau tulang belakang dapat terjangkiti nyeri yang datang
dan pergi. Nyeri diinformasikan oleh perujungan saraf yang disebut nosiseptor yang memindai
rangsangan gangguan pada tubuh. Dalam tubuh kita sendiri terdapat banyak perujungan saraf
tersebut, dan kesemua nosiseptor memiliki tugas yang berbeda. Misalnya, merespon rasa
terbakar, panas, teriris, infeksi, perubahan struktur kimia, tekanan, dan sensasi lainnya.
Nosiseptor menyampaikan pesan ke serabut saraf kemudian meneruskan pesan pada saraf tulang
belakang dan otak pada hitungan kecepatan cahaya.1,2,3
Pesan nyeri yang diterima oleh otak dipilah menjadi dua jenis, pertama nyeri akut yang
umumnya disebabkan oleh trauma atau perlukaan yang disebabkan gangguan fisik. Sementara
nyeri kronis dapat disebabkan oleh gangguan dalam sistem persarafan itu sendiri. Sehingga
meski pesan telah diteruskan ke otak, namun penyebab gangguan pada persarafan tak mudah
untuk diketahui sebagai sumber nyeri. Nyeri kronis ini dapat pula berasal sebagai tambahan nyeri
yang dipicu oleh keberadaaan penyakit utama seperti pada diabetes.4,5,6
Saat ini nyeri tidak lagi dianggap sebagai suatu gejala tetapi merupakan suatu penyakit
atau sebagai suatu proses yang sedang merusak sehingga dibutuhkan suatu penanganan dini dan
agresif. Proses nyeri merupakan suatu proses fisiologik yang bersifat protektif untuk
menyelamatkan diri menghadapi stimulus noksious.4,5,6
Secara patologik nyeri dikelompokkan pada nyeri adaptif atau nyeri nosiseptif, atau
nyeri akut dan nyeri maladaptif sebagai nyeri kronik juga disebut sebagai nyeri neuropatik serta
nyeri psikologik atau nyeri idiopatik. Nyeri akut atau nosiseptif yang diakibatkan oleh kerusakan
jaringan, merupakan salah satu sinyal untuk mempercepat perbaikan dari jaringan yang rusak.
Sedangkan nyeri neuropatik disebut sebagai nyeri fungsional merupakan proses sensorik
abnormal yang disebut juga sebagai gangguan sistem alarm. Nyeri idiopatik yang tidak
berhubungan dengan patologi baik neuropatik maupun nosiseptif dan memunculkan gejala
gangguan psikologik memenuhi somatoform seperti stres, depresi, ansietas dan sebagainya.1,2

Nyeri neuropatik yang didefinisikan sebagai nyeri akibat lesi jaringan saraf baik perifer
maupun sentral bisa diakibatkan oleh beberapa penyebab seperti amputasi, toksis (akibat
khemoterapi) metabolik (diabetik neuropati) atau juga infeksi misalnya herpes zoster pada
neuralgia pasca herpes dan lain-lain. Nyeri pada neuropatik bisa muncul spontan (tanpa stimulus)
maupun dengan stimulus atau juga kombinasi.1,2,3
Nyeri neuropatik juga disebut sebagai nyeri kronik berbeda dengan nyeri akut atau
nosiseptif dalam hal etiologi, patofisiologi, diagnosis dan terapi. Nyeri akut adalah nyeri yang
sifatnya self-limiting dan dianggap sebagai proteksi biologik melalui signal nyeri pada proses
kerusakan jaringan. Nyeri pada tipe akut merupakan simptom akibat kerusakan jaringan itu
sendiri dan berlokasi disekitar kerusakan jaringan dan mempunyai efek psikologis sangat
minimal dibanding dengan nyeri kronik. Nyeri ini dipicu oleh keberadaan neurotransmiter
sebagai reaksi stimulasi terhadap reseptor serabut alfa-delta dan C polimodal yang berlokasi di
kulit, tulang, jaringan ikat otot dan organ visera. Stimulus ini bisa berupa mekhanik, kimia dan
termis, demikian juga infeksi dan tumor. Reaksi stimulus ini berakibat pada sekresi
neurotransmiter seperti prostaglandin, histamin, serotonin, substansi P, juga somatostatin (SS),
cholecystokinin (CCK), vasoactive intestinal peptide (VIP), calcitoningenen-related peptide
(CGRP) dan lain sebagainya. Nyeri neuropatik adalah non-self-limiting dan nyeri yang dialami
bukan bersifat sebagai protektif biologis namun adalah nyeri yang berlangsung dalam proses
patologi penyakit itu sendiri. Nyeri bisa bertahan beberapa lama yakni bulan sampai tahun
sesudah cedera sembuh sehingga juga berdampak luas dalam strategi pengobatan termasuk terapi
gangguan psikologik.1,2,3

BAB II
NEURALGIA POST HERPETIKA

II. 1 Definisi
Neuralgia post herpetik (PHN) merupakan komplikasi yang serius dari herpes zooster
yang sering terjadi pada orang tua. Neuralgia ini dikarakteristikan sebagai nyeri seperti terbakar,
teriris atau nyeri disetetik yang bertahan selama berbulan-bulan bahkan dapat sampai
tahunan. Burgoon, 1957, mendefinisikan neuralgia paska herpetika sebagai nyeri yang menetap
setelah fase akut infeksi. Rogers, 1981, mendefinisikan sebagai nyeri yang menetap satu bulan
setelah onset ruam herpes zoster. Tahun 1989, Rowbotham mendefinisikan sebagai nyeri yang
menetap atau berulang setidaknya selama tiga bulan setelah penyembuhan ruam herpes zoster.
Dworkin, 1994, mendefinisikan neuralgia paska herpetika sebagai nyeri neuropatik yang
menetap setelah onset ruam (atau 3 bulan setelah penyembuhan herpes zoster). Tahun 1999,
Browsher mendefinisikan sebagai nyeri neuropatik yang menetap atau timbul pada daerah herpes
zoster lebih atau sama dengan tiga bulan setelah onset ruam kulit. Dari berbagai definisi yang
paling tersering digunakan adalah definisi menurut Dworkin. Sesuai dengan definisi sebelumnya
maka The International Association for Study of Pain (IASP) menggolongkan neuralgia post
herpetika sebagai nyeri kronik yaitu nyeri yang timbul setelah penyembuhan usai atau nyeri yang
berlangsung lebih dari tiga bulan tanpa adanya malignitas. 1,2,3
Neuralgia pascaherpetik (NPH) merupakan sindrom nyeri neuropatik yang sangat
mengganggu akibat infeksi Herpes zoster. NPH biasanya terjadi pada populasi usia pertengahan
dan usia lanjut serta menetap hingga bertahun-tahun setelah penyembuhan erupsi (cacar).
Sejumlah pendekatan dilakukan untuk mengatasi nyeri akibat zoster, menghambat
progresivitasnya menuju NPH dan mengatasi NPH. Beberapa dari pendekatan ini terbukti efektif
namun NPH masih saja merupakan sumber rasa frustrasi bagi pasien dan dokter.
NPH umumnya didefinisikan sebagai nyeri yang timbul lebih dari 30 hari setelah onset
(gejala awal) erupsi zoster terjadi. Nyeri umumnya diekspresikan sebagai sensasi terbakar
(burning) atau tertusuk-tusuk (shooting) atau gatal (itching), bahkan yang lebih berat lagi terjadi
allodinia (rabaan atau hembusan angin dirasakan sebagai nyeri) dan hiperalgesia (sensasi nyeri
yang dirasakan berlipat ganda). Pada pasien dengan NPH, biasanya terjadi perubahan fungsi
sensorik pada area yang terkena. Pada satu penelitian, hampir seluruh penderita memiliki area
erupsi yang sangat sensitif terhadap nyeri, dengan sensasi abnormal terhadap sentuhan ringan,
nyeri atau temperature pada area kulit yang terkena. Nyeri umumnya dipresipitasi oleh gerakan
(allodinia mekanik) atau perubahan suhu (allodinia termal). Sementara pada penelitian lainnya
dinyatakan bahwa derajat defisit sensorik berhubungan dengan beratnya nyeri. Selain itu, pasien
dengan NPH lebih cenderung mengalami perubahan sensorik dibanding penderita dengan zoster
yang sembuh tanpa neuralgia.
Nyeri yang berhubungan dengan zoster akut dan neuralgia postherpetik merupakan tipe
nyeri neuropatik akibat kerusakan pada saraf tepi dan perubahan proses signal sistem saraf pusat.
Aktivasi simpatis (sistem saraf otonom) yang intens pada area kulit yang terlibat merupakan
akibat dari proses inflamasi (peradangan) akut yang menyebabkan vasokonstriksi (penciutan

pembuluh darah), trombosis intravaskuler (penyumbatan pembuluh darah) dan iskemia


(kekurangan aliran darah) dari saraf tersebut. Pasca cedera saraf, terjadi pelepasan impuls saraf
tepi secara spontan, ambang aktivasi yang rendah dan respon berlebih terhadap rangsangan.
Pertumbuhan akson (serat saraf) baru setelah cedera tersebut membentuk saraf baru yang justru
memiliki kecenderungan memprovokasi pelepasan impuls berlebih. Aktivitas perifer (saraf tepi)
yang berlebihan tersebut diduga sebagai pencetus perubahan sifat saraf, sebagai akibatnya,
terjadi respon sistem saraf pusat yang berlebihan terhadap segala rangsang. Perubahan yang
terjadi ini sangat kompleks sehingga mungkin tidak dapat diatasi dengan satu jenis terapi saja.
II. 2 Etiologi
Neuralgia post herpetik disebabkan oleh infeksi virus herpes zooster. Virus varisella
zoster merupakan salah satu dari delapan virus herpes yang menginfeksi manusia. Virus ini
termasuk dalam famili herpesviridae. Struktur virus terdiri dari sebuah icosahedral
nucleocapsid yang dikelilingi oleh selubung lipid. Ditengahnya terdapat DNA untai ganda. Virus
varisella zoster memiliki diameter sekitar 180-200 nm. Herpes Zooster adalah infeksi virus yang
terjadi senantiasa pada anak-anak yang biasa disebut dengan varicella (chicken pox). Tipe Virus
yang bersifat patogen pada manusia adalah herpes virus-3 (HHV-3), biasa juga disebut dengan
varisella zoster virus (VZV). Virus ini berdiam di ganglion posterior susunan saraf tepi dan
ganglion kranialis terutama nervus kranialis V (trigeminus) pada ganglion gasseri cabang
oftalmik dan vervus kranialis VII (fasialis) pada ganglion genikulatum. 4,5,6,7,8
Herpes zoster merupakan infeksi virus (yang sifatnya terlokalisir) dari reaktivasi infeksi
virus varicella-zoster endogen (telah ada sebelumnya dalam tubuh seseorang). Virus ini bersifat
laten pada saraf sensorik atau pada saraf-saraf wajah dan kepala (saraf kranialis) setelah serangan
varicella (cacar air) sebelumnya. Reaktivasi virus sering terjadi setelah infeksi primer, namun
bila sistem kekebalan tubuh mampu meredamnya maka tidak nampak gejala klinis. Sekitar 90%
orang dewasa di Amerika Serikat pada pemeriksaan laboratorium serologik (diambil dari darah)
ditemukan bukti adanya infeksi varicella-zoster sehingga menempatkan mereka pada kelompok
resiko tinggi herpes zoster. Angka insidens zoster dalam komunitas diperkirakan mencapai 1.2
hingga 3.4 per-1000 orang tiap tahunnya. Dari angka tersebut, diperkirakan insidennya bisa
mencapai lebih dari 500,000 kasus tiap tahun dan sekitar 9-24% pasien-pasien ini akan
mengalami NPH. Peningkatan usia nampaknya menjadi kunci faktor resiko perkembangan
herpes zoster, insidensnya pada lanjut usia (diatas 60-70 tahun) mencapai 10 kasus per-1000
orang pertahun, sementara NPH juga mencapai 50% pada pasien-pasien ini dan mengalami nyeri
yang berkepanjangan (dalam hitungan bulan bahkan tahun). NPH sendiri menimbulkan masalah
baru akibat disability, depresi dan terisolasi secara sosial serta menurunkan kualitas hidup. Sekali
NPH terjadi, akan sangat sulit melakukan penatalaksanaan secara efektif.
II. 3 Patologi dan patogenesis
Infeksi primer virus varisella zoster dikenal sebagai varisella atau cacar air. Pajanan
pertama biasanya terjadi pada usia kanak-kanak. Virus ini masuk ke tubuh melalui system
respiratorik. Pada nasofaring, virus varisella zoster bereplikasi dan menyebar melalui aliran
darah sehingga terjadi viremia dengan manifestasi lesi kulit yang tersebar di seluruh tubuh.
Periode inkubasi sekitar 14-16 hari setelah paparan awal. Setelah infeksi primer dilalui, virus ini
bersarang di ganglia akar dorsal, hidup secara dorman selama bertahun-tahun. Patogenesis

terjadinya herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi dari virus varisella zoster yang hidup secara
dorman di ganglion. Imunitas seluler berperan dalam pencegahan pemunculan klinis berulang
virus varicella zoster dengan mekanisme tidak diketahui. Hilangnya imunitas seluler terhadap
virus dengan bertambahnya usia atau status imunokompromis dihubungkan dengan reaktivasi
klinis. Saat terjadi reaktivasi, virus berjalan di sepanjang akson menuju ke kulit. Pada kulit
terjadi proses peradangan dan telah mengalami denervasi secara parsial. Di sel-sel epidermal,
virus ini bereplikasi menyebabkan pembengkakan, vakuolisasi dan lisis sel sehingga hasil dari
proses ini terbentuk vesikel yang dikenal dengan nama Lipschutz inclusion body. Pada
ganglion kornu dorsalis terjadi proses peradangan, nekrosis hemoragik, dan hilangnya sel-sel
saraf. Inflamasi pada saraf perifer dapat berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan
dan dapat menimbulkan demielinisasi, degenerasi wallerian dan proses sklerosis. Proses
perjalanan virus ini menyebabkan kerusakan pada saraf.
Beberapa perubahan patologi yang dapat ditemukan pada infeksi virus varisella zoster:
1. Reaksi inflamatorik pada beberapa unilateral ganglion sensorik di saraf spinal atau saraf kranial
sehingga terjadi nekrosis dengan atau tanpa tanda perdarahan.
2. Reaksi inflamatorik pada akar spinal dan saraf perifer beserta ganglionnya.
3. Gambaran poliomielitis yang mirip dengan akut anterior poliomielitis, yang dapat dibedakan
dengan lokalisasi segmental, unilateral dan keterlibatan dorsal horn, akar dan ganglion.
4. Gambaran leptomeningitis ringan yang terbatas pada segmen spinal, kranial dan akar saraf yang
terlibat.
Virus herpes zooster kebanyakan memusnahkan sel-sel ganglion yang berukuran besar.
Yang luput dari maut dan tersisa adalah sel-sel berukuran kecil. Mereka tergolong dalam serabut
halus yang mengahantarkan impuls nyeri, yaitu serabut A-delta dan C. Sehingga semua impuls
yang masuk diterima oleh serabut penghantar nyeri. Selain itu pada saraf perifer terjadi
perlukaan mengakibatkan saraf perifer tersebut memiliki ambang aktivasi yang lebih rendah
sehingga menimbulkan hyperesthesia yaitu respon sensitifitas yang berlebihan terhadap stimulus.
Hal ini menunjukkan adanya kelainan pada proses transduksi. 1,2,4,11,17
Penghantaran nyeri pada proses transmisi juga mengalami gangguan. Hal ini
diakibatkan oleh hilangnya impuls yang disalurkan oleh serabut tebal maka semua impuls yang
masih bisa disalurkan kebanyakan oleh serabut halus. Akibatnya sumasi temporal tidak terjadi,
karena impuls yang seharusnya dihantarkan melalui serabut tebal dihantarkan oleh serabut halus.
Karena sebagian besar dari serabut tebal sudah musnah, maka mayoritas dari serabut terdiri dari
serabut halus. Karena itu sumasi temporal yang wajar hilang. 1,2,4,11,17
Dengan hilangnya sumasi temporal maka proses modulasi yang terjadi pada kornu
posterior tidak berjalan secara normal akibatnya tidak terjadi proses antara sistem analgesilk
endogen dengan asupan nyeri yang masuk ke kornu posterior. Kornu posterior adalah pintu
gerbang untuk membuka dan menutup jalur penghantaran nyeri. Hal ini dapat mengakibatkan
munculnya gejala hyperalgesia.1,2,4,11,17
Maka dari itu impuls yang dipancarkan ke inti thalamus semuanya tiba kira-kira pada
waktu yang sama dan hampir semuanya telah dihantarkan oleh serabut halus yang merupakan
serabut penghantar impuls nyeri. Kedatangan impuls yang serentak dalam jumlah yang besar
dipersepsikan sebagai nyeri hebat yang sesuai dengan sifat neuralgia. Sesuai dengan tipe pada
penghantaran serabut saraf masing-masing, yaitu serabut saraf tipe A membawa nyeri tajam,
tusuk dan selintas sedangkan serabut saraf tipe C membawa nyeri lambat dengan rasa terbakar

dan berkepanjangan. Hal ini mengakibatkan timbulnya allodinia, yaitu nyeri yang disebabkan
oleh stimulus normal (secara normal semestinya tidak menimbulkan nyeri).1,2,4,11,17
Pada otopsi pasien yang pernah mengalami herpes zoster dan neuralgia paska herpetika
ditemukan atrofi kornu dorsalis, sedangkan pada pasien yang mengalami herpes zoster tetapi
tidak mengalami neuralgia paska herpetika tidak ditemukan atrofi kornu dorsalis.
II. 4 Epidemiologi
Kebanyakan data insidensi herpes zoster dan neuralgia paska herpertika didapatkan dari
data Eropa dan Amerika Serikat. Insedensi dari herpes zoster pada negara-negara tersebut
bervariasi dari 1.3 sampai 4.8/1000 pasien/tahun, dan data ini meningkat dua sampai empat kali
lebih banyak pada individu dengan usia lebih dari 60 tahun. Data lain menyatakan pada penderita
imunokompeten yang berusia dibawah 20 tahun dilaporkan 0.4-1.6 kasus per 1000; sedangkan
untuk usia di atas 80 tahun dilaporkan 4.5-11 kasus per 1000. Pada penderita imunidefisiensi
(HIV) atau anak-anak dengan leukimia dilaporkan 50-100 kali lebih banyak dibandingkan
kelompok sehat usia sama. Penelitian Choo 1997 melaporkan prevalensi terjadinya neuralgia
paska herpetika setelah onset ruam herpes zoster sejumlah 8 kasus/100 pasien dan 60 hari setelah
onset sekitar 4.5 kasus/100 pasien. Sehingga berdasarkan penelitia Choo, diperkirakan angka
terjadi neuralgia paska herpetika sekitar 80.000 kasus pada 30 hari dan 45.000 kasus pada 60 hari
per 1 juta kasus herpes zoster di Amerika Serikat per tahunnya.
Sedangkan belum didapatkan angka insidensi Asia Australia dan Amerika Selatan, tetapi
presentasi klinis dan epidemiologi herpes zoster di Asia, Australia dan Amerika Selatan
mempunyai pola yang sama dengan data dari Eropa dan Amerika Serikat. Pada herpes zoster
akut hampir 100% pasien mengalami nyeri, dan pada 10-70%nya mengalamia neuralgia paska
herpetika. Nyeri lebih dari 1 tahun pada penderita berusia lebih dari 70 tahun dilaporkan
mencapai 48%.
II. 5 Faktor resiko
Beberapa faktor resiko terjadinya neuralgia paska herpetika adalah meningkatnya usia,
nyeri yang hebat pada fase akut herpes zoster dan beratnya ruam HZ. Dikatakan bahwa ruam
berat yang terjadi dalam 3 hari setelah onset herpes zoster, 72% penderitanya mengalami
neuralgia paska herpetika. Faktor resiko lain yang mempunyai peranan pula dalam menimbulkan
neuralgia paska herpetika adalah gangguan sistem kekebalan tubuh, pasien dengan penyakit
keganasan (leukimia, limfoma), lama terjadinya ruam.
II. 6 Manifestasi klinis herpes zoster dan neuralgia paska herpetika
Tanda khas dari haerpes zooster pada fase prodromal adalah nyeri dan parasthesia pada
daerah dermatom yang terkena. Dworkin membagi neuralgia post herpetik ke dalam tiga fase: 1.
Fase akut: fase nyeri timbul bersamaan/ menyertai lesi kulit. Biasanya berlangsung < 4 minggu,
2. Fase subakut: fase nyeri menetap > 30 hari setelah onset lesi kulit tetapi < 4 bulan, 3.
Neuralgia post herpetik: dimana nyeri menetap > 4 bulan setelah onset lesi kulit atau 3 bulan
setelah penyembuhan lesi herpes zoster. 1,3
Pada umumnya penderita dengan herpes zoster berkunjung ke dokter ahli penyakit kulit
oleh karena terdapatnya gelembung gelembung herpesnya. Keluhan penderita disertai dengan
rasa demam, sakit kepala, mual, lemah tubuh. 48-72 jam kemudian, setelah gejala prodromal

timbul lesi makulopapular eritematosa unilateral mengikuti dermatom kulit dan dengan cepat
berubah bentuk menjadi lesi vesikular. Nyeri yang timbul mempunyai intensitas bervariasi dari
ringan sampai berat sehingga sentuhan ringan saja menimbulkan nyeri yang begitu mengganggu
penderitanya. Setelah 3-5 hari dari awal lesi kulit, biasanya lesi akan mulai mengering. Durasi
penyakit biasanya 7-10 hari, tetapi biasanya untuk lesi kulit kembali normal dibutuhkan waktu
sampai berminggu-minggu.1,6
Penyakit ini dapat sangat mengganggu penderitanya. Gangguan sensorik yang
ditimbulkan diperberat oleh rangsangan pada kulit dengan hasil hiperestesia, allodinia dan
hiperalgesia. Nyeri yang dirasakan dapat mengacaukan pekerjaan si penderita, tidur bahkan
sampai mood sehingga nyeri ini dapat mempengaruhi kualitas hidup jangka pendek maupun
jangka panjang pasien. Nyeri dapat dirasakan beberapa hari atau beberapa minggu sebelum
timbulnya erupsi kulit. Keluhan yang paling sering dilaporkan adalah nyeri seperti rasa terbakar,
parestesi yang dapat disertai dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia yang merupakan respon
nyeri berlebihan terhadap stimulus, atau nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik. Nyeri sendiri
dapat diprovokasi antara lain dengan stimulus ringan/ normal (allodinia), rasa gata-gatal yang
tidak tertahankan dan nyeri yang terus bertambah dalam menanggapi rangsang yang berulang. 1
Pada masa gelembung gelembung herpes menjadi kering, orang sakit mulai menderita
karena nyeri hebat yang yang dirasakan pada daerah kulit yang terkena. Nyeri hebat itu bersifat
neuralgik. Di mana nyeri ini sangat panas dan tajam, sifat nyeri neuralgik ini menyerupai nyeri
neuralgik idiopatik, terutama dalam hal serangannya yaitu tiap serangan muncul secara tiba
tiba dan tiap serangan terdiri dari sekelompok serangan serangan kecil dan besar. Orang sakit
dengan keluhan sakit kepala di belakang atau di atas telinga dan tidak enak badan. Tetapi bila
penderita datang sebelum gelembung gelembung herpes timbul, untuk meramalkan bahwa
nanti akan muncul herpes adalah sulit sekali. Bedanya dengan neuralgia trigeminus idiopatik
ialah adanya gejala defisit sensorik. Dan fenomena paradoksal inilah yang menjadi ciri khas dari
neuralgia post herpatik, yaitu anestesia pada tempat tempat bekas herpes tetapi pada timbulnya
serangan neuralgia, justru tempat tempat bekas herpes yang anestetik itu yang dirasakan sebagai
tempat yang paling nyeri. Neuralgia post herpatik sering terjadi di wajah dan kepala. Jika
terdapat di dahi dinamakan neuralgia postherpatikum oftalmikum dan yang di daun telinga
neuralgia postherpatikum otikum. 6,28
Manifestasi klinis klasik yang terjadi pada herpes zoster adalah gejala prodromal rasa
terbakar, gatal dengan derajat ringan sampai sedang pada kulit sesuai dengan dermatom yang
terkena. Biasanya keluhan penderita disertai dengan rasa demam, sakit kepala, mual, lemah
tubuh. 48-72 jam kemudian, setelah gejala prodromal timbul lesi makulopapular eritematosa
unilateral mengikuti dermatom kulit dan dengan cepat berubah bentuk menjadi lesi vesikular.
Nyeri yang timbul mempunyai intensitas bervariasi dari ringan sampai berat sehingga sentuhan
ringan saja menimbulkan nyeri yang begitu mengganggu penderitanya. Setelah 3-5 hari dari awal
lesi kulit, biasanya lesi akan mulai mengering. Durasi penyakit biasanya 7-10 hari, tetapi
biasanya untuk lesi kulit kembali normal dibutuhkan waktu sampai berminggu-minggu.
Intensitas dan durasi dari erupsi kulit oleh karena infeksi herpes zoster dapat dikurangi dengan
pemberian acyclovir (5x800mg/hari) atau dengan famciclovir atau valacyclovir. Manifestasi
klinis neuralgia paska herpetika adalah penyakit yang dapat sangat mengganggu penderitanya.
Gangguan sensorik yang ditimbulkan diperberat oleh rangsangan pada kulit dengan hasil
hiperestesia, allodinia dan hiperalgesia. Nyeri yang dirasakan dapat mengacaukan pekerjaan si

penderita, tidur bahkan sampai mood sehingga nyeri ini dapat mempengaruhi kualitas hidup
jangka pendek maupun jangka panjang pasien. Nyeri dapat dirasakan beberapa hari atau
beberapa minggu sebelum timbulnya erupsi kulit. Keluhan yang paling sering dilaporkan adalah
nyeri seperti rasa terbakar, parestesi yang dapat disertai dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia
yang merupakan respon nyeri berlebihan terhadap stimulus, atau nyeri seperti terkena/ tersetrum
listrik. Nyeri sendiri dapat diprovokasi antara lain dengan stimulus ringan/ normal (allodinia),
rasa gata-gatal yang tidak tertahankan dan nyeri yang terus bertambah dalam menanggapi
rangsang yang berulang.
II.7 Komplikasi
Komplikasi yang paling sering terjadi pada kasus herpes zoster adalah timbulnya
neuralgia paska herpetika sehingga neuralgia paska herpetika bukan merupakan kelanjutan dari
herpes zoster akut, tetapi merupakan penyakit yang berdiri sendiri yang merupakan komplikasi
herpes zoster. Neuralgia paska herpetika merupakan suatu kondisi dimana menetapnya nyeri di
tempat lesi walaupun lesi kulit sudah sembuh lama. Dworkin membagi neuralgia paska herpetika
ke dalam tiga fase:
- Fase akut: fase nyeri timbul bersamaan/ menyertai lesi kulit. Biasanya berlangsung < 4 minggu
- Fase subakut: fase nyeri menetap > 30 hari setelah onset lesi kulit tetapi < 4 bulan
- Neuralgia paska herpetika: dimana nyeri menetap > 4 bulan setelah onset lesi kulit atau 3 bulan
setelah penyembuhan lesi herpes zoster. Nyeri digambarkan sebagai rasa seperti terbakar, teiris
tajam, rasa tertusuk-tusuk, rasa tersetrum di sepanjang dermatom yang terkena/ terlibat.
Didapatkan pula gangguan allodinia dimana sentuhan ringan seperti pada pakaian atau seprei
tempat tidur menimbulkan rasa nyeri tajam yang sangat mengganggu pasien. Gangguan nyeri ini
dapat menganggu pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti mandi atau saat
berpakaian atau saat tidur. Keluhan sensorik lain yang dapat timbul berupa rasa baal daerah lesi,
sensitif terhadap perubahan temperatur.
Menurut Fields, terdapat dua tipe penilaian terhadap derajat dan luasnya gangguan
sensorik pada pasien neuralgia paska herpetika. Fase iritasi, dimana gangguan sensorik (allodinia
hilangnya sensorik) terbatas pada lesi kulit dan fase deaferentasi dimana gangguan sensorik
meluas dari batas lesi kulit. Pada fase iritasi, penggunaan terapi anastetik lokal intra dermal lebih
berguna dibandingkan dengan tipe deaferentasi.
Komplikasi lain yang dapat terjadi pada herpes zoster adalah: lesi herpes zoster yang
meluas ke seluruh tubuh (biasanya terjadi pada penderita dengan imunodefisiensi), ensefalitis,
hepatitis, pneumonitis.
II. 8 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, yaitu:8,21,25,27
1. Pemeriksaan neurologis pada nervus trigeminus dan pemeriksaan neurologis lainnya.
2. Elektromiografi (EMG) untuk melihat aktivitas elektrik pada nervus
3. Cairan cerebrospinal (CSF) abnormal dlm 61% kasus
4. Pleositosis ditemui pada 46% kasus, peningkatan protein 26% dan DNA VZV 22% kasus.
5. Smear vesikel dan PCR untuk konfirmasi infeksi.
6. Kultur viral atau pewarnaan immunofluorescence bisa digunakan untuk membedakan herpes
simpleks dengan herpes zoster

7. Mengukur antibodi terhadap herpes zoster. Peningkatan 4 kali lipat mendukung diagnosis
herpes zoster subklinis.
http://kuliahitukeren.blogspot.com/
II. 9 Tatalaksana terapi neuralgia paska herpetika
Secara umum terapi yang dapat kita lakukan terhadap kasus penderita dengan neuralgia
paska herpetika dibagi menjadi dua jenis, yaitu terapi farmakologis dan terapi non farmakologis.

Terapi farmakologis:
a. Antivirus
Intensitas dan durasi erupsi kutaneus serta nyeri akut pada herpes zoster yang timbul
akibat dari replikasi virus dapat dikurangi dengan pemberian asiklovir, Valacyclovir,
Famciclovir. Asiklovir diberikan dengan dosis anjuran 5 x 800 mg/hari selama 7 10 hari
diberikan pada 3 hari pertama sejak lesi muncul.Efek samping yang dapat ditemukan dalam
penggunaan obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala, diare, pusing, lemah, anoreksia, edema,
dan radang tenggorokan. Valasiklovir diberikan dengan dosis anjuran 1 mg/hari selama 7 hari
secara oral. Efek samping yang dapat ditemukan da;lam penggunaan obat ini adalah mual,
muntah, sakit kepala, dan nyeri perut. Famsiklovir diberikan dengan dosis anjuran 500 mg/hari
selama 7 hari selama 7 hari. Efek samping dalam penggunaan opbat ini adalah mual, muntah,
sakit kepala, pusing, nyeri.1,3,22
b. Analgesik
Terapi sistemik umumnya bersifat simptomatik, untuk nyerinya diberikan analgetik. Jika
diserta infeksi sekunder deberikan antibiotic. Analgesik non opioid seperti NSAID dan
parasetamol mempunyai efek analgesik perifer maupun sentral walaupun efektifitasnya kecil
terhadap nyeri neuropatik. Sedangkan penggunaan analgesik opioid memberikan efektifitas lebih
baik. Tramadol telah terbukti efektif dalam pengobatan nyeri neuropatik. Bekerja sebagai agonis
mu-opioid yang juga menghambat reuptake norepinefrin dan serotonin. Pada sebuah penelitian,
jika dosis tramadol dititrasi hingga maksimum 400 mg/hari dibagi dalam 4 dosis. Namun, efek
pada sistem saraf pusat dapat menimbulkan terjadinya amnesia pada orang tua. Hal yang harus
diperhatikan bahwa pemberian opiat kuat lebih baik dikhususkan pada kasus nyeri yang berat
atau refrakter oleh karena efek toleransi dan takifilaksisnya. Dosis yang digunakan maksimal 60
mg/hari. 1,22. Oxycodone berdasarkan penelitian menunjukkan efek yang lebih baik
dibandingkan plasebo dalam meredakan nyeri, allodinia, gangguan tidur, dan kecacatan.
c. Anti epilepsi
Mekanisme kerja obat epilepsi ada 3, yakni dengan 1) memodulasi voltage-gated
sodium channel dan kanal kalsium, 2) meningkatkan efek inhibisi GABA, dan 3) menghambat
transmisi glutaminergik yang bersifat eksitatorik. Gabapentin bekerja pada akson terminal
dengan memodulasi masuknya kalsium pada kanal kalsium, sehingga terjadi hambatan. Karena
bekerja secara sentral, gabapentin dapat menyebabkan kelelahan, konfusi, dan somnolen. Dosis
yang dianjurkan sebesar 1800-3600 mg/d . Karbamazepin, lamotrigine bekerja pada akson
terminal dengan memblokade kanal sodium, sehingga terjadi hambatan. Pregabalin bekerja
menyerupai gabapentin. Onset kerjanya lebih cepat. Seperti halnya gabapentin, pregabalin bukan
merupakan agonis GABA namun berikatan dengan subunit dari voltage-gated calcium channel,

sehingga mengurangi influks kalsium dan pelepasan neurotransmiter (glutamat, substance P, dan
calcitonin gene-related peptide) pada primary afferent nerve terminals. Dikatakan pemberian
pregabalin mempunyai efektivitas analgesik baik pada kasus neuralgia paska herpetika, neuropati
diabetikorum dan pasien dengan nyeri CNS oleh karena trauma medulla spinalis. Didapatkan
pula hasil perbaikan dalam hal tidur dan ansietas. 1,22
d. Anti depressan
Anti depressan trisiklik menunjukkan peran penting pada kasus neuralgia paska
herpetika. Obat golongan ini mempunyai mekanisme memblok reuptake (pengambilan kembali)
norepinefrin dan serotonin. Obat ini dapat mengurangi nyeri melalui jalur inhibisi saraf spinal
yang terlibat dalam persepsi nyeri. Pada beberapa uji klinik obat antidepressan trisiklik
amitriptilin, dilaporkan 47-67% pasien mengalami pengurangan nyeri tingkat sedang hingga
sangat baik. Amitriptilin menurunkan reuptake saraf baik norepinefrin maupun serotonin. dengan
pemberian tricyclic antidepressant seperti amiitriptyline dengan dosis, 25-150 mg/d secara oral.
Obat ini akan lebih efektif bila dikombinasikan dengan phenitiazine. TCA telah terbukti efektif
dalam pengobatan nyeri neuropatik dibanding SSRI (selective serotonine reuptake inhibitor)
seperti fluoxetine, paroxetine, sertraline, dan citalopram. Alasannya mungkin dikarenakan TCA
menghambat reuptake baik serotonin maupun norepinefrin, sedangkan SSRI hanya menghambat
reuptake serotonin. Efek samping TCA berupa sedasi, konfusi, konstipasi, dan efek
kardiovaskular seperti blok konduksi, takikardi, dan aritmia ventrikel. Obat ini juga dapat
meningkatkan berat badan, menurunkan ambang rangsang kejang, dan hipotensi ortostatik. Anti
depressan yang biasa digunakan untuk kasus neuralgia pot herpetika adalah amitriptilin,
nortriptiline, imipramine, desipramine dan lainnya.1,22,26
e. Terapi topikal
Anestesi lokal memodifikasi konduksi aksonal dengan menghambat voltage-gated
sodium channels. Inaktivasi menyebabkan hambatan terhadap terjadinya impuls ektopik spontan.
Obat ini bekerja lebih baik jika kerusakan pada neuron hanya terjadi sebagian, fungsi nosiseptor
tetap ada, dan adanya jumlah kanal sodium yang berlebih. Mekanisme lainnya adalah dengan
memodifikasi aktivitas NMDA.1,3,22
Lidokain topikal merupakan obat yang sering diteliti dengan hasil yang baik dalam
mengobati nyeri neuropatik. Sebuah studi menunjukkan efek yang baik dengan penggunaan
lidocaine patch 5% untuk pengobatan NPH. Obat ini ditempatkan pada daerah simtomatik
selama 12 jam dan dilepas untuk 12 jam kemudian. Obat ini dapat digunakan selama bertahuntahun dan dipakai sebagai pilihan terapi tambahan pada pasien orang tua. Penggunaan krim
topikal seperti capsaicin cukup banyak dilaporkan. Krim capsaicin sampai saat ini adalah satusatunya obat yang disetujui FDA untuk neuralgia paska herpetika. Capsaicin berefek pada neuron
sensorik serat C (C-fiber). Telah diketahui bahwa neuron ini melepaskan neuropeptida
inflamatorik seperti substansia P yang menginisiasi nyeri. Dengan dosis tinggi, capsaicin
mendesensitisasi neuron ini. Tetapi sayangnya capsaicin mempunyai efek sensasi rasa terbakar
yang sering tidak bisa ditoleransi pemakainya (1/3 pasien pada uji klinik ini). 1,3,22

Terapi non farmakologis


a. Akupunktur

Akupunktur banyak digunakan sebagai terapi untuk menghilangkan nyeri. Terdapat


beberapa penelitian mengenai terapi akupunktur untuk kasus neuralgia paska herpetika. Namun
penelitian-penelitian tersebut masih menggunakan jumlah kasus tidak terlalu banyak dan terapi
tersebut dikombinasi pula dengan terapi farmakologis.1
b. TENS (stimulasi saraf elektris transkutan)
Penggunaan TENS dilaporkan dapat mengurangi nyeri secara parsial hingga komplit
pada beberapa pasien neuralgia paska herpetik. Tetapi penggunaan TENS-pun dianjurkan hanya
sebagai terapi adjuvan/ tambahan disamping terapi farmakologis.1
c. Vaksin
Penggunaan vaksin untuk mencegah timbulnya Neurlagia Postherpertika pada orang
lanjut usia yaitu umur 60 tahun keatas dengan dosis 1 ml diberikan secara sub kutan ternyata
efektif. Dari 107 orang yang menderita neuralgia post herpetika kemudian diberikan vaksin
ternyata dapat mereduksi nyeri yang ditimbulkan hingga 66,5 %. 4, 23
II. 10 Pencegahan
Dari beberapa laporan penelitian didapatkan efektifitas yang cukup baik pada
penggunaan kortikosteroid dan antiviral dalam pencegahan timbulnya neuralgia paska herpetika.
Kortikosteroid berperanan dalam mengurangi inflamasi zoster dan mencegah kerusakan saraf,
sedangkan antiviral (asiklovir) mempunyai manfaat dalam mengurangi nyeri dan eritema,
mencegah timbulnya lesi baru dan menyembuhkan kulit lebih cepat.
II. 11 PROGNOSIS
Umumnya prognosisnya baik, di mana ini bergantung pada tindakan perawatan sejak
dini. pada umumnya pasien dengan neuralgia post herpetika respon terhadap analgesik seperti
antidepressan trisiklik. Jika terdapat pasien dengan nyeri yang menetap dan lama dan tidak
respon terhadap terapi medikasi maka diperlukan pencarioan lanjutan untuk mencari terapi yang
sesuai. 6,24
Prognosis ad vitam dikatakan bonam karena neuralgia paska herpetik tidak
menyebabkan kematian. Kerusakan yang terjadi bersifat lokal dan hanya mengganggu fungsi
sensorik. Prognosis ad functionam dikatakan bonam karena setelah terapi didapatkan perbaikan
nyata, dan pasien dapat beraktivitas baik seperti biasa.1
Prognosis ad sanactionam bonam karena walaupun risiko berulangnya HZ masih
mungkin terjadi sebagaimana disebutkan dari literatur, selama pasien mempunyai daya tahan
tubuh baik kemungkinan timbul kembali kecil.1

BAB III
KESIMPULAN
Neuralgia post herpetik adalah nyeri neuropatik yang menetap setelah onset ruam (atau
3 bulan setelah penyembuhan herpes zoster). Biasanya di dahului oleh adanya riwayat menderita
varicella pada masa kanak-kanak. Ketika telah berumur tua, terutama pada usia 50 tahun ke atas,
atau dalam keadaan imunokmpromise maka virus herpes ini akan mengalami reaktivasi.
Manifestasi klinis yang sering di jumpai adalah nyeri seperti rasa terbakar, parestesi yang dapat
disertai dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia yang merupakan respon nyeri berlebihan
terhadap stimulus, atau nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik. Penatalaksanaan penyakit ini
dapat dilakukan dengan terapi farmakologi dan non farmakologi. Pemeriksaan penunjang pada
penyakit ini tidak terlalu berarti, cukup dengan anamnesis dan pemeriksaan fisis, diagnosa
penyakit ini sudah dapat ditegakkan. Prognosisnya tidak buruk, pada umumnya dapat sembuh
dengan terapi yang teratur.

You might also like