You are on page 1of 1

"Letakkan tanganmu dalam tangan-Nya, dan

berjalanlah hanya bersama-Nya."

Bunda Teresa, pendiri Ordo Cinta Kasih. Beliau seorang yang melihat dan merasakan dengan
begitu jelas pada panggilan Tuhan baginya. Hidup beliau membuktikan betapa beliau telah
"meletakkan tangannya dalam tangan Tuhan, dan berjalan hanya bersama-Nya."
Tidak seperti saya, yang meski merasakan panggilan, namun tidak memiliki keluasan dan
kedalaman hati seperti Bunda Teresa. Saya pribadi yakin, adalah sesuatu yang terus menggema dalam
hati dan benak beliau. Dan kelak, pesan itu--meski dengan tertatih-tatih--menggema dalam benak
saya. Belum sampai dalam hati, karena saya mendapati diri saya masih gemar menikmati kesenangan
dunia. Saya belum dapat sepenuhnya merasakan panggilan tersebut. Saya memang memegang tangan
Tuhan, tapi saya cenderung berjalan bersama dunia juga. Saya masih seperti seorang anak yang
dituntun oleh orang tuanya, tapi perhatiannya sepenuhnya pada keramaian dan kesenangan yang
bertebaran di pasar malam. Setiap saat genggaman itu bisa saya lepas--dan Dia harus terus berusaha
mempertahankan agar saya tidak lenyap di tengah kerumunan pasar malam duniawi.
Dalam menjalani apa yang sering saya umbar sebagai "menjalani panggilan", saya sebagai
orang beriman yang diutus tampaknya lebih pada kebutuhan, daripada atas dasar kepercayaan. Bukan
seperti yang menjadi pesan sekaligus doa Bunda Teresa, yang saya pahami sebagai "penyerahan diri
sepenuhnya, dengan melepaskan segala sesuatu, dan menaruh segalanya dalam tangan Tuhan semata."
Dengan malu, saya mengakui bahwa Bunda Teresa jauh lebih beriman daripada saya. Meski ia tidak
"menerima panggilan" dan menjalani pendidikan teologi seperti saya, tapi ia lebih bersandar pada
Tuhan. Memang saya bisa menyampaikan kata-kata mutiara yang indah, tapi tak akan pernah
menyamai kedalaman dan iman dari pesan sang ibu itu. Saya ingin dialah yang memeluk saya dan
membisikan pesan itu di telinga saya, di benak saya, dan di hati saya. Itu sebabnya, sadar bahwa
hanya ini yang bisa saya wujudkan, saya menjadikan pesan itu sebagai pesan penghantar saya juga.
Meletakkan tangan dalam tangan Tuhan mungkin mudah, tapi berjalan hanya dengan-Nya itu
jauh lebih sulit. Saya masih suka dengan kesenangan dan hiburan. Saya malah masih membiarkan halhal lain mengikuti saya--seperti seorang anak kecil yang merasa lebih nyaman dengan mainannya
daripada pegangan tangan Tuhan. Anak kecil yang akan menangis kehilangan bila mainan itu
tertinggal bahkan hilang, tapi tidak peduli dan tidak menyadari bilamana ia sudah tidak lagi dalam
tuntunan tangan Tuhannya. Saya mungkin memang berjalan bersama Tuhan, tapi bukan bersama
Tuhan sebenarnya saya berjalan, melainkan bersama segala kesenangan dan milik. Persis seperti
seorang remaja yang menaruh hidupnya pada handphone--sehingga tanpa itu hidup akan berakhir.
Persis seperti seorang muda yang menggantungkan jiwanya pada seorang kekasih--sehingga ketika
kekasih itu meninggalkannya, hidup sudah tidak ada arti lagi. Persis seperti seorang kaya yang
menimbun harta & meletakkan jiwa dan hidupnya di situ--sehingga ketika perampokan atau
kebangkrutan menerpa, hidup pun sudah tidak berguna lagi.
Kata-kata pesan dari seorang ibu yang saleh itu seperti gema dari rintihan kerinduan Tuhan sendiri
bagiku: "Letakkan tanganmu dalam tangan-Ku, dan berjalanlah hanya bersama-Ku."!

You might also like