Professional Documents
Culture Documents
Abstrak
Undang-Undang No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran ini disusun dalam upaya menyesuaikan diri
dengan perkembangan yang terjadi dalam lingkungan strategis nasional dan internasional sesuai dengan
perkembangan ilmu dan teknologi, peran serta swasta dan persaingan usaha serta otonomi daerah maupun
akuntabilitas penyelenggara negara. Namun dalam batang tubuh UU ini justru terdapat pasal-pasal multi tafsir
sehingga dapat ditafsirkan sesuai kepentingan masing-masing pihak, yang akan menimbulkan masalah yang krusial,
yaitu terjadi konflik kewenangan antara Otorita Pelabuhan dan Badan Usaha Pelabuhan dalam hal ini Pelabuhan
Indonesia. Disamping itu keberadaan Undang Undang ini juga menghambat kinerja pelabuhan di Tanah Air,
karena dilarang untuk menjalin kerja sama dengan pihak ketiga (swasta), akibatnya program ekspansi menjadi
terkendala.
Walaupun semangat Undang Undang Pelayaran yang memisahkan fungsi regulator dan operator sudah
tepat, karena dapat membuka peluang bagi swasta di sektor kepelabuhanan, namun sayang implementasinya malah
jauh dari nilai kompetisi, karena keberadaannya justru menciptakan konsep monopoli baru. Undang-undang ini
juga tidak sejalan dengan sikap pemerintah sebelumnya, karena pada awal 2008 ketika belum disahkan, ada
jaminan bahwa aset-aset yang selama ini telah dikelola PT Pelabuhan Indonesia I-IV tidak akan diambil oleh
pemerintah, namun kenyataannya saat ini sejumlah aset telah diaudit dan ke depan menjadi milik Otorita
Pelabuhan.
Untuk itu ada wacana untuk merevisi UU Pelayaran ini terutama dalam beberapa pasal tentang
kepelabuhanan, yaitu terutama tentang : Penjaga pantai (satuan coast guard)
dan kegiatan pengang kutan lepas
pantai (offshore).
dimaksud pada
(1) meliputi
penyediaan dan/atau pelayanan jasa
kapal, penumpang dan barang .
Penyediaan dan/atau pelayanan jasa
kapal, penumpang, dan barang
sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) terdiri atas :.. g)
Penyediaan dan/atau pelayanan jasa
bongkar muat barang.
Pertanyaannya adalah : apakah
implementasi ketentuan tentang
pelayanan jasa bongkar muat barang
sebagai bagian dari penyediaan
dan/atau pelayanan jasa kapal,
penumpang dan barang merupakan
bagian dari kegiatan/segmen usaha
PT (Persero) Pelabuhan Indonesia,
dengan mana sesuai dengan SE
Nomor 6 Tahun 2002, setiap
Perusahaan Bongkar Muat yang
akan melakukan kegiatan bongkar
muat barang di pelabuhan harus
mengajukan
surat
permohonan
kerjasama dengan PT Pelindo serta
membayar biaya supervisi atau
kontribusi pelayanan bongkar muat
atas kegiatan bongkar muat.
Dalam
Pembentukan
PT
Pelindo berdasarkan PP 56, 57, 58
dan 59 Tahun 1991 sebagai
pengelola pelabuhan, SE Nomor 6
Tahun 2002 telah dijadikan dasar
hukum ijin usaha bongkar muat bagi
PT Pelindo sendiri di pelabuhan
dimana PT Pelindo berada, dan
sekaligus dianggap sebagai bagian
dari implementasi Pasal 90 UU 19
Tahun 2008. PT. Pelindo sebagai
penyelenggara pelabuhan melakukan
praktek monopoli kegiatan jasa
bongkar muat barang, dengan
memasukkan usaha bongkar muat
barang sebagai salah satu segmen
usahanya
yang
menyebabkan
tergusurnya PBM yang sudah ada
sejak lama, pada hal usaha pokoknya
hanya meliputi Pelayanan jasa kapal
(jasa labuh, jasa penundaan, jasa tambat),
menerapkan
prinsip
segregasi.
Maksudnya, lembaga baru yang
diamanatkan oleh peraturan tersebut
untuk dibentuk, dalam hal ini Otoritas
Pelabuhan, tidak dipisahkan (segregate)
dari
induknya,
Kementrian
Perhubungan. Dipisahnya lembaga
baru dari induknya adalah untuk
mencegah conflict of interest yang
mungkin saja muncul antara lembaga
baru itu dengan induknya ketika
menjalankan fungsi yang diembannya .
Di samping itu, prinsip segregasi
menjadikan personil yang mengisi
jabatan di lembaga baru lebih kredibel
karena dipilih dengan syarat-syarat
yang ketat, bahkan di fit-and-proper test
di parlemen. Sayangnya, prinsip
segregasi tidak menjiwai Undang
Undang Pelayaran sehingga personil
yang ditunjuk untuk mengawaki
Otorita Pelabuhan dipilih tidak
berdasarkan prinsip the right man on the
right place, melainkan like dan dislike.
Jadinya, lembaga itu dinilai tidak akan
sanggup
memajukan
pelabuhan
nasional
D. HARAPAN KEDEPAN
Keberadaan
Otoritas
Pelabuhan
hendaknya tak hanya berfungsi sebagai
perwakilan pemerin tah, namun lebih dari
itu harus lebih probisnis. Artinya, Otoritas
Pelabuhan
harus
bisa
mengatasi
kemandekan infrastruktur kepelabuhanan
yang tercermin dengan adanya kongesti
endemik di hampir semua pelabuhan di
Indonesia yang selama ini dikeluhkan
pengguna jasa kepelabuhanan.
Dibentuknya
Otorita
Pelabuhan
berdasarkan
SK Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi EE Mangindaan
dengan
nomor
B/2237/M.PANRB/10/2010 tertanggal 7 Oktober 2010,
merupakan organisasi terpisah di bawah
Kementrian
Perhubungan,
Ditjen
Perhubungan Laut akan tetap memainkan
7
Sebagai
wakil
pemerintah
di
pelabuhan, Otoritas Pelabuhan yang
melaksanakan
fungsi
pengelolaan,
pengaturan, pengendalian dan pengawasan
8
5.
b.
c.
d.
e.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
11
12
13