You are on page 1of 13

IMPLEMENTASI UNDANG UNDANG PELAYARAN : DAPATKAH

MENGHILANGKAN MONOPOLI PELABUHAN ?


Oleh : Nuryanto

Staff Pengajar Sekolah Tinggi Maritim dan Transpor AMNI


(STIMART AMNI) Semarang

Abstrak
Undang-Undang No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran ini disusun dalam upaya menyesuaikan diri
dengan perkembangan yang terjadi dalam lingkungan strategis nasional dan internasional sesuai dengan
perkembangan ilmu dan teknologi, peran serta swasta dan persaingan usaha serta otonomi daerah maupun
akuntabilitas penyelenggara negara. Namun dalam batang tubuh UU ini justru terdapat pasal-pasal multi tafsir
sehingga dapat ditafsirkan sesuai kepentingan masing-masing pihak, yang akan menimbulkan masalah yang krusial,
yaitu terjadi konflik kewenangan antara Otorita Pelabuhan dan Badan Usaha Pelabuhan dalam hal ini Pelabuhan
Indonesia. Disamping itu keberadaan Undang Undang ini juga menghambat kinerja pelabuhan di Tanah Air,
karena dilarang untuk menjalin kerja sama dengan pihak ketiga (swasta), akibatnya program ekspansi menjadi
terkendala.
Walaupun semangat Undang Undang Pelayaran yang memisahkan fungsi regulator dan operator sudah
tepat, karena dapat membuka peluang bagi swasta di sektor kepelabuhanan, namun sayang implementasinya malah
jauh dari nilai kompetisi, karena keberadaannya justru menciptakan konsep monopoli baru. Undang-undang ini
juga tidak sejalan dengan sikap pemerintah sebelumnya, karena pada awal 2008 ketika belum disahkan, ada
jaminan bahwa aset-aset yang selama ini telah dikelola PT Pelabuhan Indonesia I-IV tidak akan diambil oleh
pemerintah, namun kenyataannya saat ini sejumlah aset telah diaudit dan ke depan menjadi milik Otorita
Pelabuhan.
Untuk itu ada wacana untuk merevisi UU Pelayaran ini terutama dalam beberapa pasal tentang
kepelabuhanan, yaitu terutama tentang : Penjaga pantai (satuan coast guard)
dan kegiatan pengang kutan lepas
pantai (offshore).

Kata Kunci : Undang- Undang Pelayaran, monopoli, revisi.


A. PENDAHULUAN.

keamanan, serta perlindungan lingkungan


maritim.
Kegiatan pelayaran pada
umumnya adalah mengangkut barang atau
penumpang dari satu lokasi ke lokasi lain
atau dari pelabuhan ke pelabuhan lain,
keselamatan pelayaran dan perlindungan
lingkungan maritim dari pencemaran
bahan-bahan pencemar yang berasal dari
kapal. Kegiatan itulah yang diatur dalam
UU Pelayaran.
Undang-Undang
ini
disusun dalam upaya menyesuaikan diri
dengan perkembangan yang terjadi dalam
lingkungan strategis
nasional dan
internasional sesuai dengan perkembangan
ilmu dan teknologi, peran serta swasta dan
persaingan usaha serta otonomi daerah
maupun
akuntabilitas
penyelenggara

Sebagai negara kepulauan dengan


wilayah perairan yang sangat luas,
Indonesia hanya memiliki satu undangundang
yang
mengatur
tentang
penggunaan
laut.
Undang-undang
dimaksud adalah UU No 21 Tahun 1992
tentang Pelayaran yang disempurnakan
dengan UU No 17 Tahun 2008. UndangUndang tersebut digunakan untuk
mengontrol dan mengawasi semua jenis
kegiatan di perairan Indonesia.
Dalam ketentuan umum UU Pelayaran
disebutkan bahwa pelayaran adalah satu
kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan
di perairan, kepelabuhan, keselamatan dan
1

negara. Upaya demikian dimaksudkan


dalam kerangka lebih memungkinkan
pencapaian tujuan nasional yang tetap
berorientasi pada Pancasila dan UUD
1945, antara lain untuk mendukung
pertumbuhan ekonomi, pengembangan
wilayah dan mengukuhkan kedaulatan
negara. Tetapi banyak kalangan yang
menilai bahwa dalam batang tubuh UU
No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran
terdapat pasal-pasal multi tafsir dan dapat
ditafsirkan sesuai kepentingan masingmasing pihak, sehingga menimbulkan
masalah yang krusial. Antara lain tentang
hak hidup BUP baru sebagai pesaing
BUMN Pelabuhan, yang sering diartikan
untuk boleh dengan serta merta ikut
mempunyai hak dan boleh beroperasi
pada pelabuhan yang sudah dikelola oleh
PT Pelabuhan Indonesia. Sementara
penafsiran formal dari BUMN Pelabuhan
adalah mengacu pada pasal 344 UU No
17/ 2008, yang dapat diartikan BUP dan
secara otomatis bertindak sebagai operator
pada fasilitas terminal yang sudah dikelola
selama ini, sehingga kegiatan bongkar
muat barang pada terminal tersebut
dilaksanakan
oleh
PT
Pelabuhan
Indonesia. Dalam pasal itu juga dijelaskan
bahwa masa transisi UU itu adalah 3
tahun, oleh karena maka sejak 7 Mei 2011,
PT Pelabuhan Indonesia harus sudah
beroperasi sebagai Terminal Operator.
Sejalan dengan UU tersebut, maka
berdasarkan SK Menteri Perhubungan
No. KP.88/2011 tanggal 14 Februari 2011
tentang pemberian usaha kepada PT
Pelabuhan Indonesia III sebagai Badan
Usaha Pelabuhan. Dalam melaksanakan
operasional di Terminal, PT Pelabuhan
Indonesia III menyadari tidak mungkin
mengabaikan para pelaku usaha, terutama
Perusahaan Bongkar Muat (PBM) yang
selama ini melakukan kegiatan diatas
fasilitas yang dikelolanya, karena inti dari
Undang Undang No.17 tahun 2008
adalah,
meniadakan
monopoli,
memberikan kesempatan seluas-luasnya

kepada BUMN, BUMD, Badan Usaha


Pelabuhan milik perseorangan dan swasta
untuk melakukan pengusahaan di
pelabuhan. Undang Undang ini juga
memberi peluang sangat terbuka bagi
pelaku usaha untuk bersama-sama
membangun pelabuhan yang terjaga
eksistensi, produktivitas serta kualitas
layanan jasanya. Artinya, setiap pelaku
usaha sesuai dengan peran, fungsi dan
bidang usahanya memiliki kesempatan
yang sama untuk melakukan usaha di
pelabuhan, sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
Namun realitas selama ini, kalangan
pelaku
dan
praktisi
di
sektor
kepelabuhanan
menilai
keberadaan
Undang Undang No 17 Tahun 2008
tentang Pelayaran justru menghambat
kinerja pelabuhan di Tanah Air.
Pelabuhan-pelabuhan di Tanah Air justru
sulit memacu produktivitas karena
dilarang untuk menjalin kerja sama dengan
pihak ketiga (swasta), akibatnya program
ekspansi
menjadi
terkendala.
Sesungguhnya semangat Undang Undang
Pelayaran yang memisahkan fungsi
regulator dan operator sudah tepat,
demikian juga semangat untuk membuka
peluang
bagi
swasta
di
sektor
kepelabuhanan,
namun
sayang
implementasinya malah jauh dari nilai
kompetisi karena Undang Undang itu
justru menciptakan konsep monopoli
baru.
B. PERLUNYA
REVISI
UU 17
TAHUN 2008
Diterbitkannya
Undang
Undang
No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran yang
didasari semangat untuk menekan biaya
tinggi di pelabuhan serta memperlancar
rantai
logistik
nasional
dengan
meniadakan monopoli. Namun dalam
pelaksanaannya ada beberapa hal yang
perlu dicermati yaitu :

1. Adanya permasalahan yang muncul yaitu


(Saut Gurning, Dermaga, Edisi 150, Mei
2011) :
a. Rendahnya produktivitas bongkar
muat barang di pelabuhan yang
disebabkan antara lain : kurangnya
infrastruktur, merupakan tanggung
jawab pemerintah atau kewajiban dari
BUMN pelabuhan sebagai pengelola
dan pelaksana aktivitas di pelabuhan?
b. Sejauh mana peran pemerintah dalam
hal ini Kementrian Perhubungan
dalam pemeliharaan alur pelayaran
dan alat-alat keselamatan pelayaran,
terutama sejak
terjadi likuidasi
terhadap fungsi dan peran Kantor
Wilayah Departemen Perhubungan.
c. Kurang
terasa
keterpihakan
pemerintah dalam memfasilitasi
maupun proteksi terhadap industri
pelayaran dalam negeri, termasuk
bunga kredit perbankan dalam
pembnagunan kapal di galangan kapal
dalam negeri dan pembelian kapal
baru untuk penambahan dan
perkuatan armada, agar tercipta
keseimbangan
jumlah
kapal
berbendera nasional dengan kapalkapal berbendera asing, dalam
menerapkan azas cabotage sesuai
dengan Inpres 5 tahun 2005 tentang
industry pelayaran nasional.
d. Rendahnya investasi sector industry
yang mampu mendorong hinterland
menjadi daerah pendukung kinerja
pelabuhanpada
sebagian
besar
wilayah pelabuhan Indonesia, yang
mengakibatkan
masih
tingginya
ongkos angkutan ke pelabuhan
bongkar.
e. Masih jeleknya kondisi infrastruktur
jalan dan jembatan yang menjadi
penyebab tingginya biaya angkutan
darat dari daerah penghasil komoditi
unggulan pelabuhan.
f. Belum jelasnya pelaksanaan kebijakan
road map angkutan multi moda, yang
mengakibatkan tingginya beban yang

harus ditanggung oleh moda


nagkutan jalan raya, dengan dampak
mahalnya biaya pemeliharaaan jalan
dan
jembatan,
sementara
itu
kontribusi angkutan cepat dan massal
untuk memanfaatkan moda angkutan
kereta api masih belum signifikan.
2. Adanya beberapa kelemahan pada UU
tersebut antara lain :
a. Timbulnya monopoli baru.
Sebelum adanya Undang Undang
ini, PT Pelabuhan Indonesia dapat
bermitra dengan swasta untuk
mengembangkan pelabuhan, tapi
sekarang PT Pelabuhan Indonesia
harus sendiri tak perlu mengajak
swasta karena dia dianggap Operator
biasa yang statusnya sama dengan
swasta, dengan kondisi ini, maka
akan tercipta monopoli baru.
Undang
Undang
Pelayaran
menyebutkan
fungsi
regulator
dilakukan oleh Port Authority atau
Otoritas Pelabuhan. seharusnya yang
memiliki fungsi itu adalah PT
Pelabuhan Indonesia I-IV, dia pula
yang kemudian melakukan tender
atas proyek-proyek pembangunan
dan pengembangan di pelabuhan
yang dikelolanya.
Seharusnya fungsi port authority itu
tetap di PT Pelabuhan Indonesia,
bukan oleh Otorita Pelabuhan yang
terdiri para pegawai negeri di
Kementrian Perhubungan yang
sudah 25-30 tahun tidak pernah
mengurusi pelabuhan, karena untuk
jadi port authority harusnya yang
tahu betul soal bisnis dan komersial.
Terlebih lagi kalau kita lihat
bunyi Pasal 90 UU 17/2008, ayat (2)
huruf g, yang isinya sebagai berikut :
Kegiatan pengusahaan di pelabuhan
terdiri atas penyediaan dan/atau
pelayanan jasa kepelabuhanan dan
jasa terkait dengan kepelabuhanan.
Penyediaan dan/atau pelayanan jasa
kepelabuhanan
sebagaimana
3

dimaksud pada
(1) meliputi
penyediaan dan/atau pelayanan jasa
kapal, penumpang dan barang .
Penyediaan dan/atau pelayanan jasa
kapal, penumpang, dan barang
sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) terdiri atas :.. g)
Penyediaan dan/atau pelayanan jasa
bongkar muat barang.
Pertanyaannya adalah : apakah
implementasi ketentuan tentang
pelayanan jasa bongkar muat barang
sebagai bagian dari penyediaan
dan/atau pelayanan jasa kapal,
penumpang dan barang merupakan
bagian dari kegiatan/segmen usaha
PT (Persero) Pelabuhan Indonesia,
dengan mana sesuai dengan SE
Nomor 6 Tahun 2002, setiap
Perusahaan Bongkar Muat yang
akan melakukan kegiatan bongkar
muat barang di pelabuhan harus
mengajukan
surat
permohonan
kerjasama dengan PT Pelindo serta
membayar biaya supervisi atau
kontribusi pelayanan bongkar muat
atas kegiatan bongkar muat.
Dalam
Pembentukan
PT
Pelindo berdasarkan PP 56, 57, 58
dan 59 Tahun 1991 sebagai
pengelola pelabuhan, SE Nomor 6
Tahun 2002 telah dijadikan dasar
hukum ijin usaha bongkar muat bagi
PT Pelindo sendiri di pelabuhan
dimana PT Pelindo berada, dan
sekaligus dianggap sebagai bagian
dari implementasi Pasal 90 UU 19
Tahun 2008. PT. Pelindo sebagai
penyelenggara pelabuhan melakukan
praktek monopoli kegiatan jasa
bongkar muat barang, dengan
memasukkan usaha bongkar muat
barang sebagai salah satu segmen
usahanya
yang
menyebabkan
tergusurnya PBM yang sudah ada
sejak lama, pada hal usaha pokoknya
hanya meliputi Pelayanan jasa kapal
(jasa labuh, jasa penundaan, jasa tambat),

pelayanan jasa barang (jasa dermaga,


jasa penumpukan barang, jasa peti
kemas) serta jasa terminal (penyediaan
peralatan bongkar muat).
Sifat monopolistis PT Pelindo
dalam usaha jasa bongkar muat
barang dalam bentuk pengurusan
(besturen) dan pengelolaan sendiri
(beheren),
sebagaimana
yang
dilakukan sekarang berdasarkan
Pasal 90 ayat (3) huruf g, tidak
memberi ruang bagi keikut sertaan
swasta secara efisien, dalam prinsip
kebersamaan dan berkeadilan untuk
memberi lapangan pekerjaan bagi
rakyat dalam rangka pemenuhan hak
untuk hidup dan hak untuk
memperoleh
pekerjaan
untuk
warganegara. Persaingan sehat dan
efisiensi dalam bidang jasa bongkar
muat,
merupakan keniscayaan,
sedangkan PT Pelindo tidak akan
bertindak sebagai operator sendiri
atau bertindak seolah-olah sebagai
pelaku dan penyelenggara jasa
bongkar muat tersebut sendiri,
meskipun hanya sebagai dalih untuk
memperoleh dasar bagi pemungutan
biaya-biaya supervisi dan kontribusi
pelayanan bongkar muat, yang juga
tidak sesuai dengan pos tariff jasa
kepelabuhanan baik tentang, jenis
dan golongan tarif pelayanan jasa
kepelabuhanan yang ditentukan.
b. Inkonsistensi Pemerintah.
Keberadaan
Undang
Undang
Pelayaran juga tidak sejalan dengan
sikap pemerintah sebelumnya. Pada
awal 2008 ketika Undang Undang
Pelayaran
belum
disahkan,
Kementrian Perhubungan telah
melayangkan surat kepada Presiden
yang menjamin bahwa aset-aset yang
selama ini telah dikelola PT
Pelabuhan Indonesia I-IV tidak akan
diambil oleh pemerintah, namun
kenyataannya saat ini sejumlah aset
4

telah diaudit dan ke depan menjadi


milik Otorita Pelabuhan
Oleh karena itu jika Undang Undang
Pelayaran tidak direvisi, bisa jadi
sektor kepelabuhan an di Tanah Air
sulit berkembang, karena pemain
bisnis pelabuhan hanya itu-itu saja
yakni PT Pelabuhan Indonesia I-IV.
c. Terjadi konflik kewenangan.
Di dalam Undang Undang No. 17
tahun 2008 tentang Pelayaran
kewenangan
Badan
Usaha
Pelabuhan sebagai Operator dan
Badan Otorita Pelabuhan sebagai
Regulator sudah jelas, karena Badan
Usaha Pelabuhan dalam hal ini PT
Pelabuhan Indonesia dan Otorita
Pelabuhan
adalah
bentukan
pemerintah juga. Dosen Maritim
Institut Teknologi 10 November
Saut Gurning menilai perbedaan
persepsi terhadap Undang Undang
No. 17 tahun 2008 tentang
Pelayaran telah menyulut konflik
kewenangan
antara
Otorita
Pelabuhan dan Badan Usaha
Pelabuhan dalam hal ini Pelabuhan
Indonesia.

dan gas, dapat menurunkan produksi


minyak nasional sebesar 270.000 barel per
hari/bph (bataviase.co. id.21 oktb 2010)
Interaksi antara pemerintah dan
kelompok penentang revisi Undang
Undang Pelayaran hanya menyediakan dua
opsi untuk disikapi oleh stakeholder atau
pemangku kepentingan kemaritiman di
Tanah Air, menolak atau mendukung.
Sebetulnya, ada opsi ketiga yang layak
dipertimbangkan, yaitu merevisi total
peraturan perundangan itu. Revisi total
dibutuhkan karena Undang Undang
Pelayaran menyimpan beberapa kesalahan
yang sangat substansial akibat dari
konfigurasi politik ketika ia dibahas di
DPR
beberapa
tahun
lalu.
Konfigurasi
tadi
mengakibatkan
pembahasan Undang Undang tidak
maksimal dan sarat dengan politik barter;
ada
pengaturan
yang
seharusnya
dimasukkan tetapi ditinggalkan atau
sebaliknya. Jika kesalahan itu tidak
diperbaiki melalui revisi total sekarang,
revisi parsial yang akan dilakukan tidak
akan banyak berpengaruh. Bisa jadi
persoalan yang mendorong pemerintah
merevisi ketentuan itu, yakni kekhawatiran
tidak akan tercapainya lifting minyak
seperti yang ditargetkan dalam APBN,
dapat dipecahkan.
Ada tiga poin yang menyebabkan
Undang Undang Pelayaran harus direvisi,
yakni ( Siswanto Rusdi Direktur The
National Maritime Institute - Namarin ) :
1. Tentang kepelabuhanan,
Pasal yang mutlak dihapus dari
Undang Undang Pelayaran adalah
tentang
pembentukan
Otoritas
Pelabuhan, karena sampai saat ini baru
persoalan terkait kegiatan offshore
yang diselesaikan pemerintah.
Fungsi Otorita Pelabuhan sebenarnya
tak jauh berbeda dengan Direktorat
Pelabuhan dan Pengerukan (Dirpelpeng)
Kementrian Perhubungan. Disamping
itu dia juga mirip Badan Pengelola
Pelabuhan (BPP) yang pernah berjaya

C OPSI REVISI UNDANG-UNDANG


PELAYARAN.
Beberapa bulan terakhir pada 2010,
dunia pelayaran nasional memanas
menyusul digulirkannya rencana revisi
terbatas Undang Undang No 17 Tahun
2008 Tentang Pelayaran oleh pemerintah.
Diperkirakan situasi ini akan terus
berlanjut dalam tahun ini, bahkan
mungkin akan bereskalasi karena telah
terlontar berbagai pernyataan menyakitkan
dari pihak-pihak yang berseteru. Pihak
yang menentang revisi menilai kebijakan
pemerintah
tersebut
berpotensi
menggagalkan penerapan azas cabotage
yang telah susah payah mereka
perjuangkan sejak 2005. Sementara,
pemerintah menilai penerapan azas
cabotage, terutama untuk sektor minyak
5

pada tahun 1980-an, yang ketika itu


ber fungsi ganda yaitu disamping
sebagai regulator juga melakukan
bisnis.
Jika hal ini dibiarkan, maka sektor
kepelabuhanan menjadi high regulated
(terlalu birokratis), karena selama ini
juga peran Regulator dan Operator
juga sudah terpisah : perizinan
kepelabuhan
oleh
Kementrian
Perhubungan bukan PT Pelabuhan
Indonesia.
Bila memang pemerintah akan
membentuk badan baru yang khusus
menjadi regulator hendaknya dibentuk
badan sekelas Lembaga Pemerintah
Non Departemen (LPND) yang
didalamnya memasukkan Dirpelpeng
Kementrian Perhubungan. Konsep ini
sukses diterapkan di sektor migas
dengan dibentuknya BP Migas dan
BPH Migas.
2. Penjaga pantai (satuan coast guard)
Keberadaan Penjagaan Laut dan
Pantai atau Indonesia Sea and Coast
Guard yang hanya mengemban fungsi
keselamatan pelayaran (maritime safety),
padahal di banyak negara lembaga ini
juga berfungsi menjalankan maritime
security atau keamanan maritim, juga
dimungkinkan terjadi karena tidak
adanya prinsip inklusivitas dalam
Undang Undang Pelayaran.
3. Kegiatan pengangkutan lepas pantai
(offshore).
Namun, karena Undang Undang
Pelayaran
dari
awalnya
sudah
mengidap
"kekurangan
genetis"
dikhawatirkan akan muncul persoalan
lain yang membutuhkan revisi juga jika
ingin
diselesaikan,
sebagaimana
dinyatakan oleh Direktur Lalu Lintas
Laut,
Direktorat
Jenderal
Perhubungan
Laut
Kementerian
Perhubungan dalam media massa.
Menurut dia, pihaknya tidak bisa
berbuat banyak atas desakan INSA
untuk
tidak
memberikan
lagi

persetujuan operasi untuk kapal


bertipe jack up rig, MODU (mobile
offshore drilling unit), drill ship, seismic 3D,
dan construction ship karena kewenangan
penuh ada di tangan BP Migas.
Armada perikanan juga menyimpan
potensi permasalahan seperti yang
dialami oleh armada offshore, karena
kewenangan penuh pengaturannya
tidak berada di tangan Kementrian
Perhubungan. Kementerian Kelautan
dan Perikanan (KKP) adalah instansi
utama yang mengaturnya. Lembaga ini
malah memiliki syahbandar sendiri
untuk menegakkan peraturan
perundang undangan terkait kapal
perikanan.
Ketiga hal tersebut diatas mestinya tidak
perlu terjadi, jika Undang Undang
Pelayaran itu :
1. Memiliki spirit inklusifitas (all inclusive
policy).
Jika Undang Undang Pelayaran
mengadopsi spirit inklusifitas, kejadian
di depan tidak akan terjadi. Ini berarti,
selama
suatu
benda
memiliki
karakteristik kapal atau dianggap,
maka Kementrian Perhubunganlah
instansi satu-satunya dan terakhir yang
memiliki kewenangan mengaturnya.
Di Inggris semua tipe kapal
pengaturannya berada di bawah
jurisdiksi otoritas pelayarannya.
Tidak inklusifnya Undang Undang
Pelayaran sebetulnya bukan hal yang
aneh. Di Indonesia hampir semua
aturan perundang-undangan disusun
dalam keadaan vakum. Kementerian
yang mengusulkan satu Undang
Undang sangat dikuasai oleh ego
sektoralnya masing-masing, sehingga
pengaturan yang seharusnya menjadi
jurisdiksi kementerian lain tetap saja
diklaim dan ingin diatur berdasarkan
aturan yang mereka buat.
2. Tidak menerapkan prinsip segregasi
Kesalahan mendasar Undang Undang
Pelayaran yang terakhir, ia tidak
6

menerapkan
prinsip
segregasi.
Maksudnya, lembaga baru yang
diamanatkan oleh peraturan tersebut
untuk dibentuk, dalam hal ini Otoritas
Pelabuhan, tidak dipisahkan (segregate)
dari
induknya,
Kementrian
Perhubungan. Dipisahnya lembaga
baru dari induknya adalah untuk
mencegah conflict of interest yang
mungkin saja muncul antara lembaga
baru itu dengan induknya ketika
menjalankan fungsi yang diembannya .
Di samping itu, prinsip segregasi
menjadikan personil yang mengisi
jabatan di lembaga baru lebih kredibel
karena dipilih dengan syarat-syarat
yang ketat, bahkan di fit-and-proper test
di parlemen. Sayangnya, prinsip
segregasi tidak menjiwai Undang
Undang Pelayaran sehingga personil
yang ditunjuk untuk mengawaki
Otorita Pelabuhan dipilih tidak
berdasarkan prinsip the right man on the
right place, melainkan like dan dislike.
Jadinya, lembaga itu dinilai tidak akan
sanggup
memajukan
pelabuhan
nasional

perannya sebagai regulator utama


kepelabuh anan nasional.
Untuk saat ini baru empat Otoritas
Pelabuhan di empat pelabuhan utama
diluncurkan pada 1 Desember 2010, yaitu :
Tanjung Priok (Jakarta), Tanjung Perak
(Surabaya), Belawan (Medan), dan
Makassar (Sulawesi Selatan).
Pembentukan Otoritas Pelabuhan
yang secara struktural terdiri dari dua
kepala bagian, yakni perencanaan dan
operasional,
itu
lebih
cenderung
dimengerti sebagai upaya memperkokoh
kekuatan
birokrasi
pemerintahan
ketimbang fasilitator atas pelbagai
ketimpangan infrastruktur kepelabuhanan
nasional (Saut Gurning pakar kemaritiman
dari Institut Sepuluh Nopember Surabaya).
Otoritas Pelabuhan seharusnya lebih bisa
probisnis dan memikirkan kebutuhan riil
pemakai
jasa
pelabuhan
yang
menghendaki tidak adanya kongesti.
Otoritas Pelabuhan harus lebih baik dari
PT Pelabuhan Indonesia, harus bisa
mengatasi kemandekan infrastruktur,
misalnya dengan menambah panjang
dermaga, kolam sandar, penambahan alat
bongkar muat, memperluas alur navigasi,
dan wilayah layanan barang di darat. ( Saut
Gurning - Daily, Jakarta. Selasa, 19/10).
Adapun
Struktur
Pengelolaan
Kepelabuhanan
Indonesia
Pasca
pemberlakuan
UU
17/2008,dapat
dijelaskan sebagai berikut :
1. Fungsi
regulasi/teknis
dibawah
Syahbandar (Kementrian Perhubungan
cq Ditjenhubla)
2. Fungsi komersial dibawah Otoritas
Pelabuhan/OP (4 OP)
3. Badan Usaha Kepelabuhanan (BUP),
sebagai Operator Terminal dan
Operator Fasilitas.
Sampai saat ini ada sekitar 30 BUP.
Seperti dapat dilihat pada bagan berikut :

D. HARAPAN KEDEPAN
Keberadaan
Otoritas
Pelabuhan
hendaknya tak hanya berfungsi sebagai
perwakilan pemerin tah, namun lebih dari
itu harus lebih probisnis. Artinya, Otoritas
Pelabuhan
harus
bisa
mengatasi
kemandekan infrastruktur kepelabuhanan
yang tercermin dengan adanya kongesti
endemik di hampir semua pelabuhan di
Indonesia yang selama ini dikeluhkan
pengguna jasa kepelabuhanan.
Dibentuknya
Otorita
Pelabuhan
berdasarkan
SK Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi EE Mangindaan
dengan
nomor
B/2237/M.PANRB/10/2010 tertanggal 7 Oktober 2010,
merupakan organisasi terpisah di bawah
Kementrian
Perhubungan,
Ditjen
Perhubungan Laut akan tetap memainkan
7

bahwa Otoritas Pelabuhan dibentuk dan


bertanggung jawab kepada seorang
Menteri,
artinya kondisi ini perlu
diluruskan agar tidak akan menimbulkan
persoalan baru di kemudian hari.
Selain itu, posisi Otoritas Pelabuhan
yang
memiliki
otoritas
mengatur,
mengendalikan, dan mengawasi aspek
komersial sebuah pelabuhan, disamping
perannya dalam memasarkan pelabuhan
eksisting
sekaligus
mengembangkan
pelabuhan baru, jika hanya ditangani oleh
direktur di bawah direktur jenderal, hal ini
sulit untuk menjamin seluruh pelabuhan
komersial itu dapat berjalan bersaing
dengan baik. Oleh karena itu jika hal itu
yang terjadi, maka bisa jadi fungsi-fungsi
Direktorat Jenderal Perhubungan Laut
sama saja dengan organisasi monopoli
baru di jasa kepelabuhanan nasional,
karena ditjen ini yang membuat aturan,
mengendalikan, dan secara tidak langsung
juga ikut bermain.
Secara umum dapat dijelaskan tiga
fungsi utama Otoritas Pelabuhan adalah
sebagai berikut :

Sumber : Saut Gurning : Orientasi dan kebijakan maritim


di Indonesia, 10 Mei 2011

Dari bagan diatas dapat dijelaskan


bahwa, ada 3 fungsi dalam pengelolaan
kepelabuhanan pasca pemberlakuan UU
No.17 tahun 2008, yaitu :
1. Sebagai Regulator ditingkat pusat
dibawah
kendali
Menteri
Perhubungan.
2. Otoritas
Pelabuhan
adalah
lembaga pemerintah di pelabuhan
sebagai
otoritas
yang
melaksanakan fungsi pengaturan,
pengendalian dan pengawasan
kegiatan pengawasan kegiatan
kepelabuh anan yang diusahakan
secara komersial.
3. Sebagai Pengelola Pelabuhan,
dengan
tugas
mengurus
penyediaan property, mengurus
pemanduan
dan
penundaan,
tambat /labuh, dan segala macam
jasa kepelabuhanan.
Namun demikian, struktur Otoritas
Pelabuhan
yang
telah
disetujui
Kementrian PAN dan Kementrian
Perhubungan lebih bertanggung jawab
kepada seorang Direktur Jenderal
Perhubungan Laut dan bukan kepada
Menteri
Perhubungan,
seperti
diamanatkan Undang Undang No 17
Tahun 2008 tentang Pelayaran. Pasal 82
dari Undang Undang itu menyebutkan

Sumber : Saut Gurning Presentasi peningkatan


wawasan SPP III, 31 Januari 2011

Sebagai
wakil
pemerintah
di
pelabuhan, Otoritas Pelabuhan yang
melaksanakan
fungsi
pengelolaan,
pengaturan, pengendalian dan pengawasan
8

kegiatan kepelabuhanan yang diusahakan


secara komersial. Disamping itu Otoritas
Pelabuhan berfungsi memberikan konsesi
atau bentuk lainnya kepada Badan Usaha
Pelabuhan untuk melakukan kegiatan
pengusahaan di pelabuhan.
Sebagai fungsi komersial. Otoritas
Pelabuhan dapat mengusulkan tarif untuk
ditetapkan Menteri, atau penggunaan
perairan dan atau daratan dan fasilitas
pelabuhan
yang
disediakan
oleh
pemerintah serta jasa kepelabuhanan yang
diselenggarakan oleh otoritas pelabuhan
sesuai ketentuan peraturan perundangundangan.
Otoritas
Pelabuhan
mempunyai
kewenangan pengaturan operasional,
seperti penyusunan standar operasional
yang efisen dan efektif, berperan untuk
menyelesaikan persoalan alur pelayaran
yang sempit dan beresiko, serta mengatasi
hambatan infrastruktur kepelabuhanan di
Indonesia
Sesungguhnya pemerintah sendiri
sudah ada niat untuk merevisi UU
Pelayaran ini, sebagai yang dilansir laman
dephub.go.id menyebutkan usulan revisi UU
Pelayaran itu sendiri telah disampaikan
Presiden Republik Indonesia melalui surat
Nomor R-100/Pres/12/2010 tanggal 16
Desember 2010 lalu mengenai Rancangan
Undang-Undang tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008
tentang Pelayaran untuk menunjang
kegiatan minyak dan gas
bumi lepas
pantai (Offshore).
Seperti diketahui, penerapan azas
cabotage secara konsekuen di Indonesia
dimulai sejak dikeluarkannya Instruksi
Presiden No. 5 Tahun 2005 yang
kemudian diperkuat dalam bentuk legalitas
melalui UU No. 17 Tahun 2008 tentang
Pelayaran, dimana dalam pasal 8 ayat (1)
diatur mengenai kegiatan angkutan laut
dalam negeri dilakukan oleh perusahaan
angkutan
laut
nasional
dengan
menggunakan kapal berbendera Indonesia
serta diawaki oleh awak kapal berkewar

ganegaraan Indonesia, dan pada pasal 8


ayat (2) ditetapkan kapal asing dilarang
mengangkut penumpang dan/atau barang
antarpulau atau antar pelabuhan di wilayah
perairan Indonesia. Begitu juga dengan
kepastian hukum dan jangka waktu
pelaksanan pemberlakuan azas cabotage
secara menyeluruh juga diatur dalam Pasal
341 UU Pelayaran, dimana kapal asing
yang saat ini masih melayani kegiatan
angkutan laut dalam negeri tetap dapat
melakukan kegiatannya paling lama 3 (tiga)
tahun sejak UU Pelayaran diberlakukan,
yang berarti akan berakhir pada bulan Mei
2011.
Dari data yang dikutip dari
www.dephub.go.id, selama penerapan Inpres
No.5 Tahun 2005 sampai saat ini telah
terjadi peningkatan jumlah armada
nasional yang cukup signifikan, yaitu pada
bulan posisi Oktober 2010 total armada
telah 9.884 unit kapal (13.074.538 GT).
Bila dibandingkan dengan bulan Maret
2005 yang total armadanya sebanyak 6.041
unit kapal (5,67 juta GT) maka terjadi
peningkatan jumlah armada sebanyak
3.843 unit kapal (63,6 %) atau sebesar 7,40
jt GT (130,5 %).
Dalam UU No. 17 Tahun 2008
tentang Pelayaran, penerapan azas
cabotage belum dapat dilakukan secara
konsekuen khususnya pada kegiatan
eksplorasi dan produksi migas di perairan
lepas pantai (offshore) karena masih adanya
beberapa permasalahan yang terjadi.
Beberapa permasalahan tersebut antara
lain sebagai berikut :
a. Belum tersedianya beberapa tipe kapal
untuk menunjang kegiatan offshore
yang berbendera Indonesia, yaitu
kapal-kapal kategori C seperti :
1. Kapal survey (seismic 2D, 3D,
Geotechnical & Geophysical
Survey Vessel)
2. Pipe/cable laying vessel
3. AHTS untuk Deep Water
4. Derrick Barge
9

Floating Storage Regasification


Unit (FSRU)
6. Dynamic Positioning Vessel (DP1,
DP2, DP3)
7. Diving Support Vessel
8. Jack Up Rig
9. Semi Submersible Tenders Rig
(SSETR)
10. Swamp Rig
11. Tender Assist Rig
Pihak operator pelayaran (INSA) saat
ini belum mampu menyediakan kapalkapal di atas.
INSA menyatakan bahwa kapal-kapal
ketegori C bukan merupakan ruang
lingkup bisnis INSA.
Tipe-tipe kapal ketegori C sulit
dilakukan
penggantian
bendera
menjadi bendera Indonesia karena
kontrak pengoperasian umumnya
jangka pendek dan populasi kapalkapal tersebut di dunia sangat terbatas
Investasi
pengadaan
kapal-kapal
kategori C sangat besar sehingga
tidak ada pengusaha Indonesia (dalam
hal
ini
INSA)
yang
berani
menginvestasikan dananya untuk
pengadaan kapal-kapal tipe tersebut.

bagian keduanya adalah sebagai berikut (


Dermaga edisi 150, Mei 2011 ) :
1. Untuk dapat memberikan pelayanan
jasa kepelabuhanan, maka PT
(Persero} Pelabuhan Indonesia wajib
memiliki ijin usaha sebagai Badan
Usaha Pelabuhan.
2. Pemberian
jasa
pelayanan
kepelabuhanan oleh PT (persero)
Pelabuhan
Indonesia
dilakukan
berdasarkan konsesi dari Otoritas
Pelabuhan, yang dituangkan dalam
bentuk perjanjian. Sambil menunggu
perjanjian konsesi, maka pelayanan
jasa kepelabuhanan (termasuk jasa
labuh) tetap dilakukan oleh PT
(Persero) Pelabuhan Indonesia.
3. Konsesi pelayanan jasa kepelabuhanan
pada Terminal yang saat ditetapkannya
Undang Undang No.17 tahun 2008
telah diusahakan oleh PT (Persero)
Pelabuhan
Indonesia,
diberikan
kepada
PT(Persero)
Pelabuhan
Indonesia tanpa melalui mekanisme
lelang.
4. Pemberian konsesi terhadap pelayanan
jasa kepelabuhanan pada Terminal
yang pada saat ditetapkannya Undang
Undang No.17 tahun 2008, telah
diusahakan oleh PT (Persero)
Pelabuhan
Indonesia,
diberikan
setelah dilakukan evaluasi asset dan
audit secara menyeluruh terhadap
asset PT Pelabuhan Indonesia.
5. Pembangunan
dan
atau
pengembangan fasilitas pelabuhan
diatas tanah asset PT (Persero)
Pelabuhan Indonesia, dalam rangka
peningkatan
pelayanan
kepada
pengguna jasa, dilakukan oleh PT
(Persero)
Pelabuhan
Indonesia,
merupakan bagian dari konsesi yang
telah diberikan.
6. Sebelum adanya perjanjian konsesi,
apabila terjadi sesuatu yang dapat
menghambat pemeberian pelayanan
jasa kepelabuhanan yang harus segera
dilakukan pemulihan dan tidak dapat

5.

b.
c.
d.

e.

Terkait dengan hal tersebut di atas,


maka
dalam
rangka
menjamin
kelangsungan penyediaan minyak gas dan
bumi, untuk sementara masih diperlukan
pengecualian bagi penggunaan kapal-kapal
kategori C yang berbendera asing
selama belum dapat dipenuhi oleh kapal
berbendera Indonesia.
Selanjutnya dalam rangka memberi
kepastian hukum dan kepastian usaha bagi
Badan Usaha Pelabuhan yang telah ada
saat diterbitkannya Undang Undang No
17 tahun 2008 tentang Pelayaran, maka
Menteri Perhubungan mengeluarkan Surat
Edaran No. HK 003/1/11 Phb 2011,
tentang pelaksanaan ketentuan UU 17
Tahun 2008 yang ditujukan kepada PT
Pelabuhan Indonesia, dengan tembusan
kepada pihak pihak terkait, yang pada
10

7.

8.

9.

10.

11.

12.

menunggu pembiayaan dari APBN,


maka
pemeliharaan
penahan
gelombang, kolam pelabuhan, alur
pelayaran dan jaringan jalan dilakukan
oleh
PT (Persero) Pelabuhan
Indonesia,
atas ijin Otoritas
Pelabuhan.
Aset yang telah dimiliki oleh PT
(Persero) Pelabuhan Indonesia yang
merupakan kekayaan negara yang
dipisahkan, tetap menjadi asset PT
(Persero) Pelabuhan Indonesia.
Terhadap tanah pelabuhan yang saat
ini telah berstatus hak atas nama dan
atau tercatat sebagai asset PT (Persero)
Pelabuhan Indonesia, tetap sebagai
hak pengelolaan dan atau asset PT
(Persero) Pelabuhan Indonesia.
Penyediaan dan pengusahaan tanah
untuk kebutuhan pengembangan
usaha kepelabuhanan, berdasarkan
pelimpahan dari pemerintah dan
dilakukan sesuai peraturan perundangundangan.
PT (Persero) Pelabuhan Indonesia
dapat melakukan perjanjian kerjasama
dengan Badan Usaha lainnya, dalam
penyediaan dan pemberian jasa
kepelabuhanan dan jasa terkait dengan
kepelabuhanan. Khusus kerjasama
pemanfaatan
tanah dipelabuhan,
terlebih dulu harus mendapat
rekomendasi dari Otoritas Pelabuhan
dalam kaitan kesesuaian dengan
Rencana Induk Pelabuhan.
Sebagai Badan Usaha Pelabuhan, PT
(Persero)
Pelabuhan
Indonesia
bertanggung jawab terhadap kinerja di
Terminal yang diusahakan.
Dalam pelaksanaan
pelayanan jasa
bongkar
muat,
PT
(Persero)
Pelabuhan Indonesia, dapat bekerja
sama dengan Perusahaan Bongkar
Muat yang akan melakukan kegiatan
bongkar muat di pelabuhan yang
memperoleh penunjukan dari pemilik
barang,
dengan
prinsip
saling
menguntungkan
dengan

memperhatikan sarana, prasarana dan


keahlian serta pengalaman Perusahaan
Bongkar Muat yang bersangkutan.
13. Mengingat tanggung jawab kinerja
pelayanan
selaku
Otorita
Pelabuhanerator Terminal berada pada
PT (Persero) Pelabuhan Indonesia
sebagai Badan Usaha Pelabuhan, maka
Perusahaan Bongkar Muat yang akan
melakukan kegiatan bongkar muat di
pelabuhan yang diusahakan oleh PT
(Persero)
Pelabuhan
Indonesia,
terlebih dulu harus mendapat
rekomendasi dari Otoritas Pelabuhan.
14. Pemberian
pelayanan
jasa
kepelabuhanan oleh PT (Persero)
Pelabuhan
Indonesia,
diberikan
berdasarkan system dan prosedur
pelayanan kapal dan barang yang
ditetapkan dan diawasi oleh Otoritas
Pelabuhan.
15. Sambil
menunggu
proses
pembaharuan pelimpahan pelayanan
pemanduan kepada PT (Persero)
Pelabuhan
Indonesia,
maka
pelaksanaan pemanduan di perairan
yang telah dilimpahkan PT (Persero)
Pelabuhan Indonesia, tetap dilakukan
oleh
PT
(Persero)
Pelabuhan
Indonesia.
Dengan telah dikeluarkannya Surat
Edaran Menteri Perhubungan ini, maka isi
dari Undang Undang No.17 tahun 2008
semakin jelas, sehingga semua pihak yang
selama ini menginterprestasikan sesuai
penafsirannya harus legowo, karena
maksud dan isi dari undang - undang yang
selama ini diperdebatkan dan menjadi
polemik sudah dijelaskan secara gamblang
oleh pemerintah.
E. KESIMPULAN

Sebagai negara kepulauan dengan


wilayah perairan yang sangat luas,
Indonesia hanya memiliki satu undangundang
yang
mengatur
tentang
penggunaan laut, yaitu Undang-Undang
No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran, yang

11

disusun dalam upaya menyesuaikan diri


dengan perkembangan yang terjadi dalam
lingkungan strategis
nasional dan
internasional,
sesuai
dengan
perkembangan ilmu dan teknologi, peran
serta swasta dan persaingan usaha serta
otonomi daerah maupun akuntabilitas
penyelenggara negara, namun dalam
pelaksanaannya
justru
muncul
permasalahan - permasalahan baru, yaitu :
a. Timbulnya monopoli baru.
Sebelum adanya Undang Undang ini,
PT Pelabuhan Indonesia
dapat
bermitra dengan swasta untuk
mengembangkan pelabuhan, tapi
sekarang PT Pelabuhan Indonesia
harus sendiri tak perlu mengajak
swasta karena dia dianggap Operator
biasa yang statusnya sama dengan
swasta, dengan kondisi ini, maka akan
tercipta monopoli baru.
b. Inkonsistensi Pemerintah.
Keberadaan
Undang
Undang
Pelayaran juga tidak sejalan dengan
sikap pemerintah sebelum nya. Pada
awal 2008 ketika Undang Undang
Pelayaran
belum
disahkan,
Kementrian
Perhubungan
telah
melayangkan surat kepada Presiden
yang menjamin bahwa aset-aset yang
selama ini telah dikelola PT Pelabuhan
Indonesia I-IV tidak akan diambil oleh
pemerintah, namun kenyataannya saat
ini sejumlah aset telah diaudit dan ke
depan
menjadi
milik
Otorita
Pelabuhan
d. Terjadi konflik kewenangan.
Di dalam Undang Undang No. 17
tahun 2008 tentang Pelayaran
kewenangan Badan Usaha Pelabuhan
sebagai Operator dan Badan Otorita
Pelabuhan sebagai Regulator sudah
jelas,
tetapi karena ada perbedaan
persepsi
terhadap
pasal-pasal
didalamnya, maka telah menyulut
konflik kewenangan antara Otorita
Pelabuhan
dan
Badan
Usaha

Pelabuhan dalam hal ini Pelabuhan


Indonesia.
Untuk itu ada wacana untuk diadakan
revisi Undang Undang ini, terutama
tentang :
a. Kepelabuhanan.
b. Pasal yang mutlak dihapus dari
Undang Undang Pelayaran adalah
tentang
pembentukan
Otoritas
Pelabuhan, karena sampai saat ini baru
persoalan terkait kegiatan offshore
yang diselesaikan pemerintah.
c. Penjaga pantai (satuan coast guard).
d. Keberadaan Penjagaan Laut dan
Pantai atau Indonesia Sea and Coast
Guard yang hanya mengemban fungsi
keselamatan pelayaran (maritime safety),
padahal di banyak negara lembaga ini
juga berfungsi menjalankan maritime
security atau keamanan maritim.
e. Kegiatan pengangkutan lepas pantai
(offshore).
Undang- Undang ini tidak dapat
berbuat banyak atas desakan INSA
untuk
tidak
memberikan
lagi
persetujuan operasi untuk kapal
bertipe jack up rig, MODU (mobile
offshore drilling unit), drill ship, seismic 3D,
dan construction ship karena kewenangan
penuh ada di tangan BP Migas.
F. DAFTAR PUSTAKA

o Maruarar Siahaan.: Pendapat ahli dalam


pengujian pasal 90 (3) huruf g UndangUndang Nomor 17 tahun 2008 tentang
pelayaran terhadap UUD 1945, 17
Maret 2011.
o Nuryanto : PT Pelabuhan Indonesia
(Pelindo) III, dari Pengelola Pelabuhan
ke Operator Terminal : peluang dan
hambatan, Jurnal Saintes Maritim
Vol
o Pieter Batti : Masalah dalam
Penerapan
UU
Pelayaran
hukumonline.com, 17 Juni 2011

12

o Richard Jose Uno (Direktur Utama PT


Pelindo II), Tantangan dan Peluang
Bisnis
Kepelabuhanan
pasca
pemberlakuan
Undang
Undang
Pelayaran Seminar di Jakarta, 10
Mei 2011.
o Saut Gurning : Paradigma dan orientasi
kebijakan maritim Indonesia, Seminar
Nasional Revitalisasi Maritim
Wiilayah Timur, 10 Mei 2011,
o Majalah Dermaga, edisi 150 Mei 2011
o Mingguan Perak Pos No.234/ Tahun
X, Minggu ke IV Januari 2011
o wartapedia.com, 10 Januari 2011

13

You might also like