You are on page 1of 18

Kata Pengantar

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang atas karunia-Nya
karena saya dapat menyusun referat Sialolitiasis ini sesuai tugas yang diberikan. Referat ini
saya susun, mengacu sebagai prasyarat ujian kepaniteraan klinik THT RS Angkatan Udara
Halim. Tujuan dari penyusunan referat ini adalah untuk mempermudah proses belajar kami
dalam memahami definisi,gejala serta terapi dari sialolitiasis. Rasa terima kasih dan syukur
penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas bimbingan dan penyertaan-Nya bagi
penulis sejak awal hingga selesainya referat ini dengan baik.
Saya menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu saya
mohon dengan sangat kritik dan saran yang membangun dari pembaca, agar proses
pembelajaran bagi kami selama kepaniteraan THT dapat dimengerti dengan baik serta
berguna untuk kami dimasa depan kelak.
Akhir kata, kami menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
dr.Asnominanda, Sp.THT-KL RS Angkatan Udara yang telah membimbing dengan segala
kekurangan yang kami punyai serta teman-teman koass yang telah membantu memberi
masukan dalam penulisan referat ini. Semoga Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang
melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua. Amin

Jakarta , 31 Januari 2010

Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang

1.2 Tujuan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Anatomi Kelenjar Liur

2.2 Fisiologi Kelenjar Liur

2.3 Definisi dan Etiologi

2.4 Epidemiologi

2.5 Gejala Klinis

2.6 Patogenesis

2.7 Diagnosis

2.8 Penatalaksanaan

11

2.9 Komplikasi

16

2.10 Prognosis

16

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan

17

DAFTAR PUSTAKA

18

BAB I
2

1.1Pendahuluan
Kelenjar saliva merupakan suatu kelenjar eksokrin yang berperan penting dalam
mempertahankan kesehatan jaringan mulut. Kelenjar saliva mensekresi saliva ke dalam
rongga mulut. Saliva terdiri dari cairan encer yang mengandung enzim dan cairan kental yang
mengandung mukus. Menurut struktur anatomis dan letaknya, kelenjar saliva dapat dibagi
dalam dua kelompok besar yairu kelenjar saliva mayor dan kelenjar saliva minor. Kelenjar
saliva mayor dan minor menghasilkan saliva yang berbeda-beda menurut rangsangan yang
diterimanya. Rangsangan ini dapat berupa rangsangan mekanis (mastikasi), kimiawi (manis,
asam, asin dan pahit), neural, psikis (emosi dan stress), dan rangsangan sakit. Besarnya
sekresi saliva normal yang dihasilkan oleh semua kelenjar ini kira-kira 1-1,5 liter per hari. 1,2
Saliva (kelenjar air liur), sekresi yang berkaitan dengan mulut, diproduksi oleh tiga pasang
kelenjar saliva utama selenjar sublingual, kelenjar parotis, dan kelenjar submandibula yang
teletak di luar rongga mulut dan menyalurkan air liur melalui duktus-duktus pendek kedalam
mulut. Selain itu, terdapat kelenjar luar minor di lapisan mukosa pipi. Saliva terdiri dari
99,5% H2O serta 0,5% protein dan elektrolit. Protein air liur yang terpenting amilase, mukus,
dan lisozim. 1,2
Selain sekresi yang bersifat kontan dan bersifat sedikit tersebut, sekresi air liur tersebut dapat
ditingkatkan melalui dua jenis reflek saliva yang berbeda. Refleks saliva sederhana atau
terkondisi dan refrek saliva didapat atau terkontrol. Refrek saliva sederhana( tidak terkondisi)
terjadi sewaktu kemoreseptor atau reseptor tekanan adanya makanan. Sewaktu diaktifkan,
reseptor tersebut memulai impuls melalui saraf otonom ekstrinsk ke kelenjar air liur untuk
meningkat sekresi air liur. Tindakan-tindakan gigi merangsang air liur walaupun tidak
terdapat makanan karena adanya manipulasi terhadap reseptor tekanan terhadap mulut. 1,2
Pada refleks saliva di dapat (terkondisi), pengeluaran air liur terjadi tanpa rangsangan orang
hanya berfikir melihat, membaui, atau mendengar suatu makanan yang lezat dapat memicu
pengeluaran air liur. Refrels ini dipelajari berdasarkan pengalaman sebelumnya. Masukan
yang berasal dari luar mult dan secara mental berkaitan dengan kenikmatan makanan bekerja
melalui korteks sereblum untuk merangsang saliva di medula. 1,2

1.2 Tujuan
Untuk mengetahui etiologi, epidemiologi, manifestasi klinis, serta penatalaksanaan dari
sialolithiasis

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Kelenjar Liur
Kelenjar parotis
Kelenjar parotis merupakan kelenjar saliva yang terbesar, terletak di regio preaurikula dan
berada dalam jaringan subkutis. Kelenjar ini memproduksi sekret yang sebagian besar berasal
dari sel-sel asini. Kelenjar parotis terbagi oleh nervus fasialis menjadi kelenjar supraneural
dan kelenjar infraneural. Kelenjar supraneural ukurannya lebih besar daripada kelenjar
infraneural. Kelenjar parotis terletak pada daerah triangular yang selain kelenjar parotis,
terdapat pula pembuluh darah, saraf, serta kelenjar limfatik. 1,3,4
Produk dari kelenjar saliva disalurkan melalui duktus Stensen yang keluar dari sebelah
anterior kelenjar parotis, yaitu sekitar 1,5 cm di bawah zigoma. Duktus ini memiliki panjang
sekitar 4-6 cm dan berjalan ke anterior menyilang muskulus maseter, berputar ke medial dan
menembus muskulus businator dan berakhir dalam rongga mulut di seberang molar kedua
atas. Duktus ini berjalan bersama dengan nervus fasialis cabang bukal. 1,3,4
Kelenjar ini dibungkus oleh jaringan ikat padat dan mengandung sejumlah besar enzim antara
lain amylase, lisozim, fosfatase asam, aldolase, dan kolinesterase. Kelenjar parotis adalah
kelenjar tubuloasinosa kompleks, yang pada manusia adalah serosa murni. Kelenjar ini
dikelilingi oleh kapsula jaringan ikat yang tebal, dari sini ada septa jaringan ikat termasuk
kelenjar dan membagi kelenjar menjadi lobulus yang kecil. Kelenjar parotis mempunyai
sistem saluran keluar yang rumit sekali dan hampir semua duktus ontralobularis adalah
duktus striata. Saluran keluar yang utama yaitu duktus parotidikius steensen terdiri dari epitel
berlapis semu, bermuara kedalam vestibulum rongga mulut berhadapan dengan gigi molar
kedua atas. Kelenjar parotis secara khas dipengaruhi oleh mumps yaitu parotitis epidemika.
1,3,4

Kelenjar submandibula
Kelenjar submandibula merupakan kelenjar saliva terbesar kedua setelah kelenjar parotis.
Kelenjar ini menghasilkan sekret mukoid maupun serosa, berada di segitiga submandibula
yang pada bagian anterior dan posterior dibentuk oleh muskulus digastrikus dan inferior oleh
mandibula. Kelenjar ini berada di medial dan inferior ramus mandibula dan berada di
sekeliling muskulus milohioid, membentuk huruf C serta membentuk lobus superfisial dan
profunda. 1,3,4
Lobus superfisial kelenjar submandibula berada di ruang sublingual lateral. Lobus profunda
berada di sebelah inferior muskulus milohioid dan merupakan bagian yang terbesar dari
kelenjar. Kelenjar ini dilapisi oleh fasia leher dalam bagian superfisial. Sekret dialirkan
melalui duktus Wharton yang keluar dari permukaan medial kelenjar dan berjalan di antara
muskulus milohioid. Dan muskulus hioglosus menuju muskulus genioglosus. Duktus ini
memiliki panjang kurang lebih 5 cm, berjalan bersama dengan nervus hipoglosus di sebelah
4

inferior dan nervus lingualis di sebelah superior, kemudian berakhir dalam rongga mulut di
sebelah lateral frenulum lingual di dasar mulut. 1,3,4
Kelenjar ini terdiri dari jaringan ikat yang padat. Kelenjar submandibularis adalah kelenjar
tubuloasinosa kompleks, yang pada manusia terutama pada kelenjar campur dengan sel-sel
serosa yang dominan, karena itu disebut mukoserosa. Terdapat duktus interkalaris, tetapi
saluran ini pendek karena itu tidak banyak dalam sajian, sebaliknya duktus striata
berkembang baik dan panjang. Saluran keluar utama yaitu duktus submandibularis wharton
bermuara pada ujung papila sublingualis pada dasar rongga mulut dekat sekali dengan
frenulum lidah, dibelakang gigi seri bawah. Baik kapsula maupun jaringan ikat stroma
berkembang baik pada kelenjar submandibularis. 1,3,4
Kelenjar sublingual
Kelenjar sublingual merupakan kelenjar saliva mayor yang paling kecil. Kelenjar ini berada
di dalam mukosa di dasar mulut, dan terdiri dari sel-sel asini yang mensekresi mukus.
Kelenjar ini berbatasan dengan mandibula dan muskulus genioglosus di bagian lateral,
sedangkan di bagian inferior dibatasi oleh muskulus milohioid. 1,3,4
Kelenjar sublingualis adalah kelenjar tubuloasinosa dan kelenjar tubulosa kompleks. Pada
manusia kelenjar ini adalah kelenjar campur meskipun terutama kelenjar mukosa karena itu
disebut seromukosa. Sel-sel serosa yang sedikit hampir seluruhnya ikut membentuk
demilune. Duktus interkalaris dan duktus striata jaringan terlihat. Kapsula jaringan ikat tidak
berkembang baik, tetapi kelenjar ini lobular halus biasanya terdapat 10-12 saluran luar yaitu
duktus sublingualis, yang bermuara kesepanjang lipatan mukosa yaitu plika sublingualis,
masing-masing mempunyai muara sendiri. Saluran keluar yang lebih besar yaitu duktus
sublingualis mayor bartholin bermuara pada karunkula sublingualis bersama-sama dengan
duktus wharton, kadang-kadang keduanya menjadi satu. 1,3,4
Kelenjar saliva minor
Kelenjar saliva minor sangat banyak jumlahnya, berkisar antara 600 sampai1000 kelenjar. Di
antaranya ada yang memproduksi cairan serosa, mukoid, ataupun keduanya. Masing-masing
kelenjar memiliki duktus yang bermuara di dalam rongga mulut. Kelenjar ini tersebar di
daerah bukal, labium, palatum, serta lingual. Kelenjar ini juga bisa didapatkan pada kutub
superior tonsil palatina (kelenjar Weber), pilar tonsilaris serta di pangkal lidah. Suplai darah
berasal dari arteri di sekitar rongga mulut, begitu juga drainase kelenjar getah bening
mengikuti saluran limfatik di daerah rongga mulut. 1,3,4

Gambar 1. Anatomi
Kelenjar Saliva

Gambar 2. Gambar
Anatomi letak glandula
dan otot disekitanya

2.2. Fisiologi Kelenjar Liur


Secara rata-rata, sekitar 1 sampai 2 liter air liur disekresikan perhari, berkisar dari kecepatan
basal spontan yang konstan sebesar 0,5 ml/mnt sampai kecepatan maksimum 5ml/mnt
sebagai respon rangsangan yang kuat, misal ketika makan jeruk lemon. Bahkan tanpa ada
rangsangan yang jelas, disebabkan oleh stimulus konstan tingkat rendah ujung-ujung saraf
parasimpatis yang berakhir dikelenjar air liur. Sekresi basal berfungsi agar tenggorokan dan
mulut tetap basah. 1,4,5
Selain sekresi yang bersifat kontan dan bersifat sedikit tersebut, sekresi air liur tersebut dapat
ditingkatkan melalui dua jenis reflek saliva yang berbeda. Refleks saliva sederhana atau
terkondisi dan refrek saliva didapat atau terkontrol. Refrek saliva sederhana( tidak terkondisi)
terjadi sewaktu kemoreseptor atau reseptor tekanan adanya makanan. Sewaktu diaktifkan,
reseptor tersebut memulai impuls melalui saraf otonom ekstrinsk ke kelenjar air liur untuk
6

meningkat sekresi air liur. Tindakan-tindakan gigi merangsang air liur walaupun tidak
terdapat makanan karena adanya manipulasi terhadap reseptor tekanan terhadap mulut. 1,4,5
Pada refleks saliva di dapat (terkondisi), pengeluaran air liur terjadi tanpa rangsangan orang
hanya berfikir melihat, membaui, atau mendengar suatu makanan yang lezat dapat memicu
pengeluaran air liur. Refleks ini dipelajari berdasarkan pengalaman sebelumnya. Masukan
yang berasal dari luar mult dan secara mental berkaitan dengan kenikmatan makanan bekerja
melalui korteks sereblum untuk merangsang saliva di medula. 1,4,5
Pusat saliva mengontrol derajat pengeluaran air liur melalui saraf-saraf otonom yang
mempersarafi kelenjar liur. Tidak seperti saraf otonom di tempat lain, respon simpatis dan
parasimpatis tidak saling bertentangan. Baik stimulasi simpatis atau parasimpatis, keduanya
meningkatkan sekresi air liur, tetapi jumlah, karakteristik, dan mekanisme yang berperan
berbeda. Rangsangan parasimpatis, yang berperan dominan dalam sekresi air liur,
menyebabkan pengeluaran air liur encer dalam jumlah besar dan kaya akan enzim. Stimulasi
simpatis, di pihak lain mengeluarkan air liur yang lebih sedikit dengan konsistensi kental dan
kaya mukus. Karena rangsanagan simpatis menyebabkan sekresi air liur dalam jumlah lebih
sedikit, mulut terasa lebih kering dari biasanya selama sistem simpatis yang dominan,
misalnya dalam keadaan stres. 1,4,5
Produksi Saliva
Kelenjar saliva berperan memproduksi saliva, dimulai dari proksimal oleh asinus dan
kemudian dimodifikasi di bagian distal oleh duktus. Kelenjar saliva memiliki unit sekresi
yang terdiri dari asinus, tubulus sekretori, dan duktus kolektivus. Sel-sel asini dan duktus
proksimal dibentuk oleh sel-sel mioepitelial yang berperan untuk memproduksi sekret. Sel
asini menghasilkan saliva yang akan dialirkan dari duktus interkalasi menuju duktus
interlobulus, kemudian duktus intralobulus dan berakhir pada duktus kolektivus.1,3 Kelenjar
submandibula dan parotis mempunyai sistem tubuloasiner, sedangkan kelenjar sublingual
memiliki sistem sekresi yang lebih sederhana. Kelenjar parotis hanya memiliki sel-sel asini
yang memproduksi sekret yang encer, sedangkan kelenjar sublingual memiliki sel-sel asini
mukus yang memproduksi sekret yang lebih kental. Kelenjar submandibula memiliki kedua
jenis sel asini sehingga memproduksi sekret baik serosa maupun mukoid. Kelenjar saliva
minor juga memiliki kedua jenis sel asini yang memproduksi kedua jenis sekret. 1,4,5
Inervasi autonom dan sekresi saliva
Sistem saraf parasimpatis
Sistem saraf parasimpatis menyebabkan stimulasi pada kelenjar saliva sehingga
menghasilkan saliva yang encer. Kelenjar parotis mendapat persarafan parasimpatis dari
nervus glosofaringeus (N.IX). Kelenjar submandibula dan sublingualis mendapatkan
persarafan parasimpatis dari korda timpani (cabang N.VII). 1,4,5
Sistem saraf simpatis
Serabut saraf simpatis yang menginervasi kelenjar saliva berasal dari ganglion servikalis
superior dan berjalan bersama dengan arteri yang mensuplai kelenjar saliva. Serabut saraf
simpatis berjalan bersama dengan arteri karotis eksterna yang memberikan suplai darah pada
7

kelenjar parotis, dan bersama arteri lingualis yang memberikan suplai darah ke kelenjar
submandibula, serta bersama dengan arteri fasialis yang memperdarahi kelenjar sublingualis.
Saraf ini menstimulasi kelenjar saliva untuk menghasilkan sekret kental yang kaya akan
kandungan organik dan anorganik. 1,4,5

SIALOLITHIASIS
2.3 Definisi dan Etiologi
Sialolitiasis atau peradangan akibat adanya batu saliva merupakan keadaan patologis
yang umumnya sering terjadi pada orang dewasa, tetapi dilaporkan juga terjadi pada anakanak. Pada beberapa kasus yang dilaporkan ditemukan prevalensi terjadinya lebih sering pada
anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan. Gejala klinis yang khas adalah rasa
sakit yang hebat pada saat makan, memikirkan makanan, menelan dan disertai adanya
pembengkakan kelenjar ludah dan sangat peka jika dipalpasi. Dukungan radiografi sangat
membantu dalam menegakkan lokasi sialolit atau batu saliva. Sialolit pada foto rontgen akan
terlihat berupa daerah berwarna putih (Radiopaque) dibandingkan daerah sekitarnya. Kurang
lebih 80% sialolitiasis berasal dari kelenjar submandibula, 6% dari kelenjar parotis dan 2%
dari kelenjar sublingualis dan kelenjar minor. 3,4,6
Salah satu penyakit sistemik yang bisa menyebabkan terbentuknya batu adalah
penyakit gout, dengan batu yang terbentuk mengandung asam urat. Kebanyakan, batu pada
kelenjar saliva mengandung kalsium fosfat, sedikit mengandung magnesium, amonium dan
karbonat. Batu kelenjar saliva juga dapat berupa matriks organik, yang mengandung
campuran antara karbohidrat dan asam amino. 3,4,6
Duktus pada kelenjar submandibula lebih mudah mengalami pembentukan batu
karena saliva yang terbentuk lebih bersifat alkali, memiliki konsentrasi kalsium dan fosfat
yang tinggi, serta kandungan sekret yang mukoid. Disamping itu, duktus kelenjar
submandibula ukurannya lebih panjang, dan aliran sekretnya tidak tergantung gravitasi. Batu
pada kelenjar submandiula biasanya terjadi di dalam duktus, sedangkan batu pada kelenjar
parotis lebih sering terbentuk di hilum atau di dalam parenkim. Gejala yang dirasakan pasien
adalah terdapat bengkak yang hilang timbul disertai dengan rasa nyeri. Dapat teraba batu
pada kelenjar yang terlibat. 3,4,6

2.4 Epidemiologi
Sialolitiasis adalah penyakit yang umum pada kelenjar ludah. Penyakit yang paling sering
diketemukan adalah kelenjar sub mandibula pada usia pertengahan. Insiden adalah 12 per
1000 pada populasi. Pada laki-laki resikonya dua kali di banding perempuan. Untuk kelenjar
kanan dan kiri tidak memiliki tempat yang dominan. Kelenjar mandibula adalah kelenjar
yang sering terkena. Batu lebih sering terdapat pada intraduktal di bandingkan dengan
8

intragandula. Sialolitiasis secara umum batu lebih dari 3 tempat pada kelenjar saliva kurang
dari 3% dari kasus yang ada. Tujuh puluh dari 80% kasus yang ada sebagian besar merupakan
batu yang soliter. Dan hanya 5% pada pasien yang memiliki batu lebih dari 2 pada kelenjar.
Salah satu penyakit sistemik yang bisa menyebabkan terbentuknya batu adalah penyakit gout,
dengan batu yang terbentuk mengandung asam urat. Kebanyakan, batu pada kelenjar saliva
mengandung kalsium fosfat, sedikit mengandung magnesium, amonium dan karbonat. Batu
kelenjar saliva juga dapat berupa matriks organik, yang mengandung campuran antara
karbohidrat dan asam amino. 3,4,6
Duktus pada kelenjar submandibula lebih mudah mengalami pembentukan batu karena saliva
yang terbentuk lebih bersifat alkali, memiliki konsentrasi kalsium dan fosfat yang tinggi,
serta kandungan sekret yang mukoid. Disamping itu, duktus kelenjar submandibula
ukurannya lebih panjang, dan aliran sekretnya tidak tergantung gravitasi. Batu pada kelenjar
submandiula biasanya terjadi di dalam duktus, sedangkan batu pada kelenjar parotis lebih
sering terbentuk di hilum atau di dalam parenkim. 3,4,6

2.5 Gejala Klinis


Gejala-gejala meliputi yang timbulnya pembengkakan yang mendadak , hilang timbul,
nyerinya unilateral pada daerah submandibula, biasanya timbul dalam waktu singkat setelah
makan. Demam terjadi jika timbulnya infeksi belakang obstruksi. 3,4,6

2.6 Patogenesis
beberapa patogenesis dapat digunakan untuk menjelaskan terjadinya penyakit ini. Pertama,
adanya ekresi dari intracellular microcalculi ke dalam saluran duktus dan menjadi nidus
kalsifikasi. Kedua, dugaan adanya substansi dan bakteri dari rongga mulut yang migrasi ke
dalam duktus salivary dan menjadi nidus kalsifikasi. Kedua hipotesis ini sebagai pemicu
nidus organik yang kemudian berkembang menjadi penumpukan substansi organik dan
inorganik. Hipotesis lainnya mengatakan bahwa terdapat proses biologi terbentuknya batu,
yang ditandai menurunnya sekresi kelenjar, perubahan elektrolit, dan menurunnya sintesis
glikoprotein. Hal ini terjadi karena terjadi pembusukan membran sel akibat proses penuaan. 4

2.7 Diagnosis
Pemeriksaan Fisik
Batu dapat dideteksi dengan palpasi dan
bantuan radiografi (sialography) bisa berbentuk
lonjong atau bulat, kasar atau halus dengan ukuran
yang bervariasi. Batu umumnya berwarna kuning
muda yang jika dipotong akan kelihatan struktur
yang homogeny tetapi lebih sering berlapis-lapis.
Beberapa kasus dilaporkan dibagian sulkus, bibir
bawah, palatum dan lidah. Biasanya merupakan

Gambar 3. sialolitiasis pada sublingual


9

massa kecil yang solid, keras, dapat digerakkan (dapat berpindah-pindah) bisa dengan atau
simtom. 4

Pemeriksaan Penunjang
Radiografi/ Sialografi
Sialografi merupakan pemeriksaan untuk melihat kondisi duktus dengan
menggunakan kontras. Dengan
pemeriksaan ini kita dapat
mengidentifikasi
adanya
Gambar 4. Sialografi
iregularitas pada dinding duktus,
identifikasi adanya polip, mucous
plug atau fibrin, serta area
granulomatosa. Selain itu dapat
pula
diidentifikasi
adanya
kemungkinan obstruksi duktus
maupun stenosis. Pemeriksaan
dimulai
dengan
melakukan
identifikasi
terhadap
duktus
Stensen dan Wharton. Langkah
selanjutnya
adalah
dilakukan
dilatasi
duktus.
Saat
dilatasi
duktus sudah maksimal, maka
dapat
dimasukkan kateter sialografi. Pada pemeriksaan sialografi ini digunakan
kontras, yang bisa berupa etiodol atau sinografin.
Sialografi dapat memberikan pemandangan yang jelas pada duktus
secara keseluruhan dan dapat memberikan informasi mengenai area yang
tidak dapat dijangkau dengan sialoendoskop, misalnya pada area di
belakang lekukan yang tajam dan striktur. Kekurangan dari pemeriksaan
sialografi adalah paparan radiasi dan hasil positif palsu pada pemeriksaan
batu karena adanya air bubble (gelembung udara). 5,7,8
Tomografi komputer
Pemeriksaan ini merupakan salah satu
pilihan untuk mengevaluasi sistem
duktus
dan parenkim pada kelenjar saliva.
Identifikasi dapat dilakukan pada
potongan aksial, koronal maupun
sagital. Dengan pemeriksaan ini dapat
diidentifikasi adanya iregularitas pada
dinding
duktus
dengan
melihat
adanya penebalan dan penyangatan
pada dinding duktus. Pada obstruksi
10
Gambar 5. Tomografi

yang disebabkan karena batu, kalsifikasi dapat dilihat berupa masa


hiperdens tanpa penyangatan pada pemeriksaan tomografi komputer.
Adanya penyangatan dapat merupakan indikasi adanya obstruksi
sialodenitis akut. 3,4,6

Sialografi Tomografi Komputer


Pemeriksaan
ini
merupakan
kombinasi antara pemeriksaan
sialografi dengan menggunakan
kontras dan pemeriksaan tomografi
komputer. Pemeriksaan dilakukan
dengan memasukkan kateter pada
duktus, kemudian mengisinya
dengan kontras, lalu dilakukan
pemeriksaan tomografi komputer.
Pemeriksaan ini digunakan untuk
mengevaluasi parenkim secara detail. 3,4,6

Gambar 6. Sialografi
tomografi komputer

Ultrasonografi
Dalam mendiagnosis kelainan pada kelenjar saliva terkadang diperlukan pemeriksaan
ultrasonografi dengan resolusi tinggi. Pemeriksaan dengan ultrasonografi bermanfaat dalam
mengidentifikasi massa dan membedakan konsistensi massa tersebut, apakah padat atau
kistik. Ultrasonografi yang digunakan pada pemeriksaan kelenjar saliva adalah ultrasonografi
dengan transduse beresolusi tinggi, yaitu 7,5-10,0 MHz. Pada kasus abses atau massa kistik
kelenjar saliva terkadang dilakukan aspirasi jarum halus. Pada kasus ini, ultrasonografi dapat
dimanfaatkan untuk menjadi panduan dalam aspirasi. Pemeriksaan ultrasonografi juga
penting dilakukan untuk melihat adanya kelokan atau cabang-cabang duktus, yang bisa
menimbulkan komplikasi pada proses obstruksi. 3,4,6
Kekurangan pada pemeriksaan dengan ultrasonografi adalah, alat ini tidak dapat
memvisualisasi kelenjar saliva secara keseluruhan. Pada penegakan kelainan obstruksi
kelenjar saliva menggunakan ultrasonografi sering sulit untuk menentukan ukuran batu secara
tiga dimensi begitu juga dengan struktur stenosisnya. Selain itu, pemeriksaan dengan alat ini
tidak dapat memberikan informasi yang cukup jelas mengenai diameter bagian distal
obstruksi sehingga sulit memastikan apakah duktusnya cukup lebar dan lurus sehingga
memungkinkan masuknya instrumen pada endoskopi terapeutik. 3,4,6

2.8 Penatalaksanaan
Non Pembedahan
11

Pengobatan klasik silolithiasis (medical treatment) adalah penggunaan antibiotik dan


anti inflamasi, dengan harapan batu keluar melalui caruncula secara spontan. pengobatan
yang diberikan adalah simptomatik, nyeri diobati dengan NSAID (e.g ibuprofen, 600 mg
setiap 8 jam selama 7 hari) dan infeksi bacteria diobati dengan antibiotik golongan penicillin
dan Cephalosporins, (875mg amoxicillin dan asam klavulanat 125 mg setiap 8 jam untuk
jangka waktu satu minggu ) atau augmentin, cefzil, ceftin, nafcillin, diet kaya protein dan
cairan asam termasuk makanan dan minuman juga dianjurkan untuk menghindari
pembentukan batu lebih lanjut dalam kelenjar saliva, sialologues (lemon tetes yang
merangsang Salivasi), batu dikeluarkan dengan pijat atau masase pada kelenjar. 3,4,6
Pada beberapa kasus dimana batu berada di wharton papillae, dapat dilakukan
tindakan marsupialization (sialodochoplasty). Sering kali batu masih tersisa terutama bila
berada di bagian posterior Wartons duct, sehingga pendekatan konservatif sering diterapkan.
3,4,6

Pembedahan
Sebelum teknik endoskopi dan lithotripsi berkembang pesat, terapi untuk mengeluarkan batu
pada sialolithiasis submandibula delakukan dengan pembedahan, terutama pada kasus dengan
diameter batu yang besar (ukuran terbesar sampai 10 mm), atau lokasi yang sulit.
Bila lokasi batu di belakang ostium duktus maka bisa dilakukan tindakan simple
sphincterotomy dengan anestesia lokal untuk mengeluarkannya. Pada batu yang berada di
tengah-tengah duktus harus dilakukan diseksi pada duktus dengan menghindari injury pada n.
lingualis. Hal ini bisa dilakukan dengan anestesi lokal maupun general, tapi sering
menimbulkan nyeri berat post operative. Harus dilakukan dengan anestesi general, bila lokasi
batu berada pada gland's pelvis. Pada kasus ini harus dilalakukan submaxilectomy dengan
tingkat kesulitan yang tinggi, karena harus menghindari cabang-cabang dari N. facialis. 3,4,6
Minimal Invasive
Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)
ESWL merupakan terapi dengan pendekatan non invasive yang cukup efektif pada
sialolithiasis. Setelah berhasil untuk penanganan batu di saluran kencing dan pankreas,
ESWL menjadi alternatif penanganan batu pada saluran saliva, dimulai tahun 1990an. Tujuan
ESWL untuk mengurangi ukuran calculi menjadi fragmen yang kecil sehingga tidak
mengganggu aliran saliva dan mengurangi simptom. Diharapkan juga fragmen calculi bisa
keluar spontan mengikuti aliran saliva. 3,4,6

12

Indikasi ESWL bisa dilakukan pada semua sialolithiasis baik dalam glandula maupun
dalam duktus, kecuali posisi batu yang dekat dengan struktur N. facialis. Inflamasi akut
merupakan kontra indikasi lokal dan inflamasi kronis bukan merupakan kontra indikasi,
sedangkan kelainan pembekuan darah (haemorrhagic diathesis), kelainan kardiologi, dan
pasien dengan pacemaker merupakan kontraindikasi umum ESWL. Metode ini tidak
menimbulkan nyeri dan tidak membutuhkan anestesia, pasien duduk setengah berbaring
(semi-reclining position). Shockwave benar-benar fokus dengan lebar 2,5 mm dan kedalaman
20mm sehingga lesi jaringan sekitarnya sangat minimal. Energi yang digunakan disesuaikan
dengan batu pada kelenjar saliva, yaitu antara 5 30 mPa. Tembakan dilakukan 120 impacts
per menit, bisa dikurangi sampai 90 atau 60 impacts per menit. Setiap sesion sekitar 1500 + /
- 500 impacts dan antar sesion terpisah minimal satu bulan. 3,4,6
Keberhasilan ESWL tergantung pada dimensi, lokasi, dan jumlah calculi. Ketepatan
posisi (pinpointing) calculi bisa dipandu dengan ultrasonography, echography probe 7,5 Mhz.
Calculi dengan ukuran > 10 mm sulit dipecah menjadi fragmen. Beberapa penelitian telah
melakukan pengamatan dan follow up atas keberhasilan penggunaan ESWL, antara lain
Escidier et al mengamati 122 kasus dimana 68% pasien terbebas dari simptom setelah
difollow up selama 3 tahun, Cappaccio et al dengan 322 kasus melaporkan 87,6% pasien
terbebas dari simptom setelah diamati 5 tahun sejak pengobatan menggunakan ESWL. 3,4,6
3.2 Sialendoskopi
Sialendoskopi merupakan teknik endoskopi untuk memeriksa duktus kelenjar saliva.
Teknik ini termasuk minimal invasive terbaru yang dapat digunakan untuk diagnosis
sekaligus manajemen terapi pada ductal pathologies seperti obstruksi, striktur, dan sialolith.
Prosedur yang dapat dilakukan dengan Sialendoskopi merupakan complete exploration ductal
system yang meliputi duktus utama, cabang sekunder dan tersier. Indikasi diagnostik dan
intervensi dengan Sialendoskopi adalah semua pembengkakan intermitten pada kelenjar
saliva yang tidak jelas asalnya. Koch et al lebih khusus menjelaskan indikasinya, antara lain
untuk : 3,4,6
1) deteksi sialolith yang samar,
2) deteksi dini pemebentukan sialolith (mucous or fibrinous plugs) dan profilaksis
pembentukan batu,
3) pengobatan stenosis post inflamasi dan obstruksi karena sebab lain,
4) deteksi dan terapi adanya variasi anatomi atau malformasi,
5) diagnosis dan pemahaman baru terhadap kelainan autoimun yang melibatkan
kelenjar saliva,
6) sebagai alat follow up dan kontrol keberhasilan terapi.
13

Tidak ada kontra indikasi khusus, karena merupakan teknik minimal invasive yang
hanya membutuhkan enestesi lokal dan cukup rawat jalan saja, baik pada anak-anak, dewasa
maupun usia lanjut. Teknik Intervensi Sialendoskopi. Sialendoskopi dilakukan dengan
anestesi lokal, papila untuk mencapai kelenjar diinjeksi dengan bahan anestesi (xylocaine 1%
dengan epinephrine 1:200000). Papila dilebarkan bertahap dengan probe yang bertambah
besar sampai sesuai dengan diameter sialendoskop. Kemudian sialendoskop dimasukkan ke
dalam duktus kelenjar saliva diikuti pembilasan dengan cairan isotonik melalui probe.
Pembilasan ini dimaksudkan untuk dilatasi duktus dan irigasi debris. Duktus kelenjar saliva
ini diobservasi mulai dari duktus utama sampai cabang tersier hingga probe tidak bisa masuk
lagi, dengan catatan menghindari trauma dan perforasi dinding duktus. Bila didapatkan
obstruksi, kita bisa menggunakan beberapa teknik untuk mengatasinya. Untuk pengambilan
batu dengan diameter < 4 mm pada kelenjar submandibula atau < 3 mm pada kelenjar parotis,
kita dekatkan sialendoskop ke sialolith kemudian kita masukkan ke dalam working chanel
sebuah forsep penghisap yang fleksibel dengan diameter 1 mm atau stone extractor (wire
basket forcep). Berikutnya batu dihisap dan sialendoskop ditarik dengan forcep
penghisapnya. 3,4,6
Pada kasus dengan batu yang lebih besar, kita memasukkan probe laser helium ke
dalam working chanel dan batu dipecah menjadi beberapa bagian kecil-kecil. Kemudian
bagian kecil tersebut ambil (removed) dengan teknik yang sama. Sedangkan pada kasus
mucus plug, sekret yang lengket dimobilisasi dengan pembilasan dan penghisapan. 3,4,6
Setelah intervensi Sialendoskopi, dilakukan stenting pada duktus submandibula
menggunakan stent plastik (sialostent) selama 2 sampai 4 minggu dengan tujuan 1)
menghindari striktur, 2) mencegah obstruksi karena udema sekitar orifisium, dan 3) sebagai
saluran irigasi partikel-partikel batu kecil oleh aliran saliva. Pemberian hydrocortisone 100
mg injeksi intraductal atau langsung pada daerah striktur juga dapat mempercepat proses
penyembuhan pasca sialoendokopi. 3,4,6
Decision Tree
Pada tindakan minimally invasive terdapat beberapa pilihan diagnostik maupun terapi
untuk managemen sebuah kasus dengan gejala klinis adanya obstruksi pada saluran kelenjar
saliva. pada kasus dengan gejala pembengkakan berulang pada kelenjar saliva yang
berhubungan dengan selera makan, dapat menggunakan sialendoskopi atau MR sialografi
sebagai pilihan modalitas diagnostik. Sialendoskopi merupakan pilihan utama pada
pembengkakan kelenjar unilateral, sedangkan pada kasus kelenjar bilateral direkomendasikan

14

untuk menggunakan MR silaografi untuk melihat tekstur kelenjar, jaringan sekitar, dan sistem
duktus beberapa kelenjar. 3,4,6

Diagram 1. Decision Tree untuk Evaluasi dan Managemen


Sislolithiasis

Bila didapatkan batu ukuran kecil (< 4 mm submandibular atau < 3 mm parotis) maka
dapat diintervensi dengan Wire Basket Extraxion. Pada batu dengan ukuran > 4 mm
submandibula atau > 3 mm parotis, batu harus dipecah menjadi bagian yang lebih kecil
menggunakan Laser Lithotripsy kemudian dikeluarkan dengan Wire Basket Extraxion.
Sedangkan stenosis pada sistem duktus cukup dilakukan dilatasi menggunakan metalic dilator
(main duct) atau dengan balloon catheter bila stenosis terjadi pada cabang duktus. 3,4,6
Segala bentuk intervensi pada sialolithiasis, baik pembedahan terbuka maupun
minimally invasive dapat menimbulkan komplikasi antara lain:
1)
2)
3)
4)
5)
6)

kerusakan saraf, terutama N. Lingualis dan N. Hipoglosus


perdarahan post operative,
striktur sistem duktal,
pembengkakan kelenjar yang menimbulkan nyeri,
cutaneus hematoma sering dijumpai pada pasien post extracorporeal therapy, dan
residual lithiasis terjadi pada sekitar 40%-50% pasien.

Teknik minimal invasive yang benar dengan Sialendoskopi, lebih memungkinkan


untuk meminimalisir terjadinya komplikasi tersebut di atas.

15

2.9 Komplikasi
Segala bentuk intervensi pada sialolithiasis, baik pembedahan terbuka maupun minimally
invasive dapat menimbulkan komplikasi antara lain: 1) kerusakan saraf, terutama n. Lingualis
dan n. Hipoglosus 2) perdarahan post operative, 3) striktur sistem duktal, 4) pembengkakan
kelenjar yang menimbulkan nyeri, 5) cutaneus hematoma sering dijumpai pada pasien post
extracorporeal therapy, dan 6) residual lithiasis terjadi pada sekitar 40%-50% pasien.
Teknik minimal invasive yang benar dengan Sialendoskopi, lebih memungkinkan untuk
meminimalisir terjadinya komplikasi tersebut di atas. 5,6

2.10 Prognosis
Prognosis pada sialolithiasis umumnya baik, dengan penatalaksaan yang tepat.

16

BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Meskipun berbagai diagnostik yang canggih dan modalitas pengobatan telah muncul
dalam pengelolaan sialoliths, teknik konvensional tetap dipertahankan sampai saat ini.
Dilaporkan dari kasus submandibula sialolith yang didiagnosis secara klinis dan radiografi
serta diberi pengobatan namun tidak ditemukan komplikasi pasca operasi. Pembetukan batu
pada saluran air liur masih belum di ketahui penyebab pasti untuk perjalanan penyakitnya
hanya beberapa dugaan yang mendasari pembetukan dari batu di saluran kelenjar air liur.

17

DAFTAR PUSTAKA
1. Lauralee S. Fisiologi manusia. Ed 2. Jakarta : EGC; 2001. h. 545-7
2. Adam GL, Bole LR, Higler PH. Buku ajar penyakit tht. Ed 6. Jakarta :EGC; 1997. h.
305
3. Marchal F, Dulguerov P. Sialolithiasis management. Arch Otolaryngol-Head and Neck
Surg 2003 Sep; 129: 951-6.
4. Dalkiz M, Dogan N, Beydemir B. Sialolithiasis (salivary stone). Turk J Med Sci
2001;31: 177-9.
5. Harrison JD (2009) Causes, natural history and incidence of salivary stones and
obstructions. Otolaryngol Clin North Am 42(6):927947
6. Jager L, Menauer F, Holzknecht N, Scholz V, Grevers G, Reiser M. Sialolithiasis: MR
sialography of the submandibular Duct An Alternative to Conventional Sialography
and US. RSNA Radiology 2000;216: 665-71
7. Capaccio P, Torretta S, Ottavian F, Sambarato G, Pignataro L. Modern management of
obstructive salivary diseases. Acta Otorhinolaryngol Ital. 2007;27:161-72.
8. Biddle RJ, Arora S. Giant sialolith of the submandibular salivary gland. Radiol Case
Rep 2008;3:1-5.

18

You might also like